PEMBERDAYAAN KEWIRAUSAHAAN TERHADAP
SANTRI
DI PONDOK PESANTREN
(Studi kasus: Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung, Bogor)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI)
Oleh :
Deden Fajar Badruzzaman NIM : 104046101576
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
DI PONDOK PESANTREN
(Studi Kasus: Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung, Bogor)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI)
Oleh :
Deden Fajar Badruzzaman NIM : 104046101576
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
H. Abdul Wahab Abd Muhaimin, Lc. MA Drs. H. Zainul Arfin Yusuf, M.Pd NIP 150 238 774 NIP 150 204 484
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PEMBERDAYAAN KEWIRAUSAHAAN TERHADAP SANTRI DI
PONDOK PESANTREN (Studi Kasus: Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman
Parung-Bogor) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 10 Maret 2009. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Islam
(SEI) pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam).
Jakarta, 10 Maret 2009 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 150 210 422
Panitia Ujian
1. Ketua : Dr. Euis Amalia, M.Ag (………)
NIP. 150 289 264
2. Sekertaris : H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag.,M.H (………)
NIP 150 318 308
3. Pembimbing I : H. Abdul Wahab Abd Muhaimin, Lc. MA (………)
NIP 150 238 774
4. Pembimbing II : Drs. H. Zainul Arfin Yusuf, M.Pd (………)
NIP 150 204 484
5. Penguji I : Dr. A. Sudirman Abbas, MA (………) NIP 150 294 015
PROGRAM STUDI MUAMMALAT FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1430 H / 2009 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Maret 2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis persembahkan ke hadirat Allah SWT, karena dengan
hidayah, taufik, dan inayah-Nya, penulis dapat nenyelesaikan skripsi yang berjudul
"PEMBERDAYAAN KEWIRAUSAHAAN TERHADAP SANTRI DI PONDOK
PESANTREN (Studi kasus: Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung-Bogor)
"
Selanjutnya shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan Allah SWT kepada
Nabi dan Rasul-Nya Muhammad SAW beserta sahabat, keluarganya dan para
pengikutnya hingga akhir zaman.
Keberhasilan menyelesaikan skripsi ini walaupun setelah melalui lika-liku
perjuangan, dengan beraneka ragam kendala, tidak terlepas dari bantuan dan dorongan
dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, dari lubuk hati yang paling dalam, penulis
mengucapkan banyak terima kasih, kepada :
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menimba ilmu dalam proses pendewasaan intelektual.
2. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Euis Amalia, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Muamalat Ekonomi Islam
4. Bapak AH. Azharudin Latif, M. Ag., selaku sekertaris Program Studi Muamalat
Ekonomi Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Drs. H. Abdul Wahab Abd Muhaimin, Lc. MA. Sebagai pembimbing I, yang dengan
ikhlas di tengah-tengah kesibukan beliau yang sangat padat, masih berkenan
meluangkan waktu untuk mengarahkan penulis menyelesaikan skripsi ini.
6. Drs. H. Zainul Arfin Yusuf, M.Pd sebagai pembimbing II, yang dengan penuh
keikhlasan dan ketulusan hati telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan
bimbingan kepada penulis hingga skripsi ini terwujud menjadi kenyataan.
7. Teristimewa penulis persembahkan untuk ayahanda tercinta DR. KH. Ahmad
Dimyati Badruzzaman, MA dan ibunda tercinta Tois Yoyoh Rokayah, yang
senantiasa mendoakan penulis dan memberikan motifasi, baik moril maupun materil
sehingga penulis dapat menyelesaikan studi serta menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat, kasih sayang, dan taufik-Nya serta
melimpahkan kebahagiaan kepada keduanya, di dunia maupun di akhirat. Amin.
8. kepada seluruh Dosen/Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang telah
mentransfer ilmunya dengan ikhlas kepada penulis, serta semua karyawan/karyawati
yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini dari awal hingga akhir.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan
dorongan, motifasi, bantuan moril maupun materil kepada penulis dalam
menyelesaikan studi penulis terutama penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan, agar semua bantuan
dan partisipasi dari berbagai pihak tersebut diberikan-Nya ganjaran dan pahala yang
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, masukan dan saran selalu penulis harapkan untuk kesempurnaannya.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi umat
Islam umumnya. Amin.
Jakarta 25 Februari 2009 M 29 Shafar 1430 H
Penulis
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
LEMBAR PENGESAHAN…... iii
LEMBAR PERNYATAAN... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI... viii
DAFTAR TABEL... xi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
D. Metode Penelitian... 10
E. Kerangka Konsep ... 14
F. Tinjauan Pustaka ... 16
G. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II : TINJAUAN TEORITIS A. Pemberdayaan Kewirausahaan... 19
1. Pengertian Pemberdayaan ... 19
2. Pengertian Kewirausahaan ... 24
3. Jiwa dan Perilaku Kewirausahaan ... 27
B. Pondok Pesantren ... 34
1. Pengertian Pondok Pesantren ...34
2. Fungsi dan Peran Pondok Pesantren...36
BAB III : GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN AL-ASHRIYYAH NURUL IMAN A. Sejarah Singkat dan Perkembangan Pondok Pesantren... 38
B. Program Pengembangan ... 42
C. Visi dan Misi ... 43
D. Struktur Organisasi... 44
E. Sarana dan Prasarana ... 45
F. Sumber Dana ... 47
G. Sektor Usaha di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul
Iman ...
48
H. Peran Pondok Pesantren dalam Pemberdayaan
Kewirausahaan Santri ...
57
A. Analisa Pemberdayaan Kewirausahaan di Pondok
Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung-Bogor ...
60
B. Pemberdayaan Kewirausahaan di Pondok Pesantren Lain .
75
C. Faktor Pendukung dan Penghambat ...
78
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 80
B. Saran ... 83
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1: Tahapan Pemberdayaan ... 15
Tabel 3.1: Struktur Organisasi ... 45
Tabel 3.2: Nama Donatur dan Kegunaan Sumbangan ... 48
Tabel 3.3: Hasil Pertanian... 50
Tabel 4.1: Jenis Usaha dan Pelatih... 67
Tabel 4.2: Rancangan Program Pemberdayaan Kewirausahaan... 68
Tabel 4.3: Potensi Ekonomi Kyai-Ulama... 72
Tabel 4.4: Potensi Ekonomi Santri-Murid... 73
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu masalah mendasar yang hingga kini menjadi tantangan terbesar
bangsa Indonesia adalah masalah pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi
akan memberikan pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi suatu bangsa. Namun
demikian, Indonesia tengah menghadapi problem yang sangat kompleks dalam
masalah pembangunan ekonomi, yang berimplikasi pada munculnya kesenjangan
ekonomi di berbagai sektor. Hal ini disebabkan karena pembangunan tidak mampu
menyerap potensi ekonomi masyarakat, termasuk angkatan kerja sebagai kontributor
bagi percepatan pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi tersebut.
Problem yang dimiliki bangsa Indonesia itu antara lain adalah pertumbuhan
ekonomi yang tidak dibarengi dengan kesempatan tenaga kerja yang merata,
sementara angka produktif penduduk Indonesia tidak berbanding lurus dengan
besarnya jumlah peluang usaha dan investasi di Indonesia. Ditambah lagi banyaknya
peluang dan kesempatan investasi tersebut tidak banyak didukung oleh kemampuan
sumber daya manusia yang kualified. Akibatnya timbul kesenjangan antara kebutuhan
lapangan pekerjaan dengan kesempatan yang diberikan oleh pelaku usaha kepada
angkatan kerja, yang pada akhirnya menyebabkan timbul dan banyaknya
pengangguran.
Departemen Tenaga Kerja mencatat pada 2008 jumlah pengangguran
ditetapkan pemerintah adalah 6%. Jika diasumsikan setiap 1% pertumbuhan ekonomi
menghasilkan 265.000 lapangan kerja baru, berarti dengan pertumbuhan ekonomi 6%
negara ini hanya bisa menambah jumlah lapangan kerja untuk 1.590.000 orang saja.
Ini berarti masih kekurangan 8.957.917 lapangan kerja.
Lebih mengkhawatirkan lagi, 50% dari total penganggur di negeri ini adalah
sarjana. Padahal mereka inilah yang diharapkan menjadi agent of change yang bisa
membawa kemajuan bagi bangsa ini. Hal ini sebenarnya tidak terlalu mengagetkan
karena hanya 6% sarjana kita yang berwirausaha, selebihnya (80%) memilih menjadi
karyawan.1
Pola pikir yang diwujudkan dalam bentuk cita-cita menjadi pegawai
sebenarnya sudah terjadi di berbagai belahan dunia sejak puluhan tahun yang lalu.
Max Gunther, seorang penulis buku motivasi, pernah mengkritik sistem pendidikan di
Amerika Serikat tahun 70-an yang katanya hanya akan melahirkan lulusan
“sanglarstik” yang artinya mereka mempunyai mental buruh, yaitu menjadi pegawai
negeri atau pegawai swasta.2 Mereka kurang mau dan mampu menciptakan lapangan kerja sendiri. Bahkan untuk kasus di Indonesia, hal itu masih terjadi sampai sekarang.
Masyarakat sulit untuk mau dan memulai wirausaha dengan alasan mereka
tidak diajar dan dirangsang untuk berusaha sendiri. Hal ini juga didukung oleh
lingkungan budaya masyarakat dan keluarga yang dari dulu selalu ingin anaknya
menjadi orang gajian alias pegawai. Di sisi lain para orang tua kebanyakan tidak
memiliki pengalaman dan pengetahuan untuk berusaha. Oleh karena itu, mereka
cenderung mendorong anak-anak mereka mencari pekerjaan atau menjadi karyawan.
1
Koran Pikiran Rakyat (27/11/08). 2
Pandangan tentang lebih enak menjadi karyawan di negeri ini memang sudah lumrah,
kalau tidak bisa dibilang salah kaprah.3 Rupanya cita-cita ini sudah berlangsung lama terutama di Indonesia dengan berbagai sebab. Jadi, tidak mengherankan jika setiap
tahun jumlah orang menganggur semakin terus bertambah sementara itu lapangan
kerja semakin sempit.
Selain itu, banyak pihak yang kurang yakin bahwa kewirausahaan dapat
diajarkan melalui upaya-upaya pendidikan. Mereka yang berpendapat semacam ini
bertitik tolak dari keyakinan bahwa kewirausahaan adalah suatu property budaya dan
sikap mental, oleh karena itu bersifat attitudinal dan behavioral. Seseorang menjadi
wirausaha karena dari asalnya sudah demikian. Dengan kata lain, ia menjadi
wirausaha karena dibesarkan di lingkungan tertentu, memperoleh nilai-nilai budaya
tertentu pula dari kalangan terdekatnya semenjak ia mampu menerima proses
sosialisasi sebagai proses alamiah, khususnya dari orang tuanya. Jadi, pendidikan
formal (sebagai suatu proses intervensi terencana dan terkendali yang kita kenal
sehari-hari) untuk membentuk wirausaha, tidak mereka yakini. Mereka hanya yakin
pada proses alamiah itu.4
Kini sudah saatnya bangsa Indonesia memikirkan dan mencari terobosan
dengan menanamkan sedini mungkin nilai-nilai kewirausahaan, terutama bagi
kalangan terdidik. Penanaman nilai-nilai kewirausahaan bagi banyak orang
diharapkan bisa menimbulkan jiwa kreativitas untuk berbisnis atau berwirausaha
sendiri dan tidak bergantung pada pencarian kerja yang semakin hari semakin sempit
dan ketat persaingannya. Kreativitas ini sangat dibutuhkan bagi orang yang berjiwa
3 Sasmito, Semua Orang Bisa Jadi Pengusaha, (Jakarta: Hi-Fest Publishing, 2007), h.13. 4
kewirausahaan untuk menciptakan sebuah peluang kerja, tidak hanya bagi dirinya
sendiri tapi juga bagi orang lain. Ini sesuai dengan keinginan Kantor Menteri
Koperasi dan UKM untuk menciptakan 20 juta usaha kecil menengah baru tahun
2020. Keinginan ini direspon positif oleh Ir. Aburizal Bakri bahwa membangun UKM
sama dengan membangun ekonomi Indonesia. Katakanlah satu UKM mempekerjakan
5 orang, maka 20 juta UKM akan menyerap lebih dari 100 juta tenaga kerja. Hal ini
tidak bisa dilakukan perusahaan besar.5
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam hal pendidikan kewirausahaan
(enterpreneurship), Indonesia tertinggal jauh dengan Negara-negara lain. Bahkan di
beberapa negara, pendidikan tersebut telah dilakukan puluhan tahun yang lalu.
Sementara di Indonesia, pendidikan kewirausahaan baru dibicarakan pada era 80-an
dan digalakkan pada era 90-an. Namun demikian, kita patut bersyukur karena
hasilnya dewasa ini sudah mulai berdiri sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga yang
memang berorientasi untuk menjadikan peserta didiknya sebagai calon pengusaha
unggul setelah pendidikan.6
Salah satu lembaga yang concern terhadap kewirauasahaan adalah pondok
pesantren. Dibanding masa penjajahan, memang orientasi pesantren mengalami
pergeseran yang cukup jelas. Jika di masa penjajahan misi pesantren adalah
mendampingi perjuangan politik merebut kemerdekaan dan membebaskan
masyarakat dari belenggu tindakan tiranik, maka pada masa pembangunan ini, hal itu
telah digeser menuju orientasi ekonomi.7
5 Heflin Frinces, Kewirausahaan dan Inovasi Bisnis (Yogyakarta: Darussalam, 2004), h.4 6
Kasmir, Kewirausahaan, h. 5.
Pondok pesantren dengan berbagai harapan dan predikat yang dilekatkan
padanya, sesungguhnya berujung pada tiga fungsi utama yang senantiasa diemban,
yaitu: Pertama, sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama (Center of
Excellence). Kedua, sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia (Human
Resource). Ketiga, sebagai lembaga yang mempunyai kekuatan melakukan
pemberdayaan pada masyarakat (Agent of Development).
Salah satu pondok pesantren yang mengembangkan sikap kemandirian
dengan cukup menonjol, adalah Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman, Parung-Bogor.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator yang mengarah pada terciptanya
kemandirian; misalnya dalam pengembangan sistem pendidikan pesantren, ia berani
tampil beda dengan cara konsisten membina akhlak dan kegiatan ekonomi di mana
semua unit usaha yang ada di pesantren tersebut dijalankan oleh santri sendiri.
Sehingga ia memiliki kekhasan tersendiri dan bersifat independen. Al-Ashriyyah
Nurul Iman Parung-Bogor adalah salah satu Pondok Pesantren yang diindikasikan
telah memiliki sistem pendidikan pesantren yang menginternalisasi nilai-nilai
kewirausahaan (yang memadai, terstruktur dan tertata secara sistemik) baik dilihat
dari substansinya maupun strateginya, perbedaannya dengan pesantren yang lain
adalah di pondok pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung-Bogor sejak awal
berdirinya sudah menerapkan kewirausahaan di mana seluruh kegiatan usaha dari
proses awal produksi hingga menjadi barang jadi dikerjakan oleh santri. Berbeda
dengan pesantren lain yang hanya memberdayakan santri senior saja atau
memberdayakan santri tetapi hanya sebagai penjaga saja. Begitu juga dengan sektor
seperti agrobisnis, produksi, dan jasa. Bahkan dengan kewirausahaan tersebut,
membuat biaya pendidikan di pondok pesantren ini menjadi gratis.
Penulis menilai, program pemberdayaan pesantren ini cukup penting untuk
diteliti, mengingat dampak positif yang bisa dihasilkan bagi pemberdayaan ekonomi
umat di masa mendatang. Pemberdayaan tersebut bermakna sebagai upaya sadar yang
dilakukan secara sistemik oleh Pesantren al-Ashriyyah dalam mengenalkan,
memupuk, menumbuhkan, dan mengembangkan nilai-nilai kewirausahaan, yang di
dalam penelitian ini disebut dengan “pemberdayaan kewirausahaan” di dalam pondok
pesantren. Oleh sebab itu saya merasa tertarik untuk mengangkat tema ini menjadi
sebuah skripsi dengan judul: “PEMBERDAYAAN KEWIRAUSAHAAN
TERHADAP SANTRI DI PONDOK PESANTREN (Studi Kasus: Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung Bogor)”,
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Untuk memfokuskan penulisan dan memudahkan analisa maka
permasalahan akan dibatasi pada permberdayaan kewirausahaan di pondok
pesantren, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peran pondok pesantren dalam pemberdayaan sumber daya manusia melalui
kewirausahaan yang diberikan Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman.
c. Faktor pendukung dan penghambat dalam pemberdayaan kewirausahaan di
Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman.
2. Perumusan Masalah
Untuk dapat memberikan suatu gambaran yang lebih jelas tentang
masalah ini, maka berikut ini diajukan beberapa pertanyaan penelitian yang
dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana peran pondok pesantren dalam pemberdayaan kewirausahaan di
Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman?
b. Seperti apa pola pemberdayaan kewirausahaan pada Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman?
c. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam pemberdayaan
kewirausahaan di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan menganalisis:
a. Peran pondok pesantren dalam menumbuhkan jiwa kewirausahaan pada santri
Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman.
b. Pola pemberdayaan kewirausahaan pada Pondok Pesantren Al-Ashriyyah
Nurul Iman.
c. Faktor pendukung dan penghambat dalam pemberdayaan kewirausahaan di
2. Manfaat Hasil Penelitian
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran bagi
pihak-pihak terkait, khususnya pada dunia pesantren. Selanjutnya, untuk
memberikan sumbangsih dalam rangka pengembangan budaya kewirausahaan
di kalangan santri dan umat Islam pada umumnya, yang pada akhimya mampu
melahirkan para wirausahawan Muslim yang handal. Selain itu, hasil
penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan Islam.
b. Manfaat Praktis
Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini
adalah dengan format pembelajaran nilai-nilai kewirausahaan yang
ditemukan, dapat digunakan sebagai acuan dalam pembinaan nilai
kewirausahaan, khususnya sikap kemandirian bagi para santri maupu
masyarakat luas, terutama di pesantren-pesantren yang memiliki kesamaan
karakter dengan pesantren yang sedang diteliti.
Dalam jangka panjang, implementasi format pembelajaran nilai
kewirausahaan bagi kalangan santri ini dapat melahirkan pekarya-pekarya
yang mandiri, baik sebagai para wirausahawan Muslim yang handal, maupun
dalam dunia kerja dan profesi lainnya yang disemangati jiwa kemandiriannya,
sehingga mampu meningkatkan citra pendidikan pesantren dan sekaligus
mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Metodologi digunakan sebagai suatu cara utama yang dipergunakan untuk
mendapatkan data primer metode penyusunan skripsi ini menggunakan penelitian
kualitatif dalam bentuk deskriftif analisis, Bogdan dan Taylor mendefinisikan
penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriftif
berupa data-data tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.8 Penelitian ini merupakan data yang diambil dari lapangan dengan pendekatan survei,
data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka.
Penelitian deskriptif hanya melakukan analisis sampai tahap deskripsi, yaitu
menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah
dipahami dan disimpulkan,9 yaitu menggambarkan (menjelaskan secara umum). Penelitian deskriftif ini juga ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan
fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena yang berifat alamiah maupun hasil
rekayasa manusia.10 Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian dengan cara mengamati dan mengumpulkan data dan kemudian data yang diperoleh, disusun dan
dikembangkan dan selanjutnya dikemukakan dengan seobjektif mungkin kemudian
dianalisis. Guna mendapatkan data-data yang diperlukan, maka digunakan:
1. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data yang terdiri dari:
a. Subjek Penelitian
Adapun yang menjadi subjek penelitian adalah orang yang dapat
memberikan informasi adapun yang dijadikan sebagai sumber informasi
8
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda, 2006), h.4 9
dalam penelitian ini adalah pengurus pondok pesantren, karyawan dan
santri-santri pondok pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung-Bogor.
b. Objek Penelitian
Sedangkan yang menjadi objek penelitian yaitu bagaimana proses
pemberdayaan kewirausahaan dalam menumbuhkan jiwa entrepreneurship
santri yang dilakukan oleh pondok pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman
Parung-Bogor.
2 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi dan
dokumentasi.
a. Wawancara
Wawancara yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya
atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan
alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).11 Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara berstruktur, yaitu semua
pertanyaan telah dirumuskan dengan cermat dengan bertanya secara langsung
kepada responden (Pengurus Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Parung-Bogor)
tehnik ini digunakan untuk mendapatkan keterangan dari para pengurus
pondok pesantren mengenai hal-hal yang terkait dan berhubungan dengan
pemberdayaan kewirausahaan di pondok pesantren.
Setelah data terkumpul, maka akan dilakukan analisa guna
mendapatkan kesimpulan yang akurat bagi permasalahan ini, yaitu melalui
reduksi atas data-data yang terkumpul, mensortir mana data yang relevan dan
mana yang tidak. Selanjutnya dilakukan penyederhanaan dan pengolahan data
terutama data yang bersifat kuantitatif untuk disajikan dalam bentuk deskripsi
dan yang terakhir menarik kesimpulan dari keseluruhan penyajian tersebut.
b. Observasi
Merupakan pengamatan dan pencatatan yang dilakukan secara
sistematis dari fenomena yang diselidiki. Dalam hal ini penulis melakukan
pengamatan terhadap proses pemberdayaan kewirausahaan yang dilakukan
Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung-Bogor.
c. Dokumentasi
Yaitu data primer yang digunakan dalam penelitian berupa
dokumen atau data yang secara langsung oleh pihak pondok kemudian diolah.
d. Kajian Pustaka
Yaitu sumber-sumber bacaan/ pustaka yang dapat mendukung
teori-teori yang digunakan dalam penelitian. Data-data ini diperoleh dari :
Majalah, surat kabar, buku-buku cetak, mailing list, (Website/Internet) yang
berhubungan dengan pemberdayaan kewirausahaan dan untuk ayat-ayat
Al-Qur’an langsung mengutip dari terjemahan DEPAG R.I.
e. Pengolahan Data
Dari data-data yang sudah penulis peroleh, maka penulis
mempelajari berkas-berkas yang telah terkumpul kemudian penulis
3. Analisis Data
Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, langkah selanjutnya
adalah mengklasifikasikan data-data kemudian dianalisa sesuai dengan rumusan
masalah penelitian. Setelah itu disajikan dalam dalam laporan ilmiah.
Metode analisa yang digunakan adalah metode deskriftif kualitatif,
yaitu penulis menganalisis data berdasarkan informasi-informasi yang diperoleh
dari hasil wawancara dan studi dokumentasi.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini mengacu pada: Buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.
E. Kerangka Konsep
Proses dan sekaligus kenyataan globalisasi tidak dapat dihindari. Ini sebuah
keniscayaan, yang diakui oleh semua orang. Maka untuk menghadapinya diperlukan
kesiapan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas,12 yaitu manusia-manusia unggul yang mempunyai kualifikasi untuk bersaing dengan sumber daya dari luar.
Untuk itu diperlukan adanya upaya-upaya pemberdayaan dan peningkatan kualitas
diri yang tanpa henti.
Pemberdayaan dalam kamus umum bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai
upaya pendayagunaan, pemanfaatan yang sebaik-baiknya untuk mencapai hasil yang
memuaskan.13 Sedangkan dalam pengertian lain istilah pemberdayaan berarti upaya memperluas pilihan bagi masyarakat dengan upaya pendayagunaan potensi,
pemanfaatan yang sebaik-baiknya, dengan kata lain pemberdayaan adalah
12
A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.vii.
13
memampukan dan memandirikan masyarakat.14 Pemberdayaan juga dapat berarti penyadaran tentang kelemahan atau potensi yang dimiliki sehingga menimbulkan dan
meningkatkan kepercayaan diri sendiri untuk keluar dari persoalan dan untuk
memcahkan permasalahan serta mengembangkan diri.
Minimal ada tiga tahapan dalam pemberdayaan15. Pertama, Input yaitu menetapkan dan menganalisis kebutuhan-kebutuhan pemberdayaan melalui
identifikasi kebutuhan dan penetapan sasaran, ini dimaksudkan untuk mencapai
tujuan yang dapat diukur dalam bentuk peningkatan dan perubahan yang lebih baik.
Kedua, proses pelaksanaan dari pemberdayaan yang direncanakan. Ketiga, Output
yaitu memantau, mengevaluasi dan menganalisis pemberdayaan.
Tabel 1.1 Tahapan pemberdayaan
Salah satu upaya untuk memberdayakan potensi ekonomi umat serta
membangun sebuah masyarakat yang mandiri adalah melahirkan
sebanyak-banyaknya wirausahawan baru. Asumsinya sederhana, kewirausahaan pada dasarnya
14
Lili Badiri, Muhammad Zen, M.Hudri, Zakat & Wirausaha, (Jakarta: CV. Pustaka Amri, 2005) h. 54.
15 Sumardi, Pemberdayaan Masyarakat, (Bandung: Berkah Pustaka, 1984), h.23.
Input
adalah kemandirian, terutama kemandirian ekonomis; dan kemandirian adalah
keberdayaan.16
Pesantren sejak pendiriannya telah memberikan perhatian yang utuh
terhadap penyiapan generasi Indonesia yang tidak saja memahami ajaran agama
dalam konteks sosial, tetapi juga mempersiapkan generasi dengan keterampilan dan
kreatifitas yang tinggi. Doktrin pesantren tentang pentingnya jiwa kewirausahaan
menjadi ajaran wajib bagi setiap pesantren. Hampir susah menemukan pesantren yang
mengajarkan santrinya untuk mengejar posisi sebagai pegawai negeri sipil. Fakta ini
memberikan kesimpulan bahwa hanya dengan bekal keterampilan dan kreatifitas
yang tinggi, maka alumni pesantren bisa menjadi bahagian masyarakat.
F. Tinjauan Pustaka
Dalam penyusunan skripsi ini sebelum penulis mengadakan penelitian lebih
lanjut kemudian menyusunnya menjadi satu karya ilmiah, maka langkah awal yang
penulis tempuh adalah mengkaji terlebih dahulu terhadap skripsi-skripsi terdahulu
yang mempunyai judul hampir sama dengan yang akan penulis teliti. Maksud
pengkajian ini adalah agar dapat diketahui bahwa apa yang penulis teliti sekarang
tidak sama dengan penelitian dari skripsi-skripsi terdahulu.
Adapun setelah penulis mengadakan suatu kajian kepustakaan, penulis
akhirnya menemukan beberapa tulisan yang menulis judul hampir sama dengan yang
akan penulis teliti, judul-judul tersebut antara lain adalah karya milik pertama;
Muzaini Romli. Manajemen Sumber Daya Manusia pada Pondok Pesantren Jamiyah
Islamiyah Fakultas Syari'ah dan Hukum Jurusan Muamalat tahun 1429 H/2008 lebih
memaparkan tentang Manajemen SDM dalam sebuah pesantren bukan pemberdayaan
melalui kewirausahaan.
Skripsi yang kedua; adalah milik Ahmad Suyuti, Pengembangan Model
Pendidikan Berbasis Kompetensi di Pondok Pesantren Universitas Airlangga tahun
2005 yang lebih memaparkan mengenai pemberdayaan SDM di bidang pendidikan
formal bukan di bidang kewirausahaan dan berbagai bidang usaha pesantren. Juga
dengan skripsi yang ketiga; karya Siti Irma Fatimah, Analisa Strategi Koperasi
Pondok Pesantren dalam Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (Studi Kasus pada
Koperasi Pondok Pesantren Al-Ikhlas Subang Jawa Barat) Fakultas Syari'ah dan
Hukum Jurusan Muamalat tahun 1427 H/2006 M ini juga hanya memaparkan
koperasi saja tanpa menyebutkan jenis usaha lainnya.
Berbeda dengan ketiga skripsi dan tulisan diatas bahwa penelitian yang akan
penulis lakukan pada pondok pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman adalah
memberikan gambaran mengenai seperti apa pola dan strategi pemberdayaan
kewirausahaan dalam menumbuhkan kemandirian santri dan pesantren.
Demikianlah perbedaan pokok pembahasan atau materi yang akan penulis
teliti dengan skripsi-skripsi terdahulu.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, penyusun membagi kepada
BAB I. Pendahuluan. Bagian ini menjelaskan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II. Tinjauan Teori Tentang Pemberdayaan Kewirausahaan.
Bagian ini akan membahas tentang landasan teori, yaitu terdiri dari, teori
Pemberdayaan, Tahapan-tahapan Pemberdayaan dan kompleks pemberdayaan yang
harus diperjuangkan. Teori Kewirausahaan, jiwa kewirausahaan dan kewirausahaan
didalam Islam.
BAB III. Gambaran Umum Pondok Pesantren Al-Ashriyyah. Pada bab ini menguraikan tentang sejarah berdirinya Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Parung
Bogor, perkembangan, visi, misi dan tujuan Pondok Pesantren, dan struktur
organisasi kepengurusan Pondok Pesantren. Semua poin-poin tersebut dikemukakan
secara umum dan lebih difokuskan pada divisi departemen usaha Pondok Pesantren
Al-Ashriyyah Nurul Iman.
BAB IV. Pemberdayaan Kewirausahaan di Pondok Pesantren. Analisa Pemberdayaan kewirausahaan dalam menumbuhkan dan meningkatkan kemandirian
di bawah koordinasi Pondok Pesantren Al-Ashriyyah. Pembahasan ini menguraikan
mengenai tahapan pemberdayaan, yaitu identifikasi kebutuhan, penetapan sasaran,
merancang program, pelaksanaan program dan evaluasi, serta faktor pendukung dan
penghambat serta unsur-unsur pondok pesatren yang di berdayakan di Pondok
Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung-Bogor.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pemberdayaan Kewirausahaan 1. Pengertian Pemberdayaan
Pada dasarnya, agama Islam adalah agama pemberdayaan. Dalam
pandangan Islam, pemberdayaan harus merupakan gerakan tanpa henti.17 Secara konseptual, pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan
atau keberdayaan).18 Pemberdayaan secara etimologi berasal dari kata daya yang berarti upaya, usaha, akal, kemampuan.19 Jadi, pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya (masyarakat) dengan mendorong, memotivasi dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk
mengembangkannya.20
Pemberdayaan ini menyangkut beberapa segi yaitu Pertama,
penyadaran tentang peningkatan kemampuan untuk mengidentifikasi persoalan
dan permasalahan yang ditimbulkan serta kesulitan hidup atau penderitaan.
Kedua, meningkatkan sumber daya yang telah ditemukan, pemberdayaan
memerlukan upaya advokasi kebijakan ekonomi politik yang pada pokoknya
bertujuan untuk membuka akses golongan bawah, lemah, dan tertindas tersebut
17 Nanih Machendrawati, Agus Ahmad Syafe’í, Pengembangan Masyarakat Islam: dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), Cet. 1, h.41.
18 Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat (Bandung: Reflika Aditama, 2005), Cet. 1, h. 57.
19 Badadu-Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1997), h. 317.
terhadap sumber daya yang dikuasai oleh golongan kuat atau terkungkung oleh
peraturan peraturan pemerintah dan pranata sosial.21
Menurut Suharto, pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang,
khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau
kemampuan, antara lain dalam memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka
memiliki kebebasan (freedom). Bukan saja berarti bebas mengemukakan
pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari
kesakitan. Juga kemamppuan dalam menjangkau sumber-sumber produktif yang
memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh
barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan, serta kemampuan dalam
berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang
mempengaruhi kehidupan mereka.22
Payne, mengemukakan bahwa suatu pemberdayaan (empowerment)
pada intinya ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya untuk mengambil
keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan
diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam
melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa
percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki, antara lain melalui transfer
daya dari lingkungannya.
Shadow, melihat bahwa berbagai pengertian yang ada mengenai
pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok, atau
komunitas berusaha membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka.
21 M. Dawam Rahardjo, Islam Dan Transformasi Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), Cet. 1, h. 355.
Prinsip ini pada intinya mendorong klien untuk menentukan sendiri apa yang
harus ia lakukan dalam kaitan dengan upaya mengatasi permasalahan yang ia
hadapi. Sehingga klien mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh dalam
membentuk hari depannya.
Jadi berdasarkan pengertian di atas, pemberdayaan adalah penyadaran
tentang kelemahan atau potensi yang dimiliki sehingga menimbulkan dan
meningkatkan kepercayaan diri sendiri untuk keluar dari persoalan dan untuk
memecahkan permasalahan serta mengembangkan diri.
Tahapan-tahapan Pemberdayaan
Adapun upaya untuk pemberdayaan masyarakat terdiri dari tiga tahapan
yaitu:
a. Menciptakan suasana iklim yang memungkinkan potensi masyarakat itu
berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan
masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan.
b. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat, dalam rangka
ini diperlukan langkah-langkah lebih positif dan nyata, serta pembukaan akses
kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi semakin
berdaya dalam memanfaatkan peluang.23
Menurut Elly Irawan sebagaimana dikutip Lili Bariadi dan Muhammad
Zen, pola-pola pemberdayaan ekonomi masyarakat mempunyai ciri-ciri atau
unsur-unsur pokok sebagai berikut:
a. Mempunyai tujuan yang hendak dicapai
23
b. Mempunyai wadah yang terorganisir
c. Aktivitas yang dilakukan terencana, berlanjut, serta harus sesuai dengan
kebutuhan dan sumber daya setempat.
d. Ada tindakan bersama dan keterpaduan dari berbagai aspek yang terkait
e. Ada perubahan sikap pada masyarakat sasaran selama tahap-tahap
pemberdayaan.24
Menurut Isbandi Rukminto Adi, upaya untuk memberdayakan
masyarakat dapat dilakukan dengan cara, yaitu:
a. Menumbuhkan keinginan masyarakat untuk berwiraswasta, bergelut dalam
aspek ekonomi, bertindak dengan merancang munculnya diskusi tentang apa
yang menjadi masalah dalam masyarakat.
b. Memberikan informasi tentang pengalaman kelompok lain yang telah sukses
dan sejahtera.
c. Membantu masyarakat untuk membuat analisis situasi usaha yang prospektif
secara sistematik tentang hakekat dan penyebab dari masalah berbisnis
d. Menghubungkan masyarakat dengan sumber yang dapat dimanfaatkan.25 Sedangkan menurut Syamsudin RS, ada tiga kompleks pemberdayaan
yang mendesak untuk diperjuangkan, yaitu:
1. Pemberdayaan pada mata ruhaniyah, dalam hal ini terjadi degradasi moral
atau pergeseran nilai masyarakat Islam yang sangat mengguncang kesadaran
24 Lili Bariadi, Muhamad Zen, Zakat dan Wirausaha (Jakarta: CV. Pustaka Amri, 2005), h.47
25
Islam. Oleh karena itu, pemberdayaan jiwa dan akhlak harus lebih
ditingkatkan.
2. Pemberdayaan intelektual, yang pada saat ini dapat disaksikan bahwa umat
Islam Indonesia telah jauh tertinggal dalam kemajuan tekhnologi, untuk itu
diperlukan berbagai upaya pemberdayaan intelektual sebagai perjuangan besar
(jihad).
3. Pemberdayaan ekonomi, masalah kemiskinan menjadi kian identik dengan
masyarakat Islam Indonesia. Pemecahannya adalah tanggung jawab
masyarakat Islam sendiri. Seorang putra Islam dalam generasi Qurani awal
terbaik, Sayyidina Ali mengatakan “sekiranya kefakiran itu berwujud
manusia, sungguh aku akan membunuhnya. Untuk dapat keluar dari himpitan
ekonomi seperti sekarang ini, disamping penguasaan terhadap life skill atau
keahlian hidup, keterampilan berwirausaha pun dibutuhkan juga dalam
pengembangan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan. 26
Tujuan pemberdayaan adalah mendirikan manusia atau membangun
kemampuan untuk memajukan diri ke arah yang lebih baik secara
berkesinambungan. Oleh karenanya, pemberdayaan atau pengembangan
masyarakat adalah upaya untuk memperluas pilihan bagi masyarakat. Ini berarti
masyarakat diberdayakan untuk melihat dan memilih sesuatu yang bermanfaat
bagi dirinya. Untuk itu setiap pemberdayaan diarahkan untuk peningkatan
martabat manusia sehingga menjadikan masyarakat maju dalam berbagai aspek.
2. Pengertian Kewirausahaan
Wirausaha atau wiraswasta diartikan sebagai wira yang artinya
pahlawan, berbudi luhur; swa artinya sendiri sta artinya berdiri. Oleh karena itu
wiraswasta disimpulkan sebagai manusia teladan dalam berdiri sendiri
(berdikari).27 Dalam buku The Portable MBA in Entrepreneurship, kewirausahaan didefinisikan sebagai: Entrepreneur is the person who perceives an opportunity
and creates an organization to pursue it.28 Pada definisi ini ditekankan bahwa seorang wirausaha adalah orang yang melihat adanya peluang, kemudian
menciptakan sebuah organisasi untuk memanfaatkan peluang tersebut.
Pengertian wirausaha di sini menekankan pada setiap orang yang
memulai sesuatu bisnis yang baru. Sedangkan proses kewirausahaan meliputi
semua kegiatan fungsi dan tindakan untuk mengejar dan memanfaatkan peluang
dengan cara menciptakan suatu organisasi.
Dalam tradisi peristilahan di Indonesia, istilah wirausaha menurut
Buchari Alma, pada dasarnya sama dengan istilah wiraswasta. Walaupun
rumusannya berbeda-beda tetapi isi dan karakteristiknya sama, yaitu memiliki
sifat perwira atau mulia dan mampu berdiri di atas kekuatan sendiri. Jadi, ia
memiliki kemampuan untuk berdikari, otonom, berdaulat. Atau menurut Ki Hajar
Dewantoro, merdeka lahir batin.
27 Sumarsono, Kontribusi Sikap Mental Berwiraswasta untuk Berprestasi, (Jakarta: C.V Era Swasta, 1984), h.1.
Raymond W. Kao menyebut kewirausahaan sebagai suatu proses,
yakni proses penciptaan sesuatu yang baru (kreasi baru) dan membuat sesuatu
yang berbeda dari yang sudah ada (inovasi).29
Sedangkan menurut Peter F. Drucker sebagaimana dikutip oleh
Kasmir, mengatakan bahwa kewirausahaan merupakan kemampuan dalam
menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Artinya bahwa seorang
wirausahawan adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan
sesuatu yang baru berbeda dengan yang lain atau mampu menciptakan sesuatu
yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya.30
Jadi, seorang wirausaha adalah seorang usahawan yang di samping
mampu berusaha dalam bidang ekonomi umumnya dan niaga khususnya secara
tepat guna (tepat dan berguna, efektif, dan efisien), juga berwatak merdeka lahir
batin serta berbudi luhur.31
Selanjutnya, Alma juga memberikan penekanan pengertian tersebut
berdasarkan ciri-ciri wirausahawan versi Suparman Sumahamijaya, bahwa :
Seorang wirausaha adalah seseorang yang memiliki pribadi hebat, produktif, kreatif, melaksanakan kegiatan perencanaan, bermula dari ide sendiri, kemudian mengembangkan kegiatannya dengan menggunakan tenaga orang lain dan selalu berpegang kepada nilai-nilai disiplin dan kejujuran yang tinggi.32
Adapun menurut Winardi, karakteristik setiap wirausahawan paling
tidak memiliki beberapa ciri sebagai berikut:
a. Kebutuhan akan keberhasilan.
b. Berani mengambil resiko.
c. Keinginan kuat untuk berbisnis.
d. Seorang oportunis yang melihat kesempatan.33
Kewirausahaan berkembang dan diawali dengan adanya inovasi. Inovasi
ini dipicu oleh faktor pribadi, lingkungan dan sosiologi. Faktor individu yang
memicu kewirausahaan adalah pencapaian Locus of control, toleransi,
pengambilan resiko, nilai-nilai pribadi, pendidikan, pengalaman, usia, komitmen,
dan ketidakpuasan. Adapun inovasi yang berasal dari lingkungan ialah peluang,
model peran, aktifitas, pesaing, incubator, sumber daya, dan kebijakan
pemerintah. Sedangkan faktor pemicu yang berasal dari lingkungan sosial
meliputi keluarga, orang tua dan jaringan kelompok.
Seperti halnya pada saat perintisan kewirausahaan, maka pertumbuhan
kewirausahaan sangat tergantung pada kemampuan organisasi dan lingkungan.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan kewirausahaan adalah
pesaing, pemasok, pelanggan, dan lembaga-lembaga keuangan yang membantu
pendanaan. Sedangkan faktor yang berasal dari pribadi adalah komitmen, visi,
kepemimpinan, dan kemampuan manajerial. Selanjutnya faktor yang berasal dari
organisasi adalah kelompok, struktur, budaya, dan strategi.34
3. Jiwa dan Perilaku Kewirausahaan
Secara sederhana, arti wirausaha (entrepreneur) adalah orang yang
berjiwa berani mengambil resiko untuk membuka usaha dalam berbagai
33
kesempatan. Berjiwa berani mengambil resiko artinya bermental mandiri dan
berani memulai usaha tanpa takut dan rasa cemas, sekalipun dalam kondisi tidak
pasti.35 Jiwa kewirausahaan juga berarti merupakan kemampuan dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda.36 Seorang wirausaha dalam pikirannya selalu berusaha mencari, memanfaatkan, serta menciptakan peluang
usaha yang dapat memberikan keuntungan. Resiko kerugian merupakan hal biasa
karena mereka memegang prinsip bahwa faktor kerugian pasti ada. Tidak ada
istilah rugi selama seseorang melakukan usaha dengan penuh keberanian dan
penuh perhitungan. Inilah yang disebut dengan jiwa kewirausahaan.
Berkaitan dengan perilaku kewirausahaan (entrepreneur behavior),
Nanat Fatah Natsir mendefinisikannya sebagai kegiatan-kegiatan yang polanya
dicirikan oleh unsur-unsur kewirausahaan.37 Menurut McClelland sebagaimana dikutip Dra. Nanih Machendrawati dan Agus Ahmad Syafei. perilaku atau
karakteristik seorang wirausahawan adalah sebagai berikut:
Pertama, keinginan untuk berprestasi. Yang dimaksud dengan keinginan
untuk berprestasi adalah suatu keinginan atau dorongan dalam diri orang yang
memotivasi perilaku ke arah pencapaian tujuan.
Kedua, keinginan untuk bertanggung jawab. Seorang wirausahawan
menginginkan tanggung jawab pribadi bagi pencapaian tujuan. Mereka memilih
menggunakan sumber daya sendiri dengan cara bekerja sendiri untuk mencapai
tujuan dan bertanggung jawab sendiri terhadap hasil yang dicapai.
35
Kasmir, Kewirausahaan, (Jakarta: Raja Grafindo Utama, 2006), h.17 36
Peter F. Drucker, Inovasi dan Kewiraswastaan: Praktek & Dasar-Dasar,
(Jakarta:Erlangga, 1985) h.33. 37
Ketiga, preferensi kepada resiko-resiko menengah. Seorang
wirausahawan bukanlah penjudi (gambler). Mereka menetapkan tujuan-tujuan
yang membutuhkan tingkat kinerja tinggi, suatu tingkatan yang menuntut usaha
keras, tapi dipercaya mereka bisa penuhi.
Keempat, persepsi pada kemungkinan berhasil. Keyakinan kepada
kemampuan untuk mencapai keberhasilan adalah kualitas kepribadian seorang
wirausahawan. Seorang wirausahawan akan mempelajari fakta-fakta yang
dikumpulkan dan menilainya. Ketika fakta tidak sepenuhnya tersedia, mereka
berpaling pada sikap percaya diri mereka yang tinggi dan melanjutkan tugas
tersebut.
Kelima, rangsangan oleh umpan balik. Seorang wirausahawan
dirangsang untuk mencapai hasil kerja yang lebih tinggi dengan mempelajari
seberapa efektif usaha mereka.
Keenam, aktifitas enerjik. Seorang wirausaha akan menunjukan energi
yang jauh lebih tinggi dari rata-rata orang. Kesadaran ini akan melahirkan sikap
untuk terlibat secara mendalam pada pekerjaan yang mereka lakukan.
Ketujuh, orientasi masa depan. Seorang wirausahawan akan melakukan
perencanaan dan berpikir ke depan. Mereka mencari dan mengantisipasi
kemungkinan yang akan terjadi jauh di masa depan.
Kedelapan, keterampilan dalam berorganisasi. Seorang wirausahawan
menunjukan keterampilan (skill) dalam mengorganisasi kerja dan orang-orang
Kesembilan, sikap terhadap uang. Keuntungan finansial adalah nomor
dua dibanding prestasi kerja mereka. Seorang wirausahawan memandang uang
sebagai lambang konkret dari tercapainya tujuan dan sebagai pembuktian dari
kompetensi mereka. 38
Dari berbagai penjelasan diatas dapat diambil inti dari pemberdayaan
kewirausahaan, yaitu proses memampukan dan memandirikan daya dan kekuatan
(kompetensi dan kapasitas) yang ada guna membangun serta menentukan
tindakan berdasarkan keinginan mereka secara mandiri dengan mengubah pola
pikir agar menjadi berani dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan serta
memecahkan permasalahan hidup dengan kekuatan yang ada pada dirinya.
4. Islam dan Kewirausahaan
Salah satu upaya untuk memberdayakan potensi ekonomi umat serta
membangun sebuah masyarakat yang mandiri adalah melahirkan
sebanyak-banyaknya wirausahawan baru. Asumsinya sederhana, kewirausahaan pada
dasarnya adalah kemandirian, terutama kemandirian ekonomis; dan kemandirian
adalah keberdayaan.39
Semangat islam akan kemandirian banyak dijumpai dalam ayat
al-Quran maupun Hadis Nabi. Salah satunya dapat dijumpai dalam ayat:
menelantarkan anak yatim dan tidak perduli terhadap para fakir miskin.40
38
Nanih Machendrawati, Agus Ahmad Syafe’í, Pengembangan Masyarakat Islam: dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi, h.47.
39 Nanih Machendrawati, Agus Ahmad Syafe’í, Pengembangan Masyarakat Islam: dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi, h.47.
40
Mafhum mukallaf dari ayat di atas adalah “orang kaya yang tidak
menyantuni yatim dan fakir miskin ekuivalen dengan orang miskin yang tidak
berjuang terus-menerus untuk meraih kemandirian ekonomis”. Kewajiban kaum
berpunya untuk membayar zakat, anjuran untuk bersedekah, wakaf dan kewajiban
untuk memberdayakan orang-orang yang tidak berdaya secara ekonomis
merupakan petunjuk Islam paling jelas terhadap etos kewirausahaan
(entrepreneurship).41
Allah SWT menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling mulia,
paling sempurna, dan karena itulah manusia diberi tugas sebagai khalifah dimuka
bumi ini. Selain itu, dalam al-Quran dinyatakan bahwa umat Islam adalah “khaira
ummah” atau sebaik-baiknya umat di antara manusia. Khaira ummah dapat
terwujud jika umat Islam berilmu, berharta, dan sehat jasmani rohani, sehingga
dapat berguna dan memberi manfaat bagi orang lain yang masih dalam
kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Dengan berwirausaha maka makin
banyak kekayaannya, makin banyak pula orang yang menimati kekayaannya.
Makin banyak pekerjaannya, berarti makin banyak pula anggota keluarga yang
ditolongnya. Hidupnya menjadi bermanfaat bagi orang lain.42 Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
Nanih Machendrawati, Agus Ahmad Syafe’í, Pengembangan Masyarakat Islam: dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi, h.47.
42 Sudrajat Rasyid, Kewirausahaan Santri: Bimbingan Santri Mandiri,(Jakarta: PT. Citrayudha, 2006), h.32
43
“Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang lebih banyak memberi manfaat bagi manusia lainnya”
Nabi Muhammad saw. ketika mudanya juga seorang pedagang, bahkan
terkenal sebagai pedagang yang jujur dan amanah. Nabi Muhammad juga
menganjurkan umatnya agar menjadi pengusaha atau pedagang, bukan menjadi
pekerja. Dalam hal ini Rasulullah bersabda:
# $
“Pedagang yang jujur lagi terpercaya, bersama para Nabi, bersama orang-orang yang benar dan para syuhada” (HR Tirmidzi dan Hakim)
Reputasi Nabi dalam dunia bisnis dikenal sebagai orang yang sukses.
Rahasia keberhasilan Rasul adalah jujur dan adil dalam mengadakan hubungan
dagang dengan para pelanggan.45 Nabi Muhammad percaya kalau ia setia jujur dan profesional, maka orang akan mempercayainya. Inilah dasar dan etika
wirausaha yang diletakkan oleh Rasulullah kepada umatnya dan umat manusia
seantero jagat.
Dasar-dasar kewirausahaan yang demikian itulah yang menyebabkan
pengaruh Islam berkembang pesat sampai ke pelosok dunia. Maka, jika kaum
Muslimin Indonesia ingin melakukan bisnis yang maju, maka etika, moral, dan
jiwa kewirausahaan yang dicontohkan oleh Rasul tersebut dipegang dan sungguh
tepat untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan hidup di dunia ini.46
44
Ibid, h.155
45 Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Pedagang, (Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1997), h.26
Kemandirian dan kecukupan dalam bidang ekonomi memiliki makna
yang penting bagi setiap Muslim47 karena:
a. Dengan kekuatan ekonomi yang baik seorang Muslim akan dapat memelihara
imannya sendiri dan keluarganya dengan lebih baik.
b. Dengan kekuatan ekonomi yang baik, seorang Muslim akan lebih dapat
menjalankan aktivitas ibadah dan menjalankan syariat dengan tenang, khusyu,
dan merasa memiliki harga diri didalam komunitasnya.
c. Kekuatan ekonomi sangat diperlukan sangat dibutuhkan untuk menunjang
pelaksanaan berbagai ibadah dan kiprah di jalan Allah.
d. Kemampuan ekonomi diperlukan untuk pengembangan peradaban secara
keseluruhan, seperti pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
kebudayaan, dan kesenian serta memajukan masyarakat secara keseluruhan.
e. Kemampuan ekonomi sangat diperlukan untuk regenerasi umat agar umat ini
tumbuh lebih tangguh di masa depan.
f. Pada level organisasi kemasyarakatan yang lebih besar, misalnya sebuah
negara, kekuatan dan kemandirian dalam bidang ekonomi menjadi syarat
mutlak agar warga atau bangsa yang menghuni negara itu dapat menikmati
kesejahteraan hidup, menjadi terhormat di hadapan bangsa lain.
Jadi, berusaha di lapangan perekonomian untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup, mencari bekal dalam beribadah, dan membantu kegiatan
pembangunan umat adalah bagian yang tak terpisahkan dalam jalan hidup seorang
Muslim.
B. Pondok Pesantren
1. Pengertian Pondok Pesantren
Menurut Manfred Ziemek, istilah pondok pesantren dimaksudkan
sebagai suatu bentuk pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia. Kata
pondok pesantren berarti kamar, gubuk, ruang kecil, di dalam bahasa indonesia
dipakai untuk menekan kesederhanaan bangunan. Mungkin juga pondok berasal
dari bahasa Arab yaitu funduk yang artinya ruang tidur, wisma, hotel sederhana
bagi para pelajar yang dari tempat asalnya.48
Pesantren dalam kamus Besar Bahasa Indonesia berarti asrama, tempat
santri atau murid-murid belajar mengaji dan sebagainya.49
Mastuhu mendefinisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan
tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati, dan mengamalkan
ajaran Islam dengan menekan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman
prilaku sehari-hari.50
Menurut Didin Hafidhuddin, pondok pesantren adalah salah satu
lembaga di antara lembaga-lembaga iqamatuddîn lainnya yang memiliki dua
fungsi utama, yaitu fungsi kegiatan tafaqquh fi al-dîn (pengajaran, pemahaman,
dan pendalaman ajaran agama Islam), serta fungsi indzhar (menyampaikan dan
mendakwahkan ajaran kepada masyarakat).51
48
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1986), h.98. 49
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
(Jakarta,1986), h.177.
Sepanjang sejarah perjalanan umat Islam di Indonesia, ternyata kedua
fungsi utama tersebut telah dilaksanakan oleh pondok pesantren (pada umumnya).
Walaupun dengan berbagai kekurangan yang ada. Dari pondok pesantren lahir
para juru dakwah, para mualim dan ustadz, para kiayi, tokoh-tokoh masyarakat,
bahkan yang memiliki profesi sebagai pedagang, pengusaha, ataupun
bidang-bidang yang lainnya.
Hal ini tidak lain karena di dalam kegiatan pondok pesantren, terdapat
nilai-nilai yang sangat baik bagi berhasilnya suatu kegiatan pendidikan. Sehingga,
bisa dinyatakan sesungguhnya pendidikan pondok pesantren terletak pada sisi
nilai tersebut, yaitu proses pendidikan yang mengarahkan pada pembentukan
kekuatan jiwa, mental, maupun rohaniah.
Dari definisi di atas, penulis mencoba mendefinisikan pondok pesantren.
Yakni pondok pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan agama Islam, di
mana para santri dan kyai tinggal bersama dalam satu lingkungan asrama
(komplek). Para santri yang belajar di pondok pesantren tidak hanya dituntut
menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan oleh kyai atau ustadz, namun sekaligus
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Istilah pondok pesantren berasal dari dua kata, yaitu pondok dan
pesantren. Pondok adalah tempat mondok, sedangkan pesantren berasal dari kata
santri. Jadi pondok pesantren adalah tempat mencari ilmu yang anak didiknya
diasramakan.
Pondok pesantren berfungsi sebagai lembaga pendidikan, lembaga
sosial, juga berfungsi sebagai pusat penyiaran agama Islam yang mengandung
kekuatan resistensi terhadap dampak modernisasi, sebagaimana telah diperankan
pada masa lalu dalam menentang kolonialisme.
Fungsi lainnya yaitu sebagai instrumen untuk tetap melestarikan
ajaran-ajaran Islam di bumi Nusantara, karena pondok pesantren mempunyai pengaruh
yang kuat dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik,
keagamaan, dan sebagainya.52
Pesantren juga terkenal mampu memainkan peranan dalam
pembangunan. Menurut Afan Gaffar sebagaimana dikutip Syuthon Mahmud dan
Khusnurdilo, terdapat tiga jenis peranan yang dapat dimainkan oleh pesantren,
yaitu:
a. Mendukung dan memberdayakan masyarakat pada tingkat “grassroots” yang
sangat esensial dalam rangka menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.
b. Meningkatkan politik secara meluas, melalui jaringan, kerjasama, baik dalam
suatu negara maupun dengan lembaga-lembaga internasional lainnya.
c. Ikut mengambil bagian dalam menentukan arah dan agenda pembangunan.53 Jadi menurut penulis, fungsi pondok pesantren yaitu agar terciptanya
manusia yang bertakwa, mempunyai mental membangun, dan memiliki
keterampilan, serta berilmu pengetahuan sesuai dengan perkembangan zaman.
52 Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, h. 120.
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG
PONDOK PESANTREN AL-ASHRIYYAH NURUL IMAN
A. Sejarah Singkat dan Perkembangan Pondok Pesantren Al-Ashriyyah
Pondok Pesantren Al-Ashriyah Nurul Iman didirikan setelah melihat
dampak kirisis moneter tahun 1998. Pada awal terjadinya krisis moneter, banyak
sekali kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Terjadinya kasus
Semanggi pada tanggal 12 Mei 1998 menyebabkan jatuh dan terpuruknya
perekonomian bangsa Indonesia. Di saat itu Al Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin
Syekh Abu Bakar bin Salim yang masih bertempat tinggal di kawasan perumahan
Bintaro Jaya, merasa prihatin dan sedih dengan hal tersebut. Krisis moneter itu
membuat semakin banyak para remaja yang putus sekolah serta tidak mampu
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi serta terjadinya krisis moral di mana-mana.
Hal itu menjadikan beliau bersikeras mendirikan suatu lembaga pendidikan gratis
demi meringankan beban bagi mereka yang tidak mampu, umumnya bangsa
Indonesia. Sehingga dengan tekad dan kemauan beliau yang mulia tersebut, beliau
rela meninggalkan keglamouran kota metropolitan dan mengambil keputusan untuk
menetap di desa. Beliau akhirnya pindah ke Desa Waru Jaya, Kecamatan Parung,
Jawa Barat Desa yang penduduknya di bawah garis kemiskinan di mana mayoritas
penghasilan mereka hanya mengandalkan penjualan daun melinjo serta ikan air tawar.
Kemudian, mulailah beliau membangun sebuah pondok pesantren dengan
Pejabat Tinggi Negara Republik Indonesia serta Duta Besar Negara-negara Arab,
Brunei Darussalam, Singapura, dan Malaysia, maka peletakkan batu pertama
pendirian Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman dilaksanakan pada tanggal 16
Juni 1998 di atas lahan 17 (tujuh belas) hektar. Diawali dengan peresmian peletakkan
batu pertama tersebut, maka dalam operasionalnya, Pondok Pesantren Al-Ashriyyah
Nurul Iman mendapatkan rekomendasi dari Kepala Desa Waru Jaya dan Camat
Kecamatan Parung Kabupaten Bogor tertanggal 10 Maret 1999, serta telah
didaftarkan pada kantor Departemen Agama Kabupaten Bogor sejak tanggal 12 Maret
1999 dengan nomor: MI-10/1/PP/007/825/1999 dengan akte pendirian tanggal 25
Maret 1999 No. 7 di hadapan Notaris Lasmiati Sadikin, SH.
Pada mulanya para santri menetap di asrama belakang rumah beliau,
namun karena makin banyaknya santri yang berminat maka dibangunkan sebuah
kobong (bangunan dari bambu) yang berukuran 4 X 5 meter di areal tanah yang
awalnya sebuah hutan semak belukar dan rumput ilalang. Hari ke hari semakin
banyak santri yang berminat hingga kobong tersebut tidak lagi mencukupi untuk
ditempati. Mulailah beliau membangun gedung asrama di samping kobong tersebut,
mulai dari pembangunan gedung H. Isya dengan luas 15x12 M2 pada tahun 2000.
Asrama memberikan pandangan baru terhadap tempat tinggal para santri yang
mayoritas sangat sederhana. Adanya bangunan baru tersebut menambahan semangat
belajar mereka. Namun, perkembangan tak putus begitu saja, dari tahun ke tahun
prioritas perkembangan jumlah para santri begitu drastis hingga memunculkan
Gandhi Seva Loka dengan luas 15x12 M2, lalu disusul dengan dibangunnya asrama Jadid dengan luas 15x12 M2.
Pada dasarnya, sebagai pengemban tugas para santri di tuntut untuk
memproyektifitikan keseharian mereka antara pengembangan ilmu akhirat sebagai
program utama pada bidang pendidikan pondok pesantren dan pendalaman IPTEK
sebagai pendamping proyek mereka di dunia. Atas dasar itu, maka dibangun kembali
satu tempat ibadah untuk para santri dengan luas 32.5x9.50 M2, di depan pintu gerbang Pondok. Mulai dari sinilah perkembangan demi perkembangan terlihat.
Terbukti dari munculnya asrama-asrama baru di lingkungan perkomplekan Pondok
Pesantren yang menjadi pemandangan baru di wilayah perkomplekan putra dan putri,
yaitu asrama Hanif (perkomplekan putra) dengan luas 12x6 M2, asrama H. Kosim (perkomplekan putra) dengan luas 12x6 M2, asrama Olga Fatma (perkomplekan putra) dengan luas 20x12 M2, asrama Anwariyyah (perkomplekan putra) dengan luas 56x12 M2, tiga lokal asrama (perkomplekan putri), asrama dengan tiga belas kamar (perkomplekan putri), gedung belajar tingkat dua (perkomplekan putri) dan dua
tempat ibadah (Masjid) di area perkomplekan putra dengan luas 36x36 M2 dan putri dengan luas 30x30 M2.
Dari waktu ke waktu mulailah tersebar nama Pondok Pesantren
Al-Ashriyyah Nurul Iman dengan seluruh pembiayaan pendidikan, pengobatan, makan,
dan minum serta sarana dan pra-sarana ditanggung oleh pihak yayasan (gratis), maka
para santri yang berminat belajar di Pondok Pesantren ini pun semakin banyak
daerah-daerah jauh di dataran bumi Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke, bahkan
dari luar negeri.
Nama Al-Ashriyyah Nurul Iman sendiri dinukil dari bahasa Arab,
Al-Ashriyyah bermakna modern, yang tujuannya menjadi pusat pembinaan pendidikan
agama dan pengetahuan umum secara terpadu dan modern. Nurul Iman berawal dari
kosa kata bahasa Arab, Nûr yang bermakna cahaya, dan Al-Imân bermakna
keimanan. Dengan nama tersebut, Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman
diharapkan mampu menciptakan ulama-ulama yang memiliki ilmu pengetahuan
agama dan ilmu pengetahuan umum yang terpadu dan modern dengan diselimuti
cahaya keimanan yang tinggi. Kini walaupun semakin bertambahnya jumlah santri,
tetapi Yayasan Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman tetap senantiasa menjadi
lembaga pendidikan yang seluruh biaya pendidikannya, makan dan minumnya,
pengobatannya serta sarana dan pra-sarana lainnya ditanggung oleh Yayasan. Dengan
kata lain gratis untuk seluruh lapisan masyarakat, terutama bagi mereka dari golongan
yang tidak mampu, fakir, miskin, anak yatim serta anak-anak terlantar.
B. ProgramPengembangan
Seperti layaknya lembaga pendidikan lainnya, Pesantren ini juga memiliki
program pengembangan untuk masa datang. Baik dalam bidang pendidikan maupun
dalam pengembangan bangunan di lingkungan Pondok Pesantren. Untuk pendidikan,
pesantren ini memiliki program untuk mewujudkan SDM yang berkualitas tinggi
dalam keimanan dan ketakwaan, menguasai IPTEK yang menjadi tumpangan hidup