• Tidak ada hasil yang ditemukan

DPRD dalam otonomi daerah studi analisis terhadap peranan DPRD kota Bekasi dalam penyusunan dan pengawasan peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan Publik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DPRD dalam otonomi daerah studi analisis terhadap peranan DPRD kota Bekasi dalam penyusunan dan pengawasan peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan Publik"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

SRI SAHLAWATI

105033201155

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Skripsi berjudul DPRD DALAM OTONOMI DAERAH STUDI ANALISIS TERHADAP PERANAN DPRD KOTA BEKASI DALAM PENYUSUNAN DAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana sosial (S.Sos) pada program Ilmu Politik.

Jakarta, 18 Juni 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Sekretaris

Dr. Hendro Prasetyo, MA M. Zaki Mubarak, M.Si

NIP: 196407191990031001 NIP:197309272005011008

Penguji I Penguji II

Suryani, M.Si Drs. Armein Daulay, M.Si

NIP: 1504411224 NIP: 130892961

Pembimbing

Drs. Agus Nugraha,MA

(3)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 4 Mei 2010

(4)

PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

SRI SAHLAWATI

105033201155

Di Bawah Bimbingan

Drs. Agus Nugraha, MA

NIP: 196808012000031001

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(5)

yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir akademis pada program studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat teriring salam selalu tercurah kepada baginda Rasulullah SAW yang telah memberikan cahaya kebenaran dan petunjuk kepada umat manusia dengan akhlak dan budi pekertinya menuju peradaban yang lebih baik, serta para keluarga dan sahabatnya.

Akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul DPRD Dalam Otonomi Daerah Studi Analisis Terhadap Peranan DPRD Kota Bekasi Dalam Penyusunan dan Pengawasan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Hal ini tidak terlepas dari bantuan rekan-rekan yang telah membantu selesainya skripsi ini. Sudah seharusnya penulis memberikan ucapan terima kasih kepada yang terkasih dan tercinta. Tiada ungkapan yang pantas untuk memberikan terima kasih kepada orang tua tercinta yaitu Abi (Drs. H. Muchtar Az. SH) setiap penulis melihatnya selalu dipenuhi rasa semangat dan Umi (Hj. Siti Janah) dengan cinta dan kasih sayangnya yang tak akan terhapus oleh zaman, maafkan atas segala air mata yang jatuh karna menghawatirkan penulis, tanpa amarahmu skripsi ini tidak akan selesai. Semoga rahmat Allah selalu menyertaimu berdua. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada kakak-kakaku, Sri Mulyati SH, Sri Ratna sari SPd. Dan adikku Syifa Fauziah,

(6)

Selanjutnya penulis meminta maaf dan mengucapkan terima kasih, permintaan maaf penulis sampaikan karena skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan ucapan terima kasih penulis kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung skripsi ini, antara lain:

1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Bapak Dr. Hendro Prasetyo, MA wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Bapak Drs. Idris Thaha, M.Si, Dra Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag ketua jurusan Ilmu Politik, Bapak Zaki Mubarok M.Si sekretaris jurusan Ilmu Politik.

2. Bapak Drs. Agus Nugraha, MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan sarannya, sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. Penulis hanturkan rasa hormat dan terima kasih serta doa penulis agar Allah SWT kiranya menganugrahi kasih dan sayang-Nya kepada Bapak dan keluarga.

3. Ibu Suryani, terima kasih atas penjelasannya dan ilmunya, arahan dan masukan Ibu dalam Skripsi ini sangat bermanfaat untuk penulis. Terima kasih atas waktu yang Ibu luangkan untuk penulis, semoga Ibu selalu sehat dan senyum Ibu selalu ada untuk mencerahkan hari-hari di Fisip.

4. Bapak Dr. Sirojudin Aly, MA yang telah memberikan bimbingannya dan ilmunya dalam bahasa Arab, dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd yang telah

(7)

persatu, karena telah memberikan ilmu yang bermanfaat, pelajaran dan pengatahuan yang didapat penulis sangat membuka wawasan penulis.

5. Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Usuluddin dan Filsafat, Perpustakaan DPRD Kota Bekasi, dan Perpustakaan Kota Bekasi, terima kasih atas pinjaman buku-buku yang bermanfaat dan berguna dalam penyelesaian Skripsi ini.

6. Bapak Ir. Muhammad Affandi anggota DPRD kota Bekasi 2004-2009 sebagai ketua pansus perda pelayanan publik yang sudah meluangkan waktunya untuk wawancara, terima kasih penulis sampaikan karena hasil kata-kata yang bapak ucapkan sangat berguna untuk penulis, Bapak Jaya Ekosetiawan SH selaku Lurah Jatiluhur, terima kasih atas waktunya untuk diwawancara dan memberikan informasi mengenai pelaksanaan pelayanan publik di kelurahan. Terima kasih pula penulis sampaikan Bapak Azhari ST Kasubag Risalah dan Persidangan yang telah banyak membantu penulis di DPRD dalam memberikan data, buku serta informasinya, penulis tidak akan melupakan jasa Bapak, Ibu Rosndajani Retno Dewanti, SH.MH yang membantu untuk memberikan data-data Kota Bekasi, Bapak Panji ST dari Dinas Perijinan yang memberikan Datanya, apa yang bapak berikan sangat bermanfaat bagi penulis.

7. Special thanks for Dhika Hafizh Pratama, terima kasih atas waktu yang selalu ada untuk penulis dan selalu menemaniku selama ini, tidak bosan untuk mendengarkan curhatan hatiku, terima kasih atas kritikan tajamnya yang seperti

(8)

8. Sahabat-sahabatku di Wida Salon Kost Popy, Rina, Icha, Ita, T’nu dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih ats kebersamaannya selama ini bagi penulis, never lost in my memory, teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan nilai-nilai edukasi dan fighting spirit LS-ADI Ed, Bagus, Didi, Bunga, K’wahyu, K’fiqran, K’dhani, K’Yudis dan semuanya kebersamaan kita adalah pelajaran hidup yang sangat berarti. HMI Ciputat Khususnya Kom. Usuluddin dan Filsafat, K’Adi, K’Fajar, K’suber dan teman-teman seperjuangan di HMI, pelajaran berorganisasi dikampus Very Amazing.

9. Teman-teman Pemikiran Politik Islam, sekarang berubah jadi Ilmu Politik, Ns-3 Khususnya, Nita, Syifa, Selvi, sahabat berbeda karakter tapi kita memberikan keunikan dalam kebersamaan kita. Teman seperjuangan Rifki Pratama “Tejo”, dan Arif Ruslan, Rico, Komala. Juga teman-teman Lutfillah, Rifa, Anwar (tukang komplen), Ivan, Hendi, Awank, dan masih banyak lagi yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, semoga kita takkan berubah, kalian semua adalah teman-teman yang memberi nuansa hidup selama dikelas PPI.

10.Teman-teman di Tafsir Hadist Fitriyani S.Th, Vina S.Th, Ulfa S.Th, Kamel S.Pd.I. teman ngebayolku, Muhammad Taufiqurahman Abdul Rifai “Monyet rabies” orang yang pertama kali memberi petuah-petuah sosialiscm.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang terkait, lembaga maupun perorangan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang secara langsung atu tidak langsung telah memberikan semangat dan membantu penulis dalam

(9)

v

Penulis sangat menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan yang perlu disempurnakan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun bagi para pembaca.

Bekasi, Juni 2010

Penulis

(10)

DAFTAR ISI...vi

DAFTAR TABLE...ix

BAB I. PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...12

C. Tujuan Penelitian...12

D. Kerangka Teori...13

E. Metode Penelitian...13

F. Sistematika Penulisan...14

BAB II. DPRD DAN OTONOMI DAERAH ...16

A. Pengertian Otonomi Daerah...16

B. DPRD Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah...22

B.1. Undang-undang No.5 Tahun 1974...25

B.2. Undang-undang No. 22 Tahun 1999...26

B.3. Undang-undang No. 32 Tahun 2004...28

(11)

A. Sejarah Kota Bekasi...33

B. Penjelasan Singkat Pemekaran Kota Bekasi Dari Kabupaten Bekasi...37

C. Penjelasan Umum DPRD Kota Bekasi...42

C.1. DPRD Kota Madya Bekasi Tahun 1999-1999...44

C.2. DPRD Kota Bekasi Tahun 1999-2004...45

C.3. DPRD Kota Bekasi Tahun 2004-2009...46

BAB IV PERATURAN DAERAH N0.13 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK...55

A. Faktor Yang Melatar Belakangi Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik...55

B. Peranan DPRD Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik...60

C. Sosialisasi Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik...69

D. Peranan DPRD Dalam Pengawasan Peraturan DaerahTentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik...71

(12)

viii

Publik...74

D.2. Pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik...76

BAB V. PENUTUP...81

A. Kesimpulan...81

B. Saran...82

DAFTAR PUSTAKA...83

(13)

2. Gambar 2 Bagan Alur Pengurusan Pelayanan...76

3. Tabel 3 Contoh Pelaksanaan...76

(14)

BAB I

PANDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998 telah mengubah sistem kehidupan berbangsa, bernegara serta berpemerintahan. Perubahan sistem in tercermin pada pergantian UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan daerah menjadi UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah membawa perubahan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Perubahan ini tampak lebih berorientasi pada penyelenggaraan pemerintahan yang partisipatif dan demokrasi dari pada efisiensi administrasi. Meski UU tersebut telah disempurnakan menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, semangat partisipasi masyarakat tetap dipertahankan dengan menekankan perlunya efisiensi dalam penyelenggaraannya. Kini daerah memiliki jumlah dan bobot yang lebih besar dari pada sebelumnya secara politis, dan daerah memiliki kemandirian yang lebih besar dari pada sebelumnya.1

Lengsernya Soeharto dengan pemerintahan yang sentralis membawa angin segar bagi perbaikan hubungan daerah dan pusat, karena tuntutan akan adanya otonomi daerah dan perbaikan terhadap sistem pemerintahan daerah di hadirkan dalam UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks bahasan sistem penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan secara campur aduk. Kedua istilah

1

M.R.Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah (Malang,Jawa Timur:

(15)

tersebut secara akademik bisa dibedakan, namun secara praktis dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dipisahkan. Bahkan menurut banyak kalangan, otonomi daerah adalah desentralisasi itu sendiri. Desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah.2

Otonomi daerah diartikan sebagai manifestasi desentralisasi. Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri” sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai ‘berdaya”. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dari luar.3

Otonomi daerah diberikan melalui desentralisasi politik dan desentralisasi administratif4, desentralisasi politik dimuat dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memperkuat posisi DPRD, yang kemudian di revisi dengan adanya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang salah satunya di sebutkan mengenai pemilihan kepala daerah dan DPRD secara demokratis melalui pemilu langsung. Sementara itu desentralisasi administratif yaitu pemberian wewenang kepada pemerintah lokal dalam mengurus anggaran daerah dan sumber-sumber daerah. Hal ini semakin mendekatkan pelayanan

2

Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak

Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), Edisi Revisi, 2003, h. 149

3

Ibid, h. 150

4

(16)

pemerintahan kepada rakyat didaerah dalam proses administrasi, otonomi daerah dalam pihak ini harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijkaan ekonomi nasional di daerah.

(17)

kesetaraan politik diantara berbagai kompenan masyarakat akan terwujud. Karena masyarakat di berbagai lapisan daerah mempunyai kesempatan untuk terlibat salam politik, melalui pemilihan kepala desa, bupati,walikota, dan bahkan gubernur. Dan masyarakat terlibat dalam mempengaruhi pemerintahannya untuk membuat kebijakan terutama yang menyangkut kepentingan mereka.5

Sejalan dengan perubahan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diganti oleh UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, ada sejumlah perubahan yang menyangkut konsep kelembagaan di pemerintahan daerah. Menurut UU No.32 Tahun 2004, pemerintah daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)6 menurut asas otonomi , dan tugas perbantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh UUD 1945. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati/Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan, sedangkan DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.7

Dengan adanya otonomi daerah yang luas diera reformasi ini memberi ruang DPRD sejajar dengan Kepala Daerah, dahulu lembaga perwakilan rakyat (legislatif) berada dibawah dominasi eksekutif dipusat maupun daerah, hal ini karena Presiden Soeharto membangun hegemoni yang luar biasa terhadap lembaga legislatif. Hal ini

5

Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak

Asasi Manusia dan MasyarakatMadani , h. 153

6

Selanjutnya akan menggunakan kata DPRD

7

Baban Sobandi, dkk., Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah

(18)

dapat dilihat dalam strategi memperkokoh dominasinya, mengontrol dan mengendalikan secara total daerah-daerah.

Salah satu contoh dari desain hegemoni rezim soeharto terhadap lembaga perwakilan rakyat daerah, misalnya, ketentuan pasal 15 dan 16 UU No.5 tahun 1974 mengenai pengangkatan kepala daerah. Keputusan akhir pemilihan Gubernur dari DPRD diserahkan kepada Presiden, melalui Mentri Dalam Negeri. Ini pun berlaku dalam pengangkatan Bupati/Walikota. Hegemoni ini membuat DPRD yang begitu kuat dalam proses pemilihan kepala daerah menyebabkan DPRD mandul dalam melaksanakan perannya sebagai wakil rakyat untuk menentukan pemimpin daerah yang dikehendaki rakyat.8

Pasca lengsernya Soeharto, terjadi perubahan besar menyangkut hubungan pusat dengan daerah. Semangat tersebut diakomodasi UU NO. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang mulai mengembangkan istilah demokrasi, partisipasi masyarakat, serta pengelolaan kekuasaan transparan. Pasal 18 Ayat 1, UU No.22 Tahun 1999 memberi kewenangan yang sangat penting bagi DPRD antara lain, memilih kepala Pemerintahan Daerah (Gubernur/Wakil, Bupati/Wakil, dan Walikota/Wakil), serta mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, Bupati/wakil Bupati dan walikota/wakil walikota bertanggung jawab kepada DPRD.

Seiring berkembangnya demokratisasi di indonesia UU No.22 tahun 1999 di ubah menjadi UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu

8

Sadu Wasistiono, dan Ondo Riyani, ed., Etika Hubungan Legislatif Eksekutif (Bandung:

(19)

alasan di rubahnya karena UU sebelumnya DPRD mempunyai otoritas terlalu besar terhadap Kepala Pemerintahan. Dan UU No.32 tahun 2004 dengan tegas memisahkan antara badan legislatif dan eksekutif daerah. UU ini juga menegaskan bahwa kedudukan setiap unsur pemerintah daerah berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki. Karena baik anggota DPRD maupun Kepala Daerah dipilih langsung oleh Rakyat, lewat pemilihan umum. Namun DPRD dan kepala daerah juga memiliki kewajiban antara lain, menjalin hubungan kerjasama dengan seluruh intansi vertikal di daerah. Serta memberi laporan pertanggungjawaban kepada DPRD.

Walaupun ada pemisihan antara Kepala Daerah dan DPRD namun kedua lembaga ini bersifat sejajar dan bersifat kemitraan, keduanya mempunyai kedudukan yang sama penting karena dipilih langsung oleh rakyat sehingga mempunyai legitimasi yang sah. Namun Kepala Daerah dan DPRD mempunyai korelasi kerja satu sama lain, salah satu contohnya dalam UU No.32 Tahun 2004, pasal 24 menyatakan bahwa memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD, mengajukan rancangan perda ke DPRD, dan menetapkan perda yang telah mendapat persetujuan DPRD. Dengan ini dilihat bahwa kerja Kepala daerah tidak bisa terlepas dari peranan DPRDnya9.

Pada akhirnya segala urusan mengenai daerah menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah, tidak terkecuali bagi daerah manapun, dan DPRD sebagai Lembaga yang anggotanya dipilih oleh rakyat harus bisa membuat kebijakan yang

9

Baban Sobandi, dkk., Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah, h.

(20)

sesuai dengan kepentingan publik. Kota Bekasi yang merupakan salah satu kota di Indonesia juga harus melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan UU yang sudah disepakati.

Bekasi yang kini menjadi Kota dan terlepas dari kabupaten Bekasi mempunyai sejarah tersendiri dalam pembentukannya. Bekasi juga merupakan daerah yang diduduki oleh penjajahan Belanda dan Jepang, pasca kemerdekaan Bekasi ditata menjadi Kabupaten. Terbentuknya kabupaten Bekasi juga tidak lepas dari aspirasi masyarakat Bekasi untuk dibentuknya Kabupaten Bekasi yang awalnya Kabupaten Jatinegara.

(21)

yang mendukung berubahnya Kota Administrasi Bekasi menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi dan yang menjabat sebagai walikotamadya adalah Drs.H.Khailani AR, selama satu tahun (1997-1998).10

Selanjutnya berdasarkan hasil pemilihan terhitung mulai tanggal 23 Pebruari 1998 Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi dijabat oleh Drs. H. Nonon Sonthanie (1998-2003). Setelah pemilihan umum berlangsung terpilihlah Walikota dan Wakil Walikota Bekasi yaitu: Akhmad Zurfaih dan Moechtar Muhammad (periode 2003-2008), dan pada tahun 2008 terpilih walikota Moechtar Muhammad sebagai Walikota dan Rahmat Effendi S.Sos sebagai Wakil Walikota (periode 2008-2013), yang terpilih lewat pemilihan kepala daerah langsung oleh warga Kota Bekasi.

Kota Bekasi setelah berbentuk Kotamadya mulai membuktikan kemandiriannya dalam mengembangkan Kota Bekasi, dengan didukungnya otonomi daerah yang dapat memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Kota Bekasi menunjukan geliatnya dengan membangun sektor perekonomian yang lebih nyata. Ini bisa dilihat pada awalnya perekonomian Bekasi baru berkembang disepanjang Jl.Ir H. Juanda yang membujur sepanjang 3 km dari Alun-alun Kota hingga terminal Bekasi. Di jalan ini terdapat pusat pertokoan Bekasi yang dibangun pada tahun 1978, serta beberapa departemen store dan bioskop. Sejak tahun 1993, perekonomian mulai berkembang disepanjang Jl. Ahmad Yani dengan dibangunnya beberapa mal serta sentra niaga. Kini pusat perekonomian telah berkembang hingga Jl. KH. H. Noer Ali ( Kalimalang), Kranji,

10

(22)

dan Harapan Indah. Di daerah ini bisa dilihat dengan adanya hotel, banyaknya mal, pertokoan,bank serta restoran dan perumahan-perumahan mewah yang ada di daerah ini. Dan kini pusat perekonomian telah berkembang sampai di beberapa kecamatan bekasi salah satunya kecamatan Jati Asih, di kecamatan ini sudah dibuka akses jalan tol yang menghubungkan ke Jabodetabek sampai ke bandung, juga ada supermarket, restoran, bank, perumahan-perumahan dan sarana transportasi angkutan umum yang sudah menjangkau kebeberapa kota.

Berkembangnya sektor perekonomian di kota Bekasi, diiringi dengan pemerintahan daerah yang stabil dan kuat, pemerintah daerah Kota Bekasi sudah melaksanakan pemilihan kepala daerah pertama pada tanggal 27 januari 2008 untuk memilih wali kota secara langsung. Berbeda dengan pemilihan kepala daerah sebelumnya yang memakai cara walikota dipilih oleh anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat daerah). Pemilihan kepala daerah tersebut diikuti oleh tiga pasang calon, dan akhirnya dimenangkan oleh Mochtar Mohammad dan Rahmad Effendi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar. Sedangkan dalam pemilihan anggota DPRD secara demokratis sudah dilakukan terlebih dahulu pada tahun 2004 bersamaan dengan pemilu nasional, dan mengantarkan 54 orang wakil rakyat Kota Bekasi dari delapan partai politik: PKS(11), Golkar(9), P.Demokrat(7), PAN(6), PPP(4), PDS(1), PBB(1), periode 2004-2009, yang terpilih sebagai pimpinan DPRD ketua H.Rahmat Effendi,S.Sos,M.Si,(F-Golkar), didampingi oleh H.Dadang Asgar Noor P.Demokrat) dan H. Ahmad Saiykhu (F-PKS).11

(23)

Pemilihan Kota Bekasi sebagai tempat penelitian karena secara geografis Bekasi merupakan salah satu kota penyangga di wilayah megapolitan jabotabek selain Tangerang, Tangerang Selatan, Bogor, Depok dan Cikarang, serta menjadi tempat tinggal masyarakat yang bekerja dijakarta. Oleh karena itu ekonomi Kota Bekasi sangat berhubungan erat dengan kota-kota wilayah jabodetabek, Kota Bekasi yang berbatasan langsung dengan Kota Metropolitan DKI Jakarta, pada saat ini maupun kedepan akan semakin mempunyai posisi yang sangat strategis dalam mendukung berbagai pelayanan dan pengembangan DKI. Kota Bekasi akan semakin strategis sebagai Kota Pengimbang (Trickling Down Effect) untuk mengurangi tekanan penduduk beserta aktifitasnya dari DKI Jakarta. Dengan kondisi ini di asumsikan penduduk kota bekasi pada tahun 2015 diproyeksikan mencapai 2.250.000 jiwa, laju pertumbuhan Kota Bekasi dari tahun ketahun terus meningkat, pada tahun 2001 jumlah penduduk Kota Bekasi mencapai 1.708.337 jiwa dan bertambah pada tahun 2005 2.001.899 jiwa, dan pada tahun 2007 sampai saat ini mencapai 2.143.804 jiwa.

(24)

2007 tingkat hunian di Kota Bekasi mencapai persentase 90,6%, Jakarta 85,9%, Tangerang 73,2%, dan Bogor57,0%.12

Meningkatnya sektor perekonomian di Kota Bekasi tentu harus diikuti dengan kinerja DPRD sebagai lembaga politik yang membuat kebijakan publik bagi warganya. Dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditekankan dan diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, karena dalam Undang-undang ini mulai diterapkannya standar pelayanan minimum (SPM) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pasal 11 ayat (4) menyebutkan bahwa “penyelenggaraan urusan pemerintahan wajib harus berpedoman pada SPM yang dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah”.

Salah satu prestasi dibidang pemerintahan yang dicapai Kota Bekasi pada tahun 2005-2006 adalah juara lomba pelayanan publik tingkat nasional pada tahun 2005 dan lomba evaluasi kinerja kelurahan tingkat Provinsi selama dua tahun berturut-turut, pada tahun 2005 kelurahan Jaka Sampurna dan pada tahun 2006 kelurahan Bintara yang menang dalam pelayanan masyarakat, padahal pada saat itu Kota Bekasi belum mempunyai peraturan daerah mengenai penyelenggaraan pelayanan publik.13 Ini menjadi pekerjaan rumah bagi DPRD, untuk meningkatkan pelayanan dibidang pemerintahan maka DPRD harus membuat peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan publik yang sesuai dengan standar pelayanan minimum. Hal ini menarik untuk dikaji karena dengan adanya arahan terhadap

12

http://www.Jatisari, hunian kota bekasi. Html, diakses pada tanggal 27 Januari 2010.

13

(25)

pelayanan publik seperti yang tertuang dalam UU 32 Tahun 2004, apakah DPRD berperan dalam pembuatan peraturan daerah ini dan melihat seperti apa DPRD Kota Bekasi memberi ruang terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Kota Bekasi.

Selain alasan objektif diatas alasan subjektifnya adalah penulis lahir dan dibesarkan di Kota Bekasi. Dan dengan adanya penelitian ini penulis berharap dapat berguna bagi masyarakat Kota Bekasi, khususnya bagi aparatur pemerintahan Kota Bekasi dalam menjalankan roda pemerintahan.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Perubahan sistem otonomi daerah yang berdampak pada keterbukannya demokrasi politik di Indonesia, membawa babak baru bagi DPRD sebagai lembaga legislatif daerah. Begitu juga dengan DPRD di Kota Bekasi, dengan adanya otonomi daerah DPRD Kota Bekasi mempunyai hak untuk membuat kebijakan-kebijakan di daerah yang dibutuhkan oleh masyarakat Kota Bekasi.

Karena luasnya pembahasan mengenai peran DPRD Kota Bekasi dalam membuat peraturan daerah, agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terarah, maka penulis membatasi dan memfokuskan kajian pada DPRD Dalam Otonomi Daerah Studi Analisis Terhadap Peranan DPRD Kota Bekasi Dalam Penyususnan dan Pengawasan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik, oleh karena itu, pembahasan akan dirumuskan pada seputar:

(26)

C.Tujuan Penelitian

Merujuk pada latar belakang yang telah dijabarkan dalam penelitian skripsi ini penulis memiliki dua tujuan, umum dan khusus. Tujuan umum disini di antaranya:

1. Untuk mengetahui Peranan DPRD dalam otonomi daerah

2. Untuk mengetahui bagaimana peranan DPRD Kota Bekasi dalam penyususnan dan pengawasan peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan Publik

Sedangkan tujuan khusunya adalah untuk melengkapi tugas akhir dari perkuliahan, dan untuk meraih gelar Sarjana Sosial (S.Sos )

D.Kerangka Teori

Teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori Otonomi Daerah yang mengacu buku karangan Dr. J. Kaloh dengan judul Mencari Bentuk Otonomi Daerah, sedangkan dalam teori pemerintahan daerah mengacu pada BN Marbun, SH. DPRD Pertumbuhan dan Cara kerjanya, dan untuk teori pembentukan kebijakan publik akan mengacu pada Prof. Dr. Sadu Wasistiono, M.S. dan Drs. Yonatan Wiyoso, M.Si dengan buku Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

E. Metode Penelitian

(27)

data-data dengan cara membaca karya ilmiah, buku, media masa, jurnal-jurnal, dan menggunakan metode wawancara kepada kepada sumber yang mengerti pembahasan ini . dan sumber lainnya yang berkaitan dengan pembahasan sebagai bahan referensi penulis dalam menelaah pembahasan, penulis juga akan ke DPRD untuk mendapatkan data yang akurat mengenai pembahasan tema ini.

Jenis penelitian ini adalah menggunakan metode deskriptif-analitik, yaitu suatu pendekatan dengan mendeskripsikan atau mengurai unsur-unsur yang berkaitan dengan tema yang dimaksud serta menganalisanya. Sehingga ada data yang pasti mengenai peraturan daerah maupun refrensi lain, agar diperoleh suatu jawaban yang pasti, Skripsi ini menggunakan analisis kualitatif, karena akan mengolah data, subjektif, melakukan wawancara dan menggunakan sebuah teori. Karena analisis kuantitatif umumnya digunakan untuk membuat angket, objektif, skala dan meninbulkan teori.

Secara umum, teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku-buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan oleh CEQDA (Center For Quality devolopment and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Press 2008.

F. Sistematika Penulisan

(28)

Pada bab pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Pada bab kedua akan dibahas tentang DPRD dan Otonomi Daerah, yang berisi pengertian Otonomi Daerah, DPRD Dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah, Refleksi Peran DPRD Dalam Otonomi Daerah.

Pada bab ketiga membahas tentang Gambaran Umum Tentang Kota Bekasi yang membahas, Sejarah Kota Bekasi, Penjelasan Singkat Pemekaran Kota Bekasi Dari Kabupaten Bekasi dan Penjelasan Umum Kota Bekasi .

Pada bab keempat penulis mencoba menganalisis mengenai Faktor Yang Melatar Belakangi Peraturan Daerah Kota Bekasi Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Peranan DPRD Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Sosialisasi Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Peranan DPRD Dalam Pengawasan peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

(29)

BAB II

DPRD DAN OTONOMI DAERAH

A. Pengertian Otonomi Daerah

Perjalanan otonomi daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk diamati dan dikaji, karena semenjak para pendiri negara menyusun format negara, isu menyangkut pemerintahan lokal telah diakomodasika dalam Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya. Pemerintahan daerah dalam pengaturan Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen mengakui adanya keragaman dan hak asal-usul yang merupakan bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Meskipun negara Republik Indonesia menganut prinsip negara kesatuan dengan pusat kekuasaan berada pada Pemerintah Pusat namun karena heterogenitas yang dimiliki bangsa indonesia baik kondisi sosial, ekonomi, budaya, maupun keragaman tingkat pendidikan masyarakat, maka otonomi daerah atau desentralisasi yang merupakan distribusi kekuasaan/kewenangan dari Pemerintah pusat perlu dialirkan kepada daerah yang berotonom.1

Sejak kemerdekaan hubungan kekuasaan Pemerintah pusat dan daerah selalu berubah, hal ini bisa dilihat dalam bentuk kebijakannya. Pada masa Soekarno pemerintah pusat mulai berusaha untuk mengembangkan otonomi daerah pada tahun 1957 dengan lahirnya UU No. 1 tahun 1957, namun hal ini gagal diterapkan dan menimbulkan kekecewaan pada pemerintah daerah yang menilai sistem pemerintahan yang sentralistis dan tidak memberikan ruang yang memadai terhadap

1

J .Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan

(30)

otonomi daerah, sampai akhirnya pada masa pemerintahan Soeharto pengaturan politik lokal dibenahi dengan hegemoni yang kuat dari pusat kedaerah. Soeharto mengatur pemerintahan lokal secara detail dan diseragamkan secara nasional.2

DPRD pada masa Orde Baru seringkali dianggap hanya sebagai “simbol demokrasi”.3 Penilaian tersebut datang dari kalangan masyarakat yang melihat bahwa fungsi DPRD sebagai lembaga perwakilan tidak teraktualisasikan di dalam praktik politik. Padahal, kulaitas demokrasi sangat ditentukan oleh aktualisasi fungsi-fungsi lembaga perwakilan untuk menjamin hubungan konsultatif antara masyarakat dengan eksekutif dalam merumuskan kebijakan menyangkut kepentingan masyarakat umum.4 Hubungan konsultatif yang dimaksudkan disini adalah hubungan saling berbagi pendapat dengan cara rasional di dalam proses pembuatan keputusan politik yang menyangkut kepentingan umum.5

Selama hampir seperempat abad kebijakan otonomi daerah di Indonesia mengacu kepada UU No.5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah yang di buat pada masa Soeharto. Akhirnya setelah Soeharto lengser, bergulir era reformasi ada suatu desakan dari kalangan politik lokal agar ada perbaikan hubungan antara Pusat dan daerah. Dan timbul keinginan daerah agar kewenangan pemerintahan dapat didesentralisasikan dari pusat kedaerah. Akhirnya tanggal 7 mei

2

Pratikno, “Pengelolaan Hubungan Pusat dan Daerah” dalam Syamsuddin Haris (editor),

Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah (Jakarta:Lipi Press, 2007), h. 31-33

3

Mochammad Nurhasim, ed., Kualitas Keterwakilan Legislatif: Kasus Sumbar, Jateng,

Jatim, Jatim dan Sulsel (Jakarta: P2P LIPI, 2001), h. 1

4

Priyatmoko, Akuntalisasi Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: Kerangka Analisis

dan Beberapa Kasus, dalam Miriam Budiarjo dan Ibrahim Ambong, ed., Fungsi Legislatif Dalam

Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1993), h. 143

5

Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial Politik FISIP Universitas Indonesia Dengan

badan Perencanaan Daerah Provinsi Jakarta, dalam Penelitian Peran Dan Fungsi DPRD Di Era

(31)

2001 lahirlah UU N0.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan kembali pelaksanaan Otonomi daerah,6 Jika dimasa lalu kebijakan di tingkat pemerintahan daerah lebih tergantung pada kebijakan pemerintah pusat, atau dominasi pusat (heavy excecutive) yang menekan dominasi daerah (heavy legislatif). Maka dengan adanya UU No.22 Tahun 1999 kewenangan pemerintah daerah menjadi lebih luas dan otonom, dan tidak bergantung pada kebijakan pusat.7

Menurut E. Erikson dalam Save M. Dagun otonomi secara etimologi diambil dari kata (autonomy : yun : autos=sendiri – nomos=hukum) terdapat tiga pengertian yaitu: pertama, kemampuan /hak manusia untuk mengatur, memerintah dan mengarahkan diri sendiri sesuai kehendaknya tanpa campur tangan orang lain. Kedua, kekuasaan dan wewenang suatu lembaga atau wilayah untuk menjalankan pemerintahan sendiri. Ketiga, keadaan munculnya perasaan bebas-lepas dan kepercayaan diri yang kuat setelah seseorang berhasil melewati rintangan-rintangan masa mudanya.8

Dalam kamus politik otonomi adalah hak untuk mengatur kepentingan dan urusan internal daerah atau organisasinya menurut hukum sendiri. Otonomi dalam batas tertentu dapat dimiliki oleh wilayah-wilayah dari suatu negara untuk mengatur pemerintahannya sendiri.9

6

Syaukani, dkk., Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan ( yogyakarta: pustaka Pelajar,

2003), h. 14

7

Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial Politik Fisip Universitas Indonesia Dengan

badan Perencanaan Daerah Provinsi Jakarta, dalam Penelitian Peran Dan Fungsi DPRD Di Era

Reformasi (Jakarta: Depok, 2003), h.

8

Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian

Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997), h. 759

9

(32)

Otonomi daerah sendiri adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai perundang-undangan yang berlaku.10

Otonomi daerah sebagai bentuk desentralisasi pemerintahan ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih mendekati tujuan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih baik, masyarakat yang lebih adil dan makmur, pemberian, pelimpahan dan penyerahan tugas-tugas kepada daerah.

M. Turner dan D. Hulme dalam Dede Rosyada berpandangan bahwa yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari seseorang atau agen pemerintah pusat kepada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat kepada publik yang dilayani. Landasan yang menjadi transfer ini adalah teritorial dan fungsional.11 Pendapat lain di kemukakan oleh Rondinelli yang mendefinisikan otonomi daerah sebagai transfer tanggung jawab dalam perencanaan. Manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen-agenya kepada unit kementrian pemerintah pusat, unit yang ada dibawah level pemerintah, otoritas pemerintah pusat, unit yang ada dibawah level pemerintahan, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non pemeintah dan organisasi nirlaba.12

10

Save, M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 759

11

Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia

dan MasyarakatMadani, h. 151

12

(33)

Negara Indonesia, sebagai negara kesatuan republik, dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan asas desentralisasi, telah menjadi bahan pembicaraan jauh sebelum proklamasi 17 Agustus 1945, Murtir Jeddawi dalam bukunya mengutip tulisan Mohammad Hatta dalam tulisan ke arah Indonesia merdeka (1933) menyebutkan: “ Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan bangsa, mendapat hak menentukan nasib sendiri, asal saja peraturan masing-masing tidak berlawanan dengan dasar-dasar pemerintahan umum” dan ia menegaskan pembentukan pemerintahan daerah (pemerintahan yang berotonomi), merupakan salah satu aspek pelaksanaan paham kedaulatan rakyat.13

Visi otonomi daerah itu sendiri dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama yaitu: Politik, ekonomi, serta sosial dan budaya. Dalam bidang politik, karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Demokratisasi pemerintah juga berarti transparasi kebijakan. Membangun sistem dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif. Juga penguatan DPRD dalam keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah. DPRD juga memiliki hak pengawasan politik terhadap jalannya pemerintahan daerah. Di bidang ekonomi, otonomi daerah harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional didaerah, serta terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi didaerahnya. Dan dalam bidang sosial dan budaya,

13

Murtir Jeddawi, Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Analisis Kewenangan,

(34)

otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal.14

Dalam Otonomi daerah ada pembagian kekuasaan yang menyangkut urusan pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Dan urusan pusat meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter atau fiskal nasional dan agama.

Urusan pemerintah Provinsi (Dekonsentrasi) berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas regional (lintas kabupaten/kota), sedangkan urusan kabupaten/kota ( Desentralisasi) berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas lokal (dalam suatu kabupaten/kota).15

Pada dasarnya urusan daerah provinsi bersifat atau memiliki dampak dan manfaat lintas kabupaten dan kota dan urusan yang belum mampu dijalankan oleh kabupaten/kota. Urusan wajib yang menjadi kewenangan provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi, sementara urusan wajib bagi kabupaten/kota merupakan urusan wajib bagi kabupaten/kota merupakan skala kabupaten/kota. Urusan tersebut berupa perencanaan dan pengendalian pembangunan, perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum, penanganan bidang kesehatan, penyelenggaraan bidang pendidikan (khusus provinsi ditambahkan pila urusan alokasi sumber daya manusia potensial), penanggulangan

14

M. Ryaas Rasyid, “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam

Syamsuddin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi,

Akuntabilitas Pemerintahan Daerah , h.10-11

15

J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan

(35)

masalah sosial, pelayanan bidang ketenaga kerjaan, pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertahanan, kependudukan, dan catatan sipil, dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.16

Memberi otonomi kepada daerah sama seperti dengan mengizinkan “negara mini”. Rakyat akan membentuk organisasi pemerintahan daerahnya sendiri selaras dengan kondisi daerah setempat. Pemerintahan daerah itu masing-masing akan membuat dan menjalankan kebijakan berdasarkan kehendak masyarakat. Meskipun demikian, kebijakan daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan negara, dan harus sesuai dengan kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat.17

Otonomi daerah menjadi suatu hal yang sangat penting, bukan semata-mata karena otonomi memberikan kewenangan yang besar kepada daerah, tetapi dengan otonomi, sebuah pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran akan lebih dimungkinkan. Dan dengan otonomi, pemerintah suatu daerah lebih dapat melaksanakan program ekonomi dan politik yang mandiri sesuai kondisi daerah yang ada didepan mata pemerintah daerah.

B. DPRD Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah

Persoalan otonomi daerah telah muncul sejalan dengan lahirnya UUD 1945 yang terwadahi dalam pasal 18 UUD 1945. Beranjak dari pasal tersebut lahir pula

16

M.R.Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Cet. 1, h.141-142

17

Djohermansyah Djohan, “Fenomena Etnosentrisme Dalam Penyelenggaraan Otonomi

Daerah” dalam Syamsuddin Haris, ed., Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi,

(36)

berbagai Undang-undang tentang otonomi daerah untuk menjabarkan pasal 18 UUD 1945 tersebut. Kelahiran undang-undang tersebut adalah mengikuti gerak dan tujuan politik dari setiap elit yang menguasai setiap sistem politik. Pada dasarnya Undang-undang otonomi daerah tersebut bermaksud untuk memberikan keleluasan bagi setiap daerah untuk mengatur daerahnya sendiri. Hal ini beranjak dari pemikiran akan luas wilayah dan beragamnya budaya dan adat penduduk di kepulauan ini.18

Dari aspek dasar hukum tata negara, karena UUD RI Tahun 1945 telah mengalami amandemen, khususnya pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan sistem pemerintahan daerah. Maka Undang-undang pemerintahan daerah perlu disesuaikan. Di samping itu perubahan UU No.22 Tahun 1999, didasarkan pada pemikiran bahwa sesuai dengan amanat UUD 1945 (hasil amandemen), pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.19

Dalam penjelasan resmi UUD 1945 yang telah mengalamai perubahan yang cukup mendasar lewat amandemen UUD 1945 (1999,2000,2001,2002),20akhirnya dalam amandemen terbaru UUD 1945 merumuskan pasal 18A dan Pasal 18B yang berbunyi:

a. 1. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,

18

Isbodroini Suyanto, “Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme” dalam Syamsuddin

Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas

Pemerintahan Daerah, h.243

19

J .Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan

Lokal dan TantanganGlobal (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), h. 22

20

(37)

diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumbee daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

b. 1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Adapun hasil rumusan Amandemen pasal 18 UUD 1945 sudah lebih rinci dan tegas dibanding dengan isi pasal 18 UUD 1945 sebelum diamandemenkan tahun 2000 oleh MPR. Dari isi UUD 1945 tersebut menjadi jelas bahwa pasal 18 UUD 1945 menjadi landasan pembentukan pemerintahan daerah yang akan diatur dengan undang-undang, bahwa daerah-daerah dimaksud akan bersetatus otonom dan akan memiliki DPRD, serta pemerintah daerah.21

Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah. Tetapi dalam perkembangannya sejarah ide otonomi daerah mengalami berbagai bentuk

21

(38)

kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Hal ini terlihat dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini:

B.1. DPRD Dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1974

Hadirnya UU No.5 Tahun 1974 dilatarbelakangi oleh runtuhnya rezim Orde Lama yang di pimpin oleh Presiden Soekarno dan digantikan oleh Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden soeharto. Pergantian rezim ini terjadi setelah UU No.18 Tahun 1965 relatif baru diberlakukan. Dan pergolakan politik yang meletus melalui peristiwa G 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia (PKI) telah menunda berlakunya UU No.18 Tahun 1965 tersebut.

Menurut pasal 13 UU No.5 Tahun 1974: “Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Dengan demikian maka dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ada pembagian yang jelas dalam kedudukan yang sama tinggi antara Kepala Daerah dan DPRD, yaitu Kepala Daerah memimpin eksekutif dan DPRD bergerak dalam bidang legislatif. Akan tetapi DPRD tidak boleh mencampuri urusan eksekutif. Dan dalam Undang-undang ini tidak mengenal lembaga BPH atau DPD.22

Sifat UU No.5 Tahun 1974 sangat sentralistik hal ini bisa dilihat dari kedudukan Kepala Daerah yang ditentukan oleh pusat tanpa bergantung dari hasil pemilihan oleh DPRD. Kepala Daerah hanya bertanggung jawab kepada pusat dan tidak kepada DPRD. Ia hanya memberikan laporan kepada DPRD dalam tugas

22

BN Marbun, DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya (Jakarta: Pustaka Sinar harapan,

(39)

bidang pemerintahan daerah, Sehingga DPRD tidak mempunyai kekuasaan terhadap Kepala Daerah.23

B.2. DPRD Dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1999

Lahirnya gerakan reformasi dengan tuntutan demokratisasi, telah membawa perubahan pada segi kehidupan masyarakat dan termasuk didalamnya perubahan dalam pola hubungan pusat-daerah. Sistem pengelolaan pemerintahan daerah di Indonesia juga memasuki babak baru diera pemerintahan Habibie. Tuntutan dan wacana didaerah bahwa pemerintahan daerah perlu memiliki otonomi yang luas dalam merumuskan, mengelola, dan mengevaluasi kebijakan publik terakomodasi.24

DPR secara resmi mengesahkan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada 21 April 1999, yang mengubah secara drastis UU No.5 Tahun 1974 ketika penyelenggaraan dilakukan secara sentralistis, tawaran otonomi luas dan desentralisasi atau yang dikenal dengan otonomi daerah menjadi penyejuk hampir semua daerah pemberian otonomi ysng luas diyakini mampu mencegah terjadinya disintegrasi bangsa.25

Undang-undang ini mencoba untuk menciptakan pola hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah, undang-undang otonomi daerah ini bertujuan untuk memberdayakan daerah dan masyarakatnya serta mendorong daerah agar dapat merealisasikan aspirasinya. Penguatan masyarakat dilihat dengan

23

Isbodroini Suyanto, “Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme,” h. 252

24

L. Misbah Hidayat, Reformasi Administrasi Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga

Presiden (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 39

25

J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan

(40)

diberdayakannya DPRD. Dan Gubernur sebagai eksekutif daerah bertanggung jawab kepada DPRD sedangkan Bupati/Walikota kepada DPRD Kabupaten/DPRD Kota.

UU No.22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah sangat strategis. Karena kebijakan desentralisasi dalam undang-undang tersebut merupakan bagian dari kebijakan demokratisasi pemerintahan. Karena itu, penguatan peran DPRD, baik dalam proses legislasi maupun pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah, perlu dilakukan. Menurut UU No.22 Tahun 1999, posisi DPRD sejajar dengan pemerintahan daerah, bukan sebagai bagian dari pemerintaha daerah seperti yang berlaku sebelumnya sesuai UU No.5 Tahun 1974 yang menyatakan DPRD bukan berkedudukan sebagai badan legislatif tetapi bersama dengan kepala daerah merupakan pemerintah daerah (local government).26

Pasal 16 dari UU ini menyatakan bahwa DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan pancasila, DPRD sebagai badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah. Di samping itu kuatnya kedudukan DPRD juga dinyatakan dalam pasal 18 dari UU ini juga dinyatakan beberapa tugas dan wewenang DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan wakilnya, memilih utusan Daerah, mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan wakilnya oleh DPRD.27

B.3. DPRD Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

26

Baban Sobandi, dkk., Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah

(Bandung: Humaniora, 2006), h. 117

27

(41)

Pada tahun kelima implementasi UU No.22 Tahun 1999 tepatnya tahun 2004 pada masa kepresidenan Megawati, dengan berbagai latar belakang pertimbangan sebagai akibat dari dampak implementasi UU tersebut, muncul kehendak pemerintah untuk mengadakan revisi untuk undang-undang tersebut, yang akhirnya memunculkan undang-undang pemerintahan daerah yang baru, yaitu UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. UU 22 Tahun 1999 dinilai kurang demokratis dan dalam tataran konsep kurang membagi secara jelas tugas dan kewenangan, hubungan antar strata pemerintah, dan perimbangan keuangan. Pola hubungan DPRD dan Kepala Daerah kurang berlangsung baik karena dalam praktiknya DPRD mendominasi, sehingga memunculkan ketidakstabilan pemerintahaan daerah.28

Dalam Undang-undang ini juga diatur mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintah daerah yaitu pemerintah daerah dan DPRD. Kepala daerah dan kepala pemerintah daerah dipilih secara demokratis. Sehingga DPRD sudah tidak memiliki wewenang lagi untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan pemilihan secara demokratis dalam undang-undang ini yaitu pemilihan secara langsung oleh rakyat. Kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil kepala daerah, dan perangkat daerah. Penyelenggaraan pilkada langsung dilaksanakan oleh komisi

28

J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan

(42)

pemilihan umum daerah (KPUD), KPUD bertanggung jawab kepada DPRD setempat. Setipa usulan KPUD harus berdasarkan pengesahan DPRD.29

Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan, kedudukan setara bermakna sejajar dan tidak saling membawahi. Kemitraan bermakna bahwa antara pemerintah daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga ini membangun hubungan kerja yang sifatnya mendukung.

UU No.32 Tahun 2004 dinilai sebagai Undang-undang yang demokratis karena kepala daerah dan DPRD dipilih langsung oleh rakyat. Dan pembagian wewenang serta tugas tidak saling tumpang tindih satu sama lain, keduanya membangun korelasi kerja yang saling menguntungkan dan bertanggung jawab untuk membuat kebijakan publik.

C.Refleksi Peran DPRD Dalam Otonomi Daerah

Peran DPRD dalam otonomi daerah yang dimuat dalam undang-undang pemerintahan daerah selalu berubah arah kebijakannya, ini dikarenakan adaptasi pelaksanaan otonomi daerah terhadap pemerintah pada awal kemerdekaan belum stabil, sehingga dari awal kemerdekaan hingga sekarang kebijakan Peran DPRD dalam otonomi daerah berbeda-beda.

UU No.1 tahun 1945 merupakan undang-undang pertama tentang pemerintahan daerah, DPRD pada ketika itu disebut Komite Nasional Daerah yang

29

Muhammad Labolo, Memahami Ilmu Pemerintahan Suatu Kajian, Teori, Konsep dan

(43)

pada mulanya adalah badan yang merupakan duplikasi komite nasional pusat untuk daerah-daerah, Komite nasional daerah lalu berubah menjadi badan perwakilan rakyat daerah (BPRD) yang menjadi badan legislatif.

Maka UU No.22 Tahun 1948 sudah ada pembentukan DPRD dan DPD untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat dari calon yang diajukan DPRD dan bertindak selaku ketua DPD. Dan DPD yang menjalankan urusan pemerintahan daerah bertanggung jawab kepada DPRD baik secara kolektif maupun sendiri, sehingga posisi kepala daerah sangat bergantung kepada DPRD.

Dalam UU No. 1 Tahun 1957 ditentukan bahwa kepala daerah hanya bertanggung jawab kepada DPRD.30 Perubahan mendasar terjadi lagi dengan di Undangkannya UU No.18 Tahun 1965 dibentuk BPH untuk membantu Kepala daerah dan DPRD dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Pergantian kepemimpinan nasional dan pemerintahan akibat G-30-S PKI, mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan UU No. 18 Tahun 1965 dan di gantikan oleh UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah di bawah pimpinan Presiden Soeharto yang menggantikan Presiden Soekarno, BPH dihapuskan didalam pemerintahan daerah, tidak dilaksanakannya hak angket DPRD yang dapat mengganggu keutuhan Kepala Negara, Kepala Daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi secara hierarki kepada Presiden31.

30

Oentarto Sindung Mawardi, dkk., Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan,

h.75-81

31

S.H. Sarundajang , Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah (Jakarta: Kata Hasta,

(44)

Adanya reformasi 1998 menjadi arus balik kewenangan pusat kepada daerah, tuntutan untuk diterapkannya otonomi daerah yang tidak sentralistis di tuangkan dalam UU No.22 Tahun 1999 yang menggantikan UU No.5 tahun 1974, undang-undang ini juga menjadi babak baru bagi perjalanan otonomi daerah dan kepemimpinan Presiden Soeharto yang digantikan Oleh Habibie. UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan peran sentral kepada DPRD dalam menentukan jalannya pemerintahan daerah ditandai dengan besarnya kewenangan DPRD dalam memilih dan menetapkan Kepala daerah dan memposisikan Kepala daerah untuk bertanggung jawab kepada DPRD, apa bila tidak bertanggung jawab maka DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepala daerah yang bersangkutan.

UU No.5 Tahun 1974 dinilai gagal dalam mewujudkan hak-hak daerah dalam mengembangkan daerahnya sendiri, karena masih terkontrol oleh pusat. Salah satu perubahan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan didaerah berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 adalah dipisahkannya secara tegas antara institusi Kepala Daerah dengan DPRD. UU No. 22 tahun 1999 secara tegas menetapkan bahwa didaerah dibentuk DPRD sebagai lembaga legislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai badan eksekutif daerah yang terdiri dari Kepala Daerah beserta perangkat daerah32.

Seiring perjalanan otonomi daerah maka UU No. 22 Tahun 1999 di revisi pada masa pemerintahan Megawati dengan penerapan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini DPRD tidak mempunyai

32

S.H. Sarundajang, Arus balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah (Jakarta: Pustaka Sinar

(45)

kekuasaan penuh terhadap Kepala Daerah, karena Kepala Daerah dipilih oleh rakyat lewat pemilu sehingga pertanggungjawabannya langsung kepada rakyat. Pola hubungan DPRD dan kepala daerah sebagai mitra dan bekerja sama untuk mengembangkan daerah otonomnya sendiri.

Negara Indonesia di bawah pemerintahan orde baru kurang lebih 30 tahun menerapkan pelaksanaan sistem yang sentralistik ini kemudian melakukan gelombang protes dari tahun 1997 sampai 1998. Banyaknya tuntutan agar ada perbaikan pola hubungan kerja antara pemerintah pusat dan daerah dan memberikan peran DPRD sebagimana mestinya, akhirnya dikeluarkanlah UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang membuat posisi DPRD kuat sebagai lembaga legislatif.

Penerapan otonomi daerah, sesuai dengan ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang pemerintahan daerah telah dilaksanakan sejak tanggal 1 januari 2001.33 Pelaksanaan otonomi daerah secara demokratis bisa dilihat dalam pelaksanaan pemilihan umum secara langsung untuk memilih anggota DPRD sebagai lembaga legislatif, dan pemilihan kepala daerah yang sejak juni 2005 di sebagian negara Indonesia. Pemilihan kepala daerah disinyalir untuk memperkokoh demokrasi dan sebagai bagian program desentralisasi yang berkesinambungan, yang menjadikan kepala daerah bertanggung jawab kepada pemilihnya langsung bukan kepada DPRD, seperti yang dituangkan dalam UU No.32 Tahun 2004 yang berpotensi besar untuk memperkuat tata pemerintahan.

33

Mardiyanto, “Penerapan Otonomi Daerah Di Jawa Tengah: Masalah Desentralisasi,

Demokratisasi Dan Akuntabilitas” dalam Syamsuddin Haris ed., Desentralisasi dan Otonomi

(46)
(47)

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG KOTA BEKASI

A.Sejarah Kota Bekasi

Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri. Itulah sebutan Bekasi tempo dulu sebagai ibukota Kerajaan Tarumanagara (358-669 M). Luas kerajaan ini mencakup wilayah Bekasi, Sunda Kelapa, Depok, Cibinong, Bogor, hingga kewilayah sungai Cimanuk di Indramayu. Menurut para ahli sejarah dan filologi, letak Dayeuh Sundasembawa atau jayagiri sebagai ibukota Tarumanagara adalah diwilayah Bekasi sekarang.1

Dayeuh Sundasembawa merupakan daerah asal maharaja Tarusbawa (669-723 M) pendiri Kerajaan Sunda (disebut pula Kerajaan Pajajaran) yang seterusnya menurunkan raja-raja sunda sampai generasi ke-40 yaitu Ratu Ragamulya, raja Sunda yang terakhir.2

Kata Bekasi diduga berasal dari suku kata Chandrabhaga, salah satu suku kata dalam Prasasti Tugu. Dalam bahasa sansakerta Chandra berarti Bulan, dan Bhaga berarti Bahagia. Menurut Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, seorang pakar bahasa, kata Chandra dalam bahasa Jawa Kuno sama dengan kata Sasi. Sehingga

1

Pemerintah Kota Bekasi, Selayang Pandang Kota Bekasi 2007 (Bekasi: Badan Infokom

Kota Bekasi, 2007), h. 8

2

(48)

Chandrabhaga juga identik dengan Sasibhaga, jika dilafalkan terbalik menjadi bhagasasi, yang lambat laun menjadi Bekasi.3

Wilayah bekasi tercatat sebagai daerah yang banyak memberi informasi tentang keberadaan Tatar Sunda pada masa lampau. Diantaranya dengan ditemukannya empat prasasti yang dikenal dengan Prasasti kabantenan. Keempat prasasti ini merupakan keputusan (piteket) dari Sri Baginda Maharaja (Prabu Siliwangi, Jayadewa 1482-1521 M) yang ditulis pada lima lempeng tembaga. Sejak abad kelima masehi pada masa Kerajaan Tarumanagara, abad kedelapan Kerajaan Galuh, dan Kerajaan Pajajaran pada abad ke-14, Bekasi menjadi wilayah kekuasaan karena merupakan salah satu daerah strategis, yakni penghubung antar daerah ke Pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta).

Ketika Belanda datang merebut Jayakarta pada 31 mei 1619 dan nama jayakarta diubah menjadi Batavia. Bekasi pada zaman Hindia belanda hanya merupakan kewedanaan (district) yang termasuk dalam regenshaf (kabupaten) Meester Cornelis. Saat itu kehidupan sistem kemasyarakatan, khususnya sektor ekonomi dan pertanian didominasi dan dikuasai oleh para tuan tanah keturunan cina, sehingga dengan kondisi tersebut seolah-olah bekasi mempunyai bentuk pemerintahan ganda yaitu pemerintahan tuan tanah didalam pemerintahan colonial. Kondisi ini berlangsung hingga kependudukan Jepang.4

3

Denny Bratha Affandi, Menyusuri Bekasi Raya Jejak Reportase (Bekasi: Rinjani Kita, 2009), h. 3

4

(49)

Pada bulan maret 1942 pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada bala tentara dai Nippon. Tentara pendudukan Jepang melaksanakan japanisasi disemua sektor kehidupan. Nama Batavia diganti dengan nama Jakarta. Regenschap Meester Cornelis menjadi Ken Jatinegara yang daerahnya meliputi Gun Bekasi, Gun Cikarang, Gun kemayoran, dan Gun Mataram.5

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 struktur pemerintah kembali berubah nama, Ken menjadi Kabupaten, Gun menjadi Kewedanaan, Son menjadi Kecamatan dan Kun menjadi Desa./Kelurahan. Dalam upaya pertahanan perang gerilya menghadapi agresi Belanda, maka Saat itu Ibu Kota kabupaten Jatinegara selalu berubah-ubah, mula-mula di Tambun, lalu Cikarang, kemudian Bojong (Kedung Gede).

Pada waktu itu Bupati Kabupaten Jatinegara adalah Bapak Rubaya Suryanata Miharja. Kemudian saat kependudukan oleh tentara Belanda, Kabupaten Jatinegara dihapus kedudukannya dikembalikan seperti zaman Regenschap Meester Cornelis yaitu menjadi kewedanaan. Kewedanaan Bekasi termasuk daerah Batavia En Omelanden sedangkan batas bulak kapal ketimur termasuk wilayah Negara Federal sesuai Staatsblad Van Nederlandschindie 1948 Nomor 178 Negara Pasundan.

Ketika proklamasi dikumandangkan, rakyat dikota-kota sekitar Jakarta termasuk Bekasi, menyambut dengan suka cita. Pergerakan melawan kekejaman Jepang di Bekasi yang muncul dimana-mana sampai menimbulkan peristiwa yang

5

(50)

kemudian dikenal sebagai ‘Tragedi Kali Bekasi’ pada 19 Oktober 1945 dan peristiwa “Bekasi Lautan Api” pada 23 November 1945. 6

Dalam proses selanjutnya, ketika situasi semakin membaik, Bekasi yang merupakan kewedanaan bagian dari kabupaten Jatinegara dikritisi oleh rakyat dan tokoh masyarakat dengan membentuk Panitia Amanat Rakyat Bekasi. Pada 17 Januari 1950 mereka menggelar rapat raksasa yang juga dihadiri 40.000 rakyat Bekasi.7

Mereka menyampaikan hasrat dan pernyataan sebagai berikut:

1. Rakyat Bekasi tetap berdiri di belakang Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Rakyat Bekasi mengajukan usul kepada Pemerintah Pusat agar Kabupaten Jatinegara menjadi Kabupaten Bekasi.

Setelah tiga kali pembicaraan dari Februari sampai Juni 1950, akhirnya Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) menyetujui pembentukan Kabupaten Bekasi. Berdasarkan UU No. 14 Tahun 1950 Tanggal 15 Agustus 1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi. Pada saat itu Kabupaten Bekasi terdiri dari empat Kewedanaan, 13 Kecamatan, dan 95 Desa, mulai saat itu pula kecamatan cibarusah masuk kedalam wilayah Kabupaten Bekasi. Angka-angka tersebut secara simbolis diungkapkan dalam lambang Kabupaten Bekasi. Moto Kabupaten Bekasi adalah “Swatantra Wibawa Mukti” selanjutnya mulai Tahun

6

Pemerintah Kota Bekasi, Selayang Pandang Kota Bekasi 2007, h. 9

7

Chotim Wibowo, dkk., Setahun Duet Kepemimpinan Akhmad-Mochtar (Bekasi: Satu Visi,

(51)

1960 kantor Kabupaten Bekasi pindah dari Jatinegara ke Bekasi (Jl. H Juanda). Dengan Bupati pertama R. Suhandar Umar, SH.8

Perkembangan Kabupaten Bekasi meningkat dari tahun ketahun, sebagai Kota penyangga Ibu Kota Jakarta dan kabupaten Bekasi mulai diperhitungkan dari segi perekonomian dan politik, perkembangan dari pemerintahan pada saat itu menuntut adanya pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat, maka pada Tahun 1982 saat Bupati dijabat oleh Bapak H. Abdul Fatah, komplek perkantoran pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi yang semula berlokasi di JL. Ir. H. Juanda dipindahkan ke Jl. Jenderal Ahmad Yani No. 1 Bekasi.9

Tuntutan kehidupan masyarakat perkotaan memerlukan adanya pelayanan khusus, dan perkembangan Kecamatan Bekasi menuntut dimekarkannya Kecamatan Bekasi menjadi Kota Administratif Bekasi. Bagaimana Kecamatan Bekasi menjadi Kota Bekasi akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.

B. Penjelasan Singkat Pemekaran Kota Bekasi Dari Kabupaten Bekasi

Kota Bekasi berasal dari pemekaran Kabupaten Bekasi, yang awalnya menjadi kecamatan Kabupaten Bekasi. Kecamatan Bekasi merupakan kecamatan yang lebih berkembang dibandingkan kecamatan lain yang ada di Kabupaten Bekasi. Berkembangnya kecamatan Bekasi dikarnakan kantor Kabupaten bekasi yang berada di kecamatan Bekasi dan adanya tuntutan kehidupan masyarakat perkotaan yang memerlukan pelayanan khusus, akhirnya perkantoran pemerintah

8

Dewan Perwakilan rakyat Kota Bekasi, Risalah Kota Bekasi, h. 6

9

(52)

daerah Kabupaten Bekasi di pindahkan dari kecamatan Bekasi karena perkembangan kecamatan Bekasi menuntut dimekarkannya kecamatan Bekasi.

Berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 48 Tahun 1981 kecamatan Bekasi ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administratif Bekasi yang meliputi 4 (empat) kecamatan yaitu: Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Timur, Bekasi Utara, dan Bekasi Selatan, keseluruhannya meliputi 18 (delapan belas) Kelurahan serta 8 (delapan) Desa. Peresmianya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 April 1982.

Walikota administratif Bekasi pertama dijabat oleh Soedjono (1982-1988), selanjutnya pada Tahun digantikan oleh Drs. Andi R. Sukardi (1988-1991), dan pada Tahun 1991 Walikota administratif Bekasi dijabat oleh Drs. H. Kailani AR. Sampai Tahun 1997.10

Dengan adanya kebijakan konsep BOTABEK (Bogor Tangerang Bekasi) yang merupakan pelaksanaan inpres Nomor 13 Tahun 1976 membawa pengaruh besar terhadap perkembangan Kota Administrasi Bekasi. Sebagai kota yang berbatasan langsung dengan Ibukota Negara maka Kota Administratif Bekasi dan kecamatan-kecamatan sekitarnya yang berada dalam wilayah kerja Kabupaten Bekasi mengalami perubahan sangat pesat, sehingga memerlukan peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana sebagai syarat pengelolaan wilayah.

10

(53)

Perkembangan yang ada telah menunjukan bahwa Kota Administratif Bekasi mampu memberikan dukungan kemampuan dan menggali potensi diwilayahnya untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, maka melalui UU No. 9 Tahun 1996 Kota Administratif Bekasi ditetapkan menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi dengan wilayah kerjanya meliputi: wilayah kerja Kota administratif Bekasi yaitu Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Timur, Bekasi Utara, dan Kecamatan Bekasi Selatan ditambah dengan wilayah kerja Kecamatan Pondokgede, Jatiasih, Bantargebang, dan Kecamatan pembantu Jatisampurna. Keseluruhannya meliputi 23 Desa dan 27 Kelurahan.

Selaku pejabat Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi dijabat oleh Drs. H. Kailani AR, selama satu tahun. Selanjutnya berdasarkan hasil pemilihan terhitung mulai tanggal 23 Pebruari 1998 Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi Definitif yang pertama dijabat oleh Drs. H. Nonon Sonthanie.

Dalam perkembangan telah terjadi perubahan dalam jumlah dan status Kelurahan/Desa. Berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri No. 140/2848/puod tanggal 3 September 1998 dan keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 50 Tahun 1998 telah terjadi perubahan status 6 Desa menjadi 2 Kelurahan baru, sehingga jumlah Desa/Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi menjadi 52 terdiri dari 35 Kelurahan dan 17 Desa.

(54)

Daerah di Indonesia. Seiring dengan itu Nomenklatur Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi berubah menjadi Pemerintahan Kota Bekasi, selanjutnya sebagai tindak lanjut pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah Otonom, serta peraturan pemerintah No.84 Tahun 2000 tentang pedoman Organisasi Pejabat Daerah, adalah peraturan pemerintah yang mendasari ditertibkannya peraturan Daerah No. 9, 10,11 dan 12 yang mengatur tentang organisasi perangkat Daerah, selanjutnya guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat melalui peraturan daerah No. 14 tahun 2000 telah dibentuk 2 Kecamatan baru yaitu Kecamatan Rawa Lumbu dan Kecamatan Medan Satria, sehingga Kota Bekasi terdiri 10 Kecamatan.11

Berdasarkan peraturan daerah Kota Bekasi No.02 tahun 2002 tentang Penetapan Kelurahan, maka semua desa yang ada di Kota Bekasi berubah statusnya menjadi Kelurahan, sehingga pemerintah Kota Bekasi mempunyai 52 pemerintah Keluarahan. Dalam perjalannya guna lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat maka wilayah administrasi Kota Bekasi mengalami pemekaraan kembali, dan melalui peraturan daerah Kota Bekasi No.4 Tahun 2004 tentang Pembentukan wilayah Administrasi Kecamatan dan Kelurahan maka wilayah administrasi Kota Bekasi menjadi 12 Kecamatan dan 56 Kelurahan, kecamatan Kota Bekasi yaitu: Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Bekasi Utara, jati Asih, Bantar Gebang, Pondok Gede, Jati Sampurna, Medan Satria, Rawa Lumbu, Mustika Jaya, Pondok Melati.

11

(55)

Perjalanan Kota Bekasi dalam pembentukan wilayah Administratif sampai Kota Madya, mengalami perjalanan yang rumit, hal ini terlihat dari pemekaran kecamatan yang terus bertambah. Dengan mengikuti dinamika politik dan peraturan pemerintah yang ada. Namun kota bekasi bisa berkembang seiring dengan sistem yang ada.

Kota Bekasi terletak di wilayah pantai utara Propinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 210 Km2 dengan batas wilayah: Bagian Barat berbatasan dengan DKI Jakarta, Bagian Timur berbatasan dengan kabupaten Bekasi, Bagian Utara dengan Kabupaten Bekasi, dan Bagian Selatan dengan kabupaten Bogor dan Kota Depok.

Pada saat Kota Bekasi diresmikan menjadi Kotamadya tahun 1997 tercatat jumlah penduduk sebanyak 1.471.477 jiwa dan meningkat pada tahun 2000 sebanyak 1.637.610 jiwa. Dan pada tahun 2005 tercatat 2.001.899, dari tahun ketahun laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi terus mengalami peningkatan. Sehingga laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2007 tercatat 2.143.804 meningkat 3,49% dibanding tahun 2005.

(56)

pengesahan Pengangkatan Wakil walikota Bekasi propinsi Jawa barat, dan telah ditetapkan H. Akhmad Zurfaih HR, S.Sos yang didampingi oleh Mochtar Muhammad sebagai Wakil Walikota Bekasi. Yang dipilih oleh anggota DPRD Kota Bekasi dan meraih suara terbanyak.

Dengan adanya UU No.32 Tahun 2004, pemilihan WaliKota dan Wakilnya tidak lagi dipilih oleh DPRD tingkat setempat, seperti pada UU No.22 Tahun 1999, maka pada tahun 2008 Kota Bekasi merealisasikan UU No.32 Tahun 2004 dengan diadakannya pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang dipilih oleh warga Kota Bekasi. Dan terpilihlah Walikota dan Wakil Walikota yang baru, dan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No. 131 dan 132.32-77 Tahun 2008 Tanggal 21 Februari 2008 tentang Pengesahan Pemberhentian dan pengesahan Pengangkatan Mochtar Muhammad sebagai Walikota Bekasi dan H.Rahmat Effendi S.Sos sebagai Wakil Walikota Bekasi masa Jabatan 2008-2013. Yang memenangi Pemilihan Kepala Daerah pertama di Kota Bekasi.

(57)

Gambar

Gambar 2.  Bagan Alur Pengurusan Pelayanan
Gambar 1. Bagan Alur Pengurusan perizinan
Gambar 2.  Bagan Alur Pengurusan Pelayanan

Referensi

Dokumen terkait

“Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk

Bagaimanapun jalinan kerja sama yang lancar antara berbagai institusi (Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan DPD RI) dalam memperjuangkan

Pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2014 tentang Pelayanan Publik di Rumah Sakit Umum Daerah

penyelenggaraan pelayanan publik di Distrik Gilobandu Kabupaten Tolikora Propinsi Papua dilihat dari beberapa aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh Camat :

Dengan demikian, dasar bagi suatu pembuatan kebijakan publik oleh Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah harus didasarkan pada hukum baik hukum tertulis

Dengan ditetapkannya Peraturan Daerah tentang Rumah Potong Hewan, maka usaha Pemotongan Hewan baik yang ditangani oleh Pemerintah Kota Bekasi maupun pihak swasta

Sebagai implementasi kewenangan pemerintah daerah, maka aparat birokrasi pemerintahan di daerah dalam mengelola dan menyelenggaraan pelayanan publik agar lebih

2 Upaya pelayanan publik khususnya pelayanan perizinan di Kota Bekasi didasarkan pada prinsip transparansi pelayanan dalam Pelayanan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di