EKSISTENSI PERADILAN MILITER DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
(Tesis)
OLEH : Sutarto Wilson
PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
Dwi Putri Melati
ABSTRAK
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
(Studi Putusan Nomor: 791/Pid.A/2012/PN.TK)
Oleh Dwi Putri Melati
Anak yang berhubung dengan hukum sebagai pelaku perbuatan tindak pidana sangat memprihatinkan. Studi kasus Putusan Nomor 791/Pid. A/ 2012/ PN.TK. Permasalahan tentang bagaimanakah Pertanggungjawaban Pidana terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anak dalam perkara Putusan Nomor 791/pid.a/2012/pn.tk dan apakah yang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pembunuhan yang dilakukan oleh anak dalam perkara Putusan Nomor 791/pid.a/2012/pn.tk. Penelitian thesis
ini menggunakan pendekatan yuridis normatif (legal research), dengan cara
melihat, menelaah hukum serta hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum, taraf sinkronisasi yang berkenaan dengan masalah yang akan dibahas di dalam thesis ini.
Terdakwa mampu bertanggungjawab atas perbuatannya kemudian terbukti sengaja melakukan pembunuhan terhadap korban dan mengambil barang korban dan juga tidak adanya alasan pemaaf. Penjatuhan vonis 10 tahun penjara dianggap terlalu berat untuk seorang anak yang dapat diminimalisir dari pidana maksimum
seorang anak. Pertimbangan hakim yakni: Fakta-fakta hukum yang diperoleh
dipersidangan. Psikologi hukum. Restoratif justice. Adanya BAPAS yang mendampingi terdakwa dan memberikan pendapat atau saran yang terbaik mengenai perkara tersebut. Pelaku adalah seorang anak berumur 16 (enambelas) tahun, terpenuhinya unsur-unsur pidana, adanya hal yang memberatkan, dan yang meringankan tidak ada, tidak ditemukan alasan pembenar maupun alasan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahan terdakwa. Akibat langsung bagi korban yakni kematian. Penulis menyarankan ditingkatkannya profesionalisme aparat penegak hukum yang bertugas menangani masalah anak. Pemberian sanksi kepada anak memperhatikan keadaan fisik, psikologis dan sosiologis seorang anak yang masih di bawah umur dan memberikan kemanfaatan bagi kehidupan seorang anak yang terjerumus dalam proses hukum pidana. Pemberian sanksi terhadap Anak dilakukan sebagai upaya terakhir, agar terlaksana tujuan tersebut.
EKSISTENSI PERADILAN MILITER DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
(Tesis)
OLEH : Sutarto Wilson
PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
EKSISTENSI PERADILAN MILITER DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
(Tesis)
OLEH : Sutarto Wilson
PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
EKSISTENSI PERADILAN MILITER DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
(Tesis)
OLEH : Sutarto Wilson
PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
Halaman
Abstrak ... i
Lembar Judul ... v
Lembar Persetujuan ... vi
Lembar Pengesahan ... vii
Lembar Pernyataan ... viii
Daftar Riwayat Hidup ... ix
Moto ... x
Persembahan ... xi
Kata Pengantar ... xii
Daftar Isi ... xv
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana Anak ... 17
B. Pengertian Anak ... 27
C. Pengertian Pertanggungjawaban pidana ... 29
D. Pengertian Pemidanaan ... 34
E. Sistem Peradilan Anak di Indonesia ... `38
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 47
B. Sumber dan Jenis Data ... 47
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 48
D. Analisis Data ... 49
B. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pembunuhan yang dilakukan oleh anak
dalam perkara Putusan Nomor 791/Pid.A/2012/Pn.Tk ... 69
V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 84 B. Saran ... 85
1 I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan zaman dengan maraknya teknologi modern bukan berarti
mengurangi tindakan kriminal di dunia ini. Banyaknya terjadi peristiwa tindak
pidana membuat resah masyarakat, mengganggu kenyamanan dalam kehidupan
sehari-hari. Namun hal itu tidak bisa dihindari, maraknya kriminal yang terjadi
bukan hanya dilakukan oleh kalangan orang dewasa saja, tetapi juga oleh
anak-anak yang masih di bawah umur yang biasa disebut kenakalan anak-anak.
Anak yang bermasalah dengan hukum sebagai pelaku maupun korban dalam suatu
perbuatan tindak pidana dan juga suatu pelanggaran sangat memprihatinkan,
melihat anak merupakan generasi penerus bangsa pada masa yang akan datang.
Adapun kejahatan dilakukan oleh anak tetap berdampak pada kehidupan
masyarakat. Sehingga tidak sedikit anak-anak yang menjadi pelaku tindak pidana
menjalani proses pengadilan anak dan diberikan sanksi pidana berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jaminan perlindungan terhadap
anak sebagai pelaku tindak pidana sudah terjabarkan dalam peraturan
perundangan di Indonesia, yakni Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1997
mengenai Pengadilan Anak yang saat ini telah mengalami perubahan menjadi
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang telah
disahkan dan akan diberlakukan pada Tahun 2014 dan Undang – Undang Nomor
2
Perbuatan melanggar hukum akhirnya dilakukan oleh sebagian besar anak-anak,
dari perbuatan yang pada awalnya sebatas kenakalan remaja yang akhirnya
menjurus pada perbuatan kriminal yang membutuhkan penanganan hukum secara
serius.1
Akibat kanakalan anak itu maka harapan bangsa untuk memiliki generasi
penerus yang berkualitas pun terhambat. Proses pencarian jati diri seorang anak
tidak sedikit yang cenderung membawa anak itu pada hal-hal yang negatif yang
dapat merugikan dirinya sendiri.
Penyimpangan perilaku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh
anak dapat disebabkan oleh beberapa faktor:
a. Adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan
b. Adanya globalisasi di bidang informasi dan komunikasi
c. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
d. Perubahan gaya dan cara hidup orang tua.
Kesemua faktor-faktor di atas telah membawa perubahan sosial yang mendasar
dalam kehidupan masyarakat dan ini akan sangat berpengaruh pada perilaku si
anak.2 Tidak sedikit tindakan tersebut akhirnya menyeret mereka berurusan
dengan aparat penegak hukum. anak –anak seperti itu masuk pada kategori anak
nakal yang dapat dijatuhkan hukuman atau pun sanksi pidana selain tindakan
sesuai dengan peraturan berundang-undangan yang berlaku setelah menjalani
proses pembuktian baik di kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan anak.
1
Soedarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Sinar Baru. Bandung. 1983. hlm. 32
2
3
Pada saat ini di Indonesia berlaku sistem pemidanaan yang mengacu pada sifat
pemidanaannya saja seolah memberikan pembalasan kepada anak nakal yang
telah melakukan suatu kejahatan tanpa memperhatikan efek lain yang
mempengaruhi perkembangan psikis seorang anak dan tidak memperhatikan
bagaimana dapat merubah si anak tersebut menjadi lebih baik. Penerapan suatu
sistem pemidanaan yang tidak hanya menekankan dari segi pemidanaannya saja
namun lebih kepada bagaimana caranya agar seorang anak itu bisa dirubah
perilakunya menjadi lebih baik dan tidak akan mengulangi tindakannya tersebut
tanpa harus diberikan sanksi badan atau penjara sangat jarang kita temui di
indonesia.
Pada prakteknya sistem pemidanaan yang digunakan selama ini adalah upaya
penanggulangan kejahatan yang hanya melihat upaya pencegahan tersebut dari
segi individu/personalnya saja. Padahal dalam menangani masalah anak ini tidak
hanya dilihat dari penanggulangan individu si anak saja melainkan dilihat dari
banyak faktor, salah satunya adalah membuat bagaimana si anak tidak lagi
mengulangi perbuatannya namun juga memberikan teladan dan pendidikan yang
baik kepada si anak.
Sebagai studi kasus pada penulisan thesis ini mengenai putusan Nomor 791/Pid.
A/ 2012/ PN.TK yang diputuskan oleh Pengadilan Anak di Pengadilan Negeri
Tanjung Karang. Perkara ini dilakukan oleh seorang anak yang masih berumur 16
tahun yang bernama DR. Terdakwa dinyatakan telah terbukti bersalah melakukan
tindak pidana pembunuhan yang diikuti atau disertai oleh sesuatu perbuatan
pidana terhadap korban DK sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
4
tentang Pengadilan Anak. Majelis hakim memberikan sanksi dengan menjatuhkan
pidana terhadap terdakwa DR dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun,
dengan perintah terdakwa tetap ditahan.
Terdakwa dan korban adalah teman akrab, kemudian pada suatu ketika korban
bermain kerumah terdakwa menggunakan sepeda motor, di sana terdakwa
meminta motor korban, namun kerban tidak bersedia memberikannya. Terdakwa
langsung mengambil sumbu kompor yang ada di dekatnya dan kemudian menjerat
leher korban, korban berontak dan memukulkan kedua tangannya kearah terdakwa
yang posisinya di belakang korban, lalu terdakwa mendudukkan korban di lantai
dengan posisi bersimpuh supaya tidak berontak, dan karena korban tetap berontak
maka terdakwa menambahkan lilitan sumbu kompor ke leher korban sehingga
jeratan semakin kuat melilit, dan kurang lebih 15 (lima belas) menit korban diam
tidak bergerak lagi. Terdakwa membawa korban ke samping lubang yang
sebelumnya telah ada, dan memasukkan korban ke dalam plastik, lalu dimasukkan
kedalam lubang dan menimbunnya.
Setelah itu terdakwa ke depan rumahnya dan memasukkan sepeda motor korban
ke ruang tamu. Terdakwa melepas kedua plat nomor polisi sepeda motor korban
dan setelah kedua plat nomor polisi dibuka lalu plat tersebut disimpan dalam
gudang. Terdakwa pergi ke natar menggunakan motor tersebut, kemudian
terdakwa melepaskan bodi depan motor tersebut.
Perbuatan yang dilakukan terdakwa tersebut didakwa dengan dakwaan subsidair
5 Primair, Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 339 KUHP Jo Pasal 26 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak,
Subsidair, Perbuatan terdakwa sebagaiman diatur dan diancam pidana dalam Pasal 338 KUHP Jo. Pasal 26 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak,
Lebih Subsidair, Perbuatan terdakwa sebagaimana datur dan diancam pidana
dalam Pasal 365 Ayat (3) KUHP Jo Pasal 26 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 3 Tahun
1997 tentang Peradilan Anak,
Lebih-lebih subsidair, perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 80 Ayat (3) UU.RI. Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Jo Pasal 26 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak.
Jika melihat dari unsur-unsur dalam dalam pasal yang diajukan jaksa penuntut
umum dalam dakwaan, maka unsur-unsur tersebut menjelaskan:
Pasal 339
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh sesuatu perbuatan pidana
yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiap atau mempermudah
pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari
pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan
barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana
6
Pasal 338
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena
pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 365
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang
didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan
melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai
barang yang dicurinya.
(1) Jika perbuatan mengakibatkan mati,maka dikenakan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
Berdasarkan kronologis kejadian di atas, terdakwa berkehendak menguasai barang
milik korban berupa sepeda motor, namun korban menolak keinginan terdakwa,
lalu terdakwa menjerat leher korban sampai korban meninggal. Jika melihat
unsur-unsur dalam pasal-pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum
Pasal 339 KUHP memiliki unsur-unsur:3
1. Pembunuhan yang diikuti oleh suatu tindak pidana dan (pembunuhan
itu) dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan pelaksanaan tindakan (tindak pidana) itu.
2. Perbuatan yang dibarengi oleh suatu tindak pidana dan (Pembunuhan
itu) dilakukan dengan maksud untuk mempermudah pelaksanaan tindakan (tindak pidana) itu.
3
7
3. Pembunuhan yang didahului oleh suatu tindak pidana dan
(pembunuhan itu) dilakukan dengan maksud dalam hal tertangkap tangan untuk menghindarkan diri sendiri atau peserta lainnya dari pemidanaan atau untuk memastikan penguasaan atas sesuatu barang yang secara pmh diperolehnya.
Pada uraian tersebut di atas bahwa pelaku bertujuan merampas nyawa orang lain.
Berbeda dengan Pasal 365 KUHP, pada Pasal 365 KUHP pelaku berkehendak
mencuri dan untuk mempersiapkan/ mempermudah melakukan pencurian dengan
menggunakan kekerasan yang mengakibatkan kematian pada orang lain.
Faktanya tujuan pelaku dalam kasus diatas bertujuan untuk menguasai barang milik
korban, untuk melancarkan tindakannya pelaku menggunakan kekerasan terhadap korban
sampai pada akhirnya korban meninggal, pelaku tidak berkehendak untuk membunuh
korban, namun karena korban tidak mengikuti keinginan pelaku maka pelaku melakukan
kekerasan yang mengakibatkan korban meninggal. Hal itu masuk pada unsur Pasal 365
Ayat (3) karena pelaku bukan berkehendak merampas nyawa korban melainkan
memperlancar tindakannya. Pelaku yang pada awalanya mengakui perbuatannya tersebut
sehingga pelaku didakwakan tunggal, kemudian di pengadilan memberikan terdakwa
memberi kesaksian bahwa perbuatan pidana tersebut ia lakukan bersama-sama dengan
teman korban, bahwa korban datang bersama 2 (dua) orang lelaki, yang salah
satunya adalah pacar korban. Terdakwa bersaksi bahwa ia diminta korban untuk
keluar untuk membeli minuman sprite dengan obat tetes mata insto menggunakan
motor Yamaha MIO J warna biru milik korban, ketika terdakwa pulang pukul
20.00 wib, terdakwa langsung ke kamar dan terdakwa melihat korban sudah
dalam keadaan tak berpakaian dari kemaluan keluar darah, matanya tertutup,
mulut terbuka dan di leher ada luka memar warna merah seperti bekas dijerat tali.
Bahwa melihat terdakwa datang, pacar korban mendekati terdakwa sambil
8
saja kami”. Kemudian korban diangkat bertiga ke gudang yang terletak di
belakang rumah, dan dikubur ke dalam lubang. Bahwa setelah penguburan korban
selesai, kunci motor serta HP milik korban oleh pacarnya korban diberikan kepada
terdakwa selanjutnya pacar korban dengan teman cowoknya pergi dengan
menggunakan sepeda motor Yupiter warna merah.
Melihat kesaksian terdakwa tersebut seharusnya dalam dakwaan harus disertai
Pasal 55 KUHP, yang mana terdakwa tidak melakukan perbuatan pidana itu
sendirian, melainkan bersama-sama yang biasa dikenal penyertaan, namun karena
tidak adanya saksi dan bukti yang kuat maka kesaksian terdakwa pun diabaikan oleh
majelis hakim. Pidana yang diberikan hakim kepada pelaku pembunuhan dalam perkara
ini yang mana adalah seorang anak, merupakan pidana maksimum yang didiberikan
berdasarkan undang-undang perlindungan anak. Pidana tersebut dinilai terlalu berat
melihat seoerang anak adalah sesosok yang masih labil dan harus dilindungi. Terjadinya
kenakalan anak tak lepas dari pengaruh orang dewasa dan lingkungan sekitarnya..
Berdasarkan uraian di atas maka penulis menulis thesis ini yang berjudul
“Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Yang
Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor 791/pid.a/2012/pn.tk)”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1) Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, rumusan masalah yang
9
1. Bagaimanakah Pertanggungjawaban Pidana terhadap pelaku tindak pidana
pembunuhan yang dilakukan oleh anak dalam perkara Putusan Nomor
791/pid.a/2012/pn.tk?
2. Apakah yang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
pidana terhadap pelaku pembunuhan yang dilakukan oleh anak dalam
perkara Putusan Nomor 791/pid.a/2012/pn.tk?
2) Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup dari penulisan thesis ini agar tidak menyimpang dari
pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas ,meliputi pertanggungjawaban
pidana dan dasar pertimbangan hakim yang menjadi acuan dalam menjatuhkan
putusan. Lokasi penelitian thesis ini pada lingkungan Pengadilan Negeri Kelas IA
Tanjung Karang, Kejaksaan Negeri Tanjung Karang, LBH Bandar Lampung,
Lembaga Advokasi Anak (Lada).
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas maka, tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah:
a) Menganalisis putusan pengadilan anak, mengenai pertanggungjawaban
pidana terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anak.
b) Menganalisis yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
10
2. Kegunaan Penelitian
Secara garis besar kegunaan penelitian ini adalah :
a. Kegunaan Teoritis
Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, yang diharapkan dapat memberi
sumbangan pemikiran dan untuk melengkapi serta menambah bacaan-bacaan
yang mungkin sudah ada khususnya yang menyangkut masalah tersebut.
b. Kegunaan Praktis
Secara praktis penulisan ini berguna sebagai bahan pemikiran dan masukan
bagi Praktisi Hukum, Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat sehingga dapat menjadi
acuan dalam penerapan sanksi pidana yang pelakunya adalah seorang anak.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Bagi sebuah penelitian kerangka teori sangat mendukung sebagai acuan yang
relevan, Menurut Soerjono Soekanto, “kerangka teoritis adalah konsep yang
merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada
dasarnya bertujuan mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang
dianggap relevan”.4
Kerangka teori memiliki kegunaan yang mencakup hal-hal sebagai berikut:5
1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih
mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.
4
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. UI-PRESS. Jakarta.1986.hlm. 125 5
11
2. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,
membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi.
3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah
diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.
4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh
karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
5. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan
pada pengetahuan peneliti.
Pada area hukum pidana mengenal adanya tindak pidana. Menurut Andi Hamzah,
tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan mengancam dengan pidana oleh
undang-undang. Setiap tindak pidana yang telah diatur dalam undang-undang dan
ditetapkan ancaman hukuman dalam perundang-undangan harus diadili dalam
pengadilan.6
Pada pertanggungjawaban pidana didasari dengan Asas Kesalahan, kesalahan
adalah:7
1. Hubungan jiwa orang dengan perbuatannya sehingga perbuatan atau
akibatnya dapat dipertanggungjawabkan padanya
2. Kesengajaan dan/atau kealpaan (dalam arti luas)
3. Kealpaan (dalam arti sempit).
Kesalahan dapat terjadi karena adanya hubungan bathin antara perbuatan dan
pelakunya yang dilakukan secara sadar dan dapat dipertanggungjawabkan oleh
pelaku, yang mana perbuatan tersebut dapat berupa perbuatan yang secara sengaja
dilakukan maupun hanya sebatas kelalaian yang dapat dikategorikan dalam suatu
tindak pidana.
6 Andi Hamzah. Terminologi Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. 2008. hlm164 7
12
Menurut Simons, kesalahan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam
hukum pidana, ia berupa keadaan psychisch dari si pembuat dan hubungannya
terbuatannya, dan dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychisch itu
perbuatannya dapat dicelakan kepada si pembuat.8
Kesalahan adalah salah satu faktor pemidanaan, yang menjadi dasar para hakim
untuk memberikan hukuman pidana kepada para pelaku tindak pidana yang
melakukan perbuatan pidana serta adanya hubungan antara keadaan dan
perbuatannya.
Akibat kesalahan tersebut, maka pelaku harus bertanggungjawab atas
perbuatannya, menurut Andi Hamzah, pertanggungjawaban
(ketertanggungjawaban) adalah kesadaran jiwa orang yang dapat menilai,
menentukan kehendaknya, tentang perbuatannya yang dilarang undang-undang.9
Andi ahmad menerangkan bahwa seseorang yang dengan sadar dan dapat menilai
tindakannya yang telah melakukan suatu perbuatan yang terlarang dan perbuatan
tersebut diatur oleh undang-undang tindak pidana, maka seseorang tersebut
bertanggungjawab.
Penetuan seseorang bersalah atau tidak melalui proses peradilan yang disidangkan
oleh majelis hakim yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Menurut
8
Tri Andrisman. Hukum Pidana Asas-Asas Dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia. UNILA. Bandar Lampung. 2007.hlm. 105
9
13
Gerhard Robbes secara kontekstual ada 3 (tiga) esensi yang terkandung dalam
kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu:10
a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;
b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau
mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;
c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan
fungsi yudisialnya.
Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan
mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak
tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim
dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus
mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang
sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai
kepentingan pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula
rasa keadilan masyarakat.11
Menurut Mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan
oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara,
yaitu sebagai berikut:12
1. Teori keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan disin adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentinagan pihak-pihak yang tesangkut atau berakitan dengan perkara, yaitu anatara
10
Anny Yuserlina. Pertimbangan Hakim Dalam Penerapan Pidana Terhadap Anggota Tentara Nasional Indonesia Yang Melakukan Desersi. Program Pasca Sarjana Universitas Andalas Padang. 2011. Hlm.11
11 Ibid. hlm 12 12
14
lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.
2. Teori pendekatan seni dan intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada penegtahuan dari hakim.
3. Teori pendekatan keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.
4. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.
5. Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
2. Konseptual
Suatu kerangka konsepsionil merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti.13
13
15
Suatu Konsep atau kerangka konsepsionil pada hakekatnya merupakan suatu
pengarah, atau pedoman yang lebih kongkrit dari pada rangka teoritis yang sering
kali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsionil belaka
kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan
definisi-definisi operasionil yang akan menjadi pegangan kongkrit di dalam proses
penelitian.14
Untuk memberikan kesatuan pemahaman terhadap istilah-istilah yang
berhubungan dengan judul thesis ini, maka di bawah ini akan diuraikan
konseptual sebagai berikut:
a. Menurut Roeslan Saleh bahwa orang yang mampu bertanggung jawab
terhadap perbuatan pidana harus memenuhi tiga syarat:15
1. dapat menginsyafi makna yang perbuatannya ;
2. dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang
patut dalam pergaulan masyarakat ;
3. mampu untuk mentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan
perbuatan.
b. Pelaku adalah seseorang yang melakukan sesuatu16
c. Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.17
d. Tindak pidana (delik, delict;delikt; offenc) adalah perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.18
14
Ibid. Hlm 133 15
Tina Asmarawati. Proses peradilan pidana terhdap anak yang berhadapan dengan hukum. http://www.bantenhits.com/rumah-kata/opini/188-proses-peradilan-pidana-terhadap-anak-yang-berhadapan-dengan-hukum.html. 2013.
16
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Bahasa Indonesia.Jakarta. 1998 17 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 18
16
e. Pembunuhan.19
1. Pembunuhan adalah perbuatan dengan sengaja menghilangkan nyawa
orang lain (Pasal 338 KUHP) , pembunuhan yang dipikirkan lebih dahulu
(Pasal 340 KUHP)
2. Pembunuhan berkualifikasi, pembunuhan terbobot, pembunuhan dengan
pemberatan, gequalificeerde doodslag adalah pembunuhan yang yang
didahului, disertai, diikuti oleh delik lain, misalnya, pembunuhan yang
didahului dengan perkosaan; pembunuhan yang disertai dengan merusak
barang; pembunuhan yang diikuti dengan pencurian (Pasal 339 KUHP).
19
17 II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana Anak
Setiap manusia adalah makhluk tuhan yang tak pernah luput dari kesalahan,
kesalahan yang dilakukan dapat berupa perbuatan yang merugikan diri sendiri
maupun orang lain, hal tersebut tak jarang yang mengganggu ketentraman hidup
bermasyarakat. Seseorang yang melakukan kesalahan yang diatur dalam
perundang-undangan hukum pidana dapat diberikan sanksi berupa pidana.
Menurut Andi hamzah , pidana adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap orang
yang terbukti bersalah melakukan delik berdasarkan putusan yang berkekuatan
hukum tetap.1
Pidana adalah penderitaan yang diberikan kepada seseorang yang telah melakukan
kesalahan dan menjalani proses pembuktian sehingga hukuman ditentukan oleh
majelis hakim dalam sebuah putusan di pengadilan.
Istilah hukuman yang berasal dari kata “straf” dan istilah dihukum yang berasal
dari perkataan “wordt gestraf” , menurut Mulyatno merupakan istilah-istilah yang
konvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata “straf” dan diancam dengan
pidana untuk menggantikan kata “wordt gestraf”. Jika “straf” diartikan sebagai
hukuman, maka “strafrecht” seharusnya diartikan hukuman-hukuman. Hukuman
1
18
adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum yang maknanya lebih luas daripada
pidana, karena mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata.2
Pidana adalah makna sempit dari hukuman, yang mana hukuman mencakup
segala sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah dan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, namun pidana dalah hukuman yang
diberikan pada seseorang yang melakukan tindak pidana sesuai yang diatur dalam
hukum pidana.
Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.3
Saat ini banyak sekali pidana yang diberikan pada anak yang masih dibawah umur
akibat kenakalan remaja yang dilakukan membawa anak yang biasa disebut
sebagai anak nakal terjerat dalam permasalahan hukum dan melalui proses
peradilan anak, sehingga diberikan hukuman (pidana) terhadapnya.
Seorang anak yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum
pidana juga mengalami proses pembuktian di persidangan yang dikenal dengan
pengadilan anak, untuk memberikan sanksi kepada anak. Tak jarang juga anak
yang diberikan sanksi pidana. Pidana anak-anak (Kinderstraf) adalah pidana bagi
anak-anak yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum pidana. 4
Indonesia mengenal dengan asas legalitas, dimana tidak ada suatu perbutan dapat
dipidana jika tidak diatur dalam undang undang. Hukuman atau pidana yang
2
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, cetakan ketiga, P.T. Alumni. Bandung. 2005. hlm 1
3 Tri Andrisman. Hukum Pidana Asas-Asas Dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia. UNILA. Bandar Lampung. 2007. hlm 8
4
19
dijatuhkan dan perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana, harus lebih dahulu
tercantum dalam undang-undang pidana. Suatu asas yang disebut dalam nullum
crimen sine lege, yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Letak perbedaan antara istilah hukuman dan pidana, bahwa suatu pidana harus berdasarkan kepada
ketentuan undang-undang (pidana), sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya,
meliputi pula misalnya, guru yang merotan muridnya, orang tua yang menjewer
kuping anaknya, yang semuanya didasarkan pada kepatutan, kesopanan,
kesusilaan dan kebiasaan. Kedua istilah ini, juga mempunyai persamaan, yaitu
keduanya berlatar belakang tata nilai (value), baik dan tidak baik, sopan dan tidak
sopan, diperbolehkan dan dilarang.5
Pidana agak sedikit berbeda dengan hukuman, karena pidana diberikan kepada
seseorang melalui proses peradilan sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku, sedangkan hukuman berlaku kapan saja dan dengan siapa saja yang
melakukan perbuatan tercela, meskipun hal tersebut tidak diatur dalam ketentuan
perundang-undangan.
Sanksi pidana terhadap anak yang masih berumur 8 (delapan)tahun sampai 12
(dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, tindakan yang mungkin dijatuhkan
hakim kepada anak nakal adalah menyerahkannya kepada Departemen Sosial atau
Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan,
pembinaan dan latihan kerja untuk dididik dan dibina. Anak yang telah mencapai
umur 12 (dua belas tahun) sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana.
20
Perbedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan
fisik, mental dan sosial anak.6
Menurut Ted honderich
“Punishment is an authority’s infliction of penalty (something involving
deprivation or distress) on an offenderfor an offence”. Artinya Pidana adalah
suatu penderitaan dari pidana yang berwenang sebagai hukuman (sesuatu yang
meliputi pencabutan dan penderitaan) yang dikenakan kepada seorang pelaku
karena sebuah pelanggaran.7
Penderitaan sebagai akibat pidana merupakan jalan keluar yang membebaskan dan
yang memberi kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan. H.L. Packer
sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam bukunya "The
limits of criminal sanction", akhirnya menyimpulkan antara lain sebagai berikut:8
1) Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang
maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana. (The criminal
sanction is indispensable; we could not, now or in the foreseeable future, get along without it)
2) Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang
kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. (The criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harm)
3) Sanksi pidana suatu ketika merupakan 'penjamin yang utama/
terbaik' dan suatu ketika merupakan 'pengancam yang utama' dari kebebasan manusia. la merupakan penjamin apabila diguna-kan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam,
6
Wagiati Soetodjo. Hukum Pidana Anak. Refika Adiatama. Bandung. 2006. hlm 29 7
Muhammad Taufik Makarao. Pembaharuan hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu bentuk-Bentuk Pemidanaan. Kreasi Wacana. Yogyakarta. 2005. hlm 18
21
apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (The
criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener).
Sanksi pidana dianggap sebagai alat terbaik untuk membuat seorang pelaku tindak
pidana menjadi jera, dan tidak akan mengulangi perbuatan kejam dan terlarang
lagi. Namun tidak sedikit pelaku tindak pidana yang setelah dipidana justru
menjadi lebih parah dari sebelumnya. Hal tersebut tentu bersebarangan dengan
maksud diberikannya pidana.
Seorang yang dipidana adalah seseorang yang telah melakukan tindak pidana
yang diatur dalam ketentuan hukum pidana. Tindak pidana (delik, delict;delikt;
offenc) adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh
undang-undang .9
Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar aturan hukum pidana
sebagaimana ketentuan dalam perundang-undangan. Beberapa pendapat ahli
tentang tindak pidana.10
Simons
“Tindak Pidana adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang
bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh
orang yang mampu bertanggungjawab.
9
Andi Hamzah. OP cit. Hlm. 164 10
22
Vos
“Tindak Pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan
perundang-undangan, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan
ancaman pidana”.
Van Hamel
“Tindak pidana adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet , yang bersifat
melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan”.
Moeljatno
“Perbuatan pidana (tindak pidana-pen) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut”
Para ahli tersebut diatas memiliki pendapat yang senada, bahwa tindak pidana
adalah perbuatan yang dilakukan oleh siapa saja yang bertentangan dengan
aturan-aturan hukum pidana sesuai dengan perundang-undangan dengan disertai
kualifikasi dan ancaman pidananya.
Berdasarkan pandangan Pompe, tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu:11
Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan
karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan
tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
11
23
Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan
undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum
Sesuai dengan pendapat Pompe bahwa definisi menurut teori bahwa suatu
perbuatan tindak pidana adalah kejadian yang didasari oleh kesalahan yang
diperbuat sang pelaku, akibat perbuatan tersebut meresahkan kesejahteraan
masyarakat, untuk itu patut diberikan sanksi bagi setiap orang yang melakukan
tindak pidana. Definisi menurut hukum positif pun memperkuat pernyataan
pompe bahwa perbuatan yang telah diatur dalam perundang-undangan dapat
dihukum sesuai dengan ancaman hukumannya.
Seorang Anak yang melakukan tindak pidana biasa disebut dengan anak nakal.
Berdasarkan Pasal 1 Butir 2 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, anak nakal adalah:
1. Anak yang melakukan tindak pidana, atau
2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik
menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain
yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan.
Kenakalan anak menurut Kartini Kartono adalah perilaku jahat /dursila, atau
kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara
sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian
tingkah laku yang menyimpang. 12
Kenakalan anak adalah reaksi dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan
oleh anak, namun tidak segera ditanggulangi, sehingga menimbulkan akibat yang
12
24
berbahaya baik untuk dirinya maupun bagi orang lain. Menurut Romli
Atmasasmita, Juvenile Deliquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku
seseorang anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin yang
merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat
membahayakan perkembangan peribadi anak yang bersangkutan.13
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 22
menerangkan bahwa anak nakal yang melakukan tindak-pidana dapat dijatuhi
pidana dan tindakan. Hukuman yang diberikan pada anak mungkin dapat di
serahkan pada lembaga pemasyarakatan seperti pidana penjara, kurungan, dan
tindakan menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan,
dan latihan kerja.
Kenakalan anak suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma
hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak yang masih dibawah
umur. Pengaturan dalam undang-undang pengadilan anak mengacu pada
pembinaan dan perlindungan hukum kepada anak nakal guna melindungi hak-hak
anak untuk menjamin kepentingan terbaik bagi anak. Anak adalah seseorang yang
masih dibawah umur perlu mendapatkan perhatian dan perlindungan hukum
agar-hak-haknya sebagai anak dapat terpenuhi.
Masalah penegakan hak-hak anak dan hukum anak, pada dasarnya sama dengan
masalah penegakkan hukum secara keseluruhan. Anak nakal hanya dapat
dijatuhkan pidana atau tindakan seperti yang dimuat dalam Pasal 22 UU
Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997, Namun Pasal 26 UU Nomor 3 Tahun
13
25
1997 juga menjelaskan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak
Nakal, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara
bagi orang dewasa dan apabila Anak Nakal, melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana
penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh)
tahun. Saat ini telah ada undang-undang baru yang telah disahkan dan akan
diberlakukan pada tahun 2014 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11
Tahun 2012 yang juga menerangkan :
Pasal 81 Ayat (1) bahwa “Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak
paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang
dewasa”. Pasal 81 Ayat (6) bahwa “Jika tindak pidana yang dilakukan Anak
merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun”.
Sanksi diberikan untuk memberikan efek jera pada pelaku kejahatan dan juga
mendorong terciptanya keseimbangan dan keamanan dalam kehidupan
bermasyarakat. Sanksi Pidana terhadap anak berdasarkan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak Pasal 23 Ayat (2) bahwa anak nakal dapat
dikenakan pidana pokok dan tambahan, dan anak nakal dapat dijatuhkan hukuman
berupa tindakan seperti yang tertuang dalam Pasal 24 undang-undang pengadilan
anak.
Menurut pendapat Romli Atmasasmita sebagaimana yang dikutip oleh Gultom
dalam bukunya yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam
26
atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh
masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.14
Kedudukan keluarga sangat fundamental dalam pendidikan anak. Apabila
pendidikan keluarga gagal, maka anak cenderung melakukan tindakan kenakalan
dalam masyarakat dan tidak jarang menjurus ke arah tindakan kejahatan atau
kriminal.
Pada buku yang berjudul Kriminologi, B. Simanjuntak berpendapat bahwa,
kondisi-kondisi rumah tangga yang mungkin dapat menghasilkan “anak nakal”,
adalah:15
a. Adanya anggota lainnya dalam rumah tangga itu sebagai penjahat,
pemabuk, emosional;
b. Ketidakadaan salah satu atau kedua orangtuanya karena kematian,
perceraian atau pelarian diri;
c. Kurangnya pengawasan orangtua karena sikap masa bodoh, cacat
inderanya, atau sakit jasmani atau rohani;
d. Ketidakserasian karena adanya main kuasa sendiri, iri hati, cemburu,
terlalu banyak anggota keluarganya dan mungkin ada pihak lain yang campur tangan;
e. Perbedaan rasial, suku, dan agama ataupun perbedaan adat istiadat,
rumah piatu, panti-panti asuhan.
Seorang anak dapat terjerumus melakukan perbuatan yang terlarang disebabkan
karena jiwa anak masih labil dan sangat mudah terpengaruh, sehingga apabila
anak terjebak dalam lingkungan dan pergaulan yang salah, maka rentan bagi anak
14
Maidin Gultom. Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Refika Aditama. Bandung. 2008. hlm. 55-56
15
27
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat bahkan sampai pada suatu
tindak pidana.
B. Pengertian Anak
Anak adalah karunia yang terbesar bagi keluarga, agama, bangsa, dan negara.
Kehidupan berbangsa dan bernegara anak adalah penerus cita-cita bagi kemajuan
suatu bangsa. Hak asasi anak dilindungi dalam Pasal 28 B Ayat (2) UUD 1945
yang berbunyi setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang,
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Masa depan suatu bangsa sangat ditentukan dengan kualitas kehidupan anak saat
ini. Suatu bangsa akan menjadi bangsa yang besar jika mereka dapat memberikan
perlindungan yang layak pada anak baik kesejahteraan lahir, bathin maupun
sosial.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
menjelaskan baa anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu)
tahun dan belum pernah kawin. Melihat Pasal 1 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak bahwa kesejahteraan anak
adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin
pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani
maupun sosial.
Anak merupakan amanah dan anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam
28
mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak
terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta.16
Anak yang berhadapan dengan hukum pun memiliki hak untuk dilindungi, karena
anak adalah generasi penerus bagi suatu bangsa yang harkat dan martabatnya
dijunjung tinggi.
Penjelasan Pasal 25 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 mengamanatkan bahwa
dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak,
hakim memperhatikan berat ringannya tindak pidana atau kenakalan yang
dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Selain itu, hakim juga wajib
memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua, wali, atau orang
tua asuh, hubungan antar anggota keluarga, dan keadaan lingkungannya.
Demikian pula hakim wajib memperhatikan laporan Pembimbing
Kemasyarakatan.
Namun sistem pemidanaan saat ini hanya memperhatikan pada sifat
pemidanaannya saja tanpa memperhatikan bagaimana merubah karakter buruk
seorang anak menjadi sosok yang lebih baik, dan tidak mengulangi perbuatan
buruk itu lagi.
Arti anak dari aspek social ini lebih mengarahkan pada perlindungan kondrati
karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh sang anak sebagai wujud
untuk berekspresi sebagaimana orang dewasa.
29
Sesuai yang tercantum pada Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun
dan belum kawin.
Definisi anak menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
Berdasarkan kesadaran bahwa masa depan masyarakat, bangsa, dan umat manusia
ditentukan oleh kesejahteraan anak saat ini, maka pemenuhan hak-hak anak untuk
tumbuh dan berkembang mencapai tingkat optimum potensi yang dimilikinya
dalam lingkungan keluarga dan masyarakat yang melindungi harus menjadi issue
yang penting dari semua kalangan. Perhatian, komitmen, dan sumber daya yang
tersedia sebagian telah terwujud menjadi tindakan nyata di tingkat individu,
kelompok masyarakat, maupun lembaga-lembaga negara, baik di tingkat pusat
maupun daerah. Namun demikian, data resmi statistik dan pengamatan kasat mata
menunjukkan bahwa pada kenyataannya masih terdapat kesenjangan yang sangat
besar antara situasi ideal dengan situasi nyata terhadap penghargaan, pemenuhan,
dan perlindungan atas hak-hak anak.
C. Pengertian Pertanggungjawaban pidana
Seorang individu yang melakukan tindak pidana tentunya membahayakan dirinya
maupun orang lain. Ketika seorang individu tersebut sadar dan memiliki
hubungan batin terhadap perbuatan yang dilakukannya, maka pelaku tindak
30
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan
teorekenbaardheid atau criminal. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah
ditentukan dalam undang-undang. Melihat dari sudut terjadinya tindakan yang
dilarang, seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut,
apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau
peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Melihat dari
sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu
bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.
Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas
pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang
melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari
soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.17
Kesalahan menjadi dasar perbuatan manusia yang menyimpang dari
kaidah-kaidah dan dan norma-norma perilaku, kesalahan juga menjadi dasar seseorang
dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan
pelaku tindak pidana dan melanggar aturan-aturan hukum pidana.
Responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan
atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak
17Saifudien Dj.
31
Istilah dalam Bahasa Belanda, pertanggungjawaban pidana menurut Pompee
terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan
toerekenbaar .18
Pound menguraikan perkembangan konsepsi liability. Teori pertama,
menurut Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk
membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah
“dirugikan”. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan
undang-undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian
dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa “pembalasan”sebagai suatu alat
penangkal, maka pembayaran “gantirugi” bergeser kedudukannya, semula
sebagai suatu “hakistimewa” kemudian menjadi suatu “kewajiban”.
Ukuran “gantirugi” tersebut tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus
“dibeli”, melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh
perbuatan pelaku yang bersangkutan.19
Menurut Roeslan Saleh bahwa orang yang mampu bertanggung jawab terhadap
perbuatan pidana harus memenuhi tiga syarat:20
1. dapat menginsyafi makna yang perbuatannya ;
2. dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut
dalam pergaulan masyarakat ;
18Andi Hamzah. Asas Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. 1994. hlm. 131 19
Romli Atmasasmita. Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana,Cetakan Pertama. Yayasan LBH. Jakarta. 1989. hlm. 79
20
32
3. mampu untuk mentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.
Tidak jauh berbeda dengan pendapat Roeslan Saleh. Menurut Van Hamel,
kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan
kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 (tiga) kemampuan:
a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri
b. Mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan
masyarakat tidak dibolehkan.
c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu.21
Seseorang yang bertanggungjawab terhadap perbuatannya adalah seseorang yang
secara sadar tahu dan paham bahwa perbuatannya adalah perbuatan yang terlarang
dan melanggar ketentuan perundang-undangan.
Nigel Walker pernah mengingatkan prinsip-prinsip pembatas (the limiting
principles) yang sepatutnya mendapat perhatian :
a. Jangan hukum pidana (HP) digunakan semata-mata untuk tujuan
pembalasan /retributive;
b. Jangan menggunakan HP untuk pidana perbuatan yang tidak
merugikan/membahayakan;
c. Jangan menggunakan HP untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai
secara lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan;
d. Jangan menggunakan HP apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana
lebih besar dari pada kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri;
e. Larangan-larangan HP jangan mengandung sifat lebih berbahaya dari pada
perbuatan yang akan dicegah;
f. HP jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat
dari publik; dan
g. HP jangan memuat larangan/ketentuan-ketentuan yang tidak dapat
dilaksanakan/dipaksakan (unenporceable) .22
33
Orang yang dapat dituntut di muka pengadilan dan dijatuhi pidana, haruslah
melakukan tindak pidana dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat dibedakan
menjadi 2 (dua), yaitu :23
1. Kemampuan bertanggung-jawab
2. Sengaja (Dolus/Opzet) dan Lalai (Culpa/Alpa)
Sebagai dasar dari pertanggungjawaban pidana, kesalahan yang timbul dari
adanya hubungan bathin antara pelaku dan perbuatannya. Pelaku sadar akan
akibat dari perbuatan yang ia lakukan, bahwa perbuatannya tersebut dilarang dan
melanggar peraturan perundang-undangan ranah hukum pidana. Sebagaimana
diterangkan pada Pasal 44 KUHP bahwa apabila yang melakukan perbuatan
pidanaitu tidak dapat bertanggungjawab karena pertumbuhan yang cacat atau
gangguan penyakit jiwa, maka orang itu tidak dapat di pidana.
Penegakan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri,
melainkan mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakatnya.
Oleh karena itu. Penegakan hukum dalam suatu masyarakat mempunyai
kecenderungan-kecenderungannya sendiri yang disebabkan oleh struktur
masyarakatnya. Struktur masyarakat tersebut merupakan kendala, baik berupa
penyediaan sarana sosial yang memungkinkan penegakan hukum dijalankan
maupun memberikan hambatan-hambatan yang menyebabkan penegakan hukum
tidak dapat dijalankan dengan seksama.24 Proses penegakan hukum adalah suatu
22
Asmarawati, Tina. Proses peradilan pidana terhdap anak yang berhadapan dengan hukum. http://www.bantenhits.com/rumah-kata/opini/188-proses-peradilan-pidana-terhadap-anak-yang-berhadapan-dengan-hukum.html. 2013.
23 Tri Andrisman. Op Cit. . hlm. 40 24
34
proses yang memerlukan kerjasama antar aparat penegak hukum, demin mencapai
suatu keadilan seutuhnya.
D. Pengertian Pemidanaan
Pemidanaan adalah penjatuhan hukuman yang diberikan kepada seorang yang
telah melanggar ketentuan hukum pidana, sehingga melalui proses pengadilan
pelaku kejahatan diberikan sanksi.
Sudarto menyatakan bahwa perkataan pemidanaan sinonim dengan istilah
penghukuman. Penghukuman itu sendiri berasal dari kata “hukum”, sehingga
dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang
hukumannya (berechten). Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak hanya
dalam lapangan hukum pidana saja tetapi juga bidang hukum lainnya. Oleh
karena itu istilah tersebut harus disempitkan artinya, yaitu penghukuman dalam
perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau
penjatuhan pidana oleh hakim.25
Berdasarkan pendapat di atas, dapat diartikan bahwa pemidanaan dapat diartikan
sebagai penetapan pidana dan tahap pemberian pidana. Menurut Jan Remmelink,
pemidanaan adalah pengenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh penguasa
yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar suatu aturan hukum.26
sedangkan Jerome Hall sebagaimana di kutip oleh M. Sholehuddin memberikan
perincian mengenai pemidanaan, bahwa pemidanaan sebagai berikut :
1) Pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup.
25
Marlina. Hukum Penitensier. Refika Aditama. Bandung. 2011. hlm. 33 26
35
2) Ia memaksa dengan kekerasan
3) Ia diberikan atas nama negara “diotorisasikan”
4) Pemidanaan mensyaratkan adanya peraturan-peraturan, pelanggarannya, dan
penentuannya yang diekspresikan di dalam putusan
5) Ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan dan ini
mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan
kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan dalam etika.
6) Tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan
dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian) si
pelanggar, motif dan dorongannya.
Pelaku yang melakukan tindak pidana dapat dikenakan pemidanaan terhadap
mereka, pemidanaan menurut KUHAP Pasal 199 Ayat (1) merupakan hal yang
berkenaan dengan pidana; misalnya tujuan atau maksud dijatuhkannya pidana.
Pada penjatuhan pidana menganut teori pemidanaan, tujuan pemidanaan
digolongkan menjadi 3(tiga) teori :
1. Teori Absolut atau teori pembalasan
Menurut Andi Hamzah Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah
bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu
sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara
mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan
manfaat penjatuhan pidana .27
36
Pada teori ini menekankan tujuan pemidanaan dengan pembalasan dengan sistem
balas dendam, seorang yang telah melakukan kejahatan harus dibalas dengan
suatu penderitaan yang setimpal, tanpa memikirkan manfaatnya.
2. Teori relatif atau teori tujuan
Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan, bahwa:
Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada
orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan- tujuan
tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori
tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini
adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan“quia peccatum est”
(karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan
melakukan kejahatan).28
Pemidanaan tidak hanya mengutamakan pembalasan semata, karena pada teori ini
juga memikirkan mengenai manfaatnya. tujuan pidana menurut teori relatif adalah
untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan
kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk
membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.
3. Teori gabungan
Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan
penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan
ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan
28
37
teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori
tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu:29
1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam
penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada
danpembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.
2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku
tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan masyarakat
diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan mencegah
kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.
Teori gabungan ini adalah pencampuran dari teori absolut dan teori relatif yang
menggabungkan kelebihan-kelebihan masing-masing teori sehingga menciptakan
tujuan pemidanaan sendiri.
Berdasarkan Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang No. 3 tahun 1997, Penjatuhan
pidana terhadap anak nakal meliputi pidana pokok dan pidana tambahan.
Jenis hukuman atau macam ancaman hukuman dalam Pasal 10 KUHP adalah
sbb:
1. Pidana Pokok
a) Pidana Mati
b) Pidana Penjara
c) Pidana Kurungan
d) Pidana Denda
29
38
e) Pidana Tutupan
2. Pidana Tambahan
a) Pencabutan hak-hak tertentu
b) Perampasan barang-barang tertentu
c) Pengumuman putusan hakim
Adapun pemidanaan seperti yang tersebut diatas memiliki syarat-syarat, yakni:30
1. Perbuatan, yang harus:
a. Memenuhi rumusan Undang-Undang
b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)
2. Orang, dalam hal ini berhubungan dengan “Kesalahan”, yang meliputi:
a. Kemampuan Bertanggung jawab
b. Sengaja (dolus/opzet)atau Lalai (Culpa/Alpa) (Tidak ada alasan
pemaaf)
E. Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia
Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara
Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan
tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.31
Anak dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
antara lain :
(1) Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan
hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi
saksi tindak pidana
30
Tri Andrisman. Op Cit. . hlm. 95 31
39
(2) Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah
anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana
(3) Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak
Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
disebabkan oleh tindak pidana.
(4) Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak
Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang
didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
Pada sistem peradialan pidana anak dalam undang undang yang baru terdapat
istilah keadilan restoratif hal ini tertuang dalam Pasal 1 Angka 6 UU Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Keadilan Restoratif adalah
penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari
penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula, dan bukan pembalasan.
Demi mewujudkan keadilan restoratif, maka dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak dimungkin adanya diversi. Diversi diperjelas pada Pasal 1 angka 7 UU
Nomor 11 Tahun 2012 adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses
40
Pihak-pihak yang berperan mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Anak yang
diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak , antara lain adalah :
1. Penyidik adalah penyidik anak;
2. Penuntut Umum adalah penuntut umum anak;
3. Hakim adalah hakim anak;
4. Hakim Banding adalah hakim banding anak;
5. Hakim Kasasi adalah hakim kasasi anak;
6. Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum
yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan,
dan pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan
pidana;
7. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga
pemerintah maupun swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan
sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui
pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk
melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial;
8. Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara
profesional untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah
sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun
swasta, yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial anak;
9. Keluarga adalah orang tua yang terdiri atas ayah, ibu, dan/atau anggota
41
10. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan
kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak;
11. Pendamping adalah orang yang dipercaya oleh anak untuk mendampinginya
selama proses peradilan pidana berlangsung;
12. Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya adalah orang yang berprofesi
memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang
memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
13. Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat LPKA adalah
lembaga atau tempat anak menjalani masa pidananya;
14. Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya disingkat LPAS
adalah tempat sementara bagi anak selama proses peradilan berlangsung ;
15. Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disingkat
LPKS adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi anak;
16. Klien Anak adalah anak yang berada di dalam pelayanan, pembimbingan,
pengawasan, dan pendampingan Pembimbing Kemasyarakatan;
17. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah unit pelaksana
teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi