• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Putusan Nomor: 791/Pid.A/2012/PN.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Putusan Nomor: 791/Pid.A/2012/PN.TK)"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI PERADILAN MILITER DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

(Tesis)

OLEH : Sutarto Wilson

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

Dwi Putri Melati

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

(Studi Putusan Nomor: 791/Pid.A/2012/PN.TK)

Oleh Dwi Putri Melati

Anak yang berhubung dengan hukum sebagai pelaku perbuatan tindak pidana sangat memprihatinkan. Studi kasus Putusan Nomor 791/Pid. A/ 2012/ PN.TK. Permasalahan tentang bagaimanakah Pertanggungjawaban Pidana terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anak dalam perkara Putusan Nomor 791/pid.a/2012/pn.tk dan apakah yang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pembunuhan yang dilakukan oleh anak dalam perkara Putusan Nomor 791/pid.a/2012/pn.tk. Penelitian thesis

ini menggunakan pendekatan yuridis normatif (legal research), dengan cara

melihat, menelaah hukum serta hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum, taraf sinkronisasi yang berkenaan dengan masalah yang akan dibahas di dalam thesis ini.

Terdakwa mampu bertanggungjawab atas perbuatannya kemudian terbukti sengaja melakukan pembunuhan terhadap korban dan mengambil barang korban dan juga tidak adanya alasan pemaaf. Penjatuhan vonis 10 tahun penjara dianggap terlalu berat untuk seorang anak yang dapat diminimalisir dari pidana maksimum

seorang anak. Pertimbangan hakim yakni: Fakta-fakta hukum yang diperoleh

dipersidangan. Psikologi hukum. Restoratif justice. Adanya BAPAS yang mendampingi terdakwa dan memberikan pendapat atau saran yang terbaik mengenai perkara tersebut. Pelaku adalah seorang anak berumur 16 (enambelas) tahun, terpenuhinya unsur-unsur pidana, adanya hal yang memberatkan, dan yang meringankan tidak ada, tidak ditemukan alasan pembenar maupun alasan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahan terdakwa. Akibat langsung bagi korban yakni kematian. Penulis menyarankan ditingkatkannya profesionalisme aparat penegak hukum yang bertugas menangani masalah anak. Pemberian sanksi kepada anak memperhatikan keadaan fisik, psikologis dan sosiologis seorang anak yang masih di bawah umur dan memberikan kemanfaatan bagi kehidupan seorang anak yang terjerumus dalam proses hukum pidana. Pemberian sanksi terhadap Anak dilakukan sebagai upaya terakhir, agar terlaksana tujuan tersebut.

(3)

EKSISTENSI PERADILAN MILITER DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

(Tesis)

OLEH : Sutarto Wilson

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

EKSISTENSI PERADILAN MILITER DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

(Tesis)

OLEH : Sutarto Wilson

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

EKSISTENSI PERADILAN MILITER DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

(Tesis)

OLEH : Sutarto Wilson

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak ... i

Lembar Judul ... v

Lembar Persetujuan ... vi

Lembar Pengesahan ... vii

Lembar Pernyataan ... viii

Daftar Riwayat Hidup ... ix

Moto ... x

Persembahan ... xi

Kata Pengantar ... xii

Daftar Isi ... xv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana Anak ... 17

B. Pengertian Anak ... 27

C. Pengertian Pertanggungjawaban pidana ... 29

D. Pengertian Pemidanaan ... 34

E. Sistem Peradilan Anak di Indonesia ... `38

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 47

B. Sumber dan Jenis Data ... 47

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 48

D. Analisis Data ... 49

(7)

B. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pembunuhan yang dilakukan oleh anak

dalam perkara Putusan Nomor 791/Pid.A/2012/Pn.Tk ... 69

V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 84 B. Saran ... 85

(8)

1 I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan zaman dengan maraknya teknologi modern bukan berarti

mengurangi tindakan kriminal di dunia ini. Banyaknya terjadi peristiwa tindak

pidana membuat resah masyarakat, mengganggu kenyamanan dalam kehidupan

sehari-hari. Namun hal itu tidak bisa dihindari, maraknya kriminal yang terjadi

bukan hanya dilakukan oleh kalangan orang dewasa saja, tetapi juga oleh

anak-anak yang masih di bawah umur yang biasa disebut kenakalan anak-anak.

Anak yang bermasalah dengan hukum sebagai pelaku maupun korban dalam suatu

perbuatan tindak pidana dan juga suatu pelanggaran sangat memprihatinkan,

melihat anak merupakan generasi penerus bangsa pada masa yang akan datang.

Adapun kejahatan dilakukan oleh anak tetap berdampak pada kehidupan

masyarakat. Sehingga tidak sedikit anak-anak yang menjadi pelaku tindak pidana

menjalani proses pengadilan anak dan diberikan sanksi pidana berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jaminan perlindungan terhadap

anak sebagai pelaku tindak pidana sudah terjabarkan dalam peraturan

perundangan di Indonesia, yakni Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1997

mengenai Pengadilan Anak yang saat ini telah mengalami perubahan menjadi

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang telah

disahkan dan akan diberlakukan pada Tahun 2014 dan Undang – Undang Nomor

(9)

2

Perbuatan melanggar hukum akhirnya dilakukan oleh sebagian besar anak-anak,

dari perbuatan yang pada awalnya sebatas kenakalan remaja yang akhirnya

menjurus pada perbuatan kriminal yang membutuhkan penanganan hukum secara

serius.1

Akibat kanakalan anak itu maka harapan bangsa untuk memiliki generasi

penerus yang berkualitas pun terhambat. Proses pencarian jati diri seorang anak

tidak sedikit yang cenderung membawa anak itu pada hal-hal yang negatif yang

dapat merugikan dirinya sendiri.

Penyimpangan perilaku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh

anak dapat disebabkan oleh beberapa faktor:

a. Adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan

b. Adanya globalisasi di bidang informasi dan komunikasi

c. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi

d. Perubahan gaya dan cara hidup orang tua.

Kesemua faktor-faktor di atas telah membawa perubahan sosial yang mendasar

dalam kehidupan masyarakat dan ini akan sangat berpengaruh pada perilaku si

anak.2 Tidak sedikit tindakan tersebut akhirnya menyeret mereka berurusan

dengan aparat penegak hukum. anak –anak seperti itu masuk pada kategori anak

nakal yang dapat dijatuhkan hukuman atau pun sanksi pidana selain tindakan

sesuai dengan peraturan berundang-undangan yang berlaku setelah menjalani

proses pembuktian baik di kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan anak.

1

Soedarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Sinar Baru. Bandung. 1983. hlm. 32

2

(10)

3

Pada saat ini di Indonesia berlaku sistem pemidanaan yang mengacu pada sifat

pemidanaannya saja seolah memberikan pembalasan kepada anak nakal yang

telah melakukan suatu kejahatan tanpa memperhatikan efek lain yang

mempengaruhi perkembangan psikis seorang anak dan tidak memperhatikan

bagaimana dapat merubah si anak tersebut menjadi lebih baik. Penerapan suatu

sistem pemidanaan yang tidak hanya menekankan dari segi pemidanaannya saja

namun lebih kepada bagaimana caranya agar seorang anak itu bisa dirubah

perilakunya menjadi lebih baik dan tidak akan mengulangi tindakannya tersebut

tanpa harus diberikan sanksi badan atau penjara sangat jarang kita temui di

indonesia.

Pada prakteknya sistem pemidanaan yang digunakan selama ini adalah upaya

penanggulangan kejahatan yang hanya melihat upaya pencegahan tersebut dari

segi individu/personalnya saja. Padahal dalam menangani masalah anak ini tidak

hanya dilihat dari penanggulangan individu si anak saja melainkan dilihat dari

banyak faktor, salah satunya adalah membuat bagaimana si anak tidak lagi

mengulangi perbuatannya namun juga memberikan teladan dan pendidikan yang

baik kepada si anak.

Sebagai studi kasus pada penulisan thesis ini mengenai putusan Nomor 791/Pid.

A/ 2012/ PN.TK yang diputuskan oleh Pengadilan Anak di Pengadilan Negeri

Tanjung Karang. Perkara ini dilakukan oleh seorang anak yang masih berumur 16

tahun yang bernama DR. Terdakwa dinyatakan telah terbukti bersalah melakukan

tindak pidana pembunuhan yang diikuti atau disertai oleh sesuatu perbuatan

pidana terhadap korban DK sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal

(11)

4

tentang Pengadilan Anak. Majelis hakim memberikan sanksi dengan menjatuhkan

pidana terhadap terdakwa DR dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun,

dengan perintah terdakwa tetap ditahan.

Terdakwa dan korban adalah teman akrab, kemudian pada suatu ketika korban

bermain kerumah terdakwa menggunakan sepeda motor, di sana terdakwa

meminta motor korban, namun kerban tidak bersedia memberikannya. Terdakwa

langsung mengambil sumbu kompor yang ada di dekatnya dan kemudian menjerat

leher korban, korban berontak dan memukulkan kedua tangannya kearah terdakwa

yang posisinya di belakang korban, lalu terdakwa mendudukkan korban di lantai

dengan posisi bersimpuh supaya tidak berontak, dan karena korban tetap berontak

maka terdakwa menambahkan lilitan sumbu kompor ke leher korban sehingga

jeratan semakin kuat melilit, dan kurang lebih 15 (lima belas) menit korban diam

tidak bergerak lagi. Terdakwa membawa korban ke samping lubang yang

sebelumnya telah ada, dan memasukkan korban ke dalam plastik, lalu dimasukkan

kedalam lubang dan menimbunnya.

Setelah itu terdakwa ke depan rumahnya dan memasukkan sepeda motor korban

ke ruang tamu. Terdakwa melepas kedua plat nomor polisi sepeda motor korban

dan setelah kedua plat nomor polisi dibuka lalu plat tersebut disimpan dalam

gudang. Terdakwa pergi ke natar menggunakan motor tersebut, kemudian

terdakwa melepaskan bodi depan motor tersebut.

Perbuatan yang dilakukan terdakwa tersebut didakwa dengan dakwaan subsidair

(12)

5 Primair, Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 339 KUHP Jo Pasal 26 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Peradilan Anak,

Subsidair, Perbuatan terdakwa sebagaiman diatur dan diancam pidana dalam Pasal 338 KUHP Jo. Pasal 26 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Peradilan Anak,

Lebih Subsidair, Perbuatan terdakwa sebagaimana datur dan diancam pidana

dalam Pasal 365 Ayat (3) KUHP Jo Pasal 26 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 3 Tahun

1997 tentang Peradilan Anak,

Lebih-lebih subsidair, perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam

pidana dalam Pasal 80 Ayat (3) UU.RI. Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak Jo Pasal 26 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Peradilan Anak.

Jika melihat dari unsur-unsur dalam dalam pasal yang diajukan jaksa penuntut

umum dalam dakwaan, maka unsur-unsur tersebut menjelaskan:

Pasal 339

Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh sesuatu perbuatan pidana

yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiap atau mempermudah

pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari

pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan

barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana

(13)

6

Pasal 338

Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena

pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 365

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang

didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,

terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah

pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan

melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai

barang yang dicurinya.

(1) Jika perbuatan mengakibatkan mati,maka dikenakan pidana penjara paling

lama lima belas tahun.

Berdasarkan kronologis kejadian di atas, terdakwa berkehendak menguasai barang

milik korban berupa sepeda motor, namun korban menolak keinginan terdakwa,

lalu terdakwa menjerat leher korban sampai korban meninggal. Jika melihat

unsur-unsur dalam pasal-pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum

Pasal 339 KUHP memiliki unsur-unsur:3

1. Pembunuhan yang diikuti oleh suatu tindak pidana dan (pembunuhan

itu) dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan pelaksanaan tindakan (tindak pidana) itu.

2. Perbuatan yang dibarengi oleh suatu tindak pidana dan (Pembunuhan

itu) dilakukan dengan maksud untuk mempermudah pelaksanaan tindakan (tindak pidana) itu.

3

(14)

7

3. Pembunuhan yang didahului oleh suatu tindak pidana dan

(pembunuhan itu) dilakukan dengan maksud dalam hal tertangkap tangan untuk menghindarkan diri sendiri atau peserta lainnya dari pemidanaan atau untuk memastikan penguasaan atas sesuatu barang yang secara pmh diperolehnya.

Pada uraian tersebut di atas bahwa pelaku bertujuan merampas nyawa orang lain.

Berbeda dengan Pasal 365 KUHP, pada Pasal 365 KUHP pelaku berkehendak

mencuri dan untuk mempersiapkan/ mempermudah melakukan pencurian dengan

menggunakan kekerasan yang mengakibatkan kematian pada orang lain.

Faktanya tujuan pelaku dalam kasus diatas bertujuan untuk menguasai barang milik

korban, untuk melancarkan tindakannya pelaku menggunakan kekerasan terhadap korban

sampai pada akhirnya korban meninggal, pelaku tidak berkehendak untuk membunuh

korban, namun karena korban tidak mengikuti keinginan pelaku maka pelaku melakukan

kekerasan yang mengakibatkan korban meninggal. Hal itu masuk pada unsur Pasal 365

Ayat (3) karena pelaku bukan berkehendak merampas nyawa korban melainkan

memperlancar tindakannya. Pelaku yang pada awalanya mengakui perbuatannya tersebut

sehingga pelaku didakwakan tunggal, kemudian di pengadilan memberikan terdakwa

memberi kesaksian bahwa perbuatan pidana tersebut ia lakukan bersama-sama dengan

teman korban, bahwa korban datang bersama 2 (dua) orang lelaki, yang salah

satunya adalah pacar korban. Terdakwa bersaksi bahwa ia diminta korban untuk

keluar untuk membeli minuman sprite dengan obat tetes mata insto menggunakan

motor Yamaha MIO J warna biru milik korban, ketika terdakwa pulang pukul

20.00 wib, terdakwa langsung ke kamar dan terdakwa melihat korban sudah

dalam keadaan tak berpakaian dari kemaluan keluar darah, matanya tertutup,

mulut terbuka dan di leher ada luka memar warna merah seperti bekas dijerat tali.

Bahwa melihat terdakwa datang, pacar korban mendekati terdakwa sambil

(15)

8

saja kami”. Kemudian korban diangkat bertiga ke gudang yang terletak di

belakang rumah, dan dikubur ke dalam lubang. Bahwa setelah penguburan korban

selesai, kunci motor serta HP milik korban oleh pacarnya korban diberikan kepada

terdakwa selanjutnya pacar korban dengan teman cowoknya pergi dengan

menggunakan sepeda motor Yupiter warna merah.

Melihat kesaksian terdakwa tersebut seharusnya dalam dakwaan harus disertai

Pasal 55 KUHP, yang mana terdakwa tidak melakukan perbuatan pidana itu

sendirian, melainkan bersama-sama yang biasa dikenal penyertaan, namun karena

tidak adanya saksi dan bukti yang kuat maka kesaksian terdakwa pun diabaikan oleh

majelis hakim. Pidana yang diberikan hakim kepada pelaku pembunuhan dalam perkara

ini yang mana adalah seorang anak, merupakan pidana maksimum yang didiberikan

berdasarkan undang-undang perlindungan anak. Pidana tersebut dinilai terlalu berat

melihat seoerang anak adalah sesosok yang masih labil dan harus dilindungi. Terjadinya

kenakalan anak tak lepas dari pengaruh orang dewasa dan lingkungan sekitarnya..

Berdasarkan uraian di atas maka penulis menulis thesis ini yang berjudul

“Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Yang

Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor 791/pid.a/2012/pn.tk)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1) Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, rumusan masalah yang

(16)

9

1. Bagaimanakah Pertanggungjawaban Pidana terhadap pelaku tindak pidana

pembunuhan yang dilakukan oleh anak dalam perkara Putusan Nomor

791/pid.a/2012/pn.tk?

2. Apakah yang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

pidana terhadap pelaku pembunuhan yang dilakukan oleh anak dalam

perkara Putusan Nomor 791/pid.a/2012/pn.tk?

2) Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup dari penulisan thesis ini agar tidak menyimpang dari

pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas ,meliputi pertanggungjawaban

pidana dan dasar pertimbangan hakim yang menjadi acuan dalam menjatuhkan

putusan. Lokasi penelitian thesis ini pada lingkungan Pengadilan Negeri Kelas IA

Tanjung Karang, Kejaksaan Negeri Tanjung Karang, LBH Bandar Lampung,

Lembaga Advokasi Anak (Lada).

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas maka, tujuan yang ingin dicapai

dalam penelitian ini adalah:

a) Menganalisis putusan pengadilan anak, mengenai pertanggungjawaban

pidana terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anak.

b) Menganalisis yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

(17)

10

2. Kegunaan Penelitian

Secara garis besar kegunaan penelitian ini adalah :

a. Kegunaan Teoritis

Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, yang diharapkan dapat memberi

sumbangan pemikiran dan untuk melengkapi serta menambah bacaan-bacaan

yang mungkin sudah ada khususnya yang menyangkut masalah tersebut.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis penulisan ini berguna sebagai bahan pemikiran dan masukan

bagi Praktisi Hukum, Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat sehingga dapat menjadi

acuan dalam penerapan sanksi pidana yang pelakunya adalah seorang anak.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Bagi sebuah penelitian kerangka teori sangat mendukung sebagai acuan yang

relevan, Menurut Soerjono Soekanto, “kerangka teoritis adalah konsep yang

merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada

dasarnya bertujuan mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang

dianggap relevan”.4

Kerangka teori memiliki kegunaan yang mencakup hal-hal sebagai berikut:5

1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih

mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

4

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. UI-PRESS. Jakarta.1986.hlm. 125 5

(18)

11

2. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,

membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi.

3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah

diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.

4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh

karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

5. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan

pada pengetahuan peneliti.

Pada area hukum pidana mengenal adanya tindak pidana. Menurut Andi Hamzah,

tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan mengancam dengan pidana oleh

undang-undang. Setiap tindak pidana yang telah diatur dalam undang-undang dan

ditetapkan ancaman hukuman dalam perundang-undangan harus diadili dalam

pengadilan.6

Pada pertanggungjawaban pidana didasari dengan Asas Kesalahan, kesalahan

adalah:7

1. Hubungan jiwa orang dengan perbuatannya sehingga perbuatan atau

akibatnya dapat dipertanggungjawabkan padanya

2. Kesengajaan dan/atau kealpaan (dalam arti luas)

3. Kealpaan (dalam arti sempit).

Kesalahan dapat terjadi karena adanya hubungan bathin antara perbuatan dan

pelakunya yang dilakukan secara sadar dan dapat dipertanggungjawabkan oleh

pelaku, yang mana perbuatan tersebut dapat berupa perbuatan yang secara sengaja

dilakukan maupun hanya sebatas kelalaian yang dapat dikategorikan dalam suatu

tindak pidana.

6 Andi Hamzah. Terminologi Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. 2008. hlm164 7

(19)

12

Menurut Simons, kesalahan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam

hukum pidana, ia berupa keadaan psychisch dari si pembuat dan hubungannya

terbuatannya, dan dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychisch itu

perbuatannya dapat dicelakan kepada si pembuat.8

Kesalahan adalah salah satu faktor pemidanaan, yang menjadi dasar para hakim

untuk memberikan hukuman pidana kepada para pelaku tindak pidana yang

melakukan perbuatan pidana serta adanya hubungan antara keadaan dan

perbuatannya.

Akibat kesalahan tersebut, maka pelaku harus bertanggungjawab atas

perbuatannya, menurut Andi Hamzah, pertanggungjawaban

(ketertanggungjawaban) adalah kesadaran jiwa orang yang dapat menilai,

menentukan kehendaknya, tentang perbuatannya yang dilarang undang-undang.9

Andi ahmad menerangkan bahwa seseorang yang dengan sadar dan dapat menilai

tindakannya yang telah melakukan suatu perbuatan yang terlarang dan perbuatan

tersebut diatur oleh undang-undang tindak pidana, maka seseorang tersebut

bertanggungjawab.

Penetuan seseorang bersalah atau tidak melalui proses peradilan yang disidangkan

oleh majelis hakim yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Menurut

8

Tri Andrisman. Hukum Pidana Asas-Asas Dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia. UNILA. Bandar Lampung. 2007.hlm. 105

9

(20)

13

Gerhard Robbes secara kontekstual ada 3 (tiga) esensi yang terkandung dalam

kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu:10

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau

mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan

fungsi yudisialnya.

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan

mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak

tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim

dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus

mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang

sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai

kepentingan pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula

rasa keadilan masyarakat.11

Menurut Mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan

oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara,

yaitu sebagai berikut:12

1. Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disin adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentinagan pihak-pihak yang tesangkut atau berakitan dengan perkara, yaitu anatara

10

Anny Yuserlina. Pertimbangan Hakim Dalam Penerapan Pidana Terhadap Anggota Tentara Nasional Indonesia Yang Melakukan Desersi. Program Pasca Sarjana Universitas Andalas Padang. 2011. Hlm.11

11 Ibid. hlm 12 12

(21)

14

lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.

2. Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada penegtahuan dari hakim.

3. Teori pendekatan keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

5. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

2. Konseptual

Suatu kerangka konsepsionil merupakan kerangka yang menggambarkan

hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti.13

13

(22)

15

Suatu Konsep atau kerangka konsepsionil pada hakekatnya merupakan suatu

pengarah, atau pedoman yang lebih kongkrit dari pada rangka teoritis yang sering

kali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsionil belaka

kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan

definisi-definisi operasionil yang akan menjadi pegangan kongkrit di dalam proses

penelitian.14

Untuk memberikan kesatuan pemahaman terhadap istilah-istilah yang

berhubungan dengan judul thesis ini, maka di bawah ini akan diuraikan

konseptual sebagai berikut:

a. Menurut Roeslan Saleh bahwa orang yang mampu bertanggung jawab

terhadap perbuatan pidana harus memenuhi tiga syarat:15

1. dapat menginsyafi makna yang perbuatannya ;

2. dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang

patut dalam pergaulan masyarakat ;

3. mampu untuk mentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan

perbuatan.

b. Pelaku adalah seseorang yang melakukan sesuatu16

c. Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan.17

d. Tindak pidana (delik, delict;delikt; offenc) adalah perbuatan yang dilarang

dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.18

14

Ibid. Hlm 133 15

Tina Asmarawati. Proses peradilan pidana terhdap anak yang berhadapan dengan hukum. http://www.bantenhits.com/rumah-kata/opini/188-proses-peradilan-pidana-terhadap-anak-yang-berhadapan-dengan-hukum.html. 2013.

16

Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Bahasa Indonesia.Jakarta. 1998 17 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 18

(23)

16

e. Pembunuhan.19

1. Pembunuhan adalah perbuatan dengan sengaja menghilangkan nyawa

orang lain (Pasal 338 KUHP) , pembunuhan yang dipikirkan lebih dahulu

(Pasal 340 KUHP)

2. Pembunuhan berkualifikasi, pembunuhan terbobot, pembunuhan dengan

pemberatan, gequalificeerde doodslag adalah pembunuhan yang yang

didahului, disertai, diikuti oleh delik lain, misalnya, pembunuhan yang

didahului dengan perkosaan; pembunuhan yang disertai dengan merusak

barang; pembunuhan yang diikuti dengan pencurian (Pasal 339 KUHP).

19

(24)

17 II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana Anak

Setiap manusia adalah makhluk tuhan yang tak pernah luput dari kesalahan,

kesalahan yang dilakukan dapat berupa perbuatan yang merugikan diri sendiri

maupun orang lain, hal tersebut tak jarang yang mengganggu ketentraman hidup

bermasyarakat. Seseorang yang melakukan kesalahan yang diatur dalam

perundang-undangan hukum pidana dapat diberikan sanksi berupa pidana.

Menurut Andi hamzah , pidana adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap orang

yang terbukti bersalah melakukan delik berdasarkan putusan yang berkekuatan

hukum tetap.1

Pidana adalah penderitaan yang diberikan kepada seseorang yang telah melakukan

kesalahan dan menjalani proses pembuktian sehingga hukuman ditentukan oleh

majelis hakim dalam sebuah putusan di pengadilan.

Istilah hukuman yang berasal dari kata “straf” dan istilah dihukum yang berasal

dari perkataan “wordt gestraf” , menurut Mulyatno merupakan istilah-istilah yang

konvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata “straf” dan diancam dengan

pidana untuk menggantikan kata “wordt gestraf”. Jika “straf” diartikan sebagai

hukuman, maka “strafrecht” seharusnya diartikan hukuman-hukuman. Hukuman

1

(25)

18

adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum yang maknanya lebih luas daripada

pidana, karena mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata.2

Pidana adalah makna sempit dari hukuman, yang mana hukuman mencakup

segala sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah dan

norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, namun pidana dalah hukuman yang

diberikan pada seseorang yang melakukan tindak pidana sesuai yang diatur dalam

hukum pidana.

Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang yang

melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.3

Saat ini banyak sekali pidana yang diberikan pada anak yang masih dibawah umur

akibat kenakalan remaja yang dilakukan membawa anak yang biasa disebut

sebagai anak nakal terjerat dalam permasalahan hukum dan melalui proses

peradilan anak, sehingga diberikan hukuman (pidana) terhadapnya.

Seorang anak yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum

pidana juga mengalami proses pembuktian di persidangan yang dikenal dengan

pengadilan anak, untuk memberikan sanksi kepada anak. Tak jarang juga anak

yang diberikan sanksi pidana. Pidana anak-anak (Kinderstraf) adalah pidana bagi

anak-anak yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum pidana. 4

Indonesia mengenal dengan asas legalitas, dimana tidak ada suatu perbutan dapat

dipidana jika tidak diatur dalam undang undang. Hukuman atau pidana yang

2

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, cetakan ketiga, P.T. Alumni. Bandung. 2005. hlm 1

3 Tri Andrisman. Hukum Pidana Asas-Asas Dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia. UNILA. Bandar Lampung. 2007. hlm 8

4

(26)

19

dijatuhkan dan perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana, harus lebih dahulu

tercantum dalam undang-undang pidana. Suatu asas yang disebut dalam nullum

crimen sine lege, yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Letak perbedaan antara istilah hukuman dan pidana, bahwa suatu pidana harus berdasarkan kepada

ketentuan undang-undang (pidana), sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya,

meliputi pula misalnya, guru yang merotan muridnya, orang tua yang menjewer

kuping anaknya, yang semuanya didasarkan pada kepatutan, kesopanan,

kesusilaan dan kebiasaan. Kedua istilah ini, juga mempunyai persamaan, yaitu

keduanya berlatar belakang tata nilai (value), baik dan tidak baik, sopan dan tidak

sopan, diperbolehkan dan dilarang.5

Pidana agak sedikit berbeda dengan hukuman, karena pidana diberikan kepada

seseorang melalui proses peradilan sesuai dengan perundang-undangan yang

berlaku, sedangkan hukuman berlaku kapan saja dan dengan siapa saja yang

melakukan perbuatan tercela, meskipun hal tersebut tidak diatur dalam ketentuan

perundang-undangan.

Sanksi pidana terhadap anak yang masih berumur 8 (delapan)tahun sampai 12

(dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, tindakan yang mungkin dijatuhkan

hakim kepada anak nakal adalah menyerahkannya kepada Departemen Sosial atau

Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan,

pembinaan dan latihan kerja untuk dididik dan dibina. Anak yang telah mencapai

umur 12 (dua belas tahun) sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana.

(27)

20

Perbedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan

fisik, mental dan sosial anak.6

Menurut Ted honderich

Punishment is an authority’s infliction of penalty (something involving

deprivation or distress) on an offenderfor an offence”. Artinya Pidana adalah

suatu penderitaan dari pidana yang berwenang sebagai hukuman (sesuatu yang

meliputi pencabutan dan penderitaan) yang dikenakan kepada seorang pelaku

karena sebuah pelanggaran.7

Penderitaan sebagai akibat pidana merupakan jalan keluar yang membebaskan dan

yang memberi kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan. H.L. Packer

sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam bukunya "The

limits of criminal sanction", akhirnya menyimpulkan antara lain sebagai berikut:8

1) Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang

maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana. (The criminal

sanction is indispensable; we could not, now or in the foreseeable future, get along without it)

2) Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang

kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. (The criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harm)

3) Sanksi pidana suatu ketika merupakan 'penjamin yang utama/

terbaik' dan suatu ketika merupakan 'pengancam yang utama' dari kebebasan manusia. la merupakan penjamin apabila diguna-kan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam,

6

Wagiati Soetodjo. Hukum Pidana Anak. Refika Adiatama. Bandung. 2006. hlm 29 7

Muhammad Taufik Makarao. Pembaharuan hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu bentuk-Bentuk Pemidanaan. Kreasi Wacana. Yogyakarta. 2005. hlm 18

(28)

21

apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (The

criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener).

Sanksi pidana dianggap sebagai alat terbaik untuk membuat seorang pelaku tindak

pidana menjadi jera, dan tidak akan mengulangi perbuatan kejam dan terlarang

lagi. Namun tidak sedikit pelaku tindak pidana yang setelah dipidana justru

menjadi lebih parah dari sebelumnya. Hal tersebut tentu bersebarangan dengan

maksud diberikannya pidana.

Seorang yang dipidana adalah seseorang yang telah melakukan tindak pidana

yang diatur dalam ketentuan hukum pidana. Tindak pidana (delik, delict;delikt;

offenc) adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh

undang-undang .9

Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar aturan hukum pidana

sebagaimana ketentuan dalam perundang-undangan. Beberapa pendapat ahli

tentang tindak pidana.10

Simons

“Tindak Pidana adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang

bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh

orang yang mampu bertanggungjawab.

9

Andi Hamzah. OP cit. Hlm. 164 10

(29)

22

Vos

“Tindak Pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan

perundang-undangan, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan

ancaman pidana”.

Van Hamel

“Tindak pidana adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet , yang bersifat

melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan”.

Moeljatno

“Perbuatan pidana (tindak pidana-pen) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut”

Para ahli tersebut diatas memiliki pendapat yang senada, bahwa tindak pidana

adalah perbuatan yang dilakukan oleh siapa saja yang bertentangan dengan

aturan-aturan hukum pidana sesuai dengan perundang-undangan dengan disertai

kualifikasi dan ancaman pidananya.

Berdasarkan pandangan Pompe, tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu:11

Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan

karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan

tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

11

(30)

23

Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan

undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum

Sesuai dengan pendapat Pompe bahwa definisi menurut teori bahwa suatu

perbuatan tindak pidana adalah kejadian yang didasari oleh kesalahan yang

diperbuat sang pelaku, akibat perbuatan tersebut meresahkan kesejahteraan

masyarakat, untuk itu patut diberikan sanksi bagi setiap orang yang melakukan

tindak pidana. Definisi menurut hukum positif pun memperkuat pernyataan

pompe bahwa perbuatan yang telah diatur dalam perundang-undangan dapat

dihukum sesuai dengan ancaman hukumannya.

Seorang Anak yang melakukan tindak pidana biasa disebut dengan anak nakal.

Berdasarkan Pasal 1 Butir 2 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, anak nakal adalah:

1. Anak yang melakukan tindak pidana, atau

2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik

menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain

yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan.

Kenakalan anak menurut Kartini Kartono adalah perilaku jahat /dursila, atau

kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara

sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian

tingkah laku yang menyimpang. 12

Kenakalan anak adalah reaksi dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan

oleh anak, namun tidak segera ditanggulangi, sehingga menimbulkan akibat yang

12

(31)

24

berbahaya baik untuk dirinya maupun bagi orang lain. Menurut Romli

Atmasasmita, Juvenile Deliquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku

seseorang anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin yang

merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat

membahayakan perkembangan peribadi anak yang bersangkutan.13

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 22

menerangkan bahwa anak nakal yang melakukan tindak-pidana dapat dijatuhi

pidana dan tindakan. Hukuman yang diberikan pada anak mungkin dapat di

serahkan pada lembaga pemasyarakatan seperti pidana penjara, kurungan, dan

tindakan menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan,

dan latihan kerja.

Kenakalan anak suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma

hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak yang masih dibawah

umur. Pengaturan dalam undang-undang pengadilan anak mengacu pada

pembinaan dan perlindungan hukum kepada anak nakal guna melindungi hak-hak

anak untuk menjamin kepentingan terbaik bagi anak. Anak adalah seseorang yang

masih dibawah umur perlu mendapatkan perhatian dan perlindungan hukum

agar-hak-haknya sebagai anak dapat terpenuhi.

Masalah penegakan hak-hak anak dan hukum anak, pada dasarnya sama dengan

masalah penegakkan hukum secara keseluruhan. Anak nakal hanya dapat

dijatuhkan pidana atau tindakan seperti yang dimuat dalam Pasal 22 UU

Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997, Namun Pasal 26 UU Nomor 3 Tahun

13

(32)

25

1997 juga menjelaskan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak

Nakal, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara

bagi orang dewasa dan apabila Anak Nakal, melakukan tindak pidana yang

diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana

penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh)

tahun. Saat ini telah ada undang-undang baru yang telah disahkan dan akan

diberlakukan pada tahun 2014 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11

Tahun 2012 yang juga menerangkan :

Pasal 81 Ayat (1) bahwa “Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak

paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang

dewasa”. Pasal 81 Ayat (6) bahwa “Jika tindak pidana yang dilakukan Anak

merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara

seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10

(sepuluh) tahun”.

Sanksi diberikan untuk memberikan efek jera pada pelaku kejahatan dan juga

mendorong terciptanya keseimbangan dan keamanan dalam kehidupan

bermasyarakat. Sanksi Pidana terhadap anak berdasarkan Undang-Undang Nomor

3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak Pasal 23 Ayat (2) bahwa anak nakal dapat

dikenakan pidana pokok dan tambahan, dan anak nakal dapat dijatuhkan hukuman

berupa tindakan seperti yang tertuang dalam Pasal 24 undang-undang pengadilan

anak.

Menurut pendapat Romli Atmasasmita sebagaimana yang dikutip oleh Gultom

dalam bukunya yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam

(33)

26

atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan

dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh

masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.14

Kedudukan keluarga sangat fundamental dalam pendidikan anak. Apabila

pendidikan keluarga gagal, maka anak cenderung melakukan tindakan kenakalan

dalam masyarakat dan tidak jarang menjurus ke arah tindakan kejahatan atau

kriminal.

Pada buku yang berjudul Kriminologi, B. Simanjuntak berpendapat bahwa,

kondisi-kondisi rumah tangga yang mungkin dapat menghasilkan “anak nakal”,

adalah:15

a. Adanya anggota lainnya dalam rumah tangga itu sebagai penjahat,

pemabuk, emosional;

b. Ketidakadaan salah satu atau kedua orangtuanya karena kematian,

perceraian atau pelarian diri;

c. Kurangnya pengawasan orangtua karena sikap masa bodoh, cacat

inderanya, atau sakit jasmani atau rohani;

d. Ketidakserasian karena adanya main kuasa sendiri, iri hati, cemburu,

terlalu banyak anggota keluarganya dan mungkin ada pihak lain yang campur tangan;

e. Perbedaan rasial, suku, dan agama ataupun perbedaan adat istiadat,

rumah piatu, panti-panti asuhan.

Seorang anak dapat terjerumus melakukan perbuatan yang terlarang disebabkan

karena jiwa anak masih labil dan sangat mudah terpengaruh, sehingga apabila

anak terjebak dalam lingkungan dan pergaulan yang salah, maka rentan bagi anak

14

Maidin Gultom. Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Refika Aditama. Bandung. 2008. hlm. 55-56

15

(34)

27

untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat bahkan sampai pada suatu

tindak pidana.

B. Pengertian Anak

Anak adalah karunia yang terbesar bagi keluarga, agama, bangsa, dan negara.

Kehidupan berbangsa dan bernegara anak adalah penerus cita-cita bagi kemajuan

suatu bangsa. Hak asasi anak dilindungi dalam Pasal 28 B Ayat (2) UUD 1945

yang berbunyi setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang,

serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Masa depan suatu bangsa sangat ditentukan dengan kualitas kehidupan anak saat

ini. Suatu bangsa akan menjadi bangsa yang besar jika mereka dapat memberikan

perlindungan yang layak pada anak baik kesejahteraan lahir, bathin maupun

sosial.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

menjelaskan baa anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu)

tahun dan belum pernah kawin. Melihat Pasal 1 ayat (1) huruf a Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak bahwa kesejahteraan anak

adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin

pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani

maupun sosial.

Anak merupakan amanah dan anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam

(35)

28

mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak

terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta.16

Anak yang berhadapan dengan hukum pun memiliki hak untuk dilindungi, karena

anak adalah generasi penerus bagi suatu bangsa yang harkat dan martabatnya

dijunjung tinggi.

Penjelasan Pasal 25 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 mengamanatkan bahwa

dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak,

hakim memperhatikan berat ringannya tindak pidana atau kenakalan yang

dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Selain itu, hakim juga wajib

memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua, wali, atau orang

tua asuh, hubungan antar anggota keluarga, dan keadaan lingkungannya.

Demikian pula hakim wajib memperhatikan laporan Pembimbing

Kemasyarakatan.

Namun sistem pemidanaan saat ini hanya memperhatikan pada sifat

pemidanaannya saja tanpa memperhatikan bagaimana merubah karakter buruk

seorang anak menjadi sosok yang lebih baik, dan tidak mengulangi perbuatan

buruk itu lagi.

Arti anak dari aspek social ini lebih mengarahkan pada perlindungan kondrati

karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh sang anak sebagai wujud

untuk berekspresi sebagaimana orang dewasa.

(36)

29

Sesuai yang tercantum pada Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun

dan belum kawin.

Definisi anak menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan.

Berdasarkan kesadaran bahwa masa depan masyarakat, bangsa, dan umat manusia

ditentukan oleh kesejahteraan anak saat ini, maka pemenuhan hak-hak anak untuk

tumbuh dan berkembang mencapai tingkat optimum potensi yang dimilikinya

dalam lingkungan keluarga dan masyarakat yang melindungi harus menjadi issue

yang penting dari semua kalangan. Perhatian, komitmen, dan sumber daya yang

tersedia sebagian telah terwujud menjadi tindakan nyata di tingkat individu,

kelompok masyarakat, maupun lembaga-lembaga negara, baik di tingkat pusat

maupun daerah. Namun demikian, data resmi statistik dan pengamatan kasat mata

menunjukkan bahwa pada kenyataannya masih terdapat kesenjangan yang sangat

besar antara situasi ideal dengan situasi nyata terhadap penghargaan, pemenuhan,

dan perlindungan atas hak-hak anak.

C. Pengertian Pertanggungjawaban pidana

Seorang individu yang melakukan tindak pidana tentunya membahayakan dirinya

maupun orang lain. Ketika seorang individu tersebut sadar dan memiliki

hubungan batin terhadap perbuatan yang dilakukannya, maka pelaku tindak

(37)

30

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan

teorekenbaardheid atau criminal. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah

ditentukan dalam undang-undang. Melihat dari sudut terjadinya tindakan yang

dilarang, seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut,

apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau

peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Melihat dari

sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu

bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.

Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas

pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang

melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari

soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.17

Kesalahan menjadi dasar perbuatan manusia yang menyimpang dari

kaidah-kaidah dan dan norma-norma perilaku, kesalahan juga menjadi dasar seseorang

dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan

pelaku tindak pidana dan melanggar aturan-aturan hukum pidana.

Responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan

atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak

17Saifudien Dj.

(38)

31

Istilah dalam Bahasa Belanda, pertanggungjawaban pidana menurut Pompee

terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan

toerekenbaar .18

Pound menguraikan perkembangan konsepsi liability. Teori pertama,

menurut Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk

membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah

“dirugikan”. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan

undang-undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian

dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa “pembalasan”sebagai suatu alat

penangkal, maka pembayaran “gantirugi” bergeser kedudukannya, semula

sebagai suatu “hakistimewa” kemudian menjadi suatu “kewajiban”.

Ukuran “gantirugi” tersebut tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus

“dibeli”, melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh

perbuatan pelaku yang bersangkutan.19

Menurut Roeslan Saleh bahwa orang yang mampu bertanggung jawab terhadap

perbuatan pidana harus memenuhi tiga syarat:20

1. dapat menginsyafi makna yang perbuatannya ;

2. dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut

dalam pergaulan masyarakat ;

18Andi Hamzah. Asas Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. 1994. hlm. 131 19

Romli Atmasasmita. Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana,Cetakan Pertama. Yayasan LBH. Jakarta. 1989. hlm. 79

20

(39)

32

3. mampu untuk mentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.

Tidak jauh berbeda dengan pendapat Roeslan Saleh. Menurut Van Hamel,

kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan

kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 (tiga) kemampuan:

a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri

b. Mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan

masyarakat tidak dibolehkan.

c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu.21

Seseorang yang bertanggungjawab terhadap perbuatannya adalah seseorang yang

secara sadar tahu dan paham bahwa perbuatannya adalah perbuatan yang terlarang

dan melanggar ketentuan perundang-undangan.

Nigel Walker pernah mengingatkan prinsip-prinsip pembatas (the limiting

principles) yang sepatutnya mendapat perhatian :

a. Jangan hukum pidana (HP) digunakan semata-mata untuk tujuan

pembalasan /retributive;

b. Jangan menggunakan HP untuk pidana perbuatan yang tidak

merugikan/membahayakan;

c. Jangan menggunakan HP untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai

secara lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan;

d. Jangan menggunakan HP apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana

lebih besar dari pada kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri;

e. Larangan-larangan HP jangan mengandung sifat lebih berbahaya dari pada

perbuatan yang akan dicegah;

f. HP jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat

dari publik; dan

g. HP jangan memuat larangan/ketentuan-ketentuan yang tidak dapat

dilaksanakan/dipaksakan (unenporceable) .22

(40)

33

Orang yang dapat dituntut di muka pengadilan dan dijatuhi pidana, haruslah

melakukan tindak pidana dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat dibedakan

menjadi 2 (dua), yaitu :23

1. Kemampuan bertanggung-jawab

2. Sengaja (Dolus/Opzet) dan Lalai (Culpa/Alpa)

Sebagai dasar dari pertanggungjawaban pidana, kesalahan yang timbul dari

adanya hubungan bathin antara pelaku dan perbuatannya. Pelaku sadar akan

akibat dari perbuatan yang ia lakukan, bahwa perbuatannya tersebut dilarang dan

melanggar peraturan perundang-undangan ranah hukum pidana. Sebagaimana

diterangkan pada Pasal 44 KUHP bahwa apabila yang melakukan perbuatan

pidanaitu tidak dapat bertanggungjawab karena pertumbuhan yang cacat atau

gangguan penyakit jiwa, maka orang itu tidak dapat di pidana.

Penegakan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri,

melainkan mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakatnya.

Oleh karena itu. Penegakan hukum dalam suatu masyarakat mempunyai

kecenderungan-kecenderungannya sendiri yang disebabkan oleh struktur

masyarakatnya. Struktur masyarakat tersebut merupakan kendala, baik berupa

penyediaan sarana sosial yang memungkinkan penegakan hukum dijalankan

maupun memberikan hambatan-hambatan yang menyebabkan penegakan hukum

tidak dapat dijalankan dengan seksama.24 Proses penegakan hukum adalah suatu

22

Asmarawati, Tina. Proses peradilan pidana terhdap anak yang berhadapan dengan hukum. http://www.bantenhits.com/rumah-kata/opini/188-proses-peradilan-pidana-terhadap-anak-yang-berhadapan-dengan-hukum.html. 2013.

23 Tri Andrisman. Op Cit. . hlm. 40 24

(41)

34

proses yang memerlukan kerjasama antar aparat penegak hukum, demin mencapai

suatu keadilan seutuhnya.

D. Pengertian Pemidanaan

Pemidanaan adalah penjatuhan hukuman yang diberikan kepada seorang yang

telah melanggar ketentuan hukum pidana, sehingga melalui proses pengadilan

pelaku kejahatan diberikan sanksi.

Sudarto menyatakan bahwa perkataan pemidanaan sinonim dengan istilah

penghukuman. Penghukuman itu sendiri berasal dari kata “hukum”, sehingga

dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang

hukumannya (berechten). Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak hanya

dalam lapangan hukum pidana saja tetapi juga bidang hukum lainnya. Oleh

karena itu istilah tersebut harus disempitkan artinya, yaitu penghukuman dalam

perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau

penjatuhan pidana oleh hakim.25

Berdasarkan pendapat di atas, dapat diartikan bahwa pemidanaan dapat diartikan

sebagai penetapan pidana dan tahap pemberian pidana. Menurut Jan Remmelink,

pemidanaan adalah pengenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh penguasa

yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar suatu aturan hukum.26

sedangkan Jerome Hall sebagaimana di kutip oleh M. Sholehuddin memberikan

perincian mengenai pemidanaan, bahwa pemidanaan sebagai berikut :

1) Pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup.

25

Marlina. Hukum Penitensier. Refika Aditama. Bandung. 2011. hlm. 33 26

(42)

35

2) Ia memaksa dengan kekerasan

3) Ia diberikan atas nama negara “diotorisasikan”

4) Pemidanaan mensyaratkan adanya peraturan-peraturan, pelanggarannya, dan

penentuannya yang diekspresikan di dalam putusan

5) Ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan dan ini

mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan

kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan dalam etika.

6) Tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan

dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian) si

pelanggar, motif dan dorongannya.

Pelaku yang melakukan tindak pidana dapat dikenakan pemidanaan terhadap

mereka, pemidanaan menurut KUHAP Pasal 199 Ayat (1) merupakan hal yang

berkenaan dengan pidana; misalnya tujuan atau maksud dijatuhkannya pidana.

Pada penjatuhan pidana menganut teori pemidanaan, tujuan pemidanaan

digolongkan menjadi 3(tiga) teori :

1. Teori Absolut atau teori pembalasan

Menurut Andi Hamzah Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah

bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu

sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara

mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan

manfaat penjatuhan pidana .27

(43)

36

Pada teori ini menekankan tujuan pemidanaan dengan pembalasan dengan sistem

balas dendam, seorang yang telah melakukan kejahatan harus dibalas dengan

suatu penderitaan yang setimpal, tanpa memikirkan manfaatnya.

2. Teori relatif atau teori tujuan

Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan, bahwa:

Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada

orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan- tujuan

tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori

tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini

adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan“quia peccatum est

(karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan

melakukan kejahatan).28

Pemidanaan tidak hanya mengutamakan pembalasan semata, karena pada teori ini

juga memikirkan mengenai manfaatnya. tujuan pidana menurut teori relatif adalah

untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan

kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk

membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.

3. Teori gabungan

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan

penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan

ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan

28

(44)

37

teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori

tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu:29

1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam

penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada

danpembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.

2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku

tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan masyarakat

diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan mencegah

kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.

Teori gabungan ini adalah pencampuran dari teori absolut dan teori relatif yang

menggabungkan kelebihan-kelebihan masing-masing teori sehingga menciptakan

tujuan pemidanaan sendiri.

Berdasarkan Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang No. 3 tahun 1997, Penjatuhan

pidana terhadap anak nakal meliputi pidana pokok dan pidana tambahan.

Jenis hukuman atau macam ancaman hukuman dalam Pasal 10 KUHP adalah

sbb:

1. Pidana Pokok

a) Pidana Mati

b) Pidana Penjara

c) Pidana Kurungan

d) Pidana Denda

29

(45)

38

e) Pidana Tutupan

2. Pidana Tambahan

a) Pencabutan hak-hak tertentu

b) Perampasan barang-barang tertentu

c) Pengumuman putusan hakim

Adapun pemidanaan seperti yang tersebut diatas memiliki syarat-syarat, yakni:30

1. Perbuatan, yang harus:

a. Memenuhi rumusan Undang-Undang

b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)

2. Orang, dalam hal ini berhubungan dengan “Kesalahan”, yang meliputi:

a. Kemampuan Bertanggung jawab

b. Sengaja (dolus/opzet)atau Lalai (Culpa/Alpa) (Tidak ada alasan

pemaaf)

E. Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia

Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara

Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan

tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.31

Anak dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,

antara lain :

(1) Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan

hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi

saksi tindak pidana

30

Tri Andrisman. Op Cit. . hlm. 95 31

(46)

39

(2) Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah

anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18

(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana

(3) Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak

Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang

mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang

disebabkan oleh tindak pidana.

(4) Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak

Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang

didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Pada sistem peradialan pidana anak dalam undang undang yang baru terdapat

istilah keadilan restoratif hal ini tertuang dalam Pasal 1 Angka 6 UU Nomor 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Keadilan Restoratif adalah

penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga

pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari

penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan

semula, dan bukan pembalasan.

Demi mewujudkan keadilan restoratif, maka dalam Sistem Peradilan Pidana

Anak dimungkin adanya diversi. Diversi diperjelas pada Pasal 1 angka 7 UU

Nomor 11 Tahun 2012 adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses

(47)

40

Pihak-pihak yang berperan mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Anak yang

diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak , antara lain adalah :

1. Penyidik adalah penyidik anak;

2. Penuntut Umum adalah penuntut umum anak;

3. Hakim adalah hakim anak;

4. Hakim Banding adalah hakim banding anak;

5. Hakim Kasasi adalah hakim kasasi anak;

6. Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum

yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan,

dan pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan

pidana;

7. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga

pemerintah maupun swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan

sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui

pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk

melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial;

8. Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara

profesional untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah

sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun

swasta, yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial anak;

9. Keluarga adalah orang tua yang terdiri atas ayah, ibu, dan/atau anggota

(48)

41

10. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan

kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak;

11. Pendamping adalah orang yang dipercaya oleh anak untuk mendampinginya

selama proses peradilan pidana berlangsung;

12. Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya adalah orang yang berprofesi

memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang

memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

13. Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat LPKA adalah

lembaga atau tempat anak menjalani masa pidananya;

14. Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya disingkat LPAS

adalah tempat sementara bagi anak selama proses peradilan berlangsung ;

15. Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disingkat

LPKS adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan

penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi anak;

16. Klien Anak adalah anak yang berada di dalam pelayanan, pembimbingan,

pengawasan, dan pendampingan Pembimbing Kemasyarakatan;

17. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah unit pelaksana

teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi

Referensi

Dokumen terkait

a. Besarnya gaji yang dibayar kepada setiap pegawai harus disesuaikan dengan prestasi kerja, jenis pekerjaan, risiko pekerjaan, tingkat pendidikan, jabatan pekerja,

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menemukan ada atau tidaknya perbedaan pengaruh prestasi belajar antara siswa yang diajar dengan metode Make A Match dan siswa yang diajar dengan

[r]

Siti Rahayu Hassan, Mohammad Syuhaimi Ab-Rahman, Aswir Premadi and Kasmiran Jumari. The Development of Heart Rate Variability Analysis Software for Detection of Individual

Jika nilai piksel pada citra lebih besar dari nilai threshold yang ditentukan maka nilai piksel tersebut akan diubah menjadi warna putih dan diinisialkan dengan

More than three fourth of the population in Aceh think positively about the Indonesian Government effort in implementing the Helsinki Accord.. These are the Indonesian

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

Two Bayesian estimators of µ using two different priors are derived, one by using conjugate prior by applying gamma distribution, and the other using