ABSTRACT
The solving of the dispute of syariah bangking based on act no. 21 year 208
Oleh Elsa Gustia Irana
The issue related to the religion court authority in syariah bank field is concerning in procuderal law and case procedural solution in religion court. Wich procedural law will be applied in
solving of syariah bangking dispute in religion court. The issue in this research is the cause of the dispute that occurs in syariah bank. The solving process of syariah bank dispute based on act No. 21 year 2008 and the obstacle in solving it.
This research used juridical normativie approach, that analyzed the secondary data from secondary law materials by understand the law as the positive norms in legislation which relates to the issue of this research.
i ABSTRAK
PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG - UNDANG
NOMOR 21 TAHUN 2008 Oleh
Elsa Gustia Irana
Permasalahan yang terkait dengan kewenangan pengadilan agama dalam bidang bank syariah adalah mengenai hukum acara dan prosedur penyelesaian perkara tersebut di pengadilan agama. Hukum acara mana yang akan diterapkan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah tersebut di pengadilan agama. Permasalahan dalam penelitian ini adalah penyebab terjadinya sengketa perbankan syariah, proses penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 dan penghambat dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji atau menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini.
Hasil penelitian bahwa penyebab timbulnya sengketa perbankan syariah adalah (i) terjadinya kredit macet, (ii) minimnya edukasi masyarakat, (iii) kurangnya perhatian dari perbankan syariah terhadap pengaduan masalah yang mereka alami dan (iv) nasabah selalu diposisikan sebagai pihak yang lemah. Selanjutnya penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan melalui dua jalur yaitu: litigasi dan non litigasi. Faktor penghambat penyelesaian sengketa perbankan syariah yaitu: struktur atau aparat dalam hal ini institusi pendukung yang belum lengkap, efektif dan efisiensi, substansi dalam hal ini perbankan Peradilan Agama membutuhkan kerangka dan perangkat pengaturan yang sesuai dengan karakteristik operasionalnya, dan budaya hukum masyarakat Indonesia yang masih belum memahami keberadaan Peradilan Agama sebagai penyelesaian sengketa perbankan syariah..
Pada akhirnya disarankan penyelesaian sengketa perbankan syariah walaupun ada beberapa jalur yang bisa dipakai namun hendaknya tunduk dan ikut dalam peraturan yang ada. Selanjutnya jalur non-litigasi merupakan jalur terbaik yang dapat dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa syariah. Dan yang terakhir yaitu kerja sama antara Basyarnas dan Pengadilan Agama dapat dijalin baik sehingga akan tercapai penegakkan hukum sesuai yang diinginkan.
PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 21 TAHUN 2008
TESIS
Oleh
ELSA GUSTIA IRANA
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 21 TAHUN 2008
Oleh
Elsa Gustia Irana
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
MAGISTER HUKUM
Pada
Prigram Pascasarjana Program Studi Magister Hukum
Fakultas Hukum Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala
karunia dan ridho-NYA, sehingga tesis dengan judul “Penyelesaian Sengketa
Perbankan Syariah Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008” dapat
diselesaikan.
Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
Magister Hukum pada Program Studi Magister Hukum Universitas Lampung. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas
Lampung.
2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Unila.
3. Bapak Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum. selaku Ketua Program dan Bapak
Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H., selaku Sekretaris Program pada Program
Pascasarjana Program Magister Hukum Universitas Lampung.
4. Bapak Dr. Muhammad Fakih, S.H., M.S. selaku Pembimbing Utama dan Ibu
Dra. Nunung Rodliyah, M.A. selaku Pembimbing Pendamping penulis yang
telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, motivasi serta petunjuk
kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
5. Bapak Dr. Wagianto, S.H., M.H. dan Bapak Dr. Hamzah, S.H., M.H. dan Prof.
Abdulkadir Muhammad, S.H. selaku Penguji atas kritik dan saran yang sangat
berarti selama penulisan tesis ini.
6. Bapak, Ibu Dosen dan Staf Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas
Hukum Universitas Lampung yang telah banyak membantu selama perkuliahan
hingga penyelesaian tesis.
7. Papi dan Mami atas semua do’a, usaha dan pengorbanannya untuk
keberhasilanku.
9. Kakak dan Adikku, serta Keluarga Besarku yang tidak dapat disebutkan satu
persatu.
10.Teman-teman seperjuangan angkatan 2010/2011 Program Pascasarjana
Program Studi Magister Hukum Universitas Lampung yang saya cintai dan
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan
bantuan dan dorongannya dalam penyelesaian tesis ini.
Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan maupun pustaka yang ditinjau,
penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan perlu
pengembangan lebih lanjut agar benar-benar bermanfaat. Oleh sebab itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran agar tesis ini lebih sempurna serta sebagai
masukan bagi penulis untuk penelitian dan penulisan karya ilmiah di masa yang
akan datang.
Akhir kata, penulis berharap tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Bandar Lampung, 23 Desember 2014
Penulis,
DAFTAR ISI
Hlm
ABSTRAK ... i
LEMBAR PERNYATAAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
MOTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
RIWAYAT HIDUP ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 10
C. Tujuan Penelìtìan dan KegunaanPenelitian ... 11
D. Kerangka Teoretis dan Konseptual ... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Prinsip Ekonomi Syariah ... 20
B. Hukum Perbankan Syariah ... 27
C. Akad Dalam Ekonomi Syariah ... 35
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 49
B. Spesifikasi Penelitian ... 49
C. Sumber Data ... 49
D. Pengumpulan Data ... 51
E. Analisis Data ... 51
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penyebab Terjadinya Sengketa Perbankan Syariah ... 52
B. Proses Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Menurut Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 ... 61
V. PENUTUP
A. Simpulan ... 97
B. Saran ... 98
----.----.T
1. Tim Penguji
Ketua Tim Penguji
Sekretaris
Penguji Utama
Anggota
Anggota
MENGESAIIKAN
Dr. Muhammad Fakih, S.H.,
Dr. Nunung Rodliyah, M.A.
Dr. Hamzah, S.H., M.H.
Dr. Wagianto, S.H., M.H.
fr{r,"^l;
Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H.
Itas Hukum
1 r09 198703
I
0034.
Tanggal Lulus Ujian : 23 Desember 2014W
r Program Pascasarjana
Judul Tesis
Nama
No. Pokok Mahasiswa
Program Kekhususan
Program Studi
Fakultas
PENYELESAIAN SENGKETA PERBAI\KAN SYARIAH MENURUT UNDANG.UFIDANG
NOMOR 21 TAHUN 2OO8
Elsa Gustia
Irana
T02201tArc
Hukum Bisnis
Program Pascasarjana Magister Hukum
Hukum
MBNYETUJUI
Dosen Pembimbing
Ilr.
NunNIP
1960MENGETAI{UI
uhannmad Fakih, S.H., M.S.
9641218 1e8803 I 002
LEMBAR PERNYA'T'AAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sebanarnya balwa:
1.
Tesis dengan judul '?enyelesaian Sengketa Perbankan Syariah MenurutUndang-Undang Nomor 21 Tahun
2008"
adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan carayang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme.2.
Hak intelektual atas karya ilmiahini
diserahkan sepenuhnya kepada Uniyersitas Lampung.Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidak
benaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya, saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.
Elsa Gustia Irana
i
PERSEMBAHAN
Tesis ini saya persembahkan untuk:
Kupersembahkan karyaku ini kepada keluarga besarku terutama Suami ku tercinta Briptu. Zefrie Hidayat, S.ip , M.H, Ibuku tersayang Hj. Dra Tina Melinda, MM. Mertuaku Zulkarnain dah Hudayah, Spd mereka yang senantiasa memberikan doa yang tulus atas keberhasilanku dalam
menempuh Ilmu sebagai mahasiswi Magister Hukum Universitas Lampung
Adik dan Kakakku Taufan Aditya Irana, S.STP, Zessy Oktaviana, S.Pd, Ayuk ku Zelda Nora Aprisa, Amd.kep dan kakak Ipar Ku Cheris SH, MH yang selalu support buat menyelesaikan tesis ini semoga dengan
i
MOTO
“
Jika di antara orang-orang beriman terjadi perselisihan /
bertengkar/bersengketa, maka damaikanlah mereka,
sesungguhnya Allah mencintai orang yang berlaku adil.
i
R I W A Y A T H I D U P
Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Agustus 1986 di
Bandar Lampung yang merupakan anak pertama dari dua
bersaudara buah hati pasangan Bapak Bambang Irana,
S.E. dan Ibu Hj. Dra. Tina Malinda, M.M.
Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar Kartika
Candra Kirana II Persit Bandar Lampung Lulus Tahun 1999. Sekolah
Menengah Pertama Negeri 4 Bandar Lampung Lulus Tahun 2002. Sekolah
Menengah Atas Slamet Riyadi Lampung Utara Lulus Tahun 2005. Strata
satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada tahun 2010
penulis diterima sebagai Mahasiswa pada Fakultas Hukum Program Studi
Magister Hukum Universitas Lampung dan menyelesaikan magister
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada awalnya yang menjadi kendala hukum bagi penyelesaian sengketa
perbankan syariah adalah hendak dibawa kemana penyelesaiannya, karena
Pengadilan Negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi
penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan saat itu menurut
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 hanya terbatas mengadili perkara perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqoh. Hal inilah yang melatar belakangi lahirnya Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
menetapkan kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili
dan menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi Syariah. 1
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebaiknya lebih mengedepankan
menempuh upaya musyawarah untuk mufakat ketika menghadapi sengketa.
Melalui upaya dialogis ini diharapkan hubungan bisnis dan persaudaraan yang ada
dapat tetap terjalin dan lebih dapat menjaga hubungan baik diantara para pihak,
serta dapat lebih hemat dari segi waktu dan biaya. Dalam hal musyawarah untuk
mufakat tidak tercapai baru para pihak dapt menempuh upaya lain, yaitu, melalui
1
2
jalur negosiasi, mediasi, arbitrase, serta litigasi melalui pengadilan sebagai upaya
terakhir yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat tingkat pembiayaan tak lancar (Non Performing Financing/NPF) atau biasa disebut kredit macet perbankan syariah masih tinggi di kisaran 3% atau lebih tinggi dari industri yang hanya mencapai
2% hal ini disebabkan tingginya pembiayaan macet perbankan karena
penyesuaian kondisi karena melambatnya pertumbuhan ekonomi. Seperti kasus
kredit macet Nasabah Bank Sumut Syariah Tebingtinggi, akibat kredit macet
sebesar Rp 181.716.500, aset jaminan tanah dan bangunan senilai Rp 1 milliar
dilelang bank. Nasabah mengaku kecewa dengan pihak bank. Nasabah
menganggap pihak bank tidak profesional dalam melayani nasabah. Nasabah
percaya bank syariah itu lebih baik dari bank konvensional karena memakai
sistem bagi hasil dan lebih manusiawi, tapi akibat kredit macet karena usaha
rumah makan kurang lancar, pihak bank malah melelang jaminan pinjaman
walaupun usahanya tetap berjalan.2 Kasus sengketa perbankan syariah ini menjadi
polemik, karena bank syariah bertujuan memberikan pinjaman sesuai hukum
Islam tetapi tentu saja mengejar keuntungan, hal ini merugikan nasabah yang
menggantungkan hidupnya pada pinjaman bank syariah.
Hukum Islam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari ajaran agama Islam
merupakan hukum yang secara empirik hidup dalam masyarakat Indonesa (the living law) sejak masuknya Islam ke Nusantara. Sebagai hukum yang hidup,
2
3
hukum Islam di Indonesia dari masa ke masa mengalami perkembangan yang
menggembirakan. 3
Diundangkanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 206 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah
memberikan arah baru bagi kompetensi Peradilan Agama untuk menangani,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Amademen ini dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, terutama setelah tumbuh dan
berkembangnya praktik ekonomi Islam di Indonesia.4
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 pada tanggal 29
Desember 1989 dan Undang-Undang Pengadilan Agama Nomor 3 Tahun 2006,
peradilan agama berjalan menuruti mekanisme peradilan negara yang
sesungguhnya. Artinya peradilan agama menjadi bagian dari peradilan negara
yang bersama-sama dengan peradilan umum, peradilan tata usaha negara dan
peradilan militer melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Setelah
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 diundangkan, tampaknya gairah umat Islam Indonesia untuk melaksanakan syariat Islam semakin menggeliat.5 Gairah
umat Islam untuk melaksanakan syariat Islam ditandai antara lain dengan
munculnya gerakan ekonomi Islam untuk mengganti ekonomi konvensional yang
3
Said Agil Al Munawwar, Op.Cit, hlm. 176 4
Ekonomi Syariah yang dimaksud dalam pasal 49 huruf i, penjelasanya mencakup (a) bank syari’ah; (b). lembaga keuangan mikro syari’ah. (c). asuransi syari’ah; (d). reasuransi
syari’ah; (e). Reksa dana syari’ah; (f). obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; (g). sekuritas syari’ah;(h). pembiayan syari’ah; (i). Pegadaian syari’ah; (j). dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan (k). bisnis syari’ah.
5
4
berbasis sistem bunga (ribawi) yang dianggap tidak adil dan eksploitatif.6 Pada
akhir Tahun 1991 digagas pembentukan lembaga keuangan yang berbasis syariah
berbentuk bank dengan modal disetor sejumlah Rp 106.126.382.000. Berawal dari
modal tersebut pada tanggal 1 Mei 1992 resmi beroperasi Bank Mumalat
Indonesia (BMI).7 Pada awalnya, keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimum dalam tatanan industri perbankan nasional. Secara
yuridis, dasar hukum operasional bank syariah hanya dapat dikategorikan sebagai bank dengan sistem bagi hasil. Tidak dapat rincian landasan syariah serta
jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang hanya menyinggung sepintas lalu mengenai sistem bagi hasil dalam operasional perbankan dan kemudian disusul
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan
prinsip bagi hasil.
Pada era reformasi, perbankan syariah mulai menemukan landasan hukum yang kuat, karena dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, telah mengatur dengan rinci landasan hukum, dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah (disebutkan secara
eksplisit dan tegas). Undang-undang ini juga memberikan arahan bagi bank-bank
konvensional untuk membuka cabang (window) syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah. Menjelang akhir Tahun 2009
terjadi booming bank-bank konvensional membentuk cabang syariah, seperti Bank
6
Antonio Syafi’i,Bank Syariah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, Jakarta: Tazkia Institue, 2009, hlm 124-125.
7
5
IFI, Bank Niaga dan Bank BNI. Bahkan pada awal Tahun 2000 Bank Mandiri telah mendirikan anak perusahaan dengan nama Bank Mandiri Syariah. Belum
lagi munculnya 898 baitul mal wa tamwil yang merupakan lembaga keuangan mikro syariah.8 Selain munculnya beberapa perbankan syariah, juga telah muncul lembaga keuangan syariah lainnya (non bank) seperti Pegadaian Syariah, Asuransi dan Re asuransi Syariah, Reksadana Syariah, Pasar Modal Syariah dan sebagainya dan sehubungan dengan itu Dewan Syariah Nasional (Institusi dibawah MUI)
yang dibentuk pada awal tahun 2009, sejak tanggal 1 April 2000 sampai dengan 25 Pebruari 2005 telah menerbitkan 49 fatwa sebagai pedoman bagi lembaga
keuangan syariah (Bank dan non Bank) dalam menjalankan kegiatan ekonomi
berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi syariah sebagaimana terurai di atas, maka telah lahir pula Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang
merupakan amandemen dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 telah diadakan perubahan dan salah satu ketentuan penting yang diubah
adalah ketentuan Pasal 49 yang menyangkut tugas dan kewenangan Peradilan
Agama.
Luasnya cakupan bidang hukum yang terkait dengan bidang perbankan syariah
tersebut membuat tidak tertutup kemungkinan terjadinya titik singgung atau
persentuhan kewenangan mengadili yang dapat berakibat tidak adanya ketertiban
dan kepastian dalam penegakan hukum. Permasalahan yang terkait dengan
8
6
kewenangan pengadilan agama dalam bidang bank syariah tersebut adalah
mengenai hukum acara dan prosedur penyelesaian perkara tersebut di pengadilan
agama. Hukum acara mana yang akan diterapkan dalam menyelesaikan sengketa
perbankan syariah tersebut di pengadilan agama. Selama ini pengadilan agama
terkesan hanya terbatas dalam menangani perkara-perkara dalam bidang hukum
keluarga saja, masuknya bidang ekonomi syariah, khususnya bidang perbankan
syariah menjadi kewenangan peradilan agama jelas merupakan persoalan baru
bagi pengadilan agama yang memerlukan pengkajian dan penelitian secara
tersendiri.
Kewenangan baru yang merupakan perluasan kewenangan peradilan agama yang
telah ada yaitu kewenangan peradilan agama untuk memeriksa dan memutus serta
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah diantara orang-orang yang beragama
Islam. Perluasan kewenangan ini dalam rangka merespon perkembangan hukum
dan kebutuhan masyarakat Indonesia terutama yang beragama Islam
dan merupakan sebuah lompatan besar dalam perkembangan hukum nasional.9
Penjelasan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah
adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah,
antara lain meliputi: (a) bank syariah, (b) lembaga keuangan makro syariah,
(c) asuransi syariah, (d) reasunransi syariah, (e) reksadana syariah, (f) obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, (g) sekuritas syariah, (h)
9
7
pembiayaan syariah, (i) pagadaian syariah, (j) dana pensiun lembaga keuangan syariah dan (k) bisnis syariah.
Perubahan atau tepatnya penambahan kewenangan bagi peradilan agama untuk
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah adalah dalam rangka merespon
perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat yang semula ekonomi syariah
yang telah dipraktikkan masyarakat Muslim di Indonesia masih sebatas sebagai
hukum diyani murni namun dewasa ini telah melibatkan kekuasaan Negara dalam bentuk hukumqodlo’y modern yaitu menunjuk lembaga hukum Negara (Peradilan
Agama) untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam kegiatan ekonomi
syariah tersebut. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 jika terjadi perselisihan dan perbedaan antar sesama bank syariah atau antara
bank syariah dengan nasabahnya, maka kedua belah pihak menyelesaikannya melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang sebelumnya
bernama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI).
Sarana untuk menyelesaikan persengketaan pada hakekatnya dapat dibagi dua
bentuk yaitu:
1. Dalam bentuk litigasi yaitu penyelesaian sengketa melalui badan peradilan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan dalam masyarakat. Di Indonesia sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2005 dikenal adanya empat lingkungan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara.
8
semula bernama BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) dibentuk Tahun 1993.
Ekonomi syariah dilaksanakan atas kemitraan dan kebersamaan dalam untung dan
rugi (profit and lost sharing) serta amanah sedemikian rupa, tetap saja tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa dan perselisihan. Secara yuridis, untuk penyelesaian sengketa ekonomi syariah sudah dibentuk lembaganya, yakni peradilan agama, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009, namun dalam undang-undang tersebut belum mengatur secara khusus hukum acaranya dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, dan juga belum ada hukum materiil yang tertulis sebagai hukum terapannya, namun demikian mau tidak mau Peradilan Agama harus menyelesaian sengketa ekonomi
syariah apabila ada perkara yang diajukan kepadanya karena sesuai ketentuan
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
dinyatakan, pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Salah satu sengketa ekonomi syariah pernah terjadi pada Bank BNI Syariah,
dimana BNI Syariah mempunyai program pinjaman mikro khusus pada usaha
kecil dengan pinjaman antara Rp 5 juta hingga Rp 500 juta dan peminjam banyak
yang mengalami kesulitan pengembalian pinjaman uang tersebut, banyak terjadi
kredit macet yang penyelesaiannya memerlukan intervensi hukum. Namun selama
ini penyelesaian sengketa ini dilakukan dengan adanya penjamin dari pihak
keluarga debitor untuk menutupi sisa pinjaman untuk pelunasan pinjaman
9
dengan penyelesaian sengketa dalam Perbankan Konvensional. Berdasarkan
banyaknya masalah kredit macet yang terjadi di bank syariah maka pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama yang
menetapkan kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili
dan menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi Syariah.
Mengenai penyelesaian sengketa antara bank syariah, ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengatur bahwa: (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama.
(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.
Penjelasan Pasal 55 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 menguraikan
sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:
a. musyawarah; b. mediasi perbankan;
c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau
d. Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.”
Berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, penyelesaian
sengketa perbankan syariah dilakukan di Pengadilan Agama. Pada prinsipnya,
penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip
syariah. Pasal 55 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
memungkinkan dilakukannya penyelesaian sengketa tanpa berpedoman pada
10
berdasarkan Hukum Acara Perdata, bukan prinsip-prinsip syariah. Begitu juga
penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan yang berpedoman
pada Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 Tahun 2006 tentang Mediasi
Perbankan sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No.
10/1/PBI/2008.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul: Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup
1. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti mengangkat permasalahan sebagai berikut:
a. Apa saja yang menjadi penyebab terjadinya sengketa perbankan syariah?
b. Bagaimana proses penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008?
c. Apa yang menjadi penghambat dalam penyelesaian sengketa perbankan
syariah?
2. Ruang Lingkup
Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup kajian Hukum Perdata, khususnya penyelesaian sengketa perbankan syariah. Agar ruang lingkup substansi penelitian
11
perbankan syariah dan faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam
penyelesaian sengketa perbankan syariah.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis penyebab terjadinya sengketa perbankan
syariah, untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa perbankan syariah, serta
mengetahui penghambat dalam proses penyelesaian sengketa perbankan syariah.
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis, memberikan penjelasan tentang penyebab terjadinya sengketa perbankan syariah yang mungkin timbul dan diajukan kepada peradilan agama,
dan menjelaskan penerapan hukum formil dan materiil di peradilan agama dalam
litigasi penyelesaian sengketa perbankan syariah khususnya dan ekonomi syariah
pada umumnya.
b. Kegunaan Praktis
Secara praktis, dengan diketahui bentuk sengketa perbankan syariah dan hukum acara yang diterapkan dalam litigasi sengketa ekonomi syariah, dapat dijadikan bahan penyusunan peraturan perundang-undangan hukum formil dan materiil
12
D. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Kerangka teori menurut Abdulkadir Muhammad adalah susunan dari beberapa
anggapan pendapatan, cara, aturan, asas keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan. Pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.10
Istilah ekonomi syariah hanya dikenal di Indonesia, karena di negara lain istilah yang polpuler adalah Ekonomi Islam (Islamic economy). Secara substansial,
ekonomi syariah (Islamic economy) berbeda dengan ekonomi konvensional yang berkembang dewasa ini. Perbedaan yang terpenting adalah karena ekonomi
syariah terikat pada nilai-niali Islam dan ekonomi konvensional melepaskan diri
dari ajaran agama, terutama sejak negara Barat berpegang pada sekularisme dan menjalankan politik sekulerisasi. Sungguh pun demikian, tidak ada ekonomi yang bebas nilai, akan tetapi nilai dalam ekonomi konvensional adalah nilai duniawi (profane), sedangkan dalam ekonomi syariah adalah niklai ukhrawi (eternal). 11
Kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam di Indonesia semakin terasa penting
manakala dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional yang
disebut-sebut berorientasi atau berbasis kerakyatan. Urgensi dari kedudukan dan peran
hukum ekonomi Islam dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, misalnya sudut pandang sejarah, komunitas bangsa Indonesia, kebutuhan masyarakat dan bahkan dari sisi falsafah dan konstitusi Negara Indonesia, dari sudut pandang kesejarahan,
10
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti. Bandung. 2004, hlm. 32
11
13
jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, sebelum kolonial Eropa menjajah nusantara, maupun setelah merdeka dan hingga sekarang ini,
negeri ini telah dihuni oleh penduduk yang mayoritas beragama Islam. Di
daerah-daerah tertentu hukum ekonomi Islam telah dipraktikkan dalam masyarakat,
seperti sistem bagi hasil dalam pertanian, peternakan, dan simbol-simbol transaksi perdagangan di sejumlah pasar tradisional yang terkesan kental dengan
madzhab-madzhab fiqh yang dikenal dalam masyarakat. Dari segi komunitas yang
mendiami Negara Republik Indonesia, mayoritas beragama Islam, maka adalah wajar jika hukum Negara dipengaruhi oleh hukum agama yang dianut mayoritas
penduduknya. Pemberlakuan hukum ekonomi Islam sama sekali tidak terkait
dengan apa yang dikenal dengan sebutan “diktator mayoritas” dan atau “tirani
minoritas”. Alasannya, karena penerapan hukum ekonomi Islam tidak dilakukan
secara paksa apalagi dipaksakan, bahkan secara sukarela para pebisnis non Muslim tertarik dengan praktik ekonomi Islam.12
Sistem ekonomi Islam termasuk sistem hukumnya berjalan sebanding dan
sederajat dengan sistem ekonomi dan sistem hukum ekonomi konvensional. Dari
sudut kebutuhan masyarakat, kehadiran sistem hukum ekonomi Islam di Indonesia juga disebabkan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Terbukti dengan
keterlibatan aktif lembaga-lembaga keuangan dan lembaga-lembaga ekonomi lain
yang juga menerima kehadiran sistem ekonomi Islam, baik lembaga keuangan seperti perbankan maupun non perbankan dan lembaga pembiayaan.
12
14
Kedudukan hukum ekonomi Islam sesungguhnya sangatlah kuat sebagaimana
kedudukan hukum Islam secara umum. Demikian pula peran hukum ekonomi
Islam bisa digunakan terutama dalam menopang, melengkapi dan mengisi kekosongan hukum ekonomi nasional, sebagaimana peran hukum Islam secara umum bisa menopang, melengkapi dan mengisi kekosongan hukum nasional.
Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam tata hukum Indonesia dewasa ini,
sesungguhnya tidak lagi hanya sekedar tuntutan sejarah dan kependudukan
(karena mayoritas beragama Islam) sebagai mana disebutkan di atas, tetapi lebih jauh dari itu adalah karena adanya kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui
dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya sistem ekonomi Islam dalam
mengawal kesejahteraan rakyat sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri
Negara Republik Indonesia.
Kedudukan ekonomi Islam sama sekali tidak bertentangan dengan Pancasila
sebagai dasar dan falsafah Negara Indonesia, terutama sila “KeTuhanan Yang
Maha Esa” dan juga tidak berlawanan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi
Negara Indonesia sebagaimana dalam pembukaannya disebutkan “ … Dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “ juga Pasal. 29,
33 dan 34 UUD 1945.
Salah satu kegiatan ekonomi Islam adalah perbankan syariah. Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa bank syariah adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
15
meningkatkan taraf hidup orang banyak berdasarkan prinsip syariah.13 Di samping
bank syariah, untuk melayani masyarakat menengah dan bawah, undang-undang juga mengizinkan beroperasinya lembaga keuangan mikro yang dikenal
dengan Baitul Mal wa Tamwil (BMT). Dasar pemikiran pengembangan bank syariah adalah untuk memberikan pelayanan jasa perbankan kepada sebagian
masyarakat Indoensia yang tidak dapat dilayani oleh perbankan yang sudah ada,
karena bank-bank tersebut menggunakan sistem bunga.14
Bank Islam memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya.
Pembayaran dan penarikan bunga dalam semua bentuk transaksi dilarang oleh
Islam. Islam melarang kaum Muslimin menarik atau membayar bunga. larangan
atas bunga inilah yang membedakan sistem perbankan syariah dengan sistem
perbankan konvensional. Meskipun sebelumnya terjadi perdebatan mengenai
apakah riba sama dengan atau ada kaitannya dengan bunga (interest) atau tidak,
namun sekarang tampak ada konsensus di kalangan ulama bahwa istilah riba
meliputi segala bentuk bunga.15
Pada kegiatan ekonomi yang bebas bunga sekalipun, dimungkinkan terjadinya perselisihan, dan untuk mengantisipasinya telah dibentuk lembaga yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk menyelesaikannya, yaitu peradilan agama. Sesuai dengan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 juncto
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, peradilan agama adalah peradilan bagi orang yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang antara lain
13
Pasal 1 angka 2 dan 13 Undang-undang nomor 10 Tahun 1998 14
Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam, Jakarta: PT Kreatama, 2005, hlm. 1 15
16
ekonomi syariah. Ini berarti semua sengketa mengenai kegiatan ekonomi syariah,
baik dalam bidang perbankan syariah, asuransi syariah, sampai bisnis syariah pada umumnya, secara yuridis menjadi kewenangan peradilan agama.
Menyelesaikan sengketa bisnis melalui pengadilan agama sebagai salah satu
lembaga peradilan yang memiliki kompetensi absolut untuk menyelesaikan
sengketa bisnis berbasis syariah. Kompetensi ini merupakan tambahan atas
kompetensi peradilan agama yang secara konvensional telah disandang selama ini.
Sebagai konsekuensi ditambahnya kompetensi absolut pengadilan agama, maka
kewenangan pengadilan agama setara dengan pengadilan negeri dalam memeriksa
sengketa-sengketa bisnis yang diajukan kepadanya. Satu hal yang secara prinsipil
membedakan pengadilan agama dengan pengadilan negeri dalam memeriksa
sengketa bisnis adalah basis sengketanya, yaitu lembaga ekonomi syariah.
2. Konseptual
Kerangka konseptual adalah kerangka yang menghubungkan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan
dengan istilah yang ingin atau akan diteliti.
Pasal 2 jo Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 dinyatakan bahwa,
Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan
kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan dalam
perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
17
Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 ditegaskan bahwa,
yang dimaksud “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang
atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela
kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan
Agama sesuai ketentuan pasal ini.
Berdasarkan penjelasan Pasal 49, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah, atau bank konvensional yang membuka unit usaha syariah, dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah baik dalam pelaksanaan Akad maupun dalam penyelesaian perselisihan. Dalam operasionalnya, lembaga perbankan termasuk di dalamnya bank syariah meliputi penghimpunan dana, penyaluran dana, dan jasa layanan perbankan.16 Dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank syariah harus memperhatikan ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005
tanggal 14 Nopember 2005 Pasal 2 yaitu bank wajib membuat Akad dan secara tegas disebutkan jenis Akad / transaksi yang digunakan, dan dalam Akad tersebut tidak boleh mengandung unsur ghoror, maisir, riba, dlalim, risywah, barang haram dan maksiat.
Akad dalam Bahasa Indonesia lebih dikenal dengan nama perikatan atau perjanjian atau kontrak, demikian pula istilah yang biasa dipakai dalam hukum
perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).17 Akad menurut Hukum Islam berarti “pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang
16
Dewi Gemala, Aspek-aspek hukum dalam perbankan dan perasuransian syariah di
Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, hlm. 80-96
17
18
menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya“18 Sedangkan pengertian dari
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.19
Peristiwa perjanjian ini menimbulkan hubungan antara orang-orang tersebut yang
disebut dengan perikatan atau Akad dalam hukum Islam.
Pada perbankan syariah yang dimaksud dengan Akad adalah perjanjian tertulis yang memuat ijab (penawaran) dan kabul (penerimaan) antara bank dengan pihak
lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan prinsip
syariah.20 Konflik atau sengketa keperdataan dapat saja terjadi dalam melakukan
hubungan hukum, seperti adanya wan prestasi (cedera janji) atau perbuatan melawan hukum dari salah satu pihak, dan jika terjadi perselisihan atau sengketa dalam perbankan syariah terutama mengenai pelaksanaan Akad atau perjanjian yang telah disepakati, baik antar sesama bank syariah atau antara pihak bank dengan nasabahnya, maka hal ini akan berakibat hukum terhadap status barang jaminan, upaya hukum bagi kedua belah pihak dalam menyelesaikan perselisihannya dan pelaksanaan terhadap obyek sengketa.
Perselisihan dalam bidang bisnis dan keperdataan, bisa diselesaikan diluar pengadilan seperti perdamaian, arbitrase yang dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2009 disebut negosiasi, konsultasi, mediasi, dan arbitrase, atau dapat pula melalui lembaga peradilan (al-qodlo). Para pihak diberi keleluasan dalam menyelesaikan perselisihan mereka dengan cara yang dianggap lebih tepat dan
18 Ibid
19
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1996, hlm.1 20
19
menguntungkan dengan berpedoman kepada perjanjian yang telah dibuat dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyelesaian sengketa hakikatnya masuk ranah hukum perjanjian sehingga
berlaku asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Artinya para pihak bebas melakukan pilihan hukum dan pilihan forum penyelesaian sengketa yang
akan dipakai manakala terjadi sengketa keperdataan di antara mereka. Klausula
penyelesaian sengketa ini hampir dapat dikatakan selalu ada dalam
kontrak-kontrak bisnis dewasa ini, termasuk dalam kontrak-kontrak pembiayaan yang dibuat antara
pihak nasabah dengan pihak perbankan syariah.
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
menegaskan bahwa: (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama; (2) Dalam hal para pihak telah
memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad; (3) Penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan
Prinsip Syariah. Kemudian dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) ditegaskan bahwa
yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad”
adalah upaya melalui: a. musyawarah, b. mediasi perbankan, c. Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain, dan/atau d. melalui
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Prinsip Ekonomi Syariah
Sistem ekonomi menurut Islam ada tiga prinsip dasar yaitu Tawhid, Khilafah, dan ‘Adalah.Dalam Sistem Ekonomi Syariah, ada landasan etika dan moral dalam melaksanakan semua kegiatan termasuk kegiatan ekonomi, selain
harus adanya keseimbangan antara peran pemerintah, swasta, kepentingan dunia
dan kepentingan akhirat dalam aktivitas ekonomi yang dilakukan, jika kapitalisme
menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan sosialisme pada kolektivisme,
maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu: kesatuan (unity), keseimbangan (equilibrium), kebebasan (free will) dan tanggungjawab (responsibility).21
Sistem Ekonomi dalam Islam ditegakkan di atas tiga tiang utama, yakni konsep
kepemilikan (al-milkiyah), pemanfaatan kepemilikan (al-thasharruf fi al-milkiyah)
dan distribute kekayaan diantara manusia (tauzi’u tsarwah bayna al-naas).
Kepemilikan ini dibagi tiga, yakni (1) kepemilikan individu (milkiyatu
al-fardiyah), yaitu kepemilikan atas izin syar’i pada seseorang untuk memanfaatkan
harta itu kerana sebab-sebab kepemilikan harta yang diakui oleh syara’; (2)
kepemilikan umum (milkiyatul al-‘amah), adalah harta yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari (api, padang rumput, sungai, danau, jalan,
21
21
lautan, mesjid, udara, emas, perak dan minyak wangi.dsb) yang dimanfaatkan
secara bersama-sama. Pengelolaan milik umum ini hanya dilakukan oleh negara
untuk seluruh rakyat, dengan diberikan percuma atau dengan harga murah hanya
mengambil sedikit upah perkhidmat; dan (3) kepemilikan negara (milkiyatul al-daulah), harta yang pemanfaatannya berada ditangan seorang pemimpin sebagai kepala negara. Misalnya harta ghanimah, fa’I, khumus, kharaf, jizyah, i/5 harta
rikaz, ushr, harta orang murtad, harta orang yang tak memiliki ahli waris dan
tanah hak milik negara. Milik negara digunakan untuk berbagai keperluan yang
menjadi kewajiban negara, seperti menggaji pegawai negara, keperluan jihad dan
sebagainya. Kepemilikan individu adalah izin dari syara’ (Allah SWT) yang
memungkinkan siapa saja untuk memanfaatkan dzat maupun kegunaan (utility) suatu barang serta memperoleh kompensasi baik karena barangnya diambil
kegunaannya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk
dihabiskan zatnya seperti dibeli dari barang tersebut.22 Setiap orang bisa memiliki
barang atau harta melalui cara-cara tertentu, yang disebut sebab-sebab
kepemilikan (asbabu al-tamalluk).
1. Karakteristik Ekonomi Syariah
Sistem ekonomi Islam yang merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak jenis
mu’amalah Islami tentunya sejalan dan berbanding lurus dengan kaidah-kaidah
Islam. Sistem ekonomi Islam mempunyai ruh-ruh dan karakteristik tersindiri.
22
22
Dawabah menyebutkan setidaknya ada 5 (Lima) jenis karakteristik ekonomi
Islam, yaitu sebagai berikut:23
a. Spirit ketuhanan (Robbaniyah)
Sebagaimana diketahui bahwa Islam adalah sebuah agama yang merujuk semua
perkaranya kepada Allah dengan konsep ketuhanan. Tidak hanya merujuk, bahkan
segala kegiatan tujuannya adalah perkara yang bersifat keTuhanan. Tentunya ini
sangat berbeda dengan sistem-sistem ekonomi konvensional yang tujuannya
hanya memberi kepuasan pada diri tanpa merujuk atau bertujuan selain dari itu.
Maka sebagaimana Islam selalu menanamkan akhlaq dan adab dalam segala aspek
kehidupan diterapkan pula dalam hal interaksi perkonomian. Islam telah
mengajarkan bahwa manusia merupakan pemimpin di muka bumi sebagaimana
firmanNya “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi.” (QS. Al Baqarah: 30), Kemudian dilanjutkan dengan ayat AL-Hud 61;
“Dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya.” Ditambah lagi dengan firmanNya dalam Al Hadid 7 “Dan
nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu
menguasainya.” Jelas penuturan ayat-ayat di atas jelas sudah rujukan serta tujuan
dari sistem ekonomi Islam, yaitu sebuah asas ketuhanan, sehingga nantinya dapat
menciptakan masyarakat yang tentram serta seimbang perkonomiannya.
b. Keseluruhan (syumûliah)
Sistem ekonomi Islam tidak lain merupakan sebuah cakupan dari
ketetapan-ketetapan yang berlaku dalam Islam. Karena Islam merupakan sebuah sistem yang
mengatur segala aspek kehidupan yang masuk di dalamnya aspek perekonomian.
23
Muhammad Asyraf Dawabah, Al Iqtishâd al Islâmy Madkholun wa Manhajun,
23
Dengan masuknya ekonomi sebagai salah satu aspek kehidupan dalam
Islam, maka tidak mungkin ada produsen yang memproduksi barang di dasarkan
atas kemauannya saja. Tetapi dia juga pasti mempertimbangkan akan halal dan
haramnya. Para produsen tidak juga memproduksi sesuatu yang mengandung
hal-hal membahayakan konsumen atau lingkungannya. Dan berbagai perbuatan
lainnya akan disesuaikan dengan aspek dan ketentuan yang ada dalam Islam.
c. Fleksibilitas (murûnah)
Kaidah-Kaidah dalam Islam bersifat shôlihun likulli zamân wa makân. Dengan bahasa yang mudah dipahami adalah bisa diaplikasikan dalam berbagai dimensi
waktu dan tempat. Tentunya hal itu berkaitan erat dengan tsawabit (sesuatu yang sudah tetap) sertamutaghayyirat (hal yang masih berubah-ubah) yang berasaskan hal-hal ushul (pokok)dalam agama dan furu’nya (cabang).24 Dengan model yang disebutkan tadi berbagai macam kejadian bisa disesuaikan dengan hukum-hukum
fiqh yang ada. Fleksibilitas yang dimaksud di sini harus lebih ditinjau lagi. Rif’at
Audhy di salah satu bab dalam buku Mausu’atul Hadhoroh al
Islamiyah menerangkannya dengan cukup jelas. Fleksibilitas dalam Islam mempunyai sisi yang tidak bisa diterima dan ada yang bisa. Adapun sisi yang
tidak diterima yaitu ketika suatu permasalahan bisa dihukumi dengan dua hukum
yang berbeda sesuai perbedaan kondisi alias kondisional. Karena yang seperti itu
sama saja mengatakan bahwa yang hukum-hukum Islamlah yang menyesuaikan
keadaan, dan bukannya keadaan yang merujuk pada hukum Islam. Sisi yang bisa
24
Rif’at Audhy,al Mausu’ah al Islâmiyah al ‘Ammah,atas naungan Mahmud Hamdy
Zaqzuq, dengan judul al Iqtishâd al Islâmy, al Majlis al A’lâ li Syu`un al Islâmiyah, Kairo, cet.
24
diterima adalah ketika syariah yang sholih likulli zaman wa makân ini mampu menghukumi perkembangan zaman.25
Rif’at Audhy menambahkan tentang fleksibilitas dalam Islam dengan
bahasan ahkam taklifiyah yang 5 (lima). Kemudian beliau menyebutkan bahwa salah satu jenis hukumnya yaitu ibahah adalah sesuatu yang semakna dengan al
‘afwudalam hadis Rasul:
فع ف هنع تّكُس ام
Ibnu Taimiyah menyatakan perbuatan seorang hamba itu ada dua jenis: ibadah
yang dengannya orang memperbaiki agama mereka dan adat kebiasaan yang
dibutuhkan di dunia. Ibadah adalah sesuatu hal. Dengan adanya pokok-pokok
syariah, maka kita mengetahui bahwa ibadah yang ditetapkan olehNya tidak akan
sah kecuali dengan ketentuan yang ditetapkan syariah.26
d. Keseimbangan (tawâzun)
Islam dan berbagai aspek hidupnya selalu berdasarkan keseimbangan antara dua
sisinya. Sebagaimana keseimbangan antara dunia dan akhirat dan juga
keseimbangan antara iman dan perekonomian serta keseimbangan antara boros
dan kikir. Islam juga memberi keselarasan antara kebutuhan rohani dan kebutuhan
materi dengan memberi porsi yang sesuai antara keduanya. Sebagaimana tersirat
dalam firmanNya Surat Al Qashash ayat 77 “Dan carilah pada apa yang Telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi”. Hal penting lain dari konsep
keseimbangan ini adalah sebuah sikap yang tidak condong pada kapitalis ataupun
25
Rif’at Audhy,Ibid, hlm. 280. 26
25
sosialis. Islam punya kedudukannya sendiri dalam hal ini, yaitu berada di antara
keduanya dengan tidak menafikan kepemilikan individual ataupun kepemilikan
sosial sebagaimana yang akan dibahas lebih dalam di bab lain dari makalah ini.
Islam memiliki batasan-batasannya sendiri antara kepentingan negara dan
individual dalam ekonomi sehingga dapat menyeimbangkan antara keduanya.
Asas dari kepemilikan dalam Islam adalah kepemilikan individual karena hal itu
dianggap sesuatu yang fitrah dalam Islam. Karena kepemilikan individual ini
merupakan pemeran utama dalam kinerja produksi, sedangkan kepemilikan umum
baru dianggap pada saat-saat tertentu sehingga memaksa negara untuk turun
tangan dalam menyelesaikannya. Jelas sudah bahwa intervensi negara dalam
ekonomi Islam tidaklah sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan individual.
Bahkan ia menjadi unsur pelengkap untuk menciptakan maslahat umum. Hal itu
bisa disaksikan lagi dengan adanya kewajiban zakat yang dikeluarkan oleh
individual untuk selanjutnya dikelola oleh negara.
e. Keuniversalan („âlamiyyah)
Konsep keuniversalan ini sudah ada sejak diutusnya Rasul ke atas bumi, karena
tidak lain diutusnya Rasul adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam, Al Qur’an
surat Al Anbiya` ayat 107 menyatakan “Dan tiadalah kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Keuniversalan ekonomi
Islam semakin terasa jelas setelah datangnya krisis global yang melanda AS dan
belahan negara lain pada tahun 2008.
Unsur 5 (lima) tersebut di atas menggambarkan bagaimana Islam mengatur
26
mengenyampingkan kebaikan dan keberkahan sehingga hubungan antara manusia
dan manusia dapat berjalan dengan baik.
2. Dasar-dasar Sistem Ekonomi Syariah
Maksud penciptaan manusia memang tidak lain untuk beribadah kepada Sang
Pencipta, sebagai mana juga dieperintahkan untuk memakmurkan bumiNya
dengan adil. Maka dari itu Allah telah menyiapkan bumi ini agar bisa
dimanfaatkan dan menjadikan manusia sebagai pemimpin di atas bumi itu agar
dapat memanfaatkan segala yang ada. Dari prinsip penciptaan dan konsep
kepemimpinan manusia di atas bumi setidaknya bisa ditarik benang merah untuk
membangun prinsip ekonomi dalam Islam, yaitu: kepemilikan ganda (kepemilikan
individual dan kepemilikan umum), kebebasan berkonomi, serta mengayomi
kepentingan umum.27
3. Prinsip Ekonomi Syariah
Menurut Yusuf Qardhawi28, ilmu ekonomi Islam memiliki tiga prinsip dasar yaitu
tauhid, akhlak, dan keseimbangan. Dua prinsip yang pertama kita sama-sama tahu
pasti tidak ada dalam landasan dasar ekonomi konvensional. Prinsip
keseimbangan pun, dalam praktiknya, justru yang membuat ekonomi
konvensional semakin dikritik dan ditinggalkan orang. Ekonomi Islam dikatakan
memiliki dasar sebagai ekonomi Insani karena sistem ekonomi ini dilaksanakan
dan ditujukan untuk kemakmuranmanusia, sedangkan menurut Chapra, disebut
sebagai ekonomi Tauhid. Keimanan mempunyai peranan penting dalam ekonomi
Islam, karena secara langsung akan mempengaruhi cara pandang dalam
27
Muhammad Asyraf Dawabah, Op.Cit hlm. 61. 28
27
membentuk kepribadian, perilaku, gaya hidup, selera, dan preferensi manusia,
sikap-sikap terhadap manusia, sumber daya dan lingkungan. Saringan moral
bertujuan untuk menjaga kepentingan diri tetap berada dalam batas-batas
kepentingan sosial dengan mengubah preferensi individual seuai dengan prioritas
sosial dan menghilangkan atau meminimalisasikan penggunaan sumber daya
untuk tujuan yang akan menggagalkan visi sosial tersebut, yang akan
meningkatkan keserasian antara kepentingan diri dan kepentingan sosial.
(Nasution dkk)
B. Hukum Perbankan Syariah
1. Pengertian Hukum Perbankan Syariah
Perbankan Syariah menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha,
serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Jadi dapat
disimpulkan Hukum Perbankan Syariah adalah segala aturan hukum yang
mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan
proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya, selain itu perlu juga diketahui
dua pengertian berikut:
a. Bank menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
28
bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat.
b. Bank Syariah menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank
Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
2. Ketentuan Hukum Yang Mengatur Hukum Perbankan Syariah
Bank Syariah secara yuridis formal di Indonesia memiliki dasar diantaranya:
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
b. Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
d. Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
e. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
f. Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
g. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Perbankan Syariah memiliki visi untuk terwujudnya sistem perbankan syariah
yang kompetitif, efisien, dan memenuhi prinsip kehati-hatian yang mampu
mendukung sektor riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis bagi
29
Misi perbankan syariah berdasarkan visi nya adalah:
a. melakukan kajian dan penelitian tentang kondisi, potensi serta kebutuhan
perbankan syariah secara berkesinambungan;
b. mempersiapkan konsep dan melaksanakan pengaturan dan pengawasan
berbasis risiko guna menujamin kesinambungan operasional perbankan
syariah yang sesuai dengan karakteristiknya;
c. mempersiapkan infrastruktur guna peningkatan efesiensi operasional
perbankan syariah;
d. mendisain kerangka entry dan exit perbankan syariah yang dapat mendukung stabilitas perbankan.
Sasaran pengembangan perbankan syariah sampai Tahun 2011 adalah:
a. Terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional perbankan yang ditandai
dengan: (1) tersusunnya norma-norma keuangan syariah yang seragam
(standardisasi); (2) terwujudnya mekanisme kerja yang efisien bagi
pengawasan prinsip syariah dalam operasional perbankan , baik instrumen
maupun badan terkait; (3) rendahnya tingkat keluhan masyarakat dalam hal
penerapan prinsip syariah dalam setiap transaksi.
b. Diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan syariah,
yaitu (1) terwujudnya kerangka pengaturn dan pengawasan berbasis risiko
yang sesuai dengan karakteristiknya dan didukung o;leh sumber daya insani
30
efisien; (4) terwujudnya reatime supervision; (5) terwujudnya self regulatory system.
c. Terciptanya sistem perbankan syariah yang kompetitif dan efisien yang
ditandai dengan: (1) terciptanya pesaing-pesaing yangmampu bersaing secara
global; (2) terwujudnya aliansi strategis yang efektif; (3) terwujudnya
mekasime kerjasama dengan lembaga-lembaga pendukung.
d. Terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan bagi
masyarakat luas, yang ditandai dengan: (1) terwujudnya safety net yang merupakan kesatuan dengan konsep operasional perbankan yang berhati-hati;
(2) terpenuhinya kebutuhan masyarakat yang menginginkan layanan bank
syariah diseluruh Indonesia dengan target pangsa pasar 5% dari total aset
perbankan nasional; (3) terwujudnya fungsi perbankan syariah yang
kaffah dan dapat melayani seluruh segmen masyarakat; (4) meningkatnya proposal pola pembiayaan secara bagi hasil.
3. Kedudukan Bank Syariah Dalam Tata Hukum Perbankan di Indonesia
Istilah lain yang sering digunakan untuk bank syariah adalah bank Islam.
Secara akademik, istilah bank syariah dan bank Islam memang mempunyai
pengertian yang berbeda. Namun secara tehnis penyebutan bank Islam dan
bank syariah mempunyai pengertian yang sama.29
Bank Islam yang biasa juga disebut bank syariah merupakan lembaga
keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu
lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasannya disesuaikan
29
31
dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Dalam praktiknya, perbankan Islam
memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya. Pembayaran dan
penarikan bunga memang dilarang dalam semua bentuk transaksi. Islam
melarang kaum Muslim menarik atau membayar bunga (interest).30
Salah satu alasan diharamkan riba adalah agar umat Islam terhindar dari
unsur gharar (spekulasi) dalam melakukan transaksi. Di sinilah urgensinya pendirian bank Islam dalam upaya menggalakkan perekonomian umat
berdasarkan sistem syariat.31
Bank syariah dalam operasionalisasinya harus mengikuti atau berpedoman
kepada praktik-praktik usaha yang telah dilakukan pada zaman Rasulullah
SAW, bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang
oleh Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para ulama/cendekiawan Muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan al-Qur’an
dan Hadis. Seperti yang dijelaskan sebagai berikut:
1
ع
س لا ا ا ح لحأ أ اَح ح اح ص اإ
س لا ب ئاج ح صلا
ا ا ح لحأ أ اَح ح ا ش اإ
ش
{
تلا ا
}
"Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum Muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram; dan kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
Jika dicermati matan hadis di atas, maka didapatkan informasi bahwa maknanya
sebenarnya masih umum, sehingga bisa digunakan sebagai dasar beberapa
30
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru, UII Presss, Yogyakarta, 2005, hlm. 47
31
Utari Maharany Barus, Penerapan Hukum Perjanjian Islam Bersama-sama dengan Hukum Perjanjian menurut KUH Perdata (Studi mengenai Akad Pembiayaan antara Bank
32
kegiatan mu'amalah seperti yang disebutkan di atas. Hadis di atas juga dikutip oleh Muhammad Syafi'i Antonio dari kitab al-Ahkam No. 1272. Hadis tersebut dianggap sebagai pemicu kaum Muslimin untuk berjuang mendapatkan materi
atau harta dengan berbagai cara asalkan mengikuti aturan-aturan yang telah
ditetapkan. Aturan-aturan tersebut di antaranya, carilah yang halal lagi baik; tidak
menggunakan cara-cara batil; tidak berlebih-lebihan atau melampaui batas; tidak
dizalimi maupun menzalimi; manjauhkan diri dari unsur riba, maisir (perjudian dan intended speculation), dan gharar (ketidakjelasan dan manipulatif), serta tidak melupakan tanggung jawab sosial berupa zakat, infaq, dan sedekah.
Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi mengutip hadis di atas dengan matan yang lebih
singkat yaitu hanya kata
ش ع
س لا
dengan jalan yang berbeda pula.Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam al-Hakim dengan
sanad yang sahih. Hadis tersebut dikutip kaitannya dengan hukum memilih dalam
jual beli.
2
ا أ حاص ع تشا ب ا لا لا عف ا إ ب ط لا ع ب ا علا ا س اك
ا حب ب ك س
,
ا ا ب ل ا
,
ك ا با ب ت ا
,
كل لعف إف
,
اجأف س لآ ع ه ص ه ل س
ش غ ف
{
ف ا طلا ا
ا ع با ع س أا
}
33
Muhammad Syafi'i Antonio32 menyatakan bahwa berikut adalah hadis yang
digunakan sebagai landasan syariah bagi al-mudharabah.
3
لا س لآ ع ه ص لا أ
:
ك لا ف َ
:
لجأ لإ ع لا
,
اق لا
ع ل ا
ل ع لاب لا خ
{
ب ص ع جا با ا
}
"Nabi Muhammad SAW. bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, buka untuk dijual."
Hadis Imam Ibnu Majah No. 2280, kitab at-tijarah, dikutip Muhammad Syafi'i Antonio33 sebagai salah satu landasan syariah bagi produk al-mudharabah dan
bai' as-salam (in-front payment sale). Zainul Arifin juga mengutip hadis di atas ketika berbicara masalah al-murabahah.34
4
ع لجأ لإ ع
ع ل ك ف ش ف سأ
{
ف ا لا ا
ح حص
}
"Barangsiapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui"
Selain diriwayatkan oleh al-Bukhari, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam
Muslim, Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmizi, Imam an-Nasai, dan Imam Ibnu
Majah dari sahabat Ibnu Abbas ra. Derajat hadis ini adalah shahih). Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi menggunakan hadis di atas sebagai kebolehan jual beli
dengan cara pemesanan dan sebagai landasan syariah bagi hukum salam.
5
ا ا ا
{
لا عس بأ ع ا
غ ط ا لا جا با ا
}
"Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain"
32
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah : Dari Teori ke Praktek, Jakarta : GIP, 2001, hlm. 17
33
Muhammad Syafi’I Antonio, Ibid, hlm. 19. 34
34
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dari sahabat Ubadah bin Shamit,
juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari sahabat Ibnu Abbas dan Malik dari
Yahya. Hadis ini mempunyai redaksi yang singkat dan masih umum maknanya,
tetapi dijadikan landasan syariah dalam berbagai kegiatan Keuangan dan
Perbankan Syariah seperti Pembiayaan Mudharabah (qiradh), Uang Muka dalam
Murabahah, Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah, Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah, Sanksi Atas
Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran, Pencadangan Penghapusan
Aktiva Produktif dalam Lembaga Keuangan Syariah, Pedoman Pelaksanaan
Investasi untuk Reksa Dana Syariah, Pedoman Umum Asuransi Syariah, Jual Beli
Istishna' Paralel, Pembiayaan Rekening Koran Syariah, Pengalihan Hutang, Pasar
Uang Antarbank berdasarkan Prinsip Syariah, Sertifikasi Investasi Mudharabah
AntarBank (Sertifikat IMA), Asuransi Haji, dan Pasar Modal dan Pedoman
Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.
Hadis di atas terdapat dalam kitab al-Jami' ash-Shaghir No. 9899 dan dianggap
hasan oleh penyusun kitab ini, tetapi dianggap shahih oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani. Hadis di atas pendek atau singkat, tetapi mengandung
makna yang padat. Hadis seperti ini biasa juga disebut jami' al-kalim atau jawami' al-kalim (bentuk jamak). Nabi SAW. bersabda tentang kemampuannya mengungkapkan kata-kata jawami' al-kalim ini,
لا ع ا ب عب
{
بأ ع ا
غ س ا لا ا
}
35
Dengan demikian, tidak mengherankan jika hadis yang singkat ini digunakan
untuk berbagai kegiatan mu'amalah. Bank syariah dalam pengertian hukum nasional adalah bank yang tata cara operasionalnya sesuai dengan nilai-nilai
ajaran Islam yang berdasakan al-Qur’an dan Hadis, sedangkan hukum nasional
adalah hukum yang mengatur warga negara Republik Indonesia secara tertulis,
dari segala tingkah lakunya dalam semua aspek k