• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

The solving of the dispute of syariah bangking based on act no. 21 year 208

Oleh Elsa Gustia Irana

The issue related to the religion court authority in syariah bank field is concerning in procuderal law and case procedural solution in religion court. Wich procedural law will be applied in

solving of syariah bangking dispute in religion court. The issue in this research is the cause of the dispute that occurs in syariah bank. The solving process of syariah bank dispute based on act No. 21 year 2008 and the obstacle in solving it.

This research used juridical normativie approach, that analyzed the secondary data from secondary law materials by understand the law as the positive norms in legislation which relates to the issue of this research.

(2)

i ABSTRAK

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG - UNDANG

NOMOR 21 TAHUN 2008 Oleh

Elsa Gustia Irana

Permasalahan yang terkait dengan kewenangan pengadilan agama dalam bidang bank syariah adalah mengenai hukum acara dan prosedur penyelesaian perkara tersebut di pengadilan agama. Hukum acara mana yang akan diterapkan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah tersebut di pengadilan agama. Permasalahan dalam penelitian ini adalah penyebab terjadinya sengketa perbankan syariah, proses penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 dan penghambat dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji atau menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini.

Hasil penelitian bahwa penyebab timbulnya sengketa perbankan syariah adalah (i) terjadinya kredit macet, (ii) minimnya edukasi masyarakat, (iii) kurangnya perhatian dari perbankan syariah terhadap pengaduan masalah yang mereka alami dan (iv) nasabah selalu diposisikan sebagai pihak yang lemah. Selanjutnya penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan melalui dua jalur yaitu: litigasi dan non litigasi. Faktor penghambat penyelesaian sengketa perbankan syariah yaitu: struktur atau aparat dalam hal ini institusi pendukung yang belum lengkap, efektif dan efisiensi, substansi dalam hal ini perbankan Peradilan Agama membutuhkan kerangka dan perangkat pengaturan yang sesuai dengan karakteristik operasionalnya, dan budaya hukum masyarakat Indonesia yang masih belum memahami keberadaan Peradilan Agama sebagai penyelesaian sengketa perbankan syariah..

Pada akhirnya disarankan penyelesaian sengketa perbankan syariah walaupun ada beberapa jalur yang bisa dipakai namun hendaknya tunduk dan ikut dalam peraturan yang ada. Selanjutnya jalur non-litigasi merupakan jalur terbaik yang dapat dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa syariah. Dan yang terakhir yaitu kerja sama antara Basyarnas dan Pengadilan Agama dapat dijalin baik sehingga akan tercapai penegakkan hukum sesuai yang diinginkan.

(3)

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 21 TAHUN 2008

TESIS

Oleh

ELSA GUSTIA IRANA

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 21 TAHUN 2008

Oleh

Elsa Gustia Irana

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

MAGISTER HUKUM

Pada

Prigram Pascasarjana Program Studi Magister Hukum

Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala

karunia dan ridho-NYA, sehingga tesis dengan judul “Penyelesaian Sengketa

Perbankan Syariah Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008” dapat

diselesaikan.

Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar

Magister Hukum pada Program Studi Magister Hukum Universitas Lampung. Oleh

karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas

Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Unila.

3. Bapak Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum. selaku Ketua Program dan Bapak

Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H., selaku Sekretaris Program pada Program

Pascasarjana Program Magister Hukum Universitas Lampung.

4. Bapak Dr. Muhammad Fakih, S.H., M.S. selaku Pembimbing Utama dan Ibu

Dra. Nunung Rodliyah, M.A. selaku Pembimbing Pendamping penulis yang

telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, motivasi serta petunjuk

kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Bapak Dr. Wagianto, S.H., M.H. dan Bapak Dr. Hamzah, S.H., M.H. dan Prof.

Abdulkadir Muhammad, S.H. selaku Penguji atas kritik dan saran yang sangat

berarti selama penulisan tesis ini.

6. Bapak, Ibu Dosen dan Staf Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas

Hukum Universitas Lampung yang telah banyak membantu selama perkuliahan

hingga penyelesaian tesis.

7. Papi dan Mami atas semua do’a, usaha dan pengorbanannya untuk

keberhasilanku.

(6)

9. Kakak dan Adikku, serta Keluarga Besarku yang tidak dapat disebutkan satu

persatu.

10.Teman-teman seperjuangan angkatan 2010/2011 Program Pascasarjana

Program Studi Magister Hukum Universitas Lampung yang saya cintai dan

semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan

bantuan dan dorongannya dalam penyelesaian tesis ini.

Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan maupun pustaka yang ditinjau,

penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan perlu

pengembangan lebih lanjut agar benar-benar bermanfaat. Oleh sebab itu, penulis

sangat mengharapkan kritik dan saran agar tesis ini lebih sempurna serta sebagai

masukan bagi penulis untuk penelitian dan penulisan karya ilmiah di masa yang

akan datang.

Akhir kata, penulis berharap tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, 23 Desember 2014

Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

Hlm

ABSTRAK ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

MOTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 10

C. Tujuan Penelìtìan dan KegunaanPenelitian ... 11

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Prinsip Ekonomi Syariah ... 20

B. Hukum Perbankan Syariah ... 27

C. Akad Dalam Ekonomi Syariah ... 35

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 49

B. Spesifikasi Penelitian ... 49

C. Sumber Data ... 49

D. Pengumpulan Data ... 51

E. Analisis Data ... 51

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penyebab Terjadinya Sengketa Perbankan Syariah ... 52

B. Proses Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Menurut Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 ... 61

(8)

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 97

B. Saran ... 98

(9)

----.----.T

1. Tim Penguji

Ketua Tim Penguji

Sekretaris

Penguji Utama

Anggota

Anggota

MENGESAIIKAN

Dr. Muhammad Fakih, S.H.,

Dr. Nunung Rodliyah, M.A.

Dr. Hamzah, S.H., M.H.

Dr. Wagianto, S.H., M.H.

fr{r,"^l;

Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H.

Itas Hukum

1 r09 198703

I

003

4.

Tanggal Lulus Ujian : 23 Desember 2014

W

r Program Pascasarjana

(10)

Judul Tesis

Nama

No. Pokok Mahasiswa

Program Kekhususan

Program Studi

Fakultas

PENYELESAIAN SENGKETA PERBAI\KAN SYARIAH MENURUT UNDANG.UFIDANG

NOMOR 21 TAHUN 2OO8

Elsa Gustia

Irana

T02201tArc

Hukum Bisnis

Program Pascasarjana Magister Hukum

Hukum

MBNYETUJUI

Dosen Pembimbing

Ilr.

Nun

NIP

1960

MENGETAI{UI

uhannmad Fakih, S.H., M.S.

9641218 1e8803 I 002

(11)

LEMBAR PERNYA'T'AAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebanarnya balwa:

1.

Tesis dengan judul '?enyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Menurut

Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2008"

adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan carayang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme.

2.

Hak intelektual atas karya ilmiah

ini

diserahkan sepenuhnya kepada Uniyersitas Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidak

benaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya, saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Elsa Gustia Irana

(12)

i

PERSEMBAHAN

Tesis ini saya persembahkan untuk:

Kupersembahkan karyaku ini kepada keluarga besarku terutama Suami ku tercinta Briptu. Zefrie Hidayat, S.ip , M.H, Ibuku tersayang Hj. Dra Tina Melinda, MM. Mertuaku Zulkarnain dah Hudayah, Spd mereka yang senantiasa memberikan doa yang tulus atas keberhasilanku dalam

menempuh Ilmu sebagai mahasiswi Magister Hukum Universitas Lampung

Adik dan Kakakku Taufan Aditya Irana, S.STP, Zessy Oktaviana, S.Pd, Ayuk ku Zelda Nora Aprisa, Amd.kep dan kakak Ipar Ku Cheris SH, MH yang selalu support buat menyelesaikan tesis ini semoga dengan

(13)

i

MOTO

Jika di antara orang-orang beriman terjadi perselisihan /

bertengkar/bersengketa, maka damaikanlah mereka,

sesungguhnya Allah mencintai orang yang berlaku adil.

(14)

i

R I W A Y A T H I D U P

Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Agustus 1986 di

Bandar Lampung yang merupakan anak pertama dari dua

bersaudara buah hati pasangan Bapak Bambang Irana,

S.E. dan Ibu Hj. Dra. Tina Malinda, M.M.

Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar Kartika

Candra Kirana II Persit Bandar Lampung Lulus Tahun 1999. Sekolah

Menengah Pertama Negeri 4 Bandar Lampung Lulus Tahun 2002. Sekolah

Menengah Atas Slamet Riyadi Lampung Utara Lulus Tahun 2005. Strata

satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada tahun 2010

penulis diterima sebagai Mahasiswa pada Fakultas Hukum Program Studi

Magister Hukum Universitas Lampung dan menyelesaikan magister

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada awalnya yang menjadi kendala hukum bagi penyelesaian sengketa

perbankan syariah adalah hendak dibawa kemana penyelesaiannya, karena

Pengadilan Negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi

penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan saat itu menurut

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 hanya terbatas mengadili perkara perkawinan,

kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqoh. Hal inilah yang melatar belakangi lahirnya Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang

menetapkan kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili

dan menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi Syariah. 1

Penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebaiknya lebih mengedepankan

menempuh upaya musyawarah untuk mufakat ketika menghadapi sengketa.

Melalui upaya dialogis ini diharapkan hubungan bisnis dan persaudaraan yang ada

dapat tetap terjalin dan lebih dapat menjaga hubungan baik diantara para pihak,

serta dapat lebih hemat dari segi waktu dan biaya. Dalam hal musyawarah untuk

mufakat tidak tercapai baru para pihak dapt menempuh upaya lain, yaitu, melalui

1

(16)

2

jalur negosiasi, mediasi, arbitrase, serta litigasi melalui pengadilan sebagai upaya

terakhir yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat tingkat pembiayaan tak lancar (Non Performing Financing/NPF) atau biasa disebut kredit macet perbankan syariah masih tinggi di kisaran 3% atau lebih tinggi dari industri yang hanya mencapai

2% hal ini disebabkan tingginya pembiayaan macet perbankan karena

penyesuaian kondisi karena melambatnya pertumbuhan ekonomi. Seperti kasus

kredit macet Nasabah Bank Sumut Syariah Tebingtinggi, akibat kredit macet

sebesar Rp 181.716.500, aset jaminan tanah dan bangunan senilai Rp 1 milliar

dilelang bank. Nasabah mengaku kecewa dengan pihak bank. Nasabah

menganggap pihak bank tidak profesional dalam melayani nasabah. Nasabah

percaya bank syariah itu lebih baik dari bank konvensional karena memakai

sistem bagi hasil dan lebih manusiawi, tapi akibat kredit macet karena usaha

rumah makan kurang lancar, pihak bank malah melelang jaminan pinjaman

walaupun usahanya tetap berjalan.2 Kasus sengketa perbankan syariah ini menjadi

polemik, karena bank syariah bertujuan memberikan pinjaman sesuai hukum

Islam tetapi tentu saja mengejar keuntungan, hal ini merugikan nasabah yang

menggantungkan hidupnya pada pinjaman bank syariah.

Hukum Islam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari ajaran agama Islam

merupakan hukum yang secara empirik hidup dalam masyarakat Indonesa (the living law) sejak masuknya Islam ke Nusantara. Sebagai hukum yang hidup,

2

(17)

3

hukum Islam di Indonesia dari masa ke masa mengalami perkembangan yang

menggembirakan. 3

Diundangkanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 206 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah

memberikan arah baru bagi kompetensi Peradilan Agama untuk menangani,

memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Amademen ini dimaksudkan untuk

memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, terutama setelah tumbuh dan

berkembangnya praktik ekonomi Islam di Indonesia.4

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 pada tanggal 29

Desember 1989 dan Undang-Undang Pengadilan Agama Nomor 3 Tahun 2006,

peradilan agama berjalan menuruti mekanisme peradilan negara yang

sesungguhnya. Artinya peradilan agama menjadi bagian dari peradilan negara

yang bersama-sama dengan peradilan umum, peradilan tata usaha negara dan

peradilan militer melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Setelah

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 diundangkan, tampaknya gairah umat Islam Indonesia untuk melaksanakan syariat Islam semakin menggeliat.5 Gairah

umat Islam untuk melaksanakan syariat Islam ditandai antara lain dengan

munculnya gerakan ekonomi Islam untuk mengganti ekonomi konvensional yang

3

Said Agil Al Munawwar, Op.Cit, hlm. 176 4

Ekonomi Syariah yang dimaksud dalam pasal 49 huruf i, penjelasanya mencakup (a) bank syari’ah; (b). lembaga keuangan mikro syari’ah. (c). asuransi syari’ah; (d). reasuransi

syari’ah; (e). Reksa dana syari’ah; (f). obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; (g). sekuritas syari’ah;(h). pembiayan syari’ah; (i). Pegadaian syari’ah; (j). dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan (k). bisnis syari’ah.

5

(18)

4

berbasis sistem bunga (ribawi) yang dianggap tidak adil dan eksploitatif.6 Pada

akhir Tahun 1991 digagas pembentukan lembaga keuangan yang berbasis syariah

berbentuk bank dengan modal disetor sejumlah Rp 106.126.382.000. Berawal dari

modal tersebut pada tanggal 1 Mei 1992 resmi beroperasi Bank Mumalat

Indonesia (BMI).7 Pada awalnya, keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimum dalam tatanan industri perbankan nasional. Secara

yuridis, dasar hukum operasional bank syariah hanya dapat dikategorikan sebagai bank dengan sistem bagi hasil. Tidak dapat rincian landasan syariah serta

jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang hanya menyinggung sepintas lalu mengenai sistem bagi hasil dalam operasional perbankan dan kemudian disusul

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan

prinsip bagi hasil.

Pada era reformasi, perbankan syariah mulai menemukan landasan hukum yang kuat, karena dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, telah mengatur dengan rinci landasan hukum, dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah (disebutkan secara

eksplisit dan tegas). Undang-undang ini juga memberikan arahan bagi bank-bank

konvensional untuk membuka cabang (window) syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah. Menjelang akhir Tahun 2009

terjadi booming bank-bank konvensional membentuk cabang syariah, seperti Bank

6

Antonio Syafi’i,Bank Syariah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, Jakarta: Tazkia Institue, 2009, hlm 124-125.

7

(19)

5

IFI, Bank Niaga dan Bank BNI. Bahkan pada awal Tahun 2000 Bank Mandiri telah mendirikan anak perusahaan dengan nama Bank Mandiri Syariah. Belum

lagi munculnya 898 baitul mal wa tamwil yang merupakan lembaga keuangan mikro syariah.8 Selain munculnya beberapa perbankan syariah, juga telah muncul lembaga keuangan syariah lainnya (non bank) seperti Pegadaian Syariah, Asuransi dan Re asuransi Syariah, Reksadana Syariah, Pasar Modal Syariah dan sebagainya dan sehubungan dengan itu Dewan Syariah Nasional (Institusi dibawah MUI)

yang dibentuk pada awal tahun 2009, sejak tanggal 1 April 2000 sampai dengan 25 Pebruari 2005 telah menerbitkan 49 fatwa sebagai pedoman bagi lembaga

keuangan syariah (Bank dan non Bank) dalam menjalankan kegiatan ekonomi

berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

Sejalan dengan perkembangan ekonomi syariah sebagaimana terurai di atas, maka telah lahir pula Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang

merupakan amandemen dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Peradilan Agama. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 telah diadakan perubahan dan salah satu ketentuan penting yang diubah

adalah ketentuan Pasal 49 yang menyangkut tugas dan kewenangan Peradilan

Agama.

Luasnya cakupan bidang hukum yang terkait dengan bidang perbankan syariah

tersebut membuat tidak tertutup kemungkinan terjadinya titik singgung atau

persentuhan kewenangan mengadili yang dapat berakibat tidak adanya ketertiban

dan kepastian dalam penegakan hukum. Permasalahan yang terkait dengan

8

(20)

6

kewenangan pengadilan agama dalam bidang bank syariah tersebut adalah

mengenai hukum acara dan prosedur penyelesaian perkara tersebut di pengadilan

agama. Hukum acara mana yang akan diterapkan dalam menyelesaikan sengketa

perbankan syariah tersebut di pengadilan agama. Selama ini pengadilan agama

terkesan hanya terbatas dalam menangani perkara-perkara dalam bidang hukum

keluarga saja, masuknya bidang ekonomi syariah, khususnya bidang perbankan

syariah menjadi kewenangan peradilan agama jelas merupakan persoalan baru

bagi pengadilan agama yang memerlukan pengkajian dan penelitian secara

tersendiri.

Kewenangan baru yang merupakan perluasan kewenangan peradilan agama yang

telah ada yaitu kewenangan peradilan agama untuk memeriksa dan memutus serta

menyelesaikan sengketa ekonomi syariah diantara orang-orang yang beragama

Islam. Perluasan kewenangan ini dalam rangka merespon perkembangan hukum

dan kebutuhan masyarakat Indonesia terutama yang beragama Islam

dan merupakan sebuah lompatan besar dalam perkembangan hukum nasional.9

Penjelasan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah

adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah,

antara lain meliputi: (a) bank syariah, (b) lembaga keuangan makro syariah,

(c) asuransi syariah, (d) reasunransi syariah, (e) reksadana syariah, (f) obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, (g) sekuritas syariah, (h)

9

(21)

7

pembiayaan syariah, (i) pagadaian syariah, (j) dana pensiun lembaga keuangan syariah dan (k) bisnis syariah.

Perubahan atau tepatnya penambahan kewenangan bagi peradilan agama untuk

menyelesaikan sengketa ekonomi syariah adalah dalam rangka merespon

perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat yang semula ekonomi syariah

yang telah dipraktikkan masyarakat Muslim di Indonesia masih sebatas sebagai

hukum diyani murni namun dewasa ini telah melibatkan kekuasaan Negara dalam bentuk hukumqodlo’y modern yaitu menunjuk lembaga hukum Negara (Peradilan

Agama) untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam kegiatan ekonomi

syariah tersebut. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2008 jika terjadi perselisihan dan perbedaan antar sesama bank syariah atau antara

bank syariah dengan nasabahnya, maka kedua belah pihak menyelesaikannya melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang sebelumnya

bernama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI).

Sarana untuk menyelesaikan persengketaan pada hakekatnya dapat dibagi dua

bentuk yaitu:

1. Dalam bentuk litigasi yaitu penyelesaian sengketa melalui badan peradilan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan dalam masyarakat. Di Indonesia sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2005 dikenal adanya empat lingkungan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara.

(22)

8

semula bernama BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) dibentuk Tahun 1993.

Ekonomi syariah dilaksanakan atas kemitraan dan kebersamaan dalam untung dan

rugi (profit and lost sharing) serta amanah sedemikian rupa, tetap saja tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa dan perselisihan. Secara yuridis, untuk penyelesaian sengketa ekonomi syariah sudah dibentuk lembaganya, yakni peradilan agama, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009, namun dalam undang-undang tersebut belum mengatur secara khusus hukum acaranya dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, dan juga belum ada hukum materiil yang tertulis sebagai hukum terapannya, namun demikian mau tidak mau Peradilan Agama harus menyelesaian sengketa ekonomi

syariah apabila ada perkara yang diajukan kepadanya karena sesuai ketentuan

Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

dinyatakan, pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau

kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Salah satu sengketa ekonomi syariah pernah terjadi pada Bank BNI Syariah,

dimana BNI Syariah mempunyai program pinjaman mikro khusus pada usaha

kecil dengan pinjaman antara Rp 5 juta hingga Rp 500 juta dan peminjam banyak

yang mengalami kesulitan pengembalian pinjaman uang tersebut, banyak terjadi

kredit macet yang penyelesaiannya memerlukan intervensi hukum. Namun selama

ini penyelesaian sengketa ini dilakukan dengan adanya penjamin dari pihak

keluarga debitor untuk menutupi sisa pinjaman untuk pelunasan pinjaman

(23)

9

dengan penyelesaian sengketa dalam Perbankan Konvensional. Berdasarkan

banyaknya masalah kredit macet yang terjadi di bank syariah maka pemerintah

mengeluarkan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama yang

menetapkan kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili

dan menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi Syariah.

Mengenai penyelesaian sengketa antara bank syariah, ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengatur bahwa: (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Agama.

(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.

(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.

Penjelasan Pasal 55 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 menguraikan

sebagai berikut:

“Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:

a. musyawarah; b. mediasi perbankan;

c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

d. Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.”

Berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, penyelesaian

sengketa perbankan syariah dilakukan di Pengadilan Agama. Pada prinsipnya,

penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip

syariah. Pasal 55 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008

memungkinkan dilakukannya penyelesaian sengketa tanpa berpedoman pada

(24)

10

berdasarkan Hukum Acara Perdata, bukan prinsip-prinsip syariah. Begitu juga

penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan yang berpedoman

pada Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 Tahun 2006 tentang Mediasi

Perbankan sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No.

10/1/PBI/2008.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul: Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti mengangkat permasalahan sebagai berikut:

a. Apa saja yang menjadi penyebab terjadinya sengketa perbankan syariah?

b. Bagaimana proses penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008?

c. Apa yang menjadi penghambat dalam penyelesaian sengketa perbankan

syariah?

2. Ruang Lingkup

Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup kajian Hukum Perdata, khususnya penyelesaian sengketa perbankan syariah. Agar ruang lingkup substansi penelitian

(25)

11

perbankan syariah dan faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam

penyelesaian sengketa perbankan syariah.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis penyebab terjadinya sengketa perbankan

syariah, untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa perbankan syariah, serta

mengetahui penghambat dalam proses penyelesaian sengketa perbankan syariah.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, memberikan penjelasan tentang penyebab terjadinya sengketa perbankan syariah yang mungkin timbul dan diajukan kepada peradilan agama,

dan menjelaskan penerapan hukum formil dan materiil di peradilan agama dalam

litigasi penyelesaian sengketa perbankan syariah khususnya dan ekonomi syariah

pada umumnya.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis, dengan diketahui bentuk sengketa perbankan syariah dan hukum acara yang diterapkan dalam litigasi sengketa ekonomi syariah, dapat dijadikan bahan penyusunan peraturan perundang-undangan hukum formil dan materiil

(26)

12

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teori menurut Abdulkadir Muhammad adalah susunan dari beberapa

anggapan pendapatan, cara, aturan, asas keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan. Pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.10

Istilah ekonomi syariah hanya dikenal di Indonesia, karena di negara lain istilah yang polpuler adalah Ekonomi Islam (Islamic economy). Secara substansial,

ekonomi syariah (Islamic economy) berbeda dengan ekonomi konvensional yang berkembang dewasa ini. Perbedaan yang terpenting adalah karena ekonomi

syariah terikat pada nilai-niali Islam dan ekonomi konvensional melepaskan diri

dari ajaran agama, terutama sejak negara Barat berpegang pada sekularisme dan menjalankan politik sekulerisasi. Sungguh pun demikian, tidak ada ekonomi yang bebas nilai, akan tetapi nilai dalam ekonomi konvensional adalah nilai duniawi (profane), sedangkan dalam ekonomi syariah adalah niklai ukhrawi (eternal). 11

Kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam di Indonesia semakin terasa penting

manakala dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional yang

disebut-sebut berorientasi atau berbasis kerakyatan. Urgensi dari kedudukan dan peran

hukum ekonomi Islam dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, misalnya sudut pandang sejarah, komunitas bangsa Indonesia, kebutuhan masyarakat dan bahkan dari sisi falsafah dan konstitusi Negara Indonesia, dari sudut pandang kesejarahan,

10

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti. Bandung. 2004, hlm. 32

11

(27)

13

jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, sebelum kolonial Eropa menjajah nusantara, maupun setelah merdeka dan hingga sekarang ini,

negeri ini telah dihuni oleh penduduk yang mayoritas beragama Islam. Di

daerah-daerah tertentu hukum ekonomi Islam telah dipraktikkan dalam masyarakat,

seperti sistem bagi hasil dalam pertanian, peternakan, dan simbol-simbol transaksi perdagangan di sejumlah pasar tradisional yang terkesan kental dengan

madzhab-madzhab fiqh yang dikenal dalam masyarakat. Dari segi komunitas yang

mendiami Negara Republik Indonesia, mayoritas beragama Islam, maka adalah wajar jika hukum Negara dipengaruhi oleh hukum agama yang dianut mayoritas

penduduknya. Pemberlakuan hukum ekonomi Islam sama sekali tidak terkait

dengan apa yang dikenal dengan sebutan “diktator mayoritas” dan atau “tirani

minoritas”. Alasannya, karena penerapan hukum ekonomi Islam tidak dilakukan

secara paksa apalagi dipaksakan, bahkan secara sukarela para pebisnis non Muslim tertarik dengan praktik ekonomi Islam.12

Sistem ekonomi Islam termasuk sistem hukumnya berjalan sebanding dan

sederajat dengan sistem ekonomi dan sistem hukum ekonomi konvensional. Dari

sudut kebutuhan masyarakat, kehadiran sistem hukum ekonomi Islam di Indonesia juga disebabkan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Terbukti dengan

keterlibatan aktif lembaga-lembaga keuangan dan lembaga-lembaga ekonomi lain

yang juga menerima kehadiran sistem ekonomi Islam, baik lembaga keuangan seperti perbankan maupun non perbankan dan lembaga pembiayaan.

12

(28)

14

Kedudukan hukum ekonomi Islam sesungguhnya sangatlah kuat sebagaimana

kedudukan hukum Islam secara umum. Demikian pula peran hukum ekonomi

Islam bisa digunakan terutama dalam menopang, melengkapi dan mengisi kekosongan hukum ekonomi nasional, sebagaimana peran hukum Islam secara umum bisa menopang, melengkapi dan mengisi kekosongan hukum nasional.

Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam tata hukum Indonesia dewasa ini,

sesungguhnya tidak lagi hanya sekedar tuntutan sejarah dan kependudukan

(karena mayoritas beragama Islam) sebagai mana disebutkan di atas, tetapi lebih jauh dari itu adalah karena adanya kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui

dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya sistem ekonomi Islam dalam

mengawal kesejahteraan rakyat sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri

Negara Republik Indonesia.

Kedudukan ekonomi Islam sama sekali tidak bertentangan dengan Pancasila

sebagai dasar dan falsafah Negara Indonesia, terutama sila “KeTuhanan Yang

Maha Esa” dan juga tidak berlawanan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi

Negara Indonesia sebagaimana dalam pembukaannya disebutkan “ … Dengan

mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “ juga Pasal. 29,

33 dan 34 UUD 1945.

Salah satu kegiatan ekonomi Islam adalah perbankan syariah. Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa bank syariah adalah badan usaha yang

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya

(29)

15

meningkatkan taraf hidup orang banyak berdasarkan prinsip syariah.13 Di samping

bank syariah, untuk melayani masyarakat menengah dan bawah, undang-undang juga mengizinkan beroperasinya lembaga keuangan mikro yang dikenal

dengan Baitul Mal wa Tamwil (BMT). Dasar pemikiran pengembangan bank syariah adalah untuk memberikan pelayanan jasa perbankan kepada sebagian

masyarakat Indoensia yang tidak dapat dilayani oleh perbankan yang sudah ada,

karena bank-bank tersebut menggunakan sistem bunga.14

Bank Islam memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya.

Pembayaran dan penarikan bunga dalam semua bentuk transaksi dilarang oleh

Islam. Islam melarang kaum Muslimin menarik atau membayar bunga. larangan

atas bunga inilah yang membedakan sistem perbankan syariah dengan sistem

perbankan konvensional. Meskipun sebelumnya terjadi perdebatan mengenai

apakah riba sama dengan atau ada kaitannya dengan bunga (interest) atau tidak,

namun sekarang tampak ada konsensus di kalangan ulama bahwa istilah riba

meliputi segala bentuk bunga.15

Pada kegiatan ekonomi yang bebas bunga sekalipun, dimungkinkan terjadinya perselisihan, dan untuk mengantisipasinya telah dibentuk lembaga yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk menyelesaikannya, yaitu peradilan agama. Sesuai dengan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 juncto

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, peradilan agama adalah peradilan bagi orang yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang antara lain

13

Pasal 1 angka 2 dan 13 Undang-undang nomor 10 Tahun 1998 14

Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam, Jakarta: PT Kreatama, 2005, hlm. 1 15

(30)

16

ekonomi syariah. Ini berarti semua sengketa mengenai kegiatan ekonomi syariah,

baik dalam bidang perbankan syariah, asuransi syariah, sampai bisnis syariah pada umumnya, secara yuridis menjadi kewenangan peradilan agama.

Menyelesaikan sengketa bisnis melalui pengadilan agama sebagai salah satu

lembaga peradilan yang memiliki kompetensi absolut untuk menyelesaikan

sengketa bisnis berbasis syariah. Kompetensi ini merupakan tambahan atas

kompetensi peradilan agama yang secara konvensional telah disandang selama ini.

Sebagai konsekuensi ditambahnya kompetensi absolut pengadilan agama, maka

kewenangan pengadilan agama setara dengan pengadilan negeri dalam memeriksa

sengketa-sengketa bisnis yang diajukan kepadanya. Satu hal yang secara prinsipil

membedakan pengadilan agama dengan pengadilan negeri dalam memeriksa

sengketa bisnis adalah basis sengketanya, yaitu lembaga ekonomi syariah.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menghubungkan antara

konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan

dengan istilah yang ingin atau akan diteliti.

Pasal 2 jo Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 dinyatakan bahwa,

Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan

kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan dalam

perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,

(31)

17

Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 ditegaskan bahwa,

yang dimaksud “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang

atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela

kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan

Agama sesuai ketentuan pasal ini.

Berdasarkan penjelasan Pasal 49, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah, atau bank konvensional yang membuka unit usaha syariah, dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah baik dalam pelaksanaan Akad maupun dalam penyelesaian perselisihan. Dalam operasionalnya, lembaga perbankan termasuk di dalamnya bank syariah meliputi penghimpunan dana, penyaluran dana, dan jasa layanan perbankan.16 Dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank syariah harus memperhatikan ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005

tanggal 14 Nopember 2005 Pasal 2 yaitu bank wajib membuat Akad dan secara tegas disebutkan jenis Akad / transaksi yang digunakan, dan dalam Akad tersebut tidak boleh mengandung unsur ghoror, maisir, riba, dlalim, risywah, barang haram dan maksiat.

Akad dalam Bahasa Indonesia lebih dikenal dengan nama perikatan atau perjanjian atau kontrak, demikian pula istilah yang biasa dipakai dalam hukum

perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).17 Akad menurut Hukum Islam berarti “pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang

16

Dewi Gemala, Aspek-aspek hukum dalam perbankan dan perasuransian syariah di

Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, hlm. 80-96

17

(32)

18

menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya“18 Sedangkan pengertian dari

perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain

atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.19

Peristiwa perjanjian ini menimbulkan hubungan antara orang-orang tersebut yang

disebut dengan perikatan atau Akad dalam hukum Islam.

Pada perbankan syariah yang dimaksud dengan Akad adalah perjanjian tertulis yang memuat ijab (penawaran) dan kabul (penerimaan) antara bank dengan pihak

lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan prinsip

syariah.20 Konflik atau sengketa keperdataan dapat saja terjadi dalam melakukan

hubungan hukum, seperti adanya wan prestasi (cedera janji) atau perbuatan melawan hukum dari salah satu pihak, dan jika terjadi perselisihan atau sengketa dalam perbankan syariah terutama mengenai pelaksanaan Akad atau perjanjian yang telah disepakati, baik antar sesama bank syariah atau antara pihak bank dengan nasabahnya, maka hal ini akan berakibat hukum terhadap status barang jaminan, upaya hukum bagi kedua belah pihak dalam menyelesaikan perselisihannya dan pelaksanaan terhadap obyek sengketa.

Perselisihan dalam bidang bisnis dan keperdataan, bisa diselesaikan diluar pengadilan seperti perdamaian, arbitrase yang dalam Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2009 disebut negosiasi, konsultasi, mediasi, dan arbitrase, atau dapat pula melalui lembaga peradilan (al-qodlo). Para pihak diberi keleluasan dalam menyelesaikan perselisihan mereka dengan cara yang dianggap lebih tepat dan

18 Ibid

19

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1996, hlm.1 20

(33)

19

menguntungkan dengan berpedoman kepada perjanjian yang telah dibuat dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penyelesaian sengketa hakikatnya masuk ranah hukum perjanjian sehingga

berlaku asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Artinya para pihak bebas melakukan pilihan hukum dan pilihan forum penyelesaian sengketa yang

akan dipakai manakala terjadi sengketa keperdataan di antara mereka. Klausula

penyelesaian sengketa ini hampir dapat dikatakan selalu ada dalam

kontrak-kontrak bisnis dewasa ini, termasuk dalam kontrak-kontrak pembiayaan yang dibuat antara

pihak nasabah dengan pihak perbankan syariah.

Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

menegaskan bahwa: (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh

pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama; (2) Dalam hal para pihak telah

memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad; (3) Penyelesaian

sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan

Prinsip Syariah. Kemudian dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) ditegaskan bahwa

yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad”

adalah upaya melalui: a. musyawarah, b. mediasi perbankan, c. Badan Arbitrase

Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain, dan/atau d. melalui

(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Prinsip Ekonomi Syariah

Sistem ekonomi menurut Islam ada tiga prinsip dasar yaitu Tawhid, Khilafah, dan ‘Adalah.Dalam Sistem Ekonomi Syariah, ada landasan etika dan moral dalam melaksanakan semua kegiatan termasuk kegiatan ekonomi, selain

harus adanya keseimbangan antara peran pemerintah, swasta, kepentingan dunia

dan kepentingan akhirat dalam aktivitas ekonomi yang dilakukan, jika kapitalisme

menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan sosialisme pada kolektivisme,

maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu: kesatuan (unity), keseimbangan (equilibrium), kebebasan (free will) dan tanggungjawab (responsibility).21

Sistem Ekonomi dalam Islam ditegakkan di atas tiga tiang utama, yakni konsep

kepemilikan (al-milkiyah), pemanfaatan kepemilikan (al-thasharruf fi al-milkiyah)

dan distribute kekayaan diantara manusia (tauzi’u tsarwah bayna al-naas).

Kepemilikan ini dibagi tiga, yakni (1) kepemilikan individu (milkiyatu

al-fardiyah), yaitu kepemilikan atas izin syar’i pada seseorang untuk memanfaatkan

harta itu kerana sebab-sebab kepemilikan harta yang diakui oleh syara’; (2)

kepemilikan umum (milkiyatul al-‘amah), adalah harta yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari (api, padang rumput, sungai, danau, jalan,

21

(35)

21

lautan, mesjid, udara, emas, perak dan minyak wangi.dsb) yang dimanfaatkan

secara bersama-sama. Pengelolaan milik umum ini hanya dilakukan oleh negara

untuk seluruh rakyat, dengan diberikan percuma atau dengan harga murah hanya

mengambil sedikit upah perkhidmat; dan (3) kepemilikan negara (milkiyatul al-daulah), harta yang pemanfaatannya berada ditangan seorang pemimpin sebagai kepala negara. Misalnya harta ghanimah, fa’I, khumus, kharaf, jizyah, i/5 harta

rikaz, ushr, harta orang murtad, harta orang yang tak memiliki ahli waris dan

tanah hak milik negara. Milik negara digunakan untuk berbagai keperluan yang

menjadi kewajiban negara, seperti menggaji pegawai negara, keperluan jihad dan

sebagainya. Kepemilikan individu adalah izin dari syara’ (Allah SWT) yang

memungkinkan siapa saja untuk memanfaatkan dzat maupun kegunaan (utility) suatu barang serta memperoleh kompensasi baik karena barangnya diambil

kegunaannya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk

dihabiskan zatnya seperti dibeli dari barang tersebut.22 Setiap orang bisa memiliki

barang atau harta melalui cara-cara tertentu, yang disebut sebab-sebab

kepemilikan (asbabu al-tamalluk).

1. Karakteristik Ekonomi Syariah

Sistem ekonomi Islam yang merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak jenis

mu’amalah Islami tentunya sejalan dan berbanding lurus dengan kaidah-kaidah

Islam. Sistem ekonomi Islam mempunyai ruh-ruh dan karakteristik tersindiri.

22

(36)

22

Dawabah menyebutkan setidaknya ada 5 (Lima) jenis karakteristik ekonomi

Islam, yaitu sebagai berikut:23

a. Spirit ketuhanan (Robbaniyah)

Sebagaimana diketahui bahwa Islam adalah sebuah agama yang merujuk semua

perkaranya kepada Allah dengan konsep ketuhanan. Tidak hanya merujuk, bahkan

segala kegiatan tujuannya adalah perkara yang bersifat keTuhanan. Tentunya ini

sangat berbeda dengan sistem-sistem ekonomi konvensional yang tujuannya

hanya memberi kepuasan pada diri tanpa merujuk atau bertujuan selain dari itu.

Maka sebagaimana Islam selalu menanamkan akhlaq dan adab dalam segala aspek

kehidupan diterapkan pula dalam hal interaksi perkonomian. Islam telah

mengajarkan bahwa manusia merupakan pemimpin di muka bumi sebagaimana

firmanNya “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka

bumi.” (QS. Al Baqarah: 30), Kemudian dilanjutkan dengan ayat AL-Hud 61;

“Dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu

pemakmurnya.” Ditambah lagi dengan firmanNya dalam Al Hadid 7 “Dan

nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu

menguasainya.” Jelas penuturan ayat-ayat di atas jelas sudah rujukan serta tujuan

dari sistem ekonomi Islam, yaitu sebuah asas ketuhanan, sehingga nantinya dapat

menciptakan masyarakat yang tentram serta seimbang perkonomiannya.

b. Keseluruhan (syumûliah)

Sistem ekonomi Islam tidak lain merupakan sebuah cakupan dari

ketetapan-ketetapan yang berlaku dalam Islam. Karena Islam merupakan sebuah sistem yang

mengatur segala aspek kehidupan yang masuk di dalamnya aspek perekonomian.

23

Muhammad Asyraf Dawabah, Al Iqtishâd al Islâmy Madkholun wa Manhajun,

(37)

23

Dengan masuknya ekonomi sebagai salah satu aspek kehidupan dalam

Islam, maka tidak mungkin ada produsen yang memproduksi barang di dasarkan

atas kemauannya saja. Tetapi dia juga pasti mempertimbangkan akan halal dan

haramnya. Para produsen tidak juga memproduksi sesuatu yang mengandung

hal-hal membahayakan konsumen atau lingkungannya. Dan berbagai perbuatan

lainnya akan disesuaikan dengan aspek dan ketentuan yang ada dalam Islam.

c. Fleksibilitas (murûnah)

Kaidah-Kaidah dalam Islam bersifat shôlihun likulli zamân wa makân. Dengan bahasa yang mudah dipahami adalah bisa diaplikasikan dalam berbagai dimensi

waktu dan tempat. Tentunya hal itu berkaitan erat dengan tsawabit (sesuatu yang sudah tetap) sertamutaghayyirat (hal yang masih berubah-ubah) yang berasaskan hal-hal ushul (pokok)dalam agama dan furu’nya (cabang).24 Dengan model yang disebutkan tadi berbagai macam kejadian bisa disesuaikan dengan hukum-hukum

fiqh yang ada. Fleksibilitas yang dimaksud di sini harus lebih ditinjau lagi. Rif’at

Audhy di salah satu bab dalam buku Mausu’atul Hadhoroh al

Islamiyah menerangkannya dengan cukup jelas. Fleksibilitas dalam Islam mempunyai sisi yang tidak bisa diterima dan ada yang bisa. Adapun sisi yang

tidak diterima yaitu ketika suatu permasalahan bisa dihukumi dengan dua hukum

yang berbeda sesuai perbedaan kondisi alias kondisional. Karena yang seperti itu

sama saja mengatakan bahwa yang hukum-hukum Islamlah yang menyesuaikan

keadaan, dan bukannya keadaan yang merujuk pada hukum Islam. Sisi yang bisa

24

Rif’at Audhy,al Mausu’ah al Islâmiyah al ‘Ammah,atas naungan Mahmud Hamdy

Zaqzuq, dengan judul al Iqtishâd al Islâmy, al Majlis al A’lâ li Syu`un al Islâmiyah, Kairo, cet.

(38)

24

diterima adalah ketika syariah yang sholih likulli zaman wa makân ini mampu menghukumi perkembangan zaman.25

Rif’at Audhy menambahkan tentang fleksibilitas dalam Islam dengan

bahasan ahkam taklifiyah yang 5 (lima). Kemudian beliau menyebutkan bahwa salah satu jenis hukumnya yaitu ibahah adalah sesuatu yang semakna dengan al

‘afwudalam hadis Rasul:

فع ف هنع تّكُس ام

Ibnu Taimiyah menyatakan perbuatan seorang hamba itu ada dua jenis: ibadah

yang dengannya orang memperbaiki agama mereka dan adat kebiasaan yang

dibutuhkan di dunia. Ibadah adalah sesuatu hal. Dengan adanya pokok-pokok

syariah, maka kita mengetahui bahwa ibadah yang ditetapkan olehNya tidak akan

sah kecuali dengan ketentuan yang ditetapkan syariah.26

d. Keseimbangan (tawâzun)

Islam dan berbagai aspek hidupnya selalu berdasarkan keseimbangan antara dua

sisinya. Sebagaimana keseimbangan antara dunia dan akhirat dan juga

keseimbangan antara iman dan perekonomian serta keseimbangan antara boros

dan kikir. Islam juga memberi keselarasan antara kebutuhan rohani dan kebutuhan

materi dengan memberi porsi yang sesuai antara keduanya. Sebagaimana tersirat

dalam firmanNya Surat Al Qashash ayat 77 “Dan carilah pada apa yang Telah

dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu

melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi”. Hal penting lain dari konsep

keseimbangan ini adalah sebuah sikap yang tidak condong pada kapitalis ataupun

25

Rif’at Audhy,Ibid, hlm. 280. 26

(39)

25

sosialis. Islam punya kedudukannya sendiri dalam hal ini, yaitu berada di antara

keduanya dengan tidak menafikan kepemilikan individual ataupun kepemilikan

sosial sebagaimana yang akan dibahas lebih dalam di bab lain dari makalah ini.

Islam memiliki batasan-batasannya sendiri antara kepentingan negara dan

individual dalam ekonomi sehingga dapat menyeimbangkan antara keduanya.

Asas dari kepemilikan dalam Islam adalah kepemilikan individual karena hal itu

dianggap sesuatu yang fitrah dalam Islam. Karena kepemilikan individual ini

merupakan pemeran utama dalam kinerja produksi, sedangkan kepemilikan umum

baru dianggap pada saat-saat tertentu sehingga memaksa negara untuk turun

tangan dalam menyelesaikannya. Jelas sudah bahwa intervensi negara dalam

ekonomi Islam tidaklah sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan individual.

Bahkan ia menjadi unsur pelengkap untuk menciptakan maslahat umum. Hal itu

bisa disaksikan lagi dengan adanya kewajiban zakat yang dikeluarkan oleh

individual untuk selanjutnya dikelola oleh negara.

e. Keuniversalan („âlamiyyah)

Konsep keuniversalan ini sudah ada sejak diutusnya Rasul ke atas bumi, karena

tidak lain diutusnya Rasul adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam, Al Qur’an

surat Al Anbiya` ayat 107 menyatakan “Dan tiadalah kami mengutus kamu,

melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Keuniversalan ekonomi

Islam semakin terasa jelas setelah datangnya krisis global yang melanda AS dan

belahan negara lain pada tahun 2008.

Unsur 5 (lima) tersebut di atas menggambarkan bagaimana Islam mengatur

(40)

26

mengenyampingkan kebaikan dan keberkahan sehingga hubungan antara manusia

dan manusia dapat berjalan dengan baik.

2. Dasar-dasar Sistem Ekonomi Syariah

Maksud penciptaan manusia memang tidak lain untuk beribadah kepada Sang

Pencipta, sebagai mana juga dieperintahkan untuk memakmurkan bumiNya

dengan adil. Maka dari itu Allah telah menyiapkan bumi ini agar bisa

dimanfaatkan dan menjadikan manusia sebagai pemimpin di atas bumi itu agar

dapat memanfaatkan segala yang ada. Dari prinsip penciptaan dan konsep

kepemimpinan manusia di atas bumi setidaknya bisa ditarik benang merah untuk

membangun prinsip ekonomi dalam Islam, yaitu: kepemilikan ganda (kepemilikan

individual dan kepemilikan umum), kebebasan berkonomi, serta mengayomi

kepentingan umum.27

3. Prinsip Ekonomi Syariah

Menurut Yusuf Qardhawi28, ilmu ekonomi Islam memiliki tiga prinsip dasar yaitu

tauhid, akhlak, dan keseimbangan. Dua prinsip yang pertama kita sama-sama tahu

pasti tidak ada dalam landasan dasar ekonomi konvensional. Prinsip

keseimbangan pun, dalam praktiknya, justru yang membuat ekonomi

konvensional semakin dikritik dan ditinggalkan orang. Ekonomi Islam dikatakan

memiliki dasar sebagai ekonomi Insani karena sistem ekonomi ini dilaksanakan

dan ditujukan untuk kemakmuranmanusia, sedangkan menurut Chapra, disebut

sebagai ekonomi Tauhid. Keimanan mempunyai peranan penting dalam ekonomi

Islam, karena secara langsung akan mempengaruhi cara pandang dalam

27

Muhammad Asyraf Dawabah, Op.Cit hlm. 61. 28

(41)

27

membentuk kepribadian, perilaku, gaya hidup, selera, dan preferensi manusia,

sikap-sikap terhadap manusia, sumber daya dan lingkungan. Saringan moral

bertujuan untuk menjaga kepentingan diri tetap berada dalam batas-batas

kepentingan sosial dengan mengubah preferensi individual seuai dengan prioritas

sosial dan menghilangkan atau meminimalisasikan penggunaan sumber daya

untuk tujuan yang akan menggagalkan visi sosial tersebut, yang akan

meningkatkan keserasian antara kepentingan diri dan kepentingan sosial.

(Nasution dkk)

B. Hukum Perbankan Syariah

1. Pengertian Hukum Perbankan Syariah

Perbankan Syariah menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank

Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha,

serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Jadi dapat

disimpulkan Hukum Perbankan Syariah adalah segala aturan hukum yang

mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit

Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan

proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya, selain itu perlu juga diketahui

dua pengertian berikut:

a. Bank menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

(42)

28

bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf

hidup rakyat.

b. Bank Syariah menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya

berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank

Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

2. Ketentuan Hukum Yang Mengatur Hukum Perbankan Syariah

Bank Syariah secara yuridis formal di Indonesia memiliki dasar diantaranya:

a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

b. Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

d. Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

e. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

f. Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

g. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Perbankan Syariah memiliki visi untuk terwujudnya sistem perbankan syariah

yang kompetitif, efisien, dan memenuhi prinsip kehati-hatian yang mampu

mendukung sektor riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis bagi

(43)

29

Misi perbankan syariah berdasarkan visi nya adalah:

a. melakukan kajian dan penelitian tentang kondisi, potensi serta kebutuhan

perbankan syariah secara berkesinambungan;

b. mempersiapkan konsep dan melaksanakan pengaturan dan pengawasan

berbasis risiko guna menujamin kesinambungan operasional perbankan

syariah yang sesuai dengan karakteristiknya;

c. mempersiapkan infrastruktur guna peningkatan efesiensi operasional

perbankan syariah;

d. mendisain kerangka entry dan exit perbankan syariah yang dapat mendukung stabilitas perbankan.

Sasaran pengembangan perbankan syariah sampai Tahun 2011 adalah:

a. Terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional perbankan yang ditandai

dengan: (1) tersusunnya norma-norma keuangan syariah yang seragam

(standardisasi); (2) terwujudnya mekanisme kerja yang efisien bagi

pengawasan prinsip syariah dalam operasional perbankan , baik instrumen

maupun badan terkait; (3) rendahnya tingkat keluhan masyarakat dalam hal

penerapan prinsip syariah dalam setiap transaksi.

b. Diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan syariah,

yaitu (1) terwujudnya kerangka pengaturn dan pengawasan berbasis risiko

yang sesuai dengan karakteristiknya dan didukung o;leh sumber daya insani

(44)

30

efisien; (4) terwujudnya reatime supervision; (5) terwujudnya self regulatory system.

c. Terciptanya sistem perbankan syariah yang kompetitif dan efisien yang

ditandai dengan: (1) terciptanya pesaing-pesaing yangmampu bersaing secara

global; (2) terwujudnya aliansi strategis yang efektif; (3) terwujudnya

mekasime kerjasama dengan lembaga-lembaga pendukung.

d. Terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan bagi

masyarakat luas, yang ditandai dengan: (1) terwujudnya safety net yang merupakan kesatuan dengan konsep operasional perbankan yang berhati-hati;

(2) terpenuhinya kebutuhan masyarakat yang menginginkan layanan bank

syariah diseluruh Indonesia dengan target pangsa pasar 5% dari total aset

perbankan nasional; (3) terwujudnya fungsi perbankan syariah yang

kaffah dan dapat melayani seluruh segmen masyarakat; (4) meningkatnya proposal pola pembiayaan secara bagi hasil.

3. Kedudukan Bank Syariah Dalam Tata Hukum Perbankan di Indonesia

Istilah lain yang sering digunakan untuk bank syariah adalah bank Islam.

Secara akademik, istilah bank syariah dan bank Islam memang mempunyai

pengertian yang berbeda. Namun secara tehnis penyebutan bank Islam dan

bank syariah mempunyai pengertian yang sama.29

Bank Islam yang biasa juga disebut bank syariah merupakan lembaga

keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu

lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasannya disesuaikan

29

(45)

31

dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Dalam praktiknya, perbankan Islam

memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya. Pembayaran dan

penarikan bunga memang dilarang dalam semua bentuk transaksi. Islam

melarang kaum Muslim menarik atau membayar bunga (interest).30

Salah satu alasan diharamkan riba adalah agar umat Islam terhindar dari

unsur gharar (spekulasi) dalam melakukan transaksi. Di sinilah urgensinya pendirian bank Islam dalam upaya menggalakkan perekonomian umat

berdasarkan sistem syariat.31

Bank syariah dalam operasionalisasinya harus mengikuti atau berpedoman

kepada praktik-praktik usaha yang telah dilakukan pada zaman Rasulullah

SAW, bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang

oleh Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para ulama/cendekiawan Muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan al-Qur’an

dan Hadis. Seperti yang dijelaskan sebagai berikut:

1

ع

س لا ا ا ح لحأ أ اَح ح اح ص اإ

س لا ب ئاج ح صلا

ا ا ح لحأ أ اَح ح ا ش اإ

ش

{

تلا ا

}

"Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum Muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram; dan kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

Jika dicermati matan hadis di atas, maka didapatkan informasi bahwa maknanya

sebenarnya masih umum, sehingga bisa digunakan sebagai dasar beberapa

30

Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru, UII Presss, Yogyakarta, 2005, hlm. 47

31

Utari Maharany Barus, Penerapan Hukum Perjanjian Islam Bersama-sama dengan Hukum Perjanjian menurut KUH Perdata (Studi mengenai Akad Pembiayaan antara Bank

(46)

32

kegiatan mu'amalah seperti yang disebutkan di atas. Hadis di atas juga dikutip oleh Muhammad Syafi'i Antonio dari kitab al-Ahkam No. 1272. Hadis tersebut dianggap sebagai pemicu kaum Muslimin untuk berjuang mendapatkan materi

atau harta dengan berbagai cara asalkan mengikuti aturan-aturan yang telah

ditetapkan. Aturan-aturan tersebut di antaranya, carilah yang halal lagi baik; tidak

menggunakan cara-cara batil; tidak berlebih-lebihan atau melampaui batas; tidak

dizalimi maupun menzalimi; manjauhkan diri dari unsur riba, maisir (perjudian dan intended speculation), dan gharar (ketidakjelasan dan manipulatif), serta tidak melupakan tanggung jawab sosial berupa zakat, infaq, dan sedekah.

Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi mengutip hadis di atas dengan matan yang lebih

singkat yaitu hanya kata

ش ع

س لا

dengan jalan yang berbeda pula.

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam al-Hakim dengan

sanad yang sahih. Hadis tersebut dikutip kaitannya dengan hukum memilih dalam

jual beli.

2

ا أ حاص ع تشا ب ا لا لا عف ا إ ب ط لا ع ب ا علا ا س اك

ا حب ب ك س

,

ا ا ب ل ا

,

ك ا با ب ت ا

,

كل لعف إف

,

اجأف س لآ ع ه ص ه ل س

ش غ ف

{

ف ا طلا ا

ا ع با ع س أا

}

(47)

33

Muhammad Syafi'i Antonio32 menyatakan bahwa berikut adalah hadis yang

digunakan sebagai landasan syariah bagi al-mudharabah.

3

لا س لآ ع ه ص لا أ

:

ك لا ف َ

:

لجأ لإ ع لا

,

اق لا

ع ل ا

ل ع لاب لا خ

{

ب ص ع جا با ا

}

"Nabi Muhammad SAW. bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, buka untuk dijual."

Hadis Imam Ibnu Majah No. 2280, kitab at-tijarah, dikutip Muhammad Syafi'i Antonio33 sebagai salah satu landasan syariah bagi produk al-mudharabah dan

bai' as-salam (in-front payment sale). Zainul Arifin juga mengutip hadis di atas ketika berbicara masalah al-murabahah.34

4

ع لجأ لإ ع

ع ل ك ف ش ف سأ

{

ف ا لا ا

ح حص

}

"Barangsiapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui"

Selain diriwayatkan oleh al-Bukhari, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam

Muslim, Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmizi, Imam an-Nasai, dan Imam Ibnu

Majah dari sahabat Ibnu Abbas ra. Derajat hadis ini adalah shahih). Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi menggunakan hadis di atas sebagai kebolehan jual beli

dengan cara pemesanan dan sebagai landasan syariah bagi hukum salam.

5

ا ا ا

{

لا عس بأ ع ا

غ ط ا لا جا با ا

}

"Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain"

32

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah : Dari Teori ke Praktek, Jakarta : GIP, 2001, hlm. 17

33

Muhammad Syafi’I Antonio, Ibid, hlm. 19. 34

(48)

34

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dari sahabat Ubadah bin Shamit,

juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari sahabat Ibnu Abbas dan Malik dari

Yahya. Hadis ini mempunyai redaksi yang singkat dan masih umum maknanya,

tetapi dijadikan landasan syariah dalam berbagai kegiatan Keuangan dan

Perbankan Syariah seperti Pembiayaan Mudharabah (qiradh), Uang Muka dalam

Murabahah, Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah, Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah, Sanksi Atas

Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran, Pencadangan Penghapusan

Aktiva Produktif dalam Lembaga Keuangan Syariah, Pedoman Pelaksanaan

Investasi untuk Reksa Dana Syariah, Pedoman Umum Asuransi Syariah, Jual Beli

Istishna' Paralel, Pembiayaan Rekening Koran Syariah, Pengalihan Hutang, Pasar

Uang Antarbank berdasarkan Prinsip Syariah, Sertifikasi Investasi Mudharabah

AntarBank (Sertifikat IMA), Asuransi Haji, dan Pasar Modal dan Pedoman

Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.

Hadis di atas terdapat dalam kitab al-Jami' ash-Shaghir No. 9899 dan dianggap

hasan oleh penyusun kitab ini, tetapi dianggap shahih oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani. Hadis di atas pendek atau singkat, tetapi mengandung

makna yang padat. Hadis seperti ini biasa juga disebut jami' al-kalim atau jawami' al-kalim (bentuk jamak). Nabi SAW. bersabda tentang kemampuannya mengungkapkan kata-kata jawami' al-kalim ini,

لا ع ا ب عب

{

بأ ع ا

غ س ا لا ا

}

(49)

35

Dengan demikian, tidak mengherankan jika hadis yang singkat ini digunakan

untuk berbagai kegiatan mu'amalah. Bank syariah dalam pengertian hukum nasional adalah bank yang tata cara operasionalnya sesuai dengan nilai-nilai

ajaran Islam yang berdasakan al-Qur’an dan Hadis, sedangkan hukum nasional

adalah hukum yang mengatur warga negara Republik Indonesia secara tertulis,

dari segala tingkah lakunya dalam semua aspek k

Referensi

Dokumen terkait

Setelah pemilihan tema yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik penggunaan media pembelajaran juga sangat berpengaruh dalam proses pembelajaran tematik integratif karena

2. Seseorang yang mengalami mobilitas sosial dengan status dan peranan yang tetap maka orang tersebut mengalami .... Mobilitas sosial vertikal turun c. Mobilitas sosial horizontal

Manfaat dari penelitian ini adalah menambah pengetahuan dan wawasan yang berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan siswa SMP di lingkungan sekolah,

Judul PUPR Gandeng 40 Bank Salurkan FLPP Tanggal Jumat, 22 Desember 2017 Media Investor Daily (Halaman,

Alasan mereka adalah PKB telah menjadi partai sekuler inklusif, komposisi pengurus yang semakin tidak berpihak kepada NU dan perbedaan pandangan dalam beberapa masalah

KABEL LISTRIK KABEL LISTRIK KELAS : X KELAS : X SEMESTER : GASAL SEMESTER : GASAL DISUSUN OLEH: DISUSUN OLEH: ABDUL KHAMID.ST ABDUL KHAMID.ST NO PESERTA :13030861710635 NO

Musyawarah Nasional Luar Biasa adalah rangkaian kegiatan yang diselenggarakan sewaktu-waktu dalam kurun kepengurusan 5 (lima) tahun dengan melibatkan Pengurus Pusat,

Dari kendala-kendala yang dihadapi dalam membentuk rasa nasionalisme Dari kendala-kendala yang dihadapi dalam membentuk rasa nasionalisme siswa di SMK Negeri 1 Sukasada,