PERBANDINGAN BOBOT TELUR TERHADAP FERTILITAS, SUSUT TETAS (WEIGHT LOSS), DAYA TETAS,
DAN BOBOT TETAS KALKUN
Oleh : Febri Ahyodi
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Peternakan
pada
Jurusan Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
PERBANDINGAN BOBOT TELUR TERHADAP FERTILITAS, SUSUT TETAS (WEIGHT LOSS), DAYA TETAS, DAN BOBOT TETAS KALKUN
Febri Ahyodi
Pembibitan merupakan suatu upaya untuk menghasilkan bibit unggas. Untuk meningkatkan bibit kalkun yang berkualitas, perlu dilakukan seleksi ketat terhadap telur tetas kalkun sebelum telur-telur tersebut ditetaskan. Bobot telur merupakan faktor yang memengaruhi bibit kalkun yang berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan bobot telur terhadap fertilitas, susut tetas (weight loss), daya tetas, dan bobot tetas kalkun.
Penelitian dilaksanakan selama satu bulan pada 1 Maret- 5 April 2013, bertempat di Desa Sukoharjo 1, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu. Telur yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur kalkun sebanyak 30 butir untuk masing-masing perlakuan. Perlakuan terdiri dari bobot telur T1 (70,00--74,99 g) dan T2 (75,00--80,00 g). Telur yang diambil dari 10 kandang induk kalkun masing-masing sebanyak 3 butir. Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis dengan menggunakan uji t-student dengan taraf nyata 5% .
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...
DAFTAR GAMBAR...
I. PENDAHULUAN ...
A. Latar Belakang dan Masalah... B. Tujuan Penelitian... ...
C. Kegunaan Penelitian ... ...
D. Kerangka Pemikiran ...
E. Hipotesis...
II. TINJAUAN PUSTAKA...
A. Deskripsi Kalkun ...
B. Telur Tetas ...
C. Bobot Telur ...
D. Fertilitas ...
E. Susut Tetas (Weight Loss) ...
iii
iv
1
1 3
3
3
5
6
6
11
14
15
F. Daya Tetas ...
G. Bobot Tetas ...
H. Pengelolaan Penetasan ...
III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ...
A. Waktu dan Tempat Penelitian ... B. Bahan dan Alat Penelitian...
C. Metode Penelitian ...
D. Pelaksanaan Penelitian ...
E. Peubah yang Diamati ...
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...
A. Gambaran Umum Kelompok Ternak ... B. Pengaruh Bobot Telur Kalkun terhadap Fertilitas ... C. Pengaruh Bobot Telur Kalkun terhadap Susut Tetas
(weight loss) ... D. Pengaruh Bobot Telur Kalkun terhadap Daya Tetas... E. Pengaruh Bobot Telur Kalkun terhadap Bobot Tetas ...
V. SIMPULAN DAN SARAN...
A. SIMPULAN ... B. SARAN ...
DAFTAR PUSTAKA ...
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Masalah
Peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan
bahan pangan yang tidak lepas dari konsumsi masyarakat sehari-hari. Hal ini
berdampak dengan meningkatnya kebutuhan protein hewani, salah satu produk
protein hewani yaitu daging kalkun. Kalkun merupakan ternak yang berpotensi
untuk dikembangkan sebagai unggas potong dan penghasil telur.
Menurut Rasyaf dan Amrullah (1983), sebagai unggas potong, daging kalkun
memiliki keunggulan yaitu memiliki kandungan protein yang tinggi (30,5--34,2
%), selain itu mengandung lemak dan energi yang rendah, asam amino yang
terkandung dalam proteinnya sangat lengkap dan sempurna seperti telur.
Pemeliharaan kalkun dapat dilakukan relatif secara alami atau organik (tidak
menggunakan bahan vitamin dan obat-obatan kimia), sehingga dagingnya relatif
aman dikonsumsi oleh manusia. Daging kalkun memiliki rasa, aroma, dan tekstur
yang tidak bermasalah dan bisa diterima oleh semua golongan.
Perkembangan kalkun di Indonesia khususnya di Lampung masih rendah
sehingga berpengaruh terhadap populasi yang rendah pula. Menurut Dinas
Peternakan (1999), populasi kalkun di Provinsi Lampung baru mencapai 900 ekor.
2
yang berkualitas, sehingga produksi kalkun hanya mencapai 55--65 % dari
150--200 butir per tahun (Rasyaf dan Amrullah, 1983).
Sebagai upaya untuk meningkatkan usaha pengembangan kalkun dibutuhkan
penyediaaan bibit berkualitas yang berkesinambungan, manajemen pemeliharaan
yang baik, pemberian ransum yang berkualitas, dan pengawasan yang ketat
terhadap penyakit. Bibit yang berkualitas baik mengakibatkan kemampuan anak
kalkun untuk tumbuh dan berkembang serta produksi lebih baik, yang pada
akhirnya akan memengaruhi perkembangan populasi kalkun (Nugroho, 2003).
Untuk meningkatkan bibit kalkun yang berkualitas, perlu dilakukan seleksi ketat
terhadap telur tetas kalkun sebelum telur-telur tersebut ditetaskan. Menurut
Srigandono (1997), beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam memilih
sumber telur yaitu umur induk, perbandingan jantan betina, bobot dan bentuk
telur, sistem perkandangan, asal telur, dan lama penyimpanan telur.
Nugroho (2003) menyatakan bahwa bobot telur merupakan ukuran yang sering
digunakan dalam memilih telur tetas karena bobot telur adalah salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap fertilitas, daya tetas, dan bobot tetas sehingga nantinya
akan menentukan kualitas pertumbuhan kalkun selanjutnya. Menurut Kurtini dan
Riyanti (2003), telur dengan bobot rata-rata atau sedang akan menetas lebih baik
daripada telur yang terlalu kecil dan terlalu besar. Telur yang kecil, rongga
udaranya akan terlalu besar sehingga telur akan cepat (dini) menetas. Sebaliknya
telur yang terlalu besar menyebabkan rongga udara relatif terlalu kecil, akibatnya
telur akan terlambat menetas. Bobot telur berkorelasi positif dengan bobot tetas,
Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang perbandingan bobot telur terhadap fertilitas, susut tetas (weight loss), daya
tetas, dan bobot tetas telur kalkun guna mengetahui hasil tetas yang lebih baik.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bobot telur yang terbaik terhadap
fertilitas, susut tetas (weight loss), daya tetas, dan bobot tetas telur kalkun.
C. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi bobot telur yang
terbaik pada penetasan telur kalkun, khususnya terhadap fertilitas, susut tetas
(weight loss), daya tetas, dan bobot tetas dan bagi peternak berguna sebagai bahan
untuk memilih bobot telur dan mengambil tindak lanjut dalam upaya
meningkatkan produksi kalkun.
D. Kerangka Pemikiran
Kalkun adalah hewan unggas (sejenis burung), asli Amerika Utara, yang
sebenarnya telah dikonsumsi sehari-hari oleh suku indian. Kalkun merupakan
salah satu jenis unggas yang memunyai produksi daging dan telur yang cukup
baik. Daging kalkun memunyai kandungan protein yang lebih tinggi, sedangkan
kadar lemak dan energinya lebih rendah daripada daging sapi dan domba.
Produksi telur kalkun dapat mencapai 150--200 butir pertahun (Rasyaf dan
Amrullah, 1983). Dalam pengembangan peternakan kalkun, terdapat kendala di
dalam penyediaan bibit yang berkualitas baik dan berkelanjutan. Penyediaan bibit
4
Untuk meningkatkan bibit kalkun yang berkualitas, perlu dilakukan seleksi ketat
terhadap telur tetas kalkun sebelum telur-telur tersebut ditetaskan. Menurut
Djanah (1984) dan Srigandono (1991), keberhasilan penetasan dipengaruhi antara
lain oleh seleksi telur tetas yang meliputi bobot telur, bentuk telur, keadaan
kerabang telur, dan kantung udara di dalam telur. Selain itu, manajemen
penetasan sangat berpengaruh terhadap faktor keberhasilan penetasan. Faktor
yang menjadi tolak ukur keberhasilan penetasan antara lain fertilitas, susut tetas,
daya tetas, dan bobot tetas.
Adapun hal-hal yang memengaruhi fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot
tetas salah satunya adalah bobot telur yang akan ditetaskan. Telur dengan bobot
rata-rata atau sedang akan menetas lebih baik daripada telur yang terlalu kecil dan
terlalu besar, sehingga perlu diketahuinya ketepatan data bobot telur yang ideal.
Menurut Prayitno dan Murad (2009), standar bobot telur tetas kalkun yang akan
ditetaskan di dalam mesin tetas pada fase produksi pertama berkisar antara 50--55
g/butir dan pada fase produksi kedua berkisar antara 70--80 g /butir.
Menurut Nugroho (2003), telur kalkun lokal dengan bobot (69,00 -- 71,99 g),
(75,00--77,99 g), dan , (81,00--83,99 g) menghasilkan fertilitas sebesar 53,33%,
60,00%, dan 63,33%, sedangkan daya tetas yang dihasilkan 69,45% ; 73,61% ; dan
72,22%. Sementara bobot tetas yang dihasilkan yaitu 45,82 ; 49,69 ; dan 53,55 g.
Abiola, dkk. (2008) menyatakan bahwa telur parent stock broiler yang memiliki
bobot kisaran 50--57,98 g dan 57, 40--69,94 g menghasilkan susut tetas 11,24 %
dan 11,57 %. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilaksanakan untuk
E. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah bobot telur tetas yang
berukuran 75,00--80,00 g diduga lebih baik terhadap fertilitas, susut tetas (weight
loss), daya tetas, dan bobot tetas dibandingkan dengan bobot telur tetas yang
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kalkun
Kalkun adalah hewan unggas (sejenis burung), asli Amerika Utara, yang
sebenarnya telah dikonsumsi sehari-hari suku indian. Dalam klasifikasinya
kalkun termasuk dalam Filum Chordata, Sub Filum Vertebrata, kelas Aves, Ordo
Galliformes, Family Phasianidae, Sub Family Miliagris, Genus Meleagris,
Spesies MeleagrisGallopavo, MeleagrisSilvestri, dan MeleagrisOcellata( Prayitno
dan Murad, 2009).
Nenek moyang kalkun piaraan adalah Meleagris Gallopavo. Kalkun liar hidup
dalam kelompok-kelompok kecil di hutan dan makanannya berupa serangga,
biji-bijian dan buah-buahan yang jatuh dai pohon (Williamson dan Payne, 1993). Di
Amerika sendiri terdapat banyak bangsa kalkun diantaranya Broad Breasted
Bronze, Broad Breasted White, American Mammoth Bronze, White Beltsville dan
Hybrid (Blakely dan Bade, 1994).
Indonesia memiliki beberapa varietas kalkun yang dikembangkan yaitu jenis
Broad Breasted Bronze, White Holland,dan kalkun cokelat.Varietas Broad
Breasted Bronzemerupakan hasil persilangan Broad Breasted Bronze Large
Ciri-ciri kalkun Broad Breasted Bronze memiliki warna bulu gelap dan warna
perunggu pada ekor dan sayapnya, pertumbuhan yang baik ditandai dengan bobot
tubuh jantan dicapai pada umur 24 minggu sebesar 4,8--5,0 kg dan pada betina
pada umur 17 minggu sebesar 3,5 kg (North dan Bell, 1990).
KalkunWhite Holland (kalkun putih atau kalkun albino) ini memiliki ciri--ciri
warna bulu putih, kalkun jantan memiliki bobot tubuh mencapai 11--18 kg,
sedangkan betina memiliki berat tubuh mencapai 6,5--8,0 kg (Juragan, 2012).
Kalkun cokelat merupakan jenis kalkun yang yang paling banyak
peminatnya.Kalkun cokelat memiliki ciri--ciri warna bulu cokelat. Bobot tubuh
kalkun jantan dan betina sama dengan bobot tubuh jenis kalkunWhite Holland
yaitu kalkun jantan memiliki bobot tubuh mencapai 11--18 kg , sedangkan betina
memiliki bobot tubuh mencapai 6,5--8,0 kg (Maspul, 2012).
Menurut Maspul (2012), cara membedakan kalkun jantan dan betina dapat dilihat
dari ukuran tubuh. Kalkun jantan memiliki tubuh yang lebih besar dibandingkan
dengan kalkun betina.Selain tubuh yang besar, kalkun jantan memiliki bulu yang
lebih indah dan memiliki snood yang lebih panjang di atas kepalanya, sedangkan
betina memiliki snood tetapi kurang muncul dan warna bulu kurang
berwarna-warni.Kalkun jantan juga diciri-cirikan memiliki suara yang lebih keras
dibandingkan dengan kalkun betina.Perbedaan jantan dan betina dapat dilihat
8
Gambar 1. Kalkun Jantan dan Betina
Sumber : http://designeranimals.wikispaces.com. com, 2013
Menurut Rasyaf dan Amrullah (1983), daging kalkun memilikikandungan
protein30,5% dan kandungan lemak 11,6%. Apabiladibandingkan dengan daging
sapi, kandungan protein daging kalkun lebih tinggi 3,5% dan kandungan lemak
lebih rendah 5,5%.Selain itu, daging kalkun mengandung asam amino yang
lengkap.Dengan demikian, kalkun dapat digunakan sebagai makanan pengganti
daging sapi untuk memenuhi gizi masyarakat. Perbandingan nilai gizi dari
Tabel 1. Perbandingan nilai gizi dari beberapa macam daging yang telah melewatiproses pengolahan
Macam daging Protein (%) Lemak (%) Energi (cal)
1.Kalkun : Daging putih 43,3 7,5 923
Daging warna gelap 30,5 11,6 1.022
2.Ayam : Daging putih 31,5 1,3 621
Daging warna gelap 25,5 7 3 754
3.Sapi : "Round Steak" 27,0 13,0 1.049
"Poterhouse Steak" 23,0 27,0 1.539
"Rump Roast" 21,0 32,0 1.648
Sumber: Mountney (1976)
Menurut Prayitno dan Murad (2009), kalkun yang sampai sekarang ada dan
dipelihara secara turun temurun oleh penduduk Indonesia sekitar empat abad ini,
dapat beradaptasi baik dengan iklim hampir di seluruh nusantara. Menurut Rasyaf
dan Amrullah (1983), cara memilih anak kalkun umur satu hari (day old
turkey/DOT) yang baik yaitu
a. bila disentak kesana kemari, aktif menciap-ciap dan banyak bergerak;
b. lihatlah matanya, anak kalkun yang sehat dan baik akan memperlihatkan mata
yang tajam dan sinar matanya memancar;
c. perhatikan paruhnya, jangan ada yang cross-beak atau paruh yang bersilang
letak. Hindari paruh yang cacat, karena akan mengakibatkan sulitnya pada
saat mencari makan;
d. pilih anak kalkun yang besar badannya, bulunya kering rata. Anak kalkun
10
e. perhatikan kakinya, kaki harus terlihat normal dan anak kalkun itu harus
mampu berdiri baik diatas kedua kakinya;
f. perhatikan juga duburnya, apakah ada letakan tinja di bagian tersebut.
Kalkun yang berkembang di Indonesia yaitu memiliki tubuh yang relatif jauh
lebih kecil dibandingkan dengan varietas kalkun yang dipelihara di negara maju.
Bobot kalkun betina dewasa sekitar 3,0--3,5 kg sedangkan jantannya sekitar 6--8
kg. Warna bulunya beragam, ada yang gelap, putih, gelap/hitam bercampur putih,
cokelat, dan abu-abu. Diduga kalkun ini adalah keturunan dari berbagai spesies
dan varietas kalkun yang ada pada waktu itu dibawa masuk oleh orang-orang
Belanda ke Indonesia (Prayitno dan Murad, 2009).
Menurut Rasyaf dan Amrullah (1983), dalam manajemen pemeliharaannya kalkun
jantan dibesarkan terpisah dari betina,apabila sejak kecil jantan dan betina itu
telah dicampur maka pertumbuhan betina akan terganggu dan berat yang
seharusnya dicapai sebelum bertelur tidak akan terpenuhi. Pada saat ada makanan
jantan akan makan lebih dahulu dan dengan badannya yang lebih besar jantan
akan menutupi kesempatan betina untuk makan, sehingga betina akan mendapat
sisa makanan, itulah sebabnya selama masa pembesaran jantan dan betina
dipelihara terpisah.
Kalkun mempunyai lima fase hidup yaitu 0--4 minggu (prestarter), 4--8 minggu
(starter), 8--12 minggu (grower I), 12--16 minggu (grower II), 16--20 minggu
(finisher II), dan 20 minggu keatas (finisher II). Dewasa kelamin kalkun pada
untuk betina (Rasyaf dan Amrullah, 1983). Blakely dan Bade (1994) menyatakan
bahwa kalkun betina tipe ringan dapat dikawinkan pada umur 30 minggu dan
pejantannya dapat mulai dikawinkan pada umur 34 minggu, sedangkan kalkun
tipe berat baru dapat dikawinkan pada umur umur 36 minggu dan pejantannya
pada umur 40 minggu.
Kalkun jantan dan betina yang sudah dewasa kelamin akan menghasilkan telur
tetas dan anak kalkun yang baik dibandingkan dengan kalkun yang belum dewasa
kelamin. Pada pemeliharaan yang sempurna anak kalkun yang diperoleh bobot
badan pada umur 16--24 minggu akan sama seperti yang dihasilkan oleh bibit
yang lebih tua. Begitu juga dengan fertilitas dan daya tetasnya. Pejantan muda
sanggup melayani 20 induk. Untuk tipe berat jumlahnya lebih sedikit yaitu
berkisar 14--16 ekor, sedangkan untuk tipe medium dan tipe kecil berturut-turut
adalah 18 dan 20 ekor (Rasyaf dan Amrullah, 1983).
B. Telur Tetas
Telur dapat dibedakan sebagai telur komersial dan telur bibit. Telur komersial
yaitu telur yang dihasilkan dari unggas petelur komersial dengan tujuan untuk
konsumsi manusia, dan telur ini tidak mengandung embrio atau disebut sebagai
telur infertil. Sementara telur bibit adalah telur yang dihasilkan dari peternakan
pembibitan unggas, dan telur berasal dari induk yang dikawinkan dengan pejantan
dengan tujuan telurnya untuk ditetaskan (Kurtini dan Riyanti 2003).
Telur merupakan sel telur (ovum) yang tumbuh dari sel induk (oogonium) dalam
ovarium, dan oleh ternak unggas disediakan untuk bahan makanan bagi
12
hidup (untuk telur fertil) yang dikelilingi oleh kuning telur sebagai cadangan
makanan yang terbesar. Kedua komponen tersebut dikelilingi oleh putih telur
yang mempunyai kandungan air tinggi, bersifat elastis dan dapat menyerap
goncangan yang mungkin terjadi pada telur tersebut. Ketiga komponen tersebut
merupakan bagian dalam dari telur yang dilindungi oleh kerabang telur yang
berfungsi untuk mengurangi kerusakan fisik dan biologis (Kurtini dan Riyanti,
2003).
Menurut Suprapti (2002), secara umum telur terdiri atas 3 komponen pokok,
yaitu : kulit telur atau cangkang (± 11 % dari berat total telur), putih telur (± 57 %
dari berat total telur), dan kuning telur (± 32 % dari berat total telur).Adapun
bagain-bagian telur secara rinci dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Bagian-bagian telur
Menurut Kurtini dan Riyanti (2003), struktur telur terdiri dari beberapa bagian :
a. Kerabang telur (shell)
Pada kulit telur utuh terdapat beberapa ribu pori-pori (7.000--17.000) per-butir
yang digunakan untuk pertukaran gas. Pori-pori tersebut sangat sempit, berukuran
0,01--0,07 mm dan tersebar diseluruh permukaan kerabang telur. Pada bagian
tumpul, jumlah pori-pori per satuan lebih banyak daripada pori-pori bagian yang
lainya. Oleh sebab itu, kantong udara terdapat pada bagian ini (Kurtini dan
Riyanti, 2011).
Sarwono (1997) menyatakan bahwa pada permukaan kulit telur banyak terdapat
pori-pori yang besarnya tidak seragam. Jumlah pori-pori per cm persegi pada
masing-masing jenis unggas berbeda-beda.Menurut Sudaryani (2003), ciri-ciri
kulit telur yang mengalami penurunan kualitas yaitu timbulnya bintik-bintik pada
kulit telur dan warna kulit telur cenderung berubah.
b. Putih telur (albumen)
Bagian putih telur terdiri dari 4 lapisan yang berbeda kekentalannya, yaitu (a)
lapisan encer luar (outer thin white), (b) lapisan encer dalam (firm/thick white), (c)
lapisan kental (inner thin white), dan (d) lapisan kental dalam (inner thick
white/chalaziferous). Perbedaan kekentalan ini disebabkan oleh perbedaan
kandungan airnya (Kurtini dan Riyanti 2003).
Menurut Abbas (1989), albumen terdiri dari 89% air, dan bagian padatnya 92%
14
mengandung lima jenis protein, yaitu ovalbumin, ovomukoid, ovomusin,
ovokonalbumin, dan ovoglobulin. Ovalbumin merupakan protein terbesar yaitu
sekitar 75%. Selain itu, di dalam albumen terdapat karbohidrat dalam bentuk
manosa dan galaktosa serta protein antimikroba (lyzozyme) yang berfungsi
memperlambat proses kerusakan telur (Sarwono, 1997).
c. Kuning telur (yolk)
Menurut Abbas (1989), kuning telur terbagi menjadi 3 bagian yaitu membran
vitellin, germinal disc, dan yolk. Membran vitellin yang memiliki tebal 6--11 mm
terdiri dari 4 lapis yaitu plasma membran, inner layer, continuous membran, dan
outer layer. Germinal disc terbentuk dari sitoplasma oocyte, mengandung
cytoplasmic inclusion yang berfungsi untuk aktivitas metabolisme normal dari
perkembangan embrio. Germinal disc disebut blastoderm jika dibuahi dan
blastodisc jika belum dibuahi oleh sperma.
Kuning telur, kuning telur dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu germinal disc
yang mengapung pada massa berbentuk kerucut, secara kimiawi berbeda dengan
bagian lainya dan disebut white yolk atau latebra, sedangkan bagian lain yang
berwarna terang kekuning-kuningan disebut yellow yolk. Latebra berdiameter
sekitar 5 mm terletak ditengah-tengah ovum, dan merupakan 1--2% dari total
kuning telur (Kurtini dan Riyanti, 2003).
C. Bobot Telur
Menurut Hutt (1949) dalamKurtini (1998) menyatakan bahwa ukuran yang sering
memengaruhi daya tetas dan bobot tetas. Bobot telur dari satu varietas kalkun
akan berbeda dengan varietas lain. Kalkun menghasilkan bobot telur yang
bervariasi dari 60--70 g bahkan sampai dengan 100 g dengan bobot telur kalkun
rata-rata 80--85 g. Kalkun dengan tipe ringan akan menghasilkan bobot telur
yang lebih kecil. Seiring bertambahnya umur induk yang semakin tua, bobot telur
akan bertambah sampai batas tertentu.Waktu yang dibutuhkan untuk menetaskan
telur kalkun adalah 28 hari (Blakely dan Bade, 1994).
Menurut Sugiarsih, dkk. (1985), bobot telur tetas kalkun 80,0--84,9 g
menghasilkan bobot tetas yang lebih berat. Pengaruh bobot telur kalkun terhadap
[image:21.595.113.523.415.584.2]bobot tetas dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh bobot telur terhadap bobot tetas
Bobot telur tetas (g) Bobot tetas kalkun (g)
80,0--84,9 54,8
75,0--79,9 50,9
70,0--74,9 47,3
65,0--69,9 44,2
60,0--64,9 41,5
Sumber : Sugiarsih, dkk., 1985
D. Fertilitas Telur
Menurut Kartasudjana dan Suprijatna (2006), fertilitas diartikan sebagai
persentase jumlah telur fertil berdasarkan jumlah telur yang dierami. Telur fertil
16
infundibulum sekitar 15 menit setelah ovulasi. Sperma bergerak sepanjang
oviductselama 30 menit untuk mencapai infundibulum, apabila belum ada telur
yang terbentuk.Gerakan sperma dibantu oleh cilia dari oviduct, antiperistaltik otot,
dan motilitas sperma.
Menurut Sutrisno (2012), faktor-faktor yang memengaruhi fertilitas sebagai
berikut.
a. sperma ;sperma normal gerakannya lincah dan sanggup membuahi dengan
fertilitas yang tinggi. Sperma yang tidak normal, bentuk dan gerakan tidak
sinkron, biasanya daya fertilitasnya rendah dan tidak dapat menurunkan genetik
yang bagus.
b. ransum ;ransum kurang baik kualitasnya akan memengaruhi mutu sperma.
Diperlukan asupan vitamin E dalam jumlah besar untuk menjaga kualitas
sperma.
c. hormon ;kelenjar-kelenjar penghasil hormon endokrin, sangat mempertinggi
fertilitas telur. Jika hormon endokrin tidak bisa diproduksi semaksimal
mungkin oleh kelenjar pituitary, akan menurunkan fertilitas. Seekor pejantan
seandainya disuntikkan hormontestosteronakan meningkatkan fertilitas.
d. responcahaya ; 12 jam waktu yang dibutuhkan seekor pejantan untuk
mendapatkan cahaya terang/ paparan sinar matahari, agar menghasilkan
sperma yang bagus.Induk betina untuk pembentukan sebutir telur memerlukan
e. umur : umur ideal untuk terjadinya perkawinan pejantan dan betina agar
fertilitasnya bagus kisaran umur lebih dari 10 bulan.Pada periode tahun
pertamalah biasanya waktu terbaik untuk terjadinya perkawinan.
f. dayabertelur : induk betina yang produksi telurnya tinggi akan menghasilkan
telur tetas yang fertilitasnya lebih tinggi, jika dibandingkan dengan induk
betina yang produksi telurnya rendah. Berdasarkan hal ini maka
pemuliabiakan untuk meningkatkan produksi telur sekaligus berarti
meningkatkan fertilitas telur.
Pada proses perkawinan secara individu antara pejantan dan betina fertilitas yang
cukup tinggi akan diperoleh 2--3 hari setelah perkawinan. Namun, bila pejantan
dikawinkan dengan sekelompok betina, koleksi telur tetas biasanya dilakukan
setelah 2 minggu pejantan dalam kandang.Fertilitas masih cukup baik jika
pejantan diambil dari kelompok betina dalam kandang, 5--6 hari setelah
perkawinan terakhir. Setelah itu, fertilitas akan terus menurun. Selama 5--6 hari
fertilitas masih cukup baik karena di infundibulum ada tempat menyimpan sperma
ini disebut sperm nest. Tempat menyimpan sperma diuterus juga ada yang
disebut uterovaginal gland( Kartasudjana dan Suprijatna , 2006).
Menurut Nugroho (2003), telur kalkun dengan bobot 69,00--71,99 g;75,00--77,99
g; dan , 81,00--83,99 gmenghasilkan fertilitas masing-masing sebesar 53,33%;
18
E. Susut Tetas (Weight Loss)
Menurut Kurtini dan Riyanti (2003), weight loss adalah penyusutan berat telur
selama proses inkubasi di setter dalam satuan persentase. Weight losserat
hubungannya dengan kelembaban dan berpengaruh besar terhadap daya tetas dan
kualitas DOC. Menurut Shanawany (1987), selama perkembangan embrio di
dalam telur akan terjadi penyusutan telur sebesar 10--14% dari beratnya karena
penguapan air, selanjutnya setelah menetas menyusut sebesar 22,5--26,5%.
Penyusutan berat telur selama masa pengeraman tersebut menunjukkan adanya
perkembangan dan metabolisme embrio, yaitu dengan adanya pertukaran gas vital
oksigen dan karbondioksida serta penguapan air melalui kerabang telur (Peebles
dan Brake, 1985).
Tebal kerabang telur sedikit memengaruhi berkurangnya berat telur selama
penetasan. Kerabang telur adalah bagian yang harus dilalui oleh gas dan air
selama proses penyusutan terjadi. Kerabang yang terlalu tebal menyebabkan telur
kurang terpengaruh oleh suhu penetasan sehingga penguapan air dan gas sangat
kecil.Telur yang berkerabang tipis mengakibatkan telur mudah pecah sehingga
tidak baik untuk ditetaskan (Rasyaf, 1991).Koswara (1997) menambahkan bahwa
kerabang telur dilapisi oleh lapisan tipis kutikula yang terdiri dari 90% protein dan
sedikit lemak.
Menurut North dan Bell (1990), penyusutan berat telur selama penetasan
dipengaruhi oleh bobot awal telur.Penyusutan berat telur selama penetasan hari ke
Tabel 3. Penyusutan berat telur selama penetasan hari ke 1--19
Berat telur awal Penyusutan hari ke 1--19 penetasan (g/butir) (%)
54,3 12,25
56,7 12,00
59,1 11,80
61,4 11,60
63,8 11,45
66,2 11,30
Sumber : North dan Bell (1990)
Abiola, dkk. (2008) menyatakan bahwa telur parent stock broiler yang memiliki
bobot kisaran 50,00--57,98 g dan 57,40--69,94 g menghasilkan susut tetas 11,24 %
dan 11,57 %.
F. Daya Tetas
Menurut Kartasudjana dan Suprijatna (2006), daya tetas adalah angka yang
menunjukkan tinggi rendahnya kemampuan telur untuk menetas. Daya tetas ini
dihitung dengan dua cara, yaitu pertama membandingkan jumlah telur yang
menetas dengan jumlah telur yang dieramkan, dan kedua membandingkan jumlah
telur yang menetas dengan jumlah telur yang dibuahi (fertil). Sebagai contoh,
telur tetas yang dimasukkan ke dalam mesin tetas sebanyak 200 butir.Dari seluruh
telur, 150 butir telur fertil, sedangkan yang menetas hanya 100 butir.Perhitungan
daya tetas sebagai berikut.
1. Perhitungan cara pertama = 100/200x100% = 50%
20
Keadaan fisik telur dipengaruhi daya tetas, maka keadaan fisik telur harus
diseleksi sebelum ditetaskan. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel4. Daya tetas telur dari berbagai kondisi
Kondisi telur
Daya tetas (%)
Fertilitas Berdasarkan telur fertil Berdasarkan
semua telur
Telur normal 82,3 87,2 71,7
Telur retak 74,6 53,2 49,7
Telur berbentuk tidak normal
69,1 48,9 33,8
Telur berkerabang tipis 72,5 47,3 34,3
Telur tanpa rongga udara
72,3 32,4 23,4
Rongga udara tidak normal letaknya
81,1 68,1 53,2
Bercak darah besar 78,7 71,5 56,3
Sumber : Kartasudjana dan Suprijatna (2006).
Telur tetas yang dikumpulkan dari kandang tidak semua menetas dengan baik dan
tidak semuanya fertil.Menurut Kartasudjanadan Suprijatna(2006), faktor-faktor
yang memengaruhi daya tetas adalah sebagai berikut.
a. Breeding
Menurut Kartasudjanadan Suprijatna (2006), sistem perkawinan yang sangat dekat
hubungan keluarganya tanpa disertai seleksi ketat umumnya menyebabkan daya
tetas yang rendah, baik pada ayam maupun pada kalkun.
Perkawinan antara jantan rhode island red (RIR) dengan betina rhode island red
(RIR) menghasilkan daya tetas sebesar 66,4 %, tetapi jika jantannya white legorn
(WL) dikawinkan dengan betina rhode island red (RIR) menghasilkan daya tetas
sebesar 76,5 %. Terlihat bahwa melalui inbreeding (RIR X RIR) daya tetas telur
tetasnya meningkat, tetapi perlu dilakukan seleksi yang baik (Kartasudjanadan
Suprijatna, 2006).
b. Produksi telur
Induk betina yang produksi telurnya tinggi akan menghasilkan telur tetas yang
fertilitasnya lebih tinggi, jika dibandingkan dengan induk betina yang produksi
telurnya rendah (Kartasudjanadan Suprijatna, 2006).
c. Umur induk
Fertilitas dan daya tetas umumnya sangat baik pada produksi telur tahun
pertama.Semakin tua umur induk maka daya tetas semakin menurun dan kualitas
kulit telur umumnya juga menurun (Kartasudjanadan Suprijatna, 2006).
d. Besar telur
Menurut Kurtini dan Riyanti (2003), telur dengan bobot rata-rata atau sedang akan
menetas lebih baik daripada telur yang terlalu kecil dan terlalu besar. Telur yang
kecil, rongga udaranya akan terlalu besar sehingga telur akan cepat (dini) menetas.
e. Bentuk telur utuh
Telur-telur yang bentuknya kurang normal, umumnya tidak dapat menetas dengan
baik.Telur-telur yang bentuknya kurang normal diantaranya, telur yang ruang
udaranya tidak pada tempatnya, telur retak, dan telur yang berukuran kecil
22
f. Warna kulit telur
Warna kulit telur sangat erat hubungannya dengan fertilitas dan daya tetas.Telur
yang warna kulitnya agak gelap, lebih mudah menetas dibandingkan dengan yang
berwarna terang (Kartasudjanadan Suprijatna, 2006). Hal ini selaras dengan
pendapat North dan Bell (1990), telur ayam ras yang berwarna cokelat gelap
mempunyai fertilitas (84,1%) lebih tinggi daripada cokelat terang (76,1%) dan
cokelat sedang (78,9%). Selain itu, telur ayam ras yang berwarna cokelat gelap
mempunyai daya tetas (74,5%) lebih tinggi dibandingkan dengan cokelat sedang
(70,5%) dan cokelat terang (66,9%). Hal ini disebabkan oleh warna kerabang
cokelat gelap lebih bisa menahan panas daripada cokelat terang dan sedang
sehingga menunjang pembentukan embio di dalam telur (Paimin, 2003).
g. Kualitas kulit telur
Telur yang kulitnya tipis atau perkapuran yang kurang merata, umumnya daya
tetasnya rendah. Ketebalan kulit telur yang baik 0,33--0,33 mm (Kartasudjanadan
Suprijatna, 2006).
h. Interior quality
Jika telur memiliki nilai haugh unit rendah maka daya tetasnya akan rendah.
Telur dengan HU >80 akan menetas sangat baik. Telur dengan ruangan udara
tepat diujung tumpul akan menetas 10--15% lebih baik (Kartasudjanadan
i. Tatalaksana pemeliharaan
Kondisi kandang yang sering mengalami temperatur yang ekstrim panas/dingin,
menghasilkan telur dengan daya tetas yang rendah. Ransum, jika ransum
kekurangan Ca maka kulit telur yang dihasilkan lembek dan daya tetas rendah.
Kekurangan vitamin D dalam ransum mengakibatkan kualitas kulit jelek dan daya
tetasnya rendah (Kartasudjanadan Suprijatna, 2006).
Menurut Nugroho (2003), telur kalkun lokal dengan bobot (69,00--71,99 g),
(75,00--77,99 g), dan , (81,00--83,99 g) menghasilkan daya tetas yang dihasilkan
69,45% ; 73,61% ; dan 72,22%.
G. Bobot Tetas
Bobot tetas adalah bobot akhir DOC, bobot DOC ditimbang setelah ayam
menetas satu hari dengan bulu yang sudah kering (Jayasamudra dan Cahyono,
2005). Bobot tetas dipengaruhi oleh bobot telur dan susut tetas (weight loss).
Besarnya bobot tetas adalah 60% dari bobot telur tetas (Rasyaf, 1991).
Pemilihan bobot telur untuk ditetaskan tergantung dari situasi pasaran anak ayam.
Bila pasaran menyenangi anak ayam yang berat-berat maka dipilih telur tetas yang
berat (besar) dan begitu sebaliknya(Rasyaf,1991). Menurut Srigandono (1997),
bobot telur antara jenis unggas yang satu dengan yang lainnya berbeda, karena
bobot telur dipengaruhi oleh jenis ternak, semakin besar ukuran ternak tersebut
24
Menurut Sugiarsih, dkk. (1985), bobot tetas kalkun sangat dipengaruhi bobot
telurnya, karena ada pengaruh penguapan air dari telur yang ditetaskan. Hal ini
selaras dengan Wiley (1950) dalam Sudaryanti (1985) menyatakan bahwa
perbedaan bobot telur memberikan perbedaan pertumbuhan embrio, baik dalam
jumlah sel atau ukuran selnya.
Menurut Nugroho (2003), telur kalkun lokal dengan bobot (69,00--71,99 g),
(75,00--77,99 g), dan , (81,00--83,99 g) menghasilkan bobot tetas yang dihasilkan
yaitu 45,82 ; 49,69 ; dan 53,55 g.
H. Pengelolaan Penetasan
Secara alamiah kalkun mengerami telurnya, seekor induk kalkun mampu
mengerami 15 butir telur, tetapi saat ini kebutuhan akan daging kalkun semakin
meningkat, sehingga penetasan buatan lebih umum dilaksanakan. Apabila
ditetaskan secara alamiah, maka produksi telur terbatasi dengan banyaknya
kalkun yang mengeram.Kira-kira 8--10 minggu waktu yang terbuang untuk
mengerami telur dan membesarkan anaknya, baru kemudian bisa bertelur
kembali (Rasyaf dan Amrullah, 1983).
Menurut Kartasudjanadan Suprijatna (2006), dalam menetaskan telur ada dua cara
yaitu penetasan secara alami dan penetasan secara buatan. Penetasan secara alami
yaitu penetasan menggunakan induknya/ jenis unggas lain. Penetasan secara
alami masih dianggap cukup bermanfaat, terutama untuk para peternak yang
jumlahnya sedikit.Sementara secara buatan yaitu penetasan menggunakan
biasanya perusahaan yang bergerak dibidang hatchery. Adapun tipe-tipe mesin
tetas yang dikenal :
a. berdasarkan aliran udara didalamnya,forced draft incubator yaitu mesin tetas
yang pengaturan udara didalamnya digerakkan oleh kipas sehingga udara
kotor didalam mesin dapat berganti dengan cepat. Dengan adanya
pengaturan ventilasi ini, daya tetas akan lebih baik.Still air machine yaitu
mesin tetas yang pengaturan udara didalamnya sangat bergantung pada
keadaan lingkungan (alam). Udara keluar masuk hanya melalui lubang
ventilasi yang dibuat sedemikian rupa tanpa ada alat/kipas yang membantu
kelancaran udara tersebut (Kartasudjanadan Suprijatna, 2006).
b. berdasarkan model penetasan, setter dan hatcher artinya tempat pengeraman
telur dari mulai masuk kedalam mesin tetas sampai menetas menjadi anak
ayam, berada pada tempat yang sama. Setter dan hatcher dipisahkan artinya
tempat pengeraman telur dari umur satu hari sampai 18 hari hari berbeda
tempatnya dengan tempat persiapan untuk menetas (Kartasudjanadan
Suprijatna, 2006).
Prinsip utama menggunakan mesin tetas adalah memberikan panas dan
kelembapan tertentu didalam waktu yang terbatas (Nurcahyo dan Widyastuti,
2001). Keberhasilan menggunakan mesin tetas ditentukan oleh pengetahuan dan
keterampilan mengoperasikannya. Keuntungan menggunakan m esin tetas yaitu
lebih praktis dan efisien karena pengaturan suhu dapat dibuat otomatis
26
Sebelum mesin tetas digunakan peralatan-peralatan didalamnya dicucidan
dikeringkan, kemudian peralatan tersebut difumigasi untuk mencegah penularan
penyakit, karena melalui mesin tetas penyakit mudah tersebar yang dibawa oleh
anak yang menetas (Srigandono, 1997). Beberapa faktor yang memengaruhi
keberhasilan penetasan di dalam mesin tetas yaitu, suhu, kelembapan, sirkulasi
udara, turning atau pemutaran, dan candling atau peneropongan telur (Hybro,
2000).
a. Suhu
Embrio akan berkembang cepat selama suhu telur tetap diatas 42,220C dan akan
berhenti berkembang jika suhu dibawah 26,600C. Suhu penetasan harus
dipertahankan selama proses penetasan, mulai hari pertama hingga terakhir sesuai
suhu yang ditentukan. Untuk menjaga pengaruh temperatur luar maka mesin tetas
harus dalam keadaan tertutup rapat (Paimin, 2003). Menurut Suharno dan Amri
(2002), suhu yang digunakan pada saat penetasan minggu pertama yaitu 38,60C,
minggu kedua 38,90C, minggu ketiga 39,20C, dan minggu keempat 39,40C. Mesin
tetas yang digunakan bersumber pemanas dari listrik dan mempunyai kapasitas
100 butir, dengan sumber listrik cadangan menggunakan diesel.
b. Kelembapan
Menurut Blakely dan Bade (1994), kelembapan yang baik untuk menetaskan telur
kalkun adalah 62% selama 24 hari kemudian naik menjadi 75% selama 4 hari
terakhir penetasan. Hal ini didukung dengan pendapat Rasyaf dan Amrullah
(1983) yang menyatakan kelembapan yang baik untuk menetaskan telur kalkun
untuk keluar dari kerabang. Menurut Nuryati, dkk. (2000), untuk mencapai
kondisi tersebut mesin tetas harus dilengkapi dengan bak yang berisi air yang
berfungsi sebagai sumber kelembapan.
c. Sirkulasi udara
Menurut Rasyaf dan Amrullah (1983), ventilasi yang baik akan memungkinkan
gas karbondioksida yang dihasilkan oleh embrio dan menyuplai oksigen yang
cukup, dengan batas toleransi kandungannya adalah 1,5%. Paimin (2003)
menyatakan bahwa kebutuhan karbondioksida dalam proses penetasan tidak boleh
lebih dai 0,5% dan kebutuhan oksigen tidak boleh kurang dari 21%. Hal ini
didukung oleh pendapat Sudaryani dan Santosa (1994) yang menyatakan fungsi
ventilasi pada mesin tetas adalah mengirim O2 kedalam mesin tetas kemudian
membuang CO2 keluar mesin tetas.
d. Pemutaran telur
Menurut Paimin (2003), pemutaran telur dilakukan bertujuan untuk
menyeragamkan temperatur pada permukaan telur, mencegah pelekatan embrio
pada kulit telur, dan mencegah melekatnya yolk dan alantois pada akhir
penetasan. Menurut Nurcahyo dan Widyastuti (2001). Pemutaran telur dilakukan
3 hari setelah peletakkan telur tetas dan berakhir 3 hari sebelum telur menetas.
Pemutaran telur dilakukan secara horizontal dengan ujung tumpul berada di
bagian atas. Pada telur kalkun dilakukan hingga hari ke-22 sampai hari ke-24,
tetapi jangan kurang dari 18 hari pertama. Pemutaran dilakukan mulai dari hari
28
e. Peneropongan telur
Selama masa penetasan berlangsung, peneropogan harus dilakukan.
Peneropongan dilakukan untuk mengetahui fertilitas embrio, perbandingan putih
dan kuning telur, luas kantung udara, dan perkembangan selama penetasan. Pada
saat peneropongan akan jelas terlihat perbedaan antara telur yang embrionya mati
dan yang hidup (Paimin, 2003).
Peneropongan pertama dilakukan pada hari ke-4 telur berada di mesin tetas untuk
memisahkan telur-telur yang infertil (tidak dibuahi) serta telur retak. Pada
peneropongan pertama tersebut telur yang fertil menunjukkan adanya jaringan
pembuluh darah yang memencar dari setrum, peneropongan ke-2 dilakukan pada
hari ke-14, telur fertil menunjukan perkembangan embrio. Peneropongan terakhir
dilakukan pada hari ke-21, dimana akan terlihat bayangan gelap kecuali bagian
rongga udara yang telah menempati lebih kurang seperempat bagian telur
III. BAHAN DAN METODE
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan pada 1 Maret--5 April 2013 bertempat di Peternakan Kalkun Mitra Alam, Pekon Sukoharjo 1, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu.
B. Bahan dan Alat Penelitian
1. Bahan Penelitian
Telur tetas kalkun dengan bobot 70,00--74,99 g sebanyak 30 butir dan 75,00--80,00 g sebanyak 30 butir. Jadi total telur tetas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 60 butir. Telur tetas yang digunakan berumur 4 hari, telur tetas diperoleh dari peternakan Mitra Alam yang dikelola oleh Bapak Bambang. Jenis kalkun broad breasted bronze dan white holand, kalkun yang ada di peternakan tersebut berumur 7--14 bulan. Mesin tetas dengan kapasitas 6.000 butir telur.
2. Bahan sanitasi
Bahan yang digunakan untuk sanitasi :
30
2. Iodin adalah desinfektan yang digunakan untuk dipping.
3. Alat Penelitian
Alat penelitian yang digunakan :
a. mesin tetas tipe semi otomatis dengan kapasitas tampung maksimal 6.000 butir telur. Mesin tetas memiliki panjang: 3 m, lebar : 4 m, dan tinggi : 2 m;
b. mesin pengering bulu untuk mengeringkan bulu saat DOT menetas; c. eggs tray dari bahan kawat digunakan untuk meletakkan telur;
d. timbangan elektrik dengan tingkat ketelitian 1g yang digunakan menimbang bobot telur sebelum dimasukkan kemesin penetasan dan menimbang DOT saat menetas;
e. alat untuk candling yang digunakan untuk meneropong telur; f. nampan air;
g. peralatan menulis untuk mencatat data; h. thermometer dan hygrometer;
i. sprayer untuk desinfeksi;
j. ember untuk membawa telur dari kandang;
k. kawat kasa untuk penyekatan dalam mesin pengering.
C. Metode Penelitian
D. Pelaksanaan Penelitian
1 . Koleksidanseleksitelurtetas
Koleksi atau pengumpulan telur tetas yang dilakukan 4 hari sebelum proses penetasan dilaksanakan. Koleksi diawali dengan menyiapkan ember, ember ini digunakan untuk meletakkan telur dari kandang. Kemudian koleksi dilakukan pada pukul 16.00 dan 20.30 WIB.Kemudian telur-telur hasil koleksi ini diseleksi terlebih dahulu yang meliputi keutuhan kerabang telur, bentuk, kebersihan, dan bobot telur.Setelah seleksi, telur tetasakan disimpan di ruang penyimpanan.
2. Penyimpanan telur tetas
Setelah diseleksi telur disimpan di tempat penyimpanan. Tempat ini berfungsi menyimpan telur sebelum ditetaskan. Tempat penyimpanan ini berukuran 100 x 60 x 150 cm.Telur disimpan selama 4 hari dalam tempat penyimpanan ini. Suhu ruang penyimpanan adalah berkisar 27--290C yang diukur dengan menggunakan thermometer yang selalu diletakkan di dalam tempat ini.
3. Sanitasi telur tetas
Sebelum telur tetas dimasukan ke dalam mesin tetas, dilakukan sanitasi untuk membunuh mikroorganisme yaitu dengan cara membersihkan dengan larutan superkill dengan dosis 1,5 ml per 2 l air, kegiatan ini dilakukan setelah telur tetas
32
4. Penyiapannampan air
[image:38.595.224.402.185.324.2]Menyiapkan nampan air pada bagian bawah rak mesin tetas yang telah diisi air untuk menjaga kelembaban dalam ruang tetas (Gambar3).
Gambar3.Nampan air
5. Menyusun dan menimbang telur tetas
Sebelum di setting telur tetas ditimbang untuk mendapatkan data bobot awal telur. Penimbangan dilakukan dengan cara menimbang telur tetas satu per satu, setelah ditimbang telur tetas diberi tanda masing-masing perlakuan. Telur tetas yang akan di setting dan disusun di dalam eggs tray dengan posisi telur bagian yang runcing diletakkan pada bagian bawah. Penyusunan dalam eggs tray berdasarkan lay out atau tata letak telur penelitian (Gambar 3),suhu dan kelembaban diamati dan data dicatat setiap hari dari hari 1--28 setiap pukul 06.30; 14.00; dan 22.00 WIB. Telur tetas berada di ruang selama28 hari.
6. Peneropongan (Candling)
atau embrio yang mati. Proses candling dilakukan dengan menggunakan alat candler. Pada candling hari ke-5 akan didapat data fertilitas. Pada candling harike-25 sekaligus dilakukan penimbangan, penimbangan ini dilakukan untuk mendapatkan data susut tetas.
7. Pemutaran telur tetas (Turning)
Mesin tetas yang digunakan adalah semi otomatis maka pemutaran dilakukan setiap 8 jam sekali yaitu pada pukul 06.30; 14.00; dan 22.00 WIB, pemutaran telur tetas ini dilakukan sejak hari ke-5 yaitu bersamaan dengan candling pertama. Pemutaran telur tetas di mesin tetas dilakukan sampai hari ke-25.Selama kegiatan pemutaran dilakukan pula pengecekan air pada nampan.Setelah hari ke-25
pemutaran dihentikan dan telur tetas dipindahkan kerak untuk menetas.
8. Proses saat menetas (Pullchick)
Setelah hari ke-28 telur akan mulai menetas, setelah menetas DOT yang bulunya belum kering akan dipindahkan ke mesin pengering yang telah diberi sekat-sekat agar masing-masing perlakuan DOT tidak tercampur. Kegiatan pengeringan bulu ini dilakukan sampai bulu benar-benar kering. Ketika bulu telah kering dilakukan penimbangan untuk mendapatkan data daya tetas dan bobot tetas.
E. Peubah yang diamati
a. Fertilitas
34
Fertilitas =Jumlah telur yang fertil ×100% Jumlah telur yang ditetaskan
b. Susut tetas (Weight loss)
Menurut Kurtini dan Riyanti (2011), weight loss adalah penyusutan bobot telur selama proses inkubasi di setter dalam satuan persentase.
Susut tetas =Berat awal telur-berat akhir telur ×100% Berat awal telur
c. Daya tetas
Menurut Kartasudjana danSuprijatna(2006), daya tetas adalah angka yang menunjukkan tinggi rendahnya kemampuan telur untuk menetas.
Jumlahtelur yang menetas
Daya tetas = X 100%
Jumlah telur yang fertil d. Bobot tetas
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Perbandingan bobot telur kalkun terhadap fertilitas, susut tetas (weight loss), daya tetas tidak berbeda nyata (P>0,05), namun berbeda nyata (P<0,05) pada bobot tetas.
B. Saran
1. Suhu pada ruangan simpan telur terlalu tinggi, sehingga perlu disediakan ruangan yang bersuhu ideal (15--170C);
2. Bibit (DOT) yang diproduksi masih rendah, sehingga diperlukan persilangan indukan dengan varietas kalkun lainnya untuk meninggkatkan produksi kalkun;
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, M.H. 1989. Pengelolaan Produk Unggas. Jilid 1. Penerbit Universitas Andalas. Padang.
Abiola,S.S.,O.O.Meshoiye., B.O.Oyerinde and M.A. Bamgbose. 2008. Effect of Egg Size on Hatchability of Broiler Chicks. Animal science. 57 (217): 83-86.
Ahmed, M., R, Rao.,P.S.Mahesh., K. Ravikumar., S. Ahmed., P. Nallappa. 2013. Turkey Management Guide.Central Poultry Development
Organisation.Karnataka. India.
Anonim. 2007. Kualitas Telur Optimum. www.thepoultrysite.com/articles/1232/-optimum- eggs –quality. (30 November 2012).
Anonim. 2013. Turkey. http://designeranimals.wikispaces.com. com, 2013. Aviagen Turkey. 2011. Breeder Performance Goals B.U.T 10 Parent female.
www.aviagenturkey.com .(15Februari 2013).
Blakely, J. Dan D.H. Bade. 1994. IlmuPeternakan. GadjahMadaUniversytyPress. Yogyakarta.
DinasPeternakan. 1999. LaporanTahunan T.A. 1998/1999.
DinasPeternakanPemerintahProvinsi Lampung. Bandar Lampung. Djanah, D. 1984. BeternakAyamdanItik.Cetakankesebelas.Yasaguna. Jakarta.
Firdaus, A. 2010. Kualitas Internal Telur. http://aagguussdaus.blogspot. Com /2010/10/kualitas-internal-telur.html. (30 November 2012).
Hardjosworo, P. S. danRukmiasih. 2001. Itik, PermasalahandanPemecahan. PenebarSwadaya, Jakarta.
Hasan, S.M., A. 2005. Physiology, endocrinology, and reproduction: egg storage period and weight effect on hatchability. J. Poultry Sci. 84: 1908-1912 Hybro, B.V. 2000. Hybro G Breeders Performance. Euribrid B. V. Technical
Juragan. 2012. BlogSpot. Jenis-jenis kalkun. Html/ 18 maret 2013 Kartasudjana, R., dan E.Suprijatna. 2006. Manajemen Ternak Unggas.
PenebarSwadaya. Jakarta.
Koswara, S. 1997. Teknik Pengawetan Telur Segar. Poultry Indonesia 113: 18-19.
Kurtini, T. 1988. Pengaruh Bentuk dan Warna Kulit Telur terhadap Daya Tetas dan Sex Ratio.Tesis.Fakultas Pascasarjana Universitas Padjajaran. Bandung. Kurtini, T dan Riyanti, Rr. 2003.Teknologi Penetasan. Buku Ajar.Universitas
Lampung. Lampung.
Kurtini, T., K. Nova, D. Septinova. 2010.Produksi Ternak Unggas. Buku Ajar Universitas Lampung.
Lyons, J. 1998. Incubation of Poultry. Agricultural Publications, University of Missouri.
Maspul. 2012. Apa-itu-Kalkun-danJenis-jeniskalkun/219/ com/18 maret 2013 Mountney, G. J. 1976. Poultry Products Technology. 2ndEd. #vi Publishing
Company. INC. Westport.
Nugroho. 2003. Pengaruh Bobot Telur Tetas Kalkun Lokal Terhadap Fertilitas, Daya Tetas, Dan Bobot Tetas. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Nurcahyo, E. M., dan Y. E. Widyastuti. 2001. Usaha Pembesaran Ayam
Kampung Pedaging. Cetakan kelima.Penebar Swadaya. Jakarta.
Nuryati, T., Sutarto, M. Khamin, dan P.S. Hadjosworo. 2000. Sukses Menetaskan Telur. Cetakan Pertama. Penebar Swadaya. Jakarta.
North, M.O. 19dan Bell .1990. Commercial Chicken Production Manual.4rd edition. Avi Publishing Compeny INC. Wstport.Conection.
Paimin, F. B. 2003. Membuat dan Mengelola Mesin Tetas.Cetakan Keenam belas. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pas Reform .2010. Incubation Guide Turkey. Version 4.1. Pas Reform Academy, Zeddam .Netherland.
Peebles, E.D and J. Brake. 1985. Relationship of Egg Shell Porosity of Stage of Embrionic Development in Broiler Breeders. Poult.Sci. 64 (12): 2388. Prayitno, D.S., dan Murad, B.C. 2009. Manajemen Kalkun berwawasan animal
51
Rasyaf, M. Dan I.K. Amrullah. 1983. Beternak Kalkun. Cetakan Pertama. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rasyaf, M. 1991. Pengolahan Penetasan. Kanisius.Yogyakarta.
Romanoff , A.L. and A.J. Romanoff. 1975. The Avian Egg. 2nd Ed. John Wiley and Sons, Inc. New York.
Sarwono, B.1997. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur. Cetakan ke-2. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
Shanawany, M.M. 1987. Hatching weight in relation to egg weight in domestic birds. World’s Poultry Sci. Journal. 43 (2): 107-114
Srigandono B. 1997. Produksi Unggas Air.Cetakan Ketiga. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Suarez, M.E., H.R. Wilson, B.N. Mcpherson, F.B. Mather, dan C.J. Wilcox. 1996. Low temperature effect on embrionic development and hatch time. Poultry Sci. 75: 1321-1331
Sudaryani, T.H. danSantoso. 2000. KualitasTelur. Cetakan ke-2.Penebar Swadaya. Jakarta.
Sudaryani, T. 2003. Kualitas Telur. Cetakan ke-4. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
Sudaryani, T. Dan H. Santosa. 1994. Pembibitan Ayam Ras. CetakanPertama. PT Penebar Swadaya. Jakarta.
Sudaryanti.1985. Pentingnya Mempertahankan Berat Telur Tetas Ayam Kampung pada Pemeliharaan Semi Intensif.Prosedings seminar Peternakan Dan
Forum PeternakanUnggas dan Aneka Ternak.Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Hal 164--168. Sugiarsih, N. S., Yuningsih, dan S. Yogasari. 1985. Pengaruh Berat Telur
Terhadap Daya Tetas dan Berat Tetas Kalkun. Prosedings seminar Peternakan Dan Forum Peternakan Unggas dan Aneka Ternak.Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Hal 209--213.
Suharno, B., dan K. Amri. 2000. Beternak Itik Secara Intensif. Cetakan Kedelapan. PT PenebarSwadaya. Jakarta.
Suprapti, M. L. 2002. Pengawetan Telur. Yogyakarta :Kanisius.
Sutrisno.2012. Menetaskan Telur Yang Benar.http://bumiternak-betha.blogspot. com/2012/03/menetaskan-telur-yang-benar.html. (30 November 2012). Suryadi .2012. Metode Penetasan Telur Kalkun modern Menggunakan
MesinTetas. http://anakankalkun.wordpress.com/2012/06/20/metode-penetasan-telur-kalkun-modern-menggunakan-mesin-tetas/ .(17 Februari 2013).
Steel. R. G. D., dan J. H. Torrie. 1993. Prinsipdan Prosedur Statistika. Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri.PT GramediaPustakaUtama. Jakarta.
Tullet, S.G. dan F.G. Burton. 1982. Factor affecting the weight and water status of chick and hatcsh. British Poult. Sci. 32: 361-369.