• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN BOBOT TELUR TERHADAP FERTILITAS, SUSUT TETAS (WEIGHT LOSS), DAYA TETAS, DAN BOBOT TETAS KALKUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBANDINGAN BOBOT TELUR TERHADAP FERTILITAS, SUSUT TETAS (WEIGHT LOSS), DAYA TETAS, DAN BOBOT TETAS KALKUN"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN BOBOT TELUR TERHADAP FERTILITAS, SUSUT TETAS (WEIGHT LOSS), DAYA TETAS,

DAN BOBOT TETAS KALKUN

Oleh : Febri Ahyodi

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Peternakan

pada

Jurusan Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PERBANDINGAN BOBOT TELUR TERHADAP FERTILITAS, SUSUT TETAS (WEIGHT LOSS), DAYA TETAS, DAN BOBOT TETAS KALKUN

Febri Ahyodi

Pembibitan merupakan suatu upaya untuk menghasilkan bibit unggas. Untuk meningkatkan bibit kalkun yang berkualitas, perlu dilakukan seleksi ketat terhadap telur tetas kalkun sebelum telur-telur tersebut ditetaskan. Bobot telur merupakan faktor yang memengaruhi bibit kalkun yang berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan bobot telur terhadap fertilitas, susut tetas (weight loss), daya tetas, dan bobot tetas kalkun.

Penelitian dilaksanakan selama satu bulan pada 1 Maret- 5 April 2013, bertempat di Desa Sukoharjo 1, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu. Telur yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur kalkun sebanyak 30 butir untuk masing-masing perlakuan. Perlakuan terdiri dari bobot telur T1 (70,00--74,99 g) dan T2 (75,00--80,00 g). Telur yang diambil dari 10 kandang induk kalkun masing-masing sebanyak 3 butir. Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis dengan menggunakan uji t-student dengan taraf nyata 5% .

(3)
(4)
(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...

DAFTAR GAMBAR...

I. PENDAHULUAN ...

A. Latar Belakang dan Masalah... B. Tujuan Penelitian... ...

C. Kegunaan Penelitian ... ...

D. Kerangka Pemikiran ...

E. Hipotesis...

II. TINJAUAN PUSTAKA...

A. Deskripsi Kalkun ...

B. Telur Tetas ...

C. Bobot Telur ...

D. Fertilitas ...

E. Susut Tetas (Weight Loss) ...

iii

iv

1

1 3

3

3

5

6

6

11

14

15

(6)

F. Daya Tetas ...

G. Bobot Tetas ...

H. Pengelolaan Penetasan ...

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ...

A. Waktu dan Tempat Penelitian ... B. Bahan dan Alat Penelitian...

C. Metode Penelitian ...

D. Pelaksanaan Penelitian ...

E. Peubah yang Diamati ...

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...

A. Gambaran Umum Kelompok Ternak ... B. Pengaruh Bobot Telur Kalkun terhadap Fertilitas ... C. Pengaruh Bobot Telur Kalkun terhadap Susut Tetas

(weight loss) ... D. Pengaruh Bobot Telur Kalkun terhadap Daya Tetas... E. Pengaruh Bobot Telur Kalkun terhadap Bobot Tetas ...

V. SIMPULAN DAN SARAN...

A. SIMPULAN ... B. SARAN ...

DAFTAR PUSTAKA ...

(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan

bahan pangan yang tidak lepas dari konsumsi masyarakat sehari-hari. Hal ini

berdampak dengan meningkatnya kebutuhan protein hewani, salah satu produk

protein hewani yaitu daging kalkun. Kalkun merupakan ternak yang berpotensi

untuk dikembangkan sebagai unggas potong dan penghasil telur.

Menurut Rasyaf dan Amrullah (1983), sebagai unggas potong, daging kalkun

memiliki keunggulan yaitu memiliki kandungan protein yang tinggi (30,5--34,2

%), selain itu mengandung lemak dan energi yang rendah, asam amino yang

terkandung dalam proteinnya sangat lengkap dan sempurna seperti telur.

Pemeliharaan kalkun dapat dilakukan relatif secara alami atau organik (tidak

menggunakan bahan vitamin dan obat-obatan kimia), sehingga dagingnya relatif

aman dikonsumsi oleh manusia. Daging kalkun memiliki rasa, aroma, dan tekstur

yang tidak bermasalah dan bisa diterima oleh semua golongan.

Perkembangan kalkun di Indonesia khususnya di Lampung masih rendah

sehingga berpengaruh terhadap populasi yang rendah pula. Menurut Dinas

Peternakan (1999), populasi kalkun di Provinsi Lampung baru mencapai 900 ekor.

(8)

2

yang berkualitas, sehingga produksi kalkun hanya mencapai 55--65 % dari

150--200 butir per tahun (Rasyaf dan Amrullah, 1983).

Sebagai upaya untuk meningkatkan usaha pengembangan kalkun dibutuhkan

penyediaaan bibit berkualitas yang berkesinambungan, manajemen pemeliharaan

yang baik, pemberian ransum yang berkualitas, dan pengawasan yang ketat

terhadap penyakit. Bibit yang berkualitas baik mengakibatkan kemampuan anak

kalkun untuk tumbuh dan berkembang serta produksi lebih baik, yang pada

akhirnya akan memengaruhi perkembangan populasi kalkun (Nugroho, 2003).

Untuk meningkatkan bibit kalkun yang berkualitas, perlu dilakukan seleksi ketat

terhadap telur tetas kalkun sebelum telur-telur tersebut ditetaskan. Menurut

Srigandono (1997), beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam memilih

sumber telur yaitu umur induk, perbandingan jantan betina, bobot dan bentuk

telur, sistem perkandangan, asal telur, dan lama penyimpanan telur.

Nugroho (2003) menyatakan bahwa bobot telur merupakan ukuran yang sering

digunakan dalam memilih telur tetas karena bobot telur adalah salah satu faktor

yang berpengaruh terhadap fertilitas, daya tetas, dan bobot tetas sehingga nantinya

akan menentukan kualitas pertumbuhan kalkun selanjutnya. Menurut Kurtini dan

Riyanti (2003), telur dengan bobot rata-rata atau sedang akan menetas lebih baik

daripada telur yang terlalu kecil dan terlalu besar. Telur yang kecil, rongga

udaranya akan terlalu besar sehingga telur akan cepat (dini) menetas. Sebaliknya

telur yang terlalu besar menyebabkan rongga udara relatif terlalu kecil, akibatnya

telur akan terlambat menetas. Bobot telur berkorelasi positif dengan bobot tetas,

(9)

Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

tentang perbandingan bobot telur terhadap fertilitas, susut tetas (weight loss), daya

tetas, dan bobot tetas telur kalkun guna mengetahui hasil tetas yang lebih baik.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bobot telur yang terbaik terhadap

fertilitas, susut tetas (weight loss), daya tetas, dan bobot tetas telur kalkun.

C. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi bobot telur yang

terbaik pada penetasan telur kalkun, khususnya terhadap fertilitas, susut tetas

(weight loss), daya tetas, dan bobot tetas dan bagi peternak berguna sebagai bahan

untuk memilih bobot telur dan mengambil tindak lanjut dalam upaya

meningkatkan produksi kalkun.

D. Kerangka Pemikiran

Kalkun adalah hewan unggas (sejenis burung), asli Amerika Utara, yang

sebenarnya telah dikonsumsi sehari-hari oleh suku indian. Kalkun merupakan

salah satu jenis unggas yang memunyai produksi daging dan telur yang cukup

baik. Daging kalkun memunyai kandungan protein yang lebih tinggi, sedangkan

kadar lemak dan energinya lebih rendah daripada daging sapi dan domba.

Produksi telur kalkun dapat mencapai 150--200 butir pertahun (Rasyaf dan

Amrullah, 1983). Dalam pengembangan peternakan kalkun, terdapat kendala di

dalam penyediaan bibit yang berkualitas baik dan berkelanjutan. Penyediaan bibit

(10)

4

Untuk meningkatkan bibit kalkun yang berkualitas, perlu dilakukan seleksi ketat

terhadap telur tetas kalkun sebelum telur-telur tersebut ditetaskan. Menurut

Djanah (1984) dan Srigandono (1991), keberhasilan penetasan dipengaruhi antara

lain oleh seleksi telur tetas yang meliputi bobot telur, bentuk telur, keadaan

kerabang telur, dan kantung udara di dalam telur. Selain itu, manajemen

penetasan sangat berpengaruh terhadap faktor keberhasilan penetasan. Faktor

yang menjadi tolak ukur keberhasilan penetasan antara lain fertilitas, susut tetas,

daya tetas, dan bobot tetas.

Adapun hal-hal yang memengaruhi fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot

tetas salah satunya adalah bobot telur yang akan ditetaskan. Telur dengan bobot

rata-rata atau sedang akan menetas lebih baik daripada telur yang terlalu kecil dan

terlalu besar, sehingga perlu diketahuinya ketepatan data bobot telur yang ideal.

Menurut Prayitno dan Murad (2009), standar bobot telur tetas kalkun yang akan

ditetaskan di dalam mesin tetas pada fase produksi pertama berkisar antara 50--55

g/butir dan pada fase produksi kedua berkisar antara 70--80 g /butir.

Menurut Nugroho (2003), telur kalkun lokal dengan bobot (69,00 -- 71,99 g),

(75,00--77,99 g), dan , (81,00--83,99 g) menghasilkan fertilitas sebesar 53,33%,

60,00%, dan 63,33%, sedangkan daya tetas yang dihasilkan 69,45% ; 73,61% ; dan

72,22%. Sementara bobot tetas yang dihasilkan yaitu 45,82 ; 49,69 ; dan 53,55 g.

Abiola, dkk. (2008) menyatakan bahwa telur parent stock broiler yang memiliki

bobot kisaran 50--57,98 g dan 57, 40--69,94 g menghasilkan susut tetas 11,24 %

dan 11,57 %. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilaksanakan untuk

(11)

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah bobot telur tetas yang

berukuran 75,00--80,00 g diduga lebih baik terhadap fertilitas, susut tetas (weight

loss), daya tetas, dan bobot tetas dibandingkan dengan bobot telur tetas yang

(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kalkun

Kalkun adalah hewan unggas (sejenis burung), asli Amerika Utara, yang

sebenarnya telah dikonsumsi sehari-hari suku indian. Dalam klasifikasinya

kalkun termasuk dalam Filum Chordata, Sub Filum Vertebrata, kelas Aves, Ordo

Galliformes, Family Phasianidae, Sub Family Miliagris, Genus Meleagris,

Spesies MeleagrisGallopavo, MeleagrisSilvestri, dan MeleagrisOcellata( Prayitno

dan Murad, 2009).

Nenek moyang kalkun piaraan adalah Meleagris Gallopavo. Kalkun liar hidup

dalam kelompok-kelompok kecil di hutan dan makanannya berupa serangga,

biji-bijian dan buah-buahan yang jatuh dai pohon (Williamson dan Payne, 1993). Di

Amerika sendiri terdapat banyak bangsa kalkun diantaranya Broad Breasted

Bronze, Broad Breasted White, American Mammoth Bronze, White Beltsville dan

Hybrid (Blakely dan Bade, 1994).

Indonesia memiliki beberapa varietas kalkun yang dikembangkan yaitu jenis

Broad Breasted Bronze, White Holland,dan kalkun cokelat.Varietas Broad

Breasted Bronzemerupakan hasil persilangan Broad Breasted Bronze Large

(13)

Ciri-ciri kalkun Broad Breasted Bronze memiliki warna bulu gelap dan warna

perunggu pada ekor dan sayapnya, pertumbuhan yang baik ditandai dengan bobot

tubuh jantan dicapai pada umur 24 minggu sebesar 4,8--5,0 kg dan pada betina

pada umur 17 minggu sebesar 3,5 kg (North dan Bell, 1990).

KalkunWhite Holland (kalkun putih atau kalkun albino) ini memiliki ciri--ciri

warna bulu putih, kalkun jantan memiliki bobot tubuh mencapai 11--18 kg,

sedangkan betina memiliki berat tubuh mencapai 6,5--8,0 kg (Juragan, 2012).

Kalkun cokelat merupakan jenis kalkun yang yang paling banyak

peminatnya.Kalkun cokelat memiliki ciri--ciri warna bulu cokelat. Bobot tubuh

kalkun jantan dan betina sama dengan bobot tubuh jenis kalkunWhite Holland

yaitu kalkun jantan memiliki bobot tubuh mencapai 11--18 kg , sedangkan betina

memiliki bobot tubuh mencapai 6,5--8,0 kg (Maspul, 2012).

Menurut Maspul (2012), cara membedakan kalkun jantan dan betina dapat dilihat

dari ukuran tubuh. Kalkun jantan memiliki tubuh yang lebih besar dibandingkan

dengan kalkun betina.Selain tubuh yang besar, kalkun jantan memiliki bulu yang

lebih indah dan memiliki snood yang lebih panjang di atas kepalanya, sedangkan

betina memiliki snood tetapi kurang muncul dan warna bulu kurang

berwarna-warni.Kalkun jantan juga diciri-cirikan memiliki suara yang lebih keras

dibandingkan dengan kalkun betina.Perbedaan jantan dan betina dapat dilihat

(14)
[image:14.595.206.405.136.441.2]

8

Gambar 1. Kalkun Jantan dan Betina

Sumber : http://designeranimals.wikispaces.com. com, 2013

Menurut Rasyaf dan Amrullah (1983), daging kalkun memilikikandungan

protein30,5% dan kandungan lemak 11,6%. Apabiladibandingkan dengan daging

sapi, kandungan protein daging kalkun lebih tinggi 3,5% dan kandungan lemak

lebih rendah 5,5%.Selain itu, daging kalkun mengandung asam amino yang

lengkap.Dengan demikian, kalkun dapat digunakan sebagai makanan pengganti

daging sapi untuk memenuhi gizi masyarakat. Perbandingan nilai gizi dari

(15)

Tabel 1. Perbandingan nilai gizi dari beberapa macam daging yang telah melewatiproses pengolahan

Macam daging Protein (%) Lemak (%) Energi (cal)

1.Kalkun : Daging putih 43,3 7,5 923

Daging warna gelap 30,5 11,6 1.022

2.Ayam : Daging putih 31,5 1,3 621

Daging warna gelap 25,5 7 3 754

3.Sapi : "Round Steak" 27,0 13,0 1.049

"Poterhouse Steak" 23,0 27,0 1.539

"Rump Roast" 21,0 32,0 1.648

Sumber: Mountney (1976)

Menurut Prayitno dan Murad (2009), kalkun yang sampai sekarang ada dan

dipelihara secara turun temurun oleh penduduk Indonesia sekitar empat abad ini,

dapat beradaptasi baik dengan iklim hampir di seluruh nusantara. Menurut Rasyaf

dan Amrullah (1983), cara memilih anak kalkun umur satu hari (day old

turkey/DOT) yang baik yaitu

a. bila disentak kesana kemari, aktif menciap-ciap dan banyak bergerak;

b. lihatlah matanya, anak kalkun yang sehat dan baik akan memperlihatkan mata

yang tajam dan sinar matanya memancar;

c. perhatikan paruhnya, jangan ada yang cross-beak atau paruh yang bersilang

letak. Hindari paruh yang cacat, karena akan mengakibatkan sulitnya pada

saat mencari makan;

d. pilih anak kalkun yang besar badannya, bulunya kering rata. Anak kalkun

(16)

10

e. perhatikan kakinya, kaki harus terlihat normal dan anak kalkun itu harus

mampu berdiri baik diatas kedua kakinya;

f. perhatikan juga duburnya, apakah ada letakan tinja di bagian tersebut.

Kalkun yang berkembang di Indonesia yaitu memiliki tubuh yang relatif jauh

lebih kecil dibandingkan dengan varietas kalkun yang dipelihara di negara maju.

Bobot kalkun betina dewasa sekitar 3,0--3,5 kg sedangkan jantannya sekitar 6--8

kg. Warna bulunya beragam, ada yang gelap, putih, gelap/hitam bercampur putih,

cokelat, dan abu-abu. Diduga kalkun ini adalah keturunan dari berbagai spesies

dan varietas kalkun yang ada pada waktu itu dibawa masuk oleh orang-orang

Belanda ke Indonesia (Prayitno dan Murad, 2009).

Menurut Rasyaf dan Amrullah (1983), dalam manajemen pemeliharaannya kalkun

jantan dibesarkan terpisah dari betina,apabila sejak kecil jantan dan betina itu

telah dicampur maka pertumbuhan betina akan terganggu dan berat yang

seharusnya dicapai sebelum bertelur tidak akan terpenuhi. Pada saat ada makanan

jantan akan makan lebih dahulu dan dengan badannya yang lebih besar jantan

akan menutupi kesempatan betina untuk makan, sehingga betina akan mendapat

sisa makanan, itulah sebabnya selama masa pembesaran jantan dan betina

dipelihara terpisah.

Kalkun mempunyai lima fase hidup yaitu 0--4 minggu (prestarter), 4--8 minggu

(starter), 8--12 minggu (grower I), 12--16 minggu (grower II), 16--20 minggu

(finisher II), dan 20 minggu keatas (finisher II). Dewasa kelamin kalkun pada

(17)

untuk betina (Rasyaf dan Amrullah, 1983). Blakely dan Bade (1994) menyatakan

bahwa kalkun betina tipe ringan dapat dikawinkan pada umur 30 minggu dan

pejantannya dapat mulai dikawinkan pada umur 34 minggu, sedangkan kalkun

tipe berat baru dapat dikawinkan pada umur umur 36 minggu dan pejantannya

pada umur 40 minggu.

Kalkun jantan dan betina yang sudah dewasa kelamin akan menghasilkan telur

tetas dan anak kalkun yang baik dibandingkan dengan kalkun yang belum dewasa

kelamin. Pada pemeliharaan yang sempurna anak kalkun yang diperoleh bobot

badan pada umur 16--24 minggu akan sama seperti yang dihasilkan oleh bibit

yang lebih tua. Begitu juga dengan fertilitas dan daya tetasnya. Pejantan muda

sanggup melayani 20 induk. Untuk tipe berat jumlahnya lebih sedikit yaitu

berkisar 14--16 ekor, sedangkan untuk tipe medium dan tipe kecil berturut-turut

adalah 18 dan 20 ekor (Rasyaf dan Amrullah, 1983).

B. Telur Tetas

Telur dapat dibedakan sebagai telur komersial dan telur bibit. Telur komersial

yaitu telur yang dihasilkan dari unggas petelur komersial dengan tujuan untuk

konsumsi manusia, dan telur ini tidak mengandung embrio atau disebut sebagai

telur infertil. Sementara telur bibit adalah telur yang dihasilkan dari peternakan

pembibitan unggas, dan telur berasal dari induk yang dikawinkan dengan pejantan

dengan tujuan telurnya untuk ditetaskan (Kurtini dan Riyanti 2003).

Telur merupakan sel telur (ovum) yang tumbuh dari sel induk (oogonium) dalam

ovarium, dan oleh ternak unggas disediakan untuk bahan makanan bagi

(18)

12

hidup (untuk telur fertil) yang dikelilingi oleh kuning telur sebagai cadangan

makanan yang terbesar. Kedua komponen tersebut dikelilingi oleh putih telur

yang mempunyai kandungan air tinggi, bersifat elastis dan dapat menyerap

goncangan yang mungkin terjadi pada telur tersebut. Ketiga komponen tersebut

merupakan bagian dalam dari telur yang dilindungi oleh kerabang telur yang

berfungsi untuk mengurangi kerusakan fisik dan biologis (Kurtini dan Riyanti,

2003).

Menurut Suprapti (2002), secara umum telur terdiri atas 3 komponen pokok,

yaitu : kulit telur atau cangkang (± 11 % dari berat total telur), putih telur (± 57 %

dari berat total telur), dan kuning telur (± 32 % dari berat total telur).Adapun

bagain-bagian telur secara rinci dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Bagian-bagian telur

(19)

Menurut Kurtini dan Riyanti (2003), struktur telur terdiri dari beberapa bagian :

a. Kerabang telur (shell)

Pada kulit telur utuh terdapat beberapa ribu pori-pori (7.000--17.000) per-butir

yang digunakan untuk pertukaran gas. Pori-pori tersebut sangat sempit, berukuran

0,01--0,07 mm dan tersebar diseluruh permukaan kerabang telur. Pada bagian

tumpul, jumlah pori-pori per satuan lebih banyak daripada pori-pori bagian yang

lainya. Oleh sebab itu, kantong udara terdapat pada bagian ini (Kurtini dan

Riyanti, 2011).

Sarwono (1997) menyatakan bahwa pada permukaan kulit telur banyak terdapat

pori-pori yang besarnya tidak seragam. Jumlah pori-pori per cm persegi pada

masing-masing jenis unggas berbeda-beda.Menurut Sudaryani (2003), ciri-ciri

kulit telur yang mengalami penurunan kualitas yaitu timbulnya bintik-bintik pada

kulit telur dan warna kulit telur cenderung berubah.

b. Putih telur (albumen)

Bagian putih telur terdiri dari 4 lapisan yang berbeda kekentalannya, yaitu (a)

lapisan encer luar (outer thin white), (b) lapisan encer dalam (firm/thick white), (c)

lapisan kental (inner thin white), dan (d) lapisan kental dalam (inner thick

white/chalaziferous). Perbedaan kekentalan ini disebabkan oleh perbedaan

kandungan airnya (Kurtini dan Riyanti 2003).

Menurut Abbas (1989), albumen terdiri dari 89% air, dan bagian padatnya 92%

(20)

14

mengandung lima jenis protein, yaitu ovalbumin, ovomukoid, ovomusin,

ovokonalbumin, dan ovoglobulin. Ovalbumin merupakan protein terbesar yaitu

sekitar 75%. Selain itu, di dalam albumen terdapat karbohidrat dalam bentuk

manosa dan galaktosa serta protein antimikroba (lyzozyme) yang berfungsi

memperlambat proses kerusakan telur (Sarwono, 1997).

c. Kuning telur (yolk)

Menurut Abbas (1989), kuning telur terbagi menjadi 3 bagian yaitu membran

vitellin, germinal disc, dan yolk. Membran vitellin yang memiliki tebal 6--11 mm

terdiri dari 4 lapis yaitu plasma membran, inner layer, continuous membran, dan

outer layer. Germinal disc terbentuk dari sitoplasma oocyte, mengandung

cytoplasmic inclusion yang berfungsi untuk aktivitas metabolisme normal dari

perkembangan embrio. Germinal disc disebut blastoderm jika dibuahi dan

blastodisc jika belum dibuahi oleh sperma.

Kuning telur, kuning telur dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu germinal disc

yang mengapung pada massa berbentuk kerucut, secara kimiawi berbeda dengan

bagian lainya dan disebut white yolk atau latebra, sedangkan bagian lain yang

berwarna terang kekuning-kuningan disebut yellow yolk. Latebra berdiameter

sekitar 5 mm terletak ditengah-tengah ovum, dan merupakan 1--2% dari total

kuning telur (Kurtini dan Riyanti, 2003).

C. Bobot Telur

Menurut Hutt (1949) dalamKurtini (1998) menyatakan bahwa ukuran yang sering

(21)

memengaruhi daya tetas dan bobot tetas. Bobot telur dari satu varietas kalkun

akan berbeda dengan varietas lain. Kalkun menghasilkan bobot telur yang

bervariasi dari 60--70 g bahkan sampai dengan 100 g dengan bobot telur kalkun

rata-rata 80--85 g. Kalkun dengan tipe ringan akan menghasilkan bobot telur

yang lebih kecil. Seiring bertambahnya umur induk yang semakin tua, bobot telur

akan bertambah sampai batas tertentu.Waktu yang dibutuhkan untuk menetaskan

telur kalkun adalah 28 hari (Blakely dan Bade, 1994).

Menurut Sugiarsih, dkk. (1985), bobot telur tetas kalkun 80,0--84,9 g

menghasilkan bobot tetas yang lebih berat. Pengaruh bobot telur kalkun terhadap

[image:21.595.113.523.415.584.2]

bobot tetas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh bobot telur terhadap bobot tetas

Bobot telur tetas (g) Bobot tetas kalkun (g)

80,0--84,9 54,8

75,0--79,9 50,9

70,0--74,9 47,3

65,0--69,9 44,2

60,0--64,9 41,5

Sumber : Sugiarsih, dkk., 1985

D. Fertilitas Telur

Menurut Kartasudjana dan Suprijatna (2006), fertilitas diartikan sebagai

persentase jumlah telur fertil berdasarkan jumlah telur yang dierami. Telur fertil

(22)

16

infundibulum sekitar 15 menit setelah ovulasi. Sperma bergerak sepanjang

oviductselama 30 menit untuk mencapai infundibulum, apabila belum ada telur

yang terbentuk.Gerakan sperma dibantu oleh cilia dari oviduct, antiperistaltik otot,

dan motilitas sperma.

Menurut Sutrisno (2012), faktor-faktor yang memengaruhi fertilitas sebagai

berikut.

a. sperma ;sperma normal gerakannya lincah dan sanggup membuahi dengan

fertilitas yang tinggi. Sperma yang tidak normal, bentuk dan gerakan tidak

sinkron, biasanya daya fertilitasnya rendah dan tidak dapat menurunkan genetik

yang bagus.

b. ransum ;ransum kurang baik kualitasnya akan memengaruhi mutu sperma.

Diperlukan asupan vitamin E dalam jumlah besar untuk menjaga kualitas

sperma.

c. hormon ;kelenjar-kelenjar penghasil hormon endokrin, sangat mempertinggi

fertilitas telur. Jika hormon endokrin tidak bisa diproduksi semaksimal

mungkin oleh kelenjar pituitary, akan menurunkan fertilitas. Seekor pejantan

seandainya disuntikkan hormontestosteronakan meningkatkan fertilitas.

d. responcahaya ; 12 jam waktu yang dibutuhkan seekor pejantan untuk

mendapatkan cahaya terang/ paparan sinar matahari, agar menghasilkan

sperma yang bagus.Induk betina untuk pembentukan sebutir telur memerlukan

(23)

e. umur : umur ideal untuk terjadinya perkawinan pejantan dan betina agar

fertilitasnya bagus kisaran umur lebih dari 10 bulan.Pada periode tahun

pertamalah biasanya waktu terbaik untuk terjadinya perkawinan.

f. dayabertelur : induk betina yang produksi telurnya tinggi akan menghasilkan

telur tetas yang fertilitasnya lebih tinggi, jika dibandingkan dengan induk

betina yang produksi telurnya rendah. Berdasarkan hal ini maka

pemuliabiakan untuk meningkatkan produksi telur sekaligus berarti

meningkatkan fertilitas telur.

Pada proses perkawinan secara individu antara pejantan dan betina fertilitas yang

cukup tinggi akan diperoleh 2--3 hari setelah perkawinan. Namun, bila pejantan

dikawinkan dengan sekelompok betina, koleksi telur tetas biasanya dilakukan

setelah 2 minggu pejantan dalam kandang.Fertilitas masih cukup baik jika

pejantan diambil dari kelompok betina dalam kandang, 5--6 hari setelah

perkawinan terakhir. Setelah itu, fertilitas akan terus menurun. Selama 5--6 hari

fertilitas masih cukup baik karena di infundibulum ada tempat menyimpan sperma

ini disebut sperm nest. Tempat menyimpan sperma diuterus juga ada yang

disebut uterovaginal gland( Kartasudjana dan Suprijatna , 2006).

Menurut Nugroho (2003), telur kalkun dengan bobot 69,00--71,99 g;75,00--77,99

g; dan , 81,00--83,99 gmenghasilkan fertilitas masing-masing sebesar 53,33%;

(24)

18

E. Susut Tetas (Weight Loss)

Menurut Kurtini dan Riyanti (2003), weight loss adalah penyusutan berat telur

selama proses inkubasi di setter dalam satuan persentase. Weight losserat

hubungannya dengan kelembaban dan berpengaruh besar terhadap daya tetas dan

kualitas DOC. Menurut Shanawany (1987), selama perkembangan embrio di

dalam telur akan terjadi penyusutan telur sebesar 10--14% dari beratnya karena

penguapan air, selanjutnya setelah menetas menyusut sebesar 22,5--26,5%.

Penyusutan berat telur selama masa pengeraman tersebut menunjukkan adanya

perkembangan dan metabolisme embrio, yaitu dengan adanya pertukaran gas vital

oksigen dan karbondioksida serta penguapan air melalui kerabang telur (Peebles

dan Brake, 1985).

Tebal kerabang telur sedikit memengaruhi berkurangnya berat telur selama

penetasan. Kerabang telur adalah bagian yang harus dilalui oleh gas dan air

selama proses penyusutan terjadi. Kerabang yang terlalu tebal menyebabkan telur

kurang terpengaruh oleh suhu penetasan sehingga penguapan air dan gas sangat

kecil.Telur yang berkerabang tipis mengakibatkan telur mudah pecah sehingga

tidak baik untuk ditetaskan (Rasyaf, 1991).Koswara (1997) menambahkan bahwa

kerabang telur dilapisi oleh lapisan tipis kutikula yang terdiri dari 90% protein dan

sedikit lemak.

Menurut North dan Bell (1990), penyusutan berat telur selama penetasan

dipengaruhi oleh bobot awal telur.Penyusutan berat telur selama penetasan hari ke

(25)
[image:25.595.113.514.111.256.2]

Tabel 3. Penyusutan berat telur selama penetasan hari ke 1--19

Berat telur awal Penyusutan hari ke 1--19 penetasan (g/butir) (%)

54,3 12,25

56,7 12,00

59,1 11,80

61,4 11,60

63,8 11,45

66,2 11,30

Sumber : North dan Bell (1990)

Abiola, dkk. (2008) menyatakan bahwa telur parent stock broiler yang memiliki

bobot kisaran 50,00--57,98 g dan 57,40--69,94 g menghasilkan susut tetas 11,24 %

dan 11,57 %.

F. Daya Tetas

Menurut Kartasudjana dan Suprijatna (2006), daya tetas adalah angka yang

menunjukkan tinggi rendahnya kemampuan telur untuk menetas. Daya tetas ini

dihitung dengan dua cara, yaitu pertama membandingkan jumlah telur yang

menetas dengan jumlah telur yang dieramkan, dan kedua membandingkan jumlah

telur yang menetas dengan jumlah telur yang dibuahi (fertil). Sebagai contoh,

telur tetas yang dimasukkan ke dalam mesin tetas sebanyak 200 butir.Dari seluruh

telur, 150 butir telur fertil, sedangkan yang menetas hanya 100 butir.Perhitungan

daya tetas sebagai berikut.

1. Perhitungan cara pertama = 100/200x100% = 50%

(26)

20

Keadaan fisik telur dipengaruhi daya tetas, maka keadaan fisik telur harus

diseleksi sebelum ditetaskan. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel4. Daya tetas telur dari berbagai kondisi

Kondisi telur

Daya tetas (%)

Fertilitas Berdasarkan telur fertil Berdasarkan

semua telur

Telur normal 82,3 87,2 71,7

Telur retak 74,6 53,2 49,7

Telur berbentuk tidak normal

69,1 48,9 33,8

Telur berkerabang tipis 72,5 47,3 34,3

Telur tanpa rongga udara

72,3 32,4 23,4

Rongga udara tidak normal letaknya

81,1 68,1 53,2

Bercak darah besar 78,7 71,5 56,3

Sumber : Kartasudjana dan Suprijatna (2006).

Telur tetas yang dikumpulkan dari kandang tidak semua menetas dengan baik dan

tidak semuanya fertil.Menurut Kartasudjanadan Suprijatna(2006), faktor-faktor

yang memengaruhi daya tetas adalah sebagai berikut.

a. Breeding

Menurut Kartasudjanadan Suprijatna (2006), sistem perkawinan yang sangat dekat

hubungan keluarganya tanpa disertai seleksi ketat umumnya menyebabkan daya

tetas yang rendah, baik pada ayam maupun pada kalkun.

Perkawinan antara jantan rhode island red (RIR) dengan betina rhode island red

(RIR) menghasilkan daya tetas sebesar 66,4 %, tetapi jika jantannya white legorn

(WL) dikawinkan dengan betina rhode island red (RIR) menghasilkan daya tetas

sebesar 76,5 %. Terlihat bahwa melalui inbreeding (RIR X RIR) daya tetas telur

(27)

tetasnya meningkat, tetapi perlu dilakukan seleksi yang baik (Kartasudjanadan

Suprijatna, 2006).

b. Produksi telur

Induk betina yang produksi telurnya tinggi akan menghasilkan telur tetas yang

fertilitasnya lebih tinggi, jika dibandingkan dengan induk betina yang produksi

telurnya rendah (Kartasudjanadan Suprijatna, 2006).

c. Umur induk

Fertilitas dan daya tetas umumnya sangat baik pada produksi telur tahun

pertama.Semakin tua umur induk maka daya tetas semakin menurun dan kualitas

kulit telur umumnya juga menurun (Kartasudjanadan Suprijatna, 2006).

d. Besar telur

Menurut Kurtini dan Riyanti (2003), telur dengan bobot rata-rata atau sedang akan

menetas lebih baik daripada telur yang terlalu kecil dan terlalu besar. Telur yang

kecil, rongga udaranya akan terlalu besar sehingga telur akan cepat (dini) menetas.

e. Bentuk telur utuh

Telur-telur yang bentuknya kurang normal, umumnya tidak dapat menetas dengan

baik.Telur-telur yang bentuknya kurang normal diantaranya, telur yang ruang

udaranya tidak pada tempatnya, telur retak, dan telur yang berukuran kecil

(28)

22

f. Warna kulit telur

Warna kulit telur sangat erat hubungannya dengan fertilitas dan daya tetas.Telur

yang warna kulitnya agak gelap, lebih mudah menetas dibandingkan dengan yang

berwarna terang (Kartasudjanadan Suprijatna, 2006). Hal ini selaras dengan

pendapat North dan Bell (1990), telur ayam ras yang berwarna cokelat gelap

mempunyai fertilitas (84,1%) lebih tinggi daripada cokelat terang (76,1%) dan

cokelat sedang (78,9%). Selain itu, telur ayam ras yang berwarna cokelat gelap

mempunyai daya tetas (74,5%) lebih tinggi dibandingkan dengan cokelat sedang

(70,5%) dan cokelat terang (66,9%). Hal ini disebabkan oleh warna kerabang

cokelat gelap lebih bisa menahan panas daripada cokelat terang dan sedang

sehingga menunjang pembentukan embio di dalam telur (Paimin, 2003).

g. Kualitas kulit telur

Telur yang kulitnya tipis atau perkapuran yang kurang merata, umumnya daya

tetasnya rendah. Ketebalan kulit telur yang baik 0,33--0,33 mm (Kartasudjanadan

Suprijatna, 2006).

h. Interior quality

Jika telur memiliki nilai haugh unit rendah maka daya tetasnya akan rendah.

Telur dengan HU >80 akan menetas sangat baik. Telur dengan ruangan udara

tepat diujung tumpul akan menetas 10--15% lebih baik (Kartasudjanadan

(29)

i. Tatalaksana pemeliharaan

Kondisi kandang yang sering mengalami temperatur yang ekstrim panas/dingin,

menghasilkan telur dengan daya tetas yang rendah. Ransum, jika ransum

kekurangan Ca maka kulit telur yang dihasilkan lembek dan daya tetas rendah.

Kekurangan vitamin D dalam ransum mengakibatkan kualitas kulit jelek dan daya

tetasnya rendah (Kartasudjanadan Suprijatna, 2006).

Menurut Nugroho (2003), telur kalkun lokal dengan bobot (69,00--71,99 g),

(75,00--77,99 g), dan , (81,00--83,99 g) menghasilkan daya tetas yang dihasilkan

69,45% ; 73,61% ; dan 72,22%.

G. Bobot Tetas

Bobot tetas adalah bobot akhir DOC, bobot DOC ditimbang setelah ayam

menetas satu hari dengan bulu yang sudah kering (Jayasamudra dan Cahyono,

2005). Bobot tetas dipengaruhi oleh bobot telur dan susut tetas (weight loss).

Besarnya bobot tetas adalah 60% dari bobot telur tetas (Rasyaf, 1991).

Pemilihan bobot telur untuk ditetaskan tergantung dari situasi pasaran anak ayam.

Bila pasaran menyenangi anak ayam yang berat-berat maka dipilih telur tetas yang

berat (besar) dan begitu sebaliknya(Rasyaf,1991). Menurut Srigandono (1997),

bobot telur antara jenis unggas yang satu dengan yang lainnya berbeda, karena

bobot telur dipengaruhi oleh jenis ternak, semakin besar ukuran ternak tersebut

(30)

24

Menurut Sugiarsih, dkk. (1985), bobot tetas kalkun sangat dipengaruhi bobot

telurnya, karena ada pengaruh penguapan air dari telur yang ditetaskan. Hal ini

selaras dengan Wiley (1950) dalam Sudaryanti (1985) menyatakan bahwa

perbedaan bobot telur memberikan perbedaan pertumbuhan embrio, baik dalam

jumlah sel atau ukuran selnya.

Menurut Nugroho (2003), telur kalkun lokal dengan bobot (69,00--71,99 g),

(75,00--77,99 g), dan , (81,00--83,99 g) menghasilkan bobot tetas yang dihasilkan

yaitu 45,82 ; 49,69 ; dan 53,55 g.

H. Pengelolaan Penetasan

Secara alamiah kalkun mengerami telurnya, seekor induk kalkun mampu

mengerami 15 butir telur, tetapi saat ini kebutuhan akan daging kalkun semakin

meningkat, sehingga penetasan buatan lebih umum dilaksanakan. Apabila

ditetaskan secara alamiah, maka produksi telur terbatasi dengan banyaknya

kalkun yang mengeram.Kira-kira 8--10 minggu waktu yang terbuang untuk

mengerami telur dan membesarkan anaknya, baru kemudian bisa bertelur

kembali (Rasyaf dan Amrullah, 1983).

Menurut Kartasudjanadan Suprijatna (2006), dalam menetaskan telur ada dua cara

yaitu penetasan secara alami dan penetasan secara buatan. Penetasan secara alami

yaitu penetasan menggunakan induknya/ jenis unggas lain. Penetasan secara

alami masih dianggap cukup bermanfaat, terutama untuk para peternak yang

jumlahnya sedikit.Sementara secara buatan yaitu penetasan menggunakan

(31)

biasanya perusahaan yang bergerak dibidang hatchery. Adapun tipe-tipe mesin

tetas yang dikenal :

a. berdasarkan aliran udara didalamnya,forced draft incubator yaitu mesin tetas

yang pengaturan udara didalamnya digerakkan oleh kipas sehingga udara

kotor didalam mesin dapat berganti dengan cepat. Dengan adanya

pengaturan ventilasi ini, daya tetas akan lebih baik.Still air machine yaitu

mesin tetas yang pengaturan udara didalamnya sangat bergantung pada

keadaan lingkungan (alam). Udara keluar masuk hanya melalui lubang

ventilasi yang dibuat sedemikian rupa tanpa ada alat/kipas yang membantu

kelancaran udara tersebut (Kartasudjanadan Suprijatna, 2006).

b. berdasarkan model penetasan, setter dan hatcher artinya tempat pengeraman

telur dari mulai masuk kedalam mesin tetas sampai menetas menjadi anak

ayam, berada pada tempat yang sama. Setter dan hatcher dipisahkan artinya

tempat pengeraman telur dari umur satu hari sampai 18 hari hari berbeda

tempatnya dengan tempat persiapan untuk menetas (Kartasudjanadan

Suprijatna, 2006).

Prinsip utama menggunakan mesin tetas adalah memberikan panas dan

kelembapan tertentu didalam waktu yang terbatas (Nurcahyo dan Widyastuti,

2001). Keberhasilan menggunakan mesin tetas ditentukan oleh pengetahuan dan

keterampilan mengoperasikannya. Keuntungan menggunakan m esin tetas yaitu

lebih praktis dan efisien karena pengaturan suhu dapat dibuat otomatis

(32)

26

Sebelum mesin tetas digunakan peralatan-peralatan didalamnya dicucidan

dikeringkan, kemudian peralatan tersebut difumigasi untuk mencegah penularan

penyakit, karena melalui mesin tetas penyakit mudah tersebar yang dibawa oleh

anak yang menetas (Srigandono, 1997). Beberapa faktor yang memengaruhi

keberhasilan penetasan di dalam mesin tetas yaitu, suhu, kelembapan, sirkulasi

udara, turning atau pemutaran, dan candling atau peneropongan telur (Hybro,

2000).

a. Suhu

Embrio akan berkembang cepat selama suhu telur tetap diatas 42,220C dan akan

berhenti berkembang jika suhu dibawah 26,600C. Suhu penetasan harus

dipertahankan selama proses penetasan, mulai hari pertama hingga terakhir sesuai

suhu yang ditentukan. Untuk menjaga pengaruh temperatur luar maka mesin tetas

harus dalam keadaan tertutup rapat (Paimin, 2003). Menurut Suharno dan Amri

(2002), suhu yang digunakan pada saat penetasan minggu pertama yaitu 38,60C,

minggu kedua 38,90C, minggu ketiga 39,20C, dan minggu keempat 39,40C. Mesin

tetas yang digunakan bersumber pemanas dari listrik dan mempunyai kapasitas

100 butir, dengan sumber listrik cadangan menggunakan diesel.

b. Kelembapan

Menurut Blakely dan Bade (1994), kelembapan yang baik untuk menetaskan telur

kalkun adalah 62% selama 24 hari kemudian naik menjadi 75% selama 4 hari

terakhir penetasan. Hal ini didukung dengan pendapat Rasyaf dan Amrullah

(1983) yang menyatakan kelembapan yang baik untuk menetaskan telur kalkun

(33)

untuk keluar dari kerabang. Menurut Nuryati, dkk. (2000), untuk mencapai

kondisi tersebut mesin tetas harus dilengkapi dengan bak yang berisi air yang

berfungsi sebagai sumber kelembapan.

c. Sirkulasi udara

Menurut Rasyaf dan Amrullah (1983), ventilasi yang baik akan memungkinkan

gas karbondioksida yang dihasilkan oleh embrio dan menyuplai oksigen yang

cukup, dengan batas toleransi kandungannya adalah 1,5%. Paimin (2003)

menyatakan bahwa kebutuhan karbondioksida dalam proses penetasan tidak boleh

lebih dai 0,5% dan kebutuhan oksigen tidak boleh kurang dari 21%. Hal ini

didukung oleh pendapat Sudaryani dan Santosa (1994) yang menyatakan fungsi

ventilasi pada mesin tetas adalah mengirim O2 kedalam mesin tetas kemudian

membuang CO2 keluar mesin tetas.

d. Pemutaran telur

Menurut Paimin (2003), pemutaran telur dilakukan bertujuan untuk

menyeragamkan temperatur pada permukaan telur, mencegah pelekatan embrio

pada kulit telur, dan mencegah melekatnya yolk dan alantois pada akhir

penetasan. Menurut Nurcahyo dan Widyastuti (2001). Pemutaran telur dilakukan

3 hari setelah peletakkan telur tetas dan berakhir 3 hari sebelum telur menetas.

Pemutaran telur dilakukan secara horizontal dengan ujung tumpul berada di

bagian atas. Pada telur kalkun dilakukan hingga hari ke-22 sampai hari ke-24,

tetapi jangan kurang dari 18 hari pertama. Pemutaran dilakukan mulai dari hari

(34)

28

e. Peneropongan telur

Selama masa penetasan berlangsung, peneropogan harus dilakukan.

Peneropongan dilakukan untuk mengetahui fertilitas embrio, perbandingan putih

dan kuning telur, luas kantung udara, dan perkembangan selama penetasan. Pada

saat peneropongan akan jelas terlihat perbedaan antara telur yang embrionya mati

dan yang hidup (Paimin, 2003).

Peneropongan pertama dilakukan pada hari ke-4 telur berada di mesin tetas untuk

memisahkan telur-telur yang infertil (tidak dibuahi) serta telur retak. Pada

peneropongan pertama tersebut telur yang fertil menunjukkan adanya jaringan

pembuluh darah yang memencar dari setrum, peneropongan ke-2 dilakukan pada

hari ke-14, telur fertil menunjukan perkembangan embrio. Peneropongan terakhir

dilakukan pada hari ke-21, dimana akan terlihat bayangan gelap kecuali bagian

rongga udara yang telah menempati lebih kurang seperempat bagian telur

(35)

III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan pada 1 Maret--5 April 2013 bertempat di Peternakan Kalkun Mitra Alam, Pekon Sukoharjo 1, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu.

B. Bahan dan Alat Penelitian

1. Bahan Penelitian

Telur tetas kalkun dengan bobot 70,00--74,99 g sebanyak 30 butir dan 75,00--80,00 g sebanyak 30 butir. Jadi total telur tetas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 60 butir. Telur tetas yang digunakan berumur 4 hari, telur tetas diperoleh dari peternakan Mitra Alam yang dikelola oleh Bapak Bambang. Jenis kalkun broad breasted bronze dan white holand, kalkun yang ada di peternakan tersebut berumur 7--14 bulan. Mesin tetas dengan kapasitas 6.000 butir telur.

2. Bahan sanitasi

Bahan yang digunakan untuk sanitasi :

(36)

30

2. Iodin adalah desinfektan yang digunakan untuk dipping.

3. Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan :

a. mesin tetas tipe semi otomatis dengan kapasitas tampung maksimal 6.000 butir telur. Mesin tetas memiliki panjang: 3 m, lebar : 4 m, dan tinggi : 2 m;

b. mesin pengering bulu untuk mengeringkan bulu saat DOT menetas; c. eggs tray dari bahan kawat digunakan untuk meletakkan telur;

d. timbangan elektrik dengan tingkat ketelitian 1g yang digunakan menimbang bobot telur sebelum dimasukkan kemesin penetasan dan menimbang DOT saat menetas;

e. alat untuk candling yang digunakan untuk meneropong telur; f. nampan air;

g. peralatan menulis untuk mencatat data; h. thermometer dan hygrometer;

i. sprayer untuk desinfeksi;

j. ember untuk membawa telur dari kandang;

k. kawat kasa untuk penyekatan dalam mesin pengering.

C. Metode Penelitian

(37)

D. Pelaksanaan Penelitian

1 . Koleksidanseleksitelurtetas

Koleksi atau pengumpulan telur tetas yang dilakukan 4 hari sebelum proses penetasan dilaksanakan. Koleksi diawali dengan menyiapkan ember, ember ini digunakan untuk meletakkan telur dari kandang. Kemudian koleksi dilakukan pada pukul 16.00 dan 20.30 WIB.Kemudian telur-telur hasil koleksi ini diseleksi terlebih dahulu yang meliputi keutuhan kerabang telur, bentuk, kebersihan, dan bobot telur.Setelah seleksi, telur tetasakan disimpan di ruang penyimpanan.

2. Penyimpanan telur tetas

Setelah diseleksi telur disimpan di tempat penyimpanan. Tempat ini berfungsi menyimpan telur sebelum ditetaskan. Tempat penyimpanan ini berukuran 100 x 60 x 150 cm.Telur disimpan selama 4 hari dalam tempat penyimpanan ini. Suhu ruang penyimpanan adalah berkisar 27--290C yang diukur dengan menggunakan thermometer yang selalu diletakkan di dalam tempat ini.

3. Sanitasi telur tetas

Sebelum telur tetas dimasukan ke dalam mesin tetas, dilakukan sanitasi untuk membunuh mikroorganisme yaitu dengan cara membersihkan dengan larutan superkill dengan dosis 1,5 ml per 2 l air, kegiatan ini dilakukan setelah telur tetas

(38)

32

4. Penyiapannampan air

[image:38.595.224.402.185.324.2]

Menyiapkan nampan air pada bagian bawah rak mesin tetas yang telah diisi air untuk menjaga kelembaban dalam ruang tetas (Gambar3).

Gambar3.Nampan air

5. Menyusun dan menimbang telur tetas

Sebelum di setting telur tetas ditimbang untuk mendapatkan data bobot awal telur. Penimbangan dilakukan dengan cara menimbang telur tetas satu per satu, setelah ditimbang telur tetas diberi tanda masing-masing perlakuan. Telur tetas yang akan di setting dan disusun di dalam eggs tray dengan posisi telur bagian yang runcing diletakkan pada bagian bawah. Penyusunan dalam eggs tray berdasarkan lay out atau tata letak telur penelitian (Gambar 3),suhu dan kelembaban diamati dan data dicatat setiap hari dari hari 1--28 setiap pukul 06.30; 14.00; dan 22.00 WIB. Telur tetas berada di ruang selama28 hari.

6. Peneropongan (Candling)

(39)

atau embrio yang mati. Proses candling dilakukan dengan menggunakan alat candler. Pada candling hari ke-5 akan didapat data fertilitas. Pada candling harike-25 sekaligus dilakukan penimbangan, penimbangan ini dilakukan untuk mendapatkan data susut tetas.

7. Pemutaran telur tetas (Turning)

Mesin tetas yang digunakan adalah semi otomatis maka pemutaran dilakukan setiap 8 jam sekali yaitu pada pukul 06.30; 14.00; dan 22.00 WIB, pemutaran telur tetas ini dilakukan sejak hari ke-5 yaitu bersamaan dengan candling pertama. Pemutaran telur tetas di mesin tetas dilakukan sampai hari ke-25.Selama kegiatan pemutaran dilakukan pula pengecekan air pada nampan.Setelah hari ke-25

pemutaran dihentikan dan telur tetas dipindahkan kerak untuk menetas.

8. Proses saat menetas (Pullchick)

Setelah hari ke-28 telur akan mulai menetas, setelah menetas DOT yang bulunya belum kering akan dipindahkan ke mesin pengering yang telah diberi sekat-sekat agar masing-masing perlakuan DOT tidak tercampur. Kegiatan pengeringan bulu ini dilakukan sampai bulu benar-benar kering. Ketika bulu telah kering dilakukan penimbangan untuk mendapatkan data daya tetas dan bobot tetas.

E. Peubah yang diamati

a. Fertilitas

(40)

34

Fertilitas =Jumlah telur yang fertil ×100% Jumlah telur yang ditetaskan

b. Susut tetas (Weight loss)

Menurut Kurtini dan Riyanti (2011), weight loss adalah penyusutan bobot telur selama proses inkubasi di setter dalam satuan persentase.

Susut tetas =Berat awal telur-berat akhir telur ×100% Berat awal telur

c. Daya tetas

Menurut Kartasudjana danSuprijatna(2006), daya tetas adalah angka yang menunjukkan tinggi rendahnya kemampuan telur untuk menetas.

Jumlahtelur yang menetas

Daya tetas = X 100%

Jumlah telur yang fertil d. Bobot tetas

(41)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Perbandingan bobot telur kalkun terhadap fertilitas, susut tetas (weight loss), daya tetas tidak berbeda nyata (P>0,05), namun berbeda nyata (P<0,05) pada bobot tetas.

B. Saran

1. Suhu pada ruangan simpan telur terlalu tinggi, sehingga perlu disediakan ruangan yang bersuhu ideal (15--170C);

2. Bibit (DOT) yang diproduksi masih rendah, sehingga diperlukan persilangan indukan dengan varietas kalkun lainnya untuk meninggkatkan produksi kalkun;

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, M.H. 1989. Pengelolaan Produk Unggas. Jilid 1. Penerbit Universitas Andalas. Padang.

Abiola,S.S.,O.O.Meshoiye., B.O.Oyerinde and M.A. Bamgbose. 2008. Effect of Egg Size on Hatchability of Broiler Chicks. Animal science. 57 (217): 83-86.

Ahmed, M., R, Rao.,P.S.Mahesh., K. Ravikumar., S. Ahmed., P. Nallappa. 2013. Turkey Management Guide.Central Poultry Development

Organisation.Karnataka. India.

Anonim. 2007. Kualitas Telur Optimum. www.thepoultrysite.com/articles/1232/-optimum- eggs –quality. (30 November 2012).

Anonim. 2013. Turkey. http://designeranimals.wikispaces.com. com, 2013. Aviagen Turkey. 2011. Breeder Performance Goals B.U.T 10 Parent female.

www.aviagenturkey.com .(15Februari 2013).

Blakely, J. Dan D.H. Bade. 1994. IlmuPeternakan. GadjahMadaUniversytyPress. Yogyakarta.

DinasPeternakan. 1999. LaporanTahunan T.A. 1998/1999.

DinasPeternakanPemerintahProvinsi Lampung. Bandar Lampung. Djanah, D. 1984. BeternakAyamdanItik.Cetakankesebelas.Yasaguna. Jakarta.

Firdaus, A. 2010. Kualitas Internal Telur. http://aagguussdaus.blogspot. Com /2010/10/kualitas-internal-telur.html. (30 November 2012).

Hardjosworo, P. S. danRukmiasih. 2001. Itik, PermasalahandanPemecahan. PenebarSwadaya, Jakarta.

Hasan, S.M., A. 2005. Physiology, endocrinology, and reproduction: egg storage period and weight effect on hatchability. J. Poultry Sci. 84: 1908-1912 Hybro, B.V. 2000. Hybro G Breeders Performance. Euribrid B. V. Technical

(43)

Juragan. 2012. BlogSpot. Jenis-jenis kalkun. Html/ 18 maret 2013 Kartasudjana, R., dan E.Suprijatna. 2006. Manajemen Ternak Unggas.

PenebarSwadaya. Jakarta.

Koswara, S. 1997. Teknik Pengawetan Telur Segar. Poultry Indonesia 113: 18-19.

Kurtini, T. 1988. Pengaruh Bentuk dan Warna Kulit Telur terhadap Daya Tetas dan Sex Ratio.Tesis.Fakultas Pascasarjana Universitas Padjajaran. Bandung. Kurtini, T dan Riyanti, Rr. 2003.Teknologi Penetasan. Buku Ajar.Universitas

Lampung. Lampung.

Kurtini, T., K. Nova, D. Septinova. 2010.Produksi Ternak Unggas. Buku Ajar Universitas Lampung.

Lyons, J. 1998. Incubation of Poultry. Agricultural Publications, University of Missouri.

Maspul. 2012. Apa-itu-Kalkun-danJenis-jeniskalkun/219/ com/18 maret 2013 Mountney, G. J. 1976. Poultry Products Technology. 2ndEd. #vi Publishing

Company. INC. Westport.

Nugroho. 2003. Pengaruh Bobot Telur Tetas Kalkun Lokal Terhadap Fertilitas, Daya Tetas, Dan Bobot Tetas. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Nurcahyo, E. M., dan Y. E. Widyastuti. 2001. Usaha Pembesaran Ayam

Kampung Pedaging. Cetakan kelima.Penebar Swadaya. Jakarta.

Nuryati, T., Sutarto, M. Khamin, dan P.S. Hadjosworo. 2000. Sukses Menetaskan Telur. Cetakan Pertama. Penebar Swadaya. Jakarta.

North, M.O. 19dan Bell .1990. Commercial Chicken Production Manual.4rd edition. Avi Publishing Compeny INC. Wstport.Conection.

Paimin, F. B. 2003. Membuat dan Mengelola Mesin Tetas.Cetakan Keenam belas. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pas Reform .2010. Incubation Guide Turkey. Version 4.1. Pas Reform Academy, Zeddam .Netherland.

Peebles, E.D and J. Brake. 1985. Relationship of Egg Shell Porosity of Stage of Embrionic Development in Broiler Breeders. Poult.Sci. 64 (12): 2388. Prayitno, D.S., dan Murad, B.C. 2009. Manajemen Kalkun berwawasan animal

(44)

51

Rasyaf, M. Dan I.K. Amrullah. 1983. Beternak Kalkun. Cetakan Pertama. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rasyaf, M. 1991. Pengolahan Penetasan. Kanisius.Yogyakarta.

Romanoff , A.L. and A.J. Romanoff. 1975. The Avian Egg. 2nd Ed. John Wiley and Sons, Inc. New York.

Sarwono, B.1997. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur. Cetakan ke-2. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.

Shanawany, M.M. 1987. Hatching weight in relation to egg weight in domestic birds. World’s Poultry Sci. Journal. 43 (2): 107-114

Srigandono B. 1997. Produksi Unggas Air.Cetakan Ketiga. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.

Suarez, M.E., H.R. Wilson, B.N. Mcpherson, F.B. Mather, dan C.J. Wilcox. 1996. Low temperature effect on embrionic development and hatch time. Poultry Sci. 75: 1321-1331

Sudaryani, T.H. danSantoso. 2000. KualitasTelur. Cetakan ke-2.Penebar Swadaya. Jakarta.

Sudaryani, T. 2003. Kualitas Telur. Cetakan ke-4. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.

Sudaryani, T. Dan H. Santosa. 1994. Pembibitan Ayam Ras. CetakanPertama. PT Penebar Swadaya. Jakarta.

Sudaryanti.1985. Pentingnya Mempertahankan Berat Telur Tetas Ayam Kampung pada Pemeliharaan Semi Intensif.Prosedings seminar Peternakan Dan

Forum PeternakanUnggas dan Aneka Ternak.Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Hal 164--168. Sugiarsih, N. S., Yuningsih, dan S. Yogasari. 1985. Pengaruh Berat Telur

Terhadap Daya Tetas dan Berat Tetas Kalkun. Prosedings seminar Peternakan Dan Forum Peternakan Unggas dan Aneka Ternak.Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Hal 209--213.

Suharno, B., dan K. Amri. 2000. Beternak Itik Secara Intensif. Cetakan Kedelapan. PT PenebarSwadaya. Jakarta.

(45)

Suprapti, M. L. 2002. Pengawetan Telur. Yogyakarta :Kanisius.

Sutrisno.2012. Menetaskan Telur Yang Benar.http://bumiternak-betha.blogspot. com/2012/03/menetaskan-telur-yang-benar.html. (30 November 2012). Suryadi .2012. Metode Penetasan Telur Kalkun modern Menggunakan

MesinTetas. http://anakankalkun.wordpress.com/2012/06/20/metode-penetasan-telur-kalkun-modern-menggunakan-mesin-tetas/ .(17 Februari 2013).

Steel. R. G. D., dan J. H. Torrie. 1993. Prinsipdan Prosedur Statistika. Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri.PT GramediaPustakaUtama. Jakarta.

Tullet, S.G. dan F.G. Burton. 1982. Factor affecting the weight and water status of chick and hatcsh. British Poult. Sci. 32: 361-369.

Gambar

Gambar 1.  Kalkun Jantan dan Betina
Tabel 2.  Pengaruh bobot telur terhadap bobot tetas
Tabel 3.  Penyusutan berat telur selama penetasan hari ke 1--19
Gambar3.Nampan air

Referensi

Dokumen terkait

Informasi tersebut dapat berupa karya peserta didik dari proses pembelajaran yang dianggap paling terbaik, hasil tes (bukan nilai), atau informasi lain yang relevan

Segala puji hanya milik Allah Subhanahu Wata’ala atas berkah rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik guna memperoleh

Jika karyawan telah memiliki komitmen maka karyawan akan mencurahkan segala kemampuan dan sumber daya untuk meningkatkan kemajuan perusahaan tentunya ini akan berdampak positif

Variabel komitmen organisasi terbukti sebagai variabel intervening dari budaya manajemen syariah ke kinerja karyawan, tetapi tidak untuk gaya kepemimpinan dan

1) Dampak Kognitif, adalah yang timbul pada komunikasi yang menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkat intelektualnya. 2) Dampak Afektif lebih tinggi kadarnya dari

Pihak luar ( terminator/external entity ) dapat berupa sistem lain perankat keras, orang atau organisasi, dalam Sistem Autoresponse ini yang bertindak sebagai

Pada gastritis terjadi respons inflamasi baik akut maupun kronik. Terjadi aktivasi sitokin-sitokin yang menyebabkan terjadinya inflamasi mukosa.. IL-6 dan IL-8 mukosa

Tidak ada, guru menggunakan metode pada umumnya seperti metode klasikal, setoran individual Proses pembentukan karakter religius, disiplin, dan tanggung jawab siswa melalui