• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan bakteri endofit sebagai alternatif pengendalian penyakit layu bakteri pada tanaman jahe (Zingiber officinale).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan bakteri endofit sebagai alternatif pengendalian penyakit layu bakteri pada tanaman jahe (Zingiber officinale)."

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

LAYU BAKTERI PADA TANAMAN JAHE

(Zingiber officinale Rosc.)

SRI RAHAYUNINGSIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemanfaatan Bakteri Endofit sebagai Alternatif Pengendalian Penyakit Layu Bakteri pada Tanaman Jahe (Zingiber officinale Rosc.) adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2011

(3)

SRI RAHAYUNINGSIH. Endophytic bacteria as alternatives diseases control of bacterial wilt on ginger (Zingiber officinale). Under direction of ABDUL MUNIF, WIDODO and SUPRIADI.

Ginger is cultivated in many tropical and subtropical regions of the world. Growers expressed concern regarding the impact of pathogens on yields in recent years. Similarly, growers expressed concern regarding the effect that pathogen threats will have on the industry in the future. Bacterial wilt disease caused by Ralstonia solanacearum is an important disease on ginger plant (Zingiber officinale Rosc) in Indonesia. The objective of this research was to study the effectiveness of endophytic bacteria in inhibiting the progress of bacterial wilt disease on ginger. Three isolates of endophytic bacteria were selected and tested their antibiosis activity and plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) against the bacterial wilt disease (R. solanacearum). The research showed that under greenhouse condition all of the ginger plants treated with the 3 isolates of endophytic bacteria produced symptoms of bacterial wilt disease 7 days after inoculation of R. solanacearum. The 3 isolates of can only inhibit 12 % of severity of bacterial wilt disease on ginger up to 42 days after the inoculation, therefore they are not effective as biocontrol agent. .

(4)

SRI RAHAYUNINGSIH. Pemanfaatan Bakteri Endofit sebagai Alternatif Pengendalian Penyakit Layu Bakteri pada Tanaman Jahe (Zingiber officinale). Dibimbing oleh ABDUL MUNIF, WIDODO dan SUPRIADI.

Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum pada tanaman jahe (Zingiber officinale Rosc), merupakan penyakit penting di beberapa negara di Asia, Australia, dan Afrika. Di Indonesia, penyakit layu bakteri jahe ditemukan pada tahun 1971 di Kuningan, Jawa Barat. Penyakit ini dapat menurunkan potensi hasil jahe sampai 90 %. Pada kasus tanaman jahe, varietas tahan dengan produksi rimpang yang memenuhi syarat sampai saat ini belum diperoleh di samping itu belum ada cara pengendalian yang efektif untuk penyakit layu bakteri. Alternatif pengendalian yang sedang dikembangkan adalah dengan meningkatkan pertahanan tanaman melalui induksi ketahanan. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan isolat-isolat bakteri endofit yang potensial dalam mengendalikan penyakit layu bakteri pada tanaman jahe yang disebabkan oleh bakteri R. solanacearum.

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Penyakit dan rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO) Bogor, pada bulan Oktober 2008 – Januari 2010. Eksplorasi bakteri endofit dilakukan di daerah sentra produksi tanaman obat. Isolasi bakteri endofit dilakukan dengan cara mensterilisasi permukaan akar/batang menggunakan larutan NaOCL 10 % dan air steril. Bakteri patogen diisolasi dari tanaman jahe terinfeksi bakteri R. solanacearum di lapang. Isolat bakteri endofit diseleksi berdasarkan kemampuannya memproduksi bakteriosin atau sifat antibiosis. Uji potensi plant growth-promoting rhizobacteria (PGPR) dilakukan dengan menyiram benih mentimun yang telah disterilkan permukaanya dengan suspensi bakteri endofit dan ditumbuhkan dalam bak perkecambahan yang berisi tanah steril. Perlakuan diulang sebanyak 10 kali. Bakteri endofit hasil seleksi dikarakterisasi berdasarkan sifat morfologi koloni dan fisiologinya. Isolat bakteri endofit terpilih diuji potensinya di rumah kaca dengan cara menyiramkan 50 ml suspensi bakteri endofit 108 cfu/ml kedalam polibag yang telah ditanami bibit jahe umur 2 bulan, sebagai kontrol dilakukan penyiraman dengan menggunakan air steril. Satu minggu setelah aplikasi bakteri endofit tanaman diinokulasi R. solanacearum isolat T-954 dengan cara menyiramkan 25 ml ml/tanaman inokulum dengan kerapatan populasi 108 cfu/ml (OD600 = 0,1). Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan jumlah perlakuan tiga isolat bakteri endofit yang paling berpotensi dari uji in-vitro diulang tiga kali. Masing-masing unit perlakuan terdiri dari 10 bibit. Peubah yang diamati meliputi Keparahan penyakit, kejadian penyakit, dan indeks penekanan penyakit. Data dianalisis menggunakan Anova dan dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf 5%.

(5)

antibiosis paling tinggi berasal dari tanaman jagung (41,03 %), berturut-turut diikuti isolat dari tanaman jahe (28,20), tomat (25,64 %), dan kencur (5,13 %). Pengujian potensi 39 isolat bakteri endofit antibiosis dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman secara in vivo pada tanaman mentimun menunjukkan bahwa, terdapat tiga isolat bakteri endofit yang mampu meningkatkan pertumbuhan perakaran tanaman mentimun tertinggi. Ketiga isolat tersebut berasal dari tanaman jahe (EJH6), tomat (ET9), dan jagung (EJG14) yang selanjutnya akan digunakan dalam uji potensi dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri R. solanacearum pada tanaman jahe di rumah kaca.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

LAYU BAKTERI PADA TANAMAN JAHE

(Zingiber officinale Rosc.)

SRI RAHAYUNINGSIH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Puji syukur penulis ucapkan pada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul “Pemanfaatan Bakteri Endofit sebagai Alternatif Pengendalian Penyakit Layu Bakteri pada Tanaman Jahe

(Zingiber officinale Rosc)” dapat diselesaikan.

Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu satu syarat kelulusan di Sekolah Pasca Sarjana IPB untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Departemen Hama dan Penyakit

Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Abdul Munif, M.Sc. Agr selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Widodo, MS dan Prof. Dr. Ir. Supriadi, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan dan arahannya kepada penulis dalam penulisan usulan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (alm), ibu, suami, anak, serta seluruh keluarga atas segala do’a dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bermanfaat bagi pihak yang memerlukan.

Bogor, Juni 2011

Sri Rahayuningsih

(10)

Penulis lahir di Surabaya, pada tanggal 6 Oktober 1968 dari pasangan ayah (Alm.) H. Soeprapto dan ibu Hj. Rr. Soetartik sebagai putri ke-5 dari enam bersaudara.

(11)

Penyakit Layu Bakteri Pada Tanaman Jahe………... Strategi Pengendalian Penyakit Layu Bakteri Jahe ... Induksi KetahananTanaman………...

Tempat dan Waktu Penelitian ………... Tahap dan Metode Penelitian ... Pengamatan ...

15 15 19

HASIL DAN PEMBAHASAN 21

Kelimpahan Bakteri Endofit ... Bakteri Endofit Bersifat Antibiosis ... Bakteri Endofit sebagai Pemacu Pertumbuhan Tanaman ... Karakterisasi Morfologi dan Fisiologi Bakteri Endofit ... Potensi Bakteri Endofit di Rumah Kaca ...

(12)

Halaman No

1. Jumlah isolat bakteri endofit yang diisolasi dari tanaman jahe, kencur, tomat, dan jagung ... 21 2. Diameter Zona hambatan isolat bakteri endofit penghasil

bakteriosin ... 25 3. Persentase peningkatan pertumbuhan bibit mentimun pada umur 7

hari setelah diberi perlakuan bakteri endofit ... 28 4. Karakter morfologi dan fisiologi bakteri endofit isolat EJH6, ET9,

dan EJG14 ……… 30

(13)

Halaman No

1. Penampilan koloni bakteri endofit hasil isolasi (a) dan koloni bakteri endofit yang sudah dimurnikan (b) pada media TSA 22 2. Persentase bakteri endofit bersifat antibiosis hasil koleksi (a), dari

tanaman jae, kencur, tomat, dan jagung ... 23 3. Zona hambatan bakteri endofit dengan R. solanacearum (a) dan

koloni R. solanacearum pada media TTZA ………. 24 4. Persentase kelompok diameter hambatan bakteri endofit antibiosis

hasil koleksi (a), dari tanaman jahe, kencur, tomat, dan jagung (b) 25 5. Persentase peningkatan pertumbuhan bibit mentimun yang diberi

perlakuan bakteri endofit dibandingkan dengan kontrol …………. 27 6. Ciri pertumbuhan bakteri endofit isolate EJH6 dari tanaman jahe

(a), ET9 dari tomat (b), EJG14 dari jagung (c) ... 31 7. Grafik kejadian penyakit layu bakteri pada tanaman jahe yang

diaplikasi dengan bakteri endofit ... 32 8. Grafik keparahan penyakit layu bakteri pada tanaman jahe yang

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jahe (Zingiber officinale Rosc) adalah tanaman asli dari China Selatan yang juga dibudidayakan di daerah tropis dan sub tropis di dunia. Jahe

merupakan salah satu tanaman obat dengan klaim khasiat paling banyak, di

antaranya sebagai bumbu/penyedap makanan, bahan baku industri jamu, makanan

dan minuman kesehatan, fitofarmaka serta produk kosmetik dan perawatan tubuh

(SPA). Komoditas jahe, saat ini masih menempati urutan teratas dalam

penggunaan, sehingga masih memiliki peluang besar untuk terus dikembangkan.

Menurut data FAO (Camacho dan Brescia 2009), luas lahan dan produksi

jahe di seluruh dunia mengalami peningkatan sejak tahun 1999 dan diperkirakan

kecenderungannya akan terus meningkat di masa mendatang. Produksi jahe

dunia pada tahun 1999 adalah 952.222 ton meningkat menjadi 1.387.445 ton pada

tahun 2007. Hal yang sama terjadi pada luas lahan jahe di dunia yang juga

mengalami peningkatan beberapa tahun terakhir. Total luas lahan jahe dunia pada

tahun 1999 dari 762.318 acre (308.434 Ha) meningkat setiap tahunnya menjadi

1.060.818 acre (429.207 Ha) pada tahun 2007. Dalam beberapa tahun terakhir

China dan India secara terus menerus menempati urutan teratas dalam produksi

jahe segar dunia (lebih dari 50 %), diikuti Indonesia, Nepal and Nigeria. Tahun

1999 Indonesia menempati urutan ke 2 setelah China sebagai negara pengekspor

jahe terbesar di dunia, namun pada tahun 2000 - 2005 produksi jahe Indonesia

terus mengalami penurunan. Penurunan ini disebabkan adanya serangan penyakit

layu bakteri di daerah sentra pengembangan jahe utama di Jawa Barat.

Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum (Smith) Yabuuchi et al., merupakan salah satu penyakit penting dan merupakan kendala utama dalam produksi pada tanaman jahe di banyak negara beriklim

tropis dan sub tropis di dunia (Buddenhagen dan Kelman 1964; Hayward 1991).

Di Indonesia, penyakit layu bakteri jahe ditemukan pada tahun 1971 di Kuningan,

Jawa Barat (Sitepu 1991) kemudian menyebar ke daerah Jawa Barat, Jawa

Tengah, Jambi, Lampung, Bengkulu, dan Sumatera Utara. Penyakit ini dapat

(15)

Bakteri patogen R. solanacearum ditemukan di seluruh dunia dan memiliki kisaran inang yang luas termasuk dalam ratusan spesies rentan dari

sekitar 50 famili tumbuhan yang berbeda, sehingga sulit dikendalikan (Kelman et al 1994;. Hayward 1991). Strategi pengelolaan konvensional seperti rotasi tanaman, penyesuauan waktu tanam, teknik budaya dan pengelolaan tanah masih

belum efektif (Chellemi et al. 1997).

Pengendalian penyakit layu bakteri harus dilakukan secara terpadu

menggunakan varietas tahan, secara kultur teknis, pemakaian bibit yang sehat dan

secara hayati (Elphinstone dan Aley 1995). Pada kasus tanaman jahe, varietas

tahan dengan produksi rimpang yang memenuhi syarat sampai saat ini belum

diperoleh di samping itu belum ada cara pengendalian yang efektif untuk penyakit

layu bakteri. Oleh karena itu, perlu dicari alternatif lain dalam pengendalian

penyakit layu bakteri jahe. Salah satu diantaranya adalah pengendalian secara

hayati yang mungkin dapat diintegrasikan dengan cara-cara pengendalian lainnya.

Pengendalian hayati terhadap penyakit tanaman yang telah dikembangkan

saat ini umumnya bersifat langsung terhadap patogen, yaitu melalui kompetisi,

antibiosis atau parasit. Aspek lain yang perlu diteliti adalah potensi agen hayati

dalam menginduksi ketahanan tanaman. Menurut Tuzun dan Kuc (1991)

ketahanan tanaman dapat terinduksi dengan menginokulasi agen penginduksi

sehingga dapat melindungi tanaman terhadap patogen dan mekanisme ini dikenal

dengan imunisasi.

Alternatif pengendalian yang sedang dikembangkan adalah dengan

meningkatkan pertahanan tanaman melalui induksi ketahanan. Ketahanan

merupakan suatu kemampuan tanaman untuk mengendalikan pengaruh yang

ditimbulkan patogen atau faktor perusak lainnya secara keseluruhan atau

sebagian. Induksi ketahanan terjadi apabila terdapat agen penginduksi yang dapat

mengakibatkan tanaman mengalami peningkatan ketahanan pada saat diserang

patogen (Agrios 1997). Induksi ketahanan tidak didasarkan pada penekanan

patogen, melainkan pada pengaktifan mekanisme pertahanan tanaman (Steiner &

Schönbeck 1995).

Dasar pemikiran dari induksi ketahanan adalah bahwa gen untuk ketahanan

(16)

diekspresikan setelah adanya induksi ketahanan pada tanaman dan biasanya

akan terdeteksi oleh adanya inokulasi challenge (infeksi susulan) pada waktu dan lokasi yang berbeda. Respon ketahanan tanaman yang terinduksi dapat berupa

respon hypersensitive, sintesis, fitoaleksin, pembentukan callose, pembentukan

pathogenesis-related (PR) protein, ß-1-3-glukanase, kitinase, peroksidase dan proteinase inhibitor (Stermer 1995).

Sejumlah komponen diketahui dapat menginduksi ketahanan tanaman

ketika diaplikasikan secara eksogeneous pada tanaman. Komponen tersebut dapat

berupa komponen biotik seperti mikroorganisme patogenik dan non patogenik, ras

inkompatibel, komponen microbial, ekstrak tanaman dan komponen abiotik

seperti senyawa kimia sintetik, radiasi dan CO2 (Oku 1994). Salah satu

komponen yang dapat digunakan dalam induksi ketahanan adalah bakteri endofit.

Pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan bakteri endofitik

merupakan salah satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan,

berkesinambungan dan dapat diintegrasikan dalam program pengendalian hama

terpadu. Beberapa jenis bakteri endofit disamping sebagai agen biokontrol, juga

sebagai pemacu pertumbuhan tanaman, dan mengimunisasi ketahanan tanaman

terhadap patogen (Kloepper et al. 1999).

Bakteri endofit adalah bakteri yang mengkolonisasi jaringan internal

tanaman dan tidak menimbulkan pengaruh yang merugikan bagi tanaman

(Hallmann et al. 1997). Bakteri endofit sudah banyak dilaporkan berpotensi sebagai agens biokontrol untuk mengendalikan beberapa jenis patogen seperti

virus, fungi, bakteri, nematoda, dan beberapa serangga (Van Loon et al. 1998). Bakteri endofit dapat berasal dari biji (Adams dan Kloepper 1996), bahan

vegetatif tanaman (Sturz 1995), dan tanah rhizosfer maupun phylloplane

(Hallmann et al. 1997). Pada umumnya bakteri endofit masuk ke dalam jaringan tanaman melalui stomata, lenti sel, luka (termasuk patahnya trikhom), area yang

rentan pada perakaran tanaman, dan radikel perkecambahan (Huang 2001).

Bakteri endofit saat ini menjadi perhatian para peneliti karena

keberadaannya yang mempengaruhi mekanisme fisiologi tanaman. Terjadinya

penyimpangan mekanisme fisiologi tanaman yang mengarah kepada peningkatan

(17)

metabolit sekunder tertentu pada tanaman seperti tanaman obat (jahe) melalui

bakteri endofit. Senyawa yang menginduksi metabolit sekunder, elisitor, dapat

berupa polisakarida, oligosakarida, protein, glikoprotein dan asam lemak.

Komponen tersebut salah satu diantaranya dapat berupa komponen dinding sel

mikroorganisme (Dixon dan Lamb 1990).

Penelitian bertujuan untuk mendapatkan isolat-isolat bakteri endofit yang

potensial dalam mengendalikan penyakit layu bakteri pada jahe yang disebabkan

oleh bakteri Ralstonia solanacearum melalui induksi ketahanan.

Hipotesis

Hipotesis yang dapat diajukan adalah bakteri endofit yang diperoleh dapat

menginduksi ketahanan tanaman jahe terhadap R. solanacearum (EF Smith) Yabuchii et al. penyebab penyakit layu.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah mendapatkan isolat

bakteri endofit yang dapat menginduksi ketahanan tanaman jahe sebagai salah

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Jahe

Tanaman jahe adalah jenis herba tahunan, yang tumbuh di daerah tropis

dan subtropis di Asia dan Australia. Tanaman ini termasuk genus Zingiber dari famili Zingiberaceae yang terdiri dari sekitar 150 spesies. Zingiberaceae cukup penting sebagai tanaman rempah yang bermanfaat sebagai tanaman obat dan

mempunyai nilai ekonomi. Selain jahe (Z. officinale Rosc.) yang termasuk ke dalam famili Zingiberaceae antara lain bangle (Z. cassumunar) dan lempuyang wangi (Z. aromaticum) (Ravindran et al. 2004).

Tanaman jahe tumbuh merumpun, berakar serabut dan mempunyai batang

semu yang bebentuk bulat dengan tinggi antara 30 – 75 cm. Tumbuh tegak, tidak

bercabang, berwarna hijau muda, sering kemerahan pada bagian pangkal. Setiap

batang umumnya terdiri 8 – 12 helai daun, berdaun sempit memanjang

menyerupai pita dengan panjang 15 – 23 cm dan lebar sekitar 2,5 cm yang

tersusun teratur dua baris berseling. Bunga berupa malai yang tersembul pada

permukaan tanah seperti gada dengan panjang lebih kurang 25 cm. Rimpang jahe

beruas-ruas, gemuk, agak pipih tertanam kuat dalam tanah dan semakin

membesar dengan bertambahnya umur tanaman. Rimpang jahe mengandung

minyak atsiri yang aromatis dan oleoresin khas jahe (Rostiana et al. 1991, Rismunandar 1988).

Rimpang jahe mengandung minyak essensial α zingiberen yang tinggi.

Minyak jahe banyak digunakan dalam industri makanan dan minuman, misalnya

ginger ale, bir jahe, dan berbagai kue maupun makanan penutup. Industri

kosmetik, farmasi,dan parfum juga menggunakannya dalam jumlah kecil. kapsul

Jahe dapat digunakan untuk meredakan kelelahan, membantu pencernaan, dan

untuk mengobati penyakit reumatik.

Di Indonesia famili Zingiberaceae digunakan sebagai obat-obatan,

kosmetik dan bumbu masak. Species penting yang dikomersial adalah jahe,

kunyit, temulawak dan lengkuas. Penggunaan temu-temuan untuk obat-obatan

(19)

masih di bawah 20 % dari total temu-temuan (Kuntorini 2005). Industri tanaman

obat tradisional Indonesia mengalami peningkatan yang sangat nyata dari tahun ke

tahun. Jumlah perusahaan obat tradisional pada tahun 1981 mencapai 165 buah

meningkat menjadi 1.023 pada tahun 2003; dan pangsa pasarnya pada tahun 2010

diperkirakan mencapai Rp. 7,2 triliun (Syakir 2007).

Tipe jahe yang banyak di tanam di Indonesia dikenal ada tiga yang

didasarkan atas ukuran dan warna rimpang, yaitu jahe putih besar, jahe putih kecil

dan jahe merah. Jahe putih kecil dan jahe merah sebagian besar dimanfaatkan

dalam industri minuman penyegar dan bahan baku industri obat tradisional, herba

terstandar maupun fitofarmaka (Bermawie et al. 2006). Jahe putih besar banyak digunakan untuk sayur, makanan, minuman, permen dan rempah-rempah

(Januwati 1999). Kontribusi Jahe di dalam perdagangan rempah-rempah dunia

sekitar 90% dibandingkan dengan rempah-rempah lainnya, seperti lada, cengkeh,

kayu manis, pala, dan kapulaga (Nakatani dan Kikuzaki, 2002).

Penyakit Layu Bakteri pada Tanaman Jahe

Penyakit layu bakteri tanaman jahe yang disebabkan oleh R. solanacearum (EF Smith) Yabuuchi et al. (sebelumnya disebut Pseudomonas solanacearum (EF Smith) merupakan kendala budidaya jahe. Penyakit ini sulit sekali ditanggulangi,

antara lain karena patogen ini mampu bertahan dalam tanah dalam waktu yang

cukup lama dan mempunyai sekitar 250 jenis tumbuhan dari 44 famili yang

dilaporkan dapat menjadi inang dari R. solanacearum (Hayward, 1991).

Supriadi (2000), melaporkan ada sekitar 124 jenis tanaman inang dari R. solanacearum adalah tanaman-tanaman yang berkhasiat obat. Beberapa jenis diantaranya merupakan komoditas penting yang banyak digunakan dalam industri

(20)

Hayward (1991), Denny dan Hayward (2001) menyebutkan bahwa R. solanacearum bersifat gram negatif, berbentuk batang dengan ukuran 0,5–0,7 x 1,5–2,5 µm, oksidase dan katalase positif, mengakumulasi poly-ß-hydroxibutirat sebagai sumber karbon, dan dapat mereduksi nitrat.

Gejala penyakit layu bakteri jahe yang paling mudah dilihat adalah

tanaman menjadi layu dan mati. Sebelum itu dapat diamati beberapa gejala

seperti daun menguning, pada pangkal batang dekat dengan rimpang ditemukan

bercak-bercak memar. Batang mudah dilepas dari rimpangnya dan kalau dicium

berbau busuk. Rimpang dari tanaman yang terserang menjadi lunak dan berbau

busuk. Bila batang dipotong kemudian direndam ujungnya dalam air jernih maka

bakteri yang ada di dalam jaringan pembuluh kayu akan keluar berupa gumpalan

berwarna putih. Dalam beberapa waktu warna air berubah dari jernih menjadi

keruh (putih susu).

Gejala penyakit di lapang umumnya baru muncul setelah tanaman jahe

berumur 2-3 bulan dan perkembangan gejala berlangsung dengan cepat (2-3

minggu) setelah infeksi (Supriadi, 1994). Berdasarkan kisaran inangnya, R. solanacearum dikelompokkan ke dalam 5 ras berdasarkan perbedaan tanaman inang utamanya, yaitu: ras 1 dengan inang fa mili Solanaceae dan Leguminosae,

ras 2 dengan inang tanaman pisang dan Heliconia spp., ras 3 dengan inang tanaman kentang dan tomat, ras 4 dengan inang tanaman jahe, dan ras 5 dengan

inang tanaman mulberry (Buddenhagen & Kelman 1964; He 1986). Khusus

untuk ras 4 (jahe), juga menyerang beberapa komoditas bernilai ekonomi tinggi,

dan beberapa jenis gulma. Misalnya, dari kelompok terung-terungan adalah

(21)

Penyebaran R. solanacearum terutama melalui benih, ras jahe menyebar cukup luas, meliputi Australia, China, Thailand, Malaysia, Hawaii, dan Indonesia

akibat terbawa benih jahe yang sudah terkontaminasi patogen (Hayward 1991;

Supriadi 1999). Penyebaran R. solanacearum di dalam kebun umumnya berlangsung melalui eksudat akar yang keluar dari tanaman sakit, kemudian

menginfeksi akar-akar tanaman sehat disekitarnya (Supriadi et al. 2000). Pegg dan Moffett (1971), menyimpulkan bahwa R. solanacearum strain jahe dapat bertahan hampir 2 tahun di dalam lahan bekas pertanaman jahe di Queensland,

Australia.

Strategi Pengendalian Penyakit Layu bakteri

Berbagai cara pengendalian telah diupayakan untuk menekan

perkembangan penyakit layu bakteri R. solanacearum dengan keberhasilan yang masih terbatas. Penyakit layu bakteri adalah masalah utama dan menjadi salah

satu kendala dalam produksi jahe dan tanaman sayuran lainnya karena sebaran

geografisnya sangat luas, banyak tanaman inangnya, mampu bertahan lama di

dalam tanah, variabilitas genetik, epidemiologi dan cara penularan yang

kompleks.

Strategi pengendalian layu bakteri yang umum dilakukan adalah : pemilihan

rimpang sehat dari daerah bebas penyakit; penentuan lahan yang sebelumnya

tidak memiliki riwayat layu bakteri, perlakuan rimpang dengan aplikasi panas atau

bahan kimia; sanitasi yang ketat di lapangan, termasuk pembatasan gerakan

pekerja pertanian dan air irigasi di lapangan; teknik budidaya dan pengolahan

tanah minimum; rotasi tanaman dengan tanaman bukan inang seperti padi dan

jagung; perlakuan tanah, termasuk agen pengendalian biologis, pengendalian

hama serangga dan nematoda di lapangan (Kumar dan Hayward 2005).

Strategi pengendalian yang dapat diterapkan pada tanaman obat, seperti

jahe adalah pencegahan masuknya patogen pada lahan yang masih sehat. Strategi

ini tergantung pada ketersediaan benih sehat dan informasi sejarah penggunaan

lahan. Pertanaman yang akan dijadikan sebagai sumber benih harus memenuhi

(22)

lapangan, untuk itu perlu dilakukan monitoring secara periodik, minimal 2 kali

(Supriadi et al. 2000).

Menurut French (1994) dalam Supriadi (2000), pengendalian penyakit layu bakteri bisa dengan pendekatan ras patogen. Faktor yang harus diperhatikan

untuk mengembangkan strategi pengendalian penyakit layu bakteri yang

disebabkan oleh R. solanacearum ras 1 dan ras 3, diantaranya adalah lahan bebas penyakit, pengendalian nematoda, bibit sehat, tanaman tahan, perlakuan tanah

dengan pemanasan maupun “soil amendments”, rotasi, tumpang sari, dan

pembuangan gulma di kebun.

Strategi untuk menghadapi R. solanacearum pada tanaman obat dapat mengikuti pola pendekatan ras 1. Pemilihan lokasi merupakan salah satu faktor

yang kontribusinya paling penting dalam keberhasilan pengendalian penyakit layu

bakteri pada jahe. Tanah yang tidak memiliki riwayat penyakit layu bakteri akan

menghasilkan tanaman jahe yang sehat jika rimpang yang ditanam bebas dari

patogen. Lahan sawah berpeluang sebagai lahan bebas penyakit, karena tanah

sawah terus menerus dalam keadaan tergenang megakibatkan anaerob R. solanacearum tidak akan bertahan hidup lama (Supriadi 2000). Tindakan pencegahan patogen lebih luas di lapang dapat dilakukan dengan mengeradikasi

tanaman sakit apabila sebaran patogen masih berada pada areal terbatas. Kunci

keberhasilan tidak merebaknya R. solanacearum pada tanaman jahe di Australia karena dilakukannya tindakan eradikasi dan karantina yang ketat pada tahun

1960an sehingga sampai saat ini Australia bebas dari R. solanacearum ras 4 jahe (Hayward 1991).

Bibit jahe tahan nematoda merupakan faktor penting dalam pengendalian

layu bakteri setelah lahan bebas penyakit. Nematoda berperan utama dalam

membuat luka pada sistem perakaran tanaman sehingga mempermudah R. solanacearum masuk/menginfeksi tanaman (Mustika 1996). Menanam varietas tahan adalah cara yang paling efisien, mudah, dan praktis, tetapi tidak mudah

(23)

mendapatkan varietas jahe tahan dilakukan melalui pemuliaan inkonvensional

seperti somaklonal dan fusi protoplas, sebagaimana dilakukan oleh Ibrahim

(2009), yang telah mendapatkan somaklonal jahe yang mengindikasikan

ketahanan terhadap toksin yang dihasilkan oleh R. solanacearum.

Keberhasilan agen pengendali hayati yang mampu untuk bersaing dengan

mikroba lain di dalam mikroflora tanah, dengan menghasilkan antibiotik atau

menginduksi tanaman inang dalam meningkatkan pertahanan tanaman untuk

menghambat pertumbuhan R. solanacearum sudah banyak dilaporkan. Bakteri antagonis strain avirulen R. solanacearum efektif dalam mengendalikan layu pada kacang tanah. Bakteri endofit strain liar 358 adalah agen pengendali layu bakteri

yang potensial (Frey et al. 1993).

Induksi Ketahanan Tanaman

Tanaman mempertahankan diri terhadap infeksi patogen dalam bentuk

struktur anatomis dan sistem fisiologis yang diaktifkan oleh suatu sinyal (induksi

ketahanan). Pertahanan dalam bentuk sistem fisiologis ini bersifat laten dan

hanya terjadi apabila ada penginduksi yang tepat (Van Loon 1997), seperti infeksi

patogen non kompatibel atau terserapnya senyawa bioaktif (Sequeira et al. 1977, Dixon & Lamb 1990).

Induksi ketahanan tanaman merupakan aktivitas pertahanan tanaman untuk

melindungi diri dari patogen atau hama melalui pengaktifan mekanisme

ketahanan tanaman (Ouchi 1983). Mekanisme pertahanan tanaman terjadi akibat

perlakuan agens penginduksi ketahanan dan infeksi challenge. Agens penginduksi akan diterima dan dikenali oleh reseptor tanaman yang berada diluar

dan/atau pada membran sel. Agens penginduksi ketahanan bisa berperan sebagai

sinyal itu sendiri atau hanya memicu sintesis sinyal tertentu yang ditransduksikan

ke bagian tanaman lain. Sinyal tersebut diproduksi di satu bagian tanaman dan

berperan di bagian lain. Transduksi sinyal dapat ditransfer secara intraseluler dan

interseluler sehingga menyebabkan perlindungan sistemik. Beberapa sinyal yang

terlibat dalam induksi ketahanan adalah asam salisilat (SA), asam jasmonat,

(24)

Pengaktifan reaksi ketahanan ditandai dengan adanya perubahan aktivitas

gen tanaman yang diindikasikan oleh suatu metilasi DNA genom setelah aplikasi

agens penginduksi tertentu. Dalam ketahanan terinduksi terjadi peningkatan

aktivitas enzim dalam lintasan produksi metabolit tertentu dan peningkatan jumlah

produksi gen primer seperti kitinase, β-1,3-glukanase, peroksidase, pathogenesis

related (PR) protein. Sintesis protein-protein ini tampaknya diregulasi pada level

mRNA (Park & Kloepper 2000).

Hoffland et al. 1996, mengemukakan bahwa induksi ketahanan oleh bakteri non-patogenik umumnya tidak menimbulkan dampak bunuh diri

(hypersensitivity/ programmed cell death). Dampak fenotipik yang teramati berupa induksi ketahanan secara sistemik (induced systemic resistance atau ISR). ISR ditujukan pada penekanan perkembangan penyakit tanpa adanya hubungan

langsung antara bakteri penginduksi dengan patogen pada tempat infeksi.

Menurut Sticher et al. (1997), beberapa hal yang membedakan antara mekanisme ISR dengan antagonisme, antara lain : tidak ada pengaruh toksik dari stimulan

terhadap patogen, sifat induksi ketahanan menurun bila inhibitor (aktinomisin D)

diaplikasikan, dan tidak ada korelasi dengan produksi metabolit toksik dari

stimulan.

Mulya et al. (1996) melaporkan adanya kelompok bakteri yang mempunyai habitat pada risosfer tanaman atau disebut dengan risobakteri yang

dapat mengkolonisasi jaringan dan menginduksi ketahanan tanaman. Bakteri

Pseudomonas fluorescens PfG32R dapat hidup dalam jaringan daun tembakau dan menginduksi aktivitas enzim fenilalanin amoniliase. Kemampuan hidup dan

menginduksi ensim tersebut diduga ada kaitannya dengan keberadaan gen yang

memiliki homology dengan gen asal patogen yang mengkode hipersensitivitas dan

patogenesitas, yaitu gen hrp. Risobakteri diaplikasikan melalui pencampuran dengan tanah steril, perendaman akar bibit tanaman atau pelapisan biji (Kloeper

1996).

Faktor-faktor yang menentukan induksi ketahanan oleh risobakteri

meliputi produksi asam salisilat, siderofor, dan lipopolisakarida (LPS). Pada

risosfer tanaman tembakau atau kacang buncis dimana ketersediaan ion besi

(25)

asam salisilat. Asam salisilat tersebut menjadi faktor penentu dalam induksi

ketahanan tanaman tembakau terhadap tobacco mosaik virus (TMV) atau

ketahanan kacang buncis terhadap Botrytis cinerea (Sticher et al. 1997).

Bakteri Endofit

Keberadaan mikroorganisme non-patogenik dalam jaringan tanaman tanpa

menimbulkan gejala penyakit telah lama diketahui (Trevet dan Hollis 1948).

Mikroorganisme tersebut dikenal sebagai endophytic microorganisms, termasuk bakteri endofit. Pada tanaman hortikultura musiman populasi bakteri endofit

dalam jaringan tanaman dapat mencapai 107 cfu per gram tanaman, sedangkan

pada tanaman tahunan seperti pinus berkisar antara 105 cfu per gram tanaman.

Berbagai spesies bakteri endofit terisolasi dari berbagai jenis tanaman dan

dapat menginduksi ketahanan tanaman. Kemampuan bakteri untuk hidup dalam

jaringan tanaman, sifat antagonisme terhadap patogen dan kemampuan

menginduksi ketahanan merupakan sifat menonjol dari bakteri endofit (Nejad dan

Johnson 2000). Keberadaan bakteri langsung dalam jaringan tanaman

mengurangi cekaman lingkungan yang sering mempengaruhi efektifitas

pengendalian. Strain bakteri tertentu selain menginduksi ketahanan juga dapat

memperbaiki pertumbuhan tanaman, meningkatkan ketahanan terhadap

kekeringan dan mencegah infeksi nematoda (Chanway 1998).

Bakteri endofit umumnya mengkolonisasi bagian interselluler dari

jaringan tanaman dan hanya sedikit laporan mengenai kolonisasi bakteri endofit

pada daerah intra seluler. Disamping itu bakteri endofit juga dapat

mengkolonisasi sistem pembuluh dan dapat ditranslokasikan secara sistemik ke

seluruh bagian tanaman (Hallmann et al. 1997).

Mekanisme bakteri endofit dalam menginduksi ketahanan tanaman yang

telah dilaporkan adalah menstimulasi akumulasi senyawa antimikrobia yang

merupakan suatu substansi dengan berat molekul rendah seperti fitoaleksin dan

senyawa fenol, pembentukan pathogegenesis-related protein (protein-PR), dan

pembentukan barier sel tanaman baik barier fisik maupun kimiawi dengan

(26)

kaya akan hidroxiproline sehingga patogen tidak dapat menyebar ke dalam

jaringan tanaman.

Beberapa spesies bakteri endofit yang telah dilaporkan diantaranya adalah

(27)
(28)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Hama dan Penyakit

dan rumah kaca Balai penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO),

Bogor; pada bulan Oktober 2008 – Januari 2010.

Kelimpahan bakteri endofit

Eksplorasi bakteri endofit dilakukan di daerah sentra produksi tanaman

obat. Beberapa contoh tanaman obat (jahe, kencur, kunyit) yang tidak

menunjukkan gejala penyakit (tanaman sehat). Bagian tanaman yang diambil

adalah rimpang, akar atau batang. Selanjutnya contoh tanaman diisolasi di

laboratorium bakteri BALITTRO.

Isolasi bakteri endofit dilakukan dengan cara mensterlisasi permukaan

akar/batang menggunakan larutan NaOCL 10 dan air steril. Air cucian yang

terakhir ditumbuhkan pada media 1/10 Tryptic Soy Agar (TSA), kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC. Bila pada medium tidak ada mikroorganisme

yang tumbuh menandakan sterilisasi permukaan sudah berhasil. Contoh tanaman

yang telah disterilisasi permukaannya digerus dengan mortar steril sampai halus

dan diencerkan dengan air steril. 0,1 ml suspensi ekstrak tanaman ditumbuhkan

pada medium 1/10 TSA dan diinkubasikan pada suhu 37oC selama 48 jam.

Setelah 48 jam koloni bakteri yang tumbuh dimurnikan dan diperbanyak pada

medium TSA. Isolat bakteri endofit dikoleksi dan disimpan dalam botol berisi air

steril untuk diuji potensinya.

Isolasi bakteri patogen

(29)

dimasukkan kedalam tabung reaksi berisi air steril. Setelah 5 menit, suspensi

bakteri yang terbentuk digoreskan pada medium selektif Tryphenyl Tetrazolium Chloride (TTZA) dengan menggunakan jarum ose. Selanjutnya diinkubasikan pada suhu 37oC selama 48 jam. Koloni bakteri virulen yang tumbuh dimurnikan

dan diperbanyak pada medium Sucrose Peptone Agar (SPA). Isolat bakteri murni disimpan dalam botol berisi air steril dan siap untuk digunakan.

Seleksi sifat antibiosis secara in vitro

Isolat bakteri endofit yang diperoleh dari hasil isolasi diseleksi untuk

mendapatkan isolat potensial. Isolat diseleksi berdasarkan kemampuannya

memproduksi bakteriosin. Isolat ditumbuhkan pada medium SPA dalam cawan

petri dengan metode titik dan diinkubasikan pada suhu 37oC selama 48 jam.

Setelah biakan tumbuh dimatikan dengan uap chloroform selama 30 menit

kemudian dituangi dengan suspensi R. solanacearum dengan kerapatan populasi 108 cfu/ml (OD600 = 0,1) dan diinkubasikan lagi selama 24 jam. Pengamatan

dilakukan terhadap zona bening (hambatan) yang terbentuk disekitar koloni

bakteri endofit dan diukur diameternya. Diamater zona hambatan dikelompokkan

menjadi tiga kategori, yaitu lemah (< 8mm), sedang (8 - 16 mm), dan kuat (> 16

mm).

Isolat bakteri endofit yang mampu memproduksi bakteriosin atau bersifat

antibiosis dikoleksi untuk diuji potensinya dalam meningkatkan pertumbuhan

tanaman pada benih dan tanaman mentimun di rumah kaca.

Uji potensi dalam memacu pertumbuhan tanaman

Biakan bakteri endofit berumur 48 jam disuspensikan dengan akuades

steril hingga diperoleh kerapatan 108 cfu/ml. Benih mentimun yang telah

disterilkan permukaanya dengan larutan natrium hipoklorit 1 % kemudian dibilas

dengan akuades selanjutnya ditumbuhkan dalam nampan perkecambahan yang

berisi campuran, pasir, dan pupuk kandang steril dengan perbandingan 2 : 1 : 1

didalam rumah kaca pada suhu kamar. Masing-masing suspensi bakteri endofit

(30)

diteteskan akuades steril dengan volume yang sama. Perlakuan diulang sebanyak

10 kali. Pengamatan dilakukan satu minggu setelah perlakuan terhadap panjang

akar dan jumlah akar serabut bibit mentimun. Peningkatan pertumbuhan tanaman

dihitung berdasarkan persentase panjang akar dan jumlah akar serabut bibit

mentimun yang diberi perlakuan bakteri endofit dibandingkan dengan kontrol.

Isolat bakteri endofit antibiosis yang berpotensi meningkatkan

pertumbuhan tanaman dikarakterisasi dan diidentifikasi untuk digunakan dalam

pengujian induksi ketahanan di rumah kaca.

Karakterisasi bakteri endofit

Isolat bakteri endofit bersifat antibiosis yang berpotensi meningkatkan

pertumbuhan tanaman dikarakterisasi berdasarkan sifat morfologi koloni dan

fisiologinya sebagaimana diuraikan dalam Supriadi (1994), Kerr (1980) dan

Schaad et al. (2001). Beberapa tahapan yang dilakukan, antara lain :

Karakter koloni.

Bakteri endofit ditumbuhkan pada medium SPA dan King’s B Agar

(KBA) dan diinkubasikan pada suhu 37oC selama 48 jam. Karakter koloni bakteri

yang tumbuh diamati. Menurut Kerr (1980), pembentukan pigmen fluorescens

ditandai oleh adanya warna kuning kehijauan yang berpendar di bawah cahaya

ultra violet).

Reaksi Gram.

Pada permukaan kaca objek diletakkan 1-2 tetes KOH 3%. Koloni bakteri

dicampur dengan KOH menggunakan jarum ose selama 10 detik. Koloni yang

membentuk lendir dan bila ditarik seperti benang menandakan bereaksi positif

atau termasuk gram negatif, sebaliknya bila tidak berlendir bereaksi negatif atau

(31)

Reaksi oksidatif/fermentatif.

Isolat bakteri ditusukkan ke dalam dua tabung reaksi yang berisi medium

oksidatif-fermentatif, satu tabung ditutup dengan parafin cair steril dan satu lagi

dibiarkan terbuka kemudian diinkubasikan selama 7 hari. Medium yang berwarna

kuning pada tabung terbuka dan tertutup menandakan reaksi fermentatif,

sedangkan reaksi oksidatif ditandai terbentuknya warna kuning pada medium

hanya pada tabung yang terbuka (Kerr, 1980).

Hidrolisis arginin.

Isolat bakteri ditusukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi medium

arginin dan diinkubasikan selama 7 hari. Terjadinya hidrolisis arginin ditandai

dengan perubahan warna merah pada media (Kerr, 1980).

Reaksi hipersensitif.

Isolat bakteri ditumbuhkan pada medium TSA dan diinkubasikan pada

suhu 37oC selama 48 jam, selanjutnya disuspensikan dalam air steril hingga

diperoleh kerapatan populasi 108 (OD600 = 0,1). Suspensi bakteri diinjeksikan

pada tulang sekunder daun tembakau. Isolat yang bersifat patogen terlihat dari

gejala putih transparan, kematian jaringan daun (collapse) dalam waktu 24 – 48 jam setelah injeksi (Lelliot dan Stead, 1987).

Uji potensi di rumah kaca

Efektifitas isolat bakteri endofit yang bersifat antibiosis kuat dan

berpotensi meningkatkan pertumbuhan tanaman diuji di rumah kaca. Bibit jahe

yang digunakan adalah jahe putih besar. Aplikasi bakteri endofit dengan cara

penyiraman 50 ml suspensi bakteri endofit 108 cfu/ml kedalam polibag yang telah

ditanami bibit jahe umur 2 bulan, sebagai kontrol dilakukan penyiraman dengan

(32)

diinokulasi R. solanacearum isolat T-954 dengan cara menyiramkan 25 ml ml/tanaman inokulum dengan kerapatan populasi 108 cfu/ml (OD600 = 0,1).

Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL)

dengan jumlah perlakuan tiga isolat bakteri endofit yang paling berpotensi dari uji

in-vitro diulang tiga kali. Masing-masing unit perlakuan terdiri dari 10 bibit.

Peubah yang diamati

Kejadian penyakit

Kejadian penyakit dihitung dengan menggunakan rumus :

P = a / b x 100 %

Keterangan : P = Kejadian penyakit layu

a = Jumlah tanaman yang menunjukan gejala layu

b = Jumlah tanaman yang diamati

Keparahan penyakit

Indeks penyakit dihitung menggunakan rumus seperti digunakan oleh

Winstead dan Kelman (1954), Arwiyanto et al. (1994) yang dimodifikasi. Keparahan penyakit dihitung berdasarkan skala :

0 = tidak ada gejala daun menguning

1 = 10 % daun menguning

2 = 20 – 50 % daun menguning

3 = semua daun menguning kecuali daun pucuk

4 = semua daun menguning

(33)

Rumus keparahan penyakit (KP) adalah :

(n1 x 1) + (n2 x 2) + (n3 x 3) + n4 x 4) + (n5 x 5)

K P = x 100 % N x 5

n1 …5 = jumlah tanaman dengan skala penyakit tertentu

0, 1, …, 5 = skala penyakit

N = Jumlah tanaman pada tiap perlakuan

Penekanan penyakit

Indeks penekanan penyakit dihitung dengan rumus :

DIc – DIb

Indeks penekanan penyakit = x 100 % DIc

DIc = Indeks penyakit pada kontrol

DIb = indeks penyakit pada perlakuan agens biokontrol

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara statistika dengan dengan menggunakan

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelimpahan bakteri endofit

Hasil eksplorasi dan isolasi bakteri endofit dari akar, rimpang, dan batang

tanaman jahe, kencur, tomat, dan jagung disajikan pada Tabel 1. Bakteri endofit

yang diperoleh sebanyak 222 isolat, paling banyak diperoleh pada bagian akar

dibandingkan pada bagian batang tanaman. Banyaknya isolat bakteri endofit

yang diperoleh menunjukkan bahwa keberadaan bakteri endofit di alam

berlimpah.

Tabel 1 Jumlah isolat bakteri endofit yang diisolasi dari tanaman jahe, kencur, tomat, dan jagung

Tanaman Asal Bagian Isolat

Akar Rimpang/

batang

∑ (%)

Jahe Sukabumi 13 32 45 20,27

Kencur Bogor 21 12 33 14,86

Tomat Lembang 36 24 60 27,03

Jagung Bogor 45 39 84 37,84

Jumlah 222 100

Data Tabel 1 menunjukkan bahwa bakteri endofit bisa ditemukan di dalam

jaringan tanaman pada bagian akar, batang, maupun rimpang temu-temuan seperti

kencur dan jahe. Sebagaimana dikemukakan oleh Adams dan Kloepper (1996),

bahwa bakteri endofit dapat berasal dari biji dan bahan vegetatif tanaman.

Selanjutnya Zinniel et al. (2002), mengemukakan bakteri endofitik dapat diisolasi dari bagian akar, batang, bunga, dan kotiledon. Bakteri dapat masuk melalui

proses perkecambahan biji, akar-akar sekunder stomata, atau melalui kerusakan

yang terjadi pada daun. Di dalam tanaman, bakteri endofitik dapat terlokalisir

pada bagian dimana bakteri tersebut mulai masuk atau menyebar ke bagian

tanaman lainnya. Di dalam jaringan tanaman bakteri berada di dalam sel, diruang

(35)

Hasil isolasi bakteri endofit diperoleh jumlah isolat yang bervariasi,

dengan urutan pertama diperoleh dari tanaman jagung (37,84 %), diikuti tanaman

tomat (27,03 %), tanaman jahe (20,27 %), dan terendah dari tanaman kencur

(14,86 %), dengan peluang diperoleh bakteri endofit paling banyak pada bagian

akar. Liang et al. (2003), melakukan pengamatan terhadap kolonisasi bakteri endofit tomat 01-144 pada akar dan batang tanaman tomat. Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa bakteri endofit lebih kuat mengkolonisasi akar dibandingkan

batang dan fluktuasi populasi pada bagian akar juga lebih tinggi.

Gambar 1 Penampilan koloni bakteri endofit hasil isolasi (a) dan koloni bakteri endofit yang sudah dimurnikan (b) pada media TSA

Peranan bakteri endofit di dalam jaringan tanaman tomat dan jagung sudah

banyak dilaporkan, diantaranya bakteri endofit yang diisolasi dari tanaman jagung

efektif terhadap Fusarium moniliforme (Bacon 1998), dan bakteri endofit P. fluorescens dari tanaman tomat efektif terhadap R. solanacearum (Trevet dan Hollis 1948). Lebih lanjut dikemukakan oleh Hartman et al. (1992) bahwa P. fluorescens dan P. gladiol dapat menekan pertumbuhan R. solanacearum sebesar 60-90 % pada tanaman tomat.

Sebaliknya peranan bakteri endofit di dalam jaringan tanaman

temu-temuan seperti jahe dan kencur belum banyak diketahui. Studi pustaka dari

berbagai sumber juga menunjukkan belum adanya informasi tentang keberadaan

dan peran bakteri endofit di dalam tanaman jahe dan kencur. Oleh karena itu,

isolat-isolat bakteri endofit yang diperoleh dari kedua tanaman tersebut perlu

(36)

dikarakterisasi, khususnya kemungkinan sebagai agens hayati untuk pengendalian

penyakit layu bakteri.

Bakteri endofit bersifat antibiosis

Kemampuan bakteri endofit dalam menghambat pertumbuhan bakteri

patogen R. solanacearum merupakan langkah pertama dalam pemilihan agen biokontrol potensial. Hasil pengujian secara in vitro menunjukkan, dari 222 isolat

bakteri endofit yang diperoleh terdapat 39 atau 18 % di antaranya mampu

memproduksi bakteriosin atau bersifat antibiosis, sedangkan 82 % sisanya tidak

bersifat antibiosis (Gambar 2).

Gambar 2 Persentase bakteri endofit bersifat antibiosis hasil koleksi (a), dari tanaman jahe, kencur, tomat, dan jagung (b)

Terbentuknya zona bening (hambatan) di sekitar koloni bakteri endofit

mengindikasikan adanya senyawa antibiotik yang dikeluarkan oleh bakteri endofit

yang diuji untuk menghambat perkembangan bakteri patogen R. solanacearum penyebab penyakit layu pada tanaman jahe. Hal ini menunjukkan bakteri endofit

tersebut mempunyai mekanisme penekanan secara antibiosis. 82%

18%

Bakteri

 

endofit

non antibiosis antibiosis

a

0 20 40 60 80 100

Jahe Kencur Tomat Jagung

Endofit Antibiosis

(37)

Gambar 3. Zona hambatan bakteri endofit dengan R. solanacearum (a) dan koloni R. solanacearum pada media TTZA (b)

Bakteri endofit mampu menekan bakteri patogen R. solanacearum secara in vitro karena pada kondisi laboratorium, bakteri endofit hanya berhadapan

dengan patogen dalam lingkungan yang kaya nutrisi, sehingga muncul potensinya

dalam menghambat perkembangan patogen.

Zona hambatan yang terbentuk bervariasi, dengan diameter hambatan

berkisar antara 3 mm sampai 24 mm. Bakteri endofit yang menunjukkan sifat

antibiosis paling tinggi berasal dari tanaman jagung (41,03 %), berturut-turut

diikuti isolat dari tanaman jahe (28,20 %), tomat (25,64 %), dan kencur (5,13 %).

Diameter hambatan dikelompokkan dengan kategori lemah (1 – 8 mm), sedang

(9-16 mm), dan kuat (17-24 mm). Walaupun isolat dari tanaman jahe termasuk ke

dalam urutan kedua setelah jagung, tapi sifat antibiosis yang dimiliki mayoritas

bersifat lemah (Tabel 2).

(38)

Tabel 2. Diameter zona hambatan isolat bakteri endofit penghasil bakteriosin.

Diameter zona hambatan yang terbentuk dari kelompok kuat (13 %) dan

sedang (33 %) terbanyak dari tanaman jagung, sedangkan kelompok lemah (54 %)

dari tanaman kencur dan jahe (Gambar 4). Sifat menonjol dari bakteri endofit

adalah kemampuannya untuk hidup dalam jaringan tanaman, sifat antagonisme

terhadap patogen dan kemampuan untuk menginduksi ketahanan (Nejad dan

Johnson 2000).

Gambar 4 Persentase kelompok diameter hambatan bakteri endofit antibiosis

hasil koleksi (a) dari tanaman jahe, kencur, tomat, dan jagung (b)

Antibiosis merupakan salah satu mekanisme penghambatan pertumbuhan

patogen oleh agens antagonis dan berperan penting dalam mengendalikan

(39)

diisolasi dari tanaman kentang dan jagung dilaporkan dapat mengendalikan

patogen, dengan mekanisme pengendalian menghasilkan senyawa antibiosis

(Hinton dan Bacon 1995).

Antibiotik yang dihasilkan agens antagonis menyebabkan pertumbuhan

patogen terhambat. Antibiotik phenazine-1-1 carboxylate yang dihasilkan P. fluorescens 2-79 dapat aktif pada media yang kekurangan unsur Fe, seperti pada media KBA sehingga dapat menekan pertumbuhan patogen (Thomashow dan

Weller 1998). P. cepacia menghasilkan antibiotik phenazine carboxylic acid juga senyawa pengikat besi cephabactin (Meyer et al. 1989). Bacillus sp strain Ba-118 dan P. putida strain pf-20 telah dilaporkan menunjukkan aktivitas antibiosis secara in vitro terhadap R. solanacearum bakteri patogen penyebab layu pada tanaman tembakau. Kedua bakteri tersebut juga mampu menekan perkembangan

penyakit layu bakteri baik di rumah kaca maupun di lapangan (Arwiyanto dan

Hartana 2001).

Kebaradaan bakteri endofit dalam tanaman jagung sudah banyak diteliti

dan diuji potensinya sebagai agens hayati. Eliza (2004), melaporkan bahwa

peluang terbesar dari bakteri yang diisolasi dari empat jenis tanaman dengan

kemampuan antibiosis tertinggi didapatkan dari bakteri endofit akar jagung yaitu

sebesar (37,9 %).

Bakteri endofit sebagai pemacu pertumbuhan tanaman (PGPR)

Bakteri endofit yang mampu menghambat perkembangan R. solanacearum secara invitroselanjutnyadiseleksi potensinya dalam meningkatkan pertumbuhan

tanaman secara in vivo pada tanaman mentimun di rumah kaca (Gambar 5).

Hasil pengujian 39 isolat bakteri endofit antibiosis dalam meningkatkan

pertumbuhan tanaman secara in vivo pada tanaman mentimun menunjukkan

bahwa, beberapa isolat bakteri endofit mampu meningkatkan pertumbuhan

tanaman. Kemampuan isolat bakteri endofit dalam meningkatkan pertumbuhan

(40)

Gambar 5 Pertumbuhan bibit mentimun yang diberi perlakuan bakteri endofit

Hasil pengamatan menunjukkan tidak semua isolat bakteri endofit bersifat

antibiosis yang diuji mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman mentimun

dibandingkan dengan tanaman kontrol (yang bernilai minus tidak mampu

meningkatkan pertumbuhan). Peningkatan pertumbuhan tanaman tertinggi

terdapat pada tanaman mentimun yang beri perlakuan isolat bakteri endofit

antibiosis yang berasal dari tanaman jagung, yaitu sebesar 35,96 % diikuti dari

tanaman tomat (33,40 %), dan tanaman jahe (31,34 %). Peningkatan

pertumbuhan ini diduga karena keberadaan bakteri endofit yang menyebabkan

jumlah akar dan panjang akar lateral meningkat dan memacu pertumbuhan

tanaman. Akar lateral dapat memperluas daerah penyerapan unsur hara oleh

tanaman sehingga kebutuhan nutrisi lebih cepat terpenuhi dan mampu

meningkatkan pertumbuhan tanaman (Vasudevan et al. 2002).

Isolat bakteri endofit yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman

mentimun dengan persentase tertinggi dibandingkan dengan kontrol yang akan

diuji lebih lanjut potensinya sebagai agens hayati terhadap R. solanacearum pada tanaman jahe. Pemilihan tersebut sejalan dengan pendapat Kloepper et al. (1999), bahwa mayoritas agens hayati yang berpotensi memiliki kemampuan dalam

(41)

Tabel 3. Persentase peningkatan pertumbuhan bibit mentimun mentimun pada umur 7 hari setelah diberi perlakuan bakteri endofit.

Panjang akar Jumlah akar lateral Peningkatan*)

Perlakuan Panjang (cm) Peningkatan (%) Jumlah Peningkatan (%) Pertumbuhan (%)

Kontrol 3,76 0,00 10,37 0,00 0,00

(42)

Hasil seleksi pada Tabel 3 menunjukkan terdapat tiga isolat bakteri endofit

yang mampu meningkatkan pertumbuhan perakaran tanaman mentimun tertinggi.

Ketiga isolat tersebut berasal dari tanaman jahe (EJH6), tomat (ET9), dan

jagung (EJG14) yang selanjutnya akan digunakan dalam uji potensi dalam

menekan perkembangan penyakit layu bakteri R. solanacearum pada tanaman jahe di rumah kaca.

Mekanisme utama peningkatan pertumbuhan adalah mekanisme

penyerapan nutrisi oleh tanaman. Keberadaan bakteri pemacu pertumbuhan

tanaman menyebabkan tanaman mampu menyerap nutrisi makro maupun mikro

lebih baik. Mekanisme lainnya adalah yang berkaitan dengan kemampuan dalam

memproduksi hormon pertumbuhan, siderophore yang dapat mengikat ion Fe dan

membuatnya tersedia bagi perakaran tanaman, serta kemampuan melarutkan

mineral P (Nelson 2004).

Salamone et al. 2001 melaporkan bahwa P. fluorescens dapat menghasilkan hormon pertumbuhan sitokinin, tiga jenis sitokinin yang dihasilkan

adalah sitokinin dihydrozeatin riboside (DHZR), isopentenyladenosine (IPA), dan

trans-zeatin ribose (ZR). Hormon pertumbuhan yang dihasilkan oleh bakteri juga

dapat dimanfaatkan oleh tanaman untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman.

Karakterisasi morfologi dan fisiologi bakteri endofit

Isolat bakteri endofit antibiosis yang berpotensi meningkatkan

pertumbuhan tanaman terbaik dikarakterisasi dan diidentifikasi, untuk digunakan

dalam pengujian induksi ketahanan di rumah kaca.

Hasil karakterisasi morfologi dan fisiologi bakteri endofit dari tiga isolat

terpilih hasil seleksi antibiosis dan PGPR yang berasal dari tanaman jahe, tomat

(43)

Tabel 4 Karakter morfologi dan fisiologi bakteri endofit isolat EJH6, ET9, dan EJG14

Karakter EJH6 ET9 EJG14

Gram positif negatif negatif

Warna Koloni putih putih kekuningan putih kekuningan

Pigmen fluorescens tidak berpendar berpendar berpendar

Endospora berspora tidak berspora tidak berspora

Uji O/F tidak diuji oksidatif oksidatif

Hidrolisis arginin tidak diuji positif positif

Reaksi Hipersensitif negatif negatif negatif

Hasil pengamatan menunjukkan tiga isolat yang dikarakterisasi terbagi

dalam dua kelompok yang berbeda. Terdapat dua isolat (ET9 dan EJG14)

termasuk kedalam kelompok P. fluorescens dan satu isolat (EJH6) kelompok Bacillus.

Koloni ET9 dan EJG14 berwarna putih kekuningan pada media King’s B

agar, dan berfluorescens dengan warna kuning kehijauan dibawah sinar ultra

violet. Kedua isolat bakteri tersebut termasuk kedalam kelompok bakteri

fluorescens. Sebagaimana dikemukakan oleh Goto (1992), bahwa fluorescensi

dihasilkan oleh pigmen fluoresesns, yaitu senyawa fluoresein atau pioverdin yang

terbentuk apabila bakteri tumbuh pada media yang kekurangan unsur besi, seperti

KBA. Karakter Pseudomonas kelompok fluorescens yang berfluorescensi di bawah cahaya ultra violet memudahkan untuk membedakannya dengan kelompok

bakteri lain.

Koloni EJH6 berwarna putih pada media SPA, tekstur kering tidak

(44)

(a) (b) (c)

Gambar 6 Ciri pertumbuhan bakteri endofit isolat EJH6 dari tanaman jahe (a), isolat ET9 dari tomat (b), dan EJG14 dari jagung (c).

Studi yang berfokus untuk mendapatkan bakteri pemacu pertumbuhan

tanaman seringkali berhasil ditemukan pada genus Pseudomonas dan Bacillus. (Merriman et al. 1974.). Viswanathan et al. (2003) melaporkan P. fluorescens berhasil diisolasi dari tebu dan dan dari tanaman kentang Reiter et al. (2002).

Menurut Landa et al. (2002), kelompok bakteri antagonis yang banyak ditemukan di rizosfer dan dalam jaringan akar graminae adalah Bacillus spp, Paenibacillus, Pseudomas, dan Stenotrophomonas spp, dan Pseudomonas kelompok fluorescens (Larkin et al. 1996). Lemaga et al. (2001) melaporkan pada rizofer jagung ditemukan Pseudomonas cepacia yang bersifat antagonis terhadap R. solanacearum yang dapat menurunkan kerapatan populasi bakteri patogen ini.

Potensi bakteri endofit di rumah kaca

Isolat R. solanacearum (T 954) yang digunakan dalam pengujian bakteri endofit mempunyai virulensi yang tinggi, terlihat dari perkembangan gejala

penyakit layu yang cepat pada tanaman jahe yang diinokulasi. Munculnya gejala

awal penyakit layu bakteri, yang ditandai dengan daun menguning sudah terlihat

pada hari ke-6 setelah inokulasi baik pada perlakuan kontrol positif (RS) maupun

tanaman yang diberi perlakuan dengan tiga isolat bakteri endofit (Gambar 7).

Kejadian penyakit hari ke-7 setelah inokulasi, terendah (1,33 %) pada

(45)

(RS). Pada hari ke-35 setelah inokulasi, persentase kejadian penyakit pada semua

perlakuan sudah mencapai 100 % .

Gambar 7 Kejadian penyakit layu bakteri pada tanaman jahe yang diaplikasi dengan bakteri endofit.

Hasil penelitin menunjukkan bahwa tanaman jahe yang diberi perlakuan

bakteri endofit mampu menekan kejadian penyakit dan keparahan penyakit

sebesar 83 % dibandingkan dengan tanaman kontrol tanpa perlakuan endofit pada

hari ke 7 setelah inokulasi (Tabel 5).

Tabel 5. Indeks keparahan dan kejadian penyakit layu bakteri R. solanacearum pada tanaman jahe yang diaplikasi bakteri endofit di rumah kaca hari ke 7 dan 42 setelah inokulasi (hsi)

(46)

Penekanan keparahan penyakit jahe berangsur-angsur menurun dengan

bertambahnya umur tanaman dari 83 % pada 7 hari setelah inokulasi menjadi

12 % pada hari ke 42 (Gambar 8). Tingkat keparahan penyakit yang meningkat

dengan cepat ini dikarenakan virulensi patogen yang tinggi dan lingkungan yang

mendukung perkembangan patogen. Penekanan ini masih belum signifikan

karena waktu tanam jahe di lapangan dapat mencapai 7 – 9 bulan sebelum panen.

Gambar 8 Grafik keparahan penyakit layu bakteri pada tanaman jahe yang diaplikasi dengan bakteri endofit.

Berkurangnya tingkat keparahan penyakit layu bakteri pada tanaman jahe

disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan tanaman jahe yang terjadi akibat

perlakuan bakteri endofit dan adanya infeksi challenge. Menurut Steiner & Schönbeck 1995, agens penginduksi akan diterima dan dikenali oleh reseptor

tanaman yang berada diluar dan/atau pada membran sel. Agens penginduksi

ketahanan bisa berperan sebagai sinyal itu sendiri atau hanya memicu sintesis

sinyal tertentu yang ditransduksikan ke bagian tanaman lain. Sinyal tersebut

diproduksi di satu bagian tanaman dan berperan di bagian lain. Transduksi sinyal

dapat ditransfer secara intraseluler dan interseluler sehingga menyebabkan

perlindungan sistemik. Beberapa sinyal yang terlibat dalam induksi ketahanan

adalah asam salisilat (SA), asam jasmonat, sistemin, 2,6 dichloro-isonicotinic.

Ada beberapa kemungkinan alasan bakteri endofit belum mampu

(47)

perkembangan populasi bakteri patogen lebih cepat dibandingkan dengan populasi

bakteri endofit, sehingga keberadaan bakteri endofit semakin tertekan dan belum

mampu mengkolonisasi akar tanaman jahe. Sebagaimana dikemukakan oleh

Kloepper et al. (1992), bahwa bakteri endofit harus mampu mengkolonisasi perakaran dan memproduksi suatu pemicu atau sinyal untuk menginduksi

ketahanan dan ditranslokasikan secara sistemik sebelum ada infeksi patogen

(challenge).

Alasan kedua adalah, ekspresi peningkatan ketahanan dari perlakuan bakteri

endofit belum muncul pada waktu tanaman jahe diinokulasi R. solanacearum. Hasil penelitian Ibrahim (2009) pada kultur kalus jahe yang diperlakukan dengan

senyawa kimia penginduksi ketahanan (asam salisilat) menunjukkan bahwa

ekspresi ketahanan baru terlihat pada hari ke 30 setelah perlakuan asam salisilat.

Aktivitas antibakteri Bacillus spp dan Pseudomonas fluorescens terhadap R. solanacearum pada skala laboratorium, keberhasilannya pada skala rumah kaca dan lapang tidak konsisten (Supriadi dan Febriyanti 1995; Hartati et al. 1991). Hasil penelitian Mulya et al. (2000), menunjukkan bahwa aplikasi suspensi bakteri antagonis (Bacillus spp dan Pseudomonas fluorescens) belum mampu menekan laju perkembangan penyakit layu bakteri pada tanaman jahe di lapangan.

Chen et al. (1995) melaporkan bahwa aplikasi bakteri endofit yang diinjeksikan pada batang tanaman kapas dapat mengurangi busuk akar yang

disebabkan oleh Rhizoctonia solani dan layu vaskular yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum. Bakteri ini bergerak ke atas dan ke bawah membentuk titik aplikasi dan mengkolonisasi jaringan akar internal, dapat menghambat masuknya

patogen dalam jaringan vaskular. Jadi bakteri endofit dapat keluar-berkompetisi

dengan patogen. Dengan demikian, keberadaan populasi bakteri menguntungkan

dalam rhizosphere tampaknya menjadi kunci untuk memperoleh keseimbangan

microfloral dan tanaman sehat. Dalam kondisi lapangan, efektivitas dari agen

biokontrol tergantung pada berbagai faktor seperti waktu aplikasi, umur tanaman,

kekuatan formulasi agen biokontrol, cara penerapan dan berbagai faktor lainnya

(Botelho dan Mendonca-Hagler 2006).

(48)

Kemampuan bakteri endofit mengkolonisasi jaringan internal dan dapat

berkembang dengan baik akan menghambat perkembangan patogen lebih optimal.

Mekanisme bakteri endofit dalam mengendalikan penyakit diantaranya dengan

mengkolonisasi relung ekologi patogen, terutama patogen penyebab penyakit pada

jaringan pembuluh (Hallmann 2001).

Bakteri endofit masih berpeluang digunakan sebagai agens pengendalian

hayati walaupun pada penelitian ini efektifitasnya baru pada skala laboratorium

dan memperlambat munculnya gejala penyakit layu bakteri R. solanacearum pada tanaman jahe di rumah kaca. Untuk meningkatkan potensi bakteri endofit dalam

mengendalikan penyakit layu bakteri pada tanaman jahe perlu dicari metode

aplikasinya, seperti cara aplikasi (aplikasi pada benih maupun tanaman), waktu

dan frekuensi aplikasi, dan formulasi yang tepat, sehingga bakteri endofit mampu

mengkolonisasi akar dengan cepat.

(49)
(50)

KESIMPULAN

Bakteri endofit hasil isolasi dari tanaman tomat, jagung, dan temu-temuan

diperoleh 222 isolat, 39 isolat (18 %) bersifat antibiosis, tiga diantaranya dapat

meningkatkan pertumbuhan tanaman mentimun di atas 30 % dibandingkan

dengan kontrol dan termasuk dalam kelompok Bacillus sp dan P. Fluorescens. Secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga isolat bakteri endofit

yang diuji dapat memperlambat munculnya gejala penyakit R. solanacearum pada tanaman jahe.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lanjutan, yaitu dengan melakukan pengamatan

kemampuan bakteri endofit dalam mengkolonisasi akar yang akan digunakan

(51)
(52)

DAFTAR PUSTAKA

Adams PD, Kloepper JW. 1996. Seed-borne bacterial endophytes in different cotton cultivars. Phytopathology 86:S97.

Adhi EM, Supriadi, Febriyanti M, Karyani N. 1998. Patogenisitas tiga isolat Ralstonia solanacearum pada tiga tipe kencur. Prosiding Seminar Nasional IV PFI Komisariat Jateng dan DIY, Surakarta 5 Desember 1998 : 421-425.

Adhi EM, Supriadi, Karyani N. 1998. Penyakit layu bakteri pada tanaman garut (Marantha arundinaceae). Prosiding Seminar Nasional IV PFI Komisariat Jateng dan DIY, Surakarta 5 Desember 1998 : 188-191.

Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Fourth Edition. San Diego. Academic Press.

Arwiyanto T, Goto M, Tsuyumu S, Takikawa Y. 1994. Biological control of bacterial wilt of tomato by an avirulent strain of Pseudomonas solanacearum isolated from Strelitzia reginae. Ann. Phytopath. Soc. Japan 60:421-430.

Arwiyanto T, Hartana 2001. Percobaan lapangan pengendalian hayati penyakit layu bakteri tembakau. Media Gama 2:7-14

Bacon CW. 1998. The use of bacillus subtilis as an endophyte for control of corn seedling blight disease caused by Fusarium moniliforme. USDA, ARS:1 pp. Bermawie N, Syahid SF, Ajijah N, Purwiyanti P, Martono B. 2006. Usulan Pelepasan Varietas Jahe. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Tidak dipublikasikan.

Botelho GR, Mendonca-Hagler LC (2006) Fluorescent Pseudomonas associated with the rhizosphere of crops—an overview. Braz J Microbiol 37:401– 416. doi:10.1590/S1517-83822006000400001

Buddenhagen IW, Kelman A. 1964. Biological and physiological aspecs of bacterial wilt caused by P. solanacearum. Ann. Rev. of Phytopathological 2:660 – 664.

Camacho HE, Brescia A. 2009. The Australian ginger industry. Overview of market trends and opportunities. The State of Queensland, Department of Employment, Economic Development and Innovation.

Chanway C. 1998. Bacterial endophytes : ecological and practical implication. Paper No.2.9.4S. International Congress of Plant protection: 2pp.

Chellemi DO, Olson SM, Mitchell DJ, Secker I, McSorley R. 1997. Adaptation of soil solarization to the integrated management of soil-borne pests of tomato under humid conditions. Phytopathology 87:250–258.

(53)

Dixon RA, Lamb JC. 1990. Molecular communication in interaction between plants and microbial pathogens. Ann. Rev. Plant Physiology and Plant Molecular Biology 41:339-367

Eliza. 2004. Pengendalian layu Fusarium pada pisang dengan bakteri perakaran graminae (tesis). Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, IPB.

Elphinston JG, Aley P. 1995. Integrated control of bacterial wilt of potato in the warm tropics of Peru. Di dalam: Hartman GL, Hayward AC, editor. Bacterial Wilt. ACIAR Proceeding 45:276-283.

Frey P, Prior P, Trigalet-Demery D, and Trigalet A. 1993. Hrp-mutants of Pseudomonas solanacearum for biological control of tomato bacterial wilt. In: Hartman, G.L., and Hayward,A.C. (eds.) Bacterial Wilt. Proceedings of an international symposium, Kaohsiung, Taiwan,ROC, Oct. 29–30, 1992, ACIAR Proceedings 45, 257–260, ACIAR, Canberra.

Germida JJ, de Freitas JR. 1994. Growth promotion of Cabbage, lettuce and anion by flourescent pseudomonads under growth chamber condition. Di dalam: Ryder MH, Stephens PM, Bowen GD, editor. Improving Plant Productivity with Rhizosphere Bacteria. Proceeding of the Third International Workshop on Plant Growth Promoting Rhizobacteria; Adelaide, South Australia, March 7-11 1994. Adelaide: CSIRO 37-79.

Goto M. 1992. Fundamental of Bacterial Plant Pathology. San Diego: Academic Press.

Hallmann J, Quadt-Hallmann A, Mahaffee WF, Kloepper JW. 1997. Bacterial endophytes in agricultural crops. Can. J. Microbiology 43:895-914.

Hallmann J. 2001. Plant interaction with endophytic bacteria di dalam Jeger MJ, Spence NJ, Editors. Biotic Interaction in plant pathogen Associations. Wallingfod:CABI. hlm: 87-119.

Hartati SY, Boa ER, Supriadi, Adhi EM, Karyani N. 1991. Biological control of Sumatra disease bacterium Pseudomonas syzygii with its avirulent strains and Pseudomonas solanacearum. Industrial Crops Research Journal 4 (1): 1-4.

Hartati SY, Supriadi, Adhi EM, Karyani N. 1994. Colonization of Pseudomonas solanacearum in clove seedlings. Journal of Spice and Medicinal Crops 2 (2):24-28.

Hartman GL, Wong WF, Hanudin, Hayward AC. 1992. Potential of biological and chemical control of bacterial wilt. Di dalam: Hartman GL, Hayward AC, editor. Bacterial Wilt. Kaohsiung, 28-30 October 1992. Canbera: ACIAR. hlm 232-237.

Hayward AC. 1991. Biology and epidemiology of bacterial wilt caused by Pseudomonas solanacearum. Ann. Rev. of Phytopathol., 29, 67–87.

Gambar

Gambar 3.  Zona hambatan bakteri endofit dengan R. solanacearum (a)  dan
Tabel 2.  Diameter zona hambatan isolat bakteri endofit penghasil bakteriosin.
Tabel 3.  Persentase peningkatan pertumbuhan bibit mentimun mentimun pada umur 7 hari setelah diberi perlakuan bakteri endofit
Tabel 4  Karakter morfologi dan fisiologi bakteri endofit isolat EJH6, ET9, dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kombinasi antara panjang stek dan konsentrasi ZPT memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan stek

Sebagaimana Ruseffendi (1980:23) menyatakan bahwa “ masih terdapat peserta didik yang telah lulus dari jenjang sekolah menengah tidak pernah mencapai tahap penalaran

Asam humat adalah zat organik makromolekul polielektrolit, diketahui berkemampuan untuk berinteraksi sangat kuat dengan berbagai logam membentuk kompleks logam

Berdasarkan analisis faktor konfirmatori, di- peroleh hasil bahwa kemampuan masyarakat dalam menyebutkan RS Tadjuddin Chalid seba- gai RS untuk penderita kusta, untuk

Dengan demikian menurut hukum dan keyakinan, terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana “mengedarkan sediaan farmasi obat tradisional yang tidak memenuhi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan umum dimana penggunaan metode eksperimen dapat meningkatkan hasil belajar siswa saat

Jelaskan syarat syarat judul yang baik dalam penulisan karya ilmiah2. Jelaskan pengertian kerangka karangan, fungsi kerangka karangan

Akan tetapi, berbagai riset tentang praktik pilkada selama satu dekade terakhir menemukan bahwa ranah kebebasan politik yang diimpikan tersebut ternyata telah 'dibajak'