• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecernaan Nutrien pada Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan yang Diberi Pellet Ransum Komplit Mengandung Indigofera zollingeriana dan Leucaena leucocephala

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kecernaan Nutrien pada Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan yang Diberi Pellet Ransum Komplit Mengandung Indigofera zollingeriana dan Leucaena leucocephala"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pakan merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan dalam pemeliharaan kelinci. Kelinci berproduksi dengan baik jika diberikan pakan dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Permasalahan yang terjadi di peternakan kelinci pada umumnya adalah manajemen pakan yang dilakukan secara tradisional sehingga peternak kurang memperhatikan kecukupan nutrisi kelinci seperti pemenuhan energi, protein dan air. Kekurangan zat makanan dapat mempengaruhi performa ternak. Menurut Ensminger et al. (1990), pakan kelinci dapat berupa hijauan, namun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, sehingga produksinya tidak akan maksimum, oleh karena itu dibutuhkan pakan konsentrat. Kendala penggunaan konsentrat adalah harganya yang mahal, sehingga dapat memberatkan peternak untuk itu diperlukan pakan alternatif yang berkualitas baik dan harganya murah. Leucaena leucocephala merupakan leguminosa yang memiliki protein tinggi sehingga bisa digunakan sebagai campuran pakan kelinci.

Menurut Onwudike (1995), pellet berbasis daun lamtoro lebih disukai oleh kelinci dibandingkan daun gamal. Selanjutnya Onwudike (1995), menyatakan bahwa pemberian daun lamtoro dapat mengurangi pertambahan bobot badan, konsumsi pakan dan efisiensi pakan. Daun lamtoro mengandung mimosin yang menyebabkan kerontokan dan reddish (urin berwarna cokelat) pada kelinci. Penggunaan Indigofera zollingeriana atau yang biasanya dikenal dengan istilah I. zollingeriana sebagai hijauan sumber protein adalah salah satu cara untuk mengurangi kadar daun lamtoro dalam pakan kelinci dan diharapkan mampu meningkatkan kecernaan kelinci sehingga dapat meningkatkan pertambahan bobot badan, konsumsi pakan dan efisiensi pakan.

(2)

2 Pemberian I. zollingeriana dan kombinasi antara I. zollingeriana dan Leucaena luecocephala sebagai hijauan dalam pakan kelinci merupakan hal baru dan belum pernah dilaporkan, sehingga penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kombinasi daun lamtoro dan I. zollingeriana yang tepat dalam ransum kelinci.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh pemberian pelet ransum komplit yang mengandung I. zollingeriana dan Leucaena leucocephala

(3)

TINJAUAN PUSTAKA Ternak Kelinci

Kelinci memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan sebagai penghasil daging, kulit/bulu, hewan percobaan dan hewan untuk dipelihara (Church, 1991). Kelinci merupakan hewan herbivora non-ruminan yang memiliki sistem pencernaan monogastrik dengan perkembangan sekum seperti ruminansia, sehingga kelinci disebut pseudo-ruminansia (Cheeke dan Patton, 1982).

Klasifikasi kelinci menurut Damron (2003) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animal (hewan)

Phylum : Chordata (mempunyai notochord) Sub phylum : Vertebrata (bertulang belakang) Kelas : Mamalia (memiliki kelenjar susu)

Ordo : Logomorpha (memiliki dua pasang gigi seri rahang atas) Famili : Leporidae (rumus gigi 8 pasang diatas dan 6 pasang dibawah) Genus : Oryctolagus (morfologi yang sama)

Spesies : Oryctolagus cuniculus.

Bangsa kelinci yang biasanya paling banyak digunakan sebagai hewan penelitian adalah New Zealand White. Kelinci ini memiliki beberapa keunggulan antara lain: sifat produksi yang tinggi, tidak dibutuhkan biaya dalam pemeliharaan, siklus hidup yang pendek, daya tahan yang lebih kuat terhadap penyakit, adaptif terhadap lingkungan yang baru, dan tidak memerlukan tempat yang luas. Kelinci

New Zealand White termasuk dalam bangsa medium yang memiliki bobot hidup antara 4kg-5kg (Blakely dan Bade, 1991) dan mencapai bobot dewasa pada umur 5-6 bulan (Cheeke et al., 2000).

(4)

4 merupakan ternak yang mempunyai potensi reproduksi tinggi, laju pertumbuhan cepat, periode kebuntingan yang pendek bila dibandingkan dengan ternak lain, seperti sapi, kerbau, babi, kecuali unggas (Cheeke et al., 1982). Seekor induk kelinci mampu beranak 4-5 kali dalam setahun dengan masa kebuntingan 30-35 hari dan dari satu periode kelahiran dapat memberikan 6-8 ekor anak (Rismunandar, 1981)

Kebutuhan Nutrisi Kelinci

Kelinci mempunyai ukuran, kegunaan, warna dan panjang yang berbeda-beda. Berat kelinci saat dewasa bervariasi mulai dari 1,5 kg sampai 7 kg (Blakely dan Bade, 1991). Bangsa kelinci yang dijadikan sebagai penghasil daging diantaranya California, Flemish giant, Satin dan New Zealand White karena sifat produksinya yang tinggi, tidak dibutuhkan banyak biaya dalam pemeliharaan, siklus hidup yang pendek, memiliki daya tahan yang lebih kuat terhadap penyakit, mudah beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan tidak memerlukan tempat yang luas (Farrel dan Raharjo, 1984). Kelinci mempunyai potensi sebagai penghasil daging yang baik kerena kelinci sangat cepat berkembang biak.

Tabel 1. Kebutuhan Nutrisi Kelinci

Nutrient Kebutuhan Nutrisi Kelinci

Pertumbuhan Hidup pokok Bunting Laktasi

Digestible Energy (kcal/kg) 2500 2100 2500 2500

(5)

10%-5 12%, kebutuhan serat kasar kelinci dewasa sebesar 14% sedangkan kebutuhan lemak pada setiap periode pemeliharaan tidak berbeda yaitu sebesar 2% (Tabel 1).

Jumlah pakan yang diberikan harus memenuhi jumlah yang dibutuhkan oleh kelinci sesuai dengan tingkat umur atau bobot badan kelinci. Pemberian pakan ditentukan berdasarkan kebutuhan bahan kering. Jumlah pemberian pakan bervariasi bergantung pada periode pemeliharaan dan bobot badan kelinci (Tabel 2).

Tabel 2. Kebutuhan Bahan Kering Kelinci

Status Bobot badan (BB)

Saluran pencernaan merupakan saluran yang memanjang yang dimulai dari mulut sampai anus yang berfungsi sebagai tempat pakan ditampung, dicerna, diabsorbsi dan tempat sisa pencernaan yang akan dikeluarkan. Gerakan pakan di saluran pencernaan dilakukan oleh adanya kontraksi atau gerakan peristaltik otot sirkuler dinding saluran pencernaan. Berbagai macam getah pencernaan yang berisi macam-macam enzim pencernaan yang diekskresikan ke dalam saluran pencernaan (Kamal,1994)

Berdasarkan sistem pencernaannya, kelinci diklasifikasikan ke dalam hindgut fermentor yaitu saluran pencernaan bagian belakang memegang peranan penting seperti sekum dan kolon (McNitt et al., 1996). Pada ternak ruminansia fermentasi serat terjadi di dalam rumen, fermentasi pakan pada kuda terjadi di dalam kolon sedangkan pada kelinci terjadi di dalam sekum (Irlbeck, 2001).

(6)

6 panjang 40 cm dan berat 25 gram, sedangkan lambung pada kelinci mempunyai ukuran berat 20 gram, lambung pada kelinci memiliki kapasitas 90-100 gram atau 17% bahan kering. Lambung memiliki pH yang asam yaitu berkisar antara 1,5-2,0. Usus halus pada kelinci memiliki ukuran panjang 330 cm dan berat 60 gram. Kapasitas usus halus pada kelinci yaitu berkisar antara 20-40 gram atau setara dengan 7% bahan kering.

Gambar 1. Saluran Pencernaan Kelinci Sumber: Cheeke et al. (2000)

Kelinci memiliki kebiasaan yang berbeda dari ternak lainnya yaitu kebiasaan memakan feses yang sudah dikeluarkan yang disebut coprophagy. Sifat coprophagy

biasanya terjadi pada malam atau pagi hari berikutnya. Sifat tersebut memungkinkan kelinci memanfaatkan secara penuh pencernaan bakteri di saluran bagian bawah, yaitu mengkonversi protein asal hijauan menjadi protein bakteri yang berkualitas tinggi, mensintesis vitamin B, dan memecahkan selulosa atau serat menjadi energi yang berguna.

Ransum Komplit

(7)

7 seimbang, disukai ternak dan dalam bentuk yang mudah dicerna oleh saluran pencernaan (Ensminger et al., 1990). Ransum komplit merupakan pakan yang cukup gizi untuk hewan dalam status fisiologis tertentu, dibentuk atau dicampur untuk diberikan sebagai satu-satunya makanan dan memenuhi kebutuhan pokok, produksi, atau keduanya tanpa tambahan bahan atau substansi lain kecuali air (Tillman et al., 1997).

Ensminger et al. (1990) melaporkan beberapa keuntungan yang diperoleh dari penggunaan ransum komplit antara lain: 1) meningkatkan efisiensi pemberian pakan, 2) meningkatkan konsumsi dari suplementasi hijauan yang kurang palatabel dengan konsentrat dan dapat mengganti konsentrat yang terbatas dengan hijauan sebagai campuran, 3) campuran ransum komplit dapat memudahkan ternak mendapatkan pakan lengkap. Keistimewaan ransum komplit adalah pencampuran bersama semua bahan-bahan pakan seperti hijauan, bijian, konsentrat, suplemen protein, vitamin dan mineral menjadi satu dan diberikan kepada ternak sebagai pakan tunggal.

Indigofera zollingeriana dan Pengaruhnya

terhadap Ternak

Indigofera zollingeriana adalah tanaman leguminosa pohon dengan genus

Indogofera dan memiliki sekitar 700 spesies yang tersebar secara geografis di Afrika tropis, Asia, Australia dan Amerika Utara, sekitar tahun 1900 Indigofera sp. dibawa ke Indonesia oleh bangsa Eropa dan terus berkembang hingga saat ini (Tjelele, 2006). Leguminosa pohon ini cocok dikembangkan di Indonesia tahan terhadap kekeringan, banjir, dan salinitas (Hassen et al. 2007). Berdasarkan penelitian Hassen

et al., ( 2006) yang menggunakan beberapa spesies Indigofera sp. antara lain I. amorphoides, I. arecta, I. brevicalyx, I. coerulea, I. costata, I. cryptantha, I. spicata,

(8)

8 mengandung protein kasar sebesar 27,9%, NDF 19%-50%, serat kasar 15%, fospor 0,19%, kalsium 0,22 dan kecernaan bahan organik yang diukur secara in vitro

sebesar 56%-72% (Hassen et al. 2007).

Taksonomi tanaman Indigofera sebagai berikut divisi : Spermatophyta

sub divisi : Angiospermae

kelas : Dicotyledonae

bangsa : Rosales

suku : Leguminosae marga : Indigofera

jenis : Indigofera zollingeriana

Gambar 2: Tanaman Indigofera zollingeriana

Sumber : Dokumentasi Penelitian

(9)

9 bahan kering total Indigofera zollingeriana adalah 51 ton/ha/tahun (Abdullah 2010). Tarigan (2009) menyatakan bahwa nilai kecernaan bahan kering daun Indigofera sp. yang diberikan sebanyak 45% dari total ransum terhadap kambing Boerka adalah 60%.

Lamtoro ( Leucaena leucocephala) dan Pengaruhnya terhadap Kelinci

Lamtoro ( Leucaena leucocephala) merupakan tanaman legum pohon serba guna. Lamtoro umumnya ditanam sebagai tanaman pagar dan tanaman pelindung untuk tanaman komersial. Tanaman lamtoro dapat diberikan pada ternak berupa hijauan segar, kering, tepung, silase dan pellet. Hijauan lamtoro sangat baik sebagai pakan ternak, dikarenakan daum lamtoro kaya akan protein, karoten, vitamin, dan mineral (Soeseno dan Soedaharoedjian, 1992).

Menurut Mtenga dan Laswai (1994) lamtoro memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu 21%, kandungan NDF sebesar 4,28% sedangkan kandungan asam aminonya cukup tinggi dan juga memiliki antinutrisi seperti mimosin dan tanin. Berdasarkan penelitian Futiha (2010), lamtoro memiliki kandungan protein kasar sebesar 26,07%, serat kasar 17,73%, lemak kasar 5%, Kalsium 1,86% dan Fospor 0,25%. Laconi dan Widiyastuti (2010) menyatakan bahwa kandungan mimosin pada daun lamtoro berkisar antara 2%-6%.

Gambar 3. Leucaena leucocephala

(10)

10 Menurut Onwudike (1995), pellet berbasis daun lamtoro lebih disukai oleh kelinci dibanding daun gamal, namun pemberian daun lamtoro dapat mengurangi pertumbuhan bobot badan, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan. Daun lamtoro mengandung mimosin yang menyebabkan kerontokan dan reddish ( urin berwarna cokelat) pada kelinci. Wood et al. ( 2003) menyatakan bahwa terjadi penurunan kadar mimosin daun lamtoro akibat pemanasan pada suhu 60ºC dan 145ºC yaitu sebesar 43%. Selain itu, terjadi inaktivasi mimosin akibat proses pelleting. Menurut Onwudike (1995) penggunaan lamtoro sebesar 50% dalam pakan kelinci akan menurunkan performa kelinci fase pertumbuhan.

Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum adalah jumlah makanan yang dimakan oleh hewan bila diberikan ad libitum. Konsumsi ransum juga merupakan faktor dasar untuk hidup dan menentukan produksi (Parakkasi, 1999). Ternak mampu mencapai tingkat penampilan produksi yang optimal sesuai dengan potensi genetiknya bila memperoleh nutrien yang dibutuhkannya. Menurut Wiseman (1989), banyaknya ransum yang dikonsumsi dipengaruhi oleh palatabilitas ransum yang tergantung pada cita rasa, ukuran dan tekstur. Aroma pakan juga mempengaruhi terhadap palatabilitas yang dapat meningkatkan konsumsi ransum (Pond et al., 1995).

Tingkat konsumsi ransum pada ternak kelinci dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, kesehatan, bentuk ransum, imbangan zat makanan, cekaman, kecepatan pertumbuhan dan yang paling utama adalah energi (NRC, 1977). Menurut Cheeke (1987), konsumsi ransum akan meningkat bila kandungan energi ransum rendah. Lang (1981) menyatakan bahwa kualitas protein dalam ransum penting untuk kelinci karena dapat meningkatkan konsumsi ransum.

Kecernaan Leguminosa pada Kelinci secara

in vivo

(11)

11 Daya cerna hijauan leguminosa sangat bervariasi yang banyak ditentukan oleh tingkat protein yang dikandungnya. Rendahnya protein kasar yang dicerna oleh seekor ternak tergantung tinggi rendahnya persentase protein dalam tanaman. Pada umumnya nilai daya cerna leguminosa lebih tinggi daripada rumput. Hal ini dimungkinkan karena leguminosa mempunyai kualitas yang baik terutama kandungan proteinnya yang tinggi (Ella, 1996). Kecernaan leguminosa pohon bervariasi. Gamal (Glicirida sepium) memiliki daya cerna berkisar antara 50%-75%,

Leucaena leucocephala berkisar antara 65%-87%, kaliandra berkisar antara 35%-42% (Karti, 1998).

McDonald et al (2002) menyatakan bahwa zat makanan yang tercerna dapat dihitung dengan mengukur selisih zat makanan yang dikonsumsi dikurangi dengan zat makanan yang tersisa dalam feses. Pengukuran kecernaan dapat dilakukan secara langsung pada ternak (in vivo) maupun tidak langsung di laboratorium (in vitro) dan melalui metode kantong nilon (in sacco).

Pengukuran kecernaan ternak ruminansia secara langsung (in vivo) dilakukan melalui koleksi feses total yang lebih mudah dilakukan pada ternak jantan karena saluran ekskresi feses (rektum) terpisah dari saluran uretra. Ternak ditempatkan dalam kandang individu sehingga dapat diukur jumlah pakan yang dikonsumsi dan feses yang dikeluarkan. Tingkat kecernaan pakan dapat dihitung dengan rumus berikut (Cheeke, 2005):

% Kecernaan = Pakan yang dikonsumsi – Jumlah feses x 100% Pakan yang dikonsumsi

(12)

12 hari. Hasil koleksi feses harus dijaga dari kontaminasi. Panjang waktu koleksi feses adalah 4-12 hari (Rymer, 2000).

(13)

MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Ternak Ruminansia Kecil (Kandang B), Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis pakan dan analisis feses dilakukan di laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor Penelitian ini dilakukan selama 2 (dua) bulan yaitu bulan November 2011 sampai Januari 2012.

Materi Alat dan Bahan

Ternak. Penelitian ini menggunakan 20 ekor kelinci peranakan New Zaeland White

jantan periode lepas sapih umur 4 bulan, dengan bobot hidup rata-rata sekitar 1807± 255,87 g/ekor g/ekor.

Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011)

Kandang dan Peralatan. Kandang yang digunakan adalah kandang individu yang terbuat dari besi, sebanyak 20 buah dengan ukuran panjang 50 cm, lebar 50 cm dan tinggi 50 cm. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Masing-masing kandang ditempati seekor kelinci.

Ransum Penelitian. Ransum penelitian yang digunakan adalah pelet ransum komplit dengan sumber hijauan daun I. zollingeriana dan L. Leucocephala sebagai perlakuan. Bahan lain adalah jagung, dedak padi, CGM, bungkil kedelai, bungkil kelapa, CaCO3, premix, DCP, NaCl dan tepung ikan. Ransum komplit diformulasikan

(14)

14 dengan menggunakan Winfeed 2.8. Susunan ransum berdasarkan perlakuan yang diberikan terdapat pada Tabel 3. Komposisi nutrien pellet ransum komplit yang diberikan selama penelitian berdasarkan analisis laboratorium terdapat pada Tabel 4.

Tabel 3. Susunan Ransum Penelitian (%BK)

Bahan Pakan Taraf Pemberian (%)

R01 R1 R2 R3 R4

Keterangan : 1Komposisi bahan pakan dirahasiakan (Pellet ransum komersil)

Metode Persiapan Hijauan

Hijauan yang digunakan sebagai bahan pakan ransum komplit adalah daun I. zollingeriana dan lamtoro. Hijauan dikeringkan dengan cara dijemur dibawah sinar matahari selama ± 3 hari hingga kadar air bahan mencapai ± 12 %. Hijauan dipisahkan antara ranting dan daunnya sebelum digiling halus dengan ukuran gilingan 2 mm hingga berbentuk tepung.

Pembuatan Pelet Ransum Komplit

Bahan hijauan yang telah digiling dan berbentuk tepung dicampur dengan bahan pakan (Jagung, Dedak padi, CGM, Bungkil kedelai, Bungkil kelapa, CaCO3,

(15)

15 campuran tersebut dimasukkan ke dalam mesin pengaduk atau mixer agar semua bahan tersebut tercampur dengan rata. Tahap selanjutnya adalah pelleting yakni memasukan semua bahan yang telah tercampur ke dalam mesin pellet dengan ukuran 3 mm. Pellet yang akan dihasilkan selanjutnya diangin-anginkan dan dimasukkan ke dalam karung sesuai dengan perlakuan.

Tabel 4: Komposisi Nutrien Ransum Penelitian

Bahan pakan Kandungan Nutrien (%BK)

R0 R1 R2 R3 R4

Abu 10,25 8,07 8,40 8,63 8,63

Protein Kasar 15,74 17,90 18,95 21,06 19

Lemak Kasar 6,68 6,46 6,79 7,07 5,29

Serat Kasar 9,76 8,16 7,60 8,45 8,11

BETN 57,57 59,40 58,26 54,78 58,97

TDNa 62,87 68,26 69,70 68.81 66,99

Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, IPB (2011); berdasarkan Rumus Hartadi et al., (1980), %TDN = 22,822 – 1,44 (SK) – 2,875 (LK) + 0,655 (BeTN) + 0,863 (PK) + 0,02 (SK)2 0,078(LK)2 + 0,018 (SK)(LK) + 0,045 (LK)(BeTN) – 0,085 (LK)(PK) + 0,02 (LK)2(PK)

Keterangan : R0 = pelletcomersial, R1 = pellet ransum komplit 0% I. zollingeriana dan 30% lamtoro, R2 = pellet ransum komplit mengandung 10% I. zollingeriana dan 20% lamtoro, R3 = pellet ransum komplit mengandung 20% I. zollingeriana dan 10% lamtoro, R4 = pellet ransum mengandung 30% I. zollingeriana dan 0% lamtoro.

(16)

16

Pellet komersil (R0) memiliki warna kuning kecoklatan sedangkan ransum perlakuan memiliki warna hitam kehijau-hijauan (Gambar 5). Pellet ransum komplit yang mengandung I. zollingerian dan L. leucocephala (R1, R2, R3 dan R4) memiliki aroma khas hijauan I. zollingerian dan L. leucocephala sedangkan pellet komersil beraroma jagung. Pellet komersil lebih rapuh dibandingkan pellet ransum komplit yang mengandung I. zollingeriana dan L. leucocephala.

Prosedur Kerja Persiapan Kandang

Kandang sebanyak 20 buah sebelum digunakan dibersihkan terlebih dahulu dengan desinfektan, kemudian dijemur. Kandang didiamkan selama satu minggu setelah didesinfektan. Kandang dilengkapi tempat pakan dari keramik dan tempat minum dari botol minum khusus.

Pemeliharaan

Ternak dipelihara dalam kandang individu selama 8 minggu. Dua minggu pertama sebagai masa adaptasi pakan (preliminary). Adaptasi pakan dilakukan hingga kelinci mampu mengkonsumsi pakan yang akan diuji cobakan hingga 100 % (tidak ada sisa) tanpa mengalami penurunan konsumsi dan bobot badan. Kemudian minggu ke-3 sampai ke-8 dilakukan pengamatan dan pengambilan data.

Gambar 6. Pemeliharaan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011)

(17)

17 Koleksi Feses

Pengambilan contoh feses dilakukan pada tiga hari terakhir penelitian selama 3x24 jam dengan metode koleksi total (Perez et al., 1995). Seluruh feses yang tertampung (tiap perlakuan) ditimbang sebagai berat feses total, kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari selama 24 jam. Feses yang telah kering kemudian digiling dan dicampur pada masing-masing perlakuan. Feses yang baru keluar segera ditampung agar tidak tercampur dengan urin. Feses yang terkumpul selama 24 jam ditimbang sebagai bobot feses segar, kemudian sampel feses dikeringkan matahari untuk mendapatkan berat feses kering matahari. Sampel yang sudah kering matahari langsung dimasukkan dalam oven 60ºC, kemudian sampel dihaluskan dan dikomposit. Sampel yang sudah dikomposit selanjutnya diambil 10% dari setiap perlakuan dan ulangan, lalu dilakukan analisa proksimat untuk mengetahui kandungan nutrien pakan dan feses (AOAC, 2000). Skema pengambilan feses ditunjukkan oleh gambar 7.

Gambar 7. Skema Koleksi Feses

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 4 kelompok. Kelompok dalam percobaan ini adalah bobot badan kelinci New Zealand White jantan yang dibagi menjadi empat kelompok. Lima ulangan adalah jumlah kelinci untuk masing-masing perlakuan yang merupakan perwakilan dari tiap kelompok. Masing-masing perlakuan terdiri atas empat ulangan. Perlakuan tersebut adalah sebagai berikut:

(18)

18 R1 = Pellet Ransum komplit dengan 30% lamtoro dan 0% I. Zollingeriana.

R2 = Pellet Ransum komplit dengan 20% lamtoro dan 10% I. Zollingeriana.

R3 = Pellet Ransum komplit dengan 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana.

R4 = Pellet Ransum komplit dengan 0% lamtoro dan 30% I. Zollingeriana

Model matematika rancangan tersebut adalah sebagai berikut: Yij = µ + τi + ßj+ εij

Keterangan:  = rataan umum

i = efek perlakuan ke-i

ßj = efek kelompok ke-j

ij =eror perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisa statistik dengan sidik ragam (ANOVA) dan apabila terdapat perbedaan yang signifikan dilanjutkan dengan uji kontras orthogonal (Steel dan Torrie, 1993). Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan protein kasar, kecernaan lemak kasar dan kecernaan serat kasar,serta konsumsi bahan kering, bahan organik, protein kasar, serat kasar dan lemak kasar pada kelinci peranakan New Zealand white jantan dengan rumus kecernaan berdasarkan metode Chruch (1991) sebagai berikut:

 Kecernaan BK (%) = Konsumsi BK Ransum (g) – BK feses (g) x 100 %

 Konsumsi BK (gr/ekor/hari) = Konsumsi (gr/ekor/hari) × %BK pakan

 Konsumsi BO (gr/ekor/hari) = Konsumsi (gr/ekor/hari) × %BO pakan

 Konsumsi PK (gr/ekor/hari) = Konsumsi (gr/ekor/hari) × %PK pakan

(19)

19

 Konsumsi SK (gr/ekor/hari) = Konsumsi (gr/ekor/hari) × %SK pakan Keterangan :

BK Feses (g) = Feses yang keluar (g/ekor/hari) x % BK Feses BO Feses (g) = Feses yang keluar (g) x % BO Feses

(20)

20 HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Ransum

Konsumsi zat makanan merupakan bahan-bahan penting berupa nutrisi yang terkandung dalam zat makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Rataan konsumsi zat makanan kelinci disajikan pada Tabel 5 dan persentase konsumsi zat makanan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 5. Rataan Konsumsi Zat Makanan Berdasarkan 100% BK

Perlakuan

R0 76,40±1,40 67,78±1,38 18,52±1,13b 6,97±0,70b 9,52±0,92 R1 77,02±1,35 70,07±1,36 22,44±1,68a 7,67±0,48a 7,02±2,14

R2 66,46±0,65 60,26±0,65 19,91±0,70b 5,44±0,25b 6,09±0,28 R3 88,47±0,96 80,02±0,96 23,52±0,58a 7,89±0,19a 8,27±1,55 R4 79,88±0,65 72,19±0,65 19,31±0,87b 5,38±0,24b 7,23±1,02

Keterangan: Superskrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). R0 =

pelletcomersial, R1 = pellet ransum komplit 0% I. zollingeriana dan 30% lamtoro, R2 =

pellet ransum komplit mengandung 10% I. zollingeriana dan 20% lamtoro, R3 = pellet

ransum komplit mengandung 20% I. zollingeriana dan 10% lamtoro, R4 = pellet ransum mengandung 30% I. zollingeriana dan 0% lamtoro.

Tabel 6. Persentase Konsumsi Zat Makanan/Bobot Badan

Perlakuan

pellet ransum komplit mengandung 10% I. zollingeriana dan 20% lamtoro, R3 = pellet

(21)

21 Konsumsi Bahan Kering

Perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap konsumsi bahan kering kelinci. Konsumsi bahan kering kelinci berkisar antara 66,46 gr/ekor/hari-88,47 gr/ekor/hari (Tabel 5), sedangkan persentase konsumsi bahan kering kelinci berturut-turut berkisar antara 3,99%-4,62% (Tabel 6). Menurut Irlbeck (2001), kelinci akan makan sekitar 5% dari bobot badannya. Pendapat ini juga didukung oleh Ensiminger (1990) yang menyatakan bahwa kelinci dengan bobot badan 1,8 kg-3,2 kg, mengkonsumsi bahan kering sebesar 112 g/ekor/hari-173 g/ekor/hari atau setara 5,4%-6,2% dari bobot hidup ternak. Konsumsi bahan kering kelinci pada penelitian ini masih dikatakan rendah bila dibandingkan dengan pendapat Ensiminger (1990) yang menggunakan ransum komplit mengandung alfafa. Rendahnya konsumsi bahan kering kelinci pada penelitian disebabkan karena kandungan serat kasar ransum penelitian lebih tinggi yaitu berkisar antara 7,60%-9,76%, sedangkan serat kasar ransum yang mengandung alfafa yaitu sebesar 6,5%. Kandungan serat kasar ransum berpengaruh terhadap konsumsi bahan kering, karena pakan yang mengandung serat kasar tinggi lebih bersifat voluminous sehingga menyebabkan daya tampung di saluran pencernaan tidak tersedia untuk memasukan pakan yang baru dan akhirnya menurunkan konsumsi. Nuswantara et al. (2005) menyatakan bahwa waktu tinggal pakan dalam saluran pencernaan yang lama akan menurunkan konsumsi.

(22)

22 Lingkungan juga mempengaruhi konsumsi bahan kering kelinci. Lokasi penelitian yang bertempat di Laboratorium Lapang Ternak Ruminansia Kecil IPB memiliki suhu rata-rata sebesar 28,3°C dengan kelembaban sebesar 91,3%. Direktorat Jendral Peternakan (2008) menyatakan bahwa suhu optimal kandang untuk perkembangbiakan kelinci berkisar antara 15°C-20°C, dengan kelembaban sebesar 45%-70%. Suhu dan kelembaban yang tinggi dapat menurunkan konsumsi pakan sehingga konsumsi bahan kering juga rendah.

Konsumsi Bahan Organik

Konsumsi bahan organik kelinci yang mendapat perlakuan pakan dalam bentuk pellet ransum komplit dengan kombinasi I. zollingeriana dan L. leucocephala

tidak berbeda nyata. Rataan konsumsi bahan organik kelinci yaitu berkisar antara 60,26 gram/ekor/hari-80,02 gram/ekor/hari (Tabel 5). Persentase konsumsi bahan organik dari bobot badan yaitu berkisar antara 3,64%-4,34% (Tabel 6). Rendahnya konsumsi bahan organik kelinci disebabkan oleh konsumsi bahan kering kelinci yang rendah.

Sutardi (1980) menyatakan bahwa bahan organik berkaitan erat dengan bahan kering karena bahan organik merupakan bagian dari bahan kering. Chotimah (2002) menyatakan bahwa konsumsi bahan organik pada ternak berbanding lurus dengan konsumsi bahan kering, semakin tinggi konsumsi bahan kering maka konsumsi bahan organik juga tinggi.

Konsumsi Protein Kasar

(23)

23 Tingginya rataan konsumsi protein kasar kelinci yang mendapat perlakuan R1 dan R3 disebabkan oleh dua faktor yaitu kandungan protein kasar pakan dan jumlah konsumsi bahan kering kelinci. Kandungan protein kasar R1 lebih tinggi dibandingkan dengan R0 (Tabel 4), selain itu konsumsi bahan kering kelinci yang mendapat ransum R1 lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi bahan kering kelinci yang mendapat perlakuan R0, sehingga menyebabkan konsumsi protein kasar kelinci yang diberi perlakuan R1 lebih tinggi dibandingkan konsumsi protein kasar kelinci yang diberi perlakuan R0 (Tabel 5). Kandungan protein kasar R2 dan R4 lebih tinggi dibandingkan R1 (Tabel 4), tetapi konsumsi bahan kering kelinci yang mendapat perlakuan R1 lebih tinggi dibandingkan konsumsi bahan kering kelinci yang mendapat perlakuan R2 dan R4 (Tabel 5) sehingga tidak mempengaruhi menurunkan konsumsi bahan kering kelinci yang mendapat perlakuan R1. Kandungan protein kasar R3 dan konsumsi bahan kering kelinci yang mendapat perlakuan R3 lebih tinggi dibandingkan kandungan protein kasar dan konsumsi bahan kering yang mendapat perlakuan R0, R2 dan R4 (Tabel 4 dan 5), sehingga konsumsi protein kasar kelinci yang mendapat perlakuan R3 lebih tinggi dibandingkan konsumsi protein kasar kelinci yang mendapat perlakuan R0, R1 dan R4. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Okmal (1993) menyatakan bahwa kadar protein pakan yang tinggi dan disertai konsumsi bahan kering yang tinggi akan menghasilkan konsumsi protein kasar yang tinggi pula.

Konsumsi Lemak Kasar

(24)

24 Konsumsi Serat Kasar

Perlakuan tidak berbeda nyata terhadap konsumsi serat kasar kelinci. Nilai konsumsi serat kasar kelinci relatif sama antar perlakuan yaitu berkisar antara 5,81 gram/ekor/hari sampai 10,44 gram/ekor/hari (Tabel 5). Konsumsi serat kasar kelinci pada penelitian lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Theodore (2010) yang melaporkan bahwa konsumsi serat kasar kelinci yang diberi ransum dengan penambahan lamtoro dan bungkil inti sawit yaitu sebesar 16,56 gram/ekor/hari. Konsumsi serat kasar kelinci pada penelitian ini lebih rendah disebabkan oleh kandungan serat kasar ransum komplit dengan penambahan daun I. zollingeriana dan lamtoro yang tinggi, sehingga konsumsi bahan kering kelinci rendah. Kandungan serat kasar ransum berpengaruh terhadap konsumsi bahan kering, karena pakan yang mengandung serat kasar tinggi lebih bersifat voluminous sehingga menyebabkan daya tampung di saluran pencernaan tidak tersedia untuk memasukan pakan yang baru dan akhirnya menurunkan konsumsi. Rendahnya konsumsi bahan kering kelinci menyebabkan rendahnya konsumsi serat kasar kelinci.

Kecernaan Zat Makanan

Kecernaan zat- zat makanan merupakan salah satu ukuran dalam menentukan kualitas suatu bahan pakan. Rataan kecernaan zat makanan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7: Rataan Kecernaan Zat Makanan

Perlakuan

pellet ransum komplit mengandung 10% I. zollingeriana dan 20% lamtoro, R3 = pellet

(25)

25 Kecernaan Bahan Kering

Perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kecernaan bahan kering kelinci. Kombinasi I. zollingeriana dan L. leucocephala tidak memberikan pengaruh menurunkan kecernaan bahan kering kelinci hingga taraf 30%. Kecernaan bahan kering kelinci pada penelitian sebesar 68,70%-82,71% (Tabel 7).

Cheeke (1987) menyatakan bahwa kecernaan bahan kering kelinci yang diberi ransum komplit berbentuk pellet adalah sebesar 47%. Tingkat kecernaan bahan kering yang semakin tinggi membuktikan bahwa ransum perlakuan memiliki kualitas yang baik (Cheeke, 1987). Cunha et al. (2004) menyatakan bahwa kecernaan bahan kering pada kelinci yang diberi alfalfa dan diukur secara in vivo yaitu 61,4%-62,7%. Kecernaan bahan kering kelinci pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilaporkan oleh Cunha et al. (2004) yang menggunakan ransum komplit mengandung alfafa. Tingginya kecernaan bahan kering penelitian disebabkan oleh konsumsi bahan kering pada penelitian lebih tinggi yaitu berkisar antara 66,46 gr/ekor/hari - 88,47 gr/ekor/hari (Tabel 5), sedangkan konsumsi bahan kering pada penelitian Cunha et al. (2004) yaitu sebesar 63,8 gr/ekor/hari-98,1 gr/ekor/hari, selain itu kandungan serat kasar ransum pada penelitian lebih rendah yaitu berturut-turut berkisar antara 7,60%-9,76% daripada kandungan serat kasar ransum yang mengandung alfalfa yaitu berkisar antara 6,5%-13,6% (Cunha et al.,

2004). Pernyataan ini didukung oleh pendapat Pinheiro et al. (2009) yang menyatakan bahwa nilai kecernaan bahan kering yang diberi pakan serat rendah dengan penambahan manganoligosakarida adalah 72,6%. Suharlina (2010) menyatakan bahwa koefisien cerna bahan kering Indigofera sp. yang di ukur secara

in vivo berkisar antara 68,21%-73,15%.

Kecernaan Bahan Organik

(26)

26 61,9%-63,2%. Hal ini dikarenakan kecernaan bahan kering kelinci pada penelitian lebih tinggi daripada kecernaan bahan kering kelinci yang dilaporkan oleh Cunha et al.,(2004) yang menggunakan ransum mengandung alfalfa. Suharlina (2010) menyatakan bahwa koefisien cerna bahan organik Indigofera sp. yang diukur secara

in vivo berkisar antara 65,33%-70,64%.

Kecernaan bahan organik akan sejalan dengan kecernaan bahan kering, karena bahan organik merupakan komponen terbesar dalam bahan kering yang terdiri dari protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan Bahan Ekstrak tanpa Nitrogen (BETN). Hal ini sesuai dengan pendapat Tillman et al. (1997), semakin tinggi persentase kecernaan bahan kering akan dikuti juga peningkatan persentase kecernaan bahan organik. Tingginya kecernaan bahan kering pada penelitian menyebabkan kecernaan bahan organik juga tinggi.

Kecernaan Protein Kasar

Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kecernaan protein kasar kelinci. Persentase kecernaan protein kasar kelinci tiap perlakuan tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 65,80%-78,09% (Tabel 7). Nilai kecernaan protein kasar kelinci pada penelitian lebih tinggi dibandingkan nilai kecernaan protein kasar pada kelinci yang dilaporkan oleh Nicodermus et al. (2010). Nicodermus et al. (2010) menggunakan hay alfalfa dan jerami gandum dengan ukuran pellet yang berbeda yaitu 9 mm dan 1 mm untuk masing-masing perlakuan memiliki nilai kecernaan protein kasar kelinci berkisar antara 12,1%-13,2%.

(27)

27 serat dengan penambahan manganoligosakarida sebesar 81,4%, sedangkan nilai kecernaan protein kasar kelinci yang diberi pakan dengan serat yang tinggi tanpa penambahan manganoligosakarida yaitu sebesar 76,8%.

Kecernaan Lemak Kasar

Perlakuan nyata berpengaruh (P<0,05) terhadap kecernaan lemak kasar kelinci. Kecernaan lemak kasar kelinci yang mendapat perlakuan R0 dan R3 lebih tinggi dibandingkan dengan kecernaan lemak kasar kelinci yang mendapat perlakuan R1, R2 dan R4. Nilai kecernaan lemak kasar kelinci yang mendapat perlakuan R0 dan R3 yaitu sebesar 90,97% dan 84,97%, sedangkan kecernaan lemak kasar kelinci yang mendapat perlakuan R1, R2, dan R4 adalah 81,85%, 75,38% dan 79,02% (Tabel 7). Kecernaan lemak kasar yang diberi pakan R0 dan R3 lebih tinggi, dikarenakan kandungan lemak kasar pakan dan konsumsi bahan kering kelinci pada R3 lebih tinggi dibandingkan kandungan lemak kasar pakan dan konsumsi bahan kering kelinci yang diberi perlakuan R1, R2 dan R4 (Tabel 4 dan Tabel 5).

Rendahnya kecernaan lemak kasar kelinci yang diberi perlakuan R1, R2 dan R4 disebabkan oleh kandungan lemak kasar pada ransum R1, R2 dan R4 lebih rendah dibandingkan dengan kandungan lemak kasar ransum R0 dan R3 ( Tabel 4), selain itu kecernaan bahan kering kelinci yang diberi perlakuan R0 dan R3 lebih tinggi dibandingkan dengan kecernaan bahan kering kelinci yang mendapat perlakuan R1, R2 dan R4 sehingga kecernaan lemak kasar kelinci juga tinggi. Kelinci mempunyai kemampuan untuk mencerna protein dan lemak yang baik, tetapi koefisien cerna terhadap serat kasar sangat rendah (Lang, 1981).

Kecernaan Serat Kasar

(28)

28 Futiha (2010), kecernaan serat kasar kelinci yang diberi perlakuan ransum mengandung bungkil inti sawit dengan jenis hijauan berbeda adalah 15,87-48,82%.

Pinheiro et al. (2009), menyatakan bahwa kecernaan NDF pada kelinci yang diberi pakan dengan rendah serat, tinggi serat dan rendah serat dengan penambahan manganologasakarida yaitu masing-masing sebesar 36,1%, 36,5% dan 35,4%. Kecernaan ADF pada kelinci yang diberi perlakuan yang sama yaitu masing-masing sebesar 29,7%, 27,6% dan 23,6%.

Ransum yang mengandung serat kasar tinggi akan menurunkan koefisien cerna zat-zat makanan lain seperti protein dan lemak. Menurut Dewi (2008), jumlah kandungan serat kasar yang tinggi pada ransum yang dikonsumsi oleh seekor ternak menyebabkan laju pergerakan makanan dalam saluran pencernaan ternak tersebut menjadi tinggi, sehingga kerja enzim pencernaan menjadi lebih singkat dan akhirnya menurunkan kecernaan.

(29)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Keberadaan hijauan Leucaena leucocephala dalam ransum kelinci dapat digantikan Indigofera zollingeriana tanpa mempengaruhi kecernaan bahan kering, bahan organik, protein kasar dan serat kasar kelinci.

Saran

(30)

i

KECERNAAN NUTRIEN PADA KELINCI PERANAKAN

New

Zealand White

JANTAN YANG DIBERI

PELLET

RANSUM

KOMPLIT MENGANDUNG

Indigofera zollingeriana

DAN

Leucaena lucocephala

SKRIPSI ROHIMAH

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(31)

i

KECERNAAN NUTRIEN PADA KELINCI PERANAKAN

New

Zealand White

JANTAN YANG DIBERI

PELLET

RANSUM

KOMPLIT MENGANDUNG

Indigofera zollingeriana

DAN

Leucaena lucocephala

SKRIPSI ROHIMAH

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(32)

i RINGKASAN

ROHIMAH. D240801280. 2012. Kecernaan Nutrien pada Kelinci Peranakan

New Zealand White Jantan yang Diberi Pellet Ransum Komplit Mengandung

Indigofera zollingeriana dan Leucaena leucocephala. Skripsi. Departemen Ilmu

Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Panca Dewi MHK, M.Si

Ketersediaan pakan merupakan faktor penting dalam suatu usaha pemeliharaan ternak. Pemberian pakan yang berkualitas baik dapat meningkatkan performa kelinci. Kendala dari pakan kelinci yaitu harganya yang relatif mahal. Salah satu solusi untuk mengatasi masalah tersebut adalah pemanfaatan leguminosa lokal yang mampu memenuhi kebutuhan nutirisi kelinci serta memiliki ketersediaan yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh pemberian pelet ransum komplit berbasis Indigofera zollingeriana dan Leucaena leucocephala

dengan taraf yang berbeda terhadap kecernaan kelinci peranakan New Zealand White

jantan.

Penelitian ini menggunakan 20 ekor kelinci peranakan New Zealand White

jantan yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok berdasarkan bobot badan. Perlakuan yang digunakan terdiri dari R0 (Pellet Komersial), R1 (Ransum mengandung 30% L. leucocephala), R2 (Ransum mengandung 10% I. zollingeriana

+ 20% L. leucocephala), R3 (Ransum mengandung 20% I. zollingeriana + 10% L. leucocephala), R4 (Ransum mengandung 30% I. zollingeriana). Pakan dan minum diberikan secara ad libitum. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Pada 3 hari terakhir masa pemeliharaan dilakukan koleksi sampel feses untuk mengukur kecernaan pakan. Ternak dipelihara dalam kandang individu selama 8 minggu. Dua minggu pertama sebagai masa adaptasi. Kemudian minggu ke-3 sampai ke-8 dilakukan pengamatan. Kecernaan bahan kering, bahan organik, protein kasar, lemak kasar dan serat kasar serta konsumsi bahan kering, bahan organik, protein kasar, lemak kasar dan serat kasar merupakan parameter yang diukur dalam penelitian ini. Seluruh data tersebut dianalisis dengan ANOVA dan Uji Lanjut Kontras Ortogonal.

(33)

ii sebesar 75,38%, R3 sebesar 84,97%, dan R4 sebesar 79,02%. Dapat disimpulkan bahwa keberadaan hijauan Leucaena leucsocephala dalam ransum kelinci dapat digantikan I. zollingeriana tanpa mempengaruhi kecernaan bahan kering, bahan organik, protein kasar dan serat kasar kelinci.

(34)

ABSTRACT

Digestibility of the Pellet Complete Ration Containing Indigoferazollingeriana

and Leucaena leucocephala in Cross bred New Zealand White Male Rabbit

Rohimah, Nahrowi and Karti, P. D. M. H

This research aim were to evaluate and compare dry matter, organic matter, crude fiber, crude fat, and crude protein digestibilities of I. zollingeriana and Leucaena leucocephala as pellet complete ration in New Zealand White male rabbits. Twenty rabbits of 4 months of ages, (1807± 255,87gram/head) were randomly assigned to one of the four treatments, i.e: R0 (Comercial diet), R1 ( Ration containing 30%

Leucaena leucocephala), R2 ( Ration containing 20% Leucaena leucocephala + 10% I. zollingeriana), R3 ( Ration containing 10% Leucaena leucocephala+ 20% I. zollingeriana), R4 ( Ration containing 30% I. zollingeriana). The diets and water were offered ad libitum to the rabbits. Data from Completely Randomized Block Design (CRBD) were analyzed for ANOVA and contras orthogonal test . The result showed that treatments did not significantly affect intake of organic matter and crude fiber, but significantly affected intake of crude protein and crude fat. The treatments did not significantly affect digestibility of dry matter, crude fiber, crude protein and organic matter digestibility, but significantly affected crude fat digestibility. Digestibility of crude fat was 90,97%, 81,85 %, 75,38%, 84,97 % and 79,02% respectively for R0, R1, R2, R3 and R4. It is concluded that the substitution of

Leucaena leucocephala with I. zollingeriana in rabbit diets did not affect dry matter, organic matter, crude protein and crude fiber digestibility.

(35)

iv KECERNAAN NUTRIEN PADA KELINCI PERANAKAN New Zealand White

JANTAN YANG DIBERI PELLET RANSUM KOMPLIT MENGANDUNG Indigofera zollingeriana

DAN Leucaena lucocephala

ROHIMAH D24080128

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(36)

v Judul : Kecernaan Nutrien pada Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan yang Diberi Pellet Ransum Komplit Mengandung Indigofera zollingeriana dan Leucaena leucocephala

Nama : Rohimah

NIM : D24080128

Menyetujui,

Pembimbing Utama,

( Prof Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc) NIP. 19620425 198603 1 002

Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Panca Dewi. M.H.K, M.Si) NIP. 19611025 198703 2 002

Mengetahui, Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi Dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr) NIP. 19670506 199103 1 001

(37)

vi RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 15 Desember 1989. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Mustamar dan Ibu Sukarlina. Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1995 di Taman Kanak-kanak Islam Raudhatul Athfal dan tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikannya di SDN Sukowono 3 dan diselesaikan pada tahun 2002. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2002 dan diselesaikan pada tahun 2005 di SMPN 2 Sukowono. Penulis

melanjutkan pendidikannya di SMAN 1 Kalisat pada tahun 2005 dan diselesaikan pada tahun 2008.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor tahun 2008 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di IDC (IPB Debating Community) sebagai anggota periode 2008-2009, BEM Fakultas Peternakan sebagai bendahara departemen RPM Internal periode 2009-2010. Penulis juga aktif mengikuti organisasi FAMM AL-AN’AAM, sebagai anggota divisi informasi dan komunikasi periode 2009-2010. Penulis juga aktif di Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan Mahasiswa Jember-Bogor (IMJB) periode 2008-2009.

Penulis juga pernah mendapat beberapa penghargaan yaitu sebagai murid teladan tahun 2002 dan berkesempatan menjadi peserta Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang lolos didanai DIKTI sebanyak 5 proposal (4 PKMM dan 1 PKMP). Penulis juga mendapat kesempatan menjadi finalis PIM IPB 2012 dan mendapatkan beasiswa POM-IPB dan Ikatan Alumni Jawa Timur selama menempuh pendidikan di IPB.

Bogor, September 2012

(38)

vii KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan hidayat serta nikmat yang dikaruniakan oleh Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Kecernaan Nutrien pada Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan yang Diberi Pellet Ransum Komplit Mengandung Indigofera zollingeriana dan Leucaena leucocephala

merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan di Fakultas Peternakan, Institut pertanian Bogor.

Kelinci New Zealand White memiliki potensi besar dibudidayakan di Indonesia, hal tersebut dikarenakan kebutuhan daging di Indonesia yang belum mampu dipenuhi. Faktor utama penunjang keberhasilan pemeliharaan ternak kelinci adalah pakan. Pemberian pakan yang berkualitas dan berkuantitas baik, kelinci dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Kendala dari pakan kelinci yaitu harganya yang relatif mahal. Pemanfaatan leguminosa lokal yang mampu memenuhi kebutuhan nutrisi kelinci dan memiliki daya simpan serta distribusi yang baik merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan produktivitas kelinci. Legum yang memiliki komposisi nutrisi berkualitas dan berkuantitas baik adalah Indigofera zollingeriana dan Leucaena leucocephala. Pengolahan daun Indigofera zollingeriana

dan Leucaena leucocephala menjadi pellet akan mempermudah proses transportasi dan meningkatkan umur simpan pakan. Penelitian ini dirancang untuk membandingkan pengaruh pemberian ransum komplit mengandung hijauan yang berbeda terhadap kecernaan zat makanan pada kelinci peranakan New Zealand White

jantan.

Ibarat pepatah mengatakan”tak ada gading yang tak retak”penulisan skripsi

ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun penulis harapkan untuk perbaikan skripsi. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermnfaat dan diaplikasikan dengan baik.

Bogor, September 2012

(39)

viii

Indigofera zollingeriana dan Pengaruhnya terhadap Ternak ... 7 Lamtoro (Leucaena Leucocephala) dan Pengaruhnya terhadap

(40)
(41)

x DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

(42)

xi DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

(43)

xii DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

(44)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pakan merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan dalam pemeliharaan kelinci. Kelinci berproduksi dengan baik jika diberikan pakan dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Permasalahan yang terjadi di peternakan kelinci pada umumnya adalah manajemen pakan yang dilakukan secara tradisional sehingga peternak kurang memperhatikan kecukupan nutrisi kelinci seperti pemenuhan energi, protein dan air. Kekurangan zat makanan dapat mempengaruhi performa ternak. Menurut Ensminger et al. (1990), pakan kelinci dapat berupa hijauan, namun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, sehingga produksinya tidak akan maksimum, oleh karena itu dibutuhkan pakan konsentrat. Kendala penggunaan konsentrat adalah harganya yang mahal, sehingga dapat memberatkan peternak untuk itu diperlukan pakan alternatif yang berkualitas baik dan harganya murah. Leucaena leucocephala merupakan leguminosa yang memiliki protein tinggi sehingga bisa digunakan sebagai campuran pakan kelinci.

Menurut Onwudike (1995), pellet berbasis daun lamtoro lebih disukai oleh kelinci dibandingkan daun gamal. Selanjutnya Onwudike (1995), menyatakan bahwa pemberian daun lamtoro dapat mengurangi pertambahan bobot badan, konsumsi pakan dan efisiensi pakan. Daun lamtoro mengandung mimosin yang menyebabkan kerontokan dan reddish (urin berwarna cokelat) pada kelinci. Penggunaan Indigofera zollingeriana atau yang biasanya dikenal dengan istilah I. zollingeriana sebagai hijauan sumber protein adalah salah satu cara untuk mengurangi kadar daun lamtoro dalam pakan kelinci dan diharapkan mampu meningkatkan kecernaan kelinci sehingga dapat meningkatkan pertambahan bobot badan, konsumsi pakan dan efisiensi pakan.

(45)

2 Pemberian I. zollingeriana dan kombinasi antara I. zollingeriana dan Leucaena luecocephala sebagai hijauan dalam pakan kelinci merupakan hal baru dan belum pernah dilaporkan, sehingga penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kombinasi daun lamtoro dan I. zollingeriana yang tepat dalam ransum kelinci.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh pemberian pelet ransum komplit yang mengandung I. zollingeriana dan Leucaena leucocephala

(46)

TINJAUAN PUSTAKA Ternak Kelinci

Kelinci memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan sebagai penghasil daging, kulit/bulu, hewan percobaan dan hewan untuk dipelihara (Church, 1991). Kelinci merupakan hewan herbivora non-ruminan yang memiliki sistem pencernaan monogastrik dengan perkembangan sekum seperti ruminansia, sehingga kelinci disebut pseudo-ruminansia (Cheeke dan Patton, 1982).

Klasifikasi kelinci menurut Damron (2003) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animal (hewan)

Phylum : Chordata (mempunyai notochord) Sub phylum : Vertebrata (bertulang belakang) Kelas : Mamalia (memiliki kelenjar susu)

Ordo : Logomorpha (memiliki dua pasang gigi seri rahang atas) Famili : Leporidae (rumus gigi 8 pasang diatas dan 6 pasang dibawah) Genus : Oryctolagus (morfologi yang sama)

Spesies : Oryctolagus cuniculus.

Bangsa kelinci yang biasanya paling banyak digunakan sebagai hewan penelitian adalah New Zealand White. Kelinci ini memiliki beberapa keunggulan antara lain: sifat produksi yang tinggi, tidak dibutuhkan biaya dalam pemeliharaan, siklus hidup yang pendek, daya tahan yang lebih kuat terhadap penyakit, adaptif terhadap lingkungan yang baru, dan tidak memerlukan tempat yang luas. Kelinci

New Zealand White termasuk dalam bangsa medium yang memiliki bobot hidup antara 4kg-5kg (Blakely dan Bade, 1991) dan mencapai bobot dewasa pada umur 5-6 bulan (Cheeke et al., 2000).

(47)

4 merupakan ternak yang mempunyai potensi reproduksi tinggi, laju pertumbuhan cepat, periode kebuntingan yang pendek bila dibandingkan dengan ternak lain, seperti sapi, kerbau, babi, kecuali unggas (Cheeke et al., 1982). Seekor induk kelinci mampu beranak 4-5 kali dalam setahun dengan masa kebuntingan 30-35 hari dan dari satu periode kelahiran dapat memberikan 6-8 ekor anak (Rismunandar, 1981)

Kebutuhan Nutrisi Kelinci

Kelinci mempunyai ukuran, kegunaan, warna dan panjang yang berbeda-beda. Berat kelinci saat dewasa bervariasi mulai dari 1,5 kg sampai 7 kg (Blakely dan Bade, 1991). Bangsa kelinci yang dijadikan sebagai penghasil daging diantaranya California, Flemish giant, Satin dan New Zealand White karena sifat produksinya yang tinggi, tidak dibutuhkan banyak biaya dalam pemeliharaan, siklus hidup yang pendek, memiliki daya tahan yang lebih kuat terhadap penyakit, mudah beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan tidak memerlukan tempat yang luas (Farrel dan Raharjo, 1984). Kelinci mempunyai potensi sebagai penghasil daging yang baik kerena kelinci sangat cepat berkembang biak.

Tabel 1. Kebutuhan Nutrisi Kelinci

Nutrient Kebutuhan Nutrisi Kelinci

Pertumbuhan Hidup pokok Bunting Laktasi

Digestible Energy (kcal/kg) 2500 2100 2500 2500

(48)

10%-5 12%, kebutuhan serat kasar kelinci dewasa sebesar 14% sedangkan kebutuhan lemak pada setiap periode pemeliharaan tidak berbeda yaitu sebesar 2% (Tabel 1).

Jumlah pakan yang diberikan harus memenuhi jumlah yang dibutuhkan oleh kelinci sesuai dengan tingkat umur atau bobot badan kelinci. Pemberian pakan ditentukan berdasarkan kebutuhan bahan kering. Jumlah pemberian pakan bervariasi bergantung pada periode pemeliharaan dan bobot badan kelinci (Tabel 2).

Tabel 2. Kebutuhan Bahan Kering Kelinci

Status Bobot badan (BB)

Saluran pencernaan merupakan saluran yang memanjang yang dimulai dari mulut sampai anus yang berfungsi sebagai tempat pakan ditampung, dicerna, diabsorbsi dan tempat sisa pencernaan yang akan dikeluarkan. Gerakan pakan di saluran pencernaan dilakukan oleh adanya kontraksi atau gerakan peristaltik otot sirkuler dinding saluran pencernaan. Berbagai macam getah pencernaan yang berisi macam-macam enzim pencernaan yang diekskresikan ke dalam saluran pencernaan (Kamal,1994)

Berdasarkan sistem pencernaannya, kelinci diklasifikasikan ke dalam hindgut fermentor yaitu saluran pencernaan bagian belakang memegang peranan penting seperti sekum dan kolon (McNitt et al., 1996). Pada ternak ruminansia fermentasi serat terjadi di dalam rumen, fermentasi pakan pada kuda terjadi di dalam kolon sedangkan pada kelinci terjadi di dalam sekum (Irlbeck, 2001).

(49)

6 panjang 40 cm dan berat 25 gram, sedangkan lambung pada kelinci mempunyai ukuran berat 20 gram, lambung pada kelinci memiliki kapasitas 90-100 gram atau 17% bahan kering. Lambung memiliki pH yang asam yaitu berkisar antara 1,5-2,0. Usus halus pada kelinci memiliki ukuran panjang 330 cm dan berat 60 gram. Kapasitas usus halus pada kelinci yaitu berkisar antara 20-40 gram atau setara dengan 7% bahan kering.

Gambar 1. Saluran Pencernaan Kelinci Sumber: Cheeke et al. (2000)

Kelinci memiliki kebiasaan yang berbeda dari ternak lainnya yaitu kebiasaan memakan feses yang sudah dikeluarkan yang disebut coprophagy. Sifat coprophagy

biasanya terjadi pada malam atau pagi hari berikutnya. Sifat tersebut memungkinkan kelinci memanfaatkan secara penuh pencernaan bakteri di saluran bagian bawah, yaitu mengkonversi protein asal hijauan menjadi protein bakteri yang berkualitas tinggi, mensintesis vitamin B, dan memecahkan selulosa atau serat menjadi energi yang berguna.

Ransum Komplit

(50)

7 seimbang, disukai ternak dan dalam bentuk yang mudah dicerna oleh saluran pencernaan (Ensminger et al., 1990). Ransum komplit merupakan pakan yang cukup gizi untuk hewan dalam status fisiologis tertentu, dibentuk atau dicampur untuk diberikan sebagai satu-satunya makanan dan memenuhi kebutuhan pokok, produksi, atau keduanya tanpa tambahan bahan atau substansi lain kecuali air (Tillman et al., 1997).

Ensminger et al. (1990) melaporkan beberapa keuntungan yang diperoleh dari penggunaan ransum komplit antara lain: 1) meningkatkan efisiensi pemberian pakan, 2) meningkatkan konsumsi dari suplementasi hijauan yang kurang palatabel dengan konsentrat dan dapat mengganti konsentrat yang terbatas dengan hijauan sebagai campuran, 3) campuran ransum komplit dapat memudahkan ternak mendapatkan pakan lengkap. Keistimewaan ransum komplit adalah pencampuran bersama semua bahan-bahan pakan seperti hijauan, bijian, konsentrat, suplemen protein, vitamin dan mineral menjadi satu dan diberikan kepada ternak sebagai pakan tunggal.

Indigofera zollingeriana dan Pengaruhnya

terhadap Ternak

Indigofera zollingeriana adalah tanaman leguminosa pohon dengan genus

Indogofera dan memiliki sekitar 700 spesies yang tersebar secara geografis di Afrika tropis, Asia, Australia dan Amerika Utara, sekitar tahun 1900 Indigofera sp. dibawa ke Indonesia oleh bangsa Eropa dan terus berkembang hingga saat ini (Tjelele, 2006). Leguminosa pohon ini cocok dikembangkan di Indonesia tahan terhadap kekeringan, banjir, dan salinitas (Hassen et al. 2007). Berdasarkan penelitian Hassen

et al., ( 2006) yang menggunakan beberapa spesies Indigofera sp. antara lain I. amorphoides, I. arecta, I. brevicalyx, I. coerulea, I. costata, I. cryptantha, I. spicata,

(51)

8 mengandung protein kasar sebesar 27,9%, NDF 19%-50%, serat kasar 15%, fospor 0,19%, kalsium 0,22 dan kecernaan bahan organik yang diukur secara in vitro

sebesar 56%-72% (Hassen et al. 2007).

Taksonomi tanaman Indigofera sebagai berikut divisi : Spermatophyta

sub divisi : Angiospermae

kelas : Dicotyledonae

bangsa : Rosales

suku : Leguminosae marga : Indigofera

jenis : Indigofera zollingeriana

Gambar 2: Tanaman Indigofera zollingeriana

Sumber : Dokumentasi Penelitian

(52)

9 bahan kering total Indigofera zollingeriana adalah 51 ton/ha/tahun (Abdullah 2010). Tarigan (2009) menyatakan bahwa nilai kecernaan bahan kering daun Indigofera sp. yang diberikan sebanyak 45% dari total ransum terhadap kambing Boerka adalah 60%.

Lamtoro ( Leucaena leucocephala) dan Pengaruhnya terhadap Kelinci

Lamtoro ( Leucaena leucocephala) merupakan tanaman legum pohon serba guna. Lamtoro umumnya ditanam sebagai tanaman pagar dan tanaman pelindung untuk tanaman komersial. Tanaman lamtoro dapat diberikan pada ternak berupa hijauan segar, kering, tepung, silase dan pellet. Hijauan lamtoro sangat baik sebagai pakan ternak, dikarenakan daum lamtoro kaya akan protein, karoten, vitamin, dan mineral (Soeseno dan Soedaharoedjian, 1992).

Menurut Mtenga dan Laswai (1994) lamtoro memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu 21%, kandungan NDF sebesar 4,28% sedangkan kandungan asam aminonya cukup tinggi dan juga memiliki antinutrisi seperti mimosin dan tanin. Berdasarkan penelitian Futiha (2010), lamtoro memiliki kandungan protein kasar sebesar 26,07%, serat kasar 17,73%, lemak kasar 5%, Kalsium 1,86% dan Fospor 0,25%. Laconi dan Widiyastuti (2010) menyatakan bahwa kandungan mimosin pada daun lamtoro berkisar antara 2%-6%.

Gambar 3. Leucaena leucocephala

(53)

10 Menurut Onwudike (1995), pellet berbasis daun lamtoro lebih disukai oleh kelinci dibanding daun gamal, namun pemberian daun lamtoro dapat mengurangi pertumbuhan bobot badan, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan. Daun lamtoro mengandung mimosin yang menyebabkan kerontokan dan reddish ( urin berwarna cokelat) pada kelinci. Wood et al. ( 2003) menyatakan bahwa terjadi penurunan kadar mimosin daun lamtoro akibat pemanasan pada suhu 60ºC dan 145ºC yaitu sebesar 43%. Selain itu, terjadi inaktivasi mimosin akibat proses pelleting. Menurut Onwudike (1995) penggunaan lamtoro sebesar 50% dalam pakan kelinci akan menurunkan performa kelinci fase pertumbuhan.

Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum adalah jumlah makanan yang dimakan oleh hewan bila diberikan ad libitum. Konsumsi ransum juga merupakan faktor dasar untuk hidup dan menentukan produksi (Parakkasi, 1999). Ternak mampu mencapai tingkat penampilan produksi yang optimal sesuai dengan potensi genetiknya bila memperoleh nutrien yang dibutuhkannya. Menurut Wiseman (1989), banyaknya ransum yang dikonsumsi dipengaruhi oleh palatabilitas ransum yang tergantung pada cita rasa, ukuran dan tekstur. Aroma pakan juga mempengaruhi terhadap palatabilitas yang dapat meningkatkan konsumsi ransum (Pond et al., 1995).

Tingkat konsumsi ransum pada ternak kelinci dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, kesehatan, bentuk ransum, imbangan zat makanan, cekaman, kecepatan pertumbuhan dan yang paling utama adalah energi (NRC, 1977). Menurut Cheeke (1987), konsumsi ransum akan meningkat bila kandungan energi ransum rendah. Lang (1981) menyatakan bahwa kualitas protein dalam ransum penting untuk kelinci karena dapat meningkatkan konsumsi ransum.

Kecernaan Leguminosa pada Kelinci secara

in vivo

(54)

11 Daya cerna hijauan leguminosa sangat bervariasi yang banyak ditentukan oleh tingkat protein yang dikandungnya. Rendahnya protein kasar yang dicerna oleh seekor ternak tergantung tinggi rendahnya persentase protein dalam tanaman. Pada umumnya nilai daya cerna leguminosa lebih tinggi daripada rumput. Hal ini dimungkinkan karena leguminosa mempunyai kualitas yang baik terutama kandungan proteinnya yang tinggi (Ella, 1996). Kecernaan leguminosa pohon bervariasi. Gamal (Glicirida sepium) memiliki daya cerna berkisar antara 50%-75%,

Leucaena leucocephala berkisar antara 65%-87%, kaliandra berkisar antara 35%-42% (Karti, 1998).

McDonald et al (2002) menyatakan bahwa zat makanan yang tercerna dapat dihitung dengan mengukur selisih zat makanan yang dikonsumsi dikurangi dengan zat makanan yang tersisa dalam feses. Pengukuran kecernaan dapat dilakukan secara langsung pada ternak (in vivo) maupun tidak langsung di laboratorium (in vitro) dan melalui metode kantong nilon (in sacco).

Pengukuran kecernaan ternak ruminansia secara langsung (in vivo) dilakukan melalui koleksi feses total yang lebih mudah dilakukan pada ternak jantan karena saluran ekskresi feses (rektum) terpisah dari saluran uretra. Ternak ditempatkan dalam kandang individu sehingga dapat diukur jumlah pakan yang dikonsumsi dan feses yang dikeluarkan. Tingkat kecernaan pakan dapat dihitung dengan rumus berikut (Cheeke, 2005):

% Kecernaan = Pakan yang dikonsumsi – Jumlah feses x 100% Pakan yang dikonsumsi

(55)

12 hari. Hasil koleksi feses harus dijaga dari kontaminasi. Panjang waktu koleksi feses adalah 4-12 hari (Rymer, 2000).

(56)

MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Ternak Ruminansia Kecil (Kandang B), Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis pakan dan analisis feses dilakukan di laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor Penelitian ini dilakukan selama 2 (dua) bulan yaitu bulan November 2011 sampai Januari 2012.

Materi Alat dan Bahan

Ternak. Penelitian ini menggunakan 20 ekor kelinci peranakan New Zaeland White

jantan periode lepas sapih umur 4 bulan, dengan bobot hidup rata-rata sekitar 1807± 255,87 g/ekor g/ekor.

Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011)

Kandang dan Peralatan. Kandang yang digunakan adalah kandang individu yang terbuat dari besi, sebanyak 20 buah dengan ukuran panjang 50 cm, lebar 50 cm dan tinggi 50 cm. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Masing-masing kandang ditempati seekor kelinci.

Ransum Penelitian. Ransum penelitian yang digunakan adalah pelet ransum komplit dengan sumber hijauan daun I. zollingeriana dan L. Leucocephala sebagai perlakuan. Bahan lain adalah jagung, dedak padi, CGM, bungkil kedelai, bungkil kelapa, CaCO3, premix, DCP, NaCl dan tepung ikan. Ransum komplit diformulasikan

(57)

14 dengan menggunakan Winfeed 2.8. Susunan ransum berdasarkan perlakuan yang diberikan terdapat pada Tabel 3. Komposisi nutrien pellet ransum komplit yang diberikan selama penelitian berdasarkan analisis laboratorium terdapat pada Tabel 4.

Tabel 3. Susunan Ransum Penelitian (%BK)

Bahan Pakan Taraf Pemberian (%)

R01 R1 R2 R3 R4

Keterangan : 1Komposisi bahan pakan dirahasiakan (Pellet ransum komersil)

Metode Persiapan Hijauan

Hijauan yang digunakan sebagai bahan pakan ransum komplit adalah daun I. zollingeriana dan lamtoro. Hijauan dikeringkan dengan cara dijemur dibawah sinar matahari selama ± 3 hari hingga kadar air bahan mencapai ± 12 %. Hijauan dipisahkan antara ranting dan daunnya sebelum digiling halus dengan ukuran gilingan 2 mm hingga berbentuk tepung.

Pembuatan Pelet Ransum Komplit

Bahan hijauan yang telah digiling dan berbentuk tepung dicampur dengan bahan pakan (Jagung, Dedak padi, CGM, Bungkil kedelai, Bungkil kelapa, CaCO3,

(58)

15 campuran tersebut dimasukkan ke dalam mesin pengaduk atau mixer agar semua bahan tersebut tercampur dengan rata. Tahap selanjutnya adalah pelleting yakni memasukan semua bahan yang telah tercampur ke dalam mesin pellet dengan ukuran 3 mm. Pellet yang akan dihasilkan selanjutnya diangin-anginkan dan dimasukkan ke dalam karung sesuai dengan perlakuan.

Tabel 4: Komposisi Nutrien Ransum Penelitian

Bahan pakan Kandungan Nutrien (%BK)

R0 R1 R2 R3 R4

Abu 10,25 8,07 8,40 8,63 8,63

Protein Kasar 15,74 17,90 18,95 21,06 19

Lemak Kasar 6,68 6,46 6,79 7,07 5,29

Serat Kasar 9,76 8,16 7,60 8,45 8,11

BETN 57,57 59,40 58,26 54,78 58,97

TDNa 62,87 68,26 69,70 68.81 66,99

Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, IPB (2011); berdasarkan Rumus Hartadi et al., (1980), %TDN = 22,822 – 1,44 (SK) – 2,875 (LK) + 0,655 (BeTN) + 0,863 (PK) + 0,02 (SK)2 0,078(LK)2 + 0,018 (SK)(LK) + 0,045 (LK)(BeTN) – 0,085 (LK)(PK) + 0,02 (LK)2(PK)

Keterangan : R0 = pelletcomersial, R1 = pellet ransum komplit 0% I. zollingeriana dan 30% lamtoro, R2 = pellet ransum komplit mengandung 10% I. zollingeriana dan 20% lamtoro, R3 = pellet ransum komplit mengandung 20% I. zollingeriana dan 10% lamtoro, R4 = pellet ransum mengandung 30% I. zollingeriana dan 0% lamtoro.

Gambar

Gambar 1. Saluran Pencernaan Kelinci
Gambar 2: Tanaman Indigofera zollingeriana
Gambar 4.  Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan
Tabel 3. Susunan Ransum Penelitian (%BK)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional , disingkat Bappenas , adalah lembaga pemerintah nonkementerian Indonesia yang bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang

Pada penelitian yang dilakukan oleh Yeli Erna Fratiwi tahun 2010 terhadap mahasiswa semester tiga Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha Angkatan 2008,

[r]

Character education in schools to be effective because, (a) the basic values of the characters from the culture of the school, family and society, (b) the character education

Pada pemeriksaan RT-PCR untuk deteksi virus Dengue-3 pada nyamuk yang diin- feksi secara intrathorakal, terdapat variasi dalam volume RNA virus yang digunakan dan juga

Surat Keterangan diberikan kepada peserta Pelatihan yang telah menyelesaikan seluruh atau sebagian mata Pelatihan namun tidak berhasil mencapai kompetensi yang

Pembuatan perancangan antar muka ini dibuat untuk merancang halaman aplikasi yang berinteraksi langsung dengan pengguna agar aplikasi tersebut menjadi userfriendly

Simpulan: Faktor yang berhubungan dengan pemakaian implan pada wanita kawin usia subur adalah nilai budaya yang mendukung, adanya role model, pengetahuan yang baik