• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I Sejarah Otonomi Khusus Papua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB I Sejarah Otonomi Khusus Papua"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Proses sejarah integrasi Provinsi Irian Barat yang saat ini disebut Provinsi Papua,1 dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengalami berbagai

hambatan. Pada saat sebelum pendeklarasian negara Indonesia di 17 Agustus 1945 yakni tertanggal 15 Agustus 1945 dalam pidato di depan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau selanjutnya disebut PPKI,2 Presiden Soekarno

menegaskan bahwa wilayah Indonesia adalah pulau-pulau Sunda Besar (Jawa, Sumatera, Borneo dan Celebes), pulau-pulau Sunda Kecil yaitu Bali, Lombok, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, serta Maluku. Berdasarkan pada alasan keamanan Indonesia dari arah Pasifik, maka diperlukan menguasai Papua. Wilayah Papua yang dahulu dikenal dengan nama West New Guinea menjadi wilayah sengketa Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda, yang diselesaikan melalui gencatan senjata dan politik diplomasi serta perundingan. Diawali dengan Konferensi Malino di Makasar-Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Juli 1946, selanjutnya Perjanjian Linggar Jati Maret 1947 dan Konvensi Meja Bundar yang selanjutnya disebut KMB pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Belanda.

Belanda sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang selalnjutnya disebut sebagai PBB, telah menandatangani Piagam PBB yang mengamanahkan pada Pasal 73 tentang Hak Penentuan Nasib Sendiri tanggal 26 Juni

1 Melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, penamaan Provinsi Irian

Barat diganti menjadi Provinsi Papua.

2 Agus. A. Alua. Dialog Nasional Papua dan Indonesia, Sekretariat Presidium Dewan Papua dan Biro Peneliti

(2)

1945 Pemerintah Belanda berkewajiban mempersiapkan Papua menjadi sebuah negara, sehingga hal tersebut menciptakan status quo West New Guinea.3 H.J Sorolea

dalam buku Azas-Azas Tatanegara Nederlands New Guinea Jilid II, yang diterjemahkan oleh P. J Merkelijn dalam John Anari4 menegaskan, hal ini disebabkan

karena Papua adalah suatu daerah yang belum berpemerintahan Sendiri (Non Self Government Territory), oleh sebab itu Belanda mempersiapkan Parlement Papua (New Guinea Raad), Sekolah Pemerintahan (Bestuur School), Kepolisian Papua, PVK (Papoea Vrijwilleger Korps), serta memasukkan New Guinea ke Daftar Komisi Pasifik Selatan (South Pacific Commition) melalui Perjanjian yang ditanda tangani pada tanggal 6 Februari 1947 di Canbera oleh Australia, Perancis, Inggris, Nederland, New Zealand dan Amerika Serikat. Maksud perjanjian ini adalah untuk memperkuat kerja sama internasional supaya dimajukan kemakmuran ekonomis dan sosial dari bangsa-bangsa di dalam daerah yang belum berpemerintahan sendiri di Samudera Pasifik.

Setelah KMB penamaan West New Guinea diubah menjadi Provinsi Irian Barat, kata Irian5 diartikan dengan Ikut Republik Indonesia Anti Netherland, namun

senyatanya konvensi tersebut belum mampu menjadi dasar untuk mengintegrasikan Irian Barat ke dalam negara Indonesia sepenuhnya. Pada 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengumandangkan Tri Komando Rakyat atau selanjutnya disebut Trikora dengan perintah antara lain;

3 John Anari, Kegagalan Dekolonisasi dan Ilegal Referendum di Papua Barat, WPLO, 2012. Halaman 10. 4Ibid., Halaman 10.

5 Irian diawali sebagai penamaan sebuah gerakan yang dipimpin oleh Soegoro Atmoprasodjo yakni mantan

(3)

1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda; 2. Kibarkan bendera merah putih di Irian Barat; dan

3. Kerahkan semua kekuatan, termasuk para sukarelawan untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa dalam merebut Irian Barat.

Memperkuat Trikora Presiden Soekarno membentuk Komando Mandela Pembebasan Irian Barat yang berkedudukan di Makasar pada tanggal 11 Januari 1962, yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto.6 Operasi militer ini berhasil

memperjuangkan keberlanjutan politik diplomasi dalam merebut Irian Barat.

Perundingan integrasi Provinsi Irian Barat dilanjutkan pada tanggal 15 Agustus 1962 melalui perjanjian New York dan pada tanggal 1 Oktober 1962 Administrasi Nederlands New Guinea dialihkan kepada Pemerintahan sementara PBB United Nation Temporary Excecutive Authority (UNTEA). Perundingan tersebut menjadi dasar Indonesia menyepakati metode integrasi Irian Barat melalui pemberian Hak Penentuan Nasib Sendiri atau Self Determination kepada rakyat penduduk asli Papua. Hak Penentuan Nasib Sendiri Papua dibuat dengan metode Penentuan Pendapat Rakyat yang selanjutnya disebut dengan Pepera pada tahun 1969 dengan lebih dahulu membentuk Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat atau selanjutnya disebut DPM. Hasil resmi yang disiarkan secara internasional, bahwa terdapat 1.024 wakil-wakil orang Irian memilih bergabung dengan Indonesia.7 Hasil

Pepera tersebut mengakibatkan terintegrasinya Provinsi Irian Barat dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang disahkan dalam Laporan Utusan PBB Resolusi

6 Tim Peneliti Kontras, Laporan Penelitian Bisnis Militer, Kontras, Boven Digoel Papua, 2004. Halaman 8. 7 Widjojo dkk, Papua Road Map Negotiating the past, improving the Present and Securing the Future, LIPI,

(4)

2504 tentang Hasil Pepera 1969. Dibawah pemerintahan Presiden Soeharto Provinsi Irian Barat berganti nama menjadi Provinsi Irian Jaya dan resmi menjadi provinsi ke-26 di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 melalui Penetapan Presiden atau selanjutnya disebut Penpres Nomor 1 Tahun 1963 untuk Provinsi Papua yang berkedudukan di Jayapura.

Terintegrasinya Provinsi Irian Jaya dengan Indonesia tidak sepenuhnya mengubah keadaan sikap berbagai rakyat Irian Jaya bahwa wilayah Irian Jaya senyatanya telah bersatu dengan NKRI. Setelah Hasil Pepera disahkan, terjadi sebuah penolakan dari beberapa kelompok yang tidak menghendaki Papua (Red-Irian Jaya) bersatu dengan NKRI, sejak tahun 1960 an aksi penolakan sudah ada namun intensitasnya rendah. Adanya gerakan perlawanan yang dilakukan oleh warga Papua di Papua Barat adalah sebuah fakta bahwa Pemerintah Indonesia menyebutnya sebagai Gerakan Separatis8 Papua. Pada tanggal 1 Juli 1971 Brigjen Seth J

Rumkorem, mantan anggota intelijen dari Komando Daerah Militer atau selanjutnya

disebut Kodam Diponegoro, memproklamasikan Negara Republik Papua Barat di

Jayapura. Jejak itu diikuti oleh Sembilan mahasiswa Universitas Cenderawasih

dengan mengibarkan bendera Organisasi Papua Merdeka yang selanjutnya disebut

dengan OPM di Abepura dan memproklamasikan berdirinya Negara Papua Barat

pada bulan Juli 1982. Tanggal 14 Desember 1988 Thomas Wanggai doktor di bidang

administrasi pemerintahan lulusan Jepang dan Amerika Serikat, juga

8 Separatis dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah mengasingkan diri, kelompok yang mengasingkan dirinya

(5)

memproklamasikan Negara Melanesia Barat di lapangan Mandala Jayapura.9 Di

tingkat internasional, gerakan ini lebih dikenal dengan nama Free Papua Movement. Gerakan OPM yang terus berjuang mencapai kemerdekaan mendapat berbagai dukungan dari dunia Internasional, termasuk Amerika Serikat dan Australia.10 Otto

Syamsuddin Ishaq,11 peneliti Papua pada Imparsial menekankan bahwa akar

permasalahan konflik di Papua merupakan akibat dari tidak selesainya proses integrasi Papua ke dalam wilayah NKRI.

Periode tahun 1969 s/d 2000 keadaan Papua masih menjadi wilayah konflik, munculnya Organisasi Papua Merdeka (OPM) dijawab dengan represif oleh Pemerintah Indonesia dengan membangun Daerah Operasi Militer yang selanjutnya disebut dengan DOM di Papua. Kebijakan Hard Power12 yang dijalankan oleh

Pemerintah Indonesia selama puluhan tahun terhadap wilayah Papua menimbulkan tindak kekerasan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia yang selalu menjadi alasan sebagai menghentikan gerakan pemberontakan atau separatis rakyat Papua. Berbagai kebijakan Hard Power yang menjadi landasan DOM di Papua antara lain;13

1. Operasi militer pertama dinamakan Operasi Sadar yang dimulai pada tahun 1965 dan berakhir dua tahun kemudian.

9 Tim Peneliti Kontras, Op.Cit., Halaman 9.

10 D. Muhammad, ‘Politisi Australia dan Pasifik Siapkan Gerakan Papua Merdeka’ (online), 2012. <http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/02/24/lzuio6-politisi-australia-dan-pasifiksiapkan gerakan-papua-merdeka>, diakses 11 November 2013.

11 Otto Syamsuddin Ishaq, 50 Tahun Konflik Papua, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 1

Desember 2011. Halaman 8.

12 Untuk memperjuangkan atau mempertahankan kepentingannya, baik pusat maupun daerah tidak jarang

menggunakan power, apakah itu dengan hard power (mengedepankan tindakan militer atau kekerasan dan sanksi) atau soft power (dengan dialog atau perundingan).

(6)

2. Operasi militer kedua dinamakan Operasi Brathayudha yang dimulai pada tahun 1967. Operasi yang berlangsung dalam waktu dua tahun ini menelan korban jiwa sampai sekitar 3.500 orang.

3. Operasi militer ketiga adalah Operasi Wibawa yang dilakukan sejak tahun 1969. Eliezer Bonay Gubernur pertama Papua, memperkirakan bahwa terdapat 30.000 warga Papua menjadi korban tentara Indonesia terhitung sejak tahun 1963 hingga 1969.

4. Operasi militer keempat diluncurkan di kabupaten Jayawijaya pada tahun 1977. Operasi ini mengakibatkan pembunuhan massal terhadap 12.397 warga Papua.

5. Operasi militer kelima adalah Operasi Sapu Bersih I dan II yang diluncurkan tahun 1981 dan menelan korban jiwa sedikitnya 1.000 orang di kabupaten Jayapura dan 2.500 di kabupaten Paniai.

6. Operasi militer keenam adalah Operasi Galang I dan II terjadi pada tahun 1982, yang menyebabkan terbunuhnya ribuan warga Papua.

7. Operasi militer ketujuh dikenal dengan nama Operasi Tumpas dan berlangsung antara tahun 1983 sampai tahun 1984.

8. Operasi militer kedelapan, pasukan tentara menghabisi sedikitnya 517 jiwa dan membumihanguskan sekitar 200 rumah.

(7)

dan kelaparan setelah menyelamatkan diri ke dalam hutan. Pada tahun 1998 Indonesia mencabut status Papua Barat sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), akan tetapi pengejaran terhadap kaum separatis Papua tetap dilanjutkan.

10. Operasi militer besar kesepuluh dilakukan pada tahun 2001 di kabupaten Manokwari, dimana empat orang dibunuh, enam lainnya mengalami penyiksaan, satu perempuan diperkosa dan lima orang hilang.

11.Operasi militer kesebelas berlangsung antara bulan April dan November tahun 2003 di Wamena, ibukota kabupaten Jayabaya, dan sekitarnya. Tentara menguasai seluruh kawasan, menghambat akses kelompok gereja dan pekerja kemanusiaan untuk memberi bantuan selama operasi berlangsung.

12. Operasi militer keduabelas dilakukan di kabupaten Puncak Jaya pada tahun 2004. Sedikitnya 6.000 warga Papua dari 27 desa menyelamatkan diri masuk hutan, 35 di antaranya termasuk 13 anak-anak, meninggal di kamp pengungsian yang dibangun.

Kawasan Papua telah di militarisasi oleh Pemerintah Indonesia, hal tersebut dilakukan sebagai bentuk program ekspansi terhadap ancaman pertahanan Indonesia, sehingga keadaan pergolakan di Papua dan separatis dapat diketahui secara dini dan ditangani lebih cepat dengan dua kebijakan yakni,14

1. Memperluas komando teritorial; dan 2. Peningkatan jumlah pasukan perang.

(8)

Pemerintah Indonesia mengambil keputusan untuk membentuk sejumlah Komando Militer baru di Provinsi Papua, untuk seluruh wilayah Papua Barat saat ini ada satu komando militer yang disebut Komando Daerah Militer atau selanjutnya disebut dengan Kodam, dengan markas besar di Jayapura. di bawah Kodam terdapat tiga Komando Resort Militer atau selanjutnya disebut dengan Korem yaitu Korem 171/Praja Vira Tama di kota Sorong, Korem 172/Praja Vira Yakthi di Jayapura dan Korem 173/Praja Vira Braja di Biak. Pemerintah membentuk komando resor militer tambahan yaitu Korem 174/Anim Ti Waninggap (ATW) di Merauke pada tanggal 2 Juni 2005 untuk mengoptimalkan pertahanan kawasan Papua Barat. Di bawah Korem, terdapat Komando Distrik Militer atau selanjutnya disebut dengan Kodim. Karena ada banyak kabupaten baru dibentuk, sejumlah penambahan terhadap sembilan Kodim yang sudah ada. Pembentukan Korem dan Kodim yang baru dirancang untuk memperkuat kapasitas pertahanan. Program ekspansi yang kedua adalah kebijakan pemerintah untuk meningkatkan jumlah pasukan tempur tercermin dari langkah pemerintah membentuk beberapa batalion baru di Papua Barat, saat ini sudah ada tiga batalion infantri di Jayapura, Nabire dan Sorong.

Indonesia pun secara serius berkomitmen untuk meningkatkan keberadaan militer di Papua. Menteri Pertahanan Kabinet Bersatu Jilid kesatu Juwono Sudarsono, mengumumkan bahwa sekitar 15.000 pasukan akan dikirim ke Papua pada tahun 2010.15 Kebijakan atas sikap Pemerintah Indonesia yang masih menggunakan

tindakan militer dalam menangani dinamika permasalahan Papua, seakan menjadikan

15Ridam Max Sijabat, Protest Increase against heavy military presence in Papua, dalam The Jakarta Post, 3

(9)

pemberlakuan otonomi khusus sebuah formalitas yang belum teresensikan secara sadar mengakui pemerintahan daerah Provinsi Papua dan Papua Barat sesuai amanah UUD 1945 melalui UU Otsus.

Bersatunya Provinsi Irian Jaya tidak berdampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat Irian Jaya. Kemajuan pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia di Provinsi Papua sulit berkembang dan optimal dengan kebijakan ekspansi militer serta konsep pembangunan sentralistik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Peningkatan pembangunan dalam berbagai sektor di Irian Jaya menjadi agenda utama pada masa pemerintahan di zaman reformasi, yang kemudian menjadi dasar munculnya dua kebijakan, antara lain;

1. Pemekaran Provinsi Irian Jaya melalui Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong; dan

2. Pemberian Otonomi Khusus kepada Papua melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

(10)

berkeinginan memisahkan diri dari Indonesia yang ditegaskan oleh wakil rakyat Papua Barat16 antara lain;17

1. Papua Barat masuk ke Indonesia secara illegal;

2. Warga Papua Barat menjadi korban kejahatan atas kemanusiaan yang dilakukan tentara Indonesia; dan

3. Pemerintah Indonesia mengabaikan hak-hak warga Papua atas pembangunan sosial, ekonomi dan kultural.

Dialog yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie dengan rakyat Papua Barat terjawab pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dengan menawarkan status otonomi khusus untuk menggapi tuntutan hak menentukan nasib sendiri. Ketegasan status otonomi khusus untuk Papua dapat terealisasi pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, yang mensahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Kebijakan strategis pemerintah pusat untuk menanggapi tuntutan rakyat Papua ialah dengan mengeluarkan dua kebijakan dengan sifat mendesak sebagai rangkaian proses menciptakan Provinsi Papua yang otonom. Kebijakan pertama yang di dasarkan pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong yang selanjutnya disebut UU Pemekaran Provinsi Irian Jaya, disahkannya peraturan tersebut bertujuan sebagai salah satu bentuk dari pengakomodiran aspirasi rakyat Papua, yang memiliki luas wilayah

16 Wilayah Papua disebut sebagai Papua Barat sebelum lahirnya UU Pemekaran Papua yang membagi wilayah

Papua menjadi Provinsi Papua Barat dan Papua Timur.

(11)

hingga 404.669 KM2, sehingga diperlukan suatu pemekaran wilayah untuk

memudahkan penyelenggaraan negara.18

Kebijakan kedua melalui pemberian Otonomi Khusus yang selanjutnya disebut dengan Otsus, yang diberikan kepada Papua sebagai salah satu konsep dari penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua terlegitimasi melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang selanjutnya disebut dengan UU Otsus Papua. Sebelum lahirnya UU Otsus Papua tahun 2001, Pemerintah Indonesia telah menerapkan regulasi awal melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat. Undang-undang ini bertujuan memberikan kemandirian serta kebebasan bagi Provinsi Irian untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Peraturan tersebut tidak mendapat persetujuan sepenuhnya dari masyarakat Papua, sehingga konflik antar suku dan gerakan saparatis menjadikan semakin sulitnya implementasi kebijakan otonomi di Papua.19

Otonomi khusus hadir dengan dilatarbelakangi oleh sejarah atas perumusan pertama Undang-Undang Dasar 1945 yang selanjutnya disebut dengan UUD 1945 dalam sidang, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan perubahan UUD 1945. Pengaturan tentang Pemerintah Daerah terdapat pada Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen yakni,

18 Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah,

Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong.

(12)

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahnya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Pada masa perumusan UUD 1945 melalui sidang BPUPKI tahun 1945, terjadi perdebatan pemikiran tentang konsepsi penyelenggaraan negara terhadap Pemerintahan Daerah antara Soepomo dengan Soerjohamidjojo. Soepomo yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945 menegaskan bahwa pada Pasal 16 rancangan UUD kedua, Indonesia yang memilih bentuk negara kesatuan senyatanya tetap menghormati daerah-daerah tertentu seperti Kooti (Kerajaan) dengan memberikan hak istimewa. Konsepsi yang diangkat oleh Soepomo adalah Negara Kesatuan yang menghormati satuan wilayah Kooti (Kerajaan) yang masih hidup di Indonesia. Konsep tersebut mendapat pertentangan dari Soerjohamidjojo karena terdapat sebuah ketidaktegasan dari konsep negara kesatuan yang masih membagi kewenangan, dalam pendapatnya Soerjohamidjojo menegaskan bahwa jika dikehendaki sebuah penghormatan atas daerah-daerah tertentu maka harus dibedakan pengaturannya sehingga diperlukan BAB tersendiri untuk mengatur Kooti (Kerajaan) agar memperkokoh kedudukan daerah tersebut.20

Perdebatan tersebut terselesaikan dengan suara mayoritas anggota sidang BPUPKI untuk tidak menambahkan ketentuan khusus terhadap pengaturan Kooti (Kerajaan).

20 Perdebatan dalam Naskah Komperhensif Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

(13)

Penyelenggaraan pemerintahan daerah dipertegas kembali pada tahun 1999 s/d 2002, saat proses perubahan empat kali UUD 1945. Pada BAB VI tentang Pemerintahan Daerah Pasal 18, Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945 menjadi dasar dari keberadaan pengaturan tentang pemerintahan daerah dan otonomi khusus. Proses perumusan peraturan tentang pemerintahan daerah diajukan saat perubahan pertama di tahun 1999 dan disahkan dalam Rapat Paripurna ke-9 terkait pembahasan dan pengesahan perubahan kedua UUD 1945 di tahun 2000.

Setelah perubahan kedua UUD 1945, muncul ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelanggaraan Otonomi Daerah, yang menekankan untuk segera merealisasikan otonomi khusus melalui sebuah undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.21 Di Indonesia

terdapat lima Provinsi yang memiliki status otonomi khusus dan istimewa,22 yakni

Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Provinsi Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Provinsi Papua dan Papua Barat berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

21 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematiks, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 2005. Halaman 67.

(14)

Kebijakan pemberian Otsus Papua didasarkan pada Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945, yang ditegaskan bahwa;

Negara mengakui dan menghargai satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Berdasarkan amanah UUD 1945 setelah amandemen, pemerintah mensahkan UU Otsus Papua, yang memberikan kebebasan untuk Provinsi Papua mengurus rumah tangganya secara otonom. Proses perumusan UU Otsus Papua diawali dengan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berasal dari Pemerintah Daerah Provinsi Papua, yang selanjutnya disebut Pemda Provinsi Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut DPRP. Keduanya membentuk Panitia Penyelenggara Forum Kajian, Tim Penjaring Aspirasi, serta Tim Asistensi untuk menjaring aspirasi, wacana dan pandangan-pandangan ahli dari seluruh kalangan masyarakat Papua, yang dikembangkan menjadi RUU Otonomi Khusus.23

Tanggal 21 November 2001 UU Otsus Papua disahkan dan diundangkan pada saat masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Diundangkannya UU Otsus Papua dan terlaksananya penyelenggaraan Otsus Papua telah memunculkan berbagai pandangan, ketika dikaitkan dengan konsep negara kesatuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa,

Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk republik. Terdapat dua konsep untuk memaknai keberadaan Otsus Papua dalam Negara

23 Agus Sumule, Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

(15)

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pendapat pertama dikemukakan oleh Edie Toet Hendratno,24

Suatu negara yang mengakui keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dan keanekaragaman daerah dalam sistem negara kesatuan merupakan kesamaan dengan konsep diversity in unity (Keberagaman dalam kesatuan) dalam sistem federal.

Konsep negara kesatuan yang dianut Indonesia masih belum tegas membedakan pembagian kewenangan pada daerah, sehingga memunculkan sebuah paradigma sistem federal di negara kesatuan. Sebuah konsep yang dimunculkan oleh CF. Strong,25

Bahwa negara kesatuan bercirikan sebuah kedaulatan yang tidak terbagi, dan tidak ada badan berdaulatan tambahan tanpa perundingan kedaulatan tertinggi.

Indonesia sebagai negara kesatuan memiliki kedaulatan tunggal walaupun dalam penyelenggaraan negara, terdapat konsep otonomi daerah. Setiap daerah tidak memiliki kedaulatan otonom, pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia berdasarkan konstitusi tertulis Republik Indonesia.

Berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto bagi Provinsi Papua ditandai dengan munculnya dua kebijakan pemerintah pusat. UU Pemekaran Provinsi Irian Jaya dan UU Otsus Papua, kedua peraturan tersebut dikeluarkan pada masa reformasi dengan dua pemerintahan yang berbeda. UU Pemekaran Provinsi Irian disahkan pada

24 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi dan Federalisme, Graha Ilmu dan Universitas Pancasila

Press, Jakarta, 2009. Halaman 238.

(16)

masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie di tahun 1999, sedangkan UU Otsus Papua disahkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri di tahun 2001. Mengkaji dua peraturan tersebut, terdapat inkonsistensi terkait ketegasan wilayah Provinsi Papua, pada Pasal 1 huruf a UU Otsus Papua ditegaskan bahwa,

Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Pasal a quo tersebut hanya menegaskan bahwa Otonomi Khusus berlaku di Provinsi Papua, sedangkan pada UU Pemekaran Provinsi Irian Jaya yakni Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong, telah mengamanatkan pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi dua, yakni Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat.

Pada pelaksanaannya Provinsi Irian Jaya Barat telah membentuk penyelenggaraan satuan administrasi daerah, sedangkan Provinsi Irian Jaya Tengah hingga UU Otsus Papua diundangkan belum menjalani penyelenggaraan administrasi daerah. Philipus M. Hadjon26 berpendapat, dalam UU Otsus Papua yang dimaksud

dengan Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya secara utuh, artinya sebelum dikurangi Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pemekaran Provinsi Irian Jaya, yang ditegaskan bahwa;

Dengan dibentuknya Provinsi Irian Jaya Tengah dan Provinsi Irian Jaya Barat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, wilayah Provinsi Irian Jaya

(17)

dikurangi dengan wilayah Provinsi Irian Jaya Tengah dan Wilayah Provinsi Irian Jaya Barat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4.

Inkonsistensi peraturan tersebut menimbulkan berbagai penafsiran terkait pemberlakuan satuan otonomi khusus di wilayah Papua. Ketidaktegasan pemerintah pusat dikuatkan dengan munculnya kebijakan pemerintahan pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, yang mengabulkan permintaan masyarakat Irian Jaya Barat, yang diwakili Tim 315 untuk mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong pada tanggal 27 Januari 2003.

(18)

tindakan serta penyelenggaraan administrasi daerah. Putusan tersebut terdapat pendapat yang berbeda atau Concurring Opinion oleh hakim konstitusi Maruarar Siahaan,27 pengakuan eksistensi Provinsi Irian Barat tidak hanya dilihat secara de

facto namun juga harus de jure, bahwa Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong, yang menghidupkan lagi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 telah melanggar konstitusi karena mengakibatkan ketidakpastian hukum, sehingga Irian Jaya Barat juga batal demi hukum, namun demikian pada sidang putusan nomor 018/PUU-I/2003 tertanggal 11 November 2004, delapan hakim konstitusi memutus Provinsi Irian Jaya Barat tetap diakui keberadaannya.

Setelah diterbitkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 018/PUU-I/2003 tahun 2004, putusan tersebut menjadi dasar hukum terbentuknya Provinsi Irian Jaya Barat, hingga dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang Nomor 21 Tahun 2001 menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Implikasi dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 menegaskan pemberlakuan otonomi Khusus di dua Provinsi, yakni Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (Irian Jaya Barat).

Proses panjang dinamika Provinsi Papua dan Papua Barat dalam integrasinya dengan NKRI mengalami berbagai hambatan baik sebelum terintegrasi maupun

(19)

setelah resmi terintegrasi. Papua menjadi tempat dimana konflik yang paling banyak memakan korban di Indonesia, dengan korban-korbannya tak hanya dari masyarakat sipil tapi juga aparat keamanan, warga Papua maupun non-Papua.28 Berbagai data atas

fakta yang dipublikasi diantaranya, Industri sumber daya alam dengan dampak geografis terbesar adalah penebangan hutan, konsesi ini mencakup hampir sepertiga dari seluruh kawasan Papua Barat. Hutan tersebut tersebar luas sekitar 41.5 juta hektar atau 23% dari seluruh wilayah hutan Indonesia yang mencapai 180 juta hektar. Sementara itu, sekitar 22 juta hektar dikategorikan sebagai “hutan produksi” pada hal ini merupakan kawasan konservasi.29 Bidang pendidikan terdapat mayoritas

masyarakat adat Papua tidak mendapatkan pendidikan atau mengecap tingkat pendidikan yang rendah. Angka buta huruf perempuan Papua adalah 44% dibandingkan dengan 78% di seluruh Indonesia, dan untuk laki-laki Papua adalah 58% dibandingkan 90% di seluruh negeri.30 Pada bidang kesehatan lebih dari 50%

anak-anak Papua di bawah usia lima tahun menderita kekurangan gizi. Hanya 40.8% anak-anak Papua mendapatkan imunisasi dibandingkan dengan rata-rata nasional yang mencapai 60.3%. Angka kematian bayi jauh lebih tinggi (186 per 1.000 bayi) dibandingkan dengan angka kematian bayi di tingkat nasional.31 Kantor Dinas

28 Data dari Sistem Pemantauan Kekerasan Nasional yang baru, yang melacak insiden konflik kekerasan di sebelas provinsi rawan konflik di Indonesia menunjukkan bahwa Papua memiliki baik jumlah tertinggi insiden tersebut (489) antara Januari-April 2012 dan jumlah kematian tertinggi (60). Menduduki urutan kedua baik dalam insiden dan kematian adalah ibukota Jakarta, yang memiliki populasi 3,4 kali lebih besar dari Papua. Sistem Pemantauan Kekerasan Nasional (yang akan datang) dikembangkan dalam kerjasama dengan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Deputi I), Bank Dunia dan The Habibie Center.

29www.bps.go.id/profile/irja.html. Diakses 11 November 2013 30 UNDP, Human Development Report, 2002.

(20)

Kesehatan tingkat provinsi di Papua Barat melaporkan pada bulan Juni 2004 bahwa dari total 1.579 pasien, 596 di antara mereka mengidap Aids dan 983 terjangkit HIV.32

Keadaan Provinsi Papua dan Papua Barat menyulitkan implemantasi atas Otsus yang diberikan, sehingga muncul kebijakan dari Pemerintah Pusat pada bulan September 2011 dengan membentuk badan baru bernama Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat atau selanjutnya disebut dengan UP4B dibawah arahan Wakil Presiden dan dipimpin Jenderal Purnawirawan Bambang Darmono. UP4B hadir sebagai salah satu badan yang berfokus pada pembangunan atas amanah UU Otsus, sehingga menguatkan pembangunan yang efektif dan efesien. Berdasarkan keadaan tersebut diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, mempertegaskan Status kekhususan yang diberikan kepada Provinsi Papua dan Papua Barat terdapat empat hal yang diatur, antara lain;33

1. Kekhususan bidang pengelolaan keuangan Pasal 34;

2. Lembaga khusus Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Pasal 6 s/d 10 dan Majelis Rakyat Papua (MRP) Pasal 19 s/d Pasal 25;

3. Pembentukan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Pasal 29 s/d 31, dan;

4. Kewenangan khusus daerah Pasal 4, bidang perekonomian Pasal 38 s/d 42, bidang pendidikan dan kebudayaan Pasal 56 s/d 58, bidang kesehatan Pasal

32HIV/AIDS Membayangi Peluang Otonomi Khusus Papua, dalam Kompas, 1 November 2004.

(21)

59 s/d 60, bidang kependudukan dan ketenagakerjaan Pasal 61 s/d 62, bidang lingkungan hidup Pasal 63 s/d 64, dan; bidang sosial Pasal 65 s/d 66.

Berjalannya otonomi khusus di Provinsi Papua selama kurun waktu 12 tahun masih terdapat berbagai pertentangan dari kalangan masyarakat Papua. Berbagai gejolak politik, keamanan dan hukum masih menjadi agenda utama pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan konflik di Papua, namun demikian mayarakat Papua yang masuk menjadi bagian dari Pemerintah Daerah di Provinsi Papua masih berkeyakinan terhadap penyelenggaraan otonomi khusus untuk terus berkonsolidasi dengan pemerintah Pusat. Indikator dari beberapa sifat kekhususan tersebut yang akan menjadi fokus penelitian Kebijakan Otonomi Khusus Papua dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana kebijakan otonomi khusus Papua dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia?

2. Bagaimana sistem penyelenggaran otonomi khusus Papua dalam tinjauan Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua?

C. Tujuan Penelitian

(22)

2. Mengetahui sistem penyelenggaran otonomi khusus Papua dalam tinjauan Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membangun pemahaman tentang konsep hukum dan implementasinya serta menjadi referensi dan acuan penelitian dalam hal pelaksanaan otonomi khusus Provinsi Papua.

2. Kegunaan Praktis

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan konsultasi dengan guru pembimbing dimaskudkan agar mahasiswa PPL/ Magang III dapat mendapat bimbingan mengenai kegiatan pada saat praktik mengajar yaitu

Komputer adalah salah satu perangkat yang sudah menjadi kebutuhan manusia yang manusia gunakan untuk membantunya dalam menjalankan tugasnya seperti desain,

Kesan-kesan buruk lain : Tiada kesan yang penting atau bahaya kritikal yang diketahui.

PENGARUH KONFORMITAS DAN TIPE GAYA HIDUP TERHADAP LOYALITAS MEREK PADA KONSUMEN STARBUCKS COFFEE DI KOTA BANDUNG.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Tingginya rendemen ekstrak nonpolar andaliman menunjukkan bahwa komponen yang dapat larut dalam heksana lebih banyak dibandingkan komponen semipolar (etilasetat) maupun

Jenis penilitian ini menggunakan penelitian deskriftif kualitatif.Menurut (Saryono 2010: 1), kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki,

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Putri dkk di wilayah kerja Puskesmas Nanggalo Padang yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara

Sementara di wilayah dataran rendah, sektor non pertanian sebagai sumber utama pendapatan berasal dari kegiatan-kegiatan buruh non pertanian dan kiriman anggota rumah tangga