PENGGUNAAN KALIMAT MAJEMUK BERTINGKAT
BAHASA INDONESIA ANAK USIA TAMAN
KANAK-KANAK MELALUI MEDIA GAMBAR :
TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK
TESIS
OLEH
RAHMAYANI LUBIS
117009007/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGGUNAAN KALIMAT MAJEMUK BERTINGKAT BAHASA INDONESIA ANAK USIA TAMAN KANAK-KANAK MELALUI
MEDIA GAMBAR : TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK
TESIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
RAHMAYANI LUBIS 117009007/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PENGGUNAAN KALIMAT MAJEMUK
BERTINGKAT BAHASA INDONESIA ANAK USIA TAMAN KANAK-KANAK MELALUI MEDIA GAMBAR : TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK Nama Mahasiswa : Rahmayani Lubis
Nomor Pokok : 117009007
Program Studi : Linguistik
Menyetujui Komisi Pembimbing,
(Dr. Gustianingsih, M.Hum) (Dr. Nurlela, M.Hum)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal 26 Agustus 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Gustianingsih, M.Hum
Anggota : 1. Dr. Nurlela, M.Hum
2. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.
3. Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S
PERNYATAAN
Judul Tesis
“PENGGUNAAN KALIMAT MAJEMUK BERTINGKAT BAHASA INDONESIA ANAK USIA TAMAN KANAK-KANAK MELALUI MEDIA
GAMBAR : TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK”
Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya
penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian
tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis
cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika
penulisa ilmiah.
Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis
ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian
tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang
penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.
Medan, Agustus 2013 Penulis,
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh pemerian yang shahih dan objektif berdasarkan data empirik yang diperoleh dari observasi langsung terhadap penggunaan kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia, mendeskripsikan penggunaan kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia anak usia taman kanak-kanak yang diperoleh media gambar, mendeskripsikan pola kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia yang digunakan anak dalam memahami media gambar dan mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia anak usia taman kanak-kanak. Sumber data yang diperoleh melalui bahasa lisan anak Taman Kanak-Kanak Raudhatul Athfal Nurul Hidayah Lubuk Pakam T.A. 2012/2013, berjumlah 8 orang yang berusia sekitar 4-5 tahun. Pengumpulan data dilakukan
secara cross sectional selama 3 bulan. Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan bantuan observasi, rekaman, bercerita dan simak catat. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan kriteria kemunculan komprehensibilitas yaitu
suatu elemen yang diujarkan anak dianggap sebagai refleksi kompetensi, bila elemen yang dipakai anak dalam produksi komunikasinya telah menunjukkan adanya koherensi semantis dengan elemen-elemen lain dalam kalimat tersebut. Dengan kriteria ini diketahui kemunculan kalimat majemuk bertingkat anak, yaitu sering muncul dan benar, muncul tetapi masih salah, dan tidak muncul. Dari kriteria kemunculan itu didapat kesimpulan bahwa :
a. Kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia benar-benar dikuasai anak.
b. Kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia sedang dalam proses belajar
atau sedang dikuasai anak.
c. Kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia yang akan dikuasai anak.
ABSTRACT
The aim of this research are to find out the valid and objective description based on the empiric data got from some direct observations from the respondents who use Indonesian sentences, to describe then use of Indonesian complex-sentnces through picture media by pre-school students, to describe the patterns of Indonesian complex-sentences used to understanding the picture media, to describe the influential factors of the use of Indonesian complex-sentences. The data source is collected from the oral communication of 8 students, 4-5 years old, of Taman Kanak-Kanak Raudhatul Athfal Nurul Hidayah Lubuk Pakam in academic year 2012/2013. The collecting data is performed cross-sectionally for 3 months. The technique of collecting data are observation, record, story-telling and note-comprehension. The data analysis is done by applying criteria of the comprehensibility-occurence, i.e. a part of utterence of correspondent is regarded as competence reflection if it has semantic coherence with oter parts in their sentences. Through this criteria, it is known that the complex sentence occurence is often present and true, present but still wrong, and not present. It is concluded that :
a) The respondents really mastered Indonesian complex sentences.
b) The respondents are still in process of mastery the Indonesian complex sentences.
c) Complex sentences that will be mastered by the respondents.
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan tesis ini.
Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, Penulis banyak
memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K),
selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc, selaku Direktor Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., selaku Ketua Program Studi
Magister Linguistik Sekolah Pascsarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Dr. Nurlela, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister
Linguistik Sekolah Pascsarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus
Anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan
penulis dalam penulisan tesis ini.
5. Ibu Dr. Gustianingsih, M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis ini.
6. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S, dan Bapak Prof. Dr. Busmin
Gurning, M.Pd, selaku Dosen penguji penulis, yang telah membimbing
serta memberi saran dan kritik yang membangun sehingga membantu
7. Ayahanda Wahidin Lubis dan ibunda Dewi Purwati tercinta serta kedua
adinda Khairi Wahid Lubis dan Mhd. Reza Aulia Lubis yang selalu
memberikan do’a, perhatian dan semangat sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini.
8. Calon suamiku tercinta Habibullah, S.T, yang selaku memberi semangat,
pengertian, dukungan dan selalu memanjatkan do’a demi keberhasilan
penulis.
9. Teman-teman penulis di Program Studi Linguistik USU : Hijrah, Kak
Erna, Kak Lia, Kak Fita, Kak Dara dan teman-teman yang lain yang tidak
dapat disebutkan namanya satu persatu, atas bantuan dan perhatian yang
penulis terima baik selama perkuliahan maupun sewaktu dalam
penyelesaian tesis ini. Semoga kebersamaan kita akan terus berlanjut ke
masa yang akan datang.
10.Kak Nila, Kak Yuni, Kak Loli, Kak Kar dan Bang Dedek, selaku Staf
ataupun Pegawai di Program Studi Linguistik, yang telah membantu
penulis selama perkuliahan dan sewaktu dalam penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh
dari sempurna. Namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada
seluruh pembaca. Semoga kiranya Allah SWT yang Maha Pemurah memberikan
imbalan kemurahan dan kemudahan bagi kita. Amin.
Medan, Agustus 2013 Penulis,
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Rahmayani Lubis
NIM : 117009007
Program Studi : Linguistik
Tempat/Tanggal Lahir : Lubuk Pakam, 10 September 1987
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Guru SMA Nusantara Lubuk Pakam dan SMP
Negeri 1 Beringin
Alamat : Jl. Pantai Labu No.18A Desa Sekip Lubuk Pakam
DAFTAR ISI
2.1.1 Kalimat Majemuk Bahasa Indonesia... 9
2.1.2 Kalimat Majemuk Bertingkat... 10
2.1.3 Pola Kalimat Majemuk Bertingkat... 11
2.1.4 Jenis Anak Kalimat... .. 13
2.2 Landasan Teori... 22
2.2.1 Psikolinguistik dan Teori Genetik Kognitif Chomsky... 22
2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Berbahasa Indonesia Anak... 26
1. Faktor Alamiah... 26
2. Faktor Perkembangan Kognitif... 27
3. Faktor Latar Belakang Sosial... 28
4. Faktor Keturunan... 29
2.2.3 Kemampuan Berbahasa... 32
1. Pengertian Kemampuan Berbahasa... 32
2. Jenis-Jenis Kemampuan Berbahasa... 32
2.2.4 Media Gambar... 34
2.3 Tinjauan Pustaka... 37
BAB III METODE PENELITIAN... 41
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian... 42
3.2 Sumber Data Penelitian... 42
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data... 43
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data... 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... ... 52
4.2 Pola Kalimat Majemuk Bertingkat Bahasa Indonesia yang
Digunakan Anak dalam Memahami Media Gambar... 64
4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Kalimat Majemuk Bertingkat Bahasa Indonesia Anak UsiaTaman Kanak-Kanak.... 70
BAB V SIMPULAN DAN SARAN... .. 127
5.1 Simpulan... 127
5.2 Saran... 128
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
1. Gambar 1. Fungsi-Fungsi Otak ... 30
2. Taman ... 133
3. Toko Mainan ... 134
4. Pesta ... 135
5. Sekolah ... 136
6. Rumah Sakit ... 137
7. Rumah ... 138
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
1. Data-Data Anak ... 140
2. Pola Kalimat Anak ... 148
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh pemerian yang shahih dan objektif berdasarkan data empirik yang diperoleh dari observasi langsung terhadap penggunaan kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia, mendeskripsikan penggunaan kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia anak usia taman kanak-kanak yang diperoleh media gambar, mendeskripsikan pola kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia yang digunakan anak dalam memahami media gambar dan mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia anak usia taman kanak-kanak. Sumber data yang diperoleh melalui bahasa lisan anak Taman Kanak-Kanak Raudhatul Athfal Nurul Hidayah Lubuk Pakam T.A. 2012/2013, berjumlah 8 orang yang berusia sekitar 4-5 tahun. Pengumpulan data dilakukan
secara cross sectional selama 3 bulan. Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan bantuan observasi, rekaman, bercerita dan simak catat. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan kriteria kemunculan komprehensibilitas yaitu
suatu elemen yang diujarkan anak dianggap sebagai refleksi kompetensi, bila elemen yang dipakai anak dalam produksi komunikasinya telah menunjukkan adanya koherensi semantis dengan elemen-elemen lain dalam kalimat tersebut. Dengan kriteria ini diketahui kemunculan kalimat majemuk bertingkat anak, yaitu sering muncul dan benar, muncul tetapi masih salah, dan tidak muncul. Dari kriteria kemunculan itu didapat kesimpulan bahwa :
a. Kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia benar-benar dikuasai anak.
b. Kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia sedang dalam proses belajar
atau sedang dikuasai anak.
c. Kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia yang akan dikuasai anak.
ABSTRACT
The aim of this research are to find out the valid and objective description based on the empiric data got from some direct observations from the respondents who use Indonesian sentences, to describe then use of Indonesian complex-sentnces through picture media by pre-school students, to describe the patterns of Indonesian complex-sentences used to understanding the picture media, to describe the influential factors of the use of Indonesian complex-sentences. The data source is collected from the oral communication of 8 students, 4-5 years old, of Taman Kanak-Kanak Raudhatul Athfal Nurul Hidayah Lubuk Pakam in academic year 2012/2013. The collecting data is performed cross-sectionally for 3 months. The technique of collecting data are observation, record, story-telling and note-comprehension. The data analysis is done by applying criteria of the comprehensibility-occurence, i.e. a part of utterence of correspondent is regarded as competence reflection if it has semantic coherence with oter parts in their sentences. Through this criteria, it is known that the complex sentence occurence is often present and true, present but still wrong, and not present. It is concluded that :
a) The respondents really mastered Indonesian complex sentences.
b) The respondents are still in process of mastery the Indonesian complex sentences.
c) Complex sentences that will be mastered by the respondents.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Perkembangan kemampuan linguistik terjadi di dalam konteks umum
perkembangan konseptual dan intelektual anak-anak. Memahami proses
pemerolehan bahasa itu akan memberi kita pandangan yang lebih jelas mengenai
perkembangan kognitif anak-anak secara menyeluruh. Anak-anak
mengembangkan kompetensi linguistik dalam pengertiannya bahwa dia
mengembangkan gambaran internal tata bahasa dari bahasanya yang akhirnya
membuat jenis-jenis pertimbangan/keputusan mengenai ketatabahasaan,
kedwimaknaan, parafrase, dan sebagainya.
Dalam proses perkembangan, setiap anak yang normal pasti memperoleh
suatu bahasa yaitu “bahasa pertama” atau “bahasa asli” ataupun “bahasa ibu”
dalam tahun pertama kehidupannya. Usia merupakan salah satu rintangan sosial
yang membedakan kelompok-kelompok manusia. Kelompok manusia ini akan
memungkinkan timbulnya dialek sosial yang sedikit banyak memberikan warna
tersendiri pada kelompok itu. Usia akan mengelompokkan masyarakat menjadi
kelompok kanak-kanak, kelompok remaja, dan kelompok dewasa (Chaer : 2003).
Tentu saja batas usia itu tidak bisa secara tepat dipastikan.
Anak mulai belajar berbicara pada usia kurang lebih 18 bulan.
Selanjutnya, pada usia kurang lebih tiga setengah tahun anak boleh dikatakan
sudah menguasai “tata bahasa” bahasa ibunya sehingga mereka dapat
perkembangannya, bahasa anak-anak itu mempunyai ciri-ciri, antara lain, adanya
penyusutan (reduksi).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anak dilahirkan dengan potensi
mampu memperoleh bahasa apa saja termasuk bahasa Indonesia. Kemampuan itu
membawa seorang anak mampu menguasai kalimat-kalimat secara bertahap dari
yang sederhana sampai kepada bentuk yang kompleks (Chomsky, 1969 : 6).
Perkembangan bahasa anak-anak yang kompleks itu berproses menuju sistem
yang berlaku umum walaupun kaidah bahasa anak belum dikatakan sempurna dan
bersifat kaidah peralihan dan bahasa kanak-kanak yang masih belum sempurna ini
tidak dapat dianggap sebagai suatu penyakit yang harus dijauhi.
Menurut Chomsky (1984), anak yang dilahirkan ke dunia telah memiliki
kapasitas berbahasa. Akan tetapi seperti dalam bidang lain, faktor alamiah berupa
LAD, faktor perkembangan kognitif, faktor latar belakang sosial dan faktor
keturunan akan mengambil peranan yang cukup menonjol, mempengaruhi
perkembangan anak tersebut. Mereka belajar makna kata dan bahasa sesuai
dengan apa yang mereka dengar, lihat dan hayati dalam hidupnya sehari-hari.
Perkembangan bahasa anak terbentuk oleh lingkungan yang berbeda-beda.
Dalam kenyataan ini didukung oleh kemampuan kanak-kanak dalam
berbahasa melalui media gambar dalam waktu yang relatif singkat, yaitu
merupakan suatu peristiwa alamiah yang sangat mengagumkan dan kemampuan
anak-anak yang berusia 4-5 tahun yang mempunyai penggunaan kalimat majemuk
bertingkat bahasa Indonesia melalui media gambar yang sangat mengagumkan
bertingkat bahasa Indonesia anak usia Taman Kanak-Kanak melalui media
gambar.
Media gambar adalah media yang tidak diproyeksikan dan dapat dinikmati
oleh semua orang sebagai pindahan dari keadaan yang sebenarnya mengenai
orang, suasana, tempat, barang, pemandangan, dan benda-benda yang lain.
(http://4wank.wordpress.com/2008/05/16/penggunaan-media-gambar/)
Media gambar termasuk media visual, sebagaimana halnya media yang
lain media gambar berfungsi untuk menyalurkan pesan dari sumber ke penerima
pesan. Saluran yang dipakai menyangkut indera penglihatan. Pesan yang akan
disampaikan dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi anak.
Simbol-simbol tersebut perlu dipahami benar artinya agar proses penyampaian pesan
dapat berhasil dan efisien. Selain fungsi umum tersebut, secara khusus gambar
berfungsi pula untuk menarik perhatian, memperjelas sajian ide, mengilustrasikan
atau menghiasi fakta yang mungkin akan cepat dilupakan atau diabaikan bila tidak
digambarkan. Selain sederhana dan mudah pembuatannya, media gambar
termasuk media yang relatif murah bila ditinjau dari segi biayanya. Melalui media
gambar, anak akan lebih mudah menyusun kemampuan berbahasanya. Semakin
banyak gambar yang kita beri pada anak, maka akan semakin mudah kemampuan
anak dalam berbahasa. Peran media gambar yaitu membuat anak belajar tidak
bosan, menarik, menciptakan bahasa yang bervariasi dan kreatif.
Taman Kanak-Kanak merupakan pendidikan untuk usia prasekolah.
Peralihan dari lingkungan keluarga menuju bangku sekolah. Taman Kanak-Kanak
diasumsikan setiap anak tidak sama dalam memahami bahasa Indonesia dimulai
dengan kata-kata yang mudah sampai dengan kata-kata yang sulit (Dyer : 2009).
Anak-anak maupun dewasa mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda
dalam berbahasa. Bahasa yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahasa
Indonesia pada anak usia prasekolah (4-5 tahun) yang berada di TK Raudhatul
Athfal Nurul Hidayah Lubuk Pakam. Taman Kanak-Kanak merupakan tempat
bermain, tempat anak belajar bersosialisasi dan berinteraksi dengan teman-teman
sebayanya yang diarahkan pada sesuatu yang sifatnya positif. TK Raudhatul
Athfal Nurul Hidayah Lubuk Pakam berdiri pada tanggal 17 Juli 1997. Taman
kanak-kanak ini memiliki Akreditasi “B” dan banyak prestasi yang diraih oleh
anak TK Raudhatul Athfal Nurul Hidayah Lubuk Pakam ini. Salah satunya, anak
TK ini pernah mendapat juara 2 lomba pidato tingkat Kecamatan, juara 3 lomba
sajak dan juara 1 lomba puisi tingkat Deli Serdang serta masih banyak lagi
prestasi yang diraih oleh anak TK ini. Peneliti telah mengobservasi TK ini bahwa
TK ini telah menggunakan media gambar dalam proses pembelajaran sehingga
peneliti lebih mudah untuk meneliti penggunaan kalimat majemuk bertingkat anak
usia Taman Kanak-Kanak melalui media gambar.
Adapun dampak positif dalam penelitian ini yaitu anak bisa menggunakan
kalimat majemuk bertingkat melalui media gambar. Media gambar yang
digunakan dalam penelitian ini berfungsi untuk menarik perhatian, memperjelas
sajian ide dan menyalurkan pesan dari sumber ke penerima pesan. Pada proses
penyampaian pesan, peneliti menggunakan media gambar sehingga pesan yang
disampaikan peneliti dapat berhasil dan efisien. Selain dampak positif, ada juga
dalam penelitian ini, maka bahasa anak yang digunakan akan sedikit yang di
hasilkan, sehingga peneliti tidak akan mendapatkan data dari anak dalam
penggunaan kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia melalui media gambar.
Anak yang berusia 4-5 tahun sudah mampu menggunakan kalimat
majemuk bertingkat bahasa Indonesia melalui media gambar. Peneliti
menggunakan media gambar agar anak TK tersebut tertarik untuk menceritakan
isi dari gambar tersebut. Peneliti memilih anak TK karena anak TK ini
mempunyai keunikan / daya tarik sendiri sehingga peneliti tertarik dengan
penelitian ini.
Dengan demikian, peneliti akan mengamati penggunaan kalimat majemuk
bertingkat bahasa Indonesia anak usia Taman Kanak-Kanak di Lubuk Pakam. Hal
inilah yang melatar belakangi penelitian ini.
1.2Perumusan Masalah
Permasalahan yang hendak dirumuskan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1) Bagaimanakah penggunaan kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia
anak usia Taman Kanak-kanak yang diperoleh melalui media gambar?
2) Bagaimana pola kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia yang
digunakan anak dalam memahami media gambar?
3) Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penggunaan kalimat majemuk
1.3Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah penelitian yang telah disebutkan di atas, maka
tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemerian yang sahih dan
objektif berdasarkan data empiris yang diperoleh dari observasi langsung terhadap
penggunaan kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan penelitian ini secara khusus adalah :
1) Mendeskripsikan penggunaan kalimat majemuk bertingkat bahasa
Indonesia anak usia Taman Kanak-kanak yang diperoleh melalui media
gambar.
2) Mendeskripsikan pola kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia yang
digunakan anak dalam memahami media gambar.
3) Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kalimat
majemuk bertingkat bahasa Indonesia anak usia Taman Kanak-kanak.
1.4Manfaat Penelitian
Sejalan dengan tujuan penelitian ini, manfaat yang diharapkan dari
1.4.1 Manfaat Teoretis
1) Penelitian ini diharapkan sebagai salah satu bahan informasi dalam hal
penelitian tentang penggunaan kalimat majemuk bertingkat bahasa
Indonesia anak usia taman kanak-kanak.
2) Penelitian ini diharapkan juga sebagai bahan masukan bagi penelitian yang
relevan, khususnya dalam hal penggunaan kalimat majemuk bertingkat
bahasa Indonesia anak usia taman kanak-kanak.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan :
1) Dapat memberikan masukan kepada orang tua bagaimana cara yang tepat
untuk membuat anak usia 4-5 tahun dapat berkomunikasi dengan baik
seperti orang dewasa dengan penutur yang ditemui anak.
2) Dapat memberikan masukan pada orang tua dan guru dalam pembelajaran
pola-pola kalimat yang gramatikal pada anak usia prasekolah.
3) Dapat meningkatkan kualitas penggunaan kalimat majemuk bertingkat
bahasa Indonesia anak usia taman kanak-kanak dengan baik dan benar di
lingkungan anak tersebut.
4) Memperkaya khasanah penemuan tentang penggunaan kalimat majemuk
bertingkat bahasa Indonesia anak usia taman kanak-kanak melalui media
1.5Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memiliki ruang lingkup yang terbatas, yaitu :
1) Penelitian dibatasi pada anak Taman Kanak-kanak Raudhatul Athfal Nurul
Hidayah Lubuk Pakam.
2) Fokus penelitian hanya pada bahasa pertama (Bahasa Indonesia) yaitu
dalam kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia.
3) Usia anak 4-5 tahun.
4) Terbatas pada komunikasi lisan.
5) Data penelitian ini berupa cerita lisan melalui gambar pemandangan,
taman, toko mainan, pesta, sekolah, rumah sakit, rumah, dan arena pasar
malam selama 5 menit.
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
2.1.1 Kalimat Majemuk Bahasa Indonesia
Kalimat yang biasanya kita gunakan sehari-hari adalah kalimat tunggal
tetapi tidak selamanya berupa kalimat tunggal. Demi keefisienan, adakalanya
orang menggabungkan beberapa pernyataan ke dalam satu kalimat. Dari
penggabungan kalimat tersebut maka terdapat struktur kalimat yang didalamnya
terdapat beberapa kalimat dasar. “Struktur kalimat yang didalamnya terdapat dua
kalimat dasar atau lebih disebut kalimat majemuk” (Sugono, 1999). Penjelasan ini
sejalan dengan penjelasan yang terdapat di dalam kamus dan para ahli :
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2005 : 495) menyatakan bahwa : kalimat yang terdiri dari dua klausa atau lebih yang dipadukan menjadi satu.
Kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri dari beberapa klausa bebas (Kridalaksana : 1982).
Jadi, penulis menyimpulkan bahwa kalimat majemuk merupakan kalimat
yang memiliki dua klausa atau lebih.
Dalam bahasa Indonesia, kalimat majemuk sering digunakan bersamaan
dengan penggunaan kalimat tunggal atau kalimat monoklausa. Penggunaan
kalimat majemuk dalam bahasa Indonesia digunakan untuk memperjelas
hubungan antarbagian klausa dengan bagian klausa yang lainnya.
Berkenaan dengan sifat hubungan klausa-klausa di dalam kalimat
macam, yaitu : kalimat majemuk setara, kalimat majemuk bertingkat dan kalimat
majemuk campuran.
2.1.2 Kalimat Majemuk Bertingkat
Kalimat majemuk bertingkat ialah kalimat yang terjadi atas beberapa
kalimat tunggal yang kedudukannya tidak setara/ sederajat, yakni yang satu
menjadi bagian yang lain (Chaer, 1994 : 244). Klausa yang satu merupakan induk
kalimat, dan klausa yang lain merupakan anak kalimat. Kedua klausa itu biasanya
dihubungkan dengan konjungsi subordinatif, seperti kalau, ketika, meskipun,
supaya, jika, sehingga, dan karena.
Kalimat majemuk bertingkat sesungguhnya berasal dari sebuah kalimat
tunggal. Bagian dari kalimat tunggal tersebut kemudian diganti atau diubah
sehingga menjadi sebuah kalimat baru yang dapat berdiri sendiri.
Bagian kalimat majemuk bertingkat yang berasal dari bagian kalimat
tunggal yang tidak mengalami pergantian/ perubahan dinamakan induk kalimat,
sedang bagian kalimat majemuk yang berasal dari bagian kalimat tunggal yang
sudah mengalami penggantian/ peubahan dinamakan anak kalimat.
Contoh:
Ia datang kemarin. Kalimat tunggal tersebut ialah kalimat tunggal yang
mempunyai keterangan waktu: kemarin. Jika kata kemarin diganti/ diubah
menjadi kalimat yang dapat berdiri sendiri, yakni diubah/ diganti dengan kalimat:
kalimat majemuk bertingkat sebagai berikut: Ia datang, ketika orang sedang
makan.
Perkataan: ia datang (yang tidak pernah mengalami perubahan/ pergantian)
dinamai induk kalimat, sedang perkataan: ketika orang sedang makan (yang
mengubah/ mengganti kata kemarin) dinamai anak kalimat.
2.1.3 Pola Kalimat Majemuk Bertingkat
Induk Kalimat dan Anak Kalimat
Perbedaan kalimat dan anak kalimat dapat dilihat dari ciri kemandirian
sebagai kalimat tunggal, unsur konjungsi, dan urutan unsurnya.
1. Kemandirian sebagai Kalimat Tunggal
Pernyataan saya masuk dapat menjadi kalimat mandiri tanpa unsur ketika
mereka diam. Sebaliknya , unsur ketika mereka diam tanpa unsur saya masuk
tidak dapat berdiri sendiri sebagai kalimat. Dengan kata lain, induk kalimat
mempunyai ciri dapat berdiri sebagai kalimat mandiri, sedangkan anak kalimat
tidak dapat berdiri sebagai kalimat tanpa induk kalimat.
2. Konjungsi
Konjungsi digunakan untuk menghubungkan anak kalimat dengan induk.
Dengan kata lain, anak kalimat ditandai oleh adanya konjungsi, sedangkan induk
kalimat tidak didahului konjungsi.
Contohnya :
Dalam kalimat di atas, saya membaca buku merupakan induk kalimat
(tidak didahului konjungsi ketika), sedangkan ketika dia datang merupakan anak
kalimat (didahului konjungsi ketika). Jika konjungsi dipindahkan di awal kalimat
itu, akan terjadi perubahan baik struktur maupun informasi / maknanya.
Ketika saya membaca buku, dia datang.
Setelah kata ketika dipindahkan ke bagian awal, unsur pertama ketika saya
membaca buku merupakan anak kalimat dan unsur kedua dia datang merupakan
induk kalimat. Gagassan utamanya adalah dia datang, sedangkan ketika saya
membaca buku menjadi keterangan waktu yang memberi penjelasan pada gagasan
utama dia datang. Jika anak kalimat mendahului induk kalimat, anak kalimat itu
harus dipisahkan dengan tanda koma dari induk kalimatnya karena di antara anak
kalimat dan induk kalimat itu tidak ada pembatasnya. Sebaliknya, jika anak
kalimat mengikuti induk kalimat, anak kalimat itu tidak dipisahkan tanda
komadari induk kalimat karena telah ada pembatasnya, yaitu konjungsi. Dengan
demikian, induk kalimat tidak diawali konjungsi, sedangkan anak kalimat diawali
konjungsi.
3. Urutan
Dari beberapa contoh kalimat bertingkat sebelumnya, bahwa anak kalimat
ada yang di depan induk kalimat dan ada pula yang di belakang induk kalimat.
Anak kalimat yang berfungsi sebagai keterangan mempunyai kebesan tempat,
kecuali anak kalimat akibat, didahului kata sehingga. Jika anak kalimat di depan
induk kalimat, anak kalimat itu harus dipisahkan dengan tanda koma (,) dari induk
Contohnya :
(1) Dia mendirikan perusahaan itu ketika masih kuliah tingkat tiga.
Induk Kalimat Anak Kalimat
Anak kalimat yang menempati posisi di belakang induk kalimat itu dapat
ditempatkan di depan induk kalimat tanpa perubahan informasi yang pokok.
(2) Ketika masih kuliah tingkat tiga, dia mendirikan perusahaan itu.
Anak Kalimat Induk Kalimat
Pada contoh kalimat (1) adalah gagasan pokok, induk kalimat, sedangkan
pada kalimat (2) adalah unsur keterangan. Namun kedua unsur pola urutan itu
(Induk Kalimat – Anak Kalimat atau Anak Kalimat – Induk Kalimat) benar,
bergantung kepada pengguna bahasa untuk memilihnya.
2.1.4 Jenis Anak Kalimat
Berdasarkan perannya, anak kalimat dapat dibedakan atas beberapa jenis.
Peran anak kalimat terlihat dari jenis konjungsi yang mendahuluinya.
1. Anak Kalimat Keterangan Waktu
Anak kalimat ini ditandai oleh konjungsi yang menyatakan waktu seperti
ketika, waktu, kala, tatkala, saat, sesaat, sebelum, sesudah, dan setelah. Satu
kalimat tunggal yang mandiri, setelah diawali konjungsi seperti itu, akan turun
derajatnya menjadi anak kalimat yang menyatakan waktu. Anak kalimat jenis ini
mempunyai hubungan yang renggang dari induk kalimat. Oleh karena itu, anak
kalimat ini dapat menempati posisi awal, akhir, di antara subjek dan predikat,
Contohnya :
(1) Ketika memberikan keterangan, saksi itu meneteskan air mata.
Anak Kalimat
(2) Hadirin di ruang sidang itu terharu saat saksi menceritakan peristiwa itu.
Anak Kalimat
(3) Seorang pengunjung, tatkala saksi mengakhiri keterangannya, sempat
terisak-isak. Anak Kalimat
Anak Kalimat
(4) Hakim ketuaa menyatakan, setelah mempelajari dan mendengarkan semua
keterangan saksi, bahwa tertuduh tidak terlibat kasus itu.
Pada contoh kalimat (1), anak kalimat mendahului induk kalimat, terletak
di depan induk kalimat, sedangkan pada contoh kalimat (2), anak kalimat
mengikuti induk kalimat, terletak di belakang induk kalimat. Contoh kalimat (3)
menunjukkan bahwa anak kalimat terletak di antara subjek dan predikat serta
contoh kalimat (4) menunjukkan bahwa kalimat terletak di antara predikat dan
objek.
2. Anak Kalimat Keterangan Sebab
Anak kalimat ini ditandai oleh konjungsi yang menyatakan hubungan
sebab, antara lain : sebab, karena, dan lantaran. Konjungsi itu mengawali anak
kalimat yang merupakan keterangan pada induk kalimat di dalam sebuah kalimat
majemuk subordinatif. Anak kalimat jenis ini mempunyai sifat seperti anak
dalam induk kalimat di antara subjek dan predikat serta diantara predikat dan
objek.
Contohnya :
Anak Kalimat
(1) Karena banyak peminat, Pemerintah akan membangun lagi unit-unit
rumah susun.
Anak Kalimat
(2) Pembangunan rumah susun itu memerlukan penelitian sebab beberapa
unit rumah susun belum berpenghuni.
Anak Kalimat
(3) Adik Reni, karena akan ikut transmigrasi ke luar Pulau Jawa, mengikuti
pendidikan dan pelantikan kerja.
Anak Kalimat
(4) Dia menunggu, karena sampai hari ini belum ada panggilan, kepastian
keberangkatannya ke Saudi Arabia.
Pada contoh kalimat (1), anak kalimat terletak di depan induk kalimat, dan
pada contoh kalimat (2), anak kalimat terletak di belakang induk kalimat. Contoh
kalimat (3) menempatkan anak kalimat di dalam induk kalimat, yaitu di antara
subjek dan predikat, serta contoh kalimat (4) menunjukkan letak anak kalimat di
antara predikat dan objek.
3. Anak Kalimat Keterangan Akibat
Anak kalimat ini ditandai oleh konjungsi yang menyatakan pertalian
akhirnya. Anak kalimat keterangan akibat hanya menempati posisi akhir, terletak
di belakang induk kalimat, seperti contoh di bawah ini :
Hujan turun berhari-hari sehingga banjir besar melanda kota itu.
Anak Kalimat
4. Anak Kalimat Keterangan Syarat
Anak kalimat jenis ini ditandai oleh konjungsi yang menyatakan pertalian
persyaratan. Konjungsi itu, antara lain : jika, kalau, apabila, andaikata dan
andaikan. Anak kalimat ini mempunyai kebebasan tempat, dapat menempati
posisi awal, akhir, di antara subjek dan predikat, serta diantara predikat dan objek.
Contohnya :
Anak Kalimat
(1) Jika ingin berrhasil dengan baik, Anda harus belajar dengan tekun.
Anak Kalimat
(2) Engkau tentu akan lulus tahun ini andaikata mau belajar dengan tekun.
Anak Kalimat
(3) Buku, apabila dibaca dengan cermat, akan memberikan ilmu pengetahuan
kepada kita.
Anak Kalimat
(4) Saya akan membaca, andaikata punya cukup waktu, semua buku di
perpustakaan ini.
Pada contoh kalimat (1), anak kalimat terletak di depan induk kalimat, dan
pada contoh kalimat (2), anak kalimat terletak di belakang induk kalimat. Contoh
predikat, serta contoh kalimat (4) menunjukkan bahwa anak kalimat di antara
predikat dan objek.
5. Anak Kalimat Keterangan Tujuan
Anak kalimat ini ditandai oleh konjungsi yang menyatakan pertalian
tujuan. Konjungsi yang digunakan dalam anak kalimat jenis ini, antara lain :
supaya, agar, untuk, guna, dan demi. Anak kalimat ini juga mempunyai
kebebasan tempat, seperti terlihat pada contoh berikut :
Anak Kalimat
(1) Untuk membantu perkembangan Kantor Unit Desa, kita telah melakukan
berbagai usaha.
Anak Kalimat
(2) Koperasi perlu memiliki pemimpin yang tangguh guna menumbuhkan
kepercayaan masyarakat terhadap koperasi.
Anak Kalimat
(3) Pemimpin koperasi, supaya mendapat dukungan masyarakat, harus
mempunyai sifat demokratis.
Anak Kalimat
(4) Dia harus memberikan, demi memajukan koperasi, waktu yang cukup bagi
koperasi di bawah kepemimpinannya.
Contoh kalimat (1) mempunyai anak kalimat yang terletak pada posisi
awal, sedangkan contoh kalimat (2) mempunyai anak kalimat yang terletak pada
antara subjek dan predikat, serta contoh kalimat (4) menunjukkan bahwa anak
kalimat terletak di antara predikat dan objek.
6. Anak Kalimat Keterangan Cara
Anak kalimat ini ditandai oleh konjungsi yang menyatakan pertalian cara.
Konjungsi yang menyatakan pertalian itu, antara lain : dengan dan dalam. Anak
kalimat keterangan cara ini mempunyai kebebasan tempat, seperti pada contoh
berikut :
Anak Kalimat
(1) Dengan menurunkan harga beberapa jenis BBM, kita berharap kegiatan
ekonomi tidak lesu lagi.
Anak Kalimat
(2) Kita berupaya meningkatkan ekspor nonmigas dalam mengatasi pemasaran
minyak yang terus menurun.
Anak Kalimat
(3) Kita, dalam menhadapi masa resesi ini, harus lebih berhati-hati.
Anak Kalimat
(4) Saksi itu menjelaskan, dengan menunjukkan barang bukti, peristiwa
penyelundupan barang-barang mewah.
Contoh kalimat (1) menunjukkan bahwa anak kalimat terletak pada posisi
awal dan contoh kalimat (2) menunjukkan bahwa anak kalimat terletak pada
predikat, sedangkan pada contoh kalimat (4), anak kalimat terletak di antara
predikat dan objek.
7. Anak Kalimat Keterangan Pewatas
Anak kalimat ini menyertai nomina, baik nomina itu berfungsi sebagai
subjek, predikat maupun objek. Ciri penanda anak kalimat ini ialah konjungsi
yang atau kata penunjuk itu. Anak kalimat ini berfungsi sebagai pewatas nomina.
Contohnya :
Anak Kalimat
(1) Perusahaan yang ingin mengajukan kredit harus mempunyai jaminan.
Anak Kalimat
(2) Orang membawa tas itu direktur kami.
Anak Kalimat
(3) Dia direktur yang baru dilantik seminggu yang lalu.
Anak Kalimat
(4) Direktur baru itu ingin memperluas perubahan yang nyaris gulung tikar
sebulan yang lalu.
Anak Kalimat
(5) Dia kehilangan pekerjaan yang menjadi sumber kehidupan keluarganya.
Anak Kalimat
(6) Dia akan pindah ke rumah yang terletak di ujung jalan itu.
Pada contoh kalimat (1), anak kalimat mewatasi nomina subjek
kalimat (2), anak kalimat memberi pewatas nomina subjek (orang), tetapi tidak
digunakan konjungsi yang. Sebagai pengganti, digunakan kata penunjuk itu untuk
menandai ketakrifan nomina subjek. Pada contoh kalimat (3), anak kalimat
mewatasi nomina predikat (direktur) yang ditandai oleh konjungsi yang.
Selanjutnya, pada contoh kalimat (4), anak kalimat mewatasi nomina objek
(perusahaan). Anak kalimat ini ditandai oleh konjungsi yang. Pada contoh (5),
anak kalimat mewatasi nomina pelengkap yang ditandai oleh konjungsi yang.
Adapun contoh kalimat yang terakhir, anak kalimat memberi pewatas nomina
keterangan (rumah).
8. Anak Kalimat Pengganti Nomina
Anak kalimat ini ditandai oleh kata bahwa dan anak kalimat ini dapat
menjadi subjek atau objek dalam kalimat transitif.
Contohnya :
Anak Kalimat
(1) Bahwa pengurus koperasi harus segera dibentuk sudah dibahas dalam rapat
kemarin.
Anak Kalimat
(2) Adalah hak kita bahwa pemilihan pengurus itu harus dibicarakan dalam
rapat anggota.
Anak Kalimat
(3) Keinginan pemimpin kita ialah bahwa semua pengurus harus mendahulukan
kepentingan pelayanan.
(4) Pengurus lama berjanji bahwa koperasi kita akan memilih pengurus baru.
Anak Kalimat
(5) Dia memberitahukan bahwa pemilihan pengurus koperasi diadakan minggu
ini.
Pada contoh kalimat (1), anak kalimat menduduki fungsi subjek. Pada
contoh kalimat (2), walaupun tidak posisi awal, anak kalimat itu berfungsi sebagai
subjek. Kalimat (2) itu adalah kalimat inversi (pola urutan P-S). Urutan itu dapat
diubah S-P. Pada contoh kalimat (3), anak kalimat termasuk sebagai pelengkap,
begitu juga contoh kalimat (4) menunjukkan bahwa anak kalimat berfungsi
sebagai pelengkap. Adapun contoh kalimat terakhir menempatkan anak kalimat
sebagai objek.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Psikolinguistik dan Teori Genetik Kognitif Chomsky
Kata psikolinguistik adalah gabungan dua kata, yaitu ‘psikologi’ dan
‘linguistik’, yang merupakan dua disiplin yang berlainan dan berdiri sendiri.
Kedua disiplin ilmu ini mengkaji satu masalah yang sama, yaitu bahasa, dengan
cara yang berlainan dan dengan tujuan yang berlainan. Dengan demikian banyak
juga hal yang sama yang dikaji oleh kedua disiplin ilmu ini dengan tujuan yang
boleh dikatakan sama atau hampir sama tetapi dengan metode atau teori yang
berlainan. Pada dasarnya psikologi mengkaji perilaku berbahasa, sedangkan
linguistik mengkaji struktur bahasa yang lahir atau tumbuh. Kedua disiplin ilmu
ini saling berdampingan dan bekerjasama atau saling membantu dalam mengkaji
Sebagai hasil kerjasama yang lebih terarah dan sistematis lahirlah satu
ilmu baru yang sekarang disebut ‘psikolinguistik’. Psikolinguistik adalah ilmu
yang mempelajari proses-proses mental yang dilalui oleh manusia dalam mereka
membina pengetahuan berbahasa. (Dardjowidjojo, 2005).
Tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu teori bahasa yang
unggul dari segi linguistik dan psikologi yang mampu menerangkan hakekat
bahasa dan pemerolehannya. Dengan kata lain, psikolinguistik mencoba
menerangkan hakekat struktur bahasa dan bagaimana struktur bahasa ini diperoleh
dan digunakan pada waktu bertutur dan memahami ujaran-ujaran bahasa yang
terlibat dalam proses-proses kebahasaan ini.
Pada hakekatnya psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan
linguistik dan psikologi kepada masalah-masalah bahasa, seperti pengajaran
bahasa, pemebelajaran bahasa, pengajaran membaca permulaan dan lanjutan,
kedwibahasaan (bilingualism), kemultibahasaan (multilingualism), penyakit
bertutur, seperti afasia, gagap dan sebagainya. Dengan demikian penulis dapat
menyimpulkan bahwa psikolinguistik merupakan satu ilmu yang dilahirkan
sebagai akibat dari satu kesadaran, bahwa pengkajian bahasa merupakan sesuatu
yang sangat sulit dan dan rumit sehingga satu disiplin ilmu secara sendiri tidak
mungkin mampu mengkaji dan menerangkan hakekat bahasa itu.
Sama halnya dengan Piaget, Chomsky juga tidak pernah memperkenalkan
teori pemerolehan dan pembelajaran bahasa secara khusus. Namun, karena teori
linguistik yang diperkenalkannya (1957, 1965, 1968)dan juga artikel ulasannya
mengenai buku Skinner (“Verbal Behavior”, 1957) dalam Language (1959) telah
pemerolehan dan pembelajaran bahasa telah dapat disimpulkan dari teori generatif
transformasinya yang kini dikenal dengan nama teori genetik kognitif (Chaer,
2003 : 108). Teori ini digolongkan ke dalam kelompok teori kognitif karena teori
ini menekankan pada otak (akal, mental) sebagai landasan dalam proses
pemerolehan dan pembelajaran bahasa.
Chomsky (1969) dengan keras menentang teori pembiasaan operan dalam
pemerolehan bahasa yang dikemukakan Skinner. Menurut Chomsky tidaklah ada
gunanya sama sekali untuk menjelaskan proses pemerolehan bahasa tanpa
mengetahui dengan baik apa sebenarnya bahasa sebagai benda yang sedang
diperoleh itu. Untuk dapat menerangkan hakikat proses pemerolehan bahasa, di
samping memahami apa sebenarnya bahasa itu, kita tidak boleh menyampingkan
pengetahuan mengenai struktur dalam organisme (manusia), yakni bagaimana
cara-cara perilaku berbahasa itu diatur. Semua cara ini ditentukan oleh struktur
awal yang dibawa sejak lahir yang sangat rumit, dan proses perkembangannya
diatur menurut proses pematangan genetik dan pengalaman-pengalaman yang
telah lalu.
Teori genetik kognitif ini didasarkan pada satu hipotesis yang disebut
hipotesis nurani (the innateness hyphothesist). Hipotesis ini mengatakan bahwa
otak manusia dipersiapkan secara genetik untuk berbahasa. Untuk itu otak
manusia dipersiapkan telah dilengkapi dengan struktur bahasa universal yang
disebut Language Acquisition Device (LAD). Dalam proses pemerolehan bahasa
LAD ini menerima “ucapan-ucapan” dan data-data lain yang berkaitan melalui
pancaindra sebagai masukan dan membentuk rumus-rumus linguistik berdasarkan
teori behaviorisme (S – R) sangat tidak memadai untuk menerangkan
proses-proses pemerolehan bahasa sebab masukan data linguistiknya sangat sedikit untuk
dapat membangkitkan rumus-rumus linguistik. Chomsky berpendapat tidak
mungkin seorang kanak-kanak mampu menguasai bahasa ibunya dengan begitu
mudah yaitu tanpa diajar dan begitu cepat dengan masukan yang sedikit
(kalimat-kalimat tidak lengkap, berputus-putus, salah, dan sebagainya) tanpa adanya
struktur universal dan LAD itu di dalam otaknya secara genetik.
Dalam proses pemerolehan bahasa, tugas kanak-kanak dengan alat yang
dimilikinya (yaitu LAD) adalah menentukan bahasa masyarakat manakah
masukan kalimat-kalimat yang didengarnya itu akan dimasukkan. Struktur awal
atau skema nurani yang dimilikinya semakin diperkaya setelah “bertemu” dengan
masukan dari bahasa masyarakatnya (bahasa ibunya), dan kanak-kanak akan
membentuk teori tata bahasanya berdasarkan itu. Tata bahasa itu terus-menerus
disempurnakan berdasarkan masukan yang semakin banyak, dan sesuai dengan
proses pematangan otaknya. Sesudah mencapai umur tiga atau empat tahun, tata
bahasa ini sudah hampir sama baiknya dengan tata bahasa yang dimiliki orang
dewasa. Keadaan ini merupakan hal yang luar biasa mengingat betapa nuraninya
bahasa yang sedang diperolehnya.
Untuk lebih memperkuat teorinya atau hipotesisnya Chomsky mengajukan
hal-hal berikut :
1. Proses-proses pemerolehan bahasa pada semua kanak-kanak boleh
2. Proses pemerolehan bahasa tidak ada kaitannya dengan kecerdasan.
Maksudnya, anak yana IQ-nya rendah juga memperoleh bahasa pada
waktu dan cara yang hampir sama.
3. Proses pemerolehan bahasa juga tidak dipengaruhi oleh motivasi dan
emosi kanak-kanak.
4. Tata bahasa yang dihasilkan oleh semua kanak-kanak boleh dikatakan
sama.
Semua ini tidak mungkin terjadi apabila kanak-kanak itu tidak dilengkapi
dengan LAD dan skema nurani seperti yang disebutkan di atas.
2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Berbahasa Indonesia
Anak
Kemampuan berbahasa Indonesia anak sangat mempengaruhi bahasa
pertamanya. Anak dalam memperoleh bahasa pertama bervariasi, ada yang
lambat, sedang, bahkan ada yang cepat. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti yang dikemukakan oleh Chomsky, Piaget, Lenneberg dan
Slobin berikut ini:
1. Faktor Alamiah
Faktor alamiah adalah setiap anak lahir dengan seperangkat prosedur dan
aturan bahasa yang dinamakan oleh Chomsky Language Acquisition Divice
(LAD). Potensi dasar itu akan berkembang secara maksimal setelah mendapat
stimulus dari lingkungan. Proses pemerolehan melalui piranti ini sifatnya alamiah.
mendapatkan bahasa, anak tersebut akan mampu menerima apa yang terjadi di
sekitarnya. Slobin mengatakan bahwa yang dibawa lahir ini bukanlah
pengetahuan seperangkat kategori linguistik yang semesta, seperti dikatakan oleh
Chomsky. Prosedur-prosedur dan aturan-aturan yang dibawa sejak lahir itulah
yang memungkinkan seorang anak untuk mengolah data linguistik.
2. Faktor Perkembangan Kognitif
Perkembangan bahasa seseorang seiring dengan perkembangan
kognitifnya. Keduanya memiliki hubungan yang komplementer. Pemerolehan
bahasa dalam prosesnya dibantu oleh perkembangan kognitif, sebaliknya
kemampuan kognitif akan berkembang dengan bantuan bahasa. Keduanya
berkembang dalam lingkup interaksi sosial.
Piaget dalam Brainerd seperti dikutip Ginn (2006) mengartikan kognitif
sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pengenalan berdasarkan intelektual dan
merupakan sarana pengungkapan pikiran, ide, dan gagasan. Termasuk, kegiatan
kognitif; aktivitas mental, mengingat, memberi simbol, mengkategorikan atau
mengelompokkan, memecahkan masalah, menciptakan, dan berimajinasi.
Hubungannnya dengan mempelajari bahasa, kognitif memiliki keterkaitan dengan
pemerolehan bahasa seseorang.
Menurut Lenneberg (1967), dalam usia dua tahun (kematangan kognitif)
hingga usia pubertas, otak manusia itu masih sangat lentur yang memungkinkan
seorang anak untuk memperoleh bahasa pertama dengan mudah dan cepat. Lanjut
oleh selesainya fungsi-fungsi otak tertentu, khususnya fungsi verbal di bagian
otak sebelah kiri.
Piaget (1955) memandang anak dan akalnya sebagai agen yang aktif dan
konstruktif yang secara perlahan-lahan maju dalam kegiatan usaha sendiri yang
terus menerus. Anak-anak sewaktu bergerak menjadi dewasa memperoleh tingkat
pemikiran yang secara kualitatif berbeda, yaitu menjadi meningkat lebih kuat.
Piaget berpendapat bahwa kemampuan merepresentasikan pengetahuan itu adalah
proses konstruktif yang mensyaratkan serangkaian langkah perbuatan yang lama
terhadap lingkungan.
Menurut Slobin (1977), perkembangan umum kognitif dan mental anak
adalah faktor penentu pemerolehan bahasa. Seorang anak belajar atau
memperoleh bahasa pertama dengan mengenal dan mengetahui cukup banyak
struktur dan fungsi bahasa, dan secara aktif ia berusaha untuk mengembangkan
batas-batas pengetahuannya mengenai dunia sekelilingnya, serta mengembangkan
keterampilan-keterampilan berbahasanya menurut strategi-strategi persepsi yang
dimilikinya. Lanjut Slobin, pemerolehan linguistik anak sudah diselesaikannya
pada usia kira-kira 3-4 tahun, dan perkembangan bahasa selanjutnya dapat
mencerminkan pertumbuhan kognitif umum anak itu.
3. Faktor Latar Belakang Sosial
Latar belakang sosial mencakup struktur keluarga, afiliasi kelompok
sosial, dan lingkungan budaya memungkinkan terjadinya perbedaan serius dalam
pemerolehan bahasa anak (Vygotsky, 1978). Semakin tinggi tingkat interaksi
memperoleh bahasa. Sebaliknya semakin rendah tingkat interaksi sosial sebuah
keluarga, semakin kecil pula peluang anggota keluarga (anak) memperoleh
bahasa. Hal lain yang turut berpengaruh adalah status sosial. Anak yang berasal
dari golongan status sosial ekonomi rendah rnenunjukkan perkembangan
kosakatanya lebih sedikit sesuai dengan keadaan keluarganya. Misalnya, seorang
anak yang berasal dari keluarga yang sederhana hanya mengenal lepat, ubi, radio,
sawah, cangkul, kapak, atau pisau karena benda-benda tersebut merupakan
benda-benda yang biasa ditemukannya dalam kehidupannya sehari-hari.
Sebaliknya anak yang berasal dari keluarga yang memiliki status ekonomi yang
lebih tinggi akan memahami kosakata seperti mobil, televisi, komputer, internet,
dvd player, laptop, game, facebook, ataupun KFC, karena benda-benda tersebut
merupakan benda-benda yang biasa ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari.
Kemampuan anak berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang dapat
dipahami orang lain sebagai anggota kelompok. Anak yang mampu
berkomunikasi dengan baik akan diterima lebih baik oleh kelompok sosial dan
mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk memerankan kepemimpinannya,
dibandingkan dengan anak yang kurang mampu berkomunikasi atau takut
menggunakannya.
4. Faktor Keturunan
Faktor keturunan meliputi:
1. Intelegensia
Pemerolehan bahasa anak turut juga dipengaruhi oleh intelegensia yang
sesuatu melalui pikirannya. Setiap anak memiliki struktur otak yang mencakup IQ
yang berbeda antara satu dengan yang lain. Semakin tinggi IQ seseorang, semakin
cepat memperoleh bahasa, sebaliknya semakin rendah IQ-nya, semakin lambat
memperoleh bahasa.
Berikut ini adalah bagian dari gambar otak, menurut Simanjuntak (2009 :
198).
Gambar 1 : Fungsi-Fungsi Otak (Simanjuntak, 2009 : 198)
LD : Lobus Depan (Frontal) FB : Fasikulus Busur
LT : Lobus Temporal KM : Korteks Moto
LO : Lobus Oksipital KPd : Korteks Pendengaran
LP : Lobus Parietal KPI : Korteks Penglihatan
MB : Medan Broca KPr : Korteks Perasa (Peraba)
MW : Medan Wernicke
GA : Girus Angular
Pusat Tata Bahasa (Kecakapan) : Girus Angular (GA)
Pusat Ucapan : I) Pusat Produksi : Medan Broca (MB)
2. Kepribadian dan Gaya/Cara Kemampuan Bahasa
Kreativitas seseorang dalam merespon sesuatu sangat menentukan
kemampuan bahasa, daya bertutur dan bertingkah laku yang menjadi kepribadian
seseorang turut mempengaruhi sedikit banyaknya variasi-variasi tutur bahasa.
Seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa pertama dalam
otaknya, lengkap dengan semua aturan-aturannya. Bahasa pertama itu
diperolehnya dengan beberapa tahap, dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati
tata bahasa dari bahasa orang dewasa.
Chomsky dan Piaget, seperti dikutip Ginn (2006), mengklasifikasi
kemampuan bahasa ke dalam tujuh tahapan, yaitu. (a) Tahap Meraban
(Pralinguistik 0,0-0,5) Pertama, (b) Tahap Meraba (Pralinguistik 0,5-1,0) Kedua:
Kata Nomsens, (c) tahap Liguistik I Holoprastik; Kalimat satu Kata (1,0-2,0), (d)
Tahap Linguistik II Kalimat Dua Kata (2,0-3,0), (e) Tahap Linguistik III.
Pengembangan Tata Bahasa (3,0-4,0), (f) Tahap Linguistik IV Tata Bahasa
Pra-Dewasa (4,0-5,0) dan (g) Tahap Linguistik V Kompetensi Penuh (5,0-....).
Pada tahap pralinguistik pertama anak belum dapat menghasilkan bunyi
secara normal, pada tahap pralinguistik yang kedua anak sudah dapat mengoceh
atau membabel dengan pola suku kata yang diulang-ulang. Bahkan menjelang
usia 1 tahun anak sudah mulai mengeluarkan pola intonasi dan bunyi-bunyi tiruan.
Pada tahap linguistik I anak sudah mulai menggunakan serangkaian bunyi ujaran
yang menghasilkan bunyi ujaran tunggal yang bermakna. Pada tahap linguistik II
kosa-kata anak mulai berkembang dengan pesat, ujaran yang diucapkan terdiri
linguistik III anak mampu menggunakan lebih dari dua kata, kalimat yang
diungkapkan biasanya menyatakan makna khusus yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Pada tahap linguistik IV anak sudah mampu menyusun
kalimat yang cukup lengkap meskipun masih ada kekurangan pada penggunaan
infleksi dan kata fungsi. Dan pada tahap linguistik yang terakhir anak sudah
memiliki kemampuan penuh dalam berbahasa.
2.2.3 Kemampuan Berbahasa
1. Pengertian Kemampuan Berbahasa
Secara bahasa kemampuan sama dengan kesanggupan atau kecakapan.
Jadi, kemampuan adalah kesanggupan individu untuk melakukan pekerjaan yang
dibebankan, sedangkan kemampuan berbahasa adalah kemampuan individu untuk
mendengarkan ujaran yang disampaikan oleh lawan bicara, berbicara dengan
lawan bicara, membaca pesan-pesan yang disampaikan dalam bentuk tulisan, dan
menulis pesan-pesan baik secara lisan maupun tulisan.
2. Jenis-jenis Kemampuan Berbahasa
a. Kemampuan Mendengar
Kemampuan mendengar adalah kemampuan atau keterampilan
menangkap dan memproduksi bahasa yang diperoleh dengan pendengaran. Dalam
mendengarkan biasanya menggunakan direct method. Kaidah metode itu
pelajaran awal diberikan dengan latihan-latihan mendengarkan atau hear training,
kemudian diikuti dengan latihan-latihan mengucapkan bunyi lebih dahulu, setelah
tersebut kemudian dirangkaikan menjadi percakapan dan cerita. Materi pelajaran
ditulis dalam notasi fonetik bukan ejaan sebagaimana lazimnya gramatika
diajarkan secara induktif, dengan pelajaran mengarang terdiri atas reproduksi, dari
yang telah didengar dan bicara (Dahlan, 1992).
Secara umum tujuan latihan menyimak/mendengar adalah agar anak-anak
dapat memahami ajaran bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik bahasa
sehari-hari maupun bahasa yang digunakan dalam forum resmi (Effendy, 2005).
b. Kemampuan Berbicara
Kemampuan berbicara adalah kemampuan berkomunikasi secara
langsung dalam bentuk percakapan atau berdialog. Latihan-latihan cakap (diskusi,
dialog) serta latihan membuat laporan lisan, dapat juga menambah keterampilan
berbicara, persoalan yang tidak kurang pentingnya agar murid trampil berbicara
adalah latihan-latihan keberanian berbicara. Selain bergantung pada sikap guru,
tugas-tugas mengadakan komunikasi dengan ornag lain (selain guru kelas) dapat
juga menimbulkan keberanian berbicara bagi murid-murid pemula, persoalannya
keberanian (berbicara) perlu mendapat latihan-latihan seperlunya.
Kemahiran berbicara merupakan salah satu jenis kemampuan berbahasa
yang ingin dicapai dalam pengajaran bahasa. Berbicara merupakan merupakan
sarana utama utnuk membina saling perhatian, komunikasi timbal-balik, dengan
menggunakan bahasa sebagai medianya.
Kegiatan berbicara di dalam kelas mempunyai aspek komunikasi dua
arah, yaitu antara pembicara dengan pendengarnya secara timbal balik. Dengan
1. Kemampuan mendengarkan
2. Kemampuan mengucapkan
3. Penguasaan (relatif) kosa kata yang diungkapkan yang memungkinkan
siswa dapat mengkomunikasikan maksud/fisiknya.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa latihan berbicara itu merupakan
kelanjutan dari latihan menyimak/mendengar yang di dalam kegiatannya juga
terdapat latihan mengucapkan.
2.2.4 Media Gambar
Media gambar adalah media yang tidak diproyeksikan dan dapat dinikmati
oleh semua orang sebagai pindahan dari keadaan yang sebenarnya mengenai
orang, suasana, tempat, barang, pemandangan, dan benda-benda yang lain. Media
gambar termasuk media visual, sebagaimana halnya media yang lain media
gambar berfungsi untuk menyalurkan pesan dari sumber ke penerima pesan.
Saluran yang dipakai menyangkut indera penglihatan. Pesan yang akan
disampaikan dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi anak.
Simbol-simbol tersebut perlu dipahami benar artinya agar proses penyampaian pesan
dapat berhasil dan efisien. Selain fungsi umum tersebut, secara khusus gambar
berfungsi pula untuk menarik perhatian, memperjelas sajian ide, mengilustrasikan
atau menghiasi fakta yang mungkin akan cepat dilupakan atau diabaikan bila tidak
digambarkan. Selain sederhana dan mudah pembuatannya, media gambar
Beberapa kelebihan media gambar antara lain :
1. Sifatnya konkrit, Maksudnya gambar lebih realistis menunjukkan pokok
masalah dibandingkan dengan media verbal semata.
2. Gambar dapat mengatasi batasan ruang dan waktu. Tidak semua benda/
peristiwa dapat dibawa kedalam kelas, dan tidak selalu bisa anak – anak
dibawa keobjek / peristiwa tersebut. Media gambar dapat mengatasi masalah
tersebut.
3. Media gambar dapat mengatasi keterbatasan pengamatan kita. Sela atau
penampang daun yang tak mungkin kita lihat dengan mata telanjang dapat
disajikan dengan jelas dalam bentuk gambar.
4. Gambar dapat memperjelas suatu masalah, dalam bidang apa saja dan untuk
tingkat usia berapa saja, sehingga dapat mencegah atau membetulkan
kesalahpahaman.
5. Gambar harganya murah dan mudah didapat serta digunakan, tanpa
memerlukan peralatan khusus.
Selain kelebihan – kelebihan tersebut, gambar mempunyai kelemahan,
beberapa kelemahan tersebut adalah :
1. Gambar hanya menekankan persepsi indera mata
2. Gambar benda yang terlalu kompleks kurang efektif untuk kegiatan
pembelajaran.
Selain itu, ada enam syarat yang perlu dipenuhi oleh gambar yang baik
sehingga dapat dijadikan sebagai media pendidikan.
1. Autentik
Gambar tersebut harus secara jujur melukiskan situasi seperti kalau orang
melihat benda sekitarnya.
2. Sederhana.
Komposisi gambar hendaknya cukup jelas menunjukkan poin – poin pokok
dalam gambar.
3. Ukuran Relatif.
Gambar dapat membesarkan atau memperkecil objek/benda sebenarnya.
Apabila gambar tersebut tentang benda / objek yang belum dikenal atau
pernah dilihat anak maka sulitlah membayangkan berapa besar benda atau
objek tersebut. Untuk menghindari itu hendaknya dalam gambar tersebut
terdapat sesuatu yang telah dikenal anak – anak sehingga dapat membantunya
membayangkan berapa besarkah benda tersebut.
4. Gambar sebaiknya mengandung gerak atau perbuatan. Gambar yang baik
tidaklah menunjukan objek dalam keadaan diam, tapi memperlihatkan
aktivitas tertentu.
5. Gambar yang bagus dilihat dari sudut seni dan sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang akan di capai.
2.3 Tinjuan Pustaka
Penelitian tentang kemampuan berbahasa Indonesia sudah dilakukan oleh
beberapa peneliti sebelumnya, diantaranya :
Krashen (1978) dalam Chayono (1995 : 299) yang menyatakan bahwa
pemahaman hubungan antara pemerolehan dan belajar itu penting untuk
memahami periode kritis, karena setelah periode kritis berakhir, peranan belajar
menjadi lebih berarti. Pemerolehan mengacu ke perkembangan kemampuan dalam
suatu bahasa secara bertahap dan tidak disadari dengan disertai kemampuan
penggunaan secara alamiah dalam situasi-situasi komunikatif. Kegiatan
pemerolehan ialah kegiatan yang dialami oleh anak-anak dan mereka yang
memperoleh bahasa karena mereka cukup lama dalam interaksi sosial (bahasa
yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari) di negara lain. Pemerolehan terjadi
dalam lingkungan yang tidak formal.
Berbeda dengan pemerolehan, belajar mengacu ke pengumpulan
pengetahuan kosa kata dan gramatika bahasa melalui sesuatu yang disadari
(matematika, misalnya, merupakan kemampuan yang dipelajari, dan bukan
kemampuan yang diperoleh). Kegiatan belajar biasanya berwujud pengajaran
bahasa di sekolah, terbatas pada orang dewasa dan cenderung menghasilkan
pengetahuan tentang bahasa yang dipelajari. Mereka yang memiliki pengalaman
bahasa kedua melalui belajar cenderung tidak dapat mengembangkan kemampuan
seperti mereka yang mengalami pemerolehan.
Gustianingsih (2002) dalam tesis yang berjudul “Pemerolehan Kalimat
Majemuk Bahasa Indonesia Pada Anak Usia Taman Kanak-Kanak” membahas
taman kanak-kanak, yaitu jenis konjungsi kalimat koordinatif apa yang diperoleh
anak dan berapa jumlah frekuensinya. Anak TK memiliki pola struktur kalimat
majemuk koordinatif bahasa Indonesia yang berbeda dengan orang dewasa. Jenis
kalimat majemuk koordinatif yang sedang, akan dan telah dipahami anak TK
ternyata berbeda bagi setiap anak. Anak TK memiliki karakteristik kalimat
majemuk koordinatif bahasa Indonesia yang berbeda dengan karakteristik bahasa
orang dewasa.
Siregar (2002) dalam tesis yang berjudul “Pengaruh Stimuli Trehadap
Pemerolehan Bahasa Anak Prasekolah (Studi Komparatif)” menemukan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara pemberian stimuli dengan perkembangan
kosa kata dan semantik anak prasekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
semakin intensif lingkungan memberikan stimuli terhadap anak, maka
perkembangan pemerolehan bahasa anak prasekolah semakin baik. Selain itu, dari
hasil penelitian ditemukan juga fakta bahwa anak masih melakukan generalisasi
terhadap benda yang memiliki karakteristik yang sama.
Rusyani (2008) dalam penelitiannya berjudul “Pemerolehan Bahasa
Indonesia Anak Usia 2,5 Tahun (Studi Kasus Terhadap Pemerolehan Bahasa
Anak Usia Dini)” menemukan bahwa anak yang berusia dua setengah tahun sudah
mampu mengucapkan kata-kata yang sesuai dengan lingkungan dan benda-benda
yang ada disekitarnya. Perbendaharaan kata anak juga sudah mulai berkembang
karena anak mengambil contoh dari kata-kata yang diucapkan orang tua,
teman-teman, saudara-saudaranya dan orang-orang lain yang ada di sekitarnya. Dalam
penelitian ini juga ditemukan fakta bahwa anak yang berusia dua setengah tahun
yang sudah memiliki makna yang lengkap. Selain itu, anak juga sudah mampu
menghasilkan kalimat dalam modus deklaratif, interogatif dan imperatif.
Nasution (2009) dalam tesis yang berjudul “Kemampuan Berbahasa Anak
Usia 3-4 Tahun (Prasekolah) di Play Group Mekar Medan: Tinjuauan
Psikolinguistik” menemukan bahwa para responden yaitu anak-anak yang berusia
3-4 tahun di Play Group Tunas Mekar Medan mampu berbahasa baik dari
pemerolehan fonologi, sintaksis, maupun semantik. Walaupun pada pemerolehan
fonologi anak mengalami pergantian sebuah bunyi yang disuarakan dengan bunyi
yang tidak disuarakan. Pada pemerolehan sintaksis anak telah mampu
menggunakan kalimat-kalimat yang gramatikal dan pada pemerolehan semantik
anak lebih cenderung menggunakan kata-kata yang memiliki makna denotatif.
Pelenkahu (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Pemerolehan
Bahasa Pertama Anak Kembar Usia Dua Tahun Delapan Bulan” menemukan
bahwa anak kembar usia dua tahun delapan bulan yang menjadi subjek penelitian
ini dalam mengujarkan satu, dua dan tiga kata mengawalinya dengan
mengujarkan suku kata awal dan akhir secara bergantian. Dalam pemerolehan
morfologinya anak sangat tergantung pada pola kehidupan berbahasa yang ada
dilingkungan keluarganya, maksudnya sedikit banyaknya bergantung pada pola
berbahasa yang dilakukan oleh ibu mereka, kemudian ayah, dan
saudara-saudaranya. Kebanyakan kata-kata yang mampu diujarkan merupakan gambaran
kegiatan yang dilakukan di dalam kehidupan kedua anak tesebut. Dari hasil
penelitian juga diteemukan bahwa kedua anak tersebut kurang memiliki bakat
agar tidak menglami keterlambatan dalam pemerolehan bahasa yang baik dan
benar.
Hutabarat (2011) dalam penelitiannya yan berjudul “Pemerolehan
Sintaksis Bahasa Indonesia Anak Usia Dua Tahun Dan Tiga Tahun Di Padang
Bulan Medan” menemukan bahwa anak yang berusia dua tahun dan tiga tahn
sudah mampu menghasilkan kalimat pernyataan, pertanyaan, dan perintah dalam
modus deklaratif, interogatif, imperatif dan interjektif dengan baik, namun anak
usia dua tahun lebih banyak menggunakan kalimat pernyataan dalam modus
deklaratif dalam komunikasi sehari-hari dengan orang lain. Perbedaan
pemerolehan sintaksis bahasa Indonesia anak usia dua tahun dan tiga tahun
terletak pada modus kalimat yang mereka hasilkan yaitu dari segi improvisasi
dalam kalimat yang mereka gunakan, tingkat kalimat yang mereka hasilkan dan
originalitas kalimat yang mereka hasilkan. Dalam menghasilkan kalimat dalam
berbagai modus anak usia dua tahun dan tiga tahun dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu faktor alamiah berupa LAD, faktor perkembangan kognitif, faktor
latar belakang sosial dan faktor keturunan, yaitu intelegensia dan gaya/cara
pemerolehan bahasa.
Semua penelitian terdahulu yang disebutkan di atas sangat membantu
penulis untuk menentukan tahap-tahap yang harus dilakukan dalam penelitian ini,
karena semua penelitian tersebut menjadikan anak yang berusia 4-5 tahun sebagai
subjek penelitian. Dengan adanya penelitian terdahulu tersebut, penulis dapat
membandingkan hasil yang didapatkan dalam penelitian ini dengan hasil yang
didapat dalam penelitian-penelitian tersebut. Sebagian penelitian tersebut
usia taman kanak-kanak yang diperoleh melalui media gambar, pola kalimat
majemuk bertingkat bahasa Indonesia yang digunakan anak dalam memahami
media gambar dan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kalimat
majemuk bertingkat bahasa Indonesia anak usia taman kanak-kanak, sehingga
hasil yang didapatkan dalam penelitian terdahulu tersebut dapat dibandingkan