• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Pelayanan Swamedikasi Kepada Pasien Penderita Gastritis di Apotek di Wilayah Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Pelayanan Swamedikasi Kepada Pasien Penderita Gastritis di Apotek di Wilayah Kota Medan"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1. Lembar Checklist

PROFIL PELAYANAN SWAMEDIKASI KEPADA PASIEN PENDERITA GASTRITIS DI APOTEK DI WILAYAH KOTA MEDAN

Tanggal Pengambilan Data :

Nama Apotek :

Kecamatan :

Patient assessment

Tindakan Petugas Apotek Ya Tidak Skor

1. Apakah patient assessment dilakukan langsung oleh apoteker ?

2. Apakah ditanyakan siapa yang sedang sakit/ menderita gejala-gejala gastritis ?

3. Apakah ditanyakan berapa usia yang menderita sakit gastritis?

4. Apakah ditanyakan tanda/gejala yang diderita pasien gastritis?

5. Apakah ditanyakan faktor penyebab terjadinya penyakit gastritis ?

6. Apakah ditanyakan sudah berapa lama pasien menderita sakit gastritis ?

7. Apakah ditanyakan tindakan yang sudah dilakukan selama pasien menderita gejala gastritis?

8. Apakah ditanyakan obat-obat lain yang sedang digunakan oleh pasien?

9. Apakah dilakukan patient medication record dalam pelayanan yang diberikan ?

Rekomendasi

10. Apakah petugas memberi rujukan?

11. Apakah petugas memberi rekomendasi obat?

- Nama obat ...

- Harga ...

- Jenis obat ...

- Golongan obat ... Informasi obat

12. Apakah diberitahukan tentang indikasi obat? 13. Apakah diberitahukan tentang kontraindikasi

obat?

14. Apakah diberitahukan tentang efek samping obat?

(2)

16. Apakah diberitahukan tentang dosis obat? * 17. Apakah diberitahukan tentang waktu pemakaian

obat?

18. Apakah diberitahukan tentang lama pemakaian obat?

19. Apakah diberitahukan tentang hal-hal yang harus diperhatikan mengenai obat?

20. Apakah diberitahukan tentang yang harus dilakukan jika terlupa minum obat?

21. Apakah diberitahukan tentang cara penyimpanan obat?

22. Apakah diberitahukan tentang cara perlakuan sisa obat?

23. Apakah diberitahukan tentang identifikasi obat yang rusak?

Informasi non-obat

24. Apakah diberikan penjelasan tentang pola makan bagi pasien?

25. Apakah diberikan penjelasan tentang

menjalankan pola hidup yang sehat bagi pasien?

(3)

Lampiran 2. Peta Kecamatan Kota Medan

(4)

Lampiran 3. Daftar Apotek Sampel Di Wilayah Kota Medan

No Kecamatan Nama Apotek Alamat Status

(5)
(6)
(7)

Lampiran 4. Penilaian Lembar Checklist Penelitian

No apotek Wilayah Pertanyaan

(8)
(9)

Apotek 79 Pusat 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0 0 0 Apotek 80 Pinggiran 2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0 0 0 Apotek 81 Pinggiran 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0 0 0 Apotek 82 Pinggiran 2 2 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 0 0 Apotek 83 Pinggiran 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0 0 0 Apotek 84 Pinggiran 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0 0 0 Apotek 85 Pinggiran 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0 0 0

Keterangan : Pertanyaan

1 = Apakah patient assessment dilakukan langsung oleh apoteker ? 2 = Siapa yang sakit gastritis ?

3 = Berapa usia yang menderita gastritis ? 4 = Apa gejala yang dialami pasien ?

5 = Apa faktor penyebab terjadinya penyakit gastritis ? 6 = Berapa lama pasien gastritis mengalami sakit ?

7 = Apa tindakan yang sudah diperbuat selama mengalami gejala gastritis ? 8 = Apa obat-obat lain yang sedang digunakan ?

9 = Apa dilakukan patient medication record dalam pelayanan yang diberikan ? 10 = Pemberian rekomendasi rujukan ke dokter ?

(10)
(11)
(12)

Apotek 77 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 12 22 3 Apotek 78 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 12 3 Apotek 79 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 8 3 Apotek 80 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 12 3 Apotek 81 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 8 3 Apotek 82 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 16 32 3 Apotek 83 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 8 3 Apotek 84 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 8 3 Apotek 85 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 8 3 Keterangan :

Pertanyaan Kategori

15 = pemberian informasi cara pemakaian ? 1 = Baik 16 = Pemberian informasi dosis ? 2 = Cukup 17 = Pemberian informasi waktu pemakaian ? 3 = Kurang 18 = Pemberian informasi lama pemakaian ?

19 = Pemberian informasi perhatian ?

20 = Pemberian informasi terlupa minum obat ? 21 = Pemberian informasi cara penyimpanan ? 22 = Pemberian informasi cara perlakuan sisa obat ? 23 = Pemberian informasi identifikasi obat yang rusak ? 24 = Pemberian informasi pola makan ?

(13)

Lampiran 5. Uji Statistik

Normality Test

Tests of Normality

Wilayah

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Pelayanan Swamedikasi Pusat ,327 48 ,000 ,698 48 ,000

pinggiran ,297 37 ,000 ,730 37 ,000

a. Lilliefors Significance Correction

Mann-Whitney Test

Test Statisticsa

Pelayanan

Swamedikasi

Mann-Whitney U 874,000

Wilcoxon W 2050,000

Z -,133

Asymp. Sig. (2-tailed) ,895

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Asti, T., dan Indah, W. (2004). Pengobatan Sendiri. InfoPOM. 5(6): 1-3.

Blenkinsopp, A., dan Paxton, P. (2002). Symptoms in The Pharmacy: A Guide to The Management of Common Illness. Malden: Blackwell Publishing. Chua, S., Ramachandran, C.D., dan Paraidathathu, T.T. (2006). Response of

Community Pharmacists to The Presentation of Black Pain: A Simulated Patient Study. International Journal of Pharmacy Practice. 14(3): 171-178.

Cipolle, R.J., Strand, L.M., dan Morley, P.C. (1998). Pharmaceutical Care Practice. New York: Mc Graw- Hill Companies. Halaman 76-77.

FIP. (1999). Joint Statement By The International Pharmaceutical Federation and The World Self-Medication Industry: Responsible Self-Medication. FIP & WSMI. p.1-2.

Hadiyani, M., Indah, W., dan Arlinda, W. (2014). Menuju Swamedikasi Yang Aman. InfoPOM.15(1): 2-5.

Hasanah, F. (2013). Profil Penggalian Informasi dan Rekomendasi Pelayanan Swamedikasi Oleh Staf Apotek Terhadap Kasus Diare Anak Di Apotek Wilayah Surabaya. Farma Sains. 2(1):11-15.

Hermawati, D. (2012). Pengaruh Edukasi Terhadap Tingkat Pengetahuan Dan Rasionalitas Penggunaan Obat Swamedikasi Pengunjung Di Dua Apotek Kecamatan Cimanggis, Depok. Skripsi. Depok: FMIPA. Universitas Indonesia.

Hirlan. (2006). Gastritis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Kartajaya, H., Taufik, Mussry, J., dan Setiawan, I. (2011). Self-medication, who benefits and who is at loss. Jakarta: MarkPlus Insight.

Katzung, B.G. (2004). Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi III. Jakarta: Salemba Medika.

(15)

Megawati, A., dan Hasna, N. (2014). Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Gastritis Pada Pasien Yang Di Rawat Di RSUD Labung Baji Makasar. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosa. 4(6): 713.

Menkes RI. (1990). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 347/MenKes/SK/ VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Menkes RI. (1997). Kompendia Obat Bebas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Menkes RI. (2006). Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas.

Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Menkes RI. (2008). Materi pelatihan peningkatan pengetahuan dan keterampilan memilih obat bagi tenaga kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Menkes RI. (2008). Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan

Kefarmasian Di Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Menkes RI. (2012). Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Menkes RI. (2014). Aplikasi Pemetaan Sarana Kefarmasian. http://apif.binfar. Menkes.go.id/. Diakses pada tanggal 28 Januari 2016.

Menkes RI. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Nisfiannoor, M. (2009). Pendekatan Statistik Modern untuk Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

PP RI No 51. (2009). Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta.

Price, S.A. (2006). Gangguan Lambung dan Duodenum. Dalam S. A. Price, & L. M. Wilson, Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC

Rantucci, M.J. ( 2007). Komunikasi Apoteker-Pasien Edisi II. Jakarta : Penerbit Kedokteran EGC.

(16)

Sudjana. (2005). Metode Statistika Edisi VI. Bandung: Tarsito

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: CV Alfabeta.

Tan, H.T., dan Rahardja, K. (2010). Obat-obat Penting. Jakarta: Media Komputindo.

Watson, M.C., Skelton, J.R., Bond, C.M., Croft, P., Wiskin, C.M., Grimshaw, J.M., dan Mollison, J. (2004). Simulated Patient In The Community Pharmacy Setting: Using Simulated Patients to Measure Practice in the Community Pharmacy Setting. Pharm World Sci. 26(1): 32, 35, 36.

WHO. (1998). The Role of the Pharmacist in Self-Care and Self-Medication. Netherland: Department of Essencial Drugs and Other Medicines World Health Organization.

World Self-Medication Industry. (2009). Switch: Prescription to non prescription medicines switch. France: WSMI.

(17)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap sekumpulan objek yang bertujuan untuk melihat gambaran fenomena (termasuk kesehatan) yang terjadi didalam suatu populasi tertentu (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran keadaan mengenai pelayanan swamedikasi yang dilakukan oleh petugas apotek di wilayah kota Medan terhadap pasien gastritis. Penelitian ini menggunakan metode simulasi pasien dimana seseorang dilatih untuk mengunjungi apotek dan memerankan skenario yang telah dibuat.

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian

3.2.1 Populasi Penelitian

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh apotek yang berada di wilayah kota Medan.

3.2.2 Sampel Penelitian

Berdasarkan data Menkes RI (2014), diketahui jumlah apotek di wilayah kota Medan adalah 613 apotek.

(18)

n = jumlah sampel minimal yang diperlukan N = jumlah populasi = 613

2 1 Z

= derajat kepercayaan = 1,645

p = proporsi dalm populasi sasaran, sebesar = 0,5 d = toleransi kesalahan, sebesar = 0,1

dengan persen kepercayaan yang diinginkan 90% maka diperoleh besar sampel minimal, yaitu:

Berdasarkan perhitungan, didapatkan jumlah sampel sebanyak 61.02 apotek. Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah sebanyak 85 apotek.

3.2.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi dalam sampel penelitian ini adalah apotek-apotek yang berada di wilayah kota Medan, sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah apotek-apotek yang berada di dalam lokasi klinik dan rumah sakit.

3.3 Tempat dan Waktu Pengambilan Data Penelitian

(19)

3.4 Teknik Pengambilan Sampel

3.4.1 Teknik Sampling

Teknik sampling dalam penentuan sampel adalah kombinasi antara area sampling dan simple random sampling. Teknik area sampling yaitu teknik sampling yang dilakukan dengan cara mengelompokkan wakil sampel dari setiap wilayah yang diteliti (Sugiyono, 2012) (Tabel 3.1).

Tabel 3.1 Distribusi Apotek Di Wilayah Kota Medan

No Nama Kecamatan Populasi Sampel Status

1 Medan Tembung 33 5 Pinggiran

(20)

Pengambilan sample pada setiap kecamatan dilakukan secara simple random sampling. Teknik simple random sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan adanya strata (Notoatmodjo, 2010). Dasar memilih teknik ini karena sampel dianggap sama/homogen yaitu tidak ada kriteria-kriteria tertentu pada apotek yang digunakan sebagai sampel dan apotek-apotek yang dijadikan sebagai sampel dipilih tanpa mempertimbangkan apotek itu besar atau kecil, terkenal atau tidak, tempatnya di mana, dan yang memberi informasi apoteker atau tenaga teknis farmasi. Prosedur pengambilan sampel adalah dengan cara undian.

3.4.2 Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012). Variabel pengamatan dalam penelitian ini meliputi patient assessment, rekomendasi, informasi obat dan informasi non farmakologi yang dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Variabel Penelitian

Objek Pengamatan Variabel Pengamatan Patient assessment Ada/ tidaknya diajukan pertanyaan:

1. Apakah patient assessment dilakukan langsung oleh apoteker ?

2. Siapa yang sakit gastritis? 3. Berapa usia yang sakit gastritis? 4. Apa gejala yang dialami pasien?

5. Apa faktor penyebab terjadinya penyakit gastritis ?

6. Berapa lama pasien gastritis mengalami sakit?

7. Apa tindakan yang sudah diperbuat selama mengalami gejala gastritis?

(21)

Rekomendasi Ada/ tidaknya rekomendasi dan berupa apa: 10. Rujukan ke dokter?

11. Rekomendasi obat?

Informasi obat Ada/ tidaknya informasi obat meliputi: 12. Indikasi 22. Cara perlakuan sisa obat 23. Identifikasi obat yang rusak Informasi non farmakologi Ada/ tidaknya Informasi non farmakologi:

24. Pola makan 25. Pola hidup 3.4.3 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data (Notoatmodjo, 2010). Instrumen dalam penelitian ini adalah skenario dan lembar checklist penelitian.

3.4.3.1Skenario Penelitian

Skenario dalam penelitian ini dibuat dan disiapkan oleh peneliti untuk menghindari kecurigaan dari petugas apotek terhadap simulasi pasien yang dijalankan sehingga pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dapat optimal.

(22)

Tabel 3.3 Skenario Penelitian

Age 21 tahun

Self/Someone else Pengamat : sebagai pasien

Medication Belum ada

Extra medication Tidak ada

Time symptoms Kemarin

History Sering makan makanan pedas dan minum kopi Other accompanying symptoms Nyeri pada perut dan ulu hati, mual dan perut

kembung

Danger symptoms Tidak ada

Jika tidak ada pelayanan yang diberikan oleh petugas apotek, maka peneliti bertanya : “Berapa banyak obat yang diminum?”

3.4.3.2Lembar Checklist Penelitian

Checklist adalah suatu daftar pengecek, berisi nama subjek dan beberapa gejala/identitas lainnya dari sasaran pengamatan (Notoatmodjo, 2010).

Lembar checklist yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari penelitian terdahulu (Hasanah, 2013). Isi lembar checklist dalam penelitian ini adalah variabel yang akan di ukur dalam pelayanan swamedikasi yang diberikan petugas apotek kepada pasien gastritis yang terdiri dari patient assessment, rekomendasi, informasi obat dan informasi non farmakologi.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

(23)

diberikan oleh petugas apotek, hasilnya akan diisikan ke dalam format lembar checklist dengan tanda check (√).

Lembar checklist penelitian dilengkapi oleh peneliti di luar apotek setelah mengunjungi apotek sampel.

3.6 Definisi Operasional

3.6.1 Pelayanan Swamedikasi

Pelayanan swamedikasi adalah pelayanan yang diberikan apoteker kepada masyarakat dalam upaya mengobati penyakit yang umum diderita, dengan menggunakan obat - bebas dan terbatas yang dijual bebas di pasaran yang bisa didapat tanpa resep dokter dan diserahkan oleh apoteker di apotek (Asti dan Indah, 2004). Dalam melakukan pelayanan swamedikasi terdapat beberapa profil pelayanan yang dilakukan oleh petugas apotek kepada pasien swamedikasi yang terdiri dari patient assessment, rekomendasi, informasi obat dan informasi non farmakologi.

Penilaian variabel - variabel penelitian dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI (2008) tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Kefarmasian Di Apotek, dimana penilaian terhadap pelayanan yang dilakukan di apotek memiliki nilai 2 jika dilakukan dan memiliki nilai 0 jika tidak dilakukan.

3.6.1.1Patient Assessment

(24)

assessment dalam penelitian ini merujuk pada metode ASMETHOD (Age/appearance, Self/someone else, Medication, Extra medication, Time symptoms, History, Other accompanying symptoms, Danger symptoms) (Blenkinsopp dan Paxton, 2002).

Pertanyaan no 1 sampai no 9 pada variabel patient assessment dinilai 2 jika petugas apotek melakukan tindakan patient assessment dan dinilai 0 jika petugas apotek tidak melakukan tindakan patient assessment (Menkes RI, 2008). 3.6.1.2Rekomendasi

Rekomendasi merupakan saran menganjurkan yang diberikan petugas apotek kepada pasien swamedikasi yaitu dapat berupa rujukan ke dokter ataupun rekomendasi obat (Blenkinsopp dan Paxton, 2002). Rekomendasi yang tepat dapat diberikan sesuai dengan patient assessment yang telah ditanyakan oleh petugas apotek.

Penilaian pertanyaan no 10 dalam variabel rekomendasi diberi nilai 0 jika petugas apotek memberikan rekomendasi rujukan ke dokter dan nilai 2 jika petugas apotek tidak memberikan rujukan ke dokter.

Penilaian ini berdasarkan skenario penelitian yang dibuat, bahwa pasien sedang menderita gastritis ringan yang belum memerlukan rujukan ke dokter.

Pertanyaan no 11 dalam variabel rekomendasi diberi nilai 2 jika petugas apotek memberikan rekomendasi obat dengan tepat yaitu memberi obat golongan bebas dan bebas terbatas (Menkes RI, 2008)

3.6.1.3Informasi Obat

(25)

dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat (Menkes RI, 2014). Informasi yang perlu disampaikan oleh apoteker pada masyarakat dalam penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas antara lain khasiat obat, kontraindikasi, efek samping, cara pemakaian, dosis, waktu pemakaian, lama penggunaan obat, hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat, cara penyimpanan obat yang baik, cara memperlakukan obat yang masih tersisa, dan cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak (Menkes RI, 2006).

Pertanyaan no 12 sampai no 23 pada variabel informasi obat dinilai 2 jika petugas apotek memberikan pelayanan informasi obat dan dinilai 0 jika petugas apotek tidak memberikan pelayanan informasi obat (Menkes RI, 2008).

3.6.1.4Informasi Non Farmakologi

Informasi non farmakologi merupakan informasi yang diberikan sebagai terapi tambahan tanpa menggunakan obat guna meningkatkan keberhasilan suatu efek terapi. Informasi non farmakologi dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu pola makan dan pola hidup.

Pertanyaan no 24 dan 25 pada variabel informasi non farmakologi dinilai 2 jika petugas apotek memberikan pelayanan informasi non formakologi dan dinilai 0 jika petugas apotek tidak memberikan pelayanan informasi non farmakologi (Menkes RI, 2008).

3.6.1.5Penilaian Tingkat Pelayanan Swamedikasi

(26)

non-obat yang terdapat pada masing-masing lembar checklist penelitian. Hasil nilai yang diperoleh akan diubah kedalam % skor dan di interprestasikan kedalam kategori yang dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4 Penilaian Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Berdasarkan Menkes RI Tahun 2008

% Skor = Skor diperoleh x 100% Total skor

3.6.1.6Wilayah Kota Medan

Kota medan memiliki 21 kecamatan. Peneliti membagi kota Medan menjadi dua wilayah yaitu wilayah pusat dan wilayah pinggiran dimana wilayah pusat kota Medan terdiri dari 9 kecamatan dan wilayah pinggiran kota Medan terdiri dari 12 kecamatan. Pembagian wilayah di kota Medan oleh peneliti didasarkan pada letak geografis di wilayah kota Medan, letak pemerintahan di wilayah kota Medan dan perkembangan infrastruktur ataupun perekonomian di wilayah kota Medan. Pembagian wilayah kota Medan dapat dilihat pada Lampiran 2 halaman 54.

3.6.2 Gastritis

Gastritis atau maag adalah penyakit yang diakibatkan oleh meningkatnya produksi asam lambung sehingga menyebabkan iritasi pada lambung. Maag atau sakit lambung memiliki gejala khas berupa rasa nyeri atau pedih pada ulu hati meskipun baru saja selesai makan (Menkes RI, 2006).

% Skor Kategori

81-100 Baik

61-80 Cukup

(27)

3.6.3 Apotek

Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker (Menkes RI, 2014).

3.7 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-tingkat kevalidan atau keaslian suatu instrumen (Arikunto, 2006). Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian adalah validitas isi dan rupa. Uji validitas isi (content validity) digunakan untuk menilai validitas dari skenario dan lembar checklist.

Kedua instrumen tersebut dapat dikatakan valid karena isi dari kedua instrumen tersebut mewakili variabel yang akan diteliti yang diperoleh dari pustaka dan sudah pernah digunakan pada penelitian terdahulu.

Dalam penelitian ini digunakan validitas rupa yang didasarkan pada penilaian format tampilan dari alat ukur yang ada (Nisfiannoor, 2009). Validitas ini dianggap terpenuhi apabila penampilan alat ukur atau tes telah meyakinkan dan memberi kesan mampu mengungkapkan apa yang hendak diukur (Nisfiannoor, 2009). Metode simulasi pasien memiliki validitas rupa bila penyedia layanan kesehatan tidak mengetahui adanya simulasi pasien (Watson, et al, 2004).

(28)

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Notoatmodjo, 2010). Hal ini berarti menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama (Notoatmodjo, 2010). Agar data yang diperoleh reliabel maka dilakukan kunjungan uji coba langsung ke apotek (pilot visit). Dikatakan reliabel ketika peneliti mampu menjalankan skenario dan

menangkap semua informasi yang didapat saat melakukan pilot visit. Kemampuan tersebut dapat dilihat pada saat peneliti melakukan pilot visit ke apotek sebanyak sepuluh kali.

Data yang dikumpulkan dinyatakan reliabel karena peneliti mampu menjalankan skenario dan menangkap semua informasi yang didapat saat melakukan pilot visi.

3.8 Teknik Analisis Data

(29)

3.9 Alur Penelitian

Gambar 3.1 Alur Penelitian Penyusunan

Instrumen Studi Pustaka

Pengujian Instrumen

Pengumpulan Data

Pencatatan Data

Pengolahan Data

(30)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Swamedikasi merupakan kegiatan yang paling banyak dilakukan di apotek. Hal ini membuat keberadaan apotek di tengah - tengah masyarakat menjadi semakin penting dan informasi yang diberikan oleh para tenaga kefarmasian di apotek sangat diperlukan oleh masyarakat guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Zeenot, 2013). Dalam penelitian ini terdapat beberapa profil pelayanan swamedikasi yang dijadikan variabel pengamatan yaitu patient assessment, rekomendasi, informasi obat dan informasi non farmakologi.

Pelaksanaan penelitian dilakukan pada 85 apotek yang berada di 21 kecamatan kota Medan, kemudian mengisi lembar checklist penelitian berdasarkan hasil simulasi selama melakukan pelayanan swamedikasi gastritis dengan petugas apotek yang ada di apotek-apotek yang menjadi sampel.

4.1 Profil Patient Assessment

Patient assessment yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada

metode ASMETHOD (Age/appearance, Self/someone else, Medication, Extra medication, Time symptoms, History, Other accompanying symptoms, Danger

symptoms) (Blenkinsopp dan Paxton, 2002).

(31)

Tabel 4.1 Distribusi Data Profil Patient Assessment yang Dilakukan Petugas Apotek

Variabel Ya (%) Tidak (%)

Patient assessment dilakukan langsung oleh apoteker 19 (22,35) 66 (77,65) Siapa yang menderita gastritis? 28 (32,94) 57 (67,06) Berapa usia yang menderita gastritis? 2 (2,35) 83 (97,65) Apa gejala yang dialami oleh pasien? 3 (3,53) 82 (96,47) Apa faktor penyebab terjadinya gastritis? 0 (0,00) 85 (100) Berapa lama pasien menderita gastritis? 3 (3,53 82 (96,47) Apa tindakan yang sudah diperbuat selama menderita

gejala gastritis? 0 (0,00) 85 (100)

Apa obat-obat lain yang sedang digunakan pasien? 0 (0,00) 85 (100) Apa petugas melakukan medication record terhadap

pasien? 0 (0,00) 85 (100)

Hasil ini menunjukan persentase keterlibatan apoteker secara langsung dalam memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien masih tergolong rendah (Gambar 4.1). Seharusnya sebagai salah satu penyedia layanan kesehatan, apoteker harus memiliki peranan dan tanggung jawab yang besar pada pelayanan kefarmasian yang sekarang sudah berorientasi terhadap pasien demi meningkatkan kualitas hidup pasien. Apoteker merupakan profesi kesehatan dalam bidang kefarmasian yang memiliki peranan penting dalam memberikan nasihat, bantuan dan petunjuk kepada pasien yang ingin melakukan swamedikasi (Menkes RI, 2006).

Gambar 4.1 Persentase Profil Patient Assessment yang Dilakukan oleh Petugas Apotek.

22.35%

32.94%

2.35% 3.53% 0.00% 3.53% 0.00% 0.00% 0.00%

(32)

Komponen lain dari kegiatan patient assessment yang pernah ditanyakkan oleh petugas apotek adalah siapa yang sakit sebanyak 28 (32,94%) apotek, berapa usia pasien sebanyak 2 (2,35%) apotek, gejala yang di alami pasien sebanyak 3 (3,53 %) apotek dan sudah berapa lama menderita sakit sebanyak 3 (3,53%) apotek. Informasi siapa yang sedang sakit merupakan informasi awal yang penting didapatkan petugas apotek untuk mengetahui apakah obat yang akan diberikan kepada pasien akan digunakan oleh pasien itu sendiri atau tidak. Dalam kasus ini setelah petugas apotek mengetahui bahwa pengobatan ditujukan kepada pasien sendiri, sebagian besar petugas apotek tidak menanyakan usia pasien. Informasi tentang gejala sakit dan lama sakit juga dibutuhkan oleh petugas apotek untuk mengenali jenis penyakit yang diderita oleh pasien sebagai pertimbangan tenaga kefarmasian di apotek dalam memberikan rekomendasi berupa obat yang sesuai atau rujukan ke dokter.

Menurut WHO (1998), untuk memperoleh informasi yang benar tentang kondisi pasien, apoteker sebaiknya mengajukan beberapa pertanyaan kepada pasien misalnya mengenai keluhan atau pengobatan yang pernah dilakukan pasien. Oleh karena itu apoteker harus dapat memenuhi kebutuhan pasien, mendampingi dan membantu pasien untuk melakukan swamedikasi yang bertanggung jawab atau jika perlu memberikan rekomendasi kepada pasien untuk melakukan rujukan kepada dokter

(33)

untuk diketahui oleh petugas apotek terutama tindakan yang telah dilakukan sebelumnya dan obat yang sedang di konsumsi guna menentukan rekomendasi yang sesuai.

Pada komponen medication record hasil penelitian menunjukkan tidak ada satu pun petugas apotek yang melakukannya kepada pasien. Hasil ini menunjukkan pelayanan kefarmasian yang berorientasi kepada pasien belum dijalankan sepenuhnya. Seharusnya dalam setiap pelayanan kefarmasian yang dilaksanakan di apotek dilengkapi dengan dokumentasi berupa catatan pengobatan pasien (Patient Medication Record) untuk mendukung terlaksananya pelayanan kefarmasian yang berorientasi kepada pasien. Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 347/MENKES/SK/VII/ (1990) tentang obat wajib apotek, menetapkan bahwa apoteker di apotek dalam melayani pasien swamedikasi, diwajibkan untuk membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.

4.2 Profil Rekomendasi

Rekomendasi obat diperoleh setelah tenaga kefarmasian di apotek melakukan kegiatan patient assessment kepada pasien. Hasil dari kegiatan patient assessment dapat dijadikan pertimbangan oleh petugas apotek dalam memberikan rekomendasi. Rekomendasi yang tepat dan benar dapat diberikan sesuai dengan patient assessment yang telah dilakukan oleh petugas apotek.

Profil rekomendasi pada penelitian ini memiliki dua variable yaitu rekomendasi obat dan rekomendasi rujukan ke dokter.

(34)

Data lengkap profil rekomendasi yang dilakukan oleh petugas apotek dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Distribusi Data Profil Rekomendasi yang Diberikan oleh Petugas

Apotek

Berdasarkan rekomendasi yang diperoleh, hasil ini dinilai sudah tepat karena berdasarkan skenario penelitian, pasien sedang mengalami gastritis ringan yang dapat di atasi secara swamedikasi dan belum perlu melakukan kunjungan ke dokter. Dalam melakukan swamedikasi, tenaga kefarmasian memiliki peran dan

tanggung jawab untuk merekomendasikan kepada pasien agar segera mencari nasehat medis yang diperlukan, apabila dipertimbangkan swamedikasi tidak mencukupi (Menkes RI, 2006).

4.2.1 Jenis Obat yang Direkomendasikan

Swamedikasi yang bertanggung jawab membutuhkan produk obat yang sudah terbukti keamanan, khasiat dan kualitasnya, serta membutuhkan pemilihan obat yang tepat sesuai dengan indikasi penyakit dan kondisi pasien (Menkes RI, 2006).

Dari 85 apotek yang dikunjungi, data jenis obat yang direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel 4.3.

(35)

Tabel 4.3 Jenis Obat yang Direkomendasikan oleh Petugas Apotek

150mg + Simetikon 50mg 14 (16,47) Polysilane

(36)

berdasarkan skenario yang dibuat oleh peneliti, pasien sedang mengalami tanda atau gejala gastritis dan bersifat ringan yang ditandai dengan belum adanya pengobatan yang dilakukan sebelumnya oleh pasien. Antasida merupakan golongan obat bebas yang relatif aman digunakan dalam membantu menetralisasi asam lambung yang berlebihan (Menkes RI, 2006).

4.2.2 Harga Obat yang Direkomendasikan

Dalam upaya pelayanan kesehatan, ketersediaan obat yang terjamin khasiatnya, aman, efektif, bermutu, dan dengan harga terjangkau adalah sasaran yang harus dicapai (Menkes RI, 2012). Dari hasil penelitian yang dilakukan, data harga obat yang direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Harga Obat yang Direkomendasikan oleh Petugas Apotek

Harga Obat n (%)

< Rp 4.000,00

Rp 4.000,00 – Rp 6.000,00 Rp 6.500,00 – Rp 8.000,00 Rp 8.500,00 – Rp 10.000,00 >Rp 10.000,00

0 (0) 65 (76,47) 9 (10,59) 10 (11,76) 1 (1,18)

Total 85 (100)

(37)

Gambar 4.2. Persentase Harga Obat yang Direkomendasikan oleh Petugas Apotek

Menurut Menkes RI (2012) Perhitungan biaya obat dalam upaya mengendalikan biaya kesehatan merupakan hal penting dalam membangun kesehatan. Pemilihan obat yang cost-effective memungkinkan penggunaan dana dalam pelayanan kesehatan dapat lebih rasional, sehingga cakupan pelayanan dapat semakin ditingkatkan .

4.2.3 Golongan Obat yang Direkomendasikan

Dari 85 apotek yang dikunjungi, data golongan obat yang direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel 3.5.

Tabel 4.5 Golongan Obat yang Direkomendasikan oleh Petugas Apotek.

Golongan Obat n (%) petugas apotek memberikan rekomendasi golongan obat bebas. Hasil ini menunjukkan bahwa rekomendasi golongan obat yang diberikan oleh petugas

(38)

apotek sudah tepat, dimana tenaga kefarmasian di apotek yang melayani obat non resep atau pelayanan swamedikasi harus memberikan edukasi kepada pasien dengan memilihkan obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai karena obat-obat yang termasuk dalam golongan obat bebas dan bebas terbatas relatif aman digunakan untuk pengobatan sendiri (swamedikasi) (Menkes RI, 2006).

4.3 Profil Informasi Obat

Dalam upaya melakukan pelayanan swamedikasi, tenaga kefarmasian dituntut dapat menyampaikan informasi yang jelas dan terpecaya mengenai obat-obat yang akan digunakan kepada pasien sehingga pasien dapat terhindar dari penggunaan obat yang salah (drug misuse).

Informasi-informasi yang harus diberikan oleh tenaga kefarmasian yang ada di apotek meliputi khasiat obat, efek samping obat, cara pemakaian obat, dosis obat, waktu pemakaian obat, lama pemakaian obat, kontra indikasi obat, hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat, hal yang harus dilakukan jika lupa meminum obat, cara penyimpanan obat yang baik, cara memperlakukan obat yang masih tersisa dan cara membedakan obat yang masih baik dan yang sudah rusak (Menkes RI, 2006).

(39)

informasi dosis obat setelah peneliti memberikan pertanyaan pancingan mengenai dosis obat. Hasil lengkap profil informasi obat yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.6

Waktu Pemakaian Obat 15 (17,65) 70 (82,35) Lama Pemakaian Obat 2 (2,35) 83 (97,65) Perhatian mengenai Obat 0 (0,00) 85 (100)

Terlupa Minum Obat 0 (0,00) 85 (100)

Cara Penyimpanan Obat 0 (0,00) 85 (100) Cara Perlakuan Sisa Obat 0 (0,00) 85 (100) Identifikasi Obat Rusak 0 (0,00) 85 (100) Keterangan: *ada pancingan

Dosis obat merupakan bagian dari informasi yang penting untuk disampaikan guna mencapai keberhasilan terapi dan menghindari penggunaan obat yang salah (drug misuse).

(40)

8.24%

mengoptimalkan standar pelayanan kefarmasian dalam hal pengobatan swamedikasi. Pemberian informasi obat kepada pasien merupakan bagian yang harus dilakukan oleh petugas apotek dalam melakukan pelayanan swamedikasi supaya pasien benar-benar memahami secara cermat dan cerdas obat yang hendak dikonsumsi sekaligus cara penggunaan obat yang baik dan benar demi meningkatkan kualitas hidup pasien.

Keterangan : = Tanpa pancingan = Dengan pancingan

Gambar 4.3 Persentase Profil Informasi Obat yang Diberikan oleh Petugas Apotek.

Informasi lain tentang pelayanan informasi obat yang sama sekali tidak pernah disampaikan oleh petugas apotek saat melakukan pelayanan swamedikasi adalah pemberian informasi mengenai kontraindikasi obat, perhatian tentang obat, hal yang harus dilakukan jika terlupa mengkonsumsi obat, cara penyimpanan obat, cara perlakuan sisa obat dan cara identifikasi obat yang rusak.

Pemberian informasi tentang kontraindikasi obat perlu disampaikan dengan jelas kepada pasien, agar pasien tidak menggunakannya jika memiliki kontraindikasi yang dimaksud. Tenaga kefarmasian juga perlu menyampaikan informasi tentang hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat kepada

(41)

pasien, misalnya pantangan makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu bersamaan. Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan penting sebagai pemberi informasi (drug informer) dalam pelayanaan swamedikasi (Menkes RI, 2006).

Menurut PP No.51 (2009) bahwa salah satu pekerjaan kefarmasian yang harus dilakukan apoteker adalah pelayanan informasi obat. Seharusnya apoteker yang merupakan profesi berkapasitas ilmu tentang obat, bertanggung jawab atas terciptanya kualitas hidup pasien yang lebih baik. Apabila pemberian informasi obat pada pelayanan swamedikasi tidak dilakukan dengan baik dan benar, maka ada kemungkinan hasil terapi yang diinginkan tidak akan tercapai dan tidak sesuai dengan harapan pasien.

4.4 Profil Informasi Non Farmakologi

Informasi non farmakologi merupakan informasi yang diberikan sebagai terapi tambahan tanpa menggunakan obat guna meningkatkan keberhasilan suatu efek pengobatan farmakologis (obat gastritis) yang lebih baik.

Dari 85 apotek yang dikunjungi, data lengkap profil informasi non farmakologi yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Distribusi Profil Informasi Non Farmakologi yang Diberikan oleh Petugas Apotek.

Variabel Ya, n (%) Tidak, n (%)

Pola Makan 6 (7,06) 79 (92,94)

Pola Hidup 6 (7,06) 79 (92,94)

(42)

(7,06%) petugas apotek yang memberikan informasi non farmakologi mengenai pola hidup dan juga pola makan (Gambar 4.4). Hasil ini menunjukkan bahwa petugas apotek kurang optimal dalam melakukan pelayanan kefarmasian khususnya swamedikasi. Pola makan dan pola hidup yang di informasikan oleh petugas apotek yaitu berupa anjuran untuk mengurangi makanan yang bersifat pedas, asam dan anjuran makan secara teratur.

Gambar 4.4 Persentase Profil Informasi Non Farmakologi yang Diberikan oleh Petugas Apotek.

Kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan, seperti frekuensi makan seseorang dan pola makanan yang dimakan. Gastritis umumnya terjadi akibat asam lambung yang tinggi atau terlalu banyak makan makanan yang bersifat merangsang diantaranya makanan yang pedas dan asam. Perubahan pola hidup meliputi tidak teraturnya jadwal waktu makan juga dapat mempengaruhi kekambuhan gastritis ( Megawati dan Hasna, 2014)

Menurut Menkes RI (2006), Hal yang dapat dilakukan dalam menangani penyakit gastritis adalah dengan membiasakan hidup sehat dan makan secara teratur. Kambuhnya penyakit gastritis dapat dihindarkan dengan mengatur waktu makan, sebaiknya penderita makan sedikit demi sedikit tetapi sering.

7.06% 7.06%

Pola Makan Pola Hidup

Pelayanan Informasi Non Farmakologi

%

P

el

aya

na

(43)

4.5 Tingkat Pelayanan Swamedikasi

Berdasarkan data yang di peroleh dari pelayanan swamedikasi kepada pasien penderita gastritis di apotek di wilayah kota Medan, dilakukan perhitungan penilaian lembar checklist penelitian yang dapat dilihat pada Lampiran 4 Halaman 58 hingga Halaman 63. Dari hasil penelitian yang diperoleh, sebanyak 85 (100%) petugas apotek memberikan pelayanan swamedikasi dengan kategori kurang dan 48,23% petugas apotek yang belum sama sekali melakukan tindakan patient assessment, pelayanan informasi obat dan informasi non farmakologi kepada pasien. Data lengkap tingkat pelayanan tentang swamedikasi dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Distribusi Tingkat Pelayanan Tentang Swamedikasi yang Diberikan oleh Petugas Apotek.

Kategori Jumlah Persentase

Baik 0 0%

Cukup 0 0%

Kurang 85 100%

(44)

Menurut Menkes RI (2006) apoteker merupakan profesi kesehatan dalam bidang kefarmasian yang memiliki peranan penting dalam memberikan nasihat, bantuan dan petunjuk kepada pasien yang ingin melakukan swamedikasi.

4.6. Pengaruh Wilayah Terhadap Tingkat Pelayanan Swamedikasi

Pengaruh wilayah terhadap tingkat pelayanan swamedikasi di apotek di kota Medan diperoleh dengan pengujian statistik terhadap wilayah kota Medan yang telah di bagi menjadi 2 wilayah berdasarkan letak geografis yang ada (Gambar 4.5). Hasil uji statistik pengaruh wilayah terhadap tingkat pelayanan swamedikasi di apotek dapat dilihat pada Lampiran 5 Halaman 64.

Gambar 4.5 Persentase Rata-rata Nilai Pelayanan Swamedikasi Berdasarkan Letak Wilayah

Berdasarkan hasil uji Man Whitney yang diperoleh, hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pelayanan swamedikasi yang diberikan oleh petugas apotek di apotek di wilayah pusat dan pinggiran kota Medan. Hasil ini dibuktikan dengan nilai signifikansi 0,895 (p > 0,05).

Pusat Pinggiran

9,58% 12,32%

Letak Wilayah

%

T

in

gka

t

P

ela

ya

na

(45)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka kesimpulan yang di dapat adalah:

1. Tingkat pelayanan swamedikasi kepada pasien penderita gastritis di apotek di wilayah kota Medan belum memenuhi standar dengan persentase 100% sampel apotek masih dalam kategori kurang dan 48,23% staf apotek yang sama sekali belum melakukan tindakan patient assessment, pelayanan informasi obat dan informasi non farmakologi.

2. Letak wilayah di kota Medan tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat pelayanan swamedikasi yang diberikan oleh tenaga kefarmasian di apotek yang dibuktikan dengan nilai signifikansi 0,895 (p > 0,05) pada uji Man Whitney.

5.2 Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut

1. Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk meneliti lebih lanjut mengenai pelayanan swamedikasi dengan membandingkan pelayanan antara apotek jaringan dan apotek swasta.

(46)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Swamedikasi

Swamedikasi adalah suatu pengobatan sendiri yang dilakukan oleh masyarakat terhadap penyakit yang umum diderita, dengan menggunakan obat-obatan yang dijual bebas dipasaran yang bisa didapat tanpa resep dokter dan diserahkan oleh apoteker di apotek (Asti dan Indah, 2004). The International Pharmaceutical Federation (FIP) mendefinisikan swamedikasi atau self-medication sebagai penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seorang individu atas inisiatifnya sendiri (FIP, 1999). Menurut World Health Organization (WHO), swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan kegiatan pemilihan dan penggunaan obat baik itu obat modern, herbal, maupun obat tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit.

(47)

Swamedikasi harus dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami. Pelaksanaannya harus memenuhi kriteria penggunaan obat yang rasional, antara lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis obat, ada tidaknya efek samping, tidak adanya kontraindikasi, dan tidak adanya interaksi obat (Menkes RI, 2008). Untuk menjamin kualitas pelayanan swamedikasi di apotek, tenaga kefarmasian perlu melakukan tahapan - tahapan pelayanan swamedikasi yang meliputi patient assessment, rekomendasi, penyerahan obat disertai informasi terkait terapi pada pasien (Hasanah, 2013).

2.1.1 Patient Assessment

Patient assessment merupakan suatu penilaian terhadap keadaan pasien yang penting dilakukan untuk pertimbangan apoteker dalam penentuan identifikasi penyakit pasien sebelum membuat sebuah rekomendasi (Chua, dkk., 2006). Apoteker harus memiliki kemapuan untuk mengajukan pertanyaan dalam usaha untuk mengumpulkan informasi tentang gejala pasien. Metode yang dapat digunakan oleh apoteker dalam mengumpulkan informasi tentang gejala pasien adalah :

1. Metode WWHAM

W: Who is the patient and what are the symptoms (siapakah pasien dan apa gejalanya)

H: How long have the symptoms (berapa lama timbunya gejala) A: Action taken (Tindakan yang sudah dilakukan)

M: Medication being taken (obat yang sedang digunakan) 2. Metode ASMETHOD

(48)

S: Self or someone else (dirinya sendiri atau orang lain yang sakit)

M: Medication (pengobatan yang sudah dilakukan untuk mengatasi gejala sakit)

E: Extra medication (regularly taken on preskription or OTC) (pengobatan yang sedang digunakan baik dengan resep maupun dengan non resep) T: Time symptoms (lama gejala)

H: History (riwayat pasien)

O: Other symptoms (gejala yang dialami pasien)

D: Danger symptoms (gejala yng berbahaya) (Blenkinsopp dan Paxton, 2002).

2.1.2 Rekomendasi

Rekomendasi merupakan saran menganjurkan yang diberikan petugas apotek kepada pasien swamedikasi yaitu dapat berupa rujukan ke dokter ataupun rekomendasi obat (Blenkinsopp dan Paxton, 2002). Swamedikasi yang bertanggung jawab membutuhkan produk obat yang sudah terbukti keamanan, khasiat dan kualitasnya, serta membutuhkan pemilihan obat yang tepat sesuai dengan indikasi penyakit dan kondisi pasien. Obat-obat yang termasuk dalam golongan obat bebas dan bebas terbatas merupakan golongan obat yang relatif aman digunakan untuk swamedikasi. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk merekomendasikan kepada pasien agar segera mencari nasehat medis yang diperlukan, apabila dipertimbangkan swamedikasi tidak mencukupi (Menkes RI, 2006).

(49)

berdarah atau buang air besar berdarah dan kesulitan menelan atau nyeri perut yang menetap setelah melakukan terapi (Hadiyani, dkk., 2014).

2.1.3 Informasi Obat

Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat (Menkes RI, 2014). Pemberian informasi obat ditujukan untuk meningkatkan hasil terapi dengan memaksimalkan penggunaan obat-obatan yang tepat (Rantucci, 2007). Informasi tentang obat dan penggunaannya yang perlu diberikan kepada pasien swamedikasi lebih ditekankan pada informasi farmakoterapi yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Adapun informasi yang perlu disampaikan oleh apoteker pada masyarakat dalam penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas antara lain:

1. Khasiat obat: Apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obat yang bersangkutan, sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan kesehatanyang dialami pasien.

2. Kontraindikasi: pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontra indikasi dari obat yang diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki kontra indikasi dimaksud.

3. Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada): pasien juga perlu diberi informasi tentang efek samping yang mungkin muncul, serta apa yang harus dilakukan untuk menghindari atau mengatasinya.

(50)

dioleskan, dimasukkan melalui anus, atau cara lain.

5. Dosis: sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, Apoteker dapat menyarankan dosis sesuai dengan yang disarankan oleh produsen (sebagaimana petunjuk pemakaian yang tertera di etiket) atau dapat menyarankan dosis lain sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. 6. Waktu pemakaian: waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan

jelas kepada pasien, misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan tidur.

7. Lama penggunaan: lama penggunaan obat juga harus diinformasikan kepada pasien, agar pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan karena penyakitnya belum hilang, padahal sudah memerlukan pertolongan dokter

8. Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya pantangan makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu bersamaan.

9. Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat. 10. Cara penyimpanan obat yang baik.

11. Cara memperlakukan obat yang masih tersisa.

12. Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak (Menkes RI, 2006).

2.1.4 Informasi Non Farmakologi

(51)

kasus gastritis yang dapat diberikan antara lain :

a. Makan secara teratur, makan secukupnya, jangan biarkan perut kosong. b. Jangan makan makanan yang pedas dan asam.

c. Jangan minum minuman beralkohol

d. Hindari konsumsi obat yang dapat menimbulkan iritasi lambung, misalnya

aspirin.

e. Hindari stres.

f. Hindari rokok (Menkes RI, 2006).

2.2 Apotek

Apotek sebagai sarana kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mendapatkan obat. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) 51 Tahun 2009, apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Menkes RI, 2014).

(52)

memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan Obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai (Menkes RI, 2014).

2.3 Obat dan Penggolongannya Dalam Swamedikasi

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelediki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (Menkes RI, 2014). Obat yang dapat digunakan untuk swamedikasi adalah golongan obat bebas dan obat bebas terbatas.

2.3.1 Obat Bebas

Gambar 2.1 Logo Kemasan Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : Antasida (Menkes RI, 2006).

(53)

2.3.2 Obat Bebas Terbatas

Gambar 2.2 Logo Kemasan Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima) centimeter, lebar 2 (dua) centimeter dan memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut : (Menkes RI, 2006).

Gambar 2.3 Tanda Peringatan Khusus Obat Bebas Terbatas

Contoh : CTM.

2.4 Penggunaan Obat Swamedikasi

Pada pasien swamedikasi terdapat cara penggunaan obat yang harus disampaikan oleh apoteker kepada pasien, antara lain sebagai berikut (Depkes RI, 2006):

(54)

b. Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau brosur. c. Bila obat yang digunakan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan,

hentikan penggunaan dan tanyakan kepada Apoteker dan dokter.

d. Hindarkan menggunakan obat orang lain walaupun gejala penyakit sama (Menkes RI, 2006).

2.5 Gastritis

2.5.1 Definisi

Lambung sebagai salah satu organ yang penting pada tubuh manusia. Lambung berfungsi untuk mencerna makanan dengan bantuan asam lambung (HCl) dan pepsin (Hirlan, 2006). Pada lambung yang sehat terdapat keseimbangan antara faktor pelindung mukosa (Cytoprotective Factor) dan faktor yang dapat merusak integritas mukosa lambung (Cytodestruktive Factor). Asam lambung dan pepsin secara fisiologis disekresikan oleh lambung sehat, dapat merusak mukosa lambung jika disekresikan secara berlebihan atau berkurangnya faktor pelindung mukosa. Asam lambung dalam jumlah sedikit disekresikan oleh sel parietal dalam keadaan basal, tetapi dapat meningkat ketika ada rangsangan fisis misalnya makanan dan rangsangan psikologis Peningkatan produksi asam lambung yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya iritasi lambung atau sering disebut gastritis (Hirlan, 2006).

(55)

defensif normal mukosa atau karena faktor agresif lumen yang berlebih seperti asam dan pepsin (Tan and Rahardja, 2010)

2.5.2 Gambaran Klinis

Gejala yang umum terjadi pada penderita gastritis adalah perih atau sakit seperti terbakar pada perut bagian atas yang dapat menjadi lebih baik atau lebih buruk ketika makan (abdominal cramping and pain); mual (Nausea); muntah (vomiting); kehilangan selera (loss of appetite); kembung (Belching or bloating);

terasa penuh pada perut bagian atas setelah makan; dan kehilangan berat badan (weight loss) (Price, 2006).

2.5.3 Penyebab Gastritis

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit gastritis adalah:

1. Faktor lingkungan, yaitu rangsangan dan kehilangan sel epitel secara terus-menerus oleh zat-zat tajam seperti alkohol, rokok yang di konsumsi secara terus-menerus dan makanan yang mengiritasi mukosa lambung.

2. Faktor bakteri, yaitu bakteri berbentuk spiral dan tahan hidup di lambung manusia (helicobacter pylori).

3. Faktor efek samping obat , Obat-obat tertentu yang digunakan dalam jangka waktu lama (misal obat anti inflamasi)

4. Faktor sosial, yaitu situasi yang penuh stres psikologis (Hirlan, 2006). 2.5.4 Terapi Farmakologi

(56)

mukosa terhadap asam, diantaranya adalah antasida, penghambat reseptor histamin H2 lambung, dan proton pump inhibitor (Katzung, 2004).

1. Antasida

Pada saat ini antasida digunakan untuk menghilangkan keluhan rasa sakit dan obat dispepsia. Mekanisme kerjanya menetralkan asam lambung secara lokal. Preparat yang mengandung magnesium akan menyebabkan diare sedangkan alumunium menyebabkan konstipasi dan kombinasi keduanya saling menghilangkan pengaruh sehingga tidak terjadi diare dan konstipasi (Katzung, 2004).

2. Histamine-2 receptor antagonist

Kerja antagonis reseptor H2 yang paling penting adalah mengurangi sekresi asam lambung. Obat ini menghambat sekresi asam yang dirangsang histamin dan gastrin sehingga volume sekresi asam lambung dan konsentrasi pepsin juga berkurang (Katzung, 2004). Mekanisme kerjanya memblokir histamin pada reseptor H2 sel pariental sehingga sel pariental tidak terangsang mengeluarkan asam lambung. Inhibisi ini bersifat reversibel (Katzung, 2004). contoh: simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin.

3. Proton pump inhibitor

Inhibitor pompa proton merupakan “prodrug”, yang memerlukan aktivasi

(57)

Contoh: Omeprazol, Lansoprazol 4. Obat penangkal kerusakan mukus a. Sukralfat

Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan oleh asam, hidrolisis protein mukosa yang diperantarai oleh pepsin turut berkontribusi terhadap terjadinya erosi dan ulserasi mukosa. Protein ini dapat dihambat oleh polisakarida bersulfat. Selain menghambat hidrolisis protein mukosa oleh pepsin, sukralfat juga memiliki efek sitoprotektif tambahan, yakni stimulasi produksi lokal prostaglandin dan faktor pertumbuhan epidermal. Karena diaktivasi oleh asam, maka disarankan agar sukralfat digunakan pada kondisi lambung kosong, satu jam sebelum makan, selain itu harus dihindari penggunaan antasid dalam waktu 30 menit setelah pemberian sukralfat. Efek samping konstipasi, mual, perasaan tidak enak pada perut (Katzung, 2004).

b. Analog Prostaglandin: Misoprostol

Mekanisme kerjanya mengurangi sekresi asam lambung menambah sekresi mukus, sekresi bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa (Katzung, 2004).

2.5.5 Terapi Non Farmakologi

Selain menggunakan obat, pencegahan gangguan pencernaan ringan dapat dilakukan dengan perbaikan gaya hidup dan pola makan antara lain:

a. Berhenti merokok dan membatasi asupan alkohol. b. Tidak melakukan aktivitas fisik setelah makan.

(58)

d. Menghindari makanan yang merangsang asam dan gas lambung misalnya minuman berkarbonasi, cabai, lobak, dan lain-lain.

(59)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting di dalam kehidupan. Seseorang yang merasa sakit akan melakukan upaya demi memperoleh kesehatannya kembali. Pilihan untuk mengupayakan kesembuhan antara lain adalah dengan berobat ke dokter atau melakukan swamedikasi. Salah satu kunci pokok suksesnya sistem kesehatan adalah pelaksanaan pelayanan kefarmasian (Hermawati, 2012). Sebagai penyedia pelayanan kesehatan apoteker dituntut meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien, antara lain adalah pemberian pelayanan swamedikasi kepada pasien yang membutuhkan (Menkes RI, 2014).

(60)

Berdasarkan data World Self-Medication Industry (WSMI, 2009), sebanyak 92% orang di dunia pernah menggunakan satu jenis obat bebas dan 55% orang pernah menggunakan lebih dari satu jenis obat bebas. Data Susenas pada tahun 2009 juga mencatat bahwa 66% orang sakit di Indonesia pernah melakukan swamedikasi untuk mengobati penyakitnya (Kartajaya, et al., 2011). Sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat dalam melakukan swamedikasi secara tepat, aman dan rasional, Menteri Kesehatan RI menerbitkan Surat Keputusan tentang pedoman penggunaan obat bebas dan bebas terbatas di apotek (Menkes RI, 2006). Swamedikasi dapat dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan seperti maag (Menkes RI, 2006).

Gastritis atau maag adalah peradangan yang terjadi pada mukosa lambung. Gastritis merupakan gangguan yang banyak di alami masyarakat dan dapat didiagnosa hanya berdasarkan gejala klinis (Price, 2006). Maag memiliki gejala khas berupa rasa nyeri atau pedih pada ulu hati, mual dan kadang disertai muntah serta rasa kembung pada perut (Menkes RI, 1997). Menurut Selviana (2015), insiden terjadinya gastritis di dunia sekitar 1,8-2,1 juta dari jumlah penduduk pada setiap tahunnya. Di Asia Tenggara sekitar 583.635 dari jumlah penduduk setiap tahunnya mengalami insiden gastritis. Persentase angka kejadian gastritis di Indonesia mencapai 40,8%. Angka kejadian gastritis di Indonesia ini cukup tinggi dengan prevalensi 274,396 kasus dari 238,452,952 jiwa penduduk pada setiap tahunnya (Selviana, 2015).

(61)

yang meliputi patient assessment, rekomendasi, penyerahan obat disertai informasi terkait terapi pada pasien (Hasanah, 2013). Menurut Menkes RI (2008), masyarakat membutuhkan informasi obat yang benar, jelas dan dapat dipercaya agar penentuan kebutuhan, jenis, dan jumlah obat dapat diberikan berdasarkan kerasionalan.

Pemberian informasi obat memiliki peranan penting untuk menghindari masalah yang berkaitan dengan terapi obat (Drug Therapy Problem) yang dapat mempengaruhi terapi obat dan dapat mengganggu hasil terapi yang diharapkan oleh pasien (Cipolle, et al., 1998). Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam swamedikasi (Menkes RI, 2006). Oleh karena itu peran tenaga kefarmasian di apotek dalam penyerahan obat yang tepat disertai pelayanan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka peningkatan pengobatan sendiri (swamedikasi).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui profil tingkat pelayanan swamedikasi yang diberikan oleh petugas apotek terhadap pasien penderita gastritis di apotek di wilayah kota Medan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah penelitian ini adalah :

(62)

b. apakah terdapat perbedaan tingkat pelayanan swamedikasi yang diberikan oleh petugas apotek terhadap letak wilayah di pusat dan pinggiran kota Medan ?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka hipotesis penelitian ini adalah:

a. pelayanan swamedikasi yang diberikan oleh staf apotek kepada pasien penderita gastritis di apotek di wilayah kota Medan sudah sesuai standar. b. Tidak terdapat perbedaan tingkat pelayanan swamedikasi yang diberikan

oleh petugas apotek terhadap letak wilayah di pusat dan pinggiran kota Medan.

1.4 Tujuan Penelitian

a. untuk mengetahui profil tingkat pelayanan swamedikasi yang diberikan oleh staf apotek kepada pasien penderita gastritis di apotek di wilayah kota Medan.

b. untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan tingkat pelayanan swamedikasi yang diberikan oleh petugas apotek terhadap letak wilayah di pusat dan pinggiran kota Medan.

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan penelitian ini, maka diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

(63)

khususnya swamedikasi.

b. Data dan informasi dari penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

(64)

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian 3. Berapa usia yang menderita gastritis? 4. Apa gejala yang dialami

pasien?

5. Apa faktor penyebab terjadinya penyakit gastritis ?

6. Berapa lama pasien menderita gastritis?

7. Apa tindakan yang sudah diperbuat selama mengalami gejala gastritis? 8. Apa obat-obat lain yang sedang

(65)

PROFIL PELAYANAN SWAMEDIKASI KEPADA PASIEN PENDERITA GASTRITIS DI APOTEK DI WILAYAH KOTA MEDAN

ABSTRAK

Upaya masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri dikenal dengan istilah swamedikasi. Swamedikasi dapat dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan seperti gastritis. Gastritis merupakan gangguan yang banyak dialami masyarakat dan dapat didiagnosa hanya berdasarkan gejala klinis. Apoteker sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan harus mampu memberikan pelayanan yang menjamin ketepatan, keamanan dan rasionalitas dalam swamedikasi. Penelitian ini bertujuan untuk menilai profil tingkat pelayanan swamedikasi yang dilakukan oleh petugas apotek terhadap pasien penderita gastritis dan untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat pelayanan swamedikasi yang diberikan oleh petugas apotek terhadap letak wilayah di pusat dan pinggiran kota Medan.

Penelitian ini dilakukan dengan metode ASMETHOD secara simulasi pasien dengan menjalankan skenario yang dibuat. Sampel berjumlah 85 apotek di 21 kecamatan di wilayah kota Medan. Teknik sampling yang digunakan adalah kombinasi sampling wilayah dan sampling acak sederhana. Hasil pengamatan profil pelayanan swamedikasi yang diberikan petugas apotek dicatat diluar apotek didalam lembar checklist.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa hanya 22,35% (n=19) apoteker yang terlibat langsung dalam memberikan pelayanan swamedikasi. Profil patient assessment yang paling banyak ditanyakan oleh petugas apotek adalah

“siapa yang sakit ?” sebanyak 32,94% (n=28), profil rekomendasi sebanyak 100% (n=85) apotek yang memberikan “rekomendasi obat” dengan jenis obat antasida (100%), profil informasi obat yang paling banyak diberikan petugas

apotek adalah “dosis obat” sebanyak 96,47% (n=82) serta profil informasi non

farmakologi berupa “pola makan” dan “pola hidup” yang masing-masing

sebanyak 7,06% (n= 6). Hasil penilaian tingkat pelayanan swamedikasi pasien, diperoleh bahwa 100% (n=85) apotek mendapatkan %skor < 60.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pelayanan swamedikasi yang dilakukan oleh petugas apotek di wilayah kota Medan adalah kurang. Tidak terdapat perbedaan tingkat pelayanan swamedikasi yang diberikan oleh petugas apotek di wilayah pusat dan pinggiran kota Medan (p > 0,05).

(66)

SELF-MEDICATION SERVICE PROFILE TO PATIENT WITH GASTRITIS AT COMMUNITY PHARMACIES IN MEDAN

ABSTRACT

The efforts of society to heal theirself known as self-medication. Self-medication can be done to overcome the complaints and minor illness such as gastritis. Gastritis is a disorder that experienced many people and can be diagnosed only by cinical symptoms. Pharmacist as health care providers should be able to give service that ensure accuracy, safety and rationality drug therapy in self-medication. This study aims to assess the self-medication service profile given by pharmacist to patient with gastritis and to determine therre are differences in the level of self-medication service given by the pharmacist to the location of the region in the central and suburb in Medan .

This study was conducted using patient simulation ASMETHOD by scenario. Sample in this study were 85 pharmacies are located in 21 district of Medan. The sampling technique used is a combination of area sampling and simple random sampling. Observation result of self-medication service profil recorded outside pharmacies in the checklist sheet.

Based on the result, only 23.35% (n=19) of pharmacist who directly involved to do the self-medication service. Patient assessment profile of the most widely asked by the pharmacist is “who is sick ?” much as 32.94% (n=28),

recommendation profil much as 100% (n=85) of pharmacy given “drug recommendation” which the type is antacid (100%), the most of drug information profile is “drug dose” much as 96.47% (n=82) and non-pharmacological

information profile such as “dietary habit” and “life style” respectively as much as

7.06% (n=6)

This research result shows that self-medication service given by pharmacist in medan is less. There is not difference level of self-medication service given pharmacist in medan centre and suburb (p > 0.05).

(67)

PROFIL PELAYANAN SWAMEDIKASI KEPADA

PASIEN PENDERITA GASTRITIS DI APOTEK DI

WILAYAH KOTA MEDAN

SKRIPSI

OLEH:

ANSYARI

NIM 121501134

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(68)

PROFIL PELAYANAN SWAMEDIKASI KEPADA

PASIEN PENDERITA GASTRITIS DI APOTEK DI

WILAYAH KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperolehgelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

ANSYARI

NIM 121501134

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

Gambar

Tabel 3.2 Variabel Penelitian
Tabel 3.3 Skenario Penelitian
Tabel 3.4  Penilaian Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Berdasarkan Menkes RI Tahun 2008
Gambar 3.1 Alur Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Profil informasi terkait obat dan non farmakologi yang diberikan oleh petugas apotek terhadap pasien swamedikasi yang datang dengan keluhan diare pada anak..

profil informasi terkait obat dan non farmakologi yang diberikan oleh petugas apotek terhadap pasien swamedikasi yang datang dengan keluhan batuk.. untuk mengetahui profil tingkat

Dalam melakukan pelayanan swamedikasi terdapat beberapa profil pelayanan yang dilakukan oleh petugas apotek kepada pasien swamedikasi yang terdiri dari patient

profil informasi terkait obat dan non farmakologi yang diberikan oleh petugas apotek terhadap pasien swamedikasi yang datang dengan keluhan sakit gigi.. 1.5

Pemberian informasi obat kepada pasien merupakan bagian yang harus dilakukan oleh petugas apotek dalam melakukan pelayanan swamedikasi supaya pasien benar-benar memahami

Profil Penggalian Informasi dan Rekomendasi Pelayanan Swamedikasi Oleh Staf Apotek Terhadap Kasus Diare Anak Di Apotek Wilayah Surabaya.. Pengaruh Edukasi Terhadap Tingkat

Pemberian informasi obat di apotek, baik dalam pelayanan resep maupun pelayanan swamedikasi adalah hal yang sangat penting untuk memastikan pasien menggunakan obat

Pemberian informasi obat di apotek, baik dalam pelayanan resep maupun pelayanan swamedikasi adalah hal yang sangat penting untuk memastikan pasien menggunakan obat