KARAKTERISTIK TANAH DENGAN HORISON
PENIMBUNAN LIAT YANG BERKEMBANG DARI
BATUAN SEDIMEN DAN VOLKANIK
OLEH :
AFRA D. N. MAKALEW
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
AFRA D.N. MAKALEW.
Karakteristik Tanah dengan Horison Penimbunan Liat
yang Berkembang dari Batuan Sedimen dan Volkanik. Dibimbing oleh
SARWONO HARDJOWIGENO, SUDARSONO, BUDI MULYANTO, dan
SUBAGYO HARDJO-SUBROTO.
Pemanfaatan tanah-tanah yang memiliki horison akumulasi atau
penimbunan liat banyak menghadapi faktor pembatas produksi. Horison yang
relatif padat di bawah lapisan olah dan dekat dengan permukaan tanah
mengakibatkan laju perkolasi terhambat, tanah cepat jenuh air dan mudah
tererosi, serta terbatasnya daerah perakaran tanaman, sehingga produktivitas
tanah menjadi terbatas. Di Indonesia tanah-tanah yang memiliki horison
penimbunan liat seperti Alfisol (5,2 juta ha), Ultisol (45,8 juta ha), dan Inceptisol
(70,5 juta ha) merupakan alternatif untuk pengembangan usaha pertanian.
Tanah-tanah tersebut dapat berkembang dari bahan induk sedimen (batuliat dan
batukapur) maupun pada bahan induk bahan volkan (volkanik).
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengidentifikasi sifat-sifat tanah
dengan horison penimbunan liat dan proses-proses pembentukannya, yang
berkembang dari batuan sedimen (batuliat dan batukapur) dan batuan volkanik
(andesitik dan dasitik); (2) membandingkan sifat-sifat horison penimbunan liat
dan proses-proses pembentukannya pada tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol,
baik pada regim kelembaban tanah akuik, perudik, maupun ustik; (3) mengetahui
sifat-sifat horison penimbunan liat yang penting kaitannya dengan pengelolaan
tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol, baik yang berkembang dari batuliat,
batukapur, maupun batuan volkanik (andesitik dan dasitik).
Penelitian dilaksanakan pada 10 pedon pewakil yang tersebar di daerah
Kabupaten Bogor dan Banten. Lokasi pedon-pedon pewakil tanah Ultisol, Alfisol,
dan Inceptisol yang terletak di desa Cendali, Cijayanti-1, Cijayanti-2,
Pasircabe-Jonggol, Ciampea dan Jasinga (Kabupaten Bogor), dan Cipocok-Serang
(Kabupaten Banten). Parameter yang diamati meliputi sifat-sifat fisika, kimia,
mineralogi, dan mikromorfologi (irisan tipis) tanah, penentuan horison
penimbunan liat merupakan argilik atau bukan argilik menggunakan kriteria
dalam Taksonomi tanah (Soil Survey Staf, 2003).
ABSTRACT
AFRA D. N. MAKALEW. Characteristics of Soil with Clay Accumulation Horizons
in Sedimentary and Volcanic Rocks. Under Supervision of SARWONO
HARDJOWIGENO, SUDARSONO, BUDI MULYANTO, and SUBAGYO
HARDJOSUBROTO.
A study of soil with clay accumulation horizon was conducted on 10
pedons of Ultisols, Alfisols, Inceptisols derived from sedimentary and volcanic
rocks. The investigation was aimed to study the characteristics of soil with clay
accumulation horizons through the use of physical, chemical, mineralogical,
macro- and micro-morphological data. Soil morphology and particle size
distributions indicated that not all of the B horizons of pedons sampled meet the
argillic horizon definition. Microscopic study resulted that, not all pedons sampled
have visible clay skins as the evidence of clay transportation. Kinds of parent
materials affect morphology and physical characteristics of soil with clay
accumulation horizon,
i.e.
on the thickness, depth, position of maximum fine and
total clay content. Thin sections of Bt horizons of AM8 and AM10 pedons showed
illuvial features, confirming the presence of an argillic. Clay position is lying
adjacent to voids, occur as a limpid clay coating, some superimposed with
ferruginous coating. Kaolinite, smectite, and haloysite were dominant clay
minerals of the clay accumulation horizons, which are also found at the upper
horizons of the observed pedons. Similarity in characteristics of the surface and
subsurface horizons, especially on the composition of soil sand fraction mineral
and clay mineral, proved that the clay comes from the same soil material. It was
also concluded that the formation of clay accumulation horizons as Bt in the
studied pedons dominated by elluviation and illuviation processes, and the
formation of clay accumulation horizons as Bw were dominated by the
sedimentation processes . Some important results of this research showed that
(1) Not all of the sampled pedons have argillic horizons. Only AM7, AM8 and
AM10 pedons meet all requirements of argillic criterias ; The uppper boundary of
argillic was found at 26 cm from the soil surface on AM10 pedon, on AM8 it was
at 20 cm, and at 19 cm from the soil surface found on AM7 pedon; Pedons
derived from volcanic rocks have the highest average total clay contents,
i.e
.
48.9%, followed respectively by pedons developed from claystone 37,9%,
andesitic-volcanic rocks 34.4%, and limestone 19.9%; Development of clay skins
was found strongest on soils derived from dasitic-volcanic rocks; (2) Types of
parent material together with other soil forming factors (climate and topography)
affect characteristics of clay accumulation horizons, especially on the thickness
and content of fine clay; (3) Thickness and position of clay accumulation horizons
from the soil surface are the main properties that most related to management of
Alfisols, Ultisols, and Inceptisols.
v
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul
Karakteristik
Tanah dengan Horison Penimbunan Liat yang Berkembang dari Batuan
Sedimen dan Volkanik
adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi
Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2006
Afra Donatha Nimia Makalew
vii
KARAKTERISTIK TANAH DENGAN HORISON
PENIMBUNAN LIAT YANG BERKEMBANG DARI
BATUAN SEDIMEN DAN VOLKANIK
OLEH :
AFRA D. N. MAKALEW
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul
:
Karakteristik Tanah dengan Horison Penimbunan Liat
yang Berkembang dari Batuan Sedimen dan Volkanik
Nama
:
Afra Donatha Nimia Makalew
N r p
:
995032
Program Studi
:
Ilmu Tanah
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Sarwono Hardjowigeno,MSc
Prof.Dr.Ir. Sudarsono,MSc
Ketua
Anggota
Dr.Ir. Budi Mulyanto,MSc
Dr.Ir. Subagyo Hardjosubroto,MSc.APU
Anggota
Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Tanah
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Komaruddin Idris,MS
Dr.Ir. Khairil A.Notodiputro,MS
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tomohon-Minahasa pada tanggal 19 Januari 1965
sebagai anak ke-8 dari pasangan P.D.Makalew (Alm) dan Chatarina Wanget
(Almh). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian
Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1992,
penulis diterima di Agricultural and Food Engineering Program, Asian Institute of
Technology (AIT) Bangkok, Thailand dan menamatkannya pada tahun 1993.
Kesempatan untuk melanjutkan program doktor pada program studi Ilmu Tanah
Sekolah Pascasarjana IPB Bogor diperoleh pada tahun 1999. Beasiswa
pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Universitas Mercu Buana Jakarta dan
BPPS Dikti (Tahun 2000 – 2003).
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa,
sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini
berhubungan dengan sifat-sifat dan pembentukan horison penimbunan liat pada
tanah-tanah yang berkembang dari batuan sedimen dan volkanik.
Pada Kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno, MSc. sebagai Ketua Komisi
Pembimbing
2. Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing
3. Dr. Ir. Budi Mulyanto, MSc. Sebagai Anggota Komisi Pembimbing
4. Dr. Ir. Subagyo Hardjosubroto, MSc. APU. sebagai Anggota Komisi
Pembimbing
5. Rektor, Dekan SPs, Ketua Program Studi Ilmu Tanah SPs IPB
6. Program Beasiswa BPPS-Dikti
7. Rektor Universitas Mercu Buana, Dekan, Ketua Jurusan Agronomi,
seluruh Staf Pengajar, dan Karyawan Fakultas Managemen Agrbisinis
UMB Jakarta
8. Seluruh Staf Pengajar dan Mahasiswa Program Studi Ilmu Tanah SPs IPB
9. Ketua dan seluruh Staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Fakultas Pertanian IPB
10. Staf Laboratorium Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan Fakultas Pertanian IPB
11. Staf Laboratorium Mineral, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor
12. Staf Laboratorium Tanah, Fakultas Geografi UGM Yogyakarta
13. Mahasiswa HIMPIT, Mahasiswa Program Ilmu Tanah SPs-IPB Angkatan
’99, dan rekan-rekan kelompok G-8
14. Orangtua, suami, dan anak-anak
Akhirnya penulis mengharapkan disertasi ini dapat menjadi tambahan
informasi bagi ilmu yang terkait dan bagi para pembaca.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA.………...…... x
DAFTAR TABEL.…….………..………...…... xii
DAFTAR GAMBAR ...………... xiii
DAFTAR LAMPIRAN………... xiv
PENDAHULUAN
Latar Belakang..………... 1
Tujuan………...…... 4
Hipotesis.………... 4
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Horison Penimbunan Liat……….………… 5
Genesis Horison Penimbunan Liat.……….……….. 9
Mikromorfologi Horison Penimbunan Liat………... 14
Bahan Induk Tanah.……..……….…...…... 18
Tanah-tanah dengan Horison Penimbunan Liat.…..…... 20
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu ..………...…... 25
Bahan Penelitian………...…... 28
Metodologi Penelitian………...…... 28
Analisis Data………...……... 31
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Lokasi Penelitian... 33
Geologi... 33
Topografi... 36
Iklim... 37
Penggunaan Lahan... 38
Vegetasi... 40
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Morfologi dan Fisika tanah...………... 42
Sifat Kimia Tanah...………....…... 56
Mineralogi Horison Permukan dan Penimbunan Liat...………...… 75
Horison Diagnostik... 94
Klasifikasi Tanah Pedon-Pedon Pewakil... 104
Karakteristik Horison Argilik dan Kambik... 106
Implikasi Adanya Horison Penimbunan Liat... 121
KESIMPULAN DAN SARAN ….………. ... 124
DAFTAR PUSTAKA……….………... 126
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1.
Lokasi, Jenis Bahan Induk, dan Regim Kelembaban Tanah
Pedon-Pedon Pewakil………...…. 25
2.
Jenis-jenis Analisis Tanah, Metode dan Kegunaannya dalam Penelitian 30
3.
Curah Hujan (mm) Bulanan ( Rata-rata 10 tahun)
di daerah penelitian ... 39
4.
Data Suhu Udara Maksimum Minimum, dan Rata-rata Bulanan
di daerah Kabupaten Bogor , diwakili stasiun Darmaga (259 dpl)
(1989-1999)... 40
5.
Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil
yang Berkembang dari Batuliat... 43
6.
Siifat Morfologi dan Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil
yang Berkembang dari Batukapur...… 47
7.
Siifat Morfologi dan Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil
yang Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik...……51
8.
Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil
yang Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik...……53
9.
Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari
Pedon Pewakil (Batuliat)…….………...………...57
10.
Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari
Pedon Pewakil (Batukapur)………..…….. ....63
11.
Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari
Pedon Pewakil Bahan Volkanik-Andesitik……….………… ...67
12.
Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari
Pedon Pewakil Bahan Volkanik-Dasitik....……….………...70
13.
Penyebaran Mineral Fraksi Pasir Total pada Horison Eluviasi
xiii
14.
Jenis Mineral Liat pada Horison Eluviasi dan Iluviai Maksimum
setiap Pedon Pewakil...79
15.
Mineral Liat yang Dominan pada Horison Iluviasi dan
Horison di Atasnya pada Masing-masing Pedon Pewakil…………..…… 94
16.
Jumlah Liat Total pada Horison Eluviasi dan Horison Iluviasi, serta
Jumlah Minimal Liat Total sebagai Horison Penimbunan liat
(Argilik)...98
17. Batas Atas dan Bawah, serta Ketebalan Horison Iluviasi pada
Masing-masing Pedon Pewakil………...99
18.
Tebal, Jumlah, dan Perkembangan Selaput Liat pada masing-masing
Horison Iluviasi Masing-masing Pedon Pewakil AM8 dan AM10………101
19.
Hasil Identifikasi Horison Penimbunan Liat (Argilik) Berdasarkan Kriteria
Jumlah Kandungan Liat, Ketebalan Horison, dan Selaput Liat pada
Pedon Pewakil... ...103
20.
Pedon Pewakil dan Klasifikasi Tanahnya………..……..104
21.
Kandungan Liat Halus dan Liat Total Maksimum (%) pada
Masing-masing Kedalaman Pedon Pewakil...109
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1.
Peta Lokasi Pedon Pewakil di Kabupaten Bogor...26
2.
Peta Lokasi Pedon Pewakil di Kabupaten Serang………...27
3.
Peta Geologi Lokasi Penelitian (Daerah Bogor)...………..…………34
4.
Peta Geologi Lokasi Penelitian (Daerah Serang)...………35
5.
Lokasi setiap Pedon Pewakil dalam Topografi...37
6.
Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada
Pedon AM1, AM2, dan AM3 yang Berkembang dari ...60
7.
Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada
Pedon AM4, AM5, dan AM6 yang Berkembang dari ...64
8.
Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada
Pedon AM7 dan AM8 yang Berkembang dari Bahan
Volkanik-Andesitik...68
9.
Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada
Pedon AM9 dan AM10 yang Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik...72
10a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)
Pedon AM1 Berkembang dari Batuliat …...…..…...81
10b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt2)
Pedon AM1 Berkembang dari Batuliat ...…..…...81
11a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)
Pedon AM2 Berkembang dari Batuliat...……….….82
11b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)
Pedon AM2 Berkembang dari Batuliat...……….…82
xv
12b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)
Pedon AM3 Berkembang dari Batuliat...………..…...83
13a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Peralihan (AB)
Pedon AM4 Berkembang dari Batukapur...………..…...85
13b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt2)
Pedon AM4 Berkembang dari Batukapur...………..…..85
14a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)
Pedon AM5 Berkembang dari Batukapur...………..…...86
14b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)
Pedon AM5 Berkembang dari Batukapur...………..….86
15a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)
Pedon AM6 Berkembang dari Batukapur...………..….87
15b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt2)
Pedon AM6 Berkemban dari Batukapur...………..…...87
16a. HasilAnalisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A)
Pedon AM7 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik………...….89
16b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)
Pedon AM7 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik………...….89
17a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)
Pedon AM8 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik..…………....….90
17b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)
Pedon AM8 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik.…………....…..90
18a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A)
Pedon AM9 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik...…………....….91
18b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)
Pedon AM9 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik………....…92
19a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)
Pedon AM10 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik...………..93
19b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt4)
20.
Selaput Liat (Coklat kekuningan) pada Irisan Tipis Horison Bt4
dari Pedon AM8 Berkembang dari Bahan Volkanik–Andesitik...101
21.
Selaput Liat pada Irisan Tipis Horison Bt4 Pedon AM10 yang
Berkembang dari Bahan Volkanik – Dasitik ...102
22.
Distribusi Liat Halus dan Liat Total pada Tanah Inceptisol serta
Batas Argilik (
Argillic line
) pada Pedon AM8 dan AM10...108
23.
Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM2 dan AM3 yang Berkembang dari
Batuliat...111
24.
Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM5 yang Berkembang dari
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1.
Deskripsi Profil Pedon AM1………... 131
2.
Deskripsi Profil Pedon AM2………... 132
3.
Deskripsi Profil Pedon AM3………... 133
4.
Deskripsi Profil Pedon AM4………... 134
5.
Deskripsi Profil Pedon AM5………... 135
6.
Deskripsi Profil Pedon AM6………... 136
7.
Deskripsi Profil Pedon AM7………... 137
8.
Deskripsi Profil Pedon AM8………...………... 138
9.
Deskripsi Profil Pedon AM9………... 139
10.
Deskripsi Profil Pedon AM10………... 140
11.
Regim Temperatur dan Kelembaban Tanah...…...………... 142
11.1 Stasiun Cimulang... 142
11.2 Stasiun Pasirmaung...144
11.3 Stasiun Jonggol... 146
11.4 Stasiun Dramaga... 148
11.5 Stasiun Jasinga...150
PENDAHULUAN
Latar belakang
Horison penimbunan liat merupakan horison dengan kandungan liat
filosilikat yang lebih tinggi daripada bahan tanah yang terletak di atasnya.
Horison ini dapat terbentuk akibat proses iluviasi liat horison di atasnya
atau dari hasil proses pelapukan in situ, atau tertimbunnya bahan tanah
dengan kandungan liat tinggi oleh bahan tanah dengan kandungan liat
yang lebih rendah. Ada tidaknya bukti iluviasi liat berupa selaput liat (clay
skin) pada horison penimbunan liat, merupakan salah satu dasar dalam
identifikasi horison argilik atau bukan argilik. Horison argilik merupakan
horison iluviasi liat yang digunakan sebagai horison bawah penciri untuk
mengklasifikasi dan interpretasi proses-proses yang dominan pada
pembentukan tanah Alfisol dan Ultisol. Selanjutnya horison penimbunan
liat tanpa bukti selaput liat, kecuali pada tanah dengan sifat vertik
termasuk dalam horison kambik yang digunakan sebagai salah satu
horison bawah penciri untuk mengklasifikasi dan interpretasi proses
pembentukan tanah Inceptisol (Soil Survey Staff, 2003).
Pemanfaatan tanah-tanah yang memiliki horison penimbunan liat
banyak menghadapi faktor pembatas produksi. Horison penimbunan liat
yang relatif padat di bawah lapisan olah dan dekat dengan permukaan
tanah mengakibatkan laju perkolasi terhambat, tanah cepat jenuh air dan
mudah tererosi, serta terbatasnya daerah perakaran tanaman, sehingga
2
Di daerah tropika, tanah Alfisol, Ultisol, dan Inceptisol merupakan
tanah-tanah yang umum di jumpai. Penyebaran tanah-tanah ini di
Indonesia adalah Inceptisol 70,5 juta ha (37,5%), Ultisol sekitar 45,8 juta
ha (24,3%), dan Alfisol 5,2 juta ha (3%) dari luas daratan. Lahan-lahan
tersebut merupakan alternatif untuk pengembangan usaha pertanian
(Subagjo et al., 2003).
Horison penimbunan liat ditemukan pada tanah-tanah yang
berkembang dari bahan induk sedimen dan volkanik, pada beberapa
regim kelembaban tanah (akuik, perudik/udik, dan ustik). Proses
pembentukan horison penimbunan liat yang menghasilkan horison argilik
meliputi proses dispersi liat di lapisan atas, dilanjutkan dengan proses
pemindahan liat oleh air dari lapisan atas (eluviasi), dan pengendapannya
di lapisan bawah (iluviasi). Banyak faktor yang berpengaruh agar liat lebih
mudah terdispersi dalam air, sehingga lebih mudah dipindahkan. Demikian
pula, banyak faktor yang berpengaruh terhadap proses pemindahan dan
pengendapan liat di lapisan bawah. Tiga tahap proses pembentukan
horison penimbunan liat, yang meliputi proses dispersi, pemindahan, dan
akumulasi liat, masing-masing memerlukan kondisi yang khusus (Buol et
al., 1980). Sedangkan proses pembentukan horison penimbunan liat yang
tidak menghasilkan argilik apabila (1) jumlah penimbunan liat tidak
memenuhi argilik, meskipun ada selaput liat, (2) jumlah penimbunan liat
memenuhi argilik tapi tidak ada selaput liat, atau (3) jumlah penimbunan
Tanah Alfisol dan Ultisol keduanya mempunyai horison
penimbunan liat (argilik), tetapi Ultisol bersifat lebih masam dan Alfisol
lebih alkalis. Kedua tanah ini dapat berkembang dari batuan sedimen
ataupun bahan volkanik, pada regim kelembaban tanah akuik, udik, ustik,
dan xerik. Horison penimbunan liat yang tidak memenuhi kriteria argilik,
dapat sebagai horison kambik yang dimiliki oleh tanah Inceptisol.
Permasalahan yang menarik untuk diteliti adalah bagaimana sifat-sifat
horison penimbunan liat dan proses-proses pembentukannya dapat terjadi
pada lingkungan yang berbeda-beda tersebut.
Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan adalah mengenai
horison penimbunan liat yang memiliki selaput liat (argilik). Namun
demikian, Allbrook (1973) masih mempertanyakan adanya horison argilik
pada tanah-tanah Ultisol di Malaysia. Penelitian tentang sifat-sifat dan
genesis horison argilik telah dilakukan pada tanah Aridisol berbahan induk
sedimen (Nettleton et al., 1975; Southard dan Southard , 1985), pada
tanah Alfisol berbahan induk sedimen oleh Smith dan Wilding (1972).
Demikian pula penelitian tentang mikromorfologi horison argilik pada tanah
Alfisol dengan regim kelembaban tanah akuik telah dilakukan antara lain
oleh : Smeck et al. (1981), Cremeens dan Mokma (1986), serta Stolt dan
Rubenhorst (1991). Selain itu terbentuknya horison argilik pada tanah
yang berdrainase baik sudah dilakukan Rostad et al. (1976). Tetapi
adanya horison argilik pada tanah-tanah berdrainase buruk atau pada
4
Penelitian tentang proses pembentukan horison penimbunan liat
dengan atau tanpa selaput liat di daerah tropika basah khususnya di
Indonesia masih sangat sedikit. Hasil penelitian Cahyono (1992) pada
Ultisol Lampung dan Alfisol di Jawa Barat menunjukkan bahwa, liat iluviasi
pada Ultisol umumnya lebih banyak (2-5%) dibandingkan dengan liat
iluviasi pada Alfisol (1-2%). Kenampakan mikromorfologi yang berbeda
menurut Goenadi dan Tan (1998) dapat membantu menjelaskan
proses-proses pembentukan tanah pada masing-masing tanah. Demikian juga
penelitian tentang mikromorfolgi horison penimbunan liat di Indonesia
masih sangat kurang.
Dari uraian di atas tampak bahwa penelitian tentang karakteristik
horison penimbunan liat pada bahan induk dan regim kelembaban tanah
yang berbeda masih perlu dilakukan. Demikian juga, ditemukannya
horison penimbunan liat dengan atau tanpa selaput liat pada tanah
Insceptisol, Alfisol, dan Ultisol masih perlu diteliti. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam
pengembangan ilmu pengetahuan genesis tanah dan sistem klasifikasi
tanah, serta pengelolaan tanah di Indonesia.
Tujuan
(1) Mengidentifikasi sifat-sifat tanah dengan horison penimbunan liat
dan proses-proses pembentukannya, yang berkembang dari batuan
(2) Membandingkan sifat-sifat horison penimbunan liat dan
proses-proses pembentukannya pada tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol
yang berkembang dari bahan induk sedimen atau volkanik, baik
pada regim kelembaban tanah akuik, perudik, maupun ustik.
(3) Mengetahui sifat-sifat horison penimbunan liat yang berkaitan
dengan pengelolaan tanah, baik pada tanah Ultisol, Alfisol, maupun
Inceptisol.
Hipotesis
(1) Bahan induk yang berbeda akan mempengaruhi sifat-sifat dan
pembentukan horison penimbunan liat, baik letak dari permukaan,
ketebalan, adanya tidaknya selaput liat maupun tingkat
perkembangannya.
(2) Sifat-sifat horison penimbunan liat dan proses pembentukannya
berbeda antara tanah Alfisol, Ultisol, dan Inceptisol, baik pada
regim kelembaban tanah akuik, perudik, maupun ustik.
(3) Terdapat sifat-sifat horison penimbunan liat yang penting kaitannya
dengan pengelolaan tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol, baik yang
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Horison Penimbunan Liat
Macam-macam horison penimbunan liat (argilik atau kambik) merupakan horison yang terbentuk dari hasil iluviasi liat horizon di atasnya. Disebut horison argilik apabila jumlah penimbunan liat memenuhi kriteria argilik disertai bukti iluviasi liat berupa selaput liat. Disebut horison kambik apabila jumlah penimbunan liat tidak memenuhi argilik walaupun ada selaput liat. Atau Jumlah memenuhi argilik tapi tidak ada selaput liat, atau jumlah tidak memenuhi argilik dan tidak ada selaput liat .
Horison Argilik
Di dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) di sebutkan bahwa horison argilik harus memenuhi syarat dalam hal : (1) Tebal horison yang sesuai dengan tekstur tanahnya, (2) Bukti adanya iluviasi liat sebagai akibat eluviasi liat dari horison di atasnya, dan (3) Jumlah liat yang tertimbun, sesuai dengan kandungan liat horison eluviasi.
Sifat-sifat yang dibutuhkan untuk dapat memenuhi syarat sebagai suatu horison argilik (Soil Survey Staff,1998) adalah sebagai berikut :
1. Horison argilik harus memiliki kedua hal sebagai berikut :
(a) Salah satu dari : (1) Jika horison argilik mempunyai kelas besar butir berlempung kasar, berlempung halus, berdebu kasar, berdebu halus, halus, atau sangat halus, maka keteba lan minimum 7,5 cm, atau paling kurang sepersepuluh bagian dari seluruh tebal horison di atasnya, dipilih yang lebih tebal, atau (2)
horison argilik seluruhnya tersusun dari lamella, maka ketebalan gabungan dari lamella yang tebalnya 0,5 cm atau lebih, harus 15 cm atau lebih; dan
(b) Tanda, atau bukti, adanya iluviasi liat sekurang-kurangnya berupa salah satu bentuk berikut : (1) Adanya liat terorientasi yang menghubungkan butir-butir pasir; atau (2) Adanya selaput liat
menyelaputi dinding pori; atau (3) Adanya selaput liat pada kedua
permukaan ped horisontal dan vertikal; atau (4) Pada irisan tipis,
memiliki bentukan liat terorientasi, yang secara mikromorfologi berjumlah lebih dari 1 persen; atau (5) Apabila koefisien
pemuaian linier sebesar 0,004 atau lebih, dan tanah berada pada wilayah dengan musim hujan dan kemarau yang nyata, maka rasio liat halus terhadap liat total pada horison iluviasi adalah 1,2 kali atau lebih, dibanding rasionya pada horison eluviasi; dan
2. Apabila horison eluviasi masih ada dan tidak terdapat diskontinuitas litologi (lithologic discontinuity) antara horison eluviasi dan iluviasi, serta tidak terdapat lapisan tapak bajak yang berada langsung di atas lapisan iluviasi, maka horison iluviasi harus mengandung lebih banyak liat total dibanding horison eluviasi, di dalam jarak vertikal 30 cm atau kurang, sebagai berikut :
(a) Apabila salah satu bagian dari horison eluviasi, dalam fraksi tanah halusnya mengandung liat total kurang dari 15 persen, maka horison argilik harus mengandung minimal 3 persen (absolut) liat lebih banyak (misalnya 10 persen vs 13 persen) ; atau
7 (c) Apabila horison eluviasi, dalam fraksi tanah halusnya mengandung liat total 40 persen atau lebih, maka horison argilik harus mengandung minimal 8 persen (absolut) liat lebih banyak (misalnya 42 persen vs 50 persen).
Horison Kambik
Horison kambik merupakan horison yang terbentuk sebagai hasil proses alterasi secara fisik, transformasi secara kimia, atau pemindahan bahan, atau merupakan hasil kombinasi dari dua atau lebih proses-proses tersebut.
Di dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) dikatakan bahwa horison kambik merupakan horison alterasi yang ketebalannya 15 cm atau lebih. Apabila horison tersebut tersusun dari lamela-lamela, ketebalan gabungan dari lamela harus 15 cm atau lebih. Sebagai tambahan, horison kambik harus memenuhi semua syarat berikut:
1. Mempunyai tekstur pasir sangat halus, pasir sangat halus berlempung, atau yang lebih halus; dan
2. Menunjukkan gejala-gejala atau bukti adanya alterasi, dalam salah satu bentuk berikut :
a. Kondisi akuik di dalam 50 cm dari permukaan tanah, atau telah didrainase, dan semua sifat berikut:
(1) Memiliki strutur tanah,atau tidak memiliki strutur batuan pada lebih dari setengah volume tanah; dan
(2) Warna-warna yang tidak berubah saat terbuka di udara;
dan
(3) Warna dominan, lembab, pada permukaan ped atau di dalam matriks sebagai berikut:
(b) Value warna 4 atau lebih dan kroma satu atau kurang; atau
(c) Sebarang value warna, kroma 2 atau kurang, dan terdapat konsentrai redoks; atau
b. Tidak mempunyai kombinasi kondisi akuik di dalam 50 cm dari permukaan tanah, atau telah didrainase, dan warna, lembab, sebagaimana didefinisikan dalam butir 2.a.(3) di atas; serta memiliki struktur tanah atau tidak memiliki struktur batuan pada lebih dari setengah volume tanah, dan memenuhi satu atau lebih sifat berikut:
(1) Menunjukkan kroma lebih tinggi, value warna lebih tinggi, warna hue lebih merah, atau kandungan liat lebih tinggi dibanding horison yang terletak di bawahnya, atau horison yang berada di atasnya; atau
(2) Gejala atau bukti adanya pemindahan senyawa karbonat atau gipsum; dan
3. Memiliki sifat-sifat yang tidak memenuhi persyaratan untuk epipedon antropik, histik, folistik, melanik, molik, plagen, atau umbrik, duripan atau fragipan, atau horison argilik, kalsik, gipsik, natrik, oksik, petrokalsik, petrogipsik, placik, atau spodik; dan
4. Bukan suatu bagian dari suatu horison Ap, warnanya tidak cukup gelap (tidak memenuhi persyaratan epipedon molik atau umbrik), dan tidak bersifat rapuh.
Genesis Horison Penimbunan Liat
9 ordo tanah ini mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Alfisol adalah tanah yang relatif muda, sehingga pencucian basa-basa dan pelapukan mineral belum begitu lanjut. Sedangkan Ultisol adalah tanah yang relatif tua, sehingga pencucian basa-basa dan pelapukan mineral sudah cukup lanjut. Karena itu, Alfisol mempunyai kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) yang lebih tinggi, yaitu 35% atau lebih pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah atau kedalam 125 cm dari batas atas argilik. Sementara Ultisol mempunyai kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) lebih kecil yaitu kurang dari 35% pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah atau 125 cm dari batas atas argilik, dengan kandungan mineral mudah lapuk lebih rendah.
Alfisol dan Ultisol dapat berkembang dari bahan induk batuan sedimen maupun bahan volkanik. Soil Survey Staff (1975 ; 1999) mendefinisikan tanah Alfisol sebagai ”tanah-tanah yang mempunyai horison akumulasi liat (argilik), dengan kejenuhan basa (jumlah kation) pada kedalaman 1,8 meter dari permukaan tanah, atau 1,25 meter dari batas atas horison argilik, lebih besar atau sama dengan 35%. Sedangkan tanah Ultisol adalah ”tanah-tanah dengan horison akumulasi liat (argilik), dengan kejenuhan basa (jumlah kation) pada kedalaman 1,8 meter dari permukaan tanah, atau 1,25 meter dari batas atas horison argilik, lebih kecil dari 35%.
perbedaan pada sifat-sifat horison argiliknya seperti kandungan liat terakumulasi, serta ketebalan dan letak horison penimbunan liat dari permukaan, mungkin akan berpengaruh pada pengelolaan tanah.
Allbrook (1973) menyatakan bahwa di daerah tropika basah, di mana tidak ada periode kering yang menghambat aktivitas biologi, adanya horison argilik masih diragukan. Bukti-bukti iluviasi liat di daerah tropika basah sering tidak dijumpai dalam horison, sebagai akibat dari proses pencucian yang ekstensif (Buol et al., 1980), ataupun tidak dijumpai oleh karena kegiatan aktivitas fauna tanah (Rust, 1983; Buurman, 1980).
Walaupun dengan intensitas yang berbeda, proses pembentukan horison argilik, baik pada Alfisol ataupun Ultisol, mencakup dua proses utama yaitu (1) eluviasi, dan (2) iluviasi liat. Kedua proses tersebut dapat terjadi melalui tiga tahapan proses yang berlangsung secara berturut-turut yaitu (1) dispersi butir-butir tanah primer di lapisan atas; (2) translokasi, atau pemindahan liat, dari lapisan atas ke lapisan bawah, dan (3) immobilisasi (pengendapan) liat di lapisan bawah (Buol et al., 1980)
Birkeland (1974) menyatakan beberapa proses yang diduga dapat menyebabkan terbentuknya penimbunan liat adalah: (1) terjadinya hancuran iklim dengan intensitas tinggi pada bagian atas solum tanah, sehingga terjadi disintegrasi mineral primer menjadi mineral sekunder (liat), yang selanjutnya terangkut ke bawah oleh air perkolasi, dan diendapkan di horison B, dan (2) terjadinya pembentukan liat in situ pada horison B.
Dispersi
11 bahan perekat karbonat, seskuioksida (Al dan Fe), atau bahan organik, sehingga liat sulit dipindahkan oleh air ke horison lain. Dispersi akan berjalan dengan baik, bila air tersedia dalam jumlah cukup, dan kondisi memungkinkan terjadinya penghancuran bahan-bahan perekatnya (Buol et al., 1980).
Agar butir-butir tanah dapat terdispersi, maka bahan-bahan perekat seperti karbonat (kapur), besi, dan bahan organik harus tercuci lebih dulu dari permukaan tanah. Buol et al. (1980) mengatakan bahwa karbonat (dan bikarbonat) merupakan flokulan yang kuat, sehingga dalam pembentukan Alfisol perlu dicuci lebih dulu, agar plasma (liat) menjadi lebih mudah bergerak bersama dengan air perkolasi. Dengan pencucian karbonat ini, tanah di lapisan atas menjadi lebih masam, kadang-kadang sampai mencapai pH 4,5. Besi sebagai flokulan lain mengalami pencucian dari lapisan atas, setelah karbonat dibebaskan.
Pada tanah Ultisol, pencucian basa -basa berjalan ekstensif dan sangat lanjut, sehingga tanah bereaksi masam dan kejenuhan basa rendah sampai di lapisan bawah tanah (1,8 m dari permukaan tanah). Di wilayah tropika basah, karena suhu yang cukup tinggi (>22 0C) dan pencucian yang kuat dalam waktu yang cukup lama, maka terjadilah pelapukan yang kuat terhadap mineral-mineral yang mudah lapuk.
Translokasi
dapat disebabkan oleh pelapukan dan pencucian tanah yang terjadi secara kontinyu, atau disebabkan oleh proses pemasaman lapisan permuka an tanah, akibat tercucinya kation kalsium digantikan oleh hidrogen.
Air merupakan medium utama dalam proses pemindahan partikel tanah. Eswaran dan Sys (1979) menyatakan bahwa proses pemindahan liat berjalan lebih baik pada tanah yang mengalami kering dan basah bergantian, dibanding dengan tanah yang terus menerus kering atau terus menerus basah. Selain itu juga disebutkan bahwa horison argilik terbentuk lebih baik pada tanah berlempung (loamy) daripada tanah berpasir atau berliat. Kadar liat yang terlalu rendah pada tanah berpasir kurang mendukung pembentukan horison argilik, sedang kadar liat yang terlalu tinggi pada tanah berliat, menghambat pergerakan air dan proses pemindahan liat.
Pergerakan liat tersebut dapat terjadi dari satu horison ke horison-horison lainnya, atau hanya pada satu horison saja. Kesamaan susunan mineralogi dari liat halus antara horison eluviasi dan horison iluviasi , terlihat jelas. Sehingga kesamaan tersebut mendukung pendapat, bahwa liat secara dominan berpindah dari bahan tanah di atas, dan bukan hasil dekomposisi yang kemudian tersintesa membentuk partikel yang berukuran liat.
Proses pelarutan liat filosilikat dapat mengakibatkan kehilangan liat dalam tanah. Kehilangan tersebut biasanya terjadi pada horison atas, dimana prose s pelapukan terjadi sangat intensif. Dengan demikian, akibat proses tersebut maka perbedaan tekstur secara vertikal dapat terjadi.
13
Pengendapan
Pengendapan (immobilisasi) liat dapat disebabkan oleh (1) air perkolasi tidak cukup banyak, sehingga tidak dapat meresap lebih jauh ke dalam tanah; (2) butir-butir tanah yang mengembang dan menutup pori-pori tanah, sehingga air perkolasi lambat bergerak; (3) penyaringan oleh pori-pori halus yang tersumbat; (4) flokulasi liat bermuatan negatif oleh besi oksida yang bermuatan positif di horison Bt, dan (5) oleh kejenuhan basa yang lebih tinggi. Pada tanah masam, kation Al3+ memiliki kemampuan yang kuat dalam memflokulasi liat. Mobilitas liat dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor.
Soil Survey Staff (1999) mengemukakan bahwa liat dapat bergerak, apabila bahan pengikat (seskuioksida atau lainnya) terlarut lebih dahulu. Proses pembasahan tanah yang kering, dapat memicu kerusakan fabrik tanah dan mendispersi liat. Dikatakan pula bahwa pada tanah-tanah yang kering secara periodik, suspensi liat akan bergerak ke bagian bawah, dan berhenti di bagian tanah yang kering dimana larutan tanah akan diserap oleh butir-butir struktur tanah (ped). Selama penyerapan tersebut permukaan ped berlaku sebagai filter, agar liat tidak masuk ke bagian dalam ped. Dengan demikian, liat tersebut akan menyelaputi ped tanah, membentuk suatu lapisan yang terorientasi dan dikenal dengan selaput liat (clay skin).
Mikromorfologi Horison Penimbunan Liat
Tanah Ultisol
Bullock dan Thompson (1985) menyatakan ekspresi sifat-sifat mikromorfologi horison argilik tergantung dari distribusi ukuran butir tanah secara keseluruhan, bukan hanya ditentukan oleh ukuran butir yang tersedia untuk translokasi, tetapi juga pengaruh dari ukuran pori yang dapat dile wati oleh partikel iluviasi.
Federoff dan Eswaran (1985) menyebutkan bahwa terdapat perbedaan kenampakan mikromorfologi argilik pada Ultisol berdrainase baik, dan Ultisol berdrainase buruk. Pada tanah Ultisol yang berdrainase baik, terbentuk horison iluviasi yang baik, terdiri dari free packing skeleton grain yang sebagian besar diselaputi oleh plasma. Seringkali dijumpai kenampakan tekstur yang berkaitan dengan pengolahan tanah yang disebut agricutan. Horison B umumnya mengandung argilan, tetapi jumlah atau presentasi banyaknya sangat bervariasi, dari sangat sedikit sampai sangat tinggi persentasinya. Juga dijumpai, setiap pori diselaputi atau diisi oleh liat, sedangkan pada bagian lainnya kandungan argilan dijumpai secara sporadik. Argilan dijumpai juga pada bidang permukaan pori di antara vugh dan packing void, tapi agak jarang pada channel voids. Argillan tersebut terdapat sebagai selaput pada pori yang berukuran besar, dan sebagai pengisi pada pori yang berukuran kecil.
15 plasmanya tampak berlilin (waxy). Bila matriks tanahnya kaya seskuioksida, maka insepik plasmik fabrik akan tertutup dan berubah menjadi isotik. Warna plasma berkisar dari merah ke kuning. Butiran kasarnya (skeleton grain) terdiri dari mineral yang resisten, didominasi oleh kuarsa dan sedikit mineral mudah lapuk yang dapat dihitung, seperti biotit, feldspar, dan muskovit.
Pada tanah Ultisol yang berdrainase buruk, pada zona dimana air tanah berfluktuasi, horison bagian bawah tereduksi, maka argilan umumnya berwarna pucat, dari kelabu sampai kuning pucat. Pada zona dimana terjadi oksidasi besi, maka argilan tampak berwarna merah atau bintik-bintik merah. Laminasi dari argilan tidak dijumpai, atau kalaupun tampak, bentuknya menggulung. Warna interferensi sedang, dari kelabu putih sampai kuning pucat.
Sebagian besar argilan berlokasi pada bidang pori, atau menyusup/ mengisi ke dalam pori (infilling vugh dan channel void). Plasma yang selalu ada, berwarna kelabu sampai kuning. Plasmik fabrik umumnya lebih berkembang pada Ultisol yang berdrainase baik, dengan warna interferensi kuat. Pada tanah yang selalu jenuh air (permanen), ion ferro dijumpai dan memberi warna kehijauan dan kebiruan. Pada horison yang jenuh air, textural feature seringkali dijumpai dalam bentuk interkalasi, yakni tidak berkaitan dengan pori, dan merupakan bentuk eksternal yang fleksibel (dapat membengkok) dan memanjang. Hal tersebut menunjukkan tidak dapat terjadi penyelaputan (coating) akan tetapi proses berintegrasi ke dalam matriks ataupun mengisi pori.
Tanah Alfisol
teriluviasi. Beberapa kasus penyelaputan memiliki warna interferensi yang kuat, tapi pada beberapa tanah penyelaputan dapat berupa campuran partikel yang memberikan warna interferensi yang lemah. Sering dijumpai bahwa seluruh liat yang berada pada horison bawah merupakan asli akibat iluviasi.
Pada tanah dengan tekstur berlempung, dijumpai distribusi ukuran partikel yang jelas antara selaput liat dan matriks tanah, yang disertai dengan bireferen yang baik dari selaput, dan mudah untuk diidentifikasi. Kenampakan mikromorfologi selaput liat dari horison argilik pada tanah bertekstur sedang ini adalah adanya orientasi liat yang jelas, tekstur yang kontras, dan batas yang sangat jelas dengan matriks tanah.
Pada tanah yang berliat, identifikasi selaput liat sulit dilakukan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal berikut: (1) Sulit membedakan matriks tanah dengan liat yang diiluviasi, karena memiliki tekstur yang sama; (2) Adanya kembang kerut tanah (pada tanah yang mengandung mineral 2:1), selaput liat terintegrasi dalam matriks; (3) Penyelaputan pada slikenside (stress coating) hampir sama dengan penyelaputan pori oleh liat iluviasi. Khalifa dan Buol (1968) mempelajari genesis selaput liat pada tanah Typic Hapludult menemukan bahwa, komposisi selaput liat pada horison argilik sama dengan yang berada pada horison A. Dikatakan pula bahwa, selaput liat berada secara kontinyu pada permukaan ped dan sekitar lubang akar.
17
Tanah Inceptisol
Aurousseau et al.(1985) mengatakan bahwa, kenampakan genetik secara mikromorfologi pada horison kambik sangatlah lemah. Berdasarkan hal tersebut, maka studi mikromorfologi pada horison ini sangat jarang dilakukan. Namun sesuai dengan definisi dari horison tersebut, maka struktur tanah merupakan kriteria utama untuk dapat mengidentifikasi horison kambik. Beberapa bentuk keberadaan horison kambik secara mikromorfologi yang ada, dibedakan sebagai berikut:
Mikromorfologi horison kambik yang bersifat masam memiliki tekstur struktur gumpal halus yang terbagi lagi menjadi mikrogranular struktur. Ditemukan pula struktur gumpal membulat dengan ukuran halus. Terdapat porositas interagregat yang tinggi (50%) akibat adanya struktur mikrogranular. Sedangkan pada daerah yang memiliki struktur gumpal porositas interagregatnya adalah tubular.
Selanjutnya dikatakan bahwa kenampakan mikromorfologi pada tanah-tanah yang memiliki horison kambik berkapur biasanya dijumpai skeleton yang mengandung butir-butir kalsit dengan jumlah yang bervariasi. Penelitian yang dilakukan oleh Kowalinski (1969, 1974, dan 1978), Durand(1979) dalam Aurosseau et al., 1985, menjumpai bahwa, pada horison kambik pada tanah berkapur memiliki jenis pori packing void, planes, dan vughs. Terdapat banyak channel pori akibat intensifnya aktivitas mikroorganisme. Memiliki agregat yang membulat dengan retakan halus, dan banyak pori channel. Kenampakan pedologi adalah fecal pelet, glabulae, dan tidak terdapat argillan.
berwarna abu-abu atau hitam. Plasma berwarna kecoklatan dengan birefringen lemah. Memiliki free packing fabric dan close packing fabric.
Bahan Induk Tanah
Bahan induk dianggap sebagai faktor pembentuk tanah yang amat penting oleh perintis pedologi (Dokuchaev, 1887 dalam Hardjowigeno, 1993). Di katakan pula oleh Jenny (1941) bahwa bahan induk adalah keadaan tanah pada waktu nol (time zero) dari proses pembentukan tanah. Di daerah tropika basah, selain faktor iklim, bahan induk merupakan faktor pembentuk tanah yang paling dominan pengaruhnya, yang akhirnya menentukan jenis tanah yang terbentuk dan potensinya untuk pertanian.
Birkeland (1974) menyatakan bahwa, penyebaran partikel liat pada tanah yang mengalami perkembangan sedang sampai kuat ditandai oleh rendahnya kandungan liat pada horison A dan C, maksimum pada horison B. Kandungan liat dapat dipengaruhi oleh bahan induk. Jika bahan induk mengandung mineral yang mudah lapuk maka akan menghasi lkan banyak liat, sebagian liat akan terakumulasi pada horison B sehingga teksturnya lebih halus, sebaliknya bila bahan induk sukar dilapuk maka hanya sedikit liat yang terakumulasi pada horison B. Karena horison argilik terbentuk dengan laju yang relatif lambat, maka permukaan geomorfik haruslah relatif stabil dan dalam periode yang lama.
Hasil observasi mikromorfologi pada tanah Planosol berbahan induk volkanik oleh Jongmans et al. (1991) menunjukkan bahwa, perubahan fragmen batuan volkanik dan biotit menjadi sumber utama fraksi liat. Perbedaan tekstur pada tanah tersebut akibat iluviasi liat, selain pelapukan dan pembentukan baru (neoformation).
19 pada kedalaman 36 cm dan batas bawah 113 cm dari permukaan. Dikatakan horison argilik tersebut terjadi secara kontinu dan tidak diselingi batuan, mineral liat yang dominan adalah haloisit. Tirtoso (1984) mengklasifikasikan tanah di daerah Cikarawang yang berbahan induk volkanik sebagai Tropudult dengan tebal horison argilik sekitar 40 cm dan mineral liat yang dominan adalah haloisit. Alghan (1980) mengklasifikasi tanah pada suatu lereng yang berasal dari bahan induk volkanik di daerah Cigudeg, berturut-turut dari puncak lereng sampai lereng paling bawah, sebagai Orthoxic Tropohumult, Typic Tropohumult, Epiaquic Tropohumult, dan Aquic Tropudalf.
Pada daerah yang berbahan induk sedimen kapur (Jonggol dan sekitarnya) Witja ksono (1986) mengklasifikasikan tanah-tanah Typic Tropaqualf dan Aquic Tropudalf (Bt 10-51 cm), dan Vertic Tropudalf (Bt 10 – 55 cm), mineral yang dominan adalah montmorilonit. Namun demikian Penelitian pada tanah-tanah berargilik dengan bahan induk sedimen dan volkanik di Indonesia masih sangatlah terbatas.
Tanah-tanah dengan Horison Penimbunan Liat
Tanah Alfisol
Morfologi yang menonjol pada tanah Alfisol adalah adanya horison eluviasi dan iluviasi. Thorp dan Smith (1959) menyimpulkan bahwa eluviasi liat di horison A dan iluviasi liat di horison B merupakan faktor penyebab utama terjadinya perbedaan tekstur antara kedua horison ini. Rust (1983) menyatakan bahwa horison permukaan pada tanah Alfisol ditandai dengan warna tanah yang terang. Pada tanah yang tidak diolah seperti hutan, jatuhan daun merupakan sumber bahan organik tanah. Pada horison ini belum terjadi perkembangan struktur yang jelas.
Horison argilik pada tanah Alfisol, sebagaimana yang ditemukan pada tanah-tanah lain, membutuhkan periode waktu dimana solum atau bagian solum mengalami proses kekeringan. Dengan demikian hasil pelapukan maupun koloid-koloid yang terlarut di bagian atas solum kemudian dapat terendapkan pada permukaan struktur, di dala m pori, maupun pada lubang akar. Bartelli dan Odell (1960) mengatakan bahwa zona pengendapan akan bervariasi, umumnya menjadi lebih dalam pada tanah-tanah yang bertekstur kasar. Penelitian tentang horison argilik oleh Nettleton et al. (1975) diperoleh bahwa jika horison argilik terbentuk akibat proses translokasi liat, maka pada horison tersebut tidak hanya mengandung lebih banyak liat dari horison A tetapi harus lebih banyak mengandung liat halus. Selanjutnya dikatakan pula bila pada horison tersebut tidak terjadi proses pengembangan dan pengkerutan yang jelas maka harus memiliki selaput liat.
Tanah Ultisol
21 Banyak Ultisol terutama yang terletak pada lahan yang stabil tidak memiliki selaput liat seperti yang dikemukakan oleh Gamble et al. (1970). Ultisol di daerah tropik cenderung memiliki horison E yang bertekstur agak lebih halus, mengandung lebih banyak bahan organik dan besi, dibanding Ultisol yang berasal dari subtropik.
Pencucian yang ekstensif terjadi pada Ultisol telah mengakibatkan berpindahnya basa-basa, konsentrasi basa berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini menunjukkan bahwa siklus biologi terjadi bersamaan dengan proses pencucian. Permukaan tanah Ultisol yang berdrainase baik berwarna terang (epipedon okrik). Biasanya dijumpai lapisan yang hitam (10 cm) yang menunjukkan adanya proses melanisasi pada Ultisol. Proses ini disertai proses mineralisasi yang sangat cepat pada tanah Ultisol yang berdrainase baik. Kandungan bahan organik yang relatif tinggi dijumpai pada Ultisol yang berdrainase buruk (Umbraaquults). Saat permukaan yang berwarna gelap berkembang di bawah kondisi alamiah maka, kejenuhan basanya (NH4OAc) biasanya kurang dari 50%, dan diklasifikasikan sebagai epipedon umbrik. Kebanyakan epipedon umbrik yang telah dikapur dapat berubah menjadi epipedon molik. Tanah yang mempunyai epipedon molik akibat pengapuran dapat diklasifikasikan ke dalam ordo Ultisol jika bahan yang berada di lapisan bawahnya merupakan horison argilik dan memiliki kejenuhan basa (jumlah kation) yang cukup rendah (< 35%).
mengantisipasi perubahan dalam klasifikasi tanah karena praktek pengelolaan tanah.
Dua kenampakan yang umum tapi tidak harus ada pada Ultisol adalah plintit dan fragipan. Plintit dapat muncul pada horison bawah permukaan di Ultisol yang berkembang pada lansekap yang tua dan stabil. Gamble et al. (1970). Sumber daripada plintit adalah bercak yang berwarna merah terang, umumnya dengan pola retikulasi (reticulate) di dalam tanah. Saat terjadi pembasahan dan pengeringan yang berulang, beberapa dari bercak merah tersebut mengeras dan tidak dapat balik (irreversible). Namun tidak semua bercak merah di dalam tanah akan mengeras menjadi plintit. Dari banyak pengamatan plintit di Ultisol mengindikasikan bahwa plintit dijumpai pada kedalaman dimana terdapat fluktuasi air tanah musiman. Walaupun plintit dijumpai pada banyak Ultisol, hanya apabila menjadi pembatas drainase yang dimasukkan pada sistem taksonomi, yakni berada sekitar 10 – 15% dari volume horison tanah.
Fragipan dapat dijumpai pada Ultisol, khususnya pada Ultisol yang berdrainase buruk. Fragipan sama halnya dengan lapisan plintit, dapat menjadi sebagai pembatas pergerakan air di dalam tanah. Pada Ultisol fragipan menjadi baur dengan lapisan plintit dimana bercak kelabu terjadi pada zona seperti bercak plintit yang berwarna merah. Fragipan juga dapat ditemukan tanpa adanya plintit, dimana terdapat dalam bentuk warna kelabu. Adanya fragipan pada Ultisol telah dilaporkan oleh Daniels et al. (1966); Nettleton et al. (1968); Soil Survey Staff, (1960) namun genesis daripada fragipan masih belum jelas.
23 Ultisol adalah A, E, BE, Bt, BC, dan C. Peningkatan liat bertambah secara berangsur dari bagian atas horison B menjadi maksimum pada bagian atas horison argilik, kemudian berkurang dengan bertambahnya kedalaman ke horison C. Ketebalan solum tanah sekitar 1,5 sampai 2 meter.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada 10 pedon pewakil yang tersebar di daerah Kabupaten Bogor dan Banten (Gambar 1 dan 2). Pedon-pedon pewakil tanah Ultisol Alfisol, Inceptisol yang berada di Kabupaten Bogor (Tabel 1 dan Gambar 1)) dan berkembang dari Batuliat diambil di desa Cendali, Cijayanti-1, dan Cijayanti-2; yang dari Batu kapur di desa Pasircabe (Jonggol); dan yang dari bahan Volkanik-Andesitik diambil di desa Ciampea dan Jasinga. Sementara dua pedon pewakil yang berkembang dari bahan Volkanik-Dasitik, berada di Kabupaten Serang (Tabel 1, Gambar 2) diambil di desa Cipocok. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Genesis, Klasifikasi, dan Mineralogi Tanah, dan Laboratorium Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Analisis mineral liat dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Analisis irisan tipis dilakukan di Labortorium Tanah, Fakultas Geografi, UGM Yogyakarta. Waktu penelitian mulai pada bulan Juni 2003 – Juni 2004.
Tabel 1. Lokasi, Jenis Bahan Induk, dan Regim Kelembaban Tanah Pedon-pedon Pewakil.
No. Pedon Lokasi Bahan Induk Regim Kelembaban Tanah AM1 AM2 AM3 AM4 AM5 AM6 AM7 AM8 AM9 AM10
Kabupaten Bogor :
Cendali Cijayanti-1 Cijayanti-2 Pasircabe-Jonggol Pasircabe-Jonggol Pasircabe-Jonggol Jasinga Ciampea
Kabupaten Serang :
27
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 pedon pewakil tanah Alfisol dan Ultisol, terdiri dari 65 contoh tanah berasal dari masing-masing horison. Regim kelembaban tanah Ultisol, Alfisol, atau Inceptisol yang berkembang dari bahan induk batuan sedimen (Batu liat dan Batukapur) dan bahan Volkanik-Andesitik, di daerah Kabupaten Bogor adalah akuik dan perudik. Sedangkan Ultisol, Alfisol, atau Inceptisol dari bahan Volkanik-Dasitik yang berada di daerah Kabupaten Serang mempunyai regim kelembaban tanah ustik dan akuik.
Metodologi Penelitian
Penelitian Lapangan
Penentuan lokasi pedon pewakil masing-masing tanah yang diteliti didasarkan pada kegiatan pendahuluan, yakni pengamatan tanah dengan menggunakan Peta Tanah Tindjau Mendalam Kabupaten Bogor dan sekitarnya, skala 1: 50.000 (Hardjono, dan Soepraptohardjo, 1966), Peta Tanah Tinjau Kabupaten Bogor, skala 1 : 250.000 (Lembaga Penelitian Tanah, 1966), Peta Geologi Lembar Bogor , skala 1: 100.000 (Effendi et al., 1998) dan Peta Rupabumi Lembar Bogor, Cileungsi, Leuwiliang, dan Serang, skala 1:25.000 (Bakosurtanal, 1998).
mengikuti prosedur yang diuraikan dalam Soil Survey Manual (Soil Survey Division Staff, 1993).
Pedon-pedon pewakil yang diambil tersebut, telah disesuaikan dengan keadaan penyebaran jenis tanah dan bahan induk di lokasi penelitian. Profil tanah dibuat dengan ukuran sekitar 2 X 1,5 meter (panjang x lebar), dengan kedalaman sampai 2 meter. Deskripsi morfologi lapang dibuat pada masing -masing profil meliputi semua horison tanah berikut sifat-sifatnya, antara lain, tekstur, struktur, konsistensi, warna, karatan, selaput liat, dan kedalaman perakaran, serta sifat-sifat fisik dan lingkungan lain yang berkaitan dengan kondisi profil.
Dari setiap horison yang didesripsi diambil contoh tanah sekitar 2 kg , untuk kebutuhan analisis fisika, kimia, dan mineralogi tanah. Contoh tanah utuh (tidak terganggu) untuk keperluan analisis irisan tipis (thin section), diambil pada horison argilik, mengikuti metode Kubiena (1938), dan interpretasinya berdasarkan metode deskripsi irisan tipis oleh Bullock et al. (1985). Data morfologi tanah dan keadaan fisik lingkungan di sekitar pedon (nama tempat, ketinggian, iklim, kedudukan pedon dalam topografi, dan informasi penunjang lainnya) didokumentasikan pada lembar isian yang sudah disiapkan sebelumnya
Berdasarkan sifat-sifat morfologi tanah yang diperoleh dan hasil analisis sifat tanah di laboratorium, maka tanah di klasifikasikan berdasarkan sistem klasifikasi tanah Soil Taxonomy USDA (Soil Survey Staff, 1998; 1999) sampai tingkat famili tanah.
Penelitian Laboratorium :
(1) Analisis fisika dan kimia
29 kemudian diayak dengan ayakan ukuran 2 mm, untuk memperoleh tanah halus < 2mm, yang siap untuk bahan analisa laboratorium. Jenis analisis dan metode yang dilakukan, disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis-jenis Analisis Tanah, Metode dan Kegunaannya dalam Penelitian.
No. Sifat tanah Metode Kegunaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tekstur C-Organik
Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Kemasaman terekstrak (Extractable Acidity)
Kation dapat tukar (Ca, Mg, K, dan Na-dd)
Kemasaman dapat tukar (Exchangeable Acidity) Besi Bebas (Fe2O3)
Mineral liat
Mineral pasir total
Mikromorfologi tanah
Pipet
Walkley and Black 1N NH4OAc, pH7
BaCl2-TEA, pH 8,2
1N NH4Oac, pH7
1 N KCl
Ditionit-sitrat- bikarbonat X-ray Diffraction
Line counting
Irisan tipis (Bullock et al., 1985)
Distribusi ukuran partikel(liat halus/liat total); genesis dan klasifikasi tanah
Genesis & Klasifikasi tanah Klasifikasi tanah
Klasifikasi tanah
Klasifikasi tanah
Klasifikasi tanah
Akumulasi besi, (Genesis tanah ) Jenis liat (Genesis dan klasifikasi tanah ) Jenis mineral pasir (Genesis tanah) Sifat mikromorfologi (Genesis dan klasifikasi tanah)
(2) Analisis mineralogi
(3) Analisis Mikromorfologi
Contoh tanah yang tidak terganggu diambil dari horison Bt pada masing-masing pedon pewakil menggunakan metode kotak Kubiena (Kubiena, 1938; Bullock et al., 1985) dengan beberapa modifikasi. Cara pengambilan contoh tanah untuk kebutuhan analisis irisan tipis ini dilakukan dengan menentukan titik pengambilan yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, mempelajari karakteristik horison penimbunan liat. Dengan demikian, contoh diambil pada horison Bt pada masing-masing pedon.
Ukuran contoh yang digunakan adalah ukuran Mammoth (20X10 cm) yang dimodifikasi berdasarkan metode Jongerius dan Heintzberger (1975). Orientasi contoh irisan tipis, sesuai dengan tujuan mempelajari tentang iluviasi liat, adalah orientasi horizontal.
Pengamatan dan deskripsi selaput liat serta kenampakan mi kromorfologi lainnya pada horison penimbunan liat, didasarkan pada konsep bahan kasar dan halus dari ”soil fabric” dikaitkan dengan pola distribusinya dan bireference fabric ( b-fabric) dari bahan halus (Brewer, 1976; Bullock et al., 1985).
Analisis Data
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Daerah penelitian terletak di daerah Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat
(pedon AM1 s/d AM8), dan Kabupaten Serang Propinsi Banten (pedon AM9 dan
AM10) disajikan pada Peta lokasi penelitian (Gambar 1 dan Gambar 2).
Geologi
Keadaan geologi lokasi penelitian diuraikan berdasarkan data dari peta
geologi Daerah Bogor dan Sekitarnya yang bersumber pada Peta Geologi Jawa
dan Madura, Lembar Jawa Barat, Skala 1 : 500.000 (Direktorat Geologi, 1968), dan
Geologi Lembar Serang skala 1 : 100.000 (Rusmana et al., 1991) dan disajikan
pada Gambar 3 dan 4.
Lokasi pedon-pedon pewakil di Kabupaten Bogor (Gambar 3) : Daerah
Cendali (pedon AM1) terbentuk dari formasi Bojongmanik Tmb (Tertiary miosen
Bojongmanik), yakni endapan tersier zaman Miosen yang terdiri dari endapan
batugamping, tuff batuapung, dan batuliat. Daerah Cijayanti (pedon AM2 dan AM3)
merupakan endapan batu napal dan batu serpih berumur awal Miosen dari formasi
Jatiluhur Tmj (Tertiary Miosen Jatiluhur). Pedon AM1, AM2, dan AM3 pada Gambar
3 berada pada fasies Sedimen Pliosen (warna kuning). Daerah Pasircabe, Jonggol
(pedon AM4, AM5, dan AM6) berasal dari bahan endapan laut dan sungai
(kuarter), serta kapur pada tertier muda. Di daerah Jasinga (pedon AM7) terbentuk
dari bahan Volkanik-Andesitik. Daerah Ciampea (pedon AM8) terbentuk dari batuan
volkan (Qvst) (gunung Salak) merupakan endapan kuartier. Pada Gambar 3, pedon
35
Lokasi pedon pewakil di Kabupaten Serang, Banten: daerah Cipocok Serang
(Pedon AM9 dan AM10). Geologi di daerah Serang dipengaruhi oleh aktivitas
gunung berapi sejak akhir tersier (late Tertiary). Berdasarkan peta geologi Serang
dan sekitarnya, skala 1:100.000 oleh Rusmana et al. (1991) (Gambar 4), daerah
penelitian dimana pedon AM9 dan AM10 tersebut, umumnya terbentuk dari bahan
volkanik pada masa kuarter (Quaternary), yang membentuk kompleks bahan
volkanik, berupa bahan tufa Banten Qpvb (Quarternary pleistosin volkanik Banten)
atau dikenal dengan “ Tuf Banten” yang terbentuk dari bahan-bahan tuf, breksi
batu-apung dan batupasir tufan.
Topografi
Topografi wilayah penelitian di Kabupaten Bogor: Daerah Cendali (AM1)
terdiri dari topografi yang agak datar sampai bergelombang. Daerah Cijayanti, Bukit
Sentul bertopografi berbukit (AM2) dan agak datar (AM3). Daerah Pasircabe,
Jonggol (AM4, AM5, dan, AM6), memiliki topografi yang berombak yang merupakan
kompleks perbukitan kapur. Di daerah Jasinga (AM7)dan Ciampea (AM8)
merupakan daerah berbukit.
Topografi di daerah Serang (AM9 dan AM10) merupakan bagian dataran
rendah pantai Utara Jawa Barat, yang berketinggian kira-kira 25 meter dpl, dan
umumnya memiliki topografi datar sampai berombak. Lokasi pengambilan contoh
tanah merupakan daerah yang datar (AM10) dan berombak (AM9). Adapun posisi
37
Gambar 5. Lokasi Setiap Pedon Pewakil dalam Topografi
Iklim
Iklim merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap proses
pembentukan tanah, melalui faktor suhu dan curah hujan. Dimana keduanya secara
langsung berpengaruh terhadap bahan induk sebagai sumber utama bahan
pembentuk tanah. Data iklim diambil dari stasiun yang terdekat dengan daerah
lokasi pengambilan pedon dalam penelitian dan disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Menurut perhitungan dengan pendekatan model yang dikemukakan oleh
Newhall (1972), dalam Wambeke (1985) maka, regim suhu tanah daerah penelitian
memiliki regim suhu tanah isohipertermik (Lampiran 12). Pendekatan tersebut
diperoleh dengan rumus Suhu tanah = 2,5 + suhu udara rata-rata tahunan (oC).
Isohipertemik adalah regim suhu tanah di mana, suhu tanah rata-rata tahunan
Cendali (AM1) Cijayanti-1
(AM2) Cijayan
ti-2
(AM3)
Pasircabe (AM4)
Jasinga (AM7)
Ciampea (AM8)
Cipocok (AM9) (AM5)
(AM6
)
adalah 22 oC atau lebih tinggi, dan perbedaan antar suhu tanah musim panas
rata-rata dan musim dingin rata-rata-rata-rata, adalah kurang dari 6 oC.
Pada daerah penelitian di Kabupaten Bogor, regim kelembaban tanah yang
ada adalah akuik, dan perudik serta ustik di Kabupaten Serang. Akuik (bahasa Latin,
aqua, atau air) adalah suatu regim reduksi dalam tanah yang jenuh oleh air dan
bebas oksigen. Lamanya waktu tanah jenuh air sekurang-kurangnya beberapa hari
(Soil Survey Staff, 2003).
Perudik (bahasa Latin, per atau pada keseluruhan waktu dan udus, atau
lembab) apabila penggal penentu (control section) kelembaban tanah tidak pernah
kering (lebih basah dari udik) di sebarang bagiannya, selama 90 hari kumulatif
dalam setahun (Soil Survey Staff, 1999). Dalam klasifikasi tanah, regim kelembaban
perudik jarang digunakan, sehingga dalam penelitian ini digunakan udik sebagai
regim kelembaban tanah. Ustik adalah regim kelembaban tanah (bahasa Latin,
ustus, terbakar, menyatakan kekeringan) di mana penampang kontrol kelembaban
kering pada sebagian atau semua bagiannya selama 90 hari kumulatif atau lebih,
dalam setahun.
Penggunaan lahan
Di daerah penelitian Kabupaten Bogor, penggunaan lahan umumnya untuk
usahatani padi sawah, bila ketersediaan air cukup (air tanah dangkal). Sedangkan
pada lokasi yang memiliki air tanah dalam, usahatani umumnya palawija.
Di daerah penelitian Kabupaten Serang, khususnya di daerah dataran (plain)
Tabel 3. Data Curah Hujan (mm) Bulanan Daerah Sekitar Penelitian (Rata-rata 10 Tahun).
Keterangan: Sumber data Badan Geofisika dan Meteorologi Jakarta, Tahun 1977-1986
Regim KT = Regim Kelembaban Tanah, Regim ST = Regim Suhu Tanah (lihat Lampiran 12).
Stasiun Regim
No Ketinggian Jan Feb Mar A pr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des TahunKT
Pedon AM1:
1 Cimulang 150m dpl 513 380 507 398 330 235 217 245 337 320 369 313 4164 Akuik
Pedon AM2 dan AM3 :
2 PasirMaung 218m dpl 475 311 419 359 402 190 273 293 380 490 405 467 4464 Perudik(AM2)
Akuik(AM3)
Pedon AM4,A M5,dan AM6 :
3 Jonggol 34m dpl 388 248 297 361 210 284 213 151 178 225 249 311 3115 Perudik(AM4,5)
Akuik
Pedon AM7:
4 Jasinga 50m dpl 310 173 216 370 242 170 215 178 216 247 262 253 2852 Perudik
Pedon AM8 :
5 Dramaga 220m dpl 382 303 409 415 338 264 275 191 285 339 360 341 3902 Perudik
Pedon AM9 dan AM10 : Ustik (AM9)
6 Serang 25m dpl 289 225 191 130 115 68 75 69 67 99 120 185 1633 Akuik (AM10)
Tabel 4. Data Suhu Udara Maksimum, Minimum, dan Rata-rata Bulanan Daerah Kabupaten Bogor, Diwakili Stasiun Darmaga (250 dpl) (1989-1999).
Bulan Suhu udara (oC)
maksimum minimum Rata-rata
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata 29 30 31 31 32 31 32 32 32 32 30 32 31 23 22 22 23 23 22 21 21 22 22 23 22 22 26 26 26,5 27 27,5 26,5 26,5 26,5 27 27 26,5 27 26,5
padi sawah. Pada musim kering, penggunaan tanah beralih ke industri bata
atau genteng. Untuk lokasi yang bertopografi berombak di mana air tanah
dijumpai lebih dalam, penggunaan lahan umumnya adalah usahatani palawija
serta buah-buahan.
Vegetasi
Di semua lokasi penelitian, baik di Kabupaten Bogor maupun Serang
sudah tidak dijumpai vegetasi asli, kecuali di perbukitan kapur di dekat lokasi
pedon AM-4 dan AM-5 (Pasircabe, Jonggol) masih terdapat vegetasi rumput
alami, berupa tumbuhan babadotan (Ageratum conyzoides), harendong
(Melastoma malabatricum), kirinyuh (Eupathorium odoratum), dan alang-alang
(Imperata cylindrica). Selain lokasi tersebut, vegetasi yang dijumpai umumnya
berupa tanaman pertanian seperti padi, palawija, dan tanaman tahunan
(buah-buahan). Pada saat penelitian di daerah Pasircabe, Jonggol, yang merupakan
41
pertanian, karena lokasi tersebut digunakan untuk peternakan dengan vegetasi
rumput. Selain itu tanaman di sekitar kebun percobaan yang dijumpai
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat-sifat Tanah
Sifat Morfologi dan Fisika Tanah
Pedon Berbahan Induk Batuliat
Sifat morfologi dan fisika tanah masing-masing horison pada pedon pewakil berbahan induk batuliat disajikan pada Tabel 5. Adapun deskripsi profil tanah masing-masing pedon disajikan pada Lampiran 1, 2, dan 3.
Pedon AM1. Susunan horison pedon ini terdiri dari horison Ap yang sangat tipis (10 cm), dan horison Bt pada kedalaman 10 cm sampai 130 cm, serta horison peralihan BC pada kedalaman 130-200 cm. Hasil pengamatan terhadap warna tanah menunjukkan bahwa horison permukaan (Ap) memiliki warna kelabu kecoklatan (10YR 5/1), sama dengan warna horison Bt bagian atas. Sedangkan bagian bawah Bt, berwarna kelabu sampai kelabu terang kecoklatan (10YR 6/1–6/2), warna yang sama dijumpai sampai pada horison peralihan BC. Dapat dikatakan bahwa, warna horison Bt dan BC pedon ini, dipengaruhi oleh kondisi reduksi dengan dijumpainya air tanah