• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh peubah sosial ekonomi terhadap perubahan penggunaan dan penutupan Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh peubah sosial ekonomi terhadap perubahan penggunaan dan penutupan Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak"

Copied!
503
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi

terhadap Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan

di Taman Nasional Gunung Halimun Salak

HARYANTO YATAP

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi

terhadap Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan

di Taman Nasional Gunung Halimun Salak

HARYANTO YATAP

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi terhadap Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2008

Haryanto Yatap

(4)

ABSTRACT

HARYANTO YATAP. The Influence of Socio-economic Variables on Landuse and Landcover Change in Gunung Halimun Salak National Park. Under direction of HARDJANTO and LILIK BUDI PRASETYO.

Gunung Halimun Salak is one of national park in Indonesia, located in West Java and Banten Province. In 2003, government has expanded its area by more than 70000 hectares. It caused a lot of conflicts between local communities and national park officials. Many case studies showed that the local communities has used the natural resources for construction materials, fuel wood, medicine, food, cultural needs, forages, hunting, handicraft, gold mining, agriculture land, and settlement. There was clear evidence that in Gunung Halimun Salak National Park, during 15 years period (1989-2004), forest cover area decreased by more than 25%.

The objectives of the research are: 1) to identify socio-economic variables causing landuse and landcover change; 2) to estimate influence of key socio-economic variables; 3) to estimate the need of agricultural land and settlement for local communities; and 4) to estimate the direct benefit value of the national park.

Selection of sampling location was used by stratified cluster sampling. Socio-economic data collected from interviews with 900 head of households which lived in 30 villages in and around the national park. The technique of data processing analysis were done using spatial analysis, descriptive analysis, linear regression analysis, population pressure analysis, and substitution and market price analysis.

The result of analysis showed that the population growth, population density, land ownership, agricultural land and settlement expansion are the key variables that influenced landuse and landcover change. The need of agricultural land was 0.54 hectares per person, and the direct benefit value of the national park was more than IDR 237 billion per year.

(5)

RINGKASAN

HARYANTO YATAP. Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi terhadap Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Dibimbing oleh HARDJANTO dan LILIK BUDI PRASETYO.

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang berada di Provinsi Jawa Barat dan Banten. Adanya perluasan kawasan TNGHS pada tahun 2003, telah menimbulkan konflik berkepanjangan antara pengelola TNGHS, pemerintah daerah, dan masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi peubah-peubah sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan pada berbagai tipologi desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS. Selain itu, akan diduga pula pengaruh peubah sosial ekonomi kunci/dominan pada setiap tipologi desa, kebutuhan lahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup warga desa, serta nilai manfaat langsung dari kawasan TNGHS dan trend perubahannya.

Untuk mendapatkan berbagai data yang dibutuhkan pada lokasi penelitian, dilakukan pengambilan sampel dengan metode stratified cluster sampling. Pembuatan cluster dilakukan dengan stratifikasi awal terhadap desa-desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS berdasarkan pada: 1) Laju penurunan luas hutan rata-rata: 0-2.0%/tahun, 2.1-4.0%/tahun, 4.1-6.0%/tahun, dan 6.1-8.0%/tahun; 2) Sosial kultural masyarakat: tradisional dan non-tradisional, dan 3) status desa: enclave dan non-enclave. Penarikan sampel terdiri dari dua tahap, yaitu: tahap pertama untuk menetukan primary sampling unit (psu); dan tahap kedua untuk menentukan secondary sampling unit (ssu). Pada tahap pertama adalah berupa pemilihan sampel desa, didasarkan pada hasil stratifikasi yang dilakukan pada tahap awal, dengan sampling fraction sebesar 25%. Pada tahap kedua, pengambilan data dilakukan dengan memilih 30 kepala keluarga yang berada di desa-desa sampel terpilih.

Analisis terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS selama periode tahun 1989-2004 dilakukan secara spasial terhadap citra landsat tahun 1989, 1992, 1995, 1998, 2001, dan 2004. Analisis hubungan antara peubah sosial ekonomi kunci/dominan terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan dilakukan dengan menggunakan regresi linier berganda. Pendugaan terhadap kebutuhan lahan bagi anggota masyarakat, dilakukan dengan menggunakan analisis tekanan penduduk. Besarnya nilai manfaat langsung kawasan TNGHS diduga dengan menggunakan analisis harga barang pengganti dan harga pasar.

(6)

kelompok hutan di kawasan TNGHS kembali ditetapkan sebagai kawasan kehutanan, yang dikelola oleh BKSDA, Perhutani, dan Taman Nasional.

Aktivitas masyarakat pada pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup, merupakan salah satu penyebab utama terjadinya perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS. Kebutuhan lahan pertanian dan perkebunan, pemukiman, pembuatan sarana dan prasarana, dan pemanfaatan langsung sumber daya hutan, telah memberikan kontribusi yang nyata terhadap adanya perubahan penutupan lahan di kawasan TNGHS. Selain itu, adanya perubahan peruntukan lahan sebagai akibat dari perubahan rencana pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah, juga merupakan penyebab utama rusaknya sebagian kawasan TNGHS.

Berdasarkan pengelompokkan laju penurunan luas hutan alam pada desa-desa di kawasan TNGHS, sebagian besar desa (47 desa) memiliki laju penurunan sebesar 0-2.0% per tahun. Selain itu, terdapat juga desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam sebesar 2.1-4.0% per tahun sebanyak 32 desa (33.33%), desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam sebesar 4.1-6.0% per tahun sebanyak 12 desa (12.50%), dan desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam sebesar 6.1-8.0% per tahun sebanyak 5 desa (5.21%).

Berdasarkan sosial kultural masyarakat, di kawasan TNGHS terdapat 10 desa yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh masyarakat tradisional, yaitu: Desa Sirnaresmi, Kanekes, Cisungsang, Kujangsari, Situmulya, Ciparay, Ciusul, Lebaksitu, Sirnarasa, dan Citorek. Berdasarkan status desa, terdapat 89 desa (83.96%) yang berada di luar kawasan enclave. Sedangkan desa-desa yang berada di dalam kawasan enclave adalah sebanyak 7 desa (16.04%), yaitu: Desa Malasari, Citorek, Ciparay, Ciusul, Cisarua, Lebak Situ, dan Lebak Gedong.

Proses stratifikasi desa merupakan pengelompokkan desa berdasarkan kombinasi dari kriteria laju penurunan luas hutan alam, sosial kultural masyarakat, dan status desa. Hasil stratifikasi terhadap seluruh desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS dapat dikelompokkan menjadi 10 strata. Setiap strata desa dianggap mewakili setiap tipologi desa yang ada di kawasan TNGHS. Strata dengan jumlah desa terbanyak adalah strata 1 (38.54%), diikuti oleh strata 5 (3.21%), dan strata 9 (12.50%).

Penurunan luas hutan alam di kawasan TNGHS dari tahun ke tahun terjadi secara terus menerus. Selama periode tahun 1989-2004, luas hutan alam pada kawasan TNGHS telah berkurang seluas 21586.1 hektar (25.68%). Pengurangan luas hutan alam terbesar terjadi pada periode tahun 1992-1995, yaitu seluas 5467.5 hektar. Sebaliknya, penurunan luas hutan alam terendah terjadi pada periode tahun 1998-2001, yaitu seluas 2823.5 hektar. Terdapat kecendrungan bahwa laju penurunan luas hutan alam pada desa-desa yang tidak dipengaruhi oleh masyarakat tradisional dan di luar kawasan enclave adalah lebih tinggi, jika dibandingkan dengan laju penurunan luas hutan alam pada desa-desa yang dipengaruhi oleh masyarakat tradisional dan berada di dalam kawasan enclave.

(7)

pencaharian pokok kepala keluarga pada desa-desa sampel adalah pada sektor pertanian, dengan jumlah pendapatan rata-rata setiap kepala keluarga pada tahun 2004 adalah sebesar Rp 5.5 juta per tahun.

Kepemilikan dan penguasaan lahan yang ada pada desa-desa di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS, didapatkan dari beberapa cara, yaitu: warisan orang tua, jual beli, sewa, bagi hasil, dan menggarap pada lahan kehutanan. Pada tahun 2004, luas kepemilikan lahan rata-rata setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel adalah seluas 0.95 hektar. Dari tahun ke tahun, terdapat kecendrungan bahwa kepemilikan lahan setiap kepala keluarga semakin sempit.

Dari hasil identifikasi terhadap berbagai peubah sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS, dapat diketahui beberapa peubah yang pengaruhnya sangat dominan yaitu: kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, luas kepemilikan lahan, perluasan pemukiman, dan perluasan lahan pertanian.

Pengaruh peubah sosial ekonomi kunci/dominan (laju pertumbuhan penduduk/X1, laju perubahan kepemilikan lahan/X2, laju perubahan luas lahan

pertanian/X3) terhadap laju penurunan luas hutan alam (Y1), hanya terdapat pada

desa-desa yang termasuk strata 9, dengan model persamaan: Y1=3.471 + 5.627X1

+ 3.000X2 – 0.230X3 (R2=1).

Pengaruh peubah sosial ekonomi kunci/dominan (kepadatan penduduk/X1,

luas kepemilikan lahan/X2, luas pemukiman/X3, luas areal pertanian/X4) terhadap

persentase luas hutan alam (Y2) terdapat pada desa-desa strata 1, 2, 5, 7, dan 9.

Model persamaan yang didapatkan adalah sebagai berikut: (1) strata 1: Y2=46.550–0.028X1 (R2=0.972); (2) strata 2: Y2=50.878+94.416X2 (R2=0.883);

(3) strata 5: Y2=42.844–0.086X1–0.822X3 (R2=0.997); (4) strata 7: Y2=74.437–

0.586X3 (R2=0.995); (5) strata 9: Y2=45.897–0.077X1 (R2=0.994).

Pada desa-desa non-tradisional dan non-enclave, terdapat kecendrungan bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan penduduk dan laju perubahan luas kepemilikan lahan, maka laju penurunan luas hutan alam semakin tinggi. Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk dan luas areal pemukiman, maka persentase luas hutan alam semakin rendah. Sedangkan pada desa-desa tradisional dan non-enclave, terdapat kecendrungan bahwa semakin tinggi luas areal pemukiman, maka persentase luas hutan alam semakin rendah.

Untuk dapat hidup layak, setiap warga desa pada desa-desa sampel mebutuhkan biaya hidup rata-rata sebesar Rp 3.72 juta per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup layak tersebut, diperlukan lahan garapan rata-rata seluas 0.54 hektar per orang. Secara keseluruhan, diperkirakan pada tahun 2009 dibutuhkan lahan pertanian bagi setiap warga sebanyak empat sampai lima kali lipat dari luas kepemilikan lahan pada tahun 2004.

Jika diasumsikan bahwa jumlah desa sampel adalah 25% dari keseluruhan desa, dan jumlah responden terpilih adalah 2% dari seluruh kepala keluarga yang ada di desa, maka total nilai manfaat langsung kawasan TNGHS adalah sebesar Rp 237.68 milyar per tahun. Terdapat kecendrungan bahwa nilai manfaat tersebut dari tahun ke tahun semakin menurun, dengan semakin berkurangnya intensitas dan frekuensi pemanfaatan sumber daya hutan.

(8)

©

Hak cipta milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)

Judul Tesis : Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi terhadap Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Nama : Haryanto Yatap NIM : E 051050181

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS Ketua

Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(10)
(11)

Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi

terhadap Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan

di Taman Nasional Gunung Halimun Salak

HARYANTO YATAP

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi

terhadap Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan

di Taman Nasional Gunung Halimun Salak

HARYANTO YATAP

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(13)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi terhadap Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2008

Haryanto Yatap

(14)

ABSTRACT

HARYANTO YATAP. The Influence of Socio-economic Variables on Landuse and Landcover Change in Gunung Halimun Salak National Park. Under direction of HARDJANTO and LILIK BUDI PRASETYO.

Gunung Halimun Salak is one of national park in Indonesia, located in West Java and Banten Province. In 2003, government has expanded its area by more than 70000 hectares. It caused a lot of conflicts between local communities and national park officials. Many case studies showed that the local communities has used the natural resources for construction materials, fuel wood, medicine, food, cultural needs, forages, hunting, handicraft, gold mining, agriculture land, and settlement. There was clear evidence that in Gunung Halimun Salak National Park, during 15 years period (1989-2004), forest cover area decreased by more than 25%.

The objectives of the research are: 1) to identify socio-economic variables causing landuse and landcover change; 2) to estimate influence of key socio-economic variables; 3) to estimate the need of agricultural land and settlement for local communities; and 4) to estimate the direct benefit value of the national park.

Selection of sampling location was used by stratified cluster sampling. Socio-economic data collected from interviews with 900 head of households which lived in 30 villages in and around the national park. The technique of data processing analysis were done using spatial analysis, descriptive analysis, linear regression analysis, population pressure analysis, and substitution and market price analysis.

The result of analysis showed that the population growth, population density, land ownership, agricultural land and settlement expansion are the key variables that influenced landuse and landcover change. The need of agricultural land was 0.54 hectares per person, and the direct benefit value of the national park was more than IDR 237 billion per year.

(15)

RINGKASAN

HARYANTO YATAP. Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi terhadap Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Dibimbing oleh HARDJANTO dan LILIK BUDI PRASETYO.

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang berada di Provinsi Jawa Barat dan Banten. Adanya perluasan kawasan TNGHS pada tahun 2003, telah menimbulkan konflik berkepanjangan antara pengelola TNGHS, pemerintah daerah, dan masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi peubah-peubah sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan pada berbagai tipologi desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS. Selain itu, akan diduga pula pengaruh peubah sosial ekonomi kunci/dominan pada setiap tipologi desa, kebutuhan lahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup warga desa, serta nilai manfaat langsung dari kawasan TNGHS dan trend perubahannya.

Untuk mendapatkan berbagai data yang dibutuhkan pada lokasi penelitian, dilakukan pengambilan sampel dengan metode stratified cluster sampling. Pembuatan cluster dilakukan dengan stratifikasi awal terhadap desa-desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS berdasarkan pada: 1) Laju penurunan luas hutan rata-rata: 0-2.0%/tahun, 2.1-4.0%/tahun, 4.1-6.0%/tahun, dan 6.1-8.0%/tahun; 2) Sosial kultural masyarakat: tradisional dan non-tradisional, dan 3) status desa: enclave dan non-enclave. Penarikan sampel terdiri dari dua tahap, yaitu: tahap pertama untuk menetukan primary sampling unit (psu); dan tahap kedua untuk menentukan secondary sampling unit (ssu). Pada tahap pertama adalah berupa pemilihan sampel desa, didasarkan pada hasil stratifikasi yang dilakukan pada tahap awal, dengan sampling fraction sebesar 25%. Pada tahap kedua, pengambilan data dilakukan dengan memilih 30 kepala keluarga yang berada di desa-desa sampel terpilih.

Analisis terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS selama periode tahun 1989-2004 dilakukan secara spasial terhadap citra landsat tahun 1989, 1992, 1995, 1998, 2001, dan 2004. Analisis hubungan antara peubah sosial ekonomi kunci/dominan terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan dilakukan dengan menggunakan regresi linier berganda. Pendugaan terhadap kebutuhan lahan bagi anggota masyarakat, dilakukan dengan menggunakan analisis tekanan penduduk. Besarnya nilai manfaat langsung kawasan TNGHS diduga dengan menggunakan analisis harga barang pengganti dan harga pasar.

(16)

kelompok hutan di kawasan TNGHS kembali ditetapkan sebagai kawasan kehutanan, yang dikelola oleh BKSDA, Perhutani, dan Taman Nasional.

Aktivitas masyarakat pada pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup, merupakan salah satu penyebab utama terjadinya perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS. Kebutuhan lahan pertanian dan perkebunan, pemukiman, pembuatan sarana dan prasarana, dan pemanfaatan langsung sumber daya hutan, telah memberikan kontribusi yang nyata terhadap adanya perubahan penutupan lahan di kawasan TNGHS. Selain itu, adanya perubahan peruntukan lahan sebagai akibat dari perubahan rencana pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah, juga merupakan penyebab utama rusaknya sebagian kawasan TNGHS.

Berdasarkan pengelompokkan laju penurunan luas hutan alam pada desa-desa di kawasan TNGHS, sebagian besar desa (47 desa) memiliki laju penurunan sebesar 0-2.0% per tahun. Selain itu, terdapat juga desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam sebesar 2.1-4.0% per tahun sebanyak 32 desa (33.33%), desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam sebesar 4.1-6.0% per tahun sebanyak 12 desa (12.50%), dan desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam sebesar 6.1-8.0% per tahun sebanyak 5 desa (5.21%).

Berdasarkan sosial kultural masyarakat, di kawasan TNGHS terdapat 10 desa yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh masyarakat tradisional, yaitu: Desa Sirnaresmi, Kanekes, Cisungsang, Kujangsari, Situmulya, Ciparay, Ciusul, Lebaksitu, Sirnarasa, dan Citorek. Berdasarkan status desa, terdapat 89 desa (83.96%) yang berada di luar kawasan enclave. Sedangkan desa-desa yang berada di dalam kawasan enclave adalah sebanyak 7 desa (16.04%), yaitu: Desa Malasari, Citorek, Ciparay, Ciusul, Cisarua, Lebak Situ, dan Lebak Gedong.

Proses stratifikasi desa merupakan pengelompokkan desa berdasarkan kombinasi dari kriteria laju penurunan luas hutan alam, sosial kultural masyarakat, dan status desa. Hasil stratifikasi terhadap seluruh desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS dapat dikelompokkan menjadi 10 strata. Setiap strata desa dianggap mewakili setiap tipologi desa yang ada di kawasan TNGHS. Strata dengan jumlah desa terbanyak adalah strata 1 (38.54%), diikuti oleh strata 5 (3.21%), dan strata 9 (12.50%).

Penurunan luas hutan alam di kawasan TNGHS dari tahun ke tahun terjadi secara terus menerus. Selama periode tahun 1989-2004, luas hutan alam pada kawasan TNGHS telah berkurang seluas 21586.1 hektar (25.68%). Pengurangan luas hutan alam terbesar terjadi pada periode tahun 1992-1995, yaitu seluas 5467.5 hektar. Sebaliknya, penurunan luas hutan alam terendah terjadi pada periode tahun 1998-2001, yaitu seluas 2823.5 hektar. Terdapat kecendrungan bahwa laju penurunan luas hutan alam pada desa-desa yang tidak dipengaruhi oleh masyarakat tradisional dan di luar kawasan enclave adalah lebih tinggi, jika dibandingkan dengan laju penurunan luas hutan alam pada desa-desa yang dipengaruhi oleh masyarakat tradisional dan berada di dalam kawasan enclave.

(17)

pencaharian pokok kepala keluarga pada desa-desa sampel adalah pada sektor pertanian, dengan jumlah pendapatan rata-rata setiap kepala keluarga pada tahun 2004 adalah sebesar Rp 5.5 juta per tahun.

Kepemilikan dan penguasaan lahan yang ada pada desa-desa di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS, didapatkan dari beberapa cara, yaitu: warisan orang tua, jual beli, sewa, bagi hasil, dan menggarap pada lahan kehutanan. Pada tahun 2004, luas kepemilikan lahan rata-rata setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel adalah seluas 0.95 hektar. Dari tahun ke tahun, terdapat kecendrungan bahwa kepemilikan lahan setiap kepala keluarga semakin sempit.

Dari hasil identifikasi terhadap berbagai peubah sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS, dapat diketahui beberapa peubah yang pengaruhnya sangat dominan yaitu: kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, luas kepemilikan lahan, perluasan pemukiman, dan perluasan lahan pertanian.

Pengaruh peubah sosial ekonomi kunci/dominan (laju pertumbuhan penduduk/X1, laju perubahan kepemilikan lahan/X2, laju perubahan luas lahan

pertanian/X3) terhadap laju penurunan luas hutan alam (Y1), hanya terdapat pada

desa-desa yang termasuk strata 9, dengan model persamaan: Y1=3.471 + 5.627X1

+ 3.000X2 – 0.230X3 (R2=1).

Pengaruh peubah sosial ekonomi kunci/dominan (kepadatan penduduk/X1,

luas kepemilikan lahan/X2, luas pemukiman/X3, luas areal pertanian/X4) terhadap

persentase luas hutan alam (Y2) terdapat pada desa-desa strata 1, 2, 5, 7, dan 9.

Model persamaan yang didapatkan adalah sebagai berikut: (1) strata 1: Y2=46.550–0.028X1 (R2=0.972); (2) strata 2: Y2=50.878+94.416X2 (R2=0.883);

(3) strata 5: Y2=42.844–0.086X1–0.822X3 (R2=0.997); (4) strata 7: Y2=74.437–

0.586X3 (R2=0.995); (5) strata 9: Y2=45.897–0.077X1 (R2=0.994).

Pada desa-desa non-tradisional dan non-enclave, terdapat kecendrungan bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan penduduk dan laju perubahan luas kepemilikan lahan, maka laju penurunan luas hutan alam semakin tinggi. Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk dan luas areal pemukiman, maka persentase luas hutan alam semakin rendah. Sedangkan pada desa-desa tradisional dan non-enclave, terdapat kecendrungan bahwa semakin tinggi luas areal pemukiman, maka persentase luas hutan alam semakin rendah.

Untuk dapat hidup layak, setiap warga desa pada desa-desa sampel mebutuhkan biaya hidup rata-rata sebesar Rp 3.72 juta per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup layak tersebut, diperlukan lahan garapan rata-rata seluas 0.54 hektar per orang. Secara keseluruhan, diperkirakan pada tahun 2009 dibutuhkan lahan pertanian bagi setiap warga sebanyak empat sampai lima kali lipat dari luas kepemilikan lahan pada tahun 2004.

Jika diasumsikan bahwa jumlah desa sampel adalah 25% dari keseluruhan desa, dan jumlah responden terpilih adalah 2% dari seluruh kepala keluarga yang ada di desa, maka total nilai manfaat langsung kawasan TNGHS adalah sebesar Rp 237.68 milyar per tahun. Terdapat kecendrungan bahwa nilai manfaat tersebut dari tahun ke tahun semakin menurun, dengan semakin berkurangnya intensitas dan frekuensi pemanfaatan sumber daya hutan.

(18)

©

Hak cipta milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(19)

Judul Tesis : Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi terhadap Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Nama : Haryanto Yatap NIM : E 051050181

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS Ketua

Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(20)
(21)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret 2007, untuk mengetahui pengaruh berbagai peubah sosial ekonomi terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS dan Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku Komisi Pembimbing atas arahan dan bimbingannya. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS selaku dosen penguji atas koreksi dan saran perbaikannya.

Terima kasih dan penghargaan penulis disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc selaku kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan seluruh staf BTNGHS yang telah membantu dan mendukung terlaksananya penelitian ini. Khusus kepada Bapak Hendra Wijaya, S.Hut dan Bapak Edi Suryanto, S.Hut, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam.

Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Bupati Kabupaten Bengkulu Selatan dan Bapak Ir. Jonior Hafis, MP, atas izin yang diberikan kepada saya untuk melanjutkan studi pada sekolah Pascasarjana IPB. Kepada Tanoto Foundation juga disampaikan ucapan terima kasih atas bantuan biaya yang diberikan selama tahun kedua pendidikan saya. Untuk Bapak Heru Andri Pujianto S.Hut, Ario Birowo S.Hut, Iwan Irawan S.Hut, Miftahul Ulum S.Hut, dan kawan-kawan seperjuangan di sekolah Pascasarjana, diucapkan terima kasih atas bantuan, dukungan, dan kebersamaannya.

Kepada seluruh keluarga, diucapkan terima kasih atas segala dukungan dan doanya. Untuk Bunda dan Puja, terima kasih atas segala pengorbanannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2008

(22)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, Lampung, pada tanggal 12 April 1976, dari ayah Yatap dan ibu Winaria. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara.

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun 1998. Pada tahun 2005, penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Sekolah Pascasarjana IPB, dengan biaya sendiri. Pada semester 3 dan 4, penulis memperoleh beasiswa dari Tanoto Foundation.

(23)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... xi DAFTAR GAMBAR ... xiv DAFTAR LAMPIRAN ... xvi PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 4 Tujuan Penelitian ... 7 Manfaat Penelitian ... 7 Kerangka Pemikiran ... 8 Hipotesis Penelitian ... 11

TINJAUAN PUSTAKA

Taman Nasional ... 12 Nilai Keanekaragaman Hayati ... 13 Penggunaan dan Penutupan Lahan ... 15 SIG dan Penginderaan Jauh ... 17 Peubah Sosial Ekonomi ... 23

METODOLOGI

Waktu Penelitian ... 27 Lokasi Penelitian ... 27 Alat dan Bahan ... 28 Metode Pengumpulan Data ... 28 Pengolahan dan Analisis Data ... 34

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Sejarah Pengelolaan dan Tata Batas Kawasan ... 43 Masyarakat Adat ... 48 Kawasan Enclave ... 50 Strata Desa ... 52

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis Spasial ... 58 Hasil Identifikasi Peubah Sosial Ekonomi ... 80 Peubah Sosial Ekonomi Kunci/Dominan ... 126 Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi Kunci/Dominan ... 128 Analisis Tekanan Penduduk ... 134 Nilai Manfaat Langsung Kawasan TNGHS ... 140

(24)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Kombinasi kriteria untuk penentuan strata desa ... 30 2 Struktur analisis ragam dari regresi linier berganda ... 39 3 Sejarah kebijakan penggunaan lahan dan penunjukan kawasan

TNGHS ... 43 4 Strata desa di kawasan TNGHS ... 52 5 Desa-desa strata 1 ... 54 6 Desa-desa strata 5 ... 56 7 Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS pada periode

tahun 1989-2004 ………... 63 8 Persentase luas hutan alam di wilayah desa-desa sampel pada setiap

strata desa pada periode tahun 1989-2004 ... 64 9 Perubahan luas semak di wilayah desa-desa sampel pada setiap

strata desa pada periode tahun 1989-2004 ... 65 10 Perubahan luas hutan tanaman di wilayah desa-desa sampel pada

setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 ... 67 11 Perubahan luas kebun campuran di wilayah desa-desa sampel pada

setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 ... 68 12 Perubahan luas ladang di wilayah desa-desa sampel pada setiap

strata desa pada periode tahun 1989-2004 ... 69 13 Perubahan luas sawah di wilayah desa-desa sampel pada setiap

strata desa pada periode tahun 1989-2004 ... 70 14 Perubahan luas lahan terbangun di wilayah desa-desa sampel pada

setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004... 71 15 Laju perubahan luas hutan alam di wilayah desa-desa sampel pada

setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 ... 73 16 Jumlah penduduk pada setiap strata desa pada periode tahun

1989-2004 ... 86 17 Jumlah penduduk pada desa-desa sampel setiap strata desa pada

periode tahun 1989-2004 ... 87 18 Kepadatan penduduk pada desa-desa sampel setiap strata desa pada

periode tahun 1989-2004 ... 88 19 Laju pertumbuhan penduduk pada desa-desa sampel setiap strata

(25)

21 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 ... 93 22 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 1

pada periode tahun 1989-2004 ... 95 23 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 2

pada periode tahun 1989-2004 ... 96 24 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 3

pada periode tahun 1989-2004 ... 97 25 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 4

pada periode tahun 1989-2004 ... 97 26 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 5

pada periode tahun 1989-2004 ... 98 27 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 6

pada periode tahun 1989-2004 ... 99 28 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 7

pada periode tahun 1989-2004 ... 99 29 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 8

pada periode tahun 1989-2004 ... 100 30 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 9

pada periode tahun 1989-2004 ... 101 31 Jumlah pendapatan kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 13

pada periode tahun 1989-2004 ... 101 32 Perubahan luas kepemilikan lahan masyarakat pada desa-desa

sampel setiap strata desa pada periode tahun 1989-2004 ... 106 33 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel

strata 1 pada periode tahun 1989-2004 ... 106 34 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel

strata 2 pada periode tahun 1989-2004 ... 107 35 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel

strata 3 pada periode tahun 1989-2004 ... 107 36 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel

strata 4 pada periode tahun 1989-2004 ... 107 37 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel

strata 5 pada periode tahun 1989-2004 ... 108 38 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel

strata 6 pada periode tahun 1989-2004 ... 108 39 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel

(26)

40 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel strata 8 pada periode tahun 1989-2004 ... 109 41 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel

strata 9 pada periode tahun 1989-2004 ... 110 42 Kepemilikan lahan setiap kepala keluarga pada desa-desa sampel

strata 13 pada periode tahun 1989-2004 ... 110 43 Tingkat pendidikan kepala keluarga pada desa-desa sampel ... 116 44 Kebutuhan lahan garapan per orang untuk memenuhi tingkat hidup

(27)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian ... 10 2 Lokasi pengambilan data penelitian ... 27 3 Tahapan penarikan sampel ... 29 4 Diagram alir pengolahan data landsat ... 35 5 Perubahan tata batas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun

Salak ... 47 6 Enclave perkebunan teh di Desa Malasari ... 52 7 Tipe penggunaan lahan di kawasan TNGHS ... 59 8 Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS tahun 1989 ... 60 9 Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS tahun 1992 ... 60 10 Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS tahun 1995 ... 61 11 Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS tahun 1998 ... 61 12 Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS tahun 2001 ... 62 13 Penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS tahun 2004 ... 62 14 Lahan garapan masyarakat di sekitar kawasan TNGHS ... 70 15 Pemindahan lokasi pemukiman di Desa Malasari ... 72 16 Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel

strata 1 ... 74 17 Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel

strata 2 ... 75 18 Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel

strata 3 ... 76 19 Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel

strata 4 ... 76 20 Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel

strata 5 ... 77 21 Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel

strata 6 ... 78 22 Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel

strata 7 ... 78 23 Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel

(28)

24 Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel strata 9 ... 79 25 Laju penurunan luas hutan alam TNGHS pada desa-desa sampel

(29)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Perubahan luas hutan alam pada desa-desa yang berada di dalam

dan di sekitar kawasan TNGHS pada periode tahun 1989-2004 .... 166 2 Laju perubahan luas hutan alam pada desa-desa yang berada di

dalam dan di sekitar kawasan TNGHS pada periode tahun 1989-2004 ... 169 3 Perubahan persentase luas hutan alam terhadap luas wilayah desa,

pada desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS selama periode tahun 1989-2004 ... 171 4 Perubahan luas semak pada desa-desa sampel pada periode tahun

1989-2004 ... 174 5 Perubahan luas hutan tanaman pada desa-desa sampel pada

periode tahun 1989-2004 ………... 175 6 Perubahan luas kebun campuran pada desa-desa sampel pada

periode tahun 1989-2004 ………... 176 7 Perubahan luas ladang pada desa-desa sampel pada periode tahun

1989-2004 ………. 177

8 Perubahan luas sawah pada desa-desa sampel selama periode tahun 1989-2004 ... 178 9 Perubahan luas lahan terbangun di wilayah desa-desa sampel

selama periode tahun 1989-2004 ………. 179 10 Perkembangan jumlah penduduk pada desa-desa yang berada di

dalam dan di sekitar kawasan TNGHS pada periode tahun

1989-2004 ………. 180

11 Kepadatan penduduk pada desa-desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS pada periode tahun 1989-2004 ………... 183 12 Laju pertumbuhan penduduk pada desa-desa yang berada di dalam

dan di sekitar kawasan TNGHS pada periode tahun 1989-2004 … 186 13 Jumlah pengeluaran rata-rata setiap rumah tangga pada desa-desa

sampel ………... 189

14 Perhitungan besarnya nilai Tekanan Penduduk terhadap lahan pertanian pada desa-desa sampel ... 191 15 Nilai manfaat langsung kawasan TNGHS ... 192 16 Hasil analisis regresi linier berganda pengaruh peubah sosial

(30)
(31)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) adalah salah satu taman nasional yang terdapat di pulau Jawa, yang merupakan hasil penggabungan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan kawasan Hutan Lindung Gunung Salak. Penunjukan kawasan TNGHS ini didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.175/kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003, dengan luas 113357 hektar. Secara administrasi pemerintahan, kawasan TNGHS berada di dalam wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten, yaitu: Kabupaten Sukabumi, Bogor, dan Lebak.

Ekosistem TNGHS berperan penting sebagai pengatur tata air dan iklim mikro, konservasi hidupan liar, tempat penelitian, pendidikan lingkungan, kegiatan ekowisata, dan pelestarian budaya setempat. Vegetasi hutan yang ada di dalam kawasan TNGHS merupakan sumber air bagi masyarakat di sekitarnya, termasuk kota-kota besar seperti Bogor, Sukabumi, Tangerang, Rangkasbitung, dan DKI Jakarta (Harada et al. 2000).

Berdasarkan ketinggian di atas permukaan laut, kawasan TNGHS digolongkan ke dalam tiga zona vegetasi: zona hutan dataran rendah (500-1000 mdpl), zona hutan sub montana (1000-1500 mdpl), dan zona hutan montana (1500-2211 mdpl) (Simbolon & Mirmanto 1997). Beberapa spesies tumbuhan yang mendominasi hutan antara lain: rasamala (Altingia excelsa), jamuju (Dacrycarpus imbricatus), dan puspa (Schima wallichii). Sekitar 75 jenis anggrek terdapat di taman nasional ini, dan beberapa jenis diantaranya merupakan jenis langka seperti: Bulbophylum binnendykii, B. angustifolium, Cymbidium ensifolium, dan Dendrobium macrophyllum (Dephut 2003).

(32)

yang ada adalah: Kancil (Tragulus javanicus). Terdapat 204 jenis burung, dimana 35 jenis diantaranya merupakan jenis endemik di pulau Jawa. Spesies burung endemik tersebut antara lain: Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), Celepuk Jawa (Otus angelinae), dan Luntur Gunung (Harpactes reinwardtii) (Adhikerana 1999). Keanekaragaman jenis flora dan fauna yang ada di dalam kawasan TNGHS, telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat yang ada di dalam dan di sekitarnya. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam terutama dilakukan oleh masyarakat adat kasepuhan, yang sebagian besar bermukim pada wilayah TNGHS. Pola pemanfaatan tersebut didasarkan pada pandangan mereka terhadap hutan, yaitu: Hutan Tutupan (leuweung kolot atau leuweung gledegan), Hutan Titipan (leuweung titipan), dan Hutan Sampalan (leuweung sampalan). Terdapat anggapan pada masyarakat kasepuhan, bahwa kegiatan ladang berpindah merupakan budaya (tatali paranti karuhun) (Suhaeri 1994).

Faktor sosial ekonomi seringkali dijadikan alasan oleh masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam kawasan TNGHS yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan taman nasional. Hal ini erat hubungannya dengan upaya masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Terdapat indikasi bahwa luas kepemilikan lahan garapan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS belum dapat memberikan hasil untuk memenuhi tingkat kehidupan kecukupan. Luas kepemilikan lahan garapan sebagian besar anggota masyarakat yang ada di sekitar kawasan TNGHS tergolong sempit (< 0.25 hektar) (Gunawan 1999; Mudofar 1999; Harada 2005). Padahal kehidupan masyarakat masih tergantung pada kegiatan pertanian (Gunawan 1999; Budiman & Adhikerana 2000). Hal ini telah mendorong masyarakat melakukan berbagai kegiatan ilegal dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, seperti: perambahan hutan, penambangan emas tanpa izin, dan perburuan satwa (Suhaeri 1994; Bahrudin 1999; Gunawan 1999; Asep 2000; Sudarmadji 2000, diacu dalam Widada 2004).

(33)

ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam (UU No. 5 Tahun 1990; PP No. 68 Tahun 1990). Hal-hal yang tidak diperbolehkan pada kawasan taman nasional adalah melakukan kegiatan yang dapat merubah fungsi kawasan, antara lain: merusak kekhasan potensi, merusak keindahan alam dan gejala alam, mengurangi luas kawasan, serta melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang (PP No. 68 Tahun 1990). Lebih lanjut, menurut MacKinnon et al. (1993), pada kawasan taman nasional tidak diperkenankan adanya kegiatan pemanfaatan sumberdaya tambang.

Sebagai wujud pelaksanaan dari berbagai peraturan perundangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, pihak pengelola taman nasional telah melakukan pengawasan dan pembinaan secara terus menerus terhadap berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat. Terutama terhadap pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat yang sudah lama mendiami kawasan TNGHS. Pengawasan dan pembinaan tersebut dimaksudkan untuk menjaga ekosistem asli kawasan taman nasional dari kerusakan. Sehingga tidak terjadi penurunan fungsi taman nasional sebagai: perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pelestarian terhadap sumberdaya alam dan ekosistem.

(34)

Perumusan Masalah

Penunjukan kawasan TNGHS telah menimbulkan beberapa permasalahan mendasar, antara lain: konflik mengenai kepemilikan lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Permasalahan ini, erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS, dengan sumber mata pencaharian utama dari bidang pertanian. Dari hasil studi yang dilakukan Galudra et al. (2005), didapatkan bahwa pada beberapa bagian kawasan hutan yang ditunjuk telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian.

Pemanfaatan sumberdaya alam kawasan TNGHS telah memberikan dampak terhadap aktivitas kehidupan masyarakat. Terdapat berbagai bentuk pemanfaatan keanekaragaman floristik di kawasan TNGHS antara lain: pengambilan kayu untuk bangunan dan peralatan rumah tangga, kayu bakar, rotan, tanaman hias, tumbuhan makanan, tumbuhan obat, dan tumbuhan yang diperlukan untuk perlengkapan upacara adat (Hadi 1994; Suhaeri 1994; Bahrudin 1999; Gunawan 1999; Kurniawan 2002; Rahayu & Harada 2004). Menurut Mudofar (1999), nilai manfaat hasil hutan memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan bagi masyarakat yang memiliki pendapatan dari luar hasil hutan kurang dari Rp 53 ribu per kapita per bulan.

Keinginan masyarakat yang kuat dalam pemenuhan kebutuhan hidup, telah menyebabkan terjadinya berbagai aktivitas ilegal pada kawasan TNGHS. Hal ini berhubungan dengan luas kepemilikan lahan dan tingkat pendapatan masyarakat. Menurut Sudarmadji (2000), diacu dalam Widada (2004), dan hasil penelitian Suhaeri (1994), terdapat perilaku masyarakat desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS yang tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan taman nasional, yaitu: (1) kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI); (2) kegiatan

ladang berpindah dan perambahan kawasan; (3) perburuan satwa; dan (4) penebangan pohon dan pengambilan kayu bakar dari dalam kawasan.

(35)

Penelitian terhadap trend perubahan penggunaan dan penutupan lahan yang terjadi dari tahun ke tahun telah dilakukan Cahyadi (2003), dimana didapatkan bahwa dalam kurun waktu 11 tahun (tahun 1990-2001), telah terjadi degradasi hutan pada koridor Gunung Halimun dan Gunung Salak seluas 347523 hektar. Lebih lanjut, dari hasil studi yang dilakukan Prasetyo dan Setiawan (2006), diperkirakan bahwa pada periode tahun 1989-2004, telah terjadi deforestasi kawasan TNGHS seluas 22 ribu hektar (± 25%). Deforestasi tersebut diikuti dengan kenaikan secara konsisten semak belukar, ladang, dan lahan terbangun. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat aktivitas sosial ekonomi masyarakat desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS berupa kegiatan pemanenan kayu, perluasan lahan pertanian, dan pembangunan perumahan.

Proses kehilangan hutan pada kawasan TNGHS terbanyak terjadi pada periode tahun 2001-2003, seluas 4367.79 hektar (Prasetyo & Setiawan 2006). Hal yang cukup memprihatinkan adalah dengan terdapatnya laju deforestasi yang tinggi pada desa-desa yang merupakan tempat bermukim masyarakat tradisional warga kasepuhan. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan bahwa telah terjadi penurunan luas hutan secara tajam pada Desa Sirnarasa pada periode tahun 2001-2004, dan pada Desa Citorek secara konsisten sejak tahun 1989. Terdapat kemungkinan bahwa hal ini berhubungan dengan adanya implementasi otonomi daerah, dimana tidak terdapat kepastian hukum. Disamping itu, terdapat juga anggapan bahwa budaya masyarakat tradisional tidak selalu berpengaruh positif terhadap kelestarian sumberdaya alam.

Adanya perbedaan kelompok masyarakat yang mendiami desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS menimbulkan perbedaan tipologi desa. Perbedaan karakteristik ini, berhubungan dengan sosial kultural masyarakat dan status desa, dimana terdapat desa tradisional dan desa yang berada di dalam kawasan enclave. Sehingga dalam hubungannya dengan perubahan penggunaan dan penutupan lahan, maka akan terdapat juga kemungkinan bahwa ada perbedaan faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan pada setiap tipologi desa.

(36)

faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi perubahan penggunaan dan penutupan lahan antara lain: pertumbuhan penduduk dan kemiskinan (Lombardini 1994; Rudel 1994; Verburg et al. 1999; Iverson & Cook 2000; Sader et al. 2000; Dien 2004; Wong AWM & Wong MH 2004; EFTEC 2005; Verbist et al. 2005), kepadatan penduduk (Kummer & Sham 1994; Panayotou & Sungsuwan 1994; Geist & Lambin 2001a), urbanisasi (Geist & Lambin 2001a), luas lahan garapan (Paat 1986; Gunawan 1999), perluasan lahan pertanian (Kummer & Sham 1994; Kant & Redantz 1997; Poudevigne et al. 1997; Verbist et al. 2005; Chowdury 2006; Wilson 2006), perluasan pemukiman (Geist & Lambin 2001a), tingkat pendapatan (Panayotou & Sungsuwan 1994; Bayu 1999; Iverson & Cook 2000; Purnomo et al. 2003; Mulatsih 2005), aksesibilitas terhadap sumberdaya alam (Gunawan 1999; Sader et al. 2000; Geist & Lambin 2001a; Purnomo et al. 2003; Dien 2004; Mulatsih 2005), nilai sumberdaya hutan (Mudofar 1999; Geist & Lambin 2001a; Dien 2004), tingkat pendidikan (Purnomo et al. 2003; Mulatsih 2005),persamaan jender (Oliveira & Anderson 1999; ITTO 2004), kebijakan dan institusi (Chakraborty 1994; Poudevigne et al. 1997; Purnomo et al. 2003; ITTO 2004; EFTEC 2005; Verbist et al. 2005), pengaruh masyarakat lokal (Geist & Lambin 2001a; Purnomo et al. 2003; Dien 2004; ITTO 2004).

Diperlukan verifikasi terhadap berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, untuk mengetahui faktor-faktor sosial ekonomi masyarakat yang berpengaruh terhadap laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan yang terjadi di kawasan TNGHS.

Dari uraian permasalahan tersebut di atas, timbul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Peubah-peubah sosial ekonomi apa saja yang menyebabkan perubahan penggunaan dan penutupan lahan pada setiap tipologi desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS ?

(37)

3. Seberapa luas lahan untuk kegiatan pertanian, perkebunan, dan pemukiman yang dibutuhkan setiap anggota masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS ?

4. Seberapa besar kebutuhan hidup masyarakat agar dapat hidup kecukupan, sehingga tidak menimbulkan tekanan penduduk terhadap sumberdaya alam di kawasan TNGHS ?

5. Seberapa besar daya dukung sumberdaya alam TNGHS terhadap pemenuhan kebutuhan hidup minimal setiap anggota masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS ?

Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi peubah-peubah sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan pada setiap tipologi desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS.

2. Menduga besarnya pengaruh peubah sosial ekonomi kunci/dominan yang berpengaruh terhadap laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan pada setiap tipologi desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS.

3. Menduga kebutuhan lahan untuk pertanian, perkebunan, dan pemukiman bagi masyarakat desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS untuk mencapai tingkat hidup kecukupan.

4. Menduga besarnya nilai manfaat langsung yang diambil masyarakat dari dalam kawasan TNGHS, dan menduga trend perubahan nilai manfaat langsung kawasan TNGHS.

Manfaat Penelitian

1. Memberikan gambaran secara menyeluruh kepada pengelola TNGHS tentang kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS.

(38)

3. Memberikan bahan acuan bagi semua pihak yang terkait dengan pengelolaan kawasan TNGHS, terhadap upaya rehabilitasi, pengamanan, pelestarian, dan pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan TNGHS.

Kerangka Pemikiran

Kerusakan keanekaragaman hayati disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Menurut BAPPENAS (2004), faktor penyebab tersebut dapat dikategorikan menjadi: faktor teknis (kegiatan manusia, teknologi yang digunakan, dan kondisi alam itu sendiri); dan faktor struktural (kebijakan pemerintah, dan tata kelola).

Kesadaran, pemahaman, dan kepedulian sebagian besar lapisan masyarakat tentang makna pentingnya keanekaragaman hayati adalah sangat rendah. Hal ini menimbulkan sikap tidak peduli, dan mengarah pada perusakan keanekaragaman hayati, dengan dilakukannya pemanfaatan sumber daya alam tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Padahal dalam pemenuhan kebutuhan hidup (sandang, pangan, papan, dan ruang untuk beraktivitas), dipenuhi dari sumberdaya alam yang berkaitan sangat erat dengan keanekaragaman hayati. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan salah satu penyebab tingginya tingkat kemiskinan di wilayah pedesaan. Hal ini menyebabkan tekanan pada sumber daya alam semakin meningkat. Apalagi dengan adanya beberapa pihak yang secara serakah mengeksploitasi sumberdaya alam demi keuntungan semata. Oleh sebab itu, diperlukan pola pemanfaatan sumberdaya alam yang bijaksana, dan tidak berorientasi hanya pada pemanfaatan, tetapi juga memperhatikan aspek kelestarian sumber daya alam.

(39)

masyarakat tersebut masih bergantung pada pemanfaatan langsung sumberdaya alam dan tetap mempertahankan sosiobudaya yang telah diwariskan dari para leluhur mereka.

Untuk menentukan suatu kebijakan yang nantinya akan dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan kawasan TNGHS, maka dibutuhkan data-data yang akurat mengenai keadaan sosial ekonomi masyarakat dan bentuk-bentuk perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS. Hal ini sangat erat kaitannya dengan implementasi kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau pengelola taman nasional di lapangan. Seringkali berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah atau pihak pengelola taman nasional tidak berpihak kepada keberadaan masyarakat yang sudah lama ada di dalam taman nasional tersebut. Sehingga berbagai upaya pelestarian dan rehabilitasi kawasan sulit untuk dilaksanakan, atau dengan tingkat keberhasilan pelaksanaan yang rendah.

Analisis spasial terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS secara multi waktu, akan menghasilkan pola perubahan penggunaan dan penutupan lahan dari tahun ke tahun. Untuk mengetahui penyebab perubahan tersebut, harus dilakukan pengecekan lapangan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS. Sehingga akan dapat diketahui peubah-peubah sosial ekonomi yang menyebabkan terjadinya degradasi hutan pada berbagai tipologi desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS, dan sampai sejauh mana pengaruh peubah-peubah tersebut.

(40)
[image:40.612.142.505.106.644.2]

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

- Keanekaragaman hayati - Hidroorologis

- Penelitian & pendidikan - Budidaya

- Budaya - Wisata alam

Citra Satelit Landsat TM path/row: 122/065 (tahun 1989-2004)

Kawasan TNGHS

- Identifikasi peubah sosial ekonomi - Pengaruh peubah sosial ekonomi kunci - Kebutuhan lahan untuk memenuhi

tingkat hidup kecukupan - Nilai manfaat langsung TNGHS

Kesejahteraan masyarakat

Analisis Tabulasi, Deskriptif, Regresi, Tekanan Penduduk, Harga

Barang Pengganti dan Harga Pasar

Ground Survey

Peubah Sosial Ekonomi (stratified cluster sampling) Penggunaan dan Penutupan lahan

time series

Analisis Spasial Degradasi

Peta Tematik (Rupa Bumi , Tata

Batas Kawasan TNGHS, dll)

- perambahan - PETI - illegallogging - kayu bakar - perburuan satwa

(41)

Hipotesis Penelitian

1. Semakin tinggi laju pertumbuhan penduduk, maka laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS semakin tinggi.

2. Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk, maka laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS semakin tinggi.

3. Semakin rendah tingkat pendapatan masyarakat, maka laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS semakin tinggi.

4. Semakin sempit kepemilikan lahan masyarakat, maka laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS semakin tinggi.

5. Semakin mudah aksesibilitas terhadap sumber daya alam, maka laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS semakin tinggi.

6. Semakin lemah pengawasan dan penegakan peraturan perundangan yang dilakukan oleh pengelola kawasan, maka laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS semakin tinggi.

7. Semakin masyarakat meninggalkan nilai-nilai tradisional, maka laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS semakin tinggi.

8. Semakin besar tekanan penduduk terhadap lahan pertanian, maka laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS semakin tinggi.

9. Semakin tinggi nilai manfaat langsung kawasan TNGHS, maka laju perubahan penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGHS semakin tinggi.

(42)

TINJAUAN PUSTAKA

Taman Nasional

Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, taman nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa kawasan taman nasional mempunyai peranan yang penting didalam perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya.

Terdapat batasan yang jelas mengenai besarnya intensitas penggunaan habitat oleh manusia yang dapat diterima oleh suatu kawasan perlindungan. Taman nasional merupakan suatu wilayah yang luas, dengan keindahan alam dan pemandangan yang dikelola untuk melindungi satu atau lebih ekosistem serta untuk tujuan ilmiah, pendidikan, rekreasi, dan biasanya tidak digunakan untuk tujuan eksploitasi sumberdaya alam secara komersial (IUCN 1984, diacu dalam Primack et al. 1998).

Di dalam PP No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian alam, diatur suatu sistem zonasi dalam pengelolaan taman nasional yang membagi kawasan taman nasional menjadi beberapa zona sesuai dengan peruntukannya. Pengaturan sistem zonasi tersebut meliputi: a) zona inti; b) zona pemanfaatan; c) zona rimba dan atau zona lain yang ditetapkan Menteri berdasarkan kebutuhan pelestarian sumberdaya alam dan ekosistemnya.

(43)

punah. Pada zona ini tidak dimungkinkan adanya perubahan yang menyebabkan pengurangan, hilangnya fungsi dan luas, serta penambahan jenis tumbuhan dan satwa yang tidak asli.

Penetapan zona pemanfaatan didasarkan pada adanya daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta geologinya yang indah dan unik, dan kondisi lingkungan yang mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.

Zona rimba pada taman nasional merupakan kawasan yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan, dan merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.

Nilai Keanekaragaman Hayati

Nilai Ekonomi Langsung

Nilai ekonomi langsung diberikan kepada produk-produk yang dipanen dan dipergunakan secara langsung. Nilai ini sering dikalkulasikan dengan mengobservasi kegiatan dari suatu kelompok representatif, dengan memonitor titik koleksi dari produk alam, dan dengan memperhatikan statistik impor dan ekspor. Nilai ekonomi langsung dapat dibagi menjadi nilai kegunaan konsumtif, untuk barang yang dipergunakan secara lokal, dan nilai kegunaan produktif, untuk barang yang dijual di pasar (Primack et al. 1998).

a. Nilai Kegunaan Konsumtif

Nilai ini dapat diberikan kepada barang-barang seperti kayu bakar dan hasil buruan yang dikonsumsi secara lokal dan tidak terlihat dalam pasar nasional atau internasional.

(44)

b. Nilai Kegunaan Produktif

Merupakan nilai langsung yang diberikan kepada produk yang diambil dari alam dan dijual ke pasar, pada tingkat nasional dan internasional. Produk ini biasanya dinilai dengan metode ekonomi standar pada harga yang dibayarkan sewaktu penjualan dikurangi biaya yang dikeluarkan sampai pada tahap itu, dan bukan pada harga eceran akhir produk.

Terdapat perbedaan persepsi dan pengetahuan mengenai nilai pasar di tingkat lokal dan global. Pada umumnya, nilai keanekaragaman hayati lokal belum terdokumentasikan dengan baik sehingga sering tidak terwakili dalam perdebatan maupun perumusan kebijakan mengenai keanekaragaman hayati di tingkat global (Vermeulen & Koziell 2002, diacu dalam BAPPENAS 2004).

Nilai Ekonomi Tidak Langsung

Nilai ekonomi tidak langsung diberikan untuk aspek-aspek keanekaragaman hayati yang berupa proses-proses lingkungan dan jasa ekosistem, dimana keuntungan ekonomi didapatkan tanpa harus memanen atau merusak. a. Nilai Kegunaan Non Konsumtif

Nilai ini merupakan besarnya keuntungan yang didapatkan dari melestarikan keanekaragaman hayati yang ditunjukkan dengan adanya nilai jasa lingkungan yang beragam yang tidak hanya dikonsumsi melalui penggunaan. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh seperti: produktifitas ekosistem, perlindungan sumber air dan tanah, pengatur iklim, dekomposisi, hubungan antar spesies, rekreasi dan pariwisata, ekoturisme, nilai pendidikan dan ilmiah, dan monitor lingkungan.

Sebagai jasa ekologis, hutan sebagai salah satu bentuk dari ekosistem keanekaragaman hayati, mempunyai beberapa fungsi bagi lingkungan sebagai:

• pelindung keseimbangan siklus hidrologi dan tata air sehingga menghindarkan manusia dari bahaya banjir maupun kekeringan;

• penjaga kesuburan tanah melalui pasokan unsur hara dari serasah hutan;

(45)

b. Nilai Pilihan

Nilai pilihan merupakan potensi keanekaragaman hayati dalam memberikan keuntungan bagi masyarakat di masa datang (Primack et al. 1998).

Keanekaragaman hayati menyimpan nilai manfaat yang sekarang belum disadari atau belum dapat dimanfaatkan oleh manusia. Akan tetapi, seiring dengan perubahan permintaan, pola konsumsi dan asupan teknologi, nilai ini menjadi penting di masa depan.

c. Nilai Eksistensi

Nilai ini merupakan identifikasi abstrak, yang ditunjukkan dengan adanya keinginan untuk mengunjungi habitat suatu spesies yang unik dan melihatnya di alam bebas. Nilai ini menunjukkan seberapa besar jumlah yang bersedia dibayar untuk menghindari suatu spesies dan habitatnya dari kepunahan dan kehancuran (Primack et al. 1998).

Nilai eksistensi merupakan nilai yang dimiliki oleh keanekaragaman hayati karena keberadaannya (Ehrenfeld 1991, diacu dalam BAPPENAS 2004). Nilai ini tidak berkaitan dengan potensi suatu organisme tertentu, tetapi berkaitan dengan beberapa faktor berikut:

• Faktor hak hidupnya sebagai salah satu bagian dari alam;

• Faktor yang dikaitkan dengan etika, misalnya nilainya dari segi etika agama. Berbagai agama dunia menganjurkan manusia untuk memelihara alam ciptaan Tuhan; dan

• Faktor estetika bagi manusia. Misalnya, banyak kalangan, baik pecinta alam maupun wisatawan, bersedia mengeluarkan sejumlah uang untuk mengunjungi taman-taman nasional guna melihat satwa di habitat aslinya, meskipun mereka tidak mendapatkan manfaat ekonomi dari kegiatan tersebut.

Penggunaan dan Penutupan Lahan

(46)

Penutupan lahan merupakan status lahan secara ekologi dan penampakan permukaan lahan secara fisik, yang dapat berubah karena adanya intervensi manusia, gangguan alam, atau suksesi tumbuhan (Helms 1998). Perubahan penggunaan lahan tidak selalu menyebabkan perubahan penutupan lahan secara signifikan. Sebagai contoh, perubahan tipe pengelolaan hutan untuk perlindungan tidak menyebabkan perubahan penutupan lahan yang signifikan.

Perubahan penutupan lahan dapat dibagi menjadi dua bentuk (FAO 2000, diacu dalam Phong 2004) yaitu:

a. Konversi dari suatu kategori penutupan lahan menjadi kategori yang lain, contohnya dari hutan menjadi padang rumput.

b. Modifikasi dari suatu kategori, contohnya dari hutan rapat menjadi hutan jarang.

Menurut Lier (1998), pada perencanaan penggunaan lahan terdapat dua dimensi yang saling bertentangan, yaitu: aspek konservasi dan aspek ekonomi. Dari aspek konservasi, dibutuhkan perlindungan terhadap air, udara, tanah, tumbuhan, dan hewan. Tetapi, dari aspek ekonomi, dibutuhkan peningkatan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan, yang berarti perluasan lahan pertanian, peningkatan produksi, relokasi bangunan pertanian, dan pembuatan desa. Perencanaan penggunaan lahan dapat dideskripsikan sebagai: 1) penentuan penggunaan lahan pada masa yang akan datang; 2) peningkatan kondisi fisik lahan; dan 3) pengelolaan lahan sesuai dengan tujuan.

(47)

Menurut Poudevigne et al. (1997), pada studi kasus di Lembah Seine, Normandia, Francis, terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi perubahan lansekap, yaitu: kegiatan pertanian, urbanisasi, dan kebijakan konservasi. Kegiatan pertanian dan urbanisasi akan meningkatkan perubahan global terhadap struktur dan bentuk lansekap.

Lebih lanjut, menurut EFTEC (2005), terdapat beberapa faktor penyebab hilangnya keanekaragaman hayati dan kerusakan fungsi ekosistem, yaitu:

- Kegagalan kebijakan pasar dan ekonomi: pertentangan subsisdi, tidak adanya pasar untuk barang dan jasa ekosistem, kurangnya informasi mengenai nilai barang dan jasa.

- Isu pemerintahan: tidak adanya kepastian kepemilikan lahan, tidak adanya kebijakan lingkungan dan politik yang bersih, lemahnya penegakan hukum, tidak adanya keinginan politikus, korupsi, kurangnya informasi dan ilmu pengetahuan.

- Demografi dan faktor lainnya: pertumbuhan penduduk, kemiskinan, perang, kerusuhan.

SIG dan Penginderaan Jauh Sistem Informasi Geografis (SIG)

SIG adalah sistem berbasis komputer yang mempunyai empat kemampuan untuk menangani data bereferensi geografis, yaitu (Aronoff 1991): 1) Pemasukan data; 2) Manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan); 3) Analisis dan manipulasi; dan 4) Menghasilkan data. SIG merupakan suatu sistem yang terdiri dari perangkat lunak dan perangkat keras komputer, data, personil untuk dapat melakukan manipulasi, analisis, dan menyajikan informasi yang terkait dengan lokasi keruangan.

(48)

Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu yang membahas pengumpulan informasi mengenai suatu objek, kejadian, atau area melalui analisis data yang didapat dari pengamatan dengan menggunakan peralatan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kontak langsung dengan objek, kejadian, atau area yang diamati (Prahasta 2002; Jaya 2005). Pada penginderaan jauh, digunakan peralatan-peralatan berupa: kamera, scanner, atau sensor-sensor lainnya yang dibawa oleh wahana pengangkut (platform) yang dapat bergerak cepat.

Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh

Aplikasi SIG dan penginderaan jauh pada analisis penggunaan dan penutupan lahan merupakan cara yang efektif, terutama hubungannya dengan efisiensi biaya, tenaga kerja, dan waktu. Pekerjaan analisis terhadap areal yang cukup luas dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat, dan dengan tingkat ketelitian yang tinggi.

Penggunaan SIG dan penginderaan jauh pada berbagai negara tidak hanya terbatas pada evaluasi terhadap pemanfaatan sumberdaya lahan, tetapi juga meliputi berbagai aspek kehidupan.

Verburg et al. (1999) menggunakan model untuk simulasi perubahan pola penggunaan lahan di China, analisis empiris distribusi spasial tipe penggunaan lahan dikelompokan berdasarkan faktor sosioekonomik dan geofisik. Analisis empiris mengidikasikan bahwa perubahan penggunaan lahan dapat dipengaruhi oleh faktor: demografi, tanah, geomorphologi, dan iklim. Dari hasil simulasi, didapatkan bahwa perubahan penggunaan lahan di China, terutama disebabkan oleh urbanisasi, dan aforestasi.

(49)

Studi yang dilakukan Tucker (2005) terhadap perubahan penutupan lahan di Guatemala Timur dan Honduras Barat, dilakukan dengan menganalisis beberapa image penginderaan jauh, pengukuran lansekap, dan membuat suatu model ekonometrik spasial. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa dibutuhkan perhatian terhadap siklus ekologi dan manusia, seperti: pasar, infrastuktur, dan faktor topografik, untuk pengembangan efektif terhadap upaya konservasi hutan tropika.

Menurut Verburg et al. (2005), pendekatan model penggunaan lahan dapat dilakukan untuk menilai perlakuan dan batasan terhadap perlindungan dan pengaturan daerah alami. Berdasarkan studi yang dilakukan di Taman Alami Sierra Madre Utara, dapat dibuat kombinasi analisis perubahan penggunaan lahan pada berbagai skala organisasi hierarkis sistem penggunaan lahan dan pada level pengelolaan areal perlindungan yang berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa model perubahan penggunaan lahan sangat berguna dalam memberikan informasi pengelolaan areal perlindungan.

Jaya (2006b) memanfaatkan data penginderaan jauh dan SIG untuk membuat model pengembangan pusat-pusat perkotaan di wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pada studi ini dilakukan deteksi perubahan penutupan lahan, khususnya perubahan dari tutupan alami ke tutupan lahan terbangun. Analisis gerombol (cluster analysis), dilakukan untuk mengidentifikasi tipologi wilayah dengan menggunakan peubah sosial ekonomi: kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, mata pencaharian di bidang pertanian, mata pencaharian yang bukan pertanian, sarana kendaraan roda empat, sarana sepeda motor, ketersediaan sarana telekomunikasi, jumlah perumahan permanen dan semi permanen. Dari permodelan spasial yang dibuat, dapat diidentifikasi kecamatan-kecamatan yang mempunyai peluang yang tinggi untuk dijadikan pusat pengembangan perkotaan yaitu: Kecamatan Citeureup, Parung, Bojonggede, Dramaga, dan Cisarua.

(50)

analisis keputusan. Syartinilia (2004) juga menggunakan metode serupa pada penentuan model kesesuian lahan untuk pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, perkebunan, dan pemukiman di DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lebih lanjut, Bentrup dan Leininger (2002) juga menggunakan SIG untuk menganalisis kesesuaian lahan untuk agroforestri di Nebraska.

Pada evaluasi terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan dan koridor hutan. Cahyadi (2003) menggunakan SIG untuk menganalisis struktur koridor hutan antara Taman Nasional Gunung Halimun dan Gunung Salak. Berdasarkan hasil klasifikasi data citra satelit, didapatkan bahwa telah terjadi fragmentasi koridor hutan menjadi dua habitat kepulauan, dan degradasi koridor hutan selama 11 tahun (tahun 1990-2001) seluas 347523 hektar. Lebih lanjut, Prasetyo dan Setiawan (2006) menyimpulkan bahwa penutupan hutan di kawasan TNGHS telah mengalami penurunan secara gradual. Pada periode tahun 1989-2004, diperkirakan telah terjadi deforestasi seluas 22000 ha (± 25%).

Berrios (2004), yang melakukan studi pada DAS Telake, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur, menggunakan SIG dan penginderaan jauh untuk melihat keadaan penutupan hutan yang sebenarnya. Terdapat perbedaan data antara luas kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah dengan area penggunaan hutan. Untuk itu diperlukan ketegasan terhadap kebijakan penggunaan lahan dan menerapkannya pada kondisi nyata.

(51)

Thongmanivong dan Fujita (2006) melakukan studi tentang penggunaan lahan dan perubahan kehidupan di Laos Utara, dengan menilai perubahan penggunaan lahan pada tahun 1993-2000. Dari hasil analisis data spasial, didapatkan bahwa areal pertanian lahan kering tradisional dan perladangan berpindah semakin menurun. Sedangkan luas areal pertanian menetap semakin meningkat.

Pada pendugaan erosi, Hendrawan (2004) menggunakan SIG untuk menduga laju erosi dengan pendekatan USLE, di Sub DAS Cimuntur, Ciamis. Studi yang dilakukan Liu et al. (2004), mengintegrasikan penginderaan jauh dan SIG untuk mengidentifikasi daerah kritis terhadap erosi di Provinsi Almeria, Spanyol Tenggara. SIG digunakan untuk menentukan kriteria kondisi lingkungan yang memungkinkan terjadinya erosi dipercepat dari multi data landsat ETM dan peta geologi.

SIG juga digunakan untuk memetakan kawasan berpotensi banjir di beberapa daerah: DAS Kaligarang, Semarang (Utomo 2004), Kabupaten Tangerang, Banten (Nurjanah 2005). Hasil dari penelitian ini berupa pemetaan daerah rawan banjir, dan beberapa parameter yang mempengaruhinya seperti: ketinggian, kelerengan, penutupan dan penggunaan lahan, bentuk lahan, geologi, tekstur tanah, dan iklim.

Terdapat berbagai metode yang dapat digunakan pada deteksi perubahan penggunaan dan penutupan lahan. Sader et al. (2000) telah melakukan review berbagai laporan perubahan hutan multi waktu, konversi penutupan dan penggunaan lahan, dan faktor sosial ekonomi yang mempengaruhinya di Peten, Guatemala. Dari beberapa metode deteksi terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan (perbedaan NDVI, analis komponen utama, dan RGB-NDVI), didapatkan bahwa metode RGB-NDVI merupakan metode yang menghasilkan nilai akurasi tertinggi. Perbandingan trend data penginderaan jauh dengan data sosial ekonomi tidak dapat diperidiksi hanya dari parameter populasi, tetapi juga berhubungan dengan sejarah dan latar belakang migrasi, tingkat kemiskinan, dan aksesibilitas terhada

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran penelitian.
Gambar 2  Lokasi pengambilan data penelitian.
Gambar 3  Tahapan penarikan sampel.
Tabel 1  Kombinasi kriteria untuk penentuan strata desa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembayaran jasa lingkungan wisata alam di TNGHS dapat sebagai alternatif solusi benturan kepentingan antara konservasi dan pemenuhan ekonomi masyarakat, sepanjang

Dampak negatif yang mungkin terjadi dengan adanya keberadaan kawasan wisata adalah rusaknya sumber-sumber hayati ataupun tercemarnya lingkungan di sekitar kawasan wisata (Yoeti

Hasil penelitian dapat digunakan untuk memperkaya data dan informasi mengenai kondisi kawasan hutan adat Citorek terutama perubahan penutupan lahan dan pengelolaannya serta

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh keberadaan aktivitas kawah ratu terhadap keanekaragaman jenis mamalia di TNGHS, keanekaragaman jenis mamalia di TNGHS, serta

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sebagai salah satu kawasan hutan alam yang masih utuh memiliki potensi yang sangat besar sebagai penyerap karbon dan telah dibuktikan

Sebelum dilakukannya uji coba, Balai TNGHS dan JICA membentuk Tim kerja yang bertanggung jawab pada perencanaan dan pelaksanaan dari pendekatan partisipatif. Tim kerja

Dua permasalahan konflik lahan yang terjadi di TNGHS, yaitu (a) tidak sinkronnya antara batas kawa- san hutan TNGHS dengan tata ruang kabupaten yang ada di sekitarnya

HASIL Keanekaragaman jenis pohon di hutan alam kawasan Bukit Berbakti, TNGHS pada luasan 1 hektar, tercatat sebanyak 46 jenis pohon yang termasuk dalam 38 marga dari 27 suku