PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN
PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG
FORMALDEHID DAN BORAKS
Oleh
MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038
2005
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Martantri Dwi Nugrahani. F24101038. Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein pada Mie Basah Matang yang Mengandung Formaldehid dan Boraks. Di
bawah bimbingan Nuri Andarwulan dan Dahrul Syah. 2005.
RINGKASAN
Penggunaan bahan tambahan ilegal seperti formalin dan boraks dalam pembuatan mie basah banyak terjadi, khususnya di daerah Jabotabek. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan umur simpan mie basah. Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang yang tersebar di daerah Jakarta (5 industri), Bogor (3 industri), Tangerang (3 industri), dan Bekasi (6 industri) yang dilakukan oleh Indrawan (2005) memperlihatkan bahwa seluruh industri tersebut menggunakan bahan tambahan ilegal (formalin atau boraks). Perinciannya adalah 13 industri (76.47%) menggunakan formalin dan 16 industri (94.12%) menggunakan boraks. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 industri (70.59%) menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri (23.53%) menggunakan boraks saja, dan hanya 1 industri (5.88%) yang menggunakan formalin saja (Indrawan, 2005). Kandungan formalin rata-rata dalam mie basah di pasar tradisional Jabotabek adalah 106.00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2 914.36 mg/kg (mie basah matang). Mie yang dijual oleh pedagang produk olahan mie daerah Jabotabek rata-rata mengandung formalin 72.93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3 423.51 mg/kg (mie basah matang). Sementara itu, mie yang dijual di supermarket Jabotabek mengandung formalin 113.45 mg/kg (mie basah mentah) dan 2 941.82 mg/kg (mie basah matang) (Gracecia, 2005; Priyatna, 2005).
Formaldehid dan boraks yang ditambahkan ke dalam bahan pangan merupakan salah satu bahaya terhadap keamanan pangan. Formalin adalah nama umum yang dipakai untuk larutan 37% gas formaldehid dalam air. Senyawa ini mudah terbakar, berbau tajam, tidak berwarna, mudah dipolimerisasi pada suhu ruang, dan berfungsi sebagai desinfektan atau pengawet (Hart, 1983). Sodium tetraborat dekahidrat dikenal juga dengan nama boraks, yang mempunyai rumus kimia Na2B4O7.10H2O dengan berat molekul 381.44. Boraks biasanya digunakan untuk deterjen, perekat, kosmetik, obat-obatan, desinfektan, insektisida, serta sebagai pelarut gum, dekstrin, dan kasein. Penelitian terhadap mie basah mentah yang dilakukan oleh Oktaviani (2005) menunjukkan bahwa formaldehid akan menurunkan kelarutan protein. Boraks juga dapat menurunkan kelarutan protein dalam jumlah yang lebih rendah daripada formaldehid. Kombinasi kedua aditif tersebut semakin menurunkan kelarutan protein. Selain itu, daya cerna protein in
vitro menurun secara signifikan pada mie mentah yang ditambah formaldehid.
Mie basah matang relatif lebih tahan terhadap reaksi pencoklatan enzimatis dibandingkan mie basah mentah. Hal ini disebabkan enzim polifenol oksidase (PPO) telah diinaktifkan selama perebusan. Penambahan formaldehid menyebabkan warna kuning mie semakin pudar, namun tingkat kecerahannya semakin tinggi. Dua sampel yang memiliki konsentrasi formaldehid tertinggi (penambahan sebanyak 3680 mg/kg air perebus) mempunyai warna yang berbeda nyata dengan keempatbelas sampel lainnya (p<0.05). Pigmen karotenoid dari minyak nabati tidak cukup meningkatkan warna kuning kedua sampel tersebut. Sementara itu, karakteristik fisik berupa gaya putus dan elongasi, serta karakteristik kimia berupa Aw, kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat seluruh sampel tidak berbeda nyata (p>0.05).
Jumlah absolut formaldehid yang terukur dalam produk akhir selalu lebih kecil dibandingkan jumlah absolut formaldehid di dalam air perebus. Keduanya berbanding lurus secara linier dengan R2 lebih besar dari 0.9 dan koefisien X jauh lebih kecil dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa mie memiliki keterbatasan dalam menyerap formaldehid, dan semakin tinggi kadar formaldehid dalam air perebus, kemampuan mie menyerap formaldehid justru semakin menurun. Obat mie pasar diketahui mengandung boraks sebanyak 38.64 mg/g, sehingga mie yang dibuat dengan menggunakan obat mie akan selalu mengandung boraks dalam jumlah lebih besar dibandingkan mie yang dibuat dengan menggunakan kansui. Daya cerna mie basah matang justru meningkat dengan semakin tingginya kandungan formaldehid. Penurunan daya cerna baru terjadi apabila formaldehid dikombinasikan dengan boraks.
Pengaruh boraks dalam menurunkan solubilitas protein lebih besar pada mie yang menggunakan obat mie dibandingkan pada mie yang menggunakan kansui. Sebaliknya, pengaruh penambahan formaldehid justru lebih besar pada mie yang menggunakan kansui dibandingkan mie yang menggunakan obat mie. Kombinasi formaldehid dan boraks sekaligus umumnya menghasilkan solubilitas protein yang lebih rendah dibandingkan sampel yang hanya mengalami penambahan salah satu aditif. Sampel dengan kadar boraks rendah, mempunyai solubilitas maksimum pada pH basa, sedangkan sampel dengan kadar boraks tinggi mempunyai solubilitas maksimum pada pH asam. Pada mie yang ditambah formaldehid, solubilitas maksimum umumnya tercapai di pH basa. Solubilitas sampel yang mengalami penambahan formaldehid sekaligus boraks umumnya menurun dengan meningkatnya konsentrasi garam.
PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG
FORMALDEHID DAN BORAKS
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038
2005
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG
FORMALDEHID DAN BORAKS
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038
Dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1983
Di Bogor
Tanggal Lulus: 9 Desember 2005
Menyetujui,
Bogor, Desember 2005
Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi. Dosen Pembimbing I
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Dosen Pembimbing II Mengetahui,
RIWAYAT HIDUP
Penulis yang bernama lengkap Martantri Dwi
Nugrahani dilahirkan di Bogor pada hari Kamis, 3 Maret
1983. Sebagai anak kedua dari dua bersaudara, penulis
dibesarkan dalam keluarga yang bahagia, dengan ayah
bernama Suripto dan ibu bernama Sri Yuli Absari.
Bangku sekolah dijalani oleh penulis di kota hujan,
dimulai dari TK Tunas Rimba 2 Bogor, SDN Panaragan 1 Bogor, SMPN 4 Bogor,
dan SMUN 5 Bogor. Selepas SMU, penulis diterima menjadi mahasiswa
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB
melalui jalur USMI.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi pengurus Himpunan
Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) di divisi kesekretariatan,
anggota paduan suara Fateta, asisten praktikum Teknologi Pengolahan Bumbu
dan Rempah (2005), dan asisten praktikum Kimia untuk mahasiswa tingkat 1
(2003–2005). Penulis juga berpartisipasi dalam kepanitiaan berbagai acara di
lingkungan Fateta, seperti Lepas Landas Sarjana, Lomba Cepat Tepat Ilmu
Pangan, dan BAUR. Pada tahun 2002, penulis mendapat beasiswa Gudang
Garam, kemudian pada tahun 2003, penulis berhasil memperoleh beasiswa BCA.
Pertengahan tahun 2004, penulis mengikuti Praktek Lapangan selama 2
bulan dengan tema “Penerapan GMP (Good Manufacturing Practices) dalam Produksi Susu Chilled, Susu Prepack, dan Susu Cup di Milk Treatment KPBS Pangalengan Bandung”. Sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana
Teknologi Pertanian, penulis melakukan penelitian mengenai “Perubahan
Karakteristik dan Kualitas Protein pada Mie Basah Matang yang Mengandung
Formaldehid dan Boraks” di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, Msi. dan
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, atas rahmat dan karunia Allah SWT, tugas akhir mengenai
perubahan karakteristik dan kualitas protein pada mie basah matang yang
mengandung formaldehid dan boraks ini dapat diselesaikan. Di dalam kesempatan
ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam penyelesaian
tugas akhir ini, di antaranya adalah:
1. Mama dan Bapak, kata dan perbuatan tidak akan pernah cukup untuk
membalas semua kerja keras, kasih sayang, doa, semangat, serta dukungan
moril dan materiil yang telah kalian berikan.
2. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi., selaku dosen pembimbing, yang telah
memberi nasihat, motivasi, saran, dan kritik yang membangun.
3. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc., yang telah memberi saran dan masukan selama
penelitian ini.
4. Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc., atas kesediaannya menjadi dosen penguji.
5. Australian Wheat Board, atas dukungan dana untuk penelitian ini.
6. Keli, kakakku tersayang, Puji sepupuku, dan keluarga besar Rd. Suryo Hadi
Sapoetro, lingkungan penuh kasih sayang tempat penulis dibesarkan.
7. Loemoeders (Sanjung, Via, Maya, Vica, dan Ari), sahabat-sahabat yang
membuat masa kuliah di TPG menjadi lebih indah.
8. Laboran-laboran (Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Koko, Pak Rojak, Pak Yahya,
Pak Sidiq, Pak Gatot, Bu Rubiah, Teh Ida, dan Mbak Darsi).
9. Okta, rekan penelitian yang selalu siap membantu, selalu memberi semangat,
dan selalu menjadi inspirasi bagi penulis.
10. Teman-teman TPG 38, khususnya golongan B yang kompak, seru, dan penuh
kekeluargaan, Ari Junaedi, Gesit, kelompok B1 (Hans, Inne, Armi, dan
Chamdani), teman-teman sebimbingan (Daniel, Pahrudin, dan Anwar), serta
adik-adik kelasku TPG 39 (Yulizar, Ully, dkk).
11. Nia, yang telah membantu dalam perubahan skripsi ini dari bentuk disket
12. Rekan-rekan di laboratorium, khususnya Lina, Meli, Wulan, Derry, Astri,
Aya, Putri, Christina, Mimi, Umi, Vivin, Sigit, Riyadi, Inggrid, Gilang,
Stella, Hendry, Ale, Sidarta, Amanda, dan Novi.
Penulis telah berusaha menyusun skripsi ini sebaik mungkin, namun tidak
ada karya manusia yang sempurna. Semoga dengan kekurangan yang masih ada,
skripsi ini tetap dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Desember 2005
DAFTAR ISI
B. TUJUAN PENELITIAN………...
C. MANFAAT PENELITIAN………..
II. TINJAUAN PUSTAKA………..
A. MIE………...
1. Pembuatan Mie Basah Matang……….
2. Warna Mie………
3. Tekstur Mie………..
B. PROTEIN………..
1. Protein Gandum………...
2. Sifat-sifat Protein……….
C. FORMALDEHID……….
1. Sifat Kimia dan Fisik Formaldehid………..
2. Studi Keamanan Formaldehid………..
3. Analisis Formaldehid (AOAC, 1995)………..
D. BORAKS………..
1. Sifat Kimia dan Fisik Boraks………...
2. Studi Keamanan Boraks………...
3. Analisis Boraks (SNI, 1991)………
III. BAHAN DAN METODE………
A. BAHAN DAN ALAT………...
B. METODE PENELITIAN………..
1. Pembuatan Mie Basah Matang……….
2. Analisis Sifat Fisik………...
a. Warna (Metode Hunter)………..
b. Tekstur (Gaya Putus dan Elongasi)………
3. Analisis Sifat Kimia……….
a. Aktivitas Air (Aw)………...
b. Kadar Air (AOAC, 1995)………
c. Kadar Abu (AOAC, 1995)………..
d. Kadar Protein (Metode Mikro Kjeldahl)……….
e. Kadar Lemak (Metode Soxhlet)………..
f. Kadar Karbohidrat (by difference)………... g. Kadar Formaldehid (AOAC, 1995)……….
h. Kadar Boraks (SNI, 1991)………...
4. Daya Cerna Protein In Vitro (Teknik Multi Enzim)……… 5. Analisis Solubilitas Protein………..
a. Persiapan Sampel untuk Solubilitas (Sathe, 1994)………..
b. Pengukuran Solubilitas Protein (Metode Bradford)………
c. Perubahan Solubilitas Protein akibat Perubahan pH…………...
d. Perubahan Solubilitas Protein di dalam Larutan Garam……….
6. Elektroforesis………...
a. Persiapan Sampel untuk Elektroforesis………...
b. SDS-PAGE dan Native-PAGE……… 7. Analisis Data………
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………
A. KARAKTERISTIK FISIK MIE BASAH MATANG………..
1. Warna………...
2. Tekstur……….
B. KARAKTERISTIK KIMIA MIE BASAH MATANG………....
PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN
PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG
FORMALDEHID DAN BORAKS
Oleh
MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038
2005
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Martantri Dwi Nugrahani. F24101038. Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein pada Mie Basah Matang yang Mengandung Formaldehid dan Boraks. Di
bawah bimbingan Nuri Andarwulan dan Dahrul Syah. 2005.
RINGKASAN
Penggunaan bahan tambahan ilegal seperti formalin dan boraks dalam pembuatan mie basah banyak terjadi, khususnya di daerah Jabotabek. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan umur simpan mie basah. Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang yang tersebar di daerah Jakarta (5 industri), Bogor (3 industri), Tangerang (3 industri), dan Bekasi (6 industri) yang dilakukan oleh Indrawan (2005) memperlihatkan bahwa seluruh industri tersebut menggunakan bahan tambahan ilegal (formalin atau boraks). Perinciannya adalah 13 industri (76.47%) menggunakan formalin dan 16 industri (94.12%) menggunakan boraks. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 industri (70.59%) menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri (23.53%) menggunakan boraks saja, dan hanya 1 industri (5.88%) yang menggunakan formalin saja (Indrawan, 2005). Kandungan formalin rata-rata dalam mie basah di pasar tradisional Jabotabek adalah 106.00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2 914.36 mg/kg (mie basah matang). Mie yang dijual oleh pedagang produk olahan mie daerah Jabotabek rata-rata mengandung formalin 72.93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3 423.51 mg/kg (mie basah matang). Sementara itu, mie yang dijual di supermarket Jabotabek mengandung formalin 113.45 mg/kg (mie basah mentah) dan 2 941.82 mg/kg (mie basah matang) (Gracecia, 2005; Priyatna, 2005).
Formaldehid dan boraks yang ditambahkan ke dalam bahan pangan merupakan salah satu bahaya terhadap keamanan pangan. Formalin adalah nama umum yang dipakai untuk larutan 37% gas formaldehid dalam air. Senyawa ini mudah terbakar, berbau tajam, tidak berwarna, mudah dipolimerisasi pada suhu ruang, dan berfungsi sebagai desinfektan atau pengawet (Hart, 1983). Sodium tetraborat dekahidrat dikenal juga dengan nama boraks, yang mempunyai rumus kimia Na2B4O7.10H2O dengan berat molekul 381.44. Boraks biasanya digunakan untuk deterjen, perekat, kosmetik, obat-obatan, desinfektan, insektisida, serta sebagai pelarut gum, dekstrin, dan kasein. Penelitian terhadap mie basah mentah yang dilakukan oleh Oktaviani (2005) menunjukkan bahwa formaldehid akan menurunkan kelarutan protein. Boraks juga dapat menurunkan kelarutan protein dalam jumlah yang lebih rendah daripada formaldehid. Kombinasi kedua aditif tersebut semakin menurunkan kelarutan protein. Selain itu, daya cerna protein in
vitro menurun secara signifikan pada mie mentah yang ditambah formaldehid.
Mie basah matang relatif lebih tahan terhadap reaksi pencoklatan enzimatis dibandingkan mie basah mentah. Hal ini disebabkan enzim polifenol oksidase (PPO) telah diinaktifkan selama perebusan. Penambahan formaldehid menyebabkan warna kuning mie semakin pudar, namun tingkat kecerahannya semakin tinggi. Dua sampel yang memiliki konsentrasi formaldehid tertinggi (penambahan sebanyak 3680 mg/kg air perebus) mempunyai warna yang berbeda nyata dengan keempatbelas sampel lainnya (p<0.05). Pigmen karotenoid dari minyak nabati tidak cukup meningkatkan warna kuning kedua sampel tersebut. Sementara itu, karakteristik fisik berupa gaya putus dan elongasi, serta karakteristik kimia berupa Aw, kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat seluruh sampel tidak berbeda nyata (p>0.05).
Jumlah absolut formaldehid yang terukur dalam produk akhir selalu lebih kecil dibandingkan jumlah absolut formaldehid di dalam air perebus. Keduanya berbanding lurus secara linier dengan R2 lebih besar dari 0.9 dan koefisien X jauh lebih kecil dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa mie memiliki keterbatasan dalam menyerap formaldehid, dan semakin tinggi kadar formaldehid dalam air perebus, kemampuan mie menyerap formaldehid justru semakin menurun. Obat mie pasar diketahui mengandung boraks sebanyak 38.64 mg/g, sehingga mie yang dibuat dengan menggunakan obat mie akan selalu mengandung boraks dalam jumlah lebih besar dibandingkan mie yang dibuat dengan menggunakan kansui. Daya cerna mie basah matang justru meningkat dengan semakin tingginya kandungan formaldehid. Penurunan daya cerna baru terjadi apabila formaldehid dikombinasikan dengan boraks.
Pengaruh boraks dalam menurunkan solubilitas protein lebih besar pada mie yang menggunakan obat mie dibandingkan pada mie yang menggunakan kansui. Sebaliknya, pengaruh penambahan formaldehid justru lebih besar pada mie yang menggunakan kansui dibandingkan mie yang menggunakan obat mie. Kombinasi formaldehid dan boraks sekaligus umumnya menghasilkan solubilitas protein yang lebih rendah dibandingkan sampel yang hanya mengalami penambahan salah satu aditif. Sampel dengan kadar boraks rendah, mempunyai solubilitas maksimum pada pH basa, sedangkan sampel dengan kadar boraks tinggi mempunyai solubilitas maksimum pada pH asam. Pada mie yang ditambah formaldehid, solubilitas maksimum umumnya tercapai di pH basa. Solubilitas sampel yang mengalami penambahan formaldehid sekaligus boraks umumnya menurun dengan meningkatnya konsentrasi garam.
PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG
FORMALDEHID DAN BORAKS
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038
2005
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG
FORMALDEHID DAN BORAKS
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038
Dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1983
Di Bogor
Tanggal Lulus: 9 Desember 2005
Menyetujui,
Bogor, Desember 2005
Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi. Dosen Pembimbing I
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Dosen Pembimbing II Mengetahui,
RIWAYAT HIDUP
Penulis yang bernama lengkap Martantri Dwi
Nugrahani dilahirkan di Bogor pada hari Kamis, 3 Maret
1983. Sebagai anak kedua dari dua bersaudara, penulis
dibesarkan dalam keluarga yang bahagia, dengan ayah
bernama Suripto dan ibu bernama Sri Yuli Absari.
Bangku sekolah dijalani oleh penulis di kota hujan,
dimulai dari TK Tunas Rimba 2 Bogor, SDN Panaragan 1 Bogor, SMPN 4 Bogor,
dan SMUN 5 Bogor. Selepas SMU, penulis diterima menjadi mahasiswa
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB
melalui jalur USMI.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi pengurus Himpunan
Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) di divisi kesekretariatan,
anggota paduan suara Fateta, asisten praktikum Teknologi Pengolahan Bumbu
dan Rempah (2005), dan asisten praktikum Kimia untuk mahasiswa tingkat 1
(2003–2005). Penulis juga berpartisipasi dalam kepanitiaan berbagai acara di
lingkungan Fateta, seperti Lepas Landas Sarjana, Lomba Cepat Tepat Ilmu
Pangan, dan BAUR. Pada tahun 2002, penulis mendapat beasiswa Gudang
Garam, kemudian pada tahun 2003, penulis berhasil memperoleh beasiswa BCA.
Pertengahan tahun 2004, penulis mengikuti Praktek Lapangan selama 2
bulan dengan tema “Penerapan GMP (Good Manufacturing Practices) dalam Produksi Susu Chilled, Susu Prepack, dan Susu Cup di Milk Treatment KPBS Pangalengan Bandung”. Sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana
Teknologi Pertanian, penulis melakukan penelitian mengenai “Perubahan
Karakteristik dan Kualitas Protein pada Mie Basah Matang yang Mengandung
Formaldehid dan Boraks” di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, Msi. dan
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, atas rahmat dan karunia Allah SWT, tugas akhir mengenai
perubahan karakteristik dan kualitas protein pada mie basah matang yang
mengandung formaldehid dan boraks ini dapat diselesaikan. Di dalam kesempatan
ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam penyelesaian
tugas akhir ini, di antaranya adalah:
1. Mama dan Bapak, kata dan perbuatan tidak akan pernah cukup untuk
membalas semua kerja keras, kasih sayang, doa, semangat, serta dukungan
moril dan materiil yang telah kalian berikan.
2. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi., selaku dosen pembimbing, yang telah
memberi nasihat, motivasi, saran, dan kritik yang membangun.
3. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc., yang telah memberi saran dan masukan selama
penelitian ini.
4. Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc., atas kesediaannya menjadi dosen penguji.
5. Australian Wheat Board, atas dukungan dana untuk penelitian ini.
6. Keli, kakakku tersayang, Puji sepupuku, dan keluarga besar Rd. Suryo Hadi
Sapoetro, lingkungan penuh kasih sayang tempat penulis dibesarkan.
7. Loemoeders (Sanjung, Via, Maya, Vica, dan Ari), sahabat-sahabat yang
membuat masa kuliah di TPG menjadi lebih indah.
8. Laboran-laboran (Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Koko, Pak Rojak, Pak Yahya,
Pak Sidiq, Pak Gatot, Bu Rubiah, Teh Ida, dan Mbak Darsi).
9. Okta, rekan penelitian yang selalu siap membantu, selalu memberi semangat,
dan selalu menjadi inspirasi bagi penulis.
10. Teman-teman TPG 38, khususnya golongan B yang kompak, seru, dan penuh
kekeluargaan, Ari Junaedi, Gesit, kelompok B1 (Hans, Inne, Armi, dan
Chamdani), teman-teman sebimbingan (Daniel, Pahrudin, dan Anwar), serta
adik-adik kelasku TPG 39 (Yulizar, Ully, dkk).
11. Nia, yang telah membantu dalam perubahan skripsi ini dari bentuk disket
12. Rekan-rekan di laboratorium, khususnya Lina, Meli, Wulan, Derry, Astri,
Aya, Putri, Christina, Mimi, Umi, Vivin, Sigit, Riyadi, Inggrid, Gilang,
Stella, Hendry, Ale, Sidarta, Amanda, dan Novi.
Penulis telah berusaha menyusun skripsi ini sebaik mungkin, namun tidak
ada karya manusia yang sempurna. Semoga dengan kekurangan yang masih ada,
skripsi ini tetap dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Desember 2005
DAFTAR ISI
B. TUJUAN PENELITIAN………...
C. MANFAAT PENELITIAN………..
II. TINJAUAN PUSTAKA………..
A. MIE………...
1. Pembuatan Mie Basah Matang……….
2. Warna Mie………
3. Tekstur Mie………..
B. PROTEIN………..
1. Protein Gandum………...
2. Sifat-sifat Protein……….
C. FORMALDEHID……….
1. Sifat Kimia dan Fisik Formaldehid………..
2. Studi Keamanan Formaldehid………..
3. Analisis Formaldehid (AOAC, 1995)………..
D. BORAKS………..
1. Sifat Kimia dan Fisik Boraks………...
2. Studi Keamanan Boraks………...
3. Analisis Boraks (SNI, 1991)………
III. BAHAN DAN METODE………
A. BAHAN DAN ALAT………...
B. METODE PENELITIAN………..
1. Pembuatan Mie Basah Matang……….
2. Analisis Sifat Fisik………...
a. Warna (Metode Hunter)………..
b. Tekstur (Gaya Putus dan Elongasi)………
3. Analisis Sifat Kimia……….
a. Aktivitas Air (Aw)………...
b. Kadar Air (AOAC, 1995)………
c. Kadar Abu (AOAC, 1995)………..
d. Kadar Protein (Metode Mikro Kjeldahl)……….
e. Kadar Lemak (Metode Soxhlet)………..
f. Kadar Karbohidrat (by difference)………... g. Kadar Formaldehid (AOAC, 1995)……….
h. Kadar Boraks (SNI, 1991)………...
4. Daya Cerna Protein In Vitro (Teknik Multi Enzim)……… 5. Analisis Solubilitas Protein………..
a. Persiapan Sampel untuk Solubilitas (Sathe, 1994)………..
b. Pengukuran Solubilitas Protein (Metode Bradford)………
c. Perubahan Solubilitas Protein akibat Perubahan pH…………...
d. Perubahan Solubilitas Protein di dalam Larutan Garam……….
6. Elektroforesis………...
a. Persiapan Sampel untuk Elektroforesis………...
b. SDS-PAGE dan Native-PAGE……… 7. Analisis Data………
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………
A. KARAKTERISTIK FISIK MIE BASAH MATANG………..
1. Warna………...
2. Tekstur……….
B. KARAKTERISTIK KIMIA MIE BASAH MATANG………....
2. Kadar Air………..
3. Kadar Abu………
4. Kadar Protein………...
5. Kadar Lemak………
6. Kadar Karbohidrat………
7. Kadar Formaldehid………...
8. Kadar Boraks………
C. DAYA CERNA PROTEIN………..
D. SOLUBILITAS……….
1. Solubilitas Protein dalam Berbagai pH………
2. Solubilitas Protein dalam Berbagai Konsentrasi Larutan Garam….
E. ELEKTROFORESIS………
1. SDS-PAGE………...
2. Native-PAGE………
V. KESIMPULAN DAN SARAN………
A. KESIMPULAN……….
B. SARAN……….
DAFTAR PUSTAKA……….
LAMPIRAN……… 59
60
62
63
65
67
70
74
76
80
83
86
86
93
99
99
101
102
DAFTAR TABEL
Syarat mutu mie basah (SNI 01-2987-1992)………..
Karakteristik formaldehid………...
Kandungan formaldehid dalam bahan pangan………...
Pengaruh formaldehid bagi kesehatan manusia melalui pernapasan..
Kandungan boron dalam beberapa bahan pangan………..
Keterangan jumlah dari bahan tambahan………...
Formulasi bahan tambahan untuk masing-masing sampel………….
Nilai Aw dan kadar air mie basah………..
Kadar proksimat tepung terigu Segitiga dan Cakra Kembar...
Kadar formaldehid mie basah matang………...……….
Kadar boraks mie basah matang……….
Konsentrasi akrilamid untuk pemisahan protein pada BM tertentu...
Subunit protein mie basah matang dalam SDS-PAGE………...
Perbandingan berat molekul (BM) subunit protein mie matang
DAFTAR GAMBAR
Senyawa asam borat………...
Reaksi polimerisasi akrilamid………
Diagram alir pembuatan mie basah matang………...
Kurva hubungan gaya putus dan elongasi………..
Diagram alir tahapan dalam elektroforesis……….
Pengaruh penambahan aditif terhadap warna mie...……….
Pengaruh penambahan aditif terhadap tekstur mie...………
Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar abu mie...…...
Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar protein mie...
Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar lemak mie...
Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar karbohidrat mie…...
Penyerapan formaldehid pada mie basah matang.……….
Hubungan kadar formaldehid dengan adanya boraks di dalam
mie matang...
Hubungan kadar boraks dengan adanya formaldehid di dalam
mie matang yang menggunakan obat mie...
Hubungan kadar boraks dengan adanya formaldehid di dalam
mie matang yang menggunakan kansui...
Jumlah boraks yang tertahan di dalam mie basah matang...
Hubungan formaldehid dengan boraks dalam mie matang………
Pengaruh penambahan aditif terhadap daya cerna protein mie…..
Solubilitas protein mie basah matang dalam NaOH 0.1 M………
Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan obat
mie dalam berbagai pH...
Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan
kansui dalam berbagai pH...
Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan obat
Gambar 23.
Gambar 24.
Gambar 25.
Gambar 26.
Gambar 27.
Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan
kansui dalam larutan garam...
Elektroforegram I SDS-PAGE pada konsentrasi gel 10%……….
Elektroforegram II SDS-PAGE pada konsentrasi gel 10%………
Elektroforegram I native-PAGE pada konsentrasi gel 5%………. Elektroforegram II native-PAGE pada konsentrasi gel 5%……...
85
88
89
94
DAFTAR LAMPIRAN
Karakteristik fisik dan Aw mie basah matang………..
Karakteristik kimia mie basah matang………..
Uji Anova One-Way dan uji Duncan terhadap tingkat
kekuningan mie……….
Uji Anova One-Way dan uji Duncan terhadap tingkat
kecerahan mie………...
Uji Anova One-Way dan uji Duncan terhadap derajat hue
mie……….
Uji Anova One-Way terhadap gaya putus mie………..
Uji Anova One-Way terhadap persen elongasi mie…………...
Uji Anova One-Way terhadap aktivitas air mie……….
Uji Anova One-Way terhadap kadar air mie……….
Uji Anova One-Way terhadap kadar abu mie………
Uji Anova One-Way terhadap kadar protein mie………..
Uji Anova One-Way terhadap kadar lemak mie………
Uji Anova One-Way terhadap kadar karbohidrat mie………...
Kurva standar formaldehid………
Daya cerna protein mie basah matang………..
Kurva standar BSA………...
Solubilitas protein mie basah matang………...
Larutan-larutan untuk elektroforesis……….
Prosedur elektroforesis………..
Kurva standar elektroforesis……….
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pasal 1 ayat 4 Undang-undang RI no. 7 tahun 1996 tentang Pangan
menyatakan keamanan pangan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan
untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda
lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan
manusia. Kesadaran masyarakat Indonesia akan keamanan pangan dapat
dikatakan masih sangat rendah. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya
makanan dan jajanan yang mengandung bahan tambahan yang dilarang seperti
formalin dan boraks. Kepala Direktorat Surveilan dan Keamanan Pangan
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Winiati Pudji Rahayu (2005)
menyatakan bahwa walaupun tidak bisa dipastikan berapa persen dari
masyarakat Indonesia yang mengerti dan sadar tentang keamanan pangan,
jumlah yang tidak mengerti lebih banyak.
Senada dengan Winiati, Endang S. Rahayu dari Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) mengungkapkan bahwa
berdasarkan hasil survei yang dilakukannya terhadap 40 unit Usaha Kecil
Menengah (UKM), hanya 61% dari pengelola UKM yang memahami tentang
pedoman cara produksi yang baik untuk makanan berdasarkan SK Menkes
1978, sementara 8% tidak paham sama sekali. Endang juga menyampaikan
hasil penelitian BPOM pada 2003, yang menunjukkan bahwa dari 9 456
sampel makanan/jajanan yang diambil, 5.6%-nya tidak memenuhi persyaratan.
Selain itu, 195 jenis produk makanan menggunakan pewarna yang bukan untuk
makanan (rhodamin B), 70 jenis menggunakan formalin, 94 jenis
menggunakan boraks, dan 50 jenis menggunakan pengawet yang berlebihan
terutama asam benzoat (Media Indonesia On Line, 2004). Banyaknya UKM yang tidak memahami pedoman produksi makanan yang baik sangat
mengkhawatirkan, karena mereka seharusnya menjadi tulang punggung
Mie basah merupakan salah satu contoh produk pangan yang dihasilkan
oleh UKM. Mie basah telah menjadi makanan populer dan merupakan bagian
yang penting dalam diet masyarakat Indonesia. Pembuatan mie saat ini
menggunakan bahan tambahan, dengan tujuan memperbaiki sifat fisik dan daya
tahan mie. Biasanya, bahan tambahan yang digunakan adalah K2CO3, Na2CO3,
dan polifosfat yang pada kadar tertentu boleh digunakan.
Hasil survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie
basah matang yang tersebar di daerah Jakarta (5 industri), Bogor (3 industri),
Tangerang (3 industri), dan Bekasi (6 industri) menunjukkan bahwa natrium
benzoat digunakan oleh 91.7% industri mie basah dan 100% industri mie
matang, kalium sorbat bersama-sama dengan natrium benzoat digunakan oleh
16.7% industri mie mentah dan 20% industri mie matang, sedangkan pewarna
tartrazine digunakan oleh 16.7% industri mie mentah dan 100% industri mie
matang (Indrawan, 2005).
Mie basah memiliki umur simpan yang pendek, hanya sekitar satu
sampai dua hari pada suhu ruang. Kerusakan yang terjadi banyak disebabkan
oleh kontaminasi mikroba selama proses produksi dan kerusakan selama
pengangkutan atau distribusi. Itulah sebabnya, banyak produsen yang
menggunakan bahan tambahan ilegal seperti formalin dan boraks untuk
meningkatkan umur simpan mie basah. Mereka melakukan ini untuk meraih
keuntungan lebih besar tanpa memikirkan bahayanya bagi kesehatan. Survei
terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang di
daerah Jabotabek yang dilakukan oleh Indrawan (2005) memperlihatkan bahwa
seluruh industri tersebut menggunakan bahan tambahan ilegal (formalin atau
boraks). Perinciannya adalah 13 industri (76.47%) menggunakan formalin dan
16 industri (94.12%) menggunakan boraks. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12
industri (70.59%) menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri
(23.53%) menggunakan boraks saja, dan hanya 1 industri (5.88%) yang
B. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik dan kualitas
protein pada mie basah matang yang mengandung formaldehid dan boraks,
berdasarkan parameter fisik dan kimia mie basah matang, kadar formaldehid
dan boraks dalam produk akhir, perubahan sifat kelarutan protein dalam larutan
garam, asam, dan basa, perubahan daya cerna protein in vitro, serta pola elektroforesis SDS-PAGE dan native-PAGE.
C. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini berguna untuk memberi informasi mengenai keamanan
pangan kepada masyarakat. Melalui analisis ini, karakteristik bahan pangan
yang diawetkan dengan formaldehid dan boraks dapat dibedakan berdasarkan
sifat fisik, kimia, kelarutan protein, pola elektroforesis, dan nilai biologis in
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. MIE
Mie, seperti halnya nasi, telah memainkan peranan penting dalam diet
masyarakat Indonesia. Produk mie umumnya digunakan sebagai sumber
energi karena kandungan karbohidratnya yang relatif tinggi. Ada beberapa tipe
mie yang disebabkan perbedaan dalam bahan baku, bentuk produk, dan
metode pengolahan. Mie tersebut telah melalui berbagai perubahan yang
dilatarbelakangi perjalanan waktu, inovasi teknik, dan permintaan konsumen.
Pembuatan mie di dalam rumah tangga diperkenalkan dari Cina sekitar
1 200 tahun yang lalu, dan kemudian menyebar ke negara-negara lain. Sekitar
700 tahun yang lalu, telah dikembangkan pembuatan so-men (mie yang sangat tipis) dengan tangan. Pengembangan mesin pembuat mie dilakukan oleh T.
Masaki pada 1884 (Kruger et al., 1996), yang menjadi revolusi industri mie. Pada tahun 1957, mie tipe Cina yang disajikan dingin menjadi populer,
terutama di daerah Nagoya, Jepang. Pada tahun berikutnya, mie instan
pertama yang disebut chicken ra-men diluncurkan ke pasaran, dan pada 1964 banyak industri yang mulai memproduksi mie instan tipe Cina.
Menurut Pagani (1985), berdasarkan ukuran diameter produk, mie
dibedakan menjadi tiga, yaitu spaghetti (0.11–0.27 inci), mie (0.07–0.125
inci), dan vermiselli (<0.04 inci). Jika dilihat dari bahan bakunya, ada dua
jenis mie, yaitu mie yang berasal dari tepung terutama tepung terigu, dan mie
transparan yang berasal dari pati (misalnya soun dan bihun). Dari segi jenis
produk yang dipasarkan, terdapat dua jenis mie, yaitu mie basah (mie ayam
dan mie bakso), dan mie kering (mie telor dan mie instan). Mie kering dan mie
basah memiliki komposisi yang hampir sama. Perbedaannya terletak pada
kadar air dan tahapan pembuatan.
Mie basah yang terdapat di pasaran, berdasarkan pembuatan dan cara
konsumsinya, dibedakan menjadi dua jenis, yaitu mie mentah (misalnya untuk
dimasak dahulu dan kadar airnya sekitar 35%. Di pihak lain, mie matang telah
mengalami pemasakan sehingga kadar airnya meningkat menjadi sekitar 60%.
Menurut Badan Standardisasi Nasional (1992), definisi mie basah
adalah produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa
penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang
diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan. Kualitas mie basah
menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat mutu mie basah (SNI 01-2987-1992)
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1.
3. Kadar abu (dihitung atas dasar bahan
kering) % b/b Maks. 3
4. Kadar protein ((N x 6.25) dihitung atas
dasar bahan kering) % b/b
Min. 3
5.
Bahan tambahan pangan
• Boraks dan asam borat
• Pewarna
• Formalin
-
Tidak boleh ada
Sesuai SNI-0222-M dan peraturan MenKes. No. 722/Men.Kes/Per/IX/88 Tidak boleh ada
6.
Cemaran logam :
• Timbal (Pb)
Cemaran mikroba :
• Angka lempeng total
• E. coli
1. Pembuatan Mie Basah Matang
Bahan dasar umum untuk pembuatan mie basah ialah terigu, air, dan
bahan tambahan lain seperti garam, air abu, dan minyak goreng. Terigu
berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur, sumber karbohidrat, sumber
memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, serta meningkatkan
elastisitas dan fleksibilitas mie. Air abu adalah bahan alkali yang digunakan
untuk meningkatkan tekstur mie. Air abu atau kansui dapat mengandung
satu atau lebih bahan tambahan pangan, dan yang biasa digunakan adalah
natrium karbonat (Na2CO3), kalium karbonat (K2CO3), dan kalium polifosfat
(KH2PO4) sebagai bahan alkali dalam pembuatan mie. Bahan-bahan alkali
tersebut memiliki fungsi berbeda. Gabungan Na2CO3 dan K2CO3 berguna
untuk meningkatkan warna kuning dan memberikan flavor yang lebih baik.
Na2CO3 sendiri berfungsi untuk meningkatkan kehalusan dan tekstur mie,
K2CO3 untuk meningkatkan sifat kekenyalan mie, sedangkan KH2PO4 untuk
meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie (Badrudin, 1994).
Tahap pencampuran bertujuan untuk menghasilkan campuran yang
homogen, menghidrasi tepung dengan air, dan membentuk adonan dari
jaringan gluten, sehingga adonan menjadi elastis dan halus. Hal-hal yang
harus diperhatikan dalam proses pencampuran adalah jumlah air yang
ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Jumlah penambahan air
adalah sekitar 28-38% dari bobot tepung. Jika air yang ditambahkan kurang
dari 28%, adonan menjadi keras, rapuh, dan sulit dibentuk menjadi
lembaran, sedangkan jika air yang ditambahkan lebih dari 38%, adonan
menjadi basah dan lengket (Oh et al., 1985). Badrudin (1994) menyatakan bahwa waktu pengadukan terbaik adalah 15 sampai 25 menit. Apabila
kurang dari 15 menit, adonan menjadi lunak dan lengket, sedangkan bila
lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh, dan kering. Suhu adonan
yang terbaik adalah 25-40oC. Apabila suhunya kurang dari 25oC, adonan menjadi keras, rapuh, dan kasar, sedangkan bila suhunya lebih dari 40oC, adonan menjadi lengket sehingga mie kurang elastis. Hal ini disebabkan
semakin tinggi suhu, kapasitas pengikatan air dari protein semakin
berkurang. Akibatnya, jika suhu terlalu rendah, air tidak tersebar merata ke
seluruh adonan, namun jika suhu terlalu tinggi, air kurang terikat dalam
adonan. Adonan yang diharapkan bersifat lunak, lembut, tidak lengket,
Tahap selanjutnya ialah pembentukan lembaran (sheeting). Proses ini bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membentuk adonan
menjadi lembaran. Hal ini dilakukan dengan jalan melewatkan adonan
berulang-ulang di antara dua roll logam. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ini di antaranya adalah suhu dan jarak antara roll. Hasil akhir yang diharapkan adalah berupa lembaran adonan yang halus dengan arah jalur
serat searah, sehingga dihasilkan mie yang elastis, kenyal, dan halus
(Badrudin, 1994).
Proses pembentukan lembaran dilanjutkan dengan proses
pemotongan. Proses pemotongan lembaran bertujuan untuk membentuk
pita-pita mie dengan ukuran lebar 1-3 mm. Selanjutnya, mie direbus.
Perebusan pita-pita mie bertujuan agar terjadi proses gelatinisasi pati dan
koagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal (Badrudin, 1994).
Gelatinisasi merupakan peristiwa pembengkakan granula pati
sehingga granula tersebut tidak dapat kembali pada posisi semula (Winarno,
1991). Gelatinisasi ini membuat pati meleleh dan akan membentuk lapisan
tipis (film) pada permukaan mie yang dapat menghasilkan kelembutan mie,
meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi daya rehidrasi mie
(Badrudin, 1994).
Tahap terakhir adalah pemberian minyak goreng. Pelumasan mie
yang telah direbus dengan minyak goreng dilakukan agar untaian mie tidak
menjadi lengket satu sama lain, memberikan citarasa, serta meningkatkan
warna dan penampakan agar mie tampak mengkilap.
Kadar air mie basah yang cukup tinggi menyebabkan mie basah
cepat mengalami kerusakan walaupun disimpan pada suhu lemari es.
Kerusakan yang sering terjadi adalah timbulnya kapang. Pada mie basah
matang, kerusakan terjadi pada penyimpanan suhu kamar setelah 40 jam,
berupa tumbuhnya kapang (Hoseney, 1998).
Setelah melewati umur simpan, mie basah akan menunjukan
tanda-tanda kerusakan. Karena mie basah cepat mengalami kerusakan atau
pengawet. Seringkali pengawet yang dipakai bukanlah pengawet yang
ditujukan untuk makanan. Penggunaan bahan tambahan ilegal formalin dan
boraks yang banyak terjadi di Jabotabek, dapat meningkatkan umur simpan
mie basah (Indrawan, 2005). Hal ini terlihat dari hasil survei terhadap
pedagang pasar tradisional dan pedagang produk olahan mie di daerah
Bogor dan Jakarta, yang menunjukkan bahwa umur simpan mie basah
mentah bisa mencapai 4 hari, sementara umur simpan mie basah matang
bisa mencapai 14 hari (Gracecia, 2005). Pedagang pasar tradisional maupun
pedagang produk olahan mie di daerah Bogor dan Jakarta sependapat
menyatakan bahwa kerusakan mie basah mentah ditandai dengan timbulnya
jamur (adanya bintik-bintik warna hitam/merah/biru), munculnya bau asam,
mie menjadi hancur, patah-patah, atau menjadi lembek. Demikian juga
untuk mie basah matang, ciri kerusakan ditandai dengan adanya bau asam,
tekstur menjadi lengket, berlendir, lembek, atau mie menjadi hancur. Secara
umum, ciri-ciri kerusakan mie basah mentah dan mie basah matang hampir
sama (Gracecia, 2005).
2. Warna Mie
Mutu bahan pangan sangat bergantung pada beberapa faktor, seperti
citarasa, warna, tekstur, nilai gizi, dan sifat mikrobiologisnya. Di antara
faktor-faktor tersebut, warna seringkali menjadi faktor penting yang menjadi
penilaian pertama. Bahan yang dinilai bergizi, enak, dan bertekstur baik,
tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang
atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya.
Ada 5 sebab umum yang dapat menyebabkan suatu bahan makanan
menjadi berwarna, yaitu: (1) pigmen yang secara alami terdapat pada
tanaman dan hewan; (2) reaksi karamelisasi yang timbul bila gula
dipanaskan menghasilkan warna coklat; (3) warna gelap yang timbul karena
adanya reaksi Maillard; (4) reaksi antara senyawa organik dengan udara
menghasilkan warna hitam atau coklat gelap; (5) penambahan zat warna,
Warna mie sering diasosiasikan dengan warna kuning. Warna
kekuningan alami pada mie mentah disebabkan oleh kandungan flavonoid
pada tepung terigu, yaitu karotenoid (Kruger et al., 1996). Komponen warna ini akan terlepas dari pati pada kondisi alkali, sehingga pigmen-pigmen
flavonoid berpeluang membentuk warna kuning pada adonan. Oleh karena
itu, penambahan alkali seperti kansui dan obat mie pada pembuatan mie
akan menyebabkan perubahan warna mie menjadi kuning.
Karotenoid utama di dalam gandum adalah karoten, xantofil, dan
ester xantofil (Rhim et al., 2000). Sebenarnya, kandungan karotenoid dalam gandum sangat sedikit jika dibandingkan dengan kandungan karotenoid
dalam jagung. Oleh karena karotenoid hanya merupakan konstituen minor
dari gandum, maka gandum bukanlah sumber prekursor vitamin A yang
signifikan. Meskipun demikian, warna yang berasal dari karotenoid
merupakan faktor penting dalam penggunaan serealia untuk produksi
pangan, terutama gandum durum yang digunakan untuk membuat pasta.
Menurut Hoseney (1998), selain timbulnya kapang, kerusakan pada
mie basah mentah adalah perubahan warna menjadi lebih gelap setelah
disimpan selama 50-60 jam pada suhu lemari es. Perubahan warna mie
menjadi lebih gelap disebabkan aktivitas enzim polifenol oksidase (PPO),
enzim yang juga menyebabkan browning pada buah. Enzim PPO dalam adonan mie berasal dari tepung terigu. Penelitian Baik et al. (1995) menunjukkan bahwa aktivitas enzim PPO pada tepung terigu kuat (hard
flour) lebih tinggi dibandingkan tepung terigu lemah (soft flour). Karena
adonan mie menggunakan terigu dengan kandungan protein tinggi (hard
flour), maka mie mentah mudah mengalami pencoklatan enzimatis. Oh et al.
(1985) menyatakan bahwa warna mie mentah juga dipengaruhi oleh
absorpsi air dan pH adonan. Jika absorpsi air meningkat, reaksi pencoklatan
enzimatis berpeluang untuk terjadi. Pencoklatan enzimatis tidak terjadi pada
mie matang, karena perebusan dapat merusak enzim PPO (Hoseney, 1998).
3. Tekstur Mie
Tekstur mie yang dimaksud di sini mencakup gaya putus dan
menahan beban yang dinyatakan dalam satuan gram force (gf), sedangkan
persentase elongasi merupakan daya ulur mie, yaitu perubahan panjang
maksimum mie sebelum sampel rusak atau putus yang dibandingkan dengan
panjang awalnya (Hay, 1968).
Protein gluten terutama fraksi gliadinnya mempunyai peran penting
dalam memperkuat adonan mie (Ruiter, 1978). Gluten merupakan suatu
massa yang kohesif dan dapat meregang secara elastis, sehingga
peningkatan gluten akan menyebabkan adonan semakin elastis dan tidak
mudah putus, baik sewaktu pencetakan maupun gelatinisasi. Dexter et al. (1981) menambahkan bahwa kekuatan adonan mie berasal dari interaksi
ikatan disulfida pada gluten. Pengurangan ikatan disulfida dan ikatan ionik
akan menurunkan elastisitas dan kekuatan mie. Jadi, penurunan kadar gluten
menyebabkan mie rapuh dan mudah patah. Menurut Roos et al. (1997), mie disebut memiliki tekstur yang baik apabila dapat memanjang lebih dari 75%
dari panjang mula-mula.
Bahan-bahan aditif yang ditambahkan ke dalam adonan dapat
mempengaruhi tekstur produk. Asam borat dapat membentuk kompleks
dengan protein dan karbohidrat untuk memperkuat tekstur. Reaksi antara
asam borat dengan gugus hidroksil yang banyak terdapat dalam senyawa
tersebut akan menghasilkan ester. Ester yang paling stabil terbentuk ketika
asam borat menjadi jembatan di antara komponen karbohidrat misalnya
pada fruktosa-boron-fruktosa.
Kemampuan formaldehid dalam memodifikasi gaya putus dan
elongasi terjadi karena formaldehid bereaksi dengan gugus ε-NH2 dari lisin untuk membentuk ikatan silang protein yang memperkuat tekstur.
Kemampuan formaldehid dalam melakukan ikatan silang pada protein telah
dilakukan oleh beberapa peneliti. Misalnya penelitian terhadap biopolimer
dari film tepung biji kapas yang dilakukan oleh Marquie et al. (1997). Di dalam larutan yang basa, ikatan silang antara protein yang disebabkan oleh
formaldehid berupa ikatan silang metilen di antara asam amino lisin. Ikatan
force) film tepung biji kapas. Bentuk ikatan silang metilen dapat digambarkan sebagai berikut (Marquie et al., 1997):
Protein Lys-NH-CH2-NH-Lys Protein
Pembentukan ikatan silang akibat reaksi antara formaldehid dengan
grup asam amino bebas lisin juga bisa terjadi pada film gluten gandum.
Akibatnya, sifat mekanis film ikut berubah. Penelitian yang dilakukan
Michard et al. (2000) menunjukkan bahwa pemberian uap formaldehid pada film akan memodifikasi protein dan mempengaruhi sifat fisik film.
Pengaruh yang ditimbulkan dapat berbeda tergantung dari jenis polimer
protein tersebut. Contohnya, film yang terbuat dari zein dan kacang pea
mengalami penurunan elongasi, sedangkan film yang terbuat dari tepung
biji kapas justru mengalami peningkatan elongasi (Michard et al., 2000). Formaldehid mampu bereaksi dengan bentuk primer dan sekunder
dari amina, hidroksil, amida, dan grup tiol untuk membentuk turunan
metilol (WHO, 2001). Tepung terigu mengandung 4-19 mikroekivalen tiol
dan 83-130 mikroekivalen grup disulfida per gram protein. Grup tiol pada
protein berpengaruh besar dalam pengembangan adonan. Reaksi antara
formaldehid dengan grup tiol protein dapat menurunkan elastisitas dan gaya
putus karena penurunan jumlah tiol dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya ikatan intermolekular disulfida. Padahal, ikatan disulfida ini
berperan dalam menjaga elastisitas dan gaya putus mie (Kinsella, 1979).
Reaksi antara formaldehid dengan grup asam amino pada protein
dapat mengurangi toksisitas formaldehid, akan tetapi mengakibatkan
penurunan kualitas tekstur. Menurut Dingle (1977), formaldehid dengan
konsentrasi 0.5 mM di dalam 100 g daging ikan akan menghasilkan struktur
yang keras sehingga mengurangi akseptabilitasnya untuk dikonsumsi.
B. PROTEIN
1. Protein Gandum
Hard-grain wheat (gandum durum) menghasilkan adonan yang kuat
sehingga digunakan dalam pembuatan pasta. Sebaliknya, soft-grain wheat
pembuatan kue (biskuit). Gandum dengan sifat di antara keduanya cocok
digunakan dalam pembuatan roti.
Gandum durum (Triticum turgidum L. var. durum) adalah komoditas pangan penting di dunia, tidak hanya karena lahannya yang luas namun juga
karena peranan pentingnya dalam diet. Program-program pangan di tingkat
nasional maupun internasional menekankan aktivitasnya bukan hanya
terhadap aspek produktivitas, melainkan juga terhadap kualitas gandum.
Telah diketahui bahwa karakteristik gandum durum yang akan
mempengaruhi kualitas produk akhir berhubungan dengan tingginya
kandungan protein dan komponen dari protein tersebut.
Terdapat hubungan antara komposisi dan struktur protein dengan
sifat fungsional. Dari sudut pandang sifat fungsionalnya, protein gandum
dibedakan ke dalam dua kelas, yaitu protein monomerik dan protein
polimerik, tergantung apakah protein tersebut terdiri dari satu atau lebih
rantai polipeptida. Protein monomerik (atau rantai tunggal) tersusun dari
dua grup utama, yaitu grup bertipe gliadin dan grup bertipe albumin atau
globulin.
Gliadin biasanya dibagi menjadi empat grup berdasarkan
mobilitasnya ketika dipisahkan dalam gel poliakrilamid pada kondisi pH
asam (acid-PAGE), yaitu α-, -, -, dan ω- gliadin. Bobot molekul gliadin berkisar antara 30 000 sampai 80 000 Da. Subunit ω-gliadin terpisah secara jelas dari polipeptida lainnya dalam sodium dodecyl sulphate
polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) karena bobot molekulnya
(70 000-80 000 Da) tidak berdekatan dengan polipeptida lain. Subunit ω -gliadin kekurangan sulfur, tapi subunit -gliadin lainnya mempunyai sejumlah
residu sistein, yang dapat membentuk ikatan disulfida intramolekul
(Srinivasan dan Alain, 1997).
Albumin (larut dalam air) dan globulin (larut dalam larutan garam)
adalah campuran dari komponen berbobot molekul rendah, banyak di
antaranya berupa enzim. Bobot molekulnya lebih rendah daripada gliadin
(20 000-30 000 Da). Komposisi asam aminonya juga berbeda nyata dengan
asam glutamat dan prolin, sementara albumin dan globulin memiliki
kandungan asam glutamat yang lebih rendah namun kaya akan asam amino
esensial lisin (Srinivasan dan Alain, 1997).
Tiga gugus utama protein menyusun protein polimerik, yaitu
glutenin, high molecular weight (HMW) albumin, dan triticin. Glutenin mempunyai porsi terbesar (sekitar 85%) dari protein polimerik. Bersama
dengan gliadin, mereka ditemukan dalam serealia dan tepung, dan
merupakan fraksi protein utama dalam endosperm gandum durum.
Kesamaan komposisi kimia glutenin dan gliadin mengindikasikan adanya
kesamaan asal usul genetik. Glutenin mengandung polipeptida-polipeptida
berbeda yang dihubungkan oleh ikatan disulfida intermolekul.
Polipeptidanya disebut subunit dan dibagi menjadi low molecular weight
(LMW) atau polipeptida berbobot molekul rendah dan HMW atau
polipeptida berbobot molekul tinggi, sesuai dengan bobot molekulnya ketika
dipisahkan dalam SDS-PAGE. Subunit glutenin menyebabkan perbedaan
dalam sifat viskoelastis gluten (Srinivasan dan Alain, 1997).
Protein polimerik selanjutnya yang jumlahnya cukup melimpah
adalah HMW albumin, terutama -amilase. Subunit albumin membentuk
polimer di antara jenisnya sendiri dan bukan dengan glutenin. Grup lain dari
protein polimerik adalah triticin, yaitu protein bertipe seperti globulin.
Mereka juga membentuk polimer dengan subunitnya sendiri (Srinivasan dan
Alain, 1997).
Tepung gandum mengandung pati dan protein. Dua bahan ini
menyusun 90% komposisi tepung (70-80% pati dan 10-15% protein). Di
dalam produk pangan, pati muncul dalam bentuk granula kecil (diameter
1-40 m), dan di dalam sistem seperti adonan, pati terdispersi dan berperan
sebagai bahan pengisi. Di pihak lain, protein membentuk jaringan yang
kontinyu dalam pengembangan adonan dan bertanggung jawab terhadap
viskoelastisitas produk.
Interaksi antara protein tepung dan air, yang juga merupakan
komponen penting dalam adonan, merupakan faktor kritis dalam tahap
2.25 sampai 3.15 ml/g (Zayas, 1997). Hidrasi seluruh komponen tepung,
terutama protein dan pati, merupakan syarat awal terbentuknya adonan yang
baik. Gluten dapat menahan sejumlah besar air di dalam strukturnya,
menghasilkan adonan dengan kadar air yang bisa mencapai 60%. Selama
pencampuran, gluten yang terdiri dari gliadin dan glutenin akan berinteraksi
dengan air, dengan satu sama lain, dan dengan komponen tepung lainnya,
seperti lipid, pati, gula, dan protein terlarut. Sifat reologi adonan
dipengaruhi oleh rasio protein dalam tepung dan pembentukan ikatan
selama tahap pencampuran.
Elastisitas dan viskoelastisitas gluten ditentukan oleh glutenin, yang
memiliki bobot molekul besar, dan interaksi hidrofobik dari residu asam
amino non polar. Glutenin mengandung sejumlah besar asam hidrofobik,
misalnya leusin, yang berkontribusi terhadap pembentukan interaksi
hidrofobik. Selain itu, sifat elastisitas juga dikembangkan melalui ikatan
disulfida interpolipeptida dalam glutenin. (Zayas, 1997).
2. Sifat-sifat Protein
Fungsi utama protein bagi tubuh ialah untuk membentuk jaringan
baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Selain itu, protein dapat
digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak
terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Protein ikut mengatur berbagai
proses tubuh, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara
membentuk zat-zat pengatur proses dalam tubuh.
Adanya gugus amino dan karboksil bebas pada ujung-ujung rantai
molekul protein menyebabkan protein mempunyai banyak muatan
(polielektrolit) dan bersifat amfoter (dapat bereaksi dengan asam maupun
dengan basa). Daya reaksi berbagai jenis protein terhadap asam dan basa
tidak sama, tergantung dari jumlah dan letak gugus amino dan karboksil
dalam molekul. Di dalam larutan asam (pH rendah), gugus amino bereaksi
dengan H+, sehingga protein bermuatan positif. Bila pada kondisi ini dilakukan elektrolisis, molekul protein akan bergerak ke arah katoda.
bereaksi sebagai asam atau bermuatan negatif, sehingga molekul protein
akan bergerak menuju anoda. Pada pH tertentu yang disebut titik isoelektrik
(pI), muatan gugus amino dan karboksil bebas akan saling menetralkan
sehingga molekul bermuatan nol. Pengendapan paling cepat terjadi pada
titik isoelektrik ini dan tiap jenis protein mempunyai titik isoelektrik yang
berlainan, sehingga prinsip ini sering digunakan dalam pemisahan serta
pemurnian protein.
Kelarutan protein dipengaruhi oleh komposisi, urutan, berat molekul,
konformasi asam amino, serta keberadaan grup polar dan nonpolar asam
amino (Zayas, 1997). Protein dapat diendapkan secara selektif dengan
mengganti pH, kekuatan ionik, konstanta dielektrik, atau suhu larutan.
Struktur alami (native) protein umumnya sangat berlipat-lipat. Panas atau pH ekstrim menyebabkan struktur yang kompak itu kehilangan
bentuknya. Fenomena ini disebut denaturasi. Protein akan kembali ke
struktur native apabila kondisinya cepat dikembalikan ke keadaan normal. Namun, apabila kondisi normal tidak tercapai dengan cepat, protein tidak
akan kembali ke bentuk native-nya, karena telah terjadi agregasi dan reaksi kimia. Protein yang stabil pada suhu tinggi atau pH ekstrim paling mudah
dipisahkan dengan teknik ini karena protein yang tidak diinginkan akan
mengendap akibat denaturasi, sementara protein yang diinginkan akan
tertinggal dalam larutan.
Denaturasi protein umumnya didefinisikan sebagai perubahan non
kovalen dalam struktur protein. Perubahan ini dapat berupa pergantian
struktur sekunder, tersier, atau kuartener molekul. Ketika menggunakan
definisi ini, harus diperhatikan bahwa terdeteksinya denaturasi sangat
bergantung pada metode yang digunakan. Beberapa metode dapat
mendeteksi perubahan yang sangat kecil di dalam struktur, sementara
metode yang lain membutuhkan terjadinya perubahan yang lebih besar
untuk dapat terdeteksi.
Salah satu metode tertua yang dimanfaatkan untuk mendeteksi
pengukuran kasar dari denaturasi protein karena hanya menunjukkan adanya
denaturasi, bukan menunjukkan besarnya denaturasi (Zayas, 1997).
Protein yang terdenaturasi berkurang kelarutannya. Denaturasi
menyebabkan lapisan molekul protein bagian dalam yang bersifat
hidrofobik berbalik ke luar, sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofil
terlipat ke dalam. Pembalikan atau pelipatan terutama terjadi bila larutan
protein telah mendekati pH isoelektrik, dan akhirnya protein akan
menggumpal dan mengendap. Viskositas larutan akan bertambah karena
molekul mengembang dan menjadi asimetrik. Demikian pula sudut putaran
optik larutan protein akan meningkat. Jika hal ini terjadi pada enzim-enzim
yang gugus prostetiknya terdiri dari protein, maka aktivitasnya akan hilang
sehingga tidak berfungsi lagi sebagai enzim yang aktif.
Denaturasi protein dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya
pemanasan, perubahan pH, penambahan bahan kimia seperti
merkaptoetanol, perlakuan mekanik seperti pengadukan, dan sebagainya.
Masing-masing mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap denaturasi
protein.
Ketika protein dihadapkan pada peningkatan suhu yang melebihi
batas normal, penurunan solubilitas atau aktivitas enzimatik akan terjadi.
Perubahan ini dapat atau tidak dapat reversibel, tergantung jenis protein dan
tingkat pemanasan. Seiring dengan peningkatan suhu, sejumlah ikatan
dalam molekul protein melemah. Ikatan yang paling pertama terpengaruh
adalah interaksi jarak jauh yang dibutuhkan untuk membentuk struktur
tersier. Ketika struktur tersier akhirnya pecah, protein menjadi lebih
fleksibel dan gugusnya terekspos ke pelarut. Jika pemanasan dihentikan
pada tahap ini, protein dapat melipat kembali ke struktur alaminya. Namun,
jika pemanasan dilanjutkan, sejumlah ikatan hidrogen yang menstabilkan
struktur heliks mulai pecah. Ketika ikatan ini akhirnya putus, air dapat
berinteraksi dan membentuk ikatan hidrogen baru dengan nitrogen amida
dan oksigen karbonil dari ikatan peptida. Lebih jauh lagi, kehadiran air akan
melemahkan ikatan hidrogen dengan meningkatkan konstanta dielektrik di
terekspos ke pelarut sehingga interaksi hidrofobik meningkat. Perlakuan
suhu tinggi terhadap protein menghasilkan denaturasi yang irreversibel.
Presipitasi isoelektrik adalah proses di mana protein mengendap
pada pH yang mendekati titik isoelektriknya. Titik isoelektrik (pI) protein
merupakan pH di mana muatan total protein adalah nol. Protein cenderung
bergabung dan mengendap pada pI karena tidak ada tolakan elektrostatik
yang membuat mereka berpisah. Walaupun sebagian kecil protein tetap
bertahan di larutan pada titik isoelektrik, pH tersebut biasanya merupakan
titik solubilitas minimumnya. Protein yang titik isoelektriknya berada pada
pH asam disebut protein asam, sedangkan protein yang titik isoelektriknya
berada pada pH basa disebut protein basa. Sebagian besar protein pada pH
fisiologis berada di atas titik isoelektriknya dan mempunyai muatan bersih
negatif. Artinya, terdapat lebih banyak protein asam daripada protein basa
(Zayas, 1997).
Jika pH diturunkan jauh di bawah titik isoelektriknya, protein akan
kehilangan muatan negatif dan menjadi bermuatan positif. Muatan yang
sama akan saling tolak menolak dan mencegah protein untuk mulai
beragregasi. Di daerah dengan densitas muatan yang besar, tolakan
intramolekul mungkin akan cukup besar untuk menyebabkan lipatan protein
lepas. Efek ini mirip dengan perlakuan pemanasan medium terhadap
struktur protein. Pada beberapa kasus, terurainya lipatan mungkin dapat
mengakibatkan gugus hidrofobik terekspos ke pelarut dan terjadi agregasi
irreversibel. Sampai hal ini terjadi, penguraian lipatan sebagian besar masih
reversibel.
Perlakuan pH tinggi mempunyai efek yang analog dengan pH
rendah. Pada pH tinggi, protein memiliki muatan negatif besar karena
kondisi lingkungan yang mengandung banyak OH- menyebabkan semakin banyak gugus hidroksil protein yang melepaskan H+. Gaya tolak menolak antara muatan negatif tersebut cukup besar untuk menyebabkan lipatan
protein terlepas dan akhirnya terjadi agregasi protein.
Ketika protein asam terdenaturasi pada kondisi asam (misalnya pH
meningkat pada pH mendekati titik isoelektrik (di mana tolakan
elektrostatik rendah). Di pihak lain, ketika protein basa terdenaturasi di
kondisi asam, mereka tidak mudah beragregasi karena protein memiliki
banyak muatan positif dalam kondisi asam dan gaya tolak menolaknya
tinggi. Ketika pH dikembalikan ke netral, protein basa yang tidak
mengendap akan kembali ke struktur native-nya. Akan tetapi, hal ini tidak selalu terjadi pada protein asam. Kembalinya protein asam ke struktur
alaminya dimungkinkan jika protein dilarutkan dalam denaturan yang
sangat kental (misalnya urea atau guanidine hydrochloride).
Konsep yang sama berlaku untuk kondisi basa. Akan tetapi, jika
perlakuan ini dilakukan dalam jangka waktu lama, protein asam akan
mengendap walaupun dalam kondisi basa. Hal ini disebabkan ikatan peptida
rusak dan sulfur dilepaskan sebagai akibat berlebihnya jumlah ion
hidroksida dalam larutan basa.
Oleh karena jumlah protein asam lebih banyak dibandingkan protein
basa, sebagian besar protein mengendap di kondisi asam. Namun, ini hanya
berlaku untuk perlakuan jangka pendek. Jika perlakuan cukup lama, seperti
telah dijelaskan sebelumnya, protein juga akan mengendap dalam kondisi
basa. Perbedaan di antara kondisi asam dan basa adalah presipitasi protein di
larutan asam biasanya tidak merusak dan dapat kembali ke struktur native -nya, sementara presipitasi protein di larutan basa biasanya merusak sehingga
protein tidak dapat kembali ke struktur native-nya.
Protein umumnya lebih larut dalam larutan garam dibandingkan
dalam air murni. Garam akan berasosiasi dengan gugus protein yang
muatannya berlawanan. Kombinasi muatan ini mengikat air lebih banyak
daripada muatan tunggal sehingga hidrasi protein meningkat. Peristiwa ini
disebut salting in. Namun, jika konsentrasi larutan garam terlalu tinggi, akan terjadi kompetisi antara ion garam dan protein untuk mengikat air. Ketika
hal ini terjadi, protein akan mengalami dehidrasi dan kehilangan solubilitas.
Akibatnya, protein terpisah sebagai endapan. Peristiwa pengendapan protein
Solubilitas protein tergantung pada konstanta dielektrik larutan di
sekelilingnya karena hal itu mempengaruhi kekuatan interaksi elektrostatik
di antara grup-grup yang bermuatan. Penambahan pelarut organik yang
miscible dengan air tapi kurang polar, seperti etanol atau aseton, akan
menurunkan konstanta dielektrik sistem. Apabila konstanta dielektrik
menurun, interaksi elektrostatik antara grup-grup yang bermuatan dalam
protein akan meningkat. Akibatnya, solubilitas protein menurun karena
muatan berkurang, sehingga tolakan antara molekul protein tidak cukup
untuk mencegah mereka berkumpul. Kehadiran pelarut yang kurang polar
juga mempunyai efek melemahkan ikatan hidrogen dari protein.
Jumlah pelarut organik yang dibutuhkan untuk menimbulkan
presipitasi tergantung dari jenis protein, sehingga protein juga dapat
dipisahkan dengan prinsip ini. Jumlah optimumnya bervariasi dari 5-60%.
Fraksinasi dengan pelarut biasanya dilakukan pada suhu 0oC atau di bawah itu untuk mencegah denaturasi protein akibat peningkatan suhu yang terjadi
ketika pelarut organik bercampur dengan air.
Protein bisa membentukikatan silang dengan molekul lain, misalnya
melalui ikatan kovalen dengan karbohidrat membentuk glikoprotein.
Kehadiran grup yang berikatan silang dengan protein cenderung
menurunkan kecepatan denaturasi. Ada dua alasan utama untuk hal ini.
Pertama, protein yang berikatan silang dan berukuran besar akan lebih sulit
terurai lipatannya daripada protein yang tidak berikatan silang. Ketika
energi ditambahkan ke sistem dan ikatan yang menjaga struktur sekunder
melemah, molekul yang berikatan silang dengan protein akan cenderung
mempertahankan struktur. Hal ini terutama terjadi jika ikatan silang berupa
ikatan kovalen, seperti dalam ikatan disulfida. Semakin kompak molekul
dan semakin banyak jumlah ikatan disulfida, semakin tinggi stabilitas
protein. Ikatan silang juga akan mencegah tereksposnya sejumlah besar
gugus hidrofobik ke pelarut.
Isolasi protein dari mie basah matang dilakukan setelah mie
dikeringkan, ditepungkan, dan dihilangkan lemaknya (defattisasi).
heksan, petroleum eter, dan aseton. Kadar isolat protein juga dipengaruhi
oleh kandungan komponen-komponen dari sampel, seperti karbohidrat dan
lemak. Hal ini disebabkan protein dapat berikatan dengan molekul-molekul
tersebut. Kemampuan ekstraksi protein dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain ukuran partikel tepung, umur tepung, perlakuan panas
sebelumnya, rasio pelarutan, suhu, pH, dan kekuatan ion dari medium
pengekstrak (Kinsella, 1979).
C. FORMALDEHID
1. Sifat Kimia dan Fisik Formaldehid
Formaldehid merupakan senyawa yang bersifat mudah terbakar,
berbau tajam, tidak berwarna, dan mudah dipolimerisasi pada suhu ruang.
Formaldehid mudah larut di dalam air, alkohol, dan pelarut polar yang lain,
tetapi memiliki kelarutan yang rendah dalam pelarut non polar. Karakteristik
lainnya dari formaldehid disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik formaldehid
Nama Formaldehid, metanal, metil
aldehid, metilen oksida
Struktur
Rumus kimia H2CO
Berat molekul 30.03
Titik leleh -118 sampai -92oC
Titik didih -21 sampai -19oC
Triple point 155.1 K (-118.0oC)
Densitas 1.13 x 103 kg/m3
Tekanan uap (Pa, 25oC) 516 000
Kelarutan (mg/liter, 25oC) 400 000 – 550 000 Faktor konversi 1 ppm = 1.2 mg/m3 (WHO, 2002)
Sekalipun berbentuk gas (td=-21oC), formaldehid tidak dapat disimpan dalam bentuk bebasnya karena mudah berpolimerisasi.