• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein Pada Mie Basah Matang yang Mengandung Formaldehid dan Boraks

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein Pada Mie Basah Matang yang Mengandung Formaldehid dan Boraks"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN

PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG

FORMALDEHID DAN BORAKS

Oleh

MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038

2005

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Martantri Dwi Nugrahani. F24101038. Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein pada Mie Basah Matang yang Mengandung Formaldehid dan Boraks. Di

bawah bimbingan Nuri Andarwulan dan Dahrul Syah. 2005.

RINGKASAN

Penggunaan bahan tambahan ilegal seperti formalin dan boraks dalam pembuatan mie basah banyak terjadi, khususnya di daerah Jabotabek. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan umur simpan mie basah. Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang yang tersebar di daerah Jakarta (5 industri), Bogor (3 industri), Tangerang (3 industri), dan Bekasi (6 industri) yang dilakukan oleh Indrawan (2005) memperlihatkan bahwa seluruh industri tersebut menggunakan bahan tambahan ilegal (formalin atau boraks). Perinciannya adalah 13 industri (76.47%) menggunakan formalin dan 16 industri (94.12%) menggunakan boraks. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 industri (70.59%) menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri (23.53%) menggunakan boraks saja, dan hanya 1 industri (5.88%) yang menggunakan formalin saja (Indrawan, 2005). Kandungan formalin rata-rata dalam mie basah di pasar tradisional Jabotabek adalah 106.00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2 914.36 mg/kg (mie basah matang). Mie yang dijual oleh pedagang produk olahan mie daerah Jabotabek rata-rata mengandung formalin 72.93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3 423.51 mg/kg (mie basah matang). Sementara itu, mie yang dijual di supermarket Jabotabek mengandung formalin 113.45 mg/kg (mie basah mentah) dan 2 941.82 mg/kg (mie basah matang) (Gracecia, 2005; Priyatna, 2005).

Formaldehid dan boraks yang ditambahkan ke dalam bahan pangan merupakan salah satu bahaya terhadap keamanan pangan. Formalin adalah nama umum yang dipakai untuk larutan 37% gas formaldehid dalam air. Senyawa ini mudah terbakar, berbau tajam, tidak berwarna, mudah dipolimerisasi pada suhu ruang, dan berfungsi sebagai desinfektan atau pengawet (Hart, 1983). Sodium tetraborat dekahidrat dikenal juga dengan nama boraks, yang mempunyai rumus kimia Na2B4O7.10H2O dengan berat molekul 381.44. Boraks biasanya digunakan untuk deterjen, perekat, kosmetik, obat-obatan, desinfektan, insektisida, serta sebagai pelarut gum, dekstrin, dan kasein. Penelitian terhadap mie basah mentah yang dilakukan oleh Oktaviani (2005) menunjukkan bahwa formaldehid akan menurunkan kelarutan protein. Boraks juga dapat menurunkan kelarutan protein dalam jumlah yang lebih rendah daripada formaldehid. Kombinasi kedua aditif tersebut semakin menurunkan kelarutan protein. Selain itu, daya cerna protein in

vitro menurun secara signifikan pada mie mentah yang ditambah formaldehid.

(3)

Mie basah matang relatif lebih tahan terhadap reaksi pencoklatan enzimatis dibandingkan mie basah mentah. Hal ini disebabkan enzim polifenol oksidase (PPO) telah diinaktifkan selama perebusan. Penambahan formaldehid menyebabkan warna kuning mie semakin pudar, namun tingkat kecerahannya semakin tinggi. Dua sampel yang memiliki konsentrasi formaldehid tertinggi (penambahan sebanyak 3680 mg/kg air perebus) mempunyai warna yang berbeda nyata dengan keempatbelas sampel lainnya (p<0.05). Pigmen karotenoid dari minyak nabati tidak cukup meningkatkan warna kuning kedua sampel tersebut. Sementara itu, karakteristik fisik berupa gaya putus dan elongasi, serta karakteristik kimia berupa Aw, kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat seluruh sampel tidak berbeda nyata (p>0.05).

Jumlah absolut formaldehid yang terukur dalam produk akhir selalu lebih kecil dibandingkan jumlah absolut formaldehid di dalam air perebus. Keduanya berbanding lurus secara linier dengan R2 lebih besar dari 0.9 dan koefisien X jauh lebih kecil dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa mie memiliki keterbatasan dalam menyerap formaldehid, dan semakin tinggi kadar formaldehid dalam air perebus, kemampuan mie menyerap formaldehid justru semakin menurun. Obat mie pasar diketahui mengandung boraks sebanyak 38.64 mg/g, sehingga mie yang dibuat dengan menggunakan obat mie akan selalu mengandung boraks dalam jumlah lebih besar dibandingkan mie yang dibuat dengan menggunakan kansui. Daya cerna mie basah matang justru meningkat dengan semakin tingginya kandungan formaldehid. Penurunan daya cerna baru terjadi apabila formaldehid dikombinasikan dengan boraks.

Pengaruh boraks dalam menurunkan solubilitas protein lebih besar pada mie yang menggunakan obat mie dibandingkan pada mie yang menggunakan kansui. Sebaliknya, pengaruh penambahan formaldehid justru lebih besar pada mie yang menggunakan kansui dibandingkan mie yang menggunakan obat mie. Kombinasi formaldehid dan boraks sekaligus umumnya menghasilkan solubilitas protein yang lebih rendah dibandingkan sampel yang hanya mengalami penambahan salah satu aditif. Sampel dengan kadar boraks rendah, mempunyai solubilitas maksimum pada pH basa, sedangkan sampel dengan kadar boraks tinggi mempunyai solubilitas maksimum pada pH asam. Pada mie yang ditambah formaldehid, solubilitas maksimum umumnya tercapai di pH basa. Solubilitas sampel yang mengalami penambahan formaldehid sekaligus boraks umumnya menurun dengan meningkatnya konsentrasi garam.

(4)

PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG

FORMALDEHID DAN BORAKS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038

2005

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG

FORMALDEHID DAN BORAKS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038

Dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1983

Di Bogor

Tanggal Lulus: 9 Desember 2005

Menyetujui,

Bogor, Desember 2005

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi. Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Dosen Pembimbing II Mengetahui,

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama lengkap Martantri Dwi

Nugrahani dilahirkan di Bogor pada hari Kamis, 3 Maret

1983. Sebagai anak kedua dari dua bersaudara, penulis

dibesarkan dalam keluarga yang bahagia, dengan ayah

bernama Suripto dan ibu bernama Sri Yuli Absari.

Bangku sekolah dijalani oleh penulis di kota hujan,

dimulai dari TK Tunas Rimba 2 Bogor, SDN Panaragan 1 Bogor, SMPN 4 Bogor,

dan SMUN 5 Bogor. Selepas SMU, penulis diterima menjadi mahasiswa

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB

melalui jalur USMI.

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi pengurus Himpunan

Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) di divisi kesekretariatan,

anggota paduan suara Fateta, asisten praktikum Teknologi Pengolahan Bumbu

dan Rempah (2005), dan asisten praktikum Kimia untuk mahasiswa tingkat 1

(2003–2005). Penulis juga berpartisipasi dalam kepanitiaan berbagai acara di

lingkungan Fateta, seperti Lepas Landas Sarjana, Lomba Cepat Tepat Ilmu

Pangan, dan BAUR. Pada tahun 2002, penulis mendapat beasiswa Gudang

Garam, kemudian pada tahun 2003, penulis berhasil memperoleh beasiswa BCA.

Pertengahan tahun 2004, penulis mengikuti Praktek Lapangan selama 2

bulan dengan tema “Penerapan GMP (Good Manufacturing Practices) dalam Produksi Susu Chilled, Susu Prepack, dan Susu Cup di Milk Treatment KPBS Pangalengan Bandung”. Sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana

Teknologi Pertanian, penulis melakukan penelitian mengenai “Perubahan

Karakteristik dan Kualitas Protein pada Mie Basah Matang yang Mengandung

Formaldehid dan Boraks” di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, Msi. dan

(7)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, atas rahmat dan karunia Allah SWT, tugas akhir mengenai

perubahan karakteristik dan kualitas protein pada mie basah matang yang

mengandung formaldehid dan boraks ini dapat diselesaikan. Di dalam kesempatan

ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam penyelesaian

tugas akhir ini, di antaranya adalah:

1. Mama dan Bapak, kata dan perbuatan tidak akan pernah cukup untuk

membalas semua kerja keras, kasih sayang, doa, semangat, serta dukungan

moril dan materiil yang telah kalian berikan.

2. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi., selaku dosen pembimbing, yang telah

memberi nasihat, motivasi, saran, dan kritik yang membangun.

3. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc., yang telah memberi saran dan masukan selama

penelitian ini.

4. Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc., atas kesediaannya menjadi dosen penguji.

5. Australian Wheat Board, atas dukungan dana untuk penelitian ini.

6. Keli, kakakku tersayang, Puji sepupuku, dan keluarga besar Rd. Suryo Hadi

Sapoetro, lingkungan penuh kasih sayang tempat penulis dibesarkan.

7. Loemoeders (Sanjung, Via, Maya, Vica, dan Ari), sahabat-sahabat yang

membuat masa kuliah di TPG menjadi lebih indah.

8. Laboran-laboran (Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Koko, Pak Rojak, Pak Yahya,

Pak Sidiq, Pak Gatot, Bu Rubiah, Teh Ida, dan Mbak Darsi).

9. Okta, rekan penelitian yang selalu siap membantu, selalu memberi semangat,

dan selalu menjadi inspirasi bagi penulis.

10. Teman-teman TPG 38, khususnya golongan B yang kompak, seru, dan penuh

kekeluargaan, Ari Junaedi, Gesit, kelompok B1 (Hans, Inne, Armi, dan

Chamdani), teman-teman sebimbingan (Daniel, Pahrudin, dan Anwar), serta

adik-adik kelasku TPG 39 (Yulizar, Ully, dkk).

11. Nia, yang telah membantu dalam perubahan skripsi ini dari bentuk disket

(8)

12. Rekan-rekan di laboratorium, khususnya Lina, Meli, Wulan, Derry, Astri,

Aya, Putri, Christina, Mimi, Umi, Vivin, Sigit, Riyadi, Inggrid, Gilang,

Stella, Hendry, Ale, Sidarta, Amanda, dan Novi.

Penulis telah berusaha menyusun skripsi ini sebaik mungkin, namun tidak

ada karya manusia yang sempurna. Semoga dengan kekurangan yang masih ada,

skripsi ini tetap dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Desember 2005

(9)

DAFTAR ISI

B. TUJUAN PENELITIAN………...

C. MANFAAT PENELITIAN………..

II. TINJAUAN PUSTAKA………..

A. MIE………...

1. Pembuatan Mie Basah Matang……….

2. Warna Mie………

3. Tekstur Mie………..

B. PROTEIN………..

1. Protein Gandum………...

2. Sifat-sifat Protein……….

C. FORMALDEHID……….

1. Sifat Kimia dan Fisik Formaldehid………..

2. Studi Keamanan Formaldehid………..

3. Analisis Formaldehid (AOAC, 1995)………..

D. BORAKS………..

1. Sifat Kimia dan Fisik Boraks………...

2. Studi Keamanan Boraks………...

3. Analisis Boraks (SNI, 1991)………

(10)

III. BAHAN DAN METODE………

A. BAHAN DAN ALAT………...

B. METODE PENELITIAN………..

1. Pembuatan Mie Basah Matang……….

2. Analisis Sifat Fisik………...

a. Warna (Metode Hunter)………..

b. Tekstur (Gaya Putus dan Elongasi)………

3. Analisis Sifat Kimia……….

a. Aktivitas Air (Aw)………...

b. Kadar Air (AOAC, 1995)………

c. Kadar Abu (AOAC, 1995)………..

d. Kadar Protein (Metode Mikro Kjeldahl)……….

e. Kadar Lemak (Metode Soxhlet)………..

f. Kadar Karbohidrat (by difference)………... g. Kadar Formaldehid (AOAC, 1995)……….

h. Kadar Boraks (SNI, 1991)………...

4. Daya Cerna Protein In Vitro (Teknik Multi Enzim)……… 5. Analisis Solubilitas Protein………..

a. Persiapan Sampel untuk Solubilitas (Sathe, 1994)………..

b. Pengukuran Solubilitas Protein (Metode Bradford)………

c. Perubahan Solubilitas Protein akibat Perubahan pH…………...

d. Perubahan Solubilitas Protein di dalam Larutan Garam……….

6. Elektroforesis………...

a. Persiapan Sampel untuk Elektroforesis………...

b. SDS-PAGE dan Native-PAGE……… 7. Analisis Data………

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………

A. KARAKTERISTIK FISIK MIE BASAH MATANG………..

1. Warna………...

2. Tekstur……….

B. KARAKTERISTIK KIMIA MIE BASAH MATANG………....

(11)

PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN

PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG

FORMALDEHID DAN BORAKS

Oleh

MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038

2005

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Martantri Dwi Nugrahani. F24101038. Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein pada Mie Basah Matang yang Mengandung Formaldehid dan Boraks. Di

bawah bimbingan Nuri Andarwulan dan Dahrul Syah. 2005.

RINGKASAN

Penggunaan bahan tambahan ilegal seperti formalin dan boraks dalam pembuatan mie basah banyak terjadi, khususnya di daerah Jabotabek. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan umur simpan mie basah. Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang yang tersebar di daerah Jakarta (5 industri), Bogor (3 industri), Tangerang (3 industri), dan Bekasi (6 industri) yang dilakukan oleh Indrawan (2005) memperlihatkan bahwa seluruh industri tersebut menggunakan bahan tambahan ilegal (formalin atau boraks). Perinciannya adalah 13 industri (76.47%) menggunakan formalin dan 16 industri (94.12%) menggunakan boraks. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 industri (70.59%) menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri (23.53%) menggunakan boraks saja, dan hanya 1 industri (5.88%) yang menggunakan formalin saja (Indrawan, 2005). Kandungan formalin rata-rata dalam mie basah di pasar tradisional Jabotabek adalah 106.00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2 914.36 mg/kg (mie basah matang). Mie yang dijual oleh pedagang produk olahan mie daerah Jabotabek rata-rata mengandung formalin 72.93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3 423.51 mg/kg (mie basah matang). Sementara itu, mie yang dijual di supermarket Jabotabek mengandung formalin 113.45 mg/kg (mie basah mentah) dan 2 941.82 mg/kg (mie basah matang) (Gracecia, 2005; Priyatna, 2005).

Formaldehid dan boraks yang ditambahkan ke dalam bahan pangan merupakan salah satu bahaya terhadap keamanan pangan. Formalin adalah nama umum yang dipakai untuk larutan 37% gas formaldehid dalam air. Senyawa ini mudah terbakar, berbau tajam, tidak berwarna, mudah dipolimerisasi pada suhu ruang, dan berfungsi sebagai desinfektan atau pengawet (Hart, 1983). Sodium tetraborat dekahidrat dikenal juga dengan nama boraks, yang mempunyai rumus kimia Na2B4O7.10H2O dengan berat molekul 381.44. Boraks biasanya digunakan untuk deterjen, perekat, kosmetik, obat-obatan, desinfektan, insektisida, serta sebagai pelarut gum, dekstrin, dan kasein. Penelitian terhadap mie basah mentah yang dilakukan oleh Oktaviani (2005) menunjukkan bahwa formaldehid akan menurunkan kelarutan protein. Boraks juga dapat menurunkan kelarutan protein dalam jumlah yang lebih rendah daripada formaldehid. Kombinasi kedua aditif tersebut semakin menurunkan kelarutan protein. Selain itu, daya cerna protein in

vitro menurun secara signifikan pada mie mentah yang ditambah formaldehid.

(13)

Mie basah matang relatif lebih tahan terhadap reaksi pencoklatan enzimatis dibandingkan mie basah mentah. Hal ini disebabkan enzim polifenol oksidase (PPO) telah diinaktifkan selama perebusan. Penambahan formaldehid menyebabkan warna kuning mie semakin pudar, namun tingkat kecerahannya semakin tinggi. Dua sampel yang memiliki konsentrasi formaldehid tertinggi (penambahan sebanyak 3680 mg/kg air perebus) mempunyai warna yang berbeda nyata dengan keempatbelas sampel lainnya (p<0.05). Pigmen karotenoid dari minyak nabati tidak cukup meningkatkan warna kuning kedua sampel tersebut. Sementara itu, karakteristik fisik berupa gaya putus dan elongasi, serta karakteristik kimia berupa Aw, kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat seluruh sampel tidak berbeda nyata (p>0.05).

Jumlah absolut formaldehid yang terukur dalam produk akhir selalu lebih kecil dibandingkan jumlah absolut formaldehid di dalam air perebus. Keduanya berbanding lurus secara linier dengan R2 lebih besar dari 0.9 dan koefisien X jauh lebih kecil dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa mie memiliki keterbatasan dalam menyerap formaldehid, dan semakin tinggi kadar formaldehid dalam air perebus, kemampuan mie menyerap formaldehid justru semakin menurun. Obat mie pasar diketahui mengandung boraks sebanyak 38.64 mg/g, sehingga mie yang dibuat dengan menggunakan obat mie akan selalu mengandung boraks dalam jumlah lebih besar dibandingkan mie yang dibuat dengan menggunakan kansui. Daya cerna mie basah matang justru meningkat dengan semakin tingginya kandungan formaldehid. Penurunan daya cerna baru terjadi apabila formaldehid dikombinasikan dengan boraks.

Pengaruh boraks dalam menurunkan solubilitas protein lebih besar pada mie yang menggunakan obat mie dibandingkan pada mie yang menggunakan kansui. Sebaliknya, pengaruh penambahan formaldehid justru lebih besar pada mie yang menggunakan kansui dibandingkan mie yang menggunakan obat mie. Kombinasi formaldehid dan boraks sekaligus umumnya menghasilkan solubilitas protein yang lebih rendah dibandingkan sampel yang hanya mengalami penambahan salah satu aditif. Sampel dengan kadar boraks rendah, mempunyai solubilitas maksimum pada pH basa, sedangkan sampel dengan kadar boraks tinggi mempunyai solubilitas maksimum pada pH asam. Pada mie yang ditambah formaldehid, solubilitas maksimum umumnya tercapai di pH basa. Solubilitas sampel yang mengalami penambahan formaldehid sekaligus boraks umumnya menurun dengan meningkatnya konsentrasi garam.

(14)

PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG

FORMALDEHID DAN BORAKS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038

2005

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG

FORMALDEHID DAN BORAKS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038

Dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1983

Di Bogor

Tanggal Lulus: 9 Desember 2005

Menyetujui,

Bogor, Desember 2005

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi. Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Dosen Pembimbing II Mengetahui,

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama lengkap Martantri Dwi

Nugrahani dilahirkan di Bogor pada hari Kamis, 3 Maret

1983. Sebagai anak kedua dari dua bersaudara, penulis

dibesarkan dalam keluarga yang bahagia, dengan ayah

bernama Suripto dan ibu bernama Sri Yuli Absari.

Bangku sekolah dijalani oleh penulis di kota hujan,

dimulai dari TK Tunas Rimba 2 Bogor, SDN Panaragan 1 Bogor, SMPN 4 Bogor,

dan SMUN 5 Bogor. Selepas SMU, penulis diterima menjadi mahasiswa

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB

melalui jalur USMI.

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi pengurus Himpunan

Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) di divisi kesekretariatan,

anggota paduan suara Fateta, asisten praktikum Teknologi Pengolahan Bumbu

dan Rempah (2005), dan asisten praktikum Kimia untuk mahasiswa tingkat 1

(2003–2005). Penulis juga berpartisipasi dalam kepanitiaan berbagai acara di

lingkungan Fateta, seperti Lepas Landas Sarjana, Lomba Cepat Tepat Ilmu

Pangan, dan BAUR. Pada tahun 2002, penulis mendapat beasiswa Gudang

Garam, kemudian pada tahun 2003, penulis berhasil memperoleh beasiswa BCA.

Pertengahan tahun 2004, penulis mengikuti Praktek Lapangan selama 2

bulan dengan tema “Penerapan GMP (Good Manufacturing Practices) dalam Produksi Susu Chilled, Susu Prepack, dan Susu Cup di Milk Treatment KPBS Pangalengan Bandung”. Sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana

Teknologi Pertanian, penulis melakukan penelitian mengenai “Perubahan

Karakteristik dan Kualitas Protein pada Mie Basah Matang yang Mengandung

Formaldehid dan Boraks” di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, Msi. dan

(17)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, atas rahmat dan karunia Allah SWT, tugas akhir mengenai

perubahan karakteristik dan kualitas protein pada mie basah matang yang

mengandung formaldehid dan boraks ini dapat diselesaikan. Di dalam kesempatan

ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam penyelesaian

tugas akhir ini, di antaranya adalah:

1. Mama dan Bapak, kata dan perbuatan tidak akan pernah cukup untuk

membalas semua kerja keras, kasih sayang, doa, semangat, serta dukungan

moril dan materiil yang telah kalian berikan.

2. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi., selaku dosen pembimbing, yang telah

memberi nasihat, motivasi, saran, dan kritik yang membangun.

3. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc., yang telah memberi saran dan masukan selama

penelitian ini.

4. Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc., atas kesediaannya menjadi dosen penguji.

5. Australian Wheat Board, atas dukungan dana untuk penelitian ini.

6. Keli, kakakku tersayang, Puji sepupuku, dan keluarga besar Rd. Suryo Hadi

Sapoetro, lingkungan penuh kasih sayang tempat penulis dibesarkan.

7. Loemoeders (Sanjung, Via, Maya, Vica, dan Ari), sahabat-sahabat yang

membuat masa kuliah di TPG menjadi lebih indah.

8. Laboran-laboran (Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Koko, Pak Rojak, Pak Yahya,

Pak Sidiq, Pak Gatot, Bu Rubiah, Teh Ida, dan Mbak Darsi).

9. Okta, rekan penelitian yang selalu siap membantu, selalu memberi semangat,

dan selalu menjadi inspirasi bagi penulis.

10. Teman-teman TPG 38, khususnya golongan B yang kompak, seru, dan penuh

kekeluargaan, Ari Junaedi, Gesit, kelompok B1 (Hans, Inne, Armi, dan

Chamdani), teman-teman sebimbingan (Daniel, Pahrudin, dan Anwar), serta

adik-adik kelasku TPG 39 (Yulizar, Ully, dkk).

11. Nia, yang telah membantu dalam perubahan skripsi ini dari bentuk disket

(18)

12. Rekan-rekan di laboratorium, khususnya Lina, Meli, Wulan, Derry, Astri,

Aya, Putri, Christina, Mimi, Umi, Vivin, Sigit, Riyadi, Inggrid, Gilang,

Stella, Hendry, Ale, Sidarta, Amanda, dan Novi.

Penulis telah berusaha menyusun skripsi ini sebaik mungkin, namun tidak

ada karya manusia yang sempurna. Semoga dengan kekurangan yang masih ada,

skripsi ini tetap dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Desember 2005

(19)

DAFTAR ISI

B. TUJUAN PENELITIAN………...

C. MANFAAT PENELITIAN………..

II. TINJAUAN PUSTAKA………..

A. MIE………...

1. Pembuatan Mie Basah Matang……….

2. Warna Mie………

3. Tekstur Mie………..

B. PROTEIN………..

1. Protein Gandum………...

2. Sifat-sifat Protein……….

C. FORMALDEHID……….

1. Sifat Kimia dan Fisik Formaldehid………..

2. Studi Keamanan Formaldehid………..

3. Analisis Formaldehid (AOAC, 1995)………..

D. BORAKS………..

1. Sifat Kimia dan Fisik Boraks………...

2. Studi Keamanan Boraks………...

3. Analisis Boraks (SNI, 1991)………

(20)

III. BAHAN DAN METODE………

A. BAHAN DAN ALAT………...

B. METODE PENELITIAN………..

1. Pembuatan Mie Basah Matang……….

2. Analisis Sifat Fisik………...

a. Warna (Metode Hunter)………..

b. Tekstur (Gaya Putus dan Elongasi)………

3. Analisis Sifat Kimia……….

a. Aktivitas Air (Aw)………...

b. Kadar Air (AOAC, 1995)………

c. Kadar Abu (AOAC, 1995)………..

d. Kadar Protein (Metode Mikro Kjeldahl)……….

e. Kadar Lemak (Metode Soxhlet)………..

f. Kadar Karbohidrat (by difference)………... g. Kadar Formaldehid (AOAC, 1995)……….

h. Kadar Boraks (SNI, 1991)………...

4. Daya Cerna Protein In Vitro (Teknik Multi Enzim)……… 5. Analisis Solubilitas Protein………..

a. Persiapan Sampel untuk Solubilitas (Sathe, 1994)………..

b. Pengukuran Solubilitas Protein (Metode Bradford)………

c. Perubahan Solubilitas Protein akibat Perubahan pH…………...

d. Perubahan Solubilitas Protein di dalam Larutan Garam……….

6. Elektroforesis………...

a. Persiapan Sampel untuk Elektroforesis………...

b. SDS-PAGE dan Native-PAGE……… 7. Analisis Data………

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………

A. KARAKTERISTIK FISIK MIE BASAH MATANG………..

1. Warna………...

2. Tekstur……….

B. KARAKTERISTIK KIMIA MIE BASAH MATANG………....

(21)

2. Kadar Air………..

3. Kadar Abu………

4. Kadar Protein………...

5. Kadar Lemak………

6. Kadar Karbohidrat………

7. Kadar Formaldehid………...

8. Kadar Boraks………

C. DAYA CERNA PROTEIN………..

D. SOLUBILITAS……….

1. Solubilitas Protein dalam Berbagai pH………

2. Solubilitas Protein dalam Berbagai Konsentrasi Larutan Garam….

E. ELEKTROFORESIS………

1. SDS-PAGE………...

2. Native-PAGE………

V. KESIMPULAN DAN SARAN………

A. KESIMPULAN……….

B. SARAN……….

DAFTAR PUSTAKA……….

LAMPIRAN……… 59

60

62

63

65

67

70

74

76

80

83

86

86

93

99

99

101

102

(22)

DAFTAR TABEL

Syarat mutu mie basah (SNI 01-2987-1992)………..

Karakteristik formaldehid………...

Kandungan formaldehid dalam bahan pangan………...

Pengaruh formaldehid bagi kesehatan manusia melalui pernapasan..

Kandungan boron dalam beberapa bahan pangan………..

Keterangan jumlah dari bahan tambahan………...

Formulasi bahan tambahan untuk masing-masing sampel………….

Nilai Aw dan kadar air mie basah………..

Kadar proksimat tepung terigu Segitiga dan Cakra Kembar...

Kadar formaldehid mie basah matang………...……….

Kadar boraks mie basah matang……….

Konsentrasi akrilamid untuk pemisahan protein pada BM tertentu...

Subunit protein mie basah matang dalam SDS-PAGE………...

Perbandingan berat molekul (BM) subunit protein mie matang

(23)

DAFTAR GAMBAR

Senyawa asam borat………...

Reaksi polimerisasi akrilamid………

Diagram alir pembuatan mie basah matang………...

Kurva hubungan gaya putus dan elongasi………..

Diagram alir tahapan dalam elektroforesis……….

Pengaruh penambahan aditif terhadap warna mie...……….

Pengaruh penambahan aditif terhadap tekstur mie...………

Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar abu mie...…...

Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar protein mie...

Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar lemak mie...

Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar karbohidrat mie…...

Penyerapan formaldehid pada mie basah matang.……….

Hubungan kadar formaldehid dengan adanya boraks di dalam

mie matang...

Hubungan kadar boraks dengan adanya formaldehid di dalam

mie matang yang menggunakan obat mie...

Hubungan kadar boraks dengan adanya formaldehid di dalam

mie matang yang menggunakan kansui...

Jumlah boraks yang tertahan di dalam mie basah matang...

Hubungan formaldehid dengan boraks dalam mie matang………

Pengaruh penambahan aditif terhadap daya cerna protein mie…..

Solubilitas protein mie basah matang dalam NaOH 0.1 M………

Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan obat

mie dalam berbagai pH...

Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan

kansui dalam berbagai pH...

Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan obat

(24)

Gambar 23.

Gambar 24.

Gambar 25.

Gambar 26.

Gambar 27.

Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan

kansui dalam larutan garam...

Elektroforegram I SDS-PAGE pada konsentrasi gel 10%……….

Elektroforegram II SDS-PAGE pada konsentrasi gel 10%………

Elektroforegram I native-PAGE pada konsentrasi gel 5%………. Elektroforegram II native-PAGE pada konsentrasi gel 5%……...

85

88

89

94

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Karakteristik fisik dan Aw mie basah matang………..

Karakteristik kimia mie basah matang………..

Uji Anova One-Way dan uji Duncan terhadap tingkat

kekuningan mie……….

Uji Anova One-Way dan uji Duncan terhadap tingkat

kecerahan mie………...

Uji Anova One-Way dan uji Duncan terhadap derajat hue

mie……….

Uji Anova One-Way terhadap gaya putus mie………..

Uji Anova One-Way terhadap persen elongasi mie…………...

Uji Anova One-Way terhadap aktivitas air mie……….

Uji Anova One-Way terhadap kadar air mie……….

Uji Anova One-Way terhadap kadar abu mie………

Uji Anova One-Way terhadap kadar protein mie………..

Uji Anova One-Way terhadap kadar lemak mie………

Uji Anova One-Way terhadap kadar karbohidrat mie………...

Kurva standar formaldehid………

Daya cerna protein mie basah matang………..

Kurva standar BSA………...

Solubilitas protein mie basah matang………...

Larutan-larutan untuk elektroforesis……….

Prosedur elektroforesis………..

Kurva standar elektroforesis……….

(26)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pasal 1 ayat 4 Undang-undang RI no. 7 tahun 1996 tentang Pangan

menyatakan keamanan pangan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan

untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda

lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan

manusia. Kesadaran masyarakat Indonesia akan keamanan pangan dapat

dikatakan masih sangat rendah. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya

makanan dan jajanan yang mengandung bahan tambahan yang dilarang seperti

formalin dan boraks. Kepala Direktorat Surveilan dan Keamanan Pangan

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Winiati Pudji Rahayu (2005)

menyatakan bahwa walaupun tidak bisa dipastikan berapa persen dari

masyarakat Indonesia yang mengerti dan sadar tentang keamanan pangan,

jumlah yang tidak mengerti lebih banyak.

Senada dengan Winiati, Endang S. Rahayu dari Fakultas Teknologi

Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) mengungkapkan bahwa

berdasarkan hasil survei yang dilakukannya terhadap 40 unit Usaha Kecil

Menengah (UKM), hanya 61% dari pengelola UKM yang memahami tentang

pedoman cara produksi yang baik untuk makanan berdasarkan SK Menkes

1978, sementara 8% tidak paham sama sekali. Endang juga menyampaikan

hasil penelitian BPOM pada 2003, yang menunjukkan bahwa dari 9 456

sampel makanan/jajanan yang diambil, 5.6%-nya tidak memenuhi persyaratan.

Selain itu, 195 jenis produk makanan menggunakan pewarna yang bukan untuk

makanan (rhodamin B), 70 jenis menggunakan formalin, 94 jenis

menggunakan boraks, dan 50 jenis menggunakan pengawet yang berlebihan

terutama asam benzoat (Media Indonesia On Line, 2004). Banyaknya UKM yang tidak memahami pedoman produksi makanan yang baik sangat

mengkhawatirkan, karena mereka seharusnya menjadi tulang punggung

(27)

Mie basah merupakan salah satu contoh produk pangan yang dihasilkan

oleh UKM. Mie basah telah menjadi makanan populer dan merupakan bagian

yang penting dalam diet masyarakat Indonesia. Pembuatan mie saat ini

menggunakan bahan tambahan, dengan tujuan memperbaiki sifat fisik dan daya

tahan mie. Biasanya, bahan tambahan yang digunakan adalah K2CO3, Na2CO3,

dan polifosfat yang pada kadar tertentu boleh digunakan.

Hasil survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie

basah matang yang tersebar di daerah Jakarta (5 industri), Bogor (3 industri),

Tangerang (3 industri), dan Bekasi (6 industri) menunjukkan bahwa natrium

benzoat digunakan oleh 91.7% industri mie basah dan 100% industri mie

matang, kalium sorbat bersama-sama dengan natrium benzoat digunakan oleh

16.7% industri mie mentah dan 20% industri mie matang, sedangkan pewarna

tartrazine digunakan oleh 16.7% industri mie mentah dan 100% industri mie

matang (Indrawan, 2005).

Mie basah memiliki umur simpan yang pendek, hanya sekitar satu

sampai dua hari pada suhu ruang. Kerusakan yang terjadi banyak disebabkan

oleh kontaminasi mikroba selama proses produksi dan kerusakan selama

pengangkutan atau distribusi. Itulah sebabnya, banyak produsen yang

menggunakan bahan tambahan ilegal seperti formalin dan boraks untuk

meningkatkan umur simpan mie basah. Mereka melakukan ini untuk meraih

keuntungan lebih besar tanpa memikirkan bahayanya bagi kesehatan. Survei

terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang di

daerah Jabotabek yang dilakukan oleh Indrawan (2005) memperlihatkan bahwa

seluruh industri tersebut menggunakan bahan tambahan ilegal (formalin atau

boraks). Perinciannya adalah 13 industri (76.47%) menggunakan formalin dan

16 industri (94.12%) menggunakan boraks. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12

industri (70.59%) menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri

(23.53%) menggunakan boraks saja, dan hanya 1 industri (5.88%) yang

(28)

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik dan kualitas

protein pada mie basah matang yang mengandung formaldehid dan boraks,

berdasarkan parameter fisik dan kimia mie basah matang, kadar formaldehid

dan boraks dalam produk akhir, perubahan sifat kelarutan protein dalam larutan

garam, asam, dan basa, perubahan daya cerna protein in vitro, serta pola elektroforesis SDS-PAGE dan native-PAGE.

C. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini berguna untuk memberi informasi mengenai keamanan

pangan kepada masyarakat. Melalui analisis ini, karakteristik bahan pangan

yang diawetkan dengan formaldehid dan boraks dapat dibedakan berdasarkan

sifat fisik, kimia, kelarutan protein, pola elektroforesis, dan nilai biologis in

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MIE

Mie, seperti halnya nasi, telah memainkan peranan penting dalam diet

masyarakat Indonesia. Produk mie umumnya digunakan sebagai sumber

energi karena kandungan karbohidratnya yang relatif tinggi. Ada beberapa tipe

mie yang disebabkan perbedaan dalam bahan baku, bentuk produk, dan

metode pengolahan. Mie tersebut telah melalui berbagai perubahan yang

dilatarbelakangi perjalanan waktu, inovasi teknik, dan permintaan konsumen.

Pembuatan mie di dalam rumah tangga diperkenalkan dari Cina sekitar

1 200 tahun yang lalu, dan kemudian menyebar ke negara-negara lain. Sekitar

700 tahun yang lalu, telah dikembangkan pembuatan so-men (mie yang sangat tipis) dengan tangan. Pengembangan mesin pembuat mie dilakukan oleh T.

Masaki pada 1884 (Kruger et al., 1996), yang menjadi revolusi industri mie. Pada tahun 1957, mie tipe Cina yang disajikan dingin menjadi populer,

terutama di daerah Nagoya, Jepang. Pada tahun berikutnya, mie instan

pertama yang disebut chicken ra-men diluncurkan ke pasaran, dan pada 1964 banyak industri yang mulai memproduksi mie instan tipe Cina.

Menurut Pagani (1985), berdasarkan ukuran diameter produk, mie

dibedakan menjadi tiga, yaitu spaghetti (0.11–0.27 inci), mie (0.07–0.125

inci), dan vermiselli (<0.04 inci). Jika dilihat dari bahan bakunya, ada dua

jenis mie, yaitu mie yang berasal dari tepung terutama tepung terigu, dan mie

transparan yang berasal dari pati (misalnya soun dan bihun). Dari segi jenis

produk yang dipasarkan, terdapat dua jenis mie, yaitu mie basah (mie ayam

dan mie bakso), dan mie kering (mie telor dan mie instan). Mie kering dan mie

basah memiliki komposisi yang hampir sama. Perbedaannya terletak pada

kadar air dan tahapan pembuatan.

Mie basah yang terdapat di pasaran, berdasarkan pembuatan dan cara

konsumsinya, dibedakan menjadi dua jenis, yaitu mie mentah (misalnya untuk

(30)

dimasak dahulu dan kadar airnya sekitar 35%. Di pihak lain, mie matang telah

mengalami pemasakan sehingga kadar airnya meningkat menjadi sekitar 60%.

Menurut Badan Standardisasi Nasional (1992), definisi mie basah

adalah produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa

penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang

diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan. Kualitas mie basah

menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu mie basah (SNI 01-2987-1992)

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1.

3. Kadar abu (dihitung atas dasar bahan

kering) % b/b Maks. 3

4. Kadar protein ((N x 6.25) dihitung atas

dasar bahan kering) % b/b

Min. 3

5.

Bahan tambahan pangan

• Boraks dan asam borat

• Pewarna

• Formalin

-

Tidak boleh ada

Sesuai SNI-0222-M dan peraturan MenKes. No. 722/Men.Kes/Per/IX/88 Tidak boleh ada

6.

Cemaran logam :

• Timbal (Pb)

Cemaran mikroba :

• Angka lempeng total

E. coli

1. Pembuatan Mie Basah Matang

Bahan dasar umum untuk pembuatan mie basah ialah terigu, air, dan

bahan tambahan lain seperti garam, air abu, dan minyak goreng. Terigu

berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur, sumber karbohidrat, sumber

(31)

memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, serta meningkatkan

elastisitas dan fleksibilitas mie. Air abu adalah bahan alkali yang digunakan

untuk meningkatkan tekstur mie. Air abu atau kansui dapat mengandung

satu atau lebih bahan tambahan pangan, dan yang biasa digunakan adalah

natrium karbonat (Na2CO3), kalium karbonat (K2CO3), dan kalium polifosfat

(KH2PO4) sebagai bahan alkali dalam pembuatan mie. Bahan-bahan alkali

tersebut memiliki fungsi berbeda. Gabungan Na2CO3 dan K2CO3 berguna

untuk meningkatkan warna kuning dan memberikan flavor yang lebih baik.

Na2CO3 sendiri berfungsi untuk meningkatkan kehalusan dan tekstur mie,

K2CO3 untuk meningkatkan sifat kekenyalan mie, sedangkan KH2PO4 untuk

meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie (Badrudin, 1994).

Tahap pencampuran bertujuan untuk menghasilkan campuran yang

homogen, menghidrasi tepung dengan air, dan membentuk adonan dari

jaringan gluten, sehingga adonan menjadi elastis dan halus. Hal-hal yang

harus diperhatikan dalam proses pencampuran adalah jumlah air yang

ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Jumlah penambahan air

adalah sekitar 28-38% dari bobot tepung. Jika air yang ditambahkan kurang

dari 28%, adonan menjadi keras, rapuh, dan sulit dibentuk menjadi

lembaran, sedangkan jika air yang ditambahkan lebih dari 38%, adonan

menjadi basah dan lengket (Oh et al., 1985). Badrudin (1994) menyatakan bahwa waktu pengadukan terbaik adalah 15 sampai 25 menit. Apabila

kurang dari 15 menit, adonan menjadi lunak dan lengket, sedangkan bila

lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh, dan kering. Suhu adonan

yang terbaik adalah 25-40oC. Apabila suhunya kurang dari 25oC, adonan menjadi keras, rapuh, dan kasar, sedangkan bila suhunya lebih dari 40oC, adonan menjadi lengket sehingga mie kurang elastis. Hal ini disebabkan

semakin tinggi suhu, kapasitas pengikatan air dari protein semakin

berkurang. Akibatnya, jika suhu terlalu rendah, air tidak tersebar merata ke

seluruh adonan, namun jika suhu terlalu tinggi, air kurang terikat dalam

adonan. Adonan yang diharapkan bersifat lunak, lembut, tidak lengket,

(32)

Tahap selanjutnya ialah pembentukan lembaran (sheeting). Proses ini bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membentuk adonan

menjadi lembaran. Hal ini dilakukan dengan jalan melewatkan adonan

berulang-ulang di antara dua roll logam. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ini di antaranya adalah suhu dan jarak antara roll. Hasil akhir yang diharapkan adalah berupa lembaran adonan yang halus dengan arah jalur

serat searah, sehingga dihasilkan mie yang elastis, kenyal, dan halus

(Badrudin, 1994).

Proses pembentukan lembaran dilanjutkan dengan proses

pemotongan. Proses pemotongan lembaran bertujuan untuk membentuk

pita-pita mie dengan ukuran lebar 1-3 mm. Selanjutnya, mie direbus.

Perebusan pita-pita mie bertujuan agar terjadi proses gelatinisasi pati dan

koagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal (Badrudin, 1994).

Gelatinisasi merupakan peristiwa pembengkakan granula pati

sehingga granula tersebut tidak dapat kembali pada posisi semula (Winarno,

1991). Gelatinisasi ini membuat pati meleleh dan akan membentuk lapisan

tipis (film) pada permukaan mie yang dapat menghasilkan kelembutan mie,

meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi daya rehidrasi mie

(Badrudin, 1994).

Tahap terakhir adalah pemberian minyak goreng. Pelumasan mie

yang telah direbus dengan minyak goreng dilakukan agar untaian mie tidak

menjadi lengket satu sama lain, memberikan citarasa, serta meningkatkan

warna dan penampakan agar mie tampak mengkilap.

Kadar air mie basah yang cukup tinggi menyebabkan mie basah

cepat mengalami kerusakan walaupun disimpan pada suhu lemari es.

Kerusakan yang sering terjadi adalah timbulnya kapang. Pada mie basah

matang, kerusakan terjadi pada penyimpanan suhu kamar setelah 40 jam,

berupa tumbuhnya kapang (Hoseney, 1998).

Setelah melewati umur simpan, mie basah akan menunjukan

tanda-tanda kerusakan. Karena mie basah cepat mengalami kerusakan atau

(33)

pengawet. Seringkali pengawet yang dipakai bukanlah pengawet yang

ditujukan untuk makanan. Penggunaan bahan tambahan ilegal formalin dan

boraks yang banyak terjadi di Jabotabek, dapat meningkatkan umur simpan

mie basah (Indrawan, 2005). Hal ini terlihat dari hasil survei terhadap

pedagang pasar tradisional dan pedagang produk olahan mie di daerah

Bogor dan Jakarta, yang menunjukkan bahwa umur simpan mie basah

mentah bisa mencapai 4 hari, sementara umur simpan mie basah matang

bisa mencapai 14 hari (Gracecia, 2005). Pedagang pasar tradisional maupun

pedagang produk olahan mie di daerah Bogor dan Jakarta sependapat

menyatakan bahwa kerusakan mie basah mentah ditandai dengan timbulnya

jamur (adanya bintik-bintik warna hitam/merah/biru), munculnya bau asam,

mie menjadi hancur, patah-patah, atau menjadi lembek. Demikian juga

untuk mie basah matang, ciri kerusakan ditandai dengan adanya bau asam,

tekstur menjadi lengket, berlendir, lembek, atau mie menjadi hancur. Secara

umum, ciri-ciri kerusakan mie basah mentah dan mie basah matang hampir

sama (Gracecia, 2005).

2. Warna Mie

Mutu bahan pangan sangat bergantung pada beberapa faktor, seperti

citarasa, warna, tekstur, nilai gizi, dan sifat mikrobiologisnya. Di antara

faktor-faktor tersebut, warna seringkali menjadi faktor penting yang menjadi

penilaian pertama. Bahan yang dinilai bergizi, enak, dan bertekstur baik,

tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang

atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya.

Ada 5 sebab umum yang dapat menyebabkan suatu bahan makanan

menjadi berwarna, yaitu: (1) pigmen yang secara alami terdapat pada

tanaman dan hewan; (2) reaksi karamelisasi yang timbul bila gula

dipanaskan menghasilkan warna coklat; (3) warna gelap yang timbul karena

adanya reaksi Maillard; (4) reaksi antara senyawa organik dengan udara

menghasilkan warna hitam atau coklat gelap; (5) penambahan zat warna,

(34)

Warna mie sering diasosiasikan dengan warna kuning. Warna

kekuningan alami pada mie mentah disebabkan oleh kandungan flavonoid

pada tepung terigu, yaitu karotenoid (Kruger et al., 1996). Komponen warna ini akan terlepas dari pati pada kondisi alkali, sehingga pigmen-pigmen

flavonoid berpeluang membentuk warna kuning pada adonan. Oleh karena

itu, penambahan alkali seperti kansui dan obat mie pada pembuatan mie

akan menyebabkan perubahan warna mie menjadi kuning.

Karotenoid utama di dalam gandum adalah karoten, xantofil, dan

ester xantofil (Rhim et al., 2000). Sebenarnya, kandungan karotenoid dalam gandum sangat sedikit jika dibandingkan dengan kandungan karotenoid

dalam jagung. Oleh karena karotenoid hanya merupakan konstituen minor

dari gandum, maka gandum bukanlah sumber prekursor vitamin A yang

signifikan. Meskipun demikian, warna yang berasal dari karotenoid

merupakan faktor penting dalam penggunaan serealia untuk produksi

pangan, terutama gandum durum yang digunakan untuk membuat pasta.

Menurut Hoseney (1998), selain timbulnya kapang, kerusakan pada

mie basah mentah adalah perubahan warna menjadi lebih gelap setelah

disimpan selama 50-60 jam pada suhu lemari es. Perubahan warna mie

menjadi lebih gelap disebabkan aktivitas enzim polifenol oksidase (PPO),

enzim yang juga menyebabkan browning pada buah. Enzim PPO dalam adonan mie berasal dari tepung terigu. Penelitian Baik et al. (1995) menunjukkan bahwa aktivitas enzim PPO pada tepung terigu kuat (hard

flour) lebih tinggi dibandingkan tepung terigu lemah (soft flour). Karena

adonan mie menggunakan terigu dengan kandungan protein tinggi (hard

flour), maka mie mentah mudah mengalami pencoklatan enzimatis. Oh et al.

(1985) menyatakan bahwa warna mie mentah juga dipengaruhi oleh

absorpsi air dan pH adonan. Jika absorpsi air meningkat, reaksi pencoklatan

enzimatis berpeluang untuk terjadi. Pencoklatan enzimatis tidak terjadi pada

mie matang, karena perebusan dapat merusak enzim PPO (Hoseney, 1998).

3. Tekstur Mie

Tekstur mie yang dimaksud di sini mencakup gaya putus dan

(35)

menahan beban yang dinyatakan dalam satuan gram force (gf), sedangkan

persentase elongasi merupakan daya ulur mie, yaitu perubahan panjang

maksimum mie sebelum sampel rusak atau putus yang dibandingkan dengan

panjang awalnya (Hay, 1968).

Protein gluten terutama fraksi gliadinnya mempunyai peran penting

dalam memperkuat adonan mie (Ruiter, 1978). Gluten merupakan suatu

massa yang kohesif dan dapat meregang secara elastis, sehingga

peningkatan gluten akan menyebabkan adonan semakin elastis dan tidak

mudah putus, baik sewaktu pencetakan maupun gelatinisasi. Dexter et al. (1981) menambahkan bahwa kekuatan adonan mie berasal dari interaksi

ikatan disulfida pada gluten. Pengurangan ikatan disulfida dan ikatan ionik

akan menurunkan elastisitas dan kekuatan mie. Jadi, penurunan kadar gluten

menyebabkan mie rapuh dan mudah patah. Menurut Roos et al. (1997), mie disebut memiliki tekstur yang baik apabila dapat memanjang lebih dari 75%

dari panjang mula-mula.

Bahan-bahan aditif yang ditambahkan ke dalam adonan dapat

mempengaruhi tekstur produk. Asam borat dapat membentuk kompleks

dengan protein dan karbohidrat untuk memperkuat tekstur. Reaksi antara

asam borat dengan gugus hidroksil yang banyak terdapat dalam senyawa

tersebut akan menghasilkan ester. Ester yang paling stabil terbentuk ketika

asam borat menjadi jembatan di antara komponen karbohidrat misalnya

pada fruktosa-boron-fruktosa.

Kemampuan formaldehid dalam memodifikasi gaya putus dan

elongasi terjadi karena formaldehid bereaksi dengan gugus ε-NH2 dari lisin untuk membentuk ikatan silang protein yang memperkuat tekstur.

Kemampuan formaldehid dalam melakukan ikatan silang pada protein telah

dilakukan oleh beberapa peneliti. Misalnya penelitian terhadap biopolimer

dari film tepung biji kapas yang dilakukan oleh Marquie et al. (1997). Di dalam larutan yang basa, ikatan silang antara protein yang disebabkan oleh

formaldehid berupa ikatan silang metilen di antara asam amino lisin. Ikatan

(36)

force) film tepung biji kapas. Bentuk ikatan silang metilen dapat digambarkan sebagai berikut (Marquie et al., 1997):

Protein Lys-NH-CH2-NH-Lys Protein

Pembentukan ikatan silang akibat reaksi antara formaldehid dengan

grup asam amino bebas lisin juga bisa terjadi pada film gluten gandum.

Akibatnya, sifat mekanis film ikut berubah. Penelitian yang dilakukan

Michard et al. (2000) menunjukkan bahwa pemberian uap formaldehid pada film akan memodifikasi protein dan mempengaruhi sifat fisik film.

Pengaruh yang ditimbulkan dapat berbeda tergantung dari jenis polimer

protein tersebut. Contohnya, film yang terbuat dari zein dan kacang pea

mengalami penurunan elongasi, sedangkan film yang terbuat dari tepung

biji kapas justru mengalami peningkatan elongasi (Michard et al., 2000). Formaldehid mampu bereaksi dengan bentuk primer dan sekunder

dari amina, hidroksil, amida, dan grup tiol untuk membentuk turunan

metilol (WHO, 2001). Tepung terigu mengandung 4-19 mikroekivalen tiol

dan 83-130 mikroekivalen grup disulfida per gram protein. Grup tiol pada

protein berpengaruh besar dalam pengembangan adonan. Reaksi antara

formaldehid dengan grup tiol protein dapat menurunkan elastisitas dan gaya

putus karena penurunan jumlah tiol dapat mengurangi kemungkinan

terjadinya ikatan intermolekular disulfida. Padahal, ikatan disulfida ini

berperan dalam menjaga elastisitas dan gaya putus mie (Kinsella, 1979).

Reaksi antara formaldehid dengan grup asam amino pada protein

dapat mengurangi toksisitas formaldehid, akan tetapi mengakibatkan

penurunan kualitas tekstur. Menurut Dingle (1977), formaldehid dengan

konsentrasi 0.5 mM di dalam 100 g daging ikan akan menghasilkan struktur

yang keras sehingga mengurangi akseptabilitasnya untuk dikonsumsi.

B. PROTEIN

1. Protein Gandum

Hard-grain wheat (gandum durum) menghasilkan adonan yang kuat

sehingga digunakan dalam pembuatan pasta. Sebaliknya, soft-grain wheat

(37)

pembuatan kue (biskuit). Gandum dengan sifat di antara keduanya cocok

digunakan dalam pembuatan roti.

Gandum durum (Triticum turgidum L. var. durum) adalah komoditas pangan penting di dunia, tidak hanya karena lahannya yang luas namun juga

karena peranan pentingnya dalam diet. Program-program pangan di tingkat

nasional maupun internasional menekankan aktivitasnya bukan hanya

terhadap aspek produktivitas, melainkan juga terhadap kualitas gandum.

Telah diketahui bahwa karakteristik gandum durum yang akan

mempengaruhi kualitas produk akhir berhubungan dengan tingginya

kandungan protein dan komponen dari protein tersebut.

Terdapat hubungan antara komposisi dan struktur protein dengan

sifat fungsional. Dari sudut pandang sifat fungsionalnya, protein gandum

dibedakan ke dalam dua kelas, yaitu protein monomerik dan protein

polimerik, tergantung apakah protein tersebut terdiri dari satu atau lebih

rantai polipeptida. Protein monomerik (atau rantai tunggal) tersusun dari

dua grup utama, yaitu grup bertipe gliadin dan grup bertipe albumin atau

globulin.

Gliadin biasanya dibagi menjadi empat grup berdasarkan

mobilitasnya ketika dipisahkan dalam gel poliakrilamid pada kondisi pH

asam (acid-PAGE), yaitu α-, -, -, dan ω- gliadin. Bobot molekul gliadin berkisar antara 30 000 sampai 80 000 Da. Subunit ω-gliadin terpisah secara jelas dari polipeptida lainnya dalam sodium dodecyl sulphate

polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) karena bobot molekulnya

(70 000-80 000 Da) tidak berdekatan dengan polipeptida lain. Subunit ω -gliadin kekurangan sulfur, tapi subunit -gliadin lainnya mempunyai sejumlah

residu sistein, yang dapat membentuk ikatan disulfida intramolekul

(Srinivasan dan Alain, 1997).

Albumin (larut dalam air) dan globulin (larut dalam larutan garam)

adalah campuran dari komponen berbobot molekul rendah, banyak di

antaranya berupa enzim. Bobot molekulnya lebih rendah daripada gliadin

(20 000-30 000 Da). Komposisi asam aminonya juga berbeda nyata dengan

(38)

asam glutamat dan prolin, sementara albumin dan globulin memiliki

kandungan asam glutamat yang lebih rendah namun kaya akan asam amino

esensial lisin (Srinivasan dan Alain, 1997).

Tiga gugus utama protein menyusun protein polimerik, yaitu

glutenin, high molecular weight (HMW) albumin, dan triticin. Glutenin mempunyai porsi terbesar (sekitar 85%) dari protein polimerik. Bersama

dengan gliadin, mereka ditemukan dalam serealia dan tepung, dan

merupakan fraksi protein utama dalam endosperm gandum durum.

Kesamaan komposisi kimia glutenin dan gliadin mengindikasikan adanya

kesamaan asal usul genetik. Glutenin mengandung polipeptida-polipeptida

berbeda yang dihubungkan oleh ikatan disulfida intermolekul.

Polipeptidanya disebut subunit dan dibagi menjadi low molecular weight

(LMW) atau polipeptida berbobot molekul rendah dan HMW atau

polipeptida berbobot molekul tinggi, sesuai dengan bobot molekulnya ketika

dipisahkan dalam SDS-PAGE. Subunit glutenin menyebabkan perbedaan

dalam sifat viskoelastis gluten (Srinivasan dan Alain, 1997).

Protein polimerik selanjutnya yang jumlahnya cukup melimpah

adalah HMW albumin, terutama -amilase. Subunit albumin membentuk

polimer di antara jenisnya sendiri dan bukan dengan glutenin. Grup lain dari

protein polimerik adalah triticin, yaitu protein bertipe seperti globulin.

Mereka juga membentuk polimer dengan subunitnya sendiri (Srinivasan dan

Alain, 1997).

Tepung gandum mengandung pati dan protein. Dua bahan ini

menyusun 90% komposisi tepung (70-80% pati dan 10-15% protein). Di

dalam produk pangan, pati muncul dalam bentuk granula kecil (diameter

1-40 m), dan di dalam sistem seperti adonan, pati terdispersi dan berperan

sebagai bahan pengisi. Di pihak lain, protein membentuk jaringan yang

kontinyu dalam pengembangan adonan dan bertanggung jawab terhadap

viskoelastisitas produk.

Interaksi antara protein tepung dan air, yang juga merupakan

komponen penting dalam adonan, merupakan faktor kritis dalam tahap

(39)

2.25 sampai 3.15 ml/g (Zayas, 1997). Hidrasi seluruh komponen tepung,

terutama protein dan pati, merupakan syarat awal terbentuknya adonan yang

baik. Gluten dapat menahan sejumlah besar air di dalam strukturnya,

menghasilkan adonan dengan kadar air yang bisa mencapai 60%. Selama

pencampuran, gluten yang terdiri dari gliadin dan glutenin akan berinteraksi

dengan air, dengan satu sama lain, dan dengan komponen tepung lainnya,

seperti lipid, pati, gula, dan protein terlarut. Sifat reologi adonan

dipengaruhi oleh rasio protein dalam tepung dan pembentukan ikatan

selama tahap pencampuran.

Elastisitas dan viskoelastisitas gluten ditentukan oleh glutenin, yang

memiliki bobot molekul besar, dan interaksi hidrofobik dari residu asam

amino non polar. Glutenin mengandung sejumlah besar asam hidrofobik,

misalnya leusin, yang berkontribusi terhadap pembentukan interaksi

hidrofobik. Selain itu, sifat elastisitas juga dikembangkan melalui ikatan

disulfida interpolipeptida dalam glutenin. (Zayas, 1997).

2. Sifat-sifat Protein

Fungsi utama protein bagi tubuh ialah untuk membentuk jaringan

baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Selain itu, protein dapat

digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak

terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Protein ikut mengatur berbagai

proses tubuh, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara

membentuk zat-zat pengatur proses dalam tubuh.

Adanya gugus amino dan karboksil bebas pada ujung-ujung rantai

molekul protein menyebabkan protein mempunyai banyak muatan

(polielektrolit) dan bersifat amfoter (dapat bereaksi dengan asam maupun

dengan basa). Daya reaksi berbagai jenis protein terhadap asam dan basa

tidak sama, tergantung dari jumlah dan letak gugus amino dan karboksil

dalam molekul. Di dalam larutan asam (pH rendah), gugus amino bereaksi

dengan H+, sehingga protein bermuatan positif. Bila pada kondisi ini dilakukan elektrolisis, molekul protein akan bergerak ke arah katoda.

(40)

bereaksi sebagai asam atau bermuatan negatif, sehingga molekul protein

akan bergerak menuju anoda. Pada pH tertentu yang disebut titik isoelektrik

(pI), muatan gugus amino dan karboksil bebas akan saling menetralkan

sehingga molekul bermuatan nol. Pengendapan paling cepat terjadi pada

titik isoelektrik ini dan tiap jenis protein mempunyai titik isoelektrik yang

berlainan, sehingga prinsip ini sering digunakan dalam pemisahan serta

pemurnian protein.

Kelarutan protein dipengaruhi oleh komposisi, urutan, berat molekul,

konformasi asam amino, serta keberadaan grup polar dan nonpolar asam

amino (Zayas, 1997). Protein dapat diendapkan secara selektif dengan

mengganti pH, kekuatan ionik, konstanta dielektrik, atau suhu larutan.

Struktur alami (native) protein umumnya sangat berlipat-lipat. Panas atau pH ekstrim menyebabkan struktur yang kompak itu kehilangan

bentuknya. Fenomena ini disebut denaturasi. Protein akan kembali ke

struktur native apabila kondisinya cepat dikembalikan ke keadaan normal. Namun, apabila kondisi normal tidak tercapai dengan cepat, protein tidak

akan kembali ke bentuk native-nya, karena telah terjadi agregasi dan reaksi kimia. Protein yang stabil pada suhu tinggi atau pH ekstrim paling mudah

dipisahkan dengan teknik ini karena protein yang tidak diinginkan akan

mengendap akibat denaturasi, sementara protein yang diinginkan akan

tertinggal dalam larutan.

Denaturasi protein umumnya didefinisikan sebagai perubahan non

kovalen dalam struktur protein. Perubahan ini dapat berupa pergantian

struktur sekunder, tersier, atau kuartener molekul. Ketika menggunakan

definisi ini, harus diperhatikan bahwa terdeteksinya denaturasi sangat

bergantung pada metode yang digunakan. Beberapa metode dapat

mendeteksi perubahan yang sangat kecil di dalam struktur, sementara

metode yang lain membutuhkan terjadinya perubahan yang lebih besar

untuk dapat terdeteksi.

Salah satu metode tertua yang dimanfaatkan untuk mendeteksi

(41)

pengukuran kasar dari denaturasi protein karena hanya menunjukkan adanya

denaturasi, bukan menunjukkan besarnya denaturasi (Zayas, 1997).

Protein yang terdenaturasi berkurang kelarutannya. Denaturasi

menyebabkan lapisan molekul protein bagian dalam yang bersifat

hidrofobik berbalik ke luar, sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofil

terlipat ke dalam. Pembalikan atau pelipatan terutama terjadi bila larutan

protein telah mendekati pH isoelektrik, dan akhirnya protein akan

menggumpal dan mengendap. Viskositas larutan akan bertambah karena

molekul mengembang dan menjadi asimetrik. Demikian pula sudut putaran

optik larutan protein akan meningkat. Jika hal ini terjadi pada enzim-enzim

yang gugus prostetiknya terdiri dari protein, maka aktivitasnya akan hilang

sehingga tidak berfungsi lagi sebagai enzim yang aktif.

Denaturasi protein dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya

pemanasan, perubahan pH, penambahan bahan kimia seperti

merkaptoetanol, perlakuan mekanik seperti pengadukan, dan sebagainya.

Masing-masing mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap denaturasi

protein.

Ketika protein dihadapkan pada peningkatan suhu yang melebihi

batas normal, penurunan solubilitas atau aktivitas enzimatik akan terjadi.

Perubahan ini dapat atau tidak dapat reversibel, tergantung jenis protein dan

tingkat pemanasan. Seiring dengan peningkatan suhu, sejumlah ikatan

dalam molekul protein melemah. Ikatan yang paling pertama terpengaruh

adalah interaksi jarak jauh yang dibutuhkan untuk membentuk struktur

tersier. Ketika struktur tersier akhirnya pecah, protein menjadi lebih

fleksibel dan gugusnya terekspos ke pelarut. Jika pemanasan dihentikan

pada tahap ini, protein dapat melipat kembali ke struktur alaminya. Namun,

jika pemanasan dilanjutkan, sejumlah ikatan hidrogen yang menstabilkan

struktur heliks mulai pecah. Ketika ikatan ini akhirnya putus, air dapat

berinteraksi dan membentuk ikatan hidrogen baru dengan nitrogen amida

dan oksigen karbonil dari ikatan peptida. Lebih jauh lagi, kehadiran air akan

melemahkan ikatan hidrogen dengan meningkatkan konstanta dielektrik di

(42)

terekspos ke pelarut sehingga interaksi hidrofobik meningkat. Perlakuan

suhu tinggi terhadap protein menghasilkan denaturasi yang irreversibel.

Presipitasi isoelektrik adalah proses di mana protein mengendap

pada pH yang mendekati titik isoelektriknya. Titik isoelektrik (pI) protein

merupakan pH di mana muatan total protein adalah nol. Protein cenderung

bergabung dan mengendap pada pI karena tidak ada tolakan elektrostatik

yang membuat mereka berpisah. Walaupun sebagian kecil protein tetap

bertahan di larutan pada titik isoelektrik, pH tersebut biasanya merupakan

titik solubilitas minimumnya. Protein yang titik isoelektriknya berada pada

pH asam disebut protein asam, sedangkan protein yang titik isoelektriknya

berada pada pH basa disebut protein basa. Sebagian besar protein pada pH

fisiologis berada di atas titik isoelektriknya dan mempunyai muatan bersih

negatif. Artinya, terdapat lebih banyak protein asam daripada protein basa

(Zayas, 1997).

Jika pH diturunkan jauh di bawah titik isoelektriknya, protein akan

kehilangan muatan negatif dan menjadi bermuatan positif. Muatan yang

sama akan saling tolak menolak dan mencegah protein untuk mulai

beragregasi. Di daerah dengan densitas muatan yang besar, tolakan

intramolekul mungkin akan cukup besar untuk menyebabkan lipatan protein

lepas. Efek ini mirip dengan perlakuan pemanasan medium terhadap

struktur protein. Pada beberapa kasus, terurainya lipatan mungkin dapat

mengakibatkan gugus hidrofobik terekspos ke pelarut dan terjadi agregasi

irreversibel. Sampai hal ini terjadi, penguraian lipatan sebagian besar masih

reversibel.

Perlakuan pH tinggi mempunyai efek yang analog dengan pH

rendah. Pada pH tinggi, protein memiliki muatan negatif besar karena

kondisi lingkungan yang mengandung banyak OH- menyebabkan semakin banyak gugus hidroksil protein yang melepaskan H+. Gaya tolak menolak antara muatan negatif tersebut cukup besar untuk menyebabkan lipatan

protein terlepas dan akhirnya terjadi agregasi protein.

Ketika protein asam terdenaturasi pada kondisi asam (misalnya pH

(43)

meningkat pada pH mendekati titik isoelektrik (di mana tolakan

elektrostatik rendah). Di pihak lain, ketika protein basa terdenaturasi di

kondisi asam, mereka tidak mudah beragregasi karena protein memiliki

banyak muatan positif dalam kondisi asam dan gaya tolak menolaknya

tinggi. Ketika pH dikembalikan ke netral, protein basa yang tidak

mengendap akan kembali ke struktur native-nya. Akan tetapi, hal ini tidak selalu terjadi pada protein asam. Kembalinya protein asam ke struktur

alaminya dimungkinkan jika protein dilarutkan dalam denaturan yang

sangat kental (misalnya urea atau guanidine hydrochloride).

Konsep yang sama berlaku untuk kondisi basa. Akan tetapi, jika

perlakuan ini dilakukan dalam jangka waktu lama, protein asam akan

mengendap walaupun dalam kondisi basa. Hal ini disebabkan ikatan peptida

rusak dan sulfur dilepaskan sebagai akibat berlebihnya jumlah ion

hidroksida dalam larutan basa.

Oleh karena jumlah protein asam lebih banyak dibandingkan protein

basa, sebagian besar protein mengendap di kondisi asam. Namun, ini hanya

berlaku untuk perlakuan jangka pendek. Jika perlakuan cukup lama, seperti

telah dijelaskan sebelumnya, protein juga akan mengendap dalam kondisi

basa. Perbedaan di antara kondisi asam dan basa adalah presipitasi protein di

larutan asam biasanya tidak merusak dan dapat kembali ke struktur native -nya, sementara presipitasi protein di larutan basa biasanya merusak sehingga

protein tidak dapat kembali ke struktur native-nya.

Protein umumnya lebih larut dalam larutan garam dibandingkan

dalam air murni. Garam akan berasosiasi dengan gugus protein yang

muatannya berlawanan. Kombinasi muatan ini mengikat air lebih banyak

daripada muatan tunggal sehingga hidrasi protein meningkat. Peristiwa ini

disebut salting in. Namun, jika konsentrasi larutan garam terlalu tinggi, akan terjadi kompetisi antara ion garam dan protein untuk mengikat air. Ketika

hal ini terjadi, protein akan mengalami dehidrasi dan kehilangan solubilitas.

Akibatnya, protein terpisah sebagai endapan. Peristiwa pengendapan protein

(44)

Solubilitas protein tergantung pada konstanta dielektrik larutan di

sekelilingnya karena hal itu mempengaruhi kekuatan interaksi elektrostatik

di antara grup-grup yang bermuatan. Penambahan pelarut organik yang

miscible dengan air tapi kurang polar, seperti etanol atau aseton, akan

menurunkan konstanta dielektrik sistem. Apabila konstanta dielektrik

menurun, interaksi elektrostatik antara grup-grup yang bermuatan dalam

protein akan meningkat. Akibatnya, solubilitas protein menurun karena

muatan berkurang, sehingga tolakan antara molekul protein tidak cukup

untuk mencegah mereka berkumpul. Kehadiran pelarut yang kurang polar

juga mempunyai efek melemahkan ikatan hidrogen dari protein.

Jumlah pelarut organik yang dibutuhkan untuk menimbulkan

presipitasi tergantung dari jenis protein, sehingga protein juga dapat

dipisahkan dengan prinsip ini. Jumlah optimumnya bervariasi dari 5-60%.

Fraksinasi dengan pelarut biasanya dilakukan pada suhu 0oC atau di bawah itu untuk mencegah denaturasi protein akibat peningkatan suhu yang terjadi

ketika pelarut organik bercampur dengan air.

Protein bisa membentukikatan silang dengan molekul lain, misalnya

melalui ikatan kovalen dengan karbohidrat membentuk glikoprotein.

Kehadiran grup yang berikatan silang dengan protein cenderung

menurunkan kecepatan denaturasi. Ada dua alasan utama untuk hal ini.

Pertama, protein yang berikatan silang dan berukuran besar akan lebih sulit

terurai lipatannya daripada protein yang tidak berikatan silang. Ketika

energi ditambahkan ke sistem dan ikatan yang menjaga struktur sekunder

melemah, molekul yang berikatan silang dengan protein akan cenderung

mempertahankan struktur. Hal ini terutama terjadi jika ikatan silang berupa

ikatan kovalen, seperti dalam ikatan disulfida. Semakin kompak molekul

dan semakin banyak jumlah ikatan disulfida, semakin tinggi stabilitas

protein. Ikatan silang juga akan mencegah tereksposnya sejumlah besar

gugus hidrofobik ke pelarut.

Isolasi protein dari mie basah matang dilakukan setelah mie

dikeringkan, ditepungkan, dan dihilangkan lemaknya (defattisasi).

(45)

heksan, petroleum eter, dan aseton. Kadar isolat protein juga dipengaruhi

oleh kandungan komponen-komponen dari sampel, seperti karbohidrat dan

lemak. Hal ini disebabkan protein dapat berikatan dengan molekul-molekul

tersebut. Kemampuan ekstraksi protein dipengaruhi oleh beberapa faktor,

antara lain ukuran partikel tepung, umur tepung, perlakuan panas

sebelumnya, rasio pelarutan, suhu, pH, dan kekuatan ion dari medium

pengekstrak (Kinsella, 1979).

C. FORMALDEHID

1. Sifat Kimia dan Fisik Formaldehid

Formaldehid merupakan senyawa yang bersifat mudah terbakar,

berbau tajam, tidak berwarna, dan mudah dipolimerisasi pada suhu ruang.

Formaldehid mudah larut di dalam air, alkohol, dan pelarut polar yang lain,

tetapi memiliki kelarutan yang rendah dalam pelarut non polar. Karakteristik

lainnya dari formaldehid disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik formaldehid

Nama Formaldehid, metanal, metil

aldehid, metilen oksida

Struktur

Rumus kimia H2CO

Berat molekul 30.03

Titik leleh -118 sampai -92oC

Titik didih -21 sampai -19oC

Triple point 155.1 K (-118.0oC)

Densitas 1.13 x 103 kg/m3

Tekanan uap (Pa, 25oC) 516 000

Kelarutan (mg/liter, 25oC) 400 000 – 550 000 Faktor konversi 1 ppm = 1.2 mg/m3 (WHO, 2002)

Sekalipun berbentuk gas (td=-21oC), formaldehid tidak dapat disimpan dalam bentuk bebasnya karena mudah berpolimerisasi.

Gambar

Tabel 2. Karakteristik formaldehid
Tabel 3. Kandungan formaldehid dalam bahan pangan
Tabel 7. Formulasi bahan tambahan untuk masing-masing sampel
Gambar 3. Diagram alir pembuatan mie basah matang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bau tepung, bau asam, warna, kecerahan dan tekstur mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25%+Metil-paraben 0,025%+Ca-propionat 0,075%+Na-asetat 2,5% selama

Dengan alasan tersebut, maka peneliti mengajukan judul “KOMPARASI UJI KADAR PROTEIN DAN ORGANOLEPTIK MIE BASAH DARI TEPUNG TERIGU (MIE AYAM YANG ADA DI PASARAN) DAN TEPUNG BIJI

Larutan ini dapat mempertahankan mutu mie basah matang hingga 4 hari penyimpanan serta mengandung asam asetat sebesar 1.75% dan ekstrak bawang putih hasil maserasi

Tepung terigu modifikasi heat moisture treatment (HMT) diharapkan dapat dijadikan alternatif untuk menghindari penggunaan boraks pada proses pengolahan mie basah demi

Dari penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa semua konsentrasi kombinasi kitosan dan asam asetat mampu mempertahankan umur simpan mie basah matang hingga

Uji Normalitas Karakteristik Fisik Mie Sagu Basah dengan Penambahan Ekstrak Bit Merah yang ditambahkan Asam Askorbat.. Tests

Hasil uji sensosri menunjukkan bahwa panelis dapat menerima karakteristik sensori mie yang ditambahkan tepung daun kelor adalah pada produk mie basah konsentrasi

Kesimpulan Karakteristik fisik mie basah dengan penambahan bubuk daun kersen meliputi daya serap air berkisar antara 70 – 190%, yang mana daya serap air paling tinggi terdapat pada