• Tidak ada hasil yang ditemukan

Variabilitas musiman dan antar tahunan salinitas permukaan laut jawa serta implikasinya terhadap hasil tangkapan ikan pelagis kecil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Variabilitas musiman dan antar tahunan salinitas permukaan laut jawa serta implikasinya terhadap hasil tangkapan ikan pelagis kecil"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLIKASINYA TERHADAP HASIL TANGKAPAN IKAN

PELAGIS KECIL

AHMAD NAJID

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Variabilitas Musiman dan Antar Tahunan Salinitas Permukaan Laut Jawa serta Implikasinya Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2012

Ahmad Najid

(4)
(5)

AHMAD NAJID. The Sea Surface Salinity Monsoonal and Interannual Variability; Their Implications on The Catch Rate of Small Pelagic Fish, Java Sea. Supervised by JOHN ISKANDAR PARIWONO, DIETRICH G BENGEN, SUBHAT NURHAKIM and AGUS S ATMADIPOERA.

The monthly average of sea surface salinity (January 1994–December 2010 with a spatial resolution of 1o x1o) from Estimating Circulation and Climater of Ocean (ECCO) Dataset is used as a primary data, Dataset of wind (European Center For Medium Range Forecast, ECMWF) as a secondary parameter (monthly averages both for east-west (zonal) component and north-south (meridional) component, it is derived from 10 meters above sea level within period of January 1994–December 2010, with a spatial resolution of 2.5o x 2.5o) in this study. Time series analysis is conducted to obstain a complete picture of the Sea Surface Salinity (SSS) seasonal fluctuations. Results showed that SSS in the Java Sea has seasonal variability, which is shown by appearences of two SSS maximum and two SSS minimum annually. Based on monthly average in the northern part of Java Seas, the SSS is having range of 32 and 34,4 psu. In the first transitional season (March-April-May), SSS is relatively lower than the other season, i.e. NW monsoon, SE monsoon. The second transitional season (September-October-November), where it is found a low core SSS consentrated in the western part of the Java Sea and also in the south of Makassar strait. Results of the analysis shows that the catch varies according to temporal (monthly, seasonal, and annual), and to spatial in the Java Sea during the period 1990 to 1995. In the Java Sea, there are seven fishing ground of small pelagic fish, namely in the waters of north Pekalongan-Tegal, Java Karimun Islands, Bawean Island, Masalembo-Masalima Island, Matasiri Island, the southern Makassar Strait, and on the Kangean Island. Based on the total catch from the of seven regions, the average monthly percentage of the catch of round scads (Decapterus spp.), mackerels (Rastrelliger kanagurta), flat sardinella (Sardinella spp), round sardinella (Sardinella lemuru), bigeye scads (Selar crumenophthalmus), and yellowstripe scads (Selaroides leptolepis) are 48.50%, 16.97%, 14,15%, 10.80%, 8.65% and 0.93% respectively.

(6)
(7)

AHMAD NAJID. Variabilitas Musiman dan Antar Tahunan Salinitas Permukaan Laut Jawa serta Implikasinya terhadap Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil. Dibimbing oleh JOHN ISKANDAR PARIWONO, DIETRICH G BENGEN, SUBHAT NURHAKIM dan AGUS S ATMADIPOERA

Data model assimilasi Estimating Circulation and Climater of Ocean

(ECCO) Salinitas Permukaan Laut pada kedalaman 5 meter (10 harian), digunakan sebagai data primer dalam penelitian ini, merupakan rerata bulanan dari Januari 1994–Desember 2010 dengan resolusi spasial 1o x1o. Data angin yang bersumber dari ECMWF sebagai data sekunder merupakan rerata bulanan untuk komponen timur-barat (zonal) dan komponen utara selatan (meridional) pada ketinggian 10 meter di atas permukaan laut dari Januari 1994–Desember 2010, dengan resolusi spasial 2,5o x 2,5o. Hasil kajian menunjukkan bahwa Salinitas di perairan Laut Jawa memilik variabilitas musiman (tahunan) yang ditunjukkan dengan dua puncak salinitas maksimum dan dua salinitas minimum dalam setahun. Berdasarkan rerata bulanan pada tahun 1994–2010 di Laut Jawa, salinitas berkisar antara 32–34,4 psu. Pada musim peralihan I (Maret-April-Mei) salinitas relatif terendah dibandingkan pada musim yang lain, yakni musim barat, dan musim timur. Pada musim peralihan II (September-Oktober-Nopember), salinitas rendah terkonsentrasi di bagian timur Laut Jawa, di selatan Selat Makasar. Salinitas maksimum diduga terkait dengan sirrkulasi dari Arus Lintas Indonesia di Selat Makassar memasuki Laut Jawa, sedangkan salinitas minumum kemungkinan berhubungan dengan masukan massa air dari Selat Karimata dan sistem sungai-sungai besar di Laut Jawa.

Berdasarkan analisis time series menggunakan FERRET 6 dan Wavelet

terhadap data salinitas permukaan laut pada kedalaman 5 meter, kurun waktu bulan Januari 1994 sampai dengan Desember 2010 menunjukkan bahwa periodesasi fluktuasi salinitas permukaan di Laut Jawa memiliki selang periode tertentu, seperti rentang waktu musiman atau tahunan, dan antar tahunan. Rentang periode musiman (tahunan), pada sekitar 350 hari memiliki intensitas spektral yang paling dominan, dengan power spektrum terkuat antara 0,7–1,0. Fluktuasi salinitas yang paling besar tersebut terlihat pada periode antara tahun 1994-1998 dan tahun 2005-2009. Spektral yang relatif kuat juga ditunjukkan pada rentang periode Intraseasonal (sekitar 2–6 bulan) dan periode antar tahunan (interannual). Hal tersebut menunjukkan bahwa pada rentang waktu antara tahun 1994 sampai dengan 2010, fluktuasi salinitas di Laut Jawa yang paling besar terjadi dalam periode musiman atau tahunan dan antar tahunan.

(8)

bagian selatan Selat Makassar, dan di Pulau Kangean. Berdasarkan keseluruhan hasil tangkapan di tujuh daerah penangkapan tersebut, persentase rata-rata bulanan hasil tangkapan jenis ikan pelagis kecil berturut-turut adalah layang (Decapterus spp.) 48,50%, banyar (Rastrelliger kanagurta) 16,97%, juwi (Sardinella spp.) 14,15%, lemuru (Ablygaster sirm) 10,80%, bentong (S. crumenophthalmus) 8,65%, dan selar (Selaroides leptolepis) 0,93%. Dari keseluruhan spesies yang tertangkap di perairan laut Jawa, ditemukan bahwa persentase hasil tangkapan jenis layang dan juwi dominan terdapat pada daerah utara Tegal-Pekalongan (34,14% dan 31,76%) dan kepulauan Karimunjawa (45,53% dan 17,34%), dimana musim puncaknya terjadi pada bulan Maret-April-Mei (Musim peralihan I). Sedangkan persentase tangkapan jenis layang dan banyar dominan di daerah Pulau Bawean (50,54% dan 19,30%), Masalembo-Masalima (42,12% dan 23,12%), Pulau Matasiri (42,83% dan 20,52%), Selat Makassar (44,63% dan 16,83%), dan di Pulau Kangean (79,68% dan 10,59%). Musim puncak tangkapan layang dan banyar pada kelima daerah penangkapan tersebut di atas terjadi pada bulan Juli-Agustus-September (musim Timur).

Berdasarkan analisis koresponden, terdapat hubungan antara sebaran jenis ikan pelagis kecil dengan salinitas permukaan di perairan Laut Jawa. Juwi (Sardinella spp.) lebih banyak ditemukan pada fisihing ground yang bersalinitas rendah hingga sedang (32,86-33,55 psu). Layang (Decapterus spp.) banyak ditemukan di perairan yang lebih jauh dari pantai pada salinitas tinggi (lebih besar dari 33,55 psu). Lemuru (Ablygaster sirm) banyak ditemukan di perairan pada salinitas rendah hingga sedang dan di bagian timur Laut Jawa.

(9)

@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(10)
(11)

IMPLIKASINYA TERHADAP HASIL TANGKAPAN IKAN

PELAGIS KECIL

AHMAD NAJID

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. 2. Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc.

(13)

Nama : Ahmad Najid

NRP : C561070091

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. John Iskandar Pariwono Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA

Ketua Anggota

Prof. (R). Dr. Ir. Subhat Nurhakim, MS Dr.Ir. Agus S. Atmadipoera, DESS

Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(14)
(15)

dan rahmat-Nya sehingga disertasi ini dengan berjudul Variabilitas Musiman dan Antar Tahunan Salinitas Permukaan Laut Jawa serta Implikasinya Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil berhasil diselesaikan.

Disertasi ini memuat tiga topik yang merupakan pengembangan dari naskah makalah ilmiah yang diajukan ke jurnal ilmiah. Topik pertama tentang Variabilitas Musiman dan Antar Tahunan Salinitas Permukaan Laut Jawa, telah publikasikan pada Jurnal MASPARI (Marine Science Research) pada Volume 4 Nomor 2 tahun 2012, ISSN : 2087-0558, terbitan Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Sriwijaya. Topik lainnya tentang Fluktuasi Musiman dan Antar Tahunan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil pada Laut Jawa dan tentang Hubungan Fluktuasi Salinitas Permukaan Laut Jawa dan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil akan dipublikasikan pada Jurnal SEGARA akreditasi A (ISSN : 1907-0659) edisi tahun 2012, terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. John Iskandar Pariwono, Prof. Dr. Dietriech G. Bengen, DEA, Prof. (R). Dr. Subhat Nurhakim,MS, dan Dr. Agus S. Atmadipoera, DESS selaku pembimbing, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Rizald Max Rompas, M.Agr, Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc., Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc, dan Ibu Dr. Ir. Neviaty P Zamani, M.Sc yang telah banyak memberi saran. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Indroyono Soesilo, M.Sc dari Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat RI (Kepala BRKP RI 1999-2007) dan Bapak Dr. Budi Sulistiyo beserta para peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Duto Nogroho, M.Si., Kepala Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Ibu Dr. Ir. Suhartati M. Natsir, Kepala Bidang Dinamika Laut P2O LIPI, Dr. Ir. Sugiarta Wirasantosa, M.Sc., Dr. Ing. Widodo Pranowo, S. Makarim,M.Sc, Fitria Darajah, Jawad Muctar Jawad, Resni Oktaviani, Admo Wibowo, Ega Putra, Anugrah Adityayuda dan Aldinno R. Wicaksono, yang telah membantu selama pengumpulan dan pengolahan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri dan anak-anakku serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2012

(16)
(17)

Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Desember 1967, sebagai anak ke empat dari lima bersaudara dari pasangan H. Muhammad Amin (alm) dan Hj. Siti Aisah (alm), di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Oseanologi, Fakultas Teknologi Kelautan, Universitas Hang Tuah Surabaya, lulus tahun 1994. Pada tahun 1996, penulis diterima di Program Studi Ilmu Kelautan Sub Program Studi Oseanografi pada Program (S2) Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor (S3) pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai Peneliti Muda di Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2001 dan ditempatkan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir KKP, Jakarta. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti adalah oseanografi fisika.

Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota dan pengurus Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI). Karya ilmiah berjudul Pola Musiman dan Antar Tahunan Salinitas Permukaan Laut di Perairan Utara-Madura telah dipublikasikan pada Jurnal MASPARI (Marine Science Research) pada Volume 4 Nomor 2 tahun 2012, ISSN : 2087-0558, terbitan Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Sriwijaya, Indralaya. Karya ilmiah lain tentang Fluktuasi Musiman dan Antar Tahunan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil pada Laut Jawa dan tentang Hubungan Fluktuasi Salinitas Permukaan Laut Jawa dan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil akan dipublikasikan pada Jurnal SEGARA (akreditasi A LIPI ISSN : 1907-0659) edisi tahun 2012, terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

(18)

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 4

1.6 Kebaharuan (Novelty) ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Kondisi Umum Hidro-oseanografi Laut Jawa dan Sekitarnya .... 7

2.2 Salinitas dan Distribusinya di Laut ... 11

2.3 Sistem Arus Permukaan di Sekitar Jalur ARLINDO ... 13

2.4 Sistem Monsoon (Muson) dan Slinitas Permukaan Laut Jawa ... 15

2.5 El NinoSouthern Oscillation (ENSO) ... 18

2.6 Indian Ocean Dipole Mode (IODM) ... 20

2.7 Sirkulasi Arus Muson dan Arus Lintas Indonesia ... 23

2.8 Pola Iklim dan Curah Hujan Di Indonesia ... 24

2.9 Karakter Oseanografi Perairan Laut Jawa dan Pengaruhnya terhadap Organisme ... 26

2.10 Interaksi Laut Jawa - Selat Makassar ... 27

2.11 Sumber Daya Perikanan Ikan Pelagis di Laut Jawa ... 31

2.12 Interaksi Sumberdaya Ikan dengan Faktor Iklim dan Oseanografi ... 37

2.13 Sintesa (Review) Hasil Penelitian Terdahulu ... 40

2.13.1 Penyebaran/Daerah Penangkapan ... 42

2.13.2 Komposisi Jenis ... 42

Daftar Pustaka ... 44

3. METODOLOGI UMUM ... 49

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 49

3.2. Bahan dan Metode ... 49

3.3. Analisis Data ... 52

3.4. Analisis Wavelet dan Deret Waktu (Time Series) ... 54

3.5. Continuos Wavelet Transform (CWT) ... 59

3.6. Analisis Koresponden (Corresponden Analysis) ... 56

(19)

4. VARIABILITAS SALINITAS PERMUKAAN LAUT MUSIMAN

DAN ANTAR TAHUNAN DI LAUT JAWA ... 59

4.1. Abstrak ... 59

4.2. Abstract ... 60

4.3. Pendahuluan ... 61

4.4. Metodologi Penelitian ... 62

4.4.1 Lokasi dan Data Penelitian ... 62

4.4.2 Analisis Data ... 62

4.5. Hasil dan Pembahasan ... 63

4.5.1 Sistem Angin Muson di Laut Jawa ... 63

4.5.2 Variabilitas Salinitas Permukaan Laut Musiman dan Antar Tahunan di Laut Jawa ... 72

4.6. Simpulan ... 91

Daftar Pustaka ... 92

5. FLUKTUASI MUSIMAN DAN ANTAR TAHUNAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT JAWA .. 93

5.1 Abstrak ... 93

5.2 Abstract ... 94

5.3 Pendahuluan ... 95

5.4 Metodologi Penelitian ... 97

5.5 Hasil dan Pembahasan ... 99

5.5.1 Daerah Penangkapan dan Jenis Ikan Hasil Tangkapan ... 99

5.5.2 Perkembangan Komposisi Spesies Pelagis Kecil Pada Setiap Fishing Ground ... 100

5.5.3 Fluktuasi Bulanan Musiman CPUE Jenis Ikan Pelagis Kecil Pada Setiap Fishing Ground ... 109

5.5.4 Analisis koresponden (Coresponden Analysis) Salinitas Permukaan Laut Jawa dan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil .. 115

5.6 Simpulan ... 121

Daftar Pustaka ... 122

6. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM ... 125

6.1 Pembahasan Umum ... 125

6.2 Kesimpulan Umum ... 129

6.3 Saran ... 131

Daftar Pustaka ... 132

(20)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Data Salinitas Observasi Dengan Model Assimilasi ... 51

2. Posisi geografis 7 lokasi wilayah penangkapan ikan pelagis kecil ... 98

3. Persentase Rata-Rata Hasil Tangkapan Jenis Ikan Pada Daerah

(21)
(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka Konseptual dan Tahapan Penelitian ... 5 2. Topografi Dasar Laut Jawa dan Sekitarnya ... 7 3. Pola Arah Dan Kecepatan Angin serta Curah Hujan di Wilayah

Indonesia

... 9 4. Pola Arah dan Kecepatan Angin serta Curah Hujan di Wilayah

Indonesia ... 10 5. Persentase Kandungan Larutan Garam (3,5%) Dalam Air Laut ... 12 6. Sistem Arus Permukaan dan Arlindo ... 14 7. Skematik dari Proses Variasi Salinitas Permukaan Musiman di

Perairan Indonesia (Laut Jawa) selama Musim Timur (Juni-Agustus) dan Musim Barat (Desember–Februari) ... 17 8. Intrusi Massa Air dari Selat Makassar dan Laut Flores ke Laut Jawa

(Juli-September) ... 17 9. Skematik dari Proses Variasi Salinitas Musiman di Perairan Laut Jawa

dan sekitar selama (a) Musim Barat (Desember-Februari) Dan (b)

Musim Timur (Juni-September) ... 18 10. Perbandingan Kondisi di Samudera Pasifik pada saat a) Normal dan b)

Terjadi El Nino ... 19 11. Fenomena IODM a) IODM Positif b) IODM Negatif ... 21 12. Perkembangan Kejadian Indian Ocean Dipole Mode Evolusi

Komposit SPL dan Anomali Kecepatan Angin pada Bulan a) Mei-Juni

b) Juli-Agustus c) September-Oktober d) November-Desember ... 22 13. Anomali Sea Surface Temperatur Bulan Oktober 2010 di Perairan

Barat Sumatera dan sekitarnya ... 22 14. Anomali Presipitasi Bulan Oktober 2010 di Perairan Barat Sumatera

dan sekitarnya ... 23 15. Skematik Sirkulasi Massa Air Laut Jawa dan Sirkulasi Arlindo ... 24 16. Tiga Daerah Pola Hujan Di Indonesia ... 25 17. Skema Sirkulasi Arus Lintas Indonesia yang Keluar Melewati

beberapa Selat ... 30 18. Daerah Penangkapan Ikan dengan Purse Seine di Laut Jawa sampai

Tahun 1995 ... 33 19. Daerah Penangkapan Ikan di Laut Jawa dalam Kurun Waktu

(23)

20. Lokasi Penelitian dan Pembagian Wilayah Penangkapan Pukat Cincin

di Laut Jawa ... 49 21. Titik Stasiun Data Salinitas ... 50 22. Hubungan Salinitas Observasi dan Model ... 50 23. Validasi Data Salinitas Observasi Dengan Model Assimilasi ... 51 24. Rata-rata angin bulan Januari mulai 1994 sampai dengan 2010 di

Laut Jawa ... 65 25. Rata-rata angin bulan Februari mulai 1994 sampai dengan 2010 di

Laut Jawa ... 65 26. Rata-rata angin bulan Maret mulai 1994 sampai dengan 2010 di

Laut Jawa ... 66 27. Rata-rata angin bulan April mulai 1994 sampai dengan 2010 di

Laut Jawa ... 66 28. Rata-rata angin bulan Mei mulai 1994 sampai dengan 2010 di

Laut Jawa ... 67 29. Rata-rata angin bulan Juni mulai 1994 sampai dengan 2010 di

Laut Jawa ... 67 30. Rata-rata angin bulan Juli mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa ... 68 31. Rata-rata angin bulan Agustus mulai 1994 sampai dengan 2010 di

Laut Jawa ... 68 32. Rata-rata angin bulan September mulai 1994 sampai dengan 2010 di

Laut Jawa ... 69 33. Rata-rata angin bulan Oktober mulai 1994 sampai dengan 2010 di

Laut Jawa ... 69 34. Rata-rata angin bulan November mulai 1994 sampai dengan 2010 di

Laut Jawa ... 70 35. Rata-rata angin bulan Desember mulai 1994 sampai dengan 2010 di

Laut Jawa ... 70 36. Fluktuasi Musiman Angin (U dan V) selama Tahun 1994-2010 di Laut

Jawa ... 71 37. Fluktuasi Antar Tahunan Angin (U dan V) selama Tahun 1994-2010

di Laut Jawa ... 71 38. Wavelet (CWT) Angin Zonal di Atas Laut Jawa 1994-2010 ... 72 39. Salinitas permukaan laut (kedalaman 5 meter) di Laut Jawa-Madura,

perata-rataan dari 27 Desember 1993 – 03 Januari 2011 (~18 tahun) ... 72 40. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Januari 1994 –

(24)

41. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Februari 1994–

2010 di Laut Jawa ... 76 42. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Maret 1994–2010

di Laut Jawa ... 77 43. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan April 1994–2010

di Laut Jawa ... 77 44. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Mei 1994–2010 di

Laut Jawa ... 78 45. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Juni 1994–2010 di

Laut Jawa ... 78 46. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Juli 1994–2010 di

Laut Jawa ... 79 47. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Agustus 1994–

2010 di Laut Jawa ... 79 48. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan September 1994–

2010 di Laut Jawa ... 80 49. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Oktober 1994–

2010 di Laut Jawa ... 80 50. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan November 1994–

2010 di Laut Jawa ... 81 51. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Desember 1994–

2010 di Laut Jawa ... 81 52. Puncak Salinitas Permukaan Laut Maksimum dan Salinitas

Permukaan Laut Minimum di Laut Jawa ... 82 53. Distribusi Time longitude Plot (Bulan-Bujur) Salinitas Permukaan

Laut Mulai Januari sampai dengan Desember 1994–2010 di Laut Jawa . 84 54. Distribusi Time Longitude Plot (Bulan-Bujur) Salinitas Permukaan di

Laut Jawa Mulai Tahun 1994–2010 ... 84 55. Fluktuasi Salinitas Permukaan Laut (A) di Laut Jawa-Madura,

Perata-Rataan dari Januari 1994–Desember 2010 ... 85 56. Anomali Salinitas Permukaan Laut di Laut Jawa-Madura,

Perata-Rataan dari Januari 1994–Desember 2010 ... 85 57. Power Spektrum Wavelet (A) dan (B) Anomali (Standarzed) dari

Masing-masing Sinyal Rentang Periodesasi Selama Tahun

1994-2010 di Laut Jawa ... 86 58. Sinyal Variasi Musiman dan Antar Tahunan Salinitas Permukaan Laut

Mulai Januari 1994 Sampai dengan Desember 2010 di Laut Jawa ... 86 59. Fluktuasi Curah Hujan Rata-Rata Tahunan Selama Tahun 1994-2010

(25)

61. Wavelet Nino 3.4 (a) dan Indeks Nino 3.4 pada periode tahun 1994–

2010 ... 90 62. Daerah Penangkapan Ikan Pelagis Kecil dan Pembagian 7 Lokasi

Wilayah Penangkapan Pukat Cincin di Laut Jawa ... 98 63. Perubahan Musiman Komposisi Spesies di Perairan Utara Tegal–

Pekalongan ... 100 64. Perubaha%n Musiman Komposisi Spesies di Perairan Karimunjawa . 101 65. Perubahan Musiman Komposisi Spesies di Perairan Pulau Bawean .. 102 66. Perubahan Musiman Komposisi Spesies di Perairan Pulau

Masalembo-Matasiri ... 103 67. Perubahan Musiman Komposisi Spesies di Perairan Pulau Matasiri .. 103 68. Perubahan Musiman Komposisi Spesies di Perairan Selat Makassar . 104 69. Perubahan Musiman Komposisi Spesies di Perairan Pulau Kangean . 104 70. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Utara

Tegal-Pekalongan ... 105 71. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Karimunjawa ... 105 72. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Pulau Bawean .... 106 73. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Masalembo dan

Masalima ... 106 74. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Matasiri ... 107 75. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Selat Makassar .. 107 76. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Pulau Kangean . 108 77. Distribusi dan Kelimpahan Rata-rata Bulanan (Musiman) ikan layang

(Decapterus spp.) Pada Setiap Fishing Ground Di Laut Jawa selama

Tahun 1990-1995 ... 110 78. Distribusi dan Kelimpahan Rata-rata Bulanan (Musiman) ikan banyar

(Rastrelliger kanagurta) Pada Setiap Fishing Ground Di Laut Jawa

selama Tahun 1990-1995 ... 112 79. Distribusi dan Kelimpahan Rata-rata Bulanan (Musiman) ikan juwi

(Sardinella spp.) Pada Setiap Fishing Ground Di Laut Jawa selama

Tahun 1990-1995 ... 113 80. Distribusi dan Kelimpahan Rata-rata Bulanan (Musiman) ikan lemuru

(Amblygaster sirm) Pada Setiap Fishing Ground Di Laut Jawa selama

Tahun 1990-1995 ... 113 81. Distribusi dan Kelimpahan Rata-rata Bulanan (Musiman) ikan

bentong (S. crumenophthalmus) Pada Setiap Fishing Ground Di Laut

(26)

82. Distribusi dan Kelimpahan Rata-rata Bulanan (Musiman) ikan selar (Selaroides leptolepis) Pada Setiap Fishing Ground Di Laut Jawa

selama Tahun 1990-1995 ... 114 83. Hasil Analisis Koresponden Seabaran Ikan Pelagis Kecil 1990-1995 di

Laut Jawa ... 116 84. Fluktuasi Salinitas Permukaan Laut di Daerah Penangkapan (fishing

ground) di Laut Jawa ... 116 85. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Bulan Januari–Desember di Daerah

(27)
(28)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Rata-Rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah

Utara Tegal-Pekalongan ... 135 2. Rata-rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah

Kepulauan Karimunjawa ... 135 3. Rata-Rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah

Pulau Bawean ... 136 4. Rata-Rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah

Pulau Masalembo-Masalima ... 136 5. Rata-Rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah

Pulau Matasiri Kepulauan ... 137 6. Rata-Rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah

Selat Makasar ... 137 7. Rata Rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah

Pulau Kangean ... 138 8. Nilai Rata-rata Bualanan CPUE Ikan Layang ... 139 9. Nilai Rata-rata Bualanan CPUE Ikan Banyar ... 139 10. Nilai Rata-rata Bulanan Persentase Ikan Banyar ... 140 11. Nilai Rata-rata Bulanan Persentase Ikan Layang ... 140 12. Nilai Rata-rata Bulanan Salinitas setiap Fishing Ground ... 141 13. Hasil Penangkapan Ikan Pelagis Kecil di Laut Jawa Tahun 1990-1995 . 142 14. CPUE jenis-jenis ikan 1990-1995 di Fishing Ground Utara Tegal-

Pekalongan ... 145 15. CPUE jenis-jenis ikan 1990-1995 di Fishing Ground Kep,

Karimunjawa ... 146 16. CPUE jenis-jenis ikan 1990-1995 di Fishing Ground P. Bawean ... 147 17. CPUE jenis-jenis ikan 1990-1995 di Fishing Ground P. Masalembo

(29)

24. CPUE Ikan Layang setiap Fishing Ground ... 155 25. CPUE Ikan Lemuru setiap Fishing Ground ... 156 26. CPUE Ikan Selar setiap Fishing Ground ... 157 27. Tabulasi Rata-rata Tahunan Spesies Ikan Per Fishing Ground (FG

I-FG III) ... 158 28. Tabulasi Rata-rata Tahunan Spesies Ikan Per Fishing Ground (FG

IV-FG VI) ... 158 29. Pengelompokkan CPUE Berdasarkan Salinitas

(Banyar-Bentong-Juwi) ... 159 30. Pengelompokkan CPUE Berdasarkan Salinitas

(30)
(31)

1.1 Latar Belakang

Laut Jawa adalah dangkalan benua dengan luas permukaan sekitar 467.000 km2 kedalaman rata-rata sekitar 40 meter terletak dibagian tenggara Paparan Sunda dimana perairan tersebut terutama dipengaruhi oleh siklus monsoon (muson), angin dan arus dari arah timur pada muson baratdaya (muson barat) dan angin dan arus dari arah barat pada musim muson tenggara (timur).

Produksi ikan di Indonesia adalah sekitar 2.200.000 ton pada tahun 1991. Laut Jawa yang mempunyai luas 7% dari luas perairan Indonesia menyumbangkan 32% (760.000 ton) dari total produksi ikan yang sebagian besar terdiri dari ikan-ikan pelagis. Jenis-jenis ikan utama yang tertangkap dan didaratkan adalah jenis ikan pelagis kecil yang memberikan kontribusi sebanyak 40 % dari total yang didaratkan (Potier dan Sadhotomo, 1995). Disamping itu, Laut Jawa juga memberikan kontribusi yang penting bagi kegiatan ekonomi lainnya, seperti perhubungan, perdagangan, energi dan sumberdaya mineral.

Tidak semua organisme laut, termasuk ikan dapat hidup di air dengan konsentrasi salinitas yang berbeda. Secara mendasar, ada dua kelompok ikan laut, yaitu ikan euryhaline, yang toleran terhadap perubahan salinitas, dan ikan

stenohaline, yang hidupnya memerlukan salinitas yang konstan dan tidak berubah. Jenis spesies ikan pelagis di Laut Jawa yang termasuk kedalam jenis ikan

stenohaline yaitu spesies banyar (Rastreiliger kanagurta) dan spesies layang deles (Decapterus macrosoma) dan migrasinya mengikuti pola migrasi salinitas Laut Jawa.

Salinitas merupakan parameter penting dalam studi oseanografi maupun iklim. Pada saat ini ketersedian data salinitas air laut masih sangat terbatas. Variasi salinitas air laut berkaitan dengan kesetimbangan hidrologi (presipitasi-evaporasi (P-E) yang selanjutnya berkaitan dengan variasi salinitas muka air laut (sea surface salinity). Kedua parameter yaitu P-E dan juga salinitas ini merupakan parameter penting dalam studi iklim maupun oseanografi (Cahyarini, 2009).

(32)

timur Indonesia dan di wilayah Indonesia di Samudera Hindia. Beberapa hasilnya telah dipublikasikan, antara lain; Ilahude dan Gordon, 1996; Susanto dan Gordon, 2001; Gordon, 2005; Pariwono et.al., 2005; Aldrian et al., 2005; Qu et.al., 2005; Robertson dan Ffield; Ray at al., 2005; Potemra, 2005; Hendiarti et al., 2005; dan Susanto dan Marra, 2005; Tubalawony, 2009; Makarim et al., 2011; Sukorahardjo, 2012. Sedangkan kegiatan survei dan penelitian hidrooseanografi yang fokus di perairan dan laut yang relatif dangkal, seperti di utara pulau Jawa-Madura relatif tidak banyak dilakukan.

Hasil penelitian dan survei hidrooseanografi dan sumberdaya ikan di perairan Laut Jawa dan sekitarnya, antara lain Soeriaatmadja, 1957; Wyrtki, 1957; 1961; Nurhakim et al., 1987; Amin dan Suwarso, 1990; Sadhotomo dan Duran, 1996; Petit et al., 1996; Hendiarti et al., 2005; Gaol dan Sadhotomo, 2007; Atmadipoera dan Nurjaya, 2011; dan Atmadipoera, 2012.

Hasil penelitian terdahulu menggambarkan bahwa salinitas permukaan laut adalah parameter yang sudah banyak diketahui dan variasinya dapat menggambarkan sirkulasi massa air secara menyeluruh dari Laut Jawa. Namun demikian penelitian yang lebih mendalam tentang variabilitas salinitas permukaan Laut Jawa dan kaitannya dengan fluktuasi sumberdaya ikan pelagis kecil perlu dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih tepat berdasarkan daerah penangkapan (fishing ground), perubahan musim, dan perubahan antar tahunan.

1.2 Perumusan Masalah

(33)

juwi, bentong, selar, dan ikan lemuru. Ikan layang merupakan jenis ikan pelagis yang paling dominan.

Pada musim timur didominasi oleh ikan berkarakter stenohaline karena pada saat ini terjadinya musim kemarau akan meningkatkan salinitas permukaan laut. Sebaliknya ditemukan bahwa pada musim barat jenis ikan yang ditemukan adalah yang berkarakter euryhaline karena menurunnya salinitas perairan. Di samping itu terlihat adanya pergeseran lokasi penangkapan berdasarkan musim. Demikian juga terhadap parameter oseanografi lainnya, setiap jenis ikan memiliki preferensi hidup yang berbeda-beda (Atmaja et al., 1986; Suwarso et al., 1987; Atmaja dan Nugroho, 1995). Ikan-ikan pantai dengan toleransi yang tinggi terhadap salinitas yang rendah, walaupun tidak seluruhnya bersifat eurihaline. Fluktuasi hasil tangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa, terutama ikan–ikan yang dominan, seperti layang (Decapterus spp) dan banyar (R. kanagurta) berhubungan dengan perubahan salinitas massa air yang datang dari Selat Makassar dan Laut Flores pada musim timur (musim kemarau) dan pada musim barat (musim hujan) berhubungan dengan massa air Selat Karimata.

Dalam konteks penelitian ini bahwa penyebaran ikan-ikan pelagis kecil di perairan Laut Jawa dipengaruhi oleh salinitas massa air, terutama jenis ikan pelagis yang dominan. Oleh karena ini diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang fluktuasi salinitas permukaan Laut Jawa kaitannya dengan sumberdaya ikan pelagis kecil. Kerangka konseptual dan tahapan penelitian ini diberikan pada Gambar 1.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitiaan ini bertujuan untuk :

1. Mengkaji fluktuasi salinitas permukaan laut musiman atau tahunan dan antar tahunan secara spasial maupun temporal di perairan Laut Jawa. 2. Mengkaji fluktuasi bulanan (musiman) hasil tangkap per unit usaha

(CPUE) dan perubahan komposisi spesies ikan pelagis kecil pada setiap

fishing ground di Laut Jawa.

(34)

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain :

1. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan variabilitas musiman dan antar tahunan salinitas permukaan laut serta hubungannya dengan sumberdaya ikan pelagis kecil.

2. Bahan kebijakan penetapan zona penangkapan, dan untuk kajian stok ikan pelagis kecil di Laut Jawa.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian berikut ini:

1. Variabilitas salinitas permukaan laut (5 m) musiman atau tahunan dan antar tahunan secara spasial maupun temporal di perairan Laut Jawa selama 1994-2010.

2. Fluktuasi musiman dan antar tahunan hasil tangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa selama 1990-1995.

3. Hubungani salinitas permukaan laut dan hasil tangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa.

1.6 Kebaharuan (Novelty)

Berdasarkan kesamaan dan perbedaan penelitian tentang variabilitas musiman dan antar tahunan salinitas permukaan laut jawa serta implikasinya terhadap hasil tangkapan ikan pelagis kecil dengan penelitian terdahulu, dapat disusun kebaharuan penelitian ini:

1. Terdapat hubungan antara salinitas permukaan laut dengan ikan pelagis kecil.

(35)
[image:35.595.48.774.105.513.2]

5

(36)
(37)

2.1 Kondisi Umum Hidro-oseanografi Laut Jawa dan Sekitarnya

Umumnya perairan Indonesia dibagi atas dua bagian, yaitu perairan dangkal dari Paparan Sunda di bagian barat, seperti Selat Karimata dan Laut Jawa dan Paparan Sahul di bagian timur. Antara keduanya terdapat laut dalam yang terdiri dari Laut Banda, Laut Flores dan Laut Sulawesi serta Samudera Hindia di Selatan. Gambaran dangkalnya Laut Jawa dibandingkan perairan di sekitarnya seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Topografi Dasar Laut Jawa dan Sekitarnya (Smith and Sandwell, 1997

dalam Gordon, 2005)

(38)

Iklim di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh angin muson yang mengakibatkan dua musim yaitu musim barat dan musim timur. Pada musim barat terjadi pada bulan Desember sampai bulan Februari, dimana angin umumnya bertiup dari arah barat laut. Bulan Juni sampai bulan Agustus merupakan puncak musim timur dimana angin umumnya bertiup dari arah timur laut. Disamping itu juga terdapat angin berasal dari utara dan barat laut. Sebelum kembali ke musim barat, terjadi musim peralihan dari timur ke barat yang terjadi antara bulan September sampai bulan November dan hanya sebagian yang berasal dari angin timur laut. Pergantian musim juga ikut memberikan pengaruh terhadap pergerakan masa air seperti arus. Pada musim barat pergerakan arus umumnya menuju ke arah timur atau arus timur. Musim timur arus bergerak sebaliknya yaitu menuju arah barat. Musim peralihan I (bulan Maret sampai bulan Mei) dan peralihan II (bulan September sampai bulan November). Di wilayah pantai arus umumnya merupakan arus gabungan yang ditimbulkan oleh arus regional dan arus pasut (Nontji, 2009).

(39)

Gambar 3. Pola Arah dan Kecepatan Angin Serta Curah Hujan di Wilayah Indonesia (KK Liu, 2004); A) Bulan Februari, B) bulan Mei Panjang Panah menunjukan Kecepatan Angin (m/det), Skala Warna

Menunjukkan Besaran Curah Hujan

mm

mm A

(40)

Gambar 4. Pola Arah dan Kecepatan Angin serta Curah Hujan di Wilayah Indonesia (KK Liu, 2004); C) Bulan Agustus; D) Bulan November. Panjang Panah Menunjukan Kecepatan Angin (m/det), Skala Warna Menunjukkan Besaran Curah Hujan

mm

mm C

(41)

2.2 Salinitas dan Distribusinya di Laut

Salinitas didefinisikan sebagai jumlah total garam yang dinyatakan dalam gram yang terdapat dalam satu kilo gram air laut, jika semua karbonat diubah menjadi okside, bromine, dan iodine dihitung sebagai chlorine dan semua senyawa organik telah teroksidasi (Forch et al., 1902 dalam Neuman and Pierson, 1966). Satuan dari salinitas adalah persen permil atau menurut komisi internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) adalah Practical Salinity Unit

(PSU), yang artinya adalah jumlah garam dalam gram yang terdapat dalam satu kilo gram air laut. Satuan PSU adalah pengganti satuan permil karena satuan permil tidak lagi digunakan di dunia internasional. Sebaran salinitas di laut, khususnya Laut Jawa dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain penguapan (evaporasi), curah hujan (presipitasi), pola sirkulasi massa air, dan aliran sungai (run off).

Salinitas, sama halnya dengan suhu, merupakan parameter penting dalam oseanografi. Distribusi salinitas sangat membantu dalam mempelajari gerak massa air, yang berhubungan dengan percampuran (mixed). Garam-garam di laut umumnya berasal dari proses pelapukan batuan atau masuknya mineral-mineral dari daratan dan kegiatan vulkanik. Dengan terbawanya larutan mineral ke lautan, dimanalarutan mineral ini terakumulasi dan mengalami siklus melalui proses periode-periode waktu yang lama, maka salinitas di perairan laut terbuka umumnya konstan dan berkisar antara 33,0-37,0 psu.

(42)

Gambar 5. Persentase Kandungan Larutan Garam (3,5%) dalam Air Laut (Gordon, 2005)

Air laut secara alami merupakan air saline dengan kandungan garam sekitar 3,5 % dan sisanya adalah air tawar. Beberapa danau garam di daratan dan beberapa lautan memiliki kadar garam lebih tinggi dari air laut umumnya. Walaupun kebanyakan air laut di dunia memiliki kadar garam sekitar 3,5%, air laut juga berbeda-beda kandungan garamnya. Air Laut paling tawar terdapat di timur Teluk Finlandia dan di utara Teluk Bothnia, keduanya bagian dari Laut Baltik sedangkan air laut yang paling asin terdapat di Laut Merah, di mana suhu tinggi dan sirkulasi terbatas membuat penguapan tinggi dan sedikit masukan air dari sungai-sungai. Kadar garam di beberapa danau dapat lebih tinggi lagi.

Distribusi atau penyebaran salinitas di suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain yaitu:

1. Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka salinitasnya tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya.

2. Curah hujan, makin besar/banyak curah hujan di suatu wilayah laut maka salinitas air laut itu akan rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah hujan yang turun salinitas akan tinggi.

(43)

rendah, dan sebaliknya makin sedikit sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan tinggi.

Umumnya di laut sebaran salinitas erat kaitannya dengan proses penguapan dimana garam-garam yang terkandung pada air laut akan mengendap atau terkonsentrasi. Daerah yang mengalami penguapan (E) yang lebih tinggi dibandingkan presipitasi (P)/curah hujannya (E>P) akan mengakibatkan salinitas yang tinggi. Menurut Nybakken (1988), salinitas pada berbagai tempat di lautan terbuka yang jauh dari daerah pantai keragamannya cukup sempit, biasanya antara 34-37 psu dengan rata-rata 35 psu. Perbandingan salinitas di perairan Indonesia pada umumnya menunjukkan kandungan salinitas laut di permukaan perairan bagian barat di Indonesia (termasuk Laut Jawa) adalah relatif rendah, rata-rata sekitar kurang dari 34 psu dan di wilayah bagian timur Indonesia relatif lebih tinggi (34-36 psu).

Secara horisontal, perbedaan salinitas ini di suatu perairan laut dan samudera terjadi karena perbedaan dalam penguapan dan curah hujan. Distribusi salinitas ditentukan oleh proses-proses yang berlangsung di permukaan laut dan oleh arus dan percampuran. Salinitas tertinggi ditemukan di lintang 20-30o Lintang Utara dan 15-20o Lintang Selatan, dimana laju evaporasi tinggi akibat suhu yang tinggi dan angin muson yang kuat. Di daerah katulistiwa, salinitas lebih rendah karena besarnya curah hujan dan rendahnya kekuatan angin. Selanjutnya ke arah kutub, salinitas menurun akibat curah hujan yang lebih besar dibanding dari evaporasi. Di lapisan dalam lautan, variasi salinitas lebih kecil dari pada di dekat permukaan akan tetapi sangat penting dalam hubungannya dengan sirkulasi utama dunia.

2.3 Sistem Arus Permukaan di Sekitar Jalur ARLINDO

(44)

berbelok arah (retroflects) ke Samudera Pasifik oleh Pusaran Halmahera (Halmahera Eddy), kemudian mengalir bersama Arus Sakal Katulistiwa Utara (North Equatorial Countercurrent/NECC).

Sedangkan arus yang membawa massa air dari Samudra Pasifik Utara adalah Arus Utara Katulistiwa (North Equatorial Current/NEC) menuju ke barat lalu bercabang di timur Filipina, dengan cabang ke arah utara menjadi awal Arus Kuroshio dan yang ke arah selatan menjadi Arus Mindanao (Mindanao Current/MC). Massa air dari Samudra Pasifik Utara yang telah dibawa oleh Arus Mindanao kemudian oleh Pusaran Mindanao (Mindanao Eddy/ME) dibawa masuk ke jalur ARLINDO di lapisan bawah permukaan. Massa air dari Samudera Pasifik Utara juga masuk ke jalur ARLINDO dari lintasan sebelah selatan Laut Sulu yang melewati dari Laut Cina Selatan. Selain itu sebagian Arus Mindanao yang mengalir ke selatan, ada yang berbelok arah di sekitar Pusaran Mindanao (Mindanao Eddy/ME) dan menjadi Arus Sakal Katulistiwa Utara (North Equatorial Countercurrent/NECC).

[image:44.595.88.474.361.746.2]

Sebagian besar massa air ARLINDO kemudian keluar menuju ke Samudra Hindia melalui Pintasan (passage) Timor, dengan transpor yang kecil melalui Laut Sawu dan Selat Lombok. Sistem arus permukaan dan Arlindo secara global dapat dilihat pada Gambar 6.

(45)

2.4 Sistem Monsoon (Muson) dan Salinitas Permukaan Laut Jawa

Secara geografis posisi wilayah Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, serta antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, sehingga karakteristik hidrooseanografi (seperti salinitas) perairan indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem angin muson dan sirkulasi massa air antar samudra. Pada bulan Desember-Maret letak bumi terhadap matahari adalah sedemikian rupa, sehingga belahan bumi selatan menerima lebih banyak penyinaran matahari dari pada belahan utara. Sebagai akibatnya daratan Australia mengalami tekanan udara rendah, sedangkan daratan Asia mengalami tekanan udara tinggi. Antara kedua wilayah tekanan yang berbeda ini berkembanglah angin muson yang bertiup dari daratan Asia ke Australia. Dikawasan Indonesia utara katulistiwa angin bertiup dari arah timur laut, sehingga disebut angin Muson Timur laut. Di bagian selatan katulistiwa anginnya bertiup dari arah barat laut, sehingga disebut angin Muson Barat Laut (Wytrki, 1961; Ilahude, 1994).

Sebaliknya pada Muson timur-tenggara yang biasanya terjadi pada bulan Juni-September, daratan Asia mengalami pemanasan yang intensif sehingga menjadi pusat tekanan udara rendah, sedangkan di benua Australia terbentuk pusat tekanan udara tinggi, akibatnya angin bertiup dari Australia ke Asia. Di kawasan Indonesia bagian selatan katulistiwa angin bertiup dari arah tenggara, sehingga disebut angin Muson Tenggara, sedangkan di bagian utara katulistiwa angin bertiup dari baratdaya sehingga disebut angin Muson Baratdaya. Untuk wilayah yang tepat berada di katulistiwa, berlaku angin muson utara dan angin muson selatan (Wyrtki, 1961; Ilahude, 1994).

(46)

Umumnya perairan Indonesia dibagi atas dua bagian, yaitu perairan dangkal dari paparan Sunda di bagian barat, seperti Laut Jawa dan Selat Karimata dan paparan Sahul di bagian timur. Antara keduanya terdapat laut dalam yang terdiri dari laut Banda, Laut Flores dan Laut Sulawesi serta Samudera Hindia di Selatan. Secara umum, secara bergantian terjadi angin muson barat (musim barat), bertiup dari barat ke timur dan angin muson timur (musim timur) arahnya dari timur ke barat. Sistem angin Muson tersebut mengakibatkan pergerakan massa air (arus), terutama di bagian permukaan mengikuti pola angin Muson.

Pada musim barat (Desember-Februari) salinitas minimum mencapai puncaknya pada bulan Januari atau Februari. Pada musim ini massa air dari Laut Natuna melewati Selat Karimata memasuki Laut Jawa dari arah barat yang dalam perjalanannya banyak mengalami pengenceran dari aliran-aliran sungai di sungai disekitarnya (Sumatera, Kalimantan, dan Jawa). Akibatnya salinitas turun dan mendorong massa air yang bersalinitas tinggi ke timur ke arah Laut Flores . Sebaliknya pada musim timur, dimana massa air laut bergerak dari Timur (Laut Flores dan Selat Makassar) ke barat memasuki Laut Jawa mendorong massa air salinitas rendah di Laut Jawa kembali ke barat sampai ke Laut Cina Selatan melewati Selat Karimata.

Pola sebaran salinitas di Laut Jawa akan mengikuti pola musim, dimana angin dan gelombang pada musim barat atau musim timur di perairan Laut Jawa akan menghasilkan lapisan turbulensi atau lapisan tercampur (mixer layer). Arus di Laut Jawa pada musim timur dari bulan (Mei–September) mengalir menuju ke arah barat. Sebaliknya pada musim barat (November–Maret) arus mengalir ke arah timur. Saat musim barat massa air salinitas rendah (minimum) bergerak dari Selat Karimata ke Laut Jawa dan pada musim timur massa air salinitas tinggi (maksimum) bergerak dari arah timur (Laut Flores dan Selat Makassar) masuk ke Laut Jawa. Gambaran skematik pengaruh musim terhadap proses variasi salinitas permukaan di perairan Indonesia, seperti disajikan pada Gambar 7.

(47)

isohalin 30 psu terdorong jauh ke laut lepas. Pada saat yang sama arus permukaan dari Laut Cina Selatan membawa massa air bersalinitas rendah ke bagian barat Laut Jawa dan mendorong massa air yang bersalinitas tinggi ke timur. Sebaliknya, pada musim timur massa air dengan salinitas rendah tadi didorong kembali ke Laut Jawa dan Laut Cina Selatan, dan diganti oleh massa air yang bersalinitas tinggi dari Selat Makassar dan Laut Flores (Gambar 8).Pada Gambar 9 disajikan skematik dari proses variasi salinitas musiman di perairan Laut Jawa dan sekitar selama musim barat (Desember-Februari) dan musim timur (Juni-September).

Gambar 7. Skematik dari Proses Variasi Salinitas Permukaan Musiman di

Perairan Indonesia (Laut Jawa) Selama Musim Timur (Juni-Agustus) dan Musim Barat (Desember–Februari) (Gordon, 2005)

(48)

Gambar 9. Skematik dari Proses Variasi Salinitas Musiman di Perairan Laut Jawa dan Sekitar Selama (a) Musim Barat (Desember-Februari) dan (b) Musim Timur (Juni-September) (Miyama et al., 1996)

2.5 El Nino Southern Oscillation (ENSO)

El Nino Southern Oscillation atau ENSO adalah kondisi abnormal iklim di mana suhu permukaan Samudra Pasifik di pantai Barat Ekuador dan Peru lebih tinggi dari rata-rata normalnya. Istilah ini pada mulanya digunakan untuk menamakan arus laut hangat yang terkadang mengalir dari utara ke selatan antara pelabuhan Paita dan Pacasmayo di daerah Peru yang terjadi pada bulan Desember. Kejadian ini kemudian semakin sering muncul yaitu setiap tiga hingga tujuh tahun serta dapat mempengaruhi iklim dunia selama lebih dari satu tahun (Philander, 1990). Fenomena ENSO ini memiliki dua fenomena yang saling berlawanan fase. Dimana fase panas disebut sebagai kondisi El Nino dan fase dingin disebut sebagai kondisi La Nina.

(49)

tekanan udara di bawah kondisi normalnya di Darwin. Pola inilah yang dinamakan pola jungkat-jangkit, dimana posisi kedua ujungnya akan selalu berlawanan. Fenomena Osilasi Selatan ini berkaitan dengan kejadian El Nino, maka disebut sebagai ENSO (Brown et al., 1989).

Perbandingan kondisi pada saat normal dan terjadi El Nino ditunjukkan pada Gambar 10. Pada kondisi normal, berhembus angin permukaan ini membangkitkan arus permukaan di Samudera Pasifik yang mengalir dari timur ke barat. Hal ini mengakibatkan elevasi muka air laut di Samudera Pasifik tropis bagian barat lebih tinggi dan suhu permukaan laut (SPL) di bagian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan Samudera Pasifik tropis bagian timur (Gambar 10a). Melemahnya Angin Pasat menyebabkan terjadinya perubahan arah arus ekuator yang semula ke arah barat menjadi ke arah timur (Gambar 10b). Perubahan arah arus ini menyebabkan makin tingginya SPL di Samudera Pasifik tropis bagian timur. Semakin besarnya gradien suhu antara timur-barat membangkitkan angin baratan yang bertiup dari Pasifik barat ke bagian timurnya. Bertiupnya angin baratan ini menambah kuatnya perbedaan suhu atau makin bertambahnya suhu di bagian timur Pasifik. Sirkulasi tersebut terjadi pada kondisi El Nino. Pada tahun 1997 terjadi pengaruh global dari kejadian ENSO yang menyebabkan anomali kondisi iklim yang berkepanjangan.

(50)

2.6 Indian Ocean Dipole Mode (IODM)

Saji et al., (1999) melaporkan bahwa terdapat juga osilasi klimatologi di Samudera Hindia. Fenomena ini ditunjukkan dengan adanya variabilitas internal dengan SPL negatif atau lebih dingin dari normalnya di pantai barat Sumatera atau Samudera Hindia bagian timur (90°-110° BT, 10° LS-ekuator) dan anomali positif di Samudera Hindia bagian barat (50°-70° BT, 10° LS-10° LU). Fenomena ini bersifat unik dan melekat di Samudera Hindia dan terlihat tidak bergantung pada ENSO. Fenomena ini dinamakan Indian Ocean Dipole Mode (IODM).

Dipole Mode Index (DMI) dapat digunakan untuk mengidentifikasi fenomena IODM. Nilai DMI menggambarkan perbedaan anomali suhu permukaan laut dari dua daerah yaitu bagian barat ekuator dari Samudera Hindia (50°-70° BT dan 10° 10° LU) dan timur ekuator dari Samudera Hindia (90°-110° BT dan 10° LS-ekuator). Nilai DMI yang ekstrim positif menggambarkan terjadinya fenomena IODM positif dan nilai DMI ekstrim negatif menunjukkan terjadinya fenomena IODM negatif.

(51)

Gambar 11. Fenomena IODM a) IODM Positif b) IODM Negatif (Saji et al., 2001)

Proses terbentuknya IODM ditampilkan pada Gambar 11. Siklus dipole mode diawali dengan munculnya anomali suhu permukaan laut negatif di sekitar Selat Lombok hingga Selatan Jawa pada sekitar bulan Mei–Juni. Selanjutnya pada bulan Juli – Agustus, anomali negatif tersebut terus menguat dan semakin meluas sampai pantai barat Sumatera, sementara itu di Samudera Hindia bagian barat muncul pula anomali suhu permukaan laut positif. Adanya perbedaan tekanan di antara keduanya, semakin memperkuat angin tenggara di sepanjang ekuator dan pantai barat Sumatera. Proses pembentukan Indian Ocean Dipole Mode dimulai pada bulan Mei hingga Juni. Siklus ini mencapai puncaknya pada bulan September–Oktober dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan November–Desember.

(52)

Gambar 12. Perkembangan Kejadian Indian Ocean Dipole Mode. Evolusi

Komposit SPL dan Anomali Kecepatan Angin pada Bulan a) Mei-Juni b) Juli- Agustus c) September-Oktober d) November-Desember (Saji

et al.,1999)

Gambar 13. Anomali Sea Surface Temperatur bulan Oktober 2010 di Perairan Barat Sumatera dan Sekitarnya (Makarim, et al., 2011)

(53)

Gambar 14. Anomali Presipitasi Bulan Oktober 2010 di Perairan Barat Sumatera dan Sekitarnya (Makarim, et al., 2011)

2.7 Sirkulasi Arus Muson dan Arus Lintas Indonesia

Perairan Indonesia bagian barat, lebih didominasi oleh Armondo (Arus Monsun Indonesia) sedangkan Arlindo (Arus Lintas Indonesia) lebih dominan di perairan Indonesia bagian tengah dan timur seperti yang ditunjukkan pada Gambar 15. Pada wilayah perairan Indonesia bagian barat, disamping terdapat pengaruh ENSO dan monsun, juga diduga dipengaruhi oleh Dipole Mode.

Variasi transpor Arlindo di perairan Indonesia bagian barat yang meliputi Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Selat Malaka, Laut Jawa dan Selat Luzon telah dilakukan untuk tahun 1988-1989 (fasa La Nina kuat), 1996 (tahun normal) dan 1997-1998 (fasa El Nino kuat) dengan menggunakan simulasi model numerik 3D barotropik POM (Pricenton Ocean Model) yang dimodifikasi oleh Ningsih (2000) dengan gaya pembangkit angin untuk mengetahui variabilitas Arlindo akibat interaksi ENSO, Monsun dan Dipole Mode.

Secara umum diperoleh bahwa monsun berpengaruh kuat terhadap variasi transpor Arlindo di perairan Indonesia bagian barat. Adanya penguatan angin zonal (meridional) akan diikuti dengan meningkatnya arus ke arah yang sama. Pengaruh ENSO yang terlihat dengan jelas ditemukan di Laut Cina Selatan dan Selat Luzon (Hidayati, 2004). Transpor massa air di perairan yang terlintasi oleh

(54)

Arlindo cenderung konstan sepanjang tahunnya, namun besarnya sangat erat kaitannya dengan pengaruh situasi iklim regional/global.

Gambar 15. Skematik Sirkulasi Massa Air Laut Jawa dan Sirkulasi Arlindo (Gordon, 2005)

2.8 Pola Iklim dan Curah Hujan di Indonesia

(55)

bersalinitas tinggi ke barat mencapai puncaknya pada bulan September (Wyrtki, 1961; Gordon, 2005).

Iklim didefinisikan sebagai kondisi atmosfir rata-rata pada suatu wilayah untuk periode waktu yang cukup lama, biasanya sekitar 30 tahun yang dipengaruhi oleh interaksi antara atmosfir, daratan dan lautan. Secara statistik, iklim juga mencakup tidak hanya nilai rata-rata, tetapi juga variasi besaran dari hari ke hari, bulan ke bulan, hingga tahun ke tahun. Iklim suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh garis lintang rendah (tropis), menengah (sedang), atau tinggi (kutub), topografi, ada tidaknyanbadan air, seperti laut, danau, atau sungai. Wilayah yang berada di lintang rendah (tropis) akan menerima radiasi matahari maksimum hampir sepanjang tahun. Cuaca adalah kondisi atmosfir pada suatu wilayah untuk periode waktu yang singkat, jam atau hari. Unsur-unsur cuaca dan iklim terdiri dari: suhu udara, tekanan udara, kelembababn udara, jumlah partikel atmosfir, radiasi matahari, evapotranspirasi potensial, angin, dan curah hujan (Nasrullah, 2011).

Indonesia memiliki iklim yang unik, selain disebabkan oleh wilayahnya yang berupa kepulauan dan berada di wilayah tropis, keunikan iklim Indonesia juga dipengaruhi oleh letaknya yang berada di antara dua samudera dan dua benua. Di Indonesia terdapat tiga jenis pola iklim. Menurut Aldrian dan Susanto, (2003), pola curah hujan di Indonesia terbagi menjadi tiga zona utama, yaitu zona iklim monsunal, iklim equatorial, dan zona iklim lokal dengan sebuah wilayah peralihan (Gambar 16) yaitu:

(56)

1. Daerah monsunal (zona A) merupakan pola yang dominan di Indonesia, karena melingkupi hampir seluruh wilayah Indonesia. Daerah tersebut memiliki satu puncak pada bulan November-Maret (NDJFM) dipengaruhi oleh monsun barat laut yang basah dan satu palung pada bulan Mei-September (MJJAS) dipengaruhi oleh monsun tenggara yang kering, sehingga dapat dibedakan dengan jelas antara musim kemarau dan musim hujan Selain itu daerah A berkorelasi kuat terhadap perubahan SPL.

2. Daerah ekuatorial (zona B) mempunyai dua puncak pada bulan Oktober-November (ON) dan pada bulan Maret-Mei (MAM). Pola ini dipengaruhi oleh pergeseran ke utara dan selatan dari ITCZ atau titik equinox (kulminasi) matahari.

3. Daerah iklim lokal (zona C) mempunyai satu puncak pada bulan Juni-Juli (JJ) dan satu palung pada bulan Novenber-Februari (NDJF). Pola ini merupakan kebalikan dari pola A.

Setiap wilayah di Indonesia mempunyai pola hujan yang sama, dan curah hujan adalah parameter iklim yang paling mempengaruhi pola kehidupan masyarakat. Pola curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain monsoon, Inter Tropical Covergence Zone (ITCZ), Indian Ocean Dipole Mode (IODM), El Nino southern oscillation (ENSO), dan sirkulasi regional lainnya, yang terdapat di Samudera Hindia dan samudera Pasifik (Aldrian dan Susanto, 2003).

2.9 Karakter Oseanografi Perairan Laut Jawa dan Pengaruhnya terhadap Organisme

(57)

organisme memiliki daya adaptasi terhadap fluktuasi lingkungan yang terjadi.Kondisi ini mejadikan hubungan faktor lingkungan dan organisme menjadi faktor fisik dan fisiologis dalam tubuh yang dapat mengoroientasikan dirinya untuk mengarah atau berada dalam suatu lingkungan tertentu (Leavastu dan Hela, 1970; Laevastu dan Hayes, 1981).

Stok sumberdaya ikan dan hasil tangkapan bervarisasi secara musiman dan tahunan yang berkaitan dengan variabilitas lingkungan pada skala waktu yang sama (Cushing, 1975 dalam Laevastu dan Hayes, 1981). Berkaitan dengan kondisi perikanan di Selat Makassar dan Laut Jawa, angin munson merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap fluktuasi kelimpahan dan jenis hasil tangkapan yang mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi oseanografi baik secara temporal maupun spasial. Hasil tangkapan menunjukkan adanya kemunculan jenis ikan pada musim tertentu dan akan menghilang seiring dengan adanya perubahan musim yang kemudian digantikan oleh jenis yang lain pada cakupan kawasan tersebut. Demikian halnya dengan jumlah hasil tangkapan berdasarkan musim menunjukkan adanya perbedaan dimana terjadi musim puncak penangkapan dan paceklik pada bulan-bulan tertentu (Atmaja dan Nugroho, 1995; Priatna dan Suwarso, 2008).

2.10 Interaksi Laut Jawa-Selat Makassar

Karakteristik massa air dan iklim Laut Jawa dipengaruhi langsung oleh dua angin munson yaitu angin munson barat yang berlangsung antara bulan September–Februari dan angin munson timur antara bulan Maret–Agustus. Pada munson timur, massa air bersalinitas tinggi (>34 psu) memasuki Laut Jawa melalui Selat Makassar dan Laut Flores, sedangkan pada munson barat selain terjadi pengenceran oleh air sungai, juga masuk massa air bersalinitas rendah (<32 psu) yang berasal dari Laut Cina Selatan mendorong massa air bersalinitas tinggi ke bagian timur Laut Jawa. Hal ini mempengaruhi temperatur permukaan dan pola arus (Veen, 1953; Wyrtki, 1961 dalam Atmaja dan Nugroho, 1995).

(58)

bagian selatan sehingga meningkatkan nilai salinitas di perairan ini. Pada daerah pantai Selat Makassar terdapat kantong-kantong air dengan salinitas tinggi, yang hanya dapat dijelaskan dengan proses penaikan massa air karena pada daerah yang berdekatan justru bersalinitas rendah. Selama proses penaikan air berlangsung pada musim timur, salinitas dapat mencapai 34-34,5 psu. Sebaliknya pada musim barat, massa air dari Laut Jawa yang bersalinitas rendah akan memasuki perairan Selat Makassar bagian selatan sehingga dapat menurunkan salinitas permukaan.

Pengamatan oleh Gordon et al. (2003) dan NCEP/National Center Environmental Prediction (Sofian et al., 2006; Sofian et al., 2007) dengan pemodelan arah angin menunjukkan bahwa salinitas permukaan Laut Jawa yang rendah bergerak ke selatan Selat Makassar selama munson barat laut dari Oktober sampai Maret. Angin monsun tenggara mengembalikan massa air bersalinitas rendah tersebut ke Laut Jawa selama dari bulan April sampai September. Pengamatan oleh Sofian et al. (2006) juga membuktikan bahwa kuatnya volume transpor berlangsung kuat ke arah timur mengakibatkan naiknya muka laut di Laut Jawa. Selain itu, transport massa air mengarah ke timur selama munson barat laut dari Oktober hingga Maret dan ke barat selama munson tenggara.

Hubungan antar lautan antara Selat Makassar dan Laut Jawa diselidiki dengan model Hybrid Coordinat Ocean Model (HYCOM). Hasil yang diperoleh bahwa bahwa di Selat Makassar aliran terkuat mengarah ke selatan pada lapisan 150–250 meter. Berkaitan dengan fenomena ENSO, kecepatan aliran permukaan akan menurun pada saat munson barat laut selama periode La Nina. Hal ini disebabkan oleh aliran massa air Laut Jawa menuju timur dapat menghambat aliran massa air hangat yang dialirkan oleh arus permukaan Selat Makassar yang menuju ke selatan dimana membawa massa air dari Samudera Pasifik memasuki Samudera Hindia selama periode ini. Di sisi lain, kecepatan arus yang menuju timur dan air permukaan bergerak dari selatan Selat Makassar menuju ke Laut Jawa mengalami peningkatan selama munson tenggara selama periode El Nino 1997/1998 (Sofian et al., 2006).

(59)

pada perairan jalur barat Arlindo. Selama munson barat laut dimana bertiup angin barat laut, angin munson menggiring massa air Laut Jawa menuju timur dan perairan selat Karimata ke arah selatan. Arus permukaan Selat Sunda mengarah ke timur dan memasuki Samudera Hindia menuju Laut Jawa selama periode ini. Sebaliknya, saat arah angin berubah dari arah tenggara selama munson tenggara menciptakan arus menuju barat karena hembusan angin tersebut yang mengarahkan permukaan Laut Jawa dan Selat Karimata masing-masing bergerak menuju barat dan utara.

Adapun massa air permukaan Selat Sunda akan keluar dari Laut Jawa menuju Samudera Hindia selama munson tenggara. Berbeda dengan arus Selat Makassar yang tidak mengikuti arah angin munson, arus permukaan Selat Makassar cenderung mengarah ke selatan sepanjang tahun.Kecepatan arus permukaan Selat Makassar rendah pada munson barat laut meskipun arah angin dari utara berlangsung intensif. Rendahnya kecepatan arus permukaan Selat Makassar karena terhalangi oleh kuatnya arus Laut Jawa yang mengarah ke timur.Akan tetapi, pada saat munson tenggara arah selatan arus permukaan Selat Makassar menjadi lebih cepat. Hal ini diketahui, kuatnya arus permukaan menuju selatan mendorong massa air permukaan dengan salinitas dan temperatur yang rendah kembali ke Laut Jawa.

(60)

aliran massa ini. Massa air terdiri dari Perairan Bawah Termoklin Subtropis Pasifik Selatan (SPSLTW) yang muncul pada kedalaman bawah termoklin sepanjang jalur timur yang melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku menuju Laut Seram, dan kemudian menuju ke Laut Banda (Wyrtki, 1961; Ilahude dan Gordon, 1996).

Salinitas permukaan memperlihatkan variasi tahunan yang kuat pada perairan Indonesia yang berasosiasi dengan suplai terbesar perairan tawar Laut Jawa selama musim hujan pada munson barat laut dari Desember sampai Maret (Wyrtki, 1961). Survei dengan CTD yang dilakukan pada puncak musim hujan dan kemarau pada 1993/94 melalui eksperimen Arlindo memperlihatkan bahwa perairan besalinitas rendah terdapat pada lapisan permukaan sampai bagian atas lapisan termoklin di selatan Selat Makassar selama puncak munson barat laut pada periode Arlindo. Salinitas permukaan yang rendah dibawa oleh arus munson yang mengalir ke timur dari Laut Jawa ke Laut Banda.Sepanjang aliran ini, profil perairan Arlindo merupakan pokok dari percampuran pasang surut yang membentuk lapisan termoklin dari Arlindo yang keluar menuju Samudera Hindia. Skema Arlindo melewari selat-selat di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 17.

(61)

2.11 Sumber Daya Perikanan Ikan Pelagis di Laut Jawa

Sumber daya perikanan Selat Makassar dimanfaatkan oleh nelayan dan perusahaan penangkapan yang berada di kawasan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Bali serta Jawa. Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang terdapat di Selat Makassar terdiri dari ikan layang, kembung, selar, tembang, siro, julung-julung dan teri. Dari data statistik perikanan terdapat 15 jenis ikan yang dikelompokkan ke dalam kelompok pelagis kecil dan yang paling dominan adalah ikan layang (Gafa et al., 1993).

Jenis layang di Selat Makassar pada dasarnya tertangkap sepanjang tahun, fluktuasi terjadi secara musiman; puncak kelimpahan ikan layang berlangsung antara November sampai Januari. Adapun musim paceklik penangkapan layang terjadi sekitar bulan Maret sampai Mei.Terkait dengan musim ikan di Laut Jawa, musim puncak layang di Selat Makassar lebih lambat sekitar dua bulan dibanding dengan musim puncak kelimpahan di Laut Jawa (perairan sekitar Kepulauan Masalembo dan Pulau Matasirih) yang berlangsung pada musim peralihan 2 (September–November). Selisih musim puncak tersebut diduga karena adanya

spawning migration dari timur Laut Jawa ke arah barat Selat Makassar. Indikasi tersebut berdasarkan temuan Potier dan Sadhotomo (2003) bahwa adanya pergeseran ukuran ikan layang yang berhubungan dengan tingkat kematangan gonad ikan layang (Priatna dan Suwarso, 2008).

(62)

pemanfaatan ikan pelagis yang dioperasikan dalam kuantitas dan kualitas yang besar (Dwiponggo, 1983).

Ikan layang, Decapterus spp merupakan salah satu komoditi utama dari hasil tangkapan pukat cincin di perairan utara Jawa. Hasil tangkapan rata-rata selama periode tahun 1981–1982 di TPI Pekalongan saja mencapai 19,442 ton atau sekitar 32% dari hasil tangkapan total ikan pelagis. Kondisi biologisnya menunjukkan bahwa pada salah satu jenis yakni D. maruadsi matang seksual pada ukuran 18,8 cm. Aktifitas penangkapan yang berjalan ditemui banyak ikan yang tertangkap sebelum mencapai ukuran matang seksual. Adapun pola penambahan anggota baru tahunan puncaknya terjadi pada dua musim yakni barat dan timur dengan puncak tertinggi pada musim timur (Atmaja, 1983). Demikian halnya di Selat Makassar diketahui bahwa layang merupakan tangkapan utama pukat cincin dengan kontribusi sekitar 58%. Sedangkan perairan Selat Makassar bagian selatan sebagai salah satu tujuan utama penangkapan ikan layang memiliki kontribusi sebesar 43%.Adapun jenis ikan layang yang tertangkap di Selat Makassar adalah layang (Decapterus ruselli) dan layang abu-abu (D. macrosoma) (Prasetyo dan Suwarso, 2010).

(63)

Sadhotomo (1994) dalam Atmaja dan Nugroho (1995) mendeskripsikan lokasi penangkapan di atas yang dikelompokkan dalam perikanan pelagis kecil di utara Jawa (Gambar 18).

Gambar 18. Daerah Penangkapan Ikan dengan Purse Seine di Laut Jawa Sampai Tahun 1995 (Sadhotomo, 1994 dalam Atmaja dan Nugroho, 1995)

Perubahan kondisi lingkungan mempengaruhi beberapa jenis ikan tertentu untuk melakukan ruaya, misalnya layang (Decapterus spp) dan banyar (Rastrelliger kanagurta) yang beruaya mengikuti perubahan salinitas sehingga ikan tersebut selalu beruaya musiman. Menurut Sujastani (1974) ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) beruaya untuk memijah dari Tanjung Satai (Kalimantan Barat) pada bulan Mei–Oktober, populasi ikan kembung musim barat beruaya dari perairan Laut Jawa untuk memijah dan atau Laut Cina Selatan, sedangkan populasi ikan kembung musim timur memijah di bagian timur Laut Jawa (Laut Flores). Migrasi ikan kembung ini mengikuti corak migrasi ikan layang yang biasanya terlambat satu atau dua minggu (Atmaja et.al., 1986).

(64)

semakin ke arah barat layang biasa yang semakin banyak. Terdapat kecenderungan naiknya CPUE ikan layang dengan semakin jauhnya daerah penangkapan. Disebutkan juga bahwa pada setiap musim nelayan lebih banyak menagkap ikan di perairan sekitar Masalembo dan Matasirih (kira-kira 21,8% dan 30,9%), sedangkan di empat daerah penangkapan lainnya (perairan sebelah utara Tegal dan Pekalongan, sekitar Kepulauan Karimunjawa dan sekitar Pulau Bawean) sekitar 47,3%. Dengan demikian kenaikan hasil tangkapan layang disebabkan oleh kenaikan hasil tangkapan layang deles, dimana ini telah mengakibatkan perubahan komposisi dari layang.

Pukat cincin mini (mini purse seine) juga merupakan jenis alat tangkap ikan pelagis kecil di Laut Jawa dengan daerah penangkapan tersendiri. Armada penangkapan yang berbasis di Eretan Wetan beroperasi di sekitar Pulau Biawak dan utara Blanakan dengan jarak 2-3 jam berlayar dari pangkalan. Di daerah Pekalongan, nelayan umumnya beroperasi di sekitar perairan utara Pekalongan hingga sekitar 3-7 jam. Di daerah Banyutowo sebagian besar dilakukan di utara Tanjung Mandalika, Jepara dan timur Tayu. Terdapat juga di daerah Tasik Agung (Rembang) dan Sarang, Lasem, Bonang dan Juana.Armada yang berbasis pendaratan di Kranji beroperasi dari kawasan pantai hingga perairan di utara Madura dan sekitar Pulau Bawean (Atmaja dan Nugroho, 1999).

Komposisi hasil tangkapan pukat cincin mini di perairan utara Pekalongan yakni kelompok ikan Sardinella spp. menempati urutan pertama, diikuti R. brachysoma, Selar spp., Auxis sp., Trichiurus spp., Scomberomorus spp., Fornio nigerdan Squid. Variasi spasial temporal, kelompok ikan Sardinella spp. memperlihatkan kelimpahan yang tinggi pada musim Timur (Juni-Agustus) dan musim peralihan timur ke musim barat (September-November). Pada musim peralihan, ikan ini digantikan oleh kembung (R. brachyosoma) dan bentong (S. crumenophthaimus) (Atmaja dan Nugroho, 2000).

Sumber daya ikan pela

Gambar

Gambar 1. Kerangka Konseptual dan Tahapan Penelitian
Gambar 6. Sistem Arus Permukaan dan Arlindo (Morey et al., 1999)
Gambar 19. Daerah Penangkapan Ikan di Laut Jawa dalam Kurun Waktu 2002-
Gambar 21. Titik Stasiun Data Observasi Salinitas pada Laut Jawa
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dalam prakteknya di Bank Rakyat Indonesia kantor cabang pembantu syari’ah Gresik pada dasarnya penghitungan yang digunakan dalam akad jual beli pembiayaan murabahah sesudah

Terlihat rata-rata dari potensi bahaya mengarah pada kecelakaan pribadi seperti tangan terluka, tersandung, tergelincir dan yang lainnya merupakan bahaya yang diakibatkan

Hasil penelitian menyatakan (1) kesulitan aspek bahasa yaitu beberapa siswa membaca soal kurang tepat sehingga terjadi kesalahan penafsiran, sulit memahami bahasa

Sekolah dapat (1) membeli buku-buku yang sesuai dengan minat, usia, dan jenjang kemampuan membaca siswa untuk memperkaya koleksi perpustakaan sekolah dan pojok baca kelas;

Pengilustrasian figur Yesus menjadi sesuatu yang dominan dalam seni rupa religius Kristiani, karena selain sebagai tokoh sentral dalam ajaran Agama Kristen, figur Yesus juga

Terkait dengan hal tersebut di atas, dapat digunakan analogi atas putusan yang dijatuhkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dimana putusan KPPU yang

Pada akhirnya, implikasi positif dari pengembangan usaha kecil menengah harus dapat dibuktikan secara empiris, maka dari itu tim pengabdian dari UPI Kampus