• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Perkawinan Baduy Luar dengan Baduy dalam (Studi Kasus Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi Perkawinan Baduy Luar dengan Baduy dalam (Studi Kasus Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten)"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

AYI RUKMANA

NIM 1112044100031

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Ayi Rukmana 1112044100031, Tradisi Perkawinan Baduy Luar Dengan Baduy Dalam (Studi Kasus Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten) Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437/2016 x + 97 halaman.

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan tentang tradisi perkawinan Baduy Luar dengan Baduy Dalam dan interaksi Islam, adat dan hukum dalam masyarakat Sunda Wiwitan serta penerimaan hukum Islam. Secara metodelogis, penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Dengan menggunakan pendekatan etnogerafi, yang mana mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam sebuah masyarakat, locus penelitian di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Labak Banten

Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara :

1. wawancara kepada para pihak terkait atau narasumber yang dapat memberikan informasi terkait dengan penelitian yang peneliti bahas.

2. Observasi participant dengan cara peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mengetahui langsung bagaimana tradisi perkawinan Baduy Luar dengan Baduy Dalam

Sumber data yang peneliti ambil dari berbagai sumber, data primer berupa wawancara dengan pihak-pihak terkait yang dapat memberikan data yang di butuhkan oleh peneliti, sedangkan data sekunder berasal dari karya-karya peneliti yang berkaitan dengan perkawinan Baduy Luar dengan Baduy Dalam

Berdasarkan penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa perkawinan masyarakat Baduy dilakukan dengan tiga tahap lamaran dan selalu di jodohkan. Namun berbeda dengan masyarakat Baduy Panamping ada yang di jodohkan ada pula yang memilih sendiri calon pasangan nya dengan syarat persetujuan kedua belah pihak, namun unik nya perkawinan di Baduy Panamping bukan hanya dilaksanakan secara adat saja. Namun juga di lakukan di hadapan petugas pencatat perkawinan. Oleh karena itu banyak nya orang Baduy Panamping yang menikah dengan orang luar Baduy atau non Baduy, dengan kosekwensi harus keluar dari keadatannya. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, masyarakat Baduy juga tidak terlepas dari interaksi sosial antara masyarakat Baduy dengan masyarakt luar. Yang notabenenya mereka menganut keyakinan yang berbedam namun hidup dengan secara berdampingan, dan itu di buktikan dengan adanya pemukiman Baduy Muslim di Cicakal Girang.

Kata Kunci : Tradisi Perkawinan Baduy Luar Dengan Baduy Dalam Pembimbing : Dr. H. Abdul Halim, M.Ag

(6)

KATA PENGATAR

Puji dan sukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Sang creator kehidupan, yang maha hidup lagi maha pintar. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua bapak H. Itok Rusmita dan Ibu Hj, Yulyana yang telah memberikan semangat dan motivasi untuk terus belajar dan menyelesaikan studi, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih saying-Nya kepada mereka.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temukan, namun sukur alhamdulilah berkat rahmat dan rida-Nya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah Dan Hukum.

(7)

4. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Dosen pembimbing yang sangat bijaksana dan besar hati besedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak Jm. Muslimin, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Akademik

6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan prodi al-Ahwalus Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan. 7. Segenap jajaran staf dan kariawan akademik perpustakaan Fakultas

Syariah dan Hukum dan perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan sekripsi.

8. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis yaitu: Anshar Arif S, Ridwan Abdillah, Roni zuli P, Septian Dwites, Syah Ul Hak A, dan semua teman-teman peradilan Agama Angkatan 2012 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang menjadi teman seperjuangan sebelum maupun ketikan di bangku perkulihan.

9. Teman-teman di Kuliah kerja nyata (KKN) SELARAS. Atiqoh Fatiah, Lia Yulianti, Ayif, Ivony, Nur Cholis, Budi dan lain-lain

(8)

11.Saudara Anshar Arif Shofyan yang selalu memberikan semangat dan motivasi dan memberikan bantuan yang sangat membantu saya dalam menyelesaikan skripsi.

12.Sahabat-sahabat peradilan Agama PA A Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

13.Lia Amelia yang selalu memberikan dorongan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini

Semoga amal baik mereka diterima dan dibalas oleh Allah SWT dengan sebaik-baik balasan. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca untuk kesempurnaan skripsi ini.

Ciputat, 12 Oktober 2016

Ayi Rukmana

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING……………...ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI………...iii

LEMBAR PERNYATAAN……….iv

ABSTRAK……………...v

KATAPENGANTAR………...vi

DAFTARISI………………….ix

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………... 1

B. Identifikasi Masalah………... 7

C. Pembatasan Masalah……… 7

D. Rumusan Masalah……….. 8

E. Tujuan dan Manfaat………. 9

F. Metode Penelitian………. 10

G. Tinjauan Studi Terdahulu……… 12

H. Sistematika Penulisan………... 18

BAB II : SUNDA WIWITAN DAN KEHIDUPAN SOSIAL SUKU BADUY A. Gambaran Umum Desa………... 18

B. Sejarah Suku Baduy……….. 21

C. Adat Istiadat……….. 26

D. Sosial Budaya……… 32

E. Agama……… 40

BAB III : TRADISI PERKAWINAN SUKU BADUY A. Perkawinan Suku Baduy……… 47

B. Tahap Mencari Jodoh………. 59

C. Upacara Lamaran dan Penentuan Mahar………….. 59

D. Upacara Perkawinan……….. 63

(10)

BAB IV : PERKAWINAN BADUY LUAR DENGAN BADUY DALAM

A. Kedudukan Perkawinan Baduy Luar Dengan Baduy Dalam Serta Konsekwensi Bagi Pelaku Perkawinan………. 69 B. Interaksi Islam, Adat dan Hukum Dalam Masyarakat Sunda

Wiwitan Serta Penerimaan Hukum Islam………….. 74

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan……… 89

B. Saran-Saran……… 90

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tradisi perkawinan Suku Baduy adalah perkawinan monogami, seorang laki-laki Baduy tidak boleh beristri lebih dari seorang dan perkawinan poligami merupakan suatu hal yang tabu, selain itu, perkawinan anak laki-laki yang pertama (kakak) dari suatu garis keturunan dengan anak perempuan yang terakhir (adik) dari garis keturunan yang lain. Hal penting dalam sistem perkawinan masyarakat Baduy adalah seorang adik tidak boleh melangsungkan perkawinan (Ngarunghal)1, dalam perakteknya masyarakat Baduy tidak terdapat perbedaan antara sepupu persamaan dan sehingga ada kecenderungan dalam perkawinan itu terjadi dalam keluarga yang paling dekat, dapat terjadi sampai dengan sepupu tingkat keempat, istilah Baduy menyebut dengan baraya2. Perkawina yang ada di masyarakat Baduy, ternyata ada dua model proses perkawinan. Proses perkawinan yang di lakukan pada masyarakat Baduy Tangtu dan Baduy Panamping memiliki perbedaan, pada masyarakat Baduy Tangtu, ketika ke dua keluarga atau pihak telah sepakat untuk saling menjodohkan anaknya, maka sampai pada tujuan utama yakni melakukan perkawinan, biasanya mereka melakukan beberapa prosesi ritual ada yang sudah ditentukan secara turun temurun. Adapun prosesi ada pra-perkawinan yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Baduy adalah prosesi pelamaran atau dalam bahasa mereka disebut

1

Ngarunghal Adalah Perkawinan Melangkahi Kaka, Kata Melangkahi Berasal Dari Kata Langkah Yang Artinya Adalah Melewati atau Mendahului

2

(12)

dengan “lalamar” Dalam proses pelamaran, biasanya dilakukan sebanyak tiga

tahap.3

Dalam masyarakat Baduy, masih berpegang kepada ketentuan tradisi lama anak laki-laki baru dikawinkan sekitar usia 23 tahun dan anak perempuan dalam usia 18 tahun. Pada dasarnya, di Kanekes urusan jodoh masih menjadi urusan orang tua. Hanya di penamping ada sedikit kelonggaran sebab anak kadang-kadang ikut menentukan pilihannya, sama halnya dengan di tempat lain, di kanekes pun peristiwa perjodohan didahului oleh acara “lalamar” atau “ngalamar” (meminang)4.

Namun permasalahannya bukan kepada sistem perkawinan monogami atau hal lain. Tetapi kepada bagaimana ketika perkawinan dari suku Baduy ini terjadi perkawinan antara Baduy Luar (Muslim) dengan Baduy Dalam (Sunda Wiwitan), apakah kemudian perkawinan tersebut menyandarkan kepada budaya mereka atau sebaliknya ikut kepada syarat perkawinan yang diatur dalam syariat Islam. Dan penyelenggaraan pernikahan masyarakat Baduy yang hanya di laksanakan pada Bulan kelima, enam dan tujuh saja.

Suku Baduy merupakan sebuah suku yang berada di Provinsi Banten. Baduy adalah salah satu suku yang masih manjaga erat nilai dan norma serta tradisi atau adat istiadat masyarakat. Suku Baduy termasuk salah satu suku yang terisolir yang ada di Indonesia. Masyarakat Baduy sengaja mengasingkan diri,

3

K, Muhammad, Hakiki, “Upacara Perkawinan Orang Baduy”, Artikel di Akses pada 12

April 2016 dari (baduybantenheritage.blogspot.com).

file:///D:/KULIAH/skripsi/skripsi/BADUY%20HERITAGE_%20__%20Upacara%20Perkawinan %20Orang%20Baduy.html.

4

(13)

mereka hidup mandiri dengan tidak mengharapkan bantuan dari orang luar. Mereka mengasingkan diri dan menutup diri dengan tujuan menghindari dari pengaruh budaya luar, yang akan masuk, untuk menjaga keaslian budaya mereka.

Masyarakat suku Baduy salah satu masyarakat yang unik, keunikan itu tampak dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari rumah tempat tinggal mereka. Dan masyarakat Baduy penuh dengan kesederhanaan dan kepatuhan. Kesederhanaan masyarakat Baduy dapat dilihat dalam bentuk dan arah rumah yang seragam, sistem bercocok tanam, dan cara berpakainnya. Di perkampungan Baduy, antara rumah satu dengan yang lainnya ditata rapih dan semua menghadap ke selatan. Sistem bercocok tanam yang dilakukan juga masih sangat tradisional yaitu dengan cara berladang (ngahuma)5. Masyarakat Baduy mengenakan pakain sehari-hari yang terdiri dari lengkung atau ikel (ikat kepala), jamang kampret atau jamang kurung (baju lengan panjang tanpa

kerah)6 Masyarakat Baduy memang merupakan salah satu kelompok suku pedalaman di Indonesia, yang punya kesan tersendiri, pendiriannya keras tapi tidak pernah merepotkan orang lain, dalam keadaan yang bagaimana pun. Orang Baduy tidak pernah hirau dengan adanya perubahan zaman serta datangnya pengaruh yang menggelitik sepanjang hari, pola hidup sederhana dan hidup mandiri telah menjadi kesepakatan bersama, kesederhanaannya telah menjadi jalan pintas hidupnya dalam menghadapi kenyataan. Masyarakat yang selalu

5

Ngahuma Juga Bisa Disebut Berladang Atau Menanm Padi di Ladang.

6

Risna Bintari, “Sejarah Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Baduy Pasca

(14)

tampil tidak pernah meninggalkan ciri khasnya, dimanapun, berhadapan dengan siapa saja, tidak kenal pantasi dari variasi7

Pola hidup masyarakat Baduy Dalam dengan masyarakat Baduy Luar secara umum sama, namun pada hal-hal tertentu adanya perbedaan yang cukup mencolok. Di Baduy Dalam sangat dilarang memiliki dan menggunakan barang-barang elektronik, alat makan dan minum yang terbuat dari gelas, plastik dan barang-barang rumah tangga lainnya yang berasal dari luar. Rumah tidak boleh pakai paku, yakni hanya menggunakan pasak dan tali dari rotan dan hanya memiliki satu pintu. Mereka juga dilarang menggunakan alas kaki, baik sandal apalagi sepatu, bepergian dilarang menggunakan kendaraan jenis apa pun, dan dilarang menggunakan pakaian seperti orang luar Baduy, pendek kata, segala bentuk prilaku dan pola hidup yang berbau “modern” serta bertentangan dengan

pikukuh karuhun8. Mereka tolak dan bagi yang melanggar akan mendapatkan sanksi hukum sesuai dengan hukum adat yang berlaku,9 sedangkan masyarakat Baduy Luar, pola hidup mereka sudah mulai longgar dan terbuka karena memang aturan adatnya memberikan kelonggaran bila dibandingkan dengan hukum adat bagi masyarakat Baduy Dalam. Mereka mereka sudah banyak mengadopsi pola hidup atau gaya hidup masyarakat non Baduy ke dalam pola hidup mereka sehari-hari walaupin mereka selalu tetap menampilkan ciri khas kesukuan mereka.

7

Djoewisno, “Potret Kehidupan Masyarakat Baduy”,Orang-orang Baduy Bukan Suku

Terasing Mereka Yang Mengasingkan Diri, Cipta Pratama ADV, pt, Cetakan Pertama, 1987, h. 134.

8

Pikukuh Karuhun, Sebuah Aturan Adat Yang Bersifat Mengikat Bagi Masyarakat Baduy

9

(15)

Secara adat memang masyarakat Baduy diikat oleh aturan yang melarang anggota masyarakatnya untuk tidak terpengaruh oleh kehidupan masyarakat luar yang menurut pandangan mereka adalah kehidupan yang dapat merusak budaya masyarakat Baduy. Tetapi bukan berarti bahwa masyarakat Baduy menutup diri sama sekali terhadap kontak dengan masyarakat sekitar mereka, ini terbukti dengan adanya kegiatan rutin yang salah satunya, setahun sekali mendatangi pemerintah provinsi untuk membawa upeti berupa hasil bumi mereka kepada Gubernur Banten, yang disebut “seba”.10

dan yang tak kalah pentingnya tentang kepatuhan dan ketaatan meraka pada suatu keyakinan, yaitu yakin pada keyakinan yang mereka anut (Sunda Wiwitan).11Sunda Wiwitan adalah Agama masyarakat Baduy yang menghormati roh Karuhun, Nenek Moyang. Wiwitan berarti jati, asal, pokok, pemula, pertama. Kepercayaan animisme masyarakat Baduy telah dimasuki unsur-unsur Agama Hindu dan Agama Islam. Pandangan hidup umat Sunda Wiwitan berpedoman pada Pikukuh, aturan Adat mutlak, Pikukuh adalah aturan dan cara bagaimana nenek moyang, Pikukuh ini merupakan orientasi, konsep-konsep dan aktifitas-aktifitas religi masyarakat Baduy. Hingga kini Pikukuh Baduy tidak mengalami perubahan apa pun, sebagaimana yang termaktub di dalam buyut (pantangan tabu) titipan nenek moyang, buyut12, adalah segala sesuatu yang melanggar Pikukuh.13

10

Dewi Widowati dan Rahmi Mulyasih, Perubahan perilaku sosial masyarakat Baduy Terhadap Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Universitas Serang Raya, Jurnal Komunikasi, Volume 3, Sep-Des 2014, h. 4.

11

Aan Hasanah, Jurnal Wacana, Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Pada Masyarakat Minoritas (Studi atas Kearifan local Masyarakat Adat suku Baduy Banten), Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Volume XXI, Nomor 1 Tahun 2012, h. 220.

12

(16)

Semua sistem yang berada di suku Baduy berdasarkan pada Pikukuh sebuah aturan yang sudah digariskan oleh leluhur masyarakat Baduy, Pikukuh merupakan prinsip masyarakat Baduy dalam menjalankan segala segi kehidupannya. Aturan tersebut mengatur mana yang boleh dan tidak boleh, peraturan ini juga syarat akan suatu kegiatan dalam hitungan bulan tertentu, termasuk aturan penyelenggaraan perkawianan yaitu pada bulan kelima, keenam dan ketujuh, dalam sistem perkawinan masyarakat Baduy menganut sistem monogami, namun permasalahan yang akan di bahas oleh penulis bukan tentang sistem perkawinan monogami yang masyarakat Baduy anut. Tetapi bagaimana ketika perkawinan dari suku Baduy Dalam yang notabenenya menganut paham Sunda Wiwitan, terjadi perkawinan dengan Baduy Luar yang menganut agama Islam.

Kejadian ini sangat menarik untuk di ketahui dan di pelajari lebih dalam, karana pernikahan antara Baduy Dalam dengan Baduy Luar jarang terjadi, namun ada sebagaian dari masyarakat Baduy yang melakukan perkawinan tesebut. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk mengangkat kedalam suatu permasalahan ini, dengan judul

“Tradisi Perkawinan Baduy Luar (Muslim) dengan Baduy Dalam (Sunda

Wiwitan) Studi Kasus di Desa Kanekes, Kec, Leuwidamar, Kab, Lebak, Banten.

13

(17)

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana perkembangan Suku Baduy / Sunda Wiwitan di kalangan masyarakat Baduy (kanekes) ?

2. Bagaimana kedudukan perkawinan Baduy luar (Muslim), dengan Baduy dalam (Sunda Wiwitan), apakah menggunakan adat Baduy atau Hukum Islam ?

3. Seperti apa argumentasi ulama dan masyarakat melihat perkawinan tersebut dalam sudut pandang fiqih?

4. Bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dimata Hukum? 5. Bagaimana peroses perkawinan tersebut terjadi?

6. Apakah ada kosekuensi apabila mereka melakukan perkawinan tersebut? 7. Bagaimana pandangan para ulama tentang Sunda Wiwitan (Kanaekes)? 8. Adakah syarat-syarat ketentuan ketika terjadinya pernikahan Baduy luar

dengan Baduy dalam?

9. Bagaimana tanggapan pemangku adat suku Baduy tentang perkawinan tersebut ?

10.Bagaimana proses pernikahan itu berlangsung? Adakah peran KUA dalam pernikahan tersebut?

C. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

(18)

Islam, adat, hukum dalam masyarakat Sunda Wiwitan Baduy serta penerimaan hukum Islam.

2. Perumusan Masalah

Sesuai dengan uraian diatas maka penulis akan mengemasnya dalam bentuk pertanyaan di bawah ini :

a. Bagaimana tradisi perkawinan Baduy Luar dan tradisi perkawinan Baduy Dalam?

b. Bagaimana interaksi Islam, adat dan hukum dalam masyarakat Sunda Wiwitan serta penerimaan hukum Islam?

D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

a. Mengetahui tradisi perkawinan Baduy Luar dan Baduy Dalam

b. Untuk mengetahui bagaimana interaksi Islam, adat dan hukum dalam masyarakat Sunda Wiwitan Baduy serta penerimaan hukum Islam

2. Manfaat Penelitian

(19)

b. Secara praktis. Kontribusi hasanah bagi masyarakat Islam dan golongan education pada umumnya. Lebih khusus terhadap lembaga-lembaga yang menangani masalah perkawinan agar lebih merujuk pada aturan aturan yang ditetapkan

E. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penyusun menggunakan Field Reseacrh (Penelitian Lapangan).14 Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif15 penelitian Kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan berdasarkan paradigma, strategi, dan implementasi model secara kualitatif. Persfektif, strategi, dan model yang dikembangkan sangat beragam.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi. Etnografi merupaka suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskripsi kebudayaan.Etnografi berulangkali bermakna untuk membangun suatu pengertian yang sistematik mengenai semua kebudayaan manusia dan persfektif orang yang telah mempelajari kebudayaan itu.16Etnografi menjadi sebuah metode penelitian

14

Bahrul Ulum, Jurnal ilmiah “Nilai-nilai Demokrasi Dalam pengamgkatan Puun, Pada Masyarakat Hukum Adat Baduy,2014, h. 3.

15

Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta,: Rineka Cipta, 2008, h.20

16

(20)

yang unik karena mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam sebuah masyarakat atau komunitas sosial tertentu, etnografi dilakukan untuk tujuan-tujuan tertentu. pertama, untuk memahami rumpun manusia, Kedua, etnografi ditujukan guna melayani manusia, Metode etnografi adalah prosedur penelitian kualitatif untuk menggambarkan, menganalisa, dan menafsirkan unsur-unsur dari sebuah kelompok budaya seperti pola perilaku, kepercayaan, dan bahasa yang berkembang dari waktu ke waktu. Fokus dari penelitian ini adalah budaya.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Kanekes Kec, Lewidamar Kab, Lebak Banten.Pemilihan sampel dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan keterwakilan etnis, latar belakang sejarah, dan faktor-faktor sosial kultural.

4. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara

Wawancara dikenal pula dengan istilah interview adalah suatu proses Tanya jawab lisan, dalam mana 2 orang atau lebih berhadapan secara fisik. Yang satu dapat melihat muka yang lain dan mendengar dengan telinga sendiri dari suaranya.

(21)

masyarakat dalam kurun waktu tertentu agar peneliti mengetahui adat istiadat masyarakat tersebut dan mendapatkan informen yang pas untuk dilakukan interview oleh peneliti. Adapun narasumber yang akan peneliti wawancari sebagai berikut:

1) Jaro Sami 2) Jaro Saija 3) Narwan 4) Yardi 5) Jaro Daenah 6) Ayah Mursid 7) Jaro Saidi Putra 8) H. Abdul Rozak

b. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan sesuatu objek dengan sistematika fenomena yang diselidiki. Observasi dapat dilakukan sesaat ataupun mungkin dapat diulang, oleh sebab itu observasi hendanya dilakukan oleh orang yang tepat.

c. Dokumentasi

(22)

hanya dokumen resmi tapi juga meliputi bahan hukum primer dan hukum sekunder, juga data yang diperoleh dari referensi atau literatur yang berkaitan dengan tema penelitian ini.

F. Tinjauan Studi Terdahulu

[image:22.595.101.518.142.763.2]

Kajian pustaka atau revieew terdahulu adalah menyediakan informasi tentang penelitian-penelitian atau karya-karya ilmiah lain yang berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti agar tidak terjadi duplikasi atau pengulangan dengan penelitian yang telah ada.

Tabel 1.1

Tinjauan Studi Terdahulu

No Aspek Perbandingan Penelitian Terdahulu Penelitian sekarang

1 Judul Penelitian 1. Kiki Muhammad Hakiki, Identitas Agama Orang Baduy,

Jurnal, Al-

AdYaN/Vol.VI, No. 1/Jan-Juni/2011. 2. Alfian Anwar,

Pernikahan Ngarunghal pada Masyarajat Desa Karanggan Kabupaten Bogor Utara (Tinjauan

Hukum Islam dan UU

Ayi Rukmana, Tradisi Perkawinan Baduy

Luar (Muslim)

Dengan Baduy Dalam

(Sunda Wiwitan),

(23)

No, 1 Tahun 1994.

Skripsi, Kosentrasi Peradilan Agama, FSH UIN Jakarta, 2012

3. Yollanda Octavia, Resepsi Masyarakat

Kabupaten Leabak

Provinsi Banten

Terhadap Upacara

Seba Suku Baduy,

Jurnal, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Dipenegoro

Semarang 4. Risna Bintari,

Sejarah

Perkembangan Sosial

Ekonomi Masyarakat

Baduy Pasca

Terbentuknya

Propinsi Banten

Tahun 2000, Jurusan

Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang. Vol 1 No. 1 tahun 2012 [ISSN 2252-6633]

(24)

Perspektif

Kepercayaan Sunda

Wiwitan, Padjadjaran

University, Bandung, Indonesia, 2014 2 Fokus Penelitian 1. Fokus pada Identitas

Agama/ kepercayaan Masyarakat Baduy dan Adat Istiadat.

2. Fokus pada

pernikahan

Ngarunghal pada masyarakat Desa Karanggan

Kabupaten Bogor Utara.

3. Fokus terhadap upacara Seba Suku Baduy.

4. Fokus pada

perkembangan sosial ekonomi masyarakat

Baduy Pasca

terbentuknya Provinsi Banten tahun 2000

5. Fokus pada

berketuhanan dalam perspektif

kepercayaan Sunda Wiwitan

(25)

3 Subjek/Objek Penelitian

1. Masyarakat Suku Baduy

2. Masyarakat Desa Karanggan

3. Masyarakat Suku Baduy

4. Masyarakat Suku Baduy

5. Masyarakat Baduy

Masyarakat Suku Baduy

4 Metode penelitian 1. Penelitian lapangan 2. Penelitian lapangan 3. Penelitian lapangan 4. Penelitian lapangan 5. Penelitian lapangan

Penelitian lapangan

5 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui Identitas Agama Suku Baduy 2. Mengetahui tentang

pernikahan Ngarunghal

3. Mengetahui upacara Seba Suku Baduy. 4. Mengetahui

perkembangan sosial ekonomi masyarakat Baduy.

5. Mengetahui

kepercayaan Sunda Wiwitan.

(26)

Dari beberapa skripsi dan jurnal wacana yang di tulis di atas baik yang di tulis oleh Alfian Anwar, maupun yang di tulis oleh yang lainnya, dapat disimpulkan bahwa meskipun skripsi dan jurnal diatas membahas tentang permasaahan adat suku Baduy, tetapi topik yang di angkat merupakan berbeda dengan apa yang akan di angkat oleh penulis, beda hal nya dengan skripsi yang penulis bahas, meskipun tema utamanya adalah suku Baduy, tetapi cakupan yang coba penulis analisis adalah perkawinan antara Baduy Luar denagan Baduy Dalam, dengan demikian jelas terdapat perbedaan antara topik yang penulis bahas dengan penulis di atas.

G. Sistematika Penulisan

Agar dalam penulisan skripsi ini menjadi terarah dan tidak mengembang, penulis membuat sistematika penulisan yang disusun per bab. Dalam skripsi ini terdiri dari lima bab, dan setiap bab memiliki penjelasan dari masing masing bab tersebut, Skripsi ini di akhiri dengan daftar pustaka yang menjadi rujukan penulis dalam penulisan skripsi ini dan lampiran-lampiran. Adapun sistematika penulisan tersebut ialah sebagai berikut:

BAB 1. Dalam bab ini, dimuat tentang latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian, review studi terdahulu, dan sistemmatika penulisa.

(27)

BAB III.Dalam bab ini, Membahas Tradisi perkawinan Baduy dan tahapan proses perkawinan itu sendiri

BAB IV.Dalam bab empat ini, penulis membahas tentang kedudukan perkawinan Baduy Luar dengan Baduy Dalam dan interaksi Islam, adt dan hukum perkawinan Sunda Wiwitan serta analisis penulis tentang perkawinan tersebut.

(28)

28

A. Gambaran Umum Desa

Wilayahmasyarakat Baduy memiliki luas sekitar 5,101,8 hektar, terletak disebelah Barat Pulau Jawa, di sekitar pegunungan Kendeng. Secara administrasi pemerintahan, wilayah ini dikukuhkan menjadi Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Desa Kanekes yang luasnya sekitar 5.102 hektar merupakan wilayah yang berbukit-bukit, berlembah curam, yang terletak pada ketinggian antara 500-1.200 m. Kampung-kampung Baduy berada pada ketinggian antara 800-1.200 m. Suhu udaranya sekitar 20-22 C, keadaan tanahnya selalu basah, lembab, dan berlumut. Sungai-sungai berbatu membelah hutan dan bukit serta melintasi beberapa wilayah pemukiman di antaranya Sungai Ciujung, Cibarani, Cimedang, Cibaduy yang mempersulit pejalan kaki untuk mencapai kampung-kampung tertentu dalam waktu singkat.1

Batas-batas wilayah Baduy sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bojong menteng, Desa Cisimeut, dan Desa Nayagati Kecamatan Leuwidamar, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Parakan Beusi, Desa Keboncau, dan Desa Karangnunggal, Kecamatan Bojong Manik, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Cikate Kecamatan Cijaku, dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Karangcombong dan Desa Cilebang Kecamatan Muncang. Sedangkan batas-batas

1

Kusnaka Adimihardja, Orang Baduy di Banten Selatan Manusia air Pemelihara Sunga,

(29)

alamnya sebelah Utara adalah Sungai Ciujung, sebelah Selatan Sungai Cidikit, sebelah Barat Sungai Cibarani, dan sebelah Timur Sungai Cisimeut.

Topografi daerah masyarakat Baduy berbukit-bukit dengan kemiringan lereng rata-rata 45% sedangkan tinggi daerah dari permukaan laut berkisar antara 300-1200 meter dari permukaan laut dengan suhu berkisar 20°C – 22°C dan curah hujan berkisar 3000 mm/tahun keadaan tanah dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu pegunungan vulkanik di sebelah Utara, endapan tanah pegunungan di bagian tengah, dan campuran tanah pegunungan serta endapannya di bagian Selatan. Jenis tanahnya berupa latosol coklat, alluvial coklat, dan andosol.

(30)

Jumlah kampung di Baduy pada tahun 2009 sebanyak 58 kampung, 3 kampung di Baduy Dalam dan 55 kampung di Baduy Luar. Pada tahun 2002, jumlah kampungnya ada 50 kampung, dengan demikian dalam waktu 7 tahun telah terjadi penambahan kampung sebanyak 8 kampung, yakni Cicatang 2, Kaduketer 2, Cikadu 2, Cicakal Muara, Cicakal Tarikolot, Ciranca Kondang, Kenengai, dan Cikulingseng.

Satu kampung di wilayah Baduy ditandai oleh satu buah Saung lisung2(tempat menumbuk padi) yang terletak di sebelah Utara kampung. Kampung-kampung yang termasuk ke dalam Baduy Dalam terletak di wilayah sebelah Selatan. Sedangkan kampung-kampung Baduy Luar terletak disebelah Timur, Barat, dan Utara. Jarak antara kampung bervariasi antara satu sampai lima kilometer yang dihubungkan dengan jalan setapak turun naik mengikuti kontur perbukitan. Batas antara Baduy Dalam dengan Baduy luar disebelah Utara adalah aliran Sungai Ciujung, di sebelah Barat adalah Gunung Pasir Angin dan Kiara Lawang.Batas kawasan ini disepakati bersama oleh orang Baduy. Kawasan yang meliputi luas sekitar 38,7% dari total seluruh wilayah Baduy atau sekitar 1,975 hektar. Sedangkan yang termasuk wilayah Baduy Luar sekitar 61,3% atau sekitar 3,127 hektar.

Di sebelah Selatan wilayah Baduy terdapat mata air Sungai Ciujung yang merupakan hulu sungai yang cukup besar. Sungai Ciujung, Sungai Cibarani, Sungai Cibeuneng, Ciparahiang, dan sungai kecil lainnya. Sungai ini mengalir dari Selatan ke Utara melintas sebagian besar kampung-kampung Baduy, dan

2

(31)

terus mengalir melintas ibu Kota Kabupaten Rangkasbitung dan bermuara di pantai Utara Laut Jawa.Kekuatan hukum setatus wilayah Baduy ditetapkan dengan peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 tahun 2001 tentang perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Hak ulayat ini merupakan kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupan yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.3

B. Sejarah Suku Baduy

Asal usul orang Baduy merupkan bagian dari suku Sunda yaitu suku asli masyarakat Provinsi Jawa Barat dan sekarang menjadi Provinsi Banten, bahasa yang digunakan mereka juga bahasa sunda.4Diperkirakan mereka pindah di daerah terpencil di Gunung Kendeng ini pada abad 16, seiringan dengan keruntuhan Kerajaan Pajajaran.Karena pada zaman dahulu sebelum Islam masuk ke Jawa pengaruh agama Hindu dan Budha semakain kuat, termasuk Kerajaan Pajajaran.Tahun 1579 masuklah Islam untuk menghancurkan Pajajaran dan masyarakat disana berpindah ke agama Islam untuk menghancurkan Pajajaran dan masyarakat disana berpindah ke agama Islam.Ada sekelompok masyarakat yang

3

Gunggung Senoaji, Jurnal Wacana, “Masyarakat Baduy, Hutan, Dan Lingkungan”

(Baduy Community, Forest, and Environment) Manusia dan Lingkungan, Universitas Bengkulu, Vol, 17, No,2, Juli 2010, h. 115-117.

4

(32)

menolak untuk masuk kedalam Islam, kemudian dinamkaan suku Baduy.5Mereka juga sering disebut orang-orang Kanekes, bahkan dalam referensi tertentu menyebut mereka sebagai orang Rawayan.

Tarkait dengan sejarah Baduy memang cukup rumit.Kerumitan itu muncul karena ada beberapa versi yang masing-masing saling bertentangan.

1. Persfektif masyarakat Baduy

Penyebutan mereka dengan sebutan Orang Baduy atau Urang Baduy sebagimana yang umum dilakukan oleh masyarakat luar atau peneliti sebenarnya tidaklah mereka sukai. Mereka lebih senang menyebut dirinya sebagai Urang Kanekes, Urang Rawayan, atau lebih Khusus dengan menyebut perkampungan asal mereka seperti, Urang Cibeo, Urang Cikartawana, Urang Tangtu , Urang Panamping.

Penyematan mereka dengan sebutan Baduy yang sudah memeluk agama Islam penyebutan ini ditengarai sebagai sebutan ejekan terhadap mereka (Orang Baduy) berdasarkan beberapa alasan yakni kehidupan yang primitive, nomaden, ketergantungan pada alam, membuat mereka di samakan dengan kehidupan masyarakat Badui, Badawi atau Bedouin yang ada di daerah Arab. Dengan alasan ini lah kemudian istilah Baduy pun di bakukan dan lebih dikenal dibandingkan dengan istilah suku atau orang Kanekes itu sendiri.

Begitu populernya istilah ini (Baduy) bagi masyarakat di luar Baduy membuat beberapa masyarakat di luar Baduy memberikan nama-nama kandungan alam dengan istilah Baduy, seperti penyebutan gunung yang ada diwilayah Baduy

5

(33)

dengan sebutan Gunung Baduy, dikenal juga Sungai Baduy. Bahkan menurut Pleyle kata “Baduy” sendiri mempunyai ciri yang khas sebagai kata dalam bahasa

sunda seperti: tuluy, aduy, uruy,

Dalam sumber yang lain penyebutan mereka dengan istilah Baduy, pertama kali disebutkan oleh orang Belanda ketika melakukan penjajahan di Indonesia. Orang belanda biasa menyebut mereka dengan sebutan badoe’I, badoej, badoewi, Urang Kanekes dan Urang Rawayan.

Peneyebutan istilah di atas di dasari oleh beberapa alasan: pertama, istilah Baduy muncul karena berasal dari nama sebuah gunung Baduy yang kini menjadi tempat huniannya, alasan ini kemudian ditolak karena penyebutan gunung menjadi gunung Baduy muncul setelah mereka membuka areal perhutanan tersebut untuk dijadikan pemukiman, kedua, istilah Baduy berasal dari kata Budha yang kemudian berubah menjadi Baduy. Ketiga, ada juga yang mengatakan bahwa istilah Baduy berasal dari kata “Baduyut” karena di tempat ini lah banyak

ditumbuhi pepohonan baduyut, sejenis beringin.Keempat, pendapat yang lain juga muncul bahwa penyebutan Baduy di ambil di ambil dari bahasa Arab Badui yang berarti berasal dari kata Badu atau Badawu yang artinya lautan pasir. Yakni berdasarkan kesamaan pola hidup yakni berpindah-pindah (nomaden) dari satu tempat ke tempat yang lain mengikuti keberadaan tempat persediaan kebutuhan hidup dalam hal ini keberadaan pangan.

(34)

Berbeda dengan kepercayaan masyarakat Baduy tentang sejarah asal-usul mereka.Para ahli sejarah mempunyai pandangan yang ternyata juga berbeda versi prihal sejarah awal Baduy.

Versi pertama menyatakan bahwa sejarah awal keberadaan masyarakat Baduy berasal dari kerajaan padjajaran. Pada sekitar abad ke -12 dan ke- 13 M, kerajaan pajajaran menguasai seluruh tanah pasundan meliputi Banten, Bogor, Priangan sampi ke wilayah Cirebon. Saat itu Kerajaan Padjajaran dikuasi oleh Raja bernama Prabu Bramaya Maisatandrama atau yang lebih dikenal dengan gelar Prabu Siliwangi.

Ketika terjadi pertempuran sekitar abad ke 17 M antara kerajaan Banten melawan kerajaan Sunda. Kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin oleh Prabu Pucuk Umun (keturunan Prabu Siliwangi) mengalami kekalahan yang cukup telak Karena itu lah Sang Perabu Pucuk Umun dengan beberpa punggawanya melarikan diri ke daerah hutan pedalaman. Dari sini lah kemudian mereka hidup menetap dan berkembangbiak menjadi komunitas yang kemudian kini disebut sebagai suku Baduy.

(35)

mandala6(kawasan yang suci) di daerah kebuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang ) Jati Sunda atau Sunda Asli atau Sunda Wiwitan, yang kini di diami oleh masyarkat Baduy.

Versi ketiga, jika kita coba komparasikan antara keyakinan sejarah masyarakat Baduy dengan penemuan para ahli sejarah (arkeolog, budayawan, dan sejarawan) terlihat perbedaan yang kontras bahwa bertolak belakang. Menurut catatan sejarah, berdasarkan proses sintesis dari penemuan prasasti, catatan perjalanan cerita rakyat mengenai Tatar Sunda, keberadaan masyarakat suku Baduy sendiri dikaitkan dengan keberadaan kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke- 16 bepusat di pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang).

Menurut catatan para ahli sejarah, sebelum berdirinya Kesultanan Banten oleh Sultan Maulana Hasanuddin yang berada di wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan salah satu bagian terpenting dari kerajaan Sunda.Wilayah Banten pada saat itu adalah merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar yakni pelabuhan Karangantu. Sungai Ciujung yang berhulu di areal wilayah Baduy dan melewati Kabupaten Lebak dan Serang dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan sangat ramai digunakan sebagai alat transportasi untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman Banten. Melihat kondisi ini, penguasa wilayah tersebut (Banten Selatan) yakni Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan dengan alasan itu lah, maka sangat terlatih untuk

6

(36)

menjaga dan mengelola areal kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut.

Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut membuat mereka harus menetap dengan waktu yang cukup lama. Dengan alasan ini, maka para ahli sejarah menetapkan bahwa asal mula masyarakat suku Baduy yang sampai sekarang eksis masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut berasal7

Adanya perbedaan pendapat tersebut membuat sebagian pengamat suku Baduy menduga bahwa pada masa yang lalu identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, sebagai alasan untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Padjajaran dan Banten.

Ketiga pendapat ini memang sulit untuk dipadukan karena masing-masing (masyarakat Baduy dan ahli sejarah) mempunyai alasan tersendiri yang satu sama lainnya menganggap benar karena itu, langkah yang bijak adalah memberikan perbedaan pendapat itu sebagai sebuat realita sejarah yang menarik dan unik.8

C. Adat Istiadat

Suku Baduy adalah sosok masyarakat yang dari waktu ke waktu tidak mengenal perubahan seperti masyarakat modern yang selalu mengikuti perkembangan zaman. Uniknya Suku Baduy ada di tengah-tengah masyarakat modern yang seiring perkembangan zaman bertambah pula gaya hidup praktisnya.

7

Kusnaka Adimihardja, Dinamika Budaya Lokal, (Bandung; Pusat Kajian LBPB, 2008), h. 123.

8

(37)

Lain hal dengan masyarakat modern di sekeliling suku Baduy.suku Baduy merupakan generasi yang hidup penuh dengan kesederhanaan, ketaatan, keikhlasan, dalam mempertahankan dan melaksanakan tradisi serta amanat leluhurnya. suku Baduy menyadari demi tetap tegak berdirinya kesukuan mereka maka adat istiadat dan pusaka leluhur harus terus dijaga dan dilestarikan dengan diwariskan secara berkesinambungan kepada anak cucunya secara tegas dan mengikat.9

Sebutan Baduy merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “Orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan

yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda Banten.Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah.Orang Kanekes dalam, tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat

9

Yollanda Oktavia, Jurnal Wacana, “Resepsi Masyarakat Kabupaten Lebak Provinsi

(38)

istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.10

Masyarakat Baduy yang terdiri atas tiga kelompok yaitu tangtu, panamping dan dangka.Kelompok tangtu adalah kelompok yang disebut dengan kelompok Baduy Dalam yaitu kelompok Baduy yang paling ketat mengikuti peraturan adat.Pada kelompok ini terdapat tiga kampung yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.Ciri khasnya adalah mengenakan pakaian yang berwarna putih alami dan biru tua serta mengenakan ikat kepala putih.

Kelompok kedua adalah Panamping atau yang sering disebut dengan Baduy Luar. Ciri khasnya adalah mengenakan pakaian dan ikat kepala warna hitam.Wilayahnya Baduy Luar mengelilingi Baduy Dalam seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya.Kelompok ketiga adalah Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes tidak seperti Baduy Dalam dan Luar.Saat ini hanya ada 2 kampung yang tersisa yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).

Adapun keunikan yang ada di dalam berbagai unsur kegiatan sehari-hari, mulai dari cara berpakaian, cara bertani, bersosialisasi dan lain sebagainya. Adapun keunikan tersebut antara lain:

1. Tata cara berpakaian

Cara berpakaian orang Baduy menunjukan jati diri mereka sebagai kelompok Baduy Luar atau Baduy Dalam.Masyarakat Baduy Luar mengenakan

10

Ita Suryani, Jurnal Wacana, “Menggali Keindahan Alam dan Kearifan Lokal Suku

(39)

pakaian berwarna gelap, sedangkan Baduy Dalam mengenakan pakaian berwarna putih alami. Masyarakat Baduy Dalam mengenakan celana tanpa dijahit dan hanya dikuatkan dengan kait pengikat berwarna putih yang berfungsi sebagai penguat untuk masyarakat Baduy Luar mereka sudah mengenakan pakaian yang dijahit dengan mesin jahit, bahkan membeli pakaian yang sudah jadi.

2. Cara menanam padi

Masyarakat Baduy hanya menanam satu kali dalam setahun, tidak seperti petani padi di Indonesia pada umumnya yang dapat menanam lebih dari satu kali dalam setahun.Oleh sebab itu, masyarakat Baduy hanya mengalami satu kali panen.Biasanya masa penentuan padi dilakukan menjelang musim penghujan tiba, serta tanaman padi di tanam di daerah berbukit dan terjal.

3. Bentuk rumah dan proses pembuatannya

Bentuk rumah masyarakat Baduy sangatlah sederhana, terbuat dari bahan-bahan seperti kayu yang berasal dari alamnya, bilik bamboo, atap rumbia, genting ijuk dan lain-lain yang sangat sederhana dengan semua rumah menghadap ke arah utara selatan secara logika memiliki proses pergantian dan penyinaran matahari yang sangat baik. Pada pagi hari sinar matahari masuk dari arah timur dan saat sore hari matahari masuk dari arah barat. Proses pembuatan rumah/membangun rumah selalu dikerjakan secara gotong royong. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat Baduy memiliki rasa kebersamaan yang sangat tinggi.

(40)

Ada dua sistem pemerintahan yang digunakan oleh masyarakat Baduy, yaitu struktur pemerintahan nasional yang mengikuti aturan Negara Indonesia dan struktur pemerintahan adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercayai oleh masyarakat.Kedua sistem pemerintahan tersebut digabungkan dan dibagi perannya sedemikian rupa sehingga tidak ada benturan dalam menjalankan tugasnya. Seluruh masyarakat Baduy paham dan saling menghargai terhadap kedua sistem tersebut, sehingga mereka tahu harus kemana jika ada urusan atau permasalahan yang di hadapai dalam kehidupan sehari-hari

Dalam pemerintahan nasional penduduk di Kanekes ini di pimpin oleh Jaro Pamarentah.Secara administratif Jaro Pamarentah itu bertanggung jawab terhadap sistem pemerintahan nasional yang ada di atasnya yaitu camat, tetapi secara adat bertanggung jawab kepada pemimpin tertinggi adat yaitu Puun.Puun dianggap pemimpin tertinggi untuk megatasi semua aspek kehidipan di dunia dan mempunyai hubungan dengan karuhun.Dalam kesatuan Puun tersebut terdapat senioritas yang ditentukan berdasarkan alur kerabat bagi peranan tertentu dalam pelaksanaan adat dan keagamaan Sunda Wiwitan Puun memiliki kekusaan dan kewibawaan yang sangat besar.Sehingga para pemimpin yang ada di bawahnya dan warga masyarakat Baduy tunduk dan patuh kepadanya. Bagi orang Baduy seorang pemimpin dalam pemerintahan berasal dari keturunan para Puun yang artinya, satu sama lain terikat oleh garis kerabat.

5. Cara hidup tradisional

(41)

terhadap lingkungan ditujukan untuk mempertahankan kehidupan mereka supaya tetap utuh dan dapat memenuhi kebutuhan hidup sendiri pandangan mereka dalam kelestarian lingkuangan, sama dengan pemikiran dalam pembangunan berkelanjutan dimana mereka beranggapan bahwa kerusakan lingkungan atau perubahan terhadap bentuk lingkungan akan mengancam sumber kehidupan mereka yang berakibat dengan kelaparan dan kekurangan secara ekonomi lainnya. Kehancuran kehidupan akibat kerusakan lingkungan akan memicu kepunahan suku Baduy. Oleh sebab itu mereka juga melarang bahkan melawan pihak luar yang berusaha merusak lingkungan mereka.

Untuk memproteksi lingkungan dari pengaruh dari luar banyak upaya yang dilakukan mereka dari yang besifat represif maupun preventif beberapa usaha preventif yang selama ini dilakukan adalah dengan tidak menerima bantuan pembangunan dari pihak mana pun yang diperkirakan dapat merusak kondisi lingkungan atau tatanan sosial mereka.Selain itu mereka juga terus mendesak pemerintah baik lokal maupun nasional untuk menjadikan kawasan mereka sebagai kawasan yang dilindungi dan didukung dengan peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah sehingga mengikat bagi orang di luar Baduy.Dalam kaitannya dengan usaha represif mereka secara tegas langsung menindak siapa saja yang berusaha merusak lingkungan mereka.

(42)

orang yang menanam, sementara lahan tetap manjdi milik adat.Dengan sistem seperti itu adat dapat mengendalikan lahan dan peruntukannya.Lahan-lahan yang dapat digunakan sebagai ladang-ladang pertanian digunakan secara bergiliran oleh keluarga-keluarga disana untuk wilayah Baduy Luar ada sistem sewa menyewa lahan, tatepi tidak ada sistem jual beli lahan.Sewa menyewa dilakukan untuk lahan pertanian dengan sistem bagi hasil.Keluarga yang menyewa lahan membayar dengan hasil pertaniannya kepada pemilik lahan yang sebesarnya ditentukan dengan perjanjian pada awal menanam.11

D. Sosial Budaya

Masyarakat Baduy merupakan kelompok masyarakat yang hidup terpisah dari lingkungan masyarakat luar dan kehidupannya masih sangat tradisional. Sejak ratusan tahun yang lalu, masyarakat Baduy sudah berhubungan dengan dan bergaul dengan masyarakat lain. Pada tahun 1960an keterbukaan masyarakat Baduy dengan orang luar mulai terlihat dengan memperbolehkan orang luar menginap dan berkomunikasi secara langsung dengan mereka.

Pada tahun 1975, masyarakat Baduy mulai merespon bentuk pelayanan kesehatan modern yang merupakan program Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak. Namun, masyarakat Baduy masih sulit untuk menerima penerapan konsep dan pola hidup sehat yang sesuai dengan standar kesehatan nasional. Faktor utama yang menjadi kendala, yaitu kuatnya keyakinan masyarakat terhadap hukum adat,

11

Iwan Sugiwa, Jurnal Wacana, “Pengembangan Pariwisata Berbasis Keunikan

(43)

rendahnya tingkatan pendidikan karena warga Baduy dilarang bersekolah secara formal, dan rasa takut serta malu terhadap orang luar

Masyarakat Baduy sebagai masyarakat tradisional dapat disebut juga sebagai masyarakat yang sedang berkembang.Hal ini terjadi tidak hanya karena perubahan yang sedang berlangsung, tetapi juga pikukuh atau adat istiadatnya yang mengalami pergeseran.12

Saat ini terlihat perbedaan yang jelas pada kehidupan masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam.Perubahan setatus masyarakat telah terjadi pada kehidupan masyarakat Baduy.Awalnya semua masyarakat Baduy harus ikut bertapa menjaga alam lingkungannya, sekarang ini hanya Baduy Dalam yang tugasnya bertapa. Masyarakat Baduy Luar tugasnya hanya ikut menjaga dan membantu tapanya orang Baduy Dalam, masyarakat Baduy Luar mulai diperbolehkan mencari lahan garapan ladang di luar wilayah Baduy dengan cara menyewa tanah, bagi hasil, atau membeli tanah masyarakat luar. Untuk menambah pendapatannya pada lahan mereka di luar Baduy.Interaksi ini berdampak pada perubahan tingkah laku dan pola hidup masyarakat Baduy.Masyarakat Baduy Luar sudah mulai memakai Baju buatan pabrik, kasur, gelas, piring, sendok, sandal jepit, sabun, sikat gigi, senter, dan patromak.Bahkan sudah cukup banyak masyarakat Baduy yang telah menggunakan telepon seluler. Larangan penggunaan kamera dan video camera hanya berlaku pada masyarakat Baduy Dalam hal kepemilikan lahan, yang semula semua lahanya milik adat,

12

(44)

khusus di Baduy Luar telah menjadi milik perseorangan dan bisa diperjualkan sesama orang Baduy.13

terkait dengan identitas Baduy adalah adanya perbedaan yang cukup jelas, diantaranya terlihat dari segi cara mereka berpakain Kondisi ini memang benar adanya karena masyarakat Baduy mempunyai stratifikasi atau pelapisan sosial masyarakat yang cukup jelas. Stratifikasi ini diukur berdasarkan tingkat kualitas kepatuhan terhadap aturan adat Baduy atau nilai luhur kemandalaannya.Secara umum, pelapisan masyarakat Baduy di bagi menjadi tiga tingkatan.14

1. Baduy Tangtu

Pemukiman Baduy Tangtu (Baduy Dalam) atau bagi masyarakat Baduy sendiri biasanya menyebutnya dengan sebutan Urang Tangtu, Urang Girang atau Urang Kajeroan yang berada di bagian selatan. Masyarakat Baduy Tangtu dibagi

menjadi tiga kelompok berdasarkan nama kampung tempat tinggalnya, yaitu Kampung Cibeo atau Tangtu Parahiyangan. Kampung Cikeusik atau Tangtu Pada Ageung dan Kampung Cikartawana atau Tangtu Kadu Kujang.Keseluruhan wilayah kampung Baduy Tangtu ini disebut dengan Telu Tangtu (Tiga Tangtu).Jumlah penduduk masyarakat Baduy Tangtu kini diperkirakan berjumlah 800 orang.

Penyebutan Baduy Tangtu atau Baduy Dalam secara bahasa di ambil dari bahasa Sansekerta.Kata “tangtu” merupakan kata benda yang bermakna; benang,

13

Gunggung Senoaji, Jurnal Wacana, “Masyarakat Baduy, Hutan, Dan Lingkungan”

(Baduy Community, Forest, and Environment) Manusia dan Lingkungan, Universitas Bengkulu, Vol, 17, No,2, Juli 2010, h. 306-307.

14

(45)

silsilah, cikal bakal.Dalam kamus bahasa sunda kuno, istilah “tangtu” berarti

tempat atau kata sifat; pasti.Menurut kepercayaan masyarakat Baduy sendiri istilah “tangtu” bermakna sebagai tempat dan sekaligus pendahuluan atau cikal bakal baik dalam arti pangkal keturunan maupun pendiri pemukiman.

Di setiap yang ada di Baduy Tangtu dipimpin oleh seorang Puun yang tugasnya mengurusi masalah kerohanian bukan keduniawian. Meskipun begitu, para Puun yang ada diwilayah Baduy Tangtu mempunyai wewenang yang lebih spesifik yakni Puun Tangtu Cibeo sebagai Sang Prabu, Puun Tangtu Cikeusik sebagai Sang Rama, dan Puun Tangtu Cikartawana sebagai Sang Resi.

2. Baduy Panamping

Baduy Panamping atau juga disebut dengan Baduy Luar secara kuantitas penduduk merupakan kelompok terbesar.Baduy Luar atau mereka menyebutnya dengan sebutan Urang Panamping atau Urang Kaluaran menghuni areal sebelah utara Baduy. saat ini, masyarakat Baduy Luar tersebar di 26 kampung yakni Kampung Kaduketug, Cihulu, Sorokokod, Cigula, Karahkal, Gajeboh, Cicakal Girang, Cipaler, Cipiit, Cisagu, Babakan Ciranji, Cikadu, Cipeucang, Cujanar, Batubeulah, Cipokol, Pamoean, Kadukohak, Cisaban, dan Batara. Di setiap kampung yang ada di Baduy Panamping ini dipimpin oleh seorang kokolot lembur15(sesepuh kampung).

Keberadaan penduduk Panamping menurut sejarahnya ada yang secara turun temurun menetap di situ, ada juga masyarakat pendatang atau pindahan dari wilayah Baduy Tangtu.Adanya migrasi ini disebabkan dua faktor; pertama,

15

(46)

pindah atas kemauan sendiri disebabkan sudah tidak sanggup lagi hidup dilingkungan masyarakat Tangtu.Perpindahan model ini bagi masyarakat Baduy disebut dengan undur rahayu (pindah secara baik-baik) Kedua, pindah karena diusir dari wilayah Tangtu sebab telah melanggar adat. Meskipun begitu, antara warga Tangtu dan Panamping secara hubungan kekerabatan mereka tidak terputus walaupun berada status kewargaannya. Mereka tetap sesekali melakukan kunjungan satu sama lainnya demi membina keutuhan hubungan kekeluargaan.

3. Baduy Dangka

Lapisan masyarakat Baduy yang ketiga adalah masyarakat Dangka. Keberadaan masyarakat kampung Dangka berdampingan dengan masyarakat luar Baduy. Bahkan dari segi berpakain, antara masyarakat Dangka dengan masyarakat luar Baduy sudah tidak terlihat lagi perbedaannya.Masyarakat Luar Baduy sudah tidak terlihat lagi perbedaannya.Masyarakat Dangka pun kini sudah banyak yang beragama Islam, bahkan memakai jilbab layaknya umat Islam lainya.Hanya dalam hal-hal tertentu mereka terkadang masih mengikuti aturan-aturan adat terutama ketika perayaan-perayaan tradisi Baduy yang dianggap sakral.

(47)

Meskipun begitu, warga Panamping setelah ia menjalani upacara penyucian dosa akibat melanggar ketentuan adat.

Meskipun masyarakat Baduy secara tingkatan kewargaan terbagi atas tiga lapisan.Tangtu, Panamping dan Dangka. Akan tetapi setatus hubungan kekerabatan atau kekeluargaan satu sama lainnya tidak terputus. Orang Tangtu masih menganggap keluarga kepada anggota keluarganya meskipun mereka ada diwilayah Panamping atau Dangka sekalipun, begitu sebaliknya prinsip hidup seperti ini lah yang membuat keutuhan masyarakat Baduy sampai saat ini masih terjaga dengan baik. Akan tetapi perbedaan kewarganegaraan akan berpengaruh hanya dalam hal-hal tertentu seperti pernikahan, pengangkatan jabatan struktur pemerintahan.

Masyarakat Baduy tidak mengenal sistem pendidikan atau sekolah formal.Adat melarang warganya untuk bersekolah formal. Mereka berpendapat bila orang Baduy besekolah akan bertambah pintar, dan orang pintar hanya akan merusak alam sehingga akan merubah semua aturan yang telah di tetapkan oleh karuhun.16

Pendekatan pendidikan di Baduy adalah non formal yang dilakukan dirumah-rumah maupuan di lapangan secara langsung.Tidak ada bangunan sekolah formal disana, meskipun demikian 40% masyarakatnya dapat membaca dan menulis.Selain menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa sehari-hari, mereka juga dapat berbicara dalam bahasa Indonesia.

16

(48)

Mereka memiliki sistem pendidikan sendiri, dimana bagi anak-anak sebelum usia 10 tahun mereka dibimbing oleh orang tua masing-masing. Setelah usia 10 tahun, mereka belajar mengenai norma dan aturan yang berlaku di Baduy dengan berkelompok kecil. Kelompok-kelompok tersebut didasarkan pada kedekatan rumah mereka, dan dibimbing oleh seorang pemimpian atau Jaro yang ada di lingkungan dekat mereka.Umumnya tempat belajar mereka di rumah pemimpin mereka yang memiliki tempat luas, selain itu juga pelajaran lebih banyak dilakukan di alam secara langsung. Bagi mereka proses belajar dilakukan terus menerus dan tidak lagi dibatasi umur, siapa saja dapat datang kepada pemimpinnya atau belajar dengan orang lain yang lebih pintar kapan saja mereka membutuhkan.

(49)

dimanfaatkan.Untuk menjaga kebersihan mereka menggunakan bahan-bahan alami dari tumbuhan sebagai pengganti sabun dan pasta gigi.

Pendidikan non formal yang diajarkan sangat sederhana sekali, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup saja.Dituturkan oleh salah satu Jaro (pemimpin) bahwa mereka mendidik masyarakatnya bukan untuk menjadi pintar tetapi untuk menjadi jujur.Alam merupakan sumber ilmu yang disarikan oleh orang-orang tua dan diturunkan kepada anak-anak mereka.Prinsip dengan perubahan sekecil-kecilnya menjadi landasan pelajaran yang diajarkan kepada anak-anak.17

Masyarakat Baduy merupakan masyarakat tradisional Sunda yang kaya akan sumber kearifaan. Kerja keras sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging bagi mereka. Masyarakat Baduy khususnya Baduy Dalam, menggantungkan hidupnya pada pertanian tradisional, yaitu melakukan perladangan berpindah. Di samping berladang dengan menanam padi.Padi harus ditanam menurutketentuan-ketentuan karuhun (leluhur). Padi hanya boleh ditanam di lahan kering tanpa pengairan yang disebut huma .18sumber pinghidupan mereka juga di peroleh dari usaha mencari madu lebah di hutan dan menanam atau memelihara beberapa tanaman lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tidak dapat di usahakan sendiri seperti ikan asin dan garam, mereka

17

Ade Luqman Hakim, Suku Baduy, Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta, 2005, h.10.

18

(50)

melakukan kegiatan perdagangan.Orang Baduy menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak19.

Pada saat pekerjaan diladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang untuk berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Penyelenggaraan usaha yang berorientasi pasar (perdagangan) sudah mulai dilakukan di rumah penduduk.Hampir di setiap kampung (Baduy Luar) ada warga yang berdagang, bahkan sudah mulai bermunculan pengusaha kecil maupun berkelompok membentuk jaringan kerja yang cukup luas.

Perubahan pola hidup sebagian masyarakat Baduy tidak dapat terlepas dari peran orang-orang luar yang berkunjung ke Baduy.Pergaulan dengan dunia luar membuat masyarakat Baduy bersentuhan dengan teknologi modern yang selama ratusan tahun dilarang oleh Adat.Layaknya masyarakat kebanyakan, masyarakat Baduy saat ini sudah menonton televisi, menggunakan jam tangan, dan memiliki radio.Bahkan warga Baduy Luar sudah mempunyai telepon seluler atau ponsel.20

E. Agama

Djajadiningrat, mengungkapkan bahwa agama dan kepercayaan yang ada di kebudayaan Sunda, sesungguhnya agama yang di peluk oleh orang Kanekes

19

Tengkulak, Pedagang Perantara Yang Membeli Hasil Bumi dan Sebagainya Dari Petani Atau Pemilik Pertama.

20

(51)

yang pernah menjadi bahan pembicaraan di lingkungan Tweede Kamer (Parlemen) Kerajaan Belanda.Pembicaraan itu didasarkan pada laporan Controlleur Afdeeling Lebak.Tahun 1907 yang menyatakan bahwa di daerahnya masih ada kelompok masyarakat beragama Hindu sebanyak 40 keluarga.Atas pertanyaan seorang Tweede Kamer, mentri Jajahan Belanda meminta keterangan lebih lanjut mengenai kebenaran isi laporan tersebut.Tentu yang dimaksud dengan kelompok orang Hindu itu ialah orang Kanekes.21

Baduy adalah masyarakat setempat yang dijadikan mandala (kawasan suci) secara resmi oleh raja, sebab masyarakatnya berkewajiban memelihara kabuyutan, tempat pemujaan nenek moyang, bukan Hindu atau Budha Kabuyutan

di Desa Kanekes dikenal dengan Kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Wiwitan.22 Nama Sunda Wiwitan yang berarti “sunda mula-mula” adalah merupakan

penyebutan untuk nama identitas agama orang Baduy. Penamaan ini muncul untuk menggambarkan bagaimana keyakinan itu adalah yang paling awal dari masyarakat Sunda Dalam literatur Sunda kuno. Sunda Wiwitan merupakan perubahan nama dari agama yang dianut oleh Wangsa Pajajaran.

Jika dilihat dari sejarahnya penamaan agama Baduy menjadi Sunda Wiwitan bermula pada ritual pemujan mereka yang disimbolkan dengan Arca Domas sebagai leluhur mereka. Menurut mereka, dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kekuasaan

21

Edi S Ekadjati, Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah, Jilid I, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), h.62

22

(52)

yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alma), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas). Orientasi, Konsep dan pengamalan keagamaan ditunjukan kepada pikukuh untuk mensejahtrakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai).

Pada pelaksanaan ajaran Sunda Wiwitan di Kanekes, tradisi religius diwujudkan dalam berbagai upacara yang pada dasarnya memiliki empat tujuan utama: yaitu (1) menghormati para Karuhun atau nenek moyang: (2) menyucikan Pancar Bumi atau isi jagat dan dunia pada umumnya; (3) menghormati dan menumbuhkan atau mengawinkan Dewi Padi; dan (4) melaksanakan pikukuh Baduy (hukum ketentuan yang berlaku di Baduy) untuk mensejahtrakan inti jagat.

Dengan demikian, mantra-mantra yang diucapkan sebelum dan selama upacara berisikan permohonan izin dan keselamatan atas perkenan karuhun, menghindari marabahaya, serta perlindungan untuk kesejahteraan hidup di dunia damai sejahtera.23

Mereka beriman kepada yang gaib, yang tidak bisa dilihat dengan mata, tetapi dapat diraba dengan hati.Nabi-nabi yang diimani secara eksplisit24 adalah Nabi Adam dan Nabi Muhammad mereka beriman kepada hidup, sakit, mati dan nasib adalah titipan.Umat Sunda Wiwitan menjalankan juga ritual ibadah sunah Rasul, yakni sunat atau khitan, masyarakat Baduy meyakini bahwa manusia yang pertama kali diciptakan di bumi ini berada di Kanekes sebagai inti jagat, pancar

23

Ira Indrawardana, Sunda Wiwitan Dalam Dinamika Zaman, Konferensi Internasional Budaya Sunda, Desember, 2011, h, 7

24

(53)

bumi. Karena itu, mereka melaksanakan ritual ibadah pemujaan di Sasaka

Domas25sebagai penghormatan kepada roh karuhun, nenek moyang mereka mereka menyakini juga agamanya adalah Sunda Wiwitan, bukan Hindu ataupun Islam. Nabi Adam diyakini oleh umat Sunda Wiwitan sebagai simbol penciptaan manusia pertama yang berada di Sasaka Domas.Keyakinan seperti ini terdapat juga di dalam agama masyarakat jawa yang masih menghormati raja-raja, nenek moyang mereka. Antara Nabi Islam, Batara Hindu dan raja Jawa terdapat relasi geneologis, seperti termaktub di dalam pembukaan kitab Babad Tanah Jawa.

Arca Domas dalam kepercayaan suku Baduy dianggap juga sebagai tempat berkumpulnya para leluhur atau nenek moyang mereka.Para leluhur tersebut selalu memantau dan menjaga anak keturunan suku Baduy.Mereka sering datang ke kampung-kampung melalui leuweung kolot yaitu hutan primer dan leuweung lembur yakni hutan kampung.Dengan adanya keyakinan ini pula maka konservasi hutan terjaga dengan baik.Kiblat ibadah pemujaan umat Sunda Wiwitan yaitu Arca Domas.Arca Domas berbentuk bangunan punden berunduk atau berteras-teras sebanyak tujuh tingkatan.Setiap berteras-teras diberi hambaro, benteng yang terdiri atas susunan “menhir” (batu tegak) dari batu kali. Pada teras tingkat keempat

terdapat menhir yang besardan berukuran tinggi sekitar 2 m pada tingkat teratas terdapat “batu jumping” dengan lubang bergaris tengah sekitar 90 cm, menhir dan “arca batu” Arca batu ini disebut Arca Domas, Domas berarti keramat, suci.

Tingkatan teratas, semakin ke selatan undak-undakan semakin tinggi dan suci.Bangunan tua ini merupakan sisa peninggalan magalitik.Sebagai kiblat

25

(54)

ibadah.Arca Domas diyakini sebagai tanah atau tempat suci, keramat (sacral), para nenek moyang berkumpul.

Di tanah suci umat Sunda Wiwitan melaksanakan ritual pemujaan Ritus muja adalah ziarah memanjatkan doa dan membersihkan obyek utama pemujaan Baduy. Ibadah ritual pemujaan di Arca Domas dipimpin oleh Puun.Tujuan ritus muja adalah untuk memuja para Karuhun, nenek moyang dan menyucikan pusat

dunia. Ritual ini dilaksanakan selama tiga hari tanggal 16, 17 dan 18 pada bulan kalima.Waktu tiga hari ritual terbagi terdiri dari, dua hari untuk pergi dan pulang dan sehari untuk ibadah ritual muja. Setelah ritual muja, dilanjutkan dengan membersihkan dan membenahi pelataran teras.Sampai pada batu lumpang yang disebut Sanghyang Pangumbaran.Keadaan air di dalam “batu lumpang” adalah simbol keadaan alam Baduy. Jika airnya penuh dan jernih, menandakan akan turun hujan banyak, cuaca baik dan panen berhasil. Sebaliknya, jika air dangkal dan keruh menandakan kekeringan dan kegagalan panen pada keadaan “menhir”

di puncak, jika dipenuhi lumut menandakan akan mendapatkan kesentosaan dan kesejahtraan dalam tahun bersangkutan, tetapi sebaliknya dapat memperoleh kesengsaraan dan kesulitan.26

Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy adalah seperti tertuang dalam ungkapan sebagai berikut:27

Gunung teu meunang dilebur

26

Yollanda Octavitri, Jurnal Wacan, Resepsi Masyarakat Kabupaten Lebak Provinsi Banten Terhadap Upacara Seba Suku Baduy, Universitas Diponegoro Semarang, h. 7-8.

27

(55)

Lebak teu meunang dirusak

Larangan teu meunang dirempak

Buyut teu meunang dipotong

Pondok teu meunang disambungan

Nu lain kudu dilainkeun

Nu ulah kudu diulahkeun

Nu enya kudu dienyakeun

Artinya:

“Gunung tidak boleh dihancurkan Lembah tidak boleh dirusak Larangan tidak boleh dilanggar Buyut tidak boleh diubah Panjang tidak boleh dipotong Pendek tidak boleh disambung Yang bukan harus ditiadakan Yang lain harus dilainkan Yang benar harus dibenarkan”

Kesakralan nilai ajaran yang dimiliki oleh agama orang Baduy membentuk mereka secara berhati-hati dan patuh dalam menjalankan berbagai Pikukuh adat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh salah seorang pemangku adat Baduy bernama Ayah Mursid.28 Menurutnya;

“Agama nu diangem ku masyarakat Baduy ngarana Agama Salam Sunda

Wiwitan, nbina Adam Tunggal.Dina kayakinan Sunda Wiwitan kami mah teu

kabagean parentah shalat seperti dulur-dulur sabab wiwitan Adam tugasna

28

(56)

memelihara keseimbangan ieu alam, teu ngabogaan kitabna da ajarannaneurap

(57)

57

A. perkawinan Suku Baduy

Bagi masyarakat Baduy sendiri, perkawinan merupakan sesuatu yang sakral. Karena alasan itu, maka tata cara perkawinan pun dimulai dari proses peminangan sampai membina rumah tangga juga diatur dalam ketentuan adat Baduy yang mengikat.

Bagi masyarakat Baduy, prinsip hidup berumah tangga adalah hidup selamanya. Dalam persepsi masyarakat Baduy, jika seseorang sudah menentukan pasangan hidupnya, maka ia harus lah bertanggung jawab terhadap keluarganya termasuk di dalamnya dilarang untuk menyakiti pasangan hidupnya dalam bentuk apa pun.

Masyarakat Baduy meyakini bahwa perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting, dan wajib dilakukan oleh seluruh masyarakat Baduy tanpa terkecuali.Menurut meraka, perkawinan adalah merupakan hukum alam yang harus terjadi dan dilakukan oleh setiap manusia tanpa terkecuali. Orang Baduy menyebutnya perkawinan sebagai rukun hirup1, artinya bahwa perkawinan harus dilakukan, karena jika tidak maka ia akan menyalahi kodratnya sebagai manusia.

Dalam pengertian lain perkawinan ialah yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan karena ikatan suami istri, dan

1

Gambar

Tabel 1.1

Referensi

Dokumen terkait

Praktek oligopoli biasanya dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menahan perusahaan- perusahaan untuk masuk ke dalam pasar, dan tujuan

Berdasarkan besarnya intensitas penyakit yang terjadi, ketahanan varietas Dena-1 dikategorikan sangat tahan, varietas Detam-1 tahan, varietas Burangrang agak tahan sementara

Diharapkan melalui adanya bank sampah dapat memberikan solusi dalam mengurangi volume sampah dan meningkatkan ekonomi masyarakat sesuai hasil penelitian Mita tahun 2013

Keluaran dari sistem kendali logika fuzzy adalah suatu nilai yang nantinya akan digunakan sebagai masukan untuk ke lima motor pada quadrotor. 3.2.2.2

Dalam pra tes hasil belajar siswa menunjukkan bahwa 25 % siswa belum mencapai KKM yaitu 75 (Hasil lengkap pre tes terdapat pada lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa dalam

a) Eliminasi. Hirarki teratas yaitu eliminasi/menghilangkan bahaya ditempat kerja yang bertujuan untuk mengeliminasi kemungkinan kesalahan manusia dalam menjalankan

Pemungutan bunga cengkeh dilakukan dengan cara memetik tangkai bunga dengan tangan, kemudian dimasukkan kedalam kantong kain atau keranjang yang telah disiapkan,

Salah satu kekhasan Jepang adalah bunga Sakura, yang memang identik dengan negeri tersebut.. Pada Sakura, terkandung nilai- nilai luhur sebuah identitas