• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI KOMUNITAS TERUMBU KARANG DI PERAIRAN CAGAR ALAM LAUT KRAKATAU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EVALUASI KOMUNITAS TERUMBU KARANG DI PERAIRAN CAGAR ALAM LAUT KRAKATAU"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis memiliki iklim tropis dan perairannya lumayan dangkal, sehingga menjadi tempat yang optimal bagi ekosistem terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis lintang 600 LU - 110 LS serta 950 BT – 1410 BB.

Terumbu karang merupakan suatu hasil dari simbiosis mutualisme antara biota laut khusus dari filum Cnedaria, kelas Anthazoa, ordo Madreporia, dan Sclerentina dan alga penghasil kapur (Zooxanthellae) yang menjadi satu dan membentuk endapan kalsium karbonat (CaCo3) sehingga membentuk suatu ekosistem dalam perairan laut (Nybakken, 1992).

(2)

Pertumbuhan terumbu karang dan penyebarannya sangat tergantung pada kondisi lingkungannya. Kondisi ini pada kenyataanya tidak selalu tetap, tetapi seringkali

berubah. Ada beberapa faktor yang memengaruhi kehidupan dan pertumbuhan terumbu karang antara lain perairan yang jernih dengan suhu hangat, gerakan gelombang yang besar, memiliki pH dan salinitas yang sesuai serta sirkulasi yang lancar dan terhindar dari proses sedimentasi (Nybakken, 1988).

Menurut Suharsono (1998), kondisi terumbu karang di perairan Indonesia telah mengalami kerusakan. Terjadinya kerusakan terumbu karang disebabkan oleh faktor alam (natural causes) dan aktivitas manusia (anthropogenic causes). Kerusakan yang disebabkan ole faktor alam antara lain : bencana alam dan pemanasan global sedangkan aktivitas manusia antara lain : penangkapan ikan dengan bahan peledak dan potas, penambangan dan pengambilan karang untuk dijadikan sebagai bahan bangunan,

pencemaran perairan yang berasal dari aktivitas daratan, pembangunan di wilayah pesisir dan daerah hulu (Nybakken, 1992).

(3)

13.735,10 ha yang terdiri dari Cagar Alam Laut seluas 11.200 ha dan Cagar Alam daratan seluas 2.535,10 ha. Kawasan ini juga memiliki kekayaan dan keunikan tersendiri baik secara geologis maupun ekologis (BKSDA, 2012).

Kepulauan Krakatau terletak di Selat Sunda, yaitu antara Pulau Jawa dan Pulau

Sumatera. Luas daratannya sekitar 3.090 ha terdiri dari Pulau Sertung (1.060 ha), Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320 ha). Secara geografis Kepulauan Krakatau terletak pada koordinat 6°03’15”- 6°10’30” LS dan 105°21’15” –105°27’45”BT. Sedangkan secara administratif pemerintahan, Kepulauan

Krakatau termasuk ke dalam wilayah Desa Pulau Sebesi Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan. Sejak tanggal 5 Juni 1990 pengelolaanya dilaksanakan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung (BKSDA, 2012). Mengingat kondisi

lingkungan Selat Sunda yang sangat dinamis, seperti pergantian massa air dari Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia, serta aktivitas vulkanik (magma chamber) yang juga terdapat pada dasar laut di kawasan ini, membuat kondisi kawasan tidak dapat

menyediakan habitat dasar laut yang stabil bagi pertumbuhan organisme bentik sehingga habitat yang tersedia tidak begitu bervariasi dibandingkan dengan perairan lain di

Indonesia yang tidak mengalami kondisi seperti perairan kawasan Krakatau. Karena kondisi yang dinamis oleh banyak faktor inilah maka dianggap perlu adanya penelitian tentang kondisi terumbu karang di daerah tersebut yang berkelanjutan.

B. Tujuan Penelitian

(4)

C. Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan informasi ilmiah bagi masyarakat tentang kondisi terumbu karang berdasarkan presentase tutupan dan keanekaragaman jenis di Kepulauan Krakatau, Lampung Selatan dan sebagai data lanjutan dari penelitian sebelumnya.

D. Kerangka Pikir

Ekosistem terumbu karang memegang peranan penting dalam ekosistem perairan. Ekosistem akan terganggu jika terumbu karang mengalami kerusakan.

Faktor – faktor yang memengaruhi pertumbuhan dan penyebaran terumbu karang salah satunya adalah kestabilan substrat. Cagar Alam Kepulauan Krakatau merupakan daerah yang dekat dengan aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau. Aktivitas seismik yang diakibatkan oleh magma chamber Gunung Anak Krakatau menyebabkan adanya

goncangan – goncangan pada dasar laut yang memungkinkan bergesernya substrat yang menjadi tempat terumbu karang tumbuh, selain itu logam berat yang terkandung dalam debu vulkanik seperti Cadmium (Cd) dan Timbal (Pb) akan memengaruhi kalsifikasi CaCO3 karena substitusi Ca oleh Cd atau Pb sehingga karang yang terbentuk akan rapuh, dengan demikian maka akan menimbulkan kerentanan karang terhadap pengaruh

lingkungan yang ada seperti arus dan goncangan.

(5)

jumlah gempa harian vulkanik dalam antara 20-30 kejadian per hari. Kejadian gempa vulkanik yang terekam mencapai 4-5 kejadian permenit. Untuk itu perlu adanya penelitian tentang terumbu karang di Kepulauan Krakatau pada titik tertentu yang mungkin terpengaruh akibat Aktivitas tersebut.

E. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini hanya akan dilakukan pengamatan kondisi terumbu karang di

Kepulauan Krakatau yang berdekatan dengan Gunung Anak Krakatau yaitu Pulau Rakata dan Pulau Panjang. Pengambilan data di Pulau Sertung hanya sebagai pembanding karena berdasarkan literatur yang ditemui kondisi perairan di sekitar Pulau Sertung tidak

(6)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian, Habitat, dan Tipe Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas perairan tropis. Menurut Timotius

(2003), terumbu karang merupakan struktur dasar lautan yang terdiri dari deposit

kalsium karbonat (CaCO3) yang dapat dihasilkan oleh hewan karang bekerjasama

dengan alga penghasil kapur. Sedangkan hewan karang adalah hewan yang tidak

bertulang belakang termasuk kedalam filum Coelenterata (hewan berongga) atau

Cnidaria. Satu individu karang atau disebut polip karang memunyai ukuran yang

beranekaragam dimulai dari polip yang berukuran kecil (± 1 mm) sampai yang

berukuran besar (>50 cm). Namun pada umumnya polip karang berukuran kecil

walaupun polip pada jenis mushroom (jamur) ukurannya cukup besar. Aktivitas

biota akan membentuk suatu kerangka atau bangunan dari kalsium karbonat

(CaCO3) sehingga mampu menahan gelombang laut yang kuat (Nybakken, 1992).

Menurut Suharsono (1996), hewan karang adalah sebagai komponen dari

masyarakat terumbu karang, sedangkan terumbu karang adalah sebagai suatu

ekosistem, termasuk organisme – organisme lain yang hidup disekitarnya. Ada dua

tipe hewan karang yaitu hewan karang yang dapat membentuk bangunan/terumbu

dari kalsium (hermatypic corals) atau dikenal juga dengan sebutan reef – building

corals dan hewan karang yang tidak dapat membentuk bangunan / terumbu dari

kalsium (ahermatypic corals) atau dikenal juga dengan sebutan non reef – building

(7)

Menurut Wood (1983), hewan karang dapat dibagi kedalam empat kelompok

berdasarkan fungsinya dalam membentuk terumbu (hermatype – ahermatype) dan

ada atau tidaknya alga simbion (symbiotic – asymbiotic), sebagai berikut:

Hermatypes – symbionts

Kelompok ini terdiri dari anggota karang pembangunan terumbu yaitu sebagian

besar anggota Sclerentina, Octocorallia, dan Hydrocorallia.

Hermatypes – asymbionts

Kelompok ini merupkan karang yang mampu membentuk terumbu tanpa bantuan Zooxanthellae tetapi pertumbuhannya lambat, dan kelompok ini mampu hidup di

dalam perairan yang tidak terdapat cahaya. Diantaranya anggotanyya adalah

Sclerentina asimbiotic genus Tubastrea dan Dendrophyllia, serta Hydrocorals jenis

Stylaster rosacea.

1. Ahermatypes – symbionts

Kelompok ini hidup dalam bentuk polip tunggal dan kecil sehingga tidak masuk dalam pembangun terumbu. Di antara anggotanya adalah genus Heteropsammia dan Diaseris (Sclerentina: Fungiidae) dan Leptoseris (Agaricidae), kelompok ini terisiri dari ordo Alcyonacea dan Gorgonacea yang memunyai alga simbion namun bukan pembangun

koloni rangka kapur masif.

2. Ahermatypes – asymbionts

(8)

kelompok ini adalah Ordo Antipatharia dan Corallimorpha (Subkelas Hexacorallia) dan Subkelas Octocorallia asimbiotik.

Secara garis besar terdapat dua jenis terumbu karang, yaitu terumbu karang benua (Shelf reefs) yang menempel pada lempengan benua dan terumbu karang laut lepas (Oceanic

reefs) yang mengelilingi pulau – pulau kecil di laut lepas pada kedalaman 200 meter. Sebagian besar terumbu di Indonesia adalah terumbu benua (Tomascik, 1997).

Selanjutnya Nybakken (1992), mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe umum yaitu :

1. Terumbu karang tepi (Fringing reef), umumnya berkembang disepanjang pantai, terletak di tepi lempengan benua dan di sekeliling pulau-pulau, mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 M. Terumbu karang ini tumbuh ke atas atau kearah laut.

Pertumbuhan biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar, terumbu karang batu cenderung memunyai pertumbuhan yang kurang baik bahkan banyak mati karena mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat, tipe terumbu karang seperti ini paling umum ditemukan di Indonesia.

(9)

adalah terumbu Sunda Besar yang terdapat di Selat Makassar dengan panjang mencapai 600 km.

3. Terumbu karang cincin (Atol) adalah terumbu karang yag tumbuh melingkari suatu goba/lagoon dan biasanya terdapat di lepas pantai. Kedalaman goba di dalam atol sekitar 45 meter namun jarang sekali ditemukan sampai 100 meter seperti terumbu karang penghalang. Di prediksi bahwa asal mula atol berasal dari terumbu karang tepi pada sebuah gunung berapi yang secara perlahan-lahan tenggelam disebabkan oleh adanya perubahan tinggi permukaan laut dan terjadi penumpukkan sedimen karang yang semakin berat. Contohnya atol di Pulau Taka Bona Rate di Laut Flores, Sulawesi Selatan dengan luas 2.960 km2 (Tomascik, 1997).

Menurut Suharsono (1996), berdasarkan habitatnya terumbu karang dibagi menjadi 3 yaitu :

1. Habitat reef flat, yaitu habitat karang yang terletak di zona pasang surut dengan kondisi lingkungan selalu mengalami perubahan salinitas, sinar matahari, dan suhu. Tipe reef flat tahan pada perubahan tersebut.

2. Habitat slope, yaitu habitat terumbu karang yang selalu berada dibawah permukaan air laut. Umumnya terdapat pada kedalam 0 sampai dengan belasan meter tergantung dari sudut kemiringan dinding terumbu karangnya. Terumbu karang yang meghadap ke laut terbuka di sebut front reef , sebaliknya terumbu karang yang menghadap ke pulau tersebut disebut back reef

.

(10)

B. Biologi karang

1. Anatomi dan Struktur Hewan Karang

Hewan karang biasanya hidup dengan cara membentuk suatu kelompok (koloni), tetapi ada juga yang hidup sendiri (soliter). Satu koloni dapat mencapai ribuan individu yang berupa polip. Hewan karang atau polip mirip dengan ubur-ubur. Hewan karang diibaratkan ubur-ubur yang terbalik dengan banyak tentakel yang menghadap ke atas dan menempel pada substrat berupa kalsium karbonat (CaCO3). Mulut hewan karang yang sekaligus berfungsi sebagai anus terletak di bagian atas, dengan adanya tentakel pada sekeliling mulut berfungsi pada saat menangkap mangsa. Makanan yang masuk akan dicerna oleh filament mesentery (usus) dan sisa makanan dikeluarkan melalui mulut. Menurut Suharsono (1996), dinding polip terumbu karang terdiri dari tiga lapisan, yaitu :

1. Lapisan Ektoderm

Lapisan Ektoderm merupakan lapisan terluar, pada lapisan ini terdapat glandula

yang berisi mucus (kantung lendir), cillia (rambut halus), dan sel knidoblast yang berisi nematocyst. Sel mucus adalah kantung yang berisi lendir dan berfungsi untuk membantu mempermudah dalam menangkap mangsa dan menbersihkan diri dari sedimen yang melekat, sedangkan sel nematocyst adalah alat penyengat yang memiliki fungsi dalam mempertahankan diri dari gangguan disekitar lingkungan, misalnya gangguan dari alam.

(11)

Lapisan mesoglea merupakan lapisan tipis seperti jelly dan terletak di tengah,

diantara lapsian ektoderm dan lapisan endoderm. Di dalam lapisan jelly terdapat fibril sedangkan di luarnya terdapat sel seperti sel otot.

3. Lapisan endoderm

Merupakan lapisan yang berada paling dalam dan merupakan tempat alga (Zooxanthellae) yang bersimbiosis secara mutualisme dengan hewan karang. Simbiosis ini mengahasilkan terumbu yang berasal dari kalsium karbonat (CaCO3).

Selain itu suharsono (1996), juga mengatakan bahwa terumbu karang memiliki sistem syaraf, jaringan otot, dan reproduksi yang sederhana, akan berkembang dan

berfungsi sesuai kerjanya masing-masing yaitu:

a. Jaringan syaraf

Jaringan syaraf terdapat baik di ektoderm dan endoderm maupun di mesoglea yang dikoordinasikan oleh sebuah sambungan sel yang bertanggung jawab memberikan respon secara mekanik maupun kimia serta adanya respon terhadap stimulus cahaya.

b. Jaringan otot

(12)

Kerangka kapur pada terumbu karang dibentuk dengan adanya pengendapan kapur oleh polip-polip. Kerangka kapur berupa lempengan-lempengan yang tersusun secara radial dan tegak pada substrat dasar. Lempengan tersebut disebut septa, yang

tersusun dari bahan organik dan kapur yang merupakan hasil sekresi dari polip

terumbu karang. Pola septa setiap terumbu karang berbeda-beda dan merupakan dasar untuk mengklasifikasikan terumbu karang sesuai taksonominya (Barnes, 1980).

2. Simbiosis Mutualisme Antara Hewan Karang Dengan Zooxanthellae

Zooxanthellae adalah alga dari kelompok Dinoflagellata yang bersimbiosis

mutualisme pada hewan, seperti karang, anemon, moluska dan lainnya. Sebagian besar Zooxanthellae berasal dari genus Symbiodinium. Jumlah Zooxanthellae pada karang diperkirakan > 1 juta sel/cm2 permukaan karang. Beberapa keuntungan yang didapatkan oleh hewan karang dari simbiosisnya dengan Zooxanthellae antara lain : 1. Hasil fotosintesis, seperti glukosa, asam amino, dan oksigen dapat dipakai dalam

fisiologis tubuh.

2. Mempercepat proses kalsifikasi yang menurut Wallace (1999), terjadi melalui skema :

a. Proses fotosintesis akan menurunkan konsentrasi CO2, tetapi menaikkan pH sehingga pembentukan ion karbonat lebih mudah diendapkan.

b. Dengan pengambilan ion P untuk fotosintesis, berarti Zooxanthellae telah menyingkirkan inhibitor kalsifikasi.

(13)

metabolisme karang dan hanya sebagian kecil anorganik diambil dari perairan. Zooxanthellae dapat berada dalam karang, melalui beberapa mekanisme terkait

dengan reproduksi karang. Dari reproduksi secara seksual, karang akan mendapatkan Zooxanthellae langsung dari induk atau secara tidak langsung dari lingkungan.

Sementara dalam reproduksi aseksual, Zooxanthellae akan langsung dipindahkan ke koloni baru atau ikut bersama potongan koloni karang yang lepas (Timotius, 2003).

3. Proses Memperoleh Makanan

Menurut Timotius (2003), hewan karang memiliki dua cara untuk mendapatkan makanan, yaitu dengan cara :

1. Menangkap Zooplankton yang melayang dalam air. 2. Menerima hasil fotosintesis dari Zooxanthellae.

Ada dua mekanisme bagaimana mangsa yang ditangkap karang dapat mencapai mulut :

1. Mangsa ditangkap oleh tentakel lalu dibawa ke mulut.

2. Mangsa ditangkap lalu terbawa ke mulut oleh gerakan silia di sepanjang tentakel.

(14)

karang ini memiliki tentakel jauh lebih pendek dan kecil dari pada hewan karang yang langsung menangkap dan menjerat makanannya. Selain menggunakan tentakel dalam proses makan, hewan karang juga memanfaatkan Zooxanthellae dalam mendapatkan makanan. Alga ini sangat penting keberadaanya di dalam terumbu karang karena dapat menghasilkan sumber energi dan nutrisi bagi hewan inangnya (Soekarno, 1983).

4. Proses Reproduksi

Dalam melestarikan keturuannya maka makhluk hidup memiliki insting tersendiri dalam melakukan proses reproduksi. Seperti hewan lainnya terumbu karang mampu bereproduksi secara aseksual dan seksual.

a. Reproduksi aseksual (vegetative) adalah reproduksi yang tidak melibatkan peleburan gamet jantan (sperma) dan gamet betina (ovum). Pada reproduksi ini, polip/koloni karang membentuk polip/koloni baru melalui pemisahan potongan-potongan bagian tubuh atau rangka. Pada reproduksi dengan cara aseksual tidak terbentuk individu baru yang terpisah dari induknya tetapi adanya pertumbuhan koloni dan ada pembentukan koloni baru (adanya proses pertumbuhan koralit dan ukuran).

Ada beberapa tipe reproduksi aseksual adalah :

(15)

tinggi dibandingkan koloni yang terbentuk secara ekstratentakular. Cara

reproduksi seperti ini biasanya pada karang yang soliter, seperti beberapa karang fungia.

2. Fragmentasi adalah suatu proses terbentuknya koloni baru sebab adanya patahan karang. Patahan-patahan ini terjadi terutama pada karang bercabang, karena karang bercabang mudah sekali patah oleh faktor fisik (seperti ombak atau badai) atau faktor biologi (predasi oleh ikan). Patahan koloni karang yang lepas dari koloni induk dapat saja menempel kembali di dasaran dan membentuk tunas serta koloni baru. Hal tersebut hanya dapat terjadi jika serpihan karangmasih memiliki jaringan hidup. Menurut Suharsono (1998), fragmentasi terjadi pada koloni karang yang memiliki daya tumbuh tinggi dengan bentuk yang bercabang dikarenakan karang jenis ini mudah sekali patah.

3. Polip bailout adalah proses dimana terbentuknya polip baru dikarenakan adanya pertumbuhan jaringan pada karang yang telah mati. Pada karang yang mati, kadang kala jaringan-jaringan yang masih hidup dapat meninggalkan skeletonnya untuk kemudian terbawa air. Jika kemudian menemukan dasaran yang sesuai, jaringan tersebut akan melekat dan tumbuh menjadi koloni baru.

4. Partenogenesis adalah proses dimana larva tumbuh dari telur yang tidak mengalami pembuahan atau fertilisasi.

(16)

memiliki mekanisme reproduksi seksual tersendiri dan beragam sesuai dengan penghasil gamet dan fertilisasinya, keragaman tersebut sebagai berikut: 1. Berdasarkan individu penghasil gamet, hewan karang dapat dikategorikan

menjadi dua yaitu: Gonokoris adalah hewan karang yang menghasilkan gamet jantan dan betina tidak dalam satu induk, adanya jantan dan betina. Sedangkan Hermaprodit adalah hewan yang memiliki kelamin jantan dan betina dalam

satu induk, setiap waktu pematangan seksual jantan berbeda dengan betina sehingga tidak dapat melakukan fertilisasi.

2. Berdasarkan mekanisme pertemuan telur dan sperma maka keragaman reproduksi seksualnya dapat dibagi menjadi dua yaitu: Brooding/planulator adalah suatu mekanisme dimana sel telur dan sperma dihasilkan tetapi tidak dilepaskan ke kolom air tetapi tetap di dalam polip dan fertilisasi terjadi di dalam tubuh atau secara internal. Zigot tumbuh di dalam polip sampai menjadi planula dan siap untuk dilepaskan ke kolom air, mencari substrat yang cocok untuk perkembangan dan pertumbuhannya. Sedangkan Spawning adalah proses pelepasan sel telur dan sperma ke kolom air dan pertemuan sperma dan sel telur terjadi secara eksternal di dalam kolom air. Pembuahan terjadi setelah beberapa jam berada dalam air. Baik reproduksi secara seksual maupun secara aseksual dilakukan oleh hewan karang dengan tujuan mempertahankan

keberadaan spesiesnya di alam.

C. Proses Pertumbuhan dan Kalsifikasi Karang

(17)

adalah tersedianya ion kalsium (Ca2+) dan ion karbonat (CO3). Ion kalsium tersedia secara alami dalam perairan yang berasal dari pengikisan batuan di darat, sedangkan ion karbonat berasal dari pemecahan asam karbonat. Kalsium karbonat (CaCO3) yang terbentuk kemudian mengalami proses pengendapan sehingga menjadi rangka hewan. Sementara itu, karbondioksida (CO2) akan diambil oleh Zooxanthellae dan

dipergunakan dalam proses fotosintesis. Proses kalsifikasi kemudian akan

menghasilkan terumbu karang yang sebaran terjadi secara vertikal dan horisontal di lautan (Timotius, 2003).

Menurut Veron (1998), pembentukan kerangka karang pada umumnya diartikan sebagai kenaikan bobot, perluasan diameter kerangka kapur karang dan penambahan jaringan hidup hewan karang. Kerangka karang disusun oleh kalsium karbonat dalam bentuk aragonit kristal (kristal serat CaCO3) dan kalsit. Bertambahnya bobot

kerangka dipengaruhi oleh Aktivitas fotosintesis yang dilakukan Zooxanthellae. Demikian juga halnya yang terjadi dengan penambahan massa polip karang dikontrol sejalan dengan tersedianya produk fotosintesis Zooxanthellae baik secara kualitas maupun secara kuantitas, sedangkan keberadaan Zooxanthellae dipengaruhi seberapa besar nutrisi dan CO2 yang disediakan oleh hewan karang bagi Zooxanthellae. Wallace (1999), menyatakan bahwa meningkatnya proses kalsifikasi sejalan dengan menurunnya konsentrasi CO2 karena adanya proses fotosintesis oleh Zooxanthellae atau pengaruh dari kerja enzim karbonik anhidrase. Berkurangnya CO2 akan

(18)

Sebagian kapur pada reaksi kalsifikasi diendapkan pada siang hari ketika awal mula fotosintesis terjadi sampai puncak fotosintesis, tetapi pada malam hari proses ini terhenti. Kecepatan kalsifikasi tidak sama setiap jenis. Contohnya pada karang branching kalsifikasi terjadi cepat, dapat mencapai >2 cm/bulan sedangkan pada jenis

massive kalsifikasinya termasuk lambat <1 cm/bulan. Pertumbuhan pada setiap

koloni berbeda satu dengan yang lainnya, hal ini disebabkan oleh perbedaan jenis, umur koloni, dan daerah tumbuh. Koloni terumbu karang yang masih muda

memunyai kecendrungan tumbuh lebih cepat daripada koloni yang lebih tua. Koloni jenis branching lebih cepat dari jenis massive (Nybakken, 1992).

Menurut Soekarno (1983), penyebab utama perbedaan kecepatan tumbuh pada karang branching dan karang massive diduga karena adanya perbedaan besarnya rasio antara

kerangka dan jaringan karang. Pada branching jumlah jaringan lebih banyak daripada bentuk massive, sehingga kecepatan metabolisme lebih cepat. Bentuk pertumbuhan karang memiliki banyak variasi, suatu jenis karang dari marga yang sama memiliki bentuk pertumbuhan yang berbeda-beda. Banyak hal yang memengaruhi

keanekaragaman morfologi koloni karang antara lain : intensitas cahaya, pola sirkulasi massa air, ketersediaan bahan makanan, dan faktor genetik. Morfologi skeleton karang merupakan hasil dari pertumbuhan dan perkembangan koloni karang. Ada beberapa tipe pertumbuhan koloni karang yaitu: Foliose (seperti daun), Tabulate (berbentuk seperti meja), Digitate (berbentuk menjari), Branching (bercabang), Encrusting (kerak), Mushroom (menyerupai jamur), Submassive (padat bertonggak),

dan Massive (seragam dalam segala sisi).

(19)

Menurut Veron (1988), klasifikasi hewan karang adalah sebagai berikut: Filum : Coelentrata

1. Kelas : Anthozoa

Bangsa : Scelerentinia (Madreporia) Keluarga : Astrocoeniidae

Rocilloporidae Acroporidae Poritidae Siderastreidae Agariciidae Fungiidae Oculunidae Pectinidae Musidae Feriidae Dendrophyliidae Trachyphyliidae

2. Kelas : Acynoria (Octocaoralia) Bangsa : Alcyonacea (Soft coral)

Di samping dengan persentase tutupan terumbu karang metode sederhana yang dapat digunakan untuk memantau kondisi terumbu karang adalah melalui pendekatan foraminifera bentik di sekitar terumbu karang tersebut, yaitu dengan menghitung

FORAM (Foraminifera in Reef Assessment and Monitoring) Indeks atau FI (Hallock et al. 2003).

(20)

berpengaruh sangat kecil terhadap ekosistem terumbu karang sehingga aman untuk kelestarian terumbu karang tersebut (Hallock, 2003). Foraminifera dari jenis tertentu merupakan organisme yang hidup berasosiasi dengan ekosistem terumbu karang. Yamano et al. (2000) menyatakan bahwa 30% dari total sedimen yang terhampar di Pulau Green, Great Barrier Reef, Australia adalah foraminifera bentik sehingga organisme tersebut merupakan salah satu kontributor dalam pembentukan terumbu karang.

Sedangkan klasifikasi foramnifera adalah sebagai berikut: Kingdom : Protista

Filum : Sarcomastigopora Kelas : Granuloreticulosea Ordo : Foraminiferida Famili : Hialinaceae Genus : Ampistegina

E. Faktor-faktor Pertumbuhan Karang

Faktor-faktor lingkungan yang menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup hewan karang antara lain :

a. Cahaya Matahari

Cahaya matahari merupakan faktor paling penting dalam pertumbuhan terumbu karang, karena cahaya matahari digunakan oleh Zooaxanthelallae dalam proses fotosintesis. Tanpa cahaya yang cukup laju fotosintesis akan terhambat dan

(21)

terhambat pula. Kalsifikasi dapat terjadi jika terjadinya fotosintesis yang

menghasilkan karbon, maka kalsifikasi hanya terjadi pada saat produktif fotosintesis yaitu siang hari. Penetrasi cahaya tergantung pada kedalaman, semakin dalam maka semakin berkurang pula intensitas cahaya yang masuk. Intensitas dan kualitas cahaya yang menembus perairan sangat penting, selain dalam proses fotosintesis tetapi juga sebaran terumbu karang dalam perairan dan produksi oksigen oleh Zooaxanthellae (Suharsono, 1998).

b. Suhu

Suhu dapat membatasi sebaran terumbu karang secara geografis. Suhu optimal untuk kehidupan karang antara 250C-280C, dengan pertumbuhan optimal rerata tahunan berkisar 230C-300C. Pada temperatur dibawah 190C pertumbuhan karang terhambat bahkan dapat mengakibatkan kematian dan pada suhu diatas 330C menyebabkan pemutihan karang atau lebih dikenal dengan sebutan bleaching yaitu proses keluarnya Zooaxanthellae dari hewan karang, sehingga dapat menyebabkan kematian karang

(Putranto, 1997).

Suhu dapat berubah setiap saat, ketika suhu berubah secara ekstrim maka terdapat perubahan terhadap pertumbuhan karang seperti proses metabolisme, reproduksi, dan yang paling penting adalah proses kalsifikasi atau pengapuran (Suharsono, 1998).

c. Salinitas

Secara fisiologis salinitas (kadar garam) sangat memengaruhi kehidupan hewan

(22)

jarang sekali ditemukan di daerah bercurah hujan yang tinggi, perairan dengan kadar garam tinggi dan muara sungai (Nybakken, 1992). Adanya deposit air tawar yang cukup banyak ke laut dapat menyebabkan kematian hewan karang. Hal ini

disebabkan perbedaan tekanan osmosis pada air tawar dan air laut (Suharsono, 1998).

d. Kekeruhan dan Sedimentasi

Kekeruhan perairan dapat menghambat penetrasi cahaya yang masuk ke perairan dan akan memengaruhi kehidupan karang karena karang tidak dapat melakukan

fotosintesis dengan baik. Sedangkan sedimentasi mempunyai pengaruh yang negatif yaitu sedimen yang berat dapat menutup dan menyumbat bagian struktur organ karang untuk mengambil makanan dan memengaruhi pertumbuhan karang secara tidak langsung, karena terumbu karang harus mengeluarkan energi lebih besar untuk menghalau sedimentasi yang menempel pada permukaan polip. Perairan yang

memiliki kekeruhan dan sedimentasi yang tinggi cederung memiliki keanekaragaman dan tutupan karang hidup rendah. Jenis karang yang tumbuh di perairan

bersedimentasi tinggi seperti, foliate, branching, dan ramose. Sedangkan daerah yang jernih/sedimentasinya rendah lebih banyak dihuni oleh karang yang berbentuk piring (plate atau digitate plate) (Suharsono, 1998).

e. Arus (pergerakan air)

(23)

(Putranto, 1997). Menurut Suharsono (1998), pertumbuhan karang dalam perairan yang berarus kuat akan lebih baik dari pada di perairan yang tenang dan terlindungi. Tipe karang yang hidup pada perairan yang memiliki gelombang besar atau arus lebih mengarah ke bentuk encrusting dan massive.

f. Substrat

Substrat keras sangat tepat untuk larva karang menempel dan tumbuh. Dengan sifat substat yang keras larva karang mampu mempertahankan diri dari hempasan ombak dan arus yang kuat (Aldila, 2011).

F. Standar Kategori Dan Persentase Tutupan Terumbu Karang

[image:23.595.96.465.527.671.2]

Penentuan kondisi terumbu karang didasarkan pada jumlah tutupan karang hidup. Persentase tutupan karang hidup yang digunakan berdasarkan kategori sebagai berikut: Tabel 1. Kategori dan persentase tutupan karang hidup, karang mati, karang lunak, pasir,

dan kerikil (Dahl, 1981)

No Kategori Nilai

1 Rusak 0 – 25 %

2 Sedang 25 - 50 %

3 Baik 50 – 75 %

4 Sangat Baik 75 – 100 %

(24)

Kawasan Kepulauan Krakatau terdiri-dari gugusan pulau –pulau kecil yaitu Pulau Krakatau Besar (Rakata), Pulau Krakatau Kecil (Panjang), Pulau Sertung dan Pulau Anak Krakatau. Kepulauan Krakatau terletak di Selat Sunda, yaitu antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Luas daratannya sekitar 3.090 ha terdiri dari Pulau Sertung (1.060 ha), Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320 ha). Secara geografis Kepulauan Krakatau terletak pada koordinat 6°03’15”- 6°10’30” LS dan 105°21’15” –105°27’45”BT. Sedangkan secara administratif pemerintahan, Kepulauan

[image:24.595.87.476.391.641.2]

Krakatau termasuk ke dalam wilayah Desa Pulau Sebesi Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan. Sejak tanggal 5 Juni 1990 pengelolaanya dilaksanakan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung (BKSDA, 2012).

(25)

III. METODE KERJA

A. Waktu dan Tempat Pelaksaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Oktober 2012. Lokasi penelitian berada di perairan Pulau Rakata, Pulau Panjang, dan Pulau Sertung, Kecamatan Rajabasa, Lampung selatan.

B. Cara Kerja

a. Survei Pendahuluan (Manta Tow)

Penentuan titik sampling ditentukan dengan menggunakan metode manta tow (pengamatan langsung di atas permukaan air atau ditarik perlahan dengan

menggunakan rubber boat dilengkapi dengan alat snorkeling yaitu masker, snorkel, dan fins). Dari hasil survei pendahuluan di permukaan, ditentukan titik sampling di Kepulauan Krakatau dengan tiga titik sampling di Pulau Rakata, dan satu titik di Pulau Panjang. Masing-masing titik sampling tersebut ditandai dengan menggunakan GPS (Global Position System).

b. Alat dan Bahan

(26)

refraktometer untuk mengukur salinitas, pH meter untuk mengukur kadar pH perairan

sekitar penelitian, thermometer untuk mengukur suhu serta kamera bawah air untuk dokumentasi penelitian, alat tulis berupa sabak dan pensil, dan kantong plastik untuk masing-masing sampel.

c. Pengambilan Data

Pengambilan data untuk analisis terumbu karang dilakukan dengan menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT). Panjang transek garis (rol meter) yang digunakan 50 meter, dibentangkan sejajar garis pantai, pada kedalaman 5 dan 15 meter di titik sampling yang telah ditentukan dengan GPS. Mencatat panjang tutupan dan keanekaragaman jenis terumbu karang sesuai dengan pedoman yang telah baku dengan metode Life form, mengambil gambar dan video dengan kamera bawah air dan mengidentifikasi jenis terumbu karang hingga tingkat genus (Veron, 2000). Jika ada jenis terumbu karang yang belum diketahui maka akan diambil sebagian kecil fragmen karang untuk diidentifikasi di laboratorium untuk diamati septa terumbu karang di bawah mikroskop. Fragmen akan dimasukkan kedalam kantong-kantong yang telah dinomori berdasarkan urutan jarak dan sampling.

Pengambilan sampel foraminifera dengan sampel sedimen di setiap titik yang sama dengan pengambilan data terumbu karang pada kedalaman mengikuti kedalaman pengambilan LIT terumbu karang, kemudian sampel dimasukkan kedalam kantong yang telah diberi label. Selain itu sampel air, pH, salinitas, dan suhu sebagai data penunjang.

(27)

deskripsi dan identifikasi serta penempelan. Pencucian sampel dilakukan dengan air mengalir di atas saringan hingga bersih dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 30°C selama 2 jam. Sampel yang telah kering dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label untuk analisis lebih lanjut.

Tahap selanjutnya adalah pemisahan foraminifera dari sedimen yaitu

menyebarkan sampel yang telah dicuci pada cawan petri di bawah mikroskop secara merata. Foraminifera yang terdapat dalam sampel tersebut diambil dan disimpan. Kemudian dilakukan proses deskripsi dan identifikasi terhadap individu yang didapatkan dengan menggunakan metode berdasarkan Chapman (1902), Boltovskoy & Wright (1976), Buzas & Culver (1982). Kegiatan ini dilakukan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA Unila.

Tahap selanjutnya merupakan analisis kuantitatif untuk mendapatkan data kelimpahan (Natsir, 2010).

d. Pengolahan Data

Menghitung persentase tutupan terumbu karang dengan rumus :

PC = ��

X 100% Keterangan :

PC = Persen tutupan ni = Luas koloni karang n = Luas unit terumbu karang

Untuk menghitung FORAM Indeks dengan rumus: FI = (10×Ps) + (Po) + (2×Ph)

(28)

FI = FORAM Index Ps = Ns/ T

Ns = Jumlah individu yang mewakili foraminifera yang berasosiasi dengan terumbu karang: Amphistegina, Heterostegina, Alveolinella, Borelis, Sorites,

Amphisorus, Marginophora . Po = No/T

No = Jumlah individu yang mewakili foraminifera oportunis: Ammonia, Elphidium, beberapa marga dari suku Trochaminidae, Lituolidae, Bolivinidae, Buliminidae. Ph = Nh/T

Nh = Jumlah individu yang mewakili foraminifera kecil lain yang heterotrofik: beberapa marga dari Miliolida, Rotaliida, Textulariida dan lain-lain.

T = Jumlah seluruh individu foraminifera yang didapatkan dari sampel yang diuji.

Interpretasi nilai FORAM Indeks berdasarkan Hallock et al .(2003): FI > 4 = Lingkungan sangat kondusif untuk pertumbuhan terumbu karang 3 < FI ≤ 4 = Lingkungan peralihan

2 ≤ FI ≤ 3 = Lingkungan cukup untuk pertumbuhan terumbu karang, namun tidak cukup untuk pemulihan

[image:28.595.112.498.487.769.2]

FI < 2 =Lingkungan tidak layak untuk pertumbuhan terumbu karang

Tabel 2. Panduan Life form terumbu karang (UNEP, 1993)

No Kategori Singkatan Terjemahan

Biotik

1 Karang mati DC Dead Coral

2 Karang mati diselimuti alga DCA Dead Coral Algae Terlihat titik pertumbuhan

3 Karang bercabang ACB Acropora Branching

4 Karang menyebar ACE Acropora Encrusting

5 Karang submasif ACS Acropora Submassive

6 Karang menjari ACD Acropora Digitate

(29)

Tidak terlihat titik pertumbuhan

8 Karang bercabang CB Coral Branching

9 Karang menyebar CE Coral Encrusting

10 Karang submasif CS Coral Submassive

(30)

Tabel 2. Panduan Life form...(lanjutan)

12 Karang daun/bunga CF Coral Foliose

13 Karang jamur CMF Coral Mushroom

14 Karang api CME Coral millepora

15 Karang biru CHL Coral Heliopora

Biota lain

16 Karang lunak SC Soft Coral

17 Spongia SP Sponge

18 Zoantid ZO Zoantid

19 Lain-lain OT Others

Abiotik

25 Pasir S Sand

26 Serpihan karang R Rubble

27 Lempung SI Silt

28 Air WA Water

(31)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan yaitu:

1. Pada kedalaman 5 m kondisi terumbu karang di titik I dan II Pulau Rakata cukup baik dengan persentase tutupan karang masing-masing : 98% dan 56%. Sedangkan kondisi terumbu karang di titik III Pulau Rakata dikategorikan dalam keadaan sedang dengan persentase tutupan karang sebesar 38%. Selanjutnya kondisi terumbu karang di titik IV pulau Panjang dikategorikan dalam keadaan baik dengan persen tutupan karang sebesar 63% meski sebagian besar terumbu karang di titik ini rusak akibat bom. 2. Ditemukan 27 spesies terumbu karang yang terdiri dari : 7 famili Acroporidae, 4

famili Favidaei, 3 famili Fungiidae, 1 famili Ocullinidae, 2 famili Pocilloporidae, 1 famili Pectiniidae, dan 5 famili Poritiidae.

3. Kondisi terumbu karang di kedua titik penelitian (I dan IV) yaitu pada Pulau Rakata dan Pulau Panjang mendukung pertumbuhan yang ditunjukkan oleh Foram Indeks (7,1 dan 5,4).

B. Saran

(32)
(33)

Data Pribadi

Nama : Novriadi

Jenis kelamin : Laki-laki

Tempat, tanggal lahir : Teluk Betung, 2 November 1989

Kewarganegaraan : Indonesia

Nama Ayah : Ismail (ALM)

Nama Ibu : Sriyuna

Status perkawinan : Belum Menikah

Tinggi, berat badan : 170 cm, 55 kg

Agama : Islam

Alamat lengkap : Jl. Abdi Negara Bawah No. 26 Teluk Betung Bandar Lampung. 35214

Telepon, HP : 0896311332549

E-mail : novdewa@gmail.com

Pendidikan

» Formal

1994 - 2000 : SDN 1 Kupang Kota, Bandar Lampung

2000 - 2003 : SMP Negeri 17 Bandar Lampung

2003 - 2006 : SMU Negeri 4 Bandar Lampung

2008- 2013 : Program Sarjana (S-1) Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Lampung

» Non Formal

2006- 2007 : Kursus Komputer dandan desain grafis di Master Komputer, Bandar Lampung

(34)

Kemampuan

1. Mengendarai mobil

2. Kemampuan Menyelam dengan Lisensi POSSI A1

3. Kemampuan Komputer (MS Word, MS Excel, MS Power Point, MS Access, MS Outlook, Desain grafis).

4. Kemampuan Internet.

Pengalaman Organisasi:

a. Kepala Divisi Ekspedisi Himbio FMIPA Unila (2010) b. Sekretaris Umum Klub Selam Anemon Unila (2010) c. Ketua Umum Klub Selam Anemon Unila (2011)

d. Koordinator Wilayah Sumbagsel Forum Penyelam Mahasiswa Indonesia (2011) e. Pendiri Forum Penyelam Mahasiswa Lampung (2012)

Prestasi Akademis:

a. Juara Sumbagsel Olimpiade Nasional MIPA-Perguruan Tinggi (2011)

b. Juara Umum Provinsi pada Olimpiade Sains Nasional PERTAMINA Bidang Biologi (2011)

c. Menjadi Asisten praktikum biologi umum jurusan agribisnis unila (2010) d. Asisten Dosen Praktikum Struktur Perkembangan Hewan II (2011) e. Asisten Dosen Praktikum Herpetologi Unila (2011)

f. Asisten Dosen Praktikum Fisiologi Tumbuhan I (2011) g. Asisten Dosen Praktikum Fisiologi Hewan I (2012) h. Asisten Dosen Biologi laut Universitas Jambi (2012)

i. KKN tematik 2011 di Desa Notoharjo, Trimurjo, Lampung Tengah. j. Kerja Praktek 2012 di Taman Wisata Alam Wira Garden

k. Skripsi dan Penelitian di Cagar Alam Laut Krakatau dengan judul “ EVALUASI KOMUNITAS TERUMBU KARANG DI PERAIRAN CAGAR ALAM LAUT KRAKATAU” pada tahun 2012

Bandar Lampung, 13 Januari 2013

Gambar

Tabel 1.  Kategori dan persentase tutupan karang hidup, karang mati, karang lunak, pasir, dan kerikil (Dahl, 1981)
Gambar 1. Peta lokasi pengamatan di Pulau Rakata dan Pulau Panjang (http://www.krakatau.or.id/potensi.htm, 2012)
Tabel 2. Panduan Life form terumbu karang (UNEP, 1993)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan resin epoksi sebagai bahan adhesif yang memiliki karakteristik sifat mekanik dan kekuatan adhesif yang baik dan mampu

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan

(13) Apabila Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (12) berhalangan, maka SPPD ditandatangani oleh Kepala Bagian Umum pada Sekretariat DPRD,

Pemberitahuan Ringkasan Risalah Rapat Umum PemegarE Saham TahuMn Tahun Buku 2016.. Memberikan kuasa dan wewenang kepada Direksi Perseroan dengan hak subtitusi

selama jabatan anggota Direksi kosong dan Menteri belum mengisi jabatan anggota Direksi yang kosong sebagaimana dimaksud pada huruf a, Dewan Pengawas menunjuk salah seorang

Tujuan penelitian dengan judul Sentralisasi Otentikasi Pengguna dan Pengelolaan Sumber Daya Jaringan Komputer Politeknik Negeri Balikpapa Dengan Menggunakan Active

Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah grafik fungsi kuadrat berupa

Dengan kaedah menghadkan kerugian hanya pada 8% di bawah harga belian, kita dapat pastikan setiap kerugian itu adalah kerugian-kerugian kecil, yang tidak dapat menggugat usaha