• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN KRIMINALISASI IDEOLOGI DALAM RUU KUHP TAHUN 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEBIJAKAN KRIMINALISASI IDEOLOGI DALAM RUU KUHP TAHUN 2009"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

RUU KUHP TAHUN 2009 Oleh :

Chandra Permana Hadi

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada ideologi Pancasila. Ideologi ini merupakan ideologi yang telah disepakati bersama oleh para founding fathers dan semua elemen bangsa, sehingga tidak boleh dirubah-rubah. Negara sebagai perannya melindungi kebebasan warganya untuk menganut ideologi, negara dapat mengkriminalisasi tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama ideologi. Larangan mesti diarahkan pada implementasi suatu ideologi yang mengganggu orang lain dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian faham atau ideologi apapun layaknya mendapat tempat dan kesempatan yang sama untuk berkembang di Indonesia kecuali ideologi kekerasan. Adapun tujuan serta permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini antara lain meliputi : a) Kebijakan kriminalisasi kejahatan ideologi dalam RUU KUHP tentang ideologi. b) Upaya penanggulangan kejahatan terhadap ideologi.

Prosedur pengumpulan data untuk data primer dilakukan melalui wawancara kepada responden. Sedangkan, untuk data sekunder melalui studi kepustakaan dengan mempelajari bahan-bahan bacaan yang berkaitan dengan penulisan skripsi dan permasalahan yang dibahas. Kemudian mengklasifikasikan data yang sejenis, sedangkan analisis data yang dilakukan kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan data yang dihasilkan dalam bentuk uraian dan penjelasan-penjelasan.

(2)

Chandra Permana Hadi society. Keterpaduan antara individual responsibility dan functional responsibility, dan pembenahan kualitas aparat penegak hukum baik segi kualitas (intelektualisasi) maupun kuantitas (jumlah).

(3)

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, serta menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Pembangunan nasional di bidang hukum ditujukan agar masyarakat memperoleh kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan serta memberikan rasa aman dan tentram,sedangkan paham yang dianut bangsa Indonesia sendiri yaitu merupakan cerminan dari setiap nilai yang terkandung dalam ideologi pancasila.

(4)

2

ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan untuk usaha bersama dan kekeluargaan, melainkan kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan untuk warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya (Jimly Asshiddiqie,1994:23)

Negara sebagai melindung kebebasan warganya untuk menganut ideologi, negara dapat mengkriminalisasi tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama ideologi. Larangan mesti diarahkan pada implementasi suatu ideologi yang mengganggu orang lain dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian faham atau ideologi apapun layaknya mendapat tempat dan kesempatan yang sama untuk berkembang di Indonesia kecuali ideologi kekerasan. Ideologi kekerasan mewujud dalam tindakan anti pluralitas, anti dialog, cenderung menguasai dan memonopoli kebenaran. Tindak kekerasan inilah yang kemudian dibungkus dengan simboli deologi maupun agama tertentu (Jimly Asshiddiqie,1994:11)

(5)

Pertanyaan tentang kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada. (Barda Nawawi Arief,2005 : 126).

Persoalan kriminalisasi timbul karena terdapat perbuatan yang berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut

Negara sampai saat ini masih memihak pada ideologi tertentu dan menolak ideologi lain. Beberapa idiologi dilarang dinegara ini sebagai contoh Idiologi Komunis dan beberpapa idiologi yang menganut aliran agama garis keras. Sedangkan keberpihakan negara kepada idiologi tertentu dapat dilihat dari sistem yang di anut atau yang diterapkan oleh negara, misal terhadap ideologi kapitalis dapat ditelusuri pada beberapa kebijakan model pembangunan yang pro-modal seperti Undang-Undang Sumberdaya Air, Undang-Undang Tenaga Kerja, Undang-Undang Penanaman Modal dan lain-lain. Sementara Penolakan atas ideologi komunis tersebar di beberapa undang-undang seperti Tap MPRS XXV/1966, Tap MPR V/2003, Undang No 27 Tahun 1999, Undang-Undang Partai politik, Undang-Undang-Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang-Undang-Undang Organisasi masyarakat,Kitab Undang Undang Hukum Pidana dan sebagainya.(Jimly Asshiddiqie,2005:24)

(6)

4

“Setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan/atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.”

Menurut penjelasannya larangan ini ditujukan terhadap semua paham atau ajaran Karl Mark yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang diajarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, dan lain-lain (Jimly Asshiddiqie,2005:30).

Sebagai contoh yang pernah terjadi di Indonesia suatu partai yang berhaluan komunis Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia yang berideologi komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada Tahun 1926, mendalangi pemberontakan PKI Madiun pada Tahun 1948 dan dicap oleh rezim Orde Baru ikut mendalangi insiden G30S PKI pada Tahun 1965. Namun tuduhan dalang PKI dalam pemberontakan Tahun 1965 tidak pernah terbukti secara tuntas, dan masih dipertanyakan seberapa jauh kebenaran tuduhan bahwa pemberontakan itu didalangi PKI. Hal ini masih diperdebatkan oleh golongan liberal, mantan anggota PKI dan beberapa orang yang lolos dari pembantaian anti PKI. Setidaknya lebih dari lima teori berusaha mengungkap kejadian tersebut. Namun teori-teori yang terkadang saling berlawanan menjadikanya diskusi besar sampai hari ini dan belum juga menemukan titik terang.

(7)

prinsip dari pancasila kita yang lebih mengutamakan kemajemukan dalam masyarakat (www.Kompas.com).

PKI sebagai paham yang memegang teguh komunisme dan extrimisme adalah sebuah paham yang tempatnya berada dalam hati atau pikiran seseorang, sehingga sangat sulit diukur dan tidak akan mungkin bisa dihadapi dengan hukuman-hukuman fisik (memakai pendekatan penal). Dengan kata lain, kriminalisasi terhadap paham tersebut tidak akan mungkin efektif untuk meredamnya. Apabila dilihat maka tidaklah adil untuk mendiskriminasikan dan menilai bahwa keturunan atau keluarga seorang yang menganut paham tertentu yang dianggap idiologi terlarang ikut terlibat dan meyakini idiologi yang sama, hal ini terjadi selama masa orde baru, seperti keluarga eks PKI yang dilarang untuk memilih atau dipilih pada pemilihan umum. Barulah pada zaman pemerintahan Presiden RI ke 4 Abdurahman Wahid dan hasil dari usulannyalah hal ini tidak dipersoalkan lagi, namun dari hasil penafsiran yang terus dikaji mengenai masalah pemilihan umum masih banyak kasus yang sampai saat ini patut dipertanyakan,, antara lain seperti pemilihan umum bagi mantan serta anggota keluarga PKI yang tak memiliki hak dalam pemilihan umum.

(8)

6

Indonesia yang lebih demokratis dan berkeadilan. Terlepas dari tetap berlakunya Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 j.o. Tap MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR, orang-perorang bekas anggota PKI dan ormas di bawahnya harus diperlakukan sama dengan warga negara lainnya tanpa diskriminasi.

Mengacu pada pemahaman Konstitusi sebagaimana dirumuskan MK, bahwa tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga negara, maka Rumusan Pasal 212-213 RUU KUHP tentang kriminalisasi terhadap ideologi negara harus dihapus

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik mengadakan penelitian dengan bentuk skripsi yang berjudul “Kebijakan Kriminalisasi Ideologi dalam RUU KUHP Tahun 2009

B. Permasalahan dan Ruang lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah penulis kemukakan diatas atau pada halaman sebelumnya, maka masalah yang diangkat atau diajukan dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Bagaimanakah kebijakan kriminalisasi kejahatan ideologi dalam RUU KUHP tahun 2009 tentang ideologi?

(9)

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup pembahasan masalah skripsi ini dikaji dari aspek kebijakan kriminal dan dibatasi pada kebijakan kriminalisasi kejahatan ideologi dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 serta dalam RUU KUHP Tahun 2009, baik secara “Penal” maupun secara “Non-penal”. Sedangkan ruang lingkup bidang ilmu berkaitan dengan hukum pidana dan pemidanaan, Serta apa saja faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam kriminalisasi kejahatan ideologi dalam undang undang tindak pidana terhadap keamanan Negara, penelitian ini akan dilakukan pada studi kasus berdasarkan kasus dengan lingkup penelitian diwilayah hukum Bandar Lampung antara lain Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Poltabes Bandar lampung, Kejaksaan Negeri Bandar lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui kebijakan kriminalisasi yang dalam penanggulangan kejahatan idiologi dalam RUU KUHP tahun 2009 tentang ideologi.

b. Untuk mengetahui upaya penanggulangan kejahatan terhadap ideologi.

2. Kegunaan Penelitian

(10)

8

a. Secara teoritis kegunaan penulisan skripsi ini digunakan untuk menambah pengetahuan dalam pengkajian ilmu hukum dan memberikan sumbang pemikiran bagi khasanah ilmu hukum mengenai kebijakan kriminalisasi kejahatan ideologi terhadap keamanan Negara.

b. Secara praktis kegunaan penulisan skripsi ini diharapkan berguna untuk memberikan sumbang saran dan pemikiran pada penegakan hukum khususnya serta mencari kebijakan/upaya hukum dalam penanggulangan tindak pidana tersebut agar tidak terjadi kembali.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenar-benarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relavan untuk penelitian (Soerjono Soekanto, 1984 : 123).

Setiap penelitian itu akan ada suatu kerangka teoritis yang menjadi acuan dan bertujuan untuk mengidentifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 125).

(11)

Kriminalisasi diartikan sebagai ”proses yg memperlihatkan perilaku yg semula

tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sbg peristiwa pidana oleh masyarakat” objek dari sebuah proses kriminalisasi bukanlah orang maupun lembaga tertentu, melainkan sebuah perbuatan.

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Kebijakan kriminal terhadap kejahatan ideologi tidak hanya berfokus pada yuridis normatif semata, melainkan perlu kebijakan yang integral komprehensif dari berbagai kondisi sosial lainnya. Jadi pada hakekatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” (penal policy), khususnya kebijakan formulasinya juga adanya kebijakan politik kriminal. Hal ini demi kebijakan penegakkan hukum atau “Law enforcement” (Barda Nawawi Arief,2005 : 126).

pengertian tindak pidana maupun strafbaar feit menurut Simons, strafbaar feit adalah:

“Kelakuan atau handeling yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab”

(12)

10

Upaya dalam penanggulangan dari kejahatan ideologi setidaknya harus memenuhi beberapa unsur tindak pidana, Moeljatno merumuskan unsur-unsur perbuatan pidana atau tindak pidana sebagai berikut :

1. Perbuatan (manusia).

2. Memenuhi rumusan UU (merupakan syarat formil : sebagai konsekuensi adanya asas legalitas).

3. Bersifat melawan hukum (merupakan syarat materiil : perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tak patut karena bertentangan dengan tata pergaulan di masyarakat).

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti, baik dalam penelitian hukum normatif maupun empiris. Biasanya telah merumuskan dalam definisi-definisi tertentu atau telah menjalankan lebih lanjut dari konsep tertentu (Sanusi Husin, 1991 : 9).

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah (Soerjono Soekanto, 1986 : 32).

(13)

kesatuan pemahaman, maka akan dijelaskan beberapa istilah yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

a. Analisis adalah suatu proses berfikir manusia tentang sesuatu kejadian atau pristiwa untuk memberikan suatu jawaban atas kejadian atau pristiwa tersebut. (Soerjono Soekanto, 1986 : 125).

b. Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Kebijakan kriminal terhadap kejahatan ideologi tidak hanya berfokus pada yuridis normatif semata, melainkan perlu kebijakan yang integral komprehensif dari berbagai kondisi sosial lainnya. Jadi pada hakekatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” (penal policy), khususnya kebijakan formulasinya juga adanya kebijakan politik kriminal. Hal ini demi kebijakan penegakkan hukum atau “Law enforcement” (Barda Nawawi Arief,2005 : 126).

c. Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah seperti yang terwujudin-abstractodalam peraturan pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara konkret (Tri Andrisman, 2006: 7). d. Ideologi adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu

(14)

12

netral tersebut ditemukan wujudnya dalam ideologi negara atau ideologi bangsa. Hal ini sesuai dengan pembahasan Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia.(Jimly Asshiddiqie,1994:1).

e. Kejahatan Idiologi adalah paham yang Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dari atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda (Undang-undang 27 tahun 1999).

E. Sistematika Penulisan

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisikan pendahuluan yang memuat dan menguraikan tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

(15)

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat dan membahas tentang metode penelitian yang meliputi pendekatan masalah, langkah-langkah dalam penelitian, sumber dan jenis data yang digunakan, penentuan populasi dan sampel, pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat hasil penelitian dan pembahasan yang dianggap sebagai jantung dari penulisan skripsi, karena pada bab ini akan dibahas permasalahan-permasalahan yang ada, yaitu ; mengenai analisis atas kebijakan kriminalisasi Tindak Pidana Terhadap ideologi dan Keamanan Negara dalam Undang-Undang nomor 27 tahun 1999, baik kebijakan kriminal yang menggunakan sarana penal maupun non – penal, identitas responden, serta hal lain yang mempengaruhi dan menjadi landasan hukumnya.

V. PENUTUP

(16)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pada penelitian ini penulis melakukan dua pendekatan yaitu : 1. Pendekatan yuridis normatif

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang penulis lakukan dalam bentuk usaha mencari kebenaran dengan melihat asas-asas yang terdapat dalam berbagai peraturan undang-undang yang berhubungan atau ada kaitanya dengan kebijakan idiologi dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999.

2. Pendekatan yuridis empiris

(17)

Penggunaan kedua macam pendekatan tersebut dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian guna penulisan skripsi ini.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data penelitian ini berasal dari data lapangan dan data kepustakaan. Sedangkan jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh penulis dari hasil studi dan penelitian di lapangan. Data primer ini didapat dari analisis kasus penanggulangan kejahatan melalui penerapan teknologi dan informasi yang terjadi. Data primer ini akan diambil dari hasil wawancara yang dilakukan kepada Anggota Kepolisian Polda Lampung, dan Dosen hukum pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung untuk mencari masukan-masukan, atau saran, dan tanggapan tersebut.

2. Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka (Soerjono Soekanto, 1984 : 52), terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, antara lain :

(1). Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

(2). Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). (3). Undang Undang Terhadap Keamanan Negara.

(18)

34

c. Bahan Hukum Tersier, seperti kamus-kamus yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Penentuan Populasi dan

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga (Masri Singarimbun, 1987: 152). Menurut (Hadari Nawawi, 1987: 141) Populasi adalah jumlah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai test atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik didalam suatu penelitian. Untuk penulisan skripsi ini penulis mengambil populasi penelitian yang ada kaitannya dengan masalah-masalah yang dibahas. Adapun populasi dalam penelitian ini Kepolisian, Pengadilan, kejaksaan, dan Dosen hukum pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Penentuan Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu (Hadari Nawawi, 1987: 141).

(19)

a. Kanit Reskrim Kepolisian Kota Besar Lampung : 1 orang b. Hakim Pengadilan Negeri Lampung Kelas I : 1 orang c. Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung : 1 orang

d. Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 orang +

Jumlah : 4 orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Dalam memperoleh data yang diperlukan dalam penyusunan Skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan

untuk memperoleh data sekunder, penulis lakukan dengan cara membaca, mencatat atau mengutip dari perundang-undangan yang berlaku serta literatur-literatur dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan Kejahatan ideologi dan keamanan negara.

b. Studi Lapangan

untuk memperoleh data primer, studi lapangan ditempuh dengan cara malakukan wawancara untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang permasalahan yang penulis kaji. Wawancara ditujukan kepada Polisi,dan Dosen.

2. Metode Pengolahan Data

(20)

36

a. Seleksi Data

seleksi data dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperlukan sudah mancakup atau belum dan data tersebut berhubungan atau tidak berhubungan dengan pokok permasalahan yang dibahas.

b. Klasifikasi Data

klasifikasi data yang telah diperoleh disusun menurut klasifikasi yang telah ditentukan.

c. Penyusunan Data

penyusunan data dimaksudkan untuk mendapatkan data dalam susunan yang sistematis dan logis serta berdasarkan kerangka pikir. Dalam tiap tahap ini data dapat dimasukan ke dalam tabel apabila diperlukan.

E. Analisis Data

(21)

A. Pengertian Kebijakan Kriminal (Criminal Policy)

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Kebijakan kriminal terhadap kejahatan ideologi tidak hanya berfokus pada yuridis normatif semata, melainkan perlu kebijakan yang integral komprehensif dari berbagai kondisi sosial lainnya. Jadi pada hakekatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” (penal policy), khususnya kebijakan formulasinya juga adanya kebijakan politik kriminal. Hal ini demi kebijakan penegakkan hukum atau “Law enforcement” (Barda Nawawi Arief,2005 : 126).

(22)

15

pembangunan nasional yang berkaitan dengan pembangunan hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri lagi, adapun pembangunan merupakan suatu proses yang berkelanjutan (Continuance) menuju kearah perubahan yang lebih baik, serta terencana untuk mencapai tujuan tersebut. Adapun mengenai pembangunan tersebut, dikuatkan oleh pendapat Saul M. Katz yang ditulis kembali oleh Kadri Husin, menyebutkan bahwa pembangunan adalah perubahan dari suatu keadaan serta tingkat kondisi kemasyarakatan sebagaimana yang diinginkan untuk menjadi yang lebih baik dibidang sosial (Kadri Husin, 1999 : 1).

Pemahaman mengenai pembangunan hukum, bahwa pembangunan hukum itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, oleh karena pembangunan hukum ikut menentukan pembangunan nasional. Apabila dilihat dari eksistensinya, hukum merupakan instrumen dalam memelihara pembangunan/kehidupan yang tertib, aman, dan adil.

(23)

Dilihat dari segi karakteristik/fungsinya, maka hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itupula harus bersendikan pada keadilan, maka dapat dikatakan bahwa hukum itu bekerja dengan cara melingkupi perbuatan seseorang atau hubungan antar orang-orang dalam masyarakat, untuk tujuan tersebut maka hukum menjalankan fungsinya :

1. Definisi hukum menurut para sarjana: perbuatan norma-norma, baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antar orang dengan orang;

2. Penyelesaian sengketa-sengketa;

3. Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi perubahan-perubahan. Dalam hal proses perubahan menuju kemajuan, maka hukum mempunyai fungsi:

a. Sarana kontrol sosial.

b. Sarana untuk melakukan ”social engineering” atau rekayasa sosial. ( Kadri Husin, 1999 : 4)

(24)

17

Berbicara mengenai kebijakan kriminal atau politik kriminal sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudarto yang dikutif oleh Barda Nawawi Arief mengatakan, bahwa upaya menanggulangi kejahatan disebut politik kriminal (criminal policy) yang berarti suatu usaha rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan atau tindak pidana. Adapun mengenai kebijakan kriminal itu, Sudarto juga mengemukakan 3 (tiga) arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu:

1. dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

2. dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;

3. dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

(Barda Nawawi Arief, 2002 : 1)

Upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan dapat juga diartikan politik kriminal sebagai ”pengaturan atau penyusunan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat” dan tidak terlepas dari kebijakan yang

lebih luas, yaitu kebijakan sosial (Barda Nawawi Arief, 2001 : 73).

(25)

tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu dengan menunjang tujuan (goal) ”social welfare” dan ”social defence” (lihat skema berikut ini).

Bagan Skema Politikkriminal

Social welfare policy

Social policy GOAL

SW/SD

Social defence policy

- Formulasi Penal - Aplikasi Criminal policy - Eksekusi

Non-penal (Barda Nawawi Arief, 2001 : 74)

(26)

19

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau penegakan hukum secara politik kriminal dapat meliputi ruang lingkup yang luas, sebagaimana teori G. Peter Hoefnagels yang dituliskan dan digambarkan kembali oleh Barda Nawawi Arief mengenai ”criminal policy”, dengan skema dibawah ini:

menurut teori G. Peter Hoefnagels, upaya penanggulangan kriminal dapat ditempuh dengan:

1. Penerapan hukum pidana (criminal law application); 2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);

3. Pengaruhi pandangan masyarakat tentang kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media).

(Barda Nawawi Arief, 2002 : 42)

Memperhatikan tujuan-tujuan tersebut, maka wajarlah apabila politik kriminal merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat yang sejahtera dan perlindungan masyarakat sebagai perwujudan pembangunan manusia seutuhnya.

(27)

1. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

Marc Ancel menyatakan, bahwa “modern criminal science” terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu; “criminology”, “criminal law”, “penal policy”. Marc Ancel juga pernah mengemukakan mengenai kebijakan hukum pidana “penal policy” sebagaimana yang dikutif oleh Barda Nawawi Arief, bahwa “penal policy”adalah suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan (Barda Nawawi Arief, 2002 : 21).

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto yang dikutif oleh Barda Nawawi Arief, politik hukum, adalah:

1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

(28)

21

itu mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.

Menurut A. Mulder yang dikutif oleh Barda Nawawi Arief, kebijakan hukum pidana ialah kebijakan untuk menentukan:

1. seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;

2. apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

3. cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

Berdasarkan uraian di atas dapatlah ditegaskan, bahwa pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy) dan kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) juga menentukan masalah perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

(29)

dimana penegakan hukum pidana tidak dapat dilakukan sepenuhnya). Penegakan hukum kedua, yaitu ”full enforcement” (penegakan hukum secara penuh) dalam ruang lingkup dimana penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal. Hal ini dianggap ”not a realistic expectation”, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukan ”discreation” dan yang ”actual enforcement” (Barda Nawawi Arief, 2002 : 26).

Berdasarkan teori Yoseph Goldstein di atas serta kaitannya dengan kebijakan penegakan hukum atau penaggulangan terhadap tindak pidana yang dilakukan dalam keadaan bencana dapat mengarah kepada ”actual enforcement”, yaitu merupakan area yang dapat ditegakkan oleh hukum pidana. Penegakan hukum atau penanggulangan secara ”actual enforcement” melihat pada kenyataanya bahwa peristiwa itu melibatkan aparat penegak hukum dalam hal penegakan hukum maupun penanggulangan terhadap kejahatan atau tindak pidana itu.

2. Upaya Non-Penal dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan

(30)

23

makro dan global, maka upaya non-penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.

Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat menjadi faktor kondusif timbulnya kejahatan tidak dapat diatasi semata-mata dengan upaya penal, karena keterbatasan upaya penal disinilah harus ditunjang dengan adanya upaya non-penal untuk mengatasi masalah-masalah sosial maupun masalah kesehatan jiwa masyarakat yang dapat menimbulkan kejahatan.

Penanggulangan kejahatan menggunakan upaya non-penal perlu digali, dikembangkan dan memanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk mengefektifkan dan mengembangkan “extra-legal system” atau “informal and traditional system” yang ada dalam masyarakat. Selain upaya penal juga dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya penal itu digali dari berbagai sumber lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif.

(31)

Berdasarkan beberapa pendapat dan hasil pemaparan di atas mengenai upaya non-penal dalam kebijakan penanggulangan kejahatan di atas, cukup beralasan kiranya untuk terus-menerus menggali, memanfaatkan dan mengembangkan upaya-upaya non-penal untuk mengimbangi kekurangan dan keterbatasan sarana penal.

Secara konsepsional, inti dan arti kebijakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaedah-kaedah yang mantap dan mengejawantahkan dalam sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soerjono Soekanto, 1986 : 30).

Penegakan hukum dan politik kriminal dalam penanggulangan kejahatan atau tindak pidana, sebagai upaya membuat hukum dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja serta terwujud secara konkret. Bertolak dari pengertian yang demikian, maka fungsionalisasi atau proses penegakan hukum umumnya melibatkan minimal tiga faktor yang saling berkaitan/terkait. Adapun tiga faktor tersebut, yaitu faktor perundang-undangan, faktor ini dapat dikaitkan dengan pembagian tiga komponen sistem hukum, yaitu aspek substantif (legal), aspek struktur (legal structure), aspek budaya hukum (legal culture), maka suatu kebijakan hukum sangat dipengaruhi oleh faktor tersebut (Barda Nawawi Arief, 2001 : 4).

B. Pengertian Idiologi Menurut Undang Undang Keamanan Negara

(32)

25

kesadaran palsu biasanya dipergunakan oleh kalangan filosof dan ilmuwan sosial. Ideologi adalah teori-teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya. Ideologi juga dilihat sebagai sarana kelas atau kelompok sosial tertentu yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.

Arti kedua adalah ideologi dalam arti netral. Dalam hal ini ideologi adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini terutama ditemukan dalam negara-negara yang menganggap penting adanya suatu “ideologi negara”. Disebut dalam arti

netral karena baik buruknya tergantung kepada isi ideologi tersebut.

Arti ketiga, ideologi sebagai keyakinan yang tidak ilmiah, biasanya digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Segala pemikiran yang tidak dapat dibuktikan secara logis-matematis atau empiris adalah suatu ideologi. Segala masalah etis dan moral, asumsi-asumsi normatif, dan pemikiran-pemikiran metafisis termasuk dalam wilayah ideologi. Dari tiga arti kata ideologi tersebut, yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah ideologi dalam arti netral, yaitu sebagai sistem berpikir dan tata nilai dari suatu kelompok. Ideologi dalam arti netral tersebut ditemukan wujudnya dalam ideologi negara atau ideologi bangsa. Hal ini sesuai dengan pembahasan Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia (Jimly Asshiddiqie,1994:1).

(33)

politik dan sosial, yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang lain. Isinya dogmatis dan apriori sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial. Karena itu ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia atau nilai-nilai lain.

Salah satu ciri khas suatu ideologi tertutup adalah tidak hanya menentukan kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga menentukan hal-hal yang bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup tidak mengakui hak masing-masing orang untuk memiliki keyakinan dan pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve.Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak bersumber dari masyarakat, melainkan dari pikiran elit yang harus dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya, baik-buruknya pandangan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai tidaknya dengan ideologi tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara yang totaliter.

(34)

27

berbangsa dan bernegara. Ideologi Marxisme-Leninisme meliputi ajaran dan paham tentang

a. Hakikat realitas alam berupa ajaran materialisme dialektis dan ateisme; b. Ajaran makna sejarah sebagai materialisme historis;

c. Norma-norma bagaimana masyarakat harus ditata, bahkan tentang bagaimana individu harus hidup; dan

d. Legitimasi monopoli kekuasaan oleh sekelompok orang atas nama kaum proletar.

Tipe kedua adalah ideologi terbuka. Ideologi terbuka hanya berisi orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma sosial-politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat. Operasional cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis. Dengan sendirinya ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi kekuasaan sekelompok orang. Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada dalam sistem yang demokratis.

(35)

usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya.

Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya. .(Jimly Asshiddiqie,2005:1).

C. Pengertian tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara

Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah seperti yang terwujudin-abstractodalam peraturan pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara konkret (Heni Siswanto, 2005: 35).

(36)

berbeda-29

beda. Adapun beberapa pengertian dari para sarjana hukum mengenai tindak pidana, yaitu sebagai berikut :

a. Van Hamel

Tindak pidana adalah ”kelakuaan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan”.

b. Simons

Tindak pidana ialah ”kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab”.

c. Wirjono Prodjodikoro

Tindak pidana adalah ”suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan

hukuman pidana”.

d. Moeljatno

Perbuatan pidana (tindak pidana – pen) adalah ”perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.

e. Pompe

Memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu:

(37)

2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

(Tri Andrisman, 2006 : 53-54)

Berdasarkan pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar diatas, dapat diketahui bahwa pada tataran teoritis tidak adanya kesatuan pendapat diantara para pakar hukum dalam memberikan definisi tentang tindak pidana. Dalam memberikan definisi mengenai pengertian tindak pidana terlihat terbagi dalam 2 (dua) pandangan/aliran, baik Aliran Monistis maupun Aliran Dualistis yang saling bertolak belakang.

Berbicara mengenai tindak pidana tidak hanya berbicara mengenai istilah atau pengertian tindak pidana saja, melainkan juga berbicara mengenai unsur-unsur tindak pidana. Adapun unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar itu pun terdapat perbedaan pandangan, baik dari Pandangan/AliranMonistis dan Pandangan/AliranDualistis.

Menurut Aliran Monistis, apabila ada orang yang melakukan tindak pidana maka sudah dapat dipidana. Sedangkan Aliran Dualistis dalam memberikan pengertian tindak pidana memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sehingga berpengaruh dalam merumuskan unsur-unsur tindak pidana.

Menurut pakar hukum Simon, seorang penganut Aliran Monistis dalam merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:

(38)

31

2. Diancam dengan pidana; 3. Melawan hukum;

4. Dilakukan dengan kesalahan;

5. Orang yang mampu bertanggungjawab. (Sudarto dalam Tri Andrisman, 2006 : 55)

Sedangkan menurut pakar hukum Moeljatno, seorang penganut Aliran Dualistis merumuskan unsur-unsur perbuatan pidana/tindak pidana sebagai berikut:

1. Perbuatan (manusia);

2. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil); 3. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materil).

(Sudarto dalam Tri Andrisman, 2006 : 56)

Mengenai unsur-unsur tindak pidana (pemidanaan), pendapat Sudarto yang dikutif oleh Heni Siswanto juga mengemukakan suatu pendapat mengenai hal itu yang digambarkan dalam suatu skema, (lihat skema dibawah/dihalaman selanjutnya):

Syarat pemidanaan Pidana

Perbuatan Orang

1. memenuhi rumusan UU 3.

kesalahan/pertang-2. bersifat melawan hukum gungjawaban

(tidak ada alasan pembenar) a. Mampu bertang-gungjawab b.dolusatauculpa

(39)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dibuat kesimpulan sebagai berikut :

1) Kebijakan kriminalisasi kejahatan ideologi dalam RUU KUHP Tahun 2009 dirumuskan tanpa menyebutkan kulifikasinya. Secara garis besar terdapat dua macam ketentuan berkaitan dengan ideologi negara dalam Pasal 212,213,214 yaitu: kebijakan kriminalisasi larangan terhadap ajaran komunisme/Marxisme-leninisme dan tindak pidana menyatakan keinginan meniadakan atau mengganti dasar negara Pancasila hanya sebatas pada manifesto dari paham tersebut bukan pada keyakinan dan ideologi semata.

(40)

62

kualitas aparat penegak hukum baik segi kualitas (intelektualisasi) maupun kuantitas (jumlah).

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan mengenai permasalahan yang sedang dibahas mengenai Kebijakan Kriminalisasi Ideologi dalam RUU KUHP Tahun 2009 antara lain :

1. Perlu diadakan perubahan dan penyempurnaan atas beberapa pasal-pasal yang ada dalam RUU KUHP, agar bisa memberikan kepastian hukum. Terutama sekali mengenai definisi dan batasan terhadap kejahatan terhadap ideologi dalam segala bentuk dan perwujudannya. Sehingga, nantinya UU ini diharapkan bisa meng-cover kepentingan melindungi ideologi bangsa, tapi juga tidak mudah disalah gunakan oleh penguasa.

(41)

Oleh:

Chandra Permana Hadi

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapi Gelar Sarjana Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(42)

KEBIJAKAN KRIMINALISASI IDEOLOGI DALAM RUU KUHP TAHUN 2009

(Skripsi)

Oleh:

CHANDRA PERMANA HADI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(43)

Halaman

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 8

E. Sistematika Penulisan ... 12

II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kebijakan Kriminalisasi... 13

1. Kebijakan Hukum Pidana ... 19

2. Upaya Penal dan Non Penal dalam Kebijakan Penanggulangan... .. 22

B. Pengertian Idiologi Menurut Undang Undang Keamanan Negara ... 24

C. Pengertian tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara ... 28

III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 32

B. Sumber dan Jenis Data ... 33

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 34

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 35

E. Analisis Data ... 36

(44)

B. Kebijakan kriminalisasi kejahatan ideologi………... ………. 38 C. Upaya penanggulangan kejahatan terhadap ideologi ... 54 DAFTAR PUSTAKA

V PENUTUP

(45)

Arief, Barda Nawawi. 2005. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana.Citra Aditya Bakti: Bandung.

Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.Citra Aditya Bakti: Bandung.

---. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Asshiddiqie, Jimly. 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan

Pelaksanaanya di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Hamzah, Andi. 2005.KUHP dan KUHAP.Rineka Cipta: Jakarta.

Husin, Kadri. 1999. Diskresi Dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Husin, Sanusi. 1991. Penuntun Praktis Penulisan Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Muladi & Barda Nawawi Arief, 1992.Teori-teori dan Kebijakan Pidana,Alumni, Bandung.

Nawawi, Hadari. 1987.Metode Penelitian Bidang Sosial.Universitas Gajdah Mada. Pers. Yogyakarta.

Rasjidi, Lili . 2004.Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum,Citra Adytia Bakti, Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum.Universitas Indonesia Press: Jakarta.

---. 1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat. Rajawali: Jakarta.

(46)

Universitas Lampung. 2005. Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Undang-Undang 27 tahun 1999 tentang perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Keamanan Negara

(47)

Nama Mahasiswa :Chandra Permana Hadi

No. Pokok Mahasiswa : 0542011074

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. Maya Shafira, S.H., M.H.

NIP 19620817 1987 032003 NIP 19770601 2005 012002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(48)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H.

...

Sekretaris/Anggota :Maya Shafira, S.H., M.H.

...

Penguji Utama :Gunawan Djatmiko, S.H., M.H.

...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H. M.S. NIP 19621109 198703 1 003

(49)

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan ALLAH kepadamu (kebahagiaan)

negeri akhirat dan jaganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatanmu)

duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana ALLAH telah

berbuat baik kepadamu

(QS. AL Qashash : 77)

Terobos Harimu dengan segala keterbatasan serta Kegagalan, Dan tersenyumlah diakhir setiap usaha

(50)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 13 Juni 1987, yang merupakan anak ketiga dari Tujuh bersaudara pasangan Bapak Hadi Suhendro dan Ibu Sulistina Yuliantini.

Penulis menyelesaikan pendidikan dimulai dari Taman Kanak-kanak di TK Al muhajirin tahun 1992, pendidikan dasar di SD Negeri 1 Semuli Jaya Lampung Utara pada tahun 1999, pendidikan lanjutan di SMP Negeri 1 Abung Semuli pada tahun 2002, dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Abung Semuli pada tahun 2005.

Pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru dan kemudian mengambil minat pada bagian Hukum Pidana.

(51)

Alhamdulillahirobbil’alamin. Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Kebijakan Kriminalisasi Ideologi Dalam Ruu Kuhp Tahun 2009”. Skripsi ini disusun guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Melalui skripsi ini peneliti banyak belajar sekaligus memperoleh ilmu dan pengalaman yang belum pernah diperoleh sebelumnya dan diharapkan ilmu dan pengalaman tersebut kelak dapat bermanfaat di masa yang akan datang.

Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak, dan segala sesuatu dalam penulisan skripsi ini jauh dari sempurna mengingat keterbatasan kemampuan Penulis. Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

(52)

4. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H., Pembimbing II yang senantiasa memberikan saran dan masukan, serta atas kesabarannya dalam membimbing Penulis selama penulisan skripsi ini;

5. Bapak Gunawan Djatmiko, S.H., M.H Pembahas I yang telah banyak memberikan saran dan masukan untuk kebaikan penulisan skripsi ini;

6. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H., Pembahas II yang telah memberikan masukan dan saran untuk kebaikan penulisan skripsi ini;

7. Bapak Abdul Mutholib Tahar, S.H., M.H., Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasehat dan bantuannya selama proses pendidikan;

8. Seluruh dosen, staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama proses pendidikan dan atas bantuannya selama ini;

9. Mbak Sri, Mbak Yanti, Pak Tarno, Babe Narto terima kasih atas bantuannya selama ini;

10. Seluruh responden yang telah bersedia memberikan info dan masukan sehingga skripsi ini bisa di selesaikan oleh Penulis dengan baik;

11. Ayah dan Ibu tercinta, atas doa, pengorbanan serta dukungan dan kasih sayang tak henti-henti yang membuat Penulis selalu bersemangat memberikan yang terbaik bagi masa depan;

12. Istriku tercinta Azizah Gita Sanusi dan Anakku tersayang Asraf Faqih Hafuza serta adikku Luthfi Indra Kurniawan, atas motivasi, dukungan dan semangat yang diberikan;

(53)

tetap semangat kawan semoga kita semua bisa sukses kedepannya.

Penulis berdoa semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua dan di bidang hukum demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Bandar Lampung, 22 Mei 2012 Penulis

Referensi

Dokumen terkait

Menu unit usaha jabon dapat memberikan informasi potensi kayu hasil budidaya jabon yang akan dikembangkan oleh KPH serta informasi volume kayu yang dapat dipanen sesuai

Namun pada kenyataannya perusahaan leasing termasuk FIF Finance kota Palangka Raya, demi alasan keamanan perusahaan dan perjanjian kontrak, FIF Finance melakukan

Berdasarkan hasil penelitian, telah dilakukan identifikasi tingkat kepentingan penumpang terkait dengan pengembangan digitalisasi fasilitas dalam peningkatan passanger

Pada penelitian ini akan dilakukan penganalisaan dan pemodelan objek yang abnormal pada video digital dengan metode Spektral Residual, yaitu dengan menganalisa

kendaraan yang menyebabkan terjadinya kemacetan pada jalan Sultan Alauddin pada pagi, siang, maupun malam hari adalah.

 Peserta didik dalam kelompok mengamati benda-benda yang ada di kelompok masing- masing dan memilih benda yang akan dibeli sesuai dengan uang yang tersedia.  Peserta

[r]