• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE DAWLEY YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE DAWLEY YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

DIINDUKSI RIFAMPISIN (Skripsi)

Oleh Widhi Astuti

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)
(3)
(4)

DAWLEY YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

Oleh Widhi Astuti

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.

Skripsi dengan judul “Pengaruh Pemberian EkstrakBuah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus) Galur Spargue Dawleyyang diinduksi Rifampisin” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr. Muhartono, M. Kes., Sp.PA, selaku Pembimbing Utama, atas waktu dan kesediaannya memberikan ilmu, bimbingan, saran dan kritik dalam proses menyelesaikan skripsi ini;

(10)

3. dr. Susianti, M.Sc., selaku Penguji Utama, atas kesedian memberikan ilmu, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

4. Mama dan Papa yang selalu mendoakan, merawat, menasehati, membimbing, dan mendukungku tanpa henti;

5. Kakakku Lestari Puji Ayu, yang senantiasa menjadi mentor dan editor utama dalam skripsiku;

6. Kakakku Hardy Prasetiyo, yang senantiasa mendoakanku dan mendukungku dalam jarak yang jauh disana;

7. Adikku Dhimas Lungguh Prasetiyo dan seluruh keluarga besar yang senantiasa memberikan dukungan dan doa;

8. Aaku, Adam Shidiq Alfaruq yang senantiasa memberikan semangat dan dukungan untuk menyegerakan penyelesaian skripsi ini;

9. Seluruh staf dosen Fakultas Kedokteran Univesitas Lampung, atas ilmu-ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan;

10. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, dan pegawai, yang turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini;

11. Seluruh Tim Sukses kita dr. Dewi, dr. Fidha, dr. Exa, dr. Darwis, Rinavi Adrin, M. Pasca Yogatama, Kharima Wibawa, H.S Dyah dan Arif Yudho Prabowo;

12. Sahabat seperjuanganku Rizqa Atina, Rezha Remon Titho dan, Hario Tri Hendroko, terima kasih atas saran, dukungan dan bantuannya.

(11)

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Januari 2013 Penulis

(12)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ...

DAFTAR GAMBAR…………......

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang……….

1.2 Rumusan Masalah………...

1.3 Tujuan………..

1.4 Manfaat Penelitian………...

1.5 Kerangka Penelitian……….

1.5.1 Kerangka Teori ………..

1.5.2 Kerangka Konsep………..

1.6 Hipotesis………...

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ginjal………

2.1.1 Anatomi Ginjal……….

2.1.2 Histologi Ginjal………

2.1.2.1 Korpuskel Renalis………

2.1.2.2 Tubulus Kontortus Proksimal………..

2.1.2.3. Ansa Henle………..

2.1.2.4 Tubulus Kontortus Distal……….

2.1.2.5 Tubulus Kontortus Koligentes……….

(13)

2.1.2.6 Aparatus Jukstaglomerulus………..

2.1.3 Fisiologi Ginjal……….

2.1.4 Patologi Ginjal………..

2.2 Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley ..…………

2.3 Rifampisin……….

2.3.1 Aktivitas antibakteri………

2.3.2 Mekanisme kerja……….

2.3.3 Farmakokinetik………...

2.3.4 Efek Samping………..

2.3.5 Efek Rifampisin………..

2.4 Mahkota Dewa………..

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian………..

3.2 Tempat dan Waktu………

3.3 Populasi dan Sampel……….

3.4 Alat-alat dan Bahan………..

3.4.1 Bahan Penelitian……….

3.4.2 Bahan Kimia………...

3.4.3 Alat Penelitian………

3.4.3.1 Alat Penelitian………

3.4.3.2. Alat Pembuat preparat Histopatologi………

3.5 Prosedur Penelitian………..

3.5.1 Prosedur Pemberian Ekstrak Buah Mahkota Dewa…………

3.5.1.1 Metode Pembuatan Ekstrak Buah Mahkota Dewa…

3.5.1.2 Prosedur Pemberian Dosis Ekstrak Buah Mahkota

Dewa………..

3.5.2 Prosedur Pemberian Dosis Rifampisin ………...

3.5.3 Prosedur Penelitian……….

3.6 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel…………..

3.6.1 Identifikasi Variabel………...

3.6.2 Definisi Operasional Variabel………

(14)

3.7 Analisis Data……….

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil……….

4.1.1 Kerusakan Ginjal Tikus………..

4.1.2 Analisis Gambaran Histopatologi Kerusakan Ginjal Tikus…

4.2 Pembahasan………..

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan………...

5.2 Saran……….

DAFTAR PUSTAKA………..

LAMPIRAN

Lampiran 1. Presentase rata-rata skor kerusakan ginjal tikus…………

Lampiran 2. Uji Normalitas Data (Shapiro-Wilk) Histopatologi Ginjal Tikus ... Lampiran 3. UjiKruskal-WallisHistopatologi Ginjal Tikus…………

Lampiran 4. UjiMann-WhitneyHistopatologi Ginjal Tikus………….

Lampiran 5. Cara Pembuatan Slide Histopatologi Ginjal Tikus ……... Lampiran 6. Journal Skripsi ………..

Lampiran 7. Alat, Bahan, dan Cara Kerja ...

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Data biologi tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley……

2. Klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley…….. 3. Fase terjadinyaacute tubular necrosis……….. 4. Klasifikasi mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) ………..

5. Definisi operasional ………..

6. Hasil rata-rata gambaran histopatologi ginjal pada kelompok uji ………

7. AnalisisShapiro-Wilkgambaran mikroskopik histopatologi ginjal …….

8. AnalisisMann Whitneygambaran histopatologi ginjal tikus antara

kelompok uji ………

30 31 38 41 60 69 70

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Diagram kerangka teori tentang pengaruh mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap histopatologi ginjal akibat penggunaan

rifampisin………

2. Diagram kerangka konsep tentang pengaruh mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap histopatologi ginjal akibat penggunaan

rifampisin………

3. Anatomi ginjal manusia………..

4. Sistem perdarahan ginjal manusia………..

5. Histologi ginjal normal manusia………

6. Gambaran histologi ginjal………..

7. Gambaran histologi ginjal ………..

8. Ginjal manusia ………

9. Potongan melintang ginjal tikus yang mengalami kerusakan………….

10. Edema glomerulus pada ginjal tikus yang dikelilingi oleh tubulus yang mengalami degenerasi hidropik………..

11. Mekanisme terjadinyaacute tubular necrosisakibat penggunaan obat

rifampisin………

12. Patogenesis terjadinya sindrom hepatorenal pada pasien penyakit hati

(17)

berat atau sirosis hepatis………...

13. Buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa)……….

14. Diagram alur penelitianNovember 2012 ………

15. Histopatologi ginjal tikus kelompok kontrol normal………..

16. Histopatologi ginjal tikus kelompok kontrol patologis………...

17. Histopatologi ginjal tikus kelompok perlakuan mahkota dewa dosis

7,56 mg/100gBB.………

18. Histopatologi ginjal tikus kelompok perlakuan mahkota dewa dosis

15,12 mg/100gBB………...

19. Histopatologi ginjal tikus kelompok perlakuan mahkota dewa dosis

30,24 mg/100gBB………...

20. Mekanisme terjadinya proses inflamasi ………..

40 42 58 64 65

66

67

(18)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. TB merupakan penyakit dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi terutama di negara berkembang. Berdasarkan estimasi World Health Organization (WHO), daerah dengan kasus TB baru yang tertinggi pada tahun 2009 adalah di daerah Asia Tenggara yang merupakan 35% dari insidensi global. Sekitar 1,3 juta populasi meninggal akibat TB pada tahun 2009 (Utami, 2010).

Indonesia adalah negara dengan pravalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India (Bagiada dan Primasari, 2010). WHO memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. Pada tahun 1999, WHOGlobal Surveillance

(19)

penduduk.TB banyak terdapat di kalangan penduduk dengan kondisi sosial ekonomi lemah dan menyerang golongan usia produktif (Utami, 2010).

Jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan terutama di negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar(high burden countries).Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993. WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency). Awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease) telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (Perdini, 2010).

Pengobatan TB membutuhkan waktu panjang sekitar 6 sampai 8 bulan untuk mencapai penyembuhan dengan kombinasi beberapa macam obat (Bagiada dan Primasari, 2010). Salah satu pengobatannya adalah dengan menggunakan obat rifampisin. Rifampisin adalah antibiotik semisintetik golongan makrolid. Rifampisin merupakan obat antituberkulosis yang mempunyai efek nefrotoksik yang cukup tinggi dibanding dengan obat antituberkulosis (OAT) lainnya (Bagiada dan Primasari, 2010).

(20)

akibat penggunaan rifampisin sebagai OAT adalah berkisar antara 1,8% sampai 16% dari semua kasus gangguan ginjal akut (GGA). Obat-obat antibiotik dapat menginduksi kerusakan ginjal melalui berbagai cara, antara lain dengan

berkurangnya natrium dan air, perubahan pada aliran darah, kerusakan ginjal dan obstruksi terhadap ginjal (Chasani,2007).

Karena tingginya angka kejadian nefrotoksisitas akibat penggunaan antibiotik, akhir-akhir ini, kehidupan mulai beranjak kembali kepada obat-obatan

tradisional. Berkembangnya berbagai macam penyakit menyebabkan kesehatan menjadi hal yang langka dan mahal. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat mulai menyadari pentingnya mengkonsumsi obat-obatan atau ramuan tradisional yang harganya lebih terjangkau dan memiliki efek samping minimal (Murti dan Poerba, 2010).

(21)

Salah satu tumbuhan yang mempunyai potensi tinggi untuk dikembangkan menjadi bahan obat adalah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa), karena tumbuhan tersebut diketahui mempunyai khasiat menyembuhkan berbagai penyakit. Penyakit-penyakit yang dapat disembuhkan oleh tumbuhan ini antara lain penyakit jantung, diabetes, hati, darah tinggi, reumatik, asam urat, kanker, ginjal, serta penyakit kulit lainnya (Wirawan, 2003). Daun dan kulitnya diketahui mengandung alkaloid, saponin dan flavonoid. Selain itu di dalam daunnya juga diketahui mengandung polifenol. Flavonoid dapat digunakan sebagai pelindung mukosa lambung, antioksidan, antiinflamasi serta mengobati gangguan fungsi hati dan ginjal (Hendra dkk., 2011). Tidak menutup kemungkinan bahwa senyawa flavonoid terkandung dalam buah mahkota dewa (Phaleria

macrocarpa) dapat berpengaruh terhadap kerusakan ginjal akibat penggunaan antibiotik (Wirawan, 2003).

Berdasarkan kepopuleran dari tumbuhan mahkota dewa dalam menyembuhkan berbagai jenis penyakit dan banyaknya masyarakat yang mengkonsumsi

(22)

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Apakah ada pengaruh pemberian ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley yang diinduksi rifampisin ?

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria

macrocarpa) terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley yang diinduksi oleh rifampisin.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(23)

2. Bagi pembangunan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan yang akan mendukung upaya pemeliharaan tanaman mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) sebagai salah satu tanaman berkhasiat obat. Dengan demikian akan mendukung upaya pemerintah untuk menyukseskan program tanaman obat atau obat herbal.

3. Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, meningkatkan iklim penelitian di bidangagromedicinesehingga dapat menunjang pencapaian visi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 2015 sebagai Fakultas Kedokteran Sepuluh Terbaik di Indonesia pada Tahun 2025 dengan kekhususanagromedicine.

(24)

1.5 Kerangka Penelitian

1.5.1 Kerangka Teori

Penggunaan rifampisin dalam waktu tertentu dapat menyebabkan jejas sel pada ginjal manusia. Mekanisme terjadinya gangguan fungsi ginjal akibat penggunaan antibiotik rifampisin antara lain dengan cara penurunan

ekskresi natrium dan air, perubahan aliran darah, obstruksi pada saluran air kemih serta karena perubahan umur seseorang menjadi tua (Chasani, 2008). Proses nefrotoksisitas rifampisin pada ginjal bermula pada terjadinya disfungsi glomerulus dan tubulus ginjal berupa atrofi dan

fibrosis pada glomerulus serta atrofi,degenerasi hidropik, degenerasi lemak, nekrosis, dan kalsifikasi tubulus. Manifestasi klinis dari kerusakan ginjal tersebut adalah gangguan ginjal akut,acute tubular necrosis,acute

tubulointerstitial nephritisserta gangguan ginjal kronis (Singh dkk., 2003).

(25)

sebagai antioksidan, antinflamasi, antiproliferativ, antikanker serta mengobati gangguan fungsi ginjal dan hati (Hendra dkk., 2011).

Flavonoid yang terkandung dalam mahkota dewa, memiliki kandungan senyawa fenol bersifat antiinflamasi yang poten seperti obat antiinflamasi non steroid. Salah satu mekanisme yang penting dalam adalah inhibisi enzim golonganeicosanoid, terutamaphospholipase A2, cyclooxygenases,

(26)

Keterangan :

: Mempengaruhi

: Menghambat

Gambar 1. Diagram kerangka teori tentang pengaruh mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap ginjal akibat penggunaan rifampisin.

Penggunaan Rifampisin

Jejas sel nefron

Nefrotoksik

Disfungsi glomerulus dan tubulus :

- Atrofi dan fibrosis pada glomerulus

- Atrofi, degenerasi hidropik, degenerasi lemak, nekrosis, dan kalsifikasi tubulus

Manifestasi klinis :

-Gangguan ginjal akut

-Acute tubular nechrosis -Acute tubulointertitial nephritis -Penyakit ginjal kronis

(27)

1.5.2 Kerangka Konsep

Gambar 2.Diagram kerangka konsep pengaruh mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap kerusakan ginjal akibat penggunaan rifampisin.

Kelompok 3 (Dosis 1 Mahkota Dewa)

7,56 mg/100gBB+ Rifampisin 1g/kgBB

Kelompok 1 Kontrol Normal

Kelompok 4 (Dosis II Mahkota Dewa)

15,12 mg/100gBB + Rifampisin 1g/kgBB

Kelompok 5 (Dosis III Mahkota Dewa)

(28)

1.6 Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ginjal

2.1.1 Anatomi Ginjal

Saluran kemih terdiri dari ginjal yang terus menerus menghasilkan urin, dan berbagai saluranreservoiryang dibutuhkan untuk membawa urin keluar tubuh. Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi columna vertebralis (Price dan Wilson, 2006). Kedua ginjal terletak retroperitoneal pada dinding abdomen, masing masing di sisi kanan dan sisi kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12 sampai vertebra L3. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri karena besarnya lobus hepatis dekstra. Masing masing ginjal memiliki facies anterior dan facies posterior, margo medialis dan margo lateralis, ekstremitas superior dan ekstremitas inferior (Moore dan Agur, 2002).

(30)

bentuk merupakan tanda yang penting, karena sebagian besar manifestasi penyakit ginjal adalah perubahan struktur dari ginjal tersebut (Price dan Wilson, 2006).

Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrosa tipis dan mengkilat yang disebut kapsula fibrosa ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak perineal. Di sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula adrenal/suprarenal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal bersama ginjal dan jaringan lemak perineal dibungkus oleh fascia gerota. Di luar fascia gerota terdapat jaringan lemak retroperitoneal atau disebut jaringan lemak pararenal. Di bagian posterior, ginjal dilindungi oleh otototot punggung yang tebal serta costae ke XI dan XII,

sedangkan di bagian anterior dilindungi oleh organorgan intraperitoneal (Purnomo, 2003).

Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian korteks dan medula ginjal (Junquiera dan Carneiro, 2002). Di dalam korteks terdapat berjutajuta nefron sedangkan di dalam medula banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas tubulus kontortus proksimal, tubulus kontortus distal, dan tubulus koligentes (Purnomo, 2003).

(31)

keluarnya ureter dan memiliki permukaan lateral yang cembung (Junquiera dan Carneiro, 2002). Sistem pelvikalises ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum, kaliks major, dan pielum/pelvis renalis (Junquiera dan Carneiro, 2002).

(32)
[image:32.595.165.513.87.406.2]

Gambar 3.Anatomi ginjal manusia (Moore dan Agur, 2002).

Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum dan kemudian bercabang-cabang secara progresif membentuk arteri interlobaris, arteri arkuarta, arteri interlobularis, dan arteriol aferen yang menuju ke kapiler

glomerulus tempat sejumlah besar cairan dan zat terlarut difiltrasi untuk pembentukan urin. Ujung distal kapiler pada setiap glomerulus

(33)
[image:33.595.242.390.156.485.2]

vena interlobaris, dan vena renalis, yang meninggalkan ginjal di samping arteri renalis dan ureter (Guyton dan Hall, 2008).

Gambar 4.Sistem perdarahan ginjal manusia (Slomianka, 2009).

2.1.2 Histologi Ginjal

(34)

ansa henle, tubulus kontortus distal, dan duktus koligentes (Junquiera dan Carneiro, 2002).

Darah yang membawa sisasisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di dalam glomeruli kemudian di tublus ginjal, beberapa zat masih diperlukan tubuh untuk mengalami reabsorbsi dan zatzat hasil sisa metabolisme mengalami sekresi bersama air membentuk urin. Setiap hari tidak kurang 180 liter cairan tubuh difiltrasi di glomerulus dan menghaslkan urin 1-2 liter. Urin yang terbentuk di dalam nefron

[image:34.595.236.439.416.669.2]

disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalis ginjal untuk kemudian disalurkan ke dalam ureter (Purnomo, 2003).

(35)

2.1.2.1 Korpuskel Renalis

Setiap korpuskel renalis terdiri atas seberkas kapiler, yaitu glomerulus yang dikelilingi oleh kapsul epitel berdinding ganda yang disebut kapsula bowman. Lapisan dalam kapsul ini

(lapisan visceral) menyelubungi kapiler glomerulus. Lapisan luar membentuk batas luar korpuskel renalis dan disebut lapisan parietal kapsula bowman. Lapisan parietal kapsula bowman terdiri atas epitel selapis gepeng yang ditunjang lamina basalis dan selapis tipis serat retikulin (Junquiera dan Carneiro, 2002).

Sel viseral membentuk tonjolantonjolan atau kakikaki yang dikenal sebagai podosit, yang bersinggungan dengan membran basalis pada jarakjarak tertentu sehingga terdapat daerah daerah yang bebas dari kontak antar sel epitel (Price dan Wilson, 2006). Sel endotel kapiler glomerulus merupakan jenis kapiler bertingkap namun tidak dilengkapi diafragma tipis yang terdapat pada kapiler bertingkap lain (Junquiera dan Carneiro, 2002).

Komponen penting lainnya dari glomerulus adalah mesangium, yang terdiri dari sel mesangial dan matriks mesangial. Sel mesangial aktivitas fagositik dan menyekresi prostatglandin (Price dan Wilson, 2006). Sel mesangial bersifat kontraktil dan memiliki reseptor untuk angiotensin II. Bila reseptor ini

(36)

juga memiliki beberapa fungsi lain, sel tersebut memberi tunjangan struktural pada glomerulus, menyintesis matriks ekstrasel, mengendositosis dan membuang molekul normal dan patologis yang terperangkap di membran basalis glomerulus, serta menghasilkan mediator kimiawi seperti sitokin dan prostaglandin (Junquiera dan Carneiro, 2002).

2.1.2.2 Tubulus Kontortus Proksimal

Pada kutub urinarius di korpuskel renalis, epitel gepeng di lapisan parietal kapsula bowman berhubungan langsung dengan epitel tubulus kontortus proksimal yang berbentuk kuboid atau silindris rendah. Filtrat glomerulus yang terbentuk di dalam korpuskel renalis, masuk ke dalam tubulus kontortus proksimal yang merupakan tempat dimulainya proses absorbsi dan

ekskresi. Selain aktivitas tersebut, tubulus kontortus proksimal mensekresikan kreatinin dan subsatansi asing bagi organisme, seperti asam para aminohippurat dan penisilin, dari plasma interstitial ke dalam filtrat (Junquiera dan Carneiro, 2002).

2.1.2.3 Ansa Henle

(37)

yang mampu menghasilkan urin hipertonik sehingga cairan tbuh dapat dipertahankan (Junquiera dan Carneiro, 2002).

2.1.2.4 Tubulus Kontortus Distal

Segmen tebal asenden ansa henle menerobos korteks, setelah menempuh jarak tertentu, segmen ini menjadi berkelakkelok dan disebut tubulus kontortus distal. Selsel tubulus kontortus distal memiliki banyak invaginasi membran basal dan

mitokondria terkait yang menunujukkan fungsi transpor ionnya (Junquiera dan Carneiro, 2002).

2.1.2.5 Tubulus Duktus Koligentes

(38)

2.1.2.6 Aparatus Jukstaglomerulus

Aparatus jukstaglomerulus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang letaknya dekat dengan kutub vaskular masing masing glomerulus yang berperan penting dalam mengatur pelepasan renin dan mengontrol volume cairan ekstraseluler dan tekanan darah. JGA terdiri dari tiga macam sel yaitu:

1. Jukstagomerulus atau sel glanular 2. Makula densa tubulus distal

3. Mesangial ekstraglomerular atau sel lacis (Price dan Wilson, 2006).

(39)
[image:39.595.145.480.85.330.2]

Gambar 6. Gambaran histologi ginjal (Fankhauser, 2008).

[image:39.595.137.489.421.700.2]
(40)

2.1.3 Fisiologi Ginjal

Ginjal adalah suatu organ yang secara struktural kompleks dan telah berkembang untuk melaksanakan sejumlah fungsi penting ekskresi produk sisa metabolisme, pengendalian air dan garam, pemeliharaan keseimbangan asam yang sesuai dan sekresi berbagai hormon autokoid (Robbins dan Kummar, 2004).

Menurut Guyton dan Hall (2006), ginjal adalah organ utama untuk membuang produk sisa metabolisme yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Produk-produk ini meliputi urea, kreatin asam urat, produk akhir dari pemecahan hemoglobin. Ginjal tersusun dari beberapa juta nefron yang akan melakukan ultrafiltrasi terkait dengan ekskresi dan reabsorpsi. Kerja ginjal dimulai saat dinding kapiler glomerulus melakukan ultrafiltrasi untuk memisahkan plasma darah dari sebagian besar air, ion-ion dan molekul-molekul.

(41)

Berikut ini adalah fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang sebagian besar ditujukkan untuk mempertahankan kestabilan lingkungan cairan internal :

1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh

2. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES, termasuk Na+, Cl-, K+,HCO3-, Ca2+, Mg2+, SO42-, PO42-, dan H+. Bahkan fluktuasi minor pada konsentrasi sebagian elektrolit ini dalam CES dapat menimbulkan pengaruh besar. Sebagai contoh, perubahan konsentrasi K+di CES dapat menimbulkan disfungsi jantung yang fatal.

3. Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan garam dan H2O.

4. Membantu memelihara keseimbangan asambasa tubuh dan menyesuaikan pengeluaran H+dan HCO3-melalui urin. 5. Memelihara osmolaritas berbagai cairan, terutama melalui

pengaturan keseimbangan H2O.

6. Mengekskresikan produkproduk sisa dari metabolisme tubuh, misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk, zatzat sisa tersebut bersifat toksik bagi tubuh, terutama otak. 7. Mensekskresikan banyak senyawa asing, misalnya obat zat

(42)

8. Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang pembentukan sel darah merah.

9. Mensekresikan renin, suatu hormonn enzimatik yang memicu reaksi berantai yang penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal.

[image:42.595.167.456.280.636.2]

10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya (Sherwood, 2001).

(43)

2.1.4 Patologi ginjal

Reaksi ginjal terhadap rangsangan dari luar serupa dengan organ tubuh lainnya, yaitu sesuai dengan mekanisme patologi pada

umumnya. Bagian ginjal yang berfungsi sebagai alat penyaring adalah glomerulus yang bekerja berdasarkan faktor-faktor hemodinamika dan osmotik (Ganong, 2003).

Pada keadaan normal glomerulus tidak dapat dilalui oleh protein yang bermolekul besar, tetapi pada keadaan patologis protein tersebut dapat lolos (Junquiera dan Carneiro, 2002). Sel tubulus selain berfungsi mereabsorbsi, juga menambahkan zat-zat kimiawi seperti yodium, amonia danhippuric acid. Pada disfungsi glomerulus, bahan-bahan asing tiba di tubulus dalam kadar yang abnormal melalui ruang Bowman. Hal ini menyebabkan sel epitel tubulus mengalami degenerasi bahkan kematian jika terlalu banyak bahan-bahan yang harus diserap kembali (Junquiera dan Carneiro, 2002).

(44)

Salah satu bagian ginjal yang sering mengalami kelainan adalah glomerulus (Soeksmanto, 2006). Menurut Soeksmanto (2006), kerusakan yang terjadi sering disebabkan oleh adanya deposisi imun kompleks, trombosis, emboli, dan infeksi virus pada komponen glomerulus. Kerusakan dapat menyebabkan berbagai dampak baik secara morfologi maupun fungsional. Secara morfologis kerusakan glomerulus ditandai dengan terjadinya nekrosis dan ploriferasi dari sel membran serta infiltrasi leukosit. Rusaknya glomerulus secara

fungsional ditandai dengan berkurangnya perfusi aliran darah, lolosnya protein dan makromolekul lain dalam jumlah yang besar pada filtrat glomerulus. Kerusakan pada glomerulus juga dapat berupa atrofi dan fibrosis sehingga menyebabkan atrofi sekunder pada tubulus renalis (Soekmanto, 2006).

Nefrosis merupakan istilah morfologik untuk kelainan ginjal

degeneratif terutama yang mengenai tubulus. Kelainan tubulus dapat menyebabkan albuminuria dan sedimen abnormal di urin. Secara mikroskopis kelainan dijumpai pada tubulus kontortus proksimal berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak, nekrosis dan kalsifikasi (Suyanti, 2008).

(45)

terjadinya akumulasi toksin-toksin intrarenal, sehingga mempertinggi konsentrasi lokal dari bahan-bahan berbahaya tersebut. Bahan-bahan asing yang masuk ke dalam tubuh, pada umumnya dapat

[image:45.595.173.509.445.605.2]

dimetabolisme melalui proses enzimatik sebagai pertahanan untuk melindungi tubuh dari bahan-bahan kimia berbahaya. Secara simultan, bahan-bahan berbahaya hasil buangan metabolisme tersebut diproses dan diekskresikan dalam bentuk urin yang dikeluarkan setiap hari. Kemampuan untuk memproteksi kerusakan akibat bahan kimia di atas, umumnya dimiliki oleh semua jenis mamalia, meskipun kemampuan melawan partikel-partikel bahan tersebut bervariasi diantara species, terutama dalam memindahkan 1 group etil melalui oksidasi mikrosomal (Soeksmanto, 2006).

(46)
[image:46.595.206.421.86.269.2]

Gambar 10. Edema glomerulus pada ginjal tikus yang dikelilingi oleh tubulus yang mengalami degenerasi hidropik (Suyanti, 2008).

2.2 Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley

Di Indonesia, hewan percobaan ini sering disebut tikus besar. Dibandingkan dengan tikus liar, tikus putih lebih cepat menjadi dewasa dan lebih mudah berkembang biak. Berat badan tikus putih lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar. Pada umur 2 bulan berat badan dapat mencapai 200-300 gram. Tikus putih (Rattus norvegicus) tergolong hewan yang mudah dipegang (FKH UGM, 2006).

(47)

terdiri dari dua bagian, yaitu nonglandular dan glandular dansmall intestine

[image:47.595.136.505.169.587.2]

yang terdiri dari : duodenum, jejunum, dan ileum (FKH UGM, 2006).

Tabel 1.Data Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus)galur Sprague Dawley

DATA BIOLOGI KETERANGAN

Lama hidup 2,5-3,5 tahun

Berat Badan

Newborn 5-6g

Pubertas 150-200g

Dewasa jantan 300-800g

Dewasa betina 200-400g

Reproduksi

Kematangan seksual 65-110 hari

Siklus estrus 4-5 hari

Gestasi 20-22 hari

Penyapihan 21 hari

Fisiologi

Suhu tubuh 35,90-37,50C

Denyut Jantung 250-600 kali/menit

Laju nafas 66-144 kali/menit

Tekanan darah diastolic 60-90 mmHg

Tekanan darah sistol 75-120 mmHg

Feses Padat, berwarna coklat tua, bentuk

memanjang dengan ujung membualat

Urin Jernih dan berwarna kuning

Konsumsi makan dan air

Konsumsi makanan 15-30 g/hari atau 5-6 g/100gBB

Konsumsi air 24-60 ml/hari atau 10-12 ml/100gBB

Sumber : Isroi, 2010.

(48)

hipertensi dan diabetes, dan juga sering dipakai dalam studi nutrisi, tingkah laku, kerja obat, dan toksikologi (Animal Care Program, 2011).

[image:48.595.135.510.414.574.2]

Tikus putih (Rattus norvegicus) memiliki beberapa sifat yang menguntungkan, seperti: cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, lebih tenang, dan ukurannya lebih besar daripada mencit. Tikus putih juga memiliki ciri-ciri: albino, kepala kecil, ekor yang lebih panjang dibandingkan badannya, pertumbuhan cepat, temperamennya baik, kemampuan aktasi tinggi, dan tahan terhadap perlakuan. Keuntungan utama tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley adalah ketenangan dan kemudahan penanganannya (Isroi, 2010).

Tabel 2.Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus)galur Sprague Dawley.

KLASIFIKASI KETERANGAN

Kingdom Animalia

Filum Chordata

Kelas Mamalia

Ordo Rodentai

Subordo Odontoceti

Familia Muridae

Genus Rattus

Species Rattus norvegicus

(49)

2.3 Rifampisin

Rifampisin adalah suatu derivat semisintetik rifampisin B yang merupakan salah satu anggota kelompok antibiotik makrosiklik yang disebut rifampisin. Kelompok zat ini dihasilkan oleh jamurStreptomyces meditteranei. Obat ini merupakan ion zwitter, larut dalam pelarut organik dan air yang pH-nya asam (Syarif dkk., 2009). Strain yang resisten timbul dengan cepat selama terapi, karena itu rifampisin tidak pernah diberikan sebagai obat tunggal pada penggunaan obat tuberkulosis aktif (Mycek dkk., 2002).

2.3.1 Aktivitas Antibakteri

Rifampisin bersifat bakterisidal terhadap mikobakterium intraseluler dan ekstraseluler termasukMycobacterium tuberculosis, mikobakteri atipik danMycobacterium leprae.Rifampisin efektif terhadap banyak organisme Gram (+) dan Gram (-) dan sering diguanakan secara profilaksis untuk anggota rumah tangga yang terpapar dengan meningitis yang disebabkan olehMeningococcusatauHaemophillus influenza(Mycek dkk., 2002). Rifampisin juga aktif terhadap kuman gram positif lain terutamaStaphylococcus sp., termasuk yang resisten terhadap penisilin (Tjay dan Rahardja, 2007).

2.3.2 Mekanisme Kerja

(50)

sintesis RNA menekan langkah permulaan. Obat tersebut spesifik untuk prokariot (Mycek dkk., 2002). Inti RNA polymerase dari berbagai sel eukariot tidak mengikat rifampisin dan sintesis RNAnya tidak

dipengaruhi. Rifampisin dapat menghambat sintesis RNA mitokondria mamalia tetapi diperlukan kadar yang lebih tinggi dari kadar untuk penghmbatan pada kuman. Pemberian rifampisin per oral menghasilkan kadar puncak dalam plasma setelah 24 jam dengan dosis tunggal sebesar 600 mg menghasilkan kadar sekitar 7 g/ml. Asam para amino salisilat dapat memperlambat absorbsi rifampisin, sehingga kadar terapi rifampisin dalam plasma tidak tercapai. Bila rifampisisn harus diberikan bersama asam para amino salisilat, maka pemberian kedua kedua

sediaan harus berjarak 812 jam (Syarif dkk., 2009).

Setelah diserap dari saluran cerna, obat ini cepat diekskresikan melalui empedu dan kemudian mengalami sirkulasi enterohepatik.

Penyerapannya dihambat oleh adanya makanan, sehingga dalam waktu 6 jam hampir semua obat yang berada dalam empedu berbentuk deasetil rifampisin, yang mempunyai aktivitas antibakteri penuh. Rifampisin menyebabkan induksi metabolisme, sehingga walaupun

(51)

2.3.3 Farmakokinetik

Farmakokinetik obat rifampisin adalah sebagai berikut: 1. Absorbsi

Rifampisin secara oral diabsorpsi dengan baik. Reabsorbsi rifampisin di usus sangat tinggi.

2. Distribusi

Rifampisin sangat lipofilik, dapat menembus sawar darah otak (bood-brain barrier) dengan baik. Difusi relatif dari darah ke dalam cairan serebrospinal adekuat dengan atau tanpa inflamasi.

3. Metabolisme

Rifampisin dimetabolisme melalui resirkulasi enterohepatik. Ikatan proteinnya 80%. Rifampisin sendiri dapat menginduksi oksidase fungsi campuran dalam hati, menyebabkan suatu pemendekan waktu paruh. Waktu paruh (T½) eliminasi rifampisin adalah 3-4 jam, waktu tersebut akan memanjang pada keadaan gagal hepar, dan gagal ginjal terminal menjadi 1,8-11 jam. Sedangkan waktu untuk mencapai kadar puncak, serum atau oral adalah 2-4 jam. 4. Ekskresi

(52)

2.3.4 Efek Samping

Efek samping adalah suatu masalah dari rifampisin. Obat tersebut harus digunakan hati-hati pada penderita dengan kegagalan hati sebab ikterus yang kronik dapat terjadi pada penderita penyakit hati kronik, peminum alkohol, dan usia lanjut (Syarif dkk., 2009).

Berbagai keluhan yang berhubungan dengan sistem saraf seperti rasa lelah, mengantuk, sakit kepala, atraksia, bingung, sukar berkonsentrasi, sakit pada tangan dan kaki, dan melemahnya otot juga dapat terjadi. Reaksi hipersensitivitas dapat berupa demam, pruritus, urikaria, berbagai macam kelainan kulit, euseofilia, dan rasa sakit pada mulut dan lidah. Hemolisis, hemoglobinuria, hematuria, insufisisensi ginjal, dan gagal ginjal akut juga merupakan reaksi hipersensitivitas, tetapi jarang terjadi (Syarif dkk., 2009).

2.3.5 Efek Rifampisin Terhadap Ginjal

(53)

tidak juga menutup kemungkinan bahwa rifampisin menyebabkan keadaan nefrotoksik pada ginjal (Meulen dkk., 2009).

Manifestasi klinis penyakit ginjal dapat dikelompokkan ke dalam sindromsindrom. Sebagian bersifat khas untuk penyakit glomerulus, yang lain terdapat pada penyakit yang mengenai salah satu komponen ginjal. Secara singkat sindrom penyakit klinis ginjal adalah:

1. Sindrom nefritik akut adalah suatu sindrom glomerulus yang didominasi oleh onset hematuria makroskopik proteinuria ringan sampai sedang, azotemia, edema, dan hipertensi hal ini merupakan presentasi klasik glumeronefritis pascastreptokokus akut.

2. Sindrom nefrotik ditandai dengan adanya proteinuria berat hipoalbuminemia, edema berat, hiperlipidemia, dan lipiduria. 3. Hematuria atau proteinuria asimtomatik, atau kombinasi keduanya,

biasanya merupakan manifestasi kelainan glomerulus yang ringan atau samar.

4. Glumeronefritis progresif cepat menyebabkan gangguan fungsi ginjal dalam beberapa hari atau minggu dan bermanifestasi sebagai sedimen urin aktif.

(54)

6. Penyakit ginjal kronis, ditandai dengan gejala dan tanda uremia yang berkepanjangan, adalah hasil akhir semua penyakit ginjal kronis (Robbins dan Kummar, 2004).

Dalam penelitian Singh dkk., (2003) diketahui bahwa rifampisin adalah salah satu obat yang dapat menginnduksi penyakit ginjal. Rifampisin adalah salah satu obat yang dapat menyebabkanacute tubular necrosis

dan acute tubulointerstitial nephritis. Angka kejadian nefrotoksisitas akibat rifampisin dangatlah bervariasi dari 1,8% hingga 16% dari semua angka kejadian ganguan ginjal akut. Kebanyakan kasus dari rifampisin menyebabkan kegagalan ginjal terjadi setelah adanya keadaan

(55)
[image:55.595.118.505.103.478.2]

Tabel 3.Fase terjadinyaacute tubular necrosis.

Sumber : Tumlin, 2003.

Dalam kasusacute tubular necrosis,telah ditemukan rifampicin-dependent antibodiesdan Imunoglobulin G (IgG) yang terdeposit pada lumen tubulus ginjal, hal tersebut menunjukan adanya hubungan penggunaan rifampisin dengan kejadian gagal ginjal (Meulen dkk.,

(56)
[image:56.595.118.506.91.342.2]

Gambar 11. Mekanisme terjadinyaacute tubulointertitial nephritisakibat penggunaan obat rifampisin (RoseandAppel, 2008); Ket: a. Obat dapat megikat secara normal membran basal tubulus yang berperan sebgai hapten; b. Obat dapat berperan menjadi sebagai antigen yang biasanya berperan sebagai membran basal tubulus dan intertitium dan menginduksi respon kekebalan yang akan diarahkan ke antigen tersebut; c. Obat akan berikatan dengan membran basal tubulus atau terdeposit pada bagian interstitium dan berperan sebagai antigen; d. Obat tersebut akan memicu reaksi terbentuknya antibodi dan disimpan di bagian interstitium sebagai reaksi imun komplek.

Karena rifampisin adalah salah obat yang dapat menyebabkan terjadinya hepatotoksik, Sindrom Hepato Renal (SHR) juga dapat ditemukan pada para pengguna obat rifampisin. SHR adalah gangguan fungsi ginjal sekunder pada penyakit hati tingkat berat baik yang akut maupun kronis. SHR bersifat fungsional dan progresif. SHR merupakan gangguan fungsi ginjal pre renal, yaitu disebabkan adanya hipoperfusi ginjal, namun dengan hanya perbaikan volume plasma saja ternyata tidak dapat memperbaiki gangguan fungsi ginjal ini (Reksodiputro dkk, 2009). Studi lain

(57)
[image:57.595.205.407.109.654.2]

Gambar 12. Patogenesis terjadinya sindrom hepatorenal pada pasien penyakit hati berat atau sirosis hepatis (SherlockandDoley, 2002).

Penyakit hati berat atau sirosis hepatis + hipertensi portal

Vasodilatasi arterial splanik bertambah

Hipovolemi arterial sentral

Hipovolemi arterial sentral

Aktivasi :

-Simpatis

- Renin/angiotensin/aldosteron

- Hormon antidiuretik

Vasokonstriksi renal meningkat

Intra-renal :

Vasokonstriktor meningkat vasodilator menurun

Vasokonstriktor renal lebih meningkat

(58)

2.4 Mahkota Dewa

[image:58.595.136.512.369.528.2]

Alam tumbuhan Indonesia sangat kaya akan sumber daya plasma nuthfah yang menyediakan berbagai bahan baku obat-obatan. Keadaan ini sangat berguna dalam mengatasi berkembangnya berbagai jenis penyakit yang menganca kehidupan manusia. Salah satu tumbuhan obat Indonesia yang sangat popular saat ini adalah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) dari suku Thymelaceae. Mahkota dewa tergolong tumbuhan perdu yang tumbuh dari dataran rendah hingga ketinggian 1200 m di atas permukaan laut (Harmanto, 2002).

Tabel 4.Klasifikasi mahkota dewa (Phaleria macrocarpa).

KLASIFIKASI KETERANGAN

Kingdom Plantae

Divisi Spermatophyta

Sub divisi Angiospermae

Kelas Dicotyledone

Ordo Thymelaesles

Famili Thymelaeaceae

Genus Phaleria

Species Phaleria macrocarpa

Sumber: Harmanto (2001).

Nama lainPhaleria macrocarpaadalahPhaleria papuanaWarb var.

(59)
[image:59.595.227.420.157.299.2]

permukaan yang kasar. Kayu terasnya berwarna putih dan diameternya dapat mencapai 15 cm (Harmanto, 2002).

Gambar 13.Buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) (Harmanto, 2002).

Daun mahkota dewa merupakan daun tunggal, berhadapan, berbentuk lanset/ lonjong dan berwarna hijau dengan panjang 7-10 cm dan lebar 3-5 cm. Ujung daun dan pangkal berbentuk runcing dan bertepi rata. Sekilas daun mahkota dewa mirip dengan bentuk daun jambu air hanya lebih langsing, teksturnya lebih liat dan warna hijau tua. Daun yang tua warnanya lebih gelap daripada daun muda. Permukaannya licin dan tidak berbulu. Daun mahkota dewa termasuk bagian tumbuhan yang paling sering dipakai dalam pengobatan (Harmanto, 2002).

Bunga mahkota dewa tersusun dalam kelompok 2-4 bunga dan merupakan bunga majemuk. Pertumbuhannya menyebar di batang atau di ketiak daun, berwarna putih dan berbau harum, bentuknya seperti terompet kecil. Bunga muncul sepanjang tahun, dan paling banyak dihasilkan pada musim

(60)

Buah mahkota dewa terdiri dari kulit, daging, cangkang dan biji. Buah berbentuk ulat atau bulat telur. Ukurannya bervariasi, dari sebesar bola pingpong hingga sebesar buah apel. Buah yang masih muda berwarna hijau dan yang sudah tua berwarna merah dan beralur. Ketebalan kulitnya sekitar 0,5-1 mm. Daging buah berwarna putih dan ketebalannya bervariasi

tergantung pada ukuran buah (Harmanto, 2002).

Cangkang buah merupakan batok dari biji yang juga termasuk bagian

tanaman yang paling sering dimanfaatkan sebagai obat, selain daun, kulit dan dging buah. Warnanya putih dengan ketebalan dapat mencapai 2 mm.

Sedangkan biji mahkota dewa merupakan bagian tanaman yang paling sering beracun. Bentuknya bulat lonjong dengan diameter sekitar 1cm. Bagian dalamnya berwarna putih, Selain untuk obat, biji ini digunakan untuk perbanyakan dalam skala luas (Harmanto, 2001).

Zat aktif yang terkandung dalam daun dan kulit buah antara lain alkaloid, terpenoid, saponin, dan senyawa resin. Pada daunnya diketahui terkandung senyawa polifenol, sedangkan pada daun dan kulit buah terkandung

flavonoid, alkaloid, dan saponin (Harmanto, 2001).

(61)

kanker, ginjal serta penyakit kulit. Mahkota dewa juga dapat digunakan sebagai obat alergi, penurun kolesterol, serta sebagai obat untuk mengatasi ketergantungan narkoba. Selain itu, bersama dengan ramuan lain. Tumbuhan mahkota dewa juga sering digunakan sebagai obat penambah stamina serta untuk kecantikan wajah. Mahkota dewa dapat digunakan sebagai obat dalam dengan cara dimakan atau diminum, atau sebagai obat luar dengan cara dioleskan atau diulurkan (Harmanto, 2001).

Menurut Gotama dkk., (1999) di dalam kulit buah mahkota dewa terkandung senyawa alkaloid, saponin dan flavonoid, sedang dalam daunnya terkandung alkaloid, saponin dan polifenol. Dikatakan pula bahwa senyawa saponin merupakan larutan berbuih yang diklasifikasikan berdasarkan struktur aglycon ke dalam triterpenoid dan steoid saponin. Kedua senyawa tersebut mempunyai efek antiinflamasi, analgesik, antioksidan dan sitotoksik (De Padua dkk., 1999).

(62)
(63)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode acak terkontrol dengan polapost testonly control group design. Menggunakan 25 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley berumur 10 sampai 16 minggu yang dipilih secararandomyang dibagi menjadi 5

kelompok, dengan pengulangan sebanyak 5 kali, digunakan sebagai subjek penelitian.

3.2 Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan diPet HouseFakultas Kedokteran Universitas Lampung, sedangkan pembuatan preparat dan pengamatannya dilakukan di

(64)

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley berumur 10-16 minggu yang diperoleh dari laboratorium Balai Penelitian Veteriner (BALITVET) Bogor.

Sampel penelitian sebanyak 25 ekor yang dipilih secara acak yang dibagi dalam 5 kelompok. Menurut Dahlan (2009), pada uji eksperimental ini, variabel yang diuji adalah numerik tidak berpasangan sehingga perhitungan sampel dihitung dengan rumus :

Dengan kesalahan tipe I=Zα; kesalahan tipe II =Zβ; simpangan baku=S dan perbedaan rerata gambaran mikroskopis ginjal diharapkan sebagai ( ).

Zα=1,96

Zβ=1,282

S= 0,459

(65)

Maka jumlah minimal sampel perkelompok di bulatkan adalah 5 ekor tikus per kelompok. Jadi sampel yang akan digunakan adalah berdasarkan perhitungan, yaitu sejumlah 5 ekor tikus pada masing-masing kelompok percobaan.

Kriteria inklusi: 1. Tikus sehat

2. Memiliki berat badan antara 100-150 gram 3. Jenis kelamin jantan

4. Berusia sekitar ± 10-16 minggu (dewasa)

Kriteria ekslusi:

(66)

3.4 Alat dan Bahan

3.4.1 Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan yaitu rifampisin dengan dosis 1 g/kgBB dan ekstrak mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) dengan dosis 7,56 mg/100gBB; 15,12 mg/100gBB; dan 30,24 mg/100gBB.

3.4.2 Bahan Kimia

Bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat histologis dengan metode paraffin meliputi formalin 10% untuk fiksasi, alkohol 70%, alkohol 96%, alkohol absolut, etanol, xylol, pewarna Hematoksilin dan Eosin, dan entelan (Fk Unila, 2011).

3.4.3 Alat Penelitian

3.4.3.1 Alat Penelitian

(67)

3.4.3.2 Alat Pembuat Preparat Histopatologi

Alat pembuat preparat histopatologi yang digunakan adalah gelas objek, gelas dek, jaringan kaset, rotarymicrotom, oven, air, meja platening,autochinicomprosessor, tempat pewarnan, rak pewarnaan, kertas saring, histoplast, dan parafin.

3.5 Prosedur Penelitian

3.5.1 Prosedur Pemberian Ekstrak Buah Mahkota Dewa

3.5.1.1 Metode Pembuatan Ekstrak Buah Mahkota Dewa

Proses pembuatan ekstrak buah mahkota dewa dalam penelitian ini menggunakan etanol sebagai pelarut. Penelitian ini

menggunakan pelarut etanol, untuk membedakan dengan penelitian sebelumnya oleh Singh dkk.,(2009), yang menggunakan pelarut air.

(68)

diteruskan ke tahap evaporasi denganRotary evaporatorpada suhu 400C sehingga akhirnya diperoleh ekstrak kering.

3.5.1.2 Prosedur Pemberian Dosis Ekstrak Buah Mahkota Dewa Dosis normal pada manusia adalah 12 mg/kgBB. Angka konversi dari manusia dengan berat badan 70 kg dengan tikus dengan berat badan 200 g adalah 0,018 (Rahmawati, 2006).

Dosis untuk 100 g tikus adalah 7,56 mg/100gBB. Dalam

penelitian ini kelompok kontrol negatif dan kontrol positif tidak diberikan ekstrak mahkota dewa. Dosis mahkota dewa pertama diambil dari dosis normal tikus, sedangkan dosis mahkota dewa kedua diambil dari hasil pengalian 2x dari dosis pertama. Sedangkan untuk dosis ketiga diambil dari hasil pengalian 4x dosis normal atau 2x dari hasil pengalian dosis kedua. Hal ini memicu pada penelitian yang dilakukan oleh Nurul, Tetri, dan Shanti (2006) bahwa penggunaan dosis 0,033 g ekstrak mahkota dewa mampu menyebabkan efek teratogenik pada tikus bunting selama 10 hari di hari ke-7 hingga 17 pada saat kehamilan.

Dosis tikus (200 g)= 12 mg/kgBB x 70 kg x 0,018

(69)

Untuk kelompok perlakuan I : 7,56 mg/100gBB Untuk kelompok perlakuan II : 2 x 7,56 mg/100gBB

= 15,12 mg/100gBB Untuk kelompok perlakuan III : 4 x 7,56 mg/100gBB

= 30,24 mg/100gBB

Volume ekstrak buah mahkota dewa diberikan secara oral sebanyak 1 ml yang merupakan volume yang boleh diberikan didasarkan pada volume normal lambung tikus adalah 3-5 ml. Jika volume ekstrak melebihi volume lambung, dapat berakibat dilatasi lambung secara akut yang dapat menyebabkan robeknya saluran cerna (Ngatidjan, 2006).

3.5.2 Prosedur Pemberian Dosis Rifampisin

Dosis rifampisin yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan dari hasil penelitian sebelumnya diberikan rifampisin 1 g/kgBB per hari. Dosis ini merupakan dosis toksik pada tikus. Pada penelitian sebelumnya didapatkan hasil bahwa dosis tersebut dapat menyebabkan

trombositopenia, anemia hemolitik,transient leucopenia, dan peningkatannucleated cellpada sumsum tulang belakang serta

(70)

superoxide di hati dan summsum tulang belakang (Dhuley dan Naik, 1998).

Hal ini berarti sebagai berikut:

Pada berat tikus rata-rata sekitar 100 mg atau 0,1 kg maka dosis perekor tikus sebesar:

1 g/kgBB x 0,1 kg = 0,1 g = 100 mg

Dosis rifampisin yang dipilih adalah rifampisin tablet sediaan 600 mg, hal ini dikarenakan pemberian peroral. Rifampisin tablet digerus dan dilarutkan dalam 6 ml aquadest. Jadi dalam 1 ml larutan rifampisin terdapat 100 mg.

3.5.3 Prosedur Penelitian

(71)

9 dan 10, masing-masing tikus dari kelompok III, IV dan V tetap diberikan ekstrak mahkota dewa.

b. Setelah 10 hari, perlakuan diberhentikan.

c. Selanjutnya tikus dinarkose dengan kloroform dan dilakukan pembedahan.

d. Dilakukan laparotomi, ginjal mencit diambil untuk sediaan

mikroskopis. Pembuatan sediaan mikroskopis dengan metode paraffin dan pewarnaan Hematoksilin Eosin.

e. Sampel ginjal difiksasi dengan formalin 10%. f. Teknik pembuatan preparat:

1) Fixation

a) Memfiksasi spesimen berupa potongan organ ginjal yang telah dipilih segera dengan larutan pengawet formalin 10%.

b) Mencuci dengan air mengalir. 2) Trimming

a) Mengecilkan organ ± 3 mm.

b) Memasukkan potongan organ ginjal tersebut ke dalam

embedding cassette. 3) Dehidrasi

a) Menuntaskan air dengan meletakkanembedding cassettepada kertas tisu.

(72)

4) Clearing

Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukanclearingdengan xilol I, II, III masing-masing selama 30 menit.

5) Impregnasi

Impregnasidengan menggunakan paraffin I dan II masing-masing selama 1 jam di dalam inkubator dengan suhu 65,10C.

6) Embedding

a) Menuangkan paraffin cair dalam pan.

b) Memindahkan satu persatu dariembedding cassetteke dasar pan.

c) Melepaskan paraffin yang berisi potongan ginjal dari pan dengan memasukkan ke dalam suhu 4-60C beberapa saat. d) Memotong paraffin sesuai dengan letak jaringan yang ada

dengan menggunakanscalpel/pisau hangat.

e) Meletakkan pada balok kayu, ratakan pinggirnya dan buat ujungnya sedikit meruncing.

f) Memblok paraffin siap dipotong dengan mikrotom. 7) Cutting

a) Sebelum memotong, mendinginkan blok terlebih dahulu. b) Melakukan pemotongan kasar, dilanjutkan dengan pemotongan

halus dengan ketebalan 4-5 mikron.

(73)

salah satu sisi lembaran jaringan tersebut dengan ujung jarum dan sisi yan lain ditarik menggunakan kuas runcing.

d) Memindahkan lembaran jaringan ke dalamwater bathselama beberapa detik sampai mengembang sempurna.

e) Dengan gerakan menyendok mengambil lembaran jaringan tersebut denganslidebersih dan menempatkan di tengah atau pada sepertiga atas atau bawah, mencegah jangan sampai ada gelembung udara di bawah jaringan.

f) Mengeringkan slide. Jika sudah kering, slide dipanaskan untuk merekatkan jaringan dan sisa paraffin mencair sebelum

pewarnaan.

g) Staining(pewarnaan) denganHarris Hematoxylin Eosin

Setelah jaringan melekat sempurna padaslide, memilihslide

yang terbaik selanjutnya secara berurutan memasukkan ke dalam zat kimia di bawah ini dengan waktu sebagai berikut : Untuk pewarnaan, zat kimia yang pertama digunakan xilol I, II, III masing-masing selama 5 menit. Kedua, zat kimia yang digunakan Alkohol absolut I, II, III masing-masing selama 5 menit. Zat kimia yang ketiga aquadest selama 1 menit.

Keempat, potongan organ di masukkan dalam zat warna Harris Hematoxylin selama 20 menit.

(74)

dan IV masing-masing selama 3 menit. Terakhir, memasukan dalam xilol IV dan V masing-masing 5 menit.

8) Mounting

Setelah pewarnaan selesai menempatkanslidediatas kertas tisu pada tempat datar, menetesi dengan bahanmountingyaitu kanada balsam dan tutup dengancover glasscegah jangan sampai

terbentuk gelembung udara. 9) Membacaslidedengan mikroskop

(75)

Timbang berat badan tikus

K1 K2 K3 K4 K5

Tikus diadaptasikan selama 7 hari

Tikus diberi perlakuan selama 8 hari

Cekok Cekok Cekok

mahkota dewa 7,56 mg/100gBB mahkota dewa 15,12mg/100gBB mahkota dewa30,24mg/100gBB

Cekok I.P I.P. I.P. I.P.

Aquadest Rifampisin 1g/kgBB Rifampisin 1g/kgBB Rifampisin 1 g/kgBB Rifampisin 1g/kgBB

1x sehari 1x sehari 1x sehari 1x sehari 1x sehari

Pada hari ke 9 dan 10

Cekok I.P. Cekok Cekok Cekok

Aquades Aquades

mahkota dewa mahkota dewa mahkota dewa 7,56 mg/100gBB 15,12mg/100gBB 30,24mg/100gBB 1x sehari 1x sehari 1x sehari 1x sehari 1x sehari

Mencit di narkosis dengan kloroform

Lakukan laparotomi lalu ginjal mencit di ambil

Sampel ginjal difiksasi dengan formalin 10%

Sample ginjal dikirim ke Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung untuk pembuatan sediaan histopatologi

Pengamatan sediaan histopatologi dengan mikroskop

[image:75.595.93.507.101.542.2]

Interpretasi hasil pengamatan

Gambar 14.Diagram alur penelitian November 2012.

(76)

3.6 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

3.6.1 Identifikasi Variabel

Terdapat dua variabel dalam penelitian ini, yaitu:

(77)
[image:77.595.115.512.153.589.2]

3.6.2 Definisi Operasional Variabel

Tabel 5.Definisi Operasional.

Variabel Definisi Skala

Dosis ekstrak buah mahkota dewa

Dosis efektif tengah mahkota dewa adalah 7,56 mg/100gBB.

Kelompok I (kontrol negatif ) = pemberian aquades Kelompok II (kontrol patologis ) = pemberian rifampisin 1 g/kgBB

Kelompok III (perlakuan coba) = pemberian mahkota dewa 7,56 mg/100gBB + rifampisin 1g/kgBB

Kelompok IV (perlakuan coba) = pemberian mahkota dewa 15,12 mg/100gBB + rifampisin 1g/kgBB

Kelompok V (perlakuan coba) = pemberian mahkota dewa 30,24 mg/ 100gBB + rifampisin 1g/kg BB

Numerik

Gambaran histopatologi

ginjal tikus

Gambaran kerusakan tubulus proksimal ginjal tikus dilihat dengan melakukan pengamatan sediaan histopatologi menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 40x pada 10 lapang pandang, kerusakan tubulus dan glomerulus. Setiap lapangan pandang dijumlahkan skornya dan dirata-ratakan.

a. Skor 0: Normal.

Tidak ada tanda akut tubulointertitial nephritis b. Skor 1: Kerusakan ringan.

Ditemukan tanda-tanda oedematus berupa edema interstitial pada sel epitel tubulus dan glomerulus c. Skor 2: Kerusakan sedang.

Ditemukan tanda-tanda perdarahan berupa adanya infiltrasi sel radang akut/kronis, dilatasi pembuluh darah,dan perdarahan

d. Skor 3: Kerusakan berat.

Ditemukan adanya tanda-tanda oedematus dan perdarahan pada tubulus dan glomerulus disertai dengan adanya fibrosis interstitial, atrofi tubulus, dan masa pada tubulus.

Data skor tersebut dibuat rata-rata untuk setiap tikus

(78)

3.7 Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan histopatologi di bawah mikroskop diuji analisis statistik menggunakan program SPSS versi 16.0. Hasil

penelitian dianalisis apakah memiliki distribusi normal atau tidak secara statistik dengan uji normalitasShapiro-Wilkkarena jumlah sampel≤50.

Kemudian, dilakukan ujiLeveneuntuk menyetahui apakah dua atau lebih kelompok data memiliki varians yang sama atau tidak. Jika varians data berdistribusi normal dan homogen, dilanjutkan dengan metode uji parametrik

one way analysis of varian(ANOVA). Bila tidak memenuhi syarat uji

parametrik, digunakan uji nonparametrikKruskal-Wallis. Hipotesis dianggap bermakna bila p<0,050. Jika pada ujione wayANOVA atauKruskal-Wallis

menghasilkan nilai p<0,050, maka dilanjutkan dengan melakukan analisis

Gambar

Gambar 1. Diagram kerangka teori tentang pengaruh mahkota dewa (Phaleria macrocarpa)terhadap ginjal akibat penggunaan rifampisin.
Kontrol NormalKelompok 1Gambaranhistopatologi
Gambar 3. Anatomi ginjal manusia (Moore dan Agur, 2002).
Gambar 4. Sistem perdarahan ginjal manusia (Slomianka, 2009).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi yang berjudul “Formulasi Sediaan Gel Ekstrak Etanolik Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) Dengan Basis Carbomer”, disusun sebagai salah satu syarat

FORMULASI KRIM EKSTRAK ETANOLIK BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) DENGAN BASIS A/M DAN M/A.. FORMULATION OF CREAM ETHANOLIC EXTRACT OF Phaleria

Skripsi yang berjudul “Formulasi Sediaan Gel Ekstrak Etanolik Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) dengan Basis HPMC”, disusun sebagai salah satu syarat

Uji Efektivitas Ekstrak Buah Kurma (Phoenix dactylifera) Dan Ekstrak Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) Sebagai Nefroprotektor Terhadap Tikus Yang Di

Ekstrak etanol buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl) terhadap HeLa cell line tidak dapat memberikan efek sitotoksik. Kata kunci : Buah mahkota dewa,

UJI EFEK IMUNOMODULATOR EKSTRAK ETANOL DAUN MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl.) PADA.. MENCIT JANTAN

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan ekstrak etanol kulit buah mahkota dewa memiliki efek antiinflamasi terhadap edema kaki tikus putih jantan yang diinduksi

Telah diuji aktivitas antiradang senyawa dominan buah Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa Scheff. Boerl) yaitu senyawa hidroksi benzofenon glukosida, pada hewan