• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Ekspresi Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) dengan Derajat Destruksi Tulang Akibat Kolesteatoma Pada Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Bahaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Ekspresi Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) dengan Derajat Destruksi Tulang Akibat Kolesteatoma Pada Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Bahaya."

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN EKSPRESI TUMOR NECROSIS FACTOR ALPHA (TNF-α) DENGAN DERAJAT DESTRUKSI TULANG AKIBAT KOLESTEATOMA PADA PENDERITA OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS TIPE BAHAYA

Tesis

Oleh:

SARA YOSEPHINE ARUAN

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

HUBUNGAN EKSPRESI TUMOR NECROSIS FACTOR ALPHA (TNF-α) DENGAN DERAJAT DESTRUKSI TULANG AKIBAT KOLESTEATOMA PADA PENDERITA OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS TIPE BAHAYA

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Spesialis dalam Bidang Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher

Oleh:

SARA YOSEPHINE ARUAN

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Salam sejahtera, puji syukur saya sampaikan kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas kasih setia, penyertaan dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun pembahasannya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan penelitian dengan judul Hubungan Ekspresi

Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) dengan Derajat Destruksi Tulang Akibat Kolesteatoma Pada Penderita Otitis Media Supuratif

Kronis Tipe Bahaya.

Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K) atas kesediaannya sebagai ketua pembimbing penelitian ini, dr. Devira Zahara, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL dan dr. Aliandri, SpTHT-KL sebagai anggota pembimbing. Di tengah kesibukan beliau, dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.

Rasa terimakasih yang setinggi-tingginya kepada dr. Taufik Ashar, MKM sebagai pembimbing ahli yang banyak memberi bantuan, bimbingan dan masukan dalam bidang metodelogi penelitian dan statistik.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan Spesialis saya, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

(4)

Sumatera Utara, Prof. dr. Chairuddin Panusunan Lubis, Sp.A(K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran USU.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah mengizinkan peneliti untuk mengambil data di rumah sakit yang beliau pimpin dan telah memberikan kesempatan pada saya untuk menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin.

Yang terhormat Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna Sp.THT-KL, Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU sebelumnya Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K) yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti Program Spesialis Kedokteran Klinik sampai selesai.

(5)

dr. Harry Agustaf Asroel, M.Ked, Sp.THT-KL, dr. Farhat, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K), Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, KL, dr. Ashri Yudhistira, M.Ked (ORL-HNS) Sp.THT-KL, dr. Devira Zahara, M.Ked (ORL-HNS), SpTHT-Sp.THT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto, M.Ked (ORL-HNS), SpTHT-KL, dr. M. Pahala Hanafi Harahap, SpTHT-KL dan dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, SpTHT-KL. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini.

Yang terhormat Kepala Departemen/Staf Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik Medan Medan terutama dr. Djamaluddin, SpPA yang telah banyak memberikan ilmu dan bantuan kepada saya dalam melakukan penelitian ini.

Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, atas bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa pendidikan.

Yang mulia dan tercinta Ayahanda (Alm) Oberlin Aruan dan Ibunda (Almh) Dora Panjaitan, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang baik serta diberikan suri tauladan yang baik hingga menjadi landasan yang kokoh dalam menghadapi kehidupan ini.

Yang tercinta Bapak Mertua (Alm) Kapten Djabatan Saragi dan (Almh) Ibu Mertua Aspita Situmorang yang selama ini telah memberikan dorongan dan restu untuk selalu menuntut ilmu setinggi-tingginya.

(6)

henti-hentinya dan doa kepada ibunda sehingga dengan rahmat Tuhan akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.

Kepada saudara-saudara saya tercinta, Abangda TJ Gunung Aruan, Kakanda Mewati Aruan, BSc, Kakanda Farida Aruan, Kakanda Dra. Duma Sari Aruan, Kakanda Magdalena Aruan, Kakanda dr. Riris RHV Aruan, Kakanda Ilva Aruan, Adinda drg. Dermawan Evi Yanti Aruan dan Kakanda Dra. Desmawati Saragi beserta keluarga, penulis mengucapkan terima kasih atas limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa kepada penulis.

Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Tuhan Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Amin.

Medan, April 2014 Penulis

(7)

ABSTRAK

Pendahuluan: Kolesteatoma merupakan penyakit yang menyebabkan destruksi tulang dan komplikasi yang berbahaya. Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) merupakan sitokin utama yang terlibat dalam proses tersebut.

Tujuan: Mengetahui hubungan ekpresi TNF-α dengan derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma pada penderita Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) tipe bahaya.

Metode:Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan design cross sectional. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan untuk menilai ekspresi TNF-α pada kolesteatoma

Hasil penelitian: Ekspresi TNF-α yang positif/over ekspresi lebih banyak pada kelompok dengan destruksi tulang derajat sedang yaitu sebanyak 16 (57,9%) responden. Terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan derajat destruksi tulang (p=0,001)

Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan destruksi tulang akibat kolesteatoma pada penderita OMSK tipe bahaya (p=0,001).

(8)

ABSTRACT

Introduction: Cholesteatoma is a disease which promotes bone destruction resulting in potentially serious complication. The Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) is one of the main cytokine involved in this process.

Purpose: Aim of this study is to see the relationship between TNF-α expression and bone destruction in dangerous type of CSOM.

Method: Analitic study with a cross sectional design, which analyzed 30 cholesteatomas through immunohistochemistry to evaluated the TNF-α expression.

Result: Over-expression of TNF-α is highest in the group with moderate bone destruction as many as 16 (57.9%) respondents. There is a significant association between TNF-α expression with the degree of bone destruction (p=0.001).

Conclusion: There is a significant association between TNF-α expression with the degree of bone destruction (p=0.001).

(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN………

Halaman i

KATA PENGANTAR……… ii

ABSTRAK … ……… vi

ABSTRACT ………. vii

DAFTAR ISI ………. viii

DAFTAR LAMPIRAN……… xi

DAFTAR GAMBAR………. xii

DAFTAR TABEL ……….. xiii

DAFTAR SINGKATAN ………. ….. xiv

BAB 1. PENDAHULUAN………. 1

1.1. Latar Belakang……… 1

1.2. Permasalahan……….. 3

1.3. Hipotesis ………. 3

1.4. Tujuan Penelitian……… 3

1.4.1. Tujuan umum……….. 3

1.4.2. Tujuan khusus………. 4

1.5. Manfaat Penelitian………. 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 5 2.1. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)... 5

2.1.1. Etiologi OMSK... 5

2.1.2. Patogenesis OMSK ... 6

2.1.3. Diagnosis OMSK………. 8

2.1.4. Penatalaksanaan OMSK……… 9

2.2. Kolesteatoma 10 2.2.1. Definisi………. 10

2.2.2. Sejarah kolestetaoma……… 10

2.2.3. Epidemiologi………... 11

2.2.4. Histopatologi………... 12

2.2.5. Patogenesis kolesteatoma………... 13

(10)

2.2.7.Komplikasi OMSK dengan kolesteatoma……….. 18

2.2.8. Stadium dan derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma………. 19

2.3. Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α)………. 21

2.4. TNF-α Dalam Kolesteatoma Acquired……… 26

2.5. Anatomi Telinga Tengah 27 2.5.1. Membran timpani………. 27

2.5.2. Kavum timpani………. 27

2.5.3. Tuba Eustachius ……….. 28

2.5.4. Prosesus mastoid……… 29

2.5.5. Vaskularisasi telinga tengah……….. 29

2.6. Imunohistokimia 30 2.7.1. Metode pewarnaan imunohistokimia………... 30

2.7. Kerangka Teori………. 32

2.8. Kerangka Konsep………. 34

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN 35 3.1. Jenis Penelitian……… 35

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian………. 35

3.3. Populasi, Sampel dan Besar Sampel………. 35

3.3.1. Populasi……….. 35

3.3.2. Sampel……… 35

3.3.3. Besar sampel………. 36

3.3.4. Teknik pengambilan sampel……….. 37

3.4. Variabel Penelitian……….. 37

3.5. Definisi Operasional………. 37

3.6. Alat dan Bahan Penelitian………. 42

3.6.1. Alat penelitian……… 42

3.6.2. Bahan penelitian……… 43

3.7. Prosedur Kerja……….. 43

3.8. Teknik Pengumpulan Data………. 44

3.9. Analisis Data……….. 45

3.10. Kerangka Kerja………. 46

(11)

4.1. Hasil Analisis Univariat………. 47

4.2. Hasil Analsisi Bivariat……….. 50

BAB 5. PEMBAHASAN……… 53

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN………. 61

6.1. Kesimpulan……… 61

6.2. Saran……….. 61

DAFTAR PUSTAKA………. 63

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1……… 69

Lampiran 2……… 74

Lampiran 3……… 76

Lampiran 4……… 77

Lampiran 5……… 78

Lampiran 6……… 81

Lampiran 7……… 83

Lampiran 8……….. 96

Lampiran 9……….. 97

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Patogenesis otitis media……… 7

Gambar 2.2. Histopatologi kolesteatoma………… 13

Gambar 2.3. Kerja TNF-α di dalam sel. Setelah berikatan dengan reseptornya, TNF-α mengaktivasi NF-κB, yang memproduksi dan mengeluarkan berbagai zat yang terlibat dalam respon inflamasi dan imunologi……… 25

Gambar 2.4. Kerangka Teori……… 32

Gambar 2.5. Kerangka Konsep……… 34

Gambar 3.1. Kerangka Kerja……… 46

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1.1. Proporsi penderita OMSK tipe bahaya berdasarkan

jenis kelamin……….. 47

Tabel 4.1.2. Proporsi penderita OMSK tipe bahaya berdasarkan

kelompok usia………. 48

Tabel 4.1.3. Proporsi penderita OMSK tipe bahaya

berdasarkan gejala klinis... 48 Tabel 4.1.4. Proporsi penderita OMSK tipe bahaya

berdasarkan lama keluhan………. 49 Tabel 4.1.5. Proporsi penderita OMSK tipe bahaya berdasarkan

komplikasi……….. 49

Tabel 4.1.6. Proporsi penderita OMSK tipe bahaya berdasarkan

Ekspresi TNF-α……….. 49

Tabel 4.2.1. Hubungan ekspresi TNF-α dengan kelompok

usia……….. 50

Tabel 4.2.2. Hubungan ekspresi TNF-α dengan lama

keluhan... 50 Tabel 4.2.3. Hubungan ekspresi TNF-α dengan komplikasi

OMSK tipe bahaya ………. 51 Tabel 4.2.4. Hubungan ekspresi TNF-α dengan derajat

destruksi tulang ……….. 51 Tabel 4.2.5. Hubungan skor imunoreaktifitas TNF-α dengan

(15)

DAFTAR SINGKATAN

CK10= Citokeratin

ECM= Extra Selular Matrix CT= Computed Tomography

EGFR= Epidermal Growth Factor Receptor IL-1= Interleukin-1

IL-6= Interleukin-6

JOS=Japan Otological Society KGF= Keratinocyte Growth Factor LPS= Lipopolisakarida bacterial

M-CSF= Macrophage Colony Stimulating Factor MIF= Macrophage Migration Inhibitory Factor MMP= Matrix Metaloproteinase

OMSK= Otitis Media Supuratif Kronis MRI= Magnetic Resonance Imaging

OPG= osteoprotegrin

(16)

ABSTRAK

Pendahuluan: Kolesteatoma merupakan penyakit yang menyebabkan destruksi tulang dan komplikasi yang berbahaya. Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) merupakan sitokin utama yang terlibat dalam proses tersebut.

Tujuan: Mengetahui hubungan ekpresi TNF-α dengan derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma pada penderita Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) tipe bahaya.

Metode:Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan design cross sectional. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan untuk menilai ekspresi TNF-α pada kolesteatoma

Hasil penelitian: Ekspresi TNF-α yang positif/over ekspresi lebih banyak pada kelompok dengan destruksi tulang derajat sedang yaitu sebanyak 16 (57,9%) responden. Terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan derajat destruksi tulang (p=0,001)

Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan destruksi tulang akibat kolesteatoma pada penderita OMSK tipe bahaya (p=0,001).

(17)

ABSTRACT

Introduction: Cholesteatoma is a disease which promotes bone destruction resulting in potentially serious complication. The Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) is one of the main cytokine involved in this process.

Purpose: Aim of this study is to see the relationship between TNF-α expression and bone destruction in dangerous type of CSOM.

Method: Analitic study with a cross sectional design, which analyzed 30 cholesteatomas through immunohistochemistry to evaluated the TNF-α expression.

Result: Over-expression of TNF-α is highest in the group with moderate bone destruction as many as 16 (57.9%) respondents. There is a significant association between TNF-α expression with the degree of bone destruction (p=0.001).

Conclusion: There is a significant association between TNF-α expression with the degree of bone destruction (p=0.001).

(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Otitis media supuratif kronis (OMSK) merupakan penyakit yang sering terjadi pada negara berkembang dan komplikasi yang menyertainya masih merupakan problem utama (Viswanatha & Naseeruddin 2013). Pada negara berkembang masalah kemiskinan, rendahnya pengetahuan, kurangnya tenaga spesialis dan akses pelayanan kesehatan yang terbatas memperburuk perjalanan penyakit dan komplikasi OMSK (Orji 2013).

Prevalensi OMSK di negara berkembang dilaporkan sebesar 11%, sedangkan di negara maju sebesar 2% (Ibekwe & Nwaorgu, 2011; Orji 2013). Menurut World Health Organization (2004) penderita penyakit ini di seluruh dunia berkisar antara 65-330 juta penderita, 60% diantaranya (39-200 juta) mengalami kematian dan ≤ 2 juta mengalami kecacatan, 94% diantaranya terdapat di negara berkembang.

Prevalensi OMSK di Indonesia secara umum adalah 3,8% dan pasien OMSK merupakan 25% dari pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia (Kelompok Studi Otologi PERHATI-KL 2002). Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan 26% dari seluruh kunjungan merupakan penderita OMSK (Aboet 2008). Suryanti & Rukmini (2003) pada penelitiannya di RSUD Soetomo Surabaya menemukan 331 penderita OMSK yang berobat periode Januari 2002 - Desember 2002.

Faktor risiko OMSK adalah lingkungan yang padat, higine yang buruk, nutrisi yang kurang, tingginya koloni bakteri patogen di nasofaring dan kurangnya pelayanan kesehatan (Orji 2013).

(19)

yang efektif pada kolesteatoma (Wright & Valentine 2008). Hal ini menyebabkan penatalaksanaan kolesteatoma menjadi sangat mahal dan teknik operasinya sulit dikerjakan di negara yang miskin (Orji 2013).

Prevalensi kolesteatoma yang pasti belum diketahui. Pada 10% kasus OMSK terdapat kolesteatoma acquired. Insidens kolesteatoma berkisar antara 3-12 kasus per 100.000 populasi (Chole & Nason 2009). Di RSUP H. Adam Malik Medan periode 1 Januari 2006 - 31 Desember 2010 terdapat 119 kasus OMSK dengan kolesteatoma (Siregar 2013). Wisnubroto (2002) di RSUD dr. Soetomo Surabaya melaporkan telah dilakukan operasi mastoidektomi radikal sebanyak 298 (56,1%) kasus OMSK dengan kolesteatoma.

Pada 80% kasus kolesteatoma terjadi erosi tulang, hal ini akan menyebabkan komplikasi ekstrakranial dan intrakranial. Erosi tulang yang disebabkan kolesteatoma ini merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas pada penderita otitis media kronik (Vitale & Ribeiro 2007). OMSK dengan kolesteatoma merupakan suatu kondisi dimana terdapat ketidakseimbangan antara pembentukan dan resorpsi tulang. Reaksi inflamasi lokal memegang peranan penting pada resorpsi tulang (Kuczkowski et al. 2011).

Chole & Nason (2009) menyatakan erosi tulang akibat kolesteatoma dipicu oleh sitokin pro inflamasi seperti tumor necrosis factor alpha (TNF-α), interleukin-1 (IL-1) dan interleukin-6 (IL-6).

TNF-α merupakan sitokin pro inflamasi utama pada proses destruksi tulang. TNF-α menyebabkan destruksi tulang dengan cara bekerja secara langsung dalam diferensiasi dan maturasi osteoklas, dan secara tidak langsung mengekspos matriks tulang (Vitale & Ribeiro 2007).

(20)

Brasil menyatakan TNF-α sebagai mediator dalam destruksi tulang. Amar et al. (1996) di Mesir seperti yang dikutip oleh Vitale & Ribeiro (2007) menemukan konsentrasi TNF-α secara signifikan lebih tinggi pada kolesteatoma yang agresif. TNF-α secara langsung terlibat dalam erosi tulang dan berperan sebagai autocrine growth factor dan secara tidak langsung merangsang enzim lisozim hidrolase. Yan & Huang (1991) di Amerika seperti yang dikutip oleh Vitale & Ribeiro (2007) menemukan penambahan TNF-α pada kultur jaringan tulang merangsang osteoklas yang menyebabkan rusaknya struktur tulang.

Penelitian yang berhubungan dengan ekspresi TNF-α terhadap derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma belum pernah dilakukan di Indonesia. Dari uraian diatas, peneliti tertarik untuk melihat apakah ada hubungan antara ekspresi TNF-α dengan derajat dekstruksi tulang akibat kolesteatoma sehingga memungkinkan penatalaksanaan yang tepat terhadap kolesteatoma.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu apakah terdapat hubungan antara ekspresi TNF-α dengan derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma pada penderita OMSK tipe bahaya?

1.3. Hipotesis

Terdapat hubungan antara ekpresi TNF-α dengan derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma pada penderita OMSK tipe bahaya.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan umum

(21)

1.4.2. Tujuan khusus.

a. Mengetahui proporsi penderita OMSK tipe bahaya berdasarkan jenis kelamin

b. Mengetahui proporsi penderita OMSK tipe bahaya berdasarkan kelompok usia

c. Mengetahui proporsi penderita OMSK tipe bahaya berdasarkan gejala klinis

d. Mengetahui proporsi penderita OMSK tipe bahaya berdasarkan lama keluhan.

e. Mengetahui proporsi penderita OMSK tipe bahaya berdasarkan komplikasi

f. Mengetahui proporsi penderita OMSK tipe bahaya berdasarkan ekspresi TNF-α

g. Mengetahui hubungan ekspresi TNF h. Mengetahui hubungan ekspresi

-α dengan kelompok usia. TNF

i. Mengetahui hubungan ekspresi TNF-α dengan OMSK dengan dan tanpa komplikasi.

-α dengan lama keluhan

j. Mengetahui hubungan skor imunoreaktifitas TNF-α dengan derajat destruksi tulang

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat antara lain :

1.5.1. Sebagai dasar penelitian penggunaan ekspresi TNF-α sebagai marker faktor prognostik penyakit OMSK tipe bahaya

(22)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)

Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 3 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (World Health Organization 2004; Helmi 2005; Chole & Nason 2009

OMSK dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe benigna dan tipe bahaya. OMSK tipe bahaya adalah OMSK yang mengandung kolesteatoma,

).

disebut tipe bahaya karena sering menimbulkan komplikasi berbahaya (Helmi 2005; Chole & Nason 2009).

Insidens OMSK tinggi di negara berkembang, karena lingkungan yang padat, pelayanan kesehatan yang tidak memadai, higiene yang buruk, dan infeksi saluran pernafasan atas yang rekuren, nutrisi yang kurang dan polusi (World Health Organization 2004; Chole & Nason 2009).

OMSK tipe bahaya disebut juga tipe atikoantral. Komplikasi umumnya disebabkan jaringan granulasi dan kolesteatoma yang menyebabkan erosi dan nekrosis yang mengenai struktur penting seperti nervus fasialis, telinga dalam dan komponen intrakranial. Dapat terjadi erosi tulang pendengaran dan menyebabkan ketulian (Browning et al. 2008; Rout et al. 2012).

2.1.1.

Faktor risiko pada otitis media adalah disfungsi tuba Eustachius (misalnya rinosinusitis, hipertrofi adenoid, atau karsinoma nasofaring), imunodefisiensi (primer atau didapat), gangguan fungsi silia, anomali midfasial kongenital (cleft palate atau Down syndrome), dan refluks gastroesofageal. Faktor risiko yang menonjol pada OMSK adalah infeksi otitis media yang berulang dan orang tua dengan riwayat otitis media

(23)

kronis dengan perawatan yang tidak baik (World Health Organization 2004; Ramakrishnan et al. 2005; Bhat et al. 2009; Chole & Nason 2009). Kuman yang terdapat di telinga tengah dapat masuk dari liang telinga luar melalui perforasi membran timpani ataupun melalui nasofaring. Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri yang terbanyak dijumpai pada otitis media akut. Pada isolasi dari otitis media kronis, kuman aerobik dan anaerobik juga terlibat pada sebagian kasus. Kuman aerob yang sering dijumpai adalah Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, basil gram negatif seperti Escherichia coli, Proteus species, dan Klebsiella species. Kuman anaerob yang paling sering dijumpai adalah Bacteroides spp. dan Fusobacterium spp. (World Health Organization 2004; Chole & Sudhoff 2005; Wright & Valentine 2008; Chole & Nason 2009).

Jamur dapat pula dijumpai pada otitis media kronis khususnya Aspergillus spp. dan Candida spp. Jamur mungkin dapat tumbuh berlebihan setelah pemakaian obat tetes antibiotika (Chole & Nason 2009).

2.1.2. Patogenesis OMSK

(24)

Gambar 2.1. Patogenesis Otitis Media (Juhn et al. 2008)

OMSK ditandai dengan keadaan patologis yaitu inflamasi yang ireversibel di telinga tengah dan mastoid. Disfungsi tuba Eustachius memegang peranan penting pada otitis media akut dan otitis media kronis. Kontraksi muskulus veli palatini menyebabkan tuba Eustachius membuka selama proses menelan dan pada kondisi fisiologik tertentu, mengalirkan sekret dari telinga tengah ke nasofaring, mencegah sekret dari nasofaring refluks ke telinga tengah dan menyeimbangkan tekanan antara telinga tengah dengan lingkungan luar (Chole & Nason 2009). Bila bakteri memasuki telinga tengah melalui nasofaring atau defek membran timpani, terjadi replikasi bakteri di dalam efusi serosa. Hal ini diikuti oleh pelepasan mediator inflamasi ke dalam ruang telinga tengah. Hiperemia dan leukosit polimorfonuklear yang mendominasi fase inflamasi akut memberi jalan pada fase kronis, ditandai dengan mediator selular mononuklear (makrofag, sel plasma dan limfosit), edema persisten dan jaringan granulasi. Selanjutnya dapat terjadi metaplasia epitel telinga tengah, dimana terjadi perubahan epitel kuboidal menjadi epitel kolumnar pseudostratified yang mampu meningkatkan sekret mukoid. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrotik, kadang-kadang membentuk adhesi terhadap struktur penting di telinga tengah. Hal ini akan mengganggu

(25)

aerasi antrum dan mastoid dengan mengurangi ruang antara osikel dan mukosa yang memisahkan telinga tengah dari antrum. Obstruksi kronis menyebabkan perubahan ireversibel di dalam tulang dan mukosa (Chole & Nason 2009).

2.1.3. Diagnosis OMSK

Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Gejala klinis meliputi tuli, otorea, otalgia, obstruksi hidung, tinitus dan vertigo. Tuli dan otorea merupakan gejala yang paling umum terjadi

(Chole & Nason 2009).

OMSK ditandai oleh otorea yang banyak dan intermiten, bila disertai dengan kolesteatoma yang terinfeksi maka menimbulkan bau busuk. Nyeri dapat terjadi sebagai tanda komplikasi intrakranial dari kolesteatoma. Gejala lainnya adalah otorea yang berdarah, vertigo akibat fistula labirin, paralisis nervus fasialis atau gejala neurologis akibat penyebaran intrakranial. Jaringan granulasi sering yang sering dijumpai pada otitis media kronis disebabkan oleh reaksi inflamasi (Yates & Anari 2008; Chole & Nason 2009).

Diagnosis OMSK dan kolesteatoma telinga biasanya dilakukan dengan pemeriksaan otomikroskopik. Perlu juga untuk mengevaluasi nasofaring karena disfungsi tuba Eustachius sering menyebabkan OMSK pada beberapa kasus. Pemeriksaan dengan mikroskop akan membantu untuk mengidentifikasi perforasi membran timpani, retraction pockets, kolesteatoma, dan jaringan granulasi. Primary acquired kolesteatoma akan terlihat pada daerah posterosuperior membran timpani yang tampak seperti defek mutiara putih yang mengandung debris keratin, sementara secondary acquired kolesteatoma dapat dilihat di belakang membran timpani (Yates & Anari 2008; Chole & Nason 2009).

(26)

mendiagnosis kolesteatoma, namun spesifitasnya kurang untuk membedakan kolesteatoma dengan jaringan granulasi atau edema. Pada CT, kolesteatoma terlihat sebagai lesi yang halus dan berbatas tajam, umumnya CT dilakukan tanpa kontras (Wright & Valentine 2008; Chole & Nason 2009).

Pada pemeriksaan dengan magnetic resonance imaging (MRI) kolesteatoma terlihat sebagai low signal pada T1-weighted images dan high signal pada T2-weighted images. MRI dengan gadolinium sangat berguna bila disangkakan terjadi komplikasi intrakranial karena keunggulannya dalam visualisasi densitas jaringan lunak. MRI juga efektif untuk mendiagnosis penyakit yang menyebar ke apeks petrosa (Wright & Valentine 2008;

2.1.4. Penatalaksanaan OMSK

Chole & Nason 2009).

Tujuan penatalaksanaan OMSK adalah untuk menyembuhkan gejala dan meminimalisir risiko komplikasi penyakit. Pembedahan adalah satu-satunya pengobatan yang efektif pada kolesteatoma. Granulasi dan inflamasi mukosa sementara dapat diatasi dengan obat topikal dan aural toilet untuk mengurangi otorea sambil menunggu operasi (Wright & Valentine 2008).

Terdapat berbagai macam teknik operasi untuk menangani kolesteatoma, yang secara umum dapat dibagi atas open cavity (canal wall down) dan closed cavity (intact canal wall) mastoidektomi (Wright & Valentine 2008).

a. Canal wall down procedures

(27)

b. Intact Canal Wall Procedures

Keuntungan intact canal wall mastoidectomy adalah anatomi normal dinding posterior liang telinga dapat dipertahankan tanpa perlu membuang dan merekonstruksi skutum.

Prosedur ini sering dilakukan pada kasus primary acquired cholesteatoma bila kolesteatoma terdapat di atik dan antrum. Dilakukan complete cortical mastoidectomy dan antrum mastoid dapat dilihat. Diseksi matriks kolesteatoma harus dilakukan dengan hati-hati. Rekurensi dapat terjadi bila fragmen kecil dari epitel berkeratinisasi tertinggal. Sering diperlukan “second look operation” setelah 6-12 bulan kemudian disebabkan rekurensi kolesteatoma (Wright & Valentine 2008; Chole & Nason 2009).

2.2. Kolesteatoma

Kolesteatoma adalah suatu kista epitel yang dilapisi oleh stratified squamosa epithelium yang berisi deskuamasi epitel (keratin) yang terperangkap dalam rongga timpanomastoid, tetapi dapat juga terperangkap di bagian manapun dari tulang temporal yang berpneumatisasi (Levine & Souza 2003; Meyer, Strunk & Lambert 2006).

2.2.1. Definisi

2.2.2. Sejarah kolesteatoma

Istilah kolesteatoma pertama sekali dikemukakan oleh Johannes Müller pada tahun 1838 untuk menjelaskan apa yang kita sebut sebagai kista epidermal pada tulang temporal yang berpneumatisasi (Chole & Nason 2009).

(28)

dapat mengandung beberapa elemen dari mukosa asalnya (Dornelles et al. 2005).

Schuknecht (1974) seperti yang dikutip oleh Dornelles et al. (2005) mendefinisikan kolesteatoma sebagai akumulasi eksfoliasi keratin di dalam telinga tengah atau pada area pneumatisasi tulang temporal, yang berasal dari keratinized squamous epithelium. Secara informal kolesteatoma dapat dikarakteristikkan sebagai “kulit di tempat yang salah” Kolesteatoma telinga tengah yang acquired (didapat) pertama sekali diterangkan oleh Curveilhier (1829) dimana karakteristiknya adalah adanya invasi keratinized squamous epithelium ke kavum timpani, yang berbeda dari columnar pseudostratified ciliated epithelium, dengan sel goblet yang terdapat pada tuba auditorius atau simple, cubic atau columnar squamous cell epithelium pada telinga tengah. Berbeda dari namanya, kolesteatoma tidak mengandung lemak atau kolesterol di dalam matriksnya (Chole & Nason 2009; Vitale et al. 2011).

2.2.3. Epidemiologi

Prevalensi kolesteatoma belum diketahui secara pasti. Chole & Nason (2009) menyebutkan insidens kolesteatoma berkisar antara 3-12 kasus per 100.000 populasi. Tos (1988) seperti yang dikutip oleh Chole & Sudhoff (2005) menemukan insidens tahunan pada anak-anak sebesar 3 per 100.000 sedangkan pada dewasa 12,6 per 100.000 populasi. Harker (1977) di Birmingham seperti yang dikutip oleh Chole & & Sudhoff (2005) mendapatkan insidens tahunan kolesteatoma adalah 6 per 100.000 populasi.

Pada tulang temporal manusia dengan otitis media kronis, didapati kolesteatoma pada 36% telinga dengan perforasi dan 4% tanpa perforasi membran timpani (Chole & Sudhoff 2005). Jenis kelamin pria lebih banyak menderita kolesteatoma (Chole & Nason 2009; Nunes et al. 2009).

(29)

sebanyak 119 pasien (Siregar 2013), sedangkan Lubis (2010) mendapatkan 38,7% kasus OMSK merupakan OMSK dengan kolesteatoma.

2.2.4. Histopatologi

Berdasarkan histopatologi, kombinasi dari material keratin dan stratified squamous epithelium merupakan diagnosis patologi untuk kolesteatoma. Adanya epitel skuamosa di telinga tengah adalah abnormal. Pada keadaan normal telinga tengah dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia di bagian anterior dan inferior kavum timpani serta epitel kuboidal di bagian tengah dari kavum timpani dan di atik.

Tidak seperti yang terdapat pada epidermis kulit, epitel skuamosa ini tidak mempunyai struktur adneksa. Hal ini mungkin karena letaknya berbatasan dengan jaringan granulasi atau fibrosa yang mengalami inflamasi, dan juga reaksi giant cell pada material keratin (Caponetti, Thompson & Pantanowitz 2009; Mills 2009).

Secara histologis kolesteatoma dapat dibagi dua: matriks (epithelium) dan peri-matriks (underlying connective tissue). Matriks kolesteatoma mempunyai 4 lapisan yang berbeda: basal, spinosus, granulous dan stratum korneum, seperti yang terdapat pada kulit yang tipis. Peri-matriks ditandai oleh adanya jaringan ikat longgar yang terbuat dari kolagen dan elastic fibers, fibroblas and sel inflamasi (Vitale et al. 2011).

(30)
[image:30.595.164.461.117.276.2]

Gambar 2.2. Histopatologi kolesteatoma (Wenig 2009).

2.2.5. Patogenesis kolesteatoma

Kolesteatoma dapat diklasifikasikan menjadi congenital dan acquired. Kolesteatoma acquired dibagi menjadi primer dan sekunder. Primary acquired cholesteatoma adalah kolesteatoma yang berasal dari retraksi pars flaksida, sedangkan secondary acquired cholesteatoma adalah kolesteatoma yang terjadi akibat perforasi membran timpani, biasanya pada kuadran posterior superior telinga tengah (Chole & Nason 2009). Patogenesis kolesteatoma acquired telah diperdebatkan selama lebih dari satu abad. Ada 4 teori dasar patogenesis kolesteatoma acquired: 1. invaginasi membran timpani (retraction pocket cholesteatoma); 2. hiperplasia sel basal; 3. pertumbuhan epitel melalui perforasi (the

migration theory); dan 4. metaplasia skuamosa dari epitel telinga tengah. Saat ini Sudhoff dan Tos mengemukakan kombinasi dari teori invaginasi dan sel basal sebagai penjelasan dari pembentukan retraction pocket kolesteatoma (Chole & Sudhoff 2005; Chole & Nason 2009).

a. Teori invaginasi

(31)

Ketika retraction pocket membesar, deskuamasi keratin tidak dapat dibersihkan dari reses sehingga terbentuk kolesteatoma. Asal dari retraction pocket kolesteatoma disangkakan adalah disfungsi tuba Eustachius atau otitis media efusi dengan resultante tekanan telinga tengah (ex vacuo theory). Pars flaksida, yang kurang fibrous dan kurang tahan terhadap pergerakan, biasanya adalah sumber kolesteatoma. Tipe kolesteatoma tersebut terlihat sebagai defek pada kuadran posterior superior membran timpani dan erosi dari dinding liang telinga yang berdekatan. Kegagalan migrasi epitel ini menyebabkan akumulasi keratin dalam retraction pocket. Bakteri dapat menginfeksi matriks keratin, membentuk biofilm yang menyebabkan infeksi kronis dan proliferasi epitel (Chole & Sudhoff 2005; Chole & Nason 2009).

b. Teori invasi epitel

Teori ini menyatakan invasi epitel skuamosa dari liang telinga dan permukaan luar dari membran timpani mempunyai kemampuan bermigrasi ke telinga tengah melalui perforasi marginal atau perforasi atik. Epitel akan masuk sampai bertemu dengan lapisan epitel yang lain, yang disebut dengan contact inhibition (Chole & Nason 2009).

Jika mukosa telinga tengah terganggu karena inflamasi, infeksi atau trauma karena perforasi membran timpani, mucocutaneus junction secara teori bergeser ke kavum timpani. Menyokong teori ini van Blitterswijk dkk menyatakan bahwa cytokeratin (CK) 10, yang merupakan intermediate filament protein dan marker untuk epitel skuamosa, ditemukan pada epidermis liang telinga dan matriks kolesteatoma tetapi tidak ada di mukosa telinga tengah. Perforasi marginal memaparkan mukosa telinga tengah dan struktur tulang liang telinga terhadap liang telinga luar (Chole & Nason 2009).

(32)

menyebabkan pertumbuhan epitel berkeratinisasi dengan mekanisme kontak (Chole & Sudhoff 2005).

Namun perforasi sentral membran timpani tidak bisa di katakan sebagai “safe ears”. Analisis terbaru dari perforasi sentral membran timpani dari pasien otitis media kronis, 38% mengalami pertumbuhan epidermal dengan mucocutaneus junction terletak di luar permukaan dalam dari perforasi (Chole & Nason 2009).

c. Teori hiperplasia sel basal

Pada tahun 1925, Lange mengobservasi bahwa sel epitel berkeratinisasi pada pars flaksida dapat menginvasi ruang sub epitel normal yang akan menyebabkan terbentuknya kolesteatoma di atik. (Chole & Nason 2009).

Sel epitel (prickle cells) dari pars flaksida dapat menginvasi jaringan subepitelial dengan cara proliferasi kolum sel epitel. Epitel yang menginvasi lamina propria, basal lamina (basement membrane) menjadi berubah. Huang dan Masaki meneliti teori ini dengan memperlihatkan bahwa pertumbuhan epitel membran timpani dapat diinduksi dengan meneteskan propylene glycol ke telinga tengah mencit. Kerusakan lamina basalis menyebabkan invasi epitel ke dalam jaringan ikat subepitel dan membentuk mikrokolesteatoma. Mekanisme ini dapat menerangkan beberapa tipe kolesteatoma, termasuk yang terbentuk di belakang membran timpani yang intak. Mikrokolesteatoma membesar dan mengadakan perforasi secara sekunder melalui membran timpani (Chole & Sudhoff 2005).

(33)

mendemonstrasikan peningkatan ekspresi CK 13 dan 16 pada area perifer pars tensa yang diinduksi oleh kolesteatoma oleh ligasi liang telinga dan area perifer dan sentral pars tensa yang diinduksi kolesteatoma oleh obstruksi tuba Eustachius.Peningkatan ekspresi human intercellular adhesion molecule-1 dan –2 memiliki peran migrasi sel ke jaringan. Adanya heat shock protein 60 dan 70 menunjukkan proliferasi dan diferensiasi aktif dari keratinosit basal yang berhubungan dengan kolesteatoma (Chole & Sudhoff 2005).

Berbagai laporan menyatakan respon imun terlibat pada hiperproliferasi epitel kolesteatoma. Sel Langhan's dapat menyebabkan reaksi imun dan menunjang proliferasi epitel berkeratinisasi oleh IL- (Chole & Sudhoff 2005).

d. Teori metaplasia skuamosa

Infeksi atau inflamasi jaringan yang kronis dapat mengalami transformasi metaplasia. Epitel kuboid pada telinga tengah dapat berubah menjadi epitel berkeratinisasi. Epitel skuamosa berkeratinisasi telah ditemukan pada biopsi telinga tengah pada penderita otitis media pada anak. Namun progresivitas dari kolesteatoma masih belum berhasil dipaparkan (Chole & Nason 2009).

2.2.6. Inflamasi dan hiperproliferasi

(34)

abnormal dari p-53, c-jun dan ekspresi c-myc juga terlibat dalam proses hiperproliferatif. Studi terbaru menggunakan teknologi cDNA array juga mengidentifikasi ada gen-gen lain yang memegang peranan dalam pembentukan kolesteatoma seperti calgranulin A/B, thymosin dan extracellular matrix protein-1 (Chole & Nason 2009).

Faktor penting lain yang berperan dalam proses hiperproliferatif adalah inflamasi kronis. Pada stroma dari kolesteatoma terdapat fibroblas, sel-sel Langerhans, sel-sel mast, limfosit yang teraktivasi, makrofag dan keratinosit. Keratinosit memproduksi keratin dalam jumlah yang besar. Inflamasi dengan atau tanpa infeksi merekrut sel-sel tersebut untuk membentuk suatu lingkungan dengan peningkatan konsentrasi dari sitokin proinflamasi. Lingkungan dapat menstimulasi keratinosit basal untuk berproliferasi aktif dan memicu pertumbuhan kolesteatoma (Chole & Nason 2009).

(35)

Inhibitor yang penting pada proses tersebut yaitu osteoprotegrin (OPG) yang berkompetisi dengan RANK untuk RANKL.

Jeong et al. (2006) seperti yang dikutip oleh Chole & Nason (2009) menemukan peningkatan jumlah RANKL pada kolesteatoma dibandingkan dengan kulit postaurikular yang normal. Hasil ini menyatakan jaringan kolesteatoma meningkatkan rasio RANKL/OPG pada proses inflamasi dan berpotensi untuk proses osteoklastogenesis. Sitokin inflamasi seperti TNF-α, IL-1 dan IL-6 prostaglandin juga diketahui meningkatkan osteoklastogenesis. Kolesteatoma yang terinfeksi diketahui lebih cepat mendestruksi tulang. Peningkatan level dari virulensi bakteri sepertinya memegang peranan penting terhadap fenomena ini.

2.2.7. Komplikasi OMSK dengan kolesteatoma

Karena kapasitasnya untuk menyebabkan erosi tulang, yang terdapat pada 80% kasus, kolesteatoma bertanggung jawab terhadap komplikasi ekstrakranial dan intrakranial. Bila komplikasi ini muncul, menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Vitale & Riberio 2007).

Komplikasi OMSK dengan kolesteatoma dapat berupa (Friedland, Pensak & Kveton 2009):

1. Intratemporal a. Mastoiditis b. Petrositis

c. Paralisis nervus fasialis d. Labirinitis

e. Abses subperiosteal f. Fistel retroaurikular 2. Intrakranial

(36)

e. Tromboflebitis sinus lateralis f. Hidrosefalus otikus.

2.2.8. Stadium dan derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma

Belum ada sistem stadium untuk kolesteatoma yang secara luas digunakan. Pada tahun 1986, Meyerhoff et al. seperti dikutip oleh Telmesani, Sayed & Bahrani (2009) telah mengajukan klasifikasi kolesteatoma berdasaran patofisiologi, lokasi, fungsi tuba Eustachius, defek pada tulang, dan ada tidaknya komplikasi. Namun hasil tersebut belum secara luas diadopsi disebabkan kurangnya relevansi klinis yang didapatkan dan beberapa faktor sangat sulit untuk dievaluasi saat preoperatif

Beberapa klasifikasi stadium kolesteatoma yang sudah dipublikasikan adalah:

a. Menurut Saleh & Mills (1999) seperti yang dikutip oleh Nunes et

al. (2009) membuat klasifikasi stadium kolesteatoma

berdasarkan perluasan lesi, keadaan osikel dan komplikasi pre operasi. Hal ini menunjukkan hubungan antara stadium penyakit, kerusakan osikel dan terjadinya komplikasi.

• Berdasarkan lokasi kolesteatoma:

 S1 : Bila kolesteatoma terbatas pada lokasi asal  S2 : Bila telah terjadi perluasan lokal

 S3 : Bila mengenai tiga lokasi  S4 : Bila mengenai 4 lokasi

 S5 : Bila mengenai lebih dari 4 lokasi

• Berdasarkan komplikasi sebelum dilakukannya tindakan operasi:

 C1 : Bila tidak terdapat komplikasi  C2 : Bila terdapat komplikasi

(37)

b. Menurut Japan Otological Society (JOS) seperti yang dikutip oleh Hashimoto-Ikehara et al. (2011):

• Stadium I: Kolesteatoma tidak meluas melebihi daerah atik

• Stadium II: Kolesteatoma meluas melebihi daerah atik • Stadium III: Sejumlah kolesteatoma yang menyebabkan

sedikitnya satu komplikasi di bawah ini:  Kelumpuhan saraf fasialis

 Komplikasi intrakranial  Fistel labirin

 Defek luas pada liang telinga luar

 Ganguan pendengaran sensorineural berat  Adhesi total pada membran timpani

c. Menurut Kuczkowski et al. (2011)

• Derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma dapat dibagi atas:

 Ringan: erosi skutum dan osikel.

 Sedang: destruksi tegmen dan seluruh osikel.

 Berat: destruksi seluruh osikel, tulang labirin, kanalis fasialis dan liang telinga luar.

• Derajat invasi kolesteatoma dan jaringan granulasi dibagi atas:

 Meliputi 1 area: epitimpanum atau mesotimpanum  Meliputi 2 area: epitimpanum atau mesotimpanum

dan antrum

(38)

2.3. Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α)

Terdapat banyak teori yang menerangkan tentang efek destruktif (erosi) dari kolesteatoma. Pada awalnya disebut bahwa penyebab destruksi adalah tekanan yang diakibatkan akumulasi keratin dan produk akhirnya. Teori biokemikal akhirnya diterima sebagai suatu dalil, dimana enzim dan sitokin yang dilepaskan oleh kolesteatoma akan menyebabkan lisis tulang dan destruksi (Chole & Nason 2009).

Sitokin merupakan suatu grup protein sistem imun yang mengatur interaksi antar sel dan memacu reaktifitas imun, baik pada imunitas non spesifik maupun spesifik (Baratawidjaja 2012).

Sesuai dengan daerah kerjanya, sitokin bekerja sebagai autokrin (sewaktu bekerja dalam sel induknya), parakrin (sewaktu bekerja pada sel tetangga) dan endokrin yaitu sewaktu bekerja pada tempat yang jauh (Vitale & Ribeiro 2007; Baratawidjaja 2012).

Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi sebagai respon terhadap rangsang mikroba dan antigen lainnya dan berperan sebagai mediator pada reaksi imun dan inflamasi. Kerjanya sering pleiotropik (satu sitokin bekerja terhadap berbagai jenis sel yang menimbulkan berbagai efek) dan redundant atau berbagai sitokin menunjukkan efek yang sama (Baratawidjaja 2012).

Sitokin juga berpegaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang lain. Respon selular sitokin terdiri atas perubahan ekspresi gen terhadap sel sasaran yang menimbulkan ekspresi fungsi baru dan kadang proliferasi sel sasaran. Sitokin proinflamasi dan inflamasi diinduksi berbagai sel atas pengaruh mikroba, trauma atau kerusakan sel pejamu. Sitokin mengawali, mempengaruhi dan meningkatkan respon imun non spesifik. Makrofag dirangsang oleh Interferon-ɣ (IFN-ɣ), TNF-α dan IL-1 disamping juga memproduksi sitokin-sitokin tersebut. TNF-α, IL-1 dan lL-6 merupakan sitokin proinflamasi dan inflamasi spesifik (Baratawidjaja 2012).

(39)

bakteri gram negatif dan mikroba lainnya. TNF-α juga mempunyai peranan penting dalam sistem imunitas serta mengontrol proliferasi, diferensiasi, dan apoptosis dari sel (Cho et al. 2003; Van Horssen, Tenhagen & Eggermont 2006).

Penelitian mengenai efek TNF-α dalam kolesteatoma dimulai pada awal 1990-an, dimana TNF-α diperiksa dengan cara menambahkan preparat supernatan fragmen kolesteatoma ke kultur jaringan tulang sehingga menstimulasi pembentukan sel multinukleotida dan munculnya lakuna permukaan tulang. Sel multinukleotida yang sebenarnya adalah osteoklas, ditemukan di lakuna (Howship’s lacunae) dan menyebabkan destruksi

TNF-α memiliki beberapa efek pada tubuh. Sewaktu dikeluarkan pada konsentrasi rendah, TNF-α bekerja pada sel endotel menyebabkan vasodilatasi dan menstimulasi sel ini untuk mensekresi grup leukosit-kemotaksis sitokin yang dinamakan kemokin. Inflamasi lokal yang dihasilkan melawan infeksi. Di hipotalamus TNF-α merupakan pirogen endogen yang menyebabkan demam. Pada hepar, TNF-α menstimulasi produksi acute phase inflammatory proteins dan fibrinogen

tulang (Vitale & Ribeiro 2007).

TNF-α dalam jumlah

besar yang menimbulkan reaksi sistemik (Baratawidjaja 2012).

(40)

yang bertanggung jawab terhadap proses inflamasi telinga tengah (Kuczkowski et al. 2010; 2011 ).

Sitokin yang dikeluarkan pada proses inflamasi terdapat pada peri-matriks merupakan salah satu faktor yang bertanggung jawab pada destruksi tulang oleh kolesteatoma. Namun TNF-α berkerja sama dengan RANKL, IL-1 dan IL-6, menyebabkan destruksi dan remodeling tulang. Ada dua reseptor untuk TNF-α, yaitu TNF-R1 dan TNF-R2. Cara kerja masing-masing masih belum jelas diketahui (Vitale et al. 2011).

TNF-α dikeluarkan pada semua infeksi telinga tengah, tidak hanya dalam kolesteatoma. Pada infeksi kronis telinga yang lain tidak terdapat destruksi tulang seperti yang terlihat pada kolesteatoma. Chung & Yoon (1998) sebagaimana dikutip oleh Vitale & Ribeiro (2007) menyimpulkan bahwa interleukin (yang menstimulasi matriks kolesteatoma untuk mendestruksi tulang) dilepaskan dalam perimatriks. Destruksi tulang tidak terlihat ketika jaringan epitel (matriks) dipisahkan dari jaringan subepitel (perimatriks) kolesteatoma. Perbedaan ini dapat diterangkan oleh adanya dan distribusi reseptor TNF-α dalam epitel kolesteatoma atau matriks. Jumlah TNF-α dan jumlah reseptor berhubungan dengan destruksi tulang. Beberapa peneliti telah menghubungkan kadar TNF-α dengan temuan intraoperasi. TNF-α banyak didapati pada kolesteatoma dengan peningkatan destruksi tulang, hal tersebut dapat terlihat pada kolesteatoma congenital maupun acquired. Resorpsi osikel terdapat pada area yang terlokalisir dekat dengan peri-matriks kolesteatoma atau jaringan granulasi (Vitale & Ribeiro 2007).

Peri-matriks kolesteatoma mengandung limfosit, monosit, fibroblas dan sel endotel yang merupakan sumber proinflamasi (TNF-α, IL-1 dan IL-6) dan immunoregulator (IL-2, IL-4, IL-5, IL-10, TGF-ß dan GM-CSF),

sitokin dan mediator seperti RANKL (Kuczkowski et al. 2011).

(41)

dengan IL-1 dan RANKL yang juga banyak terdapat pada daerah inflamasi yang disertai dengan destruksi tulang. Secara bersama substansi tersebut dapat merekrut, mendiferensiasi dan mengaktivasi osteoklas. Inilah sinergi antara TNF-α dan RANKL yang bekerja sama meningkatkan fungsi osteoklas, di mana dapat ditambahkan IL-1 dan IL-6 (Vitale & Ribeiro 2007).

Osteoklas berasal dari sel hematopoetik yaitu monosit atau makrofag.

Hamzei et al. (2003) seperti dikutip olek Kuczkowski et al. (2011) melaporkan tingginya konsentrasi osteoclast progenitor cell lineage dan makrofag dalam kolesteatoma dibandingkan dengan kulit normal liang telinga.

Nason et al. (2009) seperti yang dikutip oleh Kuczkowski et al. (2011) menyatakan bahwa infeksi bakteri telinga tengah berhubungan dengan perkembangan osteolisis tulang. Lipopolisakarida bacterial (LPS) yang merupakan antigen sangat kuat dari Pseudomonas aeruginosa (bakteri yang paling banyak diisolasi dari kolesteatoma yang terinfeksi), telah terlebih dulu diperlihatkan sebagai induktor kuat dari osteoklastogenesis. LPS menginduksi ekspresi reseptor untuk IL-1 dan TNF dalam RANKL precursor osteoklas utama yang telah dilakukan dengan RT-PC analisis. IL-1 menstimulasi limfosit, fibroblas dan keratinosit dan osteoklas tehadap proses resorpsi tulang. Sitokin ini terutama berada pada membran basal dari epitel kolesteatoma dan pada monosit di subepitel.

(42)

dibersihkan mengindikasikan perlunya operasi kedua setelah beberapa bulan. Dengan kata lain, peningkatan kadar sitokin proinflamasi dapat menstimulasi pertumbuhan cepat dari kolesteatoma (Kuczkowski et al. 2011).

Setelah diproduksi dan dikeluarkan, TNF-α terhubung ke reseptor spesifik yang disebut TNF reseptor I dan II (TNF-R) untuk memproduksi efek biologis. TNF reseptor (khususnya TNF-RII) juga menginisiasi apoptosis. Mekanisme mana yang lebih dominan belum dapat diterangkan sepenuhnya. Efek fisiologis utama dari TNF-α adalah untuk menunjang respon imunologi dan inflamasi dengan cara merekrut dan mengaktivasi neutrofil dan monosit ke tempat infeksi

2007).

TNF-α dapat dihambat oleh cairan antagonis yang dapat memblok reseptornya. Assuma et al. (1998) seperti yang dikutip oleh (2007) meneliti berkurangnya kerusakan tulang sebanyak 60% dengan cara memakai antagonis tersebut. TNF-α juga dapat dihambat oleh anti-TNF-α antibodies. Blokade TNF-α akan mengurangi resorpsi tulang.

Gambar 2.3. Kerja TNF-α di dalam sel. Setelah berikatan dengan reseptornya, TNF-α

mengaktivasi NF-κB, yang memproduksi dan mengeluarkan berbagai zat yang terlibat

[image:42.595.156.466.491.663.2]
(43)

2.4. TNF-α Dalam Kolesteatoma Acquired

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa TNF

mempunyai kapasitas

untuk mengerosi tulang.

peningkatan level TNF-α pada pasien dengan destruksi tulang. Peningkatan ekspresi TNF-α pada otitis media kronik dan adanya hubungan positif yang kuat antara kadar sitokin ini dengan derajat destruksi tulang menunjukkan kolesteatoma mampu mendestruksi tulang. TNF-α dapat menstimulasi diferensiasi dan maturasi osteoklas atau dapat bereaksi pada matriks tulang, memaparkannya terhadap osteoklas. Semua penelitian menunjukkan pentingnya TNF-α pada proses resorbsi tulang di dalam kolesteatoma dan derajat destruksi yang terlihat, namun tidak ada konsensus mengenai lokasinya. Perbedaannya mungkin disebabkan lokasi reseptornya 2007).

(2004) di Zhengzhou-Cina dengan pemeriksaan imunohistokimia dan analisis komputer kuantitatif untuk mendeteksi ekspresi TNF-α pada 22 spesimen kolesteatoma, mendapatkan over ekspresi TNF-α pada sel stroma dan epitel kolesteatoma. Overekspresi TNF-α pada kolesteatoma berhubungan dengan destruksi osikel, hal ini menunjukkan TNF-α bertanggung jawab terhadap destruksi tulang pada kolesteatoma. Pewarnaan imunohistokimia dari

Yetiser et al. (2002) seperti yang dikutip oleh Vitale & Ribeiro (2007) membandingkan kadar TNF-α dan IL-1 pada 16 pasien otitis media kronis tanpa kolesteatoma dan 20 pasien otitis media kronis dengan kolesteatoma. Mereka menemukan kadar TNF-α dan IL-1 yang lebih tinggi pada grup kedua dan menyimpulkan bahwa destruksi tulang dimediasi oleh sitokin tersebut.

(44)

2.5. Anatomi Telinga Tengah

Telinga tengah adalah suatu ruang antara membran timpani dengan badan kapsul dari labirin pada daerah petrosa dari tulang temporal yang mengandung rantai tulang pendengaran. Telinga tengah berbentuk kubus, terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustachius, dan prosesus mastoid (Wright & Valentine 2008; Gacek 2009).

2.5.1. Membran timpani

Membran timpani membentuk dinding lateral kavum timpani dan memisahkan telinga luar dan telinga tengah. Membran timpani berbentuk bulat dan mempunyai ukuran vertikal kira-kira 9-10 mm, horizontal 8-9 mm, tebal ± 0,1 mm (Wright & Valentine 2008; Dhingra 2010).

Membran timpani secara anatomi terdiri dari 2 bagian yaitu pars tensa terletak di bagian bawah, tegang dan lebih luas, serta pars flaksida (Shrapnell′s membrane) di bagian atas yang lebih tipis karena mengandung sedikit lapisan fibrosa (Gacek 2009).

Secara histologis membran timpani terdiri dari 3 lapisan, yaitu:

1. Lapisan luar (stratum kutaneum) yaitu: lapisan epitel yang berasal dari liang telinga luar.

2. Lapisan mukosa (stratum mukosum) yang berasal dari mukosa telinga tengah.

3. Lapisan fibrosa (lamina propria) terletak diantara stratum kutaneum dan stratum mukosum (Wright & Valentine 2008; Gacek 2009; Dhingra 2010).

2.5.2. Kavum timpani

(45)

1. Dinding atas, dibatasi oleh tulang yang tipis yang disebut tegmen timpani, kadang-kadang mengalami dehisensi.

2. Dinding bawah, dibentuk oleh tulang tipis yang membatasi kavum timpani dari bulbus vena jugularis.

3. Dinding lateral, dibentuk terutama oleh membran timpani.

4. Dinding anterior, berhubungan dengan m. tensor timpani, ostium tuba Eustachius, dan dinding dari karotis.

5. Dinding medial, memisahkan kavum timpani dari telinga dalam. Pada dinding medial terdapat promontorium yang merupakan lingkaran basal koklea. Pada bagian belakang bawah dinding media ini terdapat fenestra koklea (rotundum), dan pada bagian belakang atas terdapat fenestra ovale.

6. Dinding posterior, bagian atas berhubungan dengan sellulae mastoideus melalui aditus ad antrum (Helmi 2005; Wright & Valentine 2008).

Dalam kavum timpani terdapat tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain terdiri dari maleus, inkus dan stapes yang menghubungkan membran timpani dengan foramen ovale (Helmi 2005; Wright & Valentine 2008; Gacek 2009).

2.5.3. Tuba Eustachius

(46)

2.5.4. Prosesus mastoid

Pneumatisasi mastoid ternyata saling berhubungan dan drainasenya menuju aditus ad antrum. Terdapat tiga tipe pneumatisasi, yaitu pneumatik, diploik dan sklerotik. Pada tipe pneumatik, hampir seluruh prosesus mastoid terisi oleh pneumatisasi, pada tipe sklerotik tidak terdapat pneumatisasi sama sekali, sedangkan pada tipe diploik pneumatisasi kurang berkembang. Sel mastoid dapat meluas ke daerah sekitarnya, sampai ke arkus zigomatikus dan ke pars skuamosa tulang temporal (Wright & Valentine 2008; Gacek 2009).

Antrum mastoid adalah suatu rongga di dalam prosesus mastoid yang terletak tepat di belakang epitimpani. Aditus ad antrum adalah saluran yang menghubungkan antrum dengan epitimpani. Lempeng dura merupakan bagian tulang tipis yang biasanya lebih keras dari tulang sekitarnya yang membatasi rongga mastoid dengan duramater, sedangkan yang membatasi rongga mastoid dengan sinus lateralis disebut lempeng sinus. Sudut sinodura dapat ditemukan dengan membuang sebersih-bersihnya sel pneumatisasi mastoid di bagian superior inferior lempeng dura dan posterior superior lempeng sinus (Wright & Valentine 2008; Gacek 2009).

2.5.5. Vaskularisasi kavum timpani

(47)

meninggalkan kanalis Fallopian dan berjalan melalui kanalikulus bersama nervus korda timpani untuk memasuki telinga tengah. Akhirnya, arteri timpani inferior, cabang dari arteri faringeal asenden, memasuki telinga tengah melalui kanalikulus timpani di dalam hipotimpani dengan cabang timpani dari nervus ke sembilan (Gacek 2009).

2.6. Imunohistokimia

Pemeriksaan imunohistokimia dapat memberi informasi mengenai kandungan berbagai unsur molekul di dalam sel normal maupun sel neoplastik. Dasar dari pemeriksaan ini adalah pengikatan antigen (yang terkandung dalam sel) dengan antibodi spesifiknya yang diberi label chromogen. Teknik ini diawali dengan prosedur histoteknik yaitu prosedur pembuatan irisan jaringan (histologi) untuk diamati di bawah mikroskop. Irisan jaringan yang didapat kemudian memasuki prosedur imunohistokimia (Hardjolukito & Endang 2005).

Imunohistokimia menjadi teknik pilihan untuk menentukan petanda-petanda biologik tersebut karena relatif mudah, murah dan dapat diterapkan pada sediaan rutin histopatologik. Namun demikian perlu diperhatikan sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan, dimana pengaruh faktor-faktor tersebut dimulai dari tahap pembedahan, pengolahan jaringan hingga penilaian hasil pulasan (Hardjolukito & Endang 2005).

2.6.1. Metode pewarnaan imunohistokimia

Prinsip dari metode imunohistokimia adalah perpaduan antara reaksi imunologi dan kimiawi, dimana reaksi imunologi ditandai adanya reaksi antara antigen dengan antibodi, dan reaksi kimiawi ditandai adanya reaksi antara enzim dengan substrat (Sudiana & Ketut 2005).

(48)

sistem deteksi yang memungkinkan untuk mengenali bahan spesifik tersebut secara visual (Sudiana & Ketut 2005).

Antibodi bereaksi terhadap determinan dari antigen yang berada dalam bahan spesifik yang diperiksa. Antibodi-antibodi ini akan berikatan dengan bahan dalam jaringan, dan antibodi-antibodi ini diketahui dengan menggunakan antibodi-antibodi lain yang dirancang untuk mengenal immunoglobulin tersebut dari spesies-spesies yang terekspos dengan bahan asli atau original (Sudiana & Ketut 2005).

Antibodi-antibodi penentu (anti-antibodi dari spesies lain) ini ditempeli (tagged) dengan beberapa molekul pelapor (reporter molecule) misalnya fluorecein atau enzim yang dapat mengkatalisa reaksi selanjutnya menuju produk yang dapat dilihat (Sudiana & Ketut 2005).

Pewarnaan imunohistokimia pada dasarnya ada dua macam metode yaitu (Sudiana & Ketut 2005):

a. Metode direct

Pada metode ini antibodi monoklonal yang digunakan untuk mendeteksi suatu marker pada sel, langsung di label dengan suatu enzim

b. Metode indirect

(49)

Penilaian pewarnaan imunohistokimia

(50)

2.7. Kerangka Teori

[image:50.595.115.518.154.735.2]

---

Gambar 2.4. Kerangka Teori

Bakteri

Inflamasi

Tumor Necrosis Factor Alpha

(TNF-α)

Peningkatan aktifitas Osteoklas

dalam kolesteatoma

Degradasi matriks ekstraselular tulang

Destruksi tulang Otitis Media

Supuratif Kronik Tipe Bahaya/

Kolesteatoma - Jenis Kelamin

-Usia

-Gejala klinis -Lama Keluhan

Ringan

Sedang

Berat Komplikasi

(51)

Keterangan:

= Variabel penelitian

(52)
[image:52.595.115.513.155.352.2]

2.8. Kerangka Konsep

Gambar 2.5. Kerangka Konsep

• JENIS KELAMIN • USIA

• GEJALA KLINIS • LAMA

KELUHAN

KOLESTEATOMA TNF-α

RINGAN

SEDANG

BERAT DERAJAT

DESTRUKSI TULANG

(53)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik, dengan design cross sectional

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian dilakukan mulai bulan Juni 2013 - Februari 2014. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan di Departemen Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik Medan

3.3. Populasi, Sampel dan Besar Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi adalah seluruh penderita dengan diagnosis OMSK tipe bahaya yang ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan telinga, foto rontgen mastoid/CT-Scan mastoid yang berobat di Sub Departemen Otologi THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan dan dilakukan timpanomastoidektomi selama kurun waktu Juni 2013 – Desember 2013.

Kriteria populasi

1. Penderita yang didiagnosis OMSK tipe bahaya yang dilakukan timpanomastoidektomi, baik laki-laki maupun perempuan.

2. Bersedia diikutsertakan dengan menandatangani informed consent.

3.3.2. Sampel

(54)

bagian Otologi-Bedah Kepala Leher THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan selama kurun waktu Juni 2013 – Desember 2013.

Kriteria inklusi: kolesteatoma penderita OMSK tipe bahaya yang diambil dari tindakan operasi timpanomastoidektomi

Kriteria eksklusi: kolesteatoma yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi atau imunohistokimia karena rusak.

3.3.3. Besar sampel

Penentuan besar sampel didapatkan berdasarkan rumus:

n1 = Zα√po.qo + Zβ√pa.qa 2 pa-po

Keterangan:

Po= proporsi kolesteatoma Po= 0,26

Qo= 0,73 Pa – Po = 0,25 Pa-0,26= 0,25 Pa= 0,51 Qa= 0,49

N= 1,96 √ 0,26 . 0,73 + 0,842 √ 0,51 . 0,49 0,25

2

= 0,8538 + 0,42 0,25

2

= 25,36

(55)

3.3.4. Teknik pengambilan sampel

Pengambilan sampel penelitian adalah dengan secara non probability consecutive sampling.

3.4. Variabel Penelitian

3.4.1. Variabel independent: ekspresi TNF-α, jenis kelamin, usia, gejala klinis dan lama keluhan

3.4.2. Variabel dependent: derajat destruksi tulang dan komplikasi.

3.5. Definisi Operasional

3.5.1. OMSK tipe bahaya

Definisi: radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret purulen dari telinga tersebut lebih dari tiga bulan, yang disertai proses erosi tulang (Chole & Nason 2009).

Cara ukur: diagnosis OMSK

Alat ukur: pemeriksaan Foto Mastoid dan CT Scan Mastoid.

berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik dan otologi.

Hasil ukur: dari anamnesis terdapat hasil yang sesuai dengan penyakit OMSK tipe bahaya, dari Foto Mastoid dan CT Scan Mastoid tampak gambaran kolesteatoma.

3.5.2. Kolesteatoma

Definisi: suatu kista epitelial yang dilapisi oleh stratified squamosa epithelium yang berisi deskuamasi epitel (keratin) yang terperangkap dalam rongga timpanomastoid atau di bagian manapun dari tulang temporal yang berpneumatisasi, yang dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (Meyer, Strunk & Lambert 2006).

(56)

Alat ukur: dengan pewarnaan hematoksilin eosin menggunakan mikroskop merk Olympus BX 51 pembesaran 400x.

Hasil ukur: adanya kombinasi dari material keratin dan stratified squamous epithelium pada sediaan jaringan.

3.5.3. Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α)

Definisi: TNF-α adalah sitokin pro inflamasi yang berperan dalam destruksi tulang yang terdapat pada jaringan kolesteatoma (Vitale & Ribeiro 2007).

Cara ukur: ekspresi TNF-α ditentukan dengan pewarnaan immunohistokimia.

Alat ukur: dengan melihat perpaduan antara reaksi kimiawi ( reaksi antara enzim dengan substrat) dan reaksi imunologi yaitu reaksi antara antigen dengan antibodi menggunakan mouse antihuman monoclonal antibodies (mAbs) TNF-α menggunakan mikroskop Olympus BX 51 pembesaran 400x.

Hasil ukur: positifitas/overekspresi TNF-α dinilai dari hasil pulasan warna coklat pada sitoplasma sel-sel epitel kolesteatoma. Penilaian imunoreaktifitas TNF-α dinilai dengan mengalikan hasil skor luas dengan skor intensitas, sehingga didapatkan skor imunoreaktif TNF-α.

0 : tidak dijumpai sitoplasma terwarna coklat Skor luas dinilai :

(57)

0 : berarti negatif

Skor intensitas dihitung :

1 : lemah

2 : moderat

(58)

3 : kuat

Untuk skor akhir digunakan skor imunoreaktif. Skor imunoreaktif diperoleh dengan mengalikan skor luas dengan skor intensitas, dengan penilaian:

Ekspresi TNF-α negatif : 0 – 3

Ekspresi TNF-α positif / overekspresi: 4–9

3.5.4. Derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma.

Definisi: luasnya kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan oleh kolesteatoma.

Cara ukur: berdasarkan derajat destruksi tulang yang diajukan oleh Kuczkowski et al. (2011)

Alat ukur: CT Scan Mastoid dan durante mastoidektomi. Hasil ukur:

a. Derajat ringan: erosi skutum dan osikel.

b. Derajat sedang: destruksi tegmen dan seluruh osikel.

c. Derajat berat: destruksi seluruh osikel, tulang labirin, kanalis fasialis dan liang telinga luar.

3.5.5. Usia

Definisi: umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun.

(59)

Alat ukur: perhitungan usia berdasarkan kalender Masehi. Hasil ukur: usia dibagi atas:

a. 6-10-tahun b. 11-15 tahun c. 16-20 tahun d. 21-25 tahun e. 26-30 tahun f. 31-35 tahun g. 36-40 tahun h. >40 tahun

3.5.6. Gejala klinis

Definisi: gejala klinis adalah keadaan atau kondisi yang dirasakan atau dialami penderita sehubungan dengan penyakitnya.

Cara ukur: berdasarkan keluhan pasien dan dicatat dalam rekam medis.

Alat ukur: anamnesis dalam rekam medis.

Hasil ukur: terdapat beberapa gejala klinis, yaitu: a. Gangguan pendengaran

b. Telinga berair c. Hoyong d. Sakit kepala

e. Bengkak di belakang telinga f. Lubang di belakang telinga g. Mulut mencong.

3.5.7. Lama keluhan

Definisi: lama keluhan adalah waktu sejak pertama kali dirasakannya keluhan sampai penderita datang untuk berobat.

(60)

Alat ukur: perhitungan lama keluhan berdasarkan kalender Masehi Hasil ukur: lama keluhan dibagi atas:

a) 0-5 tahun b) 6-10 tahun c) >10 tahun

3.5.8. Komplikasi OMSK tipe bahaya

Definisi: penyakit yang timbul sebagai akibat dari destruksi tulang oleh kolesteatoma pada OMSK tipe bahaya.

Cara ukur: berdasarkan gejala dan tanda klinis penderita OMSK tipe bahaya

Alat ukur: pemeriksaan CT Scan Mastoid, Head CT Scan dan durante operasi.

Hasil ukur: terdapat komplikasi intratemporal dan/atau intrakranial: a. Abses retroaurikular/subperiosteal

b. Fistel retroaurikular c. Mastoiditis

d. Petrositis

e. Paralisis nervus fasialis f. Labirinitis

g. Abses ekstradural h. Abses subdural i. Meningitis j. Abses otak

k. Tromboflebitis sinus lateralis l. Hidrosefalus otikus

3.6. Alat dan Bahan Penelitian

3.6.1. Alat penelitian

(61)

a. Catatan medis penderita dan status penelitian penderita b. Formulir persetujuan ikut penelitian

c. Bahan untuk pemeriksaan histopatologi

Formalin 10%, blok parafin, aqua destillata, hematoxyllin-eosin. d. Bahan untuk pemeriksaan immunohistokimia

Xylol, alkohol absolut, alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 70%, H202

e. Alat untuk pemeriksaan immunohistokimia

0,5% dalam methanol, Phosphat Buffer Saline (PBS), antibodi TNF-α, antibodi sekunder, Envision, Choromogen Diamino Benzidine (DAB). Lathium Carbonat jenuh, Tris EBTA, Hematoxylin, aqua destillata.

Sistem visualisasi immunohistokimia (Envision kit), mesin pemotong jaringan (microtome), silanized slide.

3.6.2. Bahan penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kolesteatoma penderita OMSK tipe bahaya yang berasal dari telinga tengah dan kavum mastoid yang diperoleh pada saat operasi timpanomastoidektomi. Bahan jaringan diperiksa secara imunohistokimia dengan menilai imunoreaktifitas TNF-α.

3.7. Prosedur Kerja

a. Pengambilan bahan kolesteatoma

Kolesteatoma diambil pada saat operasi timpanomastoidektomi dengan menggunakan kuret Lempert dan dimasukkan dalam formalin 10%.

b. Prosedur pewarnaan imunohistokimia

Lakukan deparafinisasi, caranya adalah dengan memasukkan sayatan jaringan berturut-turut kedalam :

(62)<

Gambar

Gambar 2.1.  Patogenesis Otitis Media (Juhn et al. 2008)
Gambar 2.2. Histopatologi kolesteatoma (Wenig 2009).
Gambar 2.3. Kerja TNF-α di dalam sel. Setelah berikatan dengan reseptornya, TNF-α
Gambar 2.4. Kerangka Teori
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tesis yang berjudul “ Pengaruh Secretome Sel Punca Mesenkimal Terhadap Ekspresi Interleukin 17 dan Tumor Necrosis Factor Alpha ” ini adalah karya penelitian

Kesimpulan : Ekspresi TNF- α dijumpai positif (overexpression) pada polip hidung, di mana dijumpai terbanyak pada laki- laki, kelompok umur ≥40 tahun, polip hidung

Tujuan penelitian ini adalah membuktikan efek minyak atsiri daun sirsak ( Annona muricata Linn.) terhadap kadar Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) hepar tikus

“Hubungan Ekspresi Matriks Metalloproteinase-9 (MMP-9) Dengan Derajat Destruksi Tulang Pada Penderita OMSK Tipe Bahaya Di RSUP H.. Adam Malik Medan” sebagai salah satu syarat

melakukan pemeriksaan imunohistokimia terhadap sampel 40 kolesteatoma pasien untuk menilai tingkat ekspresi MMP-9 serta hubungannya dengan derajat destruksi tulang dan

PERAN TUMOR NECROSIS FACTOR (TNF) DAN FAKTOR .... SRI HIDAJATI

Selain itu, diperlu- kan penelitian lain yang ditujukan untuk melihat interaksi antara IL-6, IL-1, dan TNF-α tersebut dalam proses kerusakan tulang pendengaran serta

Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan penelitian dengan judul Hubungan Ekspresi Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) dengan Derajat Destruksi