• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proyeksi dalam Cerita Rakyat Melayu : Kajian Linguistik Sistemik Fungsional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Proyeksi dalam Cerita Rakyat Melayu : Kajian Linguistik Sistemik Fungsional"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

PROYEKSI DALAM CERITA RAKYAT MELAYU

KAJIAN LINGUISTIK SISTEMIK FUNSIONAL

Tesis

Oleh

ELFITRIANI

NIM: 097009031

SEKOLAH PASCASARJANA

PROGRAM STUDI MAGISTER LINGUISTIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2 0 1 2

(2)

ABSTRAK

Tesis ini mengkaji proyeksi pada klausa-klausa kompleks yang ditemukan dalam teks-teks cerita rakyat Melayu yang bertujuan untuk mengindentifikasi dan mendeskripsikan jenis-jenis proyeksi yang ditemukan dalam teks-teks tersebut. Tesis ini juga bertujuan untuk mengindetifikasi jenis proyeksi yang paling dominan dalam tiga judul cerita rakyat yang dianalisis. Latar belakang kajian ini adalah Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) yang mengatakan bahwa konteks sosial berkonstrual (saling menentukan) dengan struktur bahasa. Subyek analisis diambil dari teks-teks dari tiga judul cerita rakyat Melayu: 1). Hikayat Ketapel Awang Bungsu; 2). Legenda Pantai Cermin; 3). Buyung Besar. Ketiga judul dianggap sudah mewakili cerita-cerita rakyat Melayu. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan empat jenis proyeksi; proyeksi lokusi parataksis, proyeksi lokusi hipotaksis, proyeksi ide parataksis dan proyeksi ide hipotaksis. Pada penghitungan ketiga judul cerita tersebut dapat dilihat bahwa lokusi parataksis sebanyak 95,07%; lokusi hipotaksis sebanyak 0,35%; ide parataksisi sebanyak 4,23%; dan ide hipotaksis juga sebanyak 0,35%. Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa jenis lokusi parataksis yang dominan diantara jenis-jenis proyeksi lainnya.

Kata kunci: LSF, klausa kompleks, proyeksi lokusi parataksis, proyeksi lokusi hipotaksis, proyeksi ide parataksis, proyeksi ide hipotaksis

(3)

ABSTRACT

This thesis studies projection in the complex clauses which are found in the texts of Malay folklores. It aims to identify and describe the types of projection found in the texts. It also aims to identify the most dominant type of projection in the three titles being analyzed. The background of the study is the Systemic Functional Linguistics (SFL) which states that social contexts can contrue with language structures. The subject matters of the analysis are taken from the texts in the three titles of the Malay folklores:1) Hikayat Awang Bungsu; 2) Legenda Pantai Cermin; 3) Buyung Besar. The three titles are considered as the representation of the Malay folklore. Based on the result of the reseach, it can be found 4 types of projection; paratactic locution, hypotactic locution, paratactic idea, and hypotactic Idea. On the calculation for the three titles, it can be seen that the paratactic locution is 95, 07%; hypotactic locution is 0,35%; paratactic idea is 4,23%; and hipotactic idea is also 0,35%. It means that paratactic locution projection is dominant among the other types of the projection.

Key words: SFL, complex clause, paratactic locution projection, hypotactic locution projection, paratactic ide projection, hipotactic idea projection.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang selalu

memberikan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga tesis yang berjudul ‘Proyeksi dalam

Cerita-cerita Rakyat Melayu: Kajian Linguistik Sistemik Fungsional’ dapat diselesaikan.

Selawat dan salam dihaturkan kepada Rasullullah Muhammad SAW yang telah

memberikan contoh suri tauladan yang mulia dalam mengaruhi liku-liku kehidupan

penulis.

Penulis berharap tesis ini dapat memberi manfaat kepada para pembaca sebagai

menambah khasanah pengembangan kebahasaan. Disamping itu, penelitian ini diharapkan

juga dapat memberi motivasi kepada peneliti lain untuk menjadikan karya sastra daerah

(dalam hal ini karya sastra Melayu) sebagai objek penelitian bidang bahasa (linguistik)

karena hal ini mempunyai keuntungan ganda; yaitu selain dapat menerapkan ilmu

linguistik juga dapat melestarikan budaya daerah.

Penulis sangat menyadari bahwa penelitian yang dilakukan ini masih jauh dari

sempurna, masih banyak kekurangan disana-sini. Oleh karena itu kritik dan saran

membangun untuk melengkapi penelitian ini sangat diharapkan.

Medan , Juli 2012 Penulis,

Elfitriani

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua

pihak yang telah membantu dan mendukung secara baik secara materil maupun moril

sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan yang khusus ini penulis

ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Rektor USU, Bapak Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTMH. (CTM). Sp. A(K), yang

telah memberikan kesempatan kepada saya mengikuti pendidikan Program Magister

pada Sekolah Pascasarjana USU.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Bapak Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE, yang

telah memberi perhatian dan kesempatan begitu pula dukungan selam mengikuti

pendidikan Strata dua pada Sekolah Pascasarjana USU.

3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A, Ph.D selaku Ketua Program Studi Linguistik dan

Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan,

pengetahuan, bantuan, motivasi, dan semangat selama proses penulisan dan

penyelesaian tesis ini sehingga memperlancar selesainya tesis ini.

4. Ibu Dr. Nurlela, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Linguistik dan Pembimbing II

yang telah dengan baik hati membimbing, mengarahkan dan memberikan

pengetahuannya demi penyelesaian tesis ini.

5. Bapak Prof. Amrin Saragih, MA., Ph.D., DTEFL. dan Ibu Dr.Siti Aisyah Ginting, M.Pd,

selaku Tim Penguji mulai dari proposal, seminar hasil, hingga ujian tertutup meja hijau

yang dengan bimbingan, kritik dan saran yang konstruktif yang telah diberikan sehingga

tesis ini layak menjadi sebuah laporan penelitian.

(6)

6. Dosen pengajar di Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana USU Ibu Prof. T.

Silvana Sinar, M.A, Ph.D, Bapak Prof. Dr. Robert Sebarani, M.S., Prof. Amrin Saragih,

M.A., Ph.D., Bapak Prof. Aron Meko Mbete, Bapak Rustam Amir Effendi, M.A., Ph.D,

Bapak Pof. Mangantar Semanjuntuak, Ph. D., Dr. Eddy Setia, M.ED., TESP., Ibu Dwi

Widayat, M. Hum., Ibu Dr. Gustianingsih, M. Hum., Ibu thirayana Zein, M.A., Ibu

Deliana, M. Hum yang memberikan ilmu pengetahuan serta membuka wawasan dan

cakrawala berpikir sesuai dengan konsep berpikir ilmiah. Semoga jasa para pengajar

dibalas Allah SWT sebagi amal jariah yang tidak akan pernah putus.

7. Kedua orang tua; ayahda Buyung Enek dan Ibunda tercinta Syahniar yang dengan tulus

ikhlas mendoakan dan memberikan semangat sehingga tesis ini terselesaikan.

8. Kepada Kakakku tersayang; Elfinawati, Amp, adikku terkasih; Elfi Susanti, S.Pd yang

telah terus memotivasi untuk menyelesaikan tesis ini.

9. Suamiku tercinta; Dedi, S.Pd yang dengan sabar mendampingi, membantu, dan tetap

menyemangati dalam proses penyelesaian tesis ini.

10. Kedua Mertuaku; Ibu Sabariah dan Bapak Mardani dan adik-adik iparku yang

tersayang; Sartika, S.Pd, Husna, Zalika, Veri, dan Sapri yang telah membantu dalam

menjaga, merawat dan mengasuh anak saya sehingga saya mempunyai kelapangan

waktu dalam menyelesaikan tesis ini.

11. Anakku tersayang, Dhoifullah Fadhil yang dengan kepolosannya selalu memberi

kekuatan dan semangat untuk menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata penulis berharap semoga semua kebaikan yang telah diberikan kepada

penulis mendapat pahala yang berlimpah dari Allah SWT, Amin.

Medan, Juli 2012

Penulis,

(7)

Elfitriani

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Stratafikasi Bahasa dalam Konteks 16

2.2 Hubungan Semantik Logis dan Taksis 28

2.3 Posisi Subjek, Finit, Pridikator, Kompelemen, dan Adjunct dalam Teks

29

2.4 Klausa-klausa Primer dan Sekunder dalam Klausa Nexus 38 2.5 Tataurutan dan Pilihan Tone dalam Proyeksi Parataktis 42

2.6 Jenis-jenis Proyeksi 44

4.1 Klasifikasi dan Frekuensi Pemakaian Proyeksi Pada ‘Hikayat Ketapel Awang Bungsu’

65

4.2 Distribusi Proyeksi Berdasarkan Jenis Pada ‘Hikayat Ketapel Awang Bungsu’

69

4.3 Proporsi Proyeksi Pada ‘Hikayat Ketapel Awang Bungsu’ 69 4.4 Klasifikasi dan Frekuensi Pemakaian Proyeksi Pada ‘Legenda

Pantai Cermin’

71

4.5 Distribusi Proyeksi Berdasarkan Jenis Pada ‘Legenda Pantai Cermin’

73

4.6 Proporsi Jenis Proyeksi Pada ‘Legenda Pantai Cermin’ 74 4.7 Klasifikasi dan Frekuensi Pemakaian Proyeksi Pada ‘Buyung

Besar’

76

4.8 Distribusi Proyeksi Berdasarkan Jenis Pada ‘Buyung Besar’ 77

4.9 Proporsi Jenis Proyeksi Pada ‘Buyung Besar’ 78

4.10 Distribusi Jenis Proyeksi Ketiga Cerita Rakyat Melayu 78

4.11 Proporsi Setiap Jenis Proyeksi Ketiga Cerita Rakyat Melayu 79

4.12 Perbedaan Ragam Bahasa Lisan dan Tulis 90

(8)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Hubungan Teks dan Konteks 14

2.2 Bahasa Sebagai Realisasi Konteks Sosial 14

2.3 Stratafikasi Bahasa dalam Konteks 15

2.4 Konteks Budaya dan Konteks Sosial dalam Demensi

Potensialitas

22

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

I Analisis Proyeksi Pada ‘Hikayat Ketapel Awang Bungsu’ 100

II Analisis Proyeksi Pada ‘Legenda Pantai Cermin’ 113

III Analisis Proyeksi Pada ‘Buyung Besar’ 126

IV Teks Cerita ‘Hikayat Ketapel Awang Bungsu’ 136

V Teks Cerita ‘Legenda Pantai Cermin’ 153

VI Teks Cerita ‘Buyung Besar’ 171

(10)
(11)
(12)

DAFTAR PUSTAKA ... 97

LAMPIRAN I... 100

LAMPIRAN II ... 113

LAMPIRAN III ... 126

LAMPIRAN IV ... 136

LAMPIRAN V ... 153

LAMPIRAN VI ... 171

(13)

ABSTRAK

Tesis ini mengkaji proyeksi pada klausa-klausa kompleks yang ditemukan dalam teks-teks cerita rakyat Melayu yang bertujuan untuk mengindentifikasi dan mendeskripsikan jenis-jenis proyeksi yang ditemukan dalam teks-teks tersebut. Tesis ini juga bertujuan untuk mengindetifikasi jenis proyeksi yang paling dominan dalam tiga judul cerita rakyat yang dianalisis. Latar belakang kajian ini adalah Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) yang mengatakan bahwa konteks sosial berkonstrual (saling menentukan) dengan struktur bahasa. Subyek analisis diambil dari teks-teks dari tiga judul cerita rakyat Melayu: 1). Hikayat Ketapel Awang Bungsu; 2). Legenda Pantai Cermin; 3). Buyung Besar. Ketiga judul dianggap sudah mewakili cerita-cerita rakyat Melayu. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan empat jenis proyeksi; proyeksi lokusi parataksis, proyeksi lokusi hipotaksis, proyeksi ide parataksis dan proyeksi ide hipotaksis. Pada penghitungan ketiga judul cerita tersebut dapat dilihat bahwa lokusi parataksis sebanyak 95,07%; lokusi hipotaksis sebanyak 0,35%; ide parataksisi sebanyak 4,23%; dan ide hipotaksis juga sebanyak 0,35%. Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa jenis lokusi parataksis yang dominan diantara jenis-jenis proyeksi lainnya.

(14)

ABSTRACT

This thesis studies projection in the complex clauses which are found in the texts of Malay folklores. It aims to identify and describe the types of projection found in the texts. It also aims to identify the most dominant type of projection in the three titles being analyzed. The background of the study is the Systemic Functional Linguistics (SFL) which states that social contexts can contrue with language structures. The subject matters of the analysis are taken from the texts in the three titles of the Malay folklores:1) Hikayat Awang Bungsu; 2) Legenda Pantai Cermin; 3) Buyung Besar. The three titles are considered as the representation of the Malay folklore. Based on the result of the reseach, it can be found 4 types of projection; paratactic locution, hypotactic locution, paratactic idea, and hypotactic Idea. On the calculation for the three titles, it can be seen that the paratactic locution is 95, 07%; hypotactic locution is 0,35%; paratactic idea is 4,23%; and hipotactic idea is also 0,35%. It means that paratactic locution projection is dominant among the other types of the projection.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Bahasa memungkinkan

kita untuk bertukar informasi dengan orang lain, baik itu secara lisan maupun tertulis.

Bahasa merupakan bagian dari kehidupan manusia dan hampir tidak ada kehidupan sosial

yang normal tanpa Bahasa.

Ketika seseorang berbicara dengan mitrabicaranya, dia banyak sekali

menyampaikan informasi dan mendapatkan informasi dari pembicaraan itu. Informasi yang

dia sampaikan ataupun yang dia dapatkan tidak hanya bersumber dari dirinya sendiri

ataupun langsung dari mitrabicaranya tetapi juga bisa berasal dari orang lain yang dia dan

mitrabicaranya sampaikan kembali, inilah yang disebut sebagai proyeksi dalam ilmu

bahasa atau linguistik. Dengan kata lain, proyeksi adalah menyampaikan kembali informasi

yang didapat dari orang lain, baik itu dengan cara langsung (mengutip apa yang telah

disampaikan oleh orang lain) maupun tidak langsung (melaporkan apa yang telah

disampaikan oleh orang lain).

Proyeksi tidak hanya bisa ditemukan disaat kita menyimak pembicaraan orang

secara langsung, tetapi juga dapat dijumpai di berbagai bentuk wacana, seperti laporan

berita, menampilkan kembali pandangan-pandangan yang ada dalam wacana ilmiah,

menkonstruksi dialog-dialog yang ada dalam cerita narasi dan membingkai

pertanyaan-pertanyaan dalam sebuah percakapan (Halliday, 2004:443). Banyak hal yang bisa dikaji

dalam proyeksi; seperti jenis-jenis proyeksi, telaahan jenis proyeksi baik secara lisan dan

tulisan dan turunan-turunan yang bisa dibuat dari jenis-jenis proyeksi itu sendiri. Oleh

(16)

karena itu penelitian tentang proyeksi dianggap penting sekali untuk memperdalam ilmu

tentang proyeksi itu sendiri dan untuk memberikan kontribusi yang akan memberi manfaat

kepada para pembaca.

Proyeksi telah banyak diteliti oleh berbagai peneliti dalam bidang linguistik dari

berbagai daerah di seluruh Indonesia. Salah satu contohnya adalah penelitian yang

dilakukan oleh Nurlela pada tahun 2002 yang berjudul “ Proyeksi dalam Teks Berita dan

Tajuk Rencana dalam Harian Waspada”. Setelah membaca dan memeriksa hasil-hasil

penelitian tentang proyeksi, ditemukan bahwa penelitian tentang proyeksi dalam

cerita-cerita rakyat Melayu belum ada ditemukan sehingga hal ini dianggap penting untuk

dilakukan dan akan memberikan manfaat berlipat yaitu selain untuk memperdalam ilmu

bahasa tentang proyeksi, bisa juga memberikan kontribusi bagi usaha pelestarian budaya

daerah seperti yang dianjurkan oleh pemerintah dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam

Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: 42 Tahun 2009 Bab III pasal 8 ayat 1

menyatakan bahwa perlindungan, pengembangan, pemanfaatan kebudayaan daerah dapat dilakukan melalui: a). Inventarisasi; b). Pendokumentasian; c). Penyelamatan; d). Penggalian; e). Penelitian; f). Pengayaan; g). Pendidikan; h). Pelatihan; i). Penyajian; j). Penyebarluasan; k). Revitalisasi; l). Rekonstruksi; dan m). Penyaringan. Dalam pasal 19 juga pemerintah mengharapkan agar masyarakat berperan serta dalam pelestarian kebudayaan (www.depdagri.go.id/media/documents/.../Permen-No.42-2009-doc/).

Etnik Melayu mempunyai banyak sekali kesusastraan yang masih berkisar pada

sastra lisan. Sastra lisan itu berkembang dari generasi ke generasi melalui penuturan

kembali dari mulut ke mulut. Pencerita sastra lisan jumlahnya semakin hari makin sedikit

(17)

seiring perkembangan tehnologi dan komunikasi. Hal ini dibuktikan dengan semakin

sedikitnya generasi muda yang tidak mengetahui cerita-cerita daerahnya sendiri.

Sastra lisan merupakan bagian suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di

tengah-tengah masyarakat dan diwariskan secara turun temurun secara lisan sebagai milik

bersama. Ragam sastra yang demikian tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, pengisi

waktu luang, serta penyalur perasaan, melainkan juga sebagai alat cermin sikap pandangan

dan lembaga kebudayaan serta alat pemeliharaan norma-norma masyarakat. Hal ini juga

dijadikan alasan kenapa memilih cerita-cerita rakyat Melayu sebagai objek penelitian

mengingat banyak sekali manfaat yang akan didapat dalam proses penelitian cerita-cerita

ini. Adapun cerita-cerita itu adalah: Hikayat Ketapel Awang Bungsu, Legenda Pantai

Cermin, dan Buyung Besar.

Selain alasan-alasan yang sudah dikemukakan sebagai alasan pemilihan judul, ada

satu hal lagi yang paling mendasar yaitu di dalam cerita-cerita rakyat Melayu yang sudah

dipilih terdapat banyak sekali data-data proyeksi yang berupa klausa-klausa kompleks yang

dikonstruksikan untuk membangun cerita dalam dialog-dialog yang dipaparkan pada

cerita-cerita ini.

1.2Ruang Lingkup Penelitian

Pada dasarnya, proyeksi mempunyai inti ‘mengutip atau melaporkan’ apa yang

telah dikatakan atau disampaikan orang. Dari sekian banyak pengertian proyeksi yang ada,

penelitian ini secara khusus hanya memfokuskan pada Proyeksi yang ada pada cerita-cerita

rakyat Melayu yang masing-masing judulnya adalah:

a). Hikayat Ketapel Awang Bungsu

b). Legenda Pantai Cermin, dan

(18)

c). Buyung Besar.

1.3Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang sudah dikemukakan di atas, maka

muncul pertanyaan-pertanyaan yang menjadi permasalahan agar mendapatkan hasil

penelitian yang terarah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Jenis-jenis proyeksi apa yang terdapat dalam cerita rakyat Melayu yang berjudul:

Hikayat Ketapel Awang Bungsu, Legenda Pantai Cermin, dan Buyung Besar? 2. Jenis proyeksi apa yang paling dominan digunakan atau dipakai dalam ketiga cerita

rakyat tersebut?

3. Mengapa jenis proyeksi tertentu itu dominan?

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni tujuan umum

dan tujuan khusus.

1.4.1 Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah sebagai usaha melestarikan bahasa

daerah, dalam hal ini cerita-cerita rakyat Melayu yang semakin hari makin sedikit

penuturnya. Apabila hal demikian berlangsung secara terus menerus bukan tidak mungkin

suatu saat nanti budaya Melayu akan punah begitu saja ditelan arus globalisasi yang

semakin tidak terbendung.

Terkait dengan hal tersebut penggalian ragam bahasa proyeksi yang terdapat dalam

bahasa ini juga dimaksudkan untuk mengetahui keindahan yang terdapat di dalamnya.

(19)

Dengan demikian akan terciptalah rasa kebanggaan memiliki karya sastra ini yang pada

gilirannya akan bermuara pada kebanggaan sebagai orang Melayu.

1.4.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini diuraikan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan jenis-jenis proyeksi yang terdapat dalam cerita-cerita rakyat Melayu.

2. Menemukan jenis proyeksi yang mana yang mendominasi dalam cerita-cerita rakyat

tersebut.

3. Menjelaskan alasan mengapa jenis proyeksi tertentu itu mendominasi ketiga cerita rakyat

tersebut.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah penerapan Teori Linguistik Fungsional

Sistemik dalam kajian sastra daerah.

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan model dalam penelitian ragam proyeksi pada bahasa

daerah lain selain bahasa Melayu.

3. Hasil penelitian ini dapat menstimulasi untuk diadakannya penelitian dalam semantik

logis yang lain yaitu ekspansi dalam bahasa daerah yang ada di Indonesia.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada penikmat dan pembaca sastra

daerah Melayu tentang keindahan bahasa ini yang diwujudkan dalam proyeksi yang

beraneka jenis.

(20)

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan semangat dan kebanggaan bagi

masyarakat untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai usaha untuk melestarikan

bahasa daerah.

(21)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

“Teori bahasa memiliki cara yang beragam dalam melihat fenomena bahasa” (Sinar,

2003:13). Di dalam penelitian ini, teori bahasa yang akan digunakan adalah teori Systemic Functional Linguistics dalam menganalisis teks-teks dalam cerita-cerita rakyat Melayu, yaitu: 1). Hikayat Ketapel Awang Bungsu; 2) Legenda Pantai Cermin; 3) Buyung Besar.

Ketiga teks ini diteliti untuk mengetahui jenis-jenis proyeksi yang terdapat di dalamnya.

2.1 Teori Systemic Functional Linguistics

Teori Systemic Functional Linguistics mulanya berasal dari Aliran Neo Firthian

Aliran ini mempunyai banyak nama, seperti teori linguistik sistematik, teori linguistik

sistemik (systemic linguistics), atau teori linguistik fungsional, apapun sebutan yang ada,

teori ini tidak bisa lepas dari seseorang yang bernama Michael Alexander Kirkwood

Halliday (MAK Halliday) yang telah menemukan dan mengembangkan teori kebahasaan

tersebut. Ia merupakan salah seorang murid dari Firth, seorang ahli bahasa yang

mengembangkan aliran Firth, guru besar di Universitas London, dimana Halliday belajar

(http://bangpek-kuliahsastra.blogspot.com/2011/12/aliran-neo-firthian.html).

Teori Systemic Functional Linguistics merupakan teori yang dipilih dalam menganalis data pada penelitian ini. Pemilihan ini didasarkan pada 5 (lima) keunggulan

TSFL bila dibandingkan dengan teori atau mahzab linguistik lain: 1) objek kajian

dilakukan pada teks atau wacana sebagai unit pemakaian bahasa; 2) keberpijakan pada

konteks sosial dalam mengkaji teks; 3) keseimbangan kajian bentuk dan arti bahasa, yang

(22)

pertentangan dalam perkembangan linguistik; 4) kajian sintagmatik yang diatautkan

dengan paradigmatik untuk menerangkan dasar kefungsionalan dan motivasi dalam satu

uni tata bahasa; dan 5) keberagaman kriteria (multicriteria) yang digunakan dalam mendeskripsikan atau mengukur satu unit tata bahasa, yang dalam tata bahasa formal hanya

ada dua, yakni benar atau salah (Saragih, 2006:i).

Teori Systemic Functional Linguistics ini di Indonesia memperoleh dua penerjemahan yang menjadi rujukan teks berbahasa Indonesia dalam penelitian ini.

Terjemahan pertama adalah Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) oleh Tengku Silvana

Sinar dalam bukunya Teori dan Analisis Wacana: Pendekatan Sistemik-Fungsional (terbit 2003 dan dicetak ulang 2008). Terjemahan kedua Linguistik Fungsional Sistemik (LFS)

oleh Amrin Saragih dalam bukunya Bahasa dalam Konteks Sosial: Pendekatan Lunguistik Fungsional Sistemik terhadap Tata Bahasa dan Wacana (2006) dan Fungsi Tekstual dalam Wacana: Panduan Menulis Rema dan Tema (2007).

Teori Linguistik Fungsional Sistemik dipelopori oleh Profesor M.A.K. Halliday.

Menurut Sinar (2003:14), teori ini menyakini bahwa bahasa atau teks selalu berada pada

konteks pemakaiannya. Secara historis, menurut Saragih (2007:1), teori ini dikembangkan

oleh Halliday (2004) dan para pakar lainnya, seperti Martin (2003), Halliday dan

Matthiessen (2001), serta Kress (2002). Teori ini berkembang di Inggris, tetapi

perkembangannya sangat pesar terutama sejak Linguistics Department dibuka di University of Sydney pada tahun 1976.

Sinar (2003:14) menjelaskan istilah ‘Teori Linguistik’ mempunyai dua implikasi.

Implikasinya, analisis wacana harus menggunakan teori bahasa yang memiliki kerangka

penelitian analisis wacana dalam konteks linguistik dengan mengikuti prinsip-prinsip teori

(23)

mengisyaratkan pemilihan pendekatan bahasa yang secara interpretatif bersifat semiotik,

tematis, dan antardisiplin.

Selanjutnya, Sinar (2003:15) bersepakat bahwa istilah ‘Sistemik’ berimplikasi

kepada tiga hal. Ketiga hal itu mengisyaratkan bahwa analisis bahasa untuk memperhatikan

hubungan sistem(ik) dalam berbagai kemungkinan pada jaringan sistem hubungan dan

dapat memulai pilihan dari dari fitur umum ke spesifik, yang vertikal atau paradigmatik. Di

samping itu, fenomena yang diinvestigasi melibatkan sistem-sistem makna. Sistem-sistem

makna tersebut mendasari analisis bahasa, baik berada di belakangnya, di bawahnya, di

atasnya, di sekelilingnya, atau di seberang fenomena yang sedang diinvestigasi.

Sebaliknya, istilah ‘Fungsional’ mengimplikasikan tiga hal, yaitu bahwa analisis

wacana memberi perhatian kepada 1). Realisasi fungsional dari sistem dalam

struktur-struktur dan pola-pola, yang secara strurtur bersifat horizontal dan sinitagmatis, (2)

fungsi-fungsi atau makna-makna yang ada dalam bahasa tersebut, dan 3) fungsi-fungsi-fungsi-fungsi atau

makna-makna yang ada beropperasi di dalam tingkat dan demensi bervariasi dalam bahasa

yang dikaji.

Menurut Saragih (2007:1-6), pendekatan fungsional memiliki tiga pengertian, yang

saling bertaut. Pertama, pendekatan fungsional berpendapat bahwa bahasa terstruktur berdasarkan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, bahasa terstruktur

berdasarkan tujuan penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan untuk suatu fungsi atau

tujuan disebut teks (text). Oleh karena itu, teks yang digunakan untuk menceritakan peristiwa (narasi) terstuktur berbeda dengan teks yang digunakan untuk melaporkan satu

peristiwa (laporan), kecenderungan tata bahasa dalam teks sejarah berbeda dengan teks

(24)

Dengan pengertian fungsional yang pertama ini, teks dinterpretasikan berdasarkan

konteks sosial, yakni segala unsur yang terjadi di luar teks. Dengan kata lain, konteks sosial

memotivasi pengguna atau pemakai bahasa menggunakan struktur tertentu. Konteks sosial

yang mempengaruhi bahasa ini dalam teori Systemic Functional Linguistics terdiri atas konteks situasi (register) dan budaya (culture) yang di dalamnya termasuk ideologi (ideology).

Konteks situasi mengacu kepada kondisi dan lingkungan yang mendampingi atau

sedang berlangsung ketika penggunaan bahasa berlangsung atau ketika interaksi antar

pemakai bahasa terjadi. Menurut Halliday dan Hasan (1985) konteks situasi terdiri atas tiga

unsur, yaitu field, tenor dan mode of discourse. Ketiga unsur tersebut mengandung arti 1) medan (field). Yakni apa –what yang akan dibicarakan dalam interaksi, 2) pelibat (tenor), yakni siapa--- who yang dibicarakan dalam interaksi, dan 3) cara (mode), yakni bagaimana----how interaksi dilakukan.

Lebih lanjut, Halliday (1974) dalam Saragih (2007:2) menegaskan bahwa bahasa

adalah fenomena antarmanusia yang disebut sebagai interorganism, yang berbeda dengan pendapat para pakar linguistik formal, misalnya Chomsky yang berpendapat bahasa

sebagai fenomena intraorganism atau hal yang terjadi di dalam diri manusia. Dengan kata lain, secara spesifik para pakar Systemic Functional Linguistics mengamati, bahwa struktur teks ditentukan oleh unsur yang ada di luar teks, yakni konteks sosial. Hubungan antara

teks dan konteks sosial adalah hubungan construal, yakni saling menentukan, konteks sosial menentukan teks dan teks menentukan konteks sosial. Dengan kata lain, pada suatu

saat konteks sosial terbentuk dan konteks sosial ini mempengaruhi teks. Pada saat

(25)

Kedua, berkaitan dengan pengertian fungsional pertama, fungsi bahasa dalam kehidupan manusia mencakup tiga hal, yaitu (1) memaparkan atau menggambarkan

(ideational function), (2) mempertukarkan (interpersonal function), dan (3) merangkai (textual function) pengalaman manusia. Ketiga fungsi ini disebut metafungsi bahasa (metafunction), yakni fungsi bahasa untuk penggunaan bahasa. Masing-masing fungsi direalisasikan oleh tata bahasa yang berbeda sifatnya dan tidak saling berhubungan.

Dengan demikian, dalam perspektif Systemic Functional Linguistics, tata bahasa (lexicogrammar) merupakan teori tentang pengalaman manusia, yakni teori yang mencakupi paparan, pertukaran, dan organisasi pengalaman manusia.

Pengertian fungsional ketiga adalah setiap unit bahasa adalah fungsional terhadap unit yang lebih besar, yang di dalamnya unit itu menjadi unsur. Dengan pengertian ini

ditetapkan bahwa morfem adalah fungsional di dalam kata, kata adalah fungsional dalam

grup atau frase, grup atau frase adalah fungsional dalam klausa, dan klausa menjadi unsur

fungsional dalam klausa kompleks. Dengan pandangan ini, para pakar Systemic Functional Linguistics berpendapat bahwa dalam mengkaji satu unit linguistik, unit linguistik itu dikaji dari tiga posisi, yakni dari (1) unit yang lebih besar di atasnya yang di dalam unit di atasnya

itu unit linguistik itu menjadi elemen/ konstituen, (2) unit yang lebih kecil di bawahnya

yang menjadi elemen/konstituen dan membangun unit bahasa yang dikaji, dan (3) unit

yang setara atau sama posisinya dengan unit kajian.

Teori Systemic functional Linguistics sangat potensial dengan berbagai demensi analisis dalam teks dan wacana. Dalam demensi bahasa, analisis dapat dilakukan terhadap

tiga strata bahasa yaitu semantik, leksikogramatika, dan fonologi atau ortografi. Ketiga

(26)

atau disebut leksikogramatika dan akhirnya direalisasikan ke dalam bunyi bahasa ataupun

tulisan.

Pendekatan Systemic Functional Linguistics terhadap analisis teks juga mencakup analisis konteks. Konteks atau konteks sosial selalu menyertai teks dan tidak dapat

dipisahkan satu sama lainnya. Halliday menistilahkan construal yaitu adanya hubungan konstrual bahwa konteks sosial yang menentukan dan ditentukan oleh teks. Menurut

Halliday (1978) dalam Saragih (2007:2), konteks sosial terbagi tiga, yaitu konteks situasi

(register), konteks budaya (genre), dan konteks ideologi. Konteks situasi merupakan unsur yang penting dalam bahasa karena manusia berbicara atau menulis harus disesuaikan

dengan konteks situasinya.

Konteks budaya (genre) yaitu kegiatan berbahasa yang bertahap, bermatlamat sebagai aktivitas yang beroerientasi pada tujuan di mana penulis/penutur melibatkan diri

sebagi anggota-anggota dari bidaya itu sendiri (Sinar, 2003:68). Selanjutnya, konteks teks

mempunyai ideologi yang merujuk sikap, nilai yang dikonstruksikan secara sosiial menjadi

konsep yang dinyakini oleh masyarakat. Dengan demikian, bahasa yang terdiri atas unsur

makna (semantik), tata bahasa (leksikogramatika) dan bunyi (fonologi) mempunyai

konteks situasi budaya di atasnya, Ketiga jenis konteks ini direalisasikan oleh bahasa

seperti terdapat dalam diagram berikut:

Gambar 2.1 : Hubungan Teks dan Konteks (Saragih, 2006:3)

Ideolog i

Buday a

Situasi

Semanti k

Tata Bahasa Tata Bahasa Bahasa

(27)

Selanjutnya, Martin (1993) dalam Sinar (2003:8-9) menjelaskan dalam

rancangannya bahwa bahasa berada di dalam konteks sosial. Konsekuensinya, untuk

memahami bahasa harus memahami konteks sosialnya juga karena bahasa sebagai sistem

semiotik merealisasikan konteks sosial sebagai sebuah sistem sosial.

Gambar 2.2: Bahasa sebagai Realisasi Konteks Sosial (adaptasi dari Martin, 1993:142)

B

Selain itu, Matthiessen (1993) dalam Sinar (2003:17) merancang stratifikasi bahasa

dalam konteks. Ia berpendapat bahwa di dalam bahasa terdapat makna (semantik), di dalam

makna terdapat leksikogrammatika, dan di dalam leksikogramatika terdapat fonologi.

Dengan demikian, bahasa meliputi tiga unsur sekaligus yaitu semantik, leksikogramatika,

dan fonologi.

Kontek

Sosial

(28)

Gambar 2.3: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks (Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227)

ooooooooooo

Situasi

Berikut ini adalah perbandingan enam model konteks dalam kerangka teori

Systemic Functional Linguistics oleh beberapa pakar:

Tabel 2.1: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks

(29)

Berdasarkan perbandingan di atas dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan

konteks situasi. Halliday membagi konteks situasi menjadi tiga, yaitu medan wacana,

pelibat wacana dan sarana wacana. Sedangkan Martin menggunakan genre sebagai rujukan

untuk konteks budaya. Berbeda dengan Halliday dan Martin, Gregory membagi pelibat

wacana menjadi dua bagian pelibat wacana personal dan fungsional, sedangkan Ure dan

Elis membagi pelibat wacana ke dalam dua bagian formalitas dan peran. Fawcet membagi

pelibat wacana berdasarkan tujuan hubungan dan pragmatik.

2.2 Fungsi dan Penggunaan Bahasa

Menurut teori sistemik, Sinar ( 2003:19) bahasa adalah fenomena sosial, yaitu

bahasa cenderung sebagai alat berbuat (doing) sesuatu daripada mengetahui (knowing)

sesuatu. Bahasa adalah sistem jaringan yang terdiri atas pilihan-pilihan arti. Beberapa

pokok pikiran penting TLSF dan bagaimana satu dengan yang lainnya berhubungan dalam

membentuk dasar dan kerangka kerja analisis wacana akan dibagi menjadi lima penegasan

utama, yaitu: 1) bahasa adalah sistem; 2) bahasa adalah fungsional; 3) fungsi bahasa adalah

membuat makna; 4) bahasa adalah sistem semiotik sosial; dan 5) Penggunaan bahasa

adalah kontekstual.

2.2.1 Bahasa adalah Sistem

Dalam percakapan seseorang dapat memilih arti yang ingin disampaikannya ketika

berinteraksi dengan lawan bicara. Sejumlah pilihan arti (sistem) yang direalisasikan

melalui pilihan bentuk bahasa tersebut cenderung bersifat paradigmatik daripada

sintagmatik.

Selanjutnya, Sinar (2003:19) mengatakan bahwa sistem arti bahasa dinamakan

(30)

dalam kata-kata secara gramatika dan teratur adalah sintagmen yang terdiri atas bagian

leksikal dan bagian gramatikal.

2.2.2 Bahasa adalah Fungsional

Bahasa adalah fungsional berhubungkait dengan kenyataan bahwa bahasa timbul

dan wujud untuk melayani keperluan-keperluan manusia. Oleh karena itu, seseorang perlu

memusatkan perhatian kepada bagaimana manusia menggunakan bahasa supaya

memahaminya (Sinar, 2003:19).

Halliday dan Hasan (1985:10) mendefinisikan teks sebagai bahasa yang fungsional.

Fungsional diartikan sebagai bahasa yang melakukan perkerjaan yang sama dalam suatu

konteks. Di dalam konteks ini, bahasa yang fungsional bukan kata-kata atau kalimat yang

terisolir yang mungkin dituliskan seseorang di atas papan tulis. Dengan demikian, hakekat

teks adalah sebagai entitas semantik, sehingga sebuah teks harus dipertimbangkan dari dua

perspektif sekaligus, baik sebuah produk maupun sebagai sebuah proses.

Menurut Saragih (2006:3) terdapat tiga pengertian dalam konsep fungsional di

dalam konteks sosial.

1) Bahasa terstruktur sesuai dengan kebutuhan manusia akan bahasa.

2) Bahasa berfungsi untuk memaparkan, mempertukarkan dan merangkai pengalaman.

Ketiga fungsi ini disebut dengan metafungsi bahasa.

3) Satu unit bahasa fungsional terhadap unit lain yang lebih besar. Artinya satu unit bahasa

dapat menjadi unit bahasa yang lebih besar misalnya kata, frase dan klausa. Bahasa

dalam analisis wacana dengan pendekatan linguistik fungsional sistemik mempunyai

(31)

2.2.3 Fungsi Bahasa adalah Membuat Makna

Bahasa berfungsi membuat makna. Hal ini dapat dibuktikan ketika manusia

mengekspresikan keperluan-keperluan mereka melalui bahasa, mereka membuat makna

dalam teks. Halliday (1975) dalam Sinar (2003:20) berpendapat bahwa belajar bahasa

adalah belajar memaknai yang mempunyai konsekuensi pada proses belajar-mengajar. Di

dalam hal ini, Halliday (1975:37) memandang pembelajaran bahasa sebagai belajar

memaknai atau mempelajari cara membuat makna. Dengan demikian, teori Systemic Functional Linguisticsi mempunyai kekuatan pada nilai pendidikan linguistik.

Fokus Systemic Functional Linguistics terhadap bahasa sebagai institusi sosial memberi makna khusus teks dan konteks. Hal ini memunculkan pandangan bahwa bahasa

adalah sebuah sistem atau sistem pilihan yang relevan dengan pendidikan linguistik. Bagi

praktisi pendidikan merupakan sesuatu yang penting untuk memahami perspektif bahwa

seseorang belajar dalam proses sosial dan potensinya sangat erat hubungannya dengan

bagaimana seorang anak membuat makna dengan menggunakan bahasa. Di dalam fungsi

bahasa ini, seorang anak dalam aksinya belajar berbahasa, ia sekaligus mempelajari budaya

melalui bahasa yang dipelajarinya. Sistem semiotik yang dikonstruksikan oleh anak

tersebut menjadi sarana utama bagi transmisi budaya.

2.2.4 Bahasa adalah Sistem Semiotik Sosial

Akar pandangan Halliday yang pertama adalah bahasa sebagai semiotika sosial. Hal

ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode) representasi dunia yang

dikonstruksikan secara sosial. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial

bahasa, yakni fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana

(32)

dari sejumlah sistem makna yang lain seperti tradisi, sistem mata pencarian, dan sistem

sopan santun secara bersama¬sama membentuk budaya manusia. Halliday mencoba

menghubungkan bahasa terutama dengan satu segi yang penting bagi pengalaman manusia,

yakni segi struktur sosial.

Sejalan dengan pengertian semiotik di atas, kajian makna suatu bahasa harus

ditempatkan pada konteks sosial. Hal ini membawa implikasi bahasa bertautan dengan

makna dalam budaya. Sudah pasti dalam budaya mana pun banyak cara yang berkenaan

dengan makna yang berada di luar bidang bahasa. Cara-cara tersebut meliputi baik

bentuk seni seperti lukisan, ukiran bunyi-bunyian, tarian, dan lainnya, maupun

bentuk-bentuk tingkah laku budaya lainnya yang tidak termasuk dalam ruang lingkup seni,

misalnya ragam pertukaran, pakaian, susunan keluarga dan seterusnya. Ini semua pembawa

makna dalam budaya. Pada hakikatnya, dalam konteks ini budaya didefinisikan sebagai

seperangkat sistem semiotik, sistem makna yang semuanya saling berhubungan. Pengertian

umum tentang semiotik ini tidak dapat dijelaskan melalui konsep tanda sebagai suatu

kesatuan lahiriah, tetapi semiotik sebagai sistem-sistem makna, yang dapat dipandang

sebagai tatanan yang bekerja melalui semacam bentuk luar keluaran (output) yang disebut tanda, tetapi tatanan-tatanan itu sendiri bukan perangkat benda tersendiri, melainkan

merupakan jaringan-jaringan hubungan. Dalam arti inilah istilah ‘semiotik’ digunakan

untuk melihat bahasa, yaitu bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang

secara bersama-sama membentuk budaya manusia.

Istilah sosial dalam konteks bahasa adalah sistem semiotik sosial bersinonim

dengan kebudayaan. Menurut Sinar (2003:21), “Konsep semiotik sosial adalah bahwa

hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti dan arti-arti ini

(33)

tersebut.” Jadi, semiotik sosial yang dimaksudkan adalah batasan sistem sosial atau

kebudayaan sebagai suatu sistem makna. Istilah ‘sosial’ juga digunakan untuk

menunjukkan adanya hubungan bahasa dengan struktur sosial, dengan memandang struktur

sosial sebagai satu segi dari sistem sosial. Jadi dalam pengertian ini, bahasa dijelaskan

dengan menggunakan pandangan sosial karena dimensi sosial sangatlah signifikan dan

yang selama ini paling diabaikan dalam pembahasan-pembahasan bahasa dalam

pendidikan.

Bahasa dipandang dari perspektif pendidikan suatu proses sosial. Lingkungan

tempat belajar itu berlangsung dalam suatu lembaga sosial, seperti ruangan kelas atau

sekolah dengan struktur sosialnya yang digariskan dengan lebih jelas atau yang lebih

abstrak, menyangkut sistem sekolah atau jalannya kependidikan. Ilmu pengetahuan

disampaikan dalam konteks sosial melalui hubungan-hubungan seperti orang tua dengan

anak, guru dengan murid atau antarteman sekelas yang digariskan dalam tata nilai dan

ideologi kebudayaan yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, menurut Halliday

(1975) dalam Sinar (2003:20-21), belajar bahasa adalah belajar memaknai yang

mempunyai konsekuensi pada proses belajar mengajar. Dengan demikian, seseorang dalam

aksinya belajar berbahasa sekaligus mempelajari budaya melalui bahasa yang dipelajari

dalam sistem sosial kehidupannya.

2.2.5 Penggunaan Bahasa adalah Kontekstual

Konsep konteks ini merujuk pada hubungan linguistik dengan konteks budaya yang

disebabkan oleh ketergantungan makna linguistik terhadap konteks budaya. Bahasa adalah

ungkapan perilaku sosial dalam konteks-konteks (Sinar, 2003:23). Hal ini disebabkan

(34)

sehingga makna dari setiap kata dalam tingkat tertentu sangat tergantung pada konteks

pembicaraan seseorang.

Selanjutnya, Sinar (2003: 23-24) menambahkan bahwa konteks dipengaruhi oleh

teks. Apabila seseorang menganalisis teks secara vertikal ke bawah, ini berarti teks

dianalisis berdasarkan variabel linguistik (klausa, frase, kata, morfen, dst). Sebaliknya,

apabila tks dianalisis secara vertikal ke atas berarti teks dilihat dari variabel kontekstual,

yaitu konteks situasi, budaya dan ideologi. Hal ini disebabkan variabel yang hidup di atas

teks berinteraksi dengan teks yaitu saling pengaruh mempengaruhi.

Gambar 2.4 Konteks Budaya dan Konteks Situasi dalam Demensi Potensialitas (Adaptasi dari Matthiessen 1993:272, lihat juga Sinar 2003:24)

2.3 Metafungsi Bahasa

Makna metafungsi adalah makna yang secara simultan terbangun dari tiga fungsi

bahasa, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Fungsi ideasional

mengungkapkan realitas fisik dan biologis serta berkenaan dengan interpretasi dan

representasi pengalaman. Fungsi interpersonal mengungkapkan realitas sosial dan Budaya

(umum) Sistem linguistik

Teks Situasi

(35)

berkenaan dengan interaksi antara penutur/penulis dengan pendengar/pembaca. Sementara

itu, fungsi tekstual mengungkapkan realitas semiotis dan berkenaan dengan cara penciptaan

teks dalam konteks (Halliday & Martin, 1993:29).

Berdasarkan penjelasan di atas, makna metafungsi melingkupi tiga jenis makna, dan

realisasinya di dalam teks dapat dilihat dari unsur-unsur leksikogramatika

(lexicogrammar), yaitu cara kata-kata disusun beserta segala akibat maknanya dalam membentuk registernya. Sebagai salah satu wilayah makna metafungsional, makna tekstual

tercipta dari gabungan antara fungsi ideasional dan fungsi interpersonal. Makna tekstual

adalah makna sebagai hasil dari realisasi unsur-unsur leksikogramatika yang menjadi

media terwujudnya sebuah teks, tertulis atau lisan, yang runtut dan yang sesuai dengan

situasi tertentu pada saat bahasa itu dipakai dengan struktur yang bersifat periodik (Martin,

1993:10-21).

Menurut Sinar (2003:28), Metafungsi bahasa mempunyai 3 (tiga) komponen, yaitu:

1) ideasional; 2) interpersonal, dan 3) tekstual. Sumber ideasional berhubungan dengan

pemahaman dan pengalaman: apa yang telah terjadi, termasuk apa yang dilakukan

seseorang terhadap siapa, dimana, kapan, kenapa, dan bagaimana hubungan logikal terjadi

antara satu dengan yang lainnya. Sumber interpersonal membahas hubungan sosial:

bagaimana masyarakat berinteraksi, termasuk perasaan saling berbagi di antara mereka dan

sumber tekstual membahas alir informasi: cara makna ideasional dan interpersonal

disebarkan pada semiosis, tgermasuk interkoneksi antara aktivitas dan bahasa (tindakan,

(36)

2.3.1 Fungsi Ideasional

Fungsi ideasional terbagi dua; yaitu fungsi eksperensial dan fungsi logis. Di bawah

ini akan dijelaskan secara rinci ke dua fungsi tersebut.

2.3.1.1 Fungsi Eksperensial

Di dalam fungsi eksperensial, bahasa terdiri dari enam proses yaitu proses material,

verbal, mental, relasional, perilaku, dan wujud. Setiap proses didampingi oleh partisipan

yang direalisasi oleh nomina atau grup nomina. (Sinar, 2003:31-37).

(1) Proses material adalah proses yang melibatkan kegiatan fisik, seperti mendorong,

mengangkat dan berlari. Proses material didampingi oleh dua partisipan utama yaitu

aktor dan gol. Partisipan lain yang dapat mendampingi proses material adalah

jangkauan dan penerima.

Contohnya:

Fadil membeli kamus Bahasa Inggris.

Aktor Proses Material Gol

(2) Proses verbal berada di antara proses mental dan realsional dan proses ini melibatkan

informasi misalnya berkata, bertanya, menyapa, dll. Partisipan dalam proses verbal

adalah penyampai, pesan, target, dan penerima.

Contohnya:

Titin memberitahu saya berita gembira itu Penyampai proses verbal penerima target

(3) Proses mental adalah proses yang berkaitan dengan indera, kognisi, emosi dan persepsi

misalnya melihat, mencintai, dan berpikir. Partisipan dalam proses mental adalah

(37)

Contohnya:

Perempuan itu sangat mencintai anaknya

Pengindra proses mental fenomenon

(4) Proses relasional adalah proses hubungan antarunit bahasa yang terbagi atas hubungan

intensif, hubungan sirkumstan, dan hubungan posesif. Ketiga hubungan ini dibagi atas

mode intensif (posisi kedua entitas dapat saling dipertukarkan) dan atribut (posisi kedua

entitas tidak dapat saling dipertukarkan). Partisipan dalam proses relasional terdiri atas

bentuk, nilai, penyandang, dan atribut.

(i) Hubungan intensif menunjukkan hubungan satu entitas dengan entitas yang lain,

seperti:

Ibunya (adalah) seorang dosen

Penyandang proses relasional atribut

(ii) Hubungan sirkumstan menunjukkan hubungan satu entitas dengan lingkungan yang

terdiri atas lokasi (waktu, tempat, dan urutan), sifat, peran atau fungsi, penyerta, dan

sudut pandang, seperti:

Ulang tahunnya (adalah) tanggal 14 September Penanda Proses relasional nilai (sirkumstan:waktu)

(iii) Hubungan posesif menunjukkan kepunyaan, seperti:

Kamus itu (adalah) milik dia

Milik proses relasional pemilik

(5) Proses Perilaku (behavioural) merupakan aktivitas atau kegiatan fisiologis yang menyatakan tingkah laku fisik manusia. Secara semantik, proses tingkah laku terletak di

antara proses material dan mental. Partisipan dalam prooses ini adalah petingkah laku.

(38)

Contohnya:

Orang itu tertawa terbahak-bahak

Petingkah laku proses tingkah laku sirkumstan

(6) Proses wujud (eksistensial) menunjukkan keberadaan satu entitas. Secara semantik,

proses wujud berada di antara proses material dan relasional. Partisipan dalam proses

wujud (eksistensial) ini adalah maujud (eksisten). Proses ini ditandai oleh verba ada,

berada, muncul, terjadi, bertahn, tumbh, dan tersebar.

Contohnya:

Ada banyak masalah di perusahaan ini

Proses wujud maujud sirkumstan

2.3.1.2 Fungsi Logis

Selain fungsi eksperensial, juga terdapat fungsi logis di dalam fungsi ideasional.

Fungsi logis yang dimaksudkan di sini yaitu bahwa bahasa memiliki satu atau lebih dari

satu klausa yang disusun berdasarkan hubungan logis berdasarkan posisi antarklausa dan

makna antarklausa. Posisi antarklausa mengacu pada status satu klausa dengan klausa

lainnya yang disebut taksis. Dengan kata lain, hubungan antar klausa membentuk logika

bahasa alamiah yang diukur menurut jenis-jenis hubungan ketergantungan antara klausa

yang disebut taksis (Sinar, 2003:45-46).

Taksis terbagi atas parataksis (hubungan klausa yang setara ditandai dengan angka

1,2,3...n) dan hipotaksis (hubungan klausa yang tidak setara yang ditandai dengan α, β, χ,

δ ). Hubungan logis semantik menunjukkan makna yang timbul antar klausa dan dibagi dua

yaitu ekspansi dan proyeksi. Ekspansi menunjukkan bahwa klausa kedua memperluas

(39)

proyeksi merupakan representasi kembali pengalaman linguistik ke pengalaman linguistik

lain.

Dari tabel berikut ini dapat diketahui bahwa parataksis menunjukkan kesetaraan

hubungan dua klausa. Sebaliknya, hipotaksis menunjukkan ketidaksetaraan hubungan dua

klausa. Elaborasi menunjukkan makna klausa pertama sejajar/setara dengan makna klausa

kedua. Ekstensi berarti makna klausa kedua menambah makna yang ada pada klausa

pertama. Ganda berarti makna klausa kedua melipatgandakan makna yang ada pada klausa

pertama. Proyeksi lokusi menunjukkan proyeksi kata sedangkan proyeksi ide menunjukkan

proyeksi makna.

Tabel 2.2: Hubungan Semantik Logis dan Taksis

(Adaptasi dari Halliday, 1994: 214-220)

Hubungan Logis Semantik Taksis

Parataksis Hipotaksis

(40)

1’2 α ‘β

2.3.2 Fungsi Antarpersona

Fungsi antarpersona adalah fungsi bahasa yang mampu mempertukarkan

pengalaman dalam interaksi sosial. Fungsi antarpersona merupakan aksi yang dilakukan

pemakai bahasa dalam saling bertukar pengalaman linguistik. Dengan kemampuan

berinteraksi sosial, maka manusia dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam melakukan suatu

aksi maka dari segi semantik, aksi terbagi dalam empat aksi dasar yang disebut dengan

protoaksi yaitu pernyataan (memberi informasi), pertanyaan (meminta informasi), tawaran

(memberi barang dan jasa), dan perintah (meminta barang dan jasa).

Keempat aksi dasar atau protoaksi tersebut kemudian direalisasikan ke dalam

tingkat tata bahasa yang disebut modus. Aksi pernyataan biasanya direalisasikan ke dalam

modus deklaratif. Aksi pertanyaan biasanya direalisasikan oleh modus interogatif dan aksi

perintah direalisasikan oleh modus imperatif. Namun, aksi tawaran tidak mempunyai

modus karena tidak mempunyai modus yang Bermarkah sebagai realisasinya. Dengan

demikian, tawaran dapat direalisasikan oleh salah satu dari ketiga modus. Modus itu

dibangun oleh lima unsur yaitu subjek, finit, predikator, komplemen, dan adjunct.

Tabel 2.3: Posisi Subjek, Finit, Predikator, Komplemen, dan Adjuct dalam Teks

Kami Subjek

Akan Finit

Mengadakan Predikator

Rapat Komplemen

besok pagi Adjunct

Mood Residue

2.3.3 Fungsi Tekstual

Fungsi ketiga dari bahasa adalah merangkai pengalaman yang disebut dengan

(41)

sebagai pesan. Hal ini diinterpretasikan sebagai sebuah fungsi intrinsik kepada bahasa itu

sendiri, dalam arti bahwa bahasa berkaitan dnegan aspek situasional dimana bahasa atau

teks terdapat di dalamnya. Dengan kata lain, fungsi titik temu membuat bahasa atau teks

relevan secara internal ke dalam bahasa itu sendiri demikian juga secara eksternal kepada

konteks atau situasi di mana bahasa itu digunakan. Fungsi ini memberi kemampuan kepada

seseorang untuk membedakan sebuah teks sebagai bahasa yang termotivasi secara

fungsional dan kontekstual dan pada sisi yang lain dari yang bukan teks sebagai bahasa

terpisah dari yang lain.

2.4 Teks

Dalam pandangan Halliday (1992) dalam (Mascahaya 2010:61), teks dimaknai

secara dinamis. Teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam

konteks situasi. Teks adalah contoh interaksi lingual tempat masyarakat secara aktual

menggunakan bahasa; apa saja yang dikatakan atau ditulis; dalam konteks yang operasional

(operational context) yang dibedakan dengan konteks kutipan (a citational context), seperti kata-kata yang didaftarkan dalam kamus ( 1978:109). Teks berkaitan dengan apa yang

secara aktual ‘dilakukan’, ‘dimaknai’ dan ‘dikatakan’ oleh masyarakat. Terkait dengan

teks, Halliday memberikan beberapa penjelasan sebagai berikut:

Pertama, teks adalah unit semantis. Menurut Halliday (1978:135) kualitas tekstur

ditak didefinisikan dari ukuran. Teks adalah sebuah konsep semantis. Meskipun terdapat

pengertian sebagai sesuatu di atas kalimat (super-sentence), sesuatu yang lebih besar daripada kalimat, dalam pandangan Halliday hal ini secara esensial salah tunjuk pada

kualitas teks. Kita tidak dapat merumuskan bahwa teks itu lebih besar atau lebih panjang

(42)

kalimat-kalimat itu lebih merupakan ‘realisasi teks’ daripada merupakan sebuah teks itu

sendiri. Sebuah teks ‘tidak tersusun’ dari kalimat-kalimat atau klausa, tetapi

‘direalisasikan’ dalam kalimat-kalimat.

Kedua, teks dapat memproyeksikan makna kepada level yang lebih tinggi. Menurut

Halliday (1978:138) sebuah teks selain dapat direalisasikan dalam level-level sistem

lingual yang lebh rendah-seperti sistem leksikogramatis dan fonologis juga merupakan

realisasi dari level yang lebih tinggi dari interpretasi, kesastraan, sosiologis, dan sebagainya

yang dimiliki oleh teks itu. Level-level yang lebih rendah ini memiliki kekuatan untuk

memproyeksikan makna pada level yang lebih tinggi, yang oleh Halliday deberi istilah

‘latar depan’ (foregrounded).

Ketiga, teks adalah proses sosiosemantis. Halliday 91978:139) berpendapat bahwa

dalam arti yang sangat umum, sebuah teks merupakan sebuah perjumapaan semiotis

melalui makna-makna yang berupa sistem sosial yang sedang saling dipertukarkan.

Anggota masyarakat yakni individu-individu adalah seorang pemakna (meaner). Melalui

tindak-tanduk pemaknaan antara individu ersama individu lainnya, realitas sosial

diciptakan, dijaga dalam urutan yang baik, dan secara terus menerus disusun dan

dimodifikasikan.

Fitur esensial seuah teks adalah adanya interaksi. Dalam pertukaran makna itu

terjadi peruangan semantis (semantic contest) antara individu-individu yang terlibat. Karena sifatnya yang ‘perjuangan’ itu, makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada makna

yang bersifat tunggal begitu saja. Dengan demikian, pilihan bahasa pada hakikatnya adalah

perjuangan atau pertarungan untuk memilih kode-kode bahasa tertentu.

Keempat, situasi adalah faktor penentu teks. Menurut Halliday (1978:141) makna

(43)

bentuk teks. Makna tidak diciptakan dalam keadaan terisolasi dari lingkungannya. Secara

tegas dirumuskan oleh Halliday bahwa ‘makna adalah sistem sosial’. Perubahan dalam

sistem sosial akan direfleksikan dalam teks. Situasi akan menentukan bentuk dan makna

teks.

2.5 Konteks Situasi Teks

Halliday (1978:1-10) menyatakan bahwa konteks situasi (register), ditinjau dari kerangka konseptual mempunyai tiga pokok bahasan yaitu medan makna (Field), pelibat (Tenor) dan sarana (Mode). Medan, sarana, dan pelibat wacana adalah prinsip-prinsip yang digunakan untuk memberi tafsiran konteks situasi teks atau wacana.

2.5.1 Medan Wacana (Field of Discourse)

Medan wacana merujuk kepada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar

institusi tempat satuan-satuan bahasa itu muncul. Untuk menganalisis medan wacana kita

dapat mengajukan pertanyaan what is going on?, yang mencakup tiga hal, yakni ranah pengalaman, tujuan jangka pendek, dan tujuan jangka panjang.

Ranah pengalaman merujuk kepada ketransitivan yang mempertanyakan apa yang

terjadi dengan seluruh ‘proses’, ‘partisipan’, dan ‘keadaan’. Tujuan jangka pendek merujuk

pada tujuan yang harus segera dicapai. Tujuan ini bersifat amat kongkret. Tujuan jangka

panjang merujuk pada tempat teks dalam skema suatu persoalan yang lebih besar. Tujuan

(44)

2.5.2 Pelibat Wacana (Tenor of Discourse)

Pelibat wacana merujuk pada hakikat relasi antar partisipan, termasuk pemahaman

peran dan statusnya dalam konteks sosial dan lingual. Untuk menganalisis pelibat, kita

dapat mengajukan pertanyaan who is taking part?, yang mencakup tiga hal, yakni peran agen atau masyarakat, status sosial, dan jarak sosial.

Peran terkait dengan fungsi yang dijalankan individu atau masyarakat. Status terkait

dengan tempat individu dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, sejajar

atau tidak. Jarak sosial terkait dengan tingkat pengenalan partisipan terhadap partisipan

lainnya, akrab atau memiliki jarak. Peran, status, dan jarak sosial dapat bersifat sementara

dan dapat pula permanen.

2.5.3 Modus Wacana (Mode of Discourse)

Modus wacana merujuk pada bagian bahasa yang sedang dimainkan dlam situasi,

termasuk saluran yang dipilih, apakah lisan atau tulisan. Untuk menganalisis modus,

pertanyaan yang dapat diajukan adalah what’s role assigned to language?, yang mencakup lima hal, yakni peran bahasa, tipa intraksi, medium, saluran, dan modus retoris.

Peran bahasa terkait dengan kedudukan bahsa dalam aktivitas; bisa saja bhasa

brsifat wajib (konstitutif) atau tidak wajib; penyokong tambahan. Peran wajib trjadi apabila

bahasa sebagai aktivitas keseluruhan. Peran tambahan terjadi apabila bahasa membantu

aktivitas lainnya. Tipe interaksi merujuk pada jumlah pelaku; monologis atau dialogis.

Medium terkait dengan sarana yang digunakan; lisan, tulisan, atau isyarat. Saluran brkaitan

deang bagaimana teks itu dapat diterima; fonis, grafis, atau visual. Modus retoris merujuk

pada ‘perasaan’ teks secara keseluruhan; yakni persuasif, kesastraan, akademis, edukatif,

(45)

2.6 Teks Narasi

Teks narasi (narative genre) adalah tulisan kreatif dan imaginatif yang tujuannya untuk memberikan kesenangan yaitu mendapatkan perhatian pembaca dan memupuk

imajinasi pembaca terhadap cerita (Sinar, 2003:68-69). Dalam istilah Linguistik Fungsional

Sistemik, ragam teks dinamakan genre. Genre mempunyai struktur yang disebut struktur

generik (Sinar, 2003 dalam Halliday dan Hasan, 1984) atau struktur skematika (Sinar, 2003

dalam Martin,1984). Ada beberapa jenis genre, yaitu: genre narasi, genre kisah, genre

laporan, genre deskripsi, genre prosedur, genre instruksi, genre ekplanasi, genre eksposisi,

genre argumentasi dan genre diskusi. Dalam kesempatan ini tidak dijelaskan struktur

skematika genre selain genre narasi. Hal ini disebabkan karena tesis ini hanya berfokus

pada genre narasi.

Secara umum struktur skematika setiap genre dimulai dari pendahuluan,

pertengahan dan penutup (Sinar, 2003: 69-82).Dalam genre narasi penutur/penulis sering

memilih detil-detil sebagai bagian dari keseluruhan perluasan cerita (misalnya personalitas

pemain utama), jenis situasi (hubungan dengan karakter-karakter lain), alur cerita dan latar

belakang cerita.

Narasi selalu dimulai dengan orientasi. Dalam orientasi, penutur atau penulis mencoba membawa imajinasi pembaca ke suatu keadaan yang melatar belakangi sebuah

cerita. Latar belakang cerita ini dapat berupa gambaran suatu tempat atau pendeskripsian

suatu keadaan di mana alur cerita itu dimulai. Selanjutnya struktur skematika narasi

dilanjutkan dengan abstrak yang merupakan kalimat atau kata awal yang menyatakan ringkasan keseluruhan cerita. Kemudian dilanjutkan dengan komplikasi yang merupakan

seperangkat kejadian yang menimbulkan komplikasi karena kejadian tidak berlangsung

(46)

yang ada kemudian berangsur diselesaikan dan ditemukan jalan keluarnya inilah yang

disebut resolusi. Evaluasi ialah suatu aksi yang berlangsung dengan suspensi yang koinsiden dengan resolusi. Kesuluruhan struktur skematika ini ditutup dengan koda yang menyatakan akhir sebuah cerita. Unsur-unsur yang disebut di atas berlangsung secara

berurutan (chronological order) yaitu unsur yang satu direalisasikan oleh unsur yang lainnya (^) dan hadir secara berulang-ulang (n) sehingga menjadi struktur skematika

narasi.

Secara ringkas struktur skematika narasi adalah: orientasi ^ abstrak (n) ^ komplikasi

(n) ^ resolusi (n) ^ (evaluasi) (n) ^ (koda) (Sinar, 2003:70).

2. 7 Proyeksi

2.7.1 Pengertian Proyeksi

Halliday (2004: 441) memberikan pengertian proyeksi:

Introduced the notion of projection, the logical-semantic relationship whereby a clause comes to function not as a direct representation of (non-linguistic) experience but as a representation of a (linguistic) representation.

Diperkenalkan gagasan tentang proyeksi, hubungan semantik logis dalam hal ini

sebuah klausa muncul berfungsi tidak sebagai representasi langsung dari pengalaman

non-linguistik tetapi sebagai sebuah representasi dari sebuah representasi non-linguistik.

Dari definisi di atas dapat diambil kata kunci yaitu (proyeksi) adalah sebuah

representasi dari representasi linguistik. Dapat jelas terlihat bahwa pelaku yang memiliki

pengalaman linguistik di sini lebih dari satu orang; paling tidak ada dua orang; yaitu orang

pertama mempunyai pengalaman linguistik langsung Kemudian terkait dengan pengalaman

linguistik orang pertama, orang kedua merepresentasi pengalaman linguistiknya caranya

(47)

Bloor & Bloor (1995:260) mengatakan bahwa proyeksi mengungkapkan suatu

representasi ujaran (speech) atau pikiran (thought) daripada suatu representasi pengalaman langsung: proyeksi ujaran (speech) atau pikiran (thought) yang langsung atau tidak langsung masing-masing disebut parataksis dan hipotaksis. Collerson (1994:107)

mengatakan, dalam tulisan dan ujaran, seseorang mengutip apa yang telah dikatakan orang

lain dan mengatakan kembali apa yang dikatakan orang tersebut, menjadikan pesan itu

bagian dari pesan kita sendiri. Dengan demikian, kita memropeyeksikan pesan itu.

Adapun pengalaman linguistik yang biasanya menggunakan proyeksi adalah : 1)

laporan berita; 2) mempresentasikan kembali pandangan-pandangan dalam wacana ilmiah;

3) merekonstruksi dialog dalam cerita dan membingkai pertanyaan-pertanyaan dalam

percakapan (Halliday, 2004:443).

Proyeksi adalah satu dari varian klausa kompleks dalam semantik logika. Varian

yang lainnya adalah ekspansi. Dua varian ini berbeda dalam membentuk klausa kompleks.

Proyeksi berhubungan dengan proses verbal (lokusi) dan mental (ide) dalam membentuk

sebuah klausa kompleks. Sedangkan ekspansi berhubungan dengan klausa relasional

(Halliday, 2004:367)

Klausa kompleks merupakan satu-satunya unit gramatikal (tata bahasa) yang

dikenal dengan istilah klausa di atas klausa. Klausa kompleks ialah konstituen tata bahasa

yang membedakannya dari kalimat yang merupakan konstituen tulisan (Halliday,

1985:193; 1994:216). Thompson (1996:194) menyebutnya dengan istilah kombinasi klausa, yaitu kombisanasi dua klausa atau lebih yang membentuk unit yang lebih besar dengan interdependensi yang ditandai oleh tanda yang eksplisit seperti konjungsi. Eggins

(2004:137), mengatakan bahwa klausa kompleks melibatkan dua klausa yang

(48)

memberi istilah klausa kompleks sebagai pesan kompleks (complex message), memperluas

pesan dasar dengan meletakkan lebih dari satu klausa dalam satu kalimat.

Dari beberapa pengertian klausa kompleks di atas dapat disimpulkan bahwa klausa

kompleks adalah gabungan dua klausa atau lebih (nexus) dalam satu kalimat. Klausa-klausa yang membentuk sebuah neksus adalah primer dan sekunder. Klausa yang primer

merupakan klausa awal dalam sebuah neksus parataksis, dan klausa yang dominan dalam

sebuah hipotaksis; klausa sekunder adalah klausa yang melanjutkan dalam sebuah

hipotaksis (Halliday, 2004:376). Penjelasan tersebut tergambar pada Tabel berikut ini:

Tabel 2.4 : Klausa-klausa Primer dan Sekunder dalam Klausa Nexus (Diadaptasi dari Halliday 2004:376)

Primer Sekunder

Parataksis 1 (mulai) 2 (melanjutkan)

Hypotaksis α (dominan) β (terikat)

2.7.2 Jenis-jenis Proyeksi

Halliday ( 2004:443) berkata:”Through projection, one clause is set up as the representation of the linguistic “content” of another – either the content of a ‘verbal’ clause of saying or the content of a ‘mental’ clause of sensing”. Melalui proyeksi, sebuah klausa dibentuk sebagai representasi “isi” linguistik dari klausa lainnya – apakah isi dari

klausa ‘verba’ perkataan atau isi dari klausa ‘mental’ perasaan.

Proyeksi yang menggunakan proses verbal disebut dengan proyeksi ‘Lokusi’ yang

ditandai dengan simbol tanda kutip dua (”) dan proyeksi yang menggunakan proses mental

dinamakan proyeksi ide yang dikenali dengan tanda kutip satu (‘) (Halliday, 2004:377).

Proyeksi lokusi menggunakan proses verbal sebagai klausa pemroyeksi. Kata kerja

(49)

mengungkapkan, menegaskan, menekankan, bertanya, meminta, memerintahkan,

menceritakan menginstruksikan, menyerukan, mengajak, menjelaskan, mengemukakan,

berjanji, memohon dan lain-lain (Eggins, 1994:273)

Contoh:

(1) Para demontran berkata, “Kami menolak kenaikan harga BBM”. (1 “2)

(2) Menteri Dalam Negeri menegaskan, “Kepala Daerah yang ikut ‘Demo’ akan diberhentikan”.

(1 “2)

Dalam contoh (1) “Kami menolak kenaikan harga BBM” adalah isi dari klausa verbal

Para demontran berkata. Sedangkan dalam contoh (2) Kepala Daerah yang ikut ‘Demo’ akan diberhentikan” adalah isi dari klausa verbal Menteri Dalam Negri menegaskan.

Proyeksi ide menggunakan proses mental sebagai klausa pemproyeksi. Kata

kerja-kata kerja mental tersebut adalah: menyakini, melihat, merasa, mendengar dan lain-lain.

Contoh:

(3) Masyarakat menyakini ‘ bahwa kenaikan BBM akan meningkatkan jumlah

masyarakat miskin di Indonesia’. (α ‘β)

(4) Para mahasiswa merasa ‘bahwa kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM merupakan tindakan yang tidak memihak rakyat’.

(α ‘β)

Gambar

Gambar 2.1 : Hubungan Teks dan Konteks (Saragih, 2006:3)
Gambar 2.2: Bahasa sebagai Realisasi Konteks Sosial (adaptasi dari Martin, 1993:142)
Tabel 2.1: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks
Gambar 2.4 Konteks Budaya dan Konteks Situasi dalam Demensi Potensialitas (Adaptasi dari Matthiessen 1993:272, lihat juga Sinar 2003:24)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah Metafora Leksikal dalam Teks Cerita Pendek dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas X SMA : Kajian

Cerita rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui tutur bahasa yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya dan susunan nilai sosial

itu, konteks sosial yang ada di dalam teks PM ini juga berkaitan dengan unsur. sistem nilai yang dianut masing-masing kelompok yang menjadi sasaran

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) unsur kebudayaan (bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem peralatan hidup

Petikan tadi mengandung kata pinikirake ‘dipikirkan’ yang berupa verba turunan dari bentuk dasar pikir ‘pikir’ mendapat afiks –in- -ake yang berfungsi

Tesis yang berjudul “ HUBUNGAN SOSIAL, PANDANGAN, DAN PENGKARAKTERAN TOKOH DALAM BUKU CERITA ANAK KLASIK BERBAHASA INGGRIS CINDERELLA DENGAN SUDUT PANDANG

dan konteks yaitu proses penuturan, penciptaan/ pewarisan dan konteks situasi, budaya, sosial, serta ideologi. Selain itu, dikaji mengenai nilai-nilai edukatif yang ada