PROYEKSI DALAM CERITA RAKYAT MELAYU
KAJIAN LINGUISTIK SISTEMIK FUNSIONAL
Tesis
Oleh
ELFITRIANI
NIM: 097009031
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER LINGUISTIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2 0 1 2
ABSTRAK
Tesis ini mengkaji proyeksi pada klausa-klausa kompleks yang ditemukan dalam teks-teks cerita rakyat Melayu yang bertujuan untuk mengindentifikasi dan mendeskripsikan jenis-jenis proyeksi yang ditemukan dalam teks-teks tersebut. Tesis ini juga bertujuan untuk mengindetifikasi jenis proyeksi yang paling dominan dalam tiga judul cerita rakyat yang dianalisis. Latar belakang kajian ini adalah Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) yang mengatakan bahwa konteks sosial berkonstrual (saling menentukan) dengan struktur bahasa. Subyek analisis diambil dari teks-teks dari tiga judul cerita rakyat Melayu: 1). Hikayat Ketapel Awang Bungsu; 2). Legenda Pantai Cermin; 3). Buyung Besar. Ketiga judul dianggap sudah mewakili cerita-cerita rakyat Melayu. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan empat jenis proyeksi; proyeksi lokusi parataksis, proyeksi lokusi hipotaksis, proyeksi ide parataksis dan proyeksi ide hipotaksis. Pada penghitungan ketiga judul cerita tersebut dapat dilihat bahwa lokusi parataksis sebanyak 95,07%; lokusi hipotaksis sebanyak 0,35%; ide parataksisi sebanyak 4,23%; dan ide hipotaksis juga sebanyak 0,35%. Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa jenis lokusi parataksis yang dominan diantara jenis-jenis proyeksi lainnya.
Kata kunci: LSF, klausa kompleks, proyeksi lokusi parataksis, proyeksi lokusi hipotaksis, proyeksi ide parataksis, proyeksi ide hipotaksis
ABSTRACT
This thesis studies projection in the complex clauses which are found in the texts of Malay folklores. It aims to identify and describe the types of projection found in the texts. It also aims to identify the most dominant type of projection in the three titles being analyzed. The background of the study is the Systemic Functional Linguistics (SFL) which states that social contexts can contrue with language structures. The subject matters of the analysis are taken from the texts in the three titles of the Malay folklores:1) Hikayat Awang Bungsu; 2) Legenda Pantai Cermin; 3) Buyung Besar. The three titles are considered as the representation of the Malay folklore. Based on the result of the reseach, it can be found 4 types of projection; paratactic locution, hypotactic locution, paratactic idea, and hypotactic Idea. On the calculation for the three titles, it can be seen that the paratactic locution is 95, 07%; hypotactic locution is 0,35%; paratactic idea is 4,23%; and hipotactic idea is also 0,35%. It means that paratactic locution projection is dominant among the other types of the projection.
Key words: SFL, complex clause, paratactic locution projection, hypotactic locution projection, paratactic ide projection, hipotactic idea projection.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang selalu
memberikan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga tesis yang berjudul ‘Proyeksi dalam
Cerita-cerita Rakyat Melayu: Kajian Linguistik Sistemik Fungsional’ dapat diselesaikan.
Selawat dan salam dihaturkan kepada Rasullullah Muhammad SAW yang telah
memberikan contoh suri tauladan yang mulia dalam mengaruhi liku-liku kehidupan
penulis.
Penulis berharap tesis ini dapat memberi manfaat kepada para pembaca sebagai
menambah khasanah pengembangan kebahasaan. Disamping itu, penelitian ini diharapkan
juga dapat memberi motivasi kepada peneliti lain untuk menjadikan karya sastra daerah
(dalam hal ini karya sastra Melayu) sebagai objek penelitian bidang bahasa (linguistik)
karena hal ini mempunyai keuntungan ganda; yaitu selain dapat menerapkan ilmu
linguistik juga dapat melestarikan budaya daerah.
Penulis sangat menyadari bahwa penelitian yang dilakukan ini masih jauh dari
sempurna, masih banyak kekurangan disana-sini. Oleh karena itu kritik dan saran
membangun untuk melengkapi penelitian ini sangat diharapkan.
Medan , Juli 2012 Penulis,
Elfitriani
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu dan mendukung secara baik secara materil maupun moril
sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan yang khusus ini penulis
ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Rektor USU, Bapak Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTMH. (CTM). Sp. A(K), yang
telah memberikan kesempatan kepada saya mengikuti pendidikan Program Magister
pada Sekolah Pascasarjana USU.
2. Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Bapak Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE, yang
telah memberi perhatian dan kesempatan begitu pula dukungan selam mengikuti
pendidikan Strata dua pada Sekolah Pascasarjana USU.
3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A, Ph.D selaku Ketua Program Studi Linguistik dan
Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan,
pengetahuan, bantuan, motivasi, dan semangat selama proses penulisan dan
penyelesaian tesis ini sehingga memperlancar selesainya tesis ini.
4. Ibu Dr. Nurlela, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Linguistik dan Pembimbing II
yang telah dengan baik hati membimbing, mengarahkan dan memberikan
pengetahuannya demi penyelesaian tesis ini.
5. Bapak Prof. Amrin Saragih, MA., Ph.D., DTEFL. dan Ibu Dr.Siti Aisyah Ginting, M.Pd,
selaku Tim Penguji mulai dari proposal, seminar hasil, hingga ujian tertutup meja hijau
yang dengan bimbingan, kritik dan saran yang konstruktif yang telah diberikan sehingga
tesis ini layak menjadi sebuah laporan penelitian.
6. Dosen pengajar di Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana USU Ibu Prof. T.
Silvana Sinar, M.A, Ph.D, Bapak Prof. Dr. Robert Sebarani, M.S., Prof. Amrin Saragih,
M.A., Ph.D., Bapak Prof. Aron Meko Mbete, Bapak Rustam Amir Effendi, M.A., Ph.D,
Bapak Pof. Mangantar Semanjuntuak, Ph. D., Dr. Eddy Setia, M.ED., TESP., Ibu Dwi
Widayat, M. Hum., Ibu Dr. Gustianingsih, M. Hum., Ibu thirayana Zein, M.A., Ibu
Deliana, M. Hum yang memberikan ilmu pengetahuan serta membuka wawasan dan
cakrawala berpikir sesuai dengan konsep berpikir ilmiah. Semoga jasa para pengajar
dibalas Allah SWT sebagi amal jariah yang tidak akan pernah putus.
7. Kedua orang tua; ayahda Buyung Enek dan Ibunda tercinta Syahniar yang dengan tulus
ikhlas mendoakan dan memberikan semangat sehingga tesis ini terselesaikan.
8. Kepada Kakakku tersayang; Elfinawati, Amp, adikku terkasih; Elfi Susanti, S.Pd yang
telah terus memotivasi untuk menyelesaikan tesis ini.
9. Suamiku tercinta; Dedi, S.Pd yang dengan sabar mendampingi, membantu, dan tetap
menyemangati dalam proses penyelesaian tesis ini.
10. Kedua Mertuaku; Ibu Sabariah dan Bapak Mardani dan adik-adik iparku yang
tersayang; Sartika, S.Pd, Husna, Zalika, Veri, dan Sapri yang telah membantu dalam
menjaga, merawat dan mengasuh anak saya sehingga saya mempunyai kelapangan
waktu dalam menyelesaikan tesis ini.
11. Anakku tersayang, Dhoifullah Fadhil yang dengan kepolosannya selalu memberi
kekuatan dan semangat untuk menyelesaikan tesis ini.
Akhir kata penulis berharap semoga semua kebaikan yang telah diberikan kepada
penulis mendapat pahala yang berlimpah dari Allah SWT, Amin.
Medan, Juli 2012
Penulis,
Elfitriani
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1 Stratafikasi Bahasa dalam Konteks 16
2.2 Hubungan Semantik Logis dan Taksis 28
2.3 Posisi Subjek, Finit, Pridikator, Kompelemen, dan Adjunct dalam Teks
29
2.4 Klausa-klausa Primer dan Sekunder dalam Klausa Nexus 38 2.5 Tataurutan dan Pilihan Tone dalam Proyeksi Parataktis 42
2.6 Jenis-jenis Proyeksi 44
4.1 Klasifikasi dan Frekuensi Pemakaian Proyeksi Pada ‘Hikayat Ketapel Awang Bungsu’
65
4.2 Distribusi Proyeksi Berdasarkan Jenis Pada ‘Hikayat Ketapel Awang Bungsu’
69
4.3 Proporsi Proyeksi Pada ‘Hikayat Ketapel Awang Bungsu’ 69 4.4 Klasifikasi dan Frekuensi Pemakaian Proyeksi Pada ‘Legenda
Pantai Cermin’
71
4.5 Distribusi Proyeksi Berdasarkan Jenis Pada ‘Legenda Pantai Cermin’
73
4.6 Proporsi Jenis Proyeksi Pada ‘Legenda Pantai Cermin’ 74 4.7 Klasifikasi dan Frekuensi Pemakaian Proyeksi Pada ‘Buyung
Besar’
76
4.8 Distribusi Proyeksi Berdasarkan Jenis Pada ‘Buyung Besar’ 77
4.9 Proporsi Jenis Proyeksi Pada ‘Buyung Besar’ 78
4.10 Distribusi Jenis Proyeksi Ketiga Cerita Rakyat Melayu 78
4.11 Proporsi Setiap Jenis Proyeksi Ketiga Cerita Rakyat Melayu 79
4.12 Perbedaan Ragam Bahasa Lisan dan Tulis 90
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Hubungan Teks dan Konteks 14
2.2 Bahasa Sebagai Realisasi Konteks Sosial 14
2.3 Stratafikasi Bahasa dalam Konteks 15
2.4 Konteks Budaya dan Konteks Sosial dalam Demensi
Potensialitas
22
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
I Analisis Proyeksi Pada ‘Hikayat Ketapel Awang Bungsu’ 100
II Analisis Proyeksi Pada ‘Legenda Pantai Cermin’ 113
III Analisis Proyeksi Pada ‘Buyung Besar’ 126
IV Teks Cerita ‘Hikayat Ketapel Awang Bungsu’ 136
V Teks Cerita ‘Legenda Pantai Cermin’ 153
VI Teks Cerita ‘Buyung Besar’ 171
DAFTAR PUSTAKA ... 97
LAMPIRAN I... 100
LAMPIRAN II ... 113
LAMPIRAN III ... 126
LAMPIRAN IV ... 136
LAMPIRAN V ... 153
LAMPIRAN VI ... 171
ABSTRAK
Tesis ini mengkaji proyeksi pada klausa-klausa kompleks yang ditemukan dalam teks-teks cerita rakyat Melayu yang bertujuan untuk mengindentifikasi dan mendeskripsikan jenis-jenis proyeksi yang ditemukan dalam teks-teks tersebut. Tesis ini juga bertujuan untuk mengindetifikasi jenis proyeksi yang paling dominan dalam tiga judul cerita rakyat yang dianalisis. Latar belakang kajian ini adalah Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) yang mengatakan bahwa konteks sosial berkonstrual (saling menentukan) dengan struktur bahasa. Subyek analisis diambil dari teks-teks dari tiga judul cerita rakyat Melayu: 1). Hikayat Ketapel Awang Bungsu; 2). Legenda Pantai Cermin; 3). Buyung Besar. Ketiga judul dianggap sudah mewakili cerita-cerita rakyat Melayu. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan empat jenis proyeksi; proyeksi lokusi parataksis, proyeksi lokusi hipotaksis, proyeksi ide parataksis dan proyeksi ide hipotaksis. Pada penghitungan ketiga judul cerita tersebut dapat dilihat bahwa lokusi parataksis sebanyak 95,07%; lokusi hipotaksis sebanyak 0,35%; ide parataksisi sebanyak 4,23%; dan ide hipotaksis juga sebanyak 0,35%. Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa jenis lokusi parataksis yang dominan diantara jenis-jenis proyeksi lainnya.
ABSTRACT
This thesis studies projection in the complex clauses which are found in the texts of Malay folklores. It aims to identify and describe the types of projection found in the texts. It also aims to identify the most dominant type of projection in the three titles being analyzed. The background of the study is the Systemic Functional Linguistics (SFL) which states that social contexts can contrue with language structures. The subject matters of the analysis are taken from the texts in the three titles of the Malay folklores:1) Hikayat Awang Bungsu; 2) Legenda Pantai Cermin; 3) Buyung Besar. The three titles are considered as the representation of the Malay folklore. Based on the result of the reseach, it can be found 4 types of projection; paratactic locution, hypotactic locution, paratactic idea, and hypotactic Idea. On the calculation for the three titles, it can be seen that the paratactic locution is 95, 07%; hypotactic locution is 0,35%; paratactic idea is 4,23%; and hipotactic idea is also 0,35%. It means that paratactic locution projection is dominant among the other types of the projection.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Bahasa memungkinkan
kita untuk bertukar informasi dengan orang lain, baik itu secara lisan maupun tertulis.
Bahasa merupakan bagian dari kehidupan manusia dan hampir tidak ada kehidupan sosial
yang normal tanpa Bahasa.
Ketika seseorang berbicara dengan mitrabicaranya, dia banyak sekali
menyampaikan informasi dan mendapatkan informasi dari pembicaraan itu. Informasi yang
dia sampaikan ataupun yang dia dapatkan tidak hanya bersumber dari dirinya sendiri
ataupun langsung dari mitrabicaranya tetapi juga bisa berasal dari orang lain yang dia dan
mitrabicaranya sampaikan kembali, inilah yang disebut sebagai proyeksi dalam ilmu
bahasa atau linguistik. Dengan kata lain, proyeksi adalah menyampaikan kembali informasi
yang didapat dari orang lain, baik itu dengan cara langsung (mengutip apa yang telah
disampaikan oleh orang lain) maupun tidak langsung (melaporkan apa yang telah
disampaikan oleh orang lain).
Proyeksi tidak hanya bisa ditemukan disaat kita menyimak pembicaraan orang
secara langsung, tetapi juga dapat dijumpai di berbagai bentuk wacana, seperti laporan
berita, menampilkan kembali pandangan-pandangan yang ada dalam wacana ilmiah,
menkonstruksi dialog-dialog yang ada dalam cerita narasi dan membingkai
pertanyaan-pertanyaan dalam sebuah percakapan (Halliday, 2004:443). Banyak hal yang bisa dikaji
dalam proyeksi; seperti jenis-jenis proyeksi, telaahan jenis proyeksi baik secara lisan dan
tulisan dan turunan-turunan yang bisa dibuat dari jenis-jenis proyeksi itu sendiri. Oleh
karena itu penelitian tentang proyeksi dianggap penting sekali untuk memperdalam ilmu
tentang proyeksi itu sendiri dan untuk memberikan kontribusi yang akan memberi manfaat
kepada para pembaca.
Proyeksi telah banyak diteliti oleh berbagai peneliti dalam bidang linguistik dari
berbagai daerah di seluruh Indonesia. Salah satu contohnya adalah penelitian yang
dilakukan oleh Nurlela pada tahun 2002 yang berjudul “ Proyeksi dalam Teks Berita dan
Tajuk Rencana dalam Harian Waspada”. Setelah membaca dan memeriksa hasil-hasil
penelitian tentang proyeksi, ditemukan bahwa penelitian tentang proyeksi dalam
cerita-cerita rakyat Melayu belum ada ditemukan sehingga hal ini dianggap penting untuk
dilakukan dan akan memberikan manfaat berlipat yaitu selain untuk memperdalam ilmu
bahasa tentang proyeksi, bisa juga memberikan kontribusi bagi usaha pelestarian budaya
daerah seperti yang dianjurkan oleh pemerintah dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: 42 Tahun 2009 Bab III pasal 8 ayat 1
menyatakan bahwa perlindungan, pengembangan, pemanfaatan kebudayaan daerah dapat dilakukan melalui: a). Inventarisasi; b). Pendokumentasian; c). Penyelamatan; d). Penggalian; e). Penelitian; f). Pengayaan; g). Pendidikan; h). Pelatihan; i). Penyajian; j). Penyebarluasan; k). Revitalisasi; l). Rekonstruksi; dan m). Penyaringan. Dalam pasal 19 juga pemerintah mengharapkan agar masyarakat berperan serta dalam pelestarian kebudayaan (www.depdagri.go.id/media/documents/.../Permen-No.42-2009-doc/).
Etnik Melayu mempunyai banyak sekali kesusastraan yang masih berkisar pada
sastra lisan. Sastra lisan itu berkembang dari generasi ke generasi melalui penuturan
kembali dari mulut ke mulut. Pencerita sastra lisan jumlahnya semakin hari makin sedikit
seiring perkembangan tehnologi dan komunikasi. Hal ini dibuktikan dengan semakin
sedikitnya generasi muda yang tidak mengetahui cerita-cerita daerahnya sendiri.
Sastra lisan merupakan bagian suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat dan diwariskan secara turun temurun secara lisan sebagai milik
bersama. Ragam sastra yang demikian tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, pengisi
waktu luang, serta penyalur perasaan, melainkan juga sebagai alat cermin sikap pandangan
dan lembaga kebudayaan serta alat pemeliharaan norma-norma masyarakat. Hal ini juga
dijadikan alasan kenapa memilih cerita-cerita rakyat Melayu sebagai objek penelitian
mengingat banyak sekali manfaat yang akan didapat dalam proses penelitian cerita-cerita
ini. Adapun cerita-cerita itu adalah: Hikayat Ketapel Awang Bungsu, Legenda Pantai
Cermin, dan Buyung Besar.
Selain alasan-alasan yang sudah dikemukakan sebagai alasan pemilihan judul, ada
satu hal lagi yang paling mendasar yaitu di dalam cerita-cerita rakyat Melayu yang sudah
dipilih terdapat banyak sekali data-data proyeksi yang berupa klausa-klausa kompleks yang
dikonstruksikan untuk membangun cerita dalam dialog-dialog yang dipaparkan pada
cerita-cerita ini.
1.2Ruang Lingkup Penelitian
Pada dasarnya, proyeksi mempunyai inti ‘mengutip atau melaporkan’ apa yang
telah dikatakan atau disampaikan orang. Dari sekian banyak pengertian proyeksi yang ada,
penelitian ini secara khusus hanya memfokuskan pada Proyeksi yang ada pada cerita-cerita
rakyat Melayu yang masing-masing judulnya adalah:
a). Hikayat Ketapel Awang Bungsu
b). Legenda Pantai Cermin, dan
c). Buyung Besar.
1.3Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang sudah dikemukakan di atas, maka
muncul pertanyaan-pertanyaan yang menjadi permasalahan agar mendapatkan hasil
penelitian yang terarah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis-jenis proyeksi apa yang terdapat dalam cerita rakyat Melayu yang berjudul:
Hikayat Ketapel Awang Bungsu, Legenda Pantai Cermin, dan Buyung Besar? 2. Jenis proyeksi apa yang paling dominan digunakan atau dipakai dalam ketiga cerita
rakyat tersebut?
3. Mengapa jenis proyeksi tertentu itu dominan?
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni tujuan umum
dan tujuan khusus.
1.4.1 Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah sebagai usaha melestarikan bahasa
daerah, dalam hal ini cerita-cerita rakyat Melayu yang semakin hari makin sedikit
penuturnya. Apabila hal demikian berlangsung secara terus menerus bukan tidak mungkin
suatu saat nanti budaya Melayu akan punah begitu saja ditelan arus globalisasi yang
semakin tidak terbendung.
Terkait dengan hal tersebut penggalian ragam bahasa proyeksi yang terdapat dalam
bahasa ini juga dimaksudkan untuk mengetahui keindahan yang terdapat di dalamnya.
Dengan demikian akan terciptalah rasa kebanggaan memiliki karya sastra ini yang pada
gilirannya akan bermuara pada kebanggaan sebagai orang Melayu.
1.4.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini diuraikan sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan jenis-jenis proyeksi yang terdapat dalam cerita-cerita rakyat Melayu.
2. Menemukan jenis proyeksi yang mana yang mendominasi dalam cerita-cerita rakyat
tersebut.
3. Menjelaskan alasan mengapa jenis proyeksi tertentu itu mendominasi ketiga cerita rakyat
tersebut.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah penerapan Teori Linguistik Fungsional
Sistemik dalam kajian sastra daerah.
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan model dalam penelitian ragam proyeksi pada bahasa
daerah lain selain bahasa Melayu.
3. Hasil penelitian ini dapat menstimulasi untuk diadakannya penelitian dalam semantik
logis yang lain yaitu ekspansi dalam bahasa daerah yang ada di Indonesia.
1.5.2 Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada penikmat dan pembaca sastra
daerah Melayu tentang keindahan bahasa ini yang diwujudkan dalam proyeksi yang
beraneka jenis.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan semangat dan kebanggaan bagi
masyarakat untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai usaha untuk melestarikan
bahasa daerah.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
“Teori bahasa memiliki cara yang beragam dalam melihat fenomena bahasa” (Sinar,
2003:13). Di dalam penelitian ini, teori bahasa yang akan digunakan adalah teori Systemic Functional Linguistics dalam menganalisis teks-teks dalam cerita-cerita rakyat Melayu, yaitu: 1). Hikayat Ketapel Awang Bungsu; 2) Legenda Pantai Cermin; 3) Buyung Besar.
Ketiga teks ini diteliti untuk mengetahui jenis-jenis proyeksi yang terdapat di dalamnya.
2.1 Teori Systemic Functional Linguistics
Teori Systemic Functional Linguistics mulanya berasal dari Aliran Neo Firthian
Aliran ini mempunyai banyak nama, seperti teori linguistik sistematik, teori linguistik
sistemik (systemic linguistics), atau teori linguistik fungsional, apapun sebutan yang ada,
teori ini tidak bisa lepas dari seseorang yang bernama Michael Alexander Kirkwood
Halliday (MAK Halliday) yang telah menemukan dan mengembangkan teori kebahasaan
tersebut. Ia merupakan salah seorang murid dari Firth, seorang ahli bahasa yang
mengembangkan aliran Firth, guru besar di Universitas London, dimana Halliday belajar
(http://bangpek-kuliahsastra.blogspot.com/2011/12/aliran-neo-firthian.html).
Teori Systemic Functional Linguistics merupakan teori yang dipilih dalam menganalis data pada penelitian ini. Pemilihan ini didasarkan pada 5 (lima) keunggulan
TSFL bila dibandingkan dengan teori atau mahzab linguistik lain: 1) objek kajian
dilakukan pada teks atau wacana sebagai unit pemakaian bahasa; 2) keberpijakan pada
konteks sosial dalam mengkaji teks; 3) keseimbangan kajian bentuk dan arti bahasa, yang
pertentangan dalam perkembangan linguistik; 4) kajian sintagmatik yang diatautkan
dengan paradigmatik untuk menerangkan dasar kefungsionalan dan motivasi dalam satu
uni tata bahasa; dan 5) keberagaman kriteria (multicriteria) yang digunakan dalam mendeskripsikan atau mengukur satu unit tata bahasa, yang dalam tata bahasa formal hanya
ada dua, yakni benar atau salah (Saragih, 2006:i).
Teori Systemic Functional Linguistics ini di Indonesia memperoleh dua penerjemahan yang menjadi rujukan teks berbahasa Indonesia dalam penelitian ini.
Terjemahan pertama adalah Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) oleh Tengku Silvana
Sinar dalam bukunya Teori dan Analisis Wacana: Pendekatan Sistemik-Fungsional (terbit 2003 dan dicetak ulang 2008). Terjemahan kedua Linguistik Fungsional Sistemik (LFS)
oleh Amrin Saragih dalam bukunya Bahasa dalam Konteks Sosial: Pendekatan Lunguistik Fungsional Sistemik terhadap Tata Bahasa dan Wacana (2006) dan Fungsi Tekstual dalam Wacana: Panduan Menulis Rema dan Tema (2007).
Teori Linguistik Fungsional Sistemik dipelopori oleh Profesor M.A.K. Halliday.
Menurut Sinar (2003:14), teori ini menyakini bahwa bahasa atau teks selalu berada pada
konteks pemakaiannya. Secara historis, menurut Saragih (2007:1), teori ini dikembangkan
oleh Halliday (2004) dan para pakar lainnya, seperti Martin (2003), Halliday dan
Matthiessen (2001), serta Kress (2002). Teori ini berkembang di Inggris, tetapi
perkembangannya sangat pesar terutama sejak Linguistics Department dibuka di University of Sydney pada tahun 1976.
Sinar (2003:14) menjelaskan istilah ‘Teori Linguistik’ mempunyai dua implikasi.
Implikasinya, analisis wacana harus menggunakan teori bahasa yang memiliki kerangka
penelitian analisis wacana dalam konteks linguistik dengan mengikuti prinsip-prinsip teori
mengisyaratkan pemilihan pendekatan bahasa yang secara interpretatif bersifat semiotik,
tematis, dan antardisiplin.
Selanjutnya, Sinar (2003:15) bersepakat bahwa istilah ‘Sistemik’ berimplikasi
kepada tiga hal. Ketiga hal itu mengisyaratkan bahwa analisis bahasa untuk memperhatikan
hubungan sistem(ik) dalam berbagai kemungkinan pada jaringan sistem hubungan dan
dapat memulai pilihan dari dari fitur umum ke spesifik, yang vertikal atau paradigmatik. Di
samping itu, fenomena yang diinvestigasi melibatkan sistem-sistem makna. Sistem-sistem
makna tersebut mendasari analisis bahasa, baik berada di belakangnya, di bawahnya, di
atasnya, di sekelilingnya, atau di seberang fenomena yang sedang diinvestigasi.
Sebaliknya, istilah ‘Fungsional’ mengimplikasikan tiga hal, yaitu bahwa analisis
wacana memberi perhatian kepada 1). Realisasi fungsional dari sistem dalam
struktur-struktur dan pola-pola, yang secara strurtur bersifat horizontal dan sinitagmatis, (2)
fungsi-fungsi atau makna-makna yang ada dalam bahasa tersebut, dan 3) fungsi-fungsi-fungsi-fungsi atau
makna-makna yang ada beropperasi di dalam tingkat dan demensi bervariasi dalam bahasa
yang dikaji.
Menurut Saragih (2007:1-6), pendekatan fungsional memiliki tiga pengertian, yang
saling bertaut. Pertama, pendekatan fungsional berpendapat bahwa bahasa terstruktur berdasarkan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, bahasa terstruktur
berdasarkan tujuan penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan untuk suatu fungsi atau
tujuan disebut teks (text). Oleh karena itu, teks yang digunakan untuk menceritakan peristiwa (narasi) terstuktur berbeda dengan teks yang digunakan untuk melaporkan satu
peristiwa (laporan), kecenderungan tata bahasa dalam teks sejarah berbeda dengan teks
Dengan pengertian fungsional yang pertama ini, teks dinterpretasikan berdasarkan
konteks sosial, yakni segala unsur yang terjadi di luar teks. Dengan kata lain, konteks sosial
memotivasi pengguna atau pemakai bahasa menggunakan struktur tertentu. Konteks sosial
yang mempengaruhi bahasa ini dalam teori Systemic Functional Linguistics terdiri atas konteks situasi (register) dan budaya (culture) yang di dalamnya termasuk ideologi (ideology).
Konteks situasi mengacu kepada kondisi dan lingkungan yang mendampingi atau
sedang berlangsung ketika penggunaan bahasa berlangsung atau ketika interaksi antar
pemakai bahasa terjadi. Menurut Halliday dan Hasan (1985) konteks situasi terdiri atas tiga
unsur, yaitu field, tenor dan mode of discourse. Ketiga unsur tersebut mengandung arti 1) medan (field). Yakni apa –what yang akan dibicarakan dalam interaksi, 2) pelibat (tenor), yakni siapa--- who yang dibicarakan dalam interaksi, dan 3) cara (mode), yakni bagaimana----how interaksi dilakukan.
Lebih lanjut, Halliday (1974) dalam Saragih (2007:2) menegaskan bahwa bahasa
adalah fenomena antarmanusia yang disebut sebagai interorganism, yang berbeda dengan pendapat para pakar linguistik formal, misalnya Chomsky yang berpendapat bahasa
sebagai fenomena intraorganism atau hal yang terjadi di dalam diri manusia. Dengan kata lain, secara spesifik para pakar Systemic Functional Linguistics mengamati, bahwa struktur teks ditentukan oleh unsur yang ada di luar teks, yakni konteks sosial. Hubungan antara
teks dan konteks sosial adalah hubungan construal, yakni saling menentukan, konteks sosial menentukan teks dan teks menentukan konteks sosial. Dengan kata lain, pada suatu
saat konteks sosial terbentuk dan konteks sosial ini mempengaruhi teks. Pada saat
Kedua, berkaitan dengan pengertian fungsional pertama, fungsi bahasa dalam kehidupan manusia mencakup tiga hal, yaitu (1) memaparkan atau menggambarkan
(ideational function), (2) mempertukarkan (interpersonal function), dan (3) merangkai (textual function) pengalaman manusia. Ketiga fungsi ini disebut metafungsi bahasa (metafunction), yakni fungsi bahasa untuk penggunaan bahasa. Masing-masing fungsi direalisasikan oleh tata bahasa yang berbeda sifatnya dan tidak saling berhubungan.
Dengan demikian, dalam perspektif Systemic Functional Linguistics, tata bahasa (lexicogrammar) merupakan teori tentang pengalaman manusia, yakni teori yang mencakupi paparan, pertukaran, dan organisasi pengalaman manusia.
Pengertian fungsional ketiga adalah setiap unit bahasa adalah fungsional terhadap unit yang lebih besar, yang di dalamnya unit itu menjadi unsur. Dengan pengertian ini
ditetapkan bahwa morfem adalah fungsional di dalam kata, kata adalah fungsional dalam
grup atau frase, grup atau frase adalah fungsional dalam klausa, dan klausa menjadi unsur
fungsional dalam klausa kompleks. Dengan pandangan ini, para pakar Systemic Functional Linguistics berpendapat bahwa dalam mengkaji satu unit linguistik, unit linguistik itu dikaji dari tiga posisi, yakni dari (1) unit yang lebih besar di atasnya yang di dalam unit di atasnya
itu unit linguistik itu menjadi elemen/ konstituen, (2) unit yang lebih kecil di bawahnya
yang menjadi elemen/konstituen dan membangun unit bahasa yang dikaji, dan (3) unit
yang setara atau sama posisinya dengan unit kajian.
Teori Systemic functional Linguistics sangat potensial dengan berbagai demensi analisis dalam teks dan wacana. Dalam demensi bahasa, analisis dapat dilakukan terhadap
tiga strata bahasa yaitu semantik, leksikogramatika, dan fonologi atau ortografi. Ketiga
atau disebut leksikogramatika dan akhirnya direalisasikan ke dalam bunyi bahasa ataupun
tulisan.
Pendekatan Systemic Functional Linguistics terhadap analisis teks juga mencakup analisis konteks. Konteks atau konteks sosial selalu menyertai teks dan tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya. Halliday menistilahkan construal yaitu adanya hubungan konstrual bahwa konteks sosial yang menentukan dan ditentukan oleh teks. Menurut
Halliday (1978) dalam Saragih (2007:2), konteks sosial terbagi tiga, yaitu konteks situasi
(register), konteks budaya (genre), dan konteks ideologi. Konteks situasi merupakan unsur yang penting dalam bahasa karena manusia berbicara atau menulis harus disesuaikan
dengan konteks situasinya.
Konteks budaya (genre) yaitu kegiatan berbahasa yang bertahap, bermatlamat sebagai aktivitas yang beroerientasi pada tujuan di mana penulis/penutur melibatkan diri
sebagi anggota-anggota dari bidaya itu sendiri (Sinar, 2003:68). Selanjutnya, konteks teks
mempunyai ideologi yang merujuk sikap, nilai yang dikonstruksikan secara sosiial menjadi
konsep yang dinyakini oleh masyarakat. Dengan demikian, bahasa yang terdiri atas unsur
makna (semantik), tata bahasa (leksikogramatika) dan bunyi (fonologi) mempunyai
konteks situasi budaya di atasnya, Ketiga jenis konteks ini direalisasikan oleh bahasa
seperti terdapat dalam diagram berikut:
Gambar 2.1 : Hubungan Teks dan Konteks (Saragih, 2006:3)
Ideolog i
Buday a
Situasi
Semanti k
Tata Bahasa Tata Bahasa Bahasa
Selanjutnya, Martin (1993) dalam Sinar (2003:8-9) menjelaskan dalam
rancangannya bahwa bahasa berada di dalam konteks sosial. Konsekuensinya, untuk
memahami bahasa harus memahami konteks sosialnya juga karena bahasa sebagai sistem
semiotik merealisasikan konteks sosial sebagai sebuah sistem sosial.
Gambar 2.2: Bahasa sebagai Realisasi Konteks Sosial (adaptasi dari Martin, 1993:142)
B
Selain itu, Matthiessen (1993) dalam Sinar (2003:17) merancang stratifikasi bahasa
dalam konteks. Ia berpendapat bahwa di dalam bahasa terdapat makna (semantik), di dalam
makna terdapat leksikogrammatika, dan di dalam leksikogramatika terdapat fonologi.
Dengan demikian, bahasa meliputi tiga unsur sekaligus yaitu semantik, leksikogramatika,
dan fonologi.
Kontek
Sosial
Gambar 2.3: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks (Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227)
ooooooooooo
Situasi
Berikut ini adalah perbandingan enam model konteks dalam kerangka teori
Systemic Functional Linguistics oleh beberapa pakar:
Tabel 2.1: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks
Berdasarkan perbandingan di atas dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan
konteks situasi. Halliday membagi konteks situasi menjadi tiga, yaitu medan wacana,
pelibat wacana dan sarana wacana. Sedangkan Martin menggunakan genre sebagai rujukan
untuk konteks budaya. Berbeda dengan Halliday dan Martin, Gregory membagi pelibat
wacana menjadi dua bagian pelibat wacana personal dan fungsional, sedangkan Ure dan
Elis membagi pelibat wacana ke dalam dua bagian formalitas dan peran. Fawcet membagi
pelibat wacana berdasarkan tujuan hubungan dan pragmatik.
2.2 Fungsi dan Penggunaan Bahasa
Menurut teori sistemik, Sinar ( 2003:19) bahasa adalah fenomena sosial, yaitu
bahasa cenderung sebagai alat berbuat (doing) sesuatu daripada mengetahui (knowing)
sesuatu. Bahasa adalah sistem jaringan yang terdiri atas pilihan-pilihan arti. Beberapa
pokok pikiran penting TLSF dan bagaimana satu dengan yang lainnya berhubungan dalam
membentuk dasar dan kerangka kerja analisis wacana akan dibagi menjadi lima penegasan
utama, yaitu: 1) bahasa adalah sistem; 2) bahasa adalah fungsional; 3) fungsi bahasa adalah
membuat makna; 4) bahasa adalah sistem semiotik sosial; dan 5) Penggunaan bahasa
adalah kontekstual.
2.2.1 Bahasa adalah Sistem
Dalam percakapan seseorang dapat memilih arti yang ingin disampaikannya ketika
berinteraksi dengan lawan bicara. Sejumlah pilihan arti (sistem) yang direalisasikan
melalui pilihan bentuk bahasa tersebut cenderung bersifat paradigmatik daripada
sintagmatik.
Selanjutnya, Sinar (2003:19) mengatakan bahwa sistem arti bahasa dinamakan
dalam kata-kata secara gramatika dan teratur adalah sintagmen yang terdiri atas bagian
leksikal dan bagian gramatikal.
2.2.2 Bahasa adalah Fungsional
Bahasa adalah fungsional berhubungkait dengan kenyataan bahwa bahasa timbul
dan wujud untuk melayani keperluan-keperluan manusia. Oleh karena itu, seseorang perlu
memusatkan perhatian kepada bagaimana manusia menggunakan bahasa supaya
memahaminya (Sinar, 2003:19).
Halliday dan Hasan (1985:10) mendefinisikan teks sebagai bahasa yang fungsional.
Fungsional diartikan sebagai bahasa yang melakukan perkerjaan yang sama dalam suatu
konteks. Di dalam konteks ini, bahasa yang fungsional bukan kata-kata atau kalimat yang
terisolir yang mungkin dituliskan seseorang di atas papan tulis. Dengan demikian, hakekat
teks adalah sebagai entitas semantik, sehingga sebuah teks harus dipertimbangkan dari dua
perspektif sekaligus, baik sebuah produk maupun sebagai sebuah proses.
Menurut Saragih (2006:3) terdapat tiga pengertian dalam konsep fungsional di
dalam konteks sosial.
1) Bahasa terstruktur sesuai dengan kebutuhan manusia akan bahasa.
2) Bahasa berfungsi untuk memaparkan, mempertukarkan dan merangkai pengalaman.
Ketiga fungsi ini disebut dengan metafungsi bahasa.
3) Satu unit bahasa fungsional terhadap unit lain yang lebih besar. Artinya satu unit bahasa
dapat menjadi unit bahasa yang lebih besar misalnya kata, frase dan klausa. Bahasa
dalam analisis wacana dengan pendekatan linguistik fungsional sistemik mempunyai
2.2.3 Fungsi Bahasa adalah Membuat Makna
Bahasa berfungsi membuat makna. Hal ini dapat dibuktikan ketika manusia
mengekspresikan keperluan-keperluan mereka melalui bahasa, mereka membuat makna
dalam teks. Halliday (1975) dalam Sinar (2003:20) berpendapat bahwa belajar bahasa
adalah belajar memaknai yang mempunyai konsekuensi pada proses belajar-mengajar. Di
dalam hal ini, Halliday (1975:37) memandang pembelajaran bahasa sebagai belajar
memaknai atau mempelajari cara membuat makna. Dengan demikian, teori Systemic Functional Linguisticsi mempunyai kekuatan pada nilai pendidikan linguistik.
Fokus Systemic Functional Linguistics terhadap bahasa sebagai institusi sosial memberi makna khusus teks dan konteks. Hal ini memunculkan pandangan bahwa bahasa
adalah sebuah sistem atau sistem pilihan yang relevan dengan pendidikan linguistik. Bagi
praktisi pendidikan merupakan sesuatu yang penting untuk memahami perspektif bahwa
seseorang belajar dalam proses sosial dan potensinya sangat erat hubungannya dengan
bagaimana seorang anak membuat makna dengan menggunakan bahasa. Di dalam fungsi
bahasa ini, seorang anak dalam aksinya belajar berbahasa, ia sekaligus mempelajari budaya
melalui bahasa yang dipelajarinya. Sistem semiotik yang dikonstruksikan oleh anak
tersebut menjadi sarana utama bagi transmisi budaya.
2.2.4 Bahasa adalah Sistem Semiotik Sosial
Akar pandangan Halliday yang pertama adalah bahasa sebagai semiotika sosial. Hal
ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode) representasi dunia yang
dikonstruksikan secara sosial. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial
bahasa, yakni fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana
dari sejumlah sistem makna yang lain seperti tradisi, sistem mata pencarian, dan sistem
sopan santun secara bersama¬sama membentuk budaya manusia. Halliday mencoba
menghubungkan bahasa terutama dengan satu segi yang penting bagi pengalaman manusia,
yakni segi struktur sosial.
Sejalan dengan pengertian semiotik di atas, kajian makna suatu bahasa harus
ditempatkan pada konteks sosial. Hal ini membawa implikasi bahasa bertautan dengan
makna dalam budaya. Sudah pasti dalam budaya mana pun banyak cara yang berkenaan
dengan makna yang berada di luar bidang bahasa. Cara-cara tersebut meliputi baik
bentuk seni seperti lukisan, ukiran bunyi-bunyian, tarian, dan lainnya, maupun
bentuk-bentuk tingkah laku budaya lainnya yang tidak termasuk dalam ruang lingkup seni,
misalnya ragam pertukaran, pakaian, susunan keluarga dan seterusnya. Ini semua pembawa
makna dalam budaya. Pada hakikatnya, dalam konteks ini budaya didefinisikan sebagai
seperangkat sistem semiotik, sistem makna yang semuanya saling berhubungan. Pengertian
umum tentang semiotik ini tidak dapat dijelaskan melalui konsep tanda sebagai suatu
kesatuan lahiriah, tetapi semiotik sebagai sistem-sistem makna, yang dapat dipandang
sebagai tatanan yang bekerja melalui semacam bentuk luar keluaran (output) yang disebut tanda, tetapi tatanan-tatanan itu sendiri bukan perangkat benda tersendiri, melainkan
merupakan jaringan-jaringan hubungan. Dalam arti inilah istilah ‘semiotik’ digunakan
untuk melihat bahasa, yaitu bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang
secara bersama-sama membentuk budaya manusia.
Istilah sosial dalam konteks bahasa adalah sistem semiotik sosial bersinonim
dengan kebudayaan. Menurut Sinar (2003:21), “Konsep semiotik sosial adalah bahwa
hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti dan arti-arti ini
tersebut.” Jadi, semiotik sosial yang dimaksudkan adalah batasan sistem sosial atau
kebudayaan sebagai suatu sistem makna. Istilah ‘sosial’ juga digunakan untuk
menunjukkan adanya hubungan bahasa dengan struktur sosial, dengan memandang struktur
sosial sebagai satu segi dari sistem sosial. Jadi dalam pengertian ini, bahasa dijelaskan
dengan menggunakan pandangan sosial karena dimensi sosial sangatlah signifikan dan
yang selama ini paling diabaikan dalam pembahasan-pembahasan bahasa dalam
pendidikan.
Bahasa dipandang dari perspektif pendidikan suatu proses sosial. Lingkungan
tempat belajar itu berlangsung dalam suatu lembaga sosial, seperti ruangan kelas atau
sekolah dengan struktur sosialnya yang digariskan dengan lebih jelas atau yang lebih
abstrak, menyangkut sistem sekolah atau jalannya kependidikan. Ilmu pengetahuan
disampaikan dalam konteks sosial melalui hubungan-hubungan seperti orang tua dengan
anak, guru dengan murid atau antarteman sekelas yang digariskan dalam tata nilai dan
ideologi kebudayaan yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, menurut Halliday
(1975) dalam Sinar (2003:20-21), belajar bahasa adalah belajar memaknai yang
mempunyai konsekuensi pada proses belajar mengajar. Dengan demikian, seseorang dalam
aksinya belajar berbahasa sekaligus mempelajari budaya melalui bahasa yang dipelajari
dalam sistem sosial kehidupannya.
2.2.5 Penggunaan Bahasa adalah Kontekstual
Konsep konteks ini merujuk pada hubungan linguistik dengan konteks budaya yang
disebabkan oleh ketergantungan makna linguistik terhadap konteks budaya. Bahasa adalah
ungkapan perilaku sosial dalam konteks-konteks (Sinar, 2003:23). Hal ini disebabkan
sehingga makna dari setiap kata dalam tingkat tertentu sangat tergantung pada konteks
pembicaraan seseorang.
Selanjutnya, Sinar (2003: 23-24) menambahkan bahwa konteks dipengaruhi oleh
teks. Apabila seseorang menganalisis teks secara vertikal ke bawah, ini berarti teks
dianalisis berdasarkan variabel linguistik (klausa, frase, kata, morfen, dst). Sebaliknya,
apabila tks dianalisis secara vertikal ke atas berarti teks dilihat dari variabel kontekstual,
yaitu konteks situasi, budaya dan ideologi. Hal ini disebabkan variabel yang hidup di atas
teks berinteraksi dengan teks yaitu saling pengaruh mempengaruhi.
Gambar 2.4 Konteks Budaya dan Konteks Situasi dalam Demensi Potensialitas (Adaptasi dari Matthiessen 1993:272, lihat juga Sinar 2003:24)
2.3 Metafungsi Bahasa
Makna metafungsi adalah makna yang secara simultan terbangun dari tiga fungsi
bahasa, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Fungsi ideasional
mengungkapkan realitas fisik dan biologis serta berkenaan dengan interpretasi dan
representasi pengalaman. Fungsi interpersonal mengungkapkan realitas sosial dan Budaya
(umum) Sistem linguistik
Teks Situasi
berkenaan dengan interaksi antara penutur/penulis dengan pendengar/pembaca. Sementara
itu, fungsi tekstual mengungkapkan realitas semiotis dan berkenaan dengan cara penciptaan
teks dalam konteks (Halliday & Martin, 1993:29).
Berdasarkan penjelasan di atas, makna metafungsi melingkupi tiga jenis makna, dan
realisasinya di dalam teks dapat dilihat dari unsur-unsur leksikogramatika
(lexicogrammar), yaitu cara kata-kata disusun beserta segala akibat maknanya dalam membentuk registernya. Sebagai salah satu wilayah makna metafungsional, makna tekstual
tercipta dari gabungan antara fungsi ideasional dan fungsi interpersonal. Makna tekstual
adalah makna sebagai hasil dari realisasi unsur-unsur leksikogramatika yang menjadi
media terwujudnya sebuah teks, tertulis atau lisan, yang runtut dan yang sesuai dengan
situasi tertentu pada saat bahasa itu dipakai dengan struktur yang bersifat periodik (Martin,
1993:10-21).
Menurut Sinar (2003:28), Metafungsi bahasa mempunyai 3 (tiga) komponen, yaitu:
1) ideasional; 2) interpersonal, dan 3) tekstual. Sumber ideasional berhubungan dengan
pemahaman dan pengalaman: apa yang telah terjadi, termasuk apa yang dilakukan
seseorang terhadap siapa, dimana, kapan, kenapa, dan bagaimana hubungan logikal terjadi
antara satu dengan yang lainnya. Sumber interpersonal membahas hubungan sosial:
bagaimana masyarakat berinteraksi, termasuk perasaan saling berbagi di antara mereka dan
sumber tekstual membahas alir informasi: cara makna ideasional dan interpersonal
disebarkan pada semiosis, tgermasuk interkoneksi antara aktivitas dan bahasa (tindakan,
2.3.1 Fungsi Ideasional
Fungsi ideasional terbagi dua; yaitu fungsi eksperensial dan fungsi logis. Di bawah
ini akan dijelaskan secara rinci ke dua fungsi tersebut.
2.3.1.1 Fungsi Eksperensial
Di dalam fungsi eksperensial, bahasa terdiri dari enam proses yaitu proses material,
verbal, mental, relasional, perilaku, dan wujud. Setiap proses didampingi oleh partisipan
yang direalisasi oleh nomina atau grup nomina. (Sinar, 2003:31-37).
(1) Proses material adalah proses yang melibatkan kegiatan fisik, seperti mendorong,
mengangkat dan berlari. Proses material didampingi oleh dua partisipan utama yaitu
aktor dan gol. Partisipan lain yang dapat mendampingi proses material adalah
jangkauan dan penerima.
Contohnya:
Fadil membeli kamus Bahasa Inggris.
Aktor Proses Material Gol
(2) Proses verbal berada di antara proses mental dan realsional dan proses ini melibatkan
informasi misalnya berkata, bertanya, menyapa, dll. Partisipan dalam proses verbal
adalah penyampai, pesan, target, dan penerima.
Contohnya:
Titin memberitahu saya berita gembira itu Penyampai proses verbal penerima target
(3) Proses mental adalah proses yang berkaitan dengan indera, kognisi, emosi dan persepsi
misalnya melihat, mencintai, dan berpikir. Partisipan dalam proses mental adalah
Contohnya:
Perempuan itu sangat mencintai anaknya
Pengindra proses mental fenomenon
(4) Proses relasional adalah proses hubungan antarunit bahasa yang terbagi atas hubungan
intensif, hubungan sirkumstan, dan hubungan posesif. Ketiga hubungan ini dibagi atas
mode intensif (posisi kedua entitas dapat saling dipertukarkan) dan atribut (posisi kedua
entitas tidak dapat saling dipertukarkan). Partisipan dalam proses relasional terdiri atas
bentuk, nilai, penyandang, dan atribut.
(i) Hubungan intensif menunjukkan hubungan satu entitas dengan entitas yang lain,
seperti:
Ibunya (adalah) seorang dosen
Penyandang proses relasional atribut
(ii) Hubungan sirkumstan menunjukkan hubungan satu entitas dengan lingkungan yang
terdiri atas lokasi (waktu, tempat, dan urutan), sifat, peran atau fungsi, penyerta, dan
sudut pandang, seperti:
Ulang tahunnya (adalah) tanggal 14 September Penanda Proses relasional nilai (sirkumstan:waktu)
(iii) Hubungan posesif menunjukkan kepunyaan, seperti:
Kamus itu (adalah) milik dia
Milik proses relasional pemilik
(5) Proses Perilaku (behavioural) merupakan aktivitas atau kegiatan fisiologis yang menyatakan tingkah laku fisik manusia. Secara semantik, proses tingkah laku terletak di
antara proses material dan mental. Partisipan dalam prooses ini adalah petingkah laku.
Contohnya:
Orang itu tertawa terbahak-bahak
Petingkah laku proses tingkah laku sirkumstan
(6) Proses wujud (eksistensial) menunjukkan keberadaan satu entitas. Secara semantik,
proses wujud berada di antara proses material dan relasional. Partisipan dalam proses
wujud (eksistensial) ini adalah maujud (eksisten). Proses ini ditandai oleh verba ada,
berada, muncul, terjadi, bertahn, tumbh, dan tersebar.
Contohnya:
Ada banyak masalah di perusahaan ini
Proses wujud maujud sirkumstan
2.3.1.2 Fungsi Logis
Selain fungsi eksperensial, juga terdapat fungsi logis di dalam fungsi ideasional.
Fungsi logis yang dimaksudkan di sini yaitu bahwa bahasa memiliki satu atau lebih dari
satu klausa yang disusun berdasarkan hubungan logis berdasarkan posisi antarklausa dan
makna antarklausa. Posisi antarklausa mengacu pada status satu klausa dengan klausa
lainnya yang disebut taksis. Dengan kata lain, hubungan antar klausa membentuk logika
bahasa alamiah yang diukur menurut jenis-jenis hubungan ketergantungan antara klausa
yang disebut taksis (Sinar, 2003:45-46).
Taksis terbagi atas parataksis (hubungan klausa yang setara ditandai dengan angka
1,2,3...n) dan hipotaksis (hubungan klausa yang tidak setara yang ditandai dengan α, β, χ,
δ ). Hubungan logis semantik menunjukkan makna yang timbul antar klausa dan dibagi dua
yaitu ekspansi dan proyeksi. Ekspansi menunjukkan bahwa klausa kedua memperluas
proyeksi merupakan representasi kembali pengalaman linguistik ke pengalaman linguistik
lain.
Dari tabel berikut ini dapat diketahui bahwa parataksis menunjukkan kesetaraan
hubungan dua klausa. Sebaliknya, hipotaksis menunjukkan ketidaksetaraan hubungan dua
klausa. Elaborasi menunjukkan makna klausa pertama sejajar/setara dengan makna klausa
kedua. Ekstensi berarti makna klausa kedua menambah makna yang ada pada klausa
pertama. Ganda berarti makna klausa kedua melipatgandakan makna yang ada pada klausa
pertama. Proyeksi lokusi menunjukkan proyeksi kata sedangkan proyeksi ide menunjukkan
proyeksi makna.
Tabel 2.2: Hubungan Semantik Logis dan Taksis
(Adaptasi dari Halliday, 1994: 214-220)
Hubungan Logis Semantik Taksis
Parataksis Hipotaksis
1’2 α ‘β
2.3.2 Fungsi Antarpersona
Fungsi antarpersona adalah fungsi bahasa yang mampu mempertukarkan
pengalaman dalam interaksi sosial. Fungsi antarpersona merupakan aksi yang dilakukan
pemakai bahasa dalam saling bertukar pengalaman linguistik. Dengan kemampuan
berinteraksi sosial, maka manusia dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam melakukan suatu
aksi maka dari segi semantik, aksi terbagi dalam empat aksi dasar yang disebut dengan
protoaksi yaitu pernyataan (memberi informasi), pertanyaan (meminta informasi), tawaran
(memberi barang dan jasa), dan perintah (meminta barang dan jasa).
Keempat aksi dasar atau protoaksi tersebut kemudian direalisasikan ke dalam
tingkat tata bahasa yang disebut modus. Aksi pernyataan biasanya direalisasikan ke dalam
modus deklaratif. Aksi pertanyaan biasanya direalisasikan oleh modus interogatif dan aksi
perintah direalisasikan oleh modus imperatif. Namun, aksi tawaran tidak mempunyai
modus karena tidak mempunyai modus yang Bermarkah sebagai realisasinya. Dengan
demikian, tawaran dapat direalisasikan oleh salah satu dari ketiga modus. Modus itu
dibangun oleh lima unsur yaitu subjek, finit, predikator, komplemen, dan adjunct.
Tabel 2.3: Posisi Subjek, Finit, Predikator, Komplemen, dan Adjuct dalam Teks
Kami Subjek
Akan Finit
Mengadakan Predikator
Rapat Komplemen
besok pagi Adjunct
Mood Residue
2.3.3 Fungsi Tekstual
Fungsi ketiga dari bahasa adalah merangkai pengalaman yang disebut dengan
sebagai pesan. Hal ini diinterpretasikan sebagai sebuah fungsi intrinsik kepada bahasa itu
sendiri, dalam arti bahwa bahasa berkaitan dnegan aspek situasional dimana bahasa atau
teks terdapat di dalamnya. Dengan kata lain, fungsi titik temu membuat bahasa atau teks
relevan secara internal ke dalam bahasa itu sendiri demikian juga secara eksternal kepada
konteks atau situasi di mana bahasa itu digunakan. Fungsi ini memberi kemampuan kepada
seseorang untuk membedakan sebuah teks sebagai bahasa yang termotivasi secara
fungsional dan kontekstual dan pada sisi yang lain dari yang bukan teks sebagai bahasa
terpisah dari yang lain.
2.4 Teks
Dalam pandangan Halliday (1992) dalam (Mascahaya 2010:61), teks dimaknai
secara dinamis. Teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam
konteks situasi. Teks adalah contoh interaksi lingual tempat masyarakat secara aktual
menggunakan bahasa; apa saja yang dikatakan atau ditulis; dalam konteks yang operasional
(operational context) yang dibedakan dengan konteks kutipan (a citational context), seperti kata-kata yang didaftarkan dalam kamus ( 1978:109). Teks berkaitan dengan apa yang
secara aktual ‘dilakukan’, ‘dimaknai’ dan ‘dikatakan’ oleh masyarakat. Terkait dengan
teks, Halliday memberikan beberapa penjelasan sebagai berikut:
Pertama, teks adalah unit semantis. Menurut Halliday (1978:135) kualitas tekstur
ditak didefinisikan dari ukuran. Teks adalah sebuah konsep semantis. Meskipun terdapat
pengertian sebagai sesuatu di atas kalimat (super-sentence), sesuatu yang lebih besar daripada kalimat, dalam pandangan Halliday hal ini secara esensial salah tunjuk pada
kualitas teks. Kita tidak dapat merumuskan bahwa teks itu lebih besar atau lebih panjang
kalimat-kalimat itu lebih merupakan ‘realisasi teks’ daripada merupakan sebuah teks itu
sendiri. Sebuah teks ‘tidak tersusun’ dari kalimat-kalimat atau klausa, tetapi
‘direalisasikan’ dalam kalimat-kalimat.
Kedua, teks dapat memproyeksikan makna kepada level yang lebih tinggi. Menurut
Halliday (1978:138) sebuah teks selain dapat direalisasikan dalam level-level sistem
lingual yang lebh rendah-seperti sistem leksikogramatis dan fonologis juga merupakan
realisasi dari level yang lebih tinggi dari interpretasi, kesastraan, sosiologis, dan sebagainya
yang dimiliki oleh teks itu. Level-level yang lebih rendah ini memiliki kekuatan untuk
memproyeksikan makna pada level yang lebih tinggi, yang oleh Halliday deberi istilah
‘latar depan’ (foregrounded).
Ketiga, teks adalah proses sosiosemantis. Halliday 91978:139) berpendapat bahwa
dalam arti yang sangat umum, sebuah teks merupakan sebuah perjumapaan semiotis
melalui makna-makna yang berupa sistem sosial yang sedang saling dipertukarkan.
Anggota masyarakat yakni individu-individu adalah seorang pemakna (meaner). Melalui
tindak-tanduk pemaknaan antara individu ersama individu lainnya, realitas sosial
diciptakan, dijaga dalam urutan yang baik, dan secara terus menerus disusun dan
dimodifikasikan.
Fitur esensial seuah teks adalah adanya interaksi. Dalam pertukaran makna itu
terjadi peruangan semantis (semantic contest) antara individu-individu yang terlibat. Karena sifatnya yang ‘perjuangan’ itu, makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada makna
yang bersifat tunggal begitu saja. Dengan demikian, pilihan bahasa pada hakikatnya adalah
perjuangan atau pertarungan untuk memilih kode-kode bahasa tertentu.
Keempat, situasi adalah faktor penentu teks. Menurut Halliday (1978:141) makna
bentuk teks. Makna tidak diciptakan dalam keadaan terisolasi dari lingkungannya. Secara
tegas dirumuskan oleh Halliday bahwa ‘makna adalah sistem sosial’. Perubahan dalam
sistem sosial akan direfleksikan dalam teks. Situasi akan menentukan bentuk dan makna
teks.
2.5 Konteks Situasi Teks
Halliday (1978:1-10) menyatakan bahwa konteks situasi (register), ditinjau dari kerangka konseptual mempunyai tiga pokok bahasan yaitu medan makna (Field), pelibat (Tenor) dan sarana (Mode). Medan, sarana, dan pelibat wacana adalah prinsip-prinsip yang digunakan untuk memberi tafsiran konteks situasi teks atau wacana.
2.5.1 Medan Wacana (Field of Discourse)
Medan wacana merujuk kepada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar
institusi tempat satuan-satuan bahasa itu muncul. Untuk menganalisis medan wacana kita
dapat mengajukan pertanyaan what is going on?, yang mencakup tiga hal, yakni ranah pengalaman, tujuan jangka pendek, dan tujuan jangka panjang.
Ranah pengalaman merujuk kepada ketransitivan yang mempertanyakan apa yang
terjadi dengan seluruh ‘proses’, ‘partisipan’, dan ‘keadaan’. Tujuan jangka pendek merujuk
pada tujuan yang harus segera dicapai. Tujuan ini bersifat amat kongkret. Tujuan jangka
panjang merujuk pada tempat teks dalam skema suatu persoalan yang lebih besar. Tujuan
2.5.2 Pelibat Wacana (Tenor of Discourse)
Pelibat wacana merujuk pada hakikat relasi antar partisipan, termasuk pemahaman
peran dan statusnya dalam konteks sosial dan lingual. Untuk menganalisis pelibat, kita
dapat mengajukan pertanyaan who is taking part?, yang mencakup tiga hal, yakni peran agen atau masyarakat, status sosial, dan jarak sosial.
Peran terkait dengan fungsi yang dijalankan individu atau masyarakat. Status terkait
dengan tempat individu dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, sejajar
atau tidak. Jarak sosial terkait dengan tingkat pengenalan partisipan terhadap partisipan
lainnya, akrab atau memiliki jarak. Peran, status, dan jarak sosial dapat bersifat sementara
dan dapat pula permanen.
2.5.3 Modus Wacana (Mode of Discourse)
Modus wacana merujuk pada bagian bahasa yang sedang dimainkan dlam situasi,
termasuk saluran yang dipilih, apakah lisan atau tulisan. Untuk menganalisis modus,
pertanyaan yang dapat diajukan adalah what’s role assigned to language?, yang mencakup lima hal, yakni peran bahasa, tipa intraksi, medium, saluran, dan modus retoris.
Peran bahasa terkait dengan kedudukan bahsa dalam aktivitas; bisa saja bhasa
brsifat wajib (konstitutif) atau tidak wajib; penyokong tambahan. Peran wajib trjadi apabila
bahasa sebagai aktivitas keseluruhan. Peran tambahan terjadi apabila bahasa membantu
aktivitas lainnya. Tipe interaksi merujuk pada jumlah pelaku; monologis atau dialogis.
Medium terkait dengan sarana yang digunakan; lisan, tulisan, atau isyarat. Saluran brkaitan
deang bagaimana teks itu dapat diterima; fonis, grafis, atau visual. Modus retoris merujuk
pada ‘perasaan’ teks secara keseluruhan; yakni persuasif, kesastraan, akademis, edukatif,
2.6 Teks Narasi
Teks narasi (narative genre) adalah tulisan kreatif dan imaginatif yang tujuannya untuk memberikan kesenangan yaitu mendapatkan perhatian pembaca dan memupuk
imajinasi pembaca terhadap cerita (Sinar, 2003:68-69). Dalam istilah Linguistik Fungsional
Sistemik, ragam teks dinamakan genre. Genre mempunyai struktur yang disebut struktur
generik (Sinar, 2003 dalam Halliday dan Hasan, 1984) atau struktur skematika (Sinar, 2003
dalam Martin,1984). Ada beberapa jenis genre, yaitu: genre narasi, genre kisah, genre
laporan, genre deskripsi, genre prosedur, genre instruksi, genre ekplanasi, genre eksposisi,
genre argumentasi dan genre diskusi. Dalam kesempatan ini tidak dijelaskan struktur
skematika genre selain genre narasi. Hal ini disebabkan karena tesis ini hanya berfokus
pada genre narasi.
Secara umum struktur skematika setiap genre dimulai dari pendahuluan,
pertengahan dan penutup (Sinar, 2003: 69-82).Dalam genre narasi penutur/penulis sering
memilih detil-detil sebagai bagian dari keseluruhan perluasan cerita (misalnya personalitas
pemain utama), jenis situasi (hubungan dengan karakter-karakter lain), alur cerita dan latar
belakang cerita.
Narasi selalu dimulai dengan orientasi. Dalam orientasi, penutur atau penulis mencoba membawa imajinasi pembaca ke suatu keadaan yang melatar belakangi sebuah
cerita. Latar belakang cerita ini dapat berupa gambaran suatu tempat atau pendeskripsian
suatu keadaan di mana alur cerita itu dimulai. Selanjutnya struktur skematika narasi
dilanjutkan dengan abstrak yang merupakan kalimat atau kata awal yang menyatakan ringkasan keseluruhan cerita. Kemudian dilanjutkan dengan komplikasi yang merupakan
seperangkat kejadian yang menimbulkan komplikasi karena kejadian tidak berlangsung
yang ada kemudian berangsur diselesaikan dan ditemukan jalan keluarnya inilah yang
disebut resolusi. Evaluasi ialah suatu aksi yang berlangsung dengan suspensi yang koinsiden dengan resolusi. Kesuluruhan struktur skematika ini ditutup dengan koda yang menyatakan akhir sebuah cerita. Unsur-unsur yang disebut di atas berlangsung secara
berurutan (chronological order) yaitu unsur yang satu direalisasikan oleh unsur yang lainnya (^) dan hadir secara berulang-ulang (n) sehingga menjadi struktur skematika
narasi.
Secara ringkas struktur skematika narasi adalah: orientasi ^ abstrak (n) ^ komplikasi
(n) ^ resolusi (n) ^ (evaluasi) (n) ^ (koda) (Sinar, 2003:70).
2. 7 Proyeksi
2.7.1 Pengertian Proyeksi
Halliday (2004: 441) memberikan pengertian proyeksi:
Introduced the notion of projection, the logical-semantic relationship whereby a clause comes to function not as a direct representation of (non-linguistic) experience but as a representation of a (linguistic) representation.
Diperkenalkan gagasan tentang proyeksi, hubungan semantik logis dalam hal ini
sebuah klausa muncul berfungsi tidak sebagai representasi langsung dari pengalaman
non-linguistik tetapi sebagai sebuah representasi dari sebuah representasi non-linguistik.
Dari definisi di atas dapat diambil kata kunci yaitu (proyeksi) adalah sebuah
representasi dari representasi linguistik. Dapat jelas terlihat bahwa pelaku yang memiliki
pengalaman linguistik di sini lebih dari satu orang; paling tidak ada dua orang; yaitu orang
pertama mempunyai pengalaman linguistik langsung Kemudian terkait dengan pengalaman
linguistik orang pertama, orang kedua merepresentasi pengalaman linguistiknya caranya
Bloor & Bloor (1995:260) mengatakan bahwa proyeksi mengungkapkan suatu
representasi ujaran (speech) atau pikiran (thought) daripada suatu representasi pengalaman langsung: proyeksi ujaran (speech) atau pikiran (thought) yang langsung atau tidak langsung masing-masing disebut parataksis dan hipotaksis. Collerson (1994:107)
mengatakan, dalam tulisan dan ujaran, seseorang mengutip apa yang telah dikatakan orang
lain dan mengatakan kembali apa yang dikatakan orang tersebut, menjadikan pesan itu
bagian dari pesan kita sendiri. Dengan demikian, kita memropeyeksikan pesan itu.
Adapun pengalaman linguistik yang biasanya menggunakan proyeksi adalah : 1)
laporan berita; 2) mempresentasikan kembali pandangan-pandangan dalam wacana ilmiah;
3) merekonstruksi dialog dalam cerita dan membingkai pertanyaan-pertanyaan dalam
percakapan (Halliday, 2004:443).
Proyeksi adalah satu dari varian klausa kompleks dalam semantik logika. Varian
yang lainnya adalah ekspansi. Dua varian ini berbeda dalam membentuk klausa kompleks.
Proyeksi berhubungan dengan proses verbal (lokusi) dan mental (ide) dalam membentuk
sebuah klausa kompleks. Sedangkan ekspansi berhubungan dengan klausa relasional
(Halliday, 2004:367)
Klausa kompleks merupakan satu-satunya unit gramatikal (tata bahasa) yang
dikenal dengan istilah klausa di atas klausa. Klausa kompleks ialah konstituen tata bahasa
yang membedakannya dari kalimat yang merupakan konstituen tulisan (Halliday,
1985:193; 1994:216). Thompson (1996:194) menyebutnya dengan istilah kombinasi klausa, yaitu kombisanasi dua klausa atau lebih yang membentuk unit yang lebih besar dengan interdependensi yang ditandai oleh tanda yang eksplisit seperti konjungsi. Eggins
(2004:137), mengatakan bahwa klausa kompleks melibatkan dua klausa yang
memberi istilah klausa kompleks sebagai pesan kompleks (complex message), memperluas
pesan dasar dengan meletakkan lebih dari satu klausa dalam satu kalimat.
Dari beberapa pengertian klausa kompleks di atas dapat disimpulkan bahwa klausa
kompleks adalah gabungan dua klausa atau lebih (nexus) dalam satu kalimat. Klausa-klausa yang membentuk sebuah neksus adalah primer dan sekunder. Klausa yang primer
merupakan klausa awal dalam sebuah neksus parataksis, dan klausa yang dominan dalam
sebuah hipotaksis; klausa sekunder adalah klausa yang melanjutkan dalam sebuah
hipotaksis (Halliday, 2004:376). Penjelasan tersebut tergambar pada Tabel berikut ini:
Tabel 2.4 : Klausa-klausa Primer dan Sekunder dalam Klausa Nexus (Diadaptasi dari Halliday 2004:376)
Primer Sekunder
Parataksis 1 (mulai) 2 (melanjutkan)
Hypotaksis α (dominan) β (terikat)
2.7.2 Jenis-jenis Proyeksi
Halliday ( 2004:443) berkata:”Through projection, one clause is set up as the representation of the linguistic “content” of another – either the content of a ‘verbal’ clause of saying or the content of a ‘mental’ clause of sensing”. Melalui proyeksi, sebuah klausa dibentuk sebagai representasi “isi” linguistik dari klausa lainnya – apakah isi dari
klausa ‘verba’ perkataan atau isi dari klausa ‘mental’ perasaan.
Proyeksi yang menggunakan proses verbal disebut dengan proyeksi ‘Lokusi’ yang
ditandai dengan simbol tanda kutip dua (”) dan proyeksi yang menggunakan proses mental
dinamakan proyeksi ide yang dikenali dengan tanda kutip satu (‘) (Halliday, 2004:377).
Proyeksi lokusi menggunakan proses verbal sebagai klausa pemroyeksi. Kata kerja
mengungkapkan, menegaskan, menekankan, bertanya, meminta, memerintahkan,
menceritakan menginstruksikan, menyerukan, mengajak, menjelaskan, mengemukakan,
berjanji, memohon dan lain-lain (Eggins, 1994:273)
Contoh:
(1) Para demontran berkata, “Kami menolak kenaikan harga BBM”. (1 “2)
(2) Menteri Dalam Negeri menegaskan, “Kepala Daerah yang ikut ‘Demo’ akan diberhentikan”.
(1 “2)
Dalam contoh (1) “Kami menolak kenaikan harga BBM” adalah isi dari klausa verbal
Para demontran berkata. Sedangkan dalam contoh (2) Kepala Daerah yang ikut ‘Demo’ akan diberhentikan” adalah isi dari klausa verbal Menteri Dalam Negri menegaskan.
Proyeksi ide menggunakan proses mental sebagai klausa pemproyeksi. Kata
kerja-kata kerja mental tersebut adalah: menyakini, melihat, merasa, mendengar dan lain-lain.
Contoh:
(3) Masyarakat menyakini ‘ bahwa kenaikan BBM akan meningkatkan jumlah
masyarakat miskin di Indonesia’. (α ‘β)
(4) Para mahasiswa merasa ‘bahwa kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM merupakan tindakan yang tidak memihak rakyat’.
(α ‘β)