Asikin. Zainal & dkk, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm 3.
Cahyono. Bambang Tri, Pengembangan Kesempatan Kerja, BPFE Yogyakarta, Yogyakarta, 1983.
Effendy. Tadjuddin Noer, Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1995.
Koeshartono. D dan M.F. Shellyana Junaedi. Hubungan Industrial Kajian Konsep & Permasalahan, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2005
Kosidin. Koko, Perjanjian Kerja Perjanjian Perburuhan dan Perjanjian Perusahaan, Mandar Maju, Bandung, 1999.
Nurachmad. Much, Tanya Jawab Seputar Hak-Hak Tenaga Kerja Kontrak Outsourcing,
Visimedia, Jakarta, 2009.
Soepomo. Iman, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 1983.
Syamsuddin. Mohd Syaufii, Norma Perlindungan Hubungan Industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2004.
---, Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2005
Tunggal. Iman Sjahputra, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, Harvarindo, Jakarta, 2009.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Undang-Undang ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003.
Permenaker No. Per-01/Men/1998 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan
Kesehatan Bagi Tenaga Kerja.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 150/Men/1999 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian
Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Keputusan Menteri Transmigrasi No. Kep-100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahu 2004 tentang Tata Cara Perizinan
perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang
dibolehkan dan sifat kerja yang dapat dibuat perjanjian kerja waktu tertentu.
Faktor pendidikan yang rendah dan kurangnya skill yang dimiliki pekerja.
Dalam produksi manufaktur selalu menggunakan alat teknologi, pekerja tidak
bekerja dengan mengandalkan pendidikan dan skill yang dimiliki atau dapat
dikatakan kualitas dari pekerja sangat rendah sehingga bersedia digaji dengan
lebih murah tanpa memperhatikan hak-haknya sebagai pekerja.
Hubungan yang tidak seimbang adalah pelaksanaan secara tidak
sepatutnya oleh salah satu pihak yang menguasai pengendalian perjanjian untuk
keuntungan dirinya atau orang lain, sehingga perbuatan pihak yang dikuasai
tersebut bukan perbuatan pihak yang sesuai dengan kemauan sendiri. Pengadilan
dapat mengabaikan pelaksanaan dari ketentuan yang tidak adil atau penekanan
secara kesewenangan dalam proses pembentukan perjanjian, atau dalam
menentukan isi perjanjian seperti ketentuan yang berlawanan dengan kemauan
yang patut dari para pihak.
BAB III
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja
dalam Perjanjian Kerja dengan Sistem Outsourcing
A. Persoalan Hukum Terhadap Pekerja dalam Perjanjian Kerja dengan
Sistem Outsourcing
Persoalan outsourcing merupakan hal yang dilematis, tetapi baru diatur
Ketenagakerjaan ((UUK). Dan untuk perusahaan outsourcing-nya sendiri telah
diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004). Perusahaan outsourcing atau
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh adalah perusahaan berbadan hukum yang
dalam kegiatan usahanya menyediakan jasa pekerja/buruh untuk dipekerjakan di
perusahaan pemberi pekerjaan.
Ketentuan yang diatur dalam pasal 2 Kepmen 101/2004:
1. Untuk dapat menjadi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh perusahaan
wajib memiliki izin operasional dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota sesuai domisili perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh.
2. Untuk mendapatkan izin operasional perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh, perusahaan menyampaikan permohonan dengan
melampirkan :
a. Fotocopy pengesahan sebagai badan hukum berbentuk perseroan
terbatas atau koperasi;
b. Fotocopy anggaran dasar yang di dalamnya memuat kegiatan usaha
penyedia jasa pekerja/buruh;
c. Fotocopy SIUP;
d. Fotocopy wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku.
3. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana
terhadap permohonan yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak permohonan diterima.
Jika persyaratan yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan
tidak dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, demi hukum status
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
beralih menjadi hubungan kerja antar pekerja/buruh dan perusahaan pemberi
pekerjaan (pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan).
Ada tiga pihak yang terkait dalam skema outsourcing, perusahaan
pengguna jasa pekerja/buruh (perusahaan pemberi kerja), perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh, dan pekerja /buruh.
Hubungan yang terjadi adalah perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
melakukan perjanjian kerja dengan pekerja/buruh, bisa dengan perjanjian kerja
waktu tertentu atau dengan skema perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Dengan
demikian, perjanjian yang dibuat secara tertulis antara perusahaan pemberi kerja
dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (pasal 66 ayat (2) Undang-Undang
Ketenagakerjaan).
Sebenarnya tidak ada kemenduaan tentang peraturan perusahan mana yang
harus dipakai. Hubungan kerja yang timbul dalam kerangka kerja outsourcing
adalah antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Dengan
demikian peraturan perusahaan yang dipakai adalah peraturan perusahaan yang
dikeluarkan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bukan peraturan
Outsourcing ini biasanya melibatkan perusahaan (pemberi pekerjaan),
perusahaan-perusahaan penerima pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh, dan pekerja/buruh.
Oleh karena itu, harus diperhatikan tentang hubungan kerja yang terjadi,
ketika hubungan kerja adalah antara (perusahaan penerima pekerjaan, dalam
perjanjian pemborongan, atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh) dan
pekerja/buruh.
Persoalan outsourcing sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan
kita, dalam hal ini bisa dilihat dalam pasal 64-66 Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Sementara itu, dapat dilihat juga dalam Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.Kep.101/Men/VI/2004 tahun 2004 tentang
Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen
101/2004).
Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang termasuk dalam jenis
hubungan kerja yang bersifat outsourcing adalah perjanjian pemborongan
pekerjaan dan atau penyediaan jasa pekerja/buruh pada saat perjanjian dibuat
secara tertulis.
Dalam ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ada
beberapa peraturan pelaksana di bidang ketenagakerjaan yang harus disesuaikan,
di antaranya yang mengatur persoalan kontrak kerja waktu tertentu dan pemutusan
hubungan kerja. Dalam pasal 191 Undang-Undang Ketenagakerjaan disebutkan
masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan
peraturan baru berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
B. Perjanjian Outsourcing Merupakan Perjanjian Pemborongan Sebagai
Perlindungan Hukum Bagi Pekerja
Perjanjian outsourcing dapat disamakaan dengan perjanjian pemborongan
pekerjaan. Ketentuan outsourcing di dalam Pasal 65 Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah:
1. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara
tertulis.
Perusahaan dalam hal ini dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaannya kepada perusahaan lainnya melalui:
a. pemborongan pekerjaan; atau
b. penyediaan jasa pekerja.
2. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan;
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
3. Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan
hukum.
4. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan
pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
5. Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimaan dimaksud pada
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri.
6. Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain
dan pekerja/buruh yang diperkerjakannya.
7. Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan atas
perjanjian-perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu
tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59.
8. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3),
tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh
dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi kerja.
9. Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan
dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (7).
Dalam Pasal 66 mengatur sebagai berikut:
1. Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi kecuali untuk
kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi.
2. Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh;
b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang
dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan
yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal
3. Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum
dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
4. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf a,
huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan.
Ketentuan lain mengenai outsourcing diatur di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata buku ketiga Bab 7A bagian keenam tentang
Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, yaitu:
a. Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian dimana pihak
kesatu pemborong mengikatkan diri untuk membuat suatu karya tertentu
bagi pihak yang lain yang memborongkan dengan menerima bayaran
tertentu dan dimana pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan
diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan
bayaran tertentu.
b. Dalam perjanjian pekerjaan tidak ada hubungan kerja antara perusahaan
pemborong dengan perusahaan yang memborongkan sebab dalam
perjanjian tersebut tidak ada unsur “upah” sebagai salah satu syarat
c. Hubungan antara pemborong dengan yang memborongkan adalah
hubungan perdata murni sehingga jika terjadi perselisihan maka
penyelesaiannya dilaksanakan melalui Pengadilan Negeri.
d. Perjanjian/perikatan yang dibuat secara sah oleh pemborong dengan yang
memborongkan pekerjaan tunduk pada KUH Perdata Pasal 1338 jo Pasal
1320 yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
5. Untuk sahnya suatu perjanjian/perikatan harus dipenuhi 4 syarat yaitu :
a. sepakat mereka yang mengikatkan diri;
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. suatu hal tertentu;
d. suatu sebab yang halal.
6. Dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dapat diperjanjikan bahwa :
a. pemborong hanya untuk melakukan pekerjaan;
b. pemborong juga akan menyediakan bahan-bahannya.
7. Dalam hal pemborong juga harus menyediakan bahan-bahannya dan hasil
pekerjaanya kemudian karena apapun musnah sebelum diserahkan maka
kerugian tersebut dipikul oleh pemborong kecuali yang memborongkan lalai
8. Dalam hal pemborong hanya harus melakukan pekerjaan dan hasil pekerjaan
tersebut musnah maka pemborong hanya bertanggung jawab atas kemusnahan
tersebut sepanjang hal itu terjadi karena kesalahan pemborong.
9. Jika hasil pekerjaan diluar kelalaian dari pihak pemborong, musnah sebelum
penyerahan dilakukan dan tanpa adanya kelalaian dari pihak yang
memborongkan untuk memeriksa dan menyetujui hasil pekerjaan tersebut
maka pemborong tidak berhak atas harga yang dijanjikan kecuali jika barang
itu musnah karena bahan-bahannya ada cacatnya.
10. Jika pekerjaan yang diborongkan dilakukan secara potongan atau ukuran,
maka hasil pekerjaan dapat diperiksa secara sebagian demi sebagian.
11. Perjanjian pemborongan pekerjaan berakhir karena meninggalnya pemborong.
12. Jika pemborong meninggal dunia, maka yang memborongkan pekerjaan wajib
membayar kepada ahli waris pemborong hasil pekerjaan yang telah selesai
dan harga bahan bangunan yang telah diselesaikan menurut perbandingan
dengan harga yang telah diperjanjikan asal hasil pekerjaan itu atau bahan
bangunan tersebut ada manfaatnya bagi pihak yang memborongkan.
13. Pemborong bertanggung jawab atas tindakan pekerja yang diperkerjakan.
14. Pekerja yang memegang barang milik orang lain untuk mengerjakan sesuatu
pada barang itu berhak menahan barang tersebut sampai biaya dan upah
C. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing dalam Pemutusan
Hubungan Kerja
Praktek outsourcing dan Perlindungan Hak-hak Pekerja dalam hal terjadi
pemutusan hubungan kerja, pengusaha dapat diwajibakan oleh P4-D atau P.N.
(Dalam UU No.2 tahun 2004 disebut Pengadilan Hubungan Industrial) untuk
membayar uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK)
dan uang penggantian hak (PH). Untuk UP menurut pasal 156 (2)
Undang-Undang Ketenagakerjaan paling sedikit:
a. Masa kerja kurang dari 1 tahun, ...1 bulan
upah
b. Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun,... 2 bulan upah
c. Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun,...3 bulan upah
d. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, ... 4 bulan upah
e. Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, ...5 bulan upah
f. Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, ... 6 bulan upah
g. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, ... 7 bulan upah
h. Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, ... 8 bulan upah
I Masa kerja 8 tahun atau lebih, ………... 9 bulan upah
a. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, ...2 bulan upah
b. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, ... 3 bulan upah
c. Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, ... 4 bulan upah
d. Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, ... 5 bulan upah
e. Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, ... 6 bulan upah
f. Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, ... 7 bulan upah
g. Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, ... 8 bulan upah
h. Masa kerja 24 tahun atau lebih, ... 10 bulan upah
Untuk Uang Pesangan dan Peganti Hak dalam pasal 156 (4) UUK
meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat di mana
pekerja diterima bekerja.
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan sebesar 15
% dari UP dan UPMK bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB.
Dengan perjanjian kerja dalam bentuk outsourcing, maka pasal 156 (2) dan
156 (3) UUK, akan terkesan hanya menjadi hiasan dalam UUK. Uang Pesangon
dalam pasal 156 (2) maksimum hanya untuk upah 2 bulan kerja. Sebab dalam
1. Uang Pesangon dalam pasal 156 (2) maksimum hanya untuk upah 2 bulan
kerja, sebab lama bekerja bervariasi 6 bulan, 1 tahun dan 2 tahun.
2. UPMK pasal 156 (3) tidak mungkin didapat oleh para pekerja outsourcing,
karena pekerja yang di PHK minimal telah bekerja selama 3 tahun untuk
mendapatkan UPMK 2 bulan upah.
3. UPH seperti biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke
tempat di mana pekerja diterima bekerja, sangat jarang untuk didapat oleh
pekerja; sebab lamaran penerimaan dan seleksi dilakukan di kota tempat
perusahaan. Apalagi jenis pekerjaannya
4. tidak memerlukan keahlian khusus.
BAB IV
JAMSOSTEK BAGI TENAGA KERJA
D. Pengaturan Jamsostek dalam Sistem Outsourcing
Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional, jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan social
untuk menjamin seluruh rakyat agar memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.
Mendapat jaminan sosial merupakan hak setiap warga negera Indonesia.
Jamsostek sebagai sarana dalam pelaksanaan jaminan sosial.
Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja
dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan
yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan
yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari
tua, dan meninggal dunia.
Jamsostek secara khusus diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.
Per-12/Men/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran, Pembayaran Iuran,
Pembayaran Santunan, dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Hubungan kerja outsourcing memiliki karakteristik tersendiri dalam
pelaksanaan pekerjaan, sehingga penerimaan upah tidak teratur. Jika harus
diikutsertakan dalam program Jamsostek seperti pekerja tetap, hal ini akan
membebani perusahaan. Beberapa program seperti jaminan pensiun mensyaratkan
adanya premi yang diambil dari sebagian penghasilan pekerja dan iuran
pengusaha yang dilakuakn tiap bulan secara teratur.
Hal tesebut bukan berarti pekerja kontrak tidak diikutsertakan dalam
Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 mengenai hak terhadap jaminan sosial bagi seluruh
rakyat. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952
yang menganjurkan semua negara memberikan perlindungan minimum kepada
pekerja. Berdasarkan Kepmen No. 150/Men/1999 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas,
Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Sehingga setiap pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja harian lepas,
borongan dan PKWT wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program
jaminan sosial tenaga kerja kepada badan penyelenggar, yaitu PT. Jamsostek.
Dengan mengajukan pendaftran kepesertaan kepada badan penyelenggara dengan
mengisi formulir kepesertaan. Melaporkan perubahan jumlah dan susunan
keluarga pekerja kepada badan penyelenggara.
Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2) Kepmen No. 150/Men/1999 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja meliputi jaminan
kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan
kesehatan.
Penyelenggara program jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja
harian lepas, borongan, dan perjanjian kerja waktu tertentu yang bekerja pada
sektor tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan sifat dan atau jenis pekerjaan
maupun sering terjadinya penggantian tenaga kerja.
Hak pekerja outsourcing terhadap Jamsostek, tidak jelas disebutkan di
dalam perjanjian kerjanya. Pekerja outsourcing pada PT. Jamsostek
mencantumkan hak untuk mendapatkan jaminan dari 4 program jamsostek, yaitu:
1. program jaminan kecelakaan kerja, 2. program jaminan kematian, 3. program
jaminan tabungan hari tua, 4 program jaminan pemeliharaan kesehatan. Namun
yang menjadi pertanyaan tentang hak terhadap program jaminan tabungan hari
tua. Sebab perjanjian kerja outsourcing waktunya paling lama 2 tahun.
Hak upah yang layak dan hak tabungan pensiun upah yang diperoleh oleh
pekerja outsourcing biasanya dalam bentuk Upah Minimum Propinsi (UMP).
Walaupun ada kenaikan upah setiap tahun, hal tersebut dikarenakan adanya
perubahan Peraturan Daerah tentang UMP untuk penyesuaian saja. Kehendak
untuk mendapatkan upah yang layak, jauh dari harapan para pekerja outsourcing.
Untuk pekerja tetap saja belum tentu mendapat upah yang layak. Namun paling
tidak ada kreteria dalam penentuan skala upah, misalnya melalui penjenjangan
upah.
Demikian juga terhadap tabungan pensiun tidak mungkin akan didapatkan
oleh pekerja outsourcing, walaupun mereka selalu memperpanjang perjanjian dari
waktu ke waktu. Oleh karena itu perlu ada ketegasan dalam peraturan
perundang-undangan bahwa setelah kontrak pertama atau kedua berakhir, pekerja
outsourcing harus diangkat menjadi pekerja tetap pada perusahaan tersebut.
Besar iuran bagi kepesertaan tenaga kerja harian lepas, borongan dan
kematian, jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan ditetapkan sesuai
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 sebagai berikut:
1. Jaminan kecelakaan kerja; rincian iurannya bervariasi tergantung pada
kelompok jenis usaha, berkisar 0.24%-1.74% dari upah sebulan;
2. Jaminan hari tua: sebesar 5.70% dari upah sebulan dengan rincian sebesar
3.70% ditanggung pengusaha dan sebesar 2 % ditanggung pekerja;
3. Jaminan kematian: sebesar 0.30% dari upah sebulan;
4. Jaminan pemeliharaan kesehatan: sebesar 6% dari upah sebulan bagi
pekerja yang sudah sebulan bagi pekerja yang sudah berkeluarga dan 3%
dari upah sebulan bagi pekerja yang belum berkeluarga, dengan ketentuan
upah sebulan dna setinggi-tingginya Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah).
Jenis program Jamsostek pekerja borongan pengusaha yang
mempekerjakan pekerja borongan kurang dari tiga bulan secara berturut-turut
wajib mengikutsertakan pekerjanya dalam program jaminan kecelakaan kerja dan
jaminan kematian.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja borongan selama tiga bulan
secara berturut-turut atau lebih wajib mengikutsertakan pekerjanya dalam
program jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan
jaminan pemeliharaan kesehatan. Kewajiban pengusaha ini harus terhitung sejak
pekerja borongan telah bekerja melewati masa kerja tiga bulan berturut-turut. Jadi
dia bekerja, pengusaha wajib mengikutsertakan pekerja tersebut dalam program
jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian.
Setelah bulan ketiga bekerja (memasuki bulan keempat), pengusaha wajib
mengikutsertakan pekerja tersebut dalam program jaminan hari tua dan jaminan
pemeliharaan kesehatan dengan tetap melanjutkan program jaminan kecelakaan
dan jaminan kematian.
Penetapan iuran jamsostek bagi pekerja borongan upah sebulan yang
dipergunakan sebagai dasar penetapan iuran bagi pekerja borongan yang bekerja
kurang dari tiga bulan, ditetapkan sebesar upah satuan borongan satu hari untuk
tujuh jam kerja dikalikan jumlah hari bekerja dalam satu bulan kalender.
Penetapan upah sehari bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja enam hari
dalam satu minggu adalah dengan cara upah bulanan dibagi 25. Penetapan upah
sehari bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja lima hari dalam satu minggu
adalah dengan cara upah bulanan dibagi 21.
Penetapan upah sebulan yang dipergunakan sebagai dasar penetapan iuran
bagi pekerja borongan yang bekerja selama tiga bulan secara berturut-turut atau
lebih adalah jika upah dibayarkan secara borongan atau satuan, upah sebulan
dihitung dari upah rata-rata tiga bulan terakhir.
Penetapan upah sebulan yang dipergunakan sebagai dasar penetapan iuran
bagi pekerja borongan yang bekerja selama tiga bulan secara berturut-turut atau
lebih adalah jika pekerjaan tergantung dari keadaan cuaca, upah sebulan dihitung
Secara substansial hak-hak pekerja kontrak dalam jaminan sosial sama
dengan hak pekerja tetap, yakin tata cara pendaftaran kepesertaan, tata cara
pembayaran iuran, serta tata cara pembayaran jaminan adalah sama yang
membuat beda adalah perbedaan upah pekerja. Upah pekerja kontrak biasanya
lebih kecil dari upah pekerja tetap. Hal ini mempengaruhi jumlah nominal klaim
yang diterima pekerja.
Selain itu beberapa perusahaan telah menyelenggarakan sendiri program
pemeliharaan kesehatan dengan manfaat lebih baik sebagaimana yang diatur
dalam Permenaker No. Per-01/Men/1998 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan
Kesehatan Bagi Tenaga Kerja. Dengan program ini, perusahaan dalam jaminan
pemeliharaan kesehatan kepada badan penyelenggara.
Kewajiban pengusaha berkaitan dengan jaminan kecelakaan kerja adalah
dengan:
1. Melaporkan setiap kecelakaan kerja yang menimpa pekerjaannya
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
dan badan penyelenggara setempat sebagai laporan kecelakaan kerja
tahap I dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24 jam terhitung sejak
terjadinya kecelakaan.
2. Mengirimkan laporan kecelakaan kerja tahap II kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan badan
penyelenggara setempat dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24 jam
setelah tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja berdasarkan surat
bekerja telah berakhir, atau keadaaan cacat sebagian untuk selamanya,
atau keadaan cacat total untuk selama-lamanya, baik fisik maupun
mental, atau meninggal dunia.
3. Melaporkan penyakit yang timbul karena hubungan kerja dalam waktu
tidak lebih dari 2 x 24 jam sejak menerima hasil diagnosis dari dokter
pemeriksa.
4. Mengajukan permintaan pembayaran jaminan kecelakaan kerja
kepada badan penyelenggara.32
Hak keluarga pekerja berkaitan dengan jaminan kematian adalah
mengajukan permintaan jaminan kematian kepada badan penyelenggara dan
peserta program kematian masih berhak mendapatkan perlindungan jaminan
kematian selama enam bulan sejak pekerja yang bersangkutan berhenti bekerja.
F. Kendala Tenaga Kerja Outsourcing Menjadi Peserta Jamsostek
Para pekerja kontrak dalam sistem outsourcing sangat penting untuk
mempelajari dan memahami isi dari kontrak kerja sebelum menandatangani atau
menyetujui kontrak. Jika dalam klausul perjanjian kerja dinyatakan bahwa pekerja
kontrak diikutsertakan dalam program jaminan sosial tenaga kerja, berarti
perusahaan hanya memberi fasilitas sesuai dengan standar jamsostek dan bukan
standar penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan dengan manfaat yang lebih baik.
32
Sehingga, para pekerja kontrak sangat penting untuk mempelajari dan
memahami isi dari kontrak kerja sebelum menandatangani atau menyetujui
kontrak. Jika dalam klausul perjanjian kerja dinyatakan bahwa pekerja kontrak
diikutsertakan dalam program jaminan sosial tenaga kerja, berarti perusahaan
hanya memberi fasilitas sesuai dengan standar jamsostek dan bukan standar
penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan dengan manfaat yang lebih baik.
Klausul bagi pekerja kontrak kemungkinan besar berbeda dengan pekerja
tetap, jika melihat substansi dari keberadaan pekerja kontrak dengan sistem
outsourcing, eksistensi pekerja kontrak dalam sebuah perusahaan adalah
pendatang baru. Logikanya berdasarkan struktur dan skala pengupahan, gaji yang
diterima pekerja kontrak berada posisi paling rendah.
Pekerja kontrak berhenti bekerja setelah masa kontrak habis bagi
perusahaan, nilai loyalitas pekerja kontrak juga sebatas pada pekerjaan yang
dikerjakan pekerja saat itu. Jika investasi prestasi kerja diperhitungkan oleh
perusahaan, pekerja kontrak dapat diangkat sebagai pekerja tetap. Jika
perhitungan perusahaan mengatakan bahwa pengangkatan pekerja tetap dapat
menimbulkan inefesiensi, hubungan kerja akan berakhir.
Kendala tenaga kerja outsourcing menjadi peserta jamsostek adalah jangka
waktu pekerjaan terbatas minimal hanya dikontrak selama 1 tahun bahkan hanya
beberapa bulan saja, sehingga untuk memperoleh menjadi peserta jamsostek tidak
sempat didaftarkan kepada perusahaan penyelenggara jamsostek.
Pekerja kurang memahami hak-haknya sebagai pekerja yang dijamin
pekerjanya karena efisiensi dana perusahaan. Jaminan sosial tenaga kerja hanya
terbatas pada kecelakaan, kesehatan dan jaminan kematian.
Sedangakan jaminan hari tua tidak dapat diberikan karena pekerja sudah
tidak bekerja lagi di perusahaan outsourcing tersebut. Jamsostek untuk jaminan
hari tua dimana tabungan pensiun tidak mungkin akan didapatkan oleh pekerja
outsourcing, walaupun mereka selalu memperpanjang perjanjian dari waktu ke
waktu. Oleh karena itu perlu ada ketegasan dalam peraturan perundang-undangan
bahwa setelah kontrak pertama atau kedua berakhir, pekerja outsourcing harus
diangkat menjadi pekerja tetap pada perusahaan tersebut.
BAB V
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan, kajian dan analisis yang dilakukan pada
Bab I sampai dengan Bab IV, penulis merumuskan beberapa kesimpulan
berdasarkan pertanyaan dalam perumusan masalah sebagai berikut:
1. Pada dasarnya para pihak dapat menentukan dengan bebas mengenai hak
dan kewajiban dalam Pejanjian kerja dengan sistem outsourcing terdapat
keseimbangan hak dan kewajiban bagi pekerja berdasarkan kesepakatan.
Hak dan kewajiban dalam perjanjian kerja dengan sistem outsourcing tidak
boleh kurang dari syarat yang ditentukan oleh perundang-undangan
ketenagakerjaan, Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja Bersama.
Hubungan antara perusahaan pemberi kerja, perusahaan penyedia
pekerja/perusahaan pemborong dan pekerja itu sendiri seharusnya
menciptakan triple alliance (suatu hubungan yang saling membutuhkan).
Namun dalam kenyataannya, sering kali terdapat perselisihan. Hal ini bisa
dihindari jika para pihak menyadari hak dan kewajibannya. Hal yang
paling penting untuk diperhatikan adalah jenis perjanjian apa yang
mengikat para pihak.
2. Perlindungan hukum terhadap pekerja dalam perjanjian kerja dengan
sistem outsourcing diatur dalam pasal 64 sampai dengan pasal 66 UU No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dan untuk perusahaan
outsourcing-nya sendiri telah diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga
tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh
(Kepmen 101/2004). Perusahaan outsourcing atau perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh adalah perusahaan berbadan hukum yang dalam
kegiatan usahanya menyediakan jasa pekerja/buruh untuk dipekerjakan di
perusahaan pemberi pekerjaan.
3. Hubungan kerja outsourcing memiliki karakteristik tersendiri dalam
pelaksanaan pekerjaan, sehingga penerimaan upah tidak teratur, jika harus
diikutsertakan dalam program Jamsostek seperti pekerja tetap, hal ini akan
membebani perusahaan. Beberapa program seperti jaminan pensiun
mensyaratkan adanya premi yang diambil dari sebagian penghasilan
pekerja dan iuran pengusaha yang dilakukan tiap bulan secara teratur. Hal
tesebut bukan berarti pekerja kontrak tidak diikutsertakan dalam
Jamsostek kerena akan bertentangan dengan ketentuan Pasal 28H ayat (3)
dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 mengenai hak terhadap jaminan sosial
bagi seluruh rakyat. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ILO
Nomor 102 Tahun 1952 yang menganjurkan semua negara memberikan
perlindungan minimum kepada pekerja. Berdasarkan Kep No.
150/Men/1999 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga
Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu. Para pekerja kontrak sangat penting untuk mempelajari
dan memahami isi dari kontrak kerja sebelum menandatangani atau
menyetujui kontrak. Jika dalam klausul perjanjian kerja dinyatakan bahwa
berarti perusahaan hanya memberi fasilitas sesuai dengan standar
jamsostek dan bukan standar penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan
dengan manfaat yang lebih baik.
B. Saran
1. Menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam membuat
Perjanjian kerja dengan sistem outsourcing pihak pekerja harus
mengetahui dengan pasti mengenai hak dan kewajiban dengan terlebih
dahulu membaca isi perjanjian tersebut. Agar mengetahui dan menentukan
hak dan kewajiban pekerja diperlukan pendidikan, pengetahuan dan skill,
maka dapat memperkuat posisinya dalam menentukan isi perjanjian kerja
dengan sistem outsourcing.
2. Perlindungan hukum bagi Pekerja dengan sistem outsourcing adalah
dengan perbaikan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
karena ketentuan dalam Pasal 64-66 undang-undang tersebut merugikan
kepentingan pekerja dan aturan tersebut tidak jelas apakah perjanjian kerja
tentang pemborongan atau perjanjian outsourcing, sehingga diperlukan
aturan yang tegas untuk melindungi pekerja dari penerapan sistem
outsourcing di Indonesia.
3. Jamsostek untuk jaminan hari tua dimana tabungan pensiun tidak mungkin
akan didapatkan oleh pekerja outsourcing, walaupun mereka selalu
memperpanjang perjanjian dari waktu ke waktu. Oleh karena itu perlu ada
pertama atau kedua berakhir, pekerja outsourcing harus diangkat menjadi
pekerja tetap pada perusahaan tersebut.
BAB II
PERJANJIAN KERJA DENGAN
SISTEM OUTSOURCING DI INDONESIA
A. Pengertian Outsourcing
Persaingan dalam dunia bisnis antara perusahaan, membuat perusahaan
harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan
jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi
terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan
jasa memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran.
Dalam iklim perusahaan yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk
melakukan efesiensi biaya produksi (cost of production). Salah satu solusinya
adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat
menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang
Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian
beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia
jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi
serta kreteria yang telah disepakati oleh para pihak.23
Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia
diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja
pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perjanjian Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Kepmenakertrans No. 220/Men/X/2004 tentang
Syarat-syarat Penyerahan Sebagai Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan
lain.
Outsourcing atau alih daya merupakan proses pemindahan tanggung jawab
tenaga kerja dari perusahaan induk keperusahaan lain diluar perusahaan induk.
Perusahaan diluar perusahaan induk bias berupa vendor, koperasi ataupun instansi
lain yang diatur dalam suatu kesepakatan tertentu. Outsourcing dalam regulasi
ketenagakerjaan biasa hanya mencakup tenaga kerja pada proses pendukung (non
core business unit) atau secara praktek semua lini kerja bias dialihkan sebagai unit
outsourcing.
24
23
Tunggal. Iman Sjahputra, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, Harvarindo, Jakarta,2009, hlm 308.
24
Ibid, hlm 334.
Pengaturan tentang outsourcing (Alih Daya) ini sendiri masih dianggap
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket kebijakan Iklim Investasi
disebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) sebagai salah satu faktor yang harus
diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk
keseriusan pemerintahan tersebut dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk
membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
Outsourcing tidak dapat dipandang secara jangka pendek saja, dengan
menggunakan outsourcing perusahaan pasti akan mengeluarkan dana lebih
sebagai management fee perusahaan outsourcing. Outsourcing harus di pandang
secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir karyawan, efisiensi dalam
bidang tenaga kerja, organisasi, benefit dan lainnya. Perusahaan dapat focus pada
kompetensi utamanya dalam bisnis, sehingga dapat berkompetisi dalam pasar,
dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan
kepada pihak lain yang lebih professional. Pada pelaksanaannya, pengalihan ini
juga menimbulkan beberapa permasalahan terutama masalah ketenagakerjaan.
B. Dasar Hukum Sistem Outsourcing Di Indonesia
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
memberikan peluang kepada perusahaan untuk dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan di dalam perusahaan, kepada perusahaan lainnya melalui:
1) pemborongan pekerjaan, atau 2) perusahaan penyedia jasa pekerjaan (PPJP).
Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, kedua bentuk kegiatan dimaksudkan
wajib dilaksanakan melalui perjanjian yang dibuat secara tertulis. Sedangkan
perusahaan penerima pekerjaan tersebut harus berbadan hukum, juga terdaftar
pada instansi ketenagakerjaan.
Dalam khasanah hukum Indonesia, pemborongan pekerjaan dan
pemberian jasa, bukan merupakan sesuatu yang baru. KUHPerdata sejak seabad
yang lalu malah lebih arif menyikapi kenyataan ini. KUHPerdata mengakui dan
memberi tempat, bahkan melindungi hak perorangan untuk menjadi pemborong
pekerjaan. Dalam KUHPerdata, pelaksanaan diatur dan dibedakan lebih lanjut,
antara pemborongan pekerjaan yang dilakukan dengan hanya menyediakan jasa
tenaga kerja saja atau dengan menyediakan bahannya. Ketentuan seperti ini tidak
diatur lagi dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Hal ini menunjukkan, bahwa
Undang-Undang Ketenagakerjaan melihat kenyataan sosial yang berkembang di
dalam masyarakat, sehingga tidak membuka lagi peluang kepada perusahaan yang
tidak berbadan hukum untuk melakukan kegiatan pemborongan pekerjaan atau
penyedia jasa pekerja, yang pada umumnya perusahaan menengah kebawah,
kecuali di tempat ini memang benar-benar tidak ada perusahaan dimaksud yang
berbadan hukum.
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain yang berbadan hukum, melalui pemborongan pekerjaan.
Perjanjian pemborongan pekerjaan dilakukan dengan syarat-syarat sebagai
berikut: a) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, b) dilakukan dengan
kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan d) tidak menghambat
proses produksi secara langsung.
Perusahaan yang mendapat borongan pekerjaan, dan menyerahkan lagi
sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain, untuk itu perusahaan pemborongan
yang terakhir boleh tidak berbadan hukum. Penyimpangan bahwa perusahaan
boleh tidak berbadan hukum, juga dapat dilakukan apabila di suatu daerah tidak
terdapat perusahaan pemborong pekerjaan yang berbadan hukum atau yang tidak
memenuhi kualifikasi untuk dapat melakukan pekerjaan (Kepmenakertrans No.
KEP 220/MEN/X/2004).
Untuk mengantisipasi kontra yang terjadi dalam penggunaan outsourcing,
maka dibuat Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
khususnya Bab IX tentang hubungan kerja, yang didalamnya terdapat pasal-pasal
yang terkait langsung dengan outsourcing. Berikut dijabarkan isi dari
undang-undang tersebut:
Pasal 50
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh.
Pasal 51
(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan. (3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.
Pasal 53
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian
kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.
Pasal 54
(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat: a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.
Pasal 55 adalah:
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas
Selanjutnya pada Pasal 56-59 Undang No. 13 Tahun 2003 mengatur
tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ketentuan pasal sebagai berikut
Pasal 56
(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan atas:
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Pasal 57
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 58
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan
batal demi huku m.
Pasal 59
2. Pekerjaan yang diperirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
3. Pekerjaan yang bersifat musiman
4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Pekerjaan untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui (4) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu
tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu palingg lama 1 (satu) tahun.
Pasal 60 – 63, Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) ketentuan
pasal sebagai berikut:
Pasal 60
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa
percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
Pasal 61
(1) Perjanjian kerja berakhir apabila: a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak mendapatkan hak haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 62
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka
waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya
hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi
kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya
jangka waktu perjanjian kerja.
Pasal 63
(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka
pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang
bersangkutan.
(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang
kurangnya memuat keterangan:
a. nama dan alamat pekerja/buruh;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan
Selanjutnya pada Pasal 64-66 (outsourcing) Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ketentuan pasal sebagai berikut:
Pasal 64
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerja kepada perusahaan
lainnya melalui perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakan.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
Pasal 66 Undang No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa Penyediaan jasa
berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai
berikut: Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh; Pasal 1 ayat (15), “Hubungan kerja adalah hubungan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai
unsure pekerjaan, upah, dan perintah.”
Pekerjaan dari perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh digunakan
oleh pemberi kerja melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan
langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Ketentuan Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan dan
putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004, menjadi legitimasi tersendiri bagi
keberadaan outsourcing di Indonesia. Artinya, secara legal formal, sistem kerja
outsourcing memiliki dasar hukum yang kuat untuk diterapkan. Keadaan
demikian yang membuat pengusaha menerapkan sistem ini.
Dmuatnya ketentuan outsourcing pada Undang-undang Tenaga Kerja
dimaksudkan untuk mengundang para investor agar mau berinvestasi di
Indonesia. Penggunaan outsourcing seringkali digunakan sebagai starategi
kompetisi perusahaan untuk fokus pada core business-nya. Namun, pada
prakteknya outsourcing didorong oleh keinginan perusahaan untuk menekan cost
hingga serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan berlipat ganda walupun
seringkali melanggar etika bisnis yaitu bahwa pekerja merupakan stakeholder di
perusahaan yang juga memiliki hak untuk memperoleh keuntungan dari hasil
Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya adalah, ketentuan
bahwa perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi pekerja yang bekerja pada
perusahaan penerima kerja, sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja
dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peraturan perundang-undangan mewajibkan pengusaha untuk membuat
alur kegiatan proses produksi pelaksanaan pekerjaan, dan menetapkan pekerjaan
yang utama dan penunjang, untuk selanjutnya dilaporkan kepada instansi
ketenagakerjaan setempat. Untuk itu perlu disusun suatu daftar pekerjaan yang
menjadi pekerjaan utama dan yang bersifat terus-menerus didalam perusahaan.
Memang untuk pertamakali mungkin hal ini tidak mudah dikerjakan, tetapi
apabila hal ini dapat diselesaikan dengan baik, kedepan akan sangat membantu
perusahaan dalam melakukan penyerahan pekerjaan kepada pihak ketiga
(KEPMENAKERTRANS No. KEP.220/MEN/X/2004).
Agar daftar pekerjaan dimaksud mendapat legalisasi hukum yang kuat,
daftar tersebut dimasukkan kedalam peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian
kerja bersama (PKB). Melalui pengesahan peraturan perusahaan atau pendaftaran
perjanjian kerja bersama, maka instansi ketenagakerjaan telah ikut mengetahui,
adanya bentuk kegiatan dimaksud di dalam perusahaan. Dengan demikian, dapat
menjadi alat bukti yang kuat, apabila kelak terjadi perselisihan.
Untuk membantu kita dalam membuat daftar dimaksud, Undang-Undang
Ketenagakerjaan telah memberi contoh tentang kegiatan jasa penunjang atau
usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi
pekerja (catering), usaha tenaga pengaman (security), usaha jasa penunjang di
pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja
(transportation). Dengan contoh ini dapat dilakukan inventarisasi yang lebih jauh
sesuai dengan sifat keadaan masing-masing perusahaan.
Hal kedua yang harus dicermati, perusahaan harus menjaga untuk tidak
melakukan perjanjian penyerahan pekerjaan, kepada perusahaan yang tidak
berbadan hukum. Menurut hukum, perseroan terbatas dan koperasi yang
merupakan badan hukum dibidang ekonomi. Untuk lebih mengamankan posisi
perusahaan, pekerjaan itu dapat diserahkan kepada koperasi pekerja yang telah
berbadan hukum. Dengan melakukan langkah ini perusahaan akan mendapat
perlindungan ganda dari para pekerja. Pertama, dengan penyerahan sebahagian
pekerjaan kepada koperasi pekerja, mereka tentunya mendukung langkah yang
dilakukan pengusaha, sehingga perusahaan aman dalam melaksanakannya. Kedua,
mereka ikut menikmati kebijakan perusahaan tersebut, dengan memperoleh
kesejahteraan melalui koperasi pekerja, sehingga mereka merasa perlu ikut
mengamankan kegiatan dimaksud.
Hal ketiga yang harus diperhatikan dalam penyerahan sebahagian
pekerjaan kepada perusahaan lain, dalam pembuatan perjanjian wajib dibuat
secara tertulis. Khususnya dalam membuat perjanjian dengan Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja, ditentukan sekurang-kurangnya perjanjian memuat:
a) jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja dari perusahaan penyedia
adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja yang dipekerjakan
perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan,
syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja, dan c) penegasan bahwa Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja
bersedia menerima pekerja dari Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja sebelumnya
untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja
dalam hal terjadi penggantian Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja. Perjanjian
dimaksud, didaftarkan pada instansi ketenagakerjaan di wilayah berlakunya
perjanjian dimaksud (Kepmenakertrans Nomor. KEP.101/MEN/VI/2004).
C. Perjanjian Kerja Dengan Sistem Outsourcing di Indonesia
Bentuk hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan dimakud, diatur
dalam perjanjian kerja secara tertulis antar perusahaan penerima pekerjaan dengan
pekerja yang dipekerjakan, yang dapat didasarkan atas PKWTT atau PKWT,
sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Apabila ketentuan sebagai badan hukum
dan/atau tidak dibuatnya perjanjian secara tertulis tidak dipenuhi, demi hukum
status hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penerima pemborongan
beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan pemberi
pekerjaan. Hal itu, menyebabkan hubungan kerja beralih antara pekerja dengan
perusahaan pemberi kerja, dapat berupa waktu tertentu atau untuk waktu tidak
tertentu, tergantung pada bentuk perjanjian kerjanya semula (Pasal 64 dan 65
Pengusaha yang memasok penyediaan tenaga kerja kepada perusahaan
pemberi kerja untuk melakukan pekerjaan dibawah perintah langsung dari
perusahaan pemberi kerja, disebut dengan perusahaan penyedia jasa pekerja.
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja wajib berbadan hukum dan memiliki izin dari
instansi ketenagakerjaan. Apabila tidak dipenuhi ketentuan sebagai Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja, demi hukum status hubungan kerja antara pekerja dan
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja, beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja
dan perusahaan pemberi pekerjaan.
Pekerja dari Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja tidak boleh digunakan oleh
pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi. Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi
dipersyaratkan: a) adanyan hubungan kerja antara pekerja dan Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja, b) perjanjian kerja dapat berupa PKWT atau PKWTT yang
dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak, c) perlindungan
upah dan kesejateraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi
tanggung jawab Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja, dan d) perjanjian antara
perusahaan pengguna jasa pekerja dan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja, dibuat
secara tertulis sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan
di luar usaha pokok suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: pelayanan
kebersihan, penyediaan makanan bagi pekerja, tenaga pengaman, jasa penunjang
di pertambangan dan perminyakan, serta penyediaan angkutan pekerja.
Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun penyelesaian
perselisihan antara Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja dengan pekerja
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pekerja
yang bekerja pada Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja, juga memperoleh hak yang
sama dengan yang diperjanjikan, mengenai perlindungan upah dan kesejahteraan,
syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dengan pekerja lainnya di
perusahaan pengguna jasa pekerja (Pasal 66 Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan).
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja yang memperoleh pekerjaan dari
pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, kedua belah pihak wajib membuat
perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat: a) jenis pekerjaan yang akan
dilakukan oleh pekerja dari perusahaan penyedia jasa, b) penegasan bahwa dalam
melaksanakan pekerjaan, hubungan kerja yang terjadi adalah antara Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja dengan pekerja yang dipekerjakan Perusahaan Penyedia
Jasa Pekerja, sehingga perlindungan upah dan kesejahteran, syarat-syarat kerja
serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab Perusahaan Penyedia Jasa
Pekerja, dan c) penegasan bahwa Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja, bersedia
jenis-jenis pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal
terjadi penggantian Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja.
Perjanjian dimaksud selanjutnya didaftarkan pada instansi ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota tempat Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja melaksanakan
pekerjaan. Bagi Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja yang melaksanakan pekerjaan
pada perusahaan pemberi kerja yang berada dalam wilayah lebih dari satu
Kabupaten/Kota dalam satu provinsi, pendaftarn dilakukan pada instansi
ketenagakerjaan Provinsi. Apabila Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja
melaksanakan pekerjaan pada perusahaan pemberi kerja yang berada dalam
wilayah lebih dari satu provinsi, pendaftaran dilakukan pada Direktorat Jendral
Pembinaan Hubungan Industrial di Jakarta, pendaftaran dilakukan dengan
melampirkan konsep (draft) perjanjian kerja. Apabila perjanjian itu tidak
dilakukan, instansi ketenagakerjaan akan mencabut izin operasional Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja yang bersangkutan, dengan tetap menanggung hak-hak
pekerja yang bersangkutan (Kepmenakertrans No. KEP. 101/MEN/VI/2004).
Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menetapkan syarat
bahwa, Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Hubungan kerja antara pekerja dan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja;
b. Perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan Perusahaan Penyedia Jasa
Pekerja, adalah PKWT yang memenuhi ketentuan dan/atau PKWTT yang
c. Perlindungan upah dan kesejateraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan
yang timbul menjadi tanggung jawab Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja; dan
d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja dan Perusahaan Penyedia
Jasa Pekerja dibuat secara tertulis dan wajib memuat ketentuan dalam Undang
No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Berdasarkan persyaratan ini tentunya perlu pula diawasi oleh perusahaan
pemberi kerja, agar tidak terjadi pelanggaran hukum oleh Perusahaan Penyedia
Jasa Pekerja, yang dapat mengganggu kelancaran jalannya perusahaan.
Selain itu, perusahaan pemberi kerja harus pula mengawasi bahwa pekerja
yang bekerja pada Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja memperoleh hak yang sama
sesuai dengan perjanjian kerja Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja
Bersama atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul dengan pekerja lainnya di perusahaan pengguna jasa
pekerja. Apabila hal ini tidak dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa, akan
berpotensi menimbulkan perselisihan hak, karena tidak ditaatinya ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perusahaan perlu pula memperhatikan persyaratan tertentu, apabila hendak
melakukan kerja sama dengan perusahaan yang bergerak dibidang penyedia jasa
pekerja. Karena sebelum melakukan perjanjian, perusahaan dimaksud wajib pula
memiliki izin oprasional dari instansi ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota sesuai
domisili Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja. Dengan memiliki izin operasional,
mempunyai anggaran dasar yang memuat kegiatan usaha penyediaan jasa pekerja,
c) SIUP, dan d) wajib ketenagakerjaan yang masih berlaku.
Ketentuan lain yang perlu diperhatikan adalah, perlindungan kerja dan
syarat-syarat kerja di perusahaan penerima kerja. Undang No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan mewajibkan bahwa syarat kerja bagi pekerja yang
bekerja pada perusajaan penerima kerja, sekurang-kurangnya sama dengan
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan
atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Demikian pula, perlu diawasi bentuk hubungan kerja dalam pelaksanaan
pekerjaan dimaksud, apakah telah dilakukan dalam bentuk perjanjian kerja secara
tertulis antara perusahaan penerima pekerjaan dengan pekerja yang
dipekerjakannya, baik berupa PKWT atau PKWTT.
Dalam perjanjian dengan sistem outsourcing menggunakan perjanjian
kerja waktu tertentu. Undang-Undang Ketenagakerjaan memberi ciri-ciri
pekerjaan yang merupakan pekerjaan tertentu yang karena jenis dan sifat atau
kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu pekerjaan yang: a)
sekali selesai atau yang sementara sifatnya, b) diperkirakan penyelesaiannya
dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun, c) bersifat
musiman, atau d) berhubungan dengan produk baru, kegitatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, tidak boleh lebih rendah
daripada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. PKWT
didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu, yang dibentuk untuk paling lama
tiga tahun. Apabila pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT tersebut
dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan, maka PKWT tersebu putus
demi hukum pada saat selesainya pekerjaan. Sementara itu, bagi pengusaha yang
mempekerjakan pekerja berdasarkan PKWT, harus membuat daftr nama pekerja
yang melakukan pekerjaan tambahan.
Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu, harus
dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai. Dalam hal PKWT dibuat
berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu, namun karena kondisi tertentu
pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan
PKWT. Pembaharuan PKWT dapat dilakukan setelah melebihi masa tenggang
waktu 30 hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. Selama tenggang waktu 30
hari itu, tiddak ada hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha. Para pihak
dapat mengatur lain dari ketetuan diatas yang dituangkan dalam perjanjian.
PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan musiman, yaitu pekerjaan yang
pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca, hanya dapat dilakukan untuk
satu jenis pekerjaan pada musim tertentu. PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan
musiman tidak dapat dilakukan pembaharuan. Sedangkan pekerjaan yang
dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan
PKWT sebagai pekerjaan musiman. PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan yang
dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target dimaksud hanya diberlakukan
PKWT dapat pula dilakukan untuk melakukan pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan. PKWT dimaksud hanya dapat dilakukan
untuk jangka waktu paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali
paling lama satu tahun. PKWT dimaksud tidak dapat dilakukan pembaharuan.
PKWT seperti ini, hanya boleh berlaku bagi pekerja yang melakukan pekerjaan di
luar kegiatan atau di luar pekerjaan yang bias dilakukan perusahaan.
Akibat hukum dari pelanggaran ketentuan mengenai PKWT adalah,
apabila:
a. Dibuat tidak dalam bahasa Indonesia dan huruf latin, berubah menjadi PKWT
sejak adanya hubungan kerja;
b. Dibuat tidak memenuhi ketentuan, PKWT berubah menjadi PKWTT sejak
adanya hubungan kerja;
c. Dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru
menyimpang dari ketentuan, berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan
penyimpangan;
d. Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 hari
setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain, berubah
menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut.
Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja yang
berubah hubungan kerja menjadi PKWTT, maka hak-hak pekerja dan prosedur
penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi