PEMILIHAN BAHASA DAN SIKAP BAHASA
DALAM KOMUNIKASI POLITIK OLEH
PARTAI POLITIK LOKAL DI
PEMERINTAHAN ACEH
DISERTASI
RIDWAN HANAFIAH
088107018
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMILIHAN BAHASA DAN SIKAP BAHASA
DALAM KOMUNIKASI POLITIK OLEH
PARTAI POLITIK LOKAL DI
PEMERINTAHAN ACEH
DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Linguistik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
dengan Wibawa Rektor Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H., M.Sc. (CTM), Sp.A. (K) Dipertahankan pada Tanggal 5 November 2011
di Medan, Sumatera Utara
RIDWAN HANAFIAH
088107018
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMILIHAN BAHASA DAN SIKAP BAHASA
DALAM KOMUNIKASI POLITIK OLEH
PARTAI POLITIK LOKAL DI
PEMERINTAHAN ACEH
DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Linguistik
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Telah
Dipertahankan di Hadapan Panitia Ujian Terbuka
Pada Hari : Sabtu
Tanggal
: 5 November 2011
Pukul
: 10.00 WIB
Oleh
Diuji pada Ujian Disertasi Tertutup
Tanggal: 26 September 2011
PANITIA PENGUJI DISERTASI
Ketua : Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D. Universitas Atmajaya Jakarta
Anggota : Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. USU MEDAN
Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP USU MEDAN
Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. USU MEDAN Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd. UNIMED MEDAN
Prof. Subhilhar, M.A., Ph.D. USU MEDAN
Dr. T. Syarfina, M.Hum. BALAI BAHASA
MEDAN
Dengan Surat Keputusan
Rektor Universitas Sumatera Utara
Diuji pada Ujian Disertasi Terbuka (Promosi)
Tanggal : 5 November 2011
PANITIA PENGUJI DISERTASI
Pemimpin Sidang : Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM&H,M.Sc (CTM), Sp.A.(K) (Rektor USU)
Ketua : Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D. Univ. Atmajaya Jakarta
Anggota : Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. USU MEDAN
Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP USU MEDAN
Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. USU MEDAN Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd. UNIMEDMEDAN Prof. Subhilhar, M.A., Ph.D. USU MEDAN
Dr. T. Syarfina, M.Hum. BALAI BAHASA
MEDAN
Dengan Surat Keputusan
Rektor Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN
Judul Disertasi
PEMILIHAN BAHASA DAN SIKAP BAHASA DALAM KOMUNIKASI
POLITIK OLEH PARTAI POLITIK LOKAL DI PEMERINTAHAN ACEH
Dengan ini penulis menyatakan bahwa disertasi ini disusun sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Doktor Linguistik pada Program Studi Linguistik Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis
sendiri.
Ada pun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian
tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah penulis
cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan
ilmiah.
Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi ini
bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu,
penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang
dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, Oktober 2011
Penulis,
Disertasi ini saya persembahkan untuk keluarga, Universitas
Sumatera Utara, masyarakat dan Pemerintahan Aceh, Bangsa dan
Negara Republik Indonesia
Orang tua tercinta dan tersayang
H. Hanafiah Harun
Djuariah Sulaiman
Mertua tercinta
Alm H. M.Thalib Siregar dan Almh. Nurijah Harahap
Istri yang kusayangi Hj. Tetty Sartika Siregar
Anak-anak dan menantuku tercinta
Fazhlah Putri, S.H. dan Drs. Zulkify Nurdin
Winna Hartini S.Sos., MSP dan Drs. Fadzlan Maksum Harahap
Irfan Ananda
Cucuku yang kusayangi Muhammad Hani Musyaffa & Hanazra
ABSTRAK
PEMILIHAN BAHASA DAN SIKAP BAHASA DALAM KOMUNIKASI POLITIK OLEH PARTAI POLITIK LOKAL DI PEMERINTAHAN ACEH, Ridwan Hanafiah, Program S3, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan
Disertasi ini berjudul “Pemilihan Bahasa dan Sikap Bahasa dalam Komunikasi Politik oleh Partai Politik Lokal di Pemerintahan Aceh.” Disertasi ini berdasarkan temuan hasil riset lapangan yang dilakukan di Kabupaten Bireuen dan Kota Langsa. Penelitian ini difokuskan pada pemilihan bahasa dan sikap bahasa oleh partai politik lokal dalam komunikasi politik di Pemerintahan Aceh, dan bagaimana pemilihan bahasa dan sikap bahasa dalam hubungannya dengan kohesi sosial dalam komunikasi politik pengurus partai politik lokal di Pemerintahan Aceh.
Populasi sampel penelitian adalah pengurus partai lokal di Pemerintahan Aceh yang mempunyai wakilnya di DPRK Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen. Dari 6 (enam) partai lokal yang ada, hanya 3 (tiga) partai lokal saja yang menjadi sampel populasi, yaitu Partai Aceh (PA), Partai Bersatu Atjeh (PBA), dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), masing-masing 15 orang dari populasi partai lokal di Kabupaten Bireuen dan Kota Langsa.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiolinguistik dan teori komunikasi politik. Teori sosiolinguistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Bernard Spolsky (2008), yaitu untuk melihat bagaimana pemilihan bahasa dalam komunikasi politik oleh partai politik lokal di Pemerintahan Aceh dan teori komunikasi politik digunakan untuk melihat suatu proses komunikasi dalam aktivitas politik partai politik lokal. Hipotesis penelitian ini adalah hipotesis nol, yaitu tidak ada hubungan antara pemilihan bahasa dan sikap bahasa dengan kohesi sosial.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemilihan bahasa oleh partai politik lokal dalam komunikasi politik di Pemerintahan Aceh memilih bahasa Aceh (BA) (47,36%) dalam rapat internal partai, dalam kampanye politik, dalam interaksi sesama pengurus partai, dalam komunikasi dengan masyarakat umum, dalam membahas strategi politik, dalam hal membahas pembangunan dan pemberdayaan partai, serta dalam komunikasi di DPRK dengan sesama pengurus partai politik lokal, baik dengan partai lokal yang sama ataupun dengan pengurus partai politik lokal yang berbeda. Partai politik lokal yang memilih menggunakan BA/BI (campur kode) dengan posisi BA yang dominan dengan persentase 52,63 % yaitu dalam aktivitas membahas strategi pemberdayaan partai, dalam membahas pemilihan presiden dan wakil presiden RI periode 2009-2014, dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota periode 2011-2016, serta dalam membahas APBD dan dengar pendapat dengan pemerintah.
selanjutnya yang memilih karena disebabkan oleh kebiasaan dan fasih dalam berkomunikasi (15,78%); yang memilih karena puas hati (5,52%); dan, memilih bahasa karena merasa akrab memilih BA dan BA/BI (5,10%). Di dalam sikap bahasa, pengurus partai politik lokal memiliki sikap sangat setuju terhadap BA sebagai identitas suku/etnik, sebagai identitas partai politik lokal, sebagai alat penyampaian gagasan politik, dan sebagai alat komunikasi masyarakat adalah 66,66%. Sikap bahasa partai politik lokal sangat setuju BA dan BI sama kedudukannya dalam partai, BI sebagai identitas bangsa Indonesia, BA dan BI merupakan alat komunikasi politik di Aceh, dan partai politik lokal bersikap setuju BA dapat menyampaikan pesan politik di Aceh, dan BI sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia adalah 33,33%. Dari aspek kohesi sosial, masyarakat yang menyatakan senang adalah 50% dan yang menyatakan sangat senang 50% dalam memilih BA dan BA/BI dengan BA yang dominan.
Hasil nilai koefisiensi pemilihan bahasa adalah -0,676 dan nilai alasan pemilihan bahasa adalah -0,664, nilai sikap bahasa adalah 0,460. Nilai koefiensi pemilihan bahasa, alasan pemilihan bahasa mendekati -1, dan nilai sikap bahasa mendekati 0, sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua variabel tersebut memiliki korelasi koefiensi yang moderat. Dilihat dari rumusan signifikansi, nilai pemilihan bahasa dan alasan pemilihan bahasa dihubungkan dengan nilai kohesi sosial adalah 0,000 sedangkan nilai signifikansi antara sikap bahasa dengan kohesi sosial adalah 0,010.
Dilihat dari perbandingan nilai t-hitung dengan nilai t-tabel adalah t-hitung adalah 2,05 dan nilai tabel adalah 1,70. Hal ini dapat kita artikan bahwa nilai t-hitung > t-tabel ( t-t-hitung 2,05 > t-tabel 1,70 ). Hasil ini dapat menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemilihan bahasa, alasan pemilihan bahasa dengan kohesi sosial karena nilai t-hitung lebih besar daripada nilai t-tabel. Maka dengan demikian, penelitian ini menolak hipotesis nol (H0), dan menerima hipotesis alternatif (Ha) pada taraf � = 0,05 atau 95 %.
Kata Kunci: bahasa Aceh, bahasa Indonesia, partai politik lokal, komunikasi politik,
ABSTRACT
The Language choice and Language Attitude in Political Communication by Local Political Parties in Aceh Administration, Doctoral Program, Postgraduate University of Sumatera Utara
The title of this dissertation is “The Language Choice and Language Attitude of Language in the Political Communication by the Local Political Parties in Aceh Administration.” This dissertation is based on the finding of field reseach conducted in Bireuen District and City of Langsa. This study focused on language choice and language attitude by local political parties in political communication in The Aceh Administration and how language choice and language attitude are related to social cohesion in the political communication among the local political parties in Aceh Administration.
The population of the samples for this study was the officials of local political parties who represent their parties in the Legislative Assembly of the City of Langsa and Bireuen District. Of the six local political parties, only three parties, namely Partai Aceh (PA), Partai Bersatu Atjeh (PBA), and Partai Suara Independent Rakyat Aceh (SIRA), which were employed as the sample population. The samples population is 15 samples from the City of Langsa Legislative Assembly and 15 from Bireuen District Legislative Assembly.
This study employed the theory of sociolinguistics and theory of political communication. The theory of sociolinguistics by Bernard Spolsky (2008) to look at the application of language in the political communication of the officials of local political parties in Aceh Administration while the theory of the political communication was used to look at the process of communication with its implication or consequence on political activity through the choice and attitude of Aceh Administration. The hypothesis of this study, there is no influence of the language and language attitude in the social cohesion.
The choice of language done by the officials of local political parties in political communication is mostly or dominantly based on their being proud and happy to use that language (73.60 %), their habit and fluency to communicate in that language (15.78 %), and their satisfaction (5.52%) and their being closely (5.10 %) by choice BA and BA/BI.In terms of language attitude, the officials of local political parties do agree that Acehnese functions as the ethnic identity, the identity of local political parties, as a medium to express their political ideas, as a medium of inter-community communication (66.66%). The local political parties also agree that Acehnese can spread and deliver their political messages in Aceh, Indonesian as the unifying forces of the people of Indonesia, and feel comfort using Acehnese instead of Indonesian during the party meeting (33.33%). The social cohesion is (50 %) comfortable and strongly comfortable (50 %) by choicing BA and BA/BI with BA at dominant position.
Based on coeficiency, the result of language choice is 0,676 and the reason of language choice is -0,664, whereas language attitude is 0,460. Coeficiency of language choice and reason of language choice is close to -1, and coeficiency of language attitude is close to 0. So, it means that the two variables have moderate correlation. And based on significancy point, the result of language choice and reason of language choice related to social cohesion is 0,000, whereas language attitude is 0,010,
Viewed from the comparison value at t-count with value of t table, t-count is 2,05 and t-table value is 1,70. It can get that the value of t-count and t table (t count 2,05 > t table 1,70). This result showed that there is a significant relation between acclamation language use, cause of acclamation language use by social cohesion t-count since value greater than t table value, and thus, this research refuse hypothesis nol (H0), and received of the alternative hypotheses (Ha) at � 0,05 or 95%.
Keywords: Acehnese, Indonesian, Local Political Party, Political Communication,
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur bagi Allah Subhanahu Wata’ala yang telah
memberi kemudahan dan kemurahan kepada penulis sebagai peneliti, sehingga dapat
menyelesaikan disertasi ini dengan baik.
Disertasi ini berjudul “Pemilihan Bahasa dan Sikap Bahasa dalam
Komunikasi Politik oleh Partai Politik Lokal di Pemerintahan Aceh.” Disertasi ini
membicarakan pemilihan bahasa dan sikap bahasa oleh pengurus parlok dalam
menciptakan kohesi sosial dalam komunikasi politik oleh partai lokal di pemerintahan
Aceh. Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dengan pendekatan
kuantitatif dan kualitatif. Oleh karena itu, peneliti menggunakan kuesioner dan
melakukan wawancara terhadap pengurus parlok di dua lokasi, yaitu Kota Langsa dan
Kabupaten Bireuen.
Penyelesaian disertasi ini telah diusahakan keilmiahannya oleh penulis
sebagai peneliti dengan bantuan materi data yang merupakan data empirik dari
berbagai pihak. Kelemahan atau kesalahannya tetap menjadi tanggung jawab penulis.
Untuk itu, penulis menerima kritik dan saran untuk lebih menyempurnakan disertasi
ini.
Medan, Oktober 2011
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam menempuh perkuliahan dan penyelesaikan disertasi ini, penulis mendapat
bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun material. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada
pihak-pihak berikut ini.
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H., M.Sc. (CTM), Sp.A. (K) sebagai
Rektor, dan para Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana
USU serta Direktur I dan II beserta Staf Akademik dan Administrasinya.
3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. dan Dr. Nurlela, M.Hum. sebagai Ketua dan
Sekretaris Program Studi Doktor Linguistik USU beserta Dosen dan Staf
Administrasinya.
4. Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D. sebagai Promotor serta Prof. Dr. Robert
Sibarani, M.S. dan Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP selaku Co. Promotor yang telah
mengarahkan pola pikir penulis serta membimbing penulis dengan penuh
kecermatan dan kedisiplinan.
5. Dr. Syahron Lubis, M.A. sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya, dan Pembantu
Dekan I, II, dan III (Dr. M. Husnan Lubis, M.A., Drs. Samsul Tarigan, dan Drs.
Yuddi Adrian Muliadi, M.A.) dan Dr. Muhizar Mukhtar, M.S. sebagai Ketua
Departemen Sastra Inggris, beserta teman seprofesi penulis di Departemen Sastra
6. Orang tua penulis, Ayahanda H. Hanafiah Harun dan Ibunda Djuairiah Sulaiman
yang dengan tulus memberikan dukungan semangat dan doa dengan penuh kasih
sayang tanpa ada hentinya.
7. Keluarga penulis, istri tercinta Hj. Tetty Sartika Siregar dengan perhatian dan
kasih sayang, ketiga anak penulis yaitu Fazlah Putri, S.H., Winna Hartini, S.Sos.,
MSP dan Irfan Ananda yang selalu memberikan dukungan dan doa dengan penuh
kasih sayang yang merupakan suatu motivasi positif dalam menyelesaikan kuliah
dan disertasi.
8. Keluarga besar penulis, yaitu Ibrahim Hanafiah, A.Md., Drs. Azhar Hanafiah,
Chadijah Hanafiah, dan Dra. Khuzaimah Hanafiah.
9. Sahabat-sahabat penulis, Abangda H. Syamsul Arifin, S.E., Abangda Zaidan B.S.,
Abangnda dr. H. T. Syaifuddin S., saudaraku H. Yuslin Siregar, Abangda
Manahan Lubis dan saudaraku H. T. Sulaiman yang telah banyak memberikan
dukungan selama ini.
10. Saudaraku Amir Purba, M.A., Ph.D., saudaraku Drs. H. Humaizi, M.A.,
saudaraku Dr. Nasruddin M.N., M.Eng. Sc, Dr. Irawati Khahar, M.Pd, dan
Saudaraku Syaiful Hidayat, S.S. yang telah banyak memberikan dukungan dalam
mendiskusikan masalah bahasa dan komunikasi politik.
11. Sahabat mahasiswa Program Doktor Linguistik, Sekolah Pascasarjana USU
12. Prof. H.T. Amin Ridwan, Ph.D. (Alm.) dan ibu, abangda H.T. Razman Aziz
(Alm) dan Kakanda Dra. Siti Amnah Razman, M.A. yang telah memberikan
semangat untuk belajar, dan kepada semua pihak yang telah membantu dan
berpartisipasi untuk penulis selama perkuliahan dan penyelesaian disertasi ini.
Semoga Allah SWT melimpahkan kemuliaan, memberikan kemurahan rezeki dan
kesehatan kepada kita semua. Amin.
Medan, Oktober 2011
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT ... i
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xx
DAFTAR SINGKATAN ... xxi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Pemerintahan Aceh ... 13
1.3 Pemerintahan Kota Langsa ... 21
1.4 Pemerintahan Kabupaten Bireuen ... 23
1.5 Rumusan Masalah ... 24
1.6 Tujuan Penelitian ... 25
1.7 Manfaat Penelitian ... 26
BAB II KERANGKA TEORETIS DAN KAJIAN PUSTAKA ... 29
2.1 Deskripsi Teoretis ... 29
2.1.1 Konsep Kedwibahasaan/Bilingualisme ... 32
2.1.2 Konsep dan Variabel Penelitian ... 34
2.1.2.1 Pemilihan Bahasa ... 36
2.1.2.2 Sikap Bahasa ... 38
2.1.2.3 Kohesi Sosial ... 42
2.1.3 Teori Komunikasi ... 45
2.1.4 Komunikasi Lisan ... 48
2.1.6 Partai Politik Lokal ... 51
2.2 Hasil Penelitian Terdahulu ... 54
2.3 Kerangka Konseptual ... 58
3.6 Pemeriksaan dan Pengecekan Keabsahan Data ... 86
BAB IV PAPARAN DATA DAN ANALISIS DATA... 88
4.1 Data dan Analisis Data Kuantitatif ... 88
4.1.1 Deskripsi Identitas Responden ... 88
4.1.2 Distribusi Data Responden ... 92
4.2 Data dan Analisis Statistik ... 98
4.2.1 Data dan Analisis Persentase Frekuensi ... 98
4.2.2 Data dan Analisis Deskriptif ... 141
4.3 Uji Persyaratan Analisis… ... 145
4.4 Uji Hipotesis ... 147
4.4.1 Hubungan Variabel Pemilihan Bahasa dengan Variabel Terikat ... 147
4.4.3 Hubungan Kedua Variabel Beban dengan Variabel Terikat 150
4.5 Deskripsi Data Kualitatif ... 152
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 154
5.1 Hasil Penelitian... ... 154
5.1.1 Variabel Bebas Pemilihan Bahasa ... 155
5.1.2 Variabel Bebas Sikap Bahasa ... 156
5.1.3 Variabel Terikat Kohesi Sosial ... 158
5.1.4 Korelasi Variabel Pemilihan Bahasa dengan Variabel Terikat ... 159
5.1.5 Korelasi Variabel Sikap Bahasa dengan Variabel Terikat ... 162
5.1.6 Korelasi Pemilihan Bahasa dan Sikap Bahasa dengan Kohesi Sosial ... 163
5.2 Pembahasan ... 164
5.2.1 Pembahasan Pemilihan Bahasa dan Alasannya ... 170
5.2.1.1 Pemilihan Bahasa dalam Rapat Internal Partai ... 170
5.2.1.2 Pemilihan Bahasa dalam Kampaye Politik pada Pemilu Tahun 2009 ... 171
5.2.1.3 Pemilihan Bahasa di Luar Rapat Resmi dengan Sesama Anggota Partai ... 172
5.2.1.4 Pemilihan Bahasa dalam Interaksi dengan Masyarakat Umum ... 173
5.2.1.5 Pemilihan Bahasa dalam Interaksi Politik Sesama Parlok yang Berbeda ... 174
5.2.1.6 Pemilihan Bahasa dalam Membahas Strategi dan Program Parlok ... 175
5.2.1.7 Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pembangunan dan Pemberdayaan Parlok dalam Masyarakat ... 176
5.2.1.9 Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pemilihan
Anggota DPR-RI/DPD-RI Periode 2009-2014 ... 178 5.2.1.10 Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pemilihan
Anggota DPRA/DPRK Periode 2009-2014 ... 179 5.2.1.11 Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, Walikota/Wakil Walikota, Bupati/Wali Bupati di Pemerintahan
Aceh Periode 2009-2014 ... 180 5.2.1.12 Pemilihan Bahasa dalam Membahas Isu-isu
Nasional NKRI ... 181 5.2.1.13 Pemilihan Bahasa secara Resmi Sesama Parlok
di DPRK ... 182 5.2.1.14 Pemilihan Bahasa secara Resmi di DPRK dengan
Sesama Parlok yang Berbeda ... 183 5.2.1.15 Pemilihan Bahasa dalam Lobi-lobi Politik di DPRK dengan Sesama Parlok yang Berbeda ... 184 5.2.1.16 Pemilihan Bahasa secara Tidak Resmi di DPRK
dengan Sesama Parlok yang Berbeda ... 185 5.2.1.17 Pemilihan Bahasa dalam Membahas Kanun (Perda) Secara Resmi di DPRK ... 186 5.2.1.18 Pemilihan Bahasa dalam Membahas APBD Secara Resmi di DPRK ... 188 5.2.1.19 Pemilihan Bahasa dalam Dengar Pendapat dengan Pemerintah secara Resmi di DPRK ... 189 5.2.2 Pembahasan Sikap Bahasa ... 190 5.2.2.1 Sikap Bahasa terhadap BA sebagai Identitas Suku ... 190 5.2.2.2 Sikap Bahasa terhadap BA sebagai Identitas Parlok .. 191 5.2.2.3 Sikap Bahasa terhadap BA dalam Penyampaian
5.2.2.4 Sikap Bahasa terhadap BA sebagai Alat Komunikasi Masyarakat ... 192 5.2.2.5 Sikap Bahasa terhadap BA dalam Menyampaikan
Pesan Politik ... 192 5.2.2.6 Sikap Bahasa terhadap BI sebagai Alat Komunikasi Masyarkat ... 193 5.2.2.7 Sikap Bahasa terhadap BI sebagai Alat Pemersatu
Masyarakat ... 193 5.2.2.8 Sikap Bahasa terhadap BI Mudah dalam
Menyampaikan Pesan Politik Parlok ... 194 5.2.2.9 Sikap Bahasa terhadap BI Mudah Dipahami
Berbanding BA dalam Rapat Parlok ... 194 5.2.2.10 Sikap Bahasa terhadap BA dan BI Sama
Kedudukannya dalam Parlok ... 195 5.2.2.11 Sikap Bahasa terhadap BI sebagai Identitas Bangsa
Indonesia ... 195 5.2.2.12 Sikap Bahasa terhadap BA dan BI Merupakan Alat
Komunikasi Parlok …………. ... 196 5.2.3 Pembahasan Kohesi Sosial ... 196
5.2.3.1 Kohesi Sosial Pemilihan BA dalam Komunikasi
Politik ... 196 5.2.3.2 Kohesi Sosial Pemilihan BI dalam Komunikasi
Politik ... 197 5.2.3.3 Kohesi Sosial dalam Komunikasi Politik BA/BI
Campur Kode dengan BA yang Dominan… ... 197 5.2.3.4 Kohesi Sosial dalam Komunikasi Politik dengan
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 206
6.1 Simpulan ... 206
6.2 Saran ... 210
DAFTAR PUSTAKA ... 211
Lampiran 1: Tabulasi Data Responden ... 218
Lampiran 2: Deskriptif Statistik Pemilihan Bahasa ... 223
Lampiran 3: Data Uji Validitas dan Reabilitas ... 226
Lampiran 4: Data Statistik Frekuensi dan Deskriptif ... 233
Lampiran 5: Data Uji Normalitas ... 278
Lampiran 6: Lembaran Berita Surat Kabar ... 283
Lampiran 7: Tabel Uji Data Kuantitatif ... 290
Lampiran 8: Hasil Pemilu 2009 di Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen ... 297
Lampiran 9: Kuesioner Hasil Penelitian ... 303
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1: Jumlah Penduduk dan Sex Ratio Pemerintahan Aceh Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010... ... 15 Tabel 1.2: Kepadatan Penduduk Pemerintahan Aceh Menurut Kabupaten/Kota (Jiwa/km²), Tahun 2004-2009... ... 17 Tabel 3.1: Uji Validitas Pemilihan Bahasa... ... 77 Tabel 3.2: Uji Validitas Sikap Bahasa ... 78 Tabel 3.3: Uji Validitas Kohesi Sosial ... 79 Tabel 3.4: Pedoman Tingkat Koefisien Korelasi Antarvariabel ... 86 Tabel 4.1: Nama Partai Responden ... 88 Tabel 4.2: Frekuensi Jabatan Responden dalam Partai ... 89 Tabel 4.3: Frekuensi Ayah Kandung ... 89 Tabel 4.4: Frekuensi Ibu Kandung ... 90 Tabel 4.5: Frekuensi Status Kawin ... 90 Tabel 4.6: FrekuensiSuku Istri ... 91 Tabel 4.7: Frekuensi Bahasa Percakapan ... 91 Tabel 4.8: Pemilihan Bahasa dalam Rapat Internal Partai ... 98 Tabel 4.9: Pemilihan Bahasa dalam Kampanye Politik pada Pemilu Tahun
2009 ... 99 Tabel 4.10: Pemilihan Bahasa dalam Interaksi dengan Sesama Anggota Partai di Luar Rapat Resmi... 100 Tabel 4.11: Pemilihan Bahasa dalam Interaksi dengan Masyarakat Umum
dalam Kapasitas sebagai Pengurus Partai ... 100 Tabel 4.12: Pemilihan Bahasa dalam Interaksi Politik dengan Anggota Parlok
Lain ... 101 Tabel 4.13: Pemilihan Bahasa dalam Interaksi Politik dalam Membahas
Tabel 4.14: Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pembangunan/Pemberdayaan Partai dengan Masyarakat ... 102 Tabel 4.15: Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pemilihan Presiden/Wakil
Presiden Periode 2009-2014 ... 103 Tabel 4.16: Pemilihan Bahasa Membahas Pemilihan Anggota DPR-RI/DPD-RI
Periode 2009-2014 ... 104 Tabel 4.17: Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pemilihan Anggota DPRA/
DPRK Periode 2009-2014 ... 104 Tabel 4.18: Pemilihan Bahasa dalam Membahas Rencana Pemilihan Gubernur/
Wakil Gubernur, Walikota/Wakil Walikota, Bupati/Wakil Bupati
Periode 2009-2014 ... 105 Tabel 4.19: Pemilihan Bahasa dalam Membahas Isu-isu Nasional NKRI ... 106 Tabel 4.20: Pemilihan Bahasa dalam Komunikasi Resmi di DPRK dengan
Sesama Anggota Partai Lokal ... 106 Tabel 4.21: Pemilihan Bahasa dalam Komunikasi Resmi di DPRK Sesama
Parlok dengan Parlok yang Berbeda ... 107 Tabel 4.22: Pemilihan Bahasa dalam Lobi Politik dengan Parlok yang
Berbeda... . 108 Tabel 4.23: Pemilihan Bahasa dalam Komunikasi tidak Resmi di DPRK
Dengan Parlok yang Berbeda ... 108 Tabel 4.24: Pemilihan Bahasa dalam Membahas Perda secara Resmi
di DPRK ... 109 Tabel 4.25: Pemilihan Bahasa dalam Membahas APBD Secara Resmi
di DPRK ... 110 Tabel 4.26: Pemilihan Bahasa pada Dengar Pendapat dengan Pemerintah ... 110 Tabel 4.27: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Rapat Internal Parlok ... 112 Tabel 4.28: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Kampanye Politik pada Pemilu
Luar Rapat Resmi ... 114 Tabel 4.30: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Interaksi dengan Masyarakat
Umum dalam Kapasitas Pengurus Parlok ... 115 Tabel 4.31: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Interaksi Politik dengan Anggota
Parlok lain ... 116 Tabel 4.32: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Membahas Stategi/Program
Parlok ... 117 Tabel 4.33: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pembangunan dan
Pemberdayaan Parlok ... 118 Tabel 4.34: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pemilihan Presiden/
Wakil Presiden Periode 2009-2014 ... 119 Tabel 4.35: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pemilihan Anggota
DPRRI/DPD RI ... 120 Tabel 4.36: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pemilihan Anggota
DPRA/DPRK Periode 2009-2014 ... 121 Tabel 4.37: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pemilihan Gubernur/
Wakil Gubernur, Walikota/Wakil Walikota, Bupati/Wakil Bupati Periode 2009-2014 ... 122 Tabel 4.38: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Membahas Isu-isu Nasional
NKRI ... 123 Tabel 4.39: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Interaksi Resmi di DPRK dengan
Sesama PARLOK ... 124 Tabel 4.40: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Interaksi Resmi di DPRK dengan
Sesama PARLOK yang Berbeda ... 125 Tabel 4.41: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Lobi-lobi Politik di DPRK dengan
Sesama Parlok yang Berbeda ... 126 Tabel 4.42 : Alasan pemilihan Bahasa dalam Komunikasi Tidak Resmi di
Resmi di DPRK ... 128 Tabel 4.44: Alasan Pemilihan Bahasa RAPBD secara Resmi di DPRK ... 129 Tabel 4.45: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Dengar Pendapat dengan
Pemerintah ... 130 Tabel 4.46: Sikap Bahasa sebagai Identitas Suku ... 131 Tabel 4.47: Sikap Bahasa sebagai Identitas Politik Parlok ... 131 Tabel 4.48: Sikap Bahasa dalam Menyampaikan Gagasan Politik Parlok ... 132 Tabel 4.49: Sikap Bahasa sebagai Alat Komunikasi Parlok dalam Masyarakat 133 Tabel 4.50: Sikap Bahasa dalam Menyampaikan Pesan Politik ... 133 Tabel 4.51: Sikap Bahasa (BI) sebagai Alat Komunikasi dalam Masyarakat .... 134 Tabel 4.52: Sikap Bahasa (BI) sebagai Alat Pemersatu Masyarakat ... 135 Tabel 4.53: Sikap Bahasa (BI) Mudah dalam Menyampaikan Pesan Politik
Parlok ... 135 Tabel 4.54: Sikap Bahasa (BI) Mudah Dipahami Daripada (BA) dalam Rapat
Parlok ... 136 Tabel 4.55: Sikap Bahasa (BA dan BI) Sama Kedudukannya dalam Parlok ... 137 Tabel 4.56: Sikap Bahasa (BI) sebagai Identitas Bangsa Indonesia ... 137 Tabel 4.57: Sikap Bahasa (BA dan BI) sebagai Alat Komunikasi Politik ... 138 Tabel 4.58: Kohesi Sosial Pemilihan BA dalam Komunikasi Politik ... 139 Tabel 4.59: Kohesi Sosial Pemilihan BI dalam Komunikasi Politik ... 139 Tabel 4.60: Kohesi Sosial dalam Memilih BA/BI (Campur Kode) dengan BA
Dominan dalam Komunikasi Parlok ... 140 Tabel 4.61: Kohesi Sosial Memilih BA/BI (Campur Kode) dengan BI
DAFTAR GAMBAR
Halaman
DAFTAR SINGKATAN
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
B-1 Bahasa Pertama
B-2 Bahasa Kedua
BA Bahasa Aceh
BA/BI Bahasa Aceh/Bahasa Indonesia dalam Campur Kode
BI Bahasa Indonesia
DPD Dewan Perwakilan Daerah DRPD Dewan Perwakilan Rayat Daerah DPRA Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
DPRK Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota GAM Gerakan Aceh Merdeka
Golkar Golongan Karya
Ho Lambang Hipotesis Nol
Ha Lambang Hipotesis Alternatif KPU Komisi Pemilihan Umum
LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia MoU Memorandum of Understanding MPU Majelis Permusyawaratan Ulama NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia Parlok Partai Politik Lokal
Perda Peraturan Daerah Pemilu Pemilihan Umum
Polri Kepolisian Republik Indonesia
PA Partai Aceh
PBA Partai Bersatu Atjeh PBB Partai Bulan Bintang PDA Partai Daulat Atjeh
PDI-P Partai Demokrasi Indonesia Pembangunan PKS Partai Keadilan Sejahtera
PPP Partai Persatuan Pembangunan PRA Partai Rakyat Aceh
RI Republik Indonesia
SIRA Partai Suara Independen Rakyat Aceh SPSS Statistical Product and Service Solution.
TNI Tentara Nasional Indonesia
UU Undang-Undang
UUD Undang-Undang Dasar
X-1 Lambang Variabel Bebas Pertama X-2 Lambang Variabel Bebas Kedua
ABSTRAK
PEMILIHAN BAHASA DAN SIKAP BAHASA DALAM KOMUNIKASI POLITIK OLEH PARTAI POLITIK LOKAL DI PEMERINTAHAN ACEH, Ridwan Hanafiah, Program S3, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan
Disertasi ini berjudul “Pemilihan Bahasa dan Sikap Bahasa dalam Komunikasi Politik oleh Partai Politik Lokal di Pemerintahan Aceh.” Disertasi ini berdasarkan temuan hasil riset lapangan yang dilakukan di Kabupaten Bireuen dan Kota Langsa. Penelitian ini difokuskan pada pemilihan bahasa dan sikap bahasa oleh partai politik lokal dalam komunikasi politik di Pemerintahan Aceh, dan bagaimana pemilihan bahasa dan sikap bahasa dalam hubungannya dengan kohesi sosial dalam komunikasi politik pengurus partai politik lokal di Pemerintahan Aceh.
Populasi sampel penelitian adalah pengurus partai lokal di Pemerintahan Aceh yang mempunyai wakilnya di DPRK Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen. Dari 6 (enam) partai lokal yang ada, hanya 3 (tiga) partai lokal saja yang menjadi sampel populasi, yaitu Partai Aceh (PA), Partai Bersatu Atjeh (PBA), dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), masing-masing 15 orang dari populasi partai lokal di Kabupaten Bireuen dan Kota Langsa.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiolinguistik dan teori komunikasi politik. Teori sosiolinguistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Bernard Spolsky (2008), yaitu untuk melihat bagaimana pemilihan bahasa dalam komunikasi politik oleh partai politik lokal di Pemerintahan Aceh dan teori komunikasi politik digunakan untuk melihat suatu proses komunikasi dalam aktivitas politik partai politik lokal. Hipotesis penelitian ini adalah hipotesis nol, yaitu tidak ada hubungan antara pemilihan bahasa dan sikap bahasa dengan kohesi sosial.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemilihan bahasa oleh partai politik lokal dalam komunikasi politik di Pemerintahan Aceh memilih bahasa Aceh (BA) (47,36%) dalam rapat internal partai, dalam kampanye politik, dalam interaksi sesama pengurus partai, dalam komunikasi dengan masyarakat umum, dalam membahas strategi politik, dalam hal membahas pembangunan dan pemberdayaan partai, serta dalam komunikasi di DPRK dengan sesama pengurus partai politik lokal, baik dengan partai lokal yang sama ataupun dengan pengurus partai politik lokal yang berbeda. Partai politik lokal yang memilih menggunakan BA/BI (campur kode) dengan posisi BA yang dominan dengan persentase 52,63 % yaitu dalam aktivitas membahas strategi pemberdayaan partai, dalam membahas pemilihan presiden dan wakil presiden RI periode 2009-2014, dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota periode 2011-2016, serta dalam membahas APBD dan dengar pendapat dengan pemerintah.
selanjutnya yang memilih karena disebabkan oleh kebiasaan dan fasih dalam berkomunikasi (15,78%); yang memilih karena puas hati (5,52%); dan, memilih bahasa karena merasa akrab memilih BA dan BA/BI (5,10%). Di dalam sikap bahasa, pengurus partai politik lokal memiliki sikap sangat setuju terhadap BA sebagai identitas suku/etnik, sebagai identitas partai politik lokal, sebagai alat penyampaian gagasan politik, dan sebagai alat komunikasi masyarakat adalah 66,66%. Sikap bahasa partai politik lokal sangat setuju BA dan BI sama kedudukannya dalam partai, BI sebagai identitas bangsa Indonesia, BA dan BI merupakan alat komunikasi politik di Aceh, dan partai politik lokal bersikap setuju BA dapat menyampaikan pesan politik di Aceh, dan BI sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia adalah 33,33%. Dari aspek kohesi sosial, masyarakat yang menyatakan senang adalah 50% dan yang menyatakan sangat senang 50% dalam memilih BA dan BA/BI dengan BA yang dominan.
Hasil nilai koefisiensi pemilihan bahasa adalah -0,676 dan nilai alasan pemilihan bahasa adalah -0,664, nilai sikap bahasa adalah 0,460. Nilai koefiensi pemilihan bahasa, alasan pemilihan bahasa mendekati -1, dan nilai sikap bahasa mendekati 0, sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua variabel tersebut memiliki korelasi koefiensi yang moderat. Dilihat dari rumusan signifikansi, nilai pemilihan bahasa dan alasan pemilihan bahasa dihubungkan dengan nilai kohesi sosial adalah 0,000 sedangkan nilai signifikansi antara sikap bahasa dengan kohesi sosial adalah 0,010.
Dilihat dari perbandingan nilai t-hitung dengan nilai t-tabel adalah t-hitung adalah 2,05 dan nilai tabel adalah 1,70. Hal ini dapat kita artikan bahwa nilai t-hitung > t-tabel ( t-t-hitung 2,05 > t-tabel 1,70 ). Hasil ini dapat menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemilihan bahasa, alasan pemilihan bahasa dengan kohesi sosial karena nilai t-hitung lebih besar daripada nilai t-tabel. Maka dengan demikian, penelitian ini menolak hipotesis nol (H0), dan menerima hipotesis alternatif (Ha) pada taraf � = 0,05 atau 95 %.
Kata Kunci: bahasa Aceh, bahasa Indonesia, partai politik lokal, komunikasi politik,
ABSTRACT
The Language choice and Language Attitude in Political Communication by Local Political Parties in Aceh Administration, Doctoral Program, Postgraduate University of Sumatera Utara
The title of this dissertation is “The Language Choice and Language Attitude of Language in the Political Communication by the Local Political Parties in Aceh Administration.” This dissertation is based on the finding of field reseach conducted in Bireuen District and City of Langsa. This study focused on language choice and language attitude by local political parties in political communication in The Aceh Administration and how language choice and language attitude are related to social cohesion in the political communication among the local political parties in Aceh Administration.
The population of the samples for this study was the officials of local political parties who represent their parties in the Legislative Assembly of the City of Langsa and Bireuen District. Of the six local political parties, only three parties, namely Partai Aceh (PA), Partai Bersatu Atjeh (PBA), and Partai Suara Independent Rakyat Aceh (SIRA), which were employed as the sample population. The samples population is 15 samples from the City of Langsa Legislative Assembly and 15 from Bireuen District Legislative Assembly.
This study employed the theory of sociolinguistics and theory of political communication. The theory of sociolinguistics by Bernard Spolsky (2008) to look at the application of language in the political communication of the officials of local political parties in Aceh Administration while the theory of the political communication was used to look at the process of communication with its implication or consequence on political activity through the choice and attitude of Aceh Administration. The hypothesis of this study, there is no influence of the language and language attitude in the social cohesion.
The choice of language done by the officials of local political parties in political communication is mostly or dominantly based on their being proud and happy to use that language (73.60 %), their habit and fluency to communicate in that language (15.78 %), and their satisfaction (5.52%) and their being closely (5.10 %) by choice BA and BA/BI.In terms of language attitude, the officials of local political parties do agree that Acehnese functions as the ethnic identity, the identity of local political parties, as a medium to express their political ideas, as a medium of inter-community communication (66.66%). The local political parties also agree that Acehnese can spread and deliver their political messages in Aceh, Indonesian as the unifying forces of the people of Indonesia, and feel comfort using Acehnese instead of Indonesian during the party meeting (33.33%). The social cohesion is (50 %) comfortable and strongly comfortable (50 %) by choicing BA and BA/BI with BA at dominant position.
Based on coeficiency, the result of language choice is 0,676 and the reason of language choice is -0,664, whereas language attitude is 0,460. Coeficiency of language choice and reason of language choice is close to -1, and coeficiency of language attitude is close to 0. So, it means that the two variables have moderate correlation. And based on significancy point, the result of language choice and reason of language choice related to social cohesion is 0,000, whereas language attitude is 0,010,
Viewed from the comparison value at t-count with value of t table, t-count is 2,05 and t-table value is 1,70. It can get that the value of t-count and t table (t count 2,05 > t table 1,70). This result showed that there is a significant relation between acclamation language use, cause of acclamation language use by social cohesion t-count since value greater than t table value, and thus, this research refuse hypothesis nol (H0), and received of the alternative hypotheses (Ha) at � 0,05 or 95%.
Keywords: Acehnese, Indonesian, Local Political Party, Political Communication,
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi dan alat interaksi yang dimiliki oleh
manusia dan menjadi ciri khas diri manusia. Manusia yang normal selalu
menggunakan bahasa dalam beraktivitas antarsesama manusia dalam kehidupan
sehari-hari (homo longuens). Begitu besarnya arti bahasa dalam kehidupan manusia
tetapi kita selalu melupakan untuk memikirkan peranan bahasa. Koentjaraningrat
(1967) mengatakan bahwa bahasa merupakan unsur vital dalam kebudayaan.1 Suatu
kebudayaan yang tinggi derajatnya didukung oleh suatu bahasa dengan kesusastraan
yang tinggi, walaupun suatu bahasa pada dasarnya hanya berfungsi sebagai alat
komunikasi praktis antarsesama penuturnya. Levi-Strauss (1963) juga mengatakan
bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan produk atau juga disebut hasil dari
aktivitas manusia. Hubungan bahasa dan kebudayaan ini dapat menjelaskan berbagai
fenomena dan sistem kekerabatan sebagai rangkaian hubungan simbolik.2
Dilihat dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang
dimiliki oleh manusia, bahasa dapat dikaji berdasarkan teori bahasa, baik secara
internal maupun secara eksternal atau bahasa dilihat secara interdisplin. Kajian
1
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Universitas, 1967).
2
internal merujuk pada struktur internal bahasa dalam arti linguistik, sedangkan kajian
eksternal merupakan kajian yang melibatkan hal-hal atau faktor-faktor yang berada di
luar bahasa yang melibatkan lebih dari disiplin ilmu yang dinamakan dengan kajian
sosiolinguistik.
Nababan (1984) mengatakan sosiolinguistik merupakan studi atau
pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat
yang mempelajari atau membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa.3 Di dalam
hal ini, Wijaya (2006) menyimpulkan pendapat berbagai ahli yang menyatakan ada
tiga hubungan antara bahasa dengan struktur masyarakat penuturnya. Ketiga macam
hubungan itu adalah: (i) hubungan struktur bahasa mempengaruhi masyarakat di
mana struktur bahasa menentukan cara-cara yang dipakai penutur bahasa dalam
melaksanakan kegiatan sehari-hari; (ii) hubungan masyarakat mempengaruhi bahasa
di mana budaya masyarakat tampak dalam struktur bahasa yang digunakannya; dan,
(iii) hubungan itu dapat ada tetapi dapat tidak ada sama sekali antara bahasa dan
budaya.4
Di dalam hubungan bahasa dan masyarakat, kebanyakan masyarakat bahasa di
Indonesia menggunakan bahasa daerah atau bahasa etnik mereka sebagai bahasa
pertamanya. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia secara formal mendapat Di dalam tiga konteks sosiolinguistik seperti di atas, penelitian ”Pemilihan
Bahasa dalam Komunikasi Politik oleh Partai Politik Lokal di Pemerintahan Aceh”
sangatlah perlu dilakukan.
3
P.W.A. Nababan, Sosiolingistik: Suatu Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1984), p 2.
4
pendidikan bahasa Indonesia secara resmi di sekolah sejak dari sekolah dasar sampai
ke perguruan tinggi, pendidikan bahasa Indonesia merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kurikulum pendidikan nasional. Walaupun demikian, pendidikan
bahasa daerah juga dipelihara dan dijaga oleh pemerintah melalui kurikulum unsur
lokal menurut daerah masing-masing di semua provinsi di Indonesia. Dengan
demikian, pada umumnya bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua bagi
masyarakat bahasa di Indonesia yang tinggal di pedesaan atau perkampungan di
daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia dan yang menjadi bahasa pertama adalah
bahasa daerah masing-masing.
Sebaliknya, bagi mereka yang lahir dan tinggal di perkotaan dan di kawasan
industri menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dan selanjutnya
mempelajari bahasa daerah mereka sebagai bahasa kedua yang didorong oleh
keinginan memiliki identitas etnik. Maka, dapat dimengerti jika dikatakan bahwa hal
yang lumrah atau biasa bagi masyarakat Indonesia berkedudukan sebagai masyarakat
bahasa yang bilingual.
Indonesia dikenal dengan kekayaan bahasa-bahasa daerah. Kedudukan bahasa
daerah sebagai bahasa suku atau juga disebut bahasa etnik dipelihara oleh negara.
Bahasa daerah itu ditentukan kedudukannya dalam penjelasan UUD 1945 Bab XV
pasal 36 mengamanatkan bahwa, “Di daerah-daerah yang memiliki bahasa sendiri,
yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura
Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.”5
Penyataan bahwa bahasa daerah yang dipelihara rakyatnya dengan baik-baik akan
dihormati oleh negara berarti bahasa daerah tersebut secara sah mempunyai hak hidup
untuk digunakan oleh rakyatnya. Sebaliknya, pernyataan bahwa bahasa daerah
tersebut akan dipelihara juga oleh negara mengisyaratkan bahwa negara berkewajiban
melestarikan bahasa daerah dengan mengupayakan pembinaan dan
pengembangannya.6
Secara politik, bahasa daerah adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa
perhubungan intradaerah atau intramasyarakat di samping bahasa Indonesia, selain itu
juga dipakai sebagai sarana pendukung sastra serta budaya daerah atau masyarakat
etnik di wilayah Republik Indonesia.
Dengan demikian, bahasa daerah pada masing-masing daerah
berfungsi sebagai alat komunikasi para penutur bahasa daerah tersebut
masing-masing, untuk memperkaya bahasa nasional dan sebagai pendukung nilai-nilai
budaya nasional.
7
5
UUD 1945: Naskah Asli dan Perubahannya (Jakarta: Pustaka Pergaulan).
Pernyataan ini memberi isyarat bahwa bahasa
daerah dan bahasa Indonesia digunakan dalam komunikasi masyarakat. Hal ini
diperkuat oleh fungsi bahasa daerah sebagai (i) lambang kebanggaan daerah; (ii)
lambang identitas daerah; dan, (iii) alat perhubungan di dalam keluarga dan
masyarakat daerah. Di samping itu, dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia,
bahasa daerah berfungsi sebagai (i) pendukung bahasa nasional; (ii) bahasa pengantar
6
Hasan Alwi. ”Pelestarian Bahasa Daerah dalam Rangka Pembinaan Bahasa Indonesia.” Makalah Seminar Nasional VII Bahasa dan Sastra Indonesia, Medan, 7-9 Juli 1977, p 49.
7
di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar
pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain; dan, (iii) alat pengembangan
serta pendukung kebudayaan daerah.8
Bahasa daerah, di satu sisi memberikan hak hidup dalam sistem pendidikan
nasional tetapi di sisi lain menimbulkan kekhawatiran persepsi generasi muda
terhadap bahasa daerahnya. Hal ini disebabkan bahasa daerah hanya digunakan di
tingkat sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk tujuan
memperlancar pengajaran bahasa Indonesia, sehingga berkonotasi langsung terhadap
ketidakperluan penggunaan bahasa daerah di tempat yang penduduknya lancar
berbahasa Indonesia.
Dengan demikian, negara menjamin eksistensi
bahasa daerah dan bahasa Indonesia sehingga masyarakat Indonesia memiliki peluang
yang besar untuk menjadi bilingual atau multilingual.
Mahsun (2000) memandang persoalan pemilihan bahasa daerah di sekolah
secara psikologis telah membentuk persepsi peserta didik akan kurang pentingnya
bahasa dan kultur yang mereka miliki yang terekam dalam bahasa ibu mereka dan
secara tidak langsung membentuk pola pikir negatif terhadap bahasa ibunya yang
dapat mengurangi kebanggaan terhadap bahasa dan kultur etniknya.9
8
Mahsun, “Bahasa Daerah sebagai Sarana Peningkatan Pemahaman Kondisi Kebhinnekaan dalam Ketunggalan Masyarakat Indonesia: Ke Arah Pemikiran dalam Mereposisi Fungsi Bahasa Daerah,” dalam Hasan Alwi dan Dendy Sugono (ed.), Politik Bahasa (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2000), p 40.
Persepsi ini
tidak boleh dibiarkan terus-menerus namun diperlukan reorientasi terhadap
perundang-undangan sebagai landasan hak hidup bahasa daerah. Persepsi yang
9
merugikan perkembangan bahasa daerah ini menjadi daya tarik peneliti untuk
menempatkan bahasa Aceh sebagai bagian integral bahasa daerah di Indonesia.
Pernyataan bahwa bahasa daerah itu dipelihara oleh rakyatnya dan dipelihara
oleh negara berarti bahasa daerah itu memiliki peranan yang penting dalam sistem
komunikasi etnik. Komunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dilindungi oleh
UUD 1945 dan tentunya dilindungi oleh negara. Negara memiliki kewajiban
melindungi dan melestarikan bahasa daerah itu. Kondisi ini menempatkan bahasa dan
politik sebagai satu kesatuan. Menurut Spolsky (2008), “Language is regularly used
in the exercise of political power.”10 Bahasa secara teratur menjalankan kekuasaan politik. Bahkan, Spolsky menyatakan bahwa, “There are more subtle uses of
language in politics. The use of a regional or a social dialect by a political leader is often a claim to a specialized ethnic identity.”11
10
Bernard Spolsky, Sociolinguistics (Oxford: Oxford University Press, 2008), p 58.
Bahasa digunakan secara halus dalam
politik. Hal itu diperlihatkan dalam dialek sosial seorang pemimpin politik yang
secara tegas memberikan klaim identitas etnis khusus kekuasaan politik. Salah satu
bahasa daerah (etnik) yang digunakan dalam komunikasi politik di Indonesia adalah
bahasa Aceh (selanjutnya disebut dengan BA). BA digunakan oleh masyarakat Aceh
yang menetap di Pemerintahan Aceh, khususnya penduduk yang tinggal di Kota
Langsa dan Kabupaten Bireuen. Kota Langsa merupakan kota yang berpenduduk
heterogen yang terdiri dari suku Aceh, suku Jawa, suku Melayu, suku Minang, suku
Karo, dan suku Mandailing. Kelompok masyarakat yang menjadi penduduk Kota
11
Langsa hidup membaur satu sama lainnya dalam aktivitas sehari-hari menurut profesi
masing-masing. Di dalam pembauran ini mereka memilih menggunakan bahasa
Indonesia (selanjutnya disebutkan dengan BI) dan bahasa campuran antara BI dengan
bahasa daerah (alih kode/campur kode) sebagai bahasa komunikasi berinteraksi
antara satu suku dengan suku lainnya dan dalam kehidupan bermasyarakat telah
terjadi persentuhan sosial antara satu suku dengan suku lainnya. Sebaliknya,
Kabupaten Bireuen memiliki profil yang berbeda dengan Kota Langsa, karena
penduduk Kabupaten Bireuen adalah kabupaten lebih homogen jika kita bandingkan
dengan penduduk Kota Langsa. Di dalam kehomogenan ini, peneliti berasumsi bahwa
masyarakat Bireuen memiliki kecendrungan menggunakan BA sebagai bahasa ibu
mereka.
Selain beberapa hal yang telah disebutkan terdahulu, ada suatu kondisi yang
memosisikan BA menjadi penting dalam sistem komunikasi di Aceh, terutama dalam
komunikasi politik. Hal ini terjadi sebelum adanya partai lokal di Aceh dan bahkan
sebelum MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Masyarakat Aceh pada saat itu
menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari, terutama dalam
lingkungan pendidikan dan perkantoran. Bahkan, pengadilan umum dan pengadilan
agama terpaksa menggunakan penerjemah BA ke dalam bentuk BI karena masyarakat
Aceh yang berperkara tidak fasih atau tidak mau memilih menggunakan BI dalam
komunikasinya. Hal ini menandakan bahwa BI menjadi bahasa resmi dalam
komunikasi formal/resmi. Dengan kata lain, bahwa BA bukan sebagai bahasa resmi
pemerintah dalam wilayah hukum NKRI. Faktor penting lain adalah kondisi
kebahasaan ini disebabkan Aceh pada masa konflik antara Pemerintah RI dengan
pihak GAM antara tahun 1980 hingga tahun 2004. Oleh karena itu, Aceh pada masa
itu dikawal dan dijaga oleh anggota TNI dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut dan
anggota Polri yaitu Polisi dan Brimob yang ditugaskan untuk menjaga keamanan di
Aceh. Di dalam aspek kebahasaan, konflik ini memunculkan pilihan bahasa yang
dimengerti oleh kedua belah pihak yang bertikai. Akibatnya, masyarakat menguasai
dua bahasa untuk menghindarkan kecurigaan dan tuduhan berpihak pada salah satu
pihak yang berkonflik. Caranya, bila bertemu dengan TNI/Polri maka masyarakat
Aceh berkomunikasi dalam BI sedangkan bila bertemu dengan GAM atau anggota
masyarakat, maka masyarakat Aceh berkomunikasi dalam BA. Dari aspek budaya,
Tim Peneliti LIPI menyimpulkan bahwa konflik di Aceh tersebut berdampak
hilangnya identitas asli Aceh pada masa Orde Baru.12
Secara kemasyarakatan, anggota TNI dan POLRI boleh dikatakan kesulitan
atau bahkan sama sekali tidak memahami bahasa Aceh atau bahasa-bahasa daerah
Aceh. Jadi, bukan karena mereka tidak mau berbahasa Aceh sehingga tetap memilih
menggunakan BI dalam berkomunikasi dengan masyarakat Aceh. Di samping
anggota TNI dan Polri tidak memahami BA, pemilihan BI oleh mereka sebagai aparat
negara dalam melaksanakan tugas negara di wilayah konflik. Dalam situasi dan
kondisi ini, terpaksa masyarakat yang beradaptasi menggunakan BI dalam
12
J. Anto dan Pemilianna Pardede, Meretas Jurnalisme Damai di Aceh: Kisah Reintegrasi Damai dari
berkomunikasi dengan aparat pemerintah, terutama TNI dan Polri. Kondisi tersebut
berlangsung dalam waktu yang sangat lama, yaitu antara 20 tahun sampai dengan 30
tahun atau dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2005. Pada masa itu, mulai pada
tingkat anak-anak, remaja, pemuda, dan orang tua pun sudah mulai memilih
menggunakan BI yang kurang sempurna dari segi ucapan dan susunan kata dalam
berkomunikasi. Kondisi kebahasaan seperti ini, semakin memperkuat kemampuan
anak-anak, remaja, dan pemuda dalam pembelajaran BI di tingkat sekolah dasar dan
sekolah menengah sehingga tingkat keterampilan berbahasa anak-anak, remaja, dan
pemuda Aceh dalam menggunakan BI menjadi lebih baik. Akan tetapi, setelah
penandatangan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 dan setelah lahirnya partai
politik lokal di Aceh pada Pemilu Legislatif 2009, maka muncullah suatu fenomena
baru bagi masyarakat Aceh dalam berkomunikasi, yaitu memilih menggunakan BA
hampir pada semua situasi dan kesempatan. Di dalam situasi ini juga peneliti
berasumsi bahwa pemilihan BA lebih dominan daripada BI, atau BA dan BI dipilih
secara campur kode atau alih kode dalam komunikasi politik oleh partai politik lokal
(selanjutnya disebut dengan parlok) dalam aktivitas mereka, baik secara internal
maupun eksternal.
Fenomena penggunaan bahasa dari BI ke BA menjadi realitas kebahasaan di
Aceh. Asumsi peneliti bahwa masyarakat Aceh pasca-MoU Helsinki lebih
mengutamakan memilih sistem komunikasi dalam BA dalam kehidupan sehari-hari
dan menggantikan posisi BI dan BI/BA (campur kode) dengan posisi BI yang pernah
mencoba untuk menjelaskan pemilihan bahasa yang digunakan dan memberikan
alasan mengapa parlok memilih menggunakan BA dalam berkomunikasi baik secra
internal dan eksternal. Selain itu penelitian ini juga mendeskripsikan sikap bahasa
serta kohesi sosial terhadap pemilihan BA oleh parlok dalam komunikasi lisan
menggunakan bahasa Aceh (BA), bahasa Indonesia (BI), atau memilih menggunakan
BA dan BI (code mixing) atau perpindahan kode (code switching) Apakah ada
hubungan yang signifikan pemilihan bahasa, sikap bahasa dengan kohesi sosial
dalam komunikasi politik parlok di Pemerintahan Aceh? Jawaban kedua pertanyaan
ini dideskripsikan dengan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif
dari kondisi kebahasaan masyarakat Aceh, terutama masyarakat yang heterogen
bertempat tinggal di Kota Langsa dan masyarakat yang homogen bertempat tinggal di
Kabupaten Bireuen.
Sistem komunikasi politik yang menjadi fokus penelitian ini bersifat internal
dan eksternal. Komunikasi politik secara internal dalam penelitian ini adalah
pemilihan bahasa dalam komunikasi politik oleh parlok dalam aktivitas politik di
lingkungan masing-masing parlok. Sedangkan secara eksternal adalah pemilihan
bahasa yang dipakai oleh parlok dalam berkomunikasi dengan parlok lainnya. Parlok
pada Pemilu Legislatif 2009 di Aceh adalah: (i) Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS);
(ii) Partai Daulat Atjeh (PDA); (iii) Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA);
(iv). Partai Rakyat Aceh (PRA); (v) Partai Bersatu Atjeh (PBA); dan, (6) Partai Aceh
Sebaliknya, yang dimaksudkan dengan informal adalah suatu komunikasi
politik pada tataran tidak resmi, misalnya dalam komunikasi lisan secara santai, tidak
resmi, pembicaraan komunikasi personal ataupun antara sesama pengurus partai
dalam situasi tidak resmi, baik di lingkungan kantor partai maupun di tempat lainnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan situasi formal adalah suatu situasi komunikasi
yang terjadi secara internal dan eksternal parlok dan juga dalam komunikasi politik
antara satu parlok dengan parlok lainnya untuk keperluan organisasi partai. Hal
tersebut dapat terjadi dalam pertemuan-pertemuan atau rapat resmi atau pertemuan
resmi partai di DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten /Kota).
Berdasarkan penjelasan kondisi di atas maka yang menjadi latar belakang
dalam penelitian ini adalah adanya suatu kondisi bahwa sebelum era damai di
Pemerintahan Aceh pada masa Orde Baru yaitu pada era 1980-an dan pada awal era
reformasi tahun 1999 sampai dengan tahun 2004 kondisi pemilihan bahasa lebih
memihak kepada BI dan BI/BA dalam bentuk tukar kode dan ganti kode (code
swiching and code mixing) dan bahkan dalam banyak situasi masyarakat Aceh pada
waktu itu dengan terpaksa harus memilih menggunakan BI walaupun dengan BI yang
tidak fasih atau jauh dari kurang sempurna. Hal ini terjadi karena pada masa itu
masyarakat Aceh diawasi atau dipantau dan dijaga oleh ABRI, Polisi, Brimob, karena
daerah Aceh berada dalam situasi konflik. Anggota militer/TNI, Polisi dan Brimob
dalam berkomunikasi dengan masyarakat hanya menggunakan BI dikarenakan
mereka tidak mampu berbahasa Aceh dan sekaligus mereka menunjukkan identitas
memilih BI sebagai bahasa komunikasi, mereka (tentara, polisi, dan brimob)
menganggap bahwa masyarakat tersebut tidak setia kepada NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia). Di dalam situasi demikian, masyarakat dengan terpaksa harus
memilih menggunakan BI, khususnya dalam komunikasi mereka ataupun
berkomunikasi sesama anggota masyarakat dihadapan para tentara, polisi, dan
brimob. Hal ini berakibat sering terjadi kesalahpahaman serta berbeda pengertian dan
pemahaman arti atau makna dalam pemilihan penggunaan BI di antara alat negara
tersebut dengan masyarakat Aceh pada waktu itu. Akan tetapi, hal yang demikian
tidak terjadi lagi setelah penandatanganan MoU perjanjian damai antara GAM
(Gerakan Aceh Merdeka) dengan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki
(Finlandia) pada tanggal 15 Agustus 2005. Pasca MoU tersebut mengurangi situasi
konflik di Aceh, di mana masyarakat kembali bebas berkomunikasi dalam BA,
walaupun BI juga masih digunakan secara campur kode atas keinginan masyarakat itu
sendiri.
Di samping hal yang demikian, kelahiran parlok ada hubungannya dengan
perjuangan masyarakat Aceh yang secara historis erat kaitannya dengan perjanjian
Helsinki pada 15 Agustus 2005. Bahkan, pengurus parlok Partai Aceh (selanjutnya
disebutkan PA) terdiri dari anggota-anggota yang terdaftar dalam GAM ditambah
sebagian dari orang-orang pergerakan yang masa itu mendirikan parlok Suara
Independen Rakyat Aceh (selanjutnya disebut SIRA) dan sebagian masyarakat yang
memiliki nuansa politik mendirikan parlok lainnya dengan jumlah 6 (enam) parlok.
yang berstatus kantor pusat partai atau DPP (Dewan Pimpinan Pusat) berada di
Jakarta. Pada waktu itu, partai nasional memilih menggunakan BI dalam
berkomunikasi dan menggunakan BA hanya sebagai pelengkap BI. Bahkan, juru
kampanye pada masa itu didatangkan dari Dewan Pengurus Pusat atau juru kampanye
dari tokoh-tokoh pendukung kampanye memilih lagu-lagu dalam BI bukan memilih
menggunakan BA atau kesenian Aceh. Perubahan yang menarik untuk diteliti pasca
lahirnya parlok di Aceh adalah indikasi parlok lebih cendrung memilih menggunakan
bahasa daerah yaitu BA serta kesenian Aceh dalam berkomunikasi, baik sesama
mereka ataupun dengan masyarakat umum. Selain itu, adanya gejala pemilihan BA
lebih dominan berbanding BI di tingkat eksekutif Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten/Kota di Pemerintahan Aceh. Berdasarkan pengamatan peneliti sejak tahun
2006, ada suatu fenomana baru yang terjadi terhadap pemilihan bahasa dan sikap
bahasa pasca lahirnya parlok di Pemerintahan Aceh dibandingkan dengan masa-masa
kekuasaan partai nasional atau pada masa-masa terjadinya konflik antara GAM
dengan Pemerintahan RI sebelum tahun 2005.
1.2Pemerintahan Aceh
Daerah Aceh yang terletak di bagian paling barat Republik Indonesia
memiliki posisi strategis sebagai pintu masuk jalur perdagangan dan kebudayaan
yang menghubungkan Timur dengan Barat. Secara geografis, Pemerintahan Aceh
terletak antara 2º-6º Lintang Utara dan 95º-98º Lintang Selatan dengan ketinggian
dengan daerah melingkupi 119 pulau, 35 gunung, dan 73 sungai.13 Secara
administratif, daerah Aceh mempunyai batas-batas sebelah utara berbatasan dengan
Selat Malaka; sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara; sebelah
Timur berbatasan dengan Selat Malaka; dan, sebelah Barat berbatasan dengan
Samudera Indonesia.14
Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum
yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.15
Pemerintahan Aceh memiliki 13 suku sebagai penduduk asli, yaitu:
lama menetap di Aceh. Masing-masing suku memiliki bahasa sesuai dengan nama
sukunya. Populasi suku-suku bangsa ini, menurut sensus penduduk tahun 2010,
antara lain menunjukkan suku Aceh menjadi penduduk mayoritas di Pemerintahan
Aceh. Komposisi penduduk Aceh tersebut adal
13
Aceh dalam Angka: Aceh in Figures 2006 (Banda Aceh: Badan Pusat Statistik dan Badan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah, 2006), pp 3-4.
14
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 3.
15
Tabel 1.1: Jumlah Penduduk dan Sex Ratio Pemerintahan Aceh Hasil Sensus
Berdasarkan tabel 1.1 dapat diketahui bahwa kabupaten/kota yang paling
banyak penduduknya adalah Kabupaten Aceh Utara. Akan tetapi, Kota Langsa dan
Kabupaten Bieruen yang menjadi lokasi penelitian termasuk wilayah yang banyak
penduduknya. Kota Langsa berpenduduk 148.904 jiwa menjadi peringkat ketiga kota
terbanyak penduduknya di Pemerintahan Aceh dan Kabupaten Bieruen berpenduduk
389.024 jiwa menjadi peringkat kedua kabupaten terbanyak penduduknya di
Pemerintahan Aceh.
Ditinjau dari tingkat kepadatan penduduk, Kota Banda Aceh menjadi kota
terpadat di Pemerintahan Aceh. Tingkat kepadatan penduduk di Kota Banda Aceh
adalah 3.459 jiwa/km². Kota Langsa menduduki posisi terpadat ketiga setelah Kota
Lhokseumawe. Tingkat kepadatan penduduk di Kota Langsa adalah 535 jiwa/km².
Akan tetapi, Kabupaten Bireuen tercatat sebagai kabupaten terpadat di Pemerintahan
Aceh dengan tingkat kepadatan penduduk 189 jiwa/km². Dengan demikian, Kota
Langsa dan Kabupaten Bireuen yang dijadikan lokasi penelitian ini adalah
kota/kabupaten yang berpenduduk signifikan dari aspek kuantitas dalam
Tabel 1.2: Kepadatan Penduduk Pemerintahan Aceh Menurut Kabupaten/Kota
Aceh pada awal kemerdekaan Indonesia berkedudukan sebagai Keresidenan
dalam Provinsi Sumatera, dengan residennya yang pertama T. Nyak Arif dan wakil
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Sumatera berada dalam
Provinsi Sumatera Utara yang meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur, dan
Tapanuli. Undang-undang ini membagi Provinsi Sumatera menjadi 3 provinsi, yaitu
Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Keresidenan Aceh menjadi
provinsi setelah keluarnya peraturan Wakil-wakil Perdana Menteri pengganti
peraturan pemerintah Nomor 8/Des.WKPM tahun 1949 yang membagi Provinsi
Sumatera Utara menjadi dua provinsi, yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi Tapanuli
Sumatera Timur sejak 1 Januari 1950, dengan Tgk. M. Daud Beureueh sebagai
Gubernur Aceh.16
Pembentukan Provinsi Aceh pada masa PDRI (Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia) mengalami masalah legalitas. Hal ini menimbulkan kesulitan
pemerintah RI karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 22/1948 dan
mempersulit usaha pemerintah merealisasikan semua hasil yang dicapai dalam
Konperensi Meja Bundar. Oleh karena itu, diadakan perundingan-perundingan
akhirnya dicapai kesepakatan bahwa Aceh tetap sebagai keresidenan di bawah
Provinsi Sumatera Utara. Hal ini menimbulkan mosi negatif dari Pemerintah Daerah
dan DPR Aceh terhadap pemerintah pusat yang menginginkan Aceh tetap diberi
status otonomi sebagai provinsi. Bahkan, dampak dari penggabungan kembali
16
Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan
menimbulkan peristiwa pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia)
di Aceh yang dipimpin oleh Tgk. M. Daud Beureueh.17
Akhirnya, setelah melalui perundingan-perundingan maka keluar
Undang-Undang Nomor 24/1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh yang
terpisah dari Provinsi Sumatera Utara. Gubernur pertama Provinsi Aceh adalah Ali
Hasjmi yang menjalankan roda pemerintahan sejak 27 Januari 1957. Gejolak politik
tidak mengalami perubahan yang signifikan di Aceh. Maka, berdasarkan keputusan
Perdana Menteri Nomor 1/MISSI/1959 dan disahkan dengan Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1965 tanggal 26 Mei 1959 Provinsi Aceh diberi status “Daerah Istimewa”.
Dengan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang
agama, adat dan pendidikan.18 Status ini mengalami penyempurnaan lagi dengan
keluarnya Undang-Undang Nomor 18/2001 yang meningkatkan status keistimewaan
Aceh menjadi daerah otonomi khusus dengan nama Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.19
Sejak pengakuan pemerintah RI terhadap otonomi Aceh maka sistem
pemerintahan Aceh mengalami penyempurnaan terus-menerus sesuai dengan ciri
khas keislamannya. Hal ini menjadi kenyataan setelah keluar undang-undang tentang
penyelenggaraan keistimewaan Aceh. Di dalam undang-undang ini tercantum pasal
17
Ibid, p 186.
18
Aceh dalam Angka, ibid, p lv.
19
yang berbunyi, “Penyelenggaraan kehidupan beragama di daerah diwujudkan dalam
bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat.”20
Pelaksanaan syariat Islam menjadi ciri keistimewaan Aceh mengalami
penyempurnaan kembali dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 11/2006 tentang
Pemerintah Aceh. Di dalam undang-undang ini, penamaan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam berubah menjadi Pemerintahan Daerah Aceh yang disingkat Pemerintah
Aceh. Di dalam undang-undang ini tercantum pasal keistemawan Aceh sebagai
daerah berbasis agama Islam dalam pasal yang berbunyi, “Pembagian urusan
pemerintahan yang berkaitan dengan syari’at Islam antara Pemerintah Aceh dan
pemerintah kabupaten/kota diatur dengan Qanun Aceh.”21
Di dalam kehidupan sehari-hari, pengaruh agama dan kebudayaan Islam
sangat besar di Aceh sehingga daerah ini mendapat julukan “Seuramo Mekkah”
(Serambi Mekah).22 Hal ini didukung oleh komposisi agama di Aceh dengan agama
Islam (97,6%), Kristen (1,7%), Budha (0,55%), dan Hindu (0,08%).23
20
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh, Pasal 4 Ayat 1.
Oleh karena
itu, segala aspek kehidupan di daerah Aceh harus didasarkan pada syariat Islam. Hal
ini tercermin dalam semboyan kehidupan bermasyarakat yang telah menjadi
pegangan umum sejak lama di Aceh, “Adat bak Po Teumeureuhom; hukom bak Syiah
21
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentangPemerintahan Aceh, Pasal 13
Ayat (1).
22
Menuju Aceh Baru Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: Lembaga Informasi Nasional, 2001),
p 2.
23