• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum waris Islam : Studi di Kelurahan Kapuk Cengkareng Jakarta Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum waris Islam : Studi di Kelurahan Kapuk Cengkareng Jakarta Barat"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

KESADARAN HUKUM MASYARAKAT TERHADAP HUKUM WARIS ISLAM

( Studi di Kelurahan Kapuk Cengkareng Jakarta Barat )

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Mariyah NIM : 105044101414

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 31 Agustus 2009

(3)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Tiada untaian kata yang paling indah selain memanjatkan rasa syukur kehadirat Illahi Robbi, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap langkah-langkah kita di permukaan bumi ini. Tak lupa sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada hamba yang paling mulia, yaitu baginda Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang selalu Istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.

Dengan rasa syukur, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar arjana Hukum Islam di Fakultas Syariah dan Hukum. Dalam menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit kesulitan serta hambatan yang penulis alami dan berkat kesungguhan hati, kerja keras, dan motivasi serta bantuan berbagai pihak, maka kesulitan tersebut dapat teratasi dengan baik.

Maka tersusunnya skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, petunjuk serta dukungan terutama kepada kedua orang tua penulis yang selalu mencurahkan kasih sayang dan doa nya serta berharap penulis dapat menjadi anak yang berguna dan sukses dalam menempuh hidup di dunia dan akhirat.

(4)

1. Prof. Dr.H.Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Univertas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA selaku Ketua Program Studi Ahwal Al-Sakhsyiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Kamarusdiana S.Ag, MH selaku pembimbing penulis yang dengan penuh kesabaran telah membimbing dan menjadi konsultan hingga skripsi ini selesai.

4. Asmawi, S.Ag, M.Ag selaku pembimbing penulis yang dengan penuh kesabaran telah membimbing dan menjadi konsultan hingga skripsi ini selesai.

5. Staff Kelurahan Kapuk Cengkareng yang telah memberikan data-data yang dibutuhkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Kyai Achya Al-Anshori, Kyai Ma’ruf Asyirun, yang telah memberikan pendapatnya mengenai hukum waris yang berlaku di masyarakat Betawi. 7. Seluruh Ketua RT dan RW, yang telah memberikan izin untuk penulis

menyebarkan angket di wilayahnya.

(5)

9. Untuk keluarga penulis, khususnya kepada kedua orang tua yaitu Ayahanda H.Maing dan Ibunda Hj.Muna.

10.Kepada semua teman-teman seperjuangan yang telah memberikan warna hidup dalam diri penulis selama menempuh perkuliahan di Kosentrasi Peradilan Agama kelas B Prodi Ahwal Al-Sakhsyiyah Univeritas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2005-2006.

Akhirul kalam, sekali lagi penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak ada yang dapat penulis berikan selain harapan mudah-mudahan semua bantuan para pihak kepada penulis dibalas yang setimpal oleh Allah SWT.

Wassalamualaikum Wr,Wb

Jakarta, September 2009 Penulis

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………..i

DAFTAR ISI………...iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……… 6

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian………. 7

D. Metode Penelitian………. 9

E. Sistematika Penulisan……… 15

BAB II LANDASAN TEORETIS KESADARAN HUKUM A. Konsep Kesadaran Hukum……….. 16

B. Indikator Kesadaran Hukum………... 20

C. Definisi Operasional…...………. 28

BAB III SENDI-SENDI HUKUM WARIS ISLAM, HUKUM WARIS BARAT DAN HUKUM WARIS ADAT A. Hukum Harta Kekayaan ……… 30

B. Sendi-Sendi Dasar Hukum Waris Islam………. 32

C. Sendi-Sendi Dasar Hukum Waris Barat………... 43

(7)

BAB IV PELAKSANAAN WARIS ISLAM DI KELURAHAN KAPUK

A. Monografi Kelurahan Kapuk………. 55

B. Kesadaran Hukum Masyarakat Kapuk……….. 61

C. Kesadaran Hukum Waris Responden………... 70

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……….... 76

B. Saran………... 78

Daftar Pustaka ……….. 80

Lampiran-Lampiran ……… 1. Kuesioner Penelitian... 83

2. Hasil Wawancara I………. 88

3. Hasil Wawancara II……… 90

4. Hasil Wawancara III……… 92

5. Permohonan Data dan Wawancara……….. 94

6. Surat Keterangan Lurah, Rt dan Rw………. 95

(8)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia pasti mengalami peristiwa kelahiran dan kematian. Peristiwa kelahiran seseorang, tentunya menimbulkan akibat-akibat hukum, seperti timbulnya hubungan hukum dengan masyarakat sekitarnya, dan timbulnya hak dan kewajiban pada dirinya. Peristiwa kematian pun akan menimbulkan akibat hukum kepada orang lain, terutama pada pihak keluarganya dan pihak-pihak tertentu yang ada hubungannya dengan orang tersebut semasa hidupnya.

Dalam hal kematian (meninggalnya) seseorang, pada prinsipnya, segala kewajiban perorangannya tidak beralih kepada pihak lain kecuali hutang-piutang yang apabila masih ada maka ahli warisnya yang akan menggantinya. Adapun yang menyangkut harta kekayaan dari yang meninggal tersebut beralih kepada pihak lain yang masih hidup, yaitu kepada orang-orang yang telah ditetapkan sebagai pihak penerimanya. Proses peralihan harta kekayaan dari yang meninggal kepada yang masih hidup inilah yang diatur oleh hukum Islam dengan sebutan hukum waris/ilmu faraidh.

(9)

Mereka yang laki-laki, berfisik kuat, dan memiliki kemampuan untuk memanggul senjata serta mengalahkan musuh dalam setiap peperangan.1 Namun setelah Islam datang sedikit demi sedikit masyarakat jahiliyah meninggalkan kebiasaan pembagian seperti ini. Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya.2 Sebab seseorang mendapatkan warisan salah satunya adalah dengan pernikahan, di dalam pernikahan mempunyai beberapa tujuan. Menurut Qur’an yaitu Litaskunu Ilaiha, Mawaddah, Rahmah. Menurut hadist tujuan pernikahan adalah pertama, untuk menundukkan pandangan dan menjaga faraj. Kedua, sebagai kebanggaan nabi dihari kiamat. Dan menurut akal tujuan dari pernikahan yaitu pertama, untuk meningkatkan jumlah manusia di muka bumi. Kedua, untuk ketertiban nasab.

Ketiga, untuk ketertiban kewarisan.3

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata hukum kewarisan adalah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur, tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. 4

1

Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002 ), h. 8

2

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 1997 ), h. 356.

3

(10)

Dalam hukum waris perdata berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan.5 Dengan kata lain hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja yang dapat diwariskan. Menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama.6

Secara terminologi ilmu faraidh/fiqh mawaris/hukum kewarisan adalah ilmu yang membahas tentang hal ihwal pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian pembagian harta peninggalan itu. Hasbi Ash-Shiddiqy mendefinisikan Fiqh Mawaris sebagai ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan cara pembagiannya.7

4

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 108.

5

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001 ), h. 95.

6

Subekti danTjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006 ), h. 221.

7

(11)

Hukum kewarisan menurut adat adalah pokok pangkal uraian tentang hukum waris adat yang bertitik tolak dari bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sistem keturunan.8

Secara normatif, pembagian harta warisan hanya biasa dilakukan menurut hukum Islam atau yang biasa disebut ilmu faraidh namun kenyataannya masyarakat lebih memilih membagikan harta warisannya dengan jalan perdamaian pembagian semacam ini diatur dalam KHI pasal 183 yang menyatakan: “para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya.9

Mengenai pembagian warisan ini, Rasulullah SAW memerintahkan secara tegas kepada umatnya untuk melaksanakan pembagian sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan dalam kitabullah (al-Qur’an) di dalam surat An-Nisâ’ ayat 7. Dari firman Allah di dalam surat An-Nisa’ ayat 7 dipahami bahwa hukum melaksanakan dan mengamalkan pembagian waris sesuai dengan syarî’at Islam adalah wajib (fardhu’ain) bagi setiap muslim. Pembagian warisan telah diatur al-Qur’an, Hadits, ijma’ dan fiqih, sebagaimana yang tertera dalam surat An-Nisâ’ ayat 7, ayat 11, ayat 12 dan ayat 176.

Dalam prakteknya dimasyarakat Indonesia, khususnya di Kelurahan Kapuk. Pembagian warisan sering tidak digunakan, meskipun penduduknya

8

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2004 ), h. 41.

9

(12)

mayoritas beragama Islam. Masyarakat lebih memilih untuk menyelesaikan pembagian secara hukum perdata, secara hukum yang berlaku di masyarakat (adat) atau secara perdamaian (kekeluargaan). Pemerintah Indonesia sendiri telah mengatur di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 183 yang berbunyi: “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya masing-masing”. Namun dalam prakteknya dimasyarakat para ahli waris tidak menyadari bagian masing-masing menurut hukum waris Islam. Hal ini sangat berkaitan dengan kesadaran hukum masyarakat setempat terhadap hukum waris Islam.

Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa ide tentang kesadaran warga-warga masyarakat sebagai dasar sahnya hukum positif tertulis dalam ajaran-ajaran tentang Rechtsgefuhl atau Rechtsbewustzijn yang intinya adalah, bahwa tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukumnya.10

Siapa saja yang mencari hukum berarti ia mencari suatu ketentuan yang umum, ia tidak perlu menanyakan bagaimana isi ketentuan itu, tetapi yang perlu ditanyakan apakah masyarakat akan memerima dan mentaatinya. Masyarakat dimaksud tentu mencakup sejumlah elemen sosial dengan segala status dan

10

(13)

peranannya dalam kehidupan bermasyarakat.11 Dalam hal ini masyarakat kapuk yang merupakan sebagai elemen sosial yang memiliki kesadaran hukum waris seperti apapun kuwalitasnya.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin mengadakan sebuah penelitian dan menuangkan dalam bentuk tulisan sehingga memberikan kejelasan tentang “apakah penerapan hukum waris di masyarakat telah sesuai dengan syari’at Islam”. Oleh karena itu, skripsi ini berjudul: “Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris Islam (Studi di Kelurahan Kapuk Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar memudahkan penulis dalam tugas penelitian ini, penulis membatasi ruang lingkup permasalahan ini hanya pada pelaksanaan pembagian waris pada masyarakat Kelurahan Kapuk Kecamatan Cengkareng. Penulis memilih lokasi tersebut supaya lebih memudahkan dan lebih fokus dalam penulisannya, serta lokasi tersebut mudah dijangkau, dan juga penulis bertempat tinggal di daerah tersebut.

11

(14)

2. Rumusan Masalah

Masyarakat Betawi yang mayoritas beragama Islam dalam pembagian harta warisannya mestinya menggunakan Ilmu Faraidh namun dalam praktek di masyarakat para keluarga yang menggunakan tata cara selain hukum waris Islam namun ahli waris tidak mengetahui bagian masing-masing yang semestinya diterima.. Memahami permasalahan di atas dapat diketahui bahwa dalam hal pembagian warisan selain hukum waris Islam perlu adanya kesadaran dari masing-masing ahli waris mengenai bagian masing-masing. Dalam pokok masalah penelitian ini ialah bagaimana kesadaran hukum masyarakat terhadapa hukum waris Islam, adapun rincian masalah yang menjadi fokus studi dapat diketahui sebagai berikut:

1. Bagaimana pengetahuan masyarakat Kelurahan Kapuk terhadap hukum waris Islam?

2. Bagaimana pemahaman masyarakat Kelurahan Kapuk terhadap hukum waris Islam?

3. Bagaimana sikap masyarakat Kelurahan Kapuk terhadap hukum waris Islam? 4. Bagaimana perilaku masyarakat terhadap hukum waris Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

(15)

1) Untuk mengetahui dan menjelaskan / menggambarkan pengetahuan masyarakat Kelurahan Kapuk tentang sistem kewarisan.

2) Untuk mengetahui dan mengkaji pemahaman masyarakat Kelurahan kapuk tentang sistem kewarisan.

3) Untuk mengetahui dan mengkaji sikap masyarakat Kelurahan kapuk tentang sistem kewarisan.

4) Untuk mengetahui dan mengkaji perilaku masyarakat Kelurahan kapuk tentang sistem kewarisan.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang pengetahuan, pemahaman, sikap dan perilaku masyarakat kelurahan kapuk terhadap hukum waris Islam.

Manfaat lain yang diharapkan penulis dari hasil penelitian ini yaitu bisa bermanfaat untuk bahan informasi tentang praktek hukum waris Islam di dalam masyarakat. Dan dapat dijadikan sebagai karya ilmiah yang dapat bermanfaat untuk orang lain.

(16)

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

a. Penelitian kuantitatif yaitu mendeskripsikan objek penelitian yang menjadi target penelitian dengan analisis kuantitatif mulai dari pengumpulan data, penyajian data dan menganalisis data serta menginterpretasikannya.12

b. Penelitian deskriptif yaitu penelitian dengan membuat pecandraan secara sistematis, faktual dan akurat. Mengenai faka-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.

2. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan penelitian survei yaitu penelitian yang mengambil sample dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok.13

3. Teknik Pengumpulan Data.

Data Primer adalah data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertamanya, yaitu data-data yang didapatkan dari hasil penyebaran quisoner kepada masyarakat kelurahan kapuk.

Data Sekunder adalah data yang berasal dari dokumen-dokumen ataupun buku-buku yang diperlukan oleh peneliti seperti tentang kewarisan baik waris Islam, perdata, adat serta data-data yang diperoleh dari kelurahan kapuk.

12

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Cet.I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 75.

13

(17)

Adapun untuk mandapatkan data tersebut penulis menggunakan tekhnik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Wawancara langsung dengan para ulama dan pejabat pemerintahan yang dianggap mengerti tentang gejala dan objek yang diteliti.

b. Kuesioner yang diberikan langsung kepada responden yaitu masyarakat kelurahan kapuk.

c. Dokumen, yaitu Data berdasarkan laporan yang didapat dari instasi yang diteliti dan laporan lainnya yang berkaitan dengan masalah penelitian.

Adapun objek dari penelitian ini adalah warga Kelurahan Kapuk yang diambil dari 2 (dua) RW yaitu RW 03 dan RW 11, masing-masing RW akan diambil 5 (lima) RT yang nantinya akan diambil 10 kepala keluarga dari masing-masing RT. Adapun jumlah sample pada penelitian ini adalah 100 responden, yang terdiri dari setiap RW sebanyak 50 kepala keluarga.

Penelitiam ini menggunakan teknik sampling dengan metode

nonprobablity sampling dengan tipe accidental sampling (pengambilan sample secara kebetulan). Accidental sampling disebut pula sebagai convenience sampling, yaitu anggota sample yang diambil tidak direncanakan terlebih dahulu, melainkan didapatkan atau dijumpai secara tiba-tiba.14

(18)

5. Variable penelitian

Penelitian ini meneliti satu variable, yaitu kesadaran hukum masyarakat kelurahan kapuk terhadap hukum waris Islam. Adapun indikator dari variable tingkat kesadaran adalah (1) pengetahuan responden terhadap hukum waris Islam, (2) pemahaman responden terhadap hukum waris Islam, (3) sikap responden terhadap hokum waris Islam, (4) pola perilaku responden terhadap hukum waris Islam. Instrumen penelitian untuk mengukur variable tersebut, akan dijelaskan sebagai berikut:

[image:18.612.110.532.194.692.2]

Kesadaran hukum masyarakat Kelurahan Kapuk terhadap kewarisan diukur dengan menggunakan instrumen quesioner model skor sebanyak 33 butir pertanyaan yang mencerminkan dimensi pengetahuan, pemahaman, sikap dan pola perilaku. Secara lengkap disajikan dalam kisi-kisi instrument (lihat table 1.1). Kisi-kisi instrumen untuk mengukur tingkat pemahaman warga Kelurahan Kapuk terhadap kewarisan dapat dilihat pada table 1.1 di bawah ini.

Tabel 1.1

Kisi-Kisi Instrumen

No Dimensi Jumlah soal

1. Pengetahuan masyarakat 6 butir

14

(19)

tentang kewarisan.

2. Pandangan masyarakat terhadap waris Islam.

14 butir

3. Sikap masyarakat terhadap waris Islam

8 butir

4. Perilaku masyarakat terhadap waris Islam

5 butir

5. Teknik Pengukuran Variable

Format pengukuran variabel tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum waris Islam dapat diuraikan sebagai berikut. Terdapat 33 item pertanyaan/pernyataan untuk keempat indikator tersebut ditentukan skornya. Indikator pengetahuan responden untuk pertanyaan/pernyataan yang bersifat positif maka skor 3 untuk jawaban Ya, skor 2 untuk jawaban Tidak Tahu, skor 1 untuk jawaban Tidak. Dan jika content item pertanyaan/pernyataan bersifat negatif maka skor 3 untuk jawaban Tidak, skor 2 untuk jawaban Tidak Tahu, skor 1 untuk jawaban Ya.

(20)

item pertanyaan/pernyataan bersifat negatif maka skor 3 untuk jawaban Salah, skor 2 untuk jawaban Tidak Tahu, skor 1 untuk jawaban Benar.

Untuk indikator variabel sikap terhadap hukum waris Islam dapat diuraikan sebagai berikut. Indikator sikap responden untuk pertanyaan/pernyataan yang bersifat positif maka skor 3 untuk jawaban Setuju, skor 2 untuk jawaban Ragu, skor 1 untuk jawaban Tidak Setuju. Dan jika content

item pertanyaan/pernyataan bersifat negatif maka skor 3 untuk jawaban Tidak Setuju, skor 2 untuk jawaban Ragu, skor 1 untuk jawaban Setuju.

Untuk indikator variabel pola perilaku terhadap hukum waris Islam dapat diuraikan sebagai berikut. Indikator pola perilaku responden untuk pertanyaan/pernyataan yang bersifat positif maka skor 3 untuk jawaban Sudah, skor 2 untuk jawaban Ragu, skor 1 untuk jawaban Tidak Pernah. Dan jika content

item pertanyaan/pernyataan bersifat negatif maka skor 3 untuk jawaban Tidak Pernah, skor 2 untuk jawaban Ragu, skor 1 untuk jawaban Sudah.

Dengan demikian, jumlah skor tertinggi dari total keempat indikator-variabel tersebut adalah 132 dan jumlah skor terendah adalah 33. dari hasil pen-skor-an ini kemudian dibuat kategorisasi tingkat kesadaran hukum responden terhadap hukum waris Islam, yakni:

Jumlah Skor Kategori Tingkat Kesadaran

(21)

66 – 95 Memadai

99 – 132 Tinggi

[image:21.612.111.527.196.668.2]

Dengan demikian setiap responden memiliki jumlah skor tertentu untuk keempat indikator tersebut dapat ditentukan tingkat kesadaran hukum terhadap hukum waris Islam apakah rendah, memadai atau tinggi. Dari sini pula diperoleh gambaran tingkat kesadaran hukum waris responden.15

Adapun hasil dari penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan grafik histogram. Table silang merupakan penyajian data hasil penelitian yang berupa perhitungan frekuensi pemunculan data dan data yang disajikan ke dalam bentuk table pada umumnya adalah data nominal, data yang diperoleh adalah data dari pemberian angket atau pengamatan. Sedangkan grafik histogram merupakan sebuah grafik frekuensi yang menyajikan data ke dalam bentuk deretan kolom persegi panjang yang digambarkan dari kiri ke kanan.

[image:21.612.113.499.446.666.2]

Design grafik histogram dalam penelitian adalah sebagai berikut : Gambar 1.

Grafik Histogram

15

(22)

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini untuk mempermudah dalam memahami skripsi ini, maka penulis membagi skripsi ini dalam lima bab dengan teknik penulisan berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:

Bab pertama, Merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar

belakang masalah, rumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, study Review, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua, Menjelaskan Pengertian dan Dasar Hukum Waris Islam, Kewarisan dalam Islam dan beberapa teori tentang pemberlakuan hukum adat betawi.

Bab ketiga, Menjelaskan hukum harta kekayaan, Sendi-Sendi Dasar Hukum Waris Adat, Sendi-Sendi Dasar Hukum Islam dan Hukum Waris Perdata

Bab keempat, Membahas tentang monografi Kelurahan Kapuk,

Kesadaran Hukum Waris Masyarakat Kapuk, Kesadaran Hukum Waris Responden.

(23)

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Konsep Kesadaran Hukum 1. Pengertian

Di dalam ilmu hukum dikenal adanya beberapa pendapat tentang kesadaran hukum. Perihal kata atau pengertian kesadaran hukum, ada juga yang merumuskan bahwa sumber satu-satunya dari hukum dan kekuatan mengikatnya adalah kesadaran hukum dan keyakinan hukum individu di dalam masyarakat yang merupakan kesadaran hukum individu, merupakan pangkal dari pada kesadaran hukum masyarakat16. Selanjutnya pendapat tersebut menyatakan bahwa kesadaran hukum masyarakat adalah jumlah terbanyak dari pada kesadaran- kesadaran hukum individu sesuatu peristiwa yang tertentu.

Kesadaran hukum mempunyai beberapa konsepsi, salah satunya konsepsi mengenai kebudayaan hukum. Konsepsi ini mengandung ajaran ajaran kesadaran hukum lebih banyak mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap

16

(24)

sebagai mediator antara hukum dengan perilaku manusia, baik secara individual maupun kolektif.17

Konsepsi ini berkaitan dengan aspek-aspek kognitif dan perasaan yang sering kali dianggap sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara hukum dengan pola-pola perilaku manusia dalam masyarakat. Setiap masyarakat senantiasa mempunyai kebutuhan-kebutuhan utama atau dasar, dan para warga masyarakat menetapkan pengalaman-pengalaman tentang faktor-faktor yang mendukung dan yang mungkin menghalang-halangi usahanya untuk memenuhi kebutuhan utama atau dasar tersebut.

Apabila faktor-faktor tersebut dikonsolidasikan, maka terciptalah sistem nilai-nilai yang mencakup konsepsi-konsepsi atau patokan-patokan abstrak tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Sistem nilai-nilai yang mencakup konsepsi-konsepsi antara lain sebagai berikut :

a. Merupakan abstraksi dari pada pengalaman-pengalaman pribadi, sebagai akibat dari pada proses interaksi sosial yang terus menerus.

b. Senantiasa harus diisi dan bersifat dinamis, oleh karena didasarkan pada interaksi sosial yang dinamis pula.

c. Merupakan suatu kriteria untuk memilih tujuan-tujuan di dalam kehidupan sosial.18

17

(25)

d. Merupakan sesuatu yang menjadi penggerak manusia ke arah pemenuhan hasrat hidupnya, sehingga nilai-nilai merupakan faktor yang sangat penting di dalam pengarahan kehidupan sosial maupun kehidupan pribadi manusia.19

Hal-hal di atas dapat dipakai sebagai petunjuk untuk mengetahui nilai-nilai warga masyarakat maupun golongan-golongan dan individu-individu tertentu walaupun sistem nilai-nilai timbul dari proses interaksi sosial, namun pada akhirnya apabila sistem tersebut telah melembaga dan menjiwai, maka sistem nilai-nilai tersebut dianggap sebagai seolah-olah berada di luar dan di atas para warga masyarakat yang bersangkutan.

Sistem nilai-nilai menghasilkan patokan-patokan untuk proses yang bersifat psikologis, antara lain pola-pola berfikir yang menentukan sikap mental manusia. Sikap mental tersebut pada hakikatnya merupakan kecenderungan-kecenderungan untuk bertingkah laku, membentuk pola perilaku maupun kaidah-kaidah.

Dari proses tersebut nyatalah bahwa manusia sebagai warga masyarakat senantiasa berusaha untuk mengarahkan dirinya ke suatu keadaan yang dianggap wajar yang terwujud di dalam pola-pola perilaku dan kaidah-kaidah tertentu. Dengan demikian manusia hidup di dalam suatu struktur pola perilaku dan struktur kaidah untuk hidup, struktur mana sekaligus merupakan suatu pola hidup,

18

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi hukum, h. 146.

19

(26)

walaupun kadang-kadang manusia tidak menyadari keadaan tersebut. Pola-pola hidup tersebut merupakan suatu susunan dari pada kaidah-kaidah yang erat hubungannya dengan adanya dua aspek kehidupan, yaitu kehidupan pribadi dan kehidupan antara pribadi.20

Apabila pola-pola tersebut sudah mulai tidak dapat menjamin kepentingan-kepentingan manusia, maka niscaya dia akan berusaha untuk mengubahnya atau di dalam bentuknya yang paling ekstrim dia akan menyimpang dari pola-pola tersebut. Dengan demikian maka sebetulnya pola-pola yang mengatur pergaulan hidup manusia terbentuk melalui suatu proses pengkaidahan yang tujuannya sangat tergantung pada obyek pengaturannya yaitu aspek hidup pribadi.

Apabila arah proses pengkaidahan tersebut tertuju pada hubungan antar pribadi atau dasar ketertiban dan ketentraman yang dihadapkan, maka proses tersebut menuju pada pembentukan kaidah-kaidah hukum. Proses pengkaidahan tersebut mungkin terjadi oleh para warga masyarakat atau oleh bagian kecil dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang. Maka adanya hukum yang berproses di dalam masyarakat bukanlah semata-mata tergantung dari adanya suatu ketetapan, walaupun ada hukum yang memang berdasarkan oleh penguasa.21

20

ZainudinAli, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 74.

21

(27)

Di lain pihak, apabila hukum tersebut memang sudah ada, maka ketetapan dari mereka yang mempunyai kekuasaan dan wewenang mungkin hanyalah merupakan suatu ketegasan terhadap berlakunya hukum tersebut. Di dalam hal pemegang kekuasaan dan wewenang mempelopori proses pengkaidahan tersebut, maka terjadilah proses social engineering.

Sedangkan apabila yang dilakukan adalah menegaskan hukum yang telah ada, maka yang dilakukan adalah pengendalian sosial atau social control. Dari paparan di atas bahwa hukum merupakan kontribusi daripada sistem nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Dengan demikian nyatalah bahwa masalah kesadarah hukum sebenarnya masalah nilai-nilai.

Maka kesadaran hukum adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya.

Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian masyarakat mentaati hukum bukan karena paksaan, melainkan karena hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini telah terjadi internalisasi hukum dalam masyarakat. Validitas hukum diletakkan pada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.22

B. Indikator-indikator dari Masalah Kesadaran Hukum

22

(28)

Indikator-indikator dari kesadaran hukum merupakan petunjuk-petunjuk yang konkrit tentang adanya taraf kesadaran hukum tertentu. Dengan adanya indikator-indikator tersebut, seseorang yang menaruh perhatian pada kesadaran hukum akan dapat mengetahui apa yang sesungguhnya merupakan kesadaran hukum.23

a. Pengetahuan Hukum

Artinya seseorang mengetahui bahwa perilaku-perilaku hokum tertentu diatur oleh hukum. Maksudnya bahwa hukum di sini adalah hukum tertulis atau hukum yang tidak tertulis. Pengetahuan tersebut menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum atau perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.

Menurut Otje Salman pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah tentu hokum yang dimaksud di sini adalah hokum tertulis dan hokum tidak tertulis. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang dilarang ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Sebagaimana dapat dilihat di dalam masyarakat bahwa pada umumnya seseorang mengetahui bahwa membunuh, mencuri, dan seterusnya dilarang oleh hukum.24

b. Pemahaman Hukum

23

Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, h. 100.

24

(29)

Artinya seseorang warga masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman mengenai aturan-aturan tertentu, terutama dalam segi isinya. Pengetahuan hukum dan pemahaman hukum, secara teoritis bukan merupakan dua indikator saling bergantung. Artinya seseorang dapat berperilaku tersebut, akan tetapi mungkin dia tidak menyadari apakah perilaku tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan norma hukum tertentu. Di lain pihak mungkin ada orang yang sadar bahwasuatu kaidah hukum mengatur perilaku tertentu, akan tetapi dia tidak mengetahui mengenai isi hukum tersebut atau hanya mempunyai pengetahuan sedikit tentang isinya.

c. Sikap Hukum

Artinya, seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian tertentu terhadap hukum. Salah satu tugas hukum yang penting adalah mengatur, kepentingan-kepentingan warga masyarakat tersebut, lazimnya bersumber pada nilai-nilai yang berlaku yaitu anggapan tentang apa yang baik dan apa yang harus dihindari. Ketaatan masyarakat terhadap hukum dengan demikian sedikit banyak tergantung pada apakah kepentingan-kepentingan warga masyarakat dalam bidang-bidang tertentu dapat ditampung oleh ketentuan-ketentuan hukum tersebut.25

Di samping itu, ketaatan sangat banyak tergantung pada daya upaya persuasif untuk melembagakan ketentuan-ketentuan hukum tertentu dalam

25

(30)

masyarakat. Usaha-usaha untuk memperbesar derajat ketaatan biasanya dilakukan dengan jalan membiarkan para warga masyarakat untuk mengerti ketentuan-ketentuan hukum yang dihadapinya.

Hal ini akan memberikan kesempatan untuk dapat menerapkan pendirian bahwa teladan-teladan yang paling buruk adalah perbuatan melanggar ketentuan atau penilaian terhadap hukum, manusia telah menempuh berbagai macam jalan, yaitu :

1) Penemuan secara kebetulan, yaitu penemuan-penemuan yang dijumpai tanpa suatu rencana. Artinya, penemuan tadi adalah secara kebetulan sekali

2) Metode percobaan dan kesalahan. Metode ini lebih banyak didasarkan pada sikap untung-untungan.

3) Melalui kewibawaan, yaitu berdasarkan penghormatan pada suatu pendapat atau penemuan yang dihasilkan oleh seseorang atau badan tertentu yang dianggap mempunyai kewibawaan .

(31)

5) Dengan menggunakan pikiran kritis, atau berdasarkan pengalaman.26 6) Melalui penelitian secara ilmiah. Penelitian secara ilmiah dilakukan

manusia untuk menyalurkan hasrat ingin tahu yang telah mencapai taraf keilmuan, yang disertai dengan suatu keyakinan bahwa setiap gejala dapat ditelaah dan dicari sebab-sebabnya.27

d. Perilaku Hukum

Artinya dimana seseorang berperilaku sesuai dengan hukum.28 Indikator perilaku hukum merupakan petunjuk akan adanya tingkat kesadaran yang tinggi. Buktinya adalah bahwa yang bersangkutan patuh atau taat pada hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya tingkat kesadaran hukum akan dapat dilihat dari derajat kepatuhan hukum yang terwujud dalam pola perilaku manusia yang nyata. Kalau hukum ditaati, maka hal itu merupakan suatu petunjuk penting bahwa hukum tersebut adalah efektif (dalam arti mencapai tujuannya). Adapun dasar-dasar kepatuhan di dalam perilaku hukum yaitu :

1) Indoctrination; Sebab pertama mengapa warga masyarakat mematuhi kaidah-kaidah adalah karena dia diberi indoktrinasi untuk berbuat demikian. Sejak kecil manusia telah dididik agar mematuhi kaidah-kaidah yang belaku dalam masyarakat.

26

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, h. 137-138.

27

Soerjono Soekanto, Ibid, h. 137138.

28

(32)

2) Habituation; Oleh karena sejak kecil mengalami proses sosialisasi, maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhi kaidahkaidah yang berlaku. Memang pada mulanya adalah sukar sekali untuk mematuhi kaidah-kaidah tadi yang seolah-olah mengekang kebebasan. Akan tetapi apabila hal itu setiap hari ditemui, maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhinya terutama apabila manusia sudah mulai mengulangi perbuatanperbuatannya dengan bentuk dan cara yang sama. 3) Utility; Pada dasarnya manusia mempunyai suatu kecenderungan untuk

hidup pantas dan teratur. Akan tetapi apa yang pantas danteratur untuk seeorang belum tentu pantas dan teratur bagi orang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu patokan tentang kepantasan dan keteraturan tersebut. Patokan-patokan tadi merupakan pedoman-pedoman atau takaran-takaran tentang tingkah laku dan dinamakan kaidah.

(33)

kaidah-kaidah kelompok lain karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompok lain tersebut.29

Dari keempat indikator di atas menunjukkan pada tingkatan-tingkatan kesadaran hukum tertentu di dalam perwujudannya. Apabila seseorang hanya mengetahui hukum, maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesadaran hukum masih rendah, kalau dia telah berperilaku sesuai dengan hukum, maka kesadaran hukumnya tinggi.

Dalam literatur lain dikatakan bahwa masalah kesadaran hukum sebetulnya merupakan masalah nilai-nilai, maka kesadaran hukum adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Indikator-indikator dari masalah kesadaran hukum tersebut adalah:

a. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum b. Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum c. Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum

d. Pola prikelakuan hukum.30

Setiap indikator tersebut di atas menunjukkan pada tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. Pada masyarakat-masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhana, maka

29

Zainudin Ali, Ibid, h. 351-352.

30

(34)

hukum timbul dan tumbuh sejalan dengan pengalaman warga-warga masyarakat di dalam proses interaksi sosial. Pada masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan pra modern/modern agak sulit untuk mengidentifisir kesadaran hukum, yang timbul dan tumbuh dari warga-warga masyarakat yang kepentingan-kepentingannya sangat berbeda yang satu dengan yang lainnya.

Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa prilaku tertentu yang diatur oleh hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Pengetahuan hukum berkaitan dengan perilaku yang dilarang ataupun prilaku yang diperbolehkan oleh hukum.

Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimilki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu, baik hukum tertulis maupun hokum tidak tertulis. Dalam hal pemahaman hukum seseorang tidak disyaratkan seseorang untuk mengetahui terlebih dahulu akan tetapi yang dilihat di sini adalah bagaimana persepsi mereka dalam menghadapi berbagai hal, dalam kaitannya dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Pemahaman hukum ini dapat diperoleh bila peraturan tersebut dapat atau mudah dimengerti oleh warga masyarakat.

Adapun yang dimaksud dengan sikap hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati.

(35)

hukum berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dapat dikatakan bahwa seberapa jauh kesadaran masyarakat terhadap suatu hukum dapat dilihat dari pola perilaku hukum suatu masyarakat.31

C. Definisi Operasional 1. Kesadaran-Hukum Waris

Makna Konseptual: Suatu pengetahuan tentang hukum waris secara mendalam baik dalil, bagian masing-masing ahli waris, cara pembagian, yang menimbulkan pengakuan dan penghargaan atas ketentuan-ketentuan hukum waris dimaksud, yang akhirnya akan membawa pada sikap penghayatan terhadap hukum waris tersebut dan dengan sendirinya mewujudkan kepatuhan hukum waris.

Definisi Operasional: suatu keadaan yang terbentuk pada diri individu melalui integrasi unsur-unsur tingkat pengetahuan tentang hukum waris Islam, tingkat pemahaman tentang hukum waris Islam, pola sikap terhadap hukum waris Islam dan pola perilaku terhadap hukum waris Islam.

2. Pengetahuan Tentang Hukum Waris Islam

Makna Konseptual : hal-hal yang diketahui seputar hukum waris Islam. Definisi Operasional: pengetahuan terhadap perilaku yang diatur dalam doktrin hukum waris Islam.

3. Pemahaman Terhadap Hukum Waris Islam

31

(36)

Makna Konseptual : hal-hal yang dipahami seputar hukum waris Islam. Definisi Operasional : pemahaman terhadap isi kandungan yang terdapat dalam teori-teori hukum waris Islam.32

4. Sikap Terhadap Hukum Waris Islam

Makna Konseptual : reaksi diwujudkan terhadap hukum waris Islam. Makna Operasional : kesediaan untuk bereaksi secara positif atau secara negative terhadap ketentuan-ketentuan isi hukum waris Islam.

5. Perilaku Hukum Waris Islam

Makna Konseptual : suatu hal yang dilakukan yang berhubungan dengan hukum waris Islam. Makna Operasional : suatu laku perbuatan yang ditentukan secara imperative oleh ketentuan hukum waris Islam.

6. Masyarakat

Makna Konseptual : sekelompok individu yang hidup dan berdomisili di suatu wilayah. Makna Operasional : sekelompok individu yang terdaftar pada wilayah tertentu.33

32

Asmawi dkk, Religiusitas dan Kesadaran Hukum Islam Pada Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, (Jakarta: t.tp., 2005), h. 18-19.

33

(37)

BAB III

SENDI-SENDI HUKUM WARIS ISLAM, HUKUM WARIS PERDATA DAN HUKUM WARIS ADAT

A. Hukum Harta Kekayaan

Harta dari segi etimologi ialah setiap barang yang benar-benar dimiliki dan dikawal (hiyazah) oleh seseorang. Sama ada barang itu ‘ain atupun manfaat. Contoh harta ‘ain adalah seperti emas, perak, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Contoh harta manfaat adalah seperti menunggang, memakai, dan mendiami rumah. Barang yang tidak dikawal oleh seseorang, tidak dinamakan harta dari segi bahasa. Umpamanya burung di udara, ikan di laut, pokok hutan dan galian di perut bumi.34

Menurut Islam harta kekayaan dalam perkawinan adalah harta benda milik suami dan harta benda milik isteri adalah terpisah dengan kata lain bahwa harta yang mereka miliki masing-masing, yang dibawa pada saat mereka melakukan pernikahan adalah menjadi hak milik masing-masing.

34

(38)
(39)

pernikahan maupun harta benda yang mereka dapat selama pernikahan adalah tidak terpisah yang merupakan harta benda milik bersama

Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta benda dalam perkawinan yaitu harta benda yang bisa dikatakan ada kemungkinan sebagian dari harta benda suami isteri itu terpisah dan juga ada kemungkinan pula sebagian dari harta benda itu tercampur menjadi harta benda bersama.2

Bahasan tentang harta perkawinan diharapkan dapat memberikan gambaran tentang objek kewarisan. Adapun macam-macam harta dalam perkawinan adalah sebagai berikut:

a. Harta masing-masing suami isteri yang telah dimilkinya sebelum mereka kawin baik berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka sendiri-sendiri. b. Harta suami isteri yang dimilkinya sesudah mereka berada dalam

hubungan perkawinan, tetapi diperolehnya bukan dari usaha mereka melainkan merupakan hibah , wasiat atau warisan untuk masing-masing. c. Harta yang diperoleh sesudah mereka dalam perkawinan atas usaha

mereka berdua atau usaha salah seoranag mereka.3

Adapun harta kekayaan jika dilihat dari segi asalnya dibedakan menjadi dua macam, sebagai berikut :

2

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, cet.I (Jakarta: PT Bina Aksara, 1987), h. 166-169.

3

[image:39.612.113.531.233.521.2]
(40)

1. Harta asal, yaitu semua harta kekayaan yang dikuasai dan dimiliki oleh pewaris sejak mula pertama, baik harta bawaan dan lainnya yang dibawa masuk ke dalam perkawinan dan kemungkinan bertambah sampai akhir hayatnya.

2. Harta gono-gini, yaitu semua harta yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan baik yang diperoleh suami isteri atau suami sendiri.37

Masing-masing jenis harta di atas proses peralihan dan pengoperannya dikuasai oleh peraturan-peraturan sendiri. Setiap jenis harta di atas dibagi-bagikan kepada ahli waris menurut sifat, macam dan hukum yang mengikatnya.

B. Sendi-Sendi Dasar Hukum Waris Islam

Masalah waris bagi umat Islam bukan hanya proses penerusan dan pengoperan harta peninggalan dari satu generasi kepada generasi yang lain, melainkan merupakan salah satu ibadah yang pihak-pihak penerima warisnya telah ditentukan.

Adapun sumber-sumber hukum yang merupakan sendi-sendi dalam pembagian waris Islam adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang tertinggi dalam pengambilan suatu hukum. Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan ketentuan-ketentuan pembagian warisan secara jelas antara lain :

37

(41)

a. Surat An-Nisa,/4: 7 yaitu:

!" #$ %&

'(! )*

+, ! - .

!, /0! . 12 3

4 5 %6 3

!" #$ %&

'(! )*

+, ! - .

78 /0! . 12 3

#$ & 9:)

/ ; &

33< =>6'?

@

6A !"

;B3 .D9&

/ /

Artinya:“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya. Dan bagi wanita pula ada bagian hak (pula) harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (An-Nisa, /4: 7)

b. Surat An-Nisa,/4: 11 yaitu:

E 4F G H

I

JK L

MNOP Q ) 33<

R '?S

: T &

UV +L W X)T"Y2

@ , Z)[ # 4?

\4 5 ]

)^M )[ +L W!_!`.

# bc )[ )T> >

!& '(! )*

R , d 3

ef!" '?

;g Q - 3

bc )[

 %;

@

H !0h2 3

+U:4F

AQ c- 3

$ij k %&

l9Qm #$ & '(! )* , d !, '? n/ )

o ) 3

@ , Z)[ S

4F!H

n<S

o ) 3

Dn/ 3 q 3 3

/c !03< %&r5)[ k> sY @ , Z)[ !, '? Dn<)

tg u d

%&r5)[ l9Qm

@

? &

Q >!0

Av X G 3

o H

vjw 33<

L.x

F

MN4?4! !0 4

MN4?4! g6M03< 3

yz !,3lqeQ)*

MNb{H3< |}! . 3<

M04F) 6>.D!"

@

;vy H )[

7~ %& F 9, d S !, '? •$ ! T$ F / /

(42)

mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah

dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar

utangnya.(tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagi kamu. Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (An-Nisa,/4 : 11).

c. Surat An-Nisa,/4: 12 yaitu:

MNO€) 3  " !& '(! )* MNO€•- 3.‚3< , d S 4F!H # bS

o ) 3

@ , Z)[

!, yP

ƒ~b)

o ) 3

NO€c )[ „/0…

#$ & u †P! )*

@

? &

Q >!0 Av X G 3

7‡W G H

b 0 33< <‡.x @ ƒ~b) 3 „/0… #$ & /1.?! )* , d MNS O€!H MN4FS oQ) 3 @ , Z)[ !, yP MNO€)

o ) 3

# bc )[  $sT #$ & h4ˆ†P! )* @ ? %& Q >!0

Av X G 3 78 G >*

b 0

33<

<L.x F

, d 3 78 '?

t:• q ` q H

‰) c yP

33< tg3<! .& Dn<) 3 Š‹3< 33< tf uŒ< +U:4F )[

AQ c- 3

$b 6 %&

l9Qm @

, Z)[

R J /" yP

=)6†P3< &

A -)•

efb)[

l4 yP =OŽ

K L

k> sY @

? &

Q >!0

Av X G 3

@o5 H

vjw 33<

L.x =M 'Š

q y &

@

;v X G 3

u %& F I 3  !• / /

(43)

saja), atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (An-Nisa,/4: 12).

d. Surat An-Nisa,/4: 176 yaitu:

A!" /1.D!_ g‘

+:> I

MNO€X 1.DH

K L

‰) c )F.

@ +, d R Š!l’M“ Ac ” • . ) n/ )

o ) 3

Dn<) 3 tf uŒ< bc )[  " !& '(! )* @ >” 3 b> !H , d MNS 4F!H g–Ž—

o ) 3

@ , Z)[

!1!" '?

+L W!1 ;. $bc )[

+, )T> sT

˜DB '(! )*

@ , d 3

R J /" '?

;g u d

;z  q

\4 5 ] 3

'?S )[

: Y &

UV +L W X)\"Y2

F

L %W!€H

I

MNO€) ,3<

R š )*

F I 3 +U:4F 0 }4 o' A !• / /

Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seseorang meninggal dunia, dan ia mempunyai anak dan ia mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan, Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa,/4: 176).

(44)

Selain Al-Qur’an sumber hukum Islam yang dijadikan sebagai dasar pengambilan suatu hukum yaitu Al-Sunnah. Adapun hadits-hadits yang menerangkan tentang waris Islam adalah sebagai berikut:

a. Hadits tentang diberikannya warisan kepada yang berhak

!

" #

$

%

! $

&'(

)*+ ,- . / 0 &12 ' 32 145 67 )8

9 : ; /

<4 ﻡ/

38

Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. berkata: Nabi saw bersabda: “Berikanlah harta warisan kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya, untuk orang laki-laki yang lebih utama. (H.R. Bukhari dan Muslim).

b. Hadits tentang orang yang meninggal dunia maka harta yang ditinggalkannya untuk ahli warisnya.

>)?)5

"

&ﺱ A

$

%

$

,-) .BC? A *

D)B Eﻥ GEHﺡ A 2 J KL ﻡ ?H D)B ,5

M2 ?EH M4 NEM3

E342 <O ﺡ P .4 &E4P

E0 / M4 .4P Q 2/

R&S8 M4

TS2

!

;U L 4V2 W ?X M4 / .E2&B 32 <1 2 A ﻡ M ﻡC3 . / ﻥ

SY & &12 0 ﻡ D)B ﻡ/

<4 ﻡ ; /

39

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Rsulullah SAW pernah dihadapkan dengan jenazah seorang lelaki yang mempunyai hutang. Lalu beliau bertanya: Apakah ia meninggalkan sesuatu untuk membayar hutangnya? Kalau beliau diberi kabar bahwa orang yang wafat itu meninggalkan sesuatu untuk membayar hutangnya, maka beliau mau menshalatkannya. Akan tetapi jika mayat tersebut tidak meninggalkan

38

Muhammad Nashrudin al-Bani, Mukhtashar Shahih Muslim. Penerjemah Imam Rosadi, , cet. I (Jakarta: Islam Rahmatan,2003), h. 697.

39

(45)

sesuatu untuk membayar hutangnya, maka beliau akan berkata: Shalatkanlah mayat temanmu itu. Ketika Allah memberikan berbagai kemenangan kepada kaum muslimin dalam menaklukan banyak negeri, beliau bersabda: Aku lebih berhak terhadap orang-orang yang beriman dari pada diri mereka sendiri, oleh karena itu, barang siapa diantara kamu ada yang meninggal dunia sedangkan ia mempunyai hutang, maka akulah yang akan membayarnya, dan barang siapa meninggalkan harta maka hartanya itu untuk ahli warisnya. (HR. Muslim).

c.Hadist tentang anak yang baru lahir mendapat warisan

H

Y

5

Z

%

3

$

H

Y

)

M

[

H

$

H

Y

&

#\

M

)

-)

]

&

"

$

%

+

S

1

,

^

P

E4

4M

/

/

G

ﻡ ; /

-40

Artinya: Telah berkata kepada kami Hisyam bin ‘Amar. Telah berkata kepada kami Rabi’ bin Badr. Telah berkata kepada kami Abu Zubair Dari Jabir r.a. berkata: bersabda Rasulullah SAW: Jika menangis seorang anak yang baru dilahirkan maka ia mendapat warisan. (HR. Abu Daud). 3. Ijma’ dan Ijtihad

Ijma’ dan Ijtihad para sahabat, imam-imam madzhab dan mujtahid-mujtahid kenamaan mempunyai peranan yang tidak kecil sumbangannya terhadap pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum djelaskan dalam nash-nash yang sarih. Seperti pembagian muqasamah (bagi sama) dalam masalah al-Jaddu wal-Ikhwah (kakek bersama-sama saudara-saudara), pembagian bagi cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal dunia dalam masalah wasiat wajibah, pengurangan dan penambahan bagian ahli waris dalam masalah ‘Aul dan Raad,

40

(46)

pembagian tsulutsul baqi (sepertiga sisa) bagi ibu jika hanya bersama bapak dan suami atau isteri dalam masalah Gharrawain.41

Hukum Kewarisan Islam mengandung beberapa asas yang mengandung beberapa hal berlaku pula dalam hukum kewarisan yang bersumber dari akal manusia. Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari Hukum Kewarisan Islam itu sendiri.

Adapun lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas tersebut adalah sebagai berikut:

1. Asas Ijbariy

Kata ijbariy dalam terminologi Ilmu Kalam mengandung arti paksaan, dengan arti semua perbuatan yang dilakukan seorang hamba, bukanlah atas kehendak dari hamba tersebut tetapi adalah sebab kehendak dan kekuasaan Allah.42 Adapun maksud Asas ijbariy dalam waris Islam adalah peralihan harta dari yang meninggal kepada orang yang masih hidup tanpa adanya usaha atau kehendak dari orang yang akan meninggal maupun dari orang yang akan menerima.

41

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 21.

42

(47)

Adanya unsur ijbariy dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi yaitu:

a). Unsur Ijbariy Dari Segi Peralihan Harta yaitu Unsur ijbariy dari segi ini mengandung arti bahwa harta orang yang meninggal itu dengan sendirinya beralih kepada keturunannya, bukan dialihkan oleh manusia melainkan dialihkan oleh Allah. Dalam peralihan ini dapat dilihat pada firman Allah dalam surat al-Nisa’ : 7. Ayat ini menjelaskan bahwa bagi seseorang laki-laki maupun perempuan ada ‘nasib’ dari harta peninggalan orang tua dan kerabat. Dari kata ‘nasib’ itu dapat dipahami bahwa dalam jumlah harta yang ditinggalkan si pewaris, disadari atau tidak, telah terdapat hak ahli waris. Dalam hal ini pewaris tidak perlu menjanjikan sesuatu sebelum ia meninggal; begitu pula ahli waris tidak perlu meminta haknya.

(48)

c). Unsur Ijbariy Dari Segi Penerimaan Peralihan Harta Yaitu Adanya unsure

ijbariy ini dapat dipahami dari kelompok ahli waris sebagaimana disebutkan Allah dalam ayat-ayat 11, 12 dan 176 surat al-Nisa’.43

2. Asas Bilateral

Asas bilateral yaitu bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari pihak kerabat laki-laki dan kerabat perempuan. Asas ini dapat dilihat, antara lain dalam surat An-Nisa, ayat 7, 12, dan 176.

3. Asas Individual

Berarti bahwa harta peninggalan diberikan terhadap ahli waris untuk dimiliki secara perorangan.

4. Asas Keadilan Berimbang

Bahwa harus ada keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus dilakukannya.44

5. Asas Akibat Kematian

Bahwa kewarisan hanya terjadi kalau ada yang meninggal dunia. Hal ini berbeda dengan kewarisan pada hukum adat waris, yang memandang proses pewarisan dapat pula berlangsung pada saat pewaris masih hidup.45

43

Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Cet I, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 18-19. 44

Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam (Hukum Islam I): Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), h. 126.

(49)

Kaitannya dengan hal di atas, dalam waris Islam telah ditentukan tiga rukun pewarisan. Adapun tiga rukun tersebut adalah:

(1) Mauruts (warisan), yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh si mati yang bakal dipusakai oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-hutang, dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan itu oleh para fardhiyun disebut juga dengan tirkah atau turats. (2) Muwarits, yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati haqiqi maupun

mati hukmi.

(3) Waris, yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan si mawarits

lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan darah (keturunan), dan hubungan hak perwalian dengan muwarits.46

Dalam Islam mereka yang mempunyai hak dan dapat menerima waris adalah yang mempunyai sebab-sebab sebagai berikut:

1. Pernikahan; seseorang yang berhak mendapat harta peninggalan oleh sebab hubungan pernikahan adalah Janda dan Duda.

2. Keturunan; mereka yang berhak menerima harta peninggalan karena hubungan keturunan adalah ayah, ibu, kakek, nenek, anak perempuan, anak laki-laki, cucu perempuan, cucu laki-laki, saudara laki-laki kandung,

45

Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Cet I, (Bandung: Alumni, 1993), h. 66-67.

46

Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar Mesir, Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islami: Hukum Waris,Penerjemah Addys Aldizar dan Faturrahman, h. 28.

(50)

saudara perempuan kandung, saudara laki-laki sebapak, saudara perempuan sebapak, saudara perempuan seibu,saudara laki-laki seibu. 3. Wala; seseorang yang mendapatka waris karena hubungan wala’ adalah

orang yang memerdekakan budaknya hal ini disebabkan adanya pembebasan budak, atau antara seseorang dengan seorang lainnya disebabkan adanya akad muwalah atau muhalafah. 47

Adapun Faktor-faktor yang menyebabkan gugurnya seseorang mendapatkan harta warisan dari harta peninggalan al-muwarris adalah:

1). Pembunuhan

Apabila ada seorang waris yang membunuh Muwaris-nya, maka ia tidak berhak mewarisi harta Muwaris itu, karena membunuh Muwaris menghalangi waris menerima warisan. Sesuai dengan sabda Nabi:

;H-

W_MVﺵ )3

!

&ﺱ

"

$

%

Waﺵ G )Mﻡ ,B ' bM

- ﻡ ; /

48

Artinya : “ Dari Umar bin Su’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata Rasulullah saw bersabda: tidak ada pusaka bagi si pembunuh.” (HR. Ibnu Majah)

2). Perbedaan Agama

Yang dimaksud dengan perbedaan agama yang menghalangi pusaka ialah adanya perbedaan agama antara ahli waris dengan Muwaris, sehingga ahli waris gugur haknya dalam memperoleh harta warisan. Rasulullah bersabda:

47

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 29.

48

(51)

" E

A /)3

H

$

5 G &S? 0

%

aZ MSE4ﻡ ,

H3ﺡ ; /

49

Artinya: “orang Islam tidak mewarisi orang kafir demikian juga orang kafir tidak mewarisi orang Islam.” (Riwayat Jamaah).

3). Beralih Agama atau Murtad

Orang murtad ialah orang yang meninggalkan Agama Islam dengan kemauan sendiri. Para ulama sependapat menetapkan bahwa orang yang murtad, laki-laki atau perempuan, tidak berhak menerima warisan dari keluarganya yang beragama Islam. Demikian juga keluarganya yang Islam tidak berhak menerima warisan dari Muwaris yang murtad.

Dalam hal besar kecilnya perolehan harta peninggalan untuk masing-masing ahli waris didasarkan pada derajat kekerabatan mereka. Oleh karena itu kerabat-kerabat yang derajat kekerabatannya lebih kuat mendapatkan bagian yang lebih banyak. Bahkan tidak semua kerabat akan mendapatkan waris karena hak-hak yang dimiliki oleh sebagian kerabat baru timbul jika tidak terdapatnya kerabat tertentu hal tersebut semuanya telah diatur secara jelas pada Qur’an dan al-Hadits.

C. Sendi-Sendi Dasar Hukum Waris Perdata

Hukum Waris menurut Hukum Perdata adalah suatu proses menggantikan hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia. Pada umumnya yang digantikan adalah hanya hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan saja.

49

(52)

Fungsi dari yang mewariskan yang bersifat pribadi atau yang bersifat hukum keluarga (misalnya suatu perwalian) tidaklah beralih.50

Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan adalah hak dan kewajiban yang diatur dalam buku ke II KUHPerdata tentang benda dan buku ke III KUHPerdata tentang perikatan.51

Hukum waris yang diatur dalam KUHPerdata atau yang sering disebut hukum waris BW tidak berlaku untuk semua golongan penduduk, hukum waris BW tersebut hanya berlaku untuk:

a. Golongan orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan golongan orang-orang tersebut.

b. Golongan orang-orang Timur Asing Tionghoa dan

c. Golongan orang-orang Timur Asing lainnya dan orang-orang Pribumi yang menundukan diri.52

Dalam KUH.Perdata terdapat dua cara untuk mendapatkan warisan sebagai berikut:

i. Seseorang menjadi ahli waris menurut ketentuan undang-undang atau ab intestate;

50

H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Cet II, (Jakarta: Rajawali, 1989), h. 375.

51

Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat “Kewarisan Menurut Undang-Undang”, Cet II, (Jakarta: Kencana Renada Media Group, 2006), h. 7.

52

(53)

ii. Seseorang mendapatkan harta peninggalan dari si meninggal karena ditunjuk dalam surat wasiat atau testamentair.

Adapun yang menjadi syarat umum pewarisan di dalam KUHPerdata yaitu:

1. Ada orang yang meninggal dunia. Pasal 830 KUHPerdata menyebutkan, bahwa peawarisan hanya berlangsung karena kematian. Kematian di sini adalah kematian alamiah. (wajar).

2. Untuk memperoleh harta peninggalan ahli waris harus hidup pada saat Pewaris meninggal. Menurut pasal 836 KUHPerdata, Seseorang yang bertindak sebagai ahli waris, si ahli waris harus hadir pada saat harta peninggalan jatuh meluang (warisan terbuka).53

Dalam KUH.Perdata dijelaskan tentang orang-orang yang berhak mewarisi harta peninggalan dari si meninggal yang tercantum di dalam pasal 852-861 KUH.Perdata bagian ke-Dua tentang perwarisan para keluarga sedarah yang sah, dan suami atau isteri yang hidup terlama. Menurut Subekti untuk menentukan siapa yang berhak mewarisi harta peninggalan, anggota keluarga si meninggal dibagi dalam beberapa golongan sebagai berikut:

1. Ahli waris dalam golongan pertama, dimasukkan suami, isteri dan anak-anak beserta turunan-turunan dalam garis lencang kebawah, dengan tidak

53

(54)

membedakan laki-laki atau perempuan dan dengan tidak membedakan urutan kelahiran.

2. Ahli waris dalam golongan kedua, dimasukkan orang tua dan saudara-saudara dari si meninggal. Bagi orang tua diadakan peraturan-peraturan yang menjamin bahwa ia pasti mendapat bagian yang tidak kurang dari seperempat harta peninggalan.

3. Ahli waris dalam golongan ketiga ini akan mendapat harta peninggalan jika tidak terdapat keluarga dari golongan kedua. Orang-orang yang termasuk dalam golongan ini adalah sanak keluarga dari pancar ayah si yang meninggal dan sanak keluarga dari pancar ibu si yang meninggal.54 Dalam hukum waris perdata seseorang yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya pun dikecualikan dari pewarisan terdapat dalam pasal 838 KUH.Perdata tentang pewarisan karena kematian adalah sebagai berikut:

1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh si yang meninggal.

2. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap si yang meninggal, ialah suatu pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.

54

(55)

3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya.

4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang meninggal.55

Asas-asas KUH.Perdata (BW) yang merupakan sendi-sendi dasar hukum waris perdata adalah sebagai berikut:

1. Dalam hukum waris berlaku suatu asas bahwa apabila seorang meninggal dunia seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya meskipun seorang bayi yang baru lahir adalah cakap untuk tampil sebagai ahli waris mewarisi harta peninggalan orang tua.56 Seperti yang tercantum pada pasal 833 KUHPer tentang pewarisan karena kematian yang berbunyi:”bahwa sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang si yang meninggal”. Selanjutnya dijelaskan pula dalam pasal 834 yang berbunyi:”bahwa tiap-tiap waris berhak memajukan gugatan guna memperjuangkan hak warisnya, terhadap segala mereka, yang baik atas dasar hak yang sama, baik tanpa dasar sesuatu hak pun

55

Subekti dan Tjitrosudibio, Ibid, h. 223.

56

(56)

menguasai seluruh atau sebagian harta peninggalan, seperti pun terhadap mereka, yang secara licik telah menghentikan penguasaannya.57

2. Di samping itu berlaku juga asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan.

3. Bahwa dalam waris perdata berlaku juga asas kematian artinya pewarisan hanya berlaku jika si pemilik harta meninggal dunia.

4. Asas individual dimana yang menjadi ahli waris adalah perorangan bukan kelompok ahli waris dan bukan kelompok lain, suku atau keluarga. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 852 852a.

5. Asas Bilateral artinya bahwa seseorang tidak hanya mewarisi dari bapak saja tetapi juga mewarisi dari ibu juga, demikian juga saudara laki-laki mewarisi dari saudara laki-lakinya, maupun saudara perempuannya. Hal ini tercantum dalam pasal 850, 853, dan 856.

6. Asas perderajatan maksudnya ahli waris yang derajatnya dekat dengan si pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.58

E. Sendi-Sendi Dasar Hukum Waris Adat

Seperti yang telah dijelaskan pada bab II bahwa waris adat adalah penerusan dan pengalihan harta kekayaan dari si pemilik harta kepada ahli waris

57

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 2

58

(57)

yang dilakukan pada saat setelah si pemilik harta meninggal ataupun masih hidup. Orang yang berhak menerima harta kekayaan yaitu orang-orang yang mempunyai hak atas harta tersebut menurut hukum adat yang berlaku. Pada masyarakat betawi dalam hal pembagian warisan menggunakan sistem kewarisan individual, dimana harta peninggalan dibagikan secara merata kepada ahli waris baik laki-laki maupun perempuan.

Masyarakat Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan yang berbeda-beda ini akan berpengaruh dalam sistem kewarisan yang berlaku di masyarakat. Adapun sistem keturunan itu adalah sebagai berikut:

1. Sistem patrilineal, yaitu system keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan.

2. Sistem matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan.

(58)

pada sistem keturunan ini keduduka

Gambar

Tabel 1.1 Kisi-Kisi Instrumen
Gambar 1. Grafik Histogram
gambaran tentang objek kewarisan. Adapun macam-macam harta dalam
Tabel I Aparat Pemerintah Kelurahan dan Instansi lain
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk situasi yang jarang ada yakni jika pemajanan jauh melampaui batas pemajanan ( contoh, lebih besar dari sepuluh kali lipat), atau dalam situasi darurat, pakai alat

[r]

Dan guru juga harus memberikan tugas atau latihan kepada peserta didik agar supaya meraka akan lebih aktif lagi.44 Jadi, dengan demikian dapat saya simpulkan bahwa aktivitas

(1) Dalam hal NPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya

Ada hubungan yang signifikan antara tingkat konsumsi energi, tingkat konsumsi protein, dan frekuensi periksa kehamilan dengan pertambahan berat badan ibu hamil trimester

RT rerata skor kognitif lebih pembelajaran skor terkoreksi s lebih tinggi konvensional, dan belajar kognitif pembelajaran ati (2016) rbedaan pada keterampilan r kognitif

Kemampuan ibu dalam melakukan perawatan bayi baru lahir juga dipengaruhi oleh latar belakang budaya ibu tersebut, karena biasanya banyak mitos dari budaya

Solusi pengobatan sipilis, kencing nanah gonore dan raja singa yang sangat manjur dan mujarab hanya dengan obat gangjie dan ghosiah produk obat herbal dari Denature