• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunitas burung di Pulau Tidung Kecil, Kepulauan Seribu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunitas burung di Pulau Tidung Kecil, Kepulauan Seribu"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

KEPULAUAN SERIBU

AI WINARSIH

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

i

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

AI WINARSIH 1111095000018

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

ii SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh: AI WINARSIH 1111095000005

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Fahma Wijayanti, M.Si Paskal Sukandar, M.Si NIP. 19690317200312 2001 NIP. 195103251982101001

Mengetahui, Ketua Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

(4)

iii

LULUS dalam Seminar Hasil Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S1) Jurusan Biologi.

Menyetujui,

Penguji I Penguji II

Dr. Iwan Aminudin, M.Si Narti Fitriana, M.Si

NIP. NIDN. 0331107403

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Fahma Wijayanti, M.Si Paskal Sukandar, M.Si

NIP. 19690317200312 2001 NIP. 195103251982101001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Biologi

(5)

iv

KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Ciputat, Juli 2015

(6)

v Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta. 2015.

Pulau Tidung Kecil berpotensi sebagai habitat bagi burung karena kondisi hutan lebih baik dibandingkan Pulau Tidung Besar. Habitat burung di Pulau Tidung Kecil berpotensi mengalami gangguan akibat penebangan dan pembakaran kawasan bervegetasi untuk tujuan pembangunan dan aktifitas kunjungan wisatawan. Studi tentang burung penting, dengan melakukan studi mengenai burung dan habitatnya dapat diketahui perubahan yang terjadi dalam suatu ekosistem. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui keanekaragaman jenis burung dan pemanfaatan vegetasi sebagai habitat burung di Pulau Tidung Kecil. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari hingga Maret 2015 di Pulau Tidung Kecil, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta. Data burung dikumpulkan dengan metode kombinasi IPA (Index Point of Abundance) dan dengan metode jalur (transect) pada 9 titik pengamatan. Diperoleh 29 spesies burung dari 19 famili (metode IPA), dan 31 spesies burung dari 20 famili (metode daftar jenis MacKinnon). Terdapat 24 jenis burung penetap dan 7 jenis burung migran. Nilai indeks keanekaragaman di Pulau Tidung Kecil sebesar 2,39 (medium). Nilai indeks kemerataan jenis yang didapat sebesar 0,7 (tinggi). Nilai kekayaan jenis burung sebesar 4,31(tinggi). Cemara laut (Casuarina equisetifolia) merupakan jenis pohon yang paling sering dimanfaatkan oleh burung yaitu sebanyak 76,47%. Strata tiga adalah strata yang paling banyak dimanfaatkan oleh burung. Berdasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) 100% burung di Pulau Tidung Kecil tergolong Least concern atau beresiko rendah. sebanyak 7 jenis burung yang dilindungi Peraturan Pemerintah no.7 tahun 1999 dan Tidak terdapat jenis burung yang dilindungi oleh CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora).

(7)

vi

Technology. Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. 2015.

Tidung Kecil Island had potential as bird’s habitat because the condition of forest better than Tidung Besar. Bird’s habitat in Tidung Kecil Island also had bad potential because of logging and burned in vegetation areal for build and for activity of tourism. Study about bird were very important because we could know the change that happened in one ecosystem. The purposed of this research was to know the variety of bird and usefully of vegetation as bird’s habitat in Tidung Kecil Island. This researched hold on January until March 2015 in Tidung Kecil Island, Thousand Island, Jakarta. This research carried out by combination of IPA (Index Point Of Abundance) method and transect method that divided into 9 point along transect. The result of researched were 29 species of bird from 19 family with IPA method and 31 species of bird from 20 family with Mackinnon list method. Composition of bird species include of 24 resident bird species and 7 migrant bird species. The number of variety species index was 2,39 (medium). Evenness index value was 0,7 (high). The number of species richness was 4,31(high). The species of tree that often used by bird was Casuarina equisetifolia (76,47%). The most used base of vertical level tree by bird in Tidung Kecil Island was level three. Conservation status in Tidung Kecil Island based on IUCN were 100% (least concern). Based of PP No.7 year 1999, there were 7 species of bird that were protected. There were no species of bird that were protected by CITES.

(8)

vii

hidayah dan karunia-Nya. Sholawat serta salam penulis panjatkan kepada Rasulullah SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Komunitas Burung di Pulau Tidung Kecil, Kepulauan Seribu“.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak baik kepada masyarakat, peneliti, maupun instansi pemerintahan yang terkait. Peran serta dukungan berbagai pihak merupakan bantuan yang tak ternilai bagi penulis, oleh karena itu penulis sampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Ace Cepiyana dan Ibunda Idar Darsini yang memberikan kasih sayang, dukungan dan doa sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan di perguruan tinggi dan dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Dasumiati, M.Si selaku Ketua Jurusan Biologi dan Etyn Yunita, M.Si selaku sekretaris Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(9)

viii dalam penyusunan skripsi ini.

6. Seluruh dosen Program Studi Biologi, atas semua ilmu yang telah diberikan semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan dapat diamalkan sebagai amal jariyah. 7. Suku Dinas Pertanian di Pulau Tidung Kecil, Walid Rumblat, S.Si, Medina Deanti Sari, Meidi Yanto, Sinta Ramadhania, Mas Kurnadi, Ibu Titik Sari dan Ka Brian yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.

8. Keluarga besar penulis serta Dennis Nur Hidayat dan Rafa Fadhila sebagai adik kandung penulis yang telah memberi semangat dan dukungan kepada penulis. 9. Medina Deanti Sari, Shelfila Fitriani, Putri Sintya Dewi, Naylul Izzah, Aldha

Rizki Utami dan Nurhafizoh sebagai teman-teman terbaik dalam menempuh pendidikan di Biologi UIN Jakarta.

10. Teman-teman Program Studi Biologi Angkatan 2011, Himbio Oryza sativa, dan KPB Nectarinia yang selalu memberikan do’a dan semangat kepada penulis.

Semoga Allah membalas semua amal baik yang telah diberikan kepada penulis, amin. Skripsi ini tak luput dari kesalahan, oleh karena itu diharapkan masukan dan saran dari pembaca untuk dapat menjadi pelajaran bagi penulis.

Jakarta, Juli 2015

(10)

ix

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...4

2.1. Keadaan Umum Wilayah Kepulauan Seribu ...4

2.2. Kekayaan dan Keanekaragaman Jenis Burung ...6

2.3. Komunitas Burung ...8

2.4. Ekologi Burung ...9

2.5. Habitat Burung ...11

2.6. Status Konservasi dan Status Perlindungan Jenis Burung ...13

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 1515 3.1. Waktu dan Lokasi ... 1515 3.2. Alat dan Bahan ... 1516 3.3. Cara Kerja ... 1616 3.3.1. Pengumpulan Data Burung... 1616 3.3.2. Pemanfaatan Vegetasi oleh Burung... 1717 3.4. Analisis Data ...18

3.4.1. Indeks Keanekaragaman ... 1818 3.4.2. Indeks Kemerataan ... 1919 3.4.3. Indeks Kekayaan Jenis ... 1919 3.4.4. Tingkat Penggunaan Vegetasi Sebagai Habitat Burung ... 220

3.4.5. Sebaran Burung Menurut Strata Vegetasi ... 220

3.4.6. Komposisi Jenis dan Status Perlindungan ... 2121 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 2222 4.1. Kondisi Habitat ... 222

(11)

x

(12)

xi

(13)

xii

(14)

xiii

Lampiran 2. Kondisi habitat burung di Pulau Tidung Kecil bagian barat ...56

Lampiran 3. Kondisi habitat burung di Pulau Tidung Kecil bagian tengah ...57

Lampiran 4. Kondisi habitat burung di Pulau Tidung Kecil bagian timur ...58

Lampiran 5. Rekapitulasi jumlah individu burung pada setiap pengamatan ...59

Lampiran 6. Data pemanfaatan vegetasi oleh burung ...60

Lampiran 7. Data aktifitas burung ...61

Lampiran 8. Jenis-jenis burung yang ditemukan di Pulau Tidung Kecil ...62

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kepulauan Seribu terdiri dari banyak pulau, salah satunya adalah Pulau Tidung. Secara administratif Pulau Tidung termasuk kedalam wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Pulau Tidung terbagi atas dua gugusan pulau yaitu Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil. Sebagai salah satu pulau yang terdapat pada gugusan Kepulauan Seribu, Pulau Tidung Kecil potensial sebagai habitat bagi burung karena kondisi hutan lebih baik dan tingkat pembangunan masih rendah dibandingkan dengan Pulau Tidung Besar (Pemprov DKI, 2010).

Pulau-pulau di Kepulauan Seribu termasuk Pulau Tidung Kecil umumnya dihuni oleh berbagai jenis burung terutama jenis-jenis burung air dan burung pantai. Menurut Mardiastuti (1992), sebanyak 15 jenis burung air ditemukan di Pulau Rambut dan populasi terbesar didominasi oleh famili Heron (Ardeidae) dan Cormorant (Phalacrocoracidae), dimana Pulau Rambut merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kepulauan Seribu. Kepulauan Seribu merupakan kumpulan pulau yang menunjang keberlangsungan hidup suatu burung. Umumnya habitat di Kepulauan Seribu digunakan oleh burung sebagai tempat beristirahat, bersarang, tempat berkembang biak, dan tempat berlindung dari ancaman predator. Habitat burung di Pulau Rambut terdiri dari hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder dan hutan dataran kering campuran (Mardiastuti, 1992).

(16)

demikian, burung dapat dimanfaatkan langsung atau tidak langsung sebagai bioindikator lingkungan (Hernowo dan Prasetyo, 1989). Namun, keberadaan habitat burung di Pulau Tidung Kecil berpotensi mengalami gangguan akibat penebangan dan pembakaran kawasan bervegetasi untuk tujuan pembangunan (Andam, 2012) dan aktifitas kunjungan wisatawan. Akibatnya, areal-areal bervegetasi yang merupakan habitat burung yang paling penting, semakin berkurang sehingga dikhawatirkan banyak jenis burung yang akan kehilangan habitatnya. Beberapa hasil penelitian seperti Kuswanda (2010) menunjukkan bahwa perubahan struktur dan komposisi vegetasi telah menurunkan kelimpahan dan keanekaragaman jenis burung di suatu kawasan.

Studi tentang burung penting, karena dengan melakukan studi mengenai burung dan habitatnya dapat diketahui perubahan yang terjadi dalam suatu ekosistem karena burung merupakan jenis yang dapat merespon perubahan yang terjadi pada suatu kawasan (Ajie, 2009). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh informasi mengenai keanekaragaman jenis burung burung serta pemanfaatan vegetasi oleh burung dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan lahan di kawasan tersebut, agar kelestarian burung dan fungsi ekosistem di kawasan tersebut dapat dipertahankan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

(17)

2. Bagaimanakah pemanfaatan vegetasi sebagai habitat oleh burung-burung yang ada di Pulau Tidung Kecil ?

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui keanekaragaman jenis burung yang ada di Pulau Tidung Kecil.

2. Mengetahui pemanfaatan vegetasi sebagai habitat burung di Pulau Tidung Kecil.

1.4. Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:

1. Memberikan kontribusi berupa data yang dapat digunakan untuk pelestarian satwa burung, dengan menjaga ketersediaan habitatnya.

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keadaan Umum Wilayah Kepulauan Seribu

Kepulauan Seribu terdiri atas 110 pulau, dan 11 diantaranya yang dihuni Penduduk. Pulau-pulau lainnya digunakan untuk rekreasi, cagar alam, cagar budaya dan peruntukan lainnya. Luas Kepulauan Seribu kurang lebih 108.000 ha, terletak di lepas pantai Utara Jakarta dengan posisi memanjang dari utara ke selatan yang ditandai dengan pulau-pulau kecil berpasir putih dan gosong-gosong karang. Pulau Untung Jawa merupakan pulau berpenghuni yang paling selatan atau paling dekat dengan jarak 37 mil laut dari Jakarta. Sedangkan kawasan paling utara adalah Pulau Dua Barat yang berjarak sekitar 70 mil laut dari Jakarta (Noor, 2003).

Keadaan angin di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin monsoon yang secara garis besar dapat dibagi menjadi Angin Musim Barat (Desember-Maret) dan Angin Musim Timur (Juni-September). Musim Pancaroba terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-Nopember. Kecepatan angin pada musim barat bervariasi antara 7-20 knot/jam, yang umumnya bertiup dari barat daya sampai barat laut. Angin kencang dengan kecepatan 20 knot/jam biasanya terjadi antara bulan Desember-Februari. Pada musim timur kecepatan angin berkisar antara 7-15 knot/jam yang bertiup dari arah timur sampai tenggara (Noor, 2003).

(19)

curah hujan tahunan sekitar 1700 mm. Musim kemarau kadang-kadang juga terdapat hujan dengan jumlah hari hujan antara 4-10 hari/bulan. Curah hujan terkecil terjadi pada bulan Agustus (Noor, 2003).

Sebagai salah satu pulau tujuan wisatawan, Pemerintah DKI mendukung pengembangan wilayah di Pulau tidung dengan membangun sarana dan prasarana. Guna mendukung pengembangan wisata di Pulau Tidung, maka dibangun jembatan penghubung antara Pulau Tidung Besar sebagai pulau pemukiman ke Pulau Tidung Kecil yang diperuntukan sebagai hutan lindung. Jembatan ini dibangun oleh Pemerintah Kabupaten dalam rangka membuka akses antara Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil dimana pengembangan di masa depan akan diarahkan pada kawasan hutan lindung yang mampu menciptakan kawasan edukasi tidak saja bagi wisatawan, akan tetapi juga bagi riset dan penelitian. Pulau Tidung sering dikunjungi oleh para peneliti untuk melakukan berbagai kegiatan penelitian. Berdasarkan kondisi yang ada, Pulau Tidung berpotensi untuk dikembangkan sebagai tujuan pusat edukasi kelautan maupun tujuan wisata umum berbasis pertanian mengingat aksesnya yang terhubung antara Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil (Pemprov DKI, 2010).

(20)

kelompok bukan burung air (38 jenis) (Onrizal, 2004). Pulau Rambut memiliki keanekaragaman jenis burung yang tinggi. Hutan campuran merupakan habitat burung di Pulau Rambut yang berfungsi sebagai tempat sarang, tempat kawin, tempat berkembangbiak, tempat membesarkan anak, tempat berlindung dari ancaman predator, dan tempat beristirahat (Onrizal, 2004). Habitat burung di Pulau Rambut terdiri dari hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder dan hutan dataran kering campuran Mardiastuti (1992).

Pohon yang dijadikan sebagai tempat bersarang di Pulau Rambut adalah Sterculia foetida, R. mucronata, Ficus timorensis dan Excoecaria agallocha

(Ayat, 2002). Habitat burung air di Pulau Rambut terdiri dari hutan campuran dan hutan payau yang terbagi ke dalam hutan payau primer dan sekunder. Di hutan pantai (Sterculia-Dysoxylum) dihuni oleh cangak abu, pecuk ular, bluwok dan kowak maling. Di hutan payau primer yang didominasi Rhizophora mucronata dihuni oleh pecuk, roko-roko, pelatuk besi, kowak maling, kuntul kecil, kuntul kerbau dan cangak abu. Hutan payau sekunder (CeriopsXylocarpus-Scyphiphora) dihuni oleh cangak merah, kuntul besar, kuntul kecil,kuntul sedang dan kowak maling (Mahmud, 1991).

2.2. Kekayaan dan Keanekaragaman Jenis Burung

(21)

jenis dari ekosistem yang berbeda, misalnya perbandingan antara masyarakat mamalia kecil dari dua kawasan, perbedaan masyarakat burung di dalam dua macam hutan, atau jenis-jenis intevertebrata sebelum dan sesudah adanya proyek yang mengubah keadaan aliran sungai.

Odum (1993) mengatakan bahwa keanekaragaman jenis tidak hanya berarti kekayaan atau banyaknya jenis, tetapi juga kemerataan (evenness) dari kelimpahan individu tiap jenis. Keanekaragaman dibedakan atas tiga ukuran meliputi kekayaan jenis (species richness), keanekaragaman jenis (diversity), dan kemerataan jenis (evenness). Pada umumnya kekayaan jenis dibuat dalam indeks keanekaragaman. Menurut Bibby et al. (2000), semakin tinggi indeks keanekaragaman jenis maka semakin tinggi pula jumlah jenis dan kesamarataan populasinya. Akan tetapi, bisa terjadi bahwa komunitas burung yang kekayaan jenisnya lebih tinggi dan kesamarataannya lebih rendah memiliki indeks keanekaragaman yang sama dengan komunitas yang keanekaragamannya yang lebih rendah dan kesamarataannya tinggi.

(22)

tidak terlalu bergantung pada pengalaman dan pengetahuan pengamat, intensitas pengamatan, dan keadaan cuaca. Indeks kekayaan jenis Shannon-Wiener merupakan ukuran nisbah keanekaragaman yang paling sering digunakan oleh para ahli ekologi untuk mengukur keanekaragaman jenis satwaliar (Sutopo, 2008), karena menurut Magurran (1988) pertimbangan yang mendasari penggunaan indeks tersebut adalah kepekaan terhadap perubahan ukuran unit contoh (rendah sampai sedang), kemampuan mendeteksi perbedaan antara unit contoh atau lokasi (sedang sampai tinggi) dan kemudahan dalam proses perhitungan (semuanya sederhana).

2.3. Komunitas Burung

Komunitas adalah seluruh populasi jenis yang hidup dalam ruang dan waktu yang sama (Begon et al., 2006; Magurran, 1994). Menurut Odum (1993), komunitas adalah kumpulan populasi yang hidup pada lingkungan tertentu, saling berinteraksi dan bersama-sama membentuk tingkat tropik dan metaboliknya. Sebagai suatu kesatuan, komunitas mempunyai seperangkat karakteristik yang hanya mencerminkan keadaan dalam komunitas saja, bukan pada masing-masing organisme pendukungnya saja.

(23)

memiliki lima tipologi atau karakteristik, yaitu keanekaragaman, dominasi, bentuk dan struktur pertumbuhan, kelimpahan relatif serta struktur trofik.

Kaban (2013) menemukan komunitas burung di tegakan puspa yang tersusun dari 11 kategori kelompok guild. Kategori kelompok guild tersebut adalah pemakan daging, pemakan buah dibagian tajuk, pemakan buah-buahan yang berserakan di lantai hutan, pemakan biji-bijian, pemakan serangga di bagian tajuk pohon, pemakan serangga di bagian dahan atau ranting, pemakan serangga di serasah atau lantai hutan, pemakan serangga sambil melayang, pemakan serangga dan penghisap nektar, pemakan serangga dan buah-buahan, pemakan invertebrate dan vertebrata.

Berdasarkan jumlah jenis yang ditemukan oleh Kaban (2013), pada tegakan puspa, didominasi oleh pemakan serangga yang aktif mencari makan di bagian tajuk pohon (10 jenis), sedangkan kategori pemakan serangga sambil melayang, pemakan buah di bagian tajuk, pemakan buah-buahan yang berserakan di lantai hutan, dan pemakan biji-bijian merupakan kategori yang jumlah jenisnya paling sedikit, hanya ditemukan satu jenis. Berdasarkan jumlah individu, kategori pemakan serangga sekaligus penghisap nektar mempunyai jumlah individu lebih banyak dibandingkan kategori guild yang lainnya (116 individu), sedangkan pemakan daging merupakan kategori yang mempunyai jumlah individu paling sedikit hanya ditemukan lima individu.

2.4. Ekologi Burung

(24)

pemencar biji (seed disperser), dan penyerbuk (polinator). Burung juga merupakan indikator yang sangat baik untuk kesehatan lingkungan dan nilai keanekaragaman hayati lainnya (Rombang dan Rudyanto, 1999).

Alikodra (2002) menjelaskan bahwa tingginya keanekaragaman jenis burung di suatu tempat didukung oleh keanekaragaman habitat. Faktor yang menentukan keberadaan burung adalah ketersediaan makanan, tempat untuk istirahat, main, kawin, bersarang, bertengger, dan berlindung. Kemampuan areal menampung burung ditentukan oleh luasan, komposisi dan struktur vegetasi, banyaknya tipe ekosistem dan bentuk habitat. Burung merasa betah tinggal di suatu tempat apabila terpenuhi tuntutan hidupnya antara lain habitat yang mendukung dan aman dari gangguan (Hernowo, 1985).

Keberadaan burung di suatu habitat sangat berkaitan erat dengan faktor-faktor fisik seperti tanah, air, temperatur, cahaya matahari serta faktor-faktor-faktor-faktor biologis yang meliputi vegetasi dan satwa lainnya (Welty dan Baptista, 1988). Alikodra (2002) menjelaskan, bahwa habitat merupakan kawasan yang terdiri dari berbagai komponen, baik secara fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar.

(25)

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu ketidak cocokan habitat, perilaku (seleksi habitat), kehadiran jenis hewan lain (predator, parasit, pesaing) dan faktor kimia-fisika lingkungan yang berada di luar kisaran toleransi jenis burung yang bersangkutan.

2.5. Habitat Burung

Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu yang dijadikan tempat suatu jenis atau komunitas hidup. Habitat yang baik akan mendukung perkembangbiakan organisme yang hidup didalamnya secara normal. Habitat memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu organisme. Habitat merupakan bagian penting bagi distribusi dan jumlah burung (Bibby et al., 2000)

(26)

Suatu habitat yang baik untuk perkembang biakan burung biasanya adalah habitat yang dapat memberikan potensi pakan yang cukup besar (Perrins dan Birkhead, 1983). Ketersediaan makanan merupakan faktor yang sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu jenis burung, banyak jenis mencari makan pada areal yang lebih luas dan biasanya mereka memperoleh pakan dari daerah yang telah tereksploitasi (Harris dan Harris, 1997). Menurut Alikodra (2002), kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi, penyebaran dan produktifitas satwaliar termasuk burung.

Pemilihan habitat terbentuk karena beberapa organisme yang tinggal disuatu tempat yang dihuni lebih mendukung untuk menghasilkan banyak keturunan yang ditinggalkannya bila dibandingkan dengan organisme-organisme di tempat lain. Ketika habitat berubah, beberapa jenis tidak mampu beradaptasi dengan cepat dan oleh karena itu hanya sebagian habitat yang potensial untuk dijadikan tempat tinggalnya (Krebs, 2013). Sejumlah studi telah menunjukkan kuatnya pengaruh struktur vegetasi terhadap distribusi jenis burung. Selain itu, manusia dapat mempengaruhi burung-burung dan habitatnya secara langsung melalui modifikasi vegetasi dan perburuan (Bibby et al., 2000). Adanya berbagai tipe vegetasi dengan berbagai bentuk penutupan lahan dan ketinggian suatu wilayah kecenderungan akan memberikan pengaruh terhadap jenis dan perilaku satwa yang dijumpai (MacArthur dan Connel, 1966). Struktur vegetasi pada areal hutan tanaman terbagi menjadi dua strata yaitu tumbuhan bawah dan tumbuhan penutup (Utari, 2000).

(27)

menyebar pada tajuk atas sampai lantai hutan. Jenis burung yang dijumpai pada lantai hutan sebanyak 11 jenis antara lain Paok Pancawarna ( Pitta guajana) dan Gelatikbatu Kelabu (Parus major). Ditemukan dua jenis burung pada bagian batang, 13 jenis pada tajuk bawah, 11 jenis pada tajuk tengah, dan 17 jenis pada tajuk atas.

2.6. Status Konservasi dan Status Perlindungan Jenis Burung

Jenis-jenis burung di Pulau Tidung Kecil perlu diketahui status keterancamannya berdasarkan beberapa status perlindungan. Terdapat tiga kategori status perlindungan yang berlaku di wilayah Indonesia menurut Sukmantoro et al. (2007) yaitu:

1. Status keterancaman menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources)

(28)

2. Status Peraturan Perdagangan Internasional menurut CITES

CITES (Convention on International Trade of Endangered Jenis of Wild Fauna and Flora) mengelompokkan kategori-kategori jenis dalam 3 Appendix (Lampiran) yaitu Appendix I ( semua jenis yang terancam punah dan berdampak apabila diperdagangkan. Perdagangan hanya diijinkan dalam kondisi tertentu misalnya untuk riset ilmiah). Appendix II (jenis yang statusnya belum terancam tetapi akan terancam punah apabila dieksploitasi berlebihan) contohnya adalah burung kangkareng perut hitam, kangkareng perut putih, dan cucak rawa. Appendix III (seluruh jenis yang juga dimasukan dalam peraturan perdagangan dan Negara lain berupaya mengontrol dalam perdagangan tersebut agar terhindar dari eksploitasi yang tidak berkelanjutan).

3. Status Perlindungan dan Hukum Negara Republik Indonesia

(29)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Pulau Tidung Kecil, Kelurahan Pulau Tidung, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta. Penelitian dimulai pada bulan Januari hingga bulan Maret 2015. Pengamatan dilakukan pada waktu pagi hari pukul 06.00-09.30 WIB dan sore hari pukul 16.00-18.00 WIB dengan asumsi burung mulai aktif melakukan aktifitas pada rentang waktu ini.

Gambar 1. Peta penyebaran titik pengamatan di Pulau Tidung Kecil (Sumber: Badan Informasi Geospasial tahun 1999 dengan software Arcview 3.3)

(30)

3.2. Alat dan Bahan

Objek penelitian yang diamati adalah jenis-jenis burung yang berada di Pulau Tidung Kecil. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah binokuler, buku panduan lapangan burung–burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (MacKinnon et al., 2010), Kamera Digital SLR Nikon D3200 with lens 70-300 dan Nikon Coolpix P530 40X, kompas, counter, GPS (Global Positioning System) Garmin etrex Vista HCx dan jam tangan digital.

3.3. Cara Kerja

3.3.1. Pengumpulan Data Burung

Survei pendahuluan dilakukan terlebih dahulu untuk mengenal lokasi atau habitat yang akan menjadi tempat pengamatan, kemudian untuk penelusuran jalur dan penentuan titik pengamatan, dan mengenal jenis-jenis burung yang umum dijumpai di titik pengamatan. Pengumpulan data burung dilakukan dengan metode kombinasi antara metode IPA (Index Point of Abundance) dan dengan metode jalur (transect) (Bibby et al., 2000). Metode ini adalah metode yang dilakukan dengan mengikuti jalur yang telah ada dan berhenti di setiap jarak tertentu (Gambar 2).

(31)

pengamatan ke kiri dan kanan sejauh 25 meter dan jarak antar titik sejauh 100 meter, agar tidak terjadi pengulangan pencatatan. Data penelitian yang dikumpulkan diantaranya jumlah jenis burung, jumlah individu burung pada lokasi pengamatan, waktu penjumpaan terhadap jenis burung, dan titik kordinat pengamatan. Data yang diperoleh kemudian dikumpulkan untuk dianalisis lebih lanjut.

Gambar 2. Kombinasi Metode IPA dan Metode Jalur

Untuk mengetahui kekayaan jenis burung digunakan metode daftar jenis MacKinnon atau yang dikenal juga dengan metode daftar 20 jenis MacKinnon (Tweenty Species List). Menurut MacKinnon (1990) setiap daftar berisi dua puluh jenis burung, jenis berikutnya meskipun sama dapat dicatat lagi pada daftar yang baru. Metode ini dapat digunakan untuk menduga kekayaan jenis burung secara kualitatif di suatu tipe habitat. Dalam penelitian ini dibuat sebanyak sepuluh jenis dalam setiap daftar (Sutopo, 2008).

3.3.2. Pemanfaatan vegetasi oleh burung

Penyebaran jenis burung menurut struktur vegetasi, dilakukan penggambaran strata vegetasi yang ada disetiap tipe habitat yang diteliti. Pemanfaatan ruang vegetasi oleh burung secara umum terbagi menjadi dua strata

R

(32)

yaitu tumbuhan bawah dan tumbuhan penutup (Utari, 2000). Rahayuningsih et al. (2007) membagi menjadi 4 strata vegetasi pohon (Gambar 3).

Pemanfaatan ruang vegetasi oleh burung secara umum dibagi menjadi bagian tajuk dan bagian batang (Gambar 3). Pembagian tajuk dibagi lagi menjadi bagian tajuk atas, tajuk tengah dan tajuk bawah. Batasan bagian tajuk bagian atas adalah 1/3 bagian atas dari tinggi total tajuk, kemudian bagian bawah adalah 1/3 tinggi total tajuk bagian bawah, dan bagian tengah adalah 1/3 tinggi total tajuk bagian tengah. Untuk pemanfaatan bagian batang dari bagian tajuk bawah hingga berbatasan dengan lantai hutan, sedangkan lantai hutan adalah vegetasi bawah (Kaban, 2013).

Gambar 3. Pembagian strata vegetasi pohon (Rahayuningsih et al., 2007)

3.4. Analisis Data

3.4.1. Indeks Keanekaragaman

(33)

H’ = Nilai indeks Shannon Pi = ni/N

Ni = Jumlah individu jenis ke-i N = Total jumlah individu S = Total jumlah jenis ln = Logaritma natural

Nilai keanekaragaman jenis <1,5 dikategorikan rendah, selanjutnya nilai 1,5 hingga 3,5 dikategorikan sedang dan nilai >3,5 menunjukkan keanekaragaman yang tinggi (Magurran, 1988).

3.4.2. Indeks Kemerataan

Indeks Kemerataan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

E = Indeks kemerataan

H' = Indeks keanekaragaman Shannon S = Jumlah jenis

ln = Logaritma natural

Bila E mendekati 0 (nol), jenis penyusun tidak banyak ragamnya, ada dominasi dari jenis tertentu dan menunjukkan adanya tekanan terhadap ekosistem. Bila E mendekati 1 (satu), jumlah individu yang dimiliki antar jenis tidak jauh berbeda, tidak ada dominasi dan tidak ada tekanan terhadap ekosistem (Ludwig dan Reynolds, 1988).

3.4.3. Indeks Kekayaan Jenis

(34)

R = Indeks Kekayaan Jenis Margalef S = Jumlah Jenis

N = Jumlah Individu ln = Logaritma natural

Nilai Indeks kekayaan jenis >4,0 dikategorikan baik, selanjutnya nilai 2,5 hingga 4,0 dikategorikan moderat dan nilai <2,5 menunjukkan keanekaragaman yang buruk (Jorgensen et al., 2005).

3.4.4. Tingkat Penggunaan Vegetasi Sebagai Habitat Burung

Teknik Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat penggunaan jenis tumbuhan oleh burung. Setiap jenis tumbuhan digunakan oleh burung sebagai tempat untuk melakukan berbagai aktifitas, seperti mencari makan (Feeding), membersihkan bulu dan bertengger (Resting), bergerak dan sosial (Social) maupun bersarang (Nest). Penggunaan vegetasi oleh burung dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Ft = Fungsi suatu jenis vegetasi bagi burung

St = Banyaknya jenis burung yang menggunakan suatu jenis vegetasi pada plot pengamatan

Sp = Seluruh jenis burung pada plot pengamatan yang terdapat suatu jenis vegetasi tersebut

3.4.5. Sebaran Burung Menurut Strata Vegetasi

(35)

vertikal vegetasi hutan dengan banyaknya jenis burung di habitat tersebut sehingga dapat diketahui jenis burung yang menggunakan strata tajuk pada masing-masing tipe habitat (Sayogo, 2009).

3.4.6. Komposisi Jenis dan Status Perlindungan

(36)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Habitat

Gambaran kondisi habitat di lokasi penelitian meliputi kodisi fisik dan vegetasi. Kondisi fisik di lokasi pengamatan dilihat dari cuaca, kecepatan angin, kelembaban dan temperatur. Sedangkan habitat burung di Pulau Tidung Kecil dilihat dari tipe vegetasi yaitu tergolong ke dalam hutan sekunder campuran. Secara umum jenis-jenis vegetasi pada jalur hutan sekunder campuran yang teramati adalah pohon kelapa (Cocos nucifera), kedondong kambing (Spondias sp.), pohon ketapang (Terminalia cattapa), pohon sukun (Artocarpus communis), cemara laut (Casuarina equisetifolia), waru laut (Thespesia populnea) dan pandan laut (Pandanus tectorius). Vegetasi tampak kering dan pada beberapa bagian vegetasi berwarna cokelat.

Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat dua jenis tegakan yang dominan yaitu pohon kelapa (Cocos nucifera) sebanyak 43,50% dan pohon kedondong kambing (Spondias sp.) sebanyak 18,08%. Pohon kelapa merupakan salah satu tanaman yang dibudidayakan di Pulau Tidung Kecil karena tanaman kelapa merupakan tanaman yang dapat hidup dengan baik di pesisir pantai. Penyebaran pohon kedondong kambing ditemukan hampir di seluruh kawasan Pulau Tidung Kecil

(37)

(Lampiran 2). Hal ini sesuai dengan pernyataan Susila et al. (2011) bahwa tutupan lahan dan kerapatan vegetasi sangat mempengaruhi jenis burung yang mendiami suatu kawasan.

Habitat burung yang tersedia di Pulau Tidung Kecil diindikasikan sebagai habitat yang baik. Hal ini ditunjukkan dengan masih dijumpainya beberapa jenis burung yang termasuk indikator baiknya sebuah ekosistem seperti Halcyon chloris yang berasal dari famili Alcedinidae. Suku Alcedinidae memiliki ketergantungan yang besar dengan kawasan perairan sebagai lokasi bersarang (nesting sites), lokasi mencari pakan (feeding sites), dan lokasi istirahat (resting sites) (Swastikaningrum et al., 2012). Hal ini didukung oleh pernyataan Idaman (2007) bahwa Alcedo coerulescens yang berasal dari famili Alcedinidae merupakan jenis burung yang dapat dijadikan sebagai indikator lingkungan yang baik. Pernyataan tersebut juga serupa dengan Bibby et al. (2008) bahwa burung dapat menjadi indikator yang baik bagi keanekaragaman hayati dan perubahan.

Variasi habitat turut mendukung kekayaan jenis burung di Pulau Tidung Kecil. Menurut Howes et al. (2003), kehadiran suatu jenis burung tertentu, pada umumnya disesuaikan dengan kesukaannya terhadap habitat tertentu. Oleh karena itu variasi habitat akan memberi relung yang lebih banyak untuk dapat ditempati berbagai jenis burung sehingga burung yang ditemukan lebih bervariasi.

(38)

dilakukan pada bulan Februari. Nilai rata-rata suhu sebesar 28,43°C, kelembaban 76,2% dan kecepatan angin sebesar 2,23 knot.

Menurut Krebs (2013) aktifitas burung dipengaruhi oleh faktor waktu yaitu pagi hari yang suhunya lebih rendah daripada siang hari, lebih banyak melakukan aktifitas. Hal ini merupakan efek setelah lama melakukan istirahat pada malam hari. Sedangkan sore hari merupakan aktifitas dalam mengumpulkan sejumlah energi untuk persiapan menjelang istirahat. Kondisi seperti ini cukup ideal untuk dilakukannya pengamatan karena burung mulai aktif beraktifitas saat pagi hari dan sore hari dengan kondisi fisik yang normal.

4.2. Komposisi dan Kekayaan Jenis Burung

Jumlah jenis burung yang didapatkan dengan menggunakan metode IPA adalah 29 jenis burung dari 19 famili (Lampiran 5), sedangkan dengan menggunakan metode daftar jenis Mackinnon didapatkan 31 jenis burung dari 20 famili. Total daftar jenis yang didapatkan dengan metode kekayaan jenis Mackinnon adalah sebanyak 23 daftar jenis (Gambar 4).

Gambar 4. Kekayaan jenis dengan menggunakan daftar jenis MacKinnon

(39)

Daftar kekayaan jenis MacKinnon didapatkan hingga mencapai data yang stabil dan tidak meningkat lagi. Pada daftar ke satu sampai daftar ke-21 mengalami penambahan jumlah jenis, tetapi pada daftar ke 21, 22 dan 23 tidak ada penambahan jenis baru yang ditemui. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah jenis burung yang ditemukan telah konstan (stabil). Peningkatan jumlah pertemuan burung dapat dilihat pada Gambar 4.

Jenis-jenis yang dijumpai dengan metode daftar jenis MacKinnon tetapi tidak dijumpai dengan metode IPA yaitu trinil ekor kelabu (Heteroscelus brevipe) yang tergolong pada famili Scolopacidae dan cici merah (Cisticola exilis) famili dari Cisticolidae. Hal ini disebabkan trinil ekor kelabu (Heteroscelus brevipe) dan cici merah (Cisticola exilis) hanya dapat dijumpai di waktu tertentu dan dalam populasi yang kecil.

Trinil ekor kelabu hanya dapat ditemukan sore hari saat air laut surut dan hanya dalam populasi kecil diantara koloni cerek kernyut (Pluvialis fulva). Hal ini didukung oleh pernyataan MacKinnon et al. (2010) bahwa trinil ekor kelabu biasanya hidup menyendiri atau dalam kelompok kecil, tidak berbaur dengan jenis lain. Cici merah yang teramati hanya satu individu sedang bertengger pada ranting kering di padang ilalang setelah pengamatan pagi dengan metode IPA. Burung ini merupakan burung yang sulit diamati karena sering bersembunyi di daerah padang alang-alang dan rerumputan tinggi, kadang-kadang terlihat bertengger pada batang rumput yang tinggi atau semak-semak (MacKinnon et al., 2010).

(40)

tilil (Charadrius alexandrinus) dan cerek kernyut (Pluvialis fulva), famili Scolopacidae yaitu trinil ekor kelabu (Heteroscelus brevipes), trinil pantai (Actitis hypoleucos), gajahan pengala (Numenius phaeopus), famili Cuculidae yaitu kangkok besar (Cuculus sparverioides), dan famili Hirundinidae yaitu layang-layang api (Hirundo rustica) (MacKinnon et al., 2010). Selain burung-burung migran tersebut merupakan burung penetap.

Berdasarkan jumlah individu, nilai persentase tertinggi adalah bondol peking (Lonchura punctulata) sebesar 37,63%. Selain itu, terdapat empat jenis yang menempati persentase terendah (0,15%) yaitu kareo padi (Amaurornis phoenicurus), gajahan pengala (Numenius phaeopus), cerek tilil (Charadrius alexandrinus) dan bubut pacar jambul (Clamator coromandus). Persentase jumlah individu setiap jenis burung dapat dilihat pada Tabel 1.

(41)

Tabel 1. Persentase jumlah individu setiap jenis yang ditemukan di Pulau Tidung Kecil

No Famili Nama Lokal Nama Ilmiah Persentase

(%)

1 Ardeidae

Cangak abu Ardea cinerea 0.46

Kokokan laut Butorides striatus 1.67

Kuntul karang Egretta sacra 0.30

2 Rallidae Kareo padi Amaurornis phoenicurus 0.15

3 Charadriidae Cerek kernyut* Pluvialis fulva 10.02

Cerek tilil* Charadrius alexandrinus 0.15

4 Scolopacidae Gajahan pengala* Numenius phaeopus 0.15

Trinil pantai* Acitis hypoleucos 0.30

5 Columbidae Tekukur biasa Streptopelia chinensis 4.25

6 Cuculidae

Bubut Pacar jambul Clamator coromandus 0.15 Kangkok besar* Cuculus sparverioides 0.61 Bubut alang-alang Centropus bengalensis 0.30

7 Apodidae Walet sarang putih Callocalia fuciphaga 2.43

8 Alcedinidae Cekakak sungai Halcyon chloris 6.22

9 Hirundinidae Layang-layang api* Hirundo rustica 1.82

Layang-layang batu Hirundo tahitica 2.88

10 Pycnonotidae Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster 5.16

Merbah cerukcuk Pycnonotus goiavier 2.28

11 Oriolidae Kepodang kuduk hitam Oriolus chinensis 0.76

12 Corvidae Gagak hutan Corvus enca 2.58

13 Acanthizidae Remetuk laut Gerygone sulphurea 3.64

14 Rhipiduridae Kipasan belang Rhipidura javanica 0.46

15 Pachycephalidae Kancilan bakau Pachycephala grisola 0.46

16 Artamidae Kekep babi Artamus leucorynchus 5.61

17 Nectarinidae Burung madu kelapa Antrhreptes malacensis 6.83

Burung madu sriganti Cyniris jugularis 1.82

18 Passeridae Burung gereja erasia Passer montanus 0.46

19 Estrildidae Bondol peking Lonchura punctulata 37.63

Bondol haji Lonchura maja 0.46

Keterangan : (*)Burung migran

(42)

diidentifikasi melalui suara. Hal ini didukung oleh pernyataan Mackinnon et al. (2010) bahwa bubut alang-alang memilih belukar, payau, dan daerah berumput terbuka termasuk padang alang-alang. Sedangkan kareo padi umumnya hidup sendirian, kadang-kadang berdua atau bertiga, mengendap-endap dalam semak yang lembab dan tinggal di tempat yang cukup rapat untuk bersembunyi.

Selain burung penetap, ditemukan juga jenis burung-burung migran. Burung migran dapat menempati habitat yang dianggap cukup memadai kehidupannya. Ditemukannya burung migran di Pulau Tidung Kecil, menunjukkan bahwa habitat yang terdapat di Pulau Tidung Kecil mampu menyediakan sumberdaya pakan bagi burung migran tersebut. Sumberdaya yang tersedia umumnya cocok disinggahi oleh burung pantai. Oleh sebab itu burung migran yang ditemukan beberapa diantaranya adalah burung pantai.

Gambar 5. Cerek tilil (Sumber: Dokumentasi pribadi)

(43)

(Charadrius alexandrinus) mencari makan sendiri atau dalam kelompok kecil dan sering berbaur dengan perancah lain (MacKinnon et al., 2010) (Gambar 5).

Berbeda dengan cerek tilil, cerek kernyut (Pluvialis fulva) memiliki ukuran tubuh lebih besar dan terdapat motif pada bulu sayapnya (Gambar 7). Cerek kernyut ditemukan sebanyak 10,02%. Cerek kernyut ditemukan sedang mencari makan sebanyak 3 kali yaitu sedang menyendiri dan sedang berkoloni sebanyak 40 ekor dan bersamaan dengan cerek tilil. Menurut MacKinnon, et al. (2010), cerek kernyut memiliki kebiasaan mencari makan sendirian atau dalam kelompok, di gosong lumpur, gosong pasir, padang rumput terbuka, lapangan, lapangan golf, atau lapangan terbang dekat pantai.

Gambar 6. Cerek kernyut (atas) dan Trinil ekor kelabu (bawah) (Sumber: Dokumentasi pribadi)

(44)

luas, dari gosong lumpur pantai dan beting pasir sampai ke sawah di dataran tinggi (sampai ketinggian 1.500 m), sepanjang aliran, dan pinggir sungai. Berjalan dengan cara menyentak tanpa berhenti. Terbang dengan pola yang khas, melayang dengan sayap yang kaku (MacKinnon et al., 2010).

Famili Scolopacidae lainnya yang ditemukan adalah trinil ekor kelabu (Heteroscelus brevipes). Berbeda dengan trinil pantai, trinil ekor kelabu memiliki ukuran tubuh yang lebih besar. Trinil ekor kelabu ditemukan sebanyak 1 individu digosong pantai bersamaan dengan 1 individu cerek kernyut. Menurut MacKinnon,et al. (2010), trinil ekor kelabu merupakan pengunjung yang tidak umum sampai jarang ke pesisir di Sunda Besar dan di Pulau Jawa lebih banyak ditemukan di pesisir selatan. Burung ini memiliki cara berlari yang khas, yaitu mengendap-endap dengan ekor agak tinggi.

Trinil ekor kelabu pada umumnya lebih menyukai beraktifitas di pantai berbatu daripada gosong lumpur, beting koral, dan pantai berpasir atau berkerikil (MacKinnon et al., 2010). Namun pada pengamatan kali ini ditemukan di gosong lumpur yang diduga bahwa burung ini sedang melakukan aktifitas mencari makan dan berjemur di bawah terik matahari pada sore hari pukul 15.33 WIB. Waktu tersebut merupakan waktu surut air laut sehingga lebih mudah bagi burung tersebut mencari makan.

(45)

payau, dan pantai berbatu. Biasanya hidup dalam kelompok kecil sampai besar, dan sering berbaur dengan burung perancah lain (MacKinnon et al., 2010).

Gambar 7. Gajahan pengala (Sumber : Dokumentasi pribadi)

Jenis burung dari famili Cuculidae yang tergolong burung migran yaitu kangkok besar (Cuculus sparverioides). Kangkok besar dijumpai sebanyak 0,61%. Kangkok besar (Cuculus sparverioides) menetap di Himalaya, Cina selatan, Filipina, Kalimantan, dan Sumatera, sehingga dapat dikatakan bahwa kangkok besar ini sedang bermigrasi dari daerah asalnya ke Pulau Tidung Kecil. Pada musim dingin kangkok besar juga mengunjungi Sulawesi, Jawa barat, dan Bali (MacKinnon et al., 2010).

(46)

Burung migran terakhir yang ditemukan adalah Layang-layang api (Hirundo rustica) sebanyak 1,82%. Burung ini termasuk kosmopolitan ditemukan di seluruh dunia. Dibandingkan dengan marga layang lainnya, layang-layang api merupakan jenis yang paling luas penyebarannya (Pramanayuda, 2013). Oleh sebab itu sangat mungkin burung ini juga terlihat di Kepulauan Seribu termasuk di Pulau Tidung Kecil. Sub jenis yang ditemukan di Indonesia adalah H.rustica gutturalis yang pada musim dingin berbiak di Jepang, Korea dan Himalaya bagian tengah.

4.3. Keanekaragaman Jenis Burung

Nilai indeks keanekaragaman jenis burung yang ditemukan di Pulau Tidung Kecil, Kepulauan Seribu adalah sebesar 2,39. Nilai keanekargaman jenis burung (H’) di Pulau Tidung Kecil, Kepualauan Seribu masuk ke dalam ketegori

sedang (medium). Nilai tersebut menunjukkan ekosistem di tempat tersebut cukup memadai dalam memberi daya dukung terhadap kehidupan burung. Hal ini dapat terlihat dengan ditemukannya berbagai komunitas burung seperti kelompok burung pantai, burung air dan juga burung teresterial yang menempati Pulau Tidung Kecil.

(47)

artinya apabila nilai keanekaragaman tinggi, maka keseimbangan dalam komunitas tersebut juga tinggi, begitu juga sebaliknya

Habitat yang beranekaragam dapat mempengaruhi sumber pakan bagi burung. Hal ini didukung oleh pernyataan Kapisa (2011) bahwa nilai keanekaragaman jenis dapat mengindikasikan daya dukung suatu habitat terhadap kehidupan burung. Semakin tinggi nilai keanekaragaman menunjukkan kondisi habitat yang baik dalam mendukung kehidupan burung secara alami. Pernyataan ini juga didukung oleh Mulyani dan Pakpahan (1993) bahwa nilai keanekaragaman jenis burung dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti luas wilayah, keanekaragman habitat dan kualitas lingkungan secara umum. Suatu komunitas disusun oleh banyak jenis dengan kelimpahan yang relatif sama, maka keanekaragaman jenisnya akan tinggi (van Helvort, 1981).

(48)

Nilai kekayaan jenis burung di Pulau Tidung Kecil, Kepulauan Seribu adalah sebesar 4,31. Nilai kekayaan jenis burung di Pulau Tidung Kecil termasuk kedalam kriteria baik yaitu nilai berkisar >4,0 (Jorgensen et al., 2015). Hal tersebut menunjukkan banyaknya jenis yang ditemukan. Semakin baik nilai kekayaan jenis burung menunjukkan tingkat keragaman habitat yang ada di Pulau Tidung Kecil. Nilai kekayaan yang tinggi menandakan terdapat habitat yang beragam di suatu lokasi Menurut Dewi et al. (2007) Semakin beranekaragam struktur habitat (keanekaragaman jenis tumbuhan dan struktur vegetasi) maka akan semakin besar keanekaragaman jenis satwa yang menempati suatu ekosistem.

4.4. Penggunaan Vegetasi Sebagai Habitat Burung

Tegakan pohon di Pulau Tidung Kecil terdiri dari berbagai jenis tegakan. Tipe tegakan pohon di Pulau Tidung Kecil termasuk pada tipe tegakan campuran. Vegetasi yang mengisi Pulau Tidung Kecil yaitu vegetasi perkebunan, vegetasi padang ilalang dan vegetasi hutan sekunder campuran. Lahan perkebunan terdapat di bagian Barat Pulau Tidung Kecil yang didominasi oleh tumbuhan sekunder seperti pohon sukun (Artocarpus communis), pohon jambu air (Eugenia aquea) dan pohon kelapa (Cocos nucifera) (Lampiran 4). Tanaman perkebunan tersebut ditanam dan dikelola oleh Kementrian Pertanian.

(49)

cemara laut (Casuarina equisetifolia), waru laut (Thespesia populnea), pandan laut (Pandanus tectorius) dan rogo-rogo (Premna serratifolia).

Terdapat 17 jenis burung yang memanfaatkan 17 jenis tegakan pohon yang ada di Pulau Tidung Kecil (Lampiran 6). Jenis burung yang memanfaatkan tegakan tersebut antara lain burung madu kelapa, tekukur biasa, remetuk laut, merbah cerukcuk, cucak kutilang, bondol peking, gagak hutan, kekep babi, bondol haji, kipasan belang, cekakak sungai, kangkok besar, burung madu sriganti, kancilan bakau, kokokan laut, bubut pacar jambul dan burung gereja erasia. Tujuh belas jenis tegakan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Jenis tegakan pohon yang dimanfaatkan burung

Tiga jenis tegakan pohon yang paling sering dimanfaatkan di Pulau Tidung Kecil yaitu cemara laut (Casuarina equisetifolia), ketapang (Terminalia catappa), dan petai cina (Leucaena leucocephala). Cemara laut (Casuarina equisetifolia) merupakan jenis pohon yang paling sering dimanfaatkan oleh

(50)

burung yaitu sebanyak 76,47% untuk berbagai aktifitas (Gambar 9). Selain itu pohon ketapang (Terminalia catappa) dan petai cina (Leucaena leucocephala) merupakan tegakan yang banyak dimanfaatkan oleh burung yang ada di Pulau Tidung Kecil dengan persentase sebanyak 41,18%.

Cemara laut memiliki struktur pohon yang ideal bagi kebutuhan burung-burung di Pulau Tidung Kecil. Cemara laut memiliki ukuran pohon yang tinggi sehingga memudahkan burung pemakan serangga sambil terbang melayang (aerial feeding) untuk mendapatkan pakannya. Cemara laut juga memiliki tajuk yang lebar dan kokoh sehingga beberapa burung memanfaatkannya untuk beristirahat. Struktur daun yang dimiliki cemara laut berbentuk jarum sehingga jarak pandang dan pergerakan burung tidak terbatas. Oleh karena itu cemara laut paling sering dimanfaatkan oleh jenis burung di Pulau Tidung Kecil.

Pohon ketapang (Terminalia cattapa) memiliki tajuk yang rindang dengan cabang yang mendatar dan bertingkat. Tajuk yang lebar dan rapat serta daun yang besar dimanfaatkan burung untuk beristirahat. Struktur daun yang besar dan tajuk yang rapat membatasi pandangan bagi beberapa jenis burung yang mencari mangsa. Oleh karena itu hanya burung-burung tertentu saja yang memanfaatkan pohon tersebut. Jenis-jenis burung yang memanfaatkan pohon ketapang adalah burung madu kelapa, tekukur biasa, cucak kutilang, gagak hutan, kekep babi dan cekakak sungai.

(51)

burung-burung pemakan biji, serta batang yang kuat dan elastik yang disukai berbagai jenis burung untuk bertengger.

Keberadaan tegakan–tegakan tersebut berperan penting bagi keberadaan burung. Oleh sebab itu, tegakan-tegakan pohon tersebut harus dipertahankan keberadaannya agar burung- burung yang memanfaatkannya tetap ada dan lestari.

Vegetasi di Pulau Tidung Kecil dimanfaatkan oleh burung untuk melakukan aktifitas. Aktifitas yang dilakukan burung di Pulau Tidung Kecil dapat dilihat pada Gambar 10. Aktifitas burung yang dicatat berdasarkan penjumpaan saat pengamatan. Setiap jenis burung yang teramati dicatat segala aktifitasnya, oleh karena itu dimungkinkan bagi satu jenis untuk melakukan lebih dari 1 aktifitas. Sebagai contoh suatu jenis burung melakukan aktifitas terbang dan bersuara secara bersamaan, maka kedua aktifitas tersebut dicatat secara terpisah (Lampiran 7).

Gambar 10. Aktifitas burung di Pulau Tidung Kecil

(52)

Vegetasi di Pulau tidung kecil sebagian besar dimanfaatkan oleh burung untuk terbang dan bertengger. Sebanyak 44,26% melakukan aktifitas terbang dan sebanyak 43,03% melakukan aktifitas istirahat (resting) (Gambar 10). Hal ini disebabkan terdapat beberapa jenis burung yang mengganggu maupun terganggu karena persaingan dalam mendapatkan sumberdaya, sehingga banyak burung yang terbang dan berpindah untuk bertengger di pohon lain. Selain itu habitat di Pulau Tidung Kecil cocok untuk tempat beristirahat bagi burung karena terdapat beberapa tegakan khas pantai yang kuat dan memiliki tajuk yang lebar.

Adapun aktifitas lain yang dilakukan oleh burung-burung yang ada di Pulau Tidung Kecil yaitu sebanyak 9,84% mencari makan (feeding) dan bersuara, sebanyak 3,69% melakukan aktifitas sosial (social) dan sebanyak 1,23% bersarang (nesting). Hal ini disebabkan Pulau Tidung Kecil memiliki luasan yang relatif kecil dibandingkan pulau-pulau lain di kepulauan seribu sehingga rentan terhadap gangguan.

a b

Gambar 11. Pemanfaatan vegetasi sebagai aktifitas bersarang (a.lingkar merah: sarang bondol peking; lingkar biru : induk bondol peking yang sedang membuat sarang di pohon Spondias sp; b. peletakan sarang) (Sumber: dokumentasi pribadi).

(53)

Ketersedian bahan-bahan pembuatan sarang yang terbatas bagi burung tertentu juga merupakan penyebab akifitas bersarang sedikit. Diduga burung-burung memilih pulau lain sebagai tempat bersarang, sehingga hanya sebagian kecil burung yang bersarang di pulau ini seperti bondol peking (Lonchura punctulata ), teramati bersarang di pohon kedondong kambing (Spondias sp) dan pandan laut (Pandanus tectorius) (Gambar 11).

Rendahnya nilai aktifitas bersuara dipengaruhi oleh komposisi jenis burung. Ekosistem Pulau tidung kecil hanya dapat mendukung kehidupan beberapa jenis burung pengicau di pulau tersebut. Selebihnya, berung-burung di Pulau Tidung Kecil dihuni oleh kelompok burung air dan burung pantai yang cenderung lebih jarang bersuara.

4.5. Pemanfaatan strata vegetasi oleh burung

(54)

Tabel 2. Jenis burung berdasarkan strata vertikal tegakan pohon

Stratifikasi Jenis Burung

Strata 1

Tekukur biasa (Streptopelia chinensis) Bubut alang-alang (Centropus bengalensis) Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) Bondol peking (Lonchura punctulata)

Strata 2

Tekukur biasa (Streptopelia chinensis) Kangkok besar (Cuculus sparverioides) Cekakak sungai (Halcyon chloris) Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) Remetuk laut (Gerygone sulphurea) Kipasan belang (Rhipidura javanica) Kancilan bakau (Pachycephala grisola) Burung madu kelapa (Antrhreptes malacensis) Burung madu sriganti (Cyniris jugularis)

Strata 3

Kokokan laut (Butorides striatus) Tekukur biasa(Streptopelia chinensis) Bubut pacar jambul (Clamator coromandus) Cekakak sungai (Halcyon chloris)

Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) Gagak hutan(Corvus enca)

Remetuk laut (Gerygone sulphurea) Kipasan belang (Rhipidura javanica) Kancilan bakau (Pachycephala grisola) Burung madu kelapa (Antrhreptes malacensis) Burung madu sriganti (Cyniris jugularis) Burung gereja erasia (Passer montanus) Bondol peking (Lonchura punctulata)

Strata 4

Tekukur biasa (Streptopelia chinensis) Cekakak sungai (Halcyon chloris) Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) Gagak hutan(Corvus enca)

Remetuk laut (Gerygone sulphurea) Kekep babi (Artamus leucorynchus)

Burung madu kelapa (Antrhreptes malacensis) Burung madu sriganti (Cyniris jugularis) Bondol peking (Lonchura punctulata) Bondol haji (Lonchura maja)

(55)

dapat dilihat pada pola persebarannya secara vertikal (Sihotang et al., 2013). Menurut Wisnubudi (2009) juga menyatakan bahwa, berdasarkan pada pola stratifikasi penggunaan ruang pada profil hutan maupun penyebaran secara horizontal pada berbagai tipe habitat di alam, menunjukkan adanya kaitan yang sangat erat antara burung dengan lingkungan hidupnya, terutama dalam pola adaptasi dan strategi untuk mendapatkan sumberdaya.

Tidak semua jenis burung yang ditemukan menyebar merata pada semua strata seperti tekukur biasa (Streptopelia chinensis). Jenis burung yang hanya ditemui pada satu strata yaitu bubut alang-alang (Centropus bengalensis) hanya di temukan di strata 1, kangkok besar (Cuculus sparverioides) hanya ditemukan di strata 2, bubut pacar jambul (Clamator coromandus) kokokan laut (Butorides Striatus ) dan burung gereja erasia (Passer montanus) yang hanya ditemukan di strata 3, serta kekep babi (Artamus leucorynchus) yang hanya ditemukan di strata 4. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan burung tersebut dalam mencari makan.

Jenis burung yang biasa memanfaatkan hanya satu strata, belum tentu dapat beradaptasi dan menyukai strata lainnya dan demikian pula sebaliknya. Namun tidak menutup kemungkinan terdapat jenis burung yang bersifat generalis dapat memanfaatkan beberapa tingkatan strata vertikal. Penyebaran vertikal pada jenis-jenis burung dapat dilihat dari stratifikasi ruang pada profil hutan. Penyebaran jenis-jenis burung sangat dipengaruhi oleh kesesuaian tempat hidup burung, meliputi adaptasi burung terhadap lingkungan, kompetisi, strata vegetasi, ketersediaan pakan dan seleksi alam (Wisnubudi, 2009).

(56)

pada daerah yang dekat dengan air untuk dapat mengawasi mangsanya. Meskipun strata 3 merupakan strata vertikal yang cukup tinggi dan keberadaan tegakan yang ditempatinya tidak berdekatan dengan sumber air, maka diduga bahwa burung ini memanfaatkan strata 3 untuk beristirahat dan bersarang.

Kerapatan suatu tegakan juga berpengaruh terhadap keberadaan burung. Meskipun kerapatan jenis tumbuhan tinggi belum tentu memiliki kepadatan dan keanekaragaman jenis burung yang tinggi apabila ketersediaan sumber pakan cukup rendah. Bentuk tajuk pada tipe habitat hutan cenderung lebih lebar dengan rata-rata tajuk 8 hingga 9 m. Perbedaan antar jenis tumbuhan terkadang akan memberikan ketersediaan dan pilihan nilai gizi yang lebih bervariasi, berbeda halnya dengan jenis tumbuhan yang sama meskipun jumlahnya banyak, terkadang pilihan pakan yang tersedia terbatas (Moen,1973).

Gambar 12. Kekep babi (Sumber: Dokumentasi pribadi)

(57)

terbang melayang (aerial feeding) diatas tajuk. Sehingga dapat dikatakan bahwa burung ini bertengger di tajuk paling atas sedang mencari mangsanya dengan jarak pandang yang luas dan vegetasi yang tidak rapat. Cemara laut memiliki tajuk yang tinggi, oleh sebab itu burung ini lebih sering bertengger di tegakan pohon tersebut (Gambar 12).

Burung bondol peking biasa ditemukan di padang ilalang sedang mencari pakan, namun dalam peletakan sarang burung bondol peking ditemukan distrata 3 pada tegakan pohon kedondong kambing (Spondias sp.). Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan tumbuhan tergantung pada kebutuhan burung itu sendiri. Suatu jenis burung dapat melimpah pada suatu habitat tertentu karena bergantung pada sekelompok jenis tumbuhan tertentu (Hadiprayitno, 1999). Sedangkan menurut Collias (1984), suatu jenis burung sangat dipengaruhi oleh faktor keamanan dari predator dalam pemilihan lokasi bersarang.

(58)

4.6. Status Perlindungan Jenis Burung

Berdasarkan komposisi jenis burung yang ada di Pulau Tidung Kecil, status perlindungan jenis burung dikelompokan kedalam 3 acuan, yaitu IUCN Red Data Book, PP No.7 tahun 1999 dan CITES. Status perlindungan jenis burung berdasarkan IUCN di Pulau Tidung Kecil 100% masuk kedalam kriteia Least concern atau beresiko rendah. Selain itu, terdapat 7 jenis burung yang dilindungi oleh Undang-Undang yaitu berdasarkan PP No.7 tahun 1999. Namun tidak terdapat jenis burung yang dilindungi oleh CITES di Pulau Tidung Kecil (Tabel 3).

Perlindungan burung berdasarkan IUCN Red Data Book merupakan perlindungan jenis burung yang berupa status keterancaman. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa status keterancaman jenis burung yang terdapat di Pulau Tidung Kecil yaitu 100% masuk kedalam kriteria Least Concern. Jenis burung yang terdapat di pulau tidung kecil secara IUCN Red Data Book seluruhnya masuk kedalam kriteria Least concern yang artinya memiliki resiko yang rendah terhadap kepunahan secara global. Namun demikian burung di Pulau Tidung kecil tetap berpotensi mengalami kepunahan secara lokal.

(59)

Tabel 3. Komposisi dan status perlindungan

Famili & No Nama Lokal Nama Ilmiah Status Perlindungan

IUCN PP CITES

12 Bubut alang-alang Centropus bengalensis LC TDL -

13 Kangkok besar Cuculus sparverioides LC TDL -

(60)

Jenis burung yang masuk ke dalam status perlindungan berdasarkan PP No.7 tahun 1999 yaitu terdapat 7 jenis yang merupakan jenis dari famili Ardeidae, Nectarinidae, Alcediniidae, Rhipiduridae dan Scolopacidae. Hal ini menunjukkan bahwa Pulau Tidung merupakan ekosistem penting yang harus dilindungi agar keberadaan burung tersebut dapat dipertahankan.

Pemerintah Republik Indonesia menyusun PP No. 7 tahun 1999 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya mengatur status perlindungan flora dan fauna di Indonesia. Tujuh jenis yang termasuk jenis burung wajib ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi karena berdasarkan catatan pemerintah termasuk ke dalam salah satu kriteria satwa dilindungi seperti mengalami penurunan populasi, ukuran populasinya yang kecil, dan memiliki sebaran yang terbatas atau endemik.

(61)

Terdapat dua jenis burung yang berasal dari famili Nectarinidae yang ditemukan di Pulau Tidung kecil yaitu Antrhreptes malacensis dan Cyniris jugularis. Kedua jenis burung yang berasal dari famili Nectarinidae tersebut dilindungi undang-undang yaitu pada PP No.7 tahun 1999. Menurut Syaputra (2012), Nectariniidae termasuk dilindungi pada tingkat suku. Suku ini memiliki manfaat yang tinggi untuk membantu penyerbukan bunga, sehinga sangat penting untuk regenerasi vegetasi berbunga.

Cekakak sungai atau Halcyon chloris yang berasal dari famili Alcedinidae merupakan jenis burung yang dilindungi oleh Undang-Undang yaitu PP No.7 tahun 1999. Cekakak sungai hidup di dekat perairan. Burung ini dilindungi karena dapat digunakan sebagai indikator habitat perairan. Didukung oleh pernyataan Sozer et al. (1999) bahwa suku Alcedinidae merupakan indikator habitat karena memiliki kepekaan tertentu terhadap kesehatan lingkungan dalam habitatnya.

Jenis burung lainnya yang diilindungi oleh undang-undang PP No.7 tahun 1999 dan terdapat di Pulau Tidung Kecil adalah kipasan belang atau Rhipidura javanica yang berasal dari famili Rhipidurudae. Hal ini dikarenakan jenis burung tersebut memiliki potensi diperdagangkan. Kipasan belang memiliki ekor yang indah dan suara yang merdu sehingga memiliki potensi perdagangan yang tinggi. Perdagangan yang tinggi akan mengancam populasinya sehingga populasi di alam sedikit, penyebarannya terbatas serta memiliki manfaat terhadap keseimbangan dan kelestarian lingkungan (Sozer et al., 1999).

(62)

merupakan burung migran dan terdapat kebanggaan tersendiri bagi pemilik burung migran sehingga dapat berpotensi menimbulkan kelangkaan.

Menurut status perlindungan perdagangan burung yaitu CITES (Convention on International Trade of Endangered Jenis of Wild Fauna and Flora), burung-burung yang ditemukan termasuk burung yang tidak dilindungi oleh CITES. Perlindungan CITES mengelmpokan kategori-kategori jenis dalam 3 Appendix (Lampiran) yang bertujuan untuk mengontrol perdagangan agar terhindar dari eksploitasi berlebihan dan mencegah kepunahan. Meskipun tidak ada jenis burung yang masuk ke dalam kriteria CITES, namun keberadaan burung di Pulau Tidung Kecil tetap harus dipertahankan. Hal ini dikarenakan burung memiliki manfaat lain meskipun tidak bernilai konservasi yaitu burung juga bernilai estetika. Seperti halnya Nectarinidae berperan sebagai penyerbuk dan bondol peking penyebar biji. Sehingga bermanfaat juga dalam ekosistem tumbuhan.

(63)

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

1. Keanekaragaman jenis burung di Pulau Tidung Kecil, Kepulauan Seribu, Jakarta masuk kedalam kategori sedang, kemerataan tinggi dan kekayaan jenis burung masuk kedalam kategori baik.

2. Tegakan pohon yang paling banyak dimanfaatkan oleh burung di Pulau Tidung Kecil adalah Cemara laut (Casuarina equisetifolia), Strata vertikal vegetasi pohon yang paling banyak dimanfaatkan oleh burung adalah strata 3.

5.2. Saran

(64)

DAFTAR PUSTAKA

Ajie, H.B. 2009. Burung-Burung di Kawasan Pegunungan Arjuna-Welirang Taman Hutan Raya Raden Suryo, Jawa Timur Indonesia. Skripsi. Institut Suaka Margasatwa Pulau Rambut. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). 2002. Riset Unggulan Strategis Nasional Pengembangan Teknologi Kelautan (Rusnas Kerapu). Lembaga Pengelola Rusnas Kerapu. Pusat Kajian dan Penerapan Teknologi Budidaya Pertanian. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Jakarta

Barbour, M .G., J. H. Burk dan W. P. Pitts. 1987. Terrestrial plant ecology. The Benjamin/Cumming Publishing Pompany Inc. California

Begon, M., J. L. Harper dan C. R. Town-send. 2006. Ecology: From Individuals to Ecosystems (4TH Ed). Blackwell Scientific Publications, Boston.

Bibby, C. J., N. D. Burges dan D. A. Hill. 2000. Birdcencus techniques. Academic Press. London.

Collias, EN. dan E. C. Collias. 1984. Nest Building and Bird Behaviour. Pricenton University Press, USA.

Convention On International Trade In Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 2011. Appendices I, II and III. UNEP. http://www.cites.org/ eng/app/E-Apr27.pdf. Diakses tanggal 11 Mei 2014.

Dinas Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta. 2001. Studi Penataan Lokasi Budidaya Laut. Laporan Akhir. Kerjasama Dinas Perikanan DKI Jakarta dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Gall, M. D. dan E. F. Juricic. 2009 . Visual Fields, Eye Movements, and Scanning

Gambar

Gambar 1. Peta Penyebaran Titik Pengamatan di Pulau Tidung Kecil ................ 1515
Tabel 3. Komposisi dan Status Perlindungan ...........................................................45
Gambar 1. Peta penyebaran titik pengamatan di Pulau Tidung Kecil
Gambar 2. Kombinasi Metode IPA dan Metode Jalur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data yang hasil wawancara menunjukan bahwa para pengguna layanan mempercayai petugas yang ada, hal ini berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada Ibu, Ayidah yang pernah

Kepemimpinan kepala sekolah setelah dijadikan salah satu sekolah negeri dijabat oleh beberapa orang yang memiliki dedikasi dan cinta yang besar terhadap pendidikan, serta memiliki

Penelitian yuridis normatif dilakukan untuk menjelaskan pengawasan perbankan dengan mengacu pada hukum positif Indonesia, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data parametrik dari hasil pengujian laboratorium pada otak-otak ikan dengan parameter stabilitas emulsi, aktivitas air

Dalam membuka pelajaran, keterampilan yang dikuasai subjek-RK adalah memberikan apersepsi dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan materi yang

HUBUNGAN INSOMNIA DENGAN TINGKAT STRES PADA MAHASISWI TINGKAT AKHIR PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA.. (Dibimbing oleh: Dwi Rosella

Refined Kano , identifikasi langkah yang sesuai (dari kerangka kerja 4 langkah Blue Ocean Strategy ) untuk tiap kategori tersebut, dan mengembangkan produk baru yang

Dalam hal ini, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum, melakukan peran pembinaan dan fasilitasi teknis kepada pemerintah daerah, khususnya