• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyesuaian diri santri di Pondok Pesantren terhadap kegiatan pesantren : studi kasus di Pondok Pesantren Darunnajah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyesuaian diri santri di Pondok Pesantren terhadap kegiatan pesantren : studi kasus di Pondok Pesantren Darunnajah"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

PESANTREN

Studi Kasus di Pondok Pesantren Darunnajah

Oleh

RAHMAT IRFANI

NIM : 9919016078

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Skripsi :

Diajuk:rn Kepaiia Falwltas l'silw!ogi Untuk Mcmenuhi Syarat-Syarat Mencapai Ge!ar Sarjana l'sikologt

Oleh: nahmat Irfani

9919016078

Di bawah bimbiugan :

i'embimbing

r,

p・ュィゥュ「ゥョエセ@ H,

t;\bdul Mujib JH. Ag

NH'. 150 238 773 NIP.

150 283 344

FAKlJLTAS PSlKOLOGI

(3)

Fakultas Psikologi UJN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 juni 2004. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

Sidang Munaqasyah

i

I

gkap Anggota, Sekretaris

Anggota

Penguji I

Ors. Ch . luddin. AS. MA

Jakarta, 7 Juni 2004

h M. Psi.

Pembimbif19 II

Ab ul Mujib M. Ag NIP. 150 283 344

e guji II

(4)

rahamat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak Jupa

shalawat s,erta salam kita sampaikan kepada junjungan kita yang telah

membawa kita dari kegelapan, Nabi Besar Muhammad SAW.

Penulis menyadari banyak sekali mengalami kesulitan, hambatan serta

halangan yang dihadapi dalam rangka meyelesaikan studi dan juga skripsi

ini. Karena itulah penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

pihak-pihak yang telah membantu penulis menyelesaika studi dan skripsi ini.

lzinkanlah penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Psikologi, lbu Dra. Hj. Netty Hartaty

2. Jbu Dra. Hj. Zahrotun Nihayah selaku Pudek Fakultas psikologi dan

juga pembimbing 1 skripsi, terima kasih atas waktu dan bimbingannya.

3. Abdul Mujib M.Ag selaku dosen pembimbing 2 yang sangat sabar dan

selalu menyemangati penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Seluruh keluarga, apa, ibu atas kesabarannya serta perjuangan serta

kerja kerasnya demi tercapai cita-cita ini.

5. saudara-saudaraku Aa Hilman Te Fitri, Te amah, ka dadang, te

(5)

mendengarkan keluh kesah dari penulis.

7. Bu Tya makasih atas saran dan diskusinya sehinggga telah

membuka cakrawala pemikiran penulis.

8. Dosen-dosen fakultas Psikologi serta para staff.

9. Untuk "my tweety" terimakasih untuk kebersamaannya, kesabaran

dan dorongan yang diberikan kepada penulis. Now I wan to say that

yu're the best for me. Ft forever.

1 O. untuk ustadz Rasyud Syakir terima kasih atas do' a dan dukungannya.

11. untuk adik-adik kelasku di DN, terima kasih atas tumpangan dan

datanya moga sukses aja ya ... ma anak IKPDN karim buyung hafidz

uu.,

aYouk , Pay ros (di tunggu undangnannya)

12. Lilis & Edho, (q'ta tunggu undangannya yah), moef ma reni kapan

konser lagi, wat risa & eva (manajer). Dewi makasih ya.... Hari

makasih beseknya, lyunk, Husni.S, Pipih, Anne, lta, LD M, Yani

makasih juga ya ... Daniel, Hudan makasih instalannya, ma Kembaran

gw moga bahagia ma Aa-nya. semua angkatan 99 terima kasih untuk

(6)

yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana

layaknya, baik dari segi bahasa maupun materi yang tertuang di dalamnnya.

Besar harapan penulis laporan ini dapat berguna untuk menambah

wawasan baru dan membuka cakrawala yang lebih luas bagi pembaca

sekalian. Amien

Jakarta september 2003

(7)

Latar belakang : Penelitian ini berawal dari banyaknya santri baru yang kurang dapat menyesuaikan diri dalam lingkungan pesantren. penyesuaian diri ini terkait dengan kegiatan, peraturan, rutinitas dan sosialisasi dengan teman-teman di pondok pesantren. Hal yang paling utama dalam

penyesuaian diri anak adalah penerimaan dari teman teman sebaya.

Tujuan ; Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara santri baru dalam menyesuaiakan diri dengan kegiatan pesantren yang harus dijalaninya selama bermukim di pondok pesantren.

Subyek penelitian : subyek penelitian ini adalah santri pondok pesantren dengan usia 11-14 tahun, menetap di pondok pesantren, baru menetap di pondok pesantren maksimal 1 tahun, dan santri yang memiliki prestasi

belajar di kelas dengan kriteria tinggi sedang dan rendah dengan rujukan dari raport sekolah.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan menggunakan studi kasus. Wawancara merupakan instrumen utama dalam pengumpulan data. Sedangkan metode penunjangnya adalah observasi dan skala penilaian berbentuk check list.

Hasil : Dalam proses penyesuaian diri santri membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat menyesuaikan diri terhadap kegiatan pesantren itu terbukti pada awal masuk kepesantren banyak santri yang melanggar peraturan pesantren, namun pasa akhirnya hal tersebut berkurang dengan sendirinya seiring dengan proses belajar yang mereka lakukan.

(8)

DAFTAR ISi

DAFTAR TABEL

BABI

BAB II

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang 1.2. ldentifikasi Masalah

1.2.1. Pembatasan Masalah 1.2.2. Perumusan Masalah 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian 1.3.2. Manfaat Penelitian 1.4. Sistematika Penulisan

KAJIAN TEORI

v

viii 1-9 1

7

7

7

8

8

8

9 10-41

2.1. Penyesuaian Diri. 10-32

(9)

BAB Ill

BABIV

2.2.1. Pengertian 32

2.2.2. Kegiatan di Pondok Pesantren 37 2.3. Penyesuaian Diri Santri di Pondok Pesantren. 38

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian 3.1.1. Pendekatan 3.2. Tehnik Pengumpulan Data

3.2.1. Metode Pengumpulan Data 3.2.2. Prosedur Pengumpulan Data 3.2.3. Tehnik Analisa Data

3.3. Subjek Penelitian 3.4. Etika Penelitian

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Subyek 4.2. Riwayat dan Anailis Kasus

4.2. 1. ldentifikasi dan Latar Belakang Subjek Masuk Pondok Pesantren

(10)

5.1. Kesimpulan

5.1.1. Gambaran Penyesuaian Diri

T erhadap Kegiatan Pesantren

5.1.2. Faktor yang Mempengaruhi

Penyesuaian Diri Santri

5.2. Diskusi

5.3. Rekomendasi

DAFTAR PUSTAKA

LAMPI RAN

76-78

76

78

79 :''l(.:

(11)

1. Tabel 4.1

2. Tabel 4.2

52

(12)
(13)

1.1. Latar Belakang

Keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama bagi anak. Meskipun

keluarga bukan sebuah lembaga pendidikan formal namun pelajaran yang

didapatkan oleh anak dari keluarga pasti akan membentuk watak dan

kepribadian anak . Hal ini terjadi karena dari keluarga anak akan belajar

mengenai hal-hal yang mendasar seperti sopan santun, agama dan

bagaimana bersikap dengan lingkungan sekitar. Nilai-nilai yang ditanamkan

oleh keluarga itu akan terpola dan tertanam di dalam diri anak dan menjadi

suatu kebiasaan. Penanaman nilai-nilai atau pelajaran dari orang tua

biasanya lebih banyak terjadi melalui proses modeling di mana anak akan

mengikuti tingkah laku atau sikap orang tuanya.

Proses modelling yang terjadi terkadang tidak disadari orang tua sehingga

anak akan meniru hal tersebut tanpa tahu apakah hal itu baik atau buruk. Hal

ini membutuhkan perhatian orang tua agar perilaku anak tidak melenceng

dari norma-norma agama dan sosial. Seiring berkembangnya usia anak

semakin bertambah pula kebutuhan anak baik secara fisik maupun psikis.

(14)

lebih memaksa jika menginginkan sesuatu. Ada orang tua yang akan tidak

langsung menuruti keinginan anaknya, dan ada juga yang langsung

memberikan segala keinginan anaknya tanpa dipikirkan terlebih dahulu.

Hal ini akan membuat anak menjadi bergantung pada orang tua dan terbiasa

untuk dipenuhi segala keinginannya yang akan menjadikan anak jadi manja

,

dan tidak mandiri. Sehingga pada masa perkembangan awal anak tidak akan

mudah untuk tinggal berjauhan dengan orang tuanya.

Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan anak, kebutuhan anak pun

semakin meningkat. Salah satunya adalah kebutuhan akan pendidikan. Hal

ini pun akan menjadi pertimbangan orang tua, orang tua harus jeli dalam

memberikan pendidikan yang tepat bagi anaknya agar anak mampu dan siap

untuk mengikuti pelajaran yang diterimanya. Pendidikan yang diberikan pada

anak bisa melalui otodidak ataupun melalui pendidikan formal di sekolah baik

itu di TK, SD dan SL TP dan seterusnya.

Pada awal masa pembelajaran di sekolah anak akan sulit berinteraksi namun

apabila orang tua dan guru dapat mengarahkan hal tersebut terasa mudah

bagi anak. Di sekolah anak akan lebih banyak berinteraksi dengan guru dan

teman-teman hal ini yang menjadikan anak dapat bersosialisasi dengan

(15)

Masa-masa sulit bagi anak dalam berinteraksi sosial adalah ketika

perpindahan dari sekolah dasar (SD) ke sekolah menengah tingkat pertama

(SLTP). Menurut Ellias, Tobias dan Friedlander (1999) dalam bukunya cara

efektif mengasuh anak dengan EQ, "beranjak dari SD ke SMP membawa

perubahan kalau di SL TP biasanya sekolahnya lebih besar, ada anak

disekeliling mereka yang lebih besar-sebagian jauh lebih besar- jumlah

gurunya lebih banyak, mata. pelajarannya pun banyak sehingga tugas yang

diembannya pun lebih banyak dibanding sewaktu di SD" (Ellias, Tobias dan

Friedlander, 1999 ).

Hal inilah menjadikan anak harus menyesuaikan diri dengan lingkungan

baru, teman baru baik yang sebaya maupun yang lebih dewasa. Untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan dan teman yang baru dibutuhkan

keterampilan anak dalam membuat keputusan dan memecahkan masalah

dari tugas y13ng harus ia selesaikan.

Jika orang tua memasukan anaknya ke sekolah menengah umum atau yang

sederajat kegiatannya yang dilakukan oleh anak biasanya hanya terbatas

pada kegiatan sekolah ataupun kegiatan yang berkaitan dengan pelajarannya

di sekolah. Sedangkan kegiatan yang ia lakukan di rumah adalah pekerjaan

sekolah yang dibawa pulang kerumah. Sedangkan kegiatan rumah tangga

(16)

sudah dilakukan oleh ibunya ataupun orang lain yang membantu di rumah

tersebut. Dan bagi sebagian anak ada juga yang melakukannya sendiri

namun masih dalam bimbingan orang tua. Bahkan ada juga yang tidak

melakukannya sama sekali sehingga untuk merapikan kamar tidurnyapun

masih membutuhkan orang lain untuk melakukannya.

Alternatif lain bagi orang tua dalam memilih pendidikan yang tepat bagi

anaknya adalah pendidikan dalam pondok pesantren, baik itu pesantren salaf

maupun pesantren modern. Pendidikan dalam pondok pesantren pada

dasarnya adalah sama dengan pendidikan di madrasah atau di sekolah

umum lainnya, namun yang membedakan adalah pelajaran yang didapat

oleh sisiwanya lebih banyak pada ajaran agama dan kebanyakan para

sisiwanyapun menetap di asrama yang telah disediakan oleh pesantren.

Dalam pondok pesantren salaf, pendidikan yang ditawarkan adalah

pendidikan agama seperti membaca Al-Quran, tafsir, hadits, fiqh, bahasa

Arab dan lain sebagainya. Biasanya metode yang digunakan adalah metode

ceramah secara klasikal atau yang di kenal dengan sorogan.

Sedangkan dalam pondok pesantren modern pendidikan yang ditawarkan

(17)

kurikulum yaitu kurikulum Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) ,

kurikulum Departemen Agama (DEPAG) dan kurikulum pesantren salaf.

Hal tersebut di alas merupakan salah satu aspek yang membedakan antara

pesantren modern dan pesantren salaf, dan hal tersebut jugalah yang

memungkinkan orang tua dalam memilih pondok pesantren sebagai sarana

untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan bagi anaknya, karena di dalam

pondok pesantren anak akan mendapatkan pelajaran umum -yang didapat

juga pada sekolah lain- selain itu anak juga mendapat pelajaran agama dan

langsung dipraktikan sehingga anak akan terbiasa melakukan ibadah yang

harus dilakukannya sehari-hari.

Kegiatan yang dilakukan dalam pondok pesantren juga sangat beragam,

mulai kegiatan kurikuler seperti sekolah dan ekstrakurikuler seperti organisasi

intrasekolah , pramuka, dan kegiatan lainnya, sampai pada kegiatan umum

yang biasa dilakukan sehari-hari di rumah seperti shalat, mengaji, mencuci

pakaian dan lain-lain. Sementara di rumah biasanya anak membutuhkan

perhatian dan bantuan orang tuanya dalam hal pengerjaan kegiatan rumah

seperti mencuci, menyetrika atau menyiapkan pakaian sekolah sampai

menyiapkan buku-buku pelajaran dan alat-alat tulisnya. Namun di pondok

pesantren hal tersebut harus dilakukannya sendiri tanpa ada perhatian dan

(18)

Dalam mencapai suatu tingkat kemandirian dalam pondok pesantren seorang

anak harus dapat menyesuaiakan diri dengan kehidupan pesantren terlebih

dahulu, baik itu secara fisik maupun secara psikis.

Menurut Murai yang dikutip oleh Budi Harjo dalam anima Vol VII des 91 agar

anak memiliki kemampuan yang baik dalam hat penyesuaian diri, diperlukan

suatu pola relasi antara anak dan orang tua yang tidak menghambat

pemenuhan kebutuhan anak, dan terhambatnya pemenuhan kebutuhan anak

menimbulkan frustasi. Dan frustasi memungkinkan timbulnya indelequency,

inferior, ataupun insecurity yang mengarah pada timbulnya tingkahlaku yang

agresif, rasa bermusuhan dan menarik diri dari lingkungan.

Dalam hat penyesuaian diri yang dilakukan anak yang berasal dari rumah

dan hanya mendapat pelajaran umum sewaktu di sekolah dasar kemudian

harus belajar ke pesantren yang mempelajari pelajaran agama yang

memakai bahasa yang berbeda, dan memiliki aturan yang berbeda, dengan

orang-orang yang berbeda, dan harus berinteraksi dengan orang orang yang

relatif lebih dewasa dan lebih besar, juga membutuhkan kemandirian yang

tinggi dalam hal manajemen diri tentunya membutuhkan suatu penyesuaian

yang relatif lama dan sulit. Dan hat ini yang menarik peneliti untuk melakukan

(19)

PESANTREN TERHADAP KEGIATAN PESANTREN: STUDI KASUS DI

PONDOK PESANTREN DARUNNAJAH"

1.2.

ldentifikasi Masalah

1.2.1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka timbul permasalahan yang menarik

bagi peneliti, dan agar memudahkan penelitian ini maka kiranya perlu ada

pembatasan masalah sebagai berikut:

Penyesuian diri santri baru di pondok pesantren ini meliputi penyesuaian diri

terhadap kegiatan, tata tertib, rutinitas, dan teman teman di lingkungan

pesantren. Penelitian ini di fokuskan pada anak kelas satu madrasah

Tsanawiyah usia 11-14 tahun.

1.2.2. Perumusan Masalah

Masalah yang akan kami teliti dalam pene"litian ini adalah:

Bagaimana cara santri baru dalam menyesuaikan diri terhadap kehidupan di

pondok pesantren. Faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian diri

(20)

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara santri baru dalam

menyesuaiakan diri dengan kegiatan pesantren yang harus dijalaninya

selama bermukim di pondok pesantren.

1.4.2. Manfaat Penelitian

Secara teoritis penulis berharap agar penelitian ini dapat menambah

khasanah keilmuan bagi bidang psikologi pendidikan khususnya di pondok

pesantren. Dan berguna bagi penelitian selanjutnya.

Secara praktis penulis berharap agar penelitianan ini dapat membantu

pembimbing di pondok pesantren dalam mengidentifikasi anak dan

mengatahui masalah-masalah yang terjadi dalam diri anak khususnya

penyesuaian diri . Membantu orang tua dalam hal penyesuaian diri anak di

pondok pesantren.

1.5. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka penulis membagi skripsi

(21)

Bab I Pendahuluan yang meliputi penulisan latar belakang masalah,

pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II

Bab Ill

Bab IV

Bab V

Kajian teori yang meliputi definisi penyesuaian diri, pengertian

penyesuaian diri, macam-macam penyesuaian diri, faktor-faktor

yang mempengaruhi penyesuaian diri, pendekatan aliran

psikologi terhadap penyesuaian, pengertian pondok pesantren,

macam-macam pondok pesantren, kegiatan dalam pondok

pesantren, penyesuian diri dalam pondok pesantren.

Metodologi penelitian yang meliputi 、セ。ゥョ@ penelitian, tehnik

pengumpulan, metode pengumpulan data prosedur

pengumpulan data dan tehnik analisis data, subjek penelitian,

serta etika penelitian.

Hasil penelitian gambaran umum subjek , riwayat dan analisis

kasus, analisis antar kasus.

(22)
(23)

Dalam bab dua ini di sajikan beberapa kajian teori mengenai penyesuaian

diri, macam-macamnya, penyesuaian menurut mazhab-mazhab psikologi,

serta beberapa definisi tentang pondok pesantren, macam macam dan

kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan di pesantren.

2.1. Penyesuaian Diri

2.1.1. Pengertian Penyesuian Diri

Menurut poerwadaminta (1976) Ada dua kata dalam bahasa asing yang

kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia mempunyai arti yang sama yaitu

penyesuaian diri, kata tersebut adalah adjustment dan adaptation.

Pandangan yang berbeda dikemukakan oleh Lazarus (1969) dalam bukunya

patterns of adjustment, tentang kedua istilah tersebut Lazarus mengartikan

istilah adaptation sebagai suatu konsep biologis yaitu suatu struktur dan

proses biologis yang memudahkan individu untuk bertahan di lingkungannya.

Namun konsep adaptation ini kemudian mulai dikembangkan oleh para

psikolog dan akhirnya muncul istilah baru yaitu adjustment dan meciurut

(24)

"Adjustment consist of psychological proses by means of which the individual

manages or copes with various demand on pressures"

セl。コ。イオウL@

1969 h. 18)

Penyesuaian diri adalah proses psikologi yang merupaJan alat bagi individu

untuk mengatur atau mengatasi tekanan dan tuntutan.

Sedangkan menurut Prof. Dr. Musthafa Fahrni dalam bukunya At-Takawuf

An-nafsiy yang diterjemahkan oleh prof. Dr. Zakiah Daradjat (1982) dalam

,

bukunya yang berjudul penyesuaian diri pengertian dan peranannya dalam

kesehatan mental, proses penyesuaian diri adalah dinamika yang berlujuan

untuk mengubah kelakuan agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara

dirinya dan lingkungannya (Muthafa Fahrni; ZakiahDaradjat, 1981 h. 14).

Sedangkan menurut Schneiders (1964) seperti yang dikutip oleh tanara

(1991) dalam anima vol VII penyesuaian diri organisasi, penyesuaian diri

adalah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku, yaitu

individu berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustasi karena

terhambat kebutuhan da/am dirinya dan tuntutan luar dirinya atau

lingkungannya (Schneider 1964; Tanara, 1991 h. 23)

Menurut Haber dan Ruyon (1984) seperti yang dikutip oleh Nita Pandriani

Nainggolan (2000) dalam skripsinya penyesuaian diri dan dukungan pada

orang tua yang mempunyai anak autisma: studi kualitatif pada em pat orang

(25)

life"(Haber dan Ruyon, 1984; Nita, 2000 h. 10) penyesuaian diri adalah suatu

proses yang berkelanjutan sepanjang hidup.

Sedangkan menurut Grasha dan Kirschenbaum {1980) dalam bukunya

psychology of adjustment and competence: an applied approach, "adjusment

is our ability to cope with the problem and demands of our

environment".(grasha dan kirschenbaum, 1980 h. 12), penyesuaian diri

adalah kemampuan kita untuk mengatasi masalah yang kita hadapi dan

tuntutan lingkungan.

Dan menu rut Atwater ( 1983) dalam bukunya psychology of adjustment ,

seperti yang dikutip Tanara (1991) dalam anima vol VII penyesuaian diri

organisasi menyebutkan bahwa penyesuaian diri terdiri dari perubahan dalam

diri dan lingkungan di sekitar kita yang kesemuanya ini diperlukan untuk

memuaskan hubungan dengan lingkungan sekitar kita dan orang lain.

Menurut Atwater perubahan semacam ini berkaitan dengan dua hal yang

timbal balik yang pertama perubahan dalam diri kita agar sesuai dengan

lingkungan dan yang kedua perubahan lingkungan agar sesuai dengan cara

kita dalam memenuhi kebutuhan kita (Atwater 1983; Tanara 1991 h. 24)

Sedangkan menurut Watson dan Tharp (1972) dalam bukunya self-direction

behavior; self modification for personal adjustment, "to arrange, compose,

(26)

to something else; and to do this according to the laws which govern this

harmony". (Watson and tharp, 1972 h. 10) Definisi penyesuaian diri adalah

menata , mengubah dan menyeimbangkan sehingga mencapai persetujuan;

menata kembali bagian bagian sehingga sesuai dengan dirinya dan orang

lain. Dan menyesuaikan tingkah laku dengan peraturan yang telah

ditetapkan.

Menurut Lazarus

(1969)

ada dua tuntutan yang membutuhkan penyesuaian diri yaitu tuntutan eksternal dan tuntutan internal. Tuntutan eksternal antara

lain tuntutan fisik yang datang dari lingkungan seperti sakit, bahaya dan

lain-lain; dan tuntutan sosial seperti tuntutan orang lain agar seseorang secara

nyata atau tidak melakukan, memikirkan dan merasakan sesuatu. Dan

tuntutan yang kedua yaitu tuntutan internal yaitu tuntutan kebutuhan jaringan

tubuh seperti makan,minum dan lain-lain serta tuntutan motif sosial seperti

menyayangi dan disayangi, dihormati dan lain-lain. Dan ketika tuntutan

aksternal dan internal tersebut melewati batas kemampuannya maka akan

imbul dengan apa yang dinamakan stress (Lazarus,

1969

h.

161-166)

)ari beberapa definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penyesuaian

liri adalah suatu proses psikologis, merupakan kemampuan kita untuk

nengatasi masalah dan tekanan yang berasal dari lingkungan, merupakan

emenuhan kebutuhan dari dirinya dan lingkungannya. Dan merupakan

(27)

2.1.2. Macam-Macam Penyesuaian Diri

Penyesuaian yang baik (good adjusment)

Menurut Abe Arkoff ( 1968) dalam bukunya adjustment and mental health, "a

person who has made good adjusment or one who is called mental healthy

demonstratesa patterns of behavior or person characteristics wich are valued

or considered considerable" (Arkoff, 1968 h. 206). Seseorang yang

mempunyai pola penyesuaian diri yang baik atau orang yang disebut sebagai

orang yang sehat mentalnya menunjukan pola tingkah laku atau karakteristik

yang sesuai dengan yang diinginkannya.

Menurut Haber dan Ruyon (1984) seperti yang dikutip oleh Nita Pandriani

Nainggolan (2000) dalam skripsinya penyesuaian diri dan dukungan pada

orang tua yang mempunyai anak autisma: studi kualitatif pada empat orang

tua anak , mengatakan bahwa seseorang dapat dikatakan mempunyai pola

penyesuaian diri yang baik apabila memiliki beberapa kriteria dibawah ini

Yang pertama yaitu mempunyai persepsi yang akurat terhadap realitas.

Persepsi yang akurat terhadap kenyataan ini merupakan syarat munculnya

penyesuaian diri yang baik , persepsi ini biasanya diwarnai dengan keinginan

dan motivasi. Untuk mencapai hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari

individl! pada kenyataannya harus memodifikasi tujuan yang ingin dicapainya

(28)

yang terpenting bagi individu adalah kemampuan individu untuk mengenali

konsekuensi dari tindakannya dan kemampuan mengarahkan tingkah

lakunya sehingga sesuai dengan norma yang ada dalam lingkungannya.

Yang kedua yaitu kemampuan mengatasi stress dan kecemasan. Dalam

,

kehidupan sehari-hari biasanya setiap individu akan menghadapi suatu

masalah. Masalah yang dihadapi tersebut ada yang dapat terselesaikan

dengan mudah dan ada yang tidak dapat diselesaikan dengan mudah, dan

ketika masalah yang dihadapinya sulit untuk terselesaikan maka biasanya

akan menimbulkan stress, dan apabila individu tersebut tidak dapat

mengatasi stress yang datang maka ia dapat disebut dengan individu yang

kurang dapat menyesuaikan diri.

Kriteria yang ketiga yaitu memiliki citra diri positif. Citra diri merupakan salah

satu indikator dari penyesuaian diri, dan persepsi merupakan salah satu

indikator dari citra diri, ketika persepsi tidak disetujui dan individu tidak

mampu mengharmonisasikan persepsi tersebut maka ia akan menjadi

maladjustment tetapi apabila individu tersebut dapat mengharmonisasikan

persepsi tersebut maka ia dapat dikatakan sebagai orang yang mampu

menyesuaikan diri.

Yang keempat yaitu kemampuan mengekspresikan perasaan. Dalam

(29)

penyesuaian diri yang baik mampu mengontrol emosi atau perasaannya

sehingga apabila ia bergembira iapun tidak terlalu larut dalam kegembiraan

dan begitu juga sebaliknya apabila ia bersedih iapun tidak terlalu larut dalam

kesedihannya. Biasanya orang seperti ini mempunyai kontrol diri yang baik,

yang tidak mengontrol secara berlebihan dan tidak juga membiarkan dirinya

tanpa kontrol sama sekali.

Yang kelima yaitu mempunyai hubungan interpersonal yang baik. orang

yang mempunyai pola penyesuaian diri yang baik akan mampu mencapai

keakraban yang mudah dalam hubungannya dengan kelompok sosial. Dan

biasanya ia mampu membuat orang lain merasa nyaman ketika berinteraksi

dengannya dan dia pun akan merasa nyaman bila berinteraksi dengan

individu atau kelompok sosial yang lainnya. (Haber dan Ruyon 1984; Nita

Pandriani Nainggolan, 2000 h. 26-28)

,

Maladjusment

Menurut Buss seperti yang dikutip Adam E. Henry (1972) dalam bukunya

psychology of adjusment, ada beberapa kriteria dalam menetukan

penyesuaian yang buruk yaitu discomfort, bizarrenes, dan inefficiency.

Discomfort atau ketidaknyamanan dapat di sebabkan oleh beberapa faktor

antara lain indisposition, worry, depresion dan lain sebagainya. Kurang enak

(30)

rasa muak yang di sebabkan oleh faktor biologis atau faktor lainnya.

Kecemasan atau worry dapat di sebabkan oleh rasa takut yang tidak

realistis, khawatir akan masa depan yang tidak pasti dan gelisah. Depresi

atau depresion dapat di sebabkan oleh berbagai sebab antara lain gaga!

dalam ujian, kekacauan dalam menangani pekerjaan atau bisa juga

disebabkan oleh kehilangan seseorang yang dicintai.

Bi=arrenes are Unusual deviation from sosial norm or reality, prilaku yang ganjil

adalah tingkah laku yang menyimpang dari norma sosial dan kenyataan.

Beberapa penyakit yang menyimpang atau yang termasuk dalam bizarrenes

antara lain adalah delusi, halusinasi, amnesia, phobia serta kompulsif.

Termasuk juga diantaranya kenakalan remaja yang kronis atau chronic

delinquency dan penyimpangan seksual

lneficiency atau ketidak berdayaan, banyak cara bagi individu untuk

menyelesaikan masalahnya, dan banyak pula pola respon yang tercipta

dalam mengerjakan masalahnya. Terkadang pola respon tertentu kurang

praktis sehingga masalah tidak dapat terselesaikan. Ketidak berdayaan

dalam menyelesaikan masalah secara ekstrim dianggap abnormal oleh

lingkungan sosial. Ada dua cara dalam mengukur ketidak berdayaan

seseorang yaitu membandingkan potensi individu dengan kemampuannya

dan membandingkan kemampuannya dengan tugas yang diembannya

(31)

Yang dimaksud maladjustment di sini bukan berarti individu tersebut tidak

dapat menyesuaikan diri sama sekali, sebenarnya dia dapat menyesuaikan

diri namun tidak seperti kebiasaan orang normal sehingga orang lain

mengangap dia mempunyai pola penyesuaian diri yang buruk.

2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat (1993) dalam bukunya kesehatan mental,

faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah:

frustrasi

Frustrasi adalah proses yang menyebabkan orang merasa akan adanya

hambatan terhadap terpenuhinya kebutuhan kebutuhan atau menyangka

bahwa akan terjadinya sesuatu hal yang menghalangi keinginannya.

Frustrasi ini terkait dengan stress, stress sendiri terbagi dua stress yang

positif atau austress dan stress yang negatif atau distress. Apabila orang

tersebut mampu mengatasi stress maka sebut dengan austress dan orang

yang demikian dapat dikatakan orang yang mempunyai penyesuaian diri

yang baik dan apabila orang tersebut tidak mampu mengatasi stress yang

datang maka ia disebut dengan distress dan orang yang demikian itu dapat

dikatakan dengan orang yang tidak mampu menyesuaikan diri.

(32)

konflik atau pertentangan batin adalah terdapatnya dua macam dorongan

atau lebih, yang berlawanan atau bertentangan satu sama lain.

Menurut Zakiahkonflik itu terbagi tiga yang pertama yaitu konflik terhadap dua

hal yang diingini, yang tidak mungkin di ambil keduanya, misalnya seorang

gadis yang dilamar oleh dua orang pemuda yang sama-sama di cintainya,

jika ia memilih A maka ia akan kehilangan yang B begitu juga sebaliknya.

Yang kedua yaitu konflik terhadap dua hal yang bertentangan, contohnya

adalah seorang anak yang ingin naik gunung tetapi oleh sang ibu dilarang, di

satu sisi sang ibu tidak ingin kalau anaknya tidak mempunyai pengalaman

yang menarik di saat Ii bu ran, tetapi di sisi yang lain ibu tersebut juga takut kalau anaknya mengalami kecelakaan di jalan. Yang ketiga yaitu konflik

terhadap dua hal yang tidak diingini contohnya adalah seorang militer yang

turun ke medan perang ia tidak ingin membunuh lawannya tetapi kalau ia

tidak membunuh maka ia akan dibunuh oleh lawannya.

kecemasan

ォ・」・ュ。ウ。セ@ adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur

baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan

(frustasi) dan pertentangan batin (konflik).

Kecemasan itu mempunyai segi yang di sadari seperti rasa takut, terkejut,

tidak berdaya, rasa berdosa, juga ada segi-segi yang terjadi di luar

(33)

Kecemasan pun menurut Zakiahdapat di sebabkan oleh beberapa hal yang

pertama yaitu rasa cemas yang timbul akibat melihat dan mengetahui ada

bahaya yang mengancamnya. Contohnya adalah seorang pejalan kaki yang

melihat moibil berkecepatan tinggi datang menuju kearahnya seakan-akan

ingin menabraknya tentunya ia akan merasa takut dan mencoba untuk

menyelamatkan diri. Yang kedua rasa cemas berupa penyakit dan terlihat

dalam beberapa bentuk yaitu takut terhadap hal yang tidak jelas, tidak tentu,

dan tidak ada hubungannya dengan apa-apa, serta takut itu mempengaruhi

kepribadian seseorang. Bentuk yang lainnya adalah kecemasan yang

ditimbulkan oleh benda-benda yang ada kaitan dengan dirinya.' Yang ketiga

kecemasan yang disebabkan oleh rasa berdosa atau bersalah karena

melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya. Cemas ini

juga dapat diikuti denngan beberapa gejala baik itu fisik seperti jantung

berdebar-debar, ujung jari berkeringat, dan lain-lain; dan gejala psikis seperti

tidak nyaman, rasa takut yang berlebihan, gelisah, tidak percaya diri, merasa

rendah diri dan lain-lain. (ZakiahDaradjat, 1993 h. 24-28)

2.1.4 Pendekatan Aliran Psikologi Terhadap Penyesuaian

Di bawah ini merupakan pendekatan dari aliran psikologi terhadap

penyesuaian yang dikutip dari Calhoun dan Acocella (1990) dalam bukunya

psychology of adjustment and human relationship yang diterjemahkan oleh

R.S Satmoko (1995) psikologi tentang penyesuaian dan hubungan

(34)

Psikoanalisa

Tidak dapat dipungkiri bahwa Freud merupakan tokoh psikoanalis yang

sangat berpengaruh pada pemikiran tentang psikologi bagi para psikolog

sesudahnya, oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas pemikirannya

tentang penyesuaian.

Menurut Freud (1920) proses penyesuaian pada orang dewasa itu dapat

terjadi tergantung dari terpuaskan atau tidaknya naluri pada fase

perkembangan awal manusia, apabila pada masa-masa awal tersebut terjadi

pengalaman yang tidak menyenangkan di waktu menyusui atau diwaktu

berlatih bersih-bersih (toilet training), atau terjadi pemanjaan, keadaan

tertekan dan kekurang konsistenan orang tua dalam menerapkan pelatihan

yang sesuai bagi anak, biasanya anak akan mengalami konflik yang berat

dan hal ini dapat melemahkan ego, menghambat kedewasaan anak dan anak

akan mengalami fiksasi dan regresi. Dalam proses yang disebut fiksasi anak

akan mengalami kemunduran pada fase sebelumnya, sehingga ego untuk

menyenangkan id kembali jatuh pada ukuran infantil dan tidak menemukan

kedewasaan. Contohnya adalah individu yang mengalami fiksasi atau

kembali dari fase sebelumnya dari fase anal ke fase oral biasanya individu

tersebut terlihat sering memainkan bibir atau Iidahnya, bertingkah laku biasa

tergantung dan terlihat seperti kelaparan. Akibat lain dari kemunduran

(35)

kepada fase-fase manapun sesudahnya. Contohnya adalah orang dewasa

yang selalu jengkel apabila ada orang yang menghalangi keinginannya

walaupun orang yang menghalangi tersebut bermaksud baik.

Sebaliknya penyesuaian yang baik dapat terjadi, bila terdapat keseimbangan

yang rasional, pada waktu anak-anak dari pemuasan dan dorongan yang

datang. Contoh apabila orang tersebut mencapai keselarasan antara id, ego

dan superego biasanya apabila ia diajak berkelahi, maka ia akan menolak

ajakan itu, karena dorongan yang digunakan orang tersebut untuk

menyerang biasanya terbentur oleh superego yang melarang untuk berbuat

kejahatan. Sebaliknya ia akan menjadi hakim atau atlit beladiri untuk

dijadikan pemuas dorongan tersebut sehingga lebih bernilai dan lebih diakui.

Kesimpulannya bahwa orang yang menyesuaikan diri pada dasarnya terkait

oleh id akan tetapi dengan bantuan ego yang sehat individu mampu

mengatasi konflik tersebut. (J.F. Calhoun dan J.S. Acocella 1990; R.S.

Satmoko, 1995 h. 19-21)

Neo-psikoanalis

Frued memiliki sejumlah pengikut yang brilian yang memisahkan diri dari

Frued karena menurut mereka ada beberapa kekeliruan dari pemikiran Frued

diantaranya adalah Freud memandang id sebagai motivator dasar di dalam

(36)

menggantikan tiap dorongan itu sendiri. Oleh karena itu sekalipun fungsinya

mungkin rumit, ego tidak mampu menjelaskan kepribadian manusia yang

sebenarnya dan inilah hak istimewa dari id. Pandangan yang bertentangan

dengan itu, penganut neo-fruedian memberi argumentasi tentang fungsi

ego-persepsi, memori, problem solving, kreativitas- sama pentingnya dengan id,

karena menurut mereka ego mempunyai kekuatan sendiri untuk mengatur.

Pertentangan yang lainnya adalah pertentangan mengenai penyesuaian

sosial menurut Freud penyesuaian diri terjadi apabila anak mampu menjalani

lima tahap perkembangan manusia dengan baik . Sedangkan para

neo-psikosnslis memandang bahwa penyesuaian diri adalah suatu kemampuan

dan maladjustment adalah suatu ketidak mampuan, membentuk kasih

sayang dan keakraban dengan orang lain. Untuk menggambarkan kedua

pertentangan tersebut, kita akan tinjau pemikiran dari Erich Fromm dan Erik

Erikson.

Fromm (1947) menekankan pentingnya masyarakat bagi penyesuaian

manusia. dalam pandangan Freud kepribadian manusia dewasa dibentuk

oleh pemuasan biologis tidak terlalu banyak dibentuk oleh watak masyarakat,

sedangkan menurut Fromm, pribadi yang pasif dan tergantung merupakan

pembentukan dari masyarakat yang otoriter, masyarakat kapitalis membentuk

manusia menjadi pribadi seperti robot yang tidak tahu mawas-diri ataupun

(37)

diperjual-belikan, sedangkan pribadi yang produktif hanya dapat diciptakan

oleh masyarakat yang idealistis, pribadi yang produktif adalah pribadi yang

'

mampu menyayangi dan mengerahkan diri sehingga dapat meningkatkan

kemampuannya, pribadi yang produktif inilah menurut Fromm yang

mempunyai penyesuaian yang bagus. Karena menurut Fromm tidak hanya

masyarakat yang menciptakan kepribadian tetapi melalui kepribadian kita kita

juga dapat membina masyarakat.

Sedangkan menurut Erikson (1963) penyesuaian dapat terjadi berdasarkan

kemelut yang mengikuti hubungan individual dengan orang lain. Pada tahun

pertama perkembangan manusia misalnya keharmonisan dan

ketidakharmonisan hubungan orang tua dan anak menghasilkan

kepercayaan dan ketidak percayaan terhadap orang lain. Pada tahun kedua

masa perkembangan anak bila latihan bersih-bersih dan belajar berjalan

yang dilakukan anak berlangsung dengan baik maka anak akan mampu

otonomi dan mempunyai kepercayaan diri yang baik, dengan begitu dapat

dipastikan anak akan mampu melakukan penyesuaian dengan baik.

Menurut Erikson (1963) setiap fase perkembangan manusia mempunyai

kemelut yang dapat diselesaikan oleh individu secara konstruktif ataupun

destruktif. Penyelesaian dari kemelut yang tidak baik pada fase tertentu dari

(38)

kurang mampu menyesuaikan diri, tetapi manusia tersebut tetap melakukan

penyesuaian, kadang berjalan lumayan sukses.

Teori ini berbeda dengan teori Freud dalam beberapa hal yang pertama,

dalam sistem Erikson, ego berfungsi lebih sulit dari pada id yang hanya

dijadikan pemuas nafsu seperti yang dikemukakan Freud. Karena ego

menurut Erikson mempunyai kekuatan untuk berdiri sendiri yang bertugas

untuk menyelesaikan masalah. Kedua, dalam sistem Erikson kemelut dan

jalan keluarnya dinyatakan secara umum dengan istilah sosial. Pada Freud

fase-fase tersebut dinyatakan dengan fase psikoseksual namun pada Erikson

dinyatakan dengan fase psikososial. Jadi senada dengan Fromm, Erikson

pun mengungkapkan penyesuaian merupakan kapasitas untuk membentuk

hubungan yang hangat dan dapat dipercaya dengan orang lain (J.F. Calhoun

dan J.S. Acocella 1990; R.S. Satmoko, 1995 h.21-24).

Teori Behavioral

Psikologi behavioral dikembangkan sebagai reaksi terhadap teori psikoanalis,

'

para behaviorisme merasa tidak puas terhadap teori psokoanalis yang

cenderung subjektif, menurut psikologi behavioris kepribadian manusia tidak

bisa diterangkan hanya dengan hal yang tidak dapat diamati dan tidak dapat

diukur {id, ego, dan super ego). Untuk memperbaiki situasi ini, mereka

(39)

khusus, tingkah laku yang dapat diukur-benda yang dapat dilihat, dan

sebab-sebab yang dapat dilihat dari tingkah laku tersebut.

Berdasarkan behaviorisme klasik, orang yang terlibat dengan tingkah laku

tertentu mereka akan mempelajarinya melalui pengalaman-pengalaman

tedahulu, dan menghubungkan tingkah laku tersebut dengan hadiah-hadiah.

Seperti pada kejadian orang yang menghentikan tingkah laku tertentu akibat

tidak mendapatkan hadiah dari lingkungannya.

Namun, seiring dengan meluasnya teori behavioris, maka pemikiran tentang

teori ini pun semakin beragam, sehingga banyak ahli psikologi sekarang

merasa bahwa tingkah laku manusia tidak hanya dapat dijelaskan dengan

hadiah dan hukuman eksternal saja, pikiran dan perasaan atau kejadian

internal lainnya harus diperhitungkan juga.

Behaviorisme Kognitif

Menurut behaviorisme kognitif penyesuaian yang baik merupakan

kemampuan untuk mengartikan kejadian-kejadian secara nyata dengan aka!

yang positif, sehingga menghasilkan yang dapat lebih menyempumakan

penyesuaian diri pada menghancurkan dirinya sendiri.

Menurut Walter Mischel (1973) tingkah laku merupakan hasil sating

(40)

Mischel bagaimanapun individu sama pentingnya dengan situasi disatu sisi

ada variabel situasional contohnya dengan siapa anda bicara, di mana anda

bicara, dan bagaimana kondisi udara disekitar anda. Dan variable personal

seperti kemampuan-kemampuan anda, harapan- harapan, nilai-nilai dan

kebiasaan anda berpikir. Saling berkaitan dalam hal penyesuaian diri.

Teori Mischel ini memiliki kelebihan dan kekurangan antara lain,

kekurangannya kaum behavioris di satu pihak memperhatikan proses mental

yang tidak dapat diamati, dan membuang peraturan-peraturan yang sangat di

junjung tinggi oleh behavioris klasik. Dan kelebihannya adalah karena kaum

behavioris kognitif nampaknya menyajikan penjelasan tentang kegiatan

tingkah laku manusia yang lebih lengkap dan karena itu juga kaum behavioris

kognitif ini lebih realistis dalam memandang tingkah laku manusia (J.F.

Calhoun dan J.S. Acocella 1990; R.S. Satmoko, 1995 h. 24-25).

Teori Humanistik

Kaum humanistik berpendapat bahwa penyesuaian yang ideal merupakan

lebih dari sekedar penyelesaian secara sederhana, atau juga penyelesaian

yang berhasil dengan keadaan yang nyata yang terdapat dalam kehidupan

anda. Untuk dapat mengetahui teori humanistik kita perlu melihat pada

humanistis yang sangat berpengaruh yaitu Abraham Maslow dan Carl Roger.

Sumbangan yang sangat berpengaruh dari Abraham maslow adalah teori

hierarki kebutuhan. Menurut maslow (1954) penyesuaian yang diajarkan oleh

(41)

kebutuhan biologis, mendapatkan teman, belajar menghargai diri

sendiri-sebenarnya hanyalah persiapan untuk menghadapi tantangan yang lebih

tinggi yaitu aktualisasi-diri sebagai pemenuhan secara sempuma potensi unik

seseorang.

Maslow mengurutkan kebutuhan manusia atas 5 tahap,

Pertama yaitu kebutuhan fisik seperti lapar, haus dan dorongan seksual.

Kedua yaitu kebutuhan akan rasa aman seperti bebas dari bahaya dan

merasa tentram.

Ketiga yaitu kebutuhan akan rasa cinta seperti dapat mencintai dan dicintai,

mempunyai anggota keluarga, dapat berhubungan dengan orang lain, dan

menjadi anggota suatu kelompok.

Keempat yaitu kebutuhan akan kepercayaan diri, merasa mampu, mendapat

kepercayaan dan pengakuan.

Kelima yaitu aktualisasi diri atau kebutuhan untuk mencapai kemampuan unik

seseorang. Menurut maslow (1954) setiap tipe kebutuhan harus terpenuhi

(42)

Menurut ma slow ( 1954) penyesuaian yang optimal baru terjadi apabila orang

tersebut telah memenuhi keempat kategori kebutuhannya terdahulu

secukupnya, untuk selanjutnya mengarah pada aktualisasi diri: suatu

ekspresi yang bebas dan sempurna dari kemampuan dasar serta

kemampuan-kemampuan selanjutnya yang telah dimiliki.

Rogers, sama halnya dengan maslow yang memberi batasan tentang

penyesuian diri dengan aktualisasi diri, menurut Rogers (1951) kunci dari

aktualisasi diri adalah konsep diri, yang merupakan sebagian besar

pengalaman kita pada waktu kecil, khususnya dengan orang tua kita sendiri.

Sumbangan khusus dari teori konsep diri ini adalah telah dapat menjelaskan

mengapa sebagian orang berhasil dalam mencapai aktualisasi diri dan

mengapa sebagian lagi tidak berhasil.

Semua anak secara alamiah mendambakan kehangatan dan penerimaan

dari orang tuanya, namun banyak dari orang tua hanya mau menerima

anaknya dengan kondisi suatu tingkahlaku tertentu seperti yang mereka

harapkan. Dan kondisi ini yang menurut rogers akan menjadi penyebab

terjadinya konsep diri anak tidak lumrah dan terbatasi.

Bila orang tua menuntut anaknya menjadi baik maka anak akan

menggambarkan dirinya agar menjadi baik, baik di sini adalah baik menurut

(43)

pengalaman yang bertentangan dengan kebaikan dirinya. Kerugian yang di

dapat adal"!h bahwa kekuatan orang tersebut disia-siakan bagi pertahanan

konsep-diri yang tidak realistis yang seharusnya dapat digunakan untuk

mengekspresikan secara sempurna sesuatu ysebenarnya merupakan

pengalaman yang sangat bermacam macam bagi dirinya di dunia. Bagi

Rogers pra syarat yang terpenting untuk tercapainya aktualisasi-diri adalah

konsep-diri yang luas dan fleksibel, sehingga kita dapat menyerap semua

pengalaman dan mengekspresikan diri kita secara penuh (J.F. Calhoun dan

J.S. Acocella 1990; R.S. Satmoko, 1995 h26-29).

Teori eksistensial

Seperti halnya kaum Humanis teori eksistensial pun mempelajari suatu

kepribadian yang dinamis dalam memandang manusia. Namun yang

membedakannya dari kaum humanis adalah prosesnya. Pada teori humanis

manusia akan mencapai aktualisasi diri setelah semua kebutuhan yang di

bawahnya terpenuhi tetapi pada eksistensialis manusia akan mencapai

kebermaknaan hidup dengan cara pengembangan diri pribadi yang sesuai

dengan cita-cita orang tersebut.

Para eksistensialis sependapat dengan para humanis yang memandang

tingkah laku sebagai hasil dari pilihan yang bebas. Mereka juga sependapat

dengan para humanis bahwa persepsi dan kesanggupan kemampuan tiap

(44)

suatu realisasi penuh tentang kesanggupan seseorang. Namun yang

membedakan antara para humanis dan para eksisitensialis adalah dalam hal

bagaimana mereka mencapainya. Bagi para humanis, aktualisasi-diri

merupakan suatu hal yang agak otomatis seperti halnya bunga, manusia

akan mencapai perkembangan penuh apabila telah mencapai tahap

perkembangan di bawahnya. Sedangkan bagi para eksistensialis,

perkembangan penuh potensi seseorang merupakan proses yang lebih

sukar, membutuhkan perjuangan yang menyakitkan, dalam kesepian dan

ketakutan.

Menurut Frankl (1962) kekuatan motivasi yang utama dari kehidupan

manusia bukanlah keinginan untuk bersenang-senang atau keinginan untuk

berkuasa, melainkan keinginan untuk bermakna. Satu-satunya jalan untuk

mencapai kebermaknaan hidup adalah dengan jalan mengikuti nilai-nilainya,

apa yang kita lakukan beberapa untuk mencapai tujuan, memperhatikan

orang lain, dan mencoba meruml,lskannya dengan kesulitan.

Frankl (1962) berpendapat bahwa psikologi tradisional akan menghasilkan

gambaran yang rancu dari keadaan manusia apabila meninggalkan

kehidupan rohani. Menurut-nya pernyataan spiritual tersebut merupakan

kebutuhan mutlak untuk kesehatan psikis. (Calhoun dan Acocella, 1990; R.S.

(45)

2.2. Kegiatan santri

di Pondok Pesantren

2.2.1. Pengertian

Pondok Pesantren

Menurut Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Bidang Pendidikan

Keagamaan dan Pondok Pesantren, Departemen Agama Republik Indonesia

(2002) dalam Pedoman pondok pesantren, definisi pondok pesantren pada

umumnya tergambar pada beberapa ciri khas yang biasa ada dalam pondok

pesantren yaitu adanya pengasuh pondok pesantren (kyai/ ajengan/ tuan

guru/ tengku/ ustadzl buya), adanya masjid sebagai pusat kegiatan ibadah

dan tempat belajar, adanya santri yang belajar, serta adanya asrama sebagai

tempat tinggal santri. Disamping empat komponen tersebut hampir setiap

pesantren juga menggunakan kitab kuning (kitab klasik tentang ilmu-ilmu

keislaman yang menggunakan bahasa Arab yang disusun pada abad

pertengahan sebagai sumber kajian.

Selain itu dalam pedoman yang ditulis oleh Departemen Agama RI membagi

pondok pesantren dalam dua macam yang pertama pondok pesantren

Khalafiyah atau 'Ashriyah yaitu pondok pesantren yang mengadopsi sistem

madrasah atau sistem sekolah, kurikulumnya disesuaikan dengan kurikulum

pemerintah, dalam hal ini departemen pendidikan nasional dan departemen

agama, melalui penyelenggaraan SD, SL TP, dan SMU, atau Ml, MTS, dan

(46)

Salafiyah yaitu pondok pesantren yang masih tetap mempertahankan sistem

pendidikan khas pondok pesantren, baik kurikulum maupun metode

pendidikannya, bahan pelajarannyapun meliputi ilmu-ilmu agama islam,

dengan mempergunakan kitab-kitab klasik berbahasa Arab, sesuai dengan

tingkat kemampuan masing-masing santri. Pembelajaran dengan sistem

badongan dan sorogan masih tetap dipertahankan, tetapi sudah banyak yang

menggunakan sistem klasikal. (Depag RI, 2000 h. 6-7)

Menurut Marwan Saridjo (1983) dalam bukunya sejarah pondok pesantren di

indosesia secara singkatnya yang dimaksud dengan pesantren adalah

lembaga pendidikan islam yang sekurang-kurangnya mempunyai tiga unsur

yaitu kyai yang mendidik dan mengajar , santri yang belajar dan rnasjid

tempat mengaji.

Lebih lanjut lagi menurut Marwan Saridjo (1983} yang dimaksud dengan

pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama islam

yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan

cara non-klasikal (sistem badongan dan sorogan) di mana seorang Kyai

mengajar santri-santrinya berdasarkan kitab yang ditulis dalam bahasa Arab

oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedangkan para santri

biasanya tinggal di dalam asrama yang disediakan oleh pesantren. Dan yang

(47)

agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut

di atas tetapi para santrinya tidak disediakan asrama sehingga para santrinya

tinggal rumah dan pemukiman warga sekitar pesantren. Di mana cara dan

metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem

wetonan yaitu para santri datang kepada gurunya pada waktu-waktu tertentu.

(Marwan Saridjo, 1983 h. 9-10)

Santri

Seorang alim hanya akan dapat disebut kyai apabila mempunyai pesantren

dan santri yang tinggal di dalam pesantren tersebut untuk mempelajari kitab

kuning. Oleh karena itu santri merupakan elemen penting bagi terciptanya

sebuah pondok pesantren.

Menurut Zamakhsyari Dhofier (1982) dalam bukunya tradisi pesantren; studi

tentang par'1dangan hidup kyai, dalam suatu lembaga pesantren santci terbagi

menjadi dua macam yang pertama, santri mukim yaitu murid-murid yang

berasal dari luar daerah tersebut atau dari daerah tersebut dan menetap

dalam asrama yang disediakan oleh pesantren untuk belajar dalam pondok

pesantren tersebut. Ada beberapa alasan mengapa santri memilih menetap

di pesantren, pertama yaitu ingin membahas kitab-kitab yang lain di bawah

bimbingan kyai yang memimpin pesantren tersebut; yang kedua ingn

memperoleh pengalaman kehidupan di dalam pesantren, baik itu system

(48)

lain; yang ketiga yaitu ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa di

sibukan oleh kegiatan sehari-hari di rumah keluarganya. Dan santri yang

pulang pergi dan tidak menetap di pondok pesantren atau biasa disebut

santri kalong yaitu santri yang yang dalam kesehariannya tidak menetap

dalam pesantren untuk mengikuti pelajaran di pesantren melainkan pulang

pergi dari rumahnya sendiri, biasanya santri yang seperti ini mempunyai

rumah yang dekat dengan lokasi pesantren. (Zamakhsyari Dhofier, 1985 h.

51-52)

Tugas Perkembangan Santri Pada Masa Kanak Kakak Akhir "fang Terkait

Dengan Penyesuaian Diri

Menurut hurlock (1980) pada masa ini tugas perkembangan yang diemban

oleh anak adalah "belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman

sebayanya, mulai mengembangkan peran sosial antara pria dan wanita,

mengembangkan hati nurani, moral serta etika dan mulai mengembangkan

sikap solidaritas terhadap kelompoknya"(Hurlock 1980; h 10).

Dalam menyesuaikan diri dengan teman sebayanya kadang anak takut akan

ditolak oleh kelompoknya, dengan demikian anak berusaha mati-matian

untuk menyamai standar kelompoknya walaupun itu terkadang harus

melawan standar orang tua mereka. Motivasi inilah yang merupakan

sosialisasi pada akhir masa kanak-kanak walaupun terkadang harus

(49)

Sedangkan dalam peranan sosial dimulai segera setelah kelahiran namun

pada masa,kanak-kanak akhir mulai muncul kekuatan-kekuatan baru yang

memainkan peranan penggolongan peran sosial. Anak biasanya banyak

belajar dari pelajaran di sekolah dan aktivitas gurunnya, namun kebanyakan

anak laki-laki lebih banyak belajar dari media massa mengenai pentingnya

laki-laki disbanding dengan perempuan dan ank perempuan lebih banyak

belajar dari ibunya mengenai tugas tugas yang di lakukan oleh anak

perempuan.

Dalam hal penanaman moral pada masa kanak-kanak akhir cenderung

mengikuti moral orang dewasa sehingga pada masa ini moral anak mulai

sama dengan standar moral yang ditetapkan orang dewasa, dan penilaian

tentang moral anak perempuan cenderung lebih matang dibandingkan

dengan panilaian tentang moral anak laki-laki karena anak perempuan lebih

banyak mendapatkan bimbingan dan lebih diawasi oleh orang tuanya.

Perkembangan solidaritas anak biasanya ditandai dengan keikut sertaan

anak pada kelompoknnnya atau geng anak-anak yang biasanya lebih

mekedepankan kesenangan bukannya mengacau atau malkukan perilaku

(50)

2.2.2. kegiatan di pondok pesantren

Kegiatan yang biasa dilakukan santri sehari hari tidak jauh dari masjlis dan

madrasah seperti mengaji kitab klasik (kitab kuning) baik itu dengan metode

sorogan atau badongan, dan belajar formal di madrasah atau sekolah umum.

Selebihnya adalah kegiatan ekstra seperti pramuka, olah raga dan kegiatan

kesenian seperti qosidah, marawis, teater, bela diri dan lain lain, adapun

kegiatan yang biasa dilakukan di asrama adalah belajar kosa kata bahasa

arab dan inggris atau mufrodaat serta kegiatan individual sehari-hari seperti

mencuci memasak dan membersihkan asrama.

Adapun beberapa kegiatan sehari-hari yang biasa dilakukan se-waktu hari

sekolah menurut hasil penelitian Sudjoko Prasodjo Dkk (1974) dari tim LP3S

dalam profil pesantren; laporan hasil penelitian pesantren al-falak dan

delapan pesantren lainnya di Bogor adalah sebagai berikut : shalat Subuh

berjamaah di masjid, setelah itu tadararus AJ-Quran, dilanjutkan dengan olah

raga (hari libur), persiapan sekolah dan makan pagi, sekolah, shalat Dzuhur

berjama'ah, makan siang, istirahat (ada beberapa pesantren yang

melaksanakan idhofah atau sekolah siang) , shalat Ashar berjamaah, mengaji

kitab, berolah raga, persiapan shalat magrib, mengaji Al-Quran, makan

malam, shalat lsya berjama'ah, belajar kitab kuning, mufrodaat, belajar, dan

istirahat. ke esokan harinya kegiatan tersebut terulang kembali (Sudjoko dkk,

(51)

Sedangkan kegiatan sehari-hari di pondok pesantren Darunnajah tidak jauh

berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudjoko Prasodjo dkk

(1974), adapun kegiatannya antara lain:

Shalat shubuh berjama'ah, tadarus al-quran, muhadatsah, olah raga

pagi,persiapan sekolah, mandi, makan pagi, sekolah, shalat dzuhur, makan

siang, idhofah (sekolah siang), shalat ashar, ekstrakurikuler ( PRAMUKA,

Tapak Suci, Jamiyyatuh Tahfidz, Jamiyyah Qurro', Jamiyyah Muballighiin,

olah raga), mandi, shalat maghrib, mengaji Al-Quran, makan malam, shalat

isya, mengaji Al-Quan dan kitab kuning, mufroda'at, belajar dan istirahat,

keesokan harinya kegiatan tersebut terulang kembali.

2.3

Penyesuaian Diri Santri Di Pondok Pesantren

ketika individu memasuki lingkungan yang baru tentunya ia perlu

menyesuaikan diri, baik itu lingkungan fisik seperti suhu udara maupun

lingkungan sosial seperti teman, hukum dan peraturan dan sebagainya,

sehingga individu tersebut mampu memenuhi kebutuhannya.

Begitu juga seorang santri yang baru memasuki pesantren dan tinggal di

dalamnya ia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang baru,

teman yang baru, peraturan yang berbeda, kegiatan yang berbeda, dan

(52)

karena di pesantren ia harus melakukan pemenuhan kebutuhannya sendiri,

sehingga ia dapat mangembangkan potensi yang dimilikinya, dan

mengaplikasikan potensi tersebut.

Bagi santri yang baru memasuki pesantren tentunya ia akan mengalami

pergantian 'teman dan akan menemukan teman-teman yang berbeda dari

temannya di rumah. Pergantian teman ini merupakan pelajaran berharga

yang diterima oleh anak dan memainkan peranan penting yang dalam

proses penyesuaian diri anak di lingkungan sosialnya. Menurut Hurlock

(1978) dalam bukunya child development yang diterjemahkan dr. Med.

Neitasari Tjandrasa dan Ora. Muslichah Zarkasih dalam bukunya

perkembangan anak; edisi keenam, menyatakan bahwa dalam proses

pergantian teman anak akan belajar:

Yang pertama yaitu, karena pergantian teman hapir selalu menimbulkan hal

yang kurang menyenangkan dan menimbulkan kesepian maka anak akan

mempelajari sejauhmana makna akan pentingnya teman bagi mereka. Hal ini

akan memberikan motivasi bagi mereka untuk belajar menampilkan tingkah

laku yang akan mencegah terjadinya pergantian teman atau setidaknya

mengurangi hal tersebut.

Yang kedua yaitu, akan mempelajari karakter teman yang dapat memenuhi

(53)

ketika ia mempelajari jenis karakteristik teman seperti apa yang dapat

memenuhi'kebutuhannya maka ia akan selektif mencari teman.

Yang ketiga yaitu, ketika ia memilih teman, maka dengan sendirinya ia akan

belajar menyesuaikan diri dengan kelompok sosialnya, dan ia berusaha untuk

mendahulukan kepentingan kelompoknya sehingga ia tidak egosentris.

(Hurlock 1978; dr. Med. Neitasari Tjandrasa dan Dra. Muslichah Zarkasih, h.

292).

Dan lebih lanjut lagi menurut Hurlock (1978) usaha penyesuaian diri sosial itu

merupakan keberhasilan individu dalam dalam menyesuaikan diri dengan

orang lain dan dengan kelompoknya. Di bawah ini adalah kriteria yang baik

dari pola penyesuaian diri, antara lain:

Mempunyai penampilan yang nyata. Maksud dari penampilan yang nyata

adalah seorang anak yang ingin diterima oleh kelompoknya maka ia harus

bisa memenuhi harapan kelompoknya dan mampu bertingkah faku sesuai

dengan standar kelompoknya.

Mampu menyesuaikan diri dengan kelompok lain. lndividu yang mampu

menyesuaikan diri dengan kelompok lain (kelompok yang lebih dewasa)

(54)

ketika ia mempelajari jenis karakteristik teman seperti apa yang dapat

memenuhi kebutuhannya maka ia akan selektif mencari teman.

Yang ketiga yaitu, ketika ia memilih teman, maka dengan sendirinya ia akan

belajar menyesuaikan diri dengan kelompok sosialnya, dan ia berusaha untuk

mendahulukan kepentingan kelompoknya sehingga ia tidak egosentris.

(Hurlock 1978; dr. Med. Neitasari Tjandrasa dan Ora. Muslichah Zarkasih, h.

292).

Dan lebih lanjut lagi menurut Hurlock (1978) usaha penyesuaian diri sosial itu

merupakan keberhasilan individu dalam dalam menyesuaikan diri dengan

orang lain dan dengan kelompoknya. Di bawah ini adalah kriteria yang baik

dari pola penyesuaian diri, antara lain:

Mempunyai penampilan yang nyata. Maksud dari penampilan yang nyata

adalah seorang anak yang ingin diterima oleh kelompoknya maka ia harus

bisa memenuhi harapan kelompoknya dan mampu bertingkah laku sesuai

dengan standar kelompoknya.

Mampu menyesuaikan diri dengan kelompok lain. lndividu yang mampu

menye,suaikan diri dengan kelompok lain (kelompok yang lebih dewasa)

(55)

mengharmonisasikan perbedaan persepsi yang ada di dalam kelompoknya

dengan persepsi yang ada dikelompok lain.

Mempunyai sikap sosial. Anak harus dapat menunjukan sikap yang mampu

diterima oleh kelompok sosialnya, dan mampu berpartisipasi dalam kelompok

sosialnya, serta mengetahui perannya dalam kelompok sosial sehingga dapat

dikatakan orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik.

Kepuasan pribadi. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik, maka anak

harus dapat merasa puas terhadap peran yang dimainkannya dalam situasi

sosial baik sebagai anggota maupun sebagai pemimpin kelompok.

Dari beberapa hal di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam pondok

pesantren anak akan di hadapkan dengan masalah- masalah penyesuaian

diri, baik itu fisik maupun sosial. Untuk itu dorongan dari orang tua dan

lingkungan mutlak sangat diperlukan supaya anak dapat mandiri.

Penyesuian diri merupakan hal yang dinamis sehingga sewaktu-waktu dapat

berubah dengan cepat. Dalam proses perubahan ini menuntut semua pihak

yang terkait (orang tua, pengasuh, dan santri senior) untuk dapat

memberikan bimbingan sehingga anak dapat berinteraksi dengan baik di

(56)
(57)

Pada bab tiga ini penulis akan mengemukakan metodologi yang digunakan

dalam penelitian ini, juga akan dibahas mengenai jenis dan metode

penelitian, serta metode dan instrumen yang dipakai dalam pengumpulan

'

data. Data yang diperoleh akan menjawab pertanyaan dalam penelitian ini

yaitu bagaimanakah penyesuaian diri santri di pondok pesantren terhadap

kegiatan pesantren.

Pada bab ini juga penulis akan mengemukakan mengenai subjek penelitian,

termasuk bagaimana seleksi dan kriteria dalam menentukan subjek yang

ada. Kemudian akan dijelaskan beberapa prosedur yang dipakai, analisa

data yang diperoleh dan akan disajikan pula etika dalam penelitian.

3.1 Desain Penelitian

Pendekatan

Dua pendekatan yang biasa dilakukan oleh peneliti dalam menjawab

masalah penelitiannya yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif.

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan pendekatan kualiatif,

(58)

lebih akurat mengenai penyesuaian diri san!ri di pondok pesan!ren terhadap

kegiatan pesantren.

Selain itu juga pada penelitian ini penulis akan menggunakan metode

deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan suatu fenomena secara

sistematis, faktual dan akurat mengenai penyesuaian diri santri di pondok

pesantren terhadap kegiatan pesantren. Jadi pendekatan yang dipakai pada

penelitian ini adalah kualitatif deskriptif jenis studi kasus, yaitu

mendeskrifsikan dengan rinci mengenai prilaku penyesuaian diri santri di

pondok pesantren selama kurun waktu tertentu.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

3.2.1 Metode Pengumpulan Data.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, metode pengumpulan data yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi sebagai

pelengkap data Maka disini akan diuraikan lebih lanjut mengenai hal

terse but.

Wawancara

Pada penelitian kali ini penulis menggunakan tehnik wawancara mendalam

(59)

tehnik wawancara agar didapat data yang lebih mendalam mengenai

penyesuaian diri santri di pondok pesantren. Adapun pengertian wawancara

menurut Kerlinger "Wawancara adalah situasi peran antar pribadi bersemuka

(face to face) ketika seseorang -yakni pewawancara- melakukan pertanyaan

yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah

penelitian, kepada seseorang yang diwawancara atau responden". (Kerlinger,

2000: 770)

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa metode wawancara adalah

suatu situasi di mana terjadi hubungan secara langsung ( dengan bertatap

muka) antara dua orang, dimana seorang berperan sebagai interviewer

yang bertugas menanyai orang yang sedang diinterview, dan yang seorang

lagi berperan sebagai responden atau interviewee ( dalam penelitian disebut

sebagai subyek penelitian), yang bertugas untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan tertentu yang terdapat dalam masalah-masalah penelitian.

Sedangkan menurut kartini kartono (1996) "wawancara adalah suatu

percakapan tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih yang duduk

berhadapan secara fisik dan diarahkan pada suatu masalah". ( Kartini

Kartono, 1996: 187).

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa wawancara adalah proses

(60)

sebagai penanya dan yang lainnya bertugas menjawab pertanyaan) yang

saling berhadapan dan diarahkan pada suatu masalah penelitian. Pada

penelitian kali ini proses wawancara dilakukan dengan cara individual atau

satu responden bukan kalsikal atau banyak responden.

Menurut Patton (1980) dalam Moleong (2002) metode penelitian kualitatif,

secara umum ada tiga pendekatan dasar dalam memperoleh data melalui

wawancara, yaitu: Wawancara pembicaraan informal. Pada jenis wawancara

ini pertanyaan yang diajukan sangat bergantung pada pewawancara itu

sendiri, jadi bergantung pada spontanitas dalam mengajukan pertanyaan

kepada yang diwawancarai. Wawancara demikian dilakukan pada latar

alamiah.

Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara. Jenis wawancara ini

mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar

pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara. Penyusunan pokok-pokok-pokok-pokok

itu dilakukan sebelum wawancara dilakukan. Pokok- pokok yang dirumuskan

tidak perlu ditanyakan secara berurutan. Petunjuk wawancara hanyalah

berisi petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk

menjaga agar pokok-pokok yang direncanakan dapat tercakup seluruhnya.

Pelaksanaan wawancara dan pengurutan pertanyaan disesuaikan dengan

(61)

Wawancara baku terbuka. Jenis wawancara ini adalah wawancara yang

menggunakan seperangkat pertanyaan baku. Urutan pertanyaannya ,

kata-katanya, dan cara penyajiannya pun sama untuk setiap responden.

Keluwesan mengadakan pertanyaan mendalam terbatas, dan hal itu

bergantung pada situasi wawancara dan kecakapan pewawancara. (Patton,

1980; Moleong, 2002: 135-136)

Pada penelitian ini akan digunakan metode wawancara baku terbuka dengan

seperangkat pertanyaan baku. Namun sebelum wawancara digunakan telah

diuji cobakan (try out) terlebih dahulu sehingga bisa diketahui jenis

pertanyaan dan urutan pertanyaan yang lebih cocok dan akurat. Jadi

pertanyaan yang diajukan sesuai dengan topik penelitian dan pertanyaan

juga telah dirumuskan.

lnstrumen yang digunakan adalah pedoman wawancara. Pedoman

wawancara adalah sebuah daftar pertanyaan mengenai tema-tema atau topik

yang harus tercakup dalam proses wawancara dalam hal ini tema mengenai

penyesuaian diri santri di pondok pesantren. Pesoman wawancara yang telah

,

dibuat berdasarkan teori yang telah dikemukakan pada bab dua.

Untuk membantu penulis dalam mencatat setiap jawaban pada saat

(62)

Penggunaan ala! ini dimaksudkan agar peneliti dapat konsentrasi pada

proses wawancara tanapa dosibukan oleh kegiatan lain. Penggunaan alat ini

menimbulkan kegelisahan dan menghambat jawaban yang jujur dan terbuka ,

oleh karena itu penggunaan ini juga atas persetujuan responden. Sehingga

proses wawancara dapat berjalan dengan baik.

Observasi

Pada penelitian ini digunakan juga metode observasi yang berfungsi sebagai

metode pendukung. Adapun observasi menurut kartini kartono (1996) dalam

bukunya pengantar metodologi riset sosial, menyatakan bahwa "obsevasi

adalah studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan

gejala-gejala alam dengan jalan pengamatan" (Kartini Kartono 1996, 1957)

Sedangkan menurut Chaplin (1981) "observasi adalah pengujian secara

intensional atau bertujuan sesuatu hal, khususnya untuk maksud

pengumpulan data. Merupakan suatu verbalisasi terhadap suatu yang

diamati" (Chaplin 1981; Kartini kartono 1996, 157).

3.2.2 Prosedur Pengumpulan Data

untuk mendapatkan data dalam penelitian ini maka penulis melakukan

(63)

teori yang di pergunakan pada penelitian kali ini. kemudian diuji validitas dan

reliabelitasnya, kemudian membuat pedoman observasi.

3.2.3.

Tehnik Analisa Data

menurut patton (1980) analisa data adalah proses mengatur urutan data,

mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori, dan suatu

Gambar

Tabel 4.1 No Nam a Usia Jen is
Tabel 4.2

Referensi

Dokumen terkait

Indeks lain yang dikeluarkan adalah governance (IDI) karena (1) berupa angka seolah memberikan kesan sebuah kewajiban, padahal tidak setiap negara memiliki

Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Menempuh Ujian Tugas Akhir Guna Mencapai Gelar Ahli Medya Program Studi. Desain Komunikasi

Sebagaimana tujuan Kementerian Kesehatan khususnya Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dalam peningkatan pencegahan dan pengendalian penyakit serta pengelolaan kedaruratan

Muhammad Abu Bakar Sidik is with the Institute of High Voltage and High Current (IVAT), Faculty of Electrical Engineering, Universiti Teknologi Malaysia, UTM Skudai 81310,

Tujuan penelitian ini, (1) mendeskripsikan bentuk tuturan ekspresif pada pembelajaran guru dan siswa di beberapa SD Negeri Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen

BAB III : berisi tentang tuturan ekspresif pada pembelajaran guru dan siswa di beberapa SD Negeri Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen Tahun Pelajaran 2011/2012 dan

Namun demikian, nilai bobot tersebut perlu dikoreksi, didetilkan dan ditinjau setiap tahun agar lebih spesifik, realistis dan aplikatif sehingga diperlukan

Untuk mencapai tujuan hukum acara pidana, diperlukan bekal pengetahuan ilmu lain bagi aparat penegak hukum agar dapat membantu dalam menemukan kebenaran mareriil. Daktiloskopi