• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Kualitas Pascapanen Terong Gelatik (Solanum Melongena L.) Pada Penyimpanan Dingin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon Kualitas Pascapanen Terong Gelatik (Solanum Melongena L.) Pada Penyimpanan Dingin"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON KUALITAS PASCAPANEN TERONG GELATIK

(Solanum melongena L.) PADA PENYIMPANAN DINGIN

DYAH RIZA UTAMI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Respon Kualitas Pascapanen Terong Gelatik (Solanum Melongena L.) pada Penyimpanan Dingin adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Dyah Riza Utami

(4)

RINGKASAN

DYAH RIZA UTAMI. Respon Kualitas Pascapanen Terong Gelatik (Solanum melongena L.) pada Penyimpanan Dingin. Dibimbing oleh SUTRISNO dan YOHANES ARIS PURWANTO.

Terong gelatik merupakan jenis sayuran indigenous di Jawa Barat. Pemanfaatannya sebagai lalapan menuntut terong gelatik tersaji dalam kondisi segar, sehingga dibutuhkan suhu penyimpanan dingin yang sesuai. Suhu penyimpanan dingin terong pada umumnya disarankan pada 10-16 oC, RH 90-95%, namun kenyataannya di pasar tradisional dan modern terong gelatik disimpan pada suhu yang tidak sesuai. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respon mutu fisik dan gizi terong gelatik pada variasi suhu penyimpanan dingin 5, 10, 15 oC dan suhu ruang, serta menentukan suhu penyimpanan dingin yang tepat untuk terong gelatik selaku sayur lalapan.

Penelitian dimulai dari pemanenan, sortasi, pencucian, penirisan dan penyimpanan dalam refrigerator masing-masing pada suhu 5, 10, 15 oC dengan RH 90-95% dan suhu ruang. Parameter mutu pascapanen yang diamati terdiri dari laju respirasi, kadar air, susut bobot, warna, kekerasan, browning daging buah, potensial oksidasi, indeks chilling injury, total padatan terlarut, total fenol dan total mikroba.

Berdasarkan pola laju respirasi, terong gelatik tergolong non-klimakterik karena tidak terjadi peningkatan laju respirasi secara drastis. Kadar air mengalami penurunan dan menyebabkan peningkatan susut bobot. Suhu 5 dan 10 oC mampu mempertahankan kekerasan terong gelatik dibanding suhu 15 oC dan suhu ruang. Nilai b terong gelatik mengalami peningkatan pada semua suhu karena warna kulit menguning selama penyimpanan. Sedangkan daging buah mengalami peningkatan browning selama penyimpanan dan peningkatan tertinggi terjadi pada suhu 5 oC yang disertai dengan tingginya indeks chilling injury. Total padatan terlarut pada suhu 10 oC meningkat dari hari ke-14 hingga akhir penyimpanan, diduga karena terjadi akumulasi asam organik pada suhu tersebut.

Total fenol mengalami penurunan 45.68, 21.66 dan 37.09 % masing-masing untuk 5, 10 dan 15 oC, sedangkan pada penyimpanan suhu ruang meningkat 11.40%. Penurunan total fenol terkecil pada suhu 10 oC diikuti peningkatan total padatan terlarut diduga karena terjadi aku mulasi asam klorogenik. Sedangkan peningkatan total fenol pada suhu ruang diduga karena terong gelatik mengalami stres sehingga memicu biosintesis senyawa fenolik. Total mikroba terong gelatik mengalami peningkatan pada seluruh variasi suhu, dengan peningkatan tertinggi terjadi pada suhu ruang dan terendah pada suhu 5 oC.

Terong gelatik disarankan disimpan dingin pada suhu 10 oC dengan RH 90-95% sebagai suhu terbaik, meningkatkan TPT, mempertahankan kekerasan dan total fenol, serta lebih baik dalam mempertahankan terong gelatik dari chilling injury.

(5)

SUMMARY

DYAH RIZA UTAMI. Postharvest Quality Response of Thai Eggplant (Solanum melongena L.) on Cold Storage. Supervised by SUTRISNO and YOHANES ARIS PURWANTO.

Thai eggplant is an indigenous vegetable in West Java. Its utilization as ready to serve vegetable demanding Thai eggplant serve in fresh condition, so it is needed an appropriate low temperature for Thai eggplant storage. Generally, admissible low temperature storage for eggplants at 10-16 oC with RH 90-95%. But, in fact Thai eggplant in traditional and modern market was stored in inappropriate temperature. So, the aim of this study was to analyze the effect of low temperature storage on postharvest quality of Thai eggplant, and determine the best temperature for Thai eggplant storage as ready to serve vegetable.

This study was started by harvesting, sorting, cleaning, draining and storage in refrigerator at 5, 10, 15 oC with RH 90-95% and room temperature. Physical quality parameter consist of respiration rate, moisture content, weight loss, color (lightness, redness to greenness (a) and yellowness to blueness (b)), firmness, pulp browning, oxidation potential, chilling injury index, total soluble solid. Then nutrient quality consist of total phenolics and total microbes. The data obtained were analyzed using analysis of variance and continued with Duncan test at 95% confidence level.

Based on respiration rate trend, Thai eggplant included on non-climacteric, because it was not founded dramatically increase of respiration rate during storage. Moisture content decrease caused weight loss increase, according to the weight loss percentage. Storage at 5 and 10oC maintained Thai eggplant firmness better than at 15 oC and room temperature. Thai eggplant b value increased on all temperature, it was caused by peel color changing from green to yellow during deterioration process. Fruit pulp browning increased during storage higher at 5 oC that was accompanied with high index chilling injury. Total soluble solid at 10 oC increased in day 14 up to the end of storage, it was estimated that organic acid accumulated on those temperature.

Total phenolics decreased 45.69, 21.66 and 37.09% at 5, 10, 15 oC respectively. Whereas total phenolics increased 11.40%. at room temperature. The lower decrease at 10 oC was accompanied with total soluble solid increase, it was estimated that chlorogenic acid accumulated on those temperature. Then, total phenolic increase at room temperature was estimated that Thai eggplant was stress, so triggered biosynthesis of phenolics compound. Total microbes at all temperature increased dramatically, higher at room temperature and lower at 5 oC. Thai eggplant was suggested to stored at 10 oC with RH 90-95% as the best temperature. Thai eggplant storage at 10 oC increased total soluble solids, maintained fruit firmness and total phenolics, better in maintained Thai eggplant from chilling injury.

(6)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjuan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

RESPON KUALITAS PASCAPANEN TERONG GELATIK

(Solanum melongena L.) PADA PENYIMPANAN DINGIN

DYAH RIZA UTAMI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

(8)
(9)

Judul Tesis : Respon Kualitas Pascapanen Terong Gelatik (Solanum melongena

L.) pada Penyimpanan Dingin Nama : Dyah Riza Utami

NIM : F152150186

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr Ketua

Dr Y Aris Purwanto, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)
(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang senantiasa memberi rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Respon Kualitas Pascapanen Terong Gelatik (Solanum melongena L.) pada Penyimpanan Dingin. Penelitian tesis ini telah dilaksanakan dari bulan Desember 2015 hingga Maret 2016.

Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua yang setia memberikan dukungan dan doanya. Ucapan terima kasih yang begitu besar penulis persembahkan kepada Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr selaku ketua pembimbing dan Dr Y Aris Purwanto, MSc selaku anggota pembimbing yang telah memberikan bimbingan serta sarannya, serta Dr Usman Ahmad, MAgr selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih juga tidak lupa penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penulisan tesis ini, secara khusus kepada keluarga besar Teknologi Pascapanen angkatan 2014 dan 2015, kepada keluarga besar laboratorium TPPHP, kepada Yeni Nurmaghfiroh selaku sahabat kental yang telah membantu proses penelitian.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Penulis berharap tulisan ini nantinya dapat memberi manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2016

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR LAMPIRAN v

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 3

Terong Gelatik (Solanum melongena L.) 3

Penyimpanan Dingin 4

Suhu Penyimpanan Dingin 4

Total Mikroba 5

Senyawa Fenol 6

METODE 7

Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian 7

Alat 7

Bahan 7

Prosedur Penelitian 7

Prosedur Pengambilan Data 8

Analisis Statistik 11

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Laju Respirasi 12

Kadar Air 14

Susut Bobot 15

Kekerasan 17

Warna 18

Browning Index (L0) 19

Potensial Oksidasi (∆L) 21

Indeks Chilling Injury (CII) 22

Total Padatan Terlarut (TPT) 23

Total Fenol 24

Total Mikroba 25

SIMPULAN DAN SARAN 26

(14)

RIWAYAT HIDUP 40

DAFTAR TABEL

1 Komponen nutraceutical dan kapasitas antioksidan thai eggplant 3 2 Total mikroba terong gelatik pada awal dan akhir penyimpanan 26

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alur proses penelitian 8

2 Sebaran suhu bola basah dan bola kering (1) dan RH (2) refrigerator

selama 18 hari penyimpanan 12 3 Perubahan laju respirasi terong gelatik pada variasi suhu penyimpanan

5, 10, 15 oC dan suhu ruang berdasarkan RO2 (1) dan RCO2 (2) selama

18 hari penyimpanan 13

4 Penurunan kadar air terong gelatik pada variasi suhu penyimpanan 5, 10, 15 oC dan suhu ruang selama 18 hari penyimpanan 14 5 Peningkatan susut bobot terong gelatik pada variasi suhu penyimpanan

5, 10, 15 oC dan suhu ruang selama 18 hari penyimpanan (1) serta

hubungannya dengan penurunan kadar air (2) 16

6 Perubahan kekerasan terong gelatik pada variasi suhu penyimpanan 5, 10, 15 oC dan suhu ruang selama 18 hari penyimpanan 17 7 Perubahan nilai L (1), a (2), b (3) terong gelatik pada variasi suhu

penyimpanan 5, 10, 15 oC dan suhu ruang selama 18 hari penyimpanan 18 8 Visualisasi terong gelatik yang menguning pada penyimpanan dingin

suhu 5 oC (a), 10 oC (b), 15 oC (c) dan suhu ruang (d) 19 9 Perubahan L0 daging dan biji terong gelatik pada variasi suhu

penyimpanan 5, 10, 15 oC dan suhu ruang selama 18 hari penyimpanan 20 10 Visualisasi browning daging dan biji terong gelatik pada awal (atas)

dan akhir (bawah) penyimpanan 20

11 Perubahan ∆L daging dan biji terong gelatik pada variasi suhu penyimpanan 5, 10, 15 oC dan suhu ruang selama 18 hari penyimpanan 21 12 Peningkatan CII terong gelatik pada suhu penyimpanan 5 dan 10 oC

selama 18 hari penyimapanan 22

13 Perubahan TPT terong gelatik pada variasi suhu penyimpanan 5, 10, 15 o

C dan suhu ruang selama 18 hari penyimpanan 23

14 Total fenol terong gelatik pada variasi suhu penyimpanan 5, 10, 15 oC dan suhu ruang pada awal dan akhir penyimpanan 24

DAFTAR LAMPIRAN

1

Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk laju produksi CO2 31 2 Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap laju produksi CO2 31 3 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk laju konsumsi O2 31 4 Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap laju konsumsi O2 32

5 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk kadar air 32

(15)

8 Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap kadar air 33

9 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk kekerasan 33

10 Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap kekerasan 33 11 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk Lightness (L) 34 12 Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap lightness (L) 34

13 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk kroma a 34

14 Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap kroma a 35

15 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk kroma b 35

16 Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap kroma b 35 17 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk browning index 35 18 Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap browning index 36 19 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk potensial oksidasi 36 20 Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap potensial oksidasi 36

21 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk CII 37

22 Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap CII 37

23 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk TPT 37

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Terong merupakan jenis sayuran tropis dan subtropis yang memiliki umur simpan yang rendah, akibat susut bobot dan perubahan mutu fisik selama penyimpanan. Umur simpan terong var. ryoma hanya 4 hari jika disimpan pada suhu 30 oC dan 5 hari pada suhu 20-25 oC, masing-masing pada RH 90% (Jha dan Matsuoka 2002). Terong disarankan disimpan pada suhu 10-16 oC dengan RH 90-95% (Boyer dan Mc Kiney 2013).

Ketidak sesuaian suhu pada penyimpanan dingin dapat mempengaruhi mutu fisik terong, seperti yang terjadi pada terong cv. Money Maker No. 2 yang disimpan pada suhu 0 dan 5 oC mengalami chilling injury dan browning daging buah, masing-masing pada hari penyimpanan ke 5 dan 9 (Concellon et al. 2004). Selain itu terong cv. Money Maker No. 2 yang disimpan pada suhu 0 oC mengalami penurunan lightness serta menunjukkan terjadinya kerusakan jaringan ultrastruktur pada daging buah (Concellon et al. 2007). Penelitian terbaru juga melaporkan bahwa terong cv. Lucía yang disimpan pada suhu 0 oC mengalami penurunan antioksidan setelah terjadi browning dan chilling injury pada daging buah (Concellon et al. 2012).

Suhu penyimpanan berpengaruh secara nyata terhadap perubahan mutu fisik beberapa kultivar terong, seperti yang telah dilaporkan penelitian sebelumnya (Concellon et al. 2007, 2012; Gajewski et al. 2009). Namun hingga saat ini belum ada penelitian yang membahas mengenai pengaruh suhu penyimpanan dingin terhadap perubahan mutu fisik khusus untuk terong cv. Gelatik atau terong gelatik atau yang terkenal dengan Thai eggplant dikalangan internasional.

Terong gelatik merupakan jenis terong yang memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda dari terong lainnya. Terong ini berbentuk bulat, berukuran relatif lebih kecil, serta memiliki kekerasan daging buah paling tinggi (Sahid et al.

2014). Terong gelatik termasuk dalam sayuran indigenous atau sayuran lokal yang tumbuh dan mengekspresikan potensinya secara penuh di wilayah tertentu. Sandrasari (2009) menyatakan bahwa sayuran indigenous kaya akan antioksidan atau senyawa yang dapat mencegah reaksi antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid. Di Indonesia, terong gelatik paling banyak dijumpai di Jawa Barat. Biasanya masyarakat mengonsumsinya dalam kondisi mentah sebagai sayur lalapan.

Terong gelatik memiliki potensi sebagai sumber antioksidan alami dengan total fenol yang mendominasi (20.498 mg CAE/g) dalam kapasitas antioksidannya (Medina et al. 2014). Senyawa fenol pada buah dan sayur mampu melindungi kesehatan manusia (Pennycooke et al. 2005). Senyawa fenol sebagai antioksidan dapat menangkal, menghambat permulaan serta menghentikan perkembangan rantai formasi radikal bebas dengan mengikat ion-ion logam, mereduksi hidrogenperoksida, menghilangkan superoksida dan oksigen tunggal, sehingga total fenol memiliki peran penting dalam mencegah terjadinya penyakit (Du et al. 2009).

(18)

jumlah besar (50%) terjadi pada terong cv. Lucia setelah disimpan pada suhu dingin dalam waktu yang lama (Concellon et al. 2012). Penurunan total fenol juga terjadi pada terong cv. Lucia yang disimpan suhu 10 oC akibat reaksi pencoklatan (Massolo et al. 2011).

Pengaruh suhu penyimpanan dingin terhadap mutu fisik dan total fenol beberapa kultivar terong telah banyak dilaporkan, namun belum ada pembahasan khusus untuk terong gelatik yang diketahui kaya total fenol sebagai sumber antioksidan alami. Pemanfaatan terong gelatik sebagai lalapan juga menuntut komoditi tersebut selalu ready to serve dalam kondisi segar, sehingga dibutuhkan penanganan pascapanen lebih lanjut untuk mempertahankan mutu terong gelatik sebelum sampai ke tangan konsumen. Salah satu penanganan pascapanen terong gelatik yang harus diperhatikan adalah penyimpanan.

Penyimpanan terong gelatik di pasar tradisional umumnya menggunakan suhu ruang (±30 oC), sedangkan di pasar modern menggunakan suhu 0-5 oC. Visualisasi terong gelatik yang disimpan pada suhu 0-5 oC memang sekilas tampak lebih baik daripada yang disimpan pada suhu ruang, namun suhu tersebut tidak sesuai dengan suhu yang disarankan untuk penyimpanan terong seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai suhu dingin yang tepat untuk mempertahankan mutu terong gelatik.

Suhu penyimpanan terong gelatik di lapangan yang kurang sesuai menjadi latar belakang utama. Penelitian ini akan membahas tentang respon mutu pascapanen terong gelatik sebagai sayur ready to serve yang disimpan pada suhu 5, 10, 15 oC dan suhu ruang. Adapun mutu pascapanen yang dimaksud adalah mutu fisik dan gizi. Mutu fisik terdiri dari penampilan kulit dan daging buah, sedangkan mutu gizi yang diperhatikan adalah total mikroba dan total fenol. Total mikroba menjadi parameter penting karena terong gelatik dikonsumsi sebagai lalapan dalam kondisi mentah. Selain itu total fenol juga perlu diperhatikan sebagai salah satu antioksidan terbanyak di dalam terong gelatik (Medina et al.

2014).

Perumusan Masalah

Jika penyimpanan dingin mampu mempertahankan mutu pascapanen beberapa kultivar terong, maka terdapat kemungkinan penyimpanan dingin dapat digunakan untuk mempertahankan mutu pascapanen terong gelatik sebagai sayuran ready to serve. Namun belum ada penelitian yang membahas tentang suhu dingin yang sesuai untuk penyimpanan terong gelatik.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah menganalisis respon mutu fisik dan gizi terong gelatik pada beberapa suhu penyimpanan dingin 5, 10, 15 oC dan suhu ruang. Serta menentukan suhu penyimpanan dingin yang tepat untuk mempertahankan mutu pascapanen terong gelatik sebagai sayuran ready to serve.

Manfaat Penelitian

(19)

di Indonesia maupun di luar negeri. Serta mendapatkan suhu penyimpanan dingin terong gelatik yang tepat berdasarkan respon mutu fisik dan gizinya.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian dibatasi pada respon mutu pascapanen terong gelatik pada penyimpanan dingin suhu 5, 10, 15 oC dan suhu ruang. Adapun mutu pascapanen yang diukur terdiri dari mutu fisik yaitu kadar air, susut bobot, laju respirasi, warna, total padatan terlarut (TPT), kekerasan, indeks chilling injury

(CII), browning (L0) dan potensial oksidasi (∆L) daging buah. Sedangkan mutu gizi meliputi total mikroba dan total fenol selama penyimpanan dingin.

TINJAUAN PUSTAKA

Terong Gelatik (Solanum melongena L.)

Terong gelatik merupakan jenis sayuran indigenous masyarakat Jawa Barat yang dikonsumsi mentah sebagai lalapan. Terong gelatik juga dikenal sebagai

Thai eggplant yang masuk dalam golongan Asian eggplant di kalangan internasional (Meyer 2012). Medina et al. (2014) melaporkan bahwa Thai eggplant memiliki ukuran paling kecil, namun kandungan protein, serat kasar, abu, lemak dan karbohidratnya paling tinggi diantara Chinese, Philiphine, American dan Hindu eggplant. Komposisi proksimat Thai eggplant terdiri dari air 90.1%, serat kasar 1.54%, abu 1.04%, protein 0.9%, lemak 0.04%, karbohidrat 7.92% dan serat pangan 3.93%. Selain itu, penelitian tersebut juga memberikan informasi mengenai komponen nutraceutical dan kapasitas antioksidan yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komponen nutraceutical dan kapasitas antioksidan Thai eggplant

Atribut Jumlah

Asam Askorbik (mg/100g berat segar) 7.4

Total fenol terlarut (mg CAE/100 g sampel kering) 2049.8 Asam klorogenik (mg/100 g sampel kering) 1700

Total antocianin mgC3GE/100g 3.9

(20)

Umur simpan terong galur gelatik hanya 5 hari jika disimpan pada suhu ruangan tanpa perlakuan kimia atau penyimpanan dalam pendingin. Terong galur gelatik memiliki umur simpan yang paling rendah jika dibandingkan dengan kelima galur lainnya (Sahid et al. 2014).

Penyimpanan Dingin

Basediya et al. (2013) menyatakan bahwa umur simpan komoditi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu varietas, tingkat kematangan, laju pendinginan, suhu penyimpanan, kelembaban relatif (RH), sistem pengemasan, dll. Namun suhu penyimpanan dan RH memiliki interaksi yang mempengaruhi besarnya susut, sehingga diperlukan pengendalian suhu dan RH untuk menekan susut serta memperpanjang umur simpan.

Buah tropika seperti terong gelatik dipanen pada suhu ambien (25-35 oC), pada suhu ini laju respirasinya tinggi yang menyebabkan umur simpan pendek. Respirasi dan laju metabolik secara langsung berkaitan dengan suhu udara sekitar, semakin tinggi laju respirasi maka semakin cepat pula kerusakan komoditi terjadi. Salah satu jalan untuk menghambat kerusakan serta meningkatkan umur simpan komoditi adalah dengan menurunkan suhu udara di sekitar. Sangat disarankan untuk segera menurunkan suhu komoditi setelah dipanen, maksimal 4 jam setelah pemanenan. Efek pendinginan ini dapat menurunkan laju respirasi, memperlambat proses kehilangan air, menekan produksi etilen dan memperlambat pertumbuhan mikroba (Basediya et al. 2013).

Aspek lain yang berpengaruh dalam penyimpanan komoditi buah tropika adalah RH. Pada RH tinggi komoditi akan mempertahankan berat, penampilan fisik, mutu rasa dan nutrisi, sehingga pelayuan, pelunakan dan juiciness dapat ditekan. Sedangkan RH rendah akan memicu transpirasi yang menyebabkan komoditi kehilangan air. RH tinggi harus dikombinasikan dengan suhu rendah, karena RH dan suhu yang tinggi akan memicu pertumbuhan cendawan dan bakteri (Basediya et al. 2013).

Suhu Penyimpanan Dingin

Seperti yang telah diketahui bahwa penyimpanan buah dan sayur pada suhu dingin setelah pemanenan merupakan langkah efektif untuk mempertahankan mutu dan nilai nutrisi. Namun kebanyakan buah dan sayur yang berasal dari daerah tropis seperti terong sangat sensitif terhadap suhu penyimpanan dingin. Boyer dan Mc Kinney (2013) menyarankan terong disimpan pada suhu 10-15 oC dengan kelembaban 90-95%.

Concellon et al. (2007) menyatakan bahwa kualitas dan umur simpan terong cv. Money Maker menurun karena terjadinya browning pada kulit dan jaringan daging selama disimpan pada suhu dingin. Peningkatam browning pada daging buah terong cv. Money Maker yang disimpan pada suhu 0 oC ditunjukkan dengan adanya penurunan lightness. Selain itu, penurunan anthocianin juga lebih cepat terjadi pada terong cv. Money Maker yang disimpan pada suhu 0 oC daripada suhu 10 oC, anthocianin merupakan salah satu senyawa flavonoid dan memegang peran penting sebagai antioksidan (Concellon et al. 2007).

(21)

bertambah hingga hari penyimpanan ke-15, sedangkan tidak ditemukan gejala CI pada terong yang disimpan suhu 10 oC (Concellon et al. 2007). Gejala CI ditandai dengan perubahan warna pada kulit dibawah calyx yang berubah dari ungu menjadi ungu cerah, munculnya lubang pada bagian atas dan browning pada biji (Concellon et al. 2007)

Menurut Concellon et al. (2004) gejala CI ditunjukkan dengan adanya

browning pada daging buah terong cv. Money Maker, secara umum browning

disebabkan oleh oksidasi enzimatik dari senyawa fenolik alami dan polyphenol oxidase (PPO). Suhu penyimpanan 10 oC dapat meningkatkan aktivitas PPO, sedangkan pada suhu 0 oC justru menurunkan aktivitas PPO. Aktivitas PPO mengindikasikan kemampuan enzim PPO dalam mengoksidasi senyawa fenolik (Concellon et al. 2004). penyimpanan pada suhu 0 oC dan 9 hari penyimpanan pada suhu 5 oC (Concellon

et al. 2004).

Gajewski et al. (2009) menyatakan bahwa terong cv. Scorpio, Oscar, Tango dan DRA 2086 yang disimpan dengan perlakuan kemasan PE stretch film pada suhu 16 oC selama 1 minggu menunjukkan adanya perubahan pada beberapa atribut mutu. Kekerasan, daya tahan tekan, dan berat kering buah menurun selama penyimpanan, total padatan terlarut (TPT) tidak menunjukkan adanya kecenderungan berubah, namun total senyawa fenolik pada kulit buah meningkat selama penyimpanan. Penelitian ini juga mengatakan bahwa terong cv. Scorpio, Oscar, Tango dan DRA 2086 memiliki daya simpan rendah, dapat disimpan dengan baik tanpa resiko CI pada suhu 10-12 oC selama 2 minggu (Gajewski et al. 2009).

Total Mikroba

Terong gelatik yang dikonsumsi mentah sebagai lalapan mensyaratkan harus tersaji dalam kondisi bersih, higienis dan terhindar dari segala jenis mikroba, baik yang berasal dari prapanen maupun pascapanen. Mikroba yang berasal dari kegiatan prapanen biasanya berasal dari tanah, irigasi, serta pupuk organik yang digunakan. Latha et al. (2014) menyatakan bahwa petani terong di India sering menggunakan biofertilizers (pupuk organik) yang berasal dari kotoran sapi, unggas, dan babi. Tidak hanya di India, petani di Indonesia juga sering menggunakan pupuk kompos untuk tanaman terong gelatik yang memicu kontaminasi mikroba.

Selain itu, keberadaan mikroba dapat memicu terjadinya kebusukan. Kereth

et al. (2013) menyatakan bahwa resiko kebusukan komoditi pertanian yang disebabkan oleh mikroba mencapai 63%. Kontaminasi mikroba dapat berupa bakteri seperti Pseudomonas spp, Enterobacter spp., Klebsiella spp., Serratia

spp., Flavobacterium spp., Xanthomonas spp., Chromobacterium spp.,

(22)

spp. dan E. coli. Namun bakteri yang umum dijumpai di sayuran Indonesia adalah

Salmonella sp.dan Escherichia coli.

Menurut Mu`tamar (2005) Salmonella sp. adalah jenis bakteri yang dapat tumbuh pada suhu 5-47 oC dengan suhu optimum 35-37 oC. Pemanasan merupakan cara yang paling banyak dilakukan untuk membunuh Salmonella sp.,

namun alternatif lain adalah dengan mengatur pH, menambahkan bahan-bahan kimia, penyimpanan pada suhu rendah. Sedangkan, E.coli adalah bakteri yang tumbuh pada suhu 10-40 °C dengan suhu optimum 37 °C.

Senyawa Fenol

Antioksidan secara umum didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat atau mencegah terjadinya proses oksidasi lipida. Antioksidan dalam tumbuhan umumnya adalah senyawa fenol atau polifenol yang berupa golongan flavonoid. Sandrasari (2009) mengatakan bahwa sayuran

indigenous mengandung senyawa flavonoid yang berupa flavonol (quercetin. miricetin, kaemferol) dan flavone (luteoin dan epigenin). Kedua senyawa ini diketahui mempunyai aktivitas antioksidan dan bersifat sebagai scavenging

radikal bebas. Concellon et al. (2012) menyatakan bahwa antioksidan terong cv. Lucia yang disimpan pada suhu 0 oC meningkat sementara, lalu tejadi penurunan bersama dengan browning daging buah dan chilling injury. Fan et al. (2016) juga melaporkan hasil yang sama, bahwa total fenol terong var. Brigitte yang diberi perlakuan pencelupan larutan methyl jasmonate (MeJA) menurun secara signifikan selama 10 hari penyimpanan pada suhu 20 oC.

Mishra et al. (2012) menyatakan bahwa kandungan fenol memiliki korelasi dengan aktivitas polyphenol oxidase (PPO) pada fresh cut terong cv. Kalphatharu. PPO sebagai enzim yang menggunakan fenol sebagai substratnya, sehingga peningkatan aktivitas PPO menyebabkan terjadinya penurunan kandungan senyawa fenol. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa aktivitas PPO terong cv. Kalphatharu meningkat selama 12 dan 16 hari penyimpanan pada masing-masing suhu 10 dan 4 oC. Sedangkan kandungan fenol mengalami penurunan sebesar 28 dan 23% masing-masing pada suhu 10 dan 4 oC. Penyimpanan dingin terbukti mampu menghambat aktivitas PPO dan penurunan senyawa fenol.

Konsumsi terong gelatik dalam bentuk mentah atau lalapan diharapkan mampu menjaga senyawa fenol sebagai antioksidan secara utuh. Menurut hasil penelitian dari Zaro et al. (2015) bahwa pre-processing, drying, freezing dan dry cooking dapat menurunkan kandungan antioksidan buah terong cv. Lucia dan cv. Cloud Nine. Tahap pre-processing meliputi pemotongan, blanching dan penggaraman. Tahap drying meliputi air drying suhu 70 oC, air drying 50 oC,

(23)

METODE

Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan selama dari bulan Desember 2015 – Maret 2016. Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium berikut :

1. Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem.

2. Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.

3. Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.

Alat

Alat yang digunakan adalah refrigerator, constant temperature oven (Isuzu, 2-2120, Jepang), neraca analitik (AE Adam, PW 184), chromameter (Konica Minolta, CR-400, Jepang), rheometer (35-12-208, Sun Scientific Co., Ltd., Jepang), refractometer (Atago, Jepang), continuous gas analyzer (Shimadzu, IRA-107, Jepang), incubator (Haraeus, B6200), autoclave (HL-343P, Taiwan),

centrifuge (Eppendorf AG, 22331 Hamburg, Jerman), spektrofotometer (Hitachi, U-2900, Jepang), clean bench, termometer, vortex, hot plate, chamber, desikator, cawan petri, mikropipet, tabung reaksi, labu takar dan api bunsen.

Bahan

Terong gelatik (matang komersial menurut petani) dengan ukuran seragam (diameter ±6 cm) dipanen dari kebun petani Sub Terminal Agribisnis Cigombong, Kabupaten Cianjur. Adapun bahan kimia lainnya yang digunakan adalah plate count agar (Merck, VRB agar, Jerman), KH2PO4 (Merck, Jerman), reagent Folin-Ciocalteu (Merck, Jerman), Na2CO3 (Merck, Jerman), asam tanat (Merck, Jerman), ethanol (Merck, Jerman), air destilata.

Prosedur Penelitian

Penelitian diawali dengan pemanenan pada pukul 17.00 WIB dan dilakukan sortasi, selanjutnya ditransportasikan dari kebun menuju laboratorium selama 2 jam menggunakan box styrofoam yang dilapisi kertas untuk meredam getaran. Sesampainya di laboratorium terong disortasi lagi untuk menghilangkan terong yang memar selama transportasi, lalu dilakukan pencucian dan penirisan. Terong gelatik diletakkan tanpa kemasan dalam keranjang berukuran 43.5 x 32.15 x 13 cm, kemudian disimpan dalam refrigerator suhu 5±1, 10±1, 15±1 oC, RH kisaran 90-95% dan suhu ruang (29±1.5 oC) dengan RH ruang. Setelah itu dilakukan pengamatan dan pengukuran respon mutu pascapanen. Alur proses penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

(24)

Gambar 1 Diagram alur proses penelitian

Prosedur Pengambilan Data

Laju Konsumsi O2 dan Produksi CO2 (Singh et al. 2013 dengan modifikasi)

Pengukuran laju konsumsi O2 dan produksi CO2 dimulai 12 jam setelah pemanenan, pengukuran menggunakan continous gas analyzer. Terong gelatik ditimbang sebanyak ±500 g (10-11 buah), pengukuran volume buah dilakukan dengan memasukkannya ke dalam gelas ukur yang berisi 500 ml air, pertambahan volume air dinyatakan sebagai volume buah. Selanjutnya buah dimasukkan kedalam chamber (volume 3310 ml), volume bebas (V) diperoleh dari selisih volume chamber dan volume buah. Chamber yang berisi buah dimasukkan kedalam refrigerator suhu 5, 10, 15 oC dan suhu ruang dalam kondisi tertutup rapat.

Pengukuran dilakukan setiap 2 jam sekali selama 6 jam dalam setiap harinya, alat ukur dikalibrasi terlebih dahulu setiap sebelum pengukuran. 2 selang

inlet dan outlet dihubungkan dengan gas analyzer dan dimasukkan ke dalam

chamber untuk melewatkan gas CO2 dan O2. Pada gas analyzer akan terbaca persentase gas CO2 dan O2. Laju konsumsi O2 dan produksi CO2 dihitung menggunakan persamaan 1 berikut.

...(1) Dimana R adalah laju konsumsi O2 atau produksi CO2, W adalah berat sampel (kg), V adalah volume bebas ruang (ml), dt adalah selang waktu (jam), dx adalah selisih persen konsentrasi gas CO2 dan O2 (%) dengan konsentrasi CO2 dan O2 di udara, hasil dinyatakan dalam ml/kg.jam.

Setiap selesai pengukuran, chamber dibuka dan udara disirkulasikan dengan kipas angin, setelah itu chamber kembali ditutup rapat dan dimasukkan ke dalam

Mulai

Penyimpanan dalam refrigerator suhu 5, 10, 15 oC RH 90-95% dan suhu ruang dengan RH ruang

Analisis mutu fisik dan mutu gizi terong gelatik Pemanenan, sortasi pencucian dan penirisan terong gelatik

Selesai

(25)

refrigerator. Pada pengukuran terakhir atau 2 jam ketiga, chamber disimpan dalam refrigerator dalam kondisi terbuka dan ditutup kembali ketika akan dilakukan pengukuran pada hari berikutnya.

Kadar Air (AOAC 2005)

Pengukuran kadar air menggunakan metode oven. Berat awal bahan ditimbang (Wi) kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 24 jam, lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit, selanjutnya ditimbang lagi (Wf). Kadar air dihitung dengan persamaan 2.

...(2)

Susut Bobot (Concellon et al. 2012)

Sampel yang digunakan adalah sampel tetap sebanyak 3 buah untuk 3 kali ulangan, masing-masing berat sampel diawal pengamatan (Wi) dan sampel selama penyimpanan (Wf) ditimbang. Penimbangan Wf dilakukan setiap kali pengamatan. Susut bobot (SB) dihitung dengan persamaan 3, hasil perhitungan dinyatakan dalam bentuk persentase susut bobot.

...(3)

Warna (Hung et al. 2011)

Pengukuran warna menggunakan chroma meter. Sampel yang digunakan merupakan sampel tetap sebanyak 3 buah untuk 3 kali ulangan, pengukuran dilakukan pada tiga titik tetap yang sudah ditandai. Data hasil pengukuran warna berupa nilai kecerahan (L), nilai kromatik merah hijau (a) dan nilai kromatik warna biru kuning (b).

Kekerasan (Massolo et al. 2011 dengan modifikasi)

Alat yang digunakan adalah rheometer dengan ukuran probe silinder 5 mm. Setiap sampel ditekan dengan beban maksimal 10 kg, kedalaman 50 mm, kecepatan penekanan 30 mm/s. Beban penekanan maksimum yang terbaca pada alat merepresentasikan kekerasan sampel (kgf).

Browning Daging Buah (Concellon et al. 2004, 2005, 2007, 2012 dengan modifikasi)

Buah diiris melintang dari pusat buah setebal 0.5 cm. Lightness awal (L0) diukur menggunakan chromameter, sekaligus dilakukan pengambilan gambar daging buah sebagai visualisasi kondisi awal daging buah. L0 diekspresikan pada skala 0 (hitam) hingga 100 (putih). Daging dan biji tidak mengalami browning

jika L0>76, browning pada biji jika L0 = 71-72, browning tahap awal pada daging dan biji jika L0 mendekati 68, browning daging dan biji yang berat jika L0≤63 atau mendekati 63.

Potensial Oksidasi (Concellon et al. 2007)

Nilai lightness awal pada pengukuran browning daging buah dinyatakan sebagai L0. Selanjutnya sampel dibiarkan selama 30 menit, setelah itu lightness

(26)

...(4)

Indeks Chilling Injury (Concellon et al. 2004, 2005, 2007, 2012)

Indeks chilling injury (CII) ditentukan berdasarkan skala subjektif: 1 = tidak ada kerusakan, 2 = kerusakan rendah, 3 = kerusakan reguler/biasa, 4 = kerusakan sedang, 5 = kerusakan berat. Sebanyak 10 sampel dari setiap suhu penyimpanan diamati setiap 2 hari. CII dihitung menggunakan persamaan 5 berikut.

...(5) Dimana Lk adalah level kerusakan, Jb adalah jumlah buah pada level kerusakan, dan Tb adalah total jumlah buah.

Total Padatan Terlarut (Javanmardi dan Kubota 2006 dengan modifikasi)

Pengukuran total padatan terlarut menggunakan metode destruktif. Daging buah dihancurkan, lalu sari buah diteteskan pada sensor refractometer. Sebelum dan sesudah pengukuran sensor tersebut harus dalam kondisi bersih, untuk menghindari bias data. Total padatan terlarut dinyatakan dalam oBrix.

Total Fenol (Zaro et al. 2014)

Total fenol diukur menggunakan reagen folin-ciocalteu dan asam tanat sebagai standar, larutan standar digunakan sebagai pembanding absorbansi. Pembuatan larutan standar dilakukan dengan memasukkan asam tanat ke dalam 6 buah labu takar 10 ml masing-masing sebanyak 1, 0.8, 0.6, 0.4, 0.2 dan 0 ml untuk blanko. Selanjutnya ditambahkan folin-ciocalteu 0.5 ml, Na2CO3 1 ml dan ditepatkan dengan air destilata, lalu dihomogenisasi dengan vortex dan didiamkan hingga warna bening terbentuk.

Terong gelatik diekstrak terlebih dahulu, 1 g buah dicacah dan ditambahkan 10 ml ethanol, lalu didiamkan semalam. 1 ml ekstrak dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml, ditambahkan folin-ciocalteu 0.5 ml dan Na2CO3 1 ml lalu ditepatkan dengan air destilata. Sampel dihomogenisasi lalu didiamkan selama 30 menit hingga terbentuk warna bening.

Absorbansi larutan standar dan sampel diukur menggunakan spektrofotometer pada 760 nm. Total fenol dihitung menggunakan persamaan 6 berikut.

...(6) Dimana Abs adalah nilai absorbansi, a dan b adalah gradien dan intersep dari persamaan yang diperoleh dari plotting absorbansi dan volume larutan standar, fp adalah faktor pengenceran, w adalah berat sampel (g). Hasil pengukuran diekspresikan dalam mg ekuivalen asam tanat per gram berat kering sampel (mg /g).

Total Mikroba (Hussain et al. 2014 dengan modifikasi)

(27)

Pembuatan media diawali dengan melarutkan 8.75 g PCA ke dalam 500 ml air destilata, lalu dipanaskan hingga mendidih dan disterilisasi di dalam autoclave

pada suhu 121 oC selama 15 menit, selanjutnya disimpan di dalam oven suhu 50 o

C untuk menjaganya tetap cair.

Tahap selanjutnya adalah pembuatan larutan pengencer. 3.4 g KH2PO4 dilarutkan dalam 50 ml air destilata, pH diatur sampai 7.2, setelah tercapai larutan ditepatkan hingga 100 ml. Selanjutnya diambil 1.25 ml dan dilarutkan lagi dalam 1 L air destilata, larutan disterilisasi dalam autoclave pada suhu 121 oC selama 15 menit. 1 g sampel terong gelatik diekstrak, lalu 1 ml ekstrak dimasukkan ke dalam 9 ml larutan pengencer dan dinyatakan sebagai pengenceran 10-1. Pengenceran 10 -2

dilakukan dengan memasukan 1 ml pengenceran 10-1 dalam 9 ml larutan pengencer, dan seterusnya hingga diperoleh pengenceran 10-6.

Selanjutnya adalah tahap inkubasi, 1 ml dari masing-masing pengeceran dituangkan ke dalam cawan petri dan ditambahkan 15-20 ml PCA yang telah disiapkan sebelumnya. Cawan petri ditutup dan disimpan di dalam incubator suhu 37 oC selama 48 jam dengan posisi terbalik. Koloni bakteri yang telah tumbuh dihitung secara manual, jumlah mikroba dihitung menggunakan persamaan 7.

N =

[ ] ...(7) Dimana N adalah jumlah mikroba (cfu/g), Jk adalah jumlah koloni pada cawan, n1 adalah jumlah cawan pada pengenceran pertama, n2 adalah jumlah cawan pada pengenceran kedua dan d adalah pengeceran pada cawan pertama.

Analisis Statistik

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap 2 faktor yaitu faktor suhu dan hari penyimpanan. Perlakuan suhu penyimpanan 5, merupakan komponen aditif dari rataan, pengaruh utama faktor suhu penyimpanan dan pengaruh utama faktor hari penyimpanan.

ij = Komponen interaksi dari faktor suhu penyimpanan dan faktor hari

penyimpanan

ijk = Pengaruh acak yang menyebar normal (0, 2).

(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Laju Respirasi

Respirasi merupakan proses perombakan komponen di dalam suatu produk seperti karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi lainnya menjadi lebih sederhana untuk mendapatkan energi (Ahmad 2013). Seperti yang telah diketahui bahwa komoditi pascapanen tidak lagi mendapatkan suplai energi dari induknya, sehingga komponen yang telah terbentuk dari proses fotosintesis kembali dirombak. Suhu lingkungan menjadi faktor eksternal yang paling berpengaruh terhadap respirasi (Singh et al. 2013). Sebaran suhu dan RH selama penyimpanan ditunjukkan pada Gambar 2.

(1)

(2)

Massolo et al. (2011) menyatakan bahwa terong merupakan buah non klimakterik. Buah non-klimakterik tidak menunjukkan peningkatan produksi etilen atau laju respirasi yang nyata selama proses kematangannya (Kim et al.

(29)

non-klimakterik karena tidak ada peningkatan RO2 dan RCO2 secara drastis selama penyimpanan. Pola laju respirasi beberapa buah non-klimakterik yang hampir sama juga telah dilaporkan oleh Kim et al. (2015) dan Megias et al. (2016).

(1)

(2)

(30)

Laju respirasi terong gelatik cenderung menurun hingga hari ke-2 penyimpanan untuk suhu 5 dan 10 oC (P<0.05), kemudian stabil hingga hari ke-18. Laju respirasi pada suhu 15 oC menurun hingga hari ke-6, kemudian masing untuk suhu 15 oC dan suhu ruang mengindikasikan terong gelatik sedang menuju proses kebusukan. Sedangkan tidak ditemukan kebusukan pada terong gelatik yang disimpan pada suhu 5 dan 10 oC sehingga laju respirasi cenderung stabil hingga hari ke-18. Peningkatan laju respirasi disebabkan oleh perombakan komponen di dalam terong gelatik yang berlangsung lebih cepat, setelah komponen tersebut habis dirombak terong gelatik mengalami kebusukan dan laju respirasi kembali menurun.

Kadar Air

Kadar air merupakan komponen terbesar di dalam terong gelatik, menurut Medina et al. (2014) kadar air terong gelatik yang dibudidayakan di Sinaloa, Mexico sebesar 90.1% setelah pemanenan. Variasi suhu penyimpanan berpengaruh signifikan terhadap kadar air seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Rata-rata kadar air yang disimpan pada suhu 5, 10, 15 oC dan suhu ruang masing-masing 90.94, 90.15, 89.92 dan 88.18% (P≤0.05). Semakin dingin suhu penyimpanan maka aktivitas transpirasi atau kehilangan air dalam terong gelatik semakin rendah.

Lama penyimpanan berpengaruh terhadap kadar air, rata-rata kadar air diawal penyimpanan sebesar 93.24, 93.31, 93.29, 93.12% dan menurun diakhir penyimpanan menjadi 89.28, 87.18, 86.65, dan 84.74% masing-masing untuk penyimpanan dingin suhu 5, 10, 15 oC dan suhu ruang (P≤0.05). Penurunan kadar air disebabkan oleh proses transpirasi yang terjadi pada permukaan kulit terong

(31)

gelatik. Proses transpirasi merupakan perpindahan uap air dari permukaan organ tanaman menuju lingkungan, karena perbedaan tekanan uap air antara jaringan buah dengan lingkungan sekitar, transpirasi terjadi melalui stomata, lentisel, kutikel dan sel epidermal (Hung et al. 2011).

Transpirasi memerlukan panas yang dihasilkan dari proses respirasi, dapat dikatakan semakin tinggi laju respirasi maka semakin cepat terjadi transpirasi. Terong gelatik yang disimpan pada suhu ruang memiliki penurunan kadar air tertinggi diantara suhu lainnya yang juga disertai dengan laju respirasi paling tinggi, begitu sebaliknya pada suhu penyimpanan 5 oC. Penurunan kadar air menyebabkan masalah penurunan mutu fisik, Jha dan Matsuoka (2002) melaporkan bahwa penurunan kadar air menyebabkan susut bobot dan menurunkan tingkat kerenyahan buah. Ahmad (2013) menyatakan bahwa kehilangan air juga dapat menyebabkan stres dan mempercepat proses penuaan.

Maalekuu et al. (2006) melaporkan bahwa kehilangan air pada produk pascapanen juga dipengaruhi oleh hilangnya integritas membran, aktivitas

lipoxygenase (LOX) dan kebocoran ion membran (membrane ion leakage). Oksidasi LOX pada membran lipid dapat menyebabkan kerusakan membran, kehilangan integritas membran dan interaksi komponen membran sehingga menyebabkan terjadinya kebocoran ion membran dan mempercepat terjadinya kehilangan air.

Susut Bobot

Susut bobot merupakan penurunan berat terong gelatik akibat proses kehilangan air atau transpirasi, semakin banyak air yang hilang maka semakin besar presentase susut bobotnya. Gambar 5 membuktikan bahwa peningkatan susut bobot berkaitan dengan penurunan kadar air, nilai koefisien determinasi (R2) yang mendekati 1 menjelaskan bahwa penurunan kadar air terong gelatik sebesar satu satuan dapat meningkatkan presentase susut bobotnya.

Pengaruh suhu penyimpanan dingin dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap susut bobot terong gelatik. Rata-rata bobot terong gelatik pada awal penyimpanan sebesar 55.17, 45.08, 46.20, 61.68 g, sedangkan diakhir penyimpanan bobot terong gelatik sebesar 43.40, 32.67, 33.24, 29.77 g masing-masing untuk penyimpanan dingin suhu 5, 10, 15 oC dan suhu ruang. Rata-rata presentase susut bobot terong gelatik selama 18 hari penyimpanan sebesar 12.70, 14.71, 16.64, 29.79 % masing-masing untuk penyimpanan dingin suhu 5, 10, 15 oC dan suhu ruang (P≤0.05).

Beberapa penelitian sebelumnya melaporkan hasil yang sama, bahwa susut bobot dipengaruhi suhu. Terong cv. Lucia yang disimpan pada suhu 10 oC RH 85-90% mengalami susut bobot 4.2% setelah disimpan selama 14 hari (Concellon et al. 2012), sedangkan terong var. Ryoma mengalami susut bobot sebesar 25.47% setelah disimpan selama 6 hari pada suhu 15 oC RH 90% (Jha dan Matsuoka 2002).

(32)

kelembaban sebesar 95% di dalam ruang penyimpanan dingin bersuhu 5.5 oC. Susut bobot terong tersebut hanya 5.5% setelah disimpan selama 10 hari.

(1) penyimpanan (1) serta hubungannya dengan penurunan kadar air (2)

(33)

Kekerasan

Kekerasan terong gelatik menjadi salah satu parameter yang menunjukkan kesegaran dan kerenyahannya. Kekerasan menjadi penting karena terong gelatik biasa dikonsumsi mentah untuk dinikmati kerenyahannya sebagai lalapan. Penurunan kadar air akibat transpirasi dan peningkatan susut bobot diduga menjadi pemicu utama penurunan kekerasan terong selama penyimpanan (Jha dan Matsuoka 2002; Massolo et al. 2011; Zaro et al. 2014; Fan et al. 2016). Hasil yang serupa juga terjadi pada terong gelatik, penurunan kadar air dan peningkatan susut bobot menyebabkan terjadinya penurunan kekerasan selama penyimpanan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.

Variasi suhu penyimpanan 5, 10 dan 15 oC tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata pada suhu ruang (P≤0.05). Rata-rata kekerasan terong gelatik sebesar 55.41, 56.08, 55.76 dan 34.64 N, masing-masing untuk perlakuan penyimpanan pada suhu 5, 10, 15 oC dan suhu ruang. Rata-rata kekerasan terong gelatik pada awal penyimpanan suhu 5 dan 10 oC masing-masing sebesar 66.54, 66.12 N dan 43.25, 51.55 N pada hari ke-18 penyimpanan, dapat dikatakan bahwa suhu 5 dan 10 oC lebih baik dalam mempertahankan kekerasan terong gelatik daripada suhu 15 oC dan suhu ruang.

Rata-rata kekerasan terong gelatik pada awal penyimpanan dingin suhu 15 o

C sebesar 67.20 N dan menurun drastis pada hari penyimpanan ke-6 menjadi 46.99 N, namun terjadi peningkatan secara sementara hingga hari ke-12 menjadi 63.47 N. Peningkatan sementara ini diduga karena buah mengalami keriput, sehingga dibutuhkan gaya tekan yang lebih besar. Setelah itu, kekerasan buah menurun drastis hingga hari ke-18 penyimpanan akibat proses pembusukan.

Jha dan Matsuoka (2002) menyatakan bahwa kekerasan terong cv. Ryoma yang disimpan pada suhu 20 dan 30 oC mengalami peningkatan kekerasan secara sementara masing-masing pada hari ke-6 dan ke-5, hal ini diduga karena adanya

(34)

kontak dengan bagian dalam terong yang masih keras dan menolak kompresi. Meskipun pada bagian luar terong telah mengalami pelunakan akibat awal kebusukan, namun pada bagian dalam terong cv. Ryoma masih terdapat bagian yang keras. Setelah terjadi peningkatan sementara, kekerasan kembali menurun karena telah terjadi kebusukan total.

Rata-rata kekerasan terong gelatik yang disimpan pada suhu ruang pada awal penyimpanan sebesar 65.66 N menurun drastis hingga hari ke-12 menjadi 4.97 N tanpa peningkatan sementara seperti pada suhu 15 oC. Setelah hari ke-12 kekerasan cenderung konstan hingga hari ke-18, hal ini disebabkan karena terong gelatik telah mengalami kebusukan total. Gajewski et al. (2009) juga melaporkan penurunan kekerasan terong sebesar 10.5% pada penyimpanan suhu 20 oC selama 1 minggu. Hasil yang sama dilaporkan oleh Massolo et al. (2011) untuk penurunan kekerasan terong cv. Lucia dari 19.6 N menjadi 13.2 N setelah 21 hari penyimpanan pada suhu 10 oC.

Warna

Parameter warna kulit terong gelatik disajikan dalam nilai L, a, b. L atau

lightness yang merepresentasikan gelap terangnya permukaan kulit terong gelatik, sedangkan nilai a dan b masing-masing adalah nilai kromatik merah hijau dan biru kuning. Perubahan nilai L, a, b terong gelatik yang disimpan pada suhu 5, 10, 15 o

C dan suhu ruang selama 18 hari dapat dilihat pada Gambar 7.

(35)

Variasi suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai L dan b, namun berpengaruh pada nilai a. Nilai a pada terong gelatik yang disimpan pada suhu 10 oC berbeda nyata dengan suhu ruang. Ratarata nilai a sebesar 8.71, -9.27, -8.56 dan -7.56 masing-masing untuk suhu 5, 10, 15 oC dan suhu ruang. Gajewski et al. (2009) menyatakan bahwa nilai L, a, b terong pada awal penyimpanan tidak berbeda nyata dengan akhir penyimpanannya, perbedaan nilai L, a, b biasanya dipengaruhi oleh kultivar.

Penyimpanan selama 18 hari tidak berpengaruh nyata terhadap L dan a, namun berpengaruh pada nilai b. Rata-rata Nilai b diawal penyimpanan sebesar 11.77, 12.63, 11.71, 13.13 dan terjadi peningkatan diakhir penyimpanan menjadi 18.70, 24.08, 27.16, 26.08. Peningkatan nilai b dikarenakan perubahan warna kulit dari hijau menjadi kuning ketika terjadi pelayuan. Terong gelatik yang disimpan pada suhu ruang paling cepat menguning dibandingkan pada suhu 5, 10 dan 15 oC seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8.

Browning Index (L0)

Lightness awal (L0) terong yang baru saja diiris merupakan indikasi yang baik untuk menduga perkembangan browning pada jaringan daging buah dan biji terong (Concellon et al. 2004, 2005, 2007, 2012). Browning pada jaringan daging buah dan biji memang umum terjadi pada spesies Solanaceae (Boonsiri et al.

2007), dimana semakin rendah L0 maka semakin tinggi browning yang terjadi. L0 pada variasi suhu penyimpanan 5, 10, 15 oC tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata pada suhu ruang, perubahannya selama 18 hari disajikan pada Gambar 9. Rata-rata L0 untuk suhu 5, 10, 15 oC dan suhu ruang masing-masing 73.36, 72.16, 72.61 dan 67.23 (P≤0.05).

Browning pada daging dan biji disebabkan oleh aktivitas enzim polyphenol oxidase (PPO), aktivitas PPO selama penyimpanan sangat dipengaruhi oleh suhu (Concellon et al. 2004). PPO mengkatalis proses hidroksilasi monophenols

menjadi o-diphenols (cresolase activity), lalu oksidasi o-diphenols menjadi o-quinone (cathecolase activity). Setelah quinone terbentuk terjadi reaksi non enzimatik kedua dengan asam amino, menghasilkan akumulasi melanin (pigmen coklat atau hitam) yang menimbulkan browning pada jaringan daging buah (Massolo et al. 2011; Barbagallo et al. 2012).

Gambar 8 Visualisasi terong gelatik yang menguning pada penyimpanan dingin suhu 5 oC (a), 10 oC (b), 15 oC (c) dan suhu ruang (d) Hari ke-15 Hari ke-13

(a) (b)

Hari ke-9 (c)

(36)

Lama penyimpanan juga berpengaruh terhadap peningkatan browning

terong gelatik. Rata-rata L0 pada awal penyimpanan sebesar 77.64, 77.41, 76.83 dan 78.72, mengalami penurunan menjadi 65.54, 68.74, 68.65, 56.16 masing-masing untuk suhu 5, 10, 15 oC dan suhu ruang. Hasil yang sama dilaporkan Massolo et al. (2011) bahwa terong cv. Lucia mengalami penurunan lightness

daging buah setelah disimpan selama 21 hari pada suhu 10 oC (Massolo et al.

2011). Visualisasi terong gelatik yang disimpan pada suhu 5, 10, 15 oC dan suhu ruang pada awal dan akhir penyimpanan ditunjukkan pada Gambar 10. Hasil yang sama dilaporkan Concellon et al. (2012) bahwa daging dan biji terong cv. Lucia yang disimpan 14 hari pada suhu 0 oC lebih gelap dibandingkan suhu 10 oC.

Browning pada jaringan buah dan biji terong gelatik setelah disimpan 18 hari pada suhu 5 oC termasuk dalam kategori browning daging dan biji yang berat (L0 mendekati 63) dan paling parah dibandingkan suhu 10 dan 15 oC. Hal ini diduga karena chilling injury (CI) telah menyerang daging dan biji (Concellon et al. 2007), ditandai dengan warna biji yang menghitam dan daging buah yang memucat. Sedangkan browning pada suhu 10 dan 15 oC diakhir penyimpanan menunjukkan browning tahap awal (L0 mendekati 68), yang disertai dengan kulit keriput. Sedangkan pada suhu ruang terjadi browning yang sangat berat (L0≤63), namun diduga bukan karena pengaruh suhu dingin, tetapi akibat transpirasi dan

50 60 70 80

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

L

0

Lama Penyimpanan (Hari) 5 ⁰C

10 ⁰C 15 ⁰C Suhu Ruang

Gambar 9 Perubahan L0 daging dan biji terong gelatik pada variasi suhu penyimpanan 5, 10, 15 oC dan suhu ruang selama 18 hari penyimpanan

5 oC 10 oC 15 oC Suhu Ruang

(37)

kebusukan, ditandai dengan daging buah yang kehilangan ketegaran, biji berwarna coklat dan kulit yang keriput.

Potensial Oksidasi (∆L)

Potensial oksidasi merupakan parameter lain yang digunakan untuk mengindikasikan terjadinya browning lebih lanjut pada jaringan daging buah setelah jaringan tersebut dibuka dan didiamkan diudara. Buah yang disimpan pada suhu dingin lebih mampu bertahan dari browning setelah diiris (Concellon et al.

2007). Potensial oksidasi direpresentasikan dengan nilai ∆L yang berkorelasi positif dengan browning, semakin tinggi nilai ∆L maka semakin tinggi tingkat

browning yang terjadi setelah terong gelatik diiris. ∆L terong gelatik yang disimpan pada suhu 5, 10, 15 oC tidak berbeda nyata, tapi berbeda nyata dengan suhu ruang. Rata-rata ∆L sebesar 6.04, 5.52, 4.92 dan 3.63 masing-masing untuk suhu 5, 10, 15 oC dan suhu ruang (P≤0.05).

Perubahan ∆L terong gelatik selama 18 hari dapat dilihat pada Gambar 11. ∆L diawal penyimpanan 4.39, 4.02, 5.84, 8.15 dan diakhir penyimpanan menjadi 2.52, 4.94, 4.11, 2.65 masing-masing untuk suhu 5, 10, 15 oC dan suhu ruang. ∆L terong cv. Lucia mengalami penurunan pada hari ke-6 dan setelahnya konstan baik yang disimpan pada suhu 0 maupun 10 oC, penurunan ∆L lebih besar pada suhu 0 oC dibandingkan suhu 10 oC (Concellon et al. 2007).

Gambar 11 menunjukkan bahwa ∆L meningkat drastis pada hari ke-4, lalu menurun pada hari ke-8 dan 6 masing-masing pada suhu 5 dan 10 oC, setelahnya relatif stabil hingga akhir penyimpanan. Penurunan nilai ∆L disebabkan karena penurunan aktivitas enzim PPO, aktivitas enzim akan menurun setelah terjadi

browning dan ∆L akan relatif konstan setelahnya. Hasil yang sama dilaporkan

oleh Concellon et al. (2007), aktivitas enzim PPO pada terong cv. Money Maker No. 2 juga menurun setelah terjadi browning.

0

(38)

Indeks Chilling Injury (CII)

Chilling injury (CI) merupakan kerusakan jaringan buah akibat suhu dingin yang menyebabkan penurunan daya simpan dan selera konsumen (Concellon et al. 2007). Gejala CI pada terong gelatik ditandai dengan adanya bercak atau luka kehitaman pada permukaan kulit. Tidak ditemukan CI pada suhu 15 oC dan suhu ruang, chilling temperature untuk terong gelatik adalah suhu 5 dan 10 oC. Rata-disimpan 1 minggu pada suhu 5 oC meningkat dari 1 menjadi 4 (Concellon et al.

2004). Peningkatan CII dipengaruhi aktivitas enzim antioksidan seperti catalase

(CAT) dan peroxidase (POD) (Boonsiri et al. 2007). Aktivitas CAT dan POD tinggi diawal penyimpanan dan membuat buah kurang sensitif terhadap CI, dibuktikan dengan CI yang tidak terlihat pada hari ke-0 hingga ke-2, setelah aktivitas enzim tersebut menurun maka CII mulai meningkat.

Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa suhu penyimpanan 10 oC tidak menyebabkan CI pada terong cv. Money Maker (Concellon et al. 2004, 2007). Namun pada penelitian ini, suhu 10 oC menyebabkan CI pada terong gelatik. Terong gelatik lebih rentan terhadap CI diduga karena dipanen pada umur yang masih muda (90 hst). Kebiasaan masyarakat yang mengkonsumsi terong gelatik sebagai lalapan mengharuskan terong gelatik dipanen muda. Zaro et al. (2014) menyatakan bahwa terong yang dipanen muda atau baby stage lebih sensitif terhadap kerusakan termasuk CI, didukung laporan dari Boonsiri et al. (2007) bahwa CI hanya ditemukan pada hot peppers yang dipanen muda (15 hari setelah bunga). Buah yang dipanen dalam kondisi matang penuh memiliki profil perkembangan gula yang baik sehingga akan mereduksi CI akibat penyimpanan dingin (Beckles 2012).

(39)

Total Padatan Terlarut (TPT)

TPT merupakan indeks refraktometrik yang mengindikasikan proporsi padatan yang terlarut, adapun komponennya terdiri dari total gula (sukrosa dan heksosa) 65%, asam sitrat dan malat 13% serta komponen minor lainnya seperti fenol, asam amino, pektin larut, asam askorbat dan mineral (Beckles 2012). TPT di dalam komoditi hortikultura dipengaruhi oleh banyak faktor baik dari prapanen maupun pascapanen, faktor pascapanen yang berpengaruh meliputi waktu panen, teknik penanganan dan kondisi penyimpanan (Beckles 2012).

Variasi suhu penyimpanan 5, 10, 15 oC dan suhu ruang berpengaruh nyata terhadap TPT selama 18 hari penyimpanan, dapat dilihat pada Gambar 13. Rata-rata TPT terong gelatik sebesar 5.40, 5.72, 4.75 dan 4.48 oBrix masing-masing untuk suhu penyimpanan 5, 10, 15 oC dan suhu ruang (P≤0.05). Penyimpanan suhu dingin memang mampu menghambat perombakan gula sebagai komponen terbesar TPT, semakin rendah suhu maka semakin lambat perombakannya, sehingga membuat TPT lebih rendah pada suhu dingin atau bahkan TPT tidak mengalami perubahan (Beckles 2012). Namun hasil penelitian ini sedikit berbeda, dimana terong gelatik yang disimpan pada suhu 10 oC justru memiliki TPT tertinggi, hal ini diduga karena suhu penyimpanan dingin 10 oC menyebabkan akumulasi komponen minor TPT seperti total fenol atau lainnya (dibahas lebih lanjut pada sub bab total fenol).

Rata-rata TPT terong gelatik pada awal penyimpanan dingin suhu 5, 10, 15 o

C dan suhu ruang masing-masing sebesar 5.77, 5.23, 5.20 dan 4.63 oBrix, setelah 18 hari penyimpanan mengalami perubahan menjadi 5.27, 6.67, 4.50 dan 3.60 o

Brix. TPT pada penyimpanan dingin suhu 5 oC mengalami peningkatan mulai hari penyimpanan ke-10 hingga ke-14 dan kembali menurun hingga akhir penyimpanan. Sedangkan penyimpanan dingin suhu 10 oC meningkat mulai hari penyimpanan ke-14 hingga ke-18. Meskipun Beckles (2012) menyatakan bahwa TPT tidak mengalami perubahan selama disimpan dingin. Namun masih terdapat kemungkinan adanya perubahan unsur pokok dari TPT seperti rasio

0

(40)

glukosa/fruktosa dan asam organik selama penyimpanan yang menentukan terjadinya perubahan TPT (Javanmardi dan Kubota 2006).

Peningkatan TPT secara sementara diduga karena proses perombakan pati menjadi gula. Gula (C6H12O6) merupakan komponen terbesar TPT yang menjadi bahan baku utama dalam proses respirasi. Perombakan gula dilakukan untuk mendapatkan energi guna mempertahankan buah tersebut sebelum akhirnya terjadi kebusukan. Setelah komponen gula dirombak habis, maka komponen lainnya seperti protein, lemak, asam organik, mineral dan lainnya juga akan dirombak. Setelah seluruh komponen habis dirombak maka buah mengalami kebusukan total.

Total Fenol

Terong merupakan salah satu jenis hortikultura yang kaya akan antioksidan (Concellon et al. 2012), antara lain antocianin pada kulit, karotenoid, asam askorbik, fenolik dan asam klorogenik (Zaro et al. 2014). Terong gelatik berpotensi sebagai sumber antioksidan alami yang didominasi oleh total fenol sebesar 20.49 mg/g, selain itu juga mengandung asam askorbik 0.074 mg/g, asam klorogenik 17 mg/g dan total antocianin 0.039 mg/g (Medina et al. 2014).

Variasi suhu penyimpanan 5, 10, 15 oC dan suhu ruang berpengaruh signifikan pada total fenol terong gelatik, rata-rata total fenol masing-masing sebesar 10.59, 12.10, 11.03 dan 14.54 mg/g. Lama penyimpanan selama 18 hari juga berpengaruh terhadap perubahan total fenol seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14. Total fenol menurun 45.68, 21.66 dan 37.09 % masing-masing untuk 5, 10 dan 15 oC, sedangkan pada penyimpanan suhu ruang meningkat 11.40%. Total fenol pada terong cv. Kalpatharu, Raveena, Anupam dan Silki juga dilaporkan meningkat masing-masing 30%, 47%, 50%, and 45% pada suhu ruang (26 ± 2 oC) selama 14 hari (Mishra et al. 2013).

Peningkatan total fenol terong gelatik pada penyimpanan suhu ruang diduga karena adanya peningkatan aktivitas enzim phenylalanine ammonia lyase (PAL). Mishra et al. (2013) melaporkan hasil yang sama, bahwa enzim PAL memicu biosintesis senyawa fenolik pada terong cv. Kalpatharu, Raveena, Anupam dan

0

(41)

Silki yang disimpan pada suhu ruang (26 ± 2 oC), hasil dari biosistesis tersebut adalah terakumulasinya senyawa fenol.

Suhu 10 oC merupakan suhu penyimpanan dingin terbaik yang mampu mempertahankan total fenol dengan penurunan terkecil. Kandungan fenol pada buah dan sayur dapat meningkat atau menurun tergantung kondisi penyimpanan (Tavarini et al. 2008). Concellon et al. (2012) melaporkan bahwa total fenol terong cv. Lucia meningkat pada awal penyimpanan dan mengalami penurunan setelah disimpan 14 hari pada suhu 10 oC. Senyawa fenolik utama pada terong terdiri dari asam klorogenik, asam caffeic dan asam quinic. Penurunan total fenol terkecil pada suhu penyimpanan 10 oC diikuti dengan peningkatan TPT diduga karena terjadi akumulasi asam klorogenik selama penyimpanan.

Beberapa penelitian melaporkan total fenol pada buah dapat mengalami penurunan. Tsantili et al. (2010) menyatakan total fenol buah persik yang disimpan 6 hari pada suhu 21 oC mengalami penurunan. Total fenol pada

minimally process terong cv. Hindu menurun setelah 9 hari penyimpanan pada suhu 3 oC (Hussain et al. 2014). Hasil yang sama dilaporkan oleh Mishra et al.

(2012) bahwa kandungan fenol terong cv. Kalphatharu juga mengalami penurunan sebesar 28% pada suhu penyimpanan 10 oC disertai dengan peningkatan aktivitas

polyphenol oxidase (PPO). Perubahan total fenol berkorelasi dengan aktivitas PPO, diketahui bahwa total fenol merupakan substrat bagi aktivitas PPO, sehingga peningkatannya menyebabkan terjadinya penurunan total fenol.

Kehilangan total fenol terbesar terjadi pada buah yang disimpan suhu 5 oC yang disertai dengan tingginya browning. Total fenol terong cv. Lucia menurun selama penyimpanan yang disertai dengan browning juga dilaporkan Massolo et al. (2011). Browning pada daging dan biji disebabkan oleh aktivitas PPO. PPO mengkatalis proses hidroksilasi dari monophenols menjadi o-diphenols (cresolase activity) dan oksidasi o-diphenols menjadi o-quinone (cathecolase activity). Setelah quinone terbentuk terjadi reaksi non enzimatik kedua, menghasilkan akumulasi melanin (pigmen coklat atau hitam) yang menimbulkan browning pada jaringan daging buah (Massolo et al. 2011; Barbagallo et al. 2012). Sehingga peningkatan browning juga terbukti menyebabkan turunnya total fenol, aktivitas enzim PPO membutuhkan total fenol sebagai subsratnya untuk membangkitkan pigmen coklat penyebab browning.

Kebiasaan masyarakat mengonsumsi terong gelatik dalam kondisi mentah sebagai sayur lalapan diharapkan dapat mempertahankan total fenol sebagai sumber antioksidan alami yang mendominasi. Zaro et al. (2015) melaporkan bahwa prapengolahan dan pengolahan seperti drying, freezing, dry cooking dapat menurunkan kandungan antioksidan terong cv. Lucia dan cv. Cloud Nine. Hasil terbaru dilaporkan Scalzo et al. (2016) bahwa proses perebusan menurunkan senyawa fenol pada terong Tunisina, Buia dan L 305, sedangkan total fenol meningkat jika dilakukan pemanggangan.

Total Mikroba

(42)

dan asam askorbik terus meningkat selama 9 hari penyimpanan pada suhu 3±1 oC (Hussain et al. 2014). Ossaili et al. (2015) menyatakan bahwa Salmonella typhimurium, Escherichia coli, Staphylococcus aureus pada olahan terong terus meningkat selama 15 hari penyimpanan pada suhu 4 oC serta suhu 10 dan 21 oC selama 7 hari. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap pertumbuhan total mikroba pada terong gelatik disajikan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Total mikroba terong gelatik pada awal dan akhir penyimpanan Hari

Variasi suhu penyimpanan memberikan pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan total mikroba dari terong gelatik. Total mikroba mengalami peningkatan diakhir penyimpanan, dimana suhu rendah terbukti mampu menghambat pertumbuhan total mikroba. Hussain et al. (2014) melaporkan bahwa mikroba masih mungkin hidup pada suhu refrigerasi, namun lebih lambat pertumbuhannya.

Total mikroba pada terong gelatik selain menurunkan keamanan pangan, juga memicu terjadinya kebusukan. Kereth et al. (2013) menyatakan bahwa resiko kebusukan komoditi pertanian yang disebabkan oleh mikroba mencapai 63%. Total mikroba terbanyak berada pada terong gelatik yang disimpan pada suhu ruang yang berkisar pada 27-29 oC. Mu`tamar (2005) menyatakan bahwa mikroba dapat tumbuh pada suhu 5-47oC dengan suhu optimum 35-37oC.

SIMPULAN DAN SARAN

Suhu penyimpanan dingin lebih baik dalam mempertahankan mutu fisik terong gelatik dibandingkan suhu penyimpanan ruang, meskipun terjadi peningkatan total fenol pada suhu ruang. Terong gelatik disarankan disimpan dingin pada suhu 10 oC dengan RH 90-95% sebagai suhu penyimpanan dingin terbaik. Terong gelatik yang disimpan pada suhu 10 oC meningkatkan TPT, mempertahankan kekerasan dan total fenol, serta lebih baik dalam mempertahankan terong gelatik dari CI.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad U. 2013. Teknologi Penanganan Pascapanen Buahan dan Sayuran. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.

[AOAC] Association of Official Analitycal Chemist. 2005. Official Method of AnalysisChapter 4.1.10 Method 942.5. Washington (US): AOAC Inc..

Gambar

Gambar 1 Diagram alur proses penelitian
 Gambar 2  Sebaran suhu bola basah dan bola kering  (1) dan RH (2)
Gambar 3 Perubahan laju respirasi terong gelatik pada variasi suhu
Gambar 5 Peningkatan susut bobot terong gelatik pada variasi suhu  o
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penurunan mutu sawi yang meliputi persentase kadar air, kadar vitamin C, jumlah koloni bateri, kenampakan warna, jumlah padatan terlarut dan susut bobot yang

Penyimpanan bawang merah pada tingkat kadar air tertentu pada suhu rendah diharapkan dapat mengurangi penurunan mutu yang meliputi susut bobot, kadar VRS (

Keadaan tanah yang paling baik untuk tanaman terong adalah jenis lempung berpasir, subur, kaya akan bahan organik, aerasi dan drainasenya baik, serta pada pH antara 6,8-7,3.. Pada

Selama penyimpanan 8 hari, susut bobot cabai rawit dengan kemasan plastik mengalami peningkatan sebesar 16,82% lebih rendah jika dibandingkan dengan tanpa kemasan

Pada Gambar 2 menunjukan pengaruh suhu selama penyimpanan, pada gambar tersebut terlihat peningkatan susut bobot bawang merah selama penyimpanan.Bawang merah

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tinggi tanaman terong 7 minggu setelah inokulasi dengan perlakuan isolat rizobakteria yang diberikan pada tanaman terong yang

Menurut hasil pengamatan bahwa terjadinya pertumbuhan tanaman terong pada semua media tanam yang digunakan disebabkan air yang diserap oleh akar tanaman mengandung

Pada Gambar 2 setelah terlihat terjadinya kenaikan susut bobot selama penyimpanan kenaikan susut bobot ini dipengaruhi oleh jenis bahan pengemas yang digunakan oleh jenis bahan