• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Karakteristik Permukiman di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hilir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Karakteristik Permukiman di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hilir"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KARAKTERISTIK PERMUKIMAN DI DAERAH

ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HILIR

NINDY ASLINDA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Karakteristik Permukiman di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hilir adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)

ABSTRAK

NINDY ASLINDA. Studi Karakteristik Permukiman di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hilir. Dibimbing oleh SYARTINILIA.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung merupakan salah satu DAS yang melintasi wilayah Ibukota DKI Jakarta. DAS Ciliwung dikategorikan sebagai DAS Super Prioritas di Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Jakarta yang termasuk ke dalam DAS Ciliwung Hilir. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun dan menganalisis karakteristik permukiman di DAS Ciliwung Hilir. Data dianalisis secara spasial dan deskriptif menggunakan teknologi Sistem Infomasi Geografis (SIG). Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun di DAS Ciliwung Hilir sebesar 70.07%. Permukiman didominasi oleh permukiman tidak terencana (87.23%) dengan karakteristik sebagai berikut: pola permukiman linier, ukuran permukiman sangat besar, kepadatan permukiman rendah-sedang, dan kondisi infrastruktur yang baik. Lima rekomendasi pengelolaan dihasilkan untuk mengelola permukiman di DAS Ciliwung Hilir.

Kata kunci: DAS Ciliwung, karakteristik permukiman, perubahan penutupan lahan, pengelolaan lanskap, SIG

ABSTRACT

NINDY ASLINDA. Study on Characteristics of Settlement in Down Stream of Ciliwung Watershed. Supervised by SYARTINILIA.

Ciliwung Watershed is one of watershed that across the Jakarta capital region. Ciliwung Watershed is categorized as super-priority watershed in Indonesia. The study was conducted in down stream of Ciliwung Watershed in Jakarta. The main objectives of this study were to analyze land cover changes, and to analyze characteristics of settlement in down stream of Ciliwung Watershed. Data were analyzed using Geographical Information System (GIS). Based in the result, it can be shown that land cover changes from green open space to built up area occured in down stream of Ciliwung watershed (70.07%). The settlement is dominated by the unplanned settlement (87.23%). The charactristics of the unplanned settlement are linier settlement patterns, very lage size of settlement, low to medium building density, and good condition of insfrastructure. Five recommendation have provided for landscape managing of settlement in down stream of Ciliwung Watershed.

(4)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Arsitektur Lanskap

STUDI KARAKTERISRIK PERMUKIMAN DI DAERAH

ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HILIR

NINDY ASLINDA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Studi Karakteristik Permukiman di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hilir

Nama : Nindy Aslinda NIM : A44090031

Disetujui oleh

Dr. Syartinilia, SP, M.Si Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 hingga November 2014 ini ialah Pengelolaan Lanskap, dengan judul “Studi Karakteristik Permukiman di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hilir” di bawah bimbingan Dr. Syartinilia, SP, M.Si. Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan, motivasi, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu, antara lain:

1. Dr. Syartinilia, SP , M.Si selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan, masukan,dukungan, nasehat, dan waktu serta ilmu yang sangat bermanfaat.

2. Kedua orangtua, Aris Daeng Pene dan Ida Supriati, dan adik (Ninda Irlinda dan Mar’ie Muhammad) serta keluarga besar atas doa dan dukungan baik moril maupun materil yang tidak tergantikan.

3. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, khususnya Departemen Arsitektur Lanskap atas ilmu dan pengalaman yang bermanfaat.

4. Bapak Yudi selaku staf PPLH, Riri (Bundo) dan Bunga (MNH 46)yang telah mengajarkan software yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

5. Sahabat-sahabat (Yaomi Ifadha, Renny Yahna Oktevia, Eka Yuniawatiningtyas, Wika Diannisa Purnomo, dan Khoirunnisa Cahyamurti) atas bantuan, semangat, dukungan, doa, dan kebersamaannya selama ini. 6. Teman-teman seperjuangan, Sry Wahyuni, Ramandhini Puspitasari, dan

Paraditio Bryan Prakoso atas bantuan, semangat, dan dukungannya.

7. Keluarga dan teman-teman Arsitektur Lanskap Angkatan 46 atas bantuan, semangat, dukungan, dan kebersamaannya.

8. Semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian dan penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari tentunya karya ilmiah ini masih memiliki banyak kekurangan dan kelemahan, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

Kerangka Pikir Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Aliran Sungai 4

Klasifikasi Penutupan Lahan 5

Perubahan Penutupan Lahan 5

Permukiman 6

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian 9

Alat dan Data Penelitian 10

Metode Penelitian 10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Situasional 15

Penutupan Lahan 19

Perubahan Penutupan Lahan 26

Karakteristik Permukiman 28

Rekomendasi Pengelolaan 38

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 39

Saran 40

DAFTAR PUSTAKA 40

LAMPIRAN 43

(8)

DAFTAR TABEL

1 Hubungan tujuan, jenis, bentuk dan sumber data kegiatan penelitian 10

2 Deskripsi kelas penutupan lahan 12

3 Kriteria penilaian infrastruktur permukiman 14

4 Matriks penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir Tahun 1993 19 5 Tabel penutupan lahan berdasarkan kecamatan Tahun 1993 20 6 Matriks penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir Tahun 2013 23 7 Tabel penutupan lahan berdasarkan kecamatan di DAS Ciliwung Hilir 24

Tahun 2013

8 Penilaian infrastruktur permukiman pada permukiman tidak terencana 31 9 Penilaian infrastruktur permukiman pada permukiman terencana 36

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 3

2 Pola permukiman terencana konvensional 7

3 Pola permukiman terencana cluster 7

4 Pola permukiman terencana Planned Unit Development (PUD) 7

5 Lokasi penelitian 9

6 Bagan alur penelitian 11

7 Matriks Post Classification Comparison 13

8 Peta administrasi DAS Ciliwung Hilir 15

9 Suhu udara menurut bulan 16

10 Kelembaban menurut bulan 16

11 Curah hujan menurut bulan 17

12 Peta rencana pola ruang DKI Jakarta 18

13 Peta penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir Tahun 1993 21 14 Ruang terbangun di lokasi penelitian Tahun 2013 22

15 RTH di lokasi penelitian Tahun 2013 22

16 Badan air di lokasi penelitian Tahun 2013 22

17 Peta penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir Tahun 2013 25 18 Persentase luas RTH menjadi ruang terbangun berdasarkan

kecamatan periode 1993-2013 30

19 Pola permukiman tidak terencana di lokasi terpilih 29 20 Kondisi eksisiting jalan pada permukiman tidak terencana 31

23 Pola permukiman terencana di lokasi terpilih 34 24 Kondisi eksisiting jalan pada permukiman terencana di lokasi terpilih 36

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta penutupan lahan yang tetap dan mengalami perubahan di DAS

Ciliwung Hilir periode 1993-2013 43

2 Data Kependudukan DAS Ciliwung Hilir 44

3 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Pasar Rebo 46

4 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Jagakarsa 47

5 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Pasar Minggu 48

6 Peta lokasi sampel permukiman terencana dan tidak terencana 49

7 Data Administrasi DAS Ciliwung Hilir 50

(10)
(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai salah satu negara sedang berkembang, memiliki masalah perkotaan yang sangat kompleks. Sebagai salah satu ciri negara berkembang adalah sangat pesatnya perkembangan penduduk perkotaan terutama kota-kota besar dari negara tersebut, sebagai akibat dari tingginya angka pertumbuhan penduduk dan urbanisasi (Ahyat 2012). Bertambahnya jumlah penduduk baik akibat urbanisasi ataupun perkembangan alamiah di daerah perkotaan berkorelasi dengan semakin besarnya kebutuhan akan lahan. Hal tersebut mendorong terjadinya perubahan penutupan lahan menjadi ruang terbangun, khususnya kawasan permukiman. Menurut UU No. 4 Tahun 1992, permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar dari kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat bagi yang kegiatan yang mendukung penghidupan. Secara umum permukiman di Indonesia terdiri dari permukiman terencana dan permukiman tidak terencana. Sebanyak 84.00% permukiman di Indonesia merupakan permukiman tidak terencana yang dibangun sendiri oleh masyarakat, sedangkan 16.00% sisanya merupakan permukiman yang terencana yang dibangun oleh pengembang (developer) (Kuswartojo 1999 dalam Masykur 2006).

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai beserta anak-anak sungainya. DAS berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami (Asdak 1995). DAS merupakan satu ekosistem yang terdiri dari wilayah hulu yang berfungsi sebagai wilayah konservasi air, wilayah tengah yang berfungsi sebagai wilayah pemanfaatan air, dan wilayah hilir yang berfungsi sebagai wilayah pengaturan air (drainase). DAS Ciliwung memiliki panjang 117 km2 dan meliputi areal seluas 370.80 km2. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 328 tahun 2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010-2014, DAS Ciliwung merupakan salah satu DAS yang berstatus sebagai DAS Super Prioritas, hal ini dikarenakan wilayah hilir DAS Ciliwung meliputi wilayah Ibukota Jakarta yang berstatus sebagai kawasan strategis nasional di Indonesia.

(12)

2

Geografis (SIG) guna mengetahui seberapa besar perubahan penutupan lahan yang terjadi di wilayah tersebut.

DAS Ciliwung sebagai bagian dari Ibukota Jakarta mengalami perkembangan permukiman yang sangat pesat. Pada tahun 1990 luas permukiman sebesar 36.12% dan mengalami peningkatan menjadi sebesar 37.22% pada tahun 2000. Adapun luas kawasan permukiman terbesar terdapat di wilayah hilir yaitu mencapai 62.00% (Melati et al 2002). Perkembangan permukiman, khususnya di DAS Ciliwung hilir berdampak terhadap keanekaragaman karakteristik permukiman di wilayah tersebut. Oleh karena itu perlu adanya analisis mengenai karakteristik permukiman di DAS Ciliwung Hilir guna menghasilkan output berupa rekomendasi pengelolaan permukiman yang sesuai di wilayah tersebut. Kerangka pikir dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. menganalisis perubahan penutupan lahan dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi ruang terbangun dan distribusinya di DAS Ciliwung Hilir;

2. menganalisis karakteristik permukiman di DAS Ciliwung Hilir; dan 3. menyusun rekomendasi pengelolaan permukiman di DAS Ciliwung Hilir.

Manfaat Penelitian

Hasil tugas akhir ini diharapkan akan memberikan manfaat berupa memberikan informasi mengenai karakteristik permukiman di DAS Ciliwung hilir dan sebagai bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola kawasan permukiman di DAS Ciliwung hilir.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini meliputi skala makro yaitu wilayah DAS Ciliwung, kemudian pada skala meso meliputi wilayah DAS Ciliwung Hilir, dan pada skala mikro meliputi 3 kecamatan di wilayah DAS Ciliwung Hilir. Penelitian ini dibatasi pada pembuatan peta penutupan lahan, peta perubahan penutupan lahan dan peta distribusi permukiman guna mendapatkan lokasi sampel permukiman untuk selanjutnya dilakukan analisis terhadap karakteristik permukiman berdasarkan pola, ukuran, kepadatan, dan infrastruktur permukiman.

Kerangka Pikir Penelitian

(13)

3

guna menghasilkan output berupa rekomendasi pengelolaan permukiman yang sesuai di wilayah tersebut.

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian DAS Ciliwung Hilir

Urbanisasi Perubahan Penutupan Lahan

Studi Karakteristik Permukiman

Rekomendasi Pengelolaan Permukiman Meningkatnya Kebutuhan Lahan

Kawasan Permukiman

(14)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak 1995). DAS menggambarkan satuan hidrologi yang menggambarkan dan menggunakan satuan fisik biologi serta kegiatan sosial ekonomi untuk perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam. Komponen utama ekosisitem DAS terdiri dari manusia, vegetasi, hewan, iklim, tanah dan air. Masing-masing yang terkait satu sama lain sehingga membentuk suatu ekosistem. Menurut Wahyuni (2013) DAS Ciliwung merupakan salah satu dari 108 DAS Prioritas di Indonesia dan tergolong ke dalam DAS Prioritas I (Super Prioritas). Menurut Suripin (2002) dalam Wahyuni (2013), penetapan DAS prioritas ini berdasarkan pada beberapa kriteria sebagai berikut:

1. Kondisi hidrologisnya kritis yang ditandai dengan rendahnya persentase penutupan lahan, tingginya laju erosi tahunan, besarnya nisbah debit sungai maksimum dan debit minimum serta kandungan lumpur yang berlebihan; 2. Urgensi perlindungan investasi yang telah, sedang, atau akan dibangun

bangunan vital dengan investasi besar di daerah hilirnya; 3. Daerah yang rawan terhadap banjir dan kekeringan;

4. Daerah perladangan berpidah dan/atau daerah dengan penggarapan tanah yang merusak tanah dan lingkungan;

5. Daerah dengan tingkat pendapatan penduduk rendah, tingkat kesadaran masyarakat akan pelestarian sumber daya alam masih rendah; dan

6. Daerah dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi.

Pengelolaan DAS merupakan upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Adapun tujuan pengelolaan DAS adalah sebagai berikut: 1. terjaminnya penggunaan sumber daya alam yang lestari, seperti hutan, hidupan

liar dan lahan pertanian;

2. tercapainya keseimbangan ekologis lingkungan sebagai sistem penyangga kehidupan;

3. terjaminnya jumlah dan kualitas air yang baik sepanjang tahun; 4. mengendalikan aliran permaukaaan air dan banjir; dan

5. mengendalikan erosi tanah dan proses degradasi lahan.

Prinsip pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) menurut (Asdak 1995) : 1. mengenali hal-hal yang menjadi tuntutan mendasar untuk mencapai

usaha-usaha penyelamatan lingkungan dan sumberdaya alam;

2. mempertimbangkan nilai-nilai jasa lingkungan yang saat ini belum atau tidak diperhitungkan secara komersial dalam pembuatan kebijaksanaan;

(15)

5

4. menciptakan investasi (sektor swasta), peraturan-peraturan, insentif, dan perpajakan yang berkaitan dengan interaksi antara aktivitas tata guna lahan di bagian hulu dan kemungkinan yang ditimbulkannya di daerah hilir.

Klasifikasi Penutupan Lahan

Klasifikasi secara kuantitatif dalam konteks multispektral dapat diartikan sebagai suatu proses mengelompokkan piksel ke dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan peubah-peubah yang digunakan. Kelas-kelas ini sering juga disebut dengan segmentasi (segmentation). Kelas dapat berupa sesuatu yang terkait dengan fitur-fitur yang telah dikenali di lapangan atau berdasarkan kemiripan yang dikelompokkan oleh komputer Jaya (2010) dalam Aryanti (2011). Berdasarkan teknik pendekatannya, klasifikasi kuantitatif dibedakan atas Klasifikasi Tidak Terbimbing (unsupervised classification) dan Klasifikasi Terbimbing (supervised classification).

Klasifikasi Tidak Terbimbing adalah klasifikasi yang proses pembentukan kelas-kelasnya sebagian besar dikerjakan oleh komputer. Kelas-kelas atau klaster yang terbentuk dalam klasifikasi ini sangat bergantung pada data itu sendiri. Dalam prosesnya, klasifikasi ini mengelompokkan piksel-piksel berdasarkan kesamaan atau kemiripan spektralnya. Kelas-kelas ini tidak berhubungan secara langsung dengan watak-watak tertentu dari fitur atau obyek yang ada pada citra. Pada klasifikasi ini hanya sebagian kecil saja yang ditetapkan atau didesain oleh analis, misalnya jumlah kelas atau klaster yang akan dibuat, teknik yang akan digunakan, jumlah iterasi, dan band-band atau kanal yang akan digunakan. Klasifikasi terbimbing adalah klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analisis (supervised). Kriteria pengelompokkan kelas ditetapkan berdasarkan penciri kelas yang diperoleh analisis melalui pembuatan training area. Klasifikasi penutupan lahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification) dengan menggunakan metode Peluang Maksimum (Maksimum Likelihood Classifier). Metode ini merupakan metode yang paling umum digunakan dan merupakan metode standar. Metode ini mempertimbangkan peluang dari suatu piksel untuk dikelaskan ke dalam kelas atau kategori tertentu. Dapat dihitung dengan menghitung persentase tutupan pada citra yang akan diklasifikasi. Jika peluang ini tidak diketahui maka besarnya peluang dinyatakan sama untuk semua kelas (satu per jumlah kelas yang dibuat). Setelah menentukan training area, maka akan dilakukan proses lain seperti penggabungan kelas (Merging) berdasarkan nilai keterpisahannya, labelling, pendugaan akurasi, dan proses deteksi perubahan penggunaan dan penutupan lahan Jaya (2010) dalam Aryanti (2011).

Perubahan Penutupan Lahan

(16)

6

dan infrastruktur kota. Kegiatan konversi lahan ini dimaksudkan untuk mendukung tersedianya sarana dan prasarana kebutuhan manusia demi kelangsungan hidupnya. Namun kegiatan konversi lahan tersebut berdampak negatif pada kehidupan manusia. Salah satu dampak negatif dari perubahan penutupan lahan yaitu banjir. Banjir pada hakikatnya hanyalah salah satu output dari pengelolaan DAS yang tidak tepat. Beberapa penyebab banjir secara biofisik yaitu; curah hujan yang sangat tinggi, karakterisitk DAS itu sendiri, penyempitan saluran drainase dan perubahan penutupan lahan.

Dalam studi terkait deteksi perubahan penutupan lahan, dapat dilakukan dengan bantuan Sistem Informasi Geografis (SIG). Land Cover Change Detection (LCCD) merupakan aplikasi penting dari teknik penginderaan jauh karena kemampuannya untuk merekam penginderaan yang dilakukan berulang kali dengan kualitas gambar yang konsisten pada interval yang pendek, skala global, dan selama satu siklus penuh. Tujuan dari LCCD adalah untuk membandingkan perubahan penutupan lahan yang berbeda baik secara kualitatif ataupun kuantitatif Civco et al (2002) dalam Aryanti (2011). Metode yang biasa digunakan dalam metode ini adalah Post Classification Comparison. Menurut Bruzzone dan Seprico (1997) dalam Aryanti (2011), cara kerja metode ini yaitu melakukan deteksi perubahan dengan membandingkan peta klasifikasi yang diperoleh dengan mengklasifiksikannya secara independen antara dua citra dari area yang sama dalam waktu yang berbeda. penggunaan metode Post Classification Comparison ini sangat mungkin untuk mendeteksi perubahan dan memahami jenis-jenis perubahan yang terjadi. Klasifikasi citra multitemporal ini menghindari kebutuhan untuk menormalkan kondisi atmosfer, perbedaan sensor antara dua akuisisi. Namun, teknik Post Classification Comparison tergantung pada akurasi dari peta klasifikasi. Hal ini disebabkan karena adanya fakta bahwa metode ini tidak mengambil dan memperhitungkan ketergantungan yang ada antara dua citra di daerah yang sama dalam waktu yang berbeda.

Permukiman

Pengertian dasar tentang pemukiman dalam UU No. 4 Tahun 1992 menyebutkan bahwa pemukiman merupakan kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar dari kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat bagi yang kegiatan yang mendukung penghidupan.

(17)

7

(2001), pola permukiman terdiri dari pola permukiman linier (memanjang), dispersed (tersebar), nucleated (terpusat).

Permukiman terencana memiliki pola permukiman yang berbeda dengan pola permukiman tidak terencana. Hal ini dikarenakan permukiman terencana merupakan produk yang memilki nilai ekonomis tinggi, sehingga perlu adanya konsep perencanaan yang baik, sehingga dapat meningkatkan nilai jual permukiman terencana tersebut. Menurut Kwanda (2000) dalam Syartinilia (2001) terdapat tiga konsep perencanaan yang berkaitan dengan pembagian lahan, yaitu konsep konvensional, cluster, dan Planned Unit Development (PUD). Pada konsep konvensional memiliki batas kapling yang jelas dan tingkat kepadatan rumah yang tersebar merata di seluruh kawasan. Pada konsep cluster rumah dibangun secara berkelompok untuk mendapatkan kepadatan yang tinggi. Pada konsep PUD menerapkan pengembangan multi fungsi yang mengkombinasikan tiap zona kegiatan, misalnya dalam suatu area terdapat kawasan permukiman yang di dalamnya juga terdapat area perkantoran, pertokoan, rekreasi, ruang terbuka dan sebagainya.

Gambar 2 pola permukiman terencana konvensional (Sumber : Syartinilia 2001)

Gambar 3 pola permukiman terencana cluster (Sumber : Syartinilia 2001)

(18)

8

Karakteristik permukiman dapat dilihat berdasarkan ukurannya. Adapun ukuran yang dimaksud yaitu jumlah penduduk yang tinggal dalam suatu permukiman atau perumahan. Ukuran permukiman menurut Mulyana et al. (2007) adalah permukiman/perumahan tunggal (terdiri dari satu rumah), permukiman/perumahan kecil (terdiri sampai dengan 500 penduduk), permukiman/perumahan sedang (terdiri sampai dengan 2 000 penduduk), permukiman/perumahan besar (terdiri dari 2 000-5 000 penduduk), dan permukiman/perumahan sangat besar (terdiri lebih dari 5 000 penduduk).

Kepadatan bangunan juga dapat membentuk karakteristik suatu kawasan permukiman. Adapun kepadatan bangunan menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya dalam Martono et al. (2013) adalah Kepadatan rumah tinggi (tingkat kepadatan ≥60.00%), kepadatan rumah sedang (tingkat kepadatan 40.00 -60.00%), dan kepadatan rumah rendah ( tingkat kepadatan ≤ 40.00%).

Infrastruktur merupakan salah satu aspek yang penting dalam mendukung keberlangsungan suatu kawasan permukiman. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992, infrastruktur permukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Adapun kelengkapan dasar fisik tersebut berupa jaringan jalan, jaringan air bersih, saluran drainase, dan pembuangan sampah. Berdasarkan paparan di atas, adapun kriteria kondisi infrastruktur permukiman menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum tentang identifikasi kawasan kumuh perkotaan antara lain sebagai berikut:

1. Jalan

a. Baik : Kerusakan < 50.00% b. Buruk : Kerusakan 50.00-70.00% c. Sangat Buruk : Kerusakan > 70.00% 2. Saluran Drainase

a. Baik : Genangan < 25.00%

b. Buruk : Genanagan 25.00-50.00 % c. Sangat Buruk : Genangan > 50.00% 3. Air Bersih

a. Baik : Pelayanan > 60.00% b. Buruk : Pelayanan 30.00-60.00% c. Sangat Buruk : Pelayanan < 30.00% 4. Pembuangan Sampah

(19)

9

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari Bulan Maret 2013 sampai November 2014. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap inventarisasi (pengumpulan data), analisis spasial dan analisis karakteristik permukiman serta sintesis berupa penyusunan rekomendasi pengelolaan lanskap permukiman. Lokasi penelitian terletak di DAS Ciliwung Hilir, Jakarta (Gambar 5).

(20)

10

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Positioning System (GPS), kamera digital, alat tulis dan komputer dalam pengolahan data menggunakan Geographic Information System (GIS) seperti ERDAS Imagine 9.1, Arc GIS 9.3 Version dan Global Mapper. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data spasial (raster dan vektor) dan non-spasial (deskriptif) yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis, bentuk, sumber data dan kegunaan

Keterangan :

1. LAPAN : Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional

2. PPLH : Pusat Penelitian Lingkungan Hidup

3. BPDAS : Balai Penelitian Daerah Aliran Sungai

4. RTRW :Rencana Tata Ruang dan Wilyah

5. RDTR : Rencana Detail Tata Ruang

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu inventarisasi, analisis penutupan lahan, perubahan penutupan lahan, dan karakteristik permukiman, serta pembuatan rekomendasi pengelolaan lanskap permukiman di DAS Ciliwung Hilir. Bagan alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

Jenis Data Bentuk Data Sumber Data Kegunaan

(21)

11 (Metode Post Classification Comparison)

Pendugaan Akurasi

Peta Distribusi Permukiman Distribusi Permukiman (Deliniasi Google Earth)

Permukiman Terencana Permukiman Tidak Terencana

Pola - Sangat Buruk (Genangan >50%)

 Air Bersih

- Baik (Pelayanan >60%) - Buruk (Pelayanan 30-60%) - Sangat Buruk (Pelayanan < 30%)

 Sampah

- Baik (Pelayanan >70%) - Buruk (Pelayanan 50-70%) - Sangat Buruk (Pelayanan < 50%)

Karakteristik Permukiman

(22)

12

Inventarisasi

Pada tahap inventarisasi dilakukan kegiatan pengumpulan data dan survai lapang. Data yang diperlukan berupa data spasial (raster dan vektor) dan data non spasial (deskriptif). Pada tahap survey lapang dilakukan pengumpulan data non spasial berupa pengamatan langsung di lokasi penelitian, wawancara dengan pihak terkait dan dokumentasi lapang, serta studi pustaka yang terkait dengan tujuan penelitian.

Klasifikasi Penutupan Lahan

Peta penutupan lahan dibuat dari citra satelit Landsat 7 tanggal 4 Desember 1993 dan citra satelit Landsat 8 tanggal 6 April 2013 dengan komposit band sesuai standar Departemen Kehutanan Indonesia yaitu band combination 6-5-4. Hal ini dikarenakan tampilan dari komposit ini mendekati warna alami, yang disebabkan oleh band combination tersebut mencakup band inframerah sedang, inframerah dekat dan sinar tampak. Sinar inframerah sedang merekam variasi kelembaban (water content) dari vegetasi, inframerah dekat terkait dengan biomassa, sedangkan sinar tampak terkait informasi kehijauan daun (chlorophyll) (Jaya 2010).

Peta penutupan lahan dihasilkan dengan menggunakan klasifikasi terbimbing pada software ERDAS Imagine 9.1. Klasifikasi terbimbing adalah klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analisis (supervised). Kriteria pengelompokan kelas diterapkan berdasarkan penciri kelas (class signature) yang diperoleh melalui pembuatan training area (area contoh) berdasarkan hasil survey lapang. (Aryanti 2011). Training area yang digunakan dalam penelitian yaitu Ruang Terbuka Hijau (RTH), ruang terbangun, dan badan air (Tabel 2). Uji akurasi dilakukan terhadap hasil penutupan lahan yang diperoleh dengan menggunakan occuracy assasement dari sofware ERDAS Imagine 9.1 dengan tingkat akurasi minimal 75.00% (Syartinilia 2004).

Tabel 2 Deskripsi kelas penutupan lahan

Kelas Penutupan Lahan

Ruang Terbangun RTH Badan Air

Band Combination 6,5,4 6,5,4 6,5,4

(23)

13

Analisis Perubahan Penutupan Lahan

Metode yang digunakan pada proses ini adalah Post Classification Comparison yang bertujuan untuk mengetahui perubahan penutupan lahan di lokasi penelitian. Metode ini menggunakan fungsi perkalian antara nilai kelas penutupan lahan tahun 1993 dengan tahun 2013 yang telah di-recode terlebih dahulu (Lampiran 3). Proses tersebut menghasilkan image baru yang mengandung informasi berupa penutupan lahan yang berubah ataupun yang tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tersebut (Gambar 7).

Gambar 7 Matriks Post Classification Comparison

Proses recode masing-masing nilai kelas pada masing-masing peta penutupan lahan dilakukan menggunakan ERDAS Imagine 9.1. Hasil perkalian matriks tersebut menghasilkan kelas penutupan lahan dengan nilai baru. Nilai tersebut menggambarkan perubahan masing-masing kelas dalam periode 1993-2013. Hasil akhir yang didapatkan dari analisis tersebut berupa peta perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun di DAS Ciliwung hilir.

Analisis Distribusi Permukiman

Pada tahap ini dilakukan deteksi distribusi permukiman pada 3 kecamatan terpilih. Analisis spasial dilakukan dengan cara deliniasi kawasan permukiman dengan menggunakan software Google Earth berdasarkan teratur atau tidaknya pola permukiman.Tahap selanjutnya yaitu menginput data hasil deliniasi kawasan permukiman pada software ArcGIS 9.3 sehingga diperoleh peta distribusi permukiman. Pada tahap ini dilakukan proses georeferencing yaitu proses memberikan kordinat peta pada citra yang sesungguhnya sudah planimetris (Jaya, 2010).

Analisis Karakteristik Permukiman

Metode yang digunakan dalam analisis karakteristik permukiman terdiri dari 4 tahapan, yaitu:

1. Penentuan sampel, yaitu menentukan jumlah sampel permukiman masing-masing 1 permukiman terencana dan 1 permukiman tidak terencana di 3 RW pada 3 kecamatan terpilih;

(24)

14

3. Analisis kepadatan permukiman, yaitu membandingkan kepadatan bangunan dalam suatu blok permukiman. Menurut Martono et al. (2013), kepadatan permukiman dirumuskan sebagai berikut :

Kepadatan Permukiman = ∑

∑ 4. Analisis infrastruktur permukiman dengan menggunakan metode skoring, yaitu

pemberian skor pada masing-masing aspek untuk selanjutnya dilakukan penjumlahan guna mengetahui kualitas infrastruktur permukiman di lokasi terpilih. Aspek infrastruktur permukiman meliputi jalan, saluran drainase, air bersih dan pembuangan sampah. Pada tahap ini dilakukan penilaian kondisi infrastruktur oleh ketua RT/RW pada lokasi permukiman terpilih. Penilaian terhadap aspek tersebut dihitung menggunakan metode skoring yang dikemukakan oleh Selamet (1983) dalam Alvino (2014).

Interval Kelas (IK) = Skor Maksimum (SMa) – Skor Minimum (SMi)

Jumlah Kategori Tinggi = SMi + 2IK + 1 sampai SMa

Sedang = SMi + IK + 1 sampai (SMi + 2IK) Rendah = SMi sampai SMi + IK

Tabel 3 Kriteria penilaian infrastruktur permukiman

Aspek Skor

1 (Sangat Buruk) 2 (Buruk) 3 (Baik)

Jalan Kerusakan > 70.00% Kerusakan 50.00-70.00% Kerusakan < 50.00%

Saluran drainase Ketinggian >50.00% Ketinggian 25.00-50.00% Ketinggian <25.00%

Air Bersih Pelayanan <30.00% Pelayanan 30.00-60.00% Pelayanan >60.00%

Pembuangan Sampah

Pelayanan <50.00% Pelayanan 50.00-70.00% Pelayanan >70.00%

Penyusunan Rekomendasi

(25)

15

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Situasional

Letak Geografis

Lokasi penelitian terletak di DAS Ciliwung Hilir, Propinsi DKI Jakarta. Lokasi ini terletak pada koordinat 6o21’0” - 6o90’0” LS dan 106o48’0”- 106o54’0” BT dengan luas wilayah 9 612.99 ha. Adapun DAS Ciliwung Hilir dibatasi oleh: a. Sebelah barat berbatasan dengan DAS Angke;

b. Sebelah timur berbatasan dengan DAS Bekasi; c. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, dan d. Sebelah selatan berbatasan DAS Ciliwung Tengah.

(26)

16

Topografi, Geologi dan Tanah

Berdasarkan keadaan topografinya, lokasi penelitian dikategorikan sebagai daerah datar dan landai. Ketinggian lahan berkisar antara 0.00-10.00 mdpl dari pantai sampai ke banjir kanal. Jenis tanah yang mendominasi pada lokasi penelitian ini yaitu tanah latosol dan regosol. Tanah latosol merupakan tanah yang berwarna merah, berasal dari batuan vulkanik yang bersifat intermediet, memiliki profil tanah yang dalam, msudah menyerap air, mudah mneyerap air, memiliki kandungan bahan organik yang sedang, dan pH netral hingga asam. Tanah Regosol bertekstur kasar, peka terhadap erosi, berwarna keabuan, pH 6.0-7.0, kaya akan unsur hara, dan mudah menyerap air.

Iklim

Berdasarkan data dari stasiun pengukur iklim Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jakarta, suhu tertinggi terjadi pada Bulan September dan suhu udara terendah terjadi pada Bulan April, Agustus, Novmber (Gambar 9). Kelembaban maximum terjadi pada Bulan Desember, sedangkan kelembaban minimum terjadi pada Bulan Juli (Gambar 10). Curah hujan tertinggi terjadi pada Bulan Januari dan curah hujan terendah terjadi pada Bulan Agustus (Gambar 11).

Gambar 9 Suhu udara menurut bulan

(27)

17

Gambar 11 Curah hujan menurut bulan

Kondisi Sosial dan Kependudukan

Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 diketahui bahwa jumlah penduduk di lokasi penelitian sebesar 3 388 610 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 1 376 718 jiwa. Kawasan dengan jumlah penduduk tertinggi hingga terendah yaitu Jakarta Selatan dengan total jumlah penduduk sebesar 1 137 688 jiwa, Jakarta Timur sebesar 907 568 jiwa, Jakarta Pusat sebesar 686 629 jiwa, Jakarta Utara sebesar 546 527 jiwa dan Jakarta Barat sebesar 110 198 jiwa. Kawasan dengan kepadatan penduduk tertinggi hingga terendah yaitu Jakarta pusat sebesar 646 483 jiwa/km2, Jakarta Selatan sebesar 317 834 jiwa/km2, Jakarta Timur sebesar 308 360 jiwa/km2, Jakarta Utara sebesar 54 403 jiwa/km2, dan Jakarta Barat sebesar 49 638 jiwa/km2.

Struktur perekonomian penduduk di lokasi penelitian dapat dilihat berdasarkan status mata pencaharian dimana masyarakat cenderung berprofesi pada sektor non pertanian. Menurut BPS (2013) struktur perekonomian di Jakarta didominasi oleh sektor keuangan, rela estate dan jasa perusahaan (27.75%), sektor perdagangan, hotel, restoran (21.11%), sektor industri pengolahan (15.23%), sektor konstruksi (11.16%), sektor jasa (12.85%), sektor pengangkutan dan komunikasi (10.49%), sektor listrik, gas dan air bersih (0.88%), sektor pertambangan dan penggalian (0.44%) dan sektor pertanian (0.08%). Kondisi tersebut menandakan Kota Jakarta sebagai kota jasa. Hal ini dikarenakan sekitar 72.56% PDRB Jakarta berasal dari sektor (perdagangan,keuangan,jasa dan angkutan), sebesar 26.95% berasal dari sektor industri pengolahan, konstruksi, listrik, gas dan air bersih. Sedangkan sebesar 0.49% berasal dari sektor pertanian.

Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW)

(28)

18

(29)

19

Penutupan Lahan

Penutupan Lahan Tahun 1993

Penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir terdiri dari tiga kelas yaitu ruang terbangun, Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan badan air. Selain itu terdapat dua kelas yang tidak terklasifkasi sebagai penutupan lahan yaitu awan dan bayangan awan, namun kedua kelas tersebut tetap dilibatkan karena berpengaruh terhadap proses dan hasil klasifikasi (Gambar 8). Kelas penutupan lahan yang mendominasi yaitu ruang terbangun sebesar 5 535.90 ha (57.59%) dari total luas wilayah meliputi bangunan (permukiman, kawasan industri, pusat bisnis dan pemerintahan). Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan luas 2 864.88 ha (29.80%) dari total luas wilayah terdiri dari areal hutan kota, taman kota, sawah, lahan kosong, semak belukar, dan jalur hijau jalan. Badan air dengan luas 297.90 ha (3.10%) dari total luas wilayah terdiri dari sungai, danau, dan waduk. Awan dengan luas 288.36 ha (3.00%) dan bayangan awan sebesar 624.78 ha (6.50%). Berdasarkan nilai Indeks Penutupan Lahan (IPL) diketahui bahwa kondisi penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir tergolong buruk (IPL <30.00%). Hal ini tidak sesuai dengan standar IPL dalam suatu DAS, dimana suatu DAS atau Sub-DAS tergolong dalam keadaan baik jika memiliki IPL >75.00% (Sodikin 2012).

Akurasi pembuat (Producer’s Accuracy) diperoleh dengan membagi piksel yang benar dengan jumlah total piksel dari data acuan per kelas. Berdasarkan matriks kesalahan di atas diketahui bahwa nilai akurasi pembuat tertinggi (Producer Accuracy) terdapat pada kelas penutupan lahan ruang terbangun,. sedangkan nilai akurasi pembuat terendah terdapat pada kelas penutupan lahan badan air (Tabel 4). Akurasi pengguna (User Accuracy) diperoleh dengan membagi jumlah piksel yang benar dengan total piksel kelas tersebut. Nilai akurasi pengguna tertinggi terdapat pada kelas penutupan lahan ruang terbangun, sedangkan nilai akurasi pengguna terendah terdapat pada kelas penutupan lahan RTH (Tabel 4). Akurasi umum (Overall Accuracy) diperoleh dengan membagi jumlah piksel yang dikelaskan dengan benar pada seluruh kelas dengan total keseluruhan piksel yang digunakan. Nilai akurasi umum dan akurasi kappa pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4 Matriks penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 1993

Kelas Data Acuan Total

(30)

20

1. Penutupan Lahan Berdasarkan Kecamatan Tahun 1993

Berdasarkan peta penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir pada tahun 1993 diketahui bahwa kecamatan dengan luas ruang terbangun terbesar yaitu Kecamatan Tebet. Sedangkan kecamatan dengan luas ruang terbangun terkecil yaitu Kecamatan Cempaka Putih. Kecamatan dengan luas RTH terbesar yaitu Kecamatan Pasar Rebo. Sedangkan luas RTH terkecil terdapat pada Kecamatan Cempaka Putih. Kecamatan dengan luas badan air terbesar yaitu Kecamatan Tanjung Priok. Sedangkan pada Kecamatan Cempaka Putih dan Tamansari tidak terdapat badan air. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5 Tabel penutupan lahan berdasarkan kecamatan tahun 1993

Kecamatan Jenis Penutupan Lahan (ha)

Ruang Terbangun RTH Badan Air

Cempaka Putih 18.59 1.44 0.00

Pademangan 542.42 324.09 52.67

Tanjung Priok 642.99 182.24 70.42

Berdasarkan hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 1993 diketahui bahwa Kecamatan Tebet merupakan kawasan dengan ruang terbangun terbesar yaitu sebesar 702.26 ha (14.38%). Hal ini disebabkan jumlah penduduk di kecamatan tersebut merupakan yang tergolong tinggi yaitu sebesar 278 523 jiwa, menurut BPS (1994). Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini adalah peruntukkan Kecamatan Tebet sebagai kawasan permukiman di wilayah Jakarta Selatan, menurut RTRW DKI Jakarta tahun 1990-2010. Peruntukkan kawasan sebagai kawasan permukiman berdampak pada semakin meningkatnya ruang terbangun, khususnya permukiman di wilayah tersebut.

(31)

21

(32)

22

Penutupan Lahan DAS Ciliwung Hilir Tahun 2013

Penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 2013 terdiri dari tiga kelas penutupan lahan yaitu ruang terbangun, Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan badan air. Selain itu terdapat dua kelas yang tidak terklasifkasi sebagai penutupan lahan yaitu awan dan bayangan awan (Gambar 17). Ruang terbangun adalah seluruh kawasan yang berupa lahan terbangun yang meliputi kawasan pemukiman, pusat perdagangan, industri, infrastruktur, dan lainnya. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah seluruh hamparan lahan yang terdiri dari tegakan pohon, semak belukar, rumput dan lahan pertanian. Badan air adalah seluruh kawasan dengan kenampakan perairan meliputi sungai, danau, dan waduk.

Gambar 14 Ruang terbangun di lokasi penelitian (Sumber : Survey lapang)

Gambar 15 RTH di lokasi penelitian (Sumber : Survey lapang)

Gambar 16 Badan air di lokasi penelitian (Sumber : Survey lapang)

(33)

23 kawasan industri, pusat bisnis dan pemerintahan). Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan luas 1 159.56 ha (12.06%) dari total luas wilayah terdiri dari areal sawah, tegalan, lahan kosong, semak belukar, taman kota, dan jalur hijau jalan. Badan air dengan luas 469.08 ha (4.88%) dari total luas wilayah terdiri dari sungai, danau, dan waduk yang tersebar di DAS Ciliwung Hilir. Awan dengan luas 458.37 ha (4.77%) dan bayangan awan sebesar 357.12 ha (3.71%). Berdasarkan nilai Indeks Penutupan Lahan (IPL) diketahui bahwa kondisi penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir tergolong buruk (IPL <30.00%). Hal ini tidak sesuai dengan standar IPL dalam suatu DAS, dimana suatu DAS atau Sub-DAS tergolong dalam keadaan baik jika memiliki IPL >75.00% (Sodikin 2012).

Akurasi pembuat (Producer’s Accuracy) diperoleh dengan membagi piksel yang benar dengan jumlah total piksel dari data acuan per kelas. Berdasarkan matriks kesalahan di atas diketahui bahwa nilai akurasi pembuat (Producer Accuracy) tertinggi terdapat pada kelas penutupan lahan ruang terbangun, sedangkan nilai akurasi pembuat terendah terdapat pada kelas penutupan lahan badan air (Tabel 6). Akurasi pengguna (User Accuracy) diperoleh dengan membagi jumlah piksel yang benar dengan total piksel kelas tersebut. Nilai akurasi pengguna tertinggi terdapat pada kelas penutupan lahan RTH dan badan air, sedangkan nilai akurasi pengguna terendah terdapat pada kelas penutupan lahan ruang terbangun (Tabel 6). Akurasi umum (Overall Accuracy) diperoleh dengan membagi jumlah piksel yang dikelaskan dengan benar pada seluruh kelas dengan total keseluruhan piksel yang digunakan. Nilai akurasi umum dan akurasi kappa pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 6 Matriks penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 2013

Kelas Data Acuan Total

awan; UA= User’s Accuracy; PA= Producer’s Accuracy

1. Penutupan Lahan Berdasarkan Kecamatan Tahun 2013

(34)

24

Tabel 7 Tabel penutupan lahan berdasarkan kecamatan di DAS Ciliwung Hilir tahun 2013

Kecamatan Jenis Penutupan Lahan (ha)

Ruang Terbangun RTH Badan Air

Cempaka Putih 17.04 3.35 0.00

Pademangan 581.97 123.45 35.86

Tanjung Priok 352.85 55.81 97.41

Berdasarkan hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 2013, diketahui bahwa Kecamatan Pasar Rebo merupakan kawasan dengan ruang terbangun terbesar yaitu sebesar 950.53 ha (13.26%). Hal ini disebabkan jumlah penduduk yang tergolong besar yaitu sebesar 200 352 jiwa menurut BPS dalam Pasar Rebo dalam Angka (2014). Hal ini disebabkan peruntukkan Kecamatan Pasar Rebo sebagai wilayah pengembangan kawasan permukiman kepadatan rendah. Namun jika dilihat berdasarkan tingkat kepadatan penduduk, Kecamatan Pasar Rebo tergolong wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi (Lampiran 2). Hal ini perlu diperhatikan karena beresiko terhadap daya dukung kawasan sebagai kawasan permukiman kepadatan rendah. Selain itu Kecamatan Pasar Rebo juga diperuntukkan sebagai wilayah pengembangan kawasan perindustrian di wilayah Jakarta Timur menurut RTRW DKI Jakarta tahun 2010-2030. Tingginya aktivitas industri mendorong pertumbuhan penduduk, sehingga berdampak pada semakin meningkatnya ruang terbangun di wilayah tersebut.

(35)

25

(36)

26

Perubahan Penutupan Lahan

Perubahan Penutupan lahan Periode 1993-2013

Dalam kurun waktu 1993-2013 terdapat lahan yang mengalami perubahan dan ada juga yang tetap atau tidak mengalami perubahan (Lampiran 1). Luas terbesar berupa ruang terbangun. Hal ini disebabkan peruntukkan wilayah yang tergolong sebagai wilayah perkotaan. Hal ini terkait dengan fungsi utama kawasan perkotaan sebagai wilayah non pertanian, sehingga menyebabkan tingginya intensitas ruang terbangun di wilayah tersebut. Sementara itu luas lahan yang mengalami perubahan dari yang terbesar hingga terkecil adalah ruang terbangun menjadi RTH sebesar 325.44 ha (12.81%), ruang terbangun menjadi badan air sebesar 121.05 ha (4.76%), RTH menjadi ruang terbangun sebesar 1 780.11 ha (70.07%), RTH menjadi badan air sebesar 189.72 ha (7.47%), dan badan air menjadi ruang terbangun sebesar 70.83 ha (2.79%) dan badan air menjadi RTH sebesar 53.46 ha (2.10%). Jenis penutupan lahan yang mengalami perubahan terbesar berupa RTH menjadi ruang terbangun. Hal ini disebabkan meningkatnya jumlah penduduk yang berdampak pada tingginya laju perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun di wilayah tersebut.

Perubahan Penutupan lahan dari RTH menjadi Ruang Terbangun

Berdasarkan peta perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun periode 1993-2013, diketahui bahwa dalam kurun waktu tersebut hampir seluruh wilayah di lokasi penelitian mengalami perubahan. Perubahan lahan terutama terjadi pada RTH yang beralih fungsi menjadi ruang terbangun sebesar 1 780.11 ha (70.07%). Gambar di bawah ini menunjukkan persentase luas kawasan yang mengalami perubahan penutupan lahan RTH menjadi ruang terbangun dari yang terkecil hingga terbesar berdasarkan kecamatan.

(37)

27 Berdasarkan hasil peta perubahan penutupan lahan diketahui bahwa Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu merupakan 3 kecamatan dengan perubahan RTH ke ruang terbangun yang paling tinggi. Pada Kecamatan Pasar Rebo telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar 589.20 ha (33.08%). Dari total luas perubahan tersebut kawasan dengan luas perubahan lahan terbesar di Kecamatan Pasar Rebo yaitu Kelurahan Pekayon sebesar 196.27 ha (33.31%). Pada Kecamatan Jagakarsa telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar 333.08 ha (18,70%). Dari total luas perubahan tersebut kawasan dengan luas perubahan lahan terbesar di Kecamatan Jagakarsa yaitu Kelurahan Tanjung Barat sebesar 179.84 ha (53.99%). Pada Kecamatan Pasar Minggu telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar 195.07 ha (10.95%). Dari total luas perubahan tersebut kawasan dengan luas perubahan lahan terbesar di Kecamatan Pasar Minggu yaitu Kelurahan Pejaten Timur sebesar 166.83 ha (85.53%).

Perubahan lahan terutama terjadi di Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu, terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk dapat dilihat berdasarkan data kependudukan di Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu pada tahun 1993, 2000, 2010, 2011, 2012 dan 2013 dari BPS DKI Jakarta. Pada tahun 1993 Kecamatan Pasar Rebo tercatat memiliki jumlah penduduk sebesar 109 252 jiwa, pada tahun 2000 berjumlah 150 120 jiwa, pada tahun 2010 berjumlah 190 851 jiwa, pada tahun 2011 berjumlah 191 947 jiwa, pada tahun 2012 berjumlah 197 935 jiwa dan pada tahun 2013 berjumlah 200 352 jiwa. Pada tahun 1993 Kecamatan Jagakarsa tercatat memiliki jumlah penduduk sebesar 92 957 jiwa, pada tahun 2000 berjumlah 120 178 jiwa, pada tahun 2010 berjumlah 190 851 jiwa, pada tahun 2011 berjumlah 191 947 jiwa, pada tahun 2012 berjumlah 197 935 jiwa, dan pada tahun 2013 berjumlah 165 371 jiwa. Pada tahun 1993 Kecamatan Pasar Minggu tercatat memiliki jumlah penduduk sebesar 78 296 jiwa, pada tahun 2000 berjumlah 76 314 jiwa, pada tahun 2010 berjumlah 89 829 jiwa, pada tahun 2011 berjumlah 95 910 jiwa, pada tahun 2012 berjumlah 96 296 jiwa dan pada tahun 2013 berjumlah 96 949 jiwa.

Besarnya jumlah penduduk berdampak pada tingginya kepadatan penduduk di Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu (Lampiran 2). Menurut Paimin et al. (2012) dalam Wahyuni (2013), salah satu parameter yang mencerminkan tekanan penduduk terhadap suatu lahan atau wilayah adalah kepadatan penduduk. Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk, maka semakin tinggi pula tekanan terhadap lahan. Oleh karena itu tingkat kepadatan penduduk di ketiga wilayah tersebut perlu diperhatikan karena akan beresiko pada meningkatnya perubahan lahan, sehingga menyebabkan terganggunya fungsi ekologis ketiga wilayah tersebut sebagai daerah aliran sungai.

(38)

2010-28

2030. Selain itu menurut Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Jakarta tahun 2014, Kecamatan Pasar Rebo termasuk zona permukiman kepadatan sedang-tinggi (Lampiran 3). Hal ini dapat dilihat dari kawasan permukiman kepadatan sedang yang mendominasi wilayah ini, khususnya di Kelurahan Pekayon. Pada periode 1993-2013 telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar 38.69% di Kecamatan Jagakarsa. Perubahan lahan tersebut tidak sesuai dengan pengembangan zona wilayah di Kecamatan Jagakarsa sebagai wilayah pengembangan kawasan budidaya pertanian dan kawasan terbuka hijau dalam RTRW DKI Jakarta Tahun 1990-2010 dan RTRW DKI Jakarta tahun 2010-2030. Selain itu menurut Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Jakarta tahun 2014, Kecamatan Jagakarsa termasuk zona kawasan permukiman kepadatan sedang-tinggi (Lampiran 4). Hal ini dapat dilihat dari kawasan permukiman kepadatan sedang-tinggi yang mendominasi wilayah ini, khususnya di Kelurahan Tanjung Barat. Pada periode 1993-2013 telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar 35.82% di Kecamatan Pasar Minggu. Perubahan lahan tersebut tidak sesuai dengan pengembangan zona wilayah di Kecamatan Pasar Minggu sebagai kawasan budidaya pertanian, kawasan resapan air dan kawasan terbuka hijau dalam RTRW DKI Jakarta Tahun 1990-2010 dan RTRW DKI Jakarta tahun 2010-2030. Selain itu menurut Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Jakarta tahun 2014, Kecamatan Pasar Minggu termasuk zona permukiman kepadatan sedang-tinggi (Lampiran 5). Hal ini dapat dilihat dari kawasan permukiman kepadatan sedang-tinggi yang mendominasi wilayah ini, khususnya di Kelurahan Pejaten Timur. Perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun pada periode 1993-2013 yang tidak sesuai dengan arahan RTRW sebagai kawasan budidaya pertanian, kawasan resapan air, dan kawasan RTH perlu diperhatikan karena berpotensi menimbulkan perubahan lahan menjadi ruang terbangun yang semakin luas. Hal ini akan berdampak pada terganggunya fungsi ekologis kawasan tersebut sebagai daerah aliran sungai. Selain itu RDTR yang ada saat ini belum mengimplementasikan RTRW sebagai kawasan budidaya pertanian, kawasan resapan air, dan kawasan RTH, oleh karena itu perlu adanya evaluasi lebih lanjut terhadap RDTR yang ada khususnya tentang rencana detail RTH. Hal ini perlu diperhatikan agar tercipta keselarasan antara RDTR dan RTRW dalam hal rencana RTH di ketiga kecamatan terpilih.

Karakteristik Permukiman

(39)

29 Berdasarkan hasil analisis perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun, diperoleh 3 wilayah yang paling banyak mengalami perubahan terutama menjadi kawasan permukiman (Kelurahan Pekayon, Tanjung Barat, dan Pejaten Timur). Saat ini ketiga wilayah tersebut didominasi oleh permukiman tidak terencana sebesar 236.52 ha (87.23%). Sedangkan permukiman terencana sebesar 30.96 ha (12.77%).Berdasarkan hasil analisis perubahan penutupan lahan, diperoleh sampel permukiman yaitu permukiman tidak terencana yang berlokasi di RW 02 (Kelurahan Pekayon), RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat), dan RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur). Sedangkan pada permukiman terencana diperoleh sampel yaitu Komplek Tanjung Mas Estate (Kelurahan Tanjung Barat) dan Komplek Batu Permata (Kelurahan Pejaten Timur) (Lampiran 6).

Karakteristik Permukiman Tidak Terencana

1. Pola permukiman

Berdasarkan hasil analisis pola permukiman dengan menggunakan software Google Earth diketahui bahwa di ketiga lokasi yaitu pada RW 02 (Kelurahan Pekayon), RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) dan RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur) memiliki pola permukiman yang linier (memanjang). Bangunan rumah pada umumnya berorientasi pada jalan dan sebagian besar bangunan rumah merupakan bangunan permanen.

Gambar 19 Pola permukiman tidak terencana di lokasi terpilih

Pola permukiman pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih memiliki pola permukiman linier (memanjang) dan berorientasi pada jalan. Pada pola permukiman ini unit-unit rumah dibangun secara memanjang mengikuti arah jalan. Pola permukiman memanjang pada jalan terutama dipengaruhi oleh jaringan jalan yang telah ada. Hal ini terkait dengan kemudahan akses yang diperoleh jika membangun permukiman di sepanjang jalan. Selain itu topografi juga mempengaruhi pola permukiman memanjang. Hal ini dikarenakan topografi kawasan di lokasi terpilih relatif datar, sehingga memungkinkan untuk membangun permukiman di kawasan tersebut.

2. Ukuran permukiman

(40)

30

tergolong ke dalam permukiman sangat besar. Hal ini dikarenakan pada permukiman tidak terencana yang terdapat di 3 lokasi terpilih memiliki jumlah penduduk yang sangat besar. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut akibat lokasi permukiman yang berada di wilayah semi perkotaan. Hal ini menyebabkan harga tanah di wilayah tersebut lebih murah dan berdampak pada banyaknya masyarakat yang berdomisili di wilayah tersebut.

Selain itu kemudahan dalam mengakses pusat kegiatan dan pelayanan juga mempengaruhi ukuran permukiman. Hal ini dikarenakan kemudahan mengakses pusat kegiatan dan pelayanan merupakan faktor penting dalam menunjang keberlangsungan permukiman. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Nomor 32 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun. Dalam PERMEN tersebut menyatakan bahwa salah satu dasar pemilihan lokasi permukiman yaitu kemudahan dalam mengakses pusat kegiatan dan pelayanan (Emawati 2011). Pada permukiman tidak terencana di Kelurahan Pekayon misalnya, permukiman banyak tumbuh terutama di RW 02. Hal ini dikarenakan kawasan tersebut dekat dengan pusat pemerintahan yaitu Kantor Kelurahan Pekayon dan Kalisari. Pada permukiman tidak terencana di RW 05 Kelurahan Pejaten Timur dan RW 01 Kelurahan Tanjung Barat, kawasan permukiman banyak tumbuh dikarenakan kawasan tersebut dekat dengan pusat perkantoran (TB. Simatupang, Pejaten) dan sarana transportasi (Terminal Pasar Minggu, Stasiun Pasar Minggu, dan Stasiun Tanjung Barat). Hal ini menandakan bahwa kemudahan dalam mengakses pusat kegiatan menjadi salah satu faktor pemicu pertumbuhan penduduk dan bedampak pada kenekaragaman ukuran permukiman di suatu wilayah.

3. Kepadatan permukiman

Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, kepadatan permukiman dibedakan menjadi kepadatan rendah (<40.00%), kepadatan sedang (40.00-60.00%), dan kepadatan tinggi (>60.00%). Berdasarkan hasil analisis kepadatan permukiman diketahui bahwa pada RW 02 (Kelurahan Pekayon) memiliki kepadatan sebesar 51.65% dan tergolong ke dalam kepadatan sedang. Pada RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) memiliki kepadatan sebesar 39.53% dan tergolong ke dalam kepadatan rendah. Pada RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur) memiliki kepadatan sebesar 49.98% dan tergolong ke dalam kepadatan sedang.

(41)

31 KDB sedang-tinggi menurut RDTR Kecamatan Pasar Minggu, sehingga menyebabkan tingkat kepadatan permukiman di kawasan ini relatif sedang.

4. Infrastruktur permukiman

Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, terdapat beberapa aspek penilaian yang digunakan sebagai tolak ukur dalam menentukan kualitas infrastruktur permukiman. Aspek yang digunakan dalam penilaian kualitas infrastruktur permukiman yaitu jalan, saluran drainase, air bersih dan pembuangan sampah. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kondisi infrastruktur di ketiga lokasi terpilih tergolong baik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai total seluruh aspek (Tabel 8).

Tabel 8 Penilaian infrastruktur permukiman pada permukiman tidak terencana

Sampel Permukiman

Keterangan: Nilai total 4-7 = Rendah, 8-10= Sedang, 11-12= Tinggi

4.1 Jalan

Kondisi jalan pada ketiga lokasi terpilih yaitu RW 02 (Kelurahan Pekayon), RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) dan RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur), tergolong ke dalam kondisi yang baik (Gambar 18). Hal ini berdasarkan hasil penilaian 3 narasumber (Ketua RW lokasi terpilih) yang memberikan nilai skor 3 pada penilaian kondisi jalan. Hal ini dikarenakan tingkat kerusakan jalan di lokasi terpilih <50.00%. Pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih diketahui bahwa pada umunya jalan terdiri dari jalan lokal sekunder I, jalan lokal sekunder II dan jalan lokal sekunder III dengan lebar jalan berkisar antara 1.00-5.00 m. Selain itu diketahui bahwa pada ketiga lokasi terpilih tidak terdapat bahu jalan.

Gambar 20 Kondisi eksisiting jalan pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih

(42)

32

2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Lebar jalan lokal sekunder III di ketiga lokasi terpilih berkisar antara 1.00-2.50 m. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria lebar jalan lokal sekunder III minimum yaitu 4.00-5.50 m, menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Namun baik pada jalan lokal sekunder maupun jalan lingkungan tidak terdapat bahu jalan. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria jalan lokal sekunder dan jalan lingkungan yang diharuskan memiliki bahu jalan menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Lebar jalan yang tidak memenuhi standar dan tidak terdapatnya bahu jalan disebabkan padatnya bangunan permukiman di lokasi terpilih sehingga tidak memungkinkan dilakukan pelebaran jalan.

Dengan demikian diketahui bahwa sistem jaringan jalan pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih terdiri dari jalan lokal sekunder I, jalan lokal sekunder II dan jalan lokal sekunder III. Lebar jalan lokal sekunder I, II dan III pada permukiman tidak terencana tidak sesuai dengan kriteria yang ada. Bahu jalan merupakan bagian dari ruang manfaat jalan yang berfungsi sebagai fasilitas bagi pejalan kaki. Keberadaan bahu jalan dalam suatu permukiman sangat penting karena merupakan fasilitas bagi pejalan kaki. Oleh karena itu keberadaan bahu jalan diperlukan dalam menujang keberlangsungan permukiman. Dengan demikian perlu adanya pengawasan terhadap implementasi peraturan dalam pembangunan infrastruktur jalan khususnya keberadaan bahu jalan pada permukiman.

4.2 Saluran Drainase

Saluran drainase merupakan salah satu kelengkapan fisik dasar yang harus dimiliki dalam suatu permukiman. Secara umum drainase diartikan suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan, sehingga fungsi kawasan tersebut tidak terganggu (Suripin 2004 dalam Mursitaningsih 2009). Sistem saluran drainase di lokasi terpilih yaitu saluran mikro berupa saluran di sepanjang sisi jalan dan saluran di sekitar bangunan. Adapun saluran drainase berbentuk saluran drainase terbuka. Saluran drainase terbuka adalah saluran yang permukaan air nya terpengaruh dengan udara luar (atmosfer). Saluran ini biasanya digunakan untuk mengalirkan air hujan atau air limbah yang tidak mengganggu kesehatan lingkungan dan keindahan.

(43)

33 mengendap pada saluran drainase menyebabkan rendahnya tingginya genangan air. Hal ini perlu diperhatikan karena beresiko menyebabkan banjir di kawasan tersebut. Oleh karena itu perlu adanya revitalisasi saluran drainase, guna mencegah terjadinya banjir di kawasan tersebut. Hal yang dapat dilakukan yaitu perbaikan sistem drainase dengan pendekatan Sustainable Urban Drainage System (SUDS). Menurut Dinas PU, Sustainable Urban Drainage System (SUDS) atau sistem drainase berkelanjutan adalah teknik pengelolaan air yang berfokus pada pengendalian aliran air permukaan dengan prinsip menampung dan meresapkan air. Adapun cara kerjanya yaitu, air hujan yang jatuh ditahan melalui bangunan resapan, baik buatan maupun alamiah seperti kolam tandon, sumur-sumur resapan, biopori, dan lainnya, untuk selanjutnya diresapkan ke dalam tanah. Oleh karena itu perlu adanya peran serta masyarakat dalam penerapan Sustainable Urban Drainage System (SUDS).

Gambar 21 Saluran drainase pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih

4.3 Air Bersih

Air bersih merupakan salah satu kelengkapan dasar fisik dalam suatu permukiman dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Pada ketiga lokasi terpilih yaitu RW 02 (Kelurahan Pekayon), RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) dan RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur) pelayanan air bersih tergolong baik. Hal ini berdasarkan hasil penilaian 3 narasumber (Ketua RW lokasi terpilih) yang memberikan nilai skor 3 pada penilaian pelayanan air bersih. Menurut narasumber pelayanan air bersih pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih tergolong dalam kondisi yang baik. Hal ini dikarenakan menurut narasumber hampir seluruh unit rumah sudah mendapatkan pelayanan air bersih (90.00%) yang berasal dari air tanah.

4.4 Pembuangan Sampah

(44)

34

gerobak sampah berkapasitas volume sampah ± 1 m3. Mekanisme pengangkutan sampah di kawasan permukiman tidak terencana di lokasi terpilih dilakukan dengan cara diangkut oleh petugas kebersihan, kemudian dikumpulkan di TPS untuk selanjutnya di buang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Bantar Gebang.

Gambar 22 Sarana pembuangan sampah pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih

Karakteristik Permukiman Terencana

1. Pola permukiman

Berdasarkan hasil analisis pola permukiman dengan menggunakan software Google Earth diketahui bahwa pada permukiman terencana di lokasi terpilih memiliki pola permukiman yang berbeda. Pada Komplek Tanjung Mas Estate memiliki pola konvensional. Pada Komplek Batu Permata memilki pola cluster. Bangunan rumah pada umumnya berorientasi pada jalan dan sebagian besar bangunan rumah merupakan bangunan permanen.

Gambar 23 Pola permukiman terencana di lokasi terpilih

(45)

35 kepadatan bangunan yang tinggi. Hal ini terlihat dari jumlah unit bangunan di komplek Batu Permata yang hanya berjumlah 22 unit. Dengan demikian diketahui bahwa faktor luas lahan mempengaruhi pola permukiman di Komplek Batu Permata.

2. Ukuran permukiman

Ukuran permukiman dibedakan menjadi permukiman tunggal (satu rumah), permukiman kecil (0-500 jiwa), permukiman sedang ( 2 000 jiwa), permukiman besar (2 000-5 000 jiwa) dan permukiman sangat besar (>5 000 jiwa) (Mulyana et al. 2007). Berdasarkan hasil hasil wawancara dengan Ketua RT setempat diketahui bahwa pada Komplek Tanjung Mas Estate tergolong ke dalam permukiman berukuran sedang. Hal ini dikarenakan komplek tersebut memiliki jumlah penduduk sebesar 1 719 jiwa. Sedangkan pada Komplek Batu Permata tergolong ke dalam permukiman berukuran kecil. Hal ini dikarenakan komplek tersebut memiliki jumlah penduduk sebesar 96 jiwa.

Permukiman terencana di lokasi terpilih dapat dikategorikan sebagai permukiman kecil dan sedang. Pada Komplek Tanjung Mas Estate tergolong ke dalam permukiman ukuran sedang. Kawasan perumahan ini dihuni sekitar 1 719 jiwa yang terdiri dari 480 KK. Hal ini disebabkan kawasan Komplek Tanjung Mas Estate tergolong sebagai wisma besar. Hal ini dapat dilihat berdasarkan luas kavling rata-rata >400 m2. Kawasan Komplek Tanjung Mas Estate yang tergolong sebagai wisma besar, menyebabkan tingginya harga lahan dan unit rumah di kawasan tersebut dan berdampak pada jumlah penduduk di dalamnya. Sedangkan Pada Komplek Batu Permata tergolong ke dalam permukiman ukuran kecil. Kawasan perumahan ini dihuni sekitar 96 jiwa yang terdiri dari 22 KK. Hal ini disebabkan kawasan Komplek Batu Permata tergolong sebagai wisma sedang. Hal ini dapat dilihat berdasarkan luas kavling rata-rata >200 m2. Kawasan Komplek Batu Permata sebagai wisma sedang menyebabkan tingginya harga lahan dan unit rumah di kawasan tersebut dan berdampak pada jumlah penduduk di dalamnya. Selain itu juga disebabkan unit rumah yang terbatas akibat keterbatasan luas Komplek Batu Permata.

3. Kepadatan permukiman

Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, kepadatan permukiman dibedakan menjadi kepadatan rendah (<40.00%), kepadatan sedang (40.00-60.00%), dan kepadatan tinggi (>60.00%). Berdasarkan hasil analisis kepadatan permukiman diketahui bahwa pada Komplek Tanjung Mas Estate memiliki kepadatan sebesar 30.95% dan tergolong ke dalam kepadatan rendah. Pada Komplek Batu Permata memiliki kepadatan sebesar 45.75% dan tergolong ke dalam kepadatan sedang.

(46)

36

RDTR Kecamatan Pasar Minggu, sehingga menyebabkan tingkat kepadatan permukiman di kawasan ini masih tergolong sedang.

5. Infrastruktur permukiman

Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, terdapat beberapa aspek penilaian yang digunakan sebagai tolak ukur dalam menentukan kualitas infrastruktur permukiman. Aspek yang digunakan dalam penilaian kualitas infrastruktur permukiman yaitu jalan, saluran drainase, air bersih dan pembuangan sampah. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kondisi infrastruktur di ketiga lokasi terpilih tergolong baik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai total seluruh aspek (Tabel 9). Penilaian infrastruktur permukiman dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 9 Penilaian infrastruktur permukiman pada permukiman terencana Sampel

Keterangan: Nilai total 4-7 = Rendah, 8-10= Sedang, 11-12= Tinggi

4.1 Jalan

Kondisi jalan pada lokasi terpilih (Komplek Tanjung Mas Estate dan Komplek Batu Permata) tergolong ke dalam kondisi yang baik (Gambar 22). Hal ini berdasarkan hasil penilaian 2 narasumber (Ketua RT lokasi terpilih) yang memberikan nilai skor 3 pada penilaian kondisi jalan. Hal ini dikarenakan tingkat kerusakan di lokasi terpilih <50.00%. Selain itu diketahui bahwa jalan terdiri dari jalan lokal sekunder I dan jalan lokal sekunder II, dengan lebar jalan sebesar 3.50-7.00 m dan permukaan jalan umumnya sudah beraspal. Sedangkan pada Komplek Batu Permata diketahui bahwa jalan terdiri dari jalan lokal sekunder I dengan lebar yaitu berkisar antara 3.50-4.00 m, dan pada umumnya juga sudah beraspal. Selain itu diketahui bahwa pada kedua lokasi terpilih tidak terdapat bahu jalan.

Gambar 24 Kondisi eksisiting jalan pada permukiman terencana di lokasi terpilih Pada Komplek Tanjung Mas Estate, jalan terdiri dari jalan lokal sekunder I

Gambar

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Gambar 2 pola permukiman terencana konvensional
Gambar 5  Lokasi penelitian (DAS Ciliwung Hilir)
Tabel 1   Jenis, bentuk, sumber data dan kegunaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebagaimana tujuan dari penelitian ini adalah membuat Peta Ruang Terbuka Hijau Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan tahun 1993 dan 2009, mengetahui perubahan RTH di

Hasil pengujian menunjukkan bahwa untuk dokumen yang sama terdapat kemiripan 100%, untuk dokumen yang berbeda dihasilkan prosentase kemiripan yang berbeda-beda,

Dengan kondisi existing yang ada pada Gardu Induk 150 kV Ngimbang-Lamongan dimana tinggi kawat tanah adalah 18 m dengan jarak pisah antara dua kawat tanah adalah 14 m maka

Selain dapat digunakan untuk mengaktifkan o�ce, O�ce 2016 KMS Activator Ultimate ini juga dapat anda gunakan untuk mengaktifkan semua jenis

Dengan menggunakan teknik metode penelitian observasi, wawancara dan angket, diharapkan mendapatkan hasil data yang akurat sehingga tidak salah langkah dalam menentukan strategi

ie ye atau ikat celup pada dasarnya mempunyai pengertian yang sama yaitu menghias kain dengan cara diikat atau dalam bahasa &lt;a)a dijumput sedikit, dengan tali atau

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perusahaan terkait, dalam hal ini Telkomcel Timor Leste untuk mempertahankan karyawan dengan

Setelah dilakukan perbaikan pembelajaran dengan hasil refleksi pada siklus I, diperoleh hasil belajar siswa pada materi cara perawatan wajah dan cara merias wajah