• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Karakteristik Individu, Sanitasi Lingkungan Rumah dan Perilaku terhadap Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Karakteristik Individu, Sanitasi Lingkungan Rumah dan Perilaku terhadap Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU, SANITASI LINGKUNGAN RUMAH, DAN PERILAKU TERHADAP KEJADIAN TB PARU

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PADANGMATINGGI KOTA PADANGSIDIMPUAN

TAHUN 2014

Skripsi

Oleh

NURMALA SYARI LUBIS NIM.121021065

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU, SANITASI LINGKUNGAN RUMAH, DAN PERILAKU TERHADAP KEJADIAN TB PARU

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PADANGMATINGGI KOTA PADANGSIDIMPUAN

TAHUN 2014

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

NURMALA SYARI LUBIS NIM.121021065

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi : HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU

SANITASI LINGKUNGAN RUMAH DAN

PERILAKU TERHADAP KEJADIAN TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PADANG

MATINGGI KOTA PADANGSIDIMPUAN

TAHUN 2014

Nama Mahasiswa : NURMALA SYARI LUBIS

Nomor Induk Mahasiswa : 121021065

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Peminatan : Kesehatan Lingkungan

Tanggal Lulus : 28 Januari 2015

Disahkan Oleh : Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Surya Dharma, MPH Dr.dr. Wirsal Hasan, MPH

NIP. 195804041987021001 NIP. 194911191987011001

(4)

ABSTRAK

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan karakteristik individu, sanitasi lingkungan rumah dan perilaku terhadap kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014.

Jenis penelitian yang digunakan adalah desain kasus kontrol dengan sampel terdiri dari 49 sampel kasus, yaitu responden penderita TB Paru yang tercatat dalam buku register TB Paru, dan 49 sampel kontrol yaitu responden yang merupakan tetangga dari penderita TB Paru yang matching dengan kasus dalam hal umur dan jenis kelamin.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penghasilan keluarga, status gizi responden, ventilasi rumah dan pencahayaan alami rumah. Hasil uji chi-square menunjukkan variabel penghasilan keluarga (p=0,001 OR=5,339), status gizi responden (p=0,001 OR=13,473), ventilasi rumah (p=0,001 OR=0,105), pencahayaan alami rumah (p=0,001 OR=0,192).

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan antara penghasilan keluarga, status gizi responden, ventilasi rumah, dan pencahayaan alami rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan. Disarankan bagi petugas Puskesmas Padangmatinggi untuk meningkatkan upaya promosi kesehatan khususnya tentang gizi dan sanitasi lingkungan rumah dan melakukan pemantauan fisik rumah secara berkala untuk mencegah penularan serumah terhadap kejadian TB paru.

(5)

ABSTRACT

Tuberculosis is a transmitted infectious disease caused by Mycobacterium Tuberculosis. In most cases, TB attacks the lungs; however, it also attacks organs. TB infection spread through the air, such as through droplet inhalation which contains bacil tubercle microbes derived from infectious person.

This study purpose is to analyze relationship among individual characteristic, home environmental sanitation and behavior in the incidence of pulmonary TB at Padangmatinggi health center working area in Padangsidimpuan city 2014.

Types the research used is case control design with samples consist of 49 samples of case, who suffered from pulmonary TB written in pulmonary TB book register and 49 samples control the respondent constituted the neighbours of the pulmonary TB sufferer with the matching by the case in terms of age and gender. The result of this research shows significant relationship among family income, respondent nutritional status, home ventilation and home natural exposure. Based on chi-square test it is known family income (p=0,001 OR=5,339), respondent nutritional status (p=0,001 OR=13,473), home ventilation (p=0,001 OR=0,105), home natural exposure (p=0,001 OR=0.192).

The conclusion of this research is that there is relationship among family income, respondent nutritional status, home ventilation and home natural exposure with pulmonary TB incidence in Padangmatinggi health center working area at Padangsidimpuan city. It is recommended that Padangmatinggi health center employe improve health promotion effort, specially about nutrition and home environment sanitation as well as home sanitation monitoring to prevent transmission of pulmonary TB at home.

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Nurmala Syari Lubis

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 28 Oktober 1990

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Menikah

Anak ke : 1 dari 3 bersaudara

Alamat Rumah : Jl. ST.Batang Ari Harahap Gg. H.Oloan Kelurahan Padangmatinggi Kecamatan

Padangsidimpuan Selatan, Kota Padangsidimpuan, Provinsi Sumatera Utara

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. Tahun 1996-2002 : SD Negeri 2 Padangsidimpuan

2. Tahun 2002-2005 : SMP Negeri 5 Padangsidimpuan

3. Tahun 2005-2008 : SMA Negeri 3 Padangsidimpuan

4. Tahun 2008-2011 : D3 Keperawatan USU

5. Tahun 2012-2014 : Fakultas Kesehatan Massyarakat Universitas

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat

rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “

Hubungan Karakteristik Individu, Sanitasi Lingkungan Rumah dan Perilaku terhadap Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014”.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak memperoleh bimbingan,

bantuan, dan dukungan dari beberapa pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Ir. Evi Naria, M.Kes, selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, serta Dosen Penguji

II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan

kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

3. Bapak dr. Surya Dharma, MPH, sebagai Pembimbing I yang telah banyak

membantu dan meluangkan waktu membimbing dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Dr.dr. Wirsal Hasan, MPH, sebagai Pembimbing II yang telah banyak

membantu dan meluangkan waktu membimbing dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Ibu Prof.Dr.Dra. Irnawati Marsaulina, MS, sebagai Penguji I yang telah

memberikan bimbingan, saran, serta masukan kepada penulis dalam perbaikan

(8)

6. Ibu dr. Rusmalawaty, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing Akademik.

7. Seluruh Dosen serta Staf Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, khususnya Dosen

dan Staf Departemen Kesehatan Lingkungan yang telah memberikan bekal ilmu

kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

8. Ibu dr.Pajariah selaku Kepala Puskesmas Padangmatinggi Kota

Padangsidimpuan beserta staf yang telah membantu dan memberi izin melakukan

penelitian.

9. Kepeda Kesbangpol, Dinas Kesehatan, Lurah yang ada di Wilayah Kerja

Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan yang telah memberikan

bahan sebagai referensi dan izin untuk melakukan penelitian.

10. Teristimewa untuk orang tuaku tercinta, Ayahanda “Mahlil Lubis” dan Ibunda

“Yetti Arnila” yang telah memberikan dukungan, doa, dan segalanya kepada

penulis. Kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis tidak akan pernah

tergantikan dan terlupakan.

11. Buat adik-adikku tersayang “Armi Avriyanti Lubis” dan Arni Ariyanti Lubis” yang memberikan dukungan dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini.

12. Buat “ Rachmat Saleh Hasibuan “ yang telah memberikan dukungan dan doa.

13. Buat sahabat-sahabatku “ Destari umairo siregar, Devi eni pohan, Marlina sari, Rizki sarjani, Mira, Kak Nur, Nisa, Fitri, dan semua teman-teman FKM yang

(9)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu

penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhirnya penulis

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2015

Penulis,

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Persetujuan. ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Riwayat Hidup Penulis ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... xi

Daftar Lampiran ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN ... .... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Umum ... 6

1.3.2 Tujuan Khusus ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2. TINJAUANPUSTAKA ... 8

2.1 Tuberkulosis Paru ... 8

2.1.1 Definisi ... 8

2.1.2 Penyebab Tuberkulosis ... 8

2.1.3 Gejala Tuberkulosis ... 9

2.1.4 Cara Penularan ... 10

2.1.5 Penemuan Pasien Tuberkulosis ... 11

2.1.6 Pemeriksaan Tuberkulosis Paru ... 12

2.1.7 Upaya Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Tuberkulosis ... 14

2.2 Pengaruh Karakteristik Individu terhadap Penyakit Tuberkulosis Paru ... 16

2.2.1 Umur ... 16

2.2.2 Jenis Kelamin ... 17

2.2.3 Status Gizi ... 17

2.2.4 Status Ekonomi ... 19

2.2.5 Pekerjaan ... 20

2.2.6 Status Imunisasi BCG ... 21

2.3 Pengaruh Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Penyakit Tuberkulosis Paru ... 21

2.3.1 Rumah Sehat ... 21

(11)

2.3.3 Kepadatan Hunian ... 24

2.3.4 Lantai Rumah ... 25

2.3.6 Ventilasi ... 26

2.3.7 Pencahayaan ... 27

2.4 Pengaruh Perilaku terhadap Penyakit Tuberkulosis Paru ... 29

2.4.1 Pengetahuan (knowledge) ... 31

2.4.2 Sikap (attitude) ... 33

2.4.3 Praktik atau Tindakan (practice) ... 35

2.5 Kerangka Konsep ... 36

2.6 Hipotesis Penelitian ... 37

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 38

3.1 Jenis Penelitian……… 38

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 38

3.2.2 Waktu Penelitian ... 38

3.3 Populasi dan Sampel... 38

3.3.1 Populasi... 38

3.3.2 Sampel ... 39

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 41

3.4.1 Data Primer ... 41

3.4.2 Data Sekunder ... 41

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 41

3.5.1 Variabel Penelitian ... 41

3.5.2 Definisi Operasional ... 42

3.6 Metode Pengukuran ... 43

3.6.1 Pengukuran Pengetahuan ... 43

3.6.2 Pengukuran Sikap ... 44

3.6.3 Pengukuran Tindakan ... 44

3.6.4 Pengukuran Sanitasi Lingkungan Rumah ... 45

3.6.5 Pengukuran Karakteristik Individu ... 47

3.7 Metode Pengolahan Data dan Analisa Data ... 48

3.7.1 Pengolahan Data ... 48

3.7.2 Analisa Data ... 48

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 49

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 49

4.2 Analisis Univariat ... 50

4.2.1 Karakteristik Responden ... 50

4.2.1.1 Jenis Kelamin ... 50

4.2.1.2 Kelompok Umur ... 51

4.2.1.3 Penghasilan Keluarga ... 52

4.2.1.4 Pekerjaan Responden ... 53

4.2.1.5 Status Gizi Responden ... 53

(12)

4.2.2.1 Pengetahuan Responden ... 54

4.2.2.2 Sikap Responden ... 57

4.2.2.3 Tindakan Responden ... 60

4.2.3 Kondisi Lingkungan Rumah Responden ... 63

4.2.3.1 Kepadatan Hunian Kamar Tidur ... 63

4.2.3.2 Ventilasi Rumah Responden ... 64

4.2.3.3 Lantai Rumah Responden ... 65

4.2.3.4 Pencahayaan Alami Rumah ... 66

4.3 Analisis Bivariat ... 67

4.3.1 Hasil Analisa Bivariat Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 ... 67

BAB 5. PEMBAHASAN ... 72

5.1 Karakteristik Responden ... 72

5.2 Hubungan Penghasilan Keluarga dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 75

5.3 Hubungan Status Gizi Responden dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 77

5.4 Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 79

5.5 Hubungan Kepadatan Hunian Kamar Tidur dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 80

5.6 Hubungan Ventilasi Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 81

5.7 Hubungan Lantai Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 84

5.8 Hubungan Pencahayaan Alami Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 86

5.9 Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 89

5.10 Hubungan Sikap dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 91

5.11 Hubungan Tindakan dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 92

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 95

6.1 Kesimpulan ... 95

6.2 Saran ... 95

(13)

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kategori Ambang Batas Masa Tubuh (IMT) untuk Indonesia

Tabel 4.1. Distribusi Kelurahan di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Tahun 2013

Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di Wilayah Kerja

Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Penghasilan Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi Responden di Wilayah

Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

Tabel 4.7. Distribusi Pengetahuan Responden tentang Tuberkulosis Paru

Tabel 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan terhadap Kejadian TB

Paru dan Sanitasi Lingkungan Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

Tabel 4.9 Distribusi sikap responden tentang Tuberkulosis Paru

Tabel 4.10. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap tentang Kejadian TB Paru Sanitasi Lingkungan Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

Tabel 4.11 Distribusi tindakan responden tentang Tuberkulosis Paru

Tabel 4.12. Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan Responden tentang Kejadian TB Paru dan Sanitasi Lingkungan Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

(14)

Tabel 4.14. Distribusi Responden Berdasarkan Ventilasi Rumah Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

Tabel 4.15. Distribusi Responden Berdasarkan Lantai Rumah Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

Tabel 4.16. Distribusi Responden Berdasarkan Pencahayaan Alami Rumah Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

Tabel 4.17. Hasil Analisa Bivariat Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner

Lampiran 2. Master Data

Lampiran 3. Print Out data SPSS

Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian

Lampiran 5. Surat Permohonan Izin Penelitian

Lampiran 6. Surat Telah Selesai Penelitian dari Puskesmas Padangmatinggi

(16)

ABSTRAK

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan karakteristik individu, sanitasi lingkungan rumah dan perilaku terhadap kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014.

Jenis penelitian yang digunakan adalah desain kasus kontrol dengan sampel terdiri dari 49 sampel kasus, yaitu responden penderita TB Paru yang tercatat dalam buku register TB Paru, dan 49 sampel kontrol yaitu responden yang merupakan tetangga dari penderita TB Paru yang matching dengan kasus dalam hal umur dan jenis kelamin.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penghasilan keluarga, status gizi responden, ventilasi rumah dan pencahayaan alami rumah. Hasil uji chi-square menunjukkan variabel penghasilan keluarga (p=0,001 OR=5,339), status gizi responden (p=0,001 OR=13,473), ventilasi rumah (p=0,001 OR=0,105), pencahayaan alami rumah (p=0,001 OR=0,192).

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan antara penghasilan keluarga, status gizi responden, ventilasi rumah, dan pencahayaan alami rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan. Disarankan bagi petugas Puskesmas Padangmatinggi untuk meningkatkan upaya promosi kesehatan khususnya tentang gizi dan sanitasi lingkungan rumah dan melakukan pemantauan fisik rumah secara berkala untuk mencegah penularan serumah terhadap kejadian TB paru.

(17)

ABSTRACT

Tuberculosis is a transmitted infectious disease caused by Mycobacterium Tuberculosis. In most cases, TB attacks the lungs; however, it also attacks organs. TB infection spread through the air, such as through droplet inhalation which contains bacil tubercle microbes derived from infectious person.

This study purpose is to analyze relationship among individual characteristic, home environmental sanitation and behavior in the incidence of pulmonary TB at Padangmatinggi health center working area in Padangsidimpuan city 2014.

Types the research used is case control design with samples consist of 49 samples of case, who suffered from pulmonary TB written in pulmonary TB book register and 49 samples control the respondent constituted the neighbours of the pulmonary TB sufferer with the matching by the case in terms of age and gender. The result of this research shows significant relationship among family income, respondent nutritional status, home ventilation and home natural exposure. Based on chi-square test it is known family income (p=0,001 OR=5,339), respondent nutritional status (p=0,001 OR=13,473), home ventilation (p=0,001 OR=0,105), home natural exposure (p=0,001 OR=0.192).

The conclusion of this research is that there is relationship among family income, respondent nutritional status, home ventilation and home natural exposure with pulmonary TB incidence in Padangmatinggi health center working area at Padangsidimpuan city. It is recommended that Padangmatinggi health center employe improve health promotion effort, specially about nutrition and home environment sanitation as well as home sanitation monitoring to prevent transmission of pulmonary TB at home.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosisadalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis

bersifat tahan asam dan berbentuk batang aerobik yang merupakan organisme

patogen maupun saprofit dan berukuran 0,3 x 2 sampai 4 mm, ukuran ini lebih kecil

dari pada sel darah merah. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat

juga mengenai organ tubuh lainnya. Tempat masuknya kuman ini melalui saluran

pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Infeksi TB terjadi

melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman – kuman basil

tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi (Price dan Standridge, 2006).

Tuberkulosis menyerang sepertiga dari 1,9 miliar penduduk dunia dewasa ini.

Setiap tahun terdapat 8 juta penderita TB baru, dan akan ada 3 juta meninggal setiap

tahunnya. Di Negara maju diperkirakan hanya 10 hingga 20 kasus baru tuberkulosis

di antara 100.000 penduduk, sedangkan angka kematian hanya berkisar antara 1

hingga 5 kematian per 100.000 penduduk. Sementara di Afrika diperkirakan

mencapai 165 orang di antara 100.000 penduduk, dan di Asia 110 orang penderita

baru per 100.000 penduduk. Penduduk Asia lebih besar dibanding Afrika, sehingga

jumlah absolut yang terkena TB paru di Benua Asia 3,7 kali lebih banyak dari pada

Afrika (Achmadi, 2010).

Menurut WHO dalam kutipan Kunoli (2013), kasus TB Paru diperkirakan

(19)

sebanyak 3 juta orang pertahun dari seluruh kematian tersebut dan 25% terjadi di

negara berkembang. Sebanyak 75% dari penderita tersebut berusia 15-50 tahun (usia

produktif).

Menurut Depkes RI (2012), kasus BTA+ pada laki-laki hampir 1,5 kali

dibandingkan kasus BTA+ pada wanita. Sebesar 59,4% kasus BTA+ yang ditemukan

berjenis kelamin laki-laki dan 40,6% kasus berjenis kelamin perempuan. Kasus TB

Paru juga ditemukan paling banyak pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar

21,72% diikuti kelompok umur 35-44 tahun sebesar 19,38% dan pada kelompok

umur 45-54 tahun sebesar 19,26%. Sedangkan kasus TB Paru untuk kelompok umur

0-14 tahun merupakan proporsi yang paling rendah.

Tuberkulosis Paru juga merupakan salah satu emerging diseases. Indonesia

termasuk ke dalam kelompok high burden countries, menempati urutan ketiga setelah

India dan China berdasarkan laporan WHO tahun 2009 (Profil Kesehatan Indonesia,

2011). Di Indonesia meningkatnya infeksi HIV/AIDS maka penderita TB paru

cenderung meningkat pula. Diperkirakan setiap tahun terdapat 500.000 kasus baru TB

paru, yaitu sekitar 200.000 penderita terdapat disekitar puskesmas, sedangkan

200.000 ditemukan pada pelayanan rumah sakit atau klinik pemerintah dan swasta

serta sisanya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2011).

Penyebab utama meningkatnya beban masalah tuberkulosis paru antara lain

kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat (seperti pada negara-negara yang

sedang berkembang), kegagalan program TB yang diakibatkan oleh tidak

(20)

BCG, perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan

struktur umur kependudukan, serta dampak pandemi HIV (Depkes RI, 2011).

Penyakit tuberkulosis juga dapat berkembang jika memburuknya kondisi

sosial ekonomi. Dimana keadaan ini mengarah pada perumahan yang terlampau padat

atau kondisi kerja yang buruk. Keadaan ini juga dapat menurunkan daya tahan tubuh

dan memudahkan terjadinya infeksi (Achmadi, 2012). Menurut Tobing (2008),

kondisi lingkungan terutama kondisi rumah juga memiliki peranan dalam penyebaran

bakteri TB paru ke orang yang sehat. Bakteri TB paru yang terdapat di udara saat

penderita TB paru bersin akan dapat bertahan hidup lebih lama jika keadaan udara

lembab dan kurang cahaya. Penyebaran bakteri TB paru akan lebih cepat menyerang

orang sehat jika berada dalam rumah yang lembab, kurang cahaya dan padat hunian.

Mikobakterium sangat sensitif terhadap sinar matahari. Cahaya matahari

berperan besar dalam membunuh kuman di lingkungan. Oleh sebab itu, ventilasi

rumah sangat penting dalam manajemen TB paru berbasis keluarga atau wilayah.

Genteng kaca juga dipercaya dapat membantu masuknya sinar matahari ke dalam

kamar dan mengeliminasi kuman – kuman atau bakteri yang berada di lantai atau

tempat tidur (Achmadi, 2012).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Manullang (2011), tentang

hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan tentang faktor lingkungan fisik rumah

terhadap kejadian tuberkulosis paru didapatkan bahwa, ventilasi ruangan rumah,

sirkulasi udara dan cahaya matahari yang masuk kedalam rumah yang buruk

dipengaruhi tindakan dan sikap masyarakat akibat pengetahuan yang kurang,

(21)

Penelitian yang dilakukan oleh Ghea (2011), tentang hubungan perilaku

penderita TB Paru dan kondisi rumah terhadap tindakan pencegahan potensi

penularan TB Paru pada keluarga memperlihatkan bahwa dari lima variabel

independen, empat variabel yang mempunyai hubungan yang bermakna dengan

tindakan pencegahan TB Paru yaitu : Pengetahuan, sikap, ventilasi, pencahayaan.

Pengetahuan merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengan tindakan

pencegahan potensi penularan TB Paru pada keluarga mempunyai nilai p value paling

kecil yaitu, p = 0,000.

Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (2004) dalam kutipan Achmadi

(2010), menunjukkan bahwa prevalensi TB Paru berdasarkan pemeriksaan

mikroskopik BTA Positif sebesar 104 per 100.000 dengan batas bawah 66 dan batas

atas 142 pada selang kepercayaan 95%. Perbedaan yang bermakna ditemukan antara

kawasan Jawa Bali yakni 59 per 100.000 dengan luar Jawa Bali 174 per 100.000.

kawasan luar Jawa Bali memberikan angka yang lebih tinggi yaitu 189 per 100.000

dibanding Sumatera sebesar 160 per 100.000.

Hasil pendataan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara selama Tahun

2012, tercatat 82,57 persen penderita TB Paru BTA Positif di Sumatera Utara atau

sebanyak 17.459 kasus. Angka penemuan kasus TB Paru BTA (+) di kota

Padangsidimpuan pada tahun 2011 sebesar 291 kasus, tahun 2012 sebesar 308 dan

pada tahun 2013 sebesar 352. Hal ini menunjukkan setiap tahun angka kejadian TB

Paru di kota Padangsidimpuan mengalami peningkatan (Dinas Kesehatan Kota

(22)

Wilayah kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan penderita

TB Paru meningkat setiap tahunnya, pada tahun 2010 jumlah penderita TB Paru

sebanyak 106 orang, pada tahun 2011 jumlah penderita TB Paru sebanyak 131 orang,

pada tahun 2012 jumlah penderita TB Paru sebanyak 121 orang dan pada tahun 2013

penderita TB Paru sebanyak 135 orang (Data Puskesmas Padangmatinggi, 2013).

Berdasarkan survei awal yang peneliti lakukan pada tanggal 6 sampai 9

Oktober 2014 terhadap 10 penderita TB Paru yang di observasi dan di wawancara

dilapangan, ada 5 orang penderita TB Paru Positif saat bersin dan batuk tidak

menutup mulutnya baik dengan kertas tissue, lap tangan ataupun dengan tangan dan

membuang ludah atau dahak di sembarangan tempat. Dari hasil wawancara peneliti

juga dapatkan jawaban terdapat 6 atau 60% diantaranya memiliki kondisi sanitasi

rumah yang kurang baik. Sedangkan tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan tentang

TB Paru masih rendah yaitu 5 orang atau 50% dari 10 penderita berperilaku kurang

sehat.

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “ Hubungan karakteristik individu, sanitasi lingkungan rumah

dan perilaku terhadap kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Padangmatinggi

Kota Padangsidimpuan tahun 2014”.

1.2 Rumusan Masalah

Diketahui bahwa salah satu penyebab terjadinya penyakit TB Paru adalah

kondisi lingkungan yang kurang baik, kurangnya tindakan masyarakat dalam

pencegahan TB paru yang dikerenakan pengetahuan masyarakat yang kurang,

(23)

penelitian-penelitian terdahulu diduga ada hubungan karakteristik individu, sanitasi lingkungan

rumah dan perilaku terhadap kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas

Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan tahun 2014 “

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan karakteristik individu,

sanitasi lingkungan rumah dan perilaku terhadap kejadian TB Paru di wilayah kerja

Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan tahun 2014.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan karakteristik individu meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan,

dan sosial ekonomi penderita TB Paru yang berkunjung di Puskesmas

Padangmatinggi

b. Mendeskripsikan karakteristik lingkungan meliputi kepadatan hunian, ventilasi

lantai dan pencahayaan dari penderita TB Paru yang berkunjung di Puskesmas

Padangmatinggi

c. Mendeskripsikan perilaku individu yang meliputi pengetahuan, sikap dan

tindakan penderita TB Paru yang berkunjung ke Puskesmas Padangmatinggi

d. Mengetahui angka kejadian TB paru yang berkunjung di Puskesmas

Padangmatinggi

e. Menganalisis hubungan karakteristik individu dengan kejadian TB paru yang

berkunjung di Puskesmas Padangmatinggi

f. Menganalisis hubungan lingkungan dengan kejadian TB paru yang berkunjung di

(24)

g. Menganalisis hubungan perilaku individu dengan kejadian TB Paru yang

berkunjung di Puskesmas Padangmatinggi.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Bagi Puskesmas Padangmatinggi, sebagai informasi mengenai masalah yang

berkaitan dengan hubungan karakteristik individu, sanitasi lingkungan rumah dan

perilaku terhadap kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Padangmatinggi

Kota Padangsidimpuan.

b. Bagi penderita, sebagai acuan dalam rangka meningkatkan karakteristik individu,

sanitasi lingkungan rumah dan perilaku terhadap kejadian TB Paru.

c. Secara teoritis dapat mendukung pengembangan ilmu pendidikan kesehatan dan

ilmu perilaku, serta dapat dimanfaatkan sebagai acuan ilmiah untuk

pengembangan ilmu kesehatan khususnya tentang TB Paru.

d. Sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya baik dengan variabel yang

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Paru 2.1.1. Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit saluran

pernafasan bagian bawah. Sebagian besar basil mikobakterium tuberkulosis masuk ke

dalam jaringan paru melalui airborne infection dan selanjutnya mengalami proses

yang dikenal sebagai fokus primer dari Ghon (Alsagaff dan Mukty, 2005).

Menurut Wolinsky (1985), Tuberkulosis adalah suatu pernyakit infeksius

yang kronik yang disebabkan oleh mikobakteria dari tuberkulosis yang kompleks

yang disebut dengan mikobakterium tuberkulosis. Sedangkan menurut Price dan

Standridge (2006), tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan

oleh mycobacterium tuberculosis.

2.1.2 Penyebab Tuberkulosis

Tuberkulosis disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Kuman batang

aerobik dan tahan asam ini, dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit.

Basil Tuberkel ini berukuran 0,3 x 2 sampai 4 mm, ukuran ini lebih kecil daripada sel

darah merah. Kuman akan tumbuh optimal pada suhu sekitar 37º C dengan tingkat

PH optimal pada 6,4 sampai 7,0. Untuk membelah diri satu sampai dua (generation

time) kuman membutuhkan waktu 14 – 20 jam (Aditama, 2002).

Dinding kuman tuberkulosis terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian

(26)

terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan juga

lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob.

Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi

kandungan oksigennya. Tekanan oksigen pada bagian apikal paru – paru lebih tinggi

dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit

tuberkulosis (Amin dan Bahar, 2010).

2.1.3 Gejala Tuberkulosis

Gejala klinis penyakit tuberkulosis paru menurut Amin dan Bahar (2010),

adalah:

a. Batuk/ Batuk Darah

Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering

dikeluhkan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari

batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif

(menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena

terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis

terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

b. Demam

Biasanya menyerupai demam influenza. Tetapi terkadang panas badan dapat

mencapai 40-41º C. Sering kali panas badan sedikit meningkat pada siang maupun

sore hari. Panas badan meningkat atau menjadi lebih tinggi bila proses berkembang

menjadi progresif sehingga penderita merasakan badannya hangat atau muka terasa

panas. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pesien dan berat

(27)

c. Sesak napas

Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan

ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi

setengah bagian paru – paru.

d. Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang

sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Bila nyeri bertambah berat

berarti telah terjadi pleuritis luas (nyeri dikeluhkan di daerah aksila, di ujung scapula

atau di tempat – tempat lainnya). Hal ini terjadi karena gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/ melepaskan napasnya.

e. Malaise

Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering

ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus, sakit kepala,

meriang, nyeri otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat

dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

2.1.4 Cara Penularan

Cara penularan dari TB Paru adalah melalui inhalasi dari droplet segar atau

debu dari sputum yang kering yang dikeluarkan oleh seseorang yang memiliki kasus

TB Paru. Hal tersebut akan diketahui dalam waktu yang lama setelah infeksi

tuberkulosis bermanifestasi didalam tubuh penderita (Walter, J.B., 1982). Menurut

Crofton (2002), Penderita TB Paru saat batuk akan mengeluarkan sejumlah percikan

ludah yang tersembur ke udara dimana percikan ludah tersebut mengandung kuman

(28)

ruangan baik. Namun jika di dalam ruangan yang tertutup, di dalam gubuk atau di

dalam ruangan sempit maka percikan ludah tersebut melayang di udara dan akan

bertambah jumlahnya setiap kali orang tersebut batuk. Orang yang berada di ruangan

yang sama dengan orang yang batuk tersebut dan menghirup udara yang sama akan

berisiko menghirup kuman tuberculosis.

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien

Tuberkulosis adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS

dan malnutrisi (gizi buruk). Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya

tahan tubuh seluler (cellular immunity), dan merupakan faktor resiko paling kuat bagi

yang terinfeksi TB untuk menjadi sakit TB (TB Aktif). Bila jumlah orang terinfeksi

HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan

TB di masyarakat akan meningkat pula (Depkes RI, 2011).

2.1.5 Penemuan Pasien Tuberkulosis

Menurut Depkes RI (2011), penemuan pasien merupakan langkah pertama

dalam kegiatan program penanggulangan tuberkulosis. Penemuan dan penyembuhan

pasien tuberkulosis menular secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan

kematian akibat tuberkulosis, penularan tuberkulosis di masyarakat dan sekaligus

merupakan kegiatan pencegahan penularan tuberkulosis yang paling efektif di

masyarakat.

Penemuan kasus baru bertujuan untuk mendapatkan kasus TB melalui

serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap aspek TB, pemeriksaan fisik

dan laboratoris, menentukan diagnose dan menentukan klasifikasi penyakit dan tipe

(29)

penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan

suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien (Depkes RI, 2011).

Pasien tuberkulosis yang sakit dengan dahak positif akan mengunjungi suatu

tempat pelayanan kesehatan (puskesmas, rumah sakit, poliklinik, atau dokter praktik),

tetapi akan terdiagnosis hanya bila dahaknya diperiksa terhadap TB secara rutin. Hal

ini merupakan penemuan kasus secara pasif. Penemuan kasus secara aktif yaitu

dengan mengunjungi rumah-rumah penduduk dan meminta dahak untuk diperiksa

(Crofton, 2002).

2.1.6 Pemeriksaan Tuberkulosis Paru

a. Pemeriksaan Laboratorium

1. Darah

Pemeriksaan darah tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk menyokong

diagnosa tuberkulosis paru, karena hasil pemeriksaan darah tidak menunjukkan

gambaran yang khas. Gambaran darah terkadang dapat membantu menentukan

aktivitas penyakit (Alsagaff dan Mukty, 2005).

2. Sputum

Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman

BTA, diagnosa tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Pemeriksaan ini mudah dan

murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Pemeriksaan

mikroskopi dahak dapat membantu menemukan etiologi. Kriteria sputum BTA

(30)

sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mL sputum (Amin

dan Bahar, 2010).

3. Tes Tuberkulin

Uji tuberkulin merupakan pemeriksaan guna menunjukkan reaksi imunitas

seluler yang timbul setelah 4-6 minggu penderita mengalami infeksi pertama

dengan basil tuberkulosis (Alsagaff dan Mukty, 2005).

Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan

diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes

mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D (Purified Protein

Derivative) intrakutan berkekuatan 5 T.U (Intermediate strength). Tes tuberkulin

hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah mengalami

infeksi M.tuberculosis, M.bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen

lainnya (Amin dan Bahar, 2010). Menurut Price dan Standridge (2006), bila

derivate protein tuberkulin yang telah dimurnikan (PPD) disuntikkan ke dalam

kulit individu yang limfositnya sensitif terhadap tuberkuloprotein maka limfosit

yang sensitif akan mengadakan reaksi dengan ekstrak tersebut dan menarik

magrofak ke daerah tersebut

b. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan

lesi tuberkulosis. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen

apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus

bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada

(31)

kutipan Price dan Standridge (2006), pada orang dewasa, segmen apeks dan posterior

lobus atas atau segmen superior lobus bawah merupakan tempat-tempat yang sering

menimbulkan lesi yang terlihat homogen dengan densitas yang lebih pekat.

Ketidaknormalan apa pun pada foto dada seseorang yang positif HIV dapat

mengindikasikan adanya penyakit tuberkulosis.

2.1.7 Upaya Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Tuberkulosis Paru

Program pencegahan dan pemberantasan penyakit bertujuan untuk

menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan dari penyakit menular dan

mencegah penyebaran serta mengurangi dampak sosial akibat penyakit sehingga

tidak menjadi masalah kesehatan (Entjang, 2000).

Menurut Alsagaff dam Mukty (2005), pencegahan infeksi TB paru meliputi :

a. Pencegahan terhadap infeksi TB paru yaitu pencegahan terhadap sputum yang

infeksius dengan cara melakukan foto toraks dan uji tuberkulin secara mantoux,

melakukan isolasi penderita dan mengobati penderita serta ventilasi harus baik

dan juga kepadatan penduduk dikurangi.

b. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara memperbaiki standar hidup dengan

makan makanan yang mengandung 4 sehat 5 sempurna, lengkapi perumahan

dengan ventilasi yang cukup, usahakan setiap hari tidur cukup dan teratur dan

(32)

Menurut Entjang (2000), keberhasilan usaha pemberantasan Tuberkulosis

paru juga tergantung pada :

a. Keadaan sosial ekonomi masyarakat.

Makin buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat, sehingga nilai gizi dan

sanitasi lingkungan jelek, yang mengakibatkan rendahnya daya tahan tubuh

mereka sehingga mudah menjadi sakit bila tertular Tuberkulosis.

b. Kesadaran berobat si penderita.

Kadang-kadang walaupun penyakitnya agak berat si penderita tidak merasa

sakit, sehingga tidak mau mencari pengobatan.

c. Pengetahuan penderita, keluarga dan masyarakat pada umumnya tentang penyakit

Tuberkulosis.

Tujuan program pemberantasan tuberkulosis di Indonesia adalah memutuskan

mata rantai penularan tuberkulosis sampai pada prevalensi yang tidak menjadi

masalah kesehatan masyarakat.

Menurut Depkes RI (2011), Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan

pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan

dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah

cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT

tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT)

(33)

2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan

langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan

Obat (PMO).

3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

2.2 Pengaruh Karakteristik Individu terhadap Penyakit Tuberkulosis Paru

Beberapa karakteristik individu yang dapat menjadi faktor risiko terhadap

kejadian penyakit TB paru adalah umur, jenis kelamin, status gizi, status ekonomi

keluarga, pekerjaan, status imunisasi BCG.

2.2.1 Umur

Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit TB paru. Dari hasil

penelitian yang di laksanakan di New York pada panti penampungan orang-orang

gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi TB paru aktif

meningkat secara bermakna sesuai umur. Prevalensi TB paru tampaknya meningkat

seiring dengan peningkatan usia. Pada wanita prevalensi mencapai maksimum pada

usia 40-50 tahun dan kemudian berkurang sedangkan pada pria prevalensi terus

meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun (Crofton, 2002).

2.2.2 Jenis Kelamin

Dari catatan statistik meski tidak selamanya konsisten, mayoritas penderita

TB Paru adalah wanita. Diduga jenis kelamin wanita merupakan faktor resiko yang

masih memerlukan evidence pada masing-masing wilayah, sebagai dasar

pengendalian atau dasar manajemen (Achmadi, 2010).

Tuberkulosis menyerang perempuan lebih banyak daripada semua kasus

(34)

satu juta perempuan per tahun lebih banyak daripada penyakit-penyakit infeksi

manapun, dan lebih dari seperempat juta di antara mereka masih produktif secara

ekonomi (Aditama, 2002).

2.2.3 Status Gizi

Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya

kejadian TB Paru. Kuman TB Paru merupakan kuman yang suka “tidur” hingga

bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk “bangun” dan menimbulkan penyakit, maka timbullah kejadian penyakit TB Paru. Oleh sebab itu salah satu

kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik (Achmadi, 2010).

Terdapat hubungan timbal balik antara kekurangan gizi dan morbiditas

penyakit infeksi yaitu kekurangan gizi yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh

seperti protein dan zat besi, menyebabkan seseorang rentan terhadap penyakit infeksi

(Dahlan, 2001).

Di Indonesia khususnya, cara pemantauan dan batasan berat badan normal

orang dewasa belum jelas mengacu pada patokan tertentu. Sejak tahun 1985

berdasarkan laporan FAO/WHO/UNU bahwa batasan berat badan normal orang

dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Indeks (BMI). Di Indonesia istilah

Body Mass Indeks diterjemahkan menjadi Indeks Masa Tubuh (IMT). IMT

merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya

yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Penggunaan IMT

hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun, IMT tidak dapat

(35)

Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

Berat badan (kg) IMT =

Tinggi badan (m) x Tinggi Badan (m)

Tabel 2.1 Kategori Ambang Batas Masa Tubuh (IMT) untuk Indonesia

Kategori Keterangan IMT

Kurus

Kekurangan berat badan tingkat berat <17,0

Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,5

Normal >18,5 – 25,0

Gemuk

Kelebihan berat badan tingkat ringan >25,0 – 27,0

Kelebihan berat badan tingkat berat >27,0

Sumber : Depkes RI, 1994

Hasil penelitian Supriyo (2011), tentang pengaruh perilaku dan status gizi

terhadap kejadian TB paru di Kota Pekalongan menunjukkan bahwa seseorang

dengan status gizi kurang mempunyai risiko meningkatkan kejadian tuberkulosis paru

sebanyak 7,583 kali lebih besar dibanding dengan status gizi baik (OR = 7,583).

Hasil penelitian Rukmini (2010), tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

kejadian tb paru dewasa di indonesia bahwa terdapat hubungan kejadian TB paru

dengan status gizi (p = 0,003), yaitu orang yang gizi kurang/buruk mempunyai risiko

terkena TB 2,184 kali lebih besar dibandingkan dengan yang gizi baik, bermakna

(36)

2.2.4 Status Ekonomi

Secara ekonomi, penyebab utama berkembangnya bakteri mycobacterium

tuberculosis di Indonesia disebabkan karena masih rendahnya pendapatan perkapita.

Sejalan dengan kenyataan bahwa pada umumnya yang terserang penyakit TB Paru

adalah golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah (Tjiptoherijanto, 2008).

Menurut WHO (2003) dalam kutipan Achmadi (2010), menyebutkan 90% penderita

TB paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial-ekonomi lemah atau miskin.

Hubungan antara kemiskinan dengan TB paru bersifat timbal balik, TB paru

merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia menderita TB

paru.

Pendapatan adalah tingkat penghasilan penduduk, semakin tinggi penghasilan

semakin tinggi pula persentase pengeluaran yang dibelanjakan untuk barang,

makanan, juga semakin tinggi penghasilan keluarga semakin baik pula status gizi

masyarakat (BPS, 2006)

Hasil penelitian Kurniasari (2011), tentang faktor resiko kejadian tuberkulosis

paru di Kecamatan Baturento Kabupaten Wonogiri menunjukkan bahwa status

ekonomi yang kurang menyebabkan mereka tidak memiliki kemampuan untuk

membuat rumah yang sehat atau memenuhi syarat, kurangnya pengetahuan untuk

mendapatkan informasi kesehatan, kurangnya mendapat jangkauan pelayanan

kesehatan dan kurangnya pemenuhan gizi yang berakibat pada daya tahan tubuh yang

(37)

2.2.5 Pekerjaan

Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh

manusia. Dalam arti sempit istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau kerja

yang menghasilkan uang bagi seseorang. Pekerjaan bisa mempengaruhi seseorang

terserang penyakit atau tidak. Seseorang yang bekerja terlalu padat dapat lupa dengan

jadwal minum obatnya. Selain itu seseorang yang bekerja pada lingkungan yang

mengandung banyak debu, polusi asap, akan mempengaruhi waktu yang dibutuhkan

dalam penyembuhan penyakit TB (Notoatmodjo,2003)

Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap

individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di

daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan.

Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama

terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru (Corwin, 2009).

Hasil penelitian Supriyo (2011), tentang pengaruh perilaku dan status gizi

terhadap kejadian TB paru di Kota Pekalongan menunjukan bahwa berdasarkan jenis

pekerjaan, proporsi jenis pekerjaan responden paling banyak adalah buruh batik

sebanyak 49 orang terdiri dari kasus 28 orang (40 %) dan kontrol 21 orang (30%),

sedangkan pada kelompok kasus yang paling banyak adalah buruh batik yaitu 28

orang (40%) dan pada kelompok kontrol adalah buruh batik juga yaitu 21 orang

(38)

2.2.6 Status imunisasi BCG

Imunisasi BCG adalah vaksin yang terdiri dari basil yang hidup yang telah

dilemahkan atau dihilangkan virulensinya, Basil ini berasal dari suatu strain

tuberkulosis bovin yang dibiakkan selama beberapa tahun dalam laboratorium.

Vaksin BCG merangsang kekebalan, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa

menyebabkan kerusakan. basil tuberkulosis dapat memasuki tubuh akan tetapi pada

kebanyakan kasus daya pertahanan tubuh yang meningkat akan mengendalikan dan

membunuh kuman-kuman tersebut (Crofton, 2002 ).

2.3 Pengaruh Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Penyakit Tuberkulosis Paru

2.3.1 Rumah Sehat

Menurut UU No.4/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, rumah adalah

bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan

keluarga (Sarudji, 2010). Rumah sehat adalah rumah idaman. Rumah sehat adalah

kondisi fisik, kimia, biologi di dalam rumah dan perumahan sehingga memungkinkan

penghuni atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Oleh karena

itu rumah haruslah sehat dan nyaman agar penghuninya dapat berkarya untuk

meningkatkan produktivitas (Syafrudin, Damayani & Delmaifanis, 2011).

Menurut Rumah sehat adalah sebuah rumah yang dekat dengan air bersih,

berjarak lebih dari 100 meter dari tempat pembuangan sampah, dekat dengan sarana

pembersihan, serta berada ditempat dimana air hujan dan air kotor tidak menggenang.

Menurut APHA (American Public Health Assosiation) rumah yang memenuhi

(39)

dari penyakit menular dan terhindar dari kecelakaan-kecelakaan (Mubarak, 2009).

Kondisi rumah yang baik penting untuk mewujudkan masyarakat yang sehat.

Menurut Kepmenkes No.829/Menkes/SK/VII/1999 rumah dikatakan sehat apabila

memenuhipersyaratan empat hal pokok berikut:

1. Memenuhi kebutuhan fisiologis seperti pencahayaan, penghawaan, ruang gerak

yang cukup dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu.

2. Memenuhi kebutuhan psikologis seperti “privacy” yang cukup dan komunikasi yang baik antar penghuni rumah.

3. Memenuhi persyaratan pencegahan penyakit menular yang meliputi penyediaan

air bersih, pembuangan tinja dan air limbah rumah tangga, bebas dari vector

penyakit, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, sinar matahari yang cukup,

makanan dan minuman yang terlindung dari pencemaran serta pencahayaan dan

penghawaan yang cukup.

4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang berasal dari

dalam maupun dari luar rumah.

Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup

perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya

(Notoatmodjo, 2011). Sedangkan lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang

berada di dalam rumah. Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik yaitu

ventilasi, suhu, kelembaban, lantai, dinding serta lingkungan sosial yaitu kepadatan

penghuni. Rumah yang ruangan terlalu sempit atau terlalu banyak penghuninya akan

(40)

terjadinya penyakit sehingga penularan penyakit saluran pernapasan seperti TB paru

akan mudah terjadi di antara penghuni rumah (Notoatmodjo, 2003).

2.3.2 Syarat Rumah Sehat

Persyaratan kesehatan rumah tinggal menurut Keputusan Menteri Kesehatan

RI Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah sebagai berikut :

1. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan zat-zat yang dapat

membahayakan kesehatan, seperti :

a. Debu total tidak lebih dari 150 µg m3.

b. Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4jam

c. Timah hitam tidak melebihi 300 mg/kg.

2. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya

mikroorganisme patogen.

Perumahan yang tidak memenuhi persyaratan fisik akan menimbulkan

gangguan kesehatan antara lain yang erat kaitannya dengan penyebaran penyakit

Tuberkulosis paru. Menurut Achmadi (2010) faktor resiko lingkungan adalah

kepadatan hunian, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembapan.

2.3.3 Kepadatan hunian

Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit.

Semakin padat, maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit melalui udara, akan

semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu, kepadatan dalam rumah tempat tinggal

merupakan variabel yang berperan dalam kejadian TB paru (Achmadi, 2010).

Menurut Mukono (2005), kepadatan penghuni merupakan luas lantai dalam rumah

(41)

Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh

bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya

akan menyababkan overcrowded. Hal ini tidak sehat karena di samping menyebabkan

kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga menderita suatu

penyakit infeksi terutama TB paru akan mudah menular kepada anggota keluarga

yang lain, karena seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada dua sampai

tiga orang di dalam rumahnya (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Depkes RI (1993) dalam kutipan mukono (2005), kepadatan

penghuni dikategorikan menjadi memenuhi standar (2 orang per 8 m²) dan kepadatan

tinggi (lebih 2 orang per 8 m² dengan ketentuan anak <1 tahun tidak diperhitungkan

dan umur 1-10 tahun dihitung setengah). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan

Perumahan, luas kamar tidur minimal 8 m² dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari

2 orang tidur dalam satu ruangan.

Hasil penelitian Putra (2011) tentang hubungan perilaku dan kondisi sanitasi

rumah dengan kejadian TB paru di Kota Solok menunjukkan bahwa responden yang

memiliki kondisi kepadatan hunian rumah yang kurang beresiko 5,95 kali tertular TB

Paru dibandingkan responden yang mempuyai kondisi kepadatan hunian yang baik

(OR = 5.95).

2.3.4 Lantai Rumah

Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah, konstruksi lantai

rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah di bersihkan dari kotoran dan

(42)

mencegah masuknya air ke dalam rumah, maka lantai rumah sebaiknya di naikkan 20

cm dari permukaan tanah. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap

terhadap air sehingga lantai tidak menjadi lembab dan selalu basah seperti tegel,

semen dan keramik (Suyono, 2005). Secara hipotesis jenis lantai tanah memiliki

peran terhadap proses kejadian TB paru, melalui kelembapan dalam ruangan. Lantai

tanah, cenderung menimbulkan kelembapan, dengan demikian viabilitas kuman TB

paru di lingkungan juga sangat dipengaruhi. (Achmadi, 2010).

Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan tempat hidup dan

perkembangbiakan bakteri terutama bakteri Mycobacterium tuberculosis. Menjadikan

udara dalam ruangan lembab, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga

menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya (Suyono, 2005). Menurut

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/ 1999

tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, lantai rumah tidak terbuat dari bahan

yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen, lantai

kedap air dan mudah dibersihkan.

Hasil penelitian Adnani (2006), tentang hubungan kondisi rumah dengan

penyakit TBC Paru di wilayah kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten

Gunungkidul menunjukkan bahwa risikountuk menderita TBC Paru 3 – 4 kali lebih

tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang lantainya tidak memenuhi syarat

kesehatan (OR = 3,75).

2.3.6 Ventilasi

Ventilasi bermanfaat bagi sirkulsi pergantian udara dalam rumah serta

(43)

Kelembapan dalam ruang tertutup dimana banyak terdapat manusia di dalamnya lebih

tinggi dibandingkan kelembapan diluar ruang (Achmadi, 2010). Menurut Sarudji

(2010), rumah harus memiliki sistem pertukaran udara yang baik, karena penghuni

memerlukan udara yang segar. Setiap ruang/ kamar memerlukan ventilasi yang cukup

untuk menjamin kesegaran dan menyehatkan penghuninya.

Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan

membawa pengaruh bagi penghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga

aliran udara dalam rumah tersebut tetap segar. Fungsi kedua ventilasi adalah untuk

membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena

disitu selalu terjadi aliran udara yang terus-menerus dan bakteri yang terbawa oleh

udara akan selalu mengalir (Notoatmodjo, 2003). Menurut Mubarak dan Chayatin

(2009), ada dua macam ventilasi yaitu ventilasi alamiah dan ventilasi buatan. Aliran

udara dalam ruangan pada ventilasi alamiah terjadi secara alami melalui jendela,

pintu, lubang-lubang dinding, angina-angin, dan sebagainya. Sedangkan pada

ventilasi buatan aliran udara terjadi karena adanya alat-alat khusus untuk mengalirkan

udara seperti mesin penghisap (AC) dan kipas angin.

Pengaruh buruk berkurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar oksigen,

bertambahnya kadar gas CO2, adanya bau pengap, suhu udara ruangan naik, dan

kelembapan udara ruangan bertambah (Mukono, 2005). Menurut Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan

Kesehatan Perumahan, luas ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas

(44)

Hasil penelitian Firdiansyah (2012), tentang pengaruh faktor sanitasi dan

sosial ekonomi terhadap kejadian penyakit TB paru BTA positif di Kecamatan

Genteng Kota Surabaya menunjukkan bahwa responden yang memiliki ventilasi

buruk kemungkinan untuk sakit TB Paru BTA Positif sebesar 3,12 kali lebih besar

daripada responden yang memiliki ventilasi baik (OR = 3,12).

2.3.7 Pencahayaan

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak

terlalu banyak (Achmadi, 2008). Menurut Notoatmodjo (2003), kurangnya cahaya

yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang

nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan

berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya didalam

rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya dapat merusakan mata.

Menurut Notoatmodjo (2011), cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni :

a. Cahaya alamiah, yakni matahari.

Cahaya ini sangat penting, karena dapat menbunuh bakteri-bakteri patogen

dalam rumah, misalnya baksil TB paru. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus

mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya

sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan

rumah. Perlu diperhatikan dalam membuat jendela diusahakan agar sinar matahari

dapat langsung masuk kedalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi

jendela disini, di samping sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuknya cahaya.

Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar

(45)

itu harus ditengah-tengah tinggi dinding (tembok). Jalan masuknya cahaya alamiah

juga diusahakan dengan genteng kaca. Genteng kaca pun dapat dibuat secara

sederhana, yakni dengan melubangi genteng biasa pada waktu pembuatannya,

kemudian menutupnya dengan pecahan kaca.

b. Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti

lampu minyak tanah, listrik, dan sebagainya.

Rumah dengan pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap

kejadian penyakit TB paru. Bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan hidup

pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari bertahun-tahun

lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, lisol, sabun, karbon dan kapas api,

bakteri ini akan mati dalam waktu dua jam.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

829/Menkes/SK/ VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, pencahayaan

alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh

ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.

Hasil penelitian Putra (2011), tentang hubungan perilaku dan kondisi sanitasi

rumah dengan kejadian TB paru di Kota Solok menunjukkan bahwa responden yang

memiliki kondisi pencahayaan yang kurang beresiko 5,95 kali tertular TB Paru

dibandingkan responden yang mempuyai pencahayaan yang baik (OR = 5,95).

2.4 Pengaruh Perilaku terhadap Penyakit Tuberkulosis Paru

Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2012), seorang ahli psikologi,

merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap

(46)

Berdasarkan batasan perilaku dari skinner, maka perilaku kesehatan dapat

diklasifikasikan menjadi 3 kelompok.

a. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance) adalah perilaku atau

usaha-usaha seseorang untuk memelihara dan menjaga kesehatan agar tidak sakit

dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu, perilaku

pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari tiga aspek, yaitu perilaku pencegahan

penyakit, perilaku meningkatkan kesehatan, dan perilaku gizi (makanan) dan

minuman.

b. Perilaku pencarian dan penggunaan system atau fasilitas pelayanan kesehatan,

atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior).

Perilaku ini menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita

penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati

sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.

c. Perilaku kesehatan lingkungan

Seorang ahli lain Becker (1979) dalam kutipan Notoatmodjo (2012),

membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan.

1. Perilaku hidup sehat (healthy life style) yaitu perilaku-perilaku yang berkaitan

dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan

kesehatannya atau pola/gaya hidup sehat (healthy life style).

2. Perilaku sakit (illness behavior) yaitu perilaku sakit yang mencakup respons

seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan

(47)

3. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) yaitu orang sakit mempunyai peran

yang mencakup hak-hak orang sakit (right) dan kewajiban sebagai orang sakit

(obligation). Hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri

maupun orang lain (terutama keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku

peran orang sakit (the sick role).

Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2012), seorang ahli psikologi

pendidikan membagi perilaku manusia itu ke dalam tiga domain, sesuai dengan

tujuan pendidikan. Bloom menyebutnya ranah atau kawasan yakni: a) kognitif

(cognitive), b) afektif (affective), c) psikomotor (psychomotor). Dalam

perkambangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan

kesehatan yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan.

2.4.1 Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau ranah

kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan

seseorang (overt behavior). Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif

mempunyai enam tingkatan.

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali

(recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang

telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling

(48)

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk memperjelas secara

benar tentang objek yang diketahui, dan menginterpretasikan materi tersebut secara

benar.

c. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan

sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan

sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek

ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan

masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan suatu bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru

dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada

suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep
Tabel 4.1. Distribusi Kelurahan  di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Tahun 2013
Tabel 4.3.
Tabel 4.7
+7

Referensi

Dokumen terkait

Membawa kelengkapan dokumen asli atau dokumen yang dilegalisir oleh. pihak yang berwenang sebagaimana yang telah disampaikan

Untuk membuat web telah terdapat banyak software yang beredar di pasaran tetapi dari semua software tersebut masih terdapat banyak kekakuan atau kekurangan sehingga web tidak

Dengan menggunakan software untuk memonitor sebuah network, maka pengontrolan untuk tiap-tiap status dan peralatan network pada sebuah organisasi akan lebih mudah. Pada penulisan

[r]

Aplikasi Interaktif Learning Untuk Prasekolah ini merupakan sebuah aplikasi multimedia yang berisikan pelajaran tentang mengenal huruf, angka, bangun ruang, warna dan dilengkapi

Bahan baku penelitian ini menggunakan piston bekas Al-Si (seri 4xxx), lalu untuk prototipe menggunakan cetakan Sand Casting sedangkan untuk spesimen menggunakan

Pengenalan game Counter Strike ini dimulai dari pengenalan peraturan game, skin dalam permainan dan map yang digunakan dalam game, guestbook dimana dapat memberikan bagi para

Piston bekas digunakan untuk mendapatkan unsur Al-Si yang cukup tinggi.. pada piston guna