• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Ketimpangan Pembangunan pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Ketimpangan Pembangunan pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP

KETIMPANGAN PEMBANGUNAN PADA KABUPATEN/KOTA DI

PROVINSI SUMATERA UTARA

OLEH

RENI

120501033

PROGRAM STUDI STRATA-I STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAK

ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KETIMPANGAN PEMBANGUNAN PADA KABUPATEN/KOTA DI

PROVINSI SUMATERA UTARA

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pembangunan yang diukur dengan Indeks Williamson pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan data panel dari tahun 2010-2013. Penelitian ini menggunakan uji Hausman dalam memilih model terbaik untuk metode General Least Square (GLS) dan hasil uji tersebut menunjukan bahwa Fixed Effects Models (FEM) yang digunakan dalam menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara.

Berdasarkan hasil estimasi tersebut bahwa variabel pendapatan asli daerah mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, sedangkan Dana Perimbangan mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

Kata Kunci : Ketimpangan pembangunan, Desentralisasi fiskal, Pendapatan Asli

(3)

ABSTRACT

ANALYSIS THE INFLUENCE OF FISCAL DECENTRALIZATION OF INEQUALITY OF DEVELOPMENT IN DISTRICT/CITY IN NORTH

SUMATRA PROVINCE

Purpose of this study was to determine the influence of fiscal decentralization on development imbalances measured by Williamson Index in regencies / cities in North Sumatera province using panel data from 2010-2013.This research is examined with Hausman test in order to select the best model for General Least Square (GLS) and the results of the test show Fixed Effects Models (FEM) used to analysis the influence of fiscal decentralization on development gaps at the district / city in the province of Sumatera Utara.

Based on the estimation the variable local revenues have a positive effect and significant imbalance in the development of districts/cities in North Sumatera Province, while the Balance Fund have a negative impact and significant effect on inequality of development in the district/city in North Sumatera Province

Keywords:Inequality development, fiscal decentralization, local revenue, fund

(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Karunia-Nya yang selalu menyertai penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat beriring salam selalu tercurahkan kepada Baginda Rasulullah SAW.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi dari Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sumatera Utara. Adapun yang menjadi judul skripsi ini adalah: “Analisis Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Ketimpangan Pembangunan pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara”.

Skripsi ini saya persembahkan khusus untuk orang tua tercinta Ayah Rusli dan Ibu Erni dan kakak, abang dan adik saya yang selama pengerjaan penelitian ini selalu memberikan doa, nasihat serta bimbingannya. Terima kasih atas doa dan dukungan yang selama ini menyertai saya.

Penulismenyadari terdapatketerbatasanpengetahuandalammenyelesaikan skripsiini,sehinggatidak terlepasdari bantuanberbagai pihak,makadalam kesempatan inidengansegalakerendahanhatipenulis menyampaikanucapan terimakasihyangsebesar-besarnyakepada:

1. BapakProf. Dr. Azhar Maksum,M.Ec., Ac., Ak.,

CA.selakuDekanFakultasEkonomi dan Bisnis Universitas SumateraUtara. 2. BapakWahyuArioPratomo,SE,M.EcdanBapakDrs.SyahrirHakim Nasution,

M.Si selakuKetua dan Sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan,Fakultas Ekonomi dan BisnisUniversitas SumateraUtara.

3. Bap Programstudi S1

(5)

dan saran yang baik mulai dari awal penulisan hingga selesainya skripsi ini.

4. Ibu Dra. Raina Linda Sari, M.Si selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan petunjuk, saran dam kritik dalam penyempurnaan skripsi ini. 5. Bapak Haroni Doli Hamoraon Ritonga, SE, M.Si selaku Dosen Penguji II

yang telah memberikan petunjuk,saran dan kritik dalam penyempurnaan skripsi ini.

6. Seluruh Dosen Pengajar dan Staff Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara, khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan untuk segala jasa-jasanya selama perkuliahan.

7. Terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh teman-teman angkatan 2012 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah mendukung dan memberikan kritik dan sarannya selama pengerjaan skripsi ini.

8. Beserta seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala bentuk bantuan yang diberikan kepada saya.

Semoga Allah SWT membalas budi dan pengorbanan yang diberikan.Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena itu peneliti mengharapkan saran dan kritikan dari semua pihak yang dapat membangun untuk menjadikan skripsi ini lebih baik lagi.Dengan segala kerendahan hati, peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya rekan-rekan mahasiswa/i Ekonomi Pembangunan.

Medan, November 2015 Peneliti,

(6)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketimpangan Antar Daerah ... 8

2.2 Desentralisasi Fiskal ... 13

2.3 Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ... 17

2.4 Penelitian Terdahulu ... 22

2.5 Kerangka Konseptual ... 25

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 26

3.7.1 Ketimpangan Pembangunan ... 28

3.7.2 Desentralisasi Fiskal ... 29

3.7.3 Model Analisis Ekonometrik ... 29

3.8 Metode Analisis ... 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perkembangan dan Struktur Ekonomi ... 31

(7)

4.3 Analisis Desentralisasi Fiskal ... 36

4.3.1 Derajat Desentralisasi Fiskal Pendapatan Asli Daerah ... 36

4.3.2 Derajat Desentralisasi Fiskal Dana Perimbangan ... 38

4.3.3Perbandingan Rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal PAD dengan Dana Perimbangan ... 41

4.4 Analisis Data ... 42

4.4.1 Analisis Estimasi dengan Generalized Least Square (GLS) ... 42

4.4.1.1 Uji Hausmant Test ... 43

4.4.1.2 Random Effect Model (REM) ... 44

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 48

5.2 Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(8)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

1.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kabupaten

/kota di Provinsi Sumatera Utara (Miliar rupiah) ... 5 4.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi menurut Kabupaten/Kota

Atas Dasar Harga Konstan 2000 (%) di Provinsi

Sumatera Utara pada tahun 2010-2013 ... 31 4.2 Indeks Williamson Antar Kabupaten/Kota di Provinsi

Sumatera Utara pada tahun 2010-2013 ... 33 4.3 Derajat Desentralisasi Fiskal dari PAD (DDF PAD)

Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

pada tahun 2010-2013 ... 36 4.4 Derajat Desentralisasi Fiskal dari Dana Perimbangan

(DDF DP) Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera

(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.1 Kerangka Konseptual ... 25 4.1 Rata-Rata Derajat Desentralisasi Fiskal dari

Komponen PAD (Pajak Daerah, Restribusi Daerah, hasil Kekayaan yang Dipisahkan, Lain-lain PAD Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2010-2013 ... 38 4.2 Rata-Rata Derajat Desentralisasi Fiskal dari Dana

bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

.. Tahun 2010-2013 ... 40 4.3 Rata-Rata Derajat Desentralisasi Fiskal PAD

denganDana Perimbangan Antar Kabupaten/Kota

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Tabel Judul Halaman

1 Hasil Regression Model GLS FIXED EFFECT

(FEM) ... 54 2 Hasil Regression Model GLS RENDOM

EFFECT (REM) ... 55 3 Uji Hausman Test ... 57 4 Data Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun

2010 (000 Rupiah) ... 58 5 Data Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun

2011 (000 Rupiah) ... 59 6 Data Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun

2012 (000 Rupiah) ... 60 7 Data Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun

2013 (000 Rupiah) ... 61 8 Data Realisasi Dana Perimbangan Kabupaten/Kota

di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2013

(000 Rupiah) ... 62 9 Data Realisasi Dana Bagi Hasil (DBH)

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun

2010-2013 (000 Rupiah) ... 63 10 Data Realisasi Dana Alokasi Umum (DAU)

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun

2010-2013 (000 Rupiah) ... 64 11 Data Realisasi Dana Alokasi Khusus (DAK)

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun

2010-2013 (000 Rupiah) ... 65 12 Data Ketimpangan Pembangunan (Indeks Williamson),

Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

(11)

ABSTRAK

ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KETIMPANGAN PEMBANGUNAN PADA KABUPATEN/KOTA DI

PROVINSI SUMATERA UTARA

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pembangunan yang diukur dengan Indeks Williamson pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan data panel dari tahun 2010-2013. Penelitian ini menggunakan uji Hausman dalam memilih model terbaik untuk metode General Least Square (GLS) dan hasil uji tersebut menunjukan bahwa Fixed Effects Models (FEM) yang digunakan dalam menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara.

Berdasarkan hasil estimasi tersebut bahwa variabel pendapatan asli daerah mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, sedangkan Dana Perimbangan mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

Kata Kunci : Ketimpangan pembangunan, Desentralisasi fiskal, Pendapatan Asli

(12)

ABSTRACT

ANALYSIS THE INFLUENCE OF FISCAL DECENTRALIZATION OF INEQUALITY OF DEVELOPMENT IN DISTRICT/CITY IN NORTH

SUMATRA PROVINCE

Purpose of this study was to determine the influence of fiscal decentralization on development imbalances measured by Williamson Index in regencies / cities in North Sumatera province using panel data from 2010-2013.This research is examined with Hausman test in order to select the best model for General Least Square (GLS) and the results of the test show Fixed Effects Models (FEM) used to analysis the influence of fiscal decentralization on development gaps at the district / city in the province of Sumatera Utara.

Based on the estimation the variable local revenues have a positive effect and significant imbalance in the development of districts/cities in North Sumatera Province, while the Balance Fund have a negative impact and significant effect on inequality of development in the district/city in North Sumatera Province

Keywords:Inequality development, fiscal decentralization, local revenue, fund

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dalam perkembangannya, pembangunan ekonomi sering kali tidak merata dan menimbulkan ketimpangan pembangunan antar daerah.Adanya perbedaan tingkat pembangunan di berbagai daerah dapat disebabkan karena adanya perbedaan potensi yang dimiiki oleh masing-masing daerah, diantaranya latar belakang geografis, potensi sumber daya baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, infrastruktur, dan sebagainya. Perbedaan potensi tersebut menyebabkan ketimpangan antar daerah yang satu dan daerah yang lain. Perbedaan tingkat pembangunan ini membawa dampak perbedaan tingkat kesejahteraan antar daerah yang pada akhirnya menyebabkan ketimpangan wilayah antar daerah semakin besar.Maka dari itu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diperlukan pertumbuhan ekonomi yang meningkat. Pertumbuhan ekonomi yang cepat yang tidak diimbangi dengan pemerataan, akan menimbulkan ketimpangan wilayah. Ketimpangan wilayah (regional disparity) tersebut, terlihat dengan adanya wilayah yang maju dangan wilayah yang terbelakang atau kurang maju.Hal ini dikarenakan tidak memperhatikan apakah pertumbuhan tersebut lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau perubahan struktur ekonomi (Hadi, 2009).

(14)

Nazara (2010) disparitas antar daerah adalah masalah struktural di perekonomian Indonesia.Dalam hal ini, diperlukan campur tangan pemerintah dalam memecahkan permasalahan struktural perekonomian, salah satunya adalah dengan merancang kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi fiskal yang diharapkan dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah di Indonesia.

Kebijakan otonomi daerah sudah dilakukan sejak tanggal 1 Januari 2001.Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri dalam menetapkan prioritas pembangunan.Otonomi dan desentralisasi fiskal dapat lebih memeratakan pembangunan sesuai dengan keinginan daerah untuk mengembangkan wilayah menurut potensi masing-masing.

Otonomi daerah tidak hanya berhenti pada pembagian dana pembangunan yang relatif adil antara pemerintah pusat dan yang diwujudkan dalam bentuk dana perimbangan (balancing fund), tetapi keberhasilan otonomi daerah juga diukur dari seberapa besar porsi sumbangan masyarakat lokal berupa pendapatan asli daerah (PAD) terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Oleh sebab itu, implementasi otonomi daerah tidak hanya tanggung jawab penyelenggara pemerintah daerah, yakni Bupati atau Walikota serta perangkat daerah lainnya, tetapi juga seluruh masyarakat lokal di tiap-tiap daerah (Saragih, 2003).

(15)

mengelola sumber-sumber keuangan. Selain dari pendapatan asli daerah tersebut juga

dari pemberian sumber dana dari pusat yang berupa dana perimbangan.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan tolok ukur dalam pelaksanaan otonomihdaerah karena pendapatan asli daerah sebagai sumber pendapatan dan pembiayaan pemerintah daerahyang utama.Dengan adanya peningkatan PAD diharapkan dapat mengurangi ketimpangan pembangunan yang semakin membesar antar daerah. Selain itu pemberian dana transfer kepada pemerintah daerah yang disebut dengan dana perimbangan. Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), serta Dana Bagi Hasil (DBH).Dana tersebut harus dapat dimanfaatkan secara maksimal dan terarah sesuai dengan kebutuhan daerah.Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah untuk mendanai kewenangannya dalam meningkatkan pembangunan, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah. Sehingga tujuan dari kebijakan desentralisasi fiskal yaitu tercapainya suatu keseimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam bentuk dana perimbangan bisa tercapai.

(16)

ini menjanjikan terjadinya: efisiensi ekonomi, efektivitas biaya program, akuntabilitas, peningkatan mobilisasi sumber daya, berkurangnya tingkat kesenjangan (disparitas), peningkatan partisipasi politik, serta penguatan demokrasi.

Di Indonesia, Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi yang terdiri dari 25 kabupaten dan 8 kota yang memiliki pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 sebesar 6,63 namun tahun selanjutnya perumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara semakin terus menurun dari tahun 2012-2013. Hal ini menujukan bahwa di Provinsi Sumatera Utara memiliki kinerja pembangunan yang tidak baik.

(17)

Tabel 1.1

PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara (Miliar rupiah)

Kabupate/Kota 2010 2011 2012 2013 Padang Lawas Utara 783,76 837,15 890,59 945,20

Padang Lawas 750,29 798,26 848,65 900,59

Padangsidimpuan 936,05 991,12 1 052,89 1 118,07

Gunungsitoli 867,97 924,07 982,09 1 044,89

Sumatera Utara 118 718,90 126 587,62 134 463,95 142 537,12

Sumber : BPS Sumut

(18)

kebijakan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengelola penerimaan daerahnya yaitu dengan melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal berupa PAD dan Dana Perimbangan. Dana yang diterima di masing-masing daerah cukup besar, dan masing-masing daerah akan menerima dana perimbangan yang berbeda-beda tergantung pada kapasitas fiskal. Dengan adanya pendapatan dari daerah masing masing dan pemberian dana dari pusat ini diharapkan terjadinya pemerataan pembangunan di masing-masing daerah sehingga dapat mengurangi ketimpangan yang ada.

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar tingkat ketimpangan pembangunan yang terjadi antar daerah, serta melihat pengaruh desentralisasi fiskal (PAD dan Dana Perimbangan) terhadap ketimpangan pembangunan yang terjadi selama kurun waktu 2010-2013.

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara ?

2. Bagaimana pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara ?

3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang dapat penulis simpulkan adalah sebagai berikut :

(19)

2. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pembangunan di pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

3. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti khususnya dalam hal masalah ketimpangan pembangunan, serta salah satu syarat bagi peneliti dalam menyelesaikan perkuliahan.

2. Sebagai tambahan informasi bagi pemerintah daerah dalam pembuatan perencanaan dan kebijakan perumusan pengeluaran pemerintah.

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Ketimpangan Antar Daerah

Salah satu tujuan pembangunan ekonomi daerah adalah untuk mengurangi ketimpangan (disparity).Peningkatan pendapatan per kapita memang menunjukkan tingkat kemajuan perekonomian suatu daerah.Namun meningkatnya pendapatan per kapita tidak selamanya menunjukkan bahwa distribusi pendapatan lebih merata.Seringkali di negara-negara berkembang dalam perekonomiannya lebih menekankan penggunaan modal dari pada tenaga kerja sehingga keuntungan dari perekonomian tersebut hanya dinikmati sebagian masyarakat saja.Apabila ternyata pendapatan nasional tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi ketimpangan.

Menurut Williamson (1965) berkaitan tentang pembangunan ekonomi regional, menyatakan bahwa dalam tahap pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu.Pada tahap yang lebih maju, dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak bahwa keseimbangan antar daerah dan disparitas berkurang dengan signifikan.

Ketimpangan antar daerah juga disebabkan oleh mobilitas sumber-sumber daya yang dimilki oleh suatu daerah. Sumber-sumber daya tersebut antara lain akumulasi modal, tenaga kerja, dan sumber alam yang dimiliki.

(21)

terdapat pada masing-masing wilayah. Adanya perbedaan ini menyebabkan kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Oleh karena itu pada setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju (Developed Region) dan wilayah terbelakang (Underdeveloped Region) (Sjafrizal, 2012).

Menurut Kuncoro (2006), kesenjangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyrakat, sebab kesenjangan antar wilayah yaitu adanya perbedaan faktor anugrah awal (endowment factor).Perbedaan ini yang menyebabkan tingkat pembangunan di berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda, sehingga menimbulkan gap atau kurang kesejahteraan di berbagai wilayah tersebut.

Secara teoritis, permasalahan ketimpangan antar wilayah mula-mula dimunculkan oleh Douglas C. North dalam analisanya tentang Teori Pertumbuhan Neo Klasik.Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah.Hipotesa ini kemudian lebih dikenal sebagai Hipotesa Neo-Klasik (Sjafrizal, 2012).

(22)

negara maju ketimpangan tersebut akan menjadi lebih rendah. Dengan kata lain, kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah berbentuk huruf u terbalik. Kebenaran Hipotesa Neo-Klasik ini kemudian diuji kebenarannya oleh Williamson pada tahun 1966 melalui studi tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan data time series dan cross section.Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Hipotesa Neo-Klasik yang diformulasi secara teoritis ternyata terbukti benar secara empirik. Ini berarti bahwa proses pembangunan suatu negara tidak otomatis dapat menurunkan ketimpangan pembangunan antar wilayah, tetapi pada tahap permulaan justru terjadi hal yang sebaliknya (Sjafrizal, 2012).

Ketimpangan pada kenyataannya tidak dapat dihilangkan dalam pembangunan suatu daerah. Adanya ketimpangan, akan memberikan dorongan kepada daerah yang terbelakang untuk dapat berusaha meningkatkan kualitas hidupnya agar tidak jauh tertinggal dengan daerah sekitarnya. Selain itu daerah-daerah tersebut akan bersaing guna meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga ketimpangan dalam hal ini memberikan dampak positif. Akan tetapi ada pula dampak negatif yang ditimbulkan dengan semakin tingginya ketimpangan antar wilayah.Dampak negatif tersebut berupa inefisiensiekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi pada umumnya dipandang tidak adil (Todaro, 2004).

(23)

digunakan sebagai tolak ukur ketimpangan wilayah.bukan dari tingginya pendapatan tetapi bagaimana peendapatan tersebut terdistribusi secara merata.

Shenggen (2011) melakukan penelitian tentang menilai evolusi kesenjangan antar daerah di Cina, dan menunjukan bahwa ketimpangan regional di dua indikator yaitu Gini ratio dan Theil indeks menunjukkan bahwa kesenjangan sosial telah meningkat terus dan ada tiga elemen dalam kebijakan yang diambil yaitu : infrastruktur, investasi sosial dan perlindungan, dan reformasi pemerintahan. Yilmaz (2002), meneliti bagaimana pola dan struktur perekonomian cenderung konvergen dan divergen.Hasilnya menjelaskan bahwa perbedaan wilayah dan perilaku temporal dari perekonomian nasional mempunyai efek terhadap kecepatan kondisi konvergensi.Ying (2000) melakukan penelitian juga di Cina tentang kesenjangan regional di 30 propinsi di Cina periode tahun 1978-1994.

Mopanga (2010), melakukan penelitian Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo, dimana hasil penelitiannya menunjukan bahwa perbedaan pada PDRB per kapita, Indeks Pembangunan Manusia dan Rasio Belanja Infrastruktur signifikan sebagai sumber utama ketimpangan.Lebih lanjut secara deskriptif, Mopanga (2010) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif dengan ketimpangan pembangunan (Indeks Gini).Artinya secara vertikal pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif dengan ketimpangan pembangunan.

(24)

1. Perbedaan sumber daya alam pada masing-masing daerah.

Perbedaan sumberdaya alam akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya alam yang cukup banyak akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murahdibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber dayaalam yang lebih sedikit. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tersebut menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai sumber daya alam yang sedikit hanya akan memproduksi barang-barang denganbiaya produksi lebih tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah.

2. Perbedaan kondisi demografis.

Kondisi demografis yang dimaksud adalah perbedaan tingkat pertumbuhandan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikandan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah tersebut. Kondisi demografis ini akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar daerah karena hal ini akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat daerah tersebut.

3. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa

(25)

membutuhkan. Demikian pula dengan migrasi yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat membutuhkannya. Akibatnya, ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi karena kelebihan suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lainyang membutuhkan sehingga darah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya.

4. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah

Pertumbuhan ekonomi daerah yang akan cenderung lebih cepat pada daerah dimana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah

5. Alokasi dana pembangunan antar wilayah

Bila sistem pemerintahan yang dianut bersifat sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih banyak dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga ketimmpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi. Jika sistem yang dianut bersifat otonomi, maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan akan cenderung rendah.

6. Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal (fiscal decentralization) yaitu pelimpahan wewenang dalam mengelola sumber-sumber keuangan, yang mencakup:

(26)

2. Cofinancing atau coproduction, dimana pengguna jasa berpartisipasi dalam bentuk pembayaran jasa atau kontribusi tenaga kerja.

3. Transfer dari pemerintah pusat terutama berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), sumbangan darurat, serta pinjaman daerah (sumber daya alam)

Desentralisasi fiskal akan memberi keleluasaan kepada daerah untuk menggali potensi daerah dan memperoleh transfer dari pusat dalam kerangka keseimbangan fiskal. Simanjuntak (2001) berpendapat ada beberapa alasan untuk mempunyai sistem pemerintahan yang terdesentralisai yaitu: Desentralisasi merupakan bagian dari strategi setiap institusi yang berkehendak untuk tidak mati dalam persaingan global. Ia adalah strategi untuk menjadi kompetitif. Demikian pula bagi sebuah negara.Desentralisasi menjadikannya terbagi menjadi bagian-bagian kecil yang terintegrasi.

(27)

Dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Artinya, setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Pemerintah pusat memberikan dukungan baik berupa dana transfer kepada daerah untuk dikelola secara optimal agar mampu membiayai daerahnya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sehingga dapat menggali pendapatan daerah tersebut.

Penerapan desentralisasi fiskal ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 pada 1 Januari 2001. Dalam perjalanannya kedua undang-undang tersebut menimbulkan beberapa permasalahan yang kemudian diperbaiki oleh pemerintah melalui revisi undang-undang tersebut menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diberlakukan pada bulan desember 2004 (RPJMN 2004-2009). Dalam UU No. 32 Tahun 2004, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintah, oleh pemerintah (pusat) kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatan Republik Indonesia.

(28)

sendiri. Desentralisasi fiskal ini dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam penyedian barang dan jasa publik (pubilc goods/publicservices). Ada dua keuntungan yang dapat dicapai dari penerapan desentralisasi fiskal (Ebel dan Yilmaz, 2002), antara lain:

1. Efisiensi dan alokasi sumber-sumber ekonomi

Desentralisasi akan meningkatkan efisiensi karena pemerintah daerah mampu memperoleh informasi yang lebih baik (dibandingkan dengan pemerintah pusat) mengenai kebutuhan rakyat yang ada di daerahnya. Oleh karena itu, pengeluaran pemerintah daerah lebih mampu merefleksikan kebutuhan/pilihan masyarakat di wilayah tersebut dibandingkan bila dilakukan oleh pemerintah pusat.

2. Persaingan antara pemerintah daerah

Penyediaan barang publik yang dibiayai oleh pajak daerah akan mengakibatkan pemerintah daerah berkompetisi dalam menyediakan fasilitas publik yang lebih baik. Karena dalam sistem desentralisasi fiskal, warga negara menggunakan metode ―vote byfeet dalam menentukan

barang publik di wilayah mana, yang akan dimanfaatkan. Untuk mengukur desentralisasi fiskal di suatu wilayah, terdapat dua variabel umum yang sering digunakan, yaitu pengeluaran dan penerimaan daerah.

(29)

variabels) yang digunakan oleh peneliti yang satu dengan peneliti yang lain. Ada tiga size variabels yang umum digunakan, yaitu: jumlah penduduk, luas wilayah, dan GDP.

Supriyadi (2013) melakukan penelitian tentang analisis desentralisasi fiskal di Kabupaten Bungo, dimana hasil didapat yaitu derajat desentralisasi di Kabupaten Bungo sangat kurang, sedangkan Pendapatan Asli Daerah dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, derajat desentralisasi fiskalnya juga sangat kurang.

3. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah adalah sebagai berikut :

1. Pajak daerah 2. Retribusi daerah

3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan

4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.

(30)

yang dimiliki oleh daerah dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan PAD maupun untuk menggali sumber-sumber penerimaan yang baru.

5. Dana Perimbangan

Dana perimbangan merupakan dana yang bersumber dari penerimaan APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan untuk masing-masing daerah terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).

Tujuan instrumen fiskal dari dana perimbangan yaitu berguna untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui belanja pembangunan dan investasi daerah. Dengan meningkatnya dana perimbangan, kontribusi belanja pembangunan akan menarik investor untuk dapat berinvestasi di daerah sehingga akan memperluas basis kegiatan ekonomi di berbagai sektor, dan secara khusus memperluas lapangan usaha dan menurunkan tingkat pegangguran dan kemiskinan.

Dana perimbangan terdiri dari : 1. Dana Alokasi Umum

(31)

untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

Dana alokasi umum terdiri atas berikut ini: 1. Dana alokasi umum untuk daerah propinsi.

Jumlah dana alokasi bagi semua daerah provinsi dan jumlah dana alokasi umum bagi semua daerah kabupaten/ kota masing – masing ditetapkan setiap tahun dalam APBN.

2. Dana alokasi umum untuk daerah kabupaten/ kota

Dana alokasi umum ini merupakan jumlah seluruh dana alokasi umum untuk daerah provinsi dan untuk daerah kabupaten/ kota. Perubahan dana alokasi umum akan sejalan dengan penyerahan dan pengalihan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka desentralisasi.

Dana alokasi umum ditetapkan sekurang–kurangnya 25% dari penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah. Dana alokasi umum untuk daerah provinsi dan untuk daerah kabupaten/ kota ditetapkan masing–masing 10% dan 90% dari dana alokasi umum.

1. Dana Alokasi Khusus

(32)

mendanai kegiatan khusus yang merupakann urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK bertujuan:

1. Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan keuangan di bawah rata-rata nasional, dalam rangka mendanai kegiatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayana dasar masyarakat yang telah merupakan urusan daerah.

2. Menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil, daerah perbatasana dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil, daerah rawan banjir/longsor, serta termasuk kategori daerah ketahanan pangan dan daerah pariwisata.

3. Mendorong peningkatan produktivitas perluasan kesempatan kerja dan diversifikasi ekonomi terutama di pedesaan melalui kegiatan khusus di bidang pertanian, kelautan dan perikanan, serta infrastruktur.

4. Meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan dasar dan prasarana dasar melalui kegiatan khusus di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

(33)

6. Mendukung penyediaan prasarana di daerah yang terkena dampak pemekaran pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi melalui kegiatan khusus di bidang prasarana pemerintahan.

7. Meningkatkan keterpaduan dan sinkronisasi kegiatan yang didanai dari DAK dengan kegiatan yang didanai dari anggaran Kementerian/Lembaga dan kegiatan yang didanai dari APBD.

8. Mengalihkan secara bertahap dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang telah menjadi urusan daerah ke DAK. Dana yang dialihkan berasal dari anggaran Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Kesehatan.

1. Dana Bagi Hasil

Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentrslisasi. DBH dilakukan berdasarkan prinsip by origin (daerah penghasil) dan penyaluran berdasarakan realisasi peneriamaan.

(34)

Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalty); Perikanan berasal dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan Hasil Perikanan; Pertambangan Minyak Bumi dibagi dengan imbangan 84,5% untuk 36 pemerintah pusat dan 15,5% untuk pemerintah daerah; Pertambangan Gas Bumi dibagi dengan imbangan 69,5% untuk pemerintah pusat dan 30,5% untuk pemerintah daerah; Pertambangan Panas Bumi untuk daerah sebesar 80% dan dibagi dengan rincian 16% untuk provinsi yang bersangkutan, 32% untuk kabupaten/kota penghasil dan 32% untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan (UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah).

2. Penelitian Terdahulu

(35)

2. Rama Nurhuda, M. R. Khairul Muluk, Wima Yudo Prasetyo (2013) yang berjudul “Analisis ketimpangan pembangunan ; Studi di Provinsi Jawa Timur Tahun 2005-2011”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ketimpangan yang terjadi, apakah hipotesis Kuznets berlaku di wilayah ini dan pengaruh variabel PDRB, PAD, DAU, dan IPM terhadap ketimpangan pembangunan. Teknik analisis yang digunakan adalah indeks wiliamson, hipotesis Kuznets, dan regresi berganda. Dengan menggunakan data Panel dari tahun 2005-2011. Hasil penelitian menujukan bahwa ketimpangan di Provinsi Jawa Timur masih rendah. Hipotesis Kuznets juga berlaku di Provinsi ini. PAD dan IPM berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pembangunan. Sedangkan untuk PDRB dan DAU tidak diketahui pengaruhnya dikarenakan tidak memenuhi syarat dalam uji asumsi klasik.

3. Andreas P Kyriacou et al (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Fiscal decentralization and regional disparities: The importance of good governance” dalam penelitian ini menjelaskan bagaimana mempertimbangkan kualitaspemerintah dalammengatasi hubungan antaradesentralisasi fiskaldankesenjangan antar daerah. Data yang digunakan yaitu diambil dari beberapa sampeldari24 negaraOECDselama periode1984-2006. Hasil penelitian menemukan bahwadesentralisasi

fiskaldapat mempengaruhi suatu daerahdalam

(36)

initidak dapatdirealisasikankarena masalahtata kelolaterkait denganotoritassubnasional. Sehingga hal ini yang mengarah kedisparitasregional yang lebih luasdi negara-negaradengantata kelola yang buruk.

4. Roberto Ezcurra, Pedro Pascual (2008) dalam penelitian berjudul “Fiscal decentralization and regional disparities: evidence from several European Union countries” tujuan penilitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara desentralisasi fiskal dan kesenjangan antar wilayahdi negara-negara Uni Eropa. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data panel. Hasil penelitian menujukan bahwa desentralisasi fiskal berhubungan negatif dengan tingkat ketimpangan wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berkontribusi untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah di negara-negara Uni Eropa.

(37)

6. Kerangka Konseptual

Adapun kerangka teoritis yang dapat penulis paparkan mengenai pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pembangunan yaitu dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini :

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

OTONOMI DAERAH KETIMPANGAN PEMBANGUNAN

DANA PERIMBANGAN PAD

PEMBANGUNAN EKONOMI

PERTUMBUHAN EKONOMI

PEMERATAAN PEMBANGUNAN UU no.33 Tahun 2004

(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang mana data yang diperoleh dari seluruh populasi penelitian dianalisis sesuai dengan metode statistik yang digunakan kemudian diinterpretasikan.

2. Populasi Penelitian

Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota Provinsi se-Sumatera Utara yang terdiri dari 25 Kabupaten dan 8 Kota.

3. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data panel yaitu gabungan antara data time series dan cross section yang bersumber Badan Pusat Statistik (BPS) selama periode 2010-2013 untuk setiap Kab/Kota di Sumatera Utara.

4. Variabel Penelitian

Variabel adalah segala sesuatu yang dapat diberi berbagai macam nilai. Variabel yang digunakan penelitian ini adalah Desentralisasi Fiskal yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Dana Perimbangan (DAU,DAK,DBH) sebagai variabel bebas (independent variable) dan ketimpangan pembangunan sebagai variabel terikat (dependent variable).

5. Pengolahan Data

(39)

6. Definisi Operasional

1. Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi Fiskal adalah seberapa besar ketergantungan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara terhadap pemerintah pusat dalam membiayai pembangunan.

2. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah Pendapatan yang diperoleh darimasing-masing daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.Berupa hasil pajak daerah, restribusi, pengelolaan kekayaan, dan lain-lain pendapatan asli daerah.

3. Dana Perimbangan

Dana perimbangan adalah dana yang diberikan oleh pusat dan diberikan ke Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara berupa DAU,DAK,DBH dalam satuan desimal.

4. Dana Alokasi Umum (DAU)

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana transfer yang bersifat umum yang diberikan oleh pusat ke Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara yang dialokasi dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar Kabupaten/Kota.

5. Dana Alokasi Khusu (DAK)

(40)

6. Dana Bagi Hasil (DBH)

Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana dari penerimaan perpajakan maupun sumber daya alam yang dibagikan ke Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. 7. Ketimpangan Pembangunan

Ketimpangan Pembangunan adalah ketimpangan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara yang diproksi dengan nilai Indeks Williamson masing-masing kabupaten/kota dalam satuan desimal.

8. Model Analisis Data

1. Ketimpangan Pembangunan

Ketimpangan Pembangunan antar kabupaten/kota yang terjadi di Sumatera Utara dapat dianalisis dengan menggunakan indeks ketimpangan regional (regional Inequality) yang dinamakan indeks ketimpangan Williamson (Sjafrizal,1997) :

Indeks Williamson (IW) =

�∑�(�−�)2 x

� ��

Dimana :IW = Indeks Williamson

�� = PDRB perkapita kabupaten/kota

Y = PDRB perkapita rata-rata Provinsi Sumatera Utara �� = Jumlah penduduk kabupaten/kota

n = Jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara

(41)

2. Desentralisasi Fiskal

Untuk pengukuran derajat desentralisasi fiskal di kabupaten kota di Sumatera Utara, dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan penerimaan yaitu dilihat dari PAD, DAU, DAK, DBH. Dimana dirumuskan sebagai berikut :

��,�

=

����,�

����,�

x 100 %

Dimana :

DFi,t = Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota i, pada tahun t PADi,t = Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota i, pada tahun t TPDi,t = Total Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota i, pada tahun t

3. Model Analisis Ekonomterik

Untuk menganalisis pengaruh desentralisasi terhadap ketimpangan pembangunan di Sumatera Utara periode 2010-2013 dengan menggunakan model analisis adalah :

���� = �+ ��������+ �������+ ���

Dimana :

IW = Ketimpangan Pembangunan PAD = Pendapat Asli Daerah DP = Dana Perimbangan

α = Konstanta β1− β2 = Koefisien Regresi

μ = Variabel Gangguan (error term) i = Kabupaten/Kota

t = Tahun

4. Metode Analisis

(42)

dengan metode ini dapat dianalisis dengan dua model pendekatan, yaitu fixed effects model (FEM) dan random effects model (REM).

Kemudian dari kedua model tersebut dapat ditentukan model yang terbaik untuk digunakan dalam model persamaan ekonometrika. Untuk melihat model terbaik maka dapat dilakukan dengan Uji Hausman test,1978 (Gujarati,2003). Uji Hausman test diestimasi dengan program eviews.

Adapun pemilihan model antara Fixed EffectModel (FEM) dengan Random EffectModel (REM) dapat dilakukan dengan Hausman Test, yaitu dengan hipotesis sbb :

H0 : Random Effect Model (REM)

H1 : Fixed Effect Model (FEM)

Dengan asumsi, H0 ditolak jika P-value lebih kecil dari α = 5 % dan nilai

(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Perkembangan dan Struktur Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satuu indikator terpenting untuk melihat keberhasilan pembangunan dalam bidang ekonomi. Bagi daerah, indikator ini sangatlah penting untuk mengetahui keberhasilan pembangunan yang telah dicapai dan untuk menentukan arah pembangunan pada masa yang akan datang.

Tabel 4.1

Laju Pertumbuhan Ekonomi menurut Kabupaten/Kota Atas Dasar Harga Konstan 2000 (%) di Provinsi Sumatera Utara

(44)

Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013 Rerata Labuhanbatu Selatan 5,61 6,13 6,33 6,05 6,03 Labuhanbatu Utara 5,68 6,21 6,38 6,33 6,15

Nias Utara 6,73 6,68 5,88 6,25 6,38

Nias Barat 6,3 6,76 4,93 5,81 5,95

Silboga 6,04 5,09 5,35 5,8 5,57

Tanjung Balai 4,76 4,86 4,98 4,52 4,78

Pematang Siantar 5,85 6,02 5,71 5,16 5,68

Tebing Tinggi 6,04 6,67 6,75 6,91 6,59

Medan 7,16 7,69 7,63 4,3 6,69

Binjai 6,07 6,56 6,61 6,48 6,43

Padang Sidempuan 5,81 5,88 6,23 6,2 6,03

Gunung Sitoli 6,73 6,46 6,33 6,35 6,46

Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Sumatera

Utara 5,93

Sumatera Utara 6,42 6,63 6,22 6,01 6,32

Sumber : BPS Sumut

Berdasarkan tabel 4.1 diatas, bahwa pertmbuhan ekonomi kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang fluktuatif dengan rata-rata 5,93% namun ini tidak sebaik dengan laju pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara sebesar 6,32 pertahun.

(45)

Untuk ibu kota Provinsi Sumatera Utara yaitu Kota Medan memiliki laju pertumbuhan dari tahun 2010-2012 sselalu mengalami peningkatan, namun pada tahun 2013 laju pertumbuhan di Kota Medan menurun sebesar 4,3 %

2. Analisis Ketimpangan Pembangunan

Salah untuk melihat ukuran ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara adalah dengan melalui perhitungan Indeks Williamson (IW).Berdasarkan hasil analisis tersebut maka dapat diperoleh nilai indeks Williamson masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.2

(46)

No Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013 Rerata 20 Padang Lawas Utara 0.0700 0.0699 0.0706 0.0713 0.0705 21 Padang Lawas 0.0725 0.0737 0.0748 0.0758 0.0742 22 Labuhanbatu Selatan 0.0487 0.0512 0.0498 0.0486 0.0496 23 Labuhanbatu Utara 0.0448 0.0455 0.0465 0.0479 0.0462 24 Nias Utara 0.0479 0.0473 0.0470 0.0465 0.0472 25 Nias Barat 0.0463 0.0458 0.0458 0.0454 0.0458 26 Silboga 0.0139 0.0140 0.0143 0.0152 0.0143 27 Tanjungbalai 0.0230 0.0211 0.0197 0.0179 0.0204 28 Pematangsiantar 0.0220 0.0225 0.0225 0.0220 0.0222 29 Tebing Tinggi 0.0079 0.0083 0.0088 0.0100 0.0087 30 Medan 0.5175 0.5351 0.5509 0.5382 0.5354 31 Binjai 0.0137 0.0138 0.0141 0.0147 0.0141 32 Padangsidimpuan 0.0419 0.0425 0.0431 0.0436 0.0428 33 Gunungsitoli 0.0077 0.0075 0.0073 0.0069 0.0073

Rata-rata Indeks Wiliamson 0.0547

Sumber : BPS Sumut Dalam Angka,(diolah)

Dari tabel diatas menujukan bahwa angka Indeks Williamson atau ketimpangan pembangunan dilihat dari PDRB perkapita atas harga konstan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara selama periode 2010-2013, yaitu rata-rata sebesar 0.0547. Angka ini memberikan arti bahwa rata-rata ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara relatif kecil atau rendah.

Ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara tergolong rendah, ini dikarenakan nilai indeks Williamsonnya mendekati nilai 0. Sehingga jika ketimpangan semakin kecil maka semakin merata pendapatan baik dari pendapatan asli daerah tersebut maupun pemberian dana dari pusat antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

(47)

seluruh kabupaten/kota di Sumatera Utara yaitu Kabupaten Langkat yang memilki rata-rata dari tahun 2010-2013 sebesar 0.0008.

Nilai indeks Williamson yang semakin rendah akan menujukan bahwa semakin kecilnya tingkat ketimpangan pembangunan yang terjadi sehingga tingkat pendapatan semakin merata. Dengan tingkat pendapatan yang semakin merata maka kesejahteraan di daerah tersebut akan meningkat. Tetapi hal ini tidak berarti menunjukan bahwa kabupaten/kota di Sumatera Utara tersebut lebih baik tingkat kesejahteran masyarakat dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya yang ada di Provinsi Sumatera Utara.Semua ini disebabkan karena setiap kabupaten/kota memiliki potensi daerah yang berbeda-beda salah satunya sumber daya alam yang dimiliki merupakan pemicu dalam pertumbuhan ekonomi wilayah daerah tersebut. Adanya berbedaan karakteristik dari suatu daerah akan menyebabkan kecenderungan ketimpangan antar daerah.

(48)

3. Analisis Desentralisasi Fiskal

1. Derajat Desentralisasi Fiskal Pendapatan Asli Daerah (DDF PAD)

Rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal Pendapatan Asli Daerah (DDF PAD) antar kabupaten/kota selama periode 2010-2013 rata-rata sebesar 5.34% kondisi ini menggambarkan bahwa Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) sangat kurang. Ini bisa dilihat dari tabel berikut ini :

Tabel 4.3

Derajat Desentralisasi Fiskal dari PAD (DDF PAD) Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010-2013

(49)

Kabupaten/ Kota DDF (%)

Sumber : BPS Sumut (diolah)

Berdasarkan tabel 4.3 untuk Kabupaten/Kota yang memilki DDF PAD tertinggi yaitu Kota Medan yang memiliki rata-rata dari tahun 2010-2013 sebesar 31.9% . DDF PAD tertinggi disebabkan adanya peningkatan Pendapatan Asli Daerah.Peningkatan PAD tersebut berasal dari Pajak Daerah.Dimana untuk DDF pajak daerah tahun 2010-2013 rata-rata sebesar 21.7%. Ini menandakan bahwa di kota medan untuk pendapatan asli daerah banyak didapat dari pajak daerah. Sedangkan hasil untuk DDF PAD terendah yaitu terdapat di daerah Kabupaten Nias Barat disebabkan persentase peningkatan total pendapatan daerah lebih besar dari persentase peningkatan PAD.

(50)

Gambar 4.1

Rata-Rata Derajat Desentralisasi Fiskal dari Komponen PAD (Pajak Daerah, Restribusi Daerah, hasil Kekayaan yang Dipisahkan, Lain-lain PAD Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2010-2013

Sangat kurangnya derajat desentralisasi fiskal dari komponen PAD menunjukan bahwa Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara selama periode 2010—2013 masih sangat tergantung kepada penerimaan yang bersumber di luar PAD, seperti dana perimbangan dan lain-lain penerimaan yang sah. Hasil temuan ini sejalan dengan studi yang dilakukan Halim dan Jamal (2006) serta Hidayat dan Sirojuzilam (2006) yang menunjukan bahwa transfer dana yang berasal dari pemerintah pusat berupa dana perimbangan (DAU dan DAK) masih mendominasi struktur APBD kabupaten/kota di Indonesia

2. Derajat Desentralisasi Fiskal Dana Perimbangan (DDF DP)

Rata-rata derajat desentralisasi fiskal dana perimbangan antar kabupaten/kota di Sumatera Utara dari tahun 2010-2013 yaitu rata-rata sebesar 77.6%, kondisi ini menggambarkan bahwa Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) dana perimbangan sangat baik.

36%

23% 12%

29%

Pajak Daerah

Retribusi Daerah

Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan

(51)

Jika dianalisis lebih lanjut daerah yang mendapatkan dana transfer dari pusat berupa dana perimbangan tertinggi yaitu Kabupaten Dairi rata-rata sebesar 245.6%, dimana ini mengambar bahwa Kabupaten Dairi sumber penerimaan dari pusat lebih banyak dari pada sumber penerimaan pendapatan asli daerahnya. Ini juga terlihat sekali pada tahun 2010 dimana Kabupaten Dairi realisasi untuk dana perimbangan lebih besar dari pada total penerimaan kabupaten tersebut. Sedangkan untuk penerimaan dari pusat yang paling rendah yaitu kota Medan rata-rata sebesar 46.44%.

Rincian lebih lanjut atas derajat desentralisasi fiskal dari dana perimbangan

antar kabupaten/kota di Sumatera Utara selama periode 2010-2013 dapat dilihat tabel

berikut :

Tabel 4.4

Derajat Desentralisasi Fiskal dari Dana Perimbangan (DDF DP) Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

pada tahun 2010-2013

(52)

Kabupaten/Kota DDF (%)

Sumber : BPS Sumut (diolah)

Sementara itu untuk derajat desentralisasi dari komponen dana perimbangan yang diterima antar kabupaten/kota di Sumatera Utara dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 4.2

Rata-Rata Derajat Desentralisasi Fiskal dari Dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun

2010-2013

8%

82% 10%

Dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak

Dana alokasi umum

(53)

Dari gambar 4.1 diatas terlihat bahwa komponen dana perimbangan yang diterima antar kabupaten/kota di Sumatera Utara selama periode 2010-2013 yang disalurkan untuk dana alokasi umum rata-rata sebesar 82%. Ini berarti banyak kabupaten/kota di Sumatera Utara yang mendapatkan dana alokasi umum dari pada dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak yang hanya rata-rata sebesar 10% dan dana alokasi khusus rata-rata sebesar 8%.

Semakin banyak Dana Alokasi Umum yang diterima maka berarti daerah tersebut masih tergantung terhadap pemerintah pusat dalam memenuhi belanjanya, ini menandakan bahwa daerah tersebut belumlah mandiri, dan begitu juga sebaliknya.

3. Perbandingan Rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal PAD dengan

Dana Perimbangan

Rincian perbandingan antara derajat desentralisasi fiskal PAD dengan Dana Perimbangan dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 4.3

Rata-Rata Derajat Desentralisasi Fiskal PAD dengan Dana Perimbangan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2010-2013

6%

94%

PAD

(54)

Dari gambar 4.3 dapat dilihat bahwa rata-rata derajat desentralisasi fiskal yang memegang peranan penting yaitu dana perimbangan dimana derajat ini sangat baik dimana secara keseluruhan bahwa dana perimbangan memilki derajat desentralisasi fiskal sebesar 94 % dan sisanya dari derajat desentralisasi fiskal PAD. Ini berarti bahwa kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara lebih banyak menerima transfer dari pemerintah pusat dibandingkan dari pendapatan asli daerah.

4. Analisis Data

1. Analisis Estimasi dengan Generalized least square (GLS)

Dengan hasil estimasi ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara untuk data panel dengan menggunakan metode OLS terbukti tidak konsisten dan efisien, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis dan mengestimasi dengan metode Generalized Least Square (GLS) seperti yang disarankan oleh Gujarati (2003).

(55)

Tabel 4.5

Hasil Estimasi Metode GLS (FEM dan REM)

Variabel Terikat : Ketimpangan Pembangunan (IW) Periode 2010 – 2013 Variabel Bebas Random Effects Fixed Effects

C Sumber: Data diolah (Lampiran 1 & 2)

Berdasarkan estimasil diatas model fixed effects models (FEM) lebih baik dibandingkan random effects model (REM). Hal ini bisa dilihat berdasarkan hasil estimasi diatas, fixed effects models (FEM) menujukan hasil yang lebih baik dibandingkan random effects model (REM). Hal ini bisa dilihat dari nilai R-square(�2) dan nilai Durbin –Watson yang lebih baik pada fixed effects models (FEM) dibandingkan random effects model (REM).

Setelah berdasarkan estimasi diatas, maka dilakukan pemilihan model terbaik dengan Husman test, 1978 (Gujarati,2003). Untuk penelitian ini, Husman test diestimasi dengan program Eviews 7 sehingga diperoleh nilai chi-squarenya. Ketentuan dari Husman test adalah apabila null hypothesis (Ho) diterima, maka model yang digunakan adalah random effect model (REM) dan sebaliknya apabila null hypothesis (Ho) ditolak, maka model yang akan digunakan adalah fixed effect model (FEM)

1. Uji Hausman Test

(56)

Tabel 4.6

Hasil uji Hausman untuk fixed effect dan random effect

Correlated Random Effects - Hausman Test Pool: Untitled

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 8.754117 2 0.0126

Sumber: Data diolah (Lampiran 3)

Berdasarkan hasil estimasi diatas diperoleh nilai Chi-squarenya sebesar 8.754117dengan prob.value sebesar 0.0126. Sedangkan Chi-square table dengan df sebesar 2 pada α = 10%, α = 5% masing-masing sebesar 4.60, 5.99. Sehingga nilai Chi-square >Chi-square table makanull hypothesis (Ho) ditolak. Dan dengan nilai prob.value sebesar 0.0126 lebih kecil dari α = 5%. Sehingga dilihat dari nilai Chi Square statistik pada Uji Hausman dan nilai prob.valueberarti peneliti dapat menggunakan model Fixed Effect Model (FEM).

2. Fixed Effect Model (FEM)

Sebagaimna hasil estimasi dari Hausman test diperoleh model untuk penelitian ini yaitu Fixed Effect Model (FEM).Sehingga untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara menggunakan Fixed Effect Model (FEM)

(57)

mampu menjelaskan variasi ketimpangan pembangunan sebesar 99,90% dan sisanya dijelaskan oleh varibel lain diluar model persamaan tersebut

Tabel 4.7

Hasil Estimasi Fixed Effect Model (FEM)

IW = 0.068873 + 0.001467PAD - 0.002886DP Std.error = 0.0061360.0006720.001172

t-Statistik (2.182215) (-2.461927)

R2 = 0.999276 DW-Stat = 1.376938

Sumber: Data diolah (Lampiran 1)

Cat : Angka dalam kurung adalah nilai t-Statistik

Dari hasil estimasi diatas menujukan bahwa variabel PAD memiliki pengaruh positif terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara. Dengan nilai koefisien sebesar 0.068873artinya apabila pendapatan asli daerah kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara naik sebesar 1% ceteris paribus maka tingkat ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara naik sebesar 0.068873%.

Namun dari hasil regresi diatas menujukan bahwa pendapatan asli daerah (PAD) signifikan pada α = 5% dengan t-hitung > t-tabel (2.182215>1.65675). dan nilai prob.value < α = 5%. Ini menunjukan bahwa pendapatan asli daerah (PAD) berpengaruhpositif signifikan (nyata) terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara.

(58)

Namun penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian Nurhuda (2013) yang menemukan bahwa PAD berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pembangunan pada daerah Provinsi Jawa Timur.

Dengan demikian dengan PAD yang semakin besar dan merata akan mendorong terjadinya peningkatan pertumbuhan ekonomi namun juga akan meningkat tingkat ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara.

Untuk dana perimbangan (DP) memberikan pengaruh negatif sebesar - 0.002886artinya apabila dana perimbangan (DP) naik sebesar 1% ceteris paribus maka tingkat ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara naik sebesar - 0.002886% .

Dan dari hasil tersebut menujukan bahwa dana perimbangan (DP) berpengaruh signifikan (nyata) pada α = 5% dengan t-hitung > t-tabel (-2.461927> -1.65675), dan nilai prob.value < α = 5%. Ini menunjukan bahwa dana perimbangan (DP) berpengaruh negatif signifikan (nyata) terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara.

Temuan ini sejalan dengan penelitian Saifunnizar (2013), dimana dana perimbangan berhubungan negatif dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan di Aceh.

(59)

Sementara itu, dari hasil estimasi diatas bahwa variabel Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan variabel Dana perimbangan (DP) terhadap ketimpangan pembangunan secara bersama-sama berpengaruh signifikan. Ini dilihat dari nilai F-hitung sebesar 3936.030dan F-tabel = 3.07 dengan demikian F-hitung > F-tabel. Dengan demikian desentralisasi fiskal memberikan pengaruh signifikan (nyata) terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

Dari hasil empiris tersebut dapat disimpulkan bahwa karena Pendapatan asli daerah yang diterima lebih kecil dari dana transfer yang diberikan pusat berupa dana perimbangan. Maka dapat disimpulkan bawah daerah kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara banyak menerima dana transfer dari pusat. Sehingga desentralisasi fiskal yang dilihat dari dana transfer pusat berpengaruh negatif dan signifikan (nyata) terhadap ketimpangan pembangunan pada kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara.

(60)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Ketimpangan Pembangunan selama periode 2010-2013 pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara relatif kecil atau lebih merata dengan angka indeks Williamson sebesar 0.0547.

2. Daerah yang memiliki ketimpangan pembangunan terbesar yaitu Kota Medan dengan nilai rata-rata sebesar 0.5354. Sedangkan daerah yang memiliki ketimpangan terkecil yaitu Kabupaten Langkat sebesar 0.0008. 3. Derajat desentralisasi fiskal Pendapatan Asli Daerah periode 2010-2013

antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara secara rata-rata hanya sebesar 5.34% yang berarti sangat kurang.

4. Derajat desentralisasi fiskal untuk Dana Perimbangan antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara secara rata-rata hanya sebesar 77.6%, yang berarti derajat desentralisasi fiskanya sangat baik.

5. Berdasarkan uji Hausmant test, model yang dipakai dalam penelitian ini adalah FixedEffect Model (FEM).

(61)

provinsi Sumatera Utara dan pengaruhnya signifikan (nyata) pada tingkat kepercayaan 95 persen.

7. Untuk variabel Dana Perimbangan kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara, memiliki pengaruh negatif terhadap ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara dan memberikan pengaruh signifikan (nyata) pada tingkat kepercayaan 95 persen.

8. Saran

Berdasarkan analisis dari hasil serta kesimpulan yang telah dirumuskan diatas, maka penulis perlu untuk mengajukan saran-saran yang relavan sebagai usaha untuk memecahkan permasalahan yang ditentukan dalam analisis serta diharapkan dapat berguna sebagai masukan-masukan bagi pihak-pihak yang terkait. Adapun saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sebaiknya pemerintah di Provinsi Sumatera Utara mendorong munculnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, sehingga terjadi penyebaran kegiatan pembangunan yang merata dan berdampak pada penurunan ketimpangan antar wilayah.

(62)
(63)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, Sumatera Utara Dalam Angka, Berbagai Edisi, Medan

Kuncoro, Mudrajad, 2006. Ekonomika Pembangunan Teori, Masalah dan Kebijakan. UPP STIM YKPN. Yogyakarta.

Sirojuzilam dan Mahalli, Kasyful, 2011.Regional: Pembangunan, Perencanaan, dan Ekonomi. USU Press. Medan

Sjafrizal, 2012.Ekonomi Wilayah dan Perkotaan.PT Raja Grafindo Persada.Jakarta.

Saragih, Juli Panglima, 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi,Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.

Sidik, Machfud, dan Robert Simanjuntak, 2002. Dana Alokasi Umum-konsep, Hambatan, dan prospek di Era Otonomi Daerah.Kompas. Jakarta.

Simanjuntak, Robert. 2001. DAU dan Pemerataan Kemampuan Fiskal. Kompas. Jakarta.

Tarigan, R, 2007.Ekonomi Regional, Teori, dan Aplikasi. Bumi Aksara. Jakarta.

Tambunan, Tulus T.H, Dr, 2001. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Todaro, Michael P, 2000. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Terjemahan Haris munandar. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Republik Indonesia.Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah.

Republik Indonesia.Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

(64)

Nazara, S, 2010. Pemerataan Antardaerah sebagai Tantangan Utama Transformasi Struktural Pembangunan Ekonomi Indonesia Masa Depan. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi.Universitas Indonesia.

Hirawan, Susiyati Bambang, 2007. Desentralisasi Fiskal Sebagai Suatu Upaya Meningkatkan Penyediaan Layanan Publik (Bagi Orang Miskin) di Indonesia.Pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Ezcurra R, Pascual P, 2008. Fiscal decentralization and regional disparities: Evidence from several European Union countries. Environment and Planning A40: 1185–1201

Febriana, Amanda, 2015. “Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah terhadap Ketimpangan Regional antar Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh”.Skripsi, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Halim, Abdul dan Jamal A. Nasir. 2006. Kajian tentang Keuangan Daerah Kota Malang. Majalah Manajemen Usahawan Indonesia.No.06/TH.XXXV.

Hidayat,Paidi dan Sirojuzilam. 2006. Kajian Tentang Keuangan Daerah Kota Medan di Era Otonomi Daerah Medan. Jurnal Wahana Hijau, Vol 2 No.1

Kyriacou Andreas P et al.2013.Fiscal decentralization and regional disparities:The importance of good governance. Papers in Regional Science, Volume 94 Number 1 : 90-107

Lessmann C.2009.Fiscal decentralization and regional disparity: Evidence from cross section and panel data. Environment and Planning A41: 2455–2473 Mopanga, Herwin. (2010) Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan

Ekonomi di Provinsi Gorontalo.Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.Tesis.Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(65)

Saifunnizar, 2013.“Analisis Pengaruh Dana Perimbangan dan Ketimpangan Pembangunan di Provinsi Aceh”.Skripsi,Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh.

Supriyadi, Armandelis dan Selamet Rahmadi. 2013.Analisis Desentralisasi Fiskal di Kabupaten Bungo. Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah Vol. 1.

Sasana, Hadi. 2009. Analisis dampak pertumbuhan ekonomi, kesenjangan antar daerah, dan tenaga kerja terserap terhadap kesejahteraan di kab/kota provinsi Jawa Tengah dalam era desenralisasi fiskal. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), Hal. 50 – 69. Vol. 16, No.1

(66)

LAMPIRAN

Lampiran 1

Hasil Regression Model GLS FIXED EFFECT (FEM) Dependent Variable: IW?

Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 11/20/15 Time: 06:25

Sample: 2010 2013 Included observations: 4 Cross-sections included: 33

Total pool (balanced) observations: 132

Linear estimation after one-step weighting matrix

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

(67)

—C

Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.999276 Mean dependent var 0.149511 Adjusted R-squared 0.999022 S.D. dependent var 0.139329 S.E. of regression 0.003117 Sum squared resid 0.000942 F-statistic 3936.030 Durbin-Watson stat 1.376938 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.999038 Mean dependent var 0.054718 Sum squared resid 0.001184 Durbin-Watson stat 1.673804

Lampiran 2

Hasil Regression Model GLS RENDOM EFFECT (REM) Dependent Variable: IW?

Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects) Date: 11/20/15 Time: 06:33

Sample: 2010 2013 Included observations: 4 Cross-sections included: 33

Total pool (balanced) observations: 132

Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

(68)

_DAIRI--C -0.051333

Cross-section random 0.088645 0.9985 Idiosyncratic random 0.003475 0.0015

Weighted Statistics

R-squared 0.018576 Mean dependent var 0.001072 Adjusted R-squared 0.003360 S.D. dependent var 0.003571 S.E. of regression 0.003565 Sum squared resid 0.001640 F-statistic 1.220806 Durbin-Watson stat 1.238486 Prob(F-statistic) 0.298377

Unweighted Statistics

(69)

Lampiran 3

Uji Hausman Test

Correlated Random Effects - Hausman Test Pool: Untitled

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 8.754117 2 0.0126

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.

LPAD? 0.004620 0.004995 0.000000 0.0161 LDP? -0.008467 -0.008708 0.000000 0.3373

Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: IW?

Method: Panel Least Squares Date: 11/20/15 Time: 06:33 Sample: 2010 2013

Included observations: 4 Cross-sections included: 33

Total pool (balanced) observations: 132

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.093922 0.038168 2.460726 0.0156 LPAD? 0.004620 0.003131 1.475316 0.1434 LDP? -0.008467 0.006307 -1.342505 0.1826

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

Gambar

Tabel 1.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kabupaten/kota
gambar 2.1 dibawah ini :
Tabel 4.2 Indeks Williamson Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara
Tabel 4.3 Derajat Desentralisasi Fiskal dari PAD (DDF PAD) Antar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kompetensi Pedagogik, Kepribadian, Sosial, Dan Profesional Gadik Program Studi (Prodi) M anajemen Pertahanan, Departemen

The method based on the correlation coefficient with geometric constraint, POS supported geometry corrective for matching window, and global relaxation optimization

Maros dalam usaha mencerdaskan masyarakat melalui perpustakaan, karena dengan kegiatan ini sistem informasi perpustakaan dapat memberikan akses informasi

International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-1/W2, 2013 UAV-g2013, 4 – 6 September 2013, Rostock, Germany.. Eine antike

Alhamdulillah puji syukur kami selalu panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami masih diberi kesehatan untuk melakukan

The UAV based correction factor had a dependence on the flying direction: when UAV was flying to northeast (strips 1, 3, 5), the UAV based factor was larger than the ground

Energi ionisasi adalah energi minimum yang diperlukan untuk melepaskan elektron dari suatu atom netral dalam wujud gasa. Energi yang diperlukan untuk melepaskan elektron kedua

Dalam rangka pelaksanaan keputusan Menteri Pertanian No.404/kpts/OT.210/6/2002 tentang Pedoman Perizinan dan Pendaftaran Usaha Peternakan, bersama ini kami mengajukan permohonan