HUBUNGAN KEJADIAN
FLAT FOOT
DENGAN OBESITAS
PADA ANAK
Oleh:
LAVENIA
120100080
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN KEJADIAN
FLAT FOOT
DENGAN OBESITAS
PADA ANAK
KARYA TULIS ILMIAH
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran
Oleh:
LAVENIA
120100080
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Latar Belakang. Flat foot adalah hal yang lazim terjadi dan tidak menimbulkan gejala yang bermakna pada neonatus, anak dibawah 5 tahun ataupun pada anak yang sedang belajar berjalan. Namun apabila terjadi pada anak yang lebih besar dapat menyebabkan nyeri bahkan cedera pada kaki anak. Salah satu faktor resiko flat foot adalah obesitas dan prevalensi obesitas pada anak setiap tahunnya juga selalu meningkat. Walaupun demikian, penelitian mengenai data dan hubungan antara flat foot dengan obesitas masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi obesitas dan flat foot pada anak serta untuk mengetahui hubungan antara kejadian flat foot dengan obesitas pada siswa SD Sutomo 2 Medan.
Metode. Penelitian cross-sectional dilakukan terhadap 188 responden yang ditentukan dengan cara total sampling serta melalui kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan untuk melihat hubungan antara kejadian flat foot dengan obesitas pada anak. Analisis data menggunakan chi square.
Hasil. Dari 188 responden, dapat dilihat bahwa flat foot lebih banyak terjadi pada responden perempuan dengan persentase 57.4% dibandingkan responden laki-laki dengan persentase 42.6%. Pada penelitian ini, didapati jumlah responden flat foot berjumlah 70 anak (37.2%) dengan persentase 58.6% mengalami obesitas dan 41.4% tidak mengalami obesitas.
Kesimpulan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian flat foot dengan obesitas pada anak (p=0.000).
ABSTRACT
Introduction. Flat foot is usually occurs and do not cause symptoms in under 5 years old
children. But if occur in older children can cause pain even injury in children’s foot. One of flat foot’s risk factor is obesity. Although the prevalence of obesity is increasing every
year, research of relationship between obesity and flat foot is still limited. The purpose of this research were to detect prevalence of obesity and flat foot, also to detect the relationship between obesity and flat foot in Sutomo 2 primary student.
Methods. A cross-sectionals was done to determine the relationship between obesity and flat foot in children among 188 students of utomo 2 primary school. The samples was taken using total sampling then followed by inclusion and exclusion criteria. Data were analyzed using chi-square.
Results. Out of 188 respondents, could be seen that prevalence of flat foot was happened more in girl respondents with 57.4% than in in boy respondents with 42.6%. in this research, found that respondent with flat foot were 70 children (37.2%) by 58.6% with obesity and 41.4% without obesity.
Conclusion. From this research can be concluded that there was a significant relationship between flat foot and obesity in children (p=0.000).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya tulis hasil penelitian ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk memaparkan
landasan pemikiran dan segala konsep menyangkut penelitian yang akan dilaksanakan. Penelitian yang akan dilaksanakan ini berjudul ”Hubungan Kejadian Flat Foot dengan Obesitas pada Anak”.
Dalam penyelesaian karya tulis hasil penelitian ini penulis banyak
menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu dr. Megasari Sitorus, M.Kes, Sp.PA, selaku Dosen Pembimbing yang
telah memberi banyak arahan dan masukan kepada penulis sehingga karya
tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.
3. Bapak dr. Johny Marpaung, M.Ked(OG), Sp.OG, selaku Dosen Penguji I
yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam
penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.
4. Bapak dr. Pandiaman Pandia, Sp.P(K), selaku Dosen Penguji II yang telah
memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam
penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.
5. Bapak dr. Harry Agustaf Asroel, Sp.THT-KL, selaku Dosen Pembimbing
6. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara atas bimbingan selama perkuliahan hingga
penyelesaian studi dan juga penulisan karya tulis ilmiah ini.
7. Bapak Frans seda, S.E, selaku Kepala Sekolah SD Sutomo 2 Medan yang
telah membantu kelancaran dan terlaksananya penelitian ini.
8. Seluruh staf administrasi SD Sutomo 2 Medan yang telah membantu
kelancaran dan terlaksananya penelitian ini.
9. Seluruh responden siswa SD kelas IV tahun 2015 yang telah banyak
berjasa secara sukarela meluangkan waktunya mengisi kuesioner sehingga
penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.
10.Orang tua penulis yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang
dan tiada bosan-bosannya mendoakan serta memberikan semangat kepada
penulis dalam menyelesaikan karya tulis dan pendidikan.
11.Teman peneliti, Michael yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran,
saran, kritik, dukungan materi dan moril dalam menyelesaikan karya tulis
ilmiah ini.
12.Rekan-rekan mahasiswa FK USU stambuk 2012 yang telah memberi
saran, kritik, dukungan moril dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan karya tulis hasil penelitian ini masih
belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan karya tulis hasil penelitian ini.
Medan, Desember 2015
DAFTAR ISI
2.2.4.Patogenesis Obesitas ... 11
2.2.5.Gejala Klinis Obesitas ... 12
2.2.7.Diagnosa Banding Obesitas ... 14
2.3.2.Ossa Metatarsal dan Phalanges ... 20
2.4.Tulang-Tulang Arcus ... 20
2.5.Kaki sebagai Unit Fungsional ... 22
2.5.1.Kaki sebagai penyokong berat badan dan pengungkit .... 22
2.5.2.Arcus pedis ... 23
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL ... 27
3.1.Kerangka Konsep Penelitian ... 27
3.2.Defenisi Operasional ... 27
4.3.Populasi dan Sampel Penelitian ... 30
4.3.2.Sampel ... 30
4.4.Metode Pengumpulan Data ... 31
4.4.1.Data primer ... 31
4,4,2,Data sekunder ... 31
4.5.Metode Pengolahan dan Analisa Data ... 31
4.5.1.Pengolahan data ... 31
4.5.2.Analisa data ... 31
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 33
5.1.Hasil Penelitian ... 33
5.1.1.Deskripsi Lokasi Penelitian ... 33
5.1.2.Deskripsi Karakteristik Responden ... 33
5.1.3.Hasil Analisi Data... 35
5.2.Pembahasan ... 35
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 38
6.1.Kesimpulan ... 38
6.2.Saran ... 38
DAFTAR PUSTAKA ... 40
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1 Interpretasi kurva WHO ... 7
2.2 Interpretasi kurva CDC ... 9
2.3 Diagnosa banding obesitas ... 14
2.4 Komplikasi obesitas masa anak yang dilapporkan ... 16
3.1 Interpretasi kurva CDC (IMT-Usia) ... 28
5.1 Karakteristik Responden Penelitian ... 33
5.2 Distribusi Frekuensi Kejadian flat foot berdasarkan karakteristik responden ... 34
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Tulang kaki ... 17
2.2 Ossa calcaneus, talus, naviculare, dan cuboideum ... 19
2.3 Tulang-tulang yang menyusun arkus longitudinalis medialis, arcus longitudinalis medialis, arcus longitudinalis lateralis dan arcus transversus pedis dekstra ... 21
2.4 Anatomi permukaan kaki ... 24
3.1 Kerangka konsep penelitian ... 27
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat Hidup
LAMPIRAN 2 Kurva CDC IMT-Usia (Laki-Laki)
LAMPIRAN 3 Kurva CDC IMT-Usia (Perempuan)
LAMPIRAN 4 Lembar Penjelasan
LAMPIRAN 5 Lembar Persetujuan
LAMPIRAN 6 Lembar Pengisian Data Sampel
LAMPIRAN 7 Data Induk
LAMPIRAN 8 Hasil Output SPSS
LAMPIRAN 9 Persetujuan Komisi Etik
ABSTRAK
Latar Belakang. Flat foot adalah hal yang lazim terjadi dan tidak menimbulkan gejala yang bermakna pada neonatus, anak dibawah 5 tahun ataupun pada anak yang sedang belajar berjalan. Namun apabila terjadi pada anak yang lebih besar dapat menyebabkan nyeri bahkan cedera pada kaki anak. Salah satu faktor resiko flat foot adalah obesitas dan prevalensi obesitas pada anak setiap tahunnya juga selalu meningkat. Walaupun demikian, penelitian mengenai data dan hubungan antara flat foot dengan obesitas masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi obesitas dan flat foot pada anak serta untuk mengetahui hubungan antara kejadian flat foot dengan obesitas pada siswa SD Sutomo 2 Medan.
Metode. Penelitian cross-sectional dilakukan terhadap 188 responden yang ditentukan dengan cara total sampling serta melalui kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan untuk melihat hubungan antara kejadian flat foot dengan obesitas pada anak. Analisis data menggunakan chi square.
Hasil. Dari 188 responden, dapat dilihat bahwa flat foot lebih banyak terjadi pada responden perempuan dengan persentase 57.4% dibandingkan responden laki-laki dengan persentase 42.6%. Pada penelitian ini, didapati jumlah responden flat foot berjumlah 70 anak (37.2%) dengan persentase 58.6% mengalami obesitas dan 41.4% tidak mengalami obesitas.
Kesimpulan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian flat foot dengan obesitas pada anak (p=0.000).
ABSTRACT
Introduction. Flat foot is usually occurs and do not cause symptoms in under 5 years old
children. But if occur in older children can cause pain even injury in children’s foot. One of flat foot’s risk factor is obesity. Although the prevalence of obesity is increasing every
year, research of relationship between obesity and flat foot is still limited. The purpose of this research were to detect prevalence of obesity and flat foot, also to detect the relationship between obesity and flat foot in Sutomo 2 primary student.
Methods. A cross-sectionals was done to determine the relationship between obesity and flat foot in children among 188 students of utomo 2 primary school. The samples was taken using total sampling then followed by inclusion and exclusion criteria. Data were analyzed using chi-square.
Results. Out of 188 respondents, could be seen that prevalence of flat foot was happened more in girl respondents with 57.4% than in in boy respondents with 42.6%. in this research, found that respondent with flat foot were 70 children (37.2%) by 58.6% with obesity and 41.4% without obesity.
Conclusion. From this research can be concluded that there was a significant relationship between flat foot and obesity in children (p=0.000).
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sekarang ini, prevalensi anak dengan overweight dan obesitas semakin
meningkat. Overweight dan obesitas yang keduanya didefinisikan sebagai
kelebihan berat badan, secara umum merupakan keadaan kegemukan dengan
perbedaan tingkatan yaitu kelebihan berat badan tingkat ringan (overweight) dan
tingkat berat (obesitas) yang dibedakan sesuai dengan kriteria kegemukan
berdasarkan pengukuran indeks massa tubuh (IMT) atau disebut juga body mass
index (BMI).
Dalam 30 tahun terakhir ini, angka prevalensi atau kejadian obesitas di
seluruh dunia menunjukkan peningkatan yang signifikan. Badan kesehatan dunia,
World of Health Organization (WHO) mengindikasikan bahwa sekitar 1,7juta
anak-anak (dibawah 18 tahun) mengalami kelebihan berat badan dan di beberapa
negara, angka anak yang mengalami obesitas meningkat hingga tiga kali lipat
sejak tahun 1980 (WHO, 2012).
Prevalensi obesitas anak usia 5 – 12 tahun di Perancis tahun 2004 sebesar 20,55%, di Inggris obesitas anak usia 2 – 10 tahun tahun 2005 sebesar 17,3% (Global Childhood Obesity Update, 2010). Secara nasional masalah kegemukan
pada anak umur 6 – 12 tahun masih tinggi yaitu 9,2% atau masih di atas 5%. Jawa Tengah termasuk salah satu dari 11 provinsi yang memiliki prevalensi kegemukan
di atas prevalensi nasional, selain Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan,
Lampung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, dan
Papua Barat (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2010).
Orang – orang dengan kegemukan memiliki tingkat morbiditas yang tinggi dan dengan demikian harus mencegah kenaikan berat badan yang lebih lanjut
(Gibney, 2008). Para ahli berkeyakinan bahwa kegemukan pada usia anak akan
menimbulkan masalah yang berkelanjutan pada usia remaja dan dewasa yaitu
Gangguan ortopedi yang berhubungan dengan overweight dan obesitas
adalah nyeri dan ketidaknyamanan pada kaki, lutut, pinggul, dan tulang belakang.
Obesitas juga dapat meningkatkan resiko fraktur dan gangguan tumbuh kembang.
Obesitas juga dapat mengurangi fleksibilitas dan kesulitan dalam berjalan dan
berlari yang diakibatkan karena perubahan struktur kaki. Kelainan struktur kaki
yang paling sering ditemukan adalah pes planus (flat foot). Peningkatan berat
badan menyebabkan perubahan struktur dari arkus plantaris dengan perubahan
struktur tulang dan ligament penyokongnya dan menyebabkan arkus
longitudinalis medial collapse yang dapat menyebabkan masalah pada saat
dewasa (Ester et al, 2013).
Pes planus (flat foot) adalah suatu kelainan pada kaki dimana lengkungan
kaki sebelah dalam (arcus longitudinalis medial) tidak terbentuk atau menghilang
saat berdiri (Harjanto, 2009). Menurut Evans (2008), jumlah populasi anak di
dunia yang mengalami flat foot sekitar 20% hingga 30% anak. Prevalensi anak
dengan kelainan bentuk kaki di Taiwan pada tahun 2006, dari 18.006 anak usia 6
sampai 12 tahun, yang mengalami kaki datar sekitar 2499 anak atau 13,88%
(Li-wei chou et al, 2006). Menurut Pande Ketut (2012), hasil survey yang dilakukan
di SDN Coblong Bandung diperoleh 6 dari 33 siswa (18%) memiliki
kecenderungan flat foot.
Berdasarkan hasil analisa deskriptif dari total sampel 1089 siswa di
Surakarta didapatkan prevalensi 299 siswa mengalami flat foot dan 790 siswa
memiliki arkus normal (Seteriyo Wardanie, 2013).
Pes planus (flat foot) dalam jangka panjang akan menyebabkan nyeri pada
telapak kaki, pergelangan kaki, dan lutut. Selain itu juga akan menyebabkan
trauma akut yang berulang hingga terjadinya deformitas pada kaki (Harris et all,
2004). Bagaimanapun defenisi dari flat foot pada anak masih dipertanyakan dan
berdasarkan klasifikasi umum, dapat dibedakan berdasarkan sebab patologis dan
fisiologis. Flat foot patologis memiliki etiologi yang beragam dapat menyebabkan
nyeri dan disabilitas dan biasanya membutuhkan terapi. Flat foot fisiologis
berhubungan dengan perkembangan dan sering terlihat pada anak usia dekade
dan overweight. Pes planus (flat foot) terbentuk pada saat menumpu berat tubuh
tetapi arkus dapat terlihat kembali ketika anak melakukan ekstensi jari kaki
pertama atau ketika anak sedang berdiri dengan ujung kakinya (Pfeiffer et al,
2007).
Kaki anak bertumbuh secara konstan sehingga mengubah bentuk dan
strukturnya. Morfologi dan perkembangan fungsional kaki dipengaruhi oleh faktor
internal (jenis kelamin, genetik, dan usia) dan faktor eksternal (penggunaan
sepatu dan aktifitas fisik). Dikarenakan kaki anak belum berkembang secara
sempurna, pengaruh dari sepatu dapat menjaga agar kaki anak berkembang
dengan normal dan dapat juga menyebabkan masalah dan kelainan pada anak
maupun pada dewasa. Beberapa pakar berpendapat bahwa pemakaian sepatu yang
tepat yaitu sepatu yang fleksibel dan ukuran yang tepat dengan kaki anak dapat
mempengaruhi fungsi dan kenyamanan kaki (Ester et al, 2013).
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan
kejadian flat foot dengan obesitas pada anak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut.
Apakah terdapat hubungan antara kejadian flatfoot dengan obesitas pada anak?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan kejadian flatfoot dengan obesitas pada SD Sutomo
2 Medan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui angka kejadian atau insiden pes planus (flat foot).
2. Mengetahui angka kejadian obesitas pada anak kelas 4 SD Sutomo 2
3. Mengetahui hubungan kejadian flatfoot dengan obesitas pada anak kelas 4
SD Sutomo 2 Medan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Orang Tua
1. Memberikan pengetahuan tentang pes planus (flat foot) yang sering terjadi
pada anak-anak obesitas.
2. Dapat memilih bentuk sepatu yang tepat untuk anak agar dapat mencegah
nyeri pada kaki anak.
1.4.2 Bagi Peneliti
Dapat menambah pengetahuan peneliti tentang hubungan kejadian flatfoot
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penentuan status gizi
Penentuan status gizi dilakukan berdasarkan berat badan (BB) menurut panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB) (BB/PB atau BB/TB). Grafik pertumbuhan yang digunakan sebagai acuan ialah grafik WHO 2006 untuk anak kurang dari 5 tahun dan grafik CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun. Grafik WHO 2006 digunakan untuk usia 0-5 tahun karena mempunyai keunggulan metodologi dibandingkan CDC 2000. Subyek penelitian pada WHO 2006 berasal dari 5 benua dan mempunyai lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan optimal. Untuk usia di atas 5 tahun hingga 18 tahun digunakan grafik CDC 2000 dengan pertimbangan grafik WHO 2007 tidak memiliki grafik BB/TB dan data dari WHO 2007 merupakan smoothing NCHS 1981 (Moersintowarti B. Narendra, 2010)
2.1.1 Kurva WHO
Pada kurva WHO, digunakan penyimpangan 2 SD (standar deviasi) untuk
mendefinisikan penyimpangan dalam pertumbuhan. Angka 0 menunjukkan tinggi
badan atau berat badan rerata dari anak-anak untuk usianya.
Pertumbuhan merupaan keadaan yang dinamis, sehingga untuk
mendefinisikan gangguan pertumbuhan diperlukan lebih dari satu kali
pengamatan. Penting juga untuk melihat proporsi tinggi badan dengan berat badan
seorang anak. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakakn kurva pertumbuhan
yang dikeluarkan oleh WHO atau CDC sesuai dengan usia anak.
Cara untuk melakukan plotting dari kurva WHO adalah sebagai berikut.
1. Ukur tinggi badan dengan cara yang sesuai usia anak.
2. Lakukan plotting usia (dalam minggu, bulan atau tahun) yang telah
lengkap pada garis vertical.
3. Lakukan plotting tinggi atau panjang badan setepat mungkin pada garis
4. Apabila sudah didapatkan dua titik dari dua atau lebih kunjungan, maka
dua titik yang saling berdekatan harus dihubungkan untuk mempermudah
membaca tren pertumbuhan anak.
Plotting kurva berat badan-usia.
1. Timbang berat badan anak dengan cara yang sesuai usia.
2. Lakukan plotting usia (dalam minggu, bulan, atau tahun) yang telah
lengkap pada garis vertikal.
3. Lakukan plotting berat badan pada garis horizontal atau pada ruang antar
garis untuk menunjukkan pengukuran berat badan hingga ketelitian 0,1 kg.
4. Apabila sudah didapatkan dua titik dari dua atau lebih kunjungan, maka
dua titik yang saling berdekatan harus dihubungkan untuk mempermudah
membaca tren pertumbuhan anak.
Plotting kurva berat badan-panjang/tinggi badan.
1. Lakukan plotting panjang atau tinggi badan pada garis vertikal.
2. Plot berat badan seteliti mungkin dengan ketelitian hingga 0,1 kg dengan
memanfaatkan garis horizontal yang ada atau garis antar ruang.
3. Saat dua titik dari dua kunjungan yang berbeda, maka dihubungkan
keduanya untuk memperhatikan tren pertumbuhan anak.
Plotting indeks massa tubuh-usia.
IMT dilakukan hingga satu decimal di belakang koma.
4. Apabila dilakukan dua pengukuran pada dua kunjungan yang berbeda
maka hubungkan dua titik dengan garis lurus untuk memperhatikan tren
Setelah dilakukan plotting, dapat dilakukan interpretasi data untuk kurva
Tabel diadaptasi dari World Health Organization Training Course on Child
Growth Assessment; c interpreting growth indicator 2008. World Health
Organization. Tersedia di http://www.who.int/childgrowth/training
= merupakan nilai normal
Catatan :
1. Fisik yang tinggi jarang menimbulkan masalah. Masalah yang timbul
apabila seseorang terlalu tinggi dan keadaan klinis menunjukkan adanya
gangguan sistem endokrin, seperti tumor penghasil hormon pertumbuhan.
(contoh: anak dari kedua orang tua yang pendek dan berukuran tubuh
tinggi).
2. Anak yang berat untuk usianya jatuh pada rentang ini mungkin memiliki
gangguan pertumbuhan namun sebaiknya gangguan ini lebih dalam dikaji
dengan bantuan kurva berat badan-panjang badan atau IMT-usia.
3. Titik yang diplot diatas 1 menunjukkan resiko. Tren kearah garis skor Z 2
merupakan resiko.
4. Mungkin saja anak yang stunted jadi overweight.
5. Ini disebut sebagai very low weight dalam modul pelatihan IMCI
(Intergrated Management of Childhood Illness. In-service training WHO,
Geneva,1997).
(Indra Maharddhika, Rini Sekartini, 2014).
2.1.2 Kurva CDC
Kurva CDC digunakan dengan cara yang hampir sama.
Plotting dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1. Tentukan usia anak pada aksis horizontal. Saat melakukan plotting berat
badan-panjang badan, temukan panjang badan pada aksis horizontal. Tarik
garis membentuk garis vertikal lurus dari titik tersebut.
2. Gunakan tabel yang sesuai dengan parameter yang sedang diukur (berat
badan, panjang/tinggi badan, IMT) dan temukan ukuran yang sesuai yang
didapatkan dari pengukuran anak pada garis vertikal. Tarik garis
horizontal lurus hingga berpotongan dengan garis vertikal yang
sebelumnya telah dibuat.
3. Tandai titik dimana dua garis berpotongan (Indra Maharddhika, Rini
Sekartini, 2014).
Tabel 2.2 Interpretasi Kurva CDC
Indeks Antropometrik Persentil Status Nutrisi
IMT-Usia >97 Overweight
>85 - <97 Risk of overweight
<5 Underweight
Berat badan-panjang/tinggi
badan
>95 Overweight
<5 Underweight
Tinggi/panjang badan-usia <5 Short stature
(Indra Maharddhika, Rini Sekartini, 2014).
2.2 Obesitas
2.2.1 Defenisi Obesitas
Obesitas adalah akumulasi jaringan lemak di bawah kulit yang berlebihan
dan terdapat di seluruh tubuh. Sering dihubungkan dengan overweight (kelebihan
berat badan), walaupun tidak terlalu identik, oleh karena obesitas memiliki
ciri-ciri tersendiri (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007).
Obesitas adalah kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan
adipose secara berlebihan, sedangkan overweight adalah kelebihan berat badan
dibandingkan dengan berat badan ideal, yang mungkin dapat disebabkan oleh
peningkatan massa otot seperti pada atlet binaraga (Dimas Priantono, Titis
Prawitasari, 2014).
Obesitas adalah keadaan dimana terdapat jaringan lemak berlebihan.
Walaupun sering diartikan sebagai peningkatan massa tubuh, tetapi individu
dengan massa otot yang besar dapat dinyatakan dengan overweight tanpa
peningkatan kadar lemak. Berat badan digolongkan secara kontinu oleh beberapa
populasi, jadi perbedaan klinis yang bermakna antar obesitas dan overweight
menjadi kacau. Obesitas paling baik didefinisikan sebagai derajat berapapun
kelebihan lemak yang memberi resiko kesehatan (Jeffrey S. Flier, Eleftheria
2.2.2 Etiologi Obesitas
Obesitas biasanya disebabkan oleh kelebihan masukan makanan bukannya
dari kelebihan makanan (overeating) yang masif. Simpanan lemak tubuh
bertambah ketika masukan energi melebihi pengeluaran, dan keadaan ini biasanya
terjadi bila ada keseimbangan energi yang sedikit positif selama masa yang lama.
Anak gemuk tidak makan secara berbeda atau lebih banyak makan junk food atau
tepung daripada sebayanya. Pengeluaran energi total selama latihan fisi anak
gemuk terkontrol bertambah, tetapi bila dikoreksi menurut kenaikan massa tubuh
adalah ekuivalen dengan energy total anak tidak gemuk (nonobese). Angka
metabolic istirahat juga sama bila disesuaikan dengan massa tubuh yang aktif
secara metabolik (Waldo E. Nelson, 2012).
Masukan energi yang berlebihan terdapat pada keadaan sebagai berikut:
1. Gangguan emosional
Dalam hal ini makanan merupakan pengganti untuk mencapai kepuasan
dalam memperoleh kasih saying, ketenangan dan ketentraman jiwa yang
tidak diperoleh penderita.
2. Kelainan pada otak hipotalamus atau hipofisis yang mengakibatkan gangguan terhadap ‘pusat rasa kenyang’.
3. Kelebihan insulin (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2007).
Penggunaan kalori yang kurang dapat terjadi pada:
1. Merendahnya nilai untu metabolism basal, specific dynamic action dan
energy expenditure untuk berbagai kegiatan jasmani.
2. Endokrinopati misalnya hipotiroidea, sindrom adrenogenital
dan\sebagainya.
3. Aktivitas jasmani kurang
(Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Faktor penyebab obesitas lainnya adalah kekurangan aktivitas fisik baik
kegiatan harian maupun latihan fisik terstruktur. Aktivitas fisik yang dilakukan
sejak masa anak sampain lansia akan mempengaruhi kesehatan seumur hidup.
Penyebab obesitas dinilai sebagai multikausal dan sangat multidimensional karena
tidak hanya terjadi pada golongan sosio-ekonomi tinggi, tetapi juga sering
terdapat pada sosio-ekonomi menengah hingga menengah ke bawah. Obesitas
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dibandingkan dengan faktor genetik (Ratu
Ayu Dewi Sartika, 2011).
2.2.3 Faktor resiko obesitas
Faktor resiko untuk terjadinya obesitas bersifat multipel yaitu adanya
hubungan yang kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Riwayat
keluarga juga merupakan faktor resiko yang juga menentukan. Jika salah satu
orang tua obesitas, maka odds ratio untuk terjadi obesitas pada saat dewasa adalah
3 kali, tetapi jika kedua orang tua obesitas, maka odds ratio untuk terjadi obesitas
saat dewasa adalah 10 kali (Nancy F. Krebs, MD, MS, Laura E. Primak, RD,
CNSD, CSP, 2009).
Faktor lingkungan yang memungkinkan seseorang untuk melakukan
intervensi makan. Konsumsi makanan yang manis secara berlebihan, porsi yang
besar, konsumsi makanan cepat saji secara rutin dan aktivitas yang kurang
memiliki faktor resiko yang lebih besar untuk terjadi kelebihan berat badan
(Nancy F. Krebs, MD, MS, Laura E. Primak, RD, CNSD, CSP, 2009).
2.2.4 Patogenesis obesitas
Kelebihan energi oleh tubuh akan diubah menjadi lemak yang kemudian
disimpan sebagai jaringan lemak di bawah kulit dan juga pada organ-organ lain.
Kelebihan energi dapat terjadi sebagai akibat masukan energi yang berlebihan,
penggunaan energi yang kurang atau kombinasi dari kedua hal tersebut (Waldo E.
2.2.5 Gejala klinis obesitas
Obesitas dapat menjadi jelas pada setiap umur, tetapi obesitas tampak
paling sering pada usia 1 tahun pertama, pada usia 5-6 tahun dan selama remaja.
Anak yang obesitasnya karena masukan kalori tinggi secara berlebihan biasanya
tidak hanya lebih berat daripada yang lain di kelompoknya sendiri tetapi juga
lebih tinggi, dan umur tulang lebih tua (Waldo E. Nelson, 2012).
Bentuk tubuh, penampilan, dan raut muka penderita obesitas:
1. Raut muka
Hidung dan mulut tampak relative kecil dengan dagu yang berbentu ganda
2. Dada dan payudara
Bentuk payudara mirip dengan payudara yang telah tumbuh. Pada anak
pria keadaan demikian menimbulkan perasaan yang kurang
menyenangkan.
3. Abdomen
Membuncit dan menggantung serupa dengan bentuk bandul lonceng
(pendulum). Kadang-kadang terdapat stria putih atau ungu.
4. Genitalia luar
Pada pria penis seakan-akan terpendam dalam jaringan lemak mons pubis,
sehingga tampak kecil dari bagian yang tersembul keluar.
5. Anggota badan
Lengan atas dan paha tampak besar, terutama pada bagian proksimal.
Tangan relatif kecil dengan jari-jari yang berbentuk runcing. Terdapat
kelainan berupa koksa vara dengan genu valgum pada tungkai.
6. Kelainan emosi
Pada penderita sering ditemukan gejala gangguan emosi yang mungkin
merupakan penyebab atau aibat dari keadaan obesitas (Staf Pengajar Ilmu
2.2.6 Diagnosa obesitas
Pakar Committee of Clinical Guidelines for Overweight in Adolescent
Preventive Service (suatu kelompok penasehat pada Biro Kesehatan Ibu dan
Anak, American Academy of Pediatrics and American Medical Association) telah
mereomendasikan penggunaan IMT untuk penentuan populasi obesitas dan
kelebihan berat badan. Dua kategori telah ditentukan:
1. Remaja dengan IMT pada persentil ke 95 atau lebih menurut umur dan
kelamin atau yang IMT nya lebih daripada 30 (mana saja yang lebih kecil)
harus dianggap kelebihan berat dan dirujuk untuk evaluasi medik yang
menentukan.
2. Remaja dengan IMT nya pada persentil ke 85 atau lebih tetapi kurang
daripada persentil ke 95 atau sama dengan 30 (mana saja yang lebih kecil)
harus dirujuk ke tingkat skrining kedua (Waldo E. Nelson, 2012).
Tujuan tingkat skrining kedua meliputi lima area resiko kesehatan sebagai
berikut:
1. Riwayat keluarga, yaitu riwayat keluarge penyakit kardiovaskular positif,
kadar kolesterol total orangtua naik (atau riwayat tidak diketahui), riwayat
keluarga diabetes mellitus positif, atau riwayat keluarga obesitas orang tua
positif
2. Tekanan darah, yaitu kenaikan tekanan darah dengan menggunakan
metode dan kriteria Second Task Force on Blood Pressure Control in
Children.
3. Kadar kolesterol total, yaitu kenaikan lebih daripada 5,2 mmol/L atau 200
mg/dL
4. Tambahan kenaikan tahunan dalam IMT besar, yaitu kenaikan melebihi
dua unit IMT tahun sebelumnya
5. Prihatin mengenai berat badan, yaitu penilaian keprihatinan, emosional
dan psikologik perseorangan, yang terkait dengan kelebihan berat atau
Jika satu atau lebih dari lima area tersebut positif, maka penderita harus
mendapat evaluasi medik yang teliti untuk memikirkan keadaan patologis medik
primer seperti terdaftar pada diagnosa banding (Waldo E. Nelson,2012).
2.2.7 Diagnosa Banding Obesitas
Anak dengan obesitas yang ditentukan dengan IMT persentl ke 95 atau
lebih dan atau 30 atau lebih menurut umur harus mendapat evaluasi medik yang
teliti untuk gangguan yang mungkin mempunyai hubungan medis primer dengan
obesitas. Kebanyakan dari gangguan ini jarang. Mereka biasanya dibedakan dari
obesitas anak dengan tinggi badan yang pendek, umur tulang terlambat dan
perkembangan tanda-tanda kelamin sekunder terlambat. Diagnosa banding pada
tabel 2.3 berkaitan dengan kurang dari 1% dari semua kasus obesitas masa anak.
2.2.8 Komplikasi obesitas
Bayi dan anak gemuk mempunyai resiko cukup tinggi untuk menjadi
orang dewasa gemuk. Kenaikan resiko ini dihubungkan dengan keparahan
obesitas anak yang lebih besar, interval waktu menurun sampai umur dewasa dan
jumlah anggota keluarga yang gemuk lebih besar. Ada hubungan antara obesitas
masa anak dan faktor resiko kardiovasular. Pada penelitian Muscatine, anak
gemuk mempunyai kadar lipoprotein kolesterol densitas-tinggi sangat lebih
rendah, kadar trigliserida lebih tinggi dan tekanan darah sitolik lebih tinggi,
walaupun tidak ada perbedaan dengan kisaran normal untuk kolesterol total,
kolesterol lipoprotein densitas rendah, apolipoprotein A1, apolipoprotein B, atau
tekanan darah sistolik (Waldo E. Nelson,2012).
Obesitas pada masa kanak-kanak memberikan dampak jangka pendek dan
jangka panjang terhadap kesehatan. Dampak yang segera terjadi diantaranya:
1. Anak obese cenderung memiliki faktor resiko lebih tinggi untuk
mengalami penyakit kardiovaskular, seperti peningkatan kolesterol darah
dan tekanan darah. Pada sampel di populasi usia 15-17 tahun, 70% remaja
obese setidaknya memiliki satu faktor resiko penyakit kardiovaskular.
2. Remaja obese lebih beresiko jatuh dalam keadaan prediabetes, suatu
kondisi yang menunjukkan risiko tinggi penyakit diabetes mellitus.
3. Anak dan remaja obese memiliki risiko lebih tinggi untuk masalah tulang
dan persendian, sleep apnea, masalah sosial dan psikologi seperti
stigmatisasi dan kepercayaan diri yang rendah (Nancy F. Krebs, MD, MS,
Laura E. Primak, RD, CNSD, CSP, 2008).
Dampak jangka panjang obesitan diantaranya :
1. Anak dan remaja obese sangat mungkin menjadi dewasa obese dan oleh
karena itu, menjadi lebih beresiko untuk menderita masalah kesehatan
seperti penyakit jantung, diabetes melitus tipe 2, stroke, beberapa jenis
kanker dan osteoarthritis.
2. Overweight dan obesitas berkaitan dengan peningkatan resiko berbagai
tiroid, ovarium, serviks, prostat, dan lainnya (Nancy F. Krebs, MD, MS,
Laura E. Primak, RD, CNSD, CSP, 2008).
Tabel 2.4 Komplikasi obesitas masa anak yang dilaporkan Kardiovaskuler
Penyakit Blount dan epifisis kaput femoris terlepas
Pseudotumor serebri
Paru-paru
Sindrom Pickwickian
Kelainan uji fungsi paru
Komorbiditas yang bersifat non kardiovaskular dan non malignan yang
berhubungan dengan obesitas pada anak termasuk:
1. Sleep Apnea
2. Masalah ortopedik, yaitu tibia vara, gune valgum, flat kneecap
pressure/pain, flat foot, spondilolysthesis, scoliosis dan osteoarthritis
3. Masalah kulit, yaitu infeksi jamur dan acanthosis nigricans 4. Hepatic steatosis, reflus gastro-esofagus, sirosis hepatis
5. hipertensi intracranial yang bersifat benign (pseudotumor cerebri) dapat
menyebabkan kebutaan
6. masalah psikologis dan kepribadian yang meliputi low self esteem, depresi,
2.3 Anatomi kaki
Terdapat tiga kelompok tulang pada kaki, yaitu:
Delapan buah tulang tarsal (ossa tarsalia), yang memberi bentuk pada
bagian mata kaki
Metatarsal (ossa metatarsalia I-V), yang merupakan tulang dari metatarsus
Palanges (phalanges), yang membentuk bagian jari kaki, setiap jari kaki terdiri dari tiga buah tulang palanges kecuali ibu jari kaki yang hanya
terdiri dari dua buah tulang palanges.
2.3.1 Ossa Tarsalia
Ossa tarsalia terdiri atas os calcaneus, os talus, os naviculare, os
cuboideum, dan tiga buah ossa cuneiforme. Hanya os talus yang bersendi dengan
tibia dan fibula pada articulation talucruralis (sendi pergelangan kaki).
2.3.1.1 Os Calcaneus
Os calcaneus adalah tulang terbesar dari kaki dan membentuk tumit yang
menonjol. Tulang ini ke atas bersendi dengan talus dan di depan dengan os
cuboideum. Calcaneus mempunyai enam facies (permukaan) gambar 2.2.
Facies anterior kecil dan membentuk facies articularis yang bersendi
dengan os cuboideum.
Facies posterior membentuk tonjolan tumit dan merupakan tempat
pelekatan dari tendon calcaneus (tendon Achilles).
Facies superior didominasi oleh dua facies articulares untuk talus, yang
dipisahkan oleh alur kasar, yaitu sulcus calcanei.
Facies inferior mempunyai tuberculum anterior pada garis tengah, dan
tuberculum mediale yang besar serta tuberculum laterale yang lebih kecil pada
pertemuan antara facies inferior dan facies posterior.
Facies medialis mempunyai sebuah tonjolan yang besar berbentuk kerang,
disebut sustentaculum tali, yang membantu menyokong os talus.
Facies lateralis hampir rata. Pada bagian anteriornya terdapat peninggian
kecil yang disebut tuberculum perineum, yang memisahkan tendo-tendo dari m.
peroneus longus dan m. peroneus brevis.
2.3.1.2 Os Talus
Os talus bersendi di atas dengan tibia dan fibula, di bawah dengan os
calcaneus, dan di depan dengan os naviculare. Tulang ini mempunyai caput,
2.3.1.3 Os Naviculare
Tuberositas ossis navicularis dapat dilihat dan dipalpasi pada pinggir
medial kaki lebih kurang 1 inci di depan dan bawah malleolus medialis; serta
memberikan tempat perlekatan untuk bagian utama tendo m. tibialis posterior.
Dapat dilihat pada gambar 2.2.
2.3.1.4 Os Cuboideum
Terdapat alur yang dalam pada aspek inferiornya sebagai tempat untuk
tendo m. peroneus longus. Dapat dilihat pada gambar 2.2.
2.3.1.5 Os Cuneiforme
Ketiga tulang-tulang kecil berbentuk baji ini bersendi di proksimal dengan
os naviculare dan di distal dengan ketiga ossa metatarsalia yang pertama. Bentuk
bajinya berperan penting dalam membentuk dan mempertahankan lengkung
transversal kaki.
2.3.2 Ossa Metatarsal dan Phalanges
Ossa metatarsalis dan phalanges menyerupai ossa metacarpalia dan
phalanges pada tangan, dan masing-masing mempunyai caput di distal, corpus dan
basis di proksimal. Kelima ossa metatarsalia diberi nomor dari sisi medial ke
lateral.
Ossa metatarsal pertama besar dan kuat dan berperan penting dalam
menyokong berat badan. Pada aspek inferior caput terdapat alur dari ossa
sesamoidea medial dan lateral yang terdapat di dalam tendo dari m. fleksor
hallucis brevis.
Ossa metatarsal kelima mempunyai tuberculum yang menonjol pada
basisnya, yang dengan mudah dapat diraba sepanjang pinggir lateral kaki.
Tuberculum ini merupakan tempat perlekatan tendo dari m. peroneus brevis.
Masing-masing jari kaki mempunyai tiga phalanges, kecuali ibu jari kaki
yang hanya mempunyai dua phalanges. Gambar 2.1.
2.4 Tulang-Tulang Arcus
Pemeriksaan pada kaki yang berartikulasi atau foto lateral kaki, akan dapat
dilihat tulang-tulang yang membentuk arcus pedis.
Arcus Longitudinalis Medialis. Arcus ini dibentuk oleh calcaneus, talus,
os naviculare, ketiga os cuneiform dan ketiga os metatarsalia yang pertama.
Arcus Longitudinalis Lateralis. Arcus ini dibentuk oleh calcaneus,
cuboideum, dan ossa metatarsalia keempat dan kelima.
Arcus Transversus. Arcus ini dibentuk oleh basis metatarsi dan os
Gambar 2.3 Tulang-tulang yang menyusun arcus longitudinalis medialis, arcus longitudinalis lateralis, dan arcus transverses pedis dextra.
Sumber : Richard S. Snell, 2006
Memepertahankan arcus longitudinalis medialis
1. Bentuk-bentuk tulang. Sustentaculum tali mempertahankan talus;
permukaan proksimal os naviculare yang cekung bersendi dengan caput
tali yang bulat; permukaan proksimal os cuneiform mediale yang sedikit
cekung bersendi dengan os naviculare. Caput tali yang bulat merupakan
2. Pinggir-pinggir bawah tulang diikat menjadi satu oleh
ligamentum plantaris, yang lebih besar dan lebih kuat dari
ligamentum-ligamentum dorsalis. Ligamentum yang paling penting adalah ligamentum-ligamentum
calcaneonaviculare. Perluasan tendinosa dari insersio m. tibialis posterior
mempunyai peran penting dalam hal ini.
3. Yang mengikat kedua ujung arcus menjadi satu adalah aponeurosis
plantaris, bagian medial m. fleksor digitorum brevis, m. abductor hallucis,
m. fleksor hallucis longus, bagian medial m. fleksor digitorum longus dan
m. fleksor hallucis bervis.
4. Yang menggantung arcus dari atas adalah m. tibialis anterior dan
posterior serta ligamentum mediale sendi pergelangan kaki (Richard S.
Snell, 2006).
2.5 Kaki Sebagai Unit Fungsional
2.5.1 Kaki sebagai penyokong berat badan dan pengungkit
Kaki mempunyai dua fungsi utama: (1) menyokong berat badan dan (2)
berfungsi sebagai pengungkit untuk memajukan tubuh sewaktu berjalan dan
berlari. Karena mempunyai satu tulang yang kuat dan bukan beberapa tulang yang
kecil, kaki dapat menyokong berat badan dan berfungsi sebagai pengungkit yang
kaku untuk gerakan ke depan. Namun, dengan susunan seperti itu kaki tidak dapat
menyesuaikan diri terhadap permukaan yang tidak rata, dan gerak maju
seluruhnya akan tergantung pada aktivitas musculus gastrocnemius dan musculus
soleus. Karena pengungkit ini terdiri atas segmen-segmen dengan banyak sendi,
kaki bersifat fleksibel dan dapat menyesuaikan diri terhadap permukaan yang
tidak rata. Lagipula, otot-otot fleksor panjang dan otot-otot kecil kaki dapat
menggunakan fungsinya pada tulang-tulang kaki bagian depan dan jari-jari
(sebagai landasan maju kaki) dan sangat membantu gerakan maju ke depan m,
2.5.2 Arcus pedis
Struktur yang bersegmen hanya dapat menyokong berat badan bila
dibangun dalam bentuk lengkung. Kaki mempunyai tiga lengkung yang telah ada
sejak lahir: arcus longitudinalis medialis, arcus longitudinalis, arcus
longitudinalis lateralis, dan arcus transverses (gambar 2.4). Pada anak-anak
kecil, kaki tampak ceper karena banyak lemak subcutan pada telapak kaki.
(Richard S. Snell, 2006)
Pada pemeriksaan jejak kaki basah seseorang yang sedang berdiri pada
lantai, akan terlihat bahwa tumit, margo lateralis kaki, bantalan bagian bawah
caput matetarsal, dan bantalan phalanges distalis berkontak dengan tanah (gambar
2.3). Pinggir medial kaki, dari tumit sampai caput metatarsal pertama melengkung
di atas tanah, karena adanya arcus longitudinalis medialis yang penting. Tekanan
di ata tanah oleh margo lateralis kaki paling besar pada tumit dan caput metatarsal
kelima dan paling kecil di antara kedua daerah ini, karena adanya arcus
longitudinalis lateralis yang letaknya rendah. Arcus transverses dibentuk oleh
basis kelima as metatarsal, cuboideum, dan cuneiforme. Bagian ini sebenarnya
hanya setengah lengkung, dengan basisnya pada pinggir lateral kaki dan
puncaknya pada bagian medial kaki. Kaki dapat dianggap sebagai setengah kubah,
sehingga bila kedua margo medialis kaki diletakkan bersama, terbentuklah kubah
yang lengkap (Richard S. Snell, 2006).
Dari keterangan ini dapat dimengerti bahwa berat badan pada posisi
berdiri didistribusikan ke kaki melalui tumit dan di depan pada enam titik
tumpuan di tanah, yaitu kedua ossa sesamoidea di bawah caput os metatarsal
Gambar 2.4 Anatomi Permukaan Kaki
Sumber : George H. Thompson, Peter V. Scoles, 2012
2.6 Gangguan pada Kaki
Gangguan pada kaki pediatrik yang paling lazim adalah:
1. Metatarsus adduktus kongenital : masalah yang lazim pada bayi dan anak kecil. Kelainan ini juga dikenal sebagai varus metatarsus jika kaki depan
tersupinasi serta adduksi.
2. Kaki kalkaneovalgus : temuan yang relative sering pada bayi baru lahir
dan merupakan akibat posisi dalam uterus.Kaki tampak hiperdorsifleksi
dengan abduksi kaki depan dan bertambahnya valgus tumit.
3. Talipes equinovarus (kaki pekuk) : deformitas bukan hanya pada kaki
tetapi seluruh tungkai bawah dan dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
congenital, teratologis dank arena posisi.
4. Talus vertikal kongenital : deformitas kaki yang tidak lazim dengan
penyebab yang serupa dengan deformitas kaki talipes equinovarus.
5. Pes planus hipermobil : lazim pada neonatus dan anak belajar jalan karena
kelemahan pada kompleks tulang ligamentum kaki dan lemak pada daerah
6. Penggabungan tarsus : dikenal juga sebagai kaki rata spastic peroneus,
merupakan gangguan kaki yang relative sering yang ditandai dengan
deformitas datar yang menimbulkan nyeri dan kaku, spasme otot peroneus
tetapi tanpa spastisitas yang sebenarnya. Kelainan ini menggambarkan fusi
atau kegagalan kongenital segmentasi antara dua atau lebih tulang tarsus.
7. Kaki kavus : kaki dengan kelebihan arkus longitudinal medial yang
disertai dengan varus kaki belakang dan kadang-kadang adduksi kaki
depan.
8. Osteokondriosis : proses patologis yang melibatkan infark, revaskularisasi,
resorpsi, dan penggantian tulang yang terkena.
9. Luka tembus kaki
(George H. Thompson, Peter V. Scoles, 2012)
2.7 Pes Planus Hipermobil (flat foot)
2.7.1 Defenisi Flat Foot
Kaki rata hipermobil atau kaki pronasi merupakan sumber kecemasan bagi
orang tua. Pada umumnya, anak tidak menunjukkan gejala dan tidak mempunyai
keterbatasan fungsi. Kaki rata lazim pada neonates dan anak belajar jalan karena
kelemahan pada kompleks tulang-ligamentum kaki dan lemak pada daerah arkus
longitudinal mediale. Anak ini biasanya mengalami perbaikan yang berarti pada
usia 6 tahun. Pada anak yang lebih tua, kaki rata fleksibel biasanya akibat
kelemahan ligamentum secara menyeluruh, suatu eadaan autosom dominan.
Hampir semua ana dan remaja dengan kaki rata yang fleksibel tidak mengalami
gangguan (George H. Thompson, Peter V. Scoles, 2012).
2.7.2 Manifestasi Klinis Flat Foot
Dengan posisi tanpa pembebanan pada anak yang lebih tua dengan kaki
rata fleksibel, terdapat arkus longitudinal mediale, tetapi pada posisi dengan
pembebanan (menahan berat), kaki menjadi pronasi dengan berbagai tingat pes
planus dan valgus tumit. Meskipun diberi beban pada kolam lateral kaki,
subtalus akan normal atau sedikit meningkat. Kehilangan gerakan subtalus
menunjukkan kaki datar yang kaku. Penyebab yang lazim meliputi kontraktur
tendon Achilles, koalisi tarsus, kelainan neuromuscular (palsi serebral) dan
kelainan familial (George H. Thompson, Peter V. Scoles, 2012).
2.7.3 Evaluasi Radiologis Flat Foot
Radiografi rutin pada kaki rata fleksibel tidak bergejala biasanya tidak
terindikasi. Radiografi AP dan lateral dengan pembebanandilakukan jika ada
kekauan atau gejala lainnya. Pada radiografi AP, aka nada valgus tumit yang
berlebihan. Pandangan lateral menunjukkan distorsi hubungan garis lurus
normalatau sumbu panjang talus dan metatarsus pertama dengan kelonggaran
sendi talonavikulare atau navikulokuneiformis, mengakibatkan perataan arkus
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dibahas, maka kerangka konsep
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Variabel independen Variabel dependen
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
3.2 Defenisi Operasional
3.2.1 Obesitas
Defenisi operasional : Obesitas adalah akumulasi jaringan lemak di bawah
kulit yang berlebihan dan terdapat di seluruh tubuh. Sering dihubungkan
dengan overweight (kelebihan berat badan), walaupun tidak terlalu identik,
oleh karena obesitas memiliki ciri-ciri tersendiri.
Alat ukur : Kurva CDC
Cara pengukuran :
Dengan mengukur tinggi badan anak dan melakukan penimbangan
terhadap berat badan anak, lalu melakukan perhitungan indeks massa
tubuh anak (IMT).
Tinggi badan diukur dengan alat ukur staturmeter dengan satuan
ukuran m (meter).
Berat badan diukur dengan alat ukur timbangan digital dengan
satuan ukuran kg (kilogram).
Perhitungan IMT dengan menggunakan rumus
IMT = Berat badan
(tinggi badan)2
Dengan satuan meter / kilogram2 (m/kg2)
Kemudian melakukan plotting pada kurva CDC.
Tentukan usia anak pada aksis horizontal. Saat melakukan plotting
berat badan-panjang badan, temukan panjang badan pada aksis
horizontal. Tarik garis membentuk garis vertical lurus dari titik
tersebut.
Gunakan tabel yang sesuai dengan parameter yang sedang diukur
(berat badan, panjang/tinggi badan, IMT) dan temukan ukuran
yang sesuai yang didapatkan dari pengukuran anak pada garis
vertical. Tari garis horizontal lurus hingga berpotongan dengan
garis vertical yang sebelumnya telah dibuat.
Tandai titik dimana dua garis berpotongan (Indra Maharddhika,
Rini Sekartini, 2014).
Hasil pengukuran :
Tabel 3.1 Interpretasi Kurva CDC (IMT – Usia) Persentil Status Nutrisi
>97 Overweight
>85 - <97 Risk of overweight
<5 Underweight
Skala pengukuran : nominal
3.2.2 Pes Planus Fleksibel (flexible flat foot)
Definisi operasional : Flat foot adalah kelainan kompleks yang sering
terjadi dan sering ditemui dengan gejala dengan derajat deformitas dan
disabilitas yang bermacam–macam, ada beberapa tipe kaki datar yang semuanya dilihat dari keadaan arkus yang hilang baik sebagian maupun
keseluruhan (Kaye, 2004; Naylor, 1999).
Alat ukur : Klasifikasi Plantar footprint (Denis, 1974 dalam artikel
Antonio et all, 1999)
Cara pengukuran : dengan menggunakan Plantar Footprint (cetakan kaki bagian plantar). Pemeriksaan dapat juga dilakukan dengan penggunakan
tinta dimana kaki diberi tinta dan diminta untuk menginjakkan kaki pada
normal tidak meninggalkan banyak jejak ketika telapak kaki di tempelkan
dipermukaan kertas, kondisi kaki yang tidak memiliki arkus meninggalkan
jejak lebih lebar.
Hasil pengukuran : diklasifikasikan kedalam tiga tingkatan kaki datar :
Derajat 1 : Dimana tumpuan pada tepi lateral bagian tengah kaki
lebih dari setengah dari tumpuan metatarsal, bila ditarik garis
antara ujung dalam metatarsal dengan ujung dalam tumit maka
arkus tampak hanya sedikit dibandingkan dengan bagian yang
menapak.
Derajat 2 : Dimana tumpuan sama antara daerah tengah dan
forefoot, bila ditarik garis antara ujung dalam metatarsal dengan
ujung dalam tumit maka tidak tampak arkus atau tumpuan bagian
tengah kaki sejajar garis.
Derajat 3: Dimana tumpuan pada daerah tengah pada kaki lebih
besar dibandingkan lebar tumpuan pada metatarsal, bila ditarik
garis antara ujung dalam metatarsal dengan ujung dalam tumit
maka bagian tengah kaki yang menapak lebih lebar dibanding
garis.
Gambar 3.2 Derajat flat foot
Sumber : Antonia et al,1999 dalam artikel Lendra, M.D., Santoso, T.B, 2009
Skala pengukuran : nominal
3.3 Hipotesa
Hipotesa penelitian ini adalah diduga terdapat hubungan antara kejadian
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik dengan pendekatan
cross sectional study (studi potong lintang).
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SD Sutomo 2 Medan selama bulan Maret
sampai Desember tahun 2015.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah siswa SD. Populasi terjangkau penelitian ini
adalah siswa kelas 4 SD Sutomo 2 Medan.
4.3.2. Sampel
Sampel penelitian adalah subjek yang diambil dari populasi terjangkau
yang berada di lingkungan SD Sutomo 2 Medan selama penelitian berlangsung
serta memenuhi kriteria inklusi serta tidak memenuhi kriteria eksklusi.
Adapun kriteria inklusi dan eksklusi pada penelitian ini adalah:
1. Kriteria inklusi:
a. Siswa kelas 4 SD Sutomo 2 Medan.
b. Telah mengalami obesitas minimal sejak 1 tahun yang lalu.
c. Ada persetujuan orangtua atas keikutsertaan anak dalam penelitian
2. Kriteria eksklusi:
a. Pernah mengalami cedera pada kaki.
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah total sampling
yaitu melibatkan seluruh siswa kelas 4 SD Sutomo 2 Medan yang berjumlah 249
orang untuk dijadikan sampel penelitian.
4.4. Metode Pengumpulan Data
4.4.1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data dengan
melakukan pengukuran tinggi badan, penimbangan berat badan, dan melakukan
analisa pada hasil tinta kaki anak.
4.4.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh langsung dari bagian
administrasi SD Sutomo 2 Medan meliputi jumlah siswa SD Sutomo 2 Medan dan
data berat badan dan tinggi badan yang diperoleh dari kartu imunisasi siswa SD
Sutomo 2 Medan.
4.5. Metode Pengolahan dan Analisa Data
4.5.1. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1)
editing, dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data; (2) coding,
data yang terkumpul dikoreksi, kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual
sebelum diolah dengan komputer; (3) entry, data tersebut dimasukkan ke dalam
program computer; (4) cleaning data, pemeriksaan semua data yang telah
dimasukkan ke dalam komputer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam
pemasukan data; (5) saving, penyimpanan data untuk siap dianalisis; dan (6)
analisis data.
4.5.2. Analisis Data
Metode pengolahan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan
dalam bentuk tabel dengan tujuan penelitian yaitu mengetahui hubungan antara
BAB 5
SD Sutomo 2 Medan yang telah memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan.
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden
Populasi penelitian ini adalah siswa kelas 4 SD Sutomo 2 Medan. Dari 249
siswa SD Sutomo 2 Medan seluruhnya yang menjadi responden, didapatkan total
subjek penelitian adalah 188 siswa sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.
Karakteristik responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5.1
dibawah ini.
Tabel 5.1. Karakteristik Responden Penelitian
No Karakteristik Responden Jumlah (n) Persentase (%) 1 Kelas
dengan persentase 20.7%. Persentase responden dari kelas IV-2 dan IV-3 adalah
19.7% dan persentase responden dari kelas IV-5 adalah 19.1%. Persentase
responden yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada laki-laki,
yakni 57.4%, sedangkan persentase responden berjenis kelamin laki-laki sebesar
42.6%. Persentase responden dengan status gizi non obesitas lebih banyak
dibandingkan responden dengan status obesitas yakni 73.9%, sedangan persentase
responden dengan status obesitas adalah 26.1%. Persentase responden dengan
morfologi kaki non flat foot lebih banyak dibandingkan responden dengan
morfologi kaki flat foot yakni 62.8%, sedangkan responden dengan morfolgi kaki
flat foot sebesar 37.2%.
Tabel 5.2. Distribusi frekuensi kejadian flat foot berdasarkan karakteristik
responden
No Karakteristik Responden Non Flat Foot Flat Foot Total
n % n % (100%)
Berdasarkan tabel 5.2, persentase responden yang terbanyak mengalami
flat foot berdasarkan kelasnya yaitu kelas IV-1 sebesar 46.2%, sedangkan yang
paling sedikit mengalami flat foot adalah kelas IV-5 dengan persentase 25.0%.
Persentase responden perempuan yang mengalami flat foot lebih banyak
daripada responden laki-laki yang mengalami flat foot yaitu sebesar 43.5%.
Persentase responden obesitas yang mengalami flat foot lebih banyak
5.1.3. Hasil Analisis Data
Tabel 5.3. Distribusi frekuensi flat foot berdasarkan status gizi siswa kelas IV
SD Sutomo 2 Medan
Variabel Flat foot Non flat foot PR p-value
n % N %
Obesitas 41 83.7% 8 16.3% 4.01 .000
Normal 29 20.9% 110 79.1%
Tabel 5.3 menunjukkan hasil analisis untuk melihat hubungan antara
kejadian flat foot dengan obesitas pada anak. Untuk itu didapatkan p-value sebesar
0.000 (<0.05), yang memiliki makna bahwa terdapat hubungan antara kejadian
flat foot dengan obesitas pada anak kelas IV SD Sutomo 2 Medan.
Kemungkinan untuk terjadi flat foot pada anak yang obesitas lebih tinggi
dibandingkan anak yang tidak mengalami obesitas (PR=4.01, 95%CI).
5.2. Pembahasan
Pes planus hipermobil atau disebut juga flat foot merupakan kejadian
lazim pada neonatus dan anak belajar jalan. Namun pada anak yang lebih tua atau
pada orang dewasa perlu diperhatikan untuk mencari penyebabnya. Hal ini terjadi
karena kelemahan pada kompleks ligamentum kaki sehingga dapat terjadinya
ruptur ligamentum longitudinal sehingga arkus longitudinal mediale tidak tampak
pada saat pembebanan atau pada saat berdiri. Kaki rata hipermobil atau kaki
pronasi merupakan sumber kecemasan bagi orang tua dikarenakan dapat
menyebabkan cedera pada kaki anak.
Pada penelitian ini, terbukti pada 188 responden yang terdiri dari 49 anak
(26.1%) yang mengalami obesitas dan 139 anak (73.9%) yang tidak mengalami
obesitas menunjukkan bahwa obesitas mempengaruhi kejadian flat foot pada anak
kelas IV SD Sutomo 2 Medan (p<0.05) yaitu obesitas dapat menjadi salah satu
faktor resiko flat foot pada anak. (Victor Grech, 2007)
Kejadian flat foot dari penelitian ini didapati lebih banyak terjadi pada
disebabkan karena obesitas membuat tekanan pada lekungan telapak kaki
meningkat secara luar biasa (Tonysetiobudi, 2015).
Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Hassan Daneshmandi (2009) di
Iran pada 1180 siswa yang terdiri dari 726 siswa laki-laki dan 454 siswa
perempuan, dikatakan bahwa terdapat hubungan antara flat foot dengan anak yang
mengalami overweight dan obesitas. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian
deskriptif yang dilakukan oleh Seteriyo Wardanie (2013) di Surakarta pada 1089
responden yang terdiri dari 299 responden dengan flat foot dan 790 responden
yang tidak mengalami flat foot, didapatkan bahwa persentase responden yang
terbanyak mengalami flat foot adalah responden dengan indeks massa tubuh
gemuk dan sangat gemuk.
Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Karen J. Mickle
pada 95 anak dari 10 sekolah yang dipilih secara acak di New South Wales,
Australia. Dalam penelitian Karen J. Mickle yang dianalisis dengan menggunakan
independent t-test, didapati bahwa anak yang mengalami obesitas atau overweight
memiliki tinggi arkus yang lebih rendah daripada yang dimiliki oleh anak normal
(p= 0.04). pada penelitian ini juga disimpulkan bahwa anak dengan obesitas atau
overweight akan memberikan tekanan yang lebih besar pada arkus longitudinal
medial yang berhubungan dengan semakin rendahnya arkus longitudinal medial
tersebut.
Flat foot juga dapat ditemukan pada anak yang tidak obesitas seperti pada
penelitian ini didapati sekitar 20.4%. Hal ini bisa disebabkan oleh perubahan
posisi tulang atau adanya jaringan ikat atau tulang yang menghubungkan 2 tulang.
Dari tabel 5.2, dapat dilihat bahwa flat foot lebih banyak terjadi pada
responden perempuan dengan persentase 43.5% dibandingkan responden laki-laki
dengan persentase 25.0%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Seteriyo Wardanie (2013) pada total sampel 1089 siswa didapatkan prevelensi
299 siswa mengalami flatfoot dan 790 siswa memiliki arkus normal. Karakteristik
responden berdasarkan jenis kelamin terbanyak adalah responden perempuan
Namun hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Shay
Tenenbaum (2013) pada 825.946 responden remaja yang terdiri dari 467.412
responden laki-laki dan 358.552 responden perempuan di Amerika. Pada
penelitian ini didapati bahwa prevalensi anak laki-laki yang mengalami flat foot
sebesar 16.2% dan perempuan sebesar 11.6% dari total keseluruhan 14.2%
(12.4% dengan mild flat foot dan 3.8% dengan severe flat foot pada laki-laki,
9.3% dengan mild flat foot dan 2.4% dengan severe flat foot pada perempuan).
Namun penjelasan mengenai alasan mengenai prevalensi flat foot pada
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan, maka dapat diambil
kesimpulan mengenai hubungan kejadian flat foot dengan obesitas pada siswa
kelas IV SD Sutomo 2 Medan sebagai berikut :
1. Jumlah responden yang mengalami obesitas adalah 26.1%.
2. Jumlah responden yang mengalami flat foot adalah 37.2%.
3. Jumlah responden perempuan yang mengalami flat foot lebih banyak
daripada responden laki-laki yaitu sebesar 43.5%.
4. Distribusi frekuensi kejadian flat foot pada responden berdasarkan status
gizi yang mengalami obesitas adalah 41 orang (83.7%). Distribusi
frekuensi kejadian flat foot pada responden yang tidak mengalami obesitas
adalah 29 orang (20.9%).
5. Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kejadian
flat foot dengan obesitas pada responden (p<0.05). Sehingga dari analisis
bivariat, obesitas merupakan faktor resiko terhadap kejadian flat foot.
6.2. Saran
Beberapa hal yang dapat disarankan berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan antara lain
1. Bagi Masyarakat
Flat foot merupakan kejadian dimana arkus longitudinal mediale yang
seharusnya terbentuk di bagian dalam telapak kaki tidak terbentuk.
Kejadian ini dapat dikarenakan kelemahan dari ligament atau akibat
penumpukan lemak. Salah satu faktor resiko terjadinya flat foot adalah
obesitas yang berkepanjangan. Oleh karena itu, sebaiknya masyarakat
dapat mengontrol berat badan sehingga tidak terjadi obesitas maupun
2. Bagi Sekolah
Flat foot merupakan hal yang lazim terjadi pada anak yang mengalami
kegemukan atau obesitas. Oleh karena itu, sekolah sebaiknya memberi
keringanan dan keleluasaan bagi peneliti dalam melakukan penelitian, agar
data yang didapat lebih valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pengambilan data dari responden menggunakan cara perhitungan IMT
(Indeks Masa Tubuh) menggunakan tinggi badan dan berat badan,
melakukan cetakan kaki dengan tinta dan persetujuan dari orang tua, dan
identitas responden dalam penelitian dirahasiakan, sehingga tidak perlu
ada kekhawatiran mengenai identitas responden dalam publikasi
penelitian. Berkaitan dengan kejadian flat foot, sekolah sebaiknya lebih
memperhatikan faktor risiko flat foot yang dapat terjadi pada anak SD,
sehingga resiko cedera kibat flat foot dapat di minimalkan.
3. Bagi Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan sebaiknya memberikan edukasi dan konseling mengenai
kejadian flat foot pada masyarakat terutama kepada para ibu agar mereka
lebih paham tentang flat foot, serta dapat melakukan pencegahan berupa