• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS ATAS KEABSAHAN PERKAWINAN

BEDA AGAMA YANG DILANGSUNGKAN

DI LUAR NEGERI

TESIS

OLEH :

MARIS YOLANDA SOEMARNO NIM. 087011010

MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2009

(2)

ANALISIS ATAS KEABSAHAN PERKAWINAN

BEDA AGAMA YANG DILANGSUNGKAN

DI LUAR NEGERI

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

MARIS YOLANDA SOEMARNO NIM. 087011010

MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Telah diuji pada

Tanggal: 30 Desember 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N.

Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.

2. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum. 3. Prof. Budiman Ginting, SH.,M.Hum.

(4)

ABSTRACT

Phenomenon of different religion marriage is not a new thing in Indonesia although the Marriage Act No. 1 of 1974 did not regulate the marriage with one of the couple has a different religion. While all of recognized religion in Indonesia did not permit the marriage if both of bride and bridegroom have different religion. In this condition there is a law vacancy for them who will do a marriage. There are any alternative for them to marriage by do the marriage in abroad or one of party embrace one the religion. But there is a problem when both of couple return to Indonesia. He marriage regulation in Indonesia requires a recording of the marriage either in Indonesia or in abroad. The registration cause a new issue whether the marriage in abroad can recognize as the legal marriage in Indonesia.

The problem in this thesis in what the position of different religion marriage in law system in Indonesia, what the registration of different religion marriage held in abroad and what the law consequences of the different religion marriage that did not registered in the Vital Statistic office. This research applies normative juridical method to study the regulations and the jurisdiction. As a normative law research, he data collecting method in this study is a library research and field research by interview ot the respondents, i.e. Dra. Susi Rasida, a Marriage and Divorce division of Vital statistic office of Medan.

The results of research indicates that one of alternative for the different religion marriage is held a marriage in abroad. The marriage in abroad must be registered at the Vital Statistic office to get a legal adinistartio. But the marriage statement must indicates that this statement is not a marriage certificate. The registration of marriage did not means that the marriage is legal according to the Indonesia law. The registration only as an administartion requirement and provide the status for the society living. The marriage has not yet registered is illegal marriage and the child of the marriage only has a civil case to his/he mother and not onn inheritance.

(5)

ABSTRAK

Fenomena perkawinan beda agama bukan hal yang baru di Indonesia, meskipun Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang perkawinan yang calon suami atau calon istrinya yang memeluk agama yang berbeda. Sementara seluruh agama yang diakui di Indonesia tidak membolehkan adanya perkawinan yang dilakukan jika kedua calon berbeda agama. Dalam hal ini telah terjadi kekosongan hukum bagi pihak yang ingin melakukan perkawinan. Beberapa cara yang dilakukan sebagai alternatif agar perkawinan keduanya tetap dapat dilaksanakan adalah dengan melakukan perkawinan di luar negeri, atau salah satu pihak meleburkan diri kepada salah satu agama. Namun terjadi permasalahan ketika kedua pasangan kembali ke Indonesia. Pengaturan Perkawinan di Indonesia mewajibkan adanya pencatatan bagi perkawinan, baik yang dilakukan di Indonesia maupun di luar negeri. Adanya pencatatan menimbulkan kembali persoalan apakah perkawinan yang telah dilangsungkan di luar negeri dapat disebut sebagai perkawinan yang sah di Indonesia.

Adapun permasalahan yang akan dikemukakan dalam tesis ini adalah bagaimana kedudukan perkawinan beda agama dalam sistem hukum di Indonesia, bagaimanakah pencatatan perkawinan beda agama yang di langsungkan di luar negeri dan Bagaimanakah akibat hukum perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif terutama untuk mengkaji peraturan perundang-undangan dan Putusan Pengadilan. Sebagai Penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) dan Penelitian lapangan (Field Research) yaitu, dengan teknik wawancara dengan nara sumber yaitu ibu Dra. Susi Rusida, Kasi Perkawinan dan Perceraian Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa salah satu cara yang dilakukan pasangan beda agama adalah melakukan perkawinan di luar negeri. Perkawinan yang dilakukan di luar negeri harus dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk mencatatkan administrasi peristiwa hukum yang dilakukannya.Namun Surat Pelaporan Perkawinan itu dituliskan dengan tegas bahwa Surat Pelaporan Perkawinan bukan merupakan Akta Perkawinan. Adanya pencatatan perkawinan tidak berarti bahwa perkawinan itu sah menurut hukum Indonesia. Pencatatan hanya merupakan pemenuhan kewajiban administrasi dan memberikan status dalam hidup bermasyarakat. Perkawinan yang tidak dicatatkan berakibat perkawinan tidak sah, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan tidak berhak atas harta warisan.

(6)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih, yang telah memberikan Rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis ini, dengan judul “Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri.”

Penulisan tesis ini adalah merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan sutudi pada Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU. Akan tetapi menurut Penulis, tesis ini adalah merupakan amanah yang diberikan dan harus dipertanggung jawabkan sedaya mampu dalam hakekat kemanusiaan yang penuh keterbatasan. Semoga bermanfaat bagi seluruh ummat. Amin.

Dalam kesempatan ini penulis dengan kerendahan hati menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp. A (k) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(7)

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus dosen pembimbing utama yang memberikan masukan dan kritikan dan dorongan kepada penulis.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus dosen pembimbing III, yang telah banyak membantu Penulis dalam hal memberikan bimbingan, petunjuk, saran-saran, dorongan dan semangat untuk kesempurnaan tulisan ini.

5. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan kritikan kepada penulis.

6. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, M.Kn, selaku dosen penguji yang selalu memberi perhatian, dorongan, dukungan arahan dan masukan kepada penulis. 7. Bapak-bapak dan ibu-ibu staf pengajar serta para karyawan di program studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(8)

9. Buat suami tercinta, AKP. Thelly Iskandar Muda, Sik, dan anak-anakku tersayang Teuku Kenzie Revano Azriel Iskandar dan Cut Keysha Fayyaza

Kareska Iskandar, terima kasih yang tulus buat doa, semangat, sayang, cinta dan

tempat untuk berbagi. Semoga kita bisa lebih baik lagi dalam segala hal. I love u all...

10.Buat adikku tersayang Yogi Soemarno, Cut Cempaka dan buat keponakanku yang lucu, Keanu ... terima kasih atas doa dan dukungannya.

11.Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya untuk kelas reguler khusus, terima kasih atas kekompakannya selama ini, dan yang selalu memberi semangat dalam menyelesaikan tesis ini.

Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini, penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalam

Medan, November 2009 Penulis

(9)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Maris Yolanda Soemarno Tempat Tanggal Lahir : Medan, 16 Januari 1980

II. ORANG TUA

Nama Ayah : Soemarno Wagiman Nama Ibu : Is Farida F. Miharja, SH

III. PEKERJAAN

Wiraswasta

IV. PENDIDIKAN

1. SD : SD Swasta Pertiwi Medan 2. SMP : SMP Negeri VI Medan 3. SMA : SMU swasta Harapan Medan

(10)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ...

ABSTRAK ... KATA PENGANTAR...

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...

DAFTAR ISI...

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan penelitian... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian penelitian ... 11

F. Kerangka Teori dan Konspsi... 13

1. Kerangka Teori... 13

2. Konsepsi ... 23

G. Metode Penelitian... 24

2. Sifat Penelitian ... 24

3. Teknik Pengumpul Data... 25

4. Alat Pengumpulan Data ... 26

5. Analisis Data ... 27

BAB II KEDUDUKAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA A. Sahnya Perkawinan dan Syarat-syarat Perkawinan ... 29

(11)

1. Sahnya Perkawinan ... 29

2. Syarat Perkawinan... 36

B. Pengaturan Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Perkawinan Indonesia ... 38

C. Perbedaan Pandangan tentang Perkawinan Beda Agama ... 47

1. Pandangan Yang Menyatakan Perkawinan Beda Agama adalah Pelanggaran ... 48

2. Pandangan yang Membolehkan Perkawinan Beda Agama... 51

D. Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Pandangan Agama Di Indonesia ... 63

BAB III PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG DILANGSUNGKAN DI LUAR NEGERI ... 69

A. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil 69 B. Perkawinan Beda Agama di Luar Negeri... 72

1. Alasan Kawin di Luar Negeri ... 72

2. Tata Cara Perkawinan Beda Agama di Luar Negeri... 75

C. Tata Cara Perkawinan Secara Umum ... 86

BAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG DICATATKAN DI DINAS KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL A. Akibat Hukum Perkawinan Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri ... 99

B. Akibat Hukum Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan ... 112

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 117

A. Kesimpulan ... 117

B. Saran ... 118

DAFTAR PUSTAKA

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada hakekatnya setiap manusia secara pribadi selalu ingin mengelompokkan dirinya dengan sesamanya yang merupakan satu kesatuan sosial, oleh karena dapat dirasakan bahwa tanpa adanya kebersamaan hidup dalam menghadapi suatu kenyataan yang timbul dalam masyarakat, akan mengurangi kesempurnaan dalam roda kehidupan.

Kebersamaan hidup dapat ditempuh dengan melangsungkan perkawinan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki yang akhirnya rumah tangga tersebut akan menjalin hubungan dengan masyarakat sekitarnya. Dengan dilangsungkannya perkawinan oleh suami dan istri, maka timbullah akibat hukum bagi suami dan istri. Salah satu akibat hukum itu adalah mengenai harta rumah tangga menurut KUH Perdata bahwa dengan dilangsungkannya perkawinan maka dengan sendirinya harta dalam perilaku mereka menjadi satu kesatuan bulat sebagaimana yang dimaksud Pasal 119 KUH Perdata.

Lahirnya Undang Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan secara relatif telah dapat menjawab kebutuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur perkawinan secara seragam dan untuk semua golongan masyarakat di Indonesia. Namun demikian, tidak berarti bahwa Undang Undang ini telah mengatur

(13)

semua aspek yang terkait dengan perkawinan. Contoh persoalan yang tidak diatur oleh Undang-undang Perkawinan adalah perkawinan beda agama, yaitu perkawinan antara seorang laki laki dan seorang perempuan yang berbeda agama.1

Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan campuran,2 perkawinan sejenis,3 kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda-agama sama sekali berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda-agama. Hal ini disebabkan karena pasangan yang lintas negara juga pasangan lintas agama.4

Fenomena perkawinan antar-agama bukan hal yang baru di Indonesia. Sebelumnya sudah berderet wanita Indonesia yang menikah dengan laki-laki non-Muslim. Ada Nurul Arifin yang kawin dengan Mayong (Katolik). Juga Yuni Shara yang menikah dengan Henry Siahaan (Kristen). Dan masih banyak yang lain. Tetapi,

1

Rusli & R. Tama, Perkawinan Antar Agama Dan Masalahnya. Pionir Jaya, Bandung.1986, hal. 11.

2

Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, rev. ed. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 3.

3

Menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang dimaksudkan di sini.

4

(14)

mereka-mereka ini kawin di luar negeri atau mengadakan perkawinan secara Kristen. Kasus yang cukup terkenal adalah perkawinan artis Deddy Corbuzier dan Kalina, pada awal Tahun 2005 lalu. Deddy yang Katolik dinikahkan secara Islam oleh penghulu pribadi yang dikenal sebagai tokoh dari Yayasan Paramadina.

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak memuat suatu ketentuan apapun yang menyebutkan bahwa perbedaan agama antara calon suami istri adalah dilarang atau merupakan halangan perkawinan. Sejalan dari jiwa dari Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “semua warga negara bersaman dengan kedudukannya dalam hukum”. Di sini warga negara, sekalipun berlainan agamanya. Kemudian dijelaskan bahwa Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang perkawinan yang calon suami atau calon istrinya yang memeluk agama yang berbeda.

Hal ini menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Sebagian berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi baik ketentuan yang berdasarkan agama, maupun berdasarkan Undang-undang negara. Sementara, di sisi lain, ada pihak yang berpendapat berbeda. Perkawinan antara pasangan yang berbeda-agama sah sepanjang dilakukan berdasarkan agama/keyakinan salah satu pihak

(15)

melakukan perkawinan di luar negeri, atau salah satu pihak meleburkan diri kepada salah satu agama. Ketentuan-ketentuan ini disebut sebagai salah satu cara penyelundupan hukum bagi perkawinan beda agama.5

Apabila diperhatikan dalam Pasal 2 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya pihak yang akan kawin menganut agama yang sama. Jika kedua-duanya itu berlainan agama, menurut ketentuan dalam Undang-undang Perkawinan dan peraturan-peraturan pelaksananya, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya ikut menganut agama pihak lainnya itu.

Walaupun demikian Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak merumuskan secara jelas perkawinan campuran berdasarkan perbedaan agama. Mengenai nikah siri, pernikahan seperti ini walaupun sah secara agama tetapi tidak mempunyai bukti karena tidak dicatat dengan kata lain pernikahan tersebut tidak dilakukan dihadapan pencatat nikah. Dengan perkawinan seperti ini dari segi hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami isteri cenderung banyak merugikan pihak isteri terutama jika terjadi perceraian.6 Selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan dari kepercayaan/agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan

5

“Masalah Hukum Keabsahan Kawin Beda Agama di Luar Negeri”http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14922&cl=Berita, Zulfa Djoko Basuki berpendapat perkawinan beda agama di luar negeri lebih sebagai upaya menghindari hukum yang seharusnya berlaku kepada mereka. Yaitu Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan 1974. Perkawinan demikian merupakan "penyelundupan hukum", dan karenanya dapat dibatalkan. perkawinan itu tidak sah karena tidak memenuhi syarat Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974. Meskipun tidak sah menurut hukum Indonesia, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut. Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar pelaporan administratif.

6

Suryadi Suganda, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Semarang, FH UNDIP, 2005), hal. 5.

(16)

perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari, terutama untuk perkawinan beda-agama. Misalnya saja, pengakuan negara atas anak yang dilahirkan, masalah perceraian, pembagian harta ataupun masalah warisan. Belum lagi, dampak-dampak lain, seperti berkembangnya gaya hidup hidup bersama atau hidup tanpa pasangan7 yang terkadang bisa dipicu karena belum diterimanya perkawinan beda-agama.

Perkawinan beda agama bukanlah perkawinan campuran dalam pengertian hukum nasional kita karena perkawinan campuran menurut Undang-Undang Perkawinan disebut sebagai perkawinan yang terjadi antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing, akan tetapi perkawinan beda agama di masyarakat sering pula disebut sebagai perkawinan campuran.

Undang-undang Perkawinan sendiri penafsiran resminya hanya mengakui perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama dan kepercayaan yang sama dari dua orang yang berlainan jenis yang hendak melangsungkan perkawinan. Dalam masyarakat yang pluralistik seperti di Indonesia, sangat mungkin terjadi perkawinan diantara dua orang pemeluk agama yang berlainan. Beberapa diantara mereka yang mempunyai kelimpahan materi mungkin tidak terlampau pusing karena bisa menikah di negara lain, namun bagaimana yang kondisi ekonominya serba pas-pasan. Tentu ini menimbulkan suatu masalah hukum.8

Jarwo Yunu mengatakan ada dua cara dalam menyikapi perkawinan beda agama ini:

1. Salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama, namun ini dapat berarti penyelundupan hukum, karena sesungguhnya yang terjadi adalah hanya

7

“Perkawinan Beda Agama”, http://hukumonline.com/detail.asp?id=15656&cl=Berita,

diakses tanggal 5 Agustus 2009

8

(17)

menyiasati secara hukum ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun setelah perkawinan berlangsung masing-masing pihak kembali memeluk agamanya masing-masing. Cara ini sangat tidak disarankan.

2. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 Kantor Catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh Ani Vonny Gani P (perempuan/Islam) dengan Petrus Hendrik Nelwan (laki-laki/Kristen). Dalam putusannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa dengan pengajuan pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil maka Vonny telah tidak menghiraukan peraturan agama Islam tentang Perkawinan dan karenanya harus dianggap bahwa ia menginginkan agar perkawinannya tidak dilangsungkan menurut agama Islam. Dengan demikian, mereka berstatus tidak beragama Islam, maka Kantor Catatan Sipil harus melangsungkan perkawinan tersebut.9

Perkawinan menurut masing-masing agama merupakan interpretasi lain dari Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bisa saja terjadi pasangan perkawinan beda agama ini pagi menikah sesuai agama laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan yang akan menyulitkan untuk menentukan perkawinan mana yang sah.

9

(18)

Penundukan diri terhadap salah satu hukum agama pasangan yang akan menikah mungkin lebih sering digunakan. Dalam agama Islam, diperbolehkan laki-laki Islam menikahi wanita non-Islam, yang termasuk ahlul kitab. Ayat Al-Quran inilah yang dipraktekkan sungguh oleh lembaga-lembaga seperti Paramadina, Wahid Institute, dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), bahkan

diperluas jadi memperbolehkan kawin beda agama bagi wanita muslim.10

Untuk perkawinan beda agama, mantan Menteri Agama Quraish Shihab berpendapat agar dikembalikan kepada agama masing-masing. Yang jelas dalam jalinan pernikahan antara suami dan istri, pertama harus didasari atas persamaan agama dan keyakinan hidup. Namun pada kasus pernikahan beda agama, harus ada jaminan dari agama yang dipeluk masing-masing suami dan istri agar tetap

10

Pernikahan seorang lelaki Muslim dengan perempuan non muslim terbagi atas 2 macam: a. Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab. Yang dimaksud dg Ahli Kitab di sini adalah

agama Nasrani dan Yahudi (agama samawi). Hukumnya boleh, dengan dasar Surat Al Maidah(5):5,"Pada hari mi dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang^orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.".

(19)

menghormati agama pasangannya. "Jadi jangan ada sikap saling menghalangi untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya.11

Pernyataan juga disampaikan Romo Andang Binawan, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya. Romo Andang juga menerangkan hukum gereja Katholik memperbolehkan perkawinan beda agama selama calon mempelai non-Katholik bersedia berjanji tunduk pada hukum perkawinan Katholik, monogami dan tidak bercerai seumur hidup, serta membiarkan pasangannya tetap memeluk Katholik.12

Sudhar Indopa menyatakan bahwa sesungguhnya bukan negara yang melarang adanya perkawinan beda agama, namun hukum agama. "Negara bukannya tidak mau mengakomodir perkawinan beda agama. Larangan tersebut tidak datang dari negara melainkan dari hukum agama. Sepanjang tidak ada pengesahan agama, adalah tidak mungkin Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil mencatat sebuah perkawinan."13

Ditinjau dari hukum Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melarang perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, agama-agama lain juga tidak membolehkan, bukan hanya agama Islam. Semua agama tidak memperbolehkan kawin beda agama. Umatnya saja yang mencari peluang-peluang. Perkawinannya

11

Salmah Zuhriyah, “Pernikahan Beda Agama; Tinjauan Hukum Islam & Hukum Negara”,

http://tafany.wordpress.com/2009/03/23/pernikahan-beda-agama-tinjauan-hukum-islam-hukum-negara/, diakses tanggal 5 Agustus 2009.

12 Ibid 13

(20)

dianggap tidak sah, dianggap tidak ada perkawinan, tidak ada waris, anaknya juga ikut hubungan hukum dengan ibunya.14

Banyaknya masyarakat yang lari ke luar negeri seperti Singapura dan Australia untuk melakukan perkawinan beda agama. Jika melakukan perkawinan di luar negeri berarti tunduk pada hukum di luar negeri. Pasangan tersebut mendapat akte dari negara itu, kemudian akte di bawa pulang untuk dicatatkan saja. Artinya tidak memperoleh akte lagi dari negara.

Meskipun Undang-undang tidak memperbolehkan kawin beda agama, tetapi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bisa menerima pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Padahal, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil merupakan produk negara. Dengan demikian, seharusnya yang dicatat Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil adalah sesuai dengan hukum Indonesia. Secara hukum tidak sah. Kalau kita melakukan perbuatan hukum di luar negeri, baru sah sesuai dengan hukum kita dan sesuai dengan hukum di negara tempat kita berada. Harusnya kantor catatan sipil tidak boleh melakukan pencatatan.15

Berdasarkan uraian di atas, maka Penulis tertarik untuk membahas perkawinan Beda agama, sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul: Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri.

14

Ibid, hal. 6 15

(21)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kedudukan perkawinan beda agama dalam sistem hukum di Indonesia ?

2. Bagaimanakah pencatatan perkawinan beda agama yang di langsungkan di luar negeri ?

3. Bagaimanakah akibat hukum perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yaitu ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memberi penjelasan kedudukan perkawinan beda agama dalam sistem hukum di Indonesia.

2. Untuk mengetahui dan memberi penjelasan pencatatan perkawinan beda agama yang di langsungkan di luar negeri.

3. Untuk mengetahui memberi penjelasan akibat hukum perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

D. Manfaat Penelitian

(22)

praktis, yakni: 1. Secara Teoritis

Dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu yang bermanfaat sebagai sumbangsih dalam hukum perdata yang berlaku, umumnya yang mengatur hukum perkawinan beda agama di Indonesia, khususnya dalam pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia.

2. Secara Praktis

Diharapkan penelitian ini kelak dapat dipergunakan manfaatnya untuk dapat diterapkan dalam pengambilan kebijaksanaan dan pelaksanaan hukum hukum perkawinan, secara khusus terutama dalam hal pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan pada perpustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, penelitian ini merupakan penelitian lanjutan karena telah pernah dilakukan penelitian sebelumnya mengenai Perkawinan bagi pasangan yang berbeda Agama, antara lain:

(23)

Kajian Lapangan di Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh)”dengan perumusan masalah sebagai berikut:

a. Apa yang menjadi faktor penyebab perkawinan tidak didaftarkan?

b. Bagaimana keabsahan suatu perkawinan yang tidak didaftarkan menurut hukum agama dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974?

2. Julianty, Tahun 2006, dengan judul “Perkawinan yang Dilangsungkan Di Luar Negeri dan Akibat Hukumnya”, dengan perumusan masalah:

a. Bagaimana akibat hukum terhadap kelalaian pendaftaran perkawinan di luar negeri ?

b. Bagaimana peranan pendaftaran perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri?

3. Agustina, Tahun 2007, dengan judul ”Perkawinan Antar Agama dan Akibat Hukumnya (Kajian Putusan MARI No. 1400/K/Pdt/1986) dengan perumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana akibat hukum perkawinan antar agama di Indonesia ?

b. Bagaimana kedudukan perkawinan antar agama dengan lahirnya Putusan MARI No. 1400/K/Pdt/1986?

(24)

permasalahan, substansi adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara akademis dan ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kalau berbicara dalam hal masalah perkawinan, maka yang menjadi persoalan yang ramai dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah perkawinan yang sangat banyak mendapat perhatian. Menurut Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani yang terkemuka mengatakan manusia yang ingin selalu hidup bersama antara orang yang satu dengan orang lainnya. Kehidupan bersama ini bisa dalam bentuk keluarga, masyarakat dan negara, pembentukan suatu keluarga ini harus dilakukan melalui ikatan perkawinan yang sah.

"Menurut Undang-Undang, Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang pria dengan seorang wanita yang diakui oleh peraturan-peraturan negara dan bertujuan untuk menyelenggarakan persatuan hidup yang abadi, jadi perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang pria dengan seorang wanita untuk waktu yang lama".16

Perbuatan hukum yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu kehidupan rumah tangga disebut perkawinan. Pengertian dari perkawinan menurut Mohammad Idris Ramulyo adalah:

16

(25)

Perkawinan adalah perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang bahagia yang kekal, dimana antara suami isteri itu harus saling menyantuni, kasih mengasihi, terdapat keadaan aman dan tentram penuh kebahagiaan baik moral spritual dan material berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.17

Pengertian perkawinan menurut Hazairin adalah: Perkawinan itu adalah hubungan seksual, tidak ada nikah (perkawinan) bilamana tidak ada hubungan seksual, dan bila tidak ada hubungan seksual antara suami isteri maka tidak perlu ada tenggang waktu tunggu (iddah) untuk menikah lagi bekas isteri itu dengan laki-laki lain.18

Menurut R, Subekti secara tegas menyatakan pengertian dari perkawinan ini adalah: Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.19

Pengertian perkawinan yang secara khusus adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika berikut ini: Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera dan bahagia dimana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung jawab, si isteri oleh karenanya akan mengalami suatu proses psykologis yang berat yaitu kehamilan dan melahirkan yang meminta pengorbanan.20

17

Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hal.287.

18

Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, Tintamas, Jakarta, 1981, hal.61. 19

R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 23. 20

(26)

Dari pengertian perkawinan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa suatu perkawinan merupakan perhubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dalam membentuk suatu kehidupan rumah tangga yang bahagia, kekal dan abadi dengan berdasarkan kepada kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana dengan adanya perkawinan ini diharapkan memperoleh anak sebagai sebagai penerus keturunan mereka kelak dikemudian hari.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing.

Dari rumusan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dapat disimpulkan bahwa sahnya tidaknya suatu perkawinan adalah semata-mata ditentukan oleh agama dan kepercayaan mereka yang hendak melaksanakan perkawinan. “Ini berarti bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan hukum agama, dengan sendirinya menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Perkawinan ini dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.”21

Sehubungan dengan adanya ketentuan Pasal 2 ayat 1 tersebut di atas bagi warganegara Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melaksanakan perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan-ketentuan tentang perkawinan

21

(27)

yang telah diatur dalam Hukum Perkawinan Islam. Yang masih menjadi persoalan adalah perkawinan antara mereka yang berbeda agama, sebab pelaksanaan perkawinan bagi perbedaan agama tidak ada ketentuannya baik dalam undang-undang perkawinan maupun dalam peraturan pelaksanaannya. Namun dalam prakteknya perkawinan bagi yang berbeda agama belum diperkenankan di Indonesia. Dengan melihat ketentuan Pasal 2 ayat 1 tersebut di atas maka sebetulnya tujuan diadakan ketentuan tersebut di atas adalah untuk menghindarkan konflik hukum baik antara hukum adat, antara hukum agama dan hukum antara golongan.

Dengan demikian apabila terjadi perkawinan antara dua orang yang berbeda agama maka terlebih dahulu harus diadakan pemilihan agama dan kepercayaan yang mereka peluk. Tanpa menentukan sikap atas agama dan kepercayaan lebih dulu, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 tidak mungkin dapat dilakukan perkawinan, sebab tidak mungkin sekaligus dipergunakan dua ketentuan hukum agama dan kepercayaan.

(28)

yang berlainan agama dan kepercayaan mau tidak mau harus menentukan pilihan salah satu agama dari kelainan agama yang mereka peluk”.22

Bagi orang yang beragama Islam untuk dapat melaksanakan perkawinan dengan orang yang berlainan agamanya supaya sah menurut ketentuan Pasal 2 ayat 1 tersebut harus mengikuti ketentuan-ketentuan tentang perkawinan antar agama seperti yang telah ditentukan dalam Hukum Islam.

Dalam perkawinan antar agama yaitu perkawinan antara seorang muslim dengan sorang yang bukan muslim, hukum Islam mengatur sebagai berikut:

a. Bagi seorang pria muslim boleh kawin dengan seorang wanita bukan muslim, tetapi hanya dikhususkan wanita-wanita yang mempunyai kitab suci selain kitab suci al-Qur'an, yang diakui oleh Allah (al-Qur'an S. Al-Maidah ayat 5).

Ketentuan di atas menyebutkan bahwa laki-laki muslim boleh menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), hanya saja harus memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain dipenuhinya syarat dan rukun nikah menurut agama Islam dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Syarat lain yang harus dipenuhi adalah si suami harus memiliki keyakinan bahwa dia tidak akan murtad atau berpindah ke agama istri, serta dengan segala upaya bisa menimbulkan rasa simpati pada agama Islam yang akhirnya nanti bisa membawa istrinya untuk masuk Islam. Persyaratan ini dibuat agak memberatkan agar tidak sembarangan

22

(29)

laki-laki muslim untuk kawin dengan wanita ahli kitab. Tetapi saat ini tidak ada disebutkan kriteria bagi wanita ahli kitab.

b. Bagi seorang wanita muslim dilarang kawin dengan pria non muslim tanpa ada perkecualian. (al-Qur'an S. al-Baqarah ayat 221 dan S. al-Muntahanah ayat 10).

Adanya larangan di atas dikarenakan pada umumnya posisi wanita (istri) sangat tergantung kepada suami. Jika dipaksakan, maka pernikahannya batal dan tidak sah.

Ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa sahnya perkawinan adalah ditentukan oleh agama dan kepercayaannya masing-masing, maka menurut Pasal 2 ayat 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini ditentukan juga bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengenai tujuan pencatatan ini dalam undang-undang perkawinan tidak dijelaskan lebih lanjut, hanya di dalam Penjelasan Umum dikatakan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

(30)

bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan bilamana perlu dapat dipakai sebagai alat bukti yang otentik, dan dengan surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan yang lain.

Pencatatan perkawinan tidak menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, tetapi hanya menyatakan bahwa: “Peristiwa perkawinan benar-benar terjadi jadi semata-mata bersifat administratif.”23 Mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan ini diatur lebih lanjut dalam Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9.

Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 beserta penjelasannya diperoleh ketentuan sebagai berikut:

a. Instansi yang melaksanakan perkawinan adalah:

1. Bagi mereka yang beragama Islam pencatatannya dilakukan oleh pegawai Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk.

2. Bagi mereka yang tidak beragama Islam, pencatatannya dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil atau instansi/pejabat yang membuatnya.

b. Tatacara pencatatan perkawinan harus dilakukan berdasarkan:

23

(31)

1. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 .

2. Ketentuan-ketentuan khusus yang diatur dalam berbagai peraturan, yang merupakan perlengkapan bagi peraturan pemerintah ini, yaitu:

a) Undang-undang No. 32 Tahun 1954, tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (L.N 1954 No. 98) dan beberapa Peraturan Menteri Agama yang berhubungan dengan hal tersebut.

b) Reglement Catatan Sipil bagi orang Indonesia yang beragama Kristen di Jawa, Madura dan Minahasa dan sebagainya (Stb. 1917 No. 75 yo. 1936 No. 607 dengan segala perubahannya).

c. Reglement Catatan Sipil untuk Golongan Cina (Stb. 1917 No. 130 yo. 1919 No. 81 dengan segala perubahannya).

d. Reglement Catatan Sipil bagi golongan Eropah yang disamakan (Stb. 1849 No. 25).

e. Daftar Catatan Sipil untuk Perkawinan Campuran (Stb. 1904 No. 279).

(32)

yang otentik, seorang suami tidak mungkin mengingkari isterinya demikian juga sebaliknya seorang isteri tidak mungkin mengingkari suaminya. Dengan dimilikinya akta perkawinan seorang pegawai negeri dapat menuntut berbagai tunjangan, misalnya tunjangan isteri, tunjangan anak dan tunjangan lain yang berhubungan dengan perkawinan.

Allah SWT menyebutkan tentang ketentuan utama di dalam melaksanakan perkawinan. Hal ini terdapat di dalam S. An-Nissa’ ayat 59 yang artinya:

“Hai Orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia pada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu dan lebih baik akibatnya).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka berdasarkan pertimbangan "maslahah mursalah”dalam hukum Islam, pencatatan perkawinan adalah merupakan suatu perbuatan yang harus dilaksanakan. Maslahah mursalah ialah menetapkan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak disebutkan sama sekali di dalam al-Qur'an atau Sunnah Rasul atas pertimbangan menarik kebaikan dan menolak kerusakan dalam hidup bermasyarakat. 24

Oleh karena dalam kenyataannya pencatatan perkawinan lebih banyak mendatangkan kebaikan dari pada kerusakan dalam hidup bermasyarakat, maka melaksanakan pencatatan perkawinan adalah merupakan suatu keharusan bagi mereka yang bergama Islam. Sehubungan dengan itu maka keharusan mencatat perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti yang

(33)

dirumuskan dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini adalah sejalan dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam hukum Islam.

Berpijak atas ketentuan-ketentuan serta penjelasan dari undang-undang tersebut, perkawinan yang sah harus dibenarkan oleh ajaran/hukum agama masing-masing calon suami-istri. Kalau ajaran agama yang bersangkutan tidak membenarkan, mengapa harus berusaha mencari-cari alasan sebagai alat pembenaran agar perkawinannya dapat terlaksana. 25

Secara tegas dapat dikatakan, tindakan di atas menyimpang dari apa yang tersurat maupun yang tersirat dalam pasal-pasal dan penjelasan undang-undang ini. Jadi, apabila terjadi kawin campur antar agama yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama, maka perkawinan itu tetap tidak sah. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 telah menutup pintu perkawinan antar agama.

Ketentuan yang diterapkan dalam Undang-undang Perkawinan ini, dulu bukan tanpa melalui pembahasan yang mendalam, bahkan analisisnya dalam berbagai aspek cukup matang. Mengingat sudah begitu jelasnya mengenai perkawinan tersebut, maka perkawinan antar agama sama sekali tidak termasuk dalam ketentuan tersebut. Dalam sejarah hukum perkawinan, memang, kolonial Belanda sama sekali tidak pernah memperhatikan keterkaitannya dengan ajaran agama. Bagi penjajah Belanda waktu itu, pemikiran ini dianggap wajar sebab dengan mendasarkan pada Pasal 26 BW,

25

(34)

mereka memiliki sikap bahwa perkawinan tidak dapat dihalang-halangi hanya karena beda agama (keyakinan).26

2. Konsepsi

Berdasarkan judul yang dibahas, maka penulis membuat konsepsi sebagai berikut:

1. Analisis atau analisa adalah kajian yang dilaksanakan terhadap sebuah bahasa guna meneliti struktur bahasa tersebut secara mendalam. Kamus Umum Bahasa Indonesia memberikan defenisi analisa: ”Penyelidikan sesuatu peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya) untuk mengetahui apa sebab-sebabnya, bagaimana duduk perkaranya dan sebagainya.”27

2. Keabsahan berarti pengesahan, pengakuan undang-undang terhadap sahnya perkawinan tersebut.

3. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.28

26

Perkawinan Antar-agama Rawan Penyelundupan Hukum, http://www.kompas.com/ kompas-cetak /0303/31/dikbud/229187.htm

27

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993) hal. 39

28

(35)

4. Perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama.

5. Luar negeri merupakan wilayah yang berada di luar wilayah Republik Indonesia. Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan luar negeri sebagai wilayah asing.29

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif terutama untuk mengkaji peraturan perundang-undangan dan Putusan Pengadilan. Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

"Hal ini sejalan dengan pendapat Ronald Dworkin menyebut metode penelitian normatif juga sebagai penelitian doktrinal atau doctrinal research, yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book; maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process."30

Sedikitnya ada tiga alasan penggunaan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif.

29

W. J. S. Poerwadarminta, Op.Cit, hal. 609. 30

(36)

Pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.

Kedua, data yang akan dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara yang satu dengan lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantifisir.

"Ketiga, sifat dasar data yang akan dianalisis dalam penelitian adalah bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral holistic dimana hal itu menunjukkan adanya keanekaragaman data serta memerlukan informasi yang mendalam atau indepth information."31

2. Teknik Pengumpulan Data

Sebagai Penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.

1. Penelitian kepustakaan (Library Research). Melalui studi kepustakaan ini, data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, berupa Undang-Undang Nomor I Tahun 1974, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan peraturan perundang-undangan lainnya

31

(37)

yang berhubungan dengan obyek penelitian adalah merupakan bahan hukum primer.

b. Bahan hukum sekunder, berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah, ceramah atau pidato yang berhubungan dengan penelitian ini adalah merupakan bahan hukum sekunder.

c. Bahan hukum tertier, kamus hukum, kamus ekonomi, kamus bahasa Inggris, Indonesia, Belanda dan artikel-artikel lainnya baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, baik yang berdasarkan civil law maupun common law yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder.

2. Penelitian lapangan (Field Research) yaitu, dengan teknik wawancara dengan nara sumber yaitu pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formil maupun melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan teoritis. Wawancara dilakukan dengan pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan.

3. Alat Pengumpulan Data

(38)

primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum perkawinan.

Selain itu dilakukan dengan melakukan wawancara dengan nara sumber, yaitu dengan ibu Dra. Susi Rusida, Kasi Perkawinan dan Perceraian Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan

4. Analisis Data

Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh di lapangan dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode deduktif. Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan dalam tinjauan pustaka secara komparatif akan dijadikan pedoman dan dilihat pelaksanaannya dalam melihat keabsahan perkawinan beda agama yang di langsungkan di luar negeri. "Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisa dengan cara "kualitatif, selanjutnya dilakukan proses pengolahan data. Setelah selesai pengolahan data baru ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif"32

Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul baik melalui wawancara yang dilakukan, inventarisasi karya ilmiah, peraturan Perundang-undangan, yang berkaitan dengan judul penelitian baik media cetak dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi

32

(39)
(40)

BAB II

KEDUDUKAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

A. Sahnya Perkawinan dan Syarat-Syarat Perkawinan

1. Sahnya Perkawinan

Pengertian perkawinan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah memberikan suatu ketentuan yang bersifat nasional. Dalam kaitannya menyaring pelbagai persepsi yang selama ini berkembang dalam membuat pengertian perkawinan yang timbul dari pluralisme hukum dalam masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan masalah hukum keluarga, khususnya dalam hukum perkawinan. Pengertian perkawinan yang dimaksud adalah menurut :

a. Hukum Adat

Erat kaitannya dengan corak konkrit, kontan dan komunalnya bahwa perkawinan33 adalah mempersatukan anggota warganya yaitu antara seorang pria dan seorang wanita sebagai sarana untuk melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib, sarana untuk melahirkan generasi baru sebagai pelanjut garis hidup kelompoknya dan juga sarana untuk meneruskan garis keluarga dari suatu persekutuan.

b. Hukum positif

33

(41)

Perkawinan adalah merupakan suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara (pendapat Scholten dalam menterjemahkan pengertian menurut BW). 34

Perkawinan menurut agama Islam sendiri adalah suatu proses akad atau ikatan lahir batin di antara seorang pria dan wanita. Yang menjamin halalnya pergaulan sebagai suami dan istri dan sahnya hidup berumah tangga. Dengan tujuan untuk membentuk keluarga sejahtera 35, serta atas dasar suatu kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak dan dilakukan oleh wali pihak wanita menurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh agama. 36

Undang-Undang Perkawinan, yang memuat mengenai sahnya perkawinan secara materiil dalam Pasal 2 ayat (1) dan secara formil dalam Pasal 2 ayat (2), maka secara nasional mengenai sahnya perkawinan tersebut berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia.37

Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan sebagai syarat materil suatu perkawinan, menentukan bahwa: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu” Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar

34

R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, Bandung, 1982, hal. 31

35

Abdurahman Al-Mukaffi, Op. cit 36

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di

Indonesia, Airlangga University Press. 1988. Hal. 27-33

37

(42)

1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Perkawinan. Setelah perkawinan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1), maka untuk selanjutnya dilaksanakan pencatatan perkawinan sebagai syarat formil, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: “Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Diberlakukannya Undang-Undang perkawinan yang bersifat nasional ini, secara perlahan telah berpengaruh dalam hal proses perkawinan. Serta membatasi berlakunya ketentuan hukum adat menyangkut perkawinan, apabila ada yang bertentangan dengan ketentuan hukum agama dan ketentuan perundang-undangan dalam bidang hukum agama. Oleh sebab itulah, hukum adat yang biasanya berpengaruh dalam pelaksanaan proses perkawinan, semakin banyak ditinggalkan. Kesulitan dalam pelaksanaan perkawinan menurut adat, serta besarnya pengaruh hukum agama, baik Islam, Nasrani (Katholik maupun Protestan), ataupun Hindu dan Buddha, yang kemudian diserap oleh Undang-Undang perkawinan memperbesar pergeseran pelaksanaan proses perkawinan. 38

38

Bahder Johan Nasution dan Sri Warijati, Hukum Perdata Islam, Kompetensi Peradilan

Agama, Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan shodaqah, Mandar Maju, Bandung,

(43)

Walaupun dalam kenyataannya tidak mutlak hukum adat ditinggalkan, karena hukum adat sifatnya fleksibel dan praktis sehingga mampu untuk menerima intervensi dari hukum agama dan menyerap hukum agama tersebut (khususnya hukum agama Islam yang telah lama diserap oleh hukum adat dalam kaitannya dengan perkawinan, sehingga sahnya perkawinan dan syarat perkawinan menurut hukum agama juga telah diresepsi oleh hukum adat).

Pada azasnya, Hukum Perkawinan Indonesia melarang terjadinya perkawinan antara kedua calon mempelai yang berbeda agama atau kenyakinan. Hal ini sebagaimana dimaksud dan diatur Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketegasan pelarangan perkawinan beda agama ditegaskan pula dalam Pasal 8 huruf (f) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa Perkawinan dilarang antara dua orang yang: mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.39

Adanya resepsi hukum adat dalam ke dalam hukum agama (Islam) tidak menimbulkan perubahan yang besar atau drastis bagi seorang pemeluk agama Islam

39

Notaris Herman, Perceraian Dalam Perkawinan Beda Agama,

http://herman-notary.blogspot.com/2009/06/opini-perceraian-dalam-perkawinan-beda.html, diakses tanggal 14

(44)

yang juga memegang teguh hukum adatnya. Hal ini berbeda dengan orang-orang yang memberlakukan KUHPerdata terhadap dirinya.40

Berdasarkan pada kenyataan sosial seperti yang telah diuraikan di atas. Maka seperti yang dikemukan Achmad Ichsan, bahwa perlu kiranya pengkajian ulang terhadap Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Oleh karena masih berkembangnya pendapat perkawinan itu tidak hanya urusan duniawi tetapi juga masalah Tuhan. Hal ini dapat terlihat dengan adanya perkawinan gereja (kerkelijk huwelijk) yang merupakan salah satu contoh perkawinan secara agama yang tidak

dilampirkan di Pencatatan Sipil (Burgerlijk Stand) sehingga perkawinan tersebut sah menurut agama, tetapi tidak sah menurut Undang-Undang terutama pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.41

Untuk itulah, guna menghindari timbulnya persepsi yang berbeda seperti contoh yang dikemukakan di atas. Diusahakan adanya Hukum Negara yang ditetapkan oleh pihak yang berwajib dengan syarat harus sinkron dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan, sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan:

Bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan Agama/kerokhanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting membentuk keluarga yang bahagia rapat

40

Djuhaendah Hasan, Hukum Keluarga: Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 (Menuju Ke Hukum Keluarga Nasional), Armico. Bandung, 1998. Hal. 28-30.

41

Achmad Ichsan, Hukum Perkawinan bagi yang Beragama Islam: Suatu Tinjauan dan

(45)

hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orangtua.”

Juga seperti yang tercantum dalam butir ketiga dari penjelasan umum Undang-Undang Perkawinan, yang berbunyi:

“Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-Undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-Undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.”

Terlepas dari adanya kelemahan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan seperti yang telah diuraikan di atas. Maka sudah menjadi ketentuan yang pasti, bahwa sahnya suatu perkawinan harus dijalankan dengan agama masing-masing dan kepercayaannya itu. Dalam hal ini terlihat bahwa hukum negara, yaitu Undang-Undang Perkawinan telah melakukan suatu bentuk sinkronisasi terhadap hukum agama yang berlaku di masyarakat. Atau dengan kata lain, menyerahkan sepenuhnya persyaratan yang timbul atau yang datangnya dari hukum agama dan kepercayaannya selama tidak bertentangan dengan hukum negara yang ada. Misalnya bagi penganut agama Islam, untuk melangsungkan suatu pernikahan harus memenuhi rukun dan syarat nikah sesuai dengan yang ditentukan dalam agama Islam. 42

Begitu pula untuk pemeluk agama lainnya, apabila segala persyaratan yang timbul dari hukum agama masing-masing terpenuhi, maka hukum negara akan menguatkan atau mengukuhkan perkawinan itu dengan mencatatkan perkawinan

42

(46)

tersebut. Sesuai yang tercantum pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, yaitu pada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bagi yang beragama di luar agama Islam, sebagai suatu syarat administrasi guna mengadakan suatu tertib administrasi bagi setiap perkawinan yang dilangsungkan.

Berdasarkan uraian di atas, maka Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, menentukan dalam suatu hukum perkawinan: 43

a. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan Eropa yang beragama Islam:

1. Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

2. Sahnya dan syarat perkawinan serta larangan perkawinan sesuai dengan hukum agama Islam.

3. Hal-hal yang tidak diatur di dalam nomor (1) dan (2), maka bagi orang Indonesia asli diberlakukan hukum agama Islam yang diresipir dalam hukum adat, bagi Tionghoa berlaku KUHPerdata dengan sedikit perubahannya, bagi Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hukum Adatnya masing-masing dan bagi Eropa berlaku KUHPerdata.

b. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan Eropa yang beragama Nasrani (Katholik dan Protestan):

1. Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

2. Sahnya dan syarat perkawinan serta larangan perkawinan sesuai dengan hukum agama Nasrani (Katholik dan Protestan).

3. Hal-hal yang tidak diatur di dalam nomor (1) dan (2), maka bagi orang Indonesia asli Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, bagi Tionghoa berlaku KUHPerdata dengan sedikit perubahannya, bagi Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hukum Adatnya masing-masing dan bagi Eropa berlaku KUHPerdata.

c. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan Eropa yang beragama Hindu maupun Budha

1. Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

43

(47)

2. Sahnya dan syarat perkawinan serta larangan perkawinan sesuai dengan agama Hindu maupun Budha.

3. Hal-hal yang tidak diatur di dalam nomor (1) dan (2), maka bagi orang Indonesia asli diberlakukan hukum adat, bagi Tionghoa berlaku KUHPerdata dengan sedikit perubahannya, bagi Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hukum Adatnya masing-masing dan bagi Eropa berlaku KUHPerdata.

Sahnya suatu perkawinan yang berdasarkan hukum agama, tidak akan menimbulkan masalah jika kedua mempelai memiliki agama yang sama. Akan tetapi akan timbul masalah jika terdapat perbedaan agama. Untuk mengatasi permasalahan ini, maka Mahkamah Agung memberi kemungkinan, yaitu 44 adanya musyawarah antara suami dan istri untuk memilih hukum agama yang diberlakukan, sesuai dengan prinsip keseimbangan yang dianut dalam Undang-Undang Perkawinan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menurut Undang-Undang Perkawinan, suatu perkawinan dianggap sah:

a. Diselenggarakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, artinya perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau calon istri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami istri dan atau keluarganya45

b. Dilaksanakan menurut tata tertib yang ditentukan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

c. Dicatatkan menurut perundang-undangan, dengan dihadiri oleh pegawai pencatat nikah dari Kantor Catatan Sipil bagi orang non-muslim pribumi maupun keturunan dan Kantor Urusan Agama (KUA) bagi muslim baik pribumi maupun keturunan. 46

44

Djuhaendah Hasan, Op.Cit. Hal. 60-62 45

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,

Hukum Agama., Mandar Maju Bandung, 1990. Hal. 26-27.

46

Martimah Prodjohamidjojo, Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan

(48)

2. Syarat Perkawinan

Suatu perkawinan yang sah, selain memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan 2 ayat (2), maka harus pula memenuhi syarat-syarat perkawinan, baik materil maupun formil, yang ditentukan oleh Undang-Undang. Syarat-syarat perkawinan yang dimaksud adalah terdiri dari:

a. Syarat Materil (Menurut Undang-Undang Perkawinan)

1. Perkawinan harus dengan persetujuan kedua mempelai (Pasal 6 ayat (1)) guna menghindari terjadinya pemaksaan perkawinan ;

2. Bagi seorang pria telah diizinkan melakukan perkawinan pada usia 19 tahun sedangkan wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)), kecuali jika terdapat penyimpangan dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk (Pasal 7 ayat (2)). Bagi yang berusia belum mencapai 21 tahun, sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1), harus mendapat izin dari kedua orangtua (kecuali kalau salah seorang telah meninggal atau tidak mampu menyatakan kehendak, maka dapat diwakilkan oleh orangtua yang masih ada) atau wali (jika kedua orang tua sudah tidak ada).

(49)

perkawinan dengan orang lain, tidak dapat kawin lagi kecuali karena izin Pengadilan, sesuai Pasal 9.

4. Suami istri yang melakukan cerai untuk kedua kalinya, maka tidak boleh ada perkawinan lagi sepanjang tidak ditentukan lain oleh hukum agama dan kepercayaannya, sesuai dengan Pasal 10.

5. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu, untuk dapat melangsungkan perkawinan baru, sesuai ketentuan Pasal 11.

b. Syarat Formil

Syarat formil ini berkaitan dengan hal mengenai tatacara pelaksanaan perkawinan (Pasal 12 Undang-Undang Perkawinan), yang diatur dalam Pasal 10 dan 11 Peraturan Pemerintah. Nomor 9 Tahun 1975.

B. Pengaturan Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum Perkawinan Indonesia

Walaupun terdapat perbedaan, akan tetapi semuanya memuat materi yang sama dalam suatu pengertian perkawinan. Materi muatan yang mengandung kesamaan tersebut adalah dalam hal :

1. Subjeknya harus antara pria dan wanita, 2. Timbulnya suatu ikatan,

(50)

Dengan demikian terlihat secara jelas bahwa kesamaan yang terdapat dalam memberikan pengertian perkawinan itu telah pula diresepsi oleh Undang-Undang perkawinan nasional yang diberlakukan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Sebagai sebuah instrumen, hukum memang tidak hanya digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan masyarakat, melainkan juga harus mengarahkan kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak sesuai lagi dan menciptakan pola-pola baru yang serasi dengan tingkah laku manusia dalam masyarakat tersebut.47 Pandangan ini dikembangkan oleh Roscoe Pound dengan teorinya “Law as a tool of social engineering”. Salah satu langkah yang digunakan dalam teori ini adalah dengan memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, terutama pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan yang majemuk.48

Pembahasan dalam bagian ini mencoba menelaah peraturan mengenai perkawinan beda agama dalam peraturan-peraturan produk pemerintah di Indonesia. Terkait dengan hal tersebut maka tulisan ini akan mencoba menelusurinya dalam Peraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 Nomor 158 (Gemengde Huwelijken Regeling), Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Secara lebih mendetail tentang pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia, dalam uraian berikut akan dipaparkan peraturan-peraturan yang terkait

47

O. K. Chairuddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal. 97. 48

(51)

dengan pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia. Dalam Peraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 Nomor 158 (Gemengde Huwelijken Regeling), beberapa ketentuan tentang perkawinan beda agama adalah sebagai berikut:

Pasal 1: Pelangsungan perkawinan antara orang-orang, yang di Hindia Belanda tunduk pada hukum yang berbeda, disebut perkawinan campuran.

Pasal 6 ayat (1): Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitra kawin yang selalu disyaratkan.

Pasal 7 ayat (2): Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan.

Beberapa pasal di atas secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama bahkan disebutkan bahwa perbedaan agama tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah terjadinya perkawinan.

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal yang dijadikan sebagai landasan perkawinan beda agama adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 huruf f dan Pasal 57. Pasal 2 ayat (1) berbunyi: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(52)

Indonesia. Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 secara eksplisit mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan wanita non-muslim dengan laki-laki non-non-muslim. Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, yaitu:

a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain. b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.

c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl Kitab maupun non Ahl al-Kitab). Jadi pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun

agama yang dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam.49 Sedangkan Pasal 44 menyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Pasal ini secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan pria non-muslim baik termasuk kategori Ahl Kitab maupun tidak termasuk kategori Ahl al-Kitab.

Selanjutnya Pasal 60 Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:

49

(53)

a. Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.

b. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan tentang pencegahan perkawinan terhadap calon mempelai yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan. Pasal ini menguatkan pelarangan perkawinan beda agama.

Meskipun sudah dilarang, perkawinan beda agama masih terus dilakukan. Berbagai cara ditempuh, demi mendapatkan pengakuan dari negara. Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974.

(54)

masing-masing agama telah ada ketentuan hukum yang mengikat kepada mereka dan mengandung perbedaan yang prinsip serta tidak mungkin untuk dipersatukan.

Tidak diaturnya perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 menagrtikan bahwa Undang-Undang menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al Baqarah (2):221). Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (I Korintus 6: 14-18).

Dalam hal terjadi perkawinan antara seseorang yang beragma Protestan dengan pihak yang menganut agama lain, menurut Fridolin Ukur, maka: Mereka dianjurkan untuk menikah secara sipil di mana kedua belah pihak tetap menganut agama masing-masing. Kepada mereka diadakan pengembalaan khusus. Pada umumnya gereja tidak memberkati perkawinan mereka.50

Pendapat berbeda disebutkan Farida Prihatini, yang menyebutkan bahwa Majelis Ulama Indonesia melarang perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, lanjut Farida, agama-agama lain juga tidak membolehkan, bukan hanya agama Islam. Itu

50

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas nikmat, karunia dan rahmat yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi

Dengan mengucap puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas ridho dan segala nikmat kemudahan serta petunjukNya yang telah diberikan sehingga dapat

Berdasarkan kepada hasil estimasi maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa terdapat kaitan antara produktifitas (kelahiran pertama), prestasi peternak penerima

Arminareka Perdana disarankan untuk melakukan pengawasan kepada setiap mitra yang berada di berbagai daerah, karena meskipun praktik yang dilakukan pada perusahaan ini telah

(2010) toteaa, että kuluttajien erilaiset aikomukset käyttää itsepalvelukassoja voidaan katsoa johtuvan kuluttajien erilaisista luonteenpiirteistä, joihin vaikuttavat

Kecamatan Tualang merupakan salah satu wilayah administratif Kabupaten Siak dan merupakan wilayah kemenangan pasangan Syamsuar- Alfedri dalam pemilihan kepala Daerah

Aplikasi pembelajaran TIK berbasis multimedia ini dirancang berdasarkan beberapa pertimbangan antar lain, pemakai ( user ) yaitu siswa sekolah dasar yang berpengaruh pada

ديرجتلا عوضوبم ثحبلا اذى فيو بىذأ نيأ ثحبلا اذى فيو .ةديصقلا ليلتح في ثحبلا كانى عوضولما بىذأ نيأ نوكت يرتافيرل كيتويميس ةيرظنو دالما عوضولما رصم