• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk Pembinaan Residivis Untuk Mencegah Penanggulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Bentuk Pembinaan Residivis Untuk Mencegah Penanggulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

BENTUK PEMBINAAN RESIDIVIS UNTUK MENCEGAH

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG

TESIS

Oleh

TORKIS F. SIREGAR 077005030/HK

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

(2)

BENTUK PEMBINAAN RESIDIVIS UNTUK MENCEGAH

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

TORKIS F. SIREGAR 077005030/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : BENTUK PEMBINAAN RESIDIVIS UNTUK MENCEGAH PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG

Nama Mahasiswa : Torkis F. Siregar Nomor Pokok : 077005030

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

(4)

Telah diuji pada Tanggal 23 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

(5)

ABSTRAK

Salah satu hal yang merusak sistem masyarakat adalah adanya penjahat-penjahat kambuhan atau yang biasa disebut dengan residivis. Para penjahat ini biasanya mengulang kejahatan yang sama, meskipun dia sudah pernah dijatuhi hukuman. Penanggulangan kejahatan residivis dilakukan dalam serangkaian sistem yang disebut sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang merupakan sarana dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Untuk itu diperlukan proses pembinaan yang tepat untuk dapat mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, artinya hanya menggambarkan analisis terhadap kredit dengan jaminan hak atas tanah. Alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah dengan melaksanakan wawancara (field research) dan penelusuran kepustakaan (library research). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan analisis kualitatif.

Penyebab terjadinya tindak pidana residivis dalam sistem hukum pidana di Indonesia adalah karena adanya stigmatisasi masyarakat dan kondisi lingkungan areal pemasyarakatan. Stigmatisasi tersebut sebenarnya muncul dari rasa ketakutan masyarakat terhadap mantan narapidana, dimana dikhawatirkan akan mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan melanggar hukum. Penyebab lain adalah dampak dari prisonisasi atau terjadinya penyimpangan sendiri di dalam masyarakat penjara diakibatkan oleh kekuatan yang merusak di dalam kehidupan para penghuni penjara. Bentuk pembinaan terhadap residivis yang diberlakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong dilakukan dengan 2 cara, yaitu bentuk pembinaan individual dan pembinaan kelompok. Pembinaan individual dilakukan lagi dengan pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pembinaan residivis adalah Kalangan internal (birokrasi), Kelebihan penghuni (over capacity), lemahnya pengawasan baik pengawasan melekat oleh pejabat internal lapas dan pengawasan fungsional, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia petugas pemasyarakatan (gaspas) dan anggaran yang minim Upaya-upaya yang dilakukan untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembinaan residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborongborong dilakukan dengan cara mempermudah birokrasi, mempercepat proses pengeluaran narapidana,

Dalam penelitian ini dikemukakan saran agar diberlakukan sistem database online yang berlaku di seluruh Indonesia mengenai data pelaku kejahatan. Selain itu perlu ditingkatkan sumber daya manusia (SDM) petugas pemasyarakatan, sehingga petugas memiliki bekal yang cukup dalam melakukan tugasnya, terutama yang berkaitan dengan kegiatan keterampilan. Kesejahteraan petugas pemasyarakatan hendaknya lebih diperhatikan dan ditingkatkan kesejahteraannya oleh Pemerintah.

(6)

ABSTRACT

One of factors destroying the correctional system is the presence of repetitive or recurrent criminal, often called redivisit. These criminals usuallly commit the same crimes, although the punishment has been imposed for their crimes. The management of residivist crimes is caned out in a set of systems called criminal justice system as a facility in community to overcome the crimes. There fore, there should be an appropriate correstional process to prevent the recurrent or repetitive criminal matters.

This was an analytical and descriptive research, it means it simple describes the analysis on appropriate correstional process to prevent the recurrent or repetitive criminal matters. The instrument of collecting the data in this research was by interview (field research) and library research. The data gained was then analyzed qualitatively.

The causes of residivist criminal matter in criminal law system of Indonesia included stigmatization of people and enviromental condition of correcctional system area.. Actually the stigmatization appeared from the fear of community for former inmutes, that they would effect others to commit something breaking the law. Another reason was the impact of prisonization or self-aberration in community of prison caused by destructive force in mate's life. The type of correction practiced for recidivist in correccional system of class IIB Siborongborong was accomplished in two methods: individual and group correction. The individual correction was then carried out throught personal and independence correction. The factors inhibiting the implementation of recidivist correction included internal factor (birocration), over capacity, the weak control and supervision inherently by internal officials and functional control, the minimum quality and human power of proffesionals and budgeting. The measures taken to overcome toses obstacles in implementation of residivist correction in Correcctional System of Clas IIB Siborongborong included shorten the birocration process, to accelerate the releasing process of the inmates.

It is suhhested, that online database system should be applied throught Indonesia regarding the criminal records. In addition, the human power of correctional system frofessionals should be improvedthus they Hill have sufficient professionalism in assuming their task, especially their skills and expertise. The prosperity of correctional be also considered and improved by the government

(7)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama Peneliti bersyukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan, keselamatan dan ilmu pengetahuan yang merupakan amanah, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penelitian tesis yang diberi judul: "BENTUK PEMBINAAN RESIDIVIS UNTUK MENCEGAH PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG adalah merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan program studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

(8)

Terima kasih secara khusus Peneliti haturkan kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing Penulis.

4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Dosen Pembimbing yang selalu memberikan motivasi kepada peneliti.

5. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M. Hum selaku Dosen Pembimbing yang juga memberikan masukan pada tesis peneliti.

6. Bapak Thurman Hutapea, Bc.IP, SH, mantan Ka Lapas Klas II B Siborongborong.

7. Bapak Sardiaman Purba, Bc.IP, SH, Ka Lapas Klas II B Siborong-borong yang banyak memberikan dispensasi waktu selama peneliti menyelesaikan tesis. 8. Bapak S. Lumbantoruan, selaku Kasi Pembinaan dan Pendidikan Lapas Klas II

B Siborongborong yang telah memberikan data dan menjadi informan penulis selama penelitian.

9. Bapak Sartowali, Bc.IP, SH, Ka. Bapas Sibolga.

(9)

11. Kepada rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang selalu menjadi teman penulis selama masa perkuliahan.

12.Kepada abanganda Hotman Efendi Siregar, SE, Ak, Jeffri P. Siregar, SE, dan adik Penulis, Jonathan M. Siregar, SH, Ida Pola Artha Br. Siregar, Am.G, David M. Siregar, ST, dan adik bungsu Penulis Joshua Franklin, SE, yang selalu menjadi tiang penyangga Penulis dalam menjalani kehidupan.

13. Kepada tulang Ir.Saut Purba, M.Sc, terima kasih peneliti ucapkan atas bantuannya dalam memberikan bahan-bahan untuk kepentingan tesis peneliti. 14. Mertua Penulis, Alm. St. J. Sinaga, dan Veronica br. Tambunan dan abang

ipar, kakak ipar, dan adik ipar penulis.

15. Kepada seluruh jajaran staf biro Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang selalu memberi infromasi kepada Peneliti

(10)

Peneliti juga menyadari hanya Allah jualah yang memiliki ilmu yang tiada terhingga. Harapan Peneliti semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para akademisi, pembuat kebijakan dan juga bagi pembaca.

M e d a n , J u n i 2 0 0 9

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Torkis Freddy Siregar

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 10 Juni 1973 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

Alamat : Jalan Kemiri 2 Gang Kelapa 3 No. 12 Medan Pendidikan : SD Methodist I Medan Tamat Tahun 1987

SMP Methodist I Medan Tamat Tahun 1990 SMA Negeri 5 Medan Tamat Tahun 1993

Strata Satu (S1) Universitas Panca Budi Tamat Tahun 1999

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR SKEMA ... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

A. C. Tujuan penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian... 12

F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi ... 12

G. Metode Penelitian ... 23

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 23

2. Sumber Data... 23

3. Teknik Pengumpulan Data... 25

(13)

BAB II PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA RESIDIVIS DAN PENGATURANNYA DALAM

SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA ... 27 A. Tinjauan Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas II B

Siborongborong ... 27 B. Pengertian Recidive (Residivis)... 31 C. Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Pengulangan Tindak

Pidana / Recidivis... 32 D. Pengertian Residivis dalam Sistem Hukum Pidana di

Indonesia... 41 BAB III BENTUK PEMBINAAN TERHADAP RESIDIVIS YANG

DIBERLAKUKAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

KLAS II B SIBORONGBORONG ... 51 A. Bentuk Pembinaan Terhadap Narapidana ... . 51 B. Mekanisme Pembinaan Terhadap Narapidana Residivis ... 70 BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT DAN

UPAYA UNTUK MENGHADAPI HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN RESIDIVIS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B

SIBORONGBORONG ... 91 A. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Pembinaan

Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong... 91 B. P e r a n a n H a k i m P e n g a w a s D a n P e n g a m a t D a l a m

Masalah Pembinaan Dan Pengamatan Narapidana ... 100 C. Upaya Untuk Menghadapi Hambatan dalam Pembinaan

Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B

(14)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 115

A. Kesimpulan ... 115

B. Saran ... 116

(15)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman 1. Penghuni LP Siborongborong ... 28

2. Jenis Kejahatan Yang Menonjol Tahun 2008 ... 29 3. Daftar Nama Narapidana Residivis Lapas Klas II B

(16)

DAFTAR SKEMA

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia di dunia. Segala aktivitas manusia baik politik, sosial dan ekonomi, dapat menjadi kausa kejahatan. Si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat. Sehingga keberadaan kejahatan tidak perlu disesali, tapi harus selalu dicari upaya bagaimana menanganinya. Berusaha menekan kualitas dan kuantitasnya serendah mungkin, maksimal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.41

Masyarakat sudah terbiasa, atau dibiasakan, memandang pelaku sebagai satu-satunya faktor dalam gejala kejahatan. Maka tidaklah mengherankan bila upaya penanganan kejahatan masih terfokus hanya pada tindakan penghukuman terhadap pelaku. Memberikan hukuman kepada pelaku masih dianggap sebagai 'obat manjur'

41

(18)

untuk 'menyembuhkan' baik luka atau derita korban maupun kelainan perilaku yang diidap pelaku kejahatan.

Herbert L. Packer dalam bukunya 'The Umits of The Criminal Sanction' menyebutkan bahwa sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama atau terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia itu sendiri. Sanksi pidana merupakan penjamin apabila dipergunakan secara hemat, cermat, dan manusiawi.

Sementara sebaliknya, bisa merupakan ancaman jika digunakan secara sembarangan dan secara paksa. Faktanya, banyak ditemukan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang menyebabkan viktimisasi terhadap para terpidana. Konsep Lembaga Pemasyarakatan pada level empirisnya, sesungguhnya, tak ada bedanya dengan penjara. Bahkan ada tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah sekolah kejahatan. Sebab orang justru menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Ini menjadi salah satu faktor dominan munculnya seseorang bekas narapidana melakukan kejahatan lagi, yang biasa disebut dengan residivis. Menurut John Delaney,42 pengintegrasian kembali narapidana ke dalam masyarakat harus dilakukan lewat tahapan self realisation process. Yaitu satu proses yang memperhatikan dengan seksama pengalaman, nilai-nilai, pengharapan

42

Adrianus Meliala, et.all, Restorative Justice System: Sistem Pembinaan Para Narapidana

Untuk Pencegahan Resedivisme, Artikel ini Disajikan Dalam Kerangka Kerjasama Antara Tim Penulis

(19)

dan cita-cita narapidana, termasuk di dalamnya latar belakang budayanya, kelembagaannya dan kondisi masyarakat dari mana ia berasal.

Suatu putusan pemidanaan dijatuhkan, oleh Pasal 193 ayat (1) KUHAP sebagai berikut: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Dapat dibandingkan dengan perumusan van Bemmelen sebagai berikut: Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana.43

Salah satu hal yang merusak sistem masyarakat adalah adanya penjahat-penjahat kambuhan atau yang biasa disebut dengan residivis. Para penjahat ini biasanya mengulang kejahatan yang sama, meskipun dia sudah pernah dijatuhi hukuman. Sebagai contoh seseorang telah melakukan pembunuhan terhadap orang lain dikenai pelanggaran Pasal 338 KUHP dan dikenai hukuman 10 tahun. Setelah 10 tahun dia menjalani hukuman, dia kembali melakukan pembunuhan.”44

Terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, seperti contoh di atas, dapat dianggap mengulangi kejahatan yang sama (residivis) dan dapat dijadikan dasar pemberat hukumannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 486 KUHP ia dapat diancam

43

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 104.

44

Rikson, “Hukum Pidana, Ne Bis in Idem, ” http://www. rizkykios. com/Sistem%

(20)

hukuman sepertiga lebih berat dari ancaman hukuman yang normal. Dengan catatan bahwa perbuatan yang jenisnya sama tersebut ia lakukan dalam kurun waktu 5 tahun setelah menjalani hukuman untuk seluruhnya atau sebagian dari hukuman yang dijatuhkan.

Delik pengulangan (recidive) tidak dijumpai dalam aturan umum, tetapi di Pasal 486-488, mengatur tentang penerapan unsur recidive dalam dalam Aturan Khusus (Buku II atau Buku III). Bab XXXI KUHP sebagaimana yang diatur dalam pemidanaan kepada seorang terpidana. Pada prinsipnya batas tenggang waktu menentukan apakah seseorang dapat dikualifikasi sebagai residivis atau tidak digantungkan pada jangka waktu 5 tahun antara hukuman yang sedang dijalani dalam suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Hal ini memandang jika dalam kurun waktu di bawah lima tahun seseorang yang melakukan kejahatan yang sama kembali melakukannya, maka ia merupakan orang yang harus diwaspadai.

Pengulangan tindak pidana bukan hal yang baru dalam dunia hukum, karena dimana ada kejahatan di situ pula ada pengulangan kejahatan dan pengulangan kejahatan dianggap sebagai penerusan dari niat jahat sebagaimana dikemukakan oleh Bartolus seorang ahli hukum, bahwa ”Humanum enimest peccare, angilicum, se emendare, diabolicum perseverare” atau kejahatan dan pengulangan kejahatan dianggap sebagai penerusan dari niat jahat, maka dapat dipastikan bahwa praktik pengulangan kejahatan itu sendiri sama tuanya dengan praktik kejahatan.45

45

(21)

Pandapat ini dikemukakan untuk menjelaskan betapa pentingnya kedudukan pengulangan tindak pidana dalam ilmu pengetahuan hukum pidana. Hal ini terbukti dengan dimasukkannya pengulangan tindak pidana itu ke dalam bagian yang esensi dalam ajaran hukum pidana di berbagai negara.

Recidive terjadi dalam hal seseorang yang melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi.46 Sama seperti dalam

concursus relais, dalam recidive terjadi beberapa tindak pidana. Namun dalam

recidive telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.

Seseorang melakukan pengulangan tindak pidana disebabkan oleh beberapa faktor seperti kurang bekerjanya salah satu subsistem secara efektif dari salah satu sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia, faktor ekonomi, sosial dan budaya. Dalam KUHP Indonesia, pengulangan tindak pidana hanya dikenal dalam bentuk residivisme,47 tanpa batasan jumlah pengulangan.

Penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana pada awalnya berfungsi untuk memberikan efek jera kepada si pelaku, sehingga si pelaku akan berfikir lagi jika ingin melakukan perbuatan yang melawan hukum. Namun adakalanya si pelaku bukannya merasa jera, malah melakukan kejahatan yang sama, padahal dia sudah

46

Hand Out Hukum Pidana, “Pengulangan Tindak Pidana (Recidive)” http://syariah. uin-suka. ac. id/file_ilmiah/7. %20Recidive. pdf, diakses tanggal 3 November 2008.

47

(22)

pernah dihukum karena kejahatannya. Kondisi ini disebut dengan pengulangan tindak pidana (residive).

Penanggulangan kejahatan residivis dilakukan dalam serangkaian sistem yang disebut sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang merupakan sarana dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.48 Adapun komponen dalam sistem tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen tersebut harus bekerja dan berproses secara terpadu dalam peradilan pidana dan diharapkan menjadi tumpuan dalam penegakan hukum dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan hukum. Namun keberadaannya saat ini jauh dari harapan sebab apa yang menjadi tujuan sistem peradilan pidana belum dapat dicapai. Hal ini diungkapkan oleh Rusli Muhammad yang menyatakan bahwa apa yang menjadi tujuan utama Sistem Peradilan Pidana sulit dicapai. Melindungi, mengamankan dan menentramkan masyarakat belum dirasakan sebagian besar masyarakat. Demikian juga pelaku kriminal yang telah menjalani pidana, diharapkan kembali ke jalan yang benar dan tidak mengulangi perbuatannya belum berhasil.49

Lembaga pemasyarakatan merupakan subsistem peradilan pidana terakhir yang menjalankan sistem pemasyarakatan bagi pelaku tindak pidana. Sistem pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, maka prinsip substansial di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

48

Marjono Reksodiputro, Reformasi Sistem Pemasyarakatan, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1997), hlm. 84.

49

(23)

Pemasyarakatan mengandung nilai bahwa pada dasarnya sistem pemasyarakatan diarahkan pada tatanan arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat. Hal ini secara tersirat dapat dilihat pada teks Pasal 2 UU No. 12 Tahun 1995 yang menyebutkan:

Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Peraturan substansial yang ada di dalam Undang-undang Pemasyarakatan ini dijadikan landasan berpijak bagi waga binaan pemasyarakatan dan pembina secara terintegrasi pada satu sistem pemasyarakatan di Indonesia, maka Undang-undang Pemasyarakatan adalah sebagai kerangka berpijak perilaku yang pantas dan standar (patokan) untuk bertindak.50

Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak pengayoman membuka jalan bagi perlakukan terhadap narapidana dengan cara sistem pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara dan juga menjadi cara untuk membimbing dan membina.51

50

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 2, bahwa patokan-patokan timbul dari pandangan manusia mengenai apa yang dianggap baik, pandangan untuk bertindak secara pantas ini lazimnya disebut dengan nilai sebagai proses abstarkasi dari perilaku yang berulang-ulang secara nyata. Patokan-patokan untuk berprilaku secara pantas mengatur pula kehidupan antar pribadi manusia, norma atau kaidah kesopanan bertujuan agar manusia mengalami kesenangan, dimana kedamaian berarti antara ketertiban dan ketentraman, atau keserasian antara keterikatan dengan kebebasan dan itulah tujuan hukum .

51

(24)

Dalam perlakuan terhadap narapidana, adalah melakukan pembinaan agar narapidana menjadi manusia yang berguna di masa mendatang. Program-program pembinaan yang teratur dan disusun secara matang dan yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran serta kelayakan akan menjamin integritas sistem pemasyarakatan.

Apabila sistem pemasyarakatan difahami dari arti katanya dan diperhatikan pada saat dicetuskannya gagasan tersebut pada tahun 1964, serta dihubungkan dengan perkembangan pembaharuan pidana penjara secara universal sesudah tahun enampuluhan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemasyarakatan merupakan perubahan yang menyangkut upaya baru pelaksanaan pidana penjara yang dilaksanakan dengan semangat azas perikemanusiaan dan perlakuan baru terhadap narapidana menurut pokok-pokok ketentuan standard minimum rules.52 Adanya model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi Narapidana, terutama narapidana residivis dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas).

Teori rehabilitasi dan reintegrasi sosial mengembangkan beberapa program kebijakan pembinaan narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU)

Beringin Pengayoman; yang menurut beliau “Hukum Pengayoman” termasuk juga mengayomi narapidana.

52

Mardjaman, “Beberapa Catatan Rancangan Undang-undang tentang Sistem

Kemasyarakatan,” makalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

(25)

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Program kebijakan itu meliputi asimilasi atau reintergrasi sosial.

Dalam asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan yang salah satunya adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada narapidana. Asimilasi sebagai tujuan pemasyarakatan menampakkan ciri utama adalah aktifnya kedua belah pihak, yaitu pihak narapidana dan kelompok keluarga narapidana dan masyarakat.53 Asimilasi juga bertujuan untuk menghilangkan citra buruk penjara, serta mencegah penolakan masyarakat terhadap bekas narapidana.

Dalam integrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program pembinaan, yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.

a. Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa syarat kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua pertiga dari masa pidananya, di mana dua pertiga ini sekurang-kurangnya adalah selama sembilan bulan.

53

Asimilasi diatur di dalam Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PK. 04. 10 Tahun 1989 Tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. Pasal 1: Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana di dalam kehidupan masyarakat. Pasal 5 menyatakan maksud Asimilasi adalah memulihkan hubungan narapidana dengan masyarakat dan memperoleh dan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan. Pasal 6 menyebutkan tujuan Asimilasi adalah membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri narapidana kearah pencapaian tujuan pembinaan.

(26)

b. Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa pidana, di mana masa dua pertiga itu sekurang- kurangnya sembilan bulan.

Seluruh program pembinaan bagi narapidana bertujuan agar bekas narapidana tidak mengulangi kembali perbuatan jahatnya dan tidak lagi menjadi warga binaan pemasyarakatan. Kondisi inilah yang menjadi tantangan besar bagi Lembaga Pemasyarakatan untuk melakukan pembinaan dalam upaya mengendalikan terjadinya residivis, karena lembaga pemasyarakatan selalu mendapat hambatan dan tantangan dalam mencapai tujuan pembinaan narapidana.

Berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan, maka peneliti ingin mengangkatnya sebagai topik tesis yang berjudul “Bentuk Pembinaan Residivis Untuk Mencegah Pengulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong.”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut

1. Bagaimanakah penyebab terjadinya tindak pidana residivis dan pengaturannya dalam sistem hukum pidana di Indonesia?

(27)

3. Faktor-faktor apa saja yang menghambat dan Upaya-upaya apakah yang dilakukan untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembinaan residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong ?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan seperti disebutkan di atas, adapun tujuan penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui penyebab terjadinya tindak pidana residivis dan pengaturannya dalam sistem hukum pidana di Indonesia

2. untuk mengetahui bentuk pembinaan terhadap residivis yang diberlakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong.

3. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang menghambat dan Upaya-upaya yang dilakukan untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembinaan residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis:

(28)

2. Secara praktis penelitian ini dapat berguna sebagai masukan bagi aparat penegak hukum dalam sistem peradilan dan juga pihak Lembaga Pemasyarakatan dan pemerintah serta pihak terkait lainnya guna penyempurnaan dalam membina narapidana di masa yang akan datang.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelurusan yang dilakukan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang masalah Pola Pembinaan Residivis Untuk Mencegah Pengulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong belum pernah dilakukan dalam masalah yang sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada penelitian yang benar-benar sama dengan masalah yang akan diteliti jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional objektif dan terbuka. Dengan demikian keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teoritis Dan Konsepsi 1. Kerangka Teoritis

(29)

memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian haruslah disertai dengan pemikiran teoritis.54

Dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia, dihukumnya seseorang adalah berdasarkan perbuatan yang salah yang dilakukannya, dan melanggar Undang-Undang sehingga yang menjadi fokus adalah pada perbuatan salah atau tindakan pidana yang telah dilakukan pelaku.55 Artinya bahwa perbuatan berperan besar dan merupakan syarat mutlak yang harus ada untuk adanya hukumnya (punishment) Dijatuhkannya pidana pada seseorang diperlukan dua syarat yaitu perbuatan itu bersifat melawan hukum dan dapat dicela.56

Berbicara masalah pembinaan narapidana tidak terlepas dengan pembicaraan tentang pidana, pemidanaan dan pembenaran pidana. Mengenai pengertian pidana menurut beberapa pendapat ahli hukum, seperti:

Muladi dan Barda Nawawi Arief yang mengutip pendapat Alf Ross bahwa pidana merupakan reaksi sosial yang:

a. Terjadi berhubungan dengan adanya pelanggaran terhadap suatu aturan hukum b. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa sehubungan

dengan tertib hukum yang dilanggar.

54

Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia, 1982) hlm. 37

55

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992) , hlm. 6.

56

(30)

c. Mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensi lain yang tidak menyenangkan.

d. Menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar.57

Selanjutnya Muladi dan Barda Nawawi berkesimpulan bahwa:

a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat yang tidak menyenangkan.

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

c. Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.58

Mengenai teori pemidanaan pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan besar yaitu:

a. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldigns theorien) b. Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien)

c. Teori menggabungkan (verenigings teorien).59

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai teori-teori pemidanaan maka dibawah ini akan dibahas satu persatu mengenai teori tesebut

1) Teori absolut atau teori pembalasan (Retributive /Vergeldings Teorrien)

57

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 4.

58 Ibid.

59

(31)

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindakan pidana (quia peccatum est) dan pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah Kant dan Hegel. Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu konsekwensi daripada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab melakukan kejahatan, maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan.

Jadi fungsi pidana di sini adalah pembalasan bagi orang yang melakukan kejahatan dan untuk memuaskan tuntutan keadilan,60 sehingga keberadaan pemidanaan itu sendiri tergantung pada ada tidaknya kejahatan

2) Teori relatif atau teori tujuan (Utilitarian/ Doel Theorieen)

Menurut teori ini pemidanaan bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana. untuk melindungi kepentingan masyarakat dan mengurangi frekuensi kejahatan.

60

(32)

Karena tujuannya yang bermanfaat ini maka teori relatif disebut juga teori tujuan (utilitarian theory) dimana pidana dijatuhkan bukan karena orang itu telah membuat kejahatan (”quia peccatum est”) tetapi supaya orang itu jangan melakukan kejahatan lagi (”nepeccetur”).61 jadi tujuan pidana menurut relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu dengan kata lain pidana yang dijatuhkan kepada sipelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatanya, melainkan untuk memelihara ketertiban umum.

Dalam ilmu pengetahuan pidana, teori relatif ini dapat dibagi 2 (dua), yakni: a) Prevensi umum (generale preventie); 62

Pada intinya, prevensi ini menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Dengan memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan melakukan tindak pidana.

b) Prevensi khusus (speciale preventie);

Pada intinya prevensi ini menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar terpidana jangan melakukan atau mengulangi perbuatannya lagi dalam hal ini pidana itu berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki terpidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan

martabatnya.63 3) Teori Gabungan

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kekesalan, penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban.64 Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan

61

Ibid , hlm. 16

62

M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 76.

63 Ibid

(33)

perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan, dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali di masyarakat.65

Menurut H. L. Packer tujuan pemidanaan adalah pemidanaan yang untuk mencegah, menghentikan dan mengendalikan kejahatan yang menurut rumusan adalah: 66

a. Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki, atau perbuatan yang salah (the prevention of crime or undesired conduct or offending conduct).

b. Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar

(the deserved infliction of suffering on evil doers / retribution for perceived

wrong doing).

Jadi menurut rumusan di atas, pemidanaan dijatuhkan kepada seseorang sebagai penjeraan kepadanya karena ia telah melakukan suatu perbuatan salah, juga sebagai penderitaan untuk mencegah dilakukannya kembali kejahatan untuk

65

Oemar Seno Adji, Hukum Pidana (Jakarta: Erlangga, 1980) hlm. 14. Van Bemmelen menyatakan pidana bertujuan membalas kejahatan dan mengamankan masyarakat, tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan, jadi pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat

66

(34)

duanya.67 Kedua pemikiran Packer ini didasari oleh 3 teori dari pemidanaan yang telah disebut di atas.

Sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa konsep kebijakan penanggulangan kejahatan yang integral mengandung konsekuensi segala usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan harus merupakan satu kesatuan yang terpadu. Ini berarti kebijakan untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana, dipadukan dengan usaha yang bersifat ”non penal” Usaha-usaha non penal ini dapat meliputi kebijakan sosial atau pembangunan nasional. Tujuan utama usaha-usaha non penal adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial atau pembangunan nasional.

Pertimbangan itu mengarah pada pilihan yang tersedia yaitu pemakaian sarana penal dan juga sarana non penal dengan mengingat bahwa hukum pidana itu adalah suatu sistem yang terbuka (open system) yang dalam bekerja memberikan peluang bagi campur tangan lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia pada umumnya.68 Seperti bidang ekonomi, politik, pendidikan serta subsistem pada sistem peradilan itu sendiri.

Hukum adalah suatu gejala sosial-budaya yang berfungsi untuk menerapkan kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan tertentu terhadap individu-individu dalam

67

Roger Hood, Research on the Effectivenes of Punishment and Treatments. Collection

Studies in Crimnological Research, Vol I, 1997 p.74 yang dikutip dari Muladi dan Barda Nawawi Arif,

Op.Cit. hlm. 102.

68

(35)

masyarakat.69 Untuk melakukan penerapan tersebut diperlukan adanya perangkat undang-undang yang dijadikan sebagai landasan dalam penerapan kaidah-kaidah tersebut, misalnya Undang-undang pemasyarakatan yang memberikan dasar dan landasan terhadap pembinaan warga binaan pemasyarakat yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.70

Pentingnya pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan terutama sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik. Juga untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyararakatan dan yang tidak

69

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 9.

70

(36)

terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka dalam kerangka teori ini dipaparkan tentang sistem peradilan pidana, tujuan pemidanaan dan teori pemidanaan serta sistem pemasyarakatan.

Menurut Sahardjo untuk memperlakukan narapidana diperlukan landasan sistem pemasyarakatan.

Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi lagi perbuatan oleh narapidana, melainkan juga oleh orang yang tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara...tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan .. negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat.71

Pengetahuan tentang apakah seorang bersalah telah melakukan tindak pidana sehingga harus menjalani suatu jenis pidana, merupakan cara untuk menanggulangi masalah kejahatan. Oleh karena itu diperlukan keterpaduan antara sub sistem-sub sistem di dalam criminal justice system guna untuk menanggulangi meningkatnya kualitas maupun kuantitas kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Adapun tujuan dari sistem peradilan pidana adalah:

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b. Menyelesaikan kejahatan yang tejadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan pihak yang bersalah dipidana.

71

(37)

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.72

2. Konsepsi

Untuk dapat mengambarkan rasionalitas suatu kajian ilmiah, maka cakupan kerangka pemikiran harus ditentukan secara tegas dan jelas. Beberapa istilah yang berhubungan dengan judul penelitian, yaitu:

a. Residivis adalah suatu pengulangan tindak pidana atau melakukan kembali perbuatan kriminal yang sebelumnya biasa dilakukannya setelah dijatuhi pidana dan menjalani penghukumannya.73

b. Yang dimaksud narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan.74

c. Yang dimaksud dengan lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.75

d. Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina yang dibina dan masyarakat, untuk

72

Lihat, Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Krimonologi) Universitas Indonesia, 1997), hlm. 85.

73

Gerson W Bawengan, Beberapa Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Di Dalam Teori Dan Praktik, (Jakarta: Pradnya Paramitha,1979), hlm. 70.

74

Lihat Pasal 1 angka 7 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

75

(38)

meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.76 e. Yang dimaksud dengan pemidanaan adalah reaksi atas delik dan ini berwujud

suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.77 f. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan

Pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.78 g. Penanggulangan adalah upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal yang

lebih menitiberatkan pada sifat represive (penindakan/ pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitik beratkan sifat preventif (pencegahan/penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.79

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

76

Ibid, Pasal 1 angka 2.

77

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: PT Eresco Cet ke 3, 1981), hlm. 1.

78

Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

79

Barda Nawawi Arief, “Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,“

Makalah disampaikan pada seminar Kriminologi VI, Semarang, tanggal 16-18 September 1991, hlm.

(39)

Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deksriptif analisis dengan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian ini hanya menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.

2. Sumber Data

Sumber data dalam pengumpulan data ini dipergunakan cara penelitian yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang meliputi:80

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari: Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Batang tubuh UUD1945 TAP MPR Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, KUH Pidana, PP No 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.

80

(40)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, seperti rancangan Undang-undang Pemasyarakatan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan lain-lain.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus, ensiklopedia, jurnal-jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan sebagainya yang dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitian.81

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa: a. Penelitian kepustakaan, yaitu meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan topik bahasan dalam penelitian berupa peraturan-peraturan hukum, buku-buku teks, artikel, dan jurnal serta dokumen lain yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

b. Penelitian lapangan yaitu, dengan teknik wawancara dengan nara sumber dari narapidana, mantan narapidana, petugas lembaga pemasyarakatan dan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Siborongborong dan masyarakat, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam

81

Lihat Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 195, dan Soerjono Soekanto, “et.al”., Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 13.

(41)

bentuk formil maupun melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan teoritis.

4. Analisa Data

Seluruh data yang diperoleh dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisa secara kualitatif, kemudian diolah dengan solusi dari permasalahan dalam penelitian ini. Analisis dilakukan dengan mengumpulkan peraturan perundang-undangan dengan melakukan pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang terkait dengan tata cara pembinaan narapidana dan mengumpulkan teori-teori yang ada terkait dengan judul penelitian. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.

(42)

BAB II

PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA RESIDIVIS DAN PENGATURANNYA DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong

Lembaga Pemasyarakatan Siborongborong Klas IIB Siborongborong merupakan wadah untuk menampung narapidana dan tahanan untuk dididik dan dibina berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Lembaga pemasyarakatan Siborongborong Klas IIB Siborongborong berdiri sejak Tahun 1992.

Kondisi bangunan cukup baik, bersih, nyaman dan sejuk karena terisolir/ jauh dari kota atau keramaian. Namun melihat kondisi sekarang, di LP tersebut perlu dibuat pembatasan area agar pengawasan para napi dan tahanan bisa lebih diperketat agar terhindar dari peredaran narkoba yang sengaja didatangkan dari luar dengan alasan menjenguk atau bertamu kepada para Napi.

(43)

dan selalu direvisi secara terus menerus. Pemberian penghargaan seperti ini akan terus dilakukan pada momen-momen penting.

Dikatakan, sekarang ini keluar masuk pengunjung ke LP Siborongborong dilakukan secara ketat, bahkan tamu yang datang tidak diperbolehkan memberikan uang secara langsung. Jika ada pemberian uang kepada napi atau tahanan harus dilakukan dengan penukaran kupon yang sudah disediakan. Hal ini menjaga jika napi atau tahanan dapat melarikan diri, tidak dapat membelanjakan kupon tersebut. Penghuni LP Siborongborong pada Tahun 2008 berjumlah 203 orang, terdiri dari 165 napi dan 38 tahanan. 34% di antaranya terlibat kasus Narkoba yang didominasi narapidana pindahan dari Rutan Kelas I Medan, Lapas Klas I Medan, Lapas Klas IIA Binjai, Lapas Klas IIB Tebing Tinggi, Lapas Klas IIA Siantar, Lapas Klas IIA Rantau Prapat dan Lapas Klas IIA Sibolga.

Tabel 1 Penghuni LP Siborongborong

No Kapasitas Narapidana Tahanan Jumlah

1 150 165 38 203

Sumber :Data Primer Lapas Klas IIB Siborongborong 82

Selanjutnya jenis kejahatan yang dilakukan oleh tahanan maupun narapidana dapat dilihat dari tabel di bawah ini:

(44)

Tabel 2 Jenis Kejahatan Yang Menonjol Tahun 2008

No. Jenis Kejahatan Jumlah

1. Narkotika 73

2. Pencurian 35

3. Pembunuhan 9

4. Penganiayaan 19

5. Pemerasan 22

6. Penggelapan 7

7. Penipuan 2

8. Terhadap Kamtib 1

9. Perampokan 23

10. Dan lain-lain 14

Jumlah 203 Sumber : Data Primer Lapas Klas IIB Siborongborong83

Lapas Klas IIB Siborong-borong dipimpin oleh seorang Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) yang saat ini dijabat Sardiaman Purba, Bc.IP, SH. Adapun Stuktur organisasi Lapas Klas IIB Siborong-borong dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

(45)

KALAPAS

Skema 1 Struktur Organisasi LAPAS KLS II B Siborongborong

30

(46)

B. Pengertian Recidive (Residivis)

Residivis atau pengulangan tindak pidana berasal dari Bahasa Perancis yaitu

Re dan Cado. Re berarti lagi dan Cado berarti jatuh, sehingga secara umum dapat diartikan sebagai melakukan kembali perbuatan-perbuatan kriminal yang sebelumnya biasa dilakukannya setelah dijatuhi pidana dan menjalani penghukumannya.84 Atau apabila “Seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang berdiri sendiri yang atas satu atau lebih perbuatan telah dijatuhi hukuman oleh hakim.85

Rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dianggap sebagai pengulangan tindak pidana atau

residivisme, yaitu:

1. Pelakunya adalah orang yang sama

2. Terulangnya tindak pidana dan untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi pidana oleh suatu keputusan hakim.

3. Si bersalah harus pernah menjalani seluruhnya atau sebahagian hukuman penjara yang dijatuhkan terhadapnya atau dibebaskan sama sekali dari hukuman tersebut. 4. Keputusan hakim tersebut tidak dapat diubah lagi atau sudah berkekuatan hukum

tetap.

5. Pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu.

84 Recidivism Among Juvenille Offenders: An Analysis of Timed to Reappearance in Court?

Australian Institute of Criminology, 1999, hlm. 8

(47)

Budiono menyatakan bahwa residivisme adalah “kecenderungan individu atau sekelompok orang untuk mengulangi perbuatan tercela, walaupun ia sudah pernah dihukum karena melakukan perbuatan itu.”86

Selanjutnya Recidivism juga diartikan sebagai orang yang telah menjalankan kejahatan kembali. Sedangkan recidivis adalah orang yang pernah melakukan suatu kejahatan yang sama.87

C. Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Pengulangan Tindak Pidana / Recidivis 1. Stigmatisasi Masyarakat

Dalam lingkungan masyarakat perilaku orang yang tidak sesuai dengan norma atau tidak seharusnya dilakukan dikatakan sebagai prilaku yang menyimpang, dampak dari penyimpangan prilaku tersebut kemudian memunculkan berbagai akibat yaitu positip dan negative. Akibat positip dari adanya hal tersebut selalu terjadi perubahan dan perkembangan dalam berbagai aspek sosial, sehingga dapat mengasah kreatipitas manusia untuk mengatasinya, sedangkan dampak negatif dari penyimpangan prilaku menjurus kepada pelanggaran hukum kemudian menimbulkan ancaman ketenangan lingkungan sekitar atau mengganggu ketertiban masyarakat, yang mana kerap menimbulkan respon tertentu bagi masyarakat yang merasa terganggu atau terancam ketenangannya.

86 Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Agung, Surabaya, hlm. 416.

(48)

Salah satu respon dari masyarakat yang merasa terancam ketenangan lingkungan dan ketertiban masyarakatnya kemudian memunculkan stigmatisasi terhadap individu yang melakukan prilaku yang menyimpang tersebut. Stigmatisasi sebagai mana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya merupakan proses pemberian cap oleh masyarakat melalui tindakan-tindakan yang dilakukan dalam proses peradilan bahwa ia adalah seseorang yang jahat. Lebih jauh dan lebih dalam lagi pemberian cap ini dialami oleh pelanggar hukum yang bersangkutan, lebih besar kemungkinan ia menghayati dirinya sebagai benar-benar pelanggar hukum yang jahat dan pada gilirannya yang lebih besar lagi penolakan masyarakat terhadap yang bersangkutan sebagai anggota masyarakat yang tidak dapat dipercaya. 88

Stigmatisasi tersebut sebenarnya muncul dari rasa ketakutan masyarakat terhadap mantan narapidana, dimana dikwatirkan akan mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Kepala Desa Pasar Siborongborong-Tapanuli Utara : “ secara pribadi masih ada rasa khawatir terhadap mantan narapidana, namun walaupun demikian kita sebagai kepala desa ada melakukan pendekatan secara bathin dan kekeluargaan, walaupun di dalam hati ada rasa khawatir, kwatirnya bukan apa-apa, takut nantinya mempengaruhi yang lainnya. ‘’89

88 Didin Sudirman “ Masalah-masalah actual tentang pemasyarakatan”, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Gandul Cinere Depok, 2006 hal 52.

(49)

Dengan adanya kekhwatiran tersebut kemudian secara tidak langsung berdampak kepada sikap dan perbuatannya dalam berinteraksi dengan masyarakat yang mana secara bertahap lingkungan akan menjauhi dan menutup diri dengan mantan narapidana, sedangkan permasalahan bagi narapidana adalah kebanyakan mereka dan rata-rata setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan baik itu yang bebas murni atau pun yang masih dalam bimbingan Balai pemasyarakatan (BAPAS) tidak mempunyai atau tidak dibekali dengan keahlian khusus, mengingat selama berada di dalam LAPAS tidak ada bentuk pembinaan yang sekiranya dapat membantu mencari pekerjaan di luar LAPAS.

Sedangkan dari hasil pembimbingan yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan walaupun ada bimbingan kemandirian (keterampilan kerja)namun itu sifatnya hanya sebagai bekal dalam mencari pekerjaan, dan untuk sampai menyalurkan ke tempat kerja dari pihak Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) sendiri belum bisa menyalurkannya, sehingga narapidana harus mencari pekerjaannya sendiri dan hal ini menjadi dilema bagi narapidana, di satu sisi keberadaan mantan narapidana ditengah-tengah masyarakat masih dianggap jahat.

(50)

sendiri yang kemudian dari dalam diri narapidana atau mantan narapidana muncul persepsi bahwa dirinya tidak lagi diterima di lingkungannya dan kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan serta satu-satunya jalan adalah dengan jalan mencari jalan pintas yaitu mengulangi perbuatannya melanggar hukum. Sebagaimana yang dikemukan oleh Edwin Lemert, dimana menurutnya tindakan penyimpangan dibagi menjadi dua yaitu :penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder, yang mana terjadinya penyimpangan sekunder sendiri dapat digambarkan sebagai berikut :

a. Seseorang anak muda melakukan perbuatan menyimpang yang ringan (primary deviation) seperti melempari rumah tetangganya dengan batu. b. Kemudian terjadi suatu reaksi sosial yang informal, tetangga tersebut

menjadi marah

c. Anak muda tersebut melakukan reaksi sosial(primary deviation) dengan melepaskan anjing tetanganya itu keluar halaman.

d. Terjadi peningkatan reaksi sosial primer, tetangga tersebut memarahi anak tersebut.

e. Anak muda tadi kemudian melakukan perbuatan menyimpang yang lebih serius, ia melakukan pencurian toko(masih primary deviation).

(51)

g. Anak muda itu kemudian di beri label delinquency (nakal /jahat) oleh pengadilan dan bad (buruk/jelek) oleh tetangganya, teman- temannya dan oleh orang lain.

h. Anak muda tadi mulai befikir tentang dirinya sendiri sebagai Delenquency

dan bergabung dengan anak-anak muda tidak baik

i. . Anak muda itu melakukan penyimpangan lain yang lebih serius (Secondary deviation), seperti merampok toko bersama anggota geng lainnya

j. Anak muda itu kembali kepengadilan, mendapat lebih banyak lagi catatan kejahatan, semakin jauh dari masyarakat normal, dan menempuh jalan hidup yang sepenuhnya menyimpang. 90

Dari gambaran tersebut dapat diketahui bahwa prilaku menyimpang primer dapat terjadi pada setiap orang, akan tetapi manakala anak muda tersebut di tangkap dan ditahan, terjadilah pemberian cap/ label terhadap anak muda tersebut (terjadilah

stigmatisasi terhadap yang bersangkutan), yang kemudian anak muda tersebut dikeluarkan dari interaksi dengan sistem nilai yang berlaku sebelumnya dimasyarakat, untuk selanjutnya di dorong dalam keadaan berinteraksi dan berasosiasi dengan orang-orang yang mendapat label/ cap yang sama.

Perilaku menyimpang sekunder adalah akibat yang timbul karena adanya

stigmatisasi formal ini. Perilaku menyimpang sekunder ini dapat membawa akibat

(52)

timbulnya perilaku-perilaku kriminal yang sekunder yang seringkali sulit diatasi seperti terjadinya pengulangan tindak pidana atau pelanggaran hukum.

2. Dampak dari Prisonisasi

Dalam kaitannya dengan sistem pemasyarakatan, masalah prisonisasi

bukanlah hal yang baru, dimana prisonisasi sendiri diartikan sebagai proses terjadinya pengaruh negatif (buruk) yang diakibatkan sistem nilai yang berlaku dalam budaya penjara. Pada saat dicetuskannya sistem pemasyarakatan oleh Sahardjo pada tahun 1963, salah satu asumsi yang dikemukakan adalah bahwa Negara tidak berhak memnbuat orang lebih buruk atau jahat pada saat sebelum dan dipenjara, asumsi ini secara langsung menunjukkan adanya pengakuan bahwa tindakan pemenjaraan secara potensial dapat menimbulkan dampak negatife, sebagaimana yang dinyatakan dalam Poin 53, Implementation The Standard Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners (Implementasi SMR) yang berbunyi ;“ Tujuan-tujuan pembinaan dalam rangka pemasyarakatan cenderung berbelok kearah yang menyimpang, karena terpengaruh kekuatan-kekuatan yang merusak yang terdapat di dalam hubungan para penghuni. 91

Sehingga dari sini dapat di jelaskan bahwa ajaran-ajaran sosiologis mengenai masyarakat lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) telah menunjukkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan dengan peraturan-peraturan keamanan maksimum terdapat suatu

(53)

pertumbuhan kehidupan yang menghambat kemungkinan integrasinya narapidana kali dapat membuat tumbuhnya sifat-sifat kelainan pada narapidana, dengan lebih memperlihatkan ciri-ciri persamaannya dengan pola-pola penjahat serta ciri-ciri perbuatan jahatnya.

Terjadinya penyimpangan sendiri didalam masyarakat penjara diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan yang merusak di dalam kehidupan para penghuni penjara, sebagaimana yang telah diketahui bahwa kehidupan seseorang selama berada didalam penjara tidak sebebas orang yang berada di luar tembok penjara.

Tingkat kenaikan dan penurunan residivis selain merupakan indikator berhasil atau tidaknya suatu pembinaan terhadap narapidana tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berkembang dalam masyarakat seperti susahnya mencari pekerjaan, tidak adanya tempat untuk berteduh atau kesejahteraan di dalam Lapas yang lebih terjamin daripada apabila mereka berada di luar lapas.

(54)
(55)

40

(56)

41

D. Pengertian Residivis dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia

KUHP tidak ada mengatur tentang pengertian dari pengulangan (recidive) secara umum. Namun ada beberapa pasal yang disebutkan dalam KUHP yang mengatur tentang akibat terjadinya sebuah tindakan pengulangan (recidive). Ada dua kelompok yang dikategorikan sebagai kejahatan pengulangan (recidive), yaitu:

1. Menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana-tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam Pasal 486, Pasal 487 dan Pasal 488 KUHP.

2. Di luar kelompok kejahatan dalam Pasal 386 sampai dengan Pasal 388, KUHP juga menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3) KUHP, Pasal 489 ayat (2), Pasal 495 ayat (2) dan Pasal 512 ayat (3).92

Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam pemberian atau menjatuhkan pidana dimuat dalam konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) Nasional 2000. Di samping itu juga adanya perkembangan pemikiran mengenai teori pemidanaan mengakibatkan para sarjana berpikir untuk merumuskan tujuan pemidanaan yang ideal. Di samping itu dengan adanya kritik-kritik mengenai dasar pemidanaan yang menyangkut hubungan antara teori pidana, pelaksanaan pidana dan tujuan yang hendak dicapai serta hasil yang diperoleh dari penerapan pidana.

Dalam perkembangannya, pengulangan tindak pidana dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu:

(57)

42

1. Pengulangan tindak pidana menurut ilmu kriminologi, dibagi dalam penggolongan pelaku tindak pidana sesuai dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan, yaitu:

a. Pelanggar hukum bukan residivis (mono deliquent/pelanggar satu kali/first offenders) yaitu yang melakukan hanya satu tindak pidana dan hanya sekali saja.

b. Residivis yang dibagi lagi menjadi:

1) Penjahat yang akut yaitu meliputi pelanggar hukum yang bukan residivis dan mereka yang berkali-kali telah dijatuhi pidana umum namun antara masing-masing putusan pidana jarak waktunya jauh, atau perbuatan pidananya begitu berbeda satu sama lain sehingga tidak dapat dilakukan ada hubungan kriminalitas atau dengan kata lain dalam jarak waktu tersebut (misalnya 5 tahun menurut Pasal 486, 487 dan 488 KUHP Indonesia atau 2 tahun menurut pasal 45 KUHP Indonesia)

(58)

43

3) Penjahat berat, 93 yaitu mereka yang paling sedikit telah dijatuhi pidana 2 kali dan menjalani pidana berbulan-bulan dan lagi mereka yang karena kelakuan anti sosial sudah merupakan kebiasaan atau sesuatu hal yang telah menetap bagi mereka.

4) Penjahat sejak umur muda. Tipe ini memulai karirnya dalam kejahatan sejak ia kanak-kanak dan dimulai dengan melakukan kenakalan anak.

Kritikan tersebut dapat berpengaruh besar terhadap proses pembuatan rancangan KUH Pidana Nasional yang telah rampung pada Tahun 2000 yang lalu dan telah disosialisasikan sejak bulan Desember Tahun 2000. “Konsep KUH Pidana Nasional tersebut telah mengalami beberapa perubahan mulai dari konsep Tahun 1971/1972, konsep KUH Pidana 1982/1983, konsep KUH Pidana 1993 dan yang terakhir konsep KUH Pidana Nasional Tahun 2000.”94

Dari sudut ilmu pengetahuan hukum pidana, pengulangan tindak pidana dibedakan atas 3 (tiga) jenis, yaitu:

1. Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan cakupannya antara lain: a. Pengertian yang lebih luas yaitu bila meliputi orang-orang yang melakukan

suatu rangkaian kejahatan tanpa diselingi suatu penjatuhan pidana/

condemnation.

93 Friedrich Stumpl dikutip oleh Stephen Hurwitz dalam bukunya Kriminologi Sansuran Ny. L. Moeljatno, hlm. 161.

(59)

44

b. Pengertian yang lebih sempit yaitu bila si pelaku telah melakukan kejahatan yang sejenis (homologus recidivism) artinya ia menjalani suatu pidana tertentu dan ia mengulangi perbuatan sejenis tadi dalam batas waktu tertentu misalnya 5 (lima) tahun terhitung sejak terpidana menjalani sama sekali atau sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan.

2. Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan sifatnya antara lain: a. Accidentale recidive yaitu apabila pengulangan tindak pidana yang

dilakukan merupakan akibat dari keadaan yang memaksa dan menjepitnya b. Habituele recidive, yaitu pengulangan tidak pidana yang dilakukan karena

si pelaku memang sudah mempunyai inner criminal situation yaitu tabiat jahat sehingga kejahatan merupakan perbuatan yang biasa baginya

3. Selain kepada kedua bentuk di atas, pengulangan tindak pidana dapat juga dibedakan atas:

a. Recidive umum, yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan/tindak pidana yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatan/tindak pidana dalam bentuk apapun maka terhadapnya dapat dikenakan pemberatan hukuman.95

b. Recidive khusus yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan/tindak pidana yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatan/tindak

(60)

45

pidana yang sama (sejenis) maka kepadanya dapat dikenakan pemberatan hukuman.96

Sejak Tahun 1972 hal mengenai tujuan pemidanaan telah menjadi pemikiran para perancang undang-undang. Hal ini terbukti dengan telah diaturnya tujuan pemidanaan dalam Pasal 2 konsep Tahun 1971/1972, selengkapnya Pasal 2 konsep Undang–undang Hukum Pidana Tahun 1971-1972 menentukan:

(1). Maksud tujuan pemidanaan:

a) Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk;

b) Untuk membimbing terpidana agar insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna;

c) Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana

(2). Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Kemudian tujuan pemidanaan tersebut mengalami perubahan pada konsep KUH Pidana Tahun 1982/1983, Buku I menyatakan bahwa tujuan pemberian pidana adalah:

1. Pemidanaan bertujuan untuk:

a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum

(61)

46

dari pengayom masyarakat;

b) Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bermasyarakat; c) Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d) Membebaskan rasa bersalah para terpidana.

1. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Dalam konsep rancangan KUH Pidana Nasional Tahun 1991/1992 tujuan pidana ditentukan sebagai berikut:

(1). Pemidanaan bertujuan untuk:

a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum dari pengayom masyarakat;

b) Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bernasyarakat;

c) Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

(62)

47

(2). Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Dalam konsep KUH Pidana Nasional Tahun 2000 mengenai tujuan pemidanaan secara tegas diatur dalam Pasal 50, yaitu:

(1). Pemidanaan bertujuan untuk:

a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayom masyarakat;

b) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna;

c) Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

d) Membebaskan rasa bersalah para terpidana.

(2). Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Gambar

Tabel 1 Penghuni LP Siborongborong
Tabel 2 Jenis Kejahatan Yang Menonjol Tahun 2008
Tabel 3 Daftar Nama Narapidana Residivis  LAPAS Klas II B Siborongborong

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk (1) Memperoleh gambaran mengenai kondisi Malaysia pada masa sebelum Mahathir Mohamad, (2) Menganalisis

Hal ini didukung oleh semakin lancar dan efisiennya fasilitas transportasi dan informasi yang memperlancar hubungan antar Negara. Dengan demikian, perubahan

Di samping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pemanfaatan courseware digital learning dalam meningkatkan penguasaan konsep dan

menyelesaikan skripsi dengan judul “Keefektifan Effective Microorganisms-4 (EM-4) Dalam Menurunkan Chemical Oxygen Demand ( COD ) Pada Limbah Cair Industri Tahu Desa

In general, the teaching and learning process ran well. The students were active in following the activities in the teaching learning process. For example they

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah CTL dapat meningkatkan kemampuan berbicara bahasa inggris siswa di kelas IV SD 101890 Dalu X A.. Penelitian ini adalah

Analisis Kelayakan Finansial Industri Enzim Protease Biduri (Studi Kasus di Koperasi Ponpes Al-Ishlah Grujugan Bondowoso); Agung Basuki Putranto; 051710101089; 2011: 61

Apabila dalam RPD Harian terdapat rencana pengajuan SPM yang nilainya masuk dalam kategori transaksi besar, maka RPD Harian tersebut wajib disampaikan ke KPPN.. Pengajuan RPD