• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Hukum Kuasa Pengguna Anggaran Atas Perubahan Teknis Pekerjaan Pasca Penandatanganan Surat Perjanjian Kontrak Pelelangan Pengadaan Barang Dan Jasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tanggung Jawab Hukum Kuasa Pengguna Anggaran Atas Perubahan Teknis Pekerjaan Pasca Penandatanganan Surat Perjanjian Kontrak Pelelangan Pengadaan Barang Dan Jasa"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

KONTRAK PELELANGAN PENGADAAN BARANG DAN JASA

TESIS

Oleh

AHMAD FERI TANJUNG

067011013/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

(2)

TANGGUNG JAWAB HUKUM KUASA PENGGUNA

ANGGARAN ATAS PERUBAHAN TEKNIS PEKERJAAN

PASCA PENANDATANGANAN SURAT PERJANJIAN

KONTRAK PELELANGAN PENGADAAN BARANG DAN JASA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu SyaratUntuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

AHMAD FERI TANJUNG

067011013/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : TANGGUNG JAWAB HUKUM KUASA PENGGUNA ANGGARAN ATAS PERUBAHAN TEKNIS PEKERJAAN PASCA PENANDATANGANAN SURAT PERJANJIAN KONTRAK PELELANGAN PENGADAAN BARANG DAN JASA

Nama Mahasiswa : Ahmad Feri Tanjung Nomor Pokok : 067011013

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Prof. Sanwani Nasution, SH) (Prof. Syamsul Arifin, S.H., M.H) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(4)

Tanggal lulus : 28 Februari 2009 Telah diuji pada

Tanggal : 28 Februari 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H Anggota : 1. Prof. Sanwani Nasution, S.H

2. Prof. Syamsul Arifin, S.H., M.H

(5)

4. Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN

ABSTRAK

Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan APBN/APBD baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun (oleh penyedia barang/jasa sendiri), maupun dengan mempergunakan pelayanan pihak ketiga (pemasok, pemborong, dan konsultan).

Pelaku yang utama dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kuasa pengguna anggaran dan penyedia barang/jasa. Sementara pihak penyedia barang/jasa bertanggung jawab untuk menghasilkan barang/jasa sesuai dengan seluruh persyaratan kontrak yang telah dibuat, Namun Kuasa Pengguna Angagaran (KPA) mempunyai wewenang untuk mengangkat pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan juga mengangkat Panitia/pejabat pengadaan untuk melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah.

Penelitian dalam tesis ini menggunakan metode kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, yaitu yang meneliti perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku serta teori dan artikel yang berkenaan dengan pembahasan ini.

Prosedur perubahan teknis pekerjaan dilakukan setelah Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen memberikan perintah tertulis kepada penyedia jasa untuk melaksanakan perubahan kontrak, atau penyedia jasa mengusulkan perubahan kontrak. Penyedia jasa harus memberikan tanggapan atas perintah perubahan dari pengguna jasa dan mengusulkan perubahan harga (bila ada), demikian juga Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen harus memberikan tanggapan atas usulan perubahan kontrak dari penyedia jasa setelah adanya usulan perubahan kontrak maka dilakukan negosiasi teknis dan harga dan dibuat berita acara hasil negosiasi, yang selanjutnya berdasarkan berita acara hasil negosiasi dibuat amandemen kontrak.

Tanggung jawab Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah adalah mengenai penganggaran yang digunakan dalam kontrak tersebut. Demikian juga dalam halnya terjadi perubahan teknis pekerjaan setelah penandatanganan kontrak sebagai pejabat yang berwenang memberikan persetujuan perubahan tersebut sesuai dengan batas perubahan yang dapat dilakukan atau atas dasar alasan yang kuat. Maka dalam hal terjadinya kerugian keuangan negara akibat perubahan teknis pekerjaan menjadi tanggung jawab Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen untuk dikenakan ganti kerugian bahkan jika terbukti tindak perubahan teknis pekerjaan itu sebagai perbuatan menguntungkan diri sendiri (manipulasi anggaran) akan dikenakan tindakan pidana korupsi.

(6)

Perubahan pekerjaan kontruksi dalam sistem hukum Indonesia, menempatkan klausula perubahan pekerjaan penting diatur dalam kontrak konstruksi, maka disarankan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, maupun Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dilakukan amandemen, baik untuk dapat menjawab tuntutan kebutuhan industri kontruksi, maupun secara khusus sangat berpengaruh terhadap tanggung jawab Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen dalam melakukan perubahan teknis pekerjaan (perubahan kontrak).

(7)

ABSTRACT

The procurement of the goods and services for government is recognized an activity in supplying the goods/services funded by APBN/APBD budget either as it is handled own or by supplier for the goods / services, or appoint other party (supplier, contractor, and consultant).

The primary player in the procurement for the goods / services of government is know in charge for user the budget and supplier of goods/services. While, a partyin supplying the goods / services shall responsible for producing goods / services refers to the requirement in whole for contract as provided already, but the person in charge using the budget (KPA) has own authority to appoint an official producing a commitment (PPK) and also to appoint a committee/ official supplying for conducting of supplying the goods / services on government.

This study adopted a library research with a normative juridicial work, namely perhaps to interpert the regulations and rules applied effective and also on the theory and article relating with the topic of this study.

Procedure a revision in technical of works is taken following the person in charge using the budget / official in charge order an instruction in written over the supplier in conducting a revision of contract, or the supplier of services submit own proposal for revision of contract. The supplier of services must give the responses upon the instruction for revision required by the owner for the services and suggest the revision (if available), for such way also the person in charge using the budget / official must also give the responses upon the proposal for revisison of contract by the provider of services following existing proposal the revision of contract , thence should be done a tehcnical negotiation and on the price as well as provide an official minute upon the resault of negotiation, further based on the official minute upon the result of negotiation produce a contract amendment.

(8)

The revisison on a construction works within national law of Indonesia, there place a clause its revision of works as an important point, its regulated in the contruction contract, thus it is suggestible for the regulation Undang-uandang No.29 of 1999 concering the construction service, or the government Regulations No.29 of 2000 concering the Implementing a Construction Services shall be done an amendment, either in hold responding the requirement for the need as industry on construction, or specifically it shall influence greatly on the responsible for the person in charge for using the budget / official in charge in conducting a technical revision for the works ( contract revision ).

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SAW, yang atas berkat

dan rahmatnya, sehingga saya mampu merampungkan tesis ini sebagaimana

mestinya.

Ungkapan terima kasih ini juga saya haturkan kepada pihak-pihak yang telah

dengan sukarela membantu saya untuk mengumpulkan bahan-bahan, data-data dan

segala sesuatu yang berhubungan dengan tesis ini hingga tesis ini mencukupi untuk

disajikan sebagai tugas akhir dari program studi Magister Kenotariatan yang saya

tekuni selama 2 (dua) tahun ini. Perkenankanlah saya dalam kesempatan ini

menghaturkan terima kasih kepada:

1. Yang Terhormat Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., Bapak Prof.

Sanwani Nsution, S.H., dan Bapak Notaris Syafnil Gani, S.H., M.Hum.,

selaku Komisi Pembimbing.

2. Yang Terhormat Ibu Dr. T. Keizerina Devi Anwar, S.H., C.N., M.Hum.,

selaku Dosen Penguji yang telah dengan sabar memberikan support dan

bimbingan demi terwujudnya penulisan tesis ini.

3. Yang terhormat Bapak Prof. Syamsul Arifin, S.H., M.H., atas perhatian dan

(10)

4. Yang Terhormat para Narasumber yang telah dengan sukarela memberikan

masukan yang sangat berarti bagi penyempurnaan penulisan tesis ini.

5. Yang Terkasih teman-teman mahasiswa Magister Kenotariatan, Universitas

Sumatera Utara.

Yang telah memberikan perhatian serta waktunya untuk sudi

menyempurnakan tesis saya ini, dan kepada teman-teman atas dukungannya serta

pihak-pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat

saya sebutkan satu-persatu.

Akhir kata saya ucapkan terima kasih.

Medan, Februari 2009 Ahmad Feri Tanjung

(11)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap : Ahmad Feri Tanjung

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 09 Februari 1972

Agama : Islam

Alamat : Jln. H. M. Joni Gg. Makmur no.19

II. ORANGTUA

Nama Ayah : Syamsuher Tanjung

Nama Ibu : Nazmi Pasaribu

III. PENDIDIKAN

1. Sekolah Dasar Negeri Inpres, Medan

Lulus tahun : 1986

2. Sekolah Menegah Pertama Negeri 15, Medan

Lulus Tahun : 1989

3. Sekolah Menengah Atas Negeri 7, Medan

Lulus Tahun : 1992

4. Strata-1, Fakultas Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara, Medan

Lulus Tahun : 1996

5. Strata-2, Magister Manajemen, Universitas Indonesia, Jakarta

Lulus Tahun : 2004

6. Strata-2, Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, Medan

(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian………..…... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi………..…....…... 12

1. Kerangka Teori ... 12

2. Konsepsi ... 30

G. Metode Penelitian ... 35

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 35

2. Sumber Data ... 36

(13)

4. Analisis Data ... 38

BAB II KETENTUAN PENGADAAN BARANG / JASA PEMERINTAH DALAM BIDANG KONTRAK KONSTRUKSI ... 39

A. Tinjauan Tentang Kontrak Kontruksi ... 39

B. Perencanaan dan Pembentukan Panitia Pengadaan Barang

/Jasa Pemerintah Dalam Kontrak Kontruksi ... 50

C. Penetapan Sistem Pengadaan Yang Dilaksanakan Kepada

Penyedia Jasa Kontruksi ... 54

D. Penyusunan Harga Perhitungan Sendiri(HPS)... 60

E. Penyusunan Dokumen Pengadaan Barang /Jasa Konstruksi ... 61

F. Proses Pengadaan Barang / Jasa Yang Memerlukan Penyedia

Barang/Jasa Secara pelelangan Umum ... 62

BAB III PROSEDUR DAN TEKNIS PERUBAHAN PEKERJAAN

SETELAH KONTRAK DITANDATANGANI ... 83

A. Faktor Penyebab Timbulnya Perubahan Pekerjaan (Pekerjaan

Tambah/ Kurang) ………..……... 83

B. Ukuran Perubahan Pekerjaan ………..………... 88

C. Pihak Yang Berhak Memberikan Perintah Perubahan ... 89

D. Prosedur dan Teknis Perubahan Pekerjaan Barang / Jasa

(14)

BAB IV TANGGUNG JAWAB KUASA PENGGUNA ANGGARAN ATAS PERUBAHAN TEKNIS PEKERJAAN YANG

DILAKSANAKAN SETELAH KONTRAK DITANDATANGANI 102

A. Penetapan dan Ekskalasi Harga Pengadaan Barang / Jasa

Pemerintah ... 102

B. Tanggung Jawab Kuasa Pengguna Anggaran Atas Perubahan

Teknis Pekerjaan Yang Dilaksanakan Setelah Kontrak

Ditandatangani ... 108

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 122

A. Kesimpulan ………... 122

B. Saran ………...……….

123

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam aktivitas suatu entitas/organisasi, baik entitas swasta, maupun entitas

pemerintah, yang sehari-harinya melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tugas pokok

dan fungsinya, akan selalu dijumpai suatu kegiatan yang aktifitasnya melakukan

pengadaan (procurement). Pengadaan perlu dilakukan untuk mendukung pekerjaan

sehari-hari yang bersifat rutin (operasi, pemeliharaan, atau pemenuhan kebutuhan

kerja setiap hari), maupun pekerjaan yang bersifat sementara yang bersifat investasi,

penambahan kepasitas terpasang, atau proyek, yang dilakukan untuk mencapai suatu

tujuan tertentu yang telah ditargetkan.

Di dalam entitas/organisasi swasta pengadaan seperti itu diatur dalam

mekanisme dan aturan internal badan usaha yang bersangkutan yang bertujuan agar

dapat diwujudkan barang/jasa yang diperlukan dengan cara yang efisien, efektif, tidak

birokratis, dapat dikendalikan dan dikontrol oleh manajemen perusahaan.

Cara pengadaannya juga dapat dilakukan langsung oleh badan usaha yang

bersangkutan, yang biasanya memiliki unit untuk pengadaan (procurement/logistics

(16)

pihak kedua, yaitu pemasok (supplier), pemborong (contractor), dan konsultan. Tata

cara hubungan dengan pihak kedua, yang dapat berupa pembelian langsung,

pelelangan terbuka, pelelangan terbatas, pemilihan langsung, penunjukan langsung,

bentuk kontrak, cara pembayaran, cara penyerahan pekerjaan, perawatan dan

jaminan, serta yang lain-lain sepenuhnya ditentukan dalam aturan yang telah

disepakati dan disetujui oleh manajemen perusahaan.

Demikian juga pada pemerintahan, yang pada dasarnya pengadaan

barang/jasa pemerintah sama dengan pengadaan barang/jasa di lingkungan swasta.

Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah tata cara yang dilakukan oleh suatu

departemen/lembaga/instansi (pihak pengguna) untuk mendapatkan barang/jasa yang

telah direncanakan, dengan menggunakan metode dan proses tertentu, seperti

pembelian langsung, pelelangan terbatas, pelelangan terbuka, pemilihan langsung

atau penunjukan langsung. Hasil proses pengadaan dituangkan dalam kesepakatan

tertulis (kontrak) yang disetujui oleh dua belah pihak (pihak pengguna dan pihak

penyedia), yang meliputi kesepakatan harga, waktu, spesifikasi barang/jasa, waktu

penyelesaian/penyerahan, jaminan kualitas, jaminan purna jual, jaminan

perawatan/pemeliharaan dalam waktu tertentu, dan kesepakatan-kesepakatan lainnya

yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan barang/jasa yang diadakan.

Dalam Pasal 1 ayat 1 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang

Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (yang telah beberapa kali

(17)

Nomor 95 Tahun 2007) disebutkan pengadaan barang/jasa pemerintah didefinisikan,

pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang

dibiayai dengan APBN/APBD baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun

(oleh penyedia barang/jasa sendiri), maupun dengan mempergunakan pelayanan

pihak ketiga (pemasok, pemborong, dan konsultan).

Ketentuan di atas menjelaskan dua aspek, yaitu asal pembiayaan atau sumber

dan pelaku proses pengadaan barang/jasa. Dalam hal sumber pendanaan, definisi

tersebut menyatakan bahwa sumber dana yang dipergunakan untuk pengadaan

pemerintah berasal dari APBN/APBD.

Perihal sumber pendanaan, definisi tersebut menyatakan bahwa yang

dimaksud pengadaan barang/jasa pemerintah adalah pengadaan barang/jasa yang

dibiayai dengan APBN/APBD. Yang dimaksud dengan dibiayai APBN/APBD

tersebut bagaimana? Apakah pengadaan barang/jasa hanya merupakan belanja

(expenditure) yang dananya sudah diterima di dalam penerimaan (revenue)

APBN/APBD. Apabila sumber pendanaan yang dimaksud merupakan dana yang

sudah dialokasikan dalam APBN/APBD. Maka, ini berarti sumber pendanaan di luar

APBN/APBD, meskipun dilaksanakan oleh instansi milik pemerintah seperti konsesi

(BOT, dll), pengadaan dengan dana anggaran perusahaan/entitas yang dimiliki

(18)

mempergunakan dana APBN/APBD, tidak termasuk yang diatur dengan Keputusan

Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tersebut. 1

Kebijakan umum pengadaan barang/jasa pemerintah dilaksanakan dalam

beberapa bentuk kebijakan, di antaranya: mewajibkan pengunaan barang/jasa dalam

negeri, perlindungan dan peningkatan peran usaha kecil termasuk koperasi kecil,

menyederhanakan aturan dan ketentuan agar terjadi persaingan yang sehat diantara

usaha nasional, meningkatkan profesionalisme dan kemandirian pengelola

pengadaan, mengharuskan pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah di dalam

negeri, mencegah keterlibatan usaha asing dalam pengadaan barang/jasa untuk nilai

tertentu, mewajibkan usaha asing untuk bekerjasama dengan perusahaan nasional,

dan apabila mengikuti pengadaan barang/jasa pemerintah.2

Kebijakan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri adalah

kebijaksanaan pemerintah untuk mendukung perencanaan tujuan nasional dalam

rangka upaya pemenuhan kebutuhan barang/jasa di dalam negeri dan di luar negeri

serta upaya meningkatkan lapangan kerja. Dalam rangka upaya mencapai tujuan

nasional tersebut, pemerintah mengaitkannya dengan pengadaan barang/jasa

pemerintah.

1

Modul Diklat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pengertian, Dasar Pendanaan,

Pelaku, Konsepsi, Cakupan, Dan Siklus Pengadaan Barang Jasa/Pemerintah, (Jakarta : Departemen

Keuangan R.I. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, 2004), hal. 9.

2

Modul Diklat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Prinsip-prinsip Dasar,

Kebijakan Umum, Etika, Tata Cara Kepemerintahan Yang Baik/Good Governance, Dan Aspek Hukum, Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, (Jakarta : Departemen Keuangan R.I. Badan

(19)

Yang dimaksud dengan produksi dalam negeri adalah semua jenis barang/jasa

yang diproduksi atau dibuat atau dihasilkan di dalam negeri yang meliputi: barang

jadi, barang setengah jadi, suku cadang, komponen utama dan komponen bantu,

bahan baku, bahan pelengkap dan bahan bantu. Sedangkan yang tergolong jasa dalam

negeri adalah jasa-jasa yang dilaksanakan di Indonesia oleh tenaga kerja Indonesia,

misalnya jasa konstruksi.

Pelaku yang utama dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah

pengguna anggaran dan penyedia barang/jasa. Pada dasarnya pertanggungjawaban

dari keberhasilan pengadaan barang/jasa pemerintah yang berarti mencapai tujuan

seperti yang direncanakan, terletak pada pihak Kuasa Pengguna Anggaran. Pihak

penyedia barang/jasa bertanggung jawab untuk menghasilkan barang/jasa sesuai

dengan seluruh persyaratan kontrak yang telah dibuat. Untuk mencapai tujuan

pengadaan barang/jasa, bisa saja terjadi ada lebih dari satu penyedia barang/jasa yang

terlibat, dan masing-masing membuat kontrak tersendiri dengan pihak pengguna

barang/jasa.

Pengguna anggaran sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1b Peraturan

Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh Atas Perubahan

Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 adalah sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan. Selanjutnya, dalam

Pasal 4 ayat (7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Negara disebutkan: Menteri/pemimpin lembaga selaku pengguna anggaran

(20)

oleh kementerian yang dipimpinnya dan berwenang antara lain adalah menunjuk

Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).

Dalam ketentuan Pasal 4 huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara di atas disebutkan bahwa Menteri sebagai Pengguna

Anggaran dapat menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Demikian juga yang

disebutkan dalam Pasal 1 butir 1c Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang

Perubahan Ketujuh Atas Keppres Nomor 80 Tahun 2003 bahwa Kuasa Pengguna

Anggaran adalah pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna Anggaran untuk

menggunakan anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah.

Satuan Kerja Kuasa Pengguna Anggaran di tingkat pusat sebagai satuan kerja

adalah Eselon I atau Sekretaris Jenderal, Direktorat Jenderal, Ketua Badan dan

Inspektorat Jenderal, sedangkan untuk di tingkat daerah sebagai satuan kerja adalah

Eselon II dan III.

Dengan diangkatnya Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang telah dikuasakan

kepada seorang pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan anggaran tersebut maka

selanjutnya Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) mempunyai wewenang untuk

mengangkat Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan juga mengangkat panitia/pejabat

pengadaan untuk melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah.

Demikianlah nama satuan yang diberikan kepada tim/personil yang diangkat oleh

pejabat yang berwenang pada suatu instansi pemerintah untuk melaksanakan kegiatan

(21)

Pasal 10 ayat (6) Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang

Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang

Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, mengatur bahwa

Pemilihan penyedia barang/jasa adalah kegiatan untuk menetapkan penyedia

barang/jasa yang akan ditunjuk untuk melaksanakan pekerjaan. Panitia pengadaan

adalah unsur yang sangat penting dalam mekanisme pelaksanaan anggaran karena

tanpa adanya Panitia/Pejabat Pengadaan/Unit Layanan Pengadaan maka anggaran

yang ada tidak dapat direalisasikan, khususnya yang bersifat kontraktual. Panitia

Pengadaan diangkat oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), sehingga Panitia

Pengadaan tunduk kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pejabat yang

mengangkatnya.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas salah satu pengadaan barang/jasa

pemerintah tersebut adalah dalam pekerjaan konstruksi yang dilaksanakan oleh

kontraktor sebagai penyedia jasa. Pelaksanaan jasa konstruksi diatur dalam

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Dalam Pasal 1 ayat 5

undang-undang tersebut dinyatakan Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan

dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa

dalam penyelenggaraan pekerjaan kontruksi.

Unsur-unsur yang harus ada dalam kontrak konstruksi yaitu adanya subyek,

yaitu pengguna jasa dan penyedia jasa, adanya objek yaitu konstruksi, dan adanya

dokumen yang mengatur hubungan antara pengguna jasa dan penyedia jasa (kontrak

(22)

Pasal 9 ayat (5) dan (6) Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang

Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang

Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, menyatakan bahwa

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bertanggung jawab dari segi administrasi, fisik,

keuangan, dan fungsional atas pengadaan barang/jasa yang dilaksanakannya. Pejabat

Pembuat Komitmen (PPK) dapat melaksanakan proses pengadaan barang/jasa

sebelum dokumen anggaran disahkan sepanjang anggaran untuk kegiatan yang

bersangkutan telah dialokasikan, dengan ketentuan penerbitan Surat Penunjukan

Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ) dan penandatanganan kontrak pengadaan barang/jasa

dilakukan setelah dokumen anggaran untuk kegiatan/proyek disahkan dengan

ketentuan anggaran telah tersedia atau cukup tersedia.

Untuk menjamin kemandirian dan indenpedensi panitia/pejabat pengadaan

dalam melaksanakan tugasnya, maka panitia/pejabat pengadaan bukanlah bawahan

langsung dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), akan tetapi Panitia/pejabat

pengadaan berasal dari pegawai yang secara struktural tidak berada di bawah Pejabat

Pembuat Komitmen (PPK). Panitia/pejabat pengadaan adalah bagian terdepan dalam

proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Sehingga dalam pelaksanaan pengadaan

barang/jasa sering sekali panitia tetap bertanggung jawab terhadap pelaksanaan

kontrak, padahal yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah Kuasa Pengguna

Anggaran (KPA) (bila tidak didelegasikan kepada Pejabat Pembuat komitmen),

sebagai pejabat yang berwenang untuk memberikan persetujuan anggaran dalam

(23)

perbedaan penafsiran dalam suatu klausul atau kontrak yang disepakati oleh

pihak-pihak yang melakukan kontrak tersebut.

Kemudian juga dalam kontrak kerja konstruksi yang sudah ditandatangani

dapat terjadi perubahan teknis pekerjaan, sehingga tidak lagi sesuai dengan isi dari

kontrak awal yang telah disepakati sebelumnya. Hal ini dapat terjadi, apabila dalam

perkembangan pekerjaan terdapat perbedaan yang signifikan antara kondisi obyektif

lapangan dengan kondisi yang disepakati dan menjadi dasar kontrak, maka pengguna

barang/jasa dapat melakukan perubahan kontrak yang meliputi: penambahan atau

pengurangan volume pekerjaan dari yang tercantum dalam kontrak, penambahan atau

pengurangan jenis pekerjaan dari yang tercantum dalam kontrak, mengubah

spesifikasi pekerjaan sesuai dengan kebutuhan di lapangan, dan melaksanakan

pekerjaan tambahan yang belum tercantum dalam kontrak apabila diperlukan untuk

menyelesaikan seluruh pekerjaan.

Perubahan teknis pekerjaan yang menyebabkan terjadinya perubahan volume

pekerjaan tentunya saja akan mengakibatkan kelebihan atau kekurangan nilai kontrak

yang ditetapkan pada kontrak awal. Selain itu juga dalam perubahan teknis pekerjaan

dalam bentuk perubahan jenis bahan (mutu yang rendah) yang tidak sesuai dengan

kontrak awal sehingga terjadi kegagalan bangunan atau tidak sesuai secara fisik

karena dalam kontrak awal. Perubahan teknis pekerjaan dengan penggunaan bahan di

bawah standar tersebut akan terjadi kelebihan anggaran atau keuangan negara karena

pengadaan barang/jasa pemerintah berasal dari dana APBN/APBD yang harus

dipertanggungjawabkan dengan ganti rugi kepada negara, selain itu juga sesuai

(24)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (UU Tindak Pidana Korupsi), bahwa pengembalian kerugian keuangan

negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak

pidana.

Perintah perubahan pekerjaan dibuat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa

Pengguna Anggaran (KPA) secara tertulis kepada penyedia barang/jasa yang

dilaksanakan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang akan menindaklanjuti

dengan negosiasi teknis dan harga dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam

perjanjian/kontrak awal. Hasil negosiasi kemudian dituangkan dalam berita acara

yang kemudian menjadi dasar pembuatan adendum kontrak. Dengan demikian

pelaksanaan kontrak maupun perubahan kontrak kerja konstruksi dalam pengadaan

barang/jasa pemerintah adalah atas dasar persetujuan dari Pengguna Anggaran/Kuasa

Pengguna Anggaran (KPA) yang dilaksanakan oleh Pejabat Pembuat Komitmen.

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka dilakukan penelitian

tentang tanggung jawab hukum Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atas perubahan

teknis pekerjaan pasca penandatanganan surat perjanjian kontrak pelelangan

barang/jasa pemerintah.

B. Permasalahan

Bertitik tolak dari uraian di atas maka yang menjadi permasalahan penelitian

ini adalah:

1. Bagaimana ketentuan pengadaan barang/jasa pemerintah dalam bidang kontrak

(25)

2. Bagaimana prosedur dan teknis perubahan pekerjaan setelah kontrak

ditandatangani?

3. Bagaimana tanggung jawab Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atas perubahan

teknis pekerjaan yang dilaksanakan setelah kontrak ditandatangani?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui ketentuan pengadaan barang/jasa pemerintah di bidang

kontrak konstruksi.

2. Untuk mengetahui prosedur dan teknis perubahan pekerjaan setelah kontrak

ditandatangani.

3. Untuk mengetahui tanggung jawab Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atas

perubahan teknis pekerjaan yang dilaksanakan setelah kontrak ditandatangani.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis,

yaitu:

1. Secara teoritis.

Hasil penelitian ini akan memberikan sumbang saran dalam ilmu hukum

khususnya bagi aparatur negara didalam melaksanakan kegiatan pengadaan

barang/jasa pemerintah dan didalam melaksanakan perjanjian dengan pihak

penyedia barang/jasa dimana satu sisi mewakili negara atas nama pemerintah

dalam berkontrak perdata dan apabila melakukan kesalahan yang menyebabkan

(26)

2. Secara praktis

Diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat memberi manfaat dan sumbang saran

diterapkan oleh para aparatur negara dan juga praktisis hukum, khususnya panitia

dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam bidang pengadaan barang/jasa

pemerintah dan juga perjanjian serta penyelesaian permasalahan hukum dan

tanggung jawab kuasa pengguna anggaran.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis, terhadap literatur yang

ada khususnya di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, sepanjang yang diketahui

penulis sampai saat ini belum ada suatu penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa

lain dengan judul ”Tanggung Jawab Hukum Kuasa Pengguna Anggaran Atas

Perubahan Teknis Pekerjaan Pasca Penandatanganan Surat Perjanjian Kontrak Pelelangan Barang dan Jasa.” Dengan demikian sampai saat ini penulis

yakin bahwa penelitian tesis ini benar-benar asli dan bukan hasil karya atau penulisan

orang lain.

F.

Kerangka Teori dan Konsepsi

(27)

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi,3 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada

fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.4

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan

perbandingan, pegangan teoritis5

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan

pegangan teoritis.6

Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif diluar KUH Perdata

sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat dalam lapangan hukum

kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas

dalam penelitian ini, dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin yang

mengartikan: :

Hukum itu sebagai a comamand of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap

3

J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, ( Jakarta: FE, 1996), hal. 203. Selanjutnya dalam M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994), hal. 27. disebutkan, bahwa teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

(28)

sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.7

Selain menggunakan teori positivisme hukum dari Jhon Austin, juga

digunakan teori sistem dari Mariam Darus Badrulzaman yang mengemukakan bahwa

sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan landasan

diatas mana dibangun tertib hukum.8 Hal yang sama juga dikatakan oleh Sunaryati

Hartono bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen

yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau

beberapa asas.9

Jadi dalam sistem hukum terdapat sejumlah asas-asas hukum yang menjadi

dasar dalam pembentukan norma hukum dalam suatu perundang-undangan.

Pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas

hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.10

Dalam pembahasan mengenai tanggung jawab hukum Kuasa Pengguna

Anggaran (KPA) atas perubahan teknis pekerjaan pasca penandatanganan surat

7

Lihat Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filasafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal 55.

8

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, ( Bandung: Alumni, 1983), hal 15.

9

C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung : Alumni, 1991), hal. 56.

10

(29)

perjanjian kontrak pelelangan barang dan jasa, maka teori yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah teori pertanggung jawab dengan prinsip akuntabilitas.

Menurut The Oxford Advance Learner’s Dictionary, akuntabilitas adalah

“required or expected to give an explanation for one’s action”. Dengan kata lain,

dalam akuntabilitas terkandung kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala

tindak tanduk dan kegiatannya terutama di bidang administrasi keuangan kepada

pihak yang lebih tinggi/atasannya. Dalam hal ini, terminologi akuntabilitas dilihat

dari sudut pandang pengendalian tindakan pada pencapaian tujuan. Tolak ukur atau

indikator pengukuran kinerja adalah kewajiban individu dan organisasi untuk

mempertanggungjawabkan capaian kinerjanya melalui pengukuran yang subyektif

mungkin. Media pertanggungjawaban dalam konsep akuntabilitas tidak terbatas pada

laporan pertanggungjawaban saja, tetapi mencakup juga praktek-praktek kemudahan

si pemberi mandat mendapatkan informasi, baik langsung maupun tidak langsung

secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian, akuntabilitas akan tumbuh subur pada

lingkungan yang mengutamakan keterbukaan sebagai landasan pertanggung

jawaban.11 Jadi pertanggungjawaban dibarengi dengan sanksi, bila terdapat sesuatu

yang tidak beres dalam keadaan wajib menanggung segala sesuatunya tersebut.12

Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor

63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan

11

Arifin P. Soeria Atmaja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Suatu

Tinjauan Yuridis, ( Jakarta : Anggota IKAPI, PT. Gramedia, 1986), hal. 42

12

(30)

Publik, “Akuntabilitas adalah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan”.

Sedangkan asas akuntabilitas yaitu asas yang menentukan bahwa setiap

kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan

tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, seperti yang tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan

nepotisme.

Menurut Kohler’s Dictionary of Accountant dalam W. Riawan Tjandra,

akuntabilitas adalah:13

1. kewajiban pegawai, agen, atau orang lain untuk menyediakan laporan yang memuaskan secara berkala tentang tindakan atau tindakan failurero yang diikuti pemberian wewenang;

2. kemudian (akuntansi pemerintah) tujuan atas tanggung jawab atau pembayaran sejumlah kewajiban petugas;

3. ukuran tanggung jawab atau kewajiban lain dalam bentuk uang, unit kepemilikan, atau bentuk lainnya;

4. kewajiban membuktikan manajmen yang baik, pengontrolan, atau hasil lainnya dihadapkan ke muka hukum, peraturan, persetujuan, atau kebiasaan.

Dilihat dari sifatnya, akuntabilitas dapat dibedakan atas dual-accountability

structure dan multiple-accountability structure. Pada sektor swasta umumnya bersifat

dual-accountability structure, artinya pihak manajemen melaporkan akuntabilitasnya

hanya kepada dua pihak, yaitu pemegang saham (keuntungan yang diraih) dan

13

(31)

konsumen (manfaat yang dirasakan oleh pelanggan), sedangkan akuntabilitas pada

sektor publik bersifat multiple-accountability structure, yang artinya pemerintah

harus mempertanggungjawabkan kepada banyak pihak yang mewakili pluralisme

masyarakat suatu negara, malah pihak negara lain yang terkait. Dalam hal ini

akuntabilitas organisasi atau instansi pemerintah harus dilakukan kepada instansi

pemerintahan yang lebih tinggi (instansi atasan), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok penekan, negara donor, tokoh

mayarakat, dan akhirnya kepada seluruh rakyat. Fakta ini secara jelas menunjukkan

bahwa akuntabilitas publik lebih kompleks dari akuntabilitas sektor swasta. Demikian

juga halnya pertanggungjawaban Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran

(KPA) dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah atas dasar dana

APBN/APBD yang berarti menyangkut keuangan negara.

Peraturan perundang-undangan nasional yang secara khusus mengatur

pelaksanaan pengadaan barang/jasa adalah Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun

2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang sampai

dengan saat ini telah mengalami tujuh kali perubahan dengan Peraturan Presiden

Nomor 95 Tahun 2007. Perubahan signifikan menyangkut pengertian terutama

dipengaruhi oleh ditetapkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara. Muara dari pengadaan barang/jasa adalah pengeluaran

belanja pemerintah yang merupakan domain dari Perbendaharaan Negara, oleh

(32)

menyesuaikan dengan materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara.

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara dinyatakan:

(1) Menteri/pimpinan lembaga adalah Pengguna Anggaran/Pengguna Barang bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.

(2) Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya berwenang:

a. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;

b. menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang;

c. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan negara;

d. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan piutang;

e. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja;

f. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan dan perintah pembayaran;

g. menggunakan barang milik negara;

h. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik negara;

i. mengawasi pelaksanaan anggaran;

j. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan; kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.

Pelaku dalam pengadaan barang/jasa pemerintah yang utama adalah

Pengguna Anggaran dan Penyedia Barang/Jasa. Pada dasarnya penanggung jawab

dari keberhasilan pengadaan barang/jasa pemerintah, yang berarti mencapai tujuan

seperti yang direncanakan, terletak pada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna

Anggaran. Pihak penyedia jasa bertanggung jawab untuk menghasilkan barang/jasa

sesuai dengan seluruh persyaratan kontrak yang telah dibuat. Untuk mencapai tujuan

(33)

masing-masing membuat kontrak tersendiri dengan pihak Pengguna Anggaran/Kuasa

Pengguna Anggaran.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya Pengguna Anggaran dalam

melaksanakan tugas pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut dikuasakan kepada

pejabat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).

Upaya pemerintah untuk menekan terjadinya KKN dan kebocoran anggaran

negara dalam pengadaan barang/jasa terus dilakukan. Hal tersebut dibuktikan

komitmen pemerintah agar Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang

Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dilaksanakan secara

konsisten. Namun demikian dalam pelaksanaan masih terjadi KKN. Salah satu

penyebab terjadinya KKN dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah lemahnya

pengawasan dalam pelaksanaan pekerjaan. Beberapa hal yang menyebabkan

lemahnya pengawasan:14

a. Ketidakcermatan dalam pemilihan konsultan pengawas;

b. Konsultan pengawas tidak melakukan pekerjaannya secara benar; c. Rendahnya kredibilitas konsultan pengawas;

d. Kurangnya kapasitas dan kuantitas pengawas internal; e. Masih terjadi kolusi dalam penentuan hasil pengawasan.

Sehingga dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah, Pengguna

Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) harus memenuhi persyaratan sebagai

berikut sesuai Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang Perubahan

14

(34)

Ketujuh Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman

Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah :

a. memiliki integritas moral; b. memiliki disiplin tinggi;

c. memiliki tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya;

d. memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah;

e. memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan, bertindak tegas dan keteladanan dalam sikap dan perilaku serta tidak pernah terlibat KKN. Dengan dipenuhinya persyaratan di atas pada Pejabat Pengguna

Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), maka dapat terlaksana kebijakan urnum

pemerintah dalam pengadaan barang/jasa seperti yang dimaksud dalam Pasal 4

Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh Atas

Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah, yaitu :

a. meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri, rancang bangun dan perekayasaan nasional yang sasarannya adalah memperluas Iapangan kerja dan mengembangkan industri dalam negeri dalarn rangka meningkatkan daya saing barang/jasa produksi dalam negeri pada perdagangan internasional;

b. meningkatkan peran serta usaha kecil termasuk koperasi kecil dan kelompok masyarakat dalam pengadaan barang/jasa;

c. menyederhanakan ketentuan dan tata cara untuk mempercepat proses pengarnbilan keputusan dalam pengadaan barang/jasa;

d. meningkatkan profesionalisme, kemandirian dan tanggung jawab pengguna barang/jasa, panitia/pejabat pengadaan, dan penyedia barang/jasa;

e. meningkatkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan; f. menumbuhkernbangkan peran serta usaha nasional;

g. mengharuskan pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa dilakukan di dalarn wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

(35)

i. mengumumkan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah secara terbuka melalui surat kabar nasional dan/atau surat kabar provinsi.

Pasal 11 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang

Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang

Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan, dalam

pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut sebagaimana telah dikemukakan

sebelumnya adalah Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang

pelaksanaan pengadaan tersebut dilaksanakan oleh Penyedia Jasa. Persyaratan

Penyedia Barang/Jasa adalah sebagai berikut:

a. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan usaha/kegiatan sebagai penyedia barang/jasa;

b. memiliki keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial untuk menyediakan barang/jasa;

c. tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak pailit, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan, dan/atau direksi yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tidak sedang dalam menjalani sanksi pidana;

d. secara hukum mempunyai kapasitas menandatangani kontrak;

e. sebagai wajib pajak sudah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir, dibuktikan dengan melampirkan fotokopi bukti tanda terima penyampaian Surat Pajak Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) tahun terakhir, dan fotokopi Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 29;

f. dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir pernah memperoleh pekerjaan menyediakan barang/jasa baik di lingkungan pemerintah maupun swasta termasuk pengalaman subkontrak, kecuali penyedia barang/jasa yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun;

g. memiliki sumber daya manusia, modal, peralatan, dan fasilitas lain yang diperlukan dalam pengadaan barang/jasa;

h. tidak masuk dalam daftar hitam;

i. memiliki alamat tetap dan jelas serta dapat dijangkau dengan pos;

(36)

Dari ketentuan di atas diketahui bahwa penyedia/jasa dalam pelaksanaan

pengadaan barang/jasa pemerintah adalah badan usaha atau perorangan yang kegiatan

usahanya menyediakan barang/jasa.

Pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut yang dilaksanakan Pengguna

Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dan Penyedia Jasa dilaksanakan suatu kontrak

kerja, di antaranya adalah kontrak borongan (konstruksi).

Istilah kontrak dalam terminologi sehari-hari nampaknya sangat populer,

istilah-istilah seperti kontrak sewa menyewa, kontrak jual beli, kontrak kerja, hampir

tidak perlu klarifikasi bagi kaum awan dan seringkali bertolak dari pandangan bahwa

yang dimaksud dengan kontrak sebuah dokumen tertulis.15

Kontrak adalah kata bahasa Belanda yang berasal dari kata Latin

“Contractus” dari bahasa Latin dijabarkan “Contract” Perancis, “Contract” Inggris

dan “Kontrakt” Jerman.” 16 Kontrak yang berasal dari bahasa Inggris “contract”,

adalah :

Agreement between two or more persons which treates an obligation to do or not to do a particular thing. Its essentials are competent parties, subject matters, a legal consideration, mutuality of agreement, and mutuality of

15

Soedjono Dirdjosisworo, Kontrak Bisnis Menurut Sistem Civil Law, Common Law, dan

Praktek Dagang Internasional, ( Bandung : Mandar Maju, Cetakan I, 2003), hal. 65.

16

(37)

obligation .... the writing which contains the agreement of parties, with the terms and conditions, and which serves as a proof the obligations.17

Jadi, kontrak adalah suatu perjanjian (tertulis) di antara dua atau lebih orang (pihak)

yang menciptakan hak dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu

hal khusus.

Suatu kontrak dari definisi di atas “memiliki unsur-unsur, yaitu “pihak-pihak

yang kompeten, pokok yang disetujui, pertimbangan hukum, perjanjian timbal balik,

serta hak dan kewajiban timbal balik.”18

Menurut Munir Fuady, “banyak definisi tentang kontrak telah diberikan, dan

masing-masing bergantung kepada bagian-bagian mana dari kontrak tersebut yang

dianggap sangat penting dan bagian tersebutlah yang ditonjolkan dalam definisi

tersebut.”19

Istilah kontrak dalam bahasa Indonesia sebenarnya sudah ada, dan bukan

merupakan istilah asing. Misalnya dalam hukum sudah lama dikenal istilah

“kebebasan berkontrak” bukan kebebasan “berperjanjian”, “berperhutangan”, atau

“berperikatan”.20

Black’s Law Dictionary memberikan rumusan kontrak sebagai suatu

perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat

atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus “(contract : An agreement between two or

more persons which creates an obligation to do or not to do a peculiar thing. Its

17

J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 33.

18

Ibid, hal. 36.

19

Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, ( Bandung : PT. Citra Aditya, 1999), hal. 4.

20

(38)

essentials are competent parties, subject matter, a legal consideration, mutuality of

agreement, and mutuality of obligation)” 21

Defenisi yang tercantum dalam Black’s Law Dictionary bahwa kontrak dilihat

sebagai perjanjian dari para pihak untuk melaksanakan kewajiban, baik melakukan

atau tidak melakukan secara sebagian.

Pembuat Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyamakan istilah “kontrak

dengan perjanjian, dan bahkan juga dengan persetujuan.”22 Menurut Salim HS,

definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah tidak jelas, karena setiap

perbuatan dapat disebut perjanjian tidak tampak asas konsensualisme dan bersifat

dualisme.23 Ketidakjelasan definisi ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya

disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukumpun disebut dengan

perjanjian.

Charles L. Knapp dan Nathan M. Crystal mengatakan :

“contract is: an agreement between two or more persons – not merely a shared. Belief, but common understanding as to something that is to be done in the future by one or Goth of them”.24

Pendapat ini memberikan definisi kontrak sebagai suatu persetujuan antara

dua orang atau lebih, tidak hanya memberikan kepercayaan tetapi secara

bersama-sama saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa mendatang oleh

seseorang atau keduanya dari mereka. Pendapat ini tidak hanya mengkaji definisi

21

I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, Contract Drafting Teori dan Praktik, (Jakarta : Megapoin, 2003), hal. 11.

22

J. Satrio, Hukum Perjanjian, ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 19.

23

Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hal. 15.

24

Charles L Knapp dan Nathan M. Crystal, Problems in contract law case and materials, ( Boston Toranto London, Little, Brown and Company, 1993), p. 2, dalam Salim H.S., Perkembangan

(39)

kontrak, tetapi juga menentukan unsur-unsur yang harus dipenuhi supaya suatu

transaksi dapat disebut kontrak.

Ada tiga unsur kontrak yang tercantum pada definisi diatas yaitu: 25

a. The agreement fact between the parties (adanya kesepakatan tentang fakta antara kedua belah pihak).

b. The agreement as written (persetujuan dibuat secara tertulis)

c. The set of right and duties created by (1) and (2). (Adanya orang yang

berhak dan berkewajiban untuk membuat (1) kesepakatan dan (2). Persetujuan tertulis.

Agreement26 dapat didefinisikan sebagai :

A coming together of minds : a coming together in opinion or determination; the coming together in accord of tow minds on a given proposition .... The union of two or more minds in a thing done or to be done, a mutual assent to do a thing ... agreement is a broader term, e.g. an agreement might lack an essential element of a contract. 27

Perjanjian berdasarkan definisi di atas dipahami sebagai suatu perjumpaan

nalar, yang lebih merupakan perjumpaan pendapat atau ketetapan maksud. Perjanjian

secara luas ditafsirkan sebagai suatu kesepakatan timbal balik untuk melakukan

sesuatu, dan karenanya suatu perjanjian bisa saja tidak memiliki suatu elemen hakiki

dari suatu kontrak.

25

Charles L Knapp dan Nathan M. Crystal, Problems in contract law case and materials, (Boston Toranto London, Little, Brown and Company, 1993), p. 2, dalam Salim H.S., Perkembangan

Hukum Kontrak, hal. 16.

26

Kamus Indonesia – Inggris dari Hasan Shadily dan John Echols memadankan “Janji” dengan promise, agreement, agree dan memadamkan “perjanjian” dengan agreement dengan demikian dalam bahasa Indonesia bisa berarti baik “persetujuan” maupun “perjanjian”, meskipun “setuju” berlainan arti dengan “berjanji”. Dalam Praktik, agreement lebih banyak diterjemahkan sebagai “perjanjian”. Lihat Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, (Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001), hal. 5.

27

(40)

Menurut Lawrence M. Friedman mengartikan “hukum kontrak sebagai

perangkat hukum yang mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis

perjanjian tertentu.” 28 Lawrence M. Friedman tidak menjelaskan lebih lanjut aspek

tertentu dari pasar dan jenis perjanjian tertentu tersebut. Apabila dikaji aspek pasar,

tentunya akan dikaji dari berbagai aktifitas bisnis yang hidup dan berkembang dalam

sebuah market.

Michael D. Bayles mengartikan “contract law adalah might then be taken to

be the law pertaining to enforcement of promise or agreement”.29) Pendapat ini

mengkaji hukum kontrak dari dimensi pelaksanaan kontrak yang dibuat oleh para

pihak, namun Michael D. Bayles tidak melihat pada tahap prakontraktual dan

kontraktual. Tahap ini merupakan tahap yang menentukan dalam penyusunan sebuah

kontrak. Kontrak yang telah disusun oleh para pihak akan dilaksanakan mereka

sendiri.

Dengan adanya berbagai kelemahan dari definisi di atas, menurut Salim H.S.,

hukum kontrak adalah “keseluruhan dari kaidah hukum yang mengatur hubungan

hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan

akibat hukum”.30

Definisi-definisi yang diuraikan di atas menurut Salim H.S. ada satu hal yang

kurang yaitu: bahwa para pihak dalam kontrak semata-mata hanya orang perorangan,

28

Lawrence M. Friedman, Pengantar Hukum Amerika (American Law An Introduction), ( Jakarta : Tata Nusa, 2001), hal. 96.

29

Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2004 ), hal. 4.

30

(41)

akan tetapi dalam prakteknya, bukan hanya orang per orang yang membuat kontrak,

termasuk juga badan hukum yang merupakan subjek hukum.31

Selanjutnya, hukum kontrak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu hukum

kontrak nominaat dan hukum kontrak innominaat. Hukum nominaat merupakan

ketentuan hukum yang mengkaji berbagai kontrak atau perjanjian yang dikenal di

dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sedangkan hukum kontrak innominaat

merupakan keseluruhan kaidah hukum yang mengkaji berbagai kontrak yang timbul,

tumbuh, dan hidup dalam masyarakat dan kontrak ini belum dikenal pada saat Kitab

Undang-undang Hukum Perdata diundangkan.32 Salah satu bentuk kontrak yang

muncul dan berkembang dalam masyarakat adalah kontrak konstruksi.

Hukum kontrak innominaat diatur di dalam Buku III Kitab Undang-undang

Hukum Perdata. Di dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata, hanya ada

satu pasal yang mengatur tentang kontrak innominaat, yaitu Pasal 1319 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi: “Semua persetujuan, baik yang

mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu,

tunduk pada \peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”.

Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa perjanjian, baik yang mempunyai nama

dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun yang tidak dikenal dengan

suatu nama tertentu (tidak bernama) tunduk pada Buku III Kitab Undang-undang

Hukum Perdata. Dengan demikian, para pihak yang mengadakan kontrak innominaat

31

Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hal 16.

32

(42)

tidak hanya tunduk pada berbagai peraturan yang mengaturnya, tetapi para pihak juga

tunduk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Kitab Undang-undang

Hukum Perdata.

Selanjutnya pelaksanaan jasa konstruksi diatur dalam Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Dalam Pasal 1 ayat 5 undang-undang

tersebut dinyatakan “Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang

mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam

penyelenggaraan pekerjaan kontruksi”.

Dokumen merupakan surat-surat yang berkaitan dengan kegiatan konstruksi.

Konstruksi merupakan susunan (model, letak) dari suatu bangunan.

Dokumen-dokumen yang berkaitan erat dengan kontrak konstruksi, meliputi:33

1. Surat perjanjian yang ditandatangani oleh pengguna jasa dan penyedia jasa;

2. dokumen lelang, yaitu dokumen yang disusun oleh pengguna jasa yang merupakan dasar bagi penyedia jasa untuk menyusun usulan atau penawaran untuk pelaksanaan tugas yang berisi lingkup tugas dan persyaratan (umum dan khusus, teknis dan administratif, kondisi kontrak);

3. usulan atau penawaran, yaitu dokumen yang disusun oleh penyedia jasa berdasarkan dokumen lelang yang berisi metode, harga penawaran jadwal waktu, dan sumber daya;

4. berita acara yang berisi kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa selama proses evaluasi usulan atau penawaran oleh pengguna jasa antara lain klasifikasi atas hal-hal yang menimbulkan keraguan;

5. surat pernyataan dari pengguna jasa menyatakan menerima atau menyetujui usulan atau penawaran dari penyedia jasa;

6. surat pernyataan dari penyedia jasa yang menyatakan kesanggupan untuk melaksanakan pekerjaan.

33

(43)

Pelaksanaan kontrak kontruksi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah

dilakukan pengikatan yang dituangkan dalam kontrak antara Pengguna

Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang dalam pelaksanaannya Kuasa

Pengguna Anggaran (KPA) mengangkat Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan

Panitia/Pejabat Pengadaan yang diberi kewenangan untuk mengadakan kontrak

dengan penyedia jasa. Demikian juga dalam hal terjadinya perubahan kontrak, dapat

dilaksanakan atas persetujuan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).

Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang Perubahan

Ketujuh Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman

Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyatakan bahwa dalam

pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah yang memerlukan penyedia jasa,

maka Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) harus berpegang pada

prinsip-prinsip dasar pengadaan barang/jasa pemerintah yaitu:

a. efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan;

b. efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan;

c. terbuka dan bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan;

(44)

e. adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun; f. akuntabel, berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun

manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi

diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang

konkrit, yang disebut dengan operational definition.34 Pentingnya definisi operasional

adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius)

dari suatu istilah yang dipakai.35 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan

dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional

diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.

Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah penggunaan dana APBN/APBD

yang merupakan keuangan negara. Menurut Arifin P. Soeria Atmadja, definisi

keuangan negara dapat dipahami atas tiga interprestasi atau penafsiran terhadap Pasal

23 UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional keuangan negara, yaitu

penafsiran pertama adalah: “…pengertian keuangan negara diartikan secara sempit,

34

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, ( Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993),

hal. 10.

35

(45)

dan untuk itu dapat disebutkan sebagai keuangan negara dalam arti sempit, yang

hanya meliputi keuangan negara yang bersumber pada APBN, sebagai suatu

sub-sistem dari suatu sub-sistem keuangan negara dalam arti sempit”.36

Jika didasarkan pada rumusan tersebut, keuangan negara adalah semua aspek

yang tercakup dalam APBN yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR setiap

tahunnya. Dengan kata lain, APBN merupakan deskripsi dari keuangan negara, dalam

arti sempit, sehingga pengawasan terhadap ABPN juga merupakan pengawasan

terhadap keuangan negara. Sementara itu, penafsiran kedua adalah berkaitan dengan

metoda sistematik dan historis yang menyatakan: “…keuangan negara dalam arti

luas, yang meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN,

BUMD, dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan negara, sebagai suatu sistem

keuangan negara…”.37

Makna tersebut mengandung pemahaman keuangan negara dalam arti luas,

adalah segala sesuatu kegiatan atau aktivitas yang berkaitan erat dengan uang yang

diterima atau dibentuk berdasarkan hak istimewa negara untuk kepentingan publik.

Pemahaman tersebut kemudian lebih diarahkan pada dua hal, yaitu hak dan

kewajiban negara yang timbul dan makna keuangan negara. Adapun yang dimaksud

dengan hak tersebut adalah hak menciptakan uang; hak mendatangkan hasil, hak

melakukan pungutan; hak meminjam, dan hak memaksa. Adapun kewajiban adalah

36

Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Praktik, dan Kritik, ( Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 85-86.

37

(46)

kewajiban menyelenggaraan tujuan negara demi kepentingan masyarakat, dan

kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga, berdasarkan hubungan hukum

atau hubungan hukum khusus. Penafsiran ketiga dilakukan melalui pendekatan

sistematik dan teleologis atau sosiologis terhadap keuangan negara yang dapat

memberikan penafsiran yang relatif lebih akurat sesuai dengan tujuannya. Maksudnya

adalah:38

“Apabila tujuan menafsirkan keuangan negara tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sistem pengurutan dan pertanggungjawabannya, maka pengertian keuangan negara tersebut adalah sempit. Selanjutnya pengertian keuangan negara apabila pendekatannya dilakukan dengan menggunakan cara penafsiran sistematis dan teleologis untuk mengetahui sistem pengawasan atau pemeriksaan pertanggungjawaban, maka pengertian keuangan negara itu adalah dalam pengertian keuangan negara dalam arti luas, yakni termasuk di dalamnya keuangan yang berada dalam APBN, APBD, BUMN/D dan pada hakikatnya seluruh kekayaan negara merupakan obyek pemeriksaan dan pengawasan.”

Penafsiran ketiga inilah yang tampak paling essensial dan dinamis dalam

menjawab berbagai perkembangan yang ada di dalam masyarakat. Bagaimanapun,

penafsiran demikian akan sejalan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini yang

menuntut adanya kecepatan tindakan dan kebijakan, khususnya dari pemerintah, baik

yang berdasarkan atas hukum (rechts handeling) maupun yang berdasarkan atas fakta

(feitelijke handeling). Dengan penafsiran ketiga ini juga terlihat betapa ketat dan

38

(47)

kedap air (waterdicht) perumusan keuangan negara dalam aspek pengelolaan dan

pertanggungjawabannya,39 di antaranya pengadaan barang/jasa pemerintah.

Selanjutnya dapat didefinisikan beberapa konsep dasar dalam membahas

permasalahan dalam tulisan adalah sebagai berikut:

a. Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang

dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh

penyedia barang/jasa.

(Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh

Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentan Pedoman Pelaksanaan

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).

b. Pejabat Pembuat Komitrnen adalah pejabat yang diangkat oleh Pengguna

Anggarart/Kuasa Pengguna Anggaran/Dewan Gubernur Bank Indonesia

(BI)/Pemimpin Badan Hukum Milik Negara (BHMN)/Direksi Badan Usaha Milik

Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai pemilik pekerjaan,

yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa.

(Pasal 1 ayat 1a Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh

Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).

39

(48)

c. Menteri/pimpinan lembaga adalah Pengguna Anggaran/Pengguna Barang bagi

kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.

(Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara).

d. Kuasa Pengguna Anggaran adalah pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna Anggaran

untuk menggunakan anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah.

(Pasal 1 ayat 1c Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh

Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).

e. Panitia pengadaan adalah tim yang diangkat oleh Pengguna Anggarari/Kuasa

Pengguna Anggararr/Dewan Gubernur Bl/Pimpinan BHMN/Direksi BUMN/ Direksi

BUMD, untuk rnelaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa.

(Pasal 1 ayat 8 Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh

Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).

f. Penyedia barang/jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang kegiatan

usahanya menyediakan barang/layanan jasa.

(Pasal 1 ayat 3 Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh

Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentan Pedoman Pelaksanaan

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).

g. Jasa Pernborongan adalah layanan pekerjaan pelaksanaan konstruksi atau wujud fisik

(49)

Komitmen (PPK) sesuai penugasan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan proses

serta pelaksanaannya diawasi oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

(Pasal 1 ayat 15 Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh

Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).

h. Kontrak adalah perikatan antara Pejabat Pembuat Kornitmen (PPK) dengan penyedia

barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa.

(Pasal 1 ayat 17 Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh

Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).

i. Tanggungjawab adalah kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala

tindak tanduk dan kegiatannya terutama di bidang administrasi keuangan kepada

pihak yang lebih tinggi/atasannya.

G.

Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Dari judul dan masalah yang dibahas di dalam penelitian ini bersifat yuridis

normatif, karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen

yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau

bahan hukum yang lain. Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap

asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan yang terkait

(50)

barang/jasa pemerintah khususnya perjanjian pemborongan dan penyelesaian

permasalahan yang ada dalam kaitan terjadinya perbuatan adendum dalam suatu

kontrak tersebut.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan penelitian kepustakaan

yang didukung penelitian lapangan, yaitu:

a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan

melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang

meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.40

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni:

a) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945.

b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

c) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

d) Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh

Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman

Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

e) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan

Jasa Konstruksi.

40

Referensi

Dokumen terkait

Analisis pragmatik atas laporan Pencemaran nama baik (telaah linguistik forensik laporan polisi ahmad dhani terhadap farhat abbas). Universitas Pendidikan Indonesia |

pada saat pembuktian kualifikasi dan Klarifikasi penyedia jasa diharuskan untuk membawa seluruh dokumen asli atau dokumen salinan yang telah dilegalisir dan

Sehubungan dengan hal tersebut, Program Studi Magister Manajemen Teknologi (MMT) ITS menyelenggarakan Seminar Nasional MMT XXV dengan tema: Berbagi Pengetahuan Global

Sedimen pada sisi timur Teluk Balohan memiliki ciri ukuran butiran rata-rata yang lebih kasar dan sortasi yang lebih buruk, disebabkan lokasi yang berdekatan dengan

Long term Self employment success means acquiring a home based venture that enables us to be successful if we choose to put the work into it. When you’ve finished snickering, you

[r]

hubungan timbal balik yang terjadi antara petani penggarap dengan pemilik lahan.. Supaya bisa menjadi patron, pemilik lahan memanfaatkan modal