• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Tentang Asas Perlekatan Vertikal dalam Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Hukum Tentang Asas Perlekatan Vertikal dalam Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM TENTANG ASAS PERLEKATAN VERTIKAL

DALAM KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA

DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960

TENTANG POKOK-POKOK AGRARIA

THE LEGAL ANALYSIS OF VERTICAL FORMATION PRINCIPLE ON THE LAND

RIGHT OWNERSHIP IN INDONESIA IN CORELATION WITH THE ACT NO.5 OF 1960

ON LANDS FUNDAMENTAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

Oleh

Nama : Pia Sutiana

NIM : 31613800

Program Kekhususan : Hukum Bisnis

Dosen Pembimbing : Hetty Hassanah, S.H., M.H..

NIP. 4127.33.00.005

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG

(2)

iv

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan

Surat Pernyataan

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iv

Abstrak ... vi

Abstract ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Maksud dan Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian ... 6

E. Kerangka Pemikiran ... 6

F. Metode Penelitian ... 12

BAB II TINJUAN TEORI HAK-HAK ATAS TANAH DAN ASAS PERLEKATAN VERTIKAL DALAM HUKUM PERTANAHAN A. Ruang Lingkup Hak-Hak Tanah ... 16

B. Asas Perlekatan Vertikal dan Asas Pemisahan Horizontal ... 40

BAB III PENERAPAN ASAS PERLEKATAN VERTIKAL DALAM PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA A. Prosedur perolehan Hak-Hak Atas Tanah di Indonesia ... 47

B. Penerapan Asas Perlekatan Vertikal dan Asas Pemisahan Horizontal dalam Perolehan Hak Atas Tanah ... 57

(3)

v

BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG ASAS PERLEKATAN VERTIKAL DALAM KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG POKOK-POKOK AGRARIA

A. Keabsahan Kepemilikan Hak Atas Tanah Berdasarkan Asas

Perlekatan Vertikal Dihubungkan Dengan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria ... 62

B. Akibat Hukum Penerapan Asas Perlekatan Vertikal Terhadap

Kepemilikan Hak Atas Tanah Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria ... 65

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ... 69

B. Saran ... 70

Daftar Pustaka

(4)

Buku-Buku :

A. P. Parlindungan. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, CV. Mandar Maju. Bandung. 1998.

_______________. Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah, PT. Alumni, Bandung, 1985.

_______________. Pendaftaran Tanah di Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1999.

Bambang Eko Supriyadi. Hukum Agraria Kehutanan. Rajawali Pers. Jakarta. 2013.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, PT. Djambatan, Jakarta, 1997.

___________, Hukum Agraria Indonesia Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, PT. Djambatan, Jakarta, 1997.

Djuhaendah Hasan, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Alumni, Bandung, 1980

Eddy Ruchiyat. Politik Pertanahan. Alumni. Bandung. 1995.

Kleyin dalam Djuhaendah Hasan, Ichtisar Hukum Benda Belanda, Compedium

Hukum Belanda, Alumni, Bandung, 2007.

Mahadi. Hukum Benda Dalam Sistem Hukum Perdata Nasional. Binacipta. Bandung. 1983

Notonagaro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, CV. Pancuran Tujuh ,Jakarta, 1974

Otje Salman Soemadiningrat dan Anton F. Susanto. Teori Hukum. Refika Aditama. Bandung. 2004.

Riduan Syahrani. Asas-Asas Dan Seluk Beluk Hukum Perdata. Alumni. Bandung. 1992.

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Alumni. Bandung. 1998.

(5)

Burgerlijk Wetboek

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

(6)

DATA PRIBADI

1. Nama Lengkap : Pia Sutiana

2. Tempat, Tanggal Lahir : Sukabumi, 24 November 1986

3. Jenis Kelamin : Laki-Laki

4. Alamat : Loji Ciracap, Sukabumi

PENDIDIKAN FORMAL

1. 1994 - 2000 : SDN IV Ciracap

2. 2000 - 2003 : SMPN I Ciracap

(7)
(8)

i

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.

Segala puji serta syukur Penulis panjatkan kepada Allah S.W.T. yang

telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya, shalawat serta salam semoga

tercurahkan kepada Nabi besar kita Muhammad S.A.W., bahwa Penulis masih

diberikan kesempatan untuk dapat mensyukuri segala nikmat-Nya, berkat taufik

dan hidayah-Nya, Penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul

“ANALISIS HUKUM TENTANG ASAS PERLEKATAN VERTIKAL DALAM

KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG POKOK-POKOK AGRARIA”

Penulis sangat menyadari bahwa dalam pembuatan penulisan skripsi ini

masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi substansi maupun sistematika

pembahasan dan tata bahasa, sehingga kiranya masih banyak yang perlu

dipahami dan diperbaiki. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang

insya Allah dengan kritik dan saran tersebut, diharapkan dapat memperbaiki

kekurangan dikemudian hari.

Pada proses penyusunan skripsi ini, Penulis mendapatkan bantuan dan

dukungan dari banyak pihak, khususnya Kedua Orang Tua Penulis atas doa dan

dukungannya. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih dengan penuh

rasa hormat kepada Ibu Hetty Hassanah, S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing

yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan kesabarannya untuk

membimbing dalam penelitian dan penulisan Skripsi ini, selain itu dalam

(9)

1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, Msc. selaku Rektor

Universitas Komputer Indonesia;

2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Umi Narimawati, Dra. S.E., M.Si. selaku Wakil

Rektor I Universitas Komputer Indonesia;

3. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E., M.S., A.K. selaku Wakil

Rektor II Universitas Komputer Indonesia;

4. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Aelina Surya, selaku Wakil Rektor III Universitas

Komputer Indonesia;

5. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Komputer Indonesia;

6. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Ilmu

Hukum Universitas Komputer Indonesia;

7. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum. selaku Dosen Fakultas

Hukum Universitas Komputer Indonesia;

8. Yth. Ibu Febilita Wulan Sari, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas

Hukum Universitas Komputer Indonesia;

9. Yth. Bapak Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas

Hukum Universitas Komputer Indonesia;

10. Yth. Ibu Farida Yulianti, S.H., S.E., M.M. selaku Dosen Fakultas

Hukum Universitas Komputer Indonesia;

11. Yth. Ibu Yani Brilyani Tapivah, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas

Hukum Universitas Komputer Indonesia;

12. Yth. Ibu Rika Rosilawati, A.Md. selaku Staff Administrasi Fakultas

(10)

13. Yth. Bapak Muray selaku Karyawan Fakultas Hukum Universitas

Komputer Indonesia;

14. Sahabat dan Teman-teman terdekat Peneliti yang tidak dapat

disebutkan satu persatu.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Arif Rahman, Arman

Marlando, dan Dian Pratama Sandi, kemudian kepada teman-teman

seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia yaitu Jajang

Supriatna, Rizky Adiputra, Rhamdan Maulana, Widia Magdewijaya, Farhan Aziz,

Ricky Haryanto Nugroho, Meiza Soraya Khaerunnisa, Ivan Rynaldi Setiawan,

Adek Wahyudin, Wiko Putra Dhiarta, Fitria Yanuari, Endang Mukti Aristanti dan

Mochamad Baasith Awaludin yang selalu mendukung dan memberi semangat

dalam menyelesaikan Skripsi ini. Semoga segala sesuatu dan pengorbanan yang

ditujukan dan diberikan baik moril maupun materil kepada Peneliti, mendapatkan

imbalan yang berlipat ganda dari Allah S.W.T. Yang Maha Pengasih dan Maha

Penyayang serta berada dalam perlindungan-Nya.

Akhir kata Penulis mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya

kepada Allah S.W.T., karena atas ijin-Nya Penulis dapat menyelesaikan

Penulisan Skripsi ini. Semoga Skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan

peneliti sendiri.

Wassalammualaikum wr.wb.

Bandung, Agustus 2014

(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Sejak Indonesia merdeka, ada banyak hal di bidang hukum yang menjadi

agenda pemerintah Indonesia untuk segera dibenahi, antara lain hukum

pertanahan. Berbicara mengenai tanah di Indonesia tidak dapat dilepaskan

dari pengaruh hukum adat yang sudah berlaku sejak dahulu kala dan diyakini

masyarakat adat di setiap daerah di wilayah nusantara sebagai salah satu

hukum adat meskipun bentuknya tidak tertulis. Tanah menurut hukum adat di

Indonesia pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat magis religius,

karena tanah dianggap sebagai asal mula kehidupan dan tempat kembalinya

kehidupan di dunia ini, sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan

tanah dianggap terpisah perlakuannya dengan tanah tersebut.

Berbicara mengenai hukum pertanahan di Indonesia dibagi menjadi 2

(dua) masa, yakni masa sebelum dan setelah lahirnya Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pada masa

sebelum lahirnya UUPA, ada beberapa hukum pertanahan yang berkembang

di Indonesia, seiring dengan kondisi masyarakat Indonesia yang dibagi-bagi

oleh pemerintah Belanda yang saat itu menjajah Indonesia. Berdasarkan

Pasal 163 juncto Pasal 131 IS, penduduk yang tinggal di Indonesia (Hindia

Belanda) dibagi menjadi tiga golongan, yaitu :

1. Golongan Eropa;

2. Golongan Bumiputera; dan

(12)

Pasal 131 IS menentukan hukum yang berlaku untuk masing-masing

golongan penduduk. Bagi golongan Eropa, berlaku hukum yang berlaku di

negeri Belanda, bagi golongan Bumi Putera dan Timur Asing berlaku hukum

adatnya masing-masing, apabila kepentingan mereka menghendakinya maka

hukum untuk golongan Eropa dapat dinyatakan berlaku bagi mereka.

Golongan Eropa terdiri dari orang-orang Belanda dan orang-orang Eropa

lainnya yang tinggal di Indonesia. Golongan Bumiputera meliputi orang-orang

Indonesia asli yang tidak beralih menjadi orang golongan Eropa ataupun

golongan Timur asing, sedangkan golongan Timur asing merupakan

kumpulan orang-orang yang bukan golongan Eropa ataupun golongan

Bumiputera, seperti orang Tionghoa maupun bukan Tionghoa misalnya orang

Arab, Pakistan, Jepang dan sebagainya yang tinggal di Indonesia. Hukum

pertanahan yang berlaku bagi golongan Eropa adalah hukum pertanahan

Belanda yang termuat dalam Buku II Burgerlijk Wetboek dan beberapa

ketentuan pertanahan lain dari Ratu Belanda di luar Buku II Burgerlijk

Wetboek yang berlaku di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Hukum

pertanahan yang berlaku bagi golongan Bumiputera adalah hukum

pertanahan dalam hukum adat masing-masing daerah, kecuali terhadap

orang-orang Bumiputera yang menundukan diri atau berhubungan dengan

golongan Eropa. Bagi golongan Timur asing berlaku hukum pertanahan yang

sesuai dengan kebutuhan saat itu dimungkinkan berlaku hukum adat

golongan Bumiputera atau hukum pertanahan Belanda.

Ketentuan hukum pertanahan di luar Buku II Burgerlijk Wetboek sebagai

ciri politik pertanahan yang berlaku sebelum Indonesia merdeka yaitu

(13)

Agrarisch Wet (AW) tahun 1870, Agrarisch Besluit dan sebagainya. Agrarisch

Wet tahun 1870 merupakan Undang-Undang Pertanahan yang diberlakukan

di daerah-daerah yang dikuasai langsung oleh pemerintah Hindia Belanda

atau disebut Gubernemen (Rechtstreek bertuurd gebied) dan tidak berlaku

bagi daerah yang tidak dikuasai secara langsung (Indirect bestuur gebied).1.

Agrarisch Besluit merupakan sebuah Keputusan Agraria sebagai ketentuan

pelaksana Agrarisch Wet, ada sebuah asas dalam Agrarisch Besluit yang

diberlakukan di Indonesia (Hindia Belanda) dan dianggap sangat merugikan

golongan Bumiputera, yaitu asas Domein Verklaring sebagaimana termuat

dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit di atas yang menentukan bahwa setiap

bidang tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikan hak eigendomnya

adalah domein atau milik negara.

Melihat beberapa politik pertanahan pada masa penjajahan Belanda

sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang

Pokok-Pokok Agraria, menggambarkan adanya sifat liberalistik dan pluralistik

ketentuan hukum pertanahan di Indonesia, dan ketentuan tersebut masih

tetap berlaku sampai Indonesia merdeka sekalipun berdasarkan Pasal II

Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi ;

“Semua lembaga Negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk

melaksakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang

baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”

Lembaga negara dan peraturan yang ada masih tetap berlaku sebelum

diadakan yang baru menurut Undang Dasar 1945, lahirnya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya

1

(14)

akan disebut sebagai (UUPA), menimbulkan beberapa akibat hukum terkait

dengan hukum pertanahan di Indonesia, antara lain tidak berlakunya lagi

ketentuan pertanahan yang termuat dalam Buku II Burgerlijk Wetboek,

Agrarisch Wet, Agrarisch Besluit dan berbagai peraturan pertanahan yang

dibuat pemerintah Belanda untuk diberlakukan di Indonesia (Hindia Belanda)

selama dan sepanjang telah diatur dalam UUPA, sesuai dengan asas Lex

posterior derogat legi priori yang artinya bahwa peraturan yang lama akan

mengesampingkan peraturan yang baru.

Berbagai hal yang berubah dalam ketentuan pertanahan di Indonesia

setelah lahirnya UUPA, termasuk beberapa hal yang berhubungan dengan

tanah dan kepemilikannya, adanya UUPA telah mengubah pula politik

pertanahan yang melahirkan adanya unifikasi hukum pertanahan, antara lain

dengan dihapuskannya pembagian golongan penduduk di Indonesia, karena

berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :

“Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintah dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak

kecualinya.”

semua warga negara di Indonesia memiliki kedudukan yang sama di depan

hukum dan pemerintahan.

Kepemilikan atas tanah setelah lahirnya UUPA tidak terlepas dari

beberapa asas yang diatur dalam UUPA tersebut. Pada dasarnya UUPA

menganut dan meresapi hukum adat dalam hal pertanahan, sehingga ada

beberapa hal yang berubah seperti berubahnya asas perlekatan vertikal

terkait kepemilikan tanah menurut Buku II Burgrelijk Wetboek menjadi asas

(15)

atas, tidak disertai dengan pelaksanaan yang tepat dalam bidang

pertanahan. Pada prakteknya, kepemilikan atas tanah di Indonesia saat ini

masih mengikuti asas perlekatan vertikal yang seharusnya sudah tidak

berlaku lagi. Kondisi seperti ini menimbulkan beberapa masalah terkait

dengan kepemilikan atas tanah tersebut. Penulis tertarik untuk meneliti

masalah ini, dan selanjutnya dituangkan ke dalam tulisan ilmiah berbentuk

skripsi dengan judul “Analisis Hukum Tentang Asas Perlekatan Vertikal

dalam Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria” B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada bagian

sebelumnya, maka ada beberapa permasalahan hukum yang muncul, yakni :

1. Bagaimana keabsahan hak atas tanah berdasarkan asas perlekatan

vertikal menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang

Pokok-Pokok Agraria?

2. Akibat hukum apa yang timbul dengan adanya penerapan asas

perlekatan vertikal terhadap kepemilikan hak atas tanah di Indonesia

saat ini dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

Tentang Pokok-Pokok Agraria ?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

Adapun maksud dan tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan mengkaji keabsahan hak atas tanah

berdasarkan asas perlekatan vertikal menurut Undang-Undang

(16)

2. Untuk mengetahui dan mengkaji akibat hukum yang timbul dengan

adanya penerapan asas perlekatan vertikal terhadap kepemilikan hak

atas tanah di Indonesia saat ini Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

Tentang Pokok-Pokok Agraria.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah:

1. Secara Teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat digunakan bagi

pengembangan ilmu hukum, khususnya bidang hukum pertanahan

berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang

Pokok-Pokok Agraria.

2. Secara praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan

masukan bagi pihak yang berwenang dalam membuat dan atau

memperbaharui peraturan perundang-undangan mengenai hukum

pertanahan khususnya terkait dengan kepemilikan atas tanah di

Indonesia.

E. Kerangka Pemikiran

Hukum pertanahan di Indonesia merupakan salah satu bidang yang

sering menimbulkan masalah sampai saat ini, walaupun telah ada unifikasi

atau keseragaman hukum yang berlaku tentang pertanahan tersebut dengan

lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok

Agraria (UUPA). Ketentuan hukum pertanahan sebelum Indonesia merdeka

diatur berdasarkan pembagian golongan penduduk sebagaimana diatur

dalam Pasal 163 juncto Pasal 131 IS yang membagi golongan penduduk

(17)

Ketentuan hukum pertanahan setelah Indonesia merdeka, sesuai Pasal II

Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :

“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,

selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”

Ketentuan hukum pertanahan di Indonesia tidak terlepas dari alinea

kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa :

“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah

kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan

rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara

Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”

Konsep pemikiran utilitarianisme dari Jeremy Bentham yang menyatakan

The great happiness for the greatest number” tampak melekat pada alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di atas, terutama pada

makna adil dan makmur2. Tujuan hukum pada dasarnya adalah memberikan

kesejahteraan bagi masyarakat, secara yuridis hal ini ditentukan oleh

seberapa besar kemampuan hukum dalam hubungannya dengan fungsi

nama domain tersebut dapat memberikan kemanfaatan kepada masyarakat.

Pelaksanaan tujuan negara yang diamanatkan dalam alinea keempat

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan :

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan

umum, …”

2 Otje Salman Soemadiningrat dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama,

(18)

Amanat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

tersebut merupakan konsekuensi hukum yang mengharuskan pemerintah

tidak hanya melaksanakan tugas pemerintahan saja, melainkan juga

kesejahteraan sosial melalui pembangunan nasional. Kata “melindungi”

mengandung asas perlindungan hukum bagi segenap bangsa Indonesia

untuk mencapai keadilan.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

“NegaraIndonesia adalah negara hukum.”

Kegiatan yang dilakukan di negara Indonesia harus sesuai dengan aturan

yang berlaku, tidak terkecuali dalam hal pelaksanaan kegiatan perekonomian

khususnya kegiatan bisnis melalui penggunaan nama domain. Pelaksanaan

pembangunan dalam kegiatan perekonomian dijabarkan melalui Pasal 33

ayat (1) dan (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :

Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945

“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan.”

Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945

“Perekonomian nasianal diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi

dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan

berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan

kemajuan adan kesatuan nasional.”

Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :

“Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan

(19)

Persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di hadapan

hukum, menandakan tidak berlakunya lagi ketentuan mengenai pembagian

golongan penduduk di atas, sehingga tercipta keseragaman atau unifikasi

hukum. Berbicara mengenai kepemilikan atas tanah tidak terlepas dari

ketentuan hukum yang mengaturnya, lahirnya Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), maka ketentuan hukum

pertanahan dalam Buku II Burgerlijk Wetboek sepanjang telah diatur dalam

UUPA menjadi tidak berlaku lagi. Kepemilikan atas tanah merupakan

penjelmaan dari hak-hak atas tanah dan dapat dilihat berdasarkan Pasal 16

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria yang

berbunyi :

“Hak-hak atas tanah sebagi yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah:

a. Hak milik;

b. Hak guna usaha;

c. Hak guna bangun;

d. Hak pakai;

e. Hak sewa

Pasal 4 ayat (1) UUPA

“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal

2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta bada -badan hukum.”

Berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang

Pokok-Pokok Agraria. Menyebutkan hak-hak atas tanah tersebut, yaitu :

1. Hak Milik diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

(20)

“Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat

dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6.”

Pasal 6 UUPA :

“Semua hak katas tanah mempunyai fungsi social.”

2. Hak Guna Usaha diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria yang berbunyi :

Pasal 28 UUPA

“Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang

dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana

tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian perikanan atau

peternakan.”

Pasal 29 ayat (1) UUPA :

“Hak guna usaha diberikan untuk waktu paling 25 tahun”.

Pasal 29 ayat (2) UUPA :

“Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat

diberikan hak guna usaha untuk waktu yang lebih lama 35 tahun.”

Pasal 29 ayat (3) UUPA :

“Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan

perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) ayat (2)

pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang paling 25 tahun.”

3. Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria yang berbunyi :

“Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan memiliki

bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan

(21)

4. Hak Pakai diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria yang berbunyi :

“Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajibanyang ditentukan dalam keputusan pemberiannya atau dalam perjanjian dengan pemiliktanahnya,yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.”

Beberapa hal yang mengalami perubahan atas kepemilikan atas tanah

yang terdapat dalam UUPA ini apabila dibandingkan dengan ketentuan

mengenai kepemilikan atas tanah sebagaimana diatur dalam Buku II

Burgerlijk Wetboek ataupun ketentuan pertanahan lainnya yang diberlakukan

sebelum lahirnya UUPA, secara yuridis formil salah satu perubahan

termaksud adalah mengenai asas yang diberlakukan dalam kepemilikan atas

tanah itu. Asas yang dianut dalam hukum pertanahan pada Buku II Burgerlijk

Wetboek adalah asas perlekatan vertikal, yaitu asas yang menganggap

segala sesuatu yang berdiri dan melekat di atas tanah merupakan satu

kesatuan dengan tanah itu, sedangkan asas yang dianut dalam UUPA adalah

asas pemisahan horizontal, yaitu asas yang memisahkan kepemilikan atas

tanah dengan segala sesuatu yang ada di atasnya. Pada kenyataannya,

kepemilikan atas tanah saat ini, masih menggambarkan asas perlekatan

vertikal.

Asas perlekatan vertikal diatur dalam Pasal 571 Burgerlijk Wetboek yang

berbunyi :

“Hak milik atas sebidang tanah mengandung didalamnya, kepemilikan atas

segala apa yang ada di atasnya dan didalam tanah.”

(22)

benda tidak bergerak sebagai benda pokok, maka benda-benda yang

melekat pada benda pokok tersebut, secara yuridis harus dianggap sebagai

bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya. Asas pemisahan

horizontal merupakan asas yang memisahkan kepemilikan atas tanah

dengan segala sesuatu yang berdiri dan tertancap di atasnya.

Sistem kepemilikan atas tanah dalam Buergerlijk Wetboek, asas

perlekatan vertikal diterapkan dalam hak milik atas tanah sehingga bukti

kepemilikan atas tanah dapat membuktikan sekaligus kepemilikan segala

sesuatu yang berdiri dan tertanam di atas tanah itu, sedangkan bukti

kepemilikan atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA yang bersumber

dari hukum adat seharusnya menggunakan asas pemisahan horizontal,

artinya bukti kepemilikan atas tanah tidak serta merta menjadi bukti

kepemilikan atas segala sesuatu yang berdiri dan tertancap di atasnya.

Pemerintah Indonesia masih menerapkan asas perlekatan vertikal dalam

kaitannya dengan pembuktian hak atas tanah tersebut, walaupun telah

muncul kepemilikan untuk rumah vertikal/bersusun sebagai perwujudan dari

penerapan asas pemisahan horizontal.

F. Metode Penelitian

Pada penelitian ini, Peneliti menggunakan metode-metode sebagai

berikut :

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis, yaitu

menggambarkan fakta-fakta secara sistematis berupa data sekunder

bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

(23)

yaitu pendapat para ahli (doktrin) yang berkaitan dengan kepemilikan

atas tanah serta data sekunder bahan hukum tertier seperti kamus

hukum.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan

yuridis normatif, dalam hal ini menguji dan mengkaji data sekunder

yang berkaitan dengan penerapan asas perlekatan vertikal dalam

kepemilikan atas tanah, pada tahap ini dilakukan penafsiran secara

gramatikal yaitu menafsirkan kata-kata dari peraturan

perundang-undangan yang relevan dengan kepemilikan atas tanah seperti dari

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria,

penafsiran hukum secara sistematis dengan menghubungkan

peraturan undangan yang satu dengan

perundang-undangan lainnya, penafsiran hukum otentik yang dapat dilakukan

dengan cara melihat penjelasan dari pembuat undang-undang itu

sendiri serta melakukan konstruksi hukum seperti argumentum a

contrario.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini dilakukan teknik pengumpulan data yang

dilakukan melalui dua tahap, yaitu :

a. Penelitian kepustakaan (library research), dalam hal ini Penulis

melakukan penelitian terhadap data sekunder bahan hukum

primer berupa peraturan perundang-undangan seperti

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria serta

(24)

Tanggungan dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

Tentang Pendaftaran Tanah. Penulis juga meneliti data sekunder

bahan hukum sekunder berupa karya-karya ilmiah para pakar di

bidang hukum serta ditunjang oleh penelitian terhadap data

sekunder bahan hukum tertier, seperti brosur-brosur mengenai

asas perlekatan vertikal kepemilikan atas tanah.

b. Penelitian lapangan (field research). Untuk menunjang dan

melengkapi studi kepustakaan, maka Peneliti juga melakukan

penelitian lapangan dengan cara melakukan wawancara

terstruktur (guide interview) dengan pihak atau instansi terkait

serta browsing melalui internet.

4. Metode Analisis Data

Seluruh data yang diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif. Dalam

hal ini analisis dilakukan dengan memperhatikan hierarki peraturan

perundang-undangan agar peraturan perundang-undangan yang satu

tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain

dan tercapainya kepastian hukum, serta menggali hukum yang hidup

dalam masyarakat.

5. Lokasi Penelitian

a. Perpustakaan :

1) Perpustakaan UNIKOM

2) Perpustakaan UNPAD

b. Internet

1) http://www.hukumonline.com/klinik/detail

(25)

3) http://intisarihukum.blogspot.com/

(26)

47

BAB III

PENERAPAN ASAS PERLEKATAN VERTIKAL DALAM

PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA

A. Prosedur Perolehan Hak-Hak Atas Tanah di Indonesia

Tanah merupakan elemen yang penting bagi kehidupan manusia, oleh

karena itu kepastian hukum hak atas tanah sangat diperlukan untuk

kepastian hukum, sehingga kepemilikan tanah perlu di daftarkan.

Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah dilakukan berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya

akan disebut sebagai PP No.10 Tahun 1961) yang telah berlaku sejak tahun

1961 dipandang memiliki substansi yang sudah tidak dapat lagi memenuhi

tuntutan zaman untuk memberikan kepastian atas pendaftaran tanah

tersebut. Pada tanggal 8 Juli 1997 pemerintah menetapkan dan

mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah (selanjutnya akan disebut sebagai PP No. 24 Tahun

1997) untuk menggantikan PP No. 10 Tahun 1961 tersebut. Berdasarkan

ketentuan peralihan dalam Pasal 66 PP No. 24 Tahun 1997, PP ini berlaku

tiga bulan sejak tanggal diundangkannya, berarti secara resmi mulai berlaku

diseluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 8 Oktober 1997 dengan Peraturan

Pelaksananya adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor

3 Tahun 1997 (selanjutnya akan disebut sebagai PerMen No. 3 Tahun 1997).

Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksana dari PP 10 Tahun 1961

(27)

diubah atau diganti berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 ini (Pasal 64 ayat (1)

)38.

PP No.24 Tahun 1997 yang menggantikan PP No. 10 Tahun 1961 ini

merupakan peraturan pelaksana dari amanat yang ditetapkan dalam Pasal

19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria (yang selanjutnya akan disebut UUPA) yang menegaskan

bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan

pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut

ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Asas perlekatan vertikal dan asas pemisahan horizontal merupakan asas

yang berkaitan dengan hak atas tanah yang dimulai dari proses pendaftaran

tanah tersebut. Asas perlekatan vertikal sebagaimana diketahui diatur dalam

Buku II BW sedangkan asas pemisahan horizontal pada dasarnya dianut

dalam hukum adat pertanahan di Indonesia yang kemudian diadopsi dalam

UUPA. Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang

Hak Tanggungan menyatakan bahwa penerapan asas pemisahan horizontal

tidak terjadi secara otomatis, tetapi dapat diterapkan apabila telah

diperjanjikan dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT).

Penggunaan asas pemisahan horizontal ini menerobos asas perlekatan

vertikal yang dianut dalam Buku II BW yang menentukan bahwa semua

benda yang melekat dengan tanah dianggap sebagai satu kesatuan dengan

tanahnya, oleh sebab itu, apabila tanahnya dijual atau dijaminkan, maka

sekaligus berikut dengan segala benda yang ada/berdiri di atasnya.

(28)

Pengertian pendaftaran tanah/ajudikasi menurut Pasal 1 angka 8

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

yang berbunyi :

“Ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses

pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan

kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek

pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.”

Kegiatan ajudikasi pendaftaran tanah tersebut merupakan prosedur

khusus yang dilakukan untuk pemberian status hukum atas bagian-bagian

tanah kepada pemilik yang benar-benar berwenang. Berdasarkan pasal 19

ayat (2) UUPA yang berbunyi :

“Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini meliputi :

a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat.”

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 PP No. 24 Tahun 1997 yang berbunyi :

“Pendaftaran tanah yaitu rangkaian kegiatan yang di lakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan pengkajian serta pemeliharaan data spesifik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termaksud pemberian surat tanda buktinya bagi bidang-bidang tanah yang sudah haknya dan hak miliknya atas rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”

Pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik, yang pada umumnya

bersifat masal dan besar-besaran, maka untuk melaksanakannya Kepala

Kantor Pertanahan dibantu oleh Panitia Ajudikasi yang dibentuk khusus untuk

(29)

rutin Kantor Pertanahan tidak terganggu. Dalam melaksanakan tugasnya,

Panitia Ajudikasi dibantu oleh satuan tugas pengukuran dan pemetaan,

satuan tugas pengumpul data yuridis dan satuan tugas administrasi yang

bertugas, susunan dan kegiatannya diatur Menteri. Pada intinya tugas

ajudikasi ini adalah tugas investigasi yang meneliti dan mencari kebenaran

formal bukti, yakni data-data yuridis awal yang dimiliki pemegang hak atas

tanah, dan tugas justifikasi, yaitu membuat penetapan dan pengesahan bukti

yang sudah diteliti tersebut. Walaupun tugas ajudikasi ini sebenarnya adalah

tugas lembaga peradilan yaitu memberikan keputusan atau putusan, akan

tetapi, dalam pendaftaran tanah tugas ajudikasi tersebut diberikan kepada

pemerintah selaku eksekutif. Kegiatan ajudikasi pendaftaran tanah ini, jika

dilakukan dengan sungguh-sungguh akan sangat mendukung dalam

percepatan pendaftaran tanah dan dapat menjamin kepastian hukum39.

Dasar hukum pendaftaran tanah adalah sebagai berikut :

1. Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA).

2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah.

3. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah.

4. Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksana dari Peraturan

Pemerintah No. 10 Tahun 1961.

5. Peraturan Menteri Agraria/kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang

ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah.

(30)

Pendaftaran tanah memiliki beberapa tujuan antara lain diatur dalam

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran

Tanah yang berbunyi :

“Pendaftaran tanah bertujuan ;

a. Untuk memberi kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;

c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.”

Bidang-bidang tanah yang harus didaftarkan yaitu :

1. Hak milik.

7. Hak milik atas satuan rumah susun.

8. Hak tanggungan.

9. Tanah Negara. Pendaftaran tanah yang objeknya tanah Negara, di

lakukan pencatatan dalam daftar tanah dan tidak di terbitkan

sertifikatnya, sedangkan objek yang lainnya di daftar dengan

membukukannya dalam peta pendaftaran dan buku tanah serta

mengeluarkan sertifikatnya.

Terdapat beberapa instansi yang berperan dalam proses penyelenggara

(31)

1. Badan Pertanahan Nasional, sesuai ketentuan Pasal 19 UUPA dan

Pasal 5 PP No. 24 Tahun 1997 yakni bertindak sebagai

penyelenggara pelaksanaan pendaftaran tanah tersebut.

Pasal 19 UUPA :

“Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan

pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut

ketentuan-ketentuanyang diatur dengan peraturan pemerintah.”

Pasal 5 PP No. 24 Tahun 1997 :

“Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan

Nasional”.

2. Kepala Kantor Pertanahan, sesuai ketentuan Pasal 6 PP No. 24

Tahun 1997 yang berbunyi :

“Dalam rangka penyelenggaran pendaftaran tanah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 5 tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukakan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali kegiatan-kegiatan tertentu yang oleh peraturan pemerintah ini atau perundang-undang yang bersangkutan ditugaskan kepada pejabat lain.dalam hal ini bertindak sebagai pelaksana Pendaftaran Tanah kecuali mengenai kegiatan-kegiatan tertentu yang ditugaskan kepada pejabat lain.”

3. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang diatur dalam ketentuan

Pasal 1 Angka 24 PP No. 24 Tahun 1997 yang berbunyi

“Pejabat Penbuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah

Pejabat umum yang diberi kewenanganuntuk membuat akta-akta

tanah.”

Kegiatan PPAT membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam

melaksanakan kegiatan dibidang pendaftaran tanah, khususnya

(32)

4. Panitia Ajudikasi, diatur dalam Pasal 8 PP No. 24 Tahun 1997 yang

berrbunyi :

“Ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakn dalam rangka proses

pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan

penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau

beberapa objek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.”

Pendaftaran tanah, tidak terlepas dari sistem pendaftaran tanah itu sendiri

yaitu 40:

1. Sistem Publikasi Positif, yang dilakukan pendaftaran hak, harus ada

buku tanah dan sertifikat sebagai tanda bukti. Menurut sistem ini

bahwa pendaftaran tanah menjamin dengan sempurna, bahwa nama

yang terdaftar dalam buku tanah, tidak dapat dibantah, tidak dapat di

ganggu gugat, walaupun ternyata bukan dia pemilik yang sebenarnya

yang terdaftar dalam buku tanah atau sertifikat. Sistem publikasi

positif tidak berlaku di wilayah Indonesia.

2. Sistem Publikasi Negatif, yang mengatur bahwa apa yang tercantum

dalam buku tanah sertifikat tanah dianggap benar sampai dapat

dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (Tidak Benar) di muka

sidang pengadilan, yang mana dilakukan pendaftaran akta dan di sini

tidak menjamin, nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat di

bantah. Sistem Publikasi negatif ini berlaku di Indonesia yang secara

tegas terdapat dalam PP No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran

Tanah dan digantikan dengan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang

(33)

Pendaftaran Tanah sebagai pelaksanaan dari Pasal 19 UUPA No. 5

Tahun 1960.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pendaftaran tanah,

antara lain sebagai berikut 41:

1. Pendafataran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui

pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara

sporadik.

2. Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana

kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh

Menteri.

3. Pendaftaran tanah dalam suatu desa/kelurahan belum ditetapkan

sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik sebagaimana di

maksudkan pendaftaranya dilaksanakan melalui pendaftaran tanah

secara sporadik.

4. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan

pihak yang berkepentingan.

Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah

yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar.

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah 42:

1. Pengumpulan dan pengolahan data fisik, yang meliputi pengukuran

dan pemetaaan; pembuatan peta dasar pendaftaran; penetapan batas

bidang-bidang tanah; pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah

dan pembuatan peta pendaftaran; pembuatan daftar tanah, dan

pembuatan suarat ukur.

41 Ibid

(34)

2. Pembuktian hak dan pembukuannya, yang meliputi pembuktian hak

baru; pembuktian hak lama; pembukuan hak.

3. Penerbitan sertifikat.

4. Penyajian data fisik dan yuridis.

5. Penyimpanan daftar umum dan dokumen.

Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran

tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran

tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama

kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran

tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa

atau kelurahan. Pendaftaran tanah secara sistematik ini didasarkan pada

suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan

menteri, pada suatu wilayah belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran

tanah secara sistematik, maka pendaftarannya dilaksanakan melalui

pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran secara sporadik adalah

kegiatan pendafataran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau

beberapa objek pendafataran tanah dalam suatu wilayah secara individual

atau masal. Pendaftaran tanah secara sporadik ini tentunya dilakukuan atas

permintaan pihak yang berkepentingan, tanpa adanya suatu penetapan

terlebih dahulu dari menteri atas tanah tersebut.

Berdasarkan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

Tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi ;

“Pemiliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan

pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah

(35)

Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan

sebagaimana dimaksud pada Pasal 36 PP No. 24 Tahun 1997 kepada

Kantor Pertanahan. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah ini

dilakukan terhadap tanah-tanah yang sebelumnya sudah terdaftar.

Pendaftaran ini harus dilakukan ketika pihak yang memiliki tanah tesebut

ingin memindahkan haknya melalui jual beli, tukar menukar, hibah, dan

perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui

lelang yang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat

oleh PPAT. Kegiatan pemeliharaan data pendafataran tanah meliputi :

1. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak.

2. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya.

Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana

kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri,

dalam hal suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah

pendaftaran tanah secara sistematik sebagaimana pendaftarannya

dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sporadik, sedangkan

pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang

berkepentingan. Pemeliharaan data tanah (maintenance) merupakan

kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis

dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah

dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Kegiatan

pemeliharaan data tanah meliputi: pendaftaran peralihan dan pembebanan

hak serta pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya. Data fisik

adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan

(36)

bangunan atau bagian bangunan di atasnya, sedangkan data yuridis meliputi

keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun

yang didaftar, pemegang haknya, dan hak pihak lain serta beban-beban lain

yang membebaninya.

B. Penerapan Asas Perlekatan Vertikal dan Pemisahan Horizontal Dalam Perolehan Hak Atas Tanah

Tanah sebagai elemen penting dalam kehidupan manusia, tidak terlepas

dari berbagai ketentuan hukum yang mengaturnya. Sejarah hukum

pertanahan di Indonesia memperlihatkan keanekaragaman ketentuan hukum

yang mengatur bidang pertanahan, mulai dari politik pertanahan yang

disesuaikan dengan pembagian golongan penduduk sampai lahirnya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria.

Pembagian golongan penduduk sebelum Indonesia merdeka,

menyebabkan timbulnya pluralisme pengaturan hukum pertanahan di

Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 163 juncto Pasal 131 IS, penduduk

di Indonesia saat itu dibagi menjadi tiga golongan yaitu :

1. Golongan Eropa, terhadap golongan ini berlaku hukum perdata barat

yang diberlakukan Belanda di Indonesia termasuk ketentuan

mengenai pertanahannya, sebagaimana diatur dalam Buku II BW dan

beberapa peraturan yang dibuat oleh pemerintah Belanda di

Indonesia saat itu;

2. Golongan Timur Asing, terhadap golongan ini berlaku ketentuan

hukum pertanahan yang termuat dalam Buku II BW, sama dengan

(37)

3. Golongan Bumiputera, terhadap golongan ini berlaku ketentuan

hukum adat untuk masalah pertanahannya.

Pada saat Indonesia merdeka, yang serta merta dihapuskannya

pembagian golongan penduduk sesuai asas persamaan hukum berdasarkan

Undang-Undang Dasar 1945, akhirnya lahirlah Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang menjadi unifikasi

hukum pertanahan di Indonesia. Mengalami perubahan dalam ketentuan

pertanahan sebelum dan setelah lahirnya UUPA. Politik pertanahan yang

bersifat liberal dan individualistis tersirat dalam hukum pertanahan yang

diatur dalam Buku II BW, termasuk beberapa asas yang mendasari hukum

pertanahan saat itu, antara lain :

1. Asas domein verklaring, yang menyebutkan bahwa setiap bidang

tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan Buku

II BW, maka tanahnya akan jatuh kepada negara 43;

2. Asas perlekatan vertikal, yang mengatur bahwa setiap kepemilikan

bidang tanah secara otomatis membuktikan pula kepemilikan atas

segala sesuatu yang berada di atasnya, seperti bangunan, pohon dan

sebagainya.

Asas domein verklaring menyebabkan tanah-tanah yang dimiliki

berdasarkan hukum adat beralih pada penguasaan negara (Hindia Belanda),

hal ini mengakibatkan secara bertahap banyak golongan Bumiputera yang

selanjutnya menyatakam menundukan diri kepada hukum pertanahan yang

berlaku bagi golongan Eropa yakni Buku II BW dan berbagai pertauran

lainnya.

(38)

Asas perlekatan vertikal yang dianut dalam Buku II BW mengatur bahwa

bukti kepemilikan atas tanah sekaligus menjadi bukti kepemilikan atas segala

sesuatu yang ada di atasnya, sampai saatnya lahir UUPA, asas perlekatan

vertikal berubah menjadi asas pemisahan horizontal yaitu asas yang

memisahkan kepemilikan atas tanah dengan segala sesuatu yang ada di

atasnya. Bukti hak atas tanah tidak serta merta menjadi bukti kepemilikan

segala sesuatu yang ada diatas tanah itu, kecuali atas keadaan khusus

sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

Tenatang Hak Tanggungan yang berbunyi :

“Apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempu

hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui

pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil

penjualan tersebut.”

Terkait dengan Akta pembebanan Hak Tanggungan, bahwa bukti hak

atas tanah dapat dianggap sebagai bukti kepemilikan segala sesuatu yang

berdiri diatas tanah tersebut. Pada prakteknya, bukti kepemilikan hak atas

tanah yang berlaku di Indonesia saat ini adalah sertifikat hak atas tanah baik

Sertifikat Hak Milik, Sertifikat Hak Guna Usaha, Sertifikat Hak Guna

Bangunan ataupun Sertifikat Hak Pakai. Berdasarkan asas pemisahan

horizontal yang dianut dalam UUPA, bukti kepemilikan hak atas tanah

termaksud tidak serta merta menjadi bukti kepemilikan segala sesuatu yang

berdiri di atas tanah tersebut, namun sampai saat ini bukti kepemilikan hak

atas tanah ini selalu dianggap menjadi bukti kepemilikan atas apapun yang

berdiri di atas tanah itu, berarti kondisi ini tidak menggambarkan penerapan

(39)

seharusnya diterapkan, tetapi masih menunjukan penerapan asas perlekatan

vertikal atas sertifikat tanah termaksud.

Penerapan asas perlekatan vertikal terjadi di setiap bukti kepemilikan hak

atas tanah di Indonesia, kecuali kepemilikan atas satuan rumah strata title

seperti apartemen atau rumah susun, telah menggambarkan adanya

penerapan asas pemisahan horizontal, karena bukti kepemilikan atas satuan

rumah susun atau apartemen tersebut tidak serta merta menjadi bukti

kepemilikan atas tanah dimana rumah susun atau apartemen itu didirikan.

Apartemen atau rumah susun didirikan di atas tanah hak guna bangunan,

hak milik atau hak pakai, selanjutnya, hak atas tanah tersebut menjadi hak

bersama dari pemilik setiap satuan unit apartemen atau rumah susun itu, dan

dikuasai oleh pengelola rumah susun atau apartemen termaksud. Dengan

demikian tanah tempat dimana apartemen atau rumah susun itu didirikan

tidak dapat dijadikan jaminan hak tanggungan ke lembaga perbankan, namun

demikian bukti kepemilikan atas satuan unit apartemen atau rumah susunnya

dapat dijadikan jaminan hak tanggungan ke lembaga keuangan atau

perorangan, pada prakteknya saat ini, bukti kepemilikan hak atas tanah yang

selalu dijadikan jaminan hak tanggungan adalah sertifikat hak atas tanah

yang menggambarkan adanya penerapan asas perlekatan vertilal karena

sertifikat atas tanah itu dianggap satu kesatuan menjadi bukti kepemilikan

atas segala sesuatu yang berdiri di atas tanah tersebut, sementara itu

Sertifikat bukti kepemilikan atas satuan unit apartemen atau rumah susun

merupakan perwujudan dari asas pemisahan horizontal sebagaimana dianut

(40)

Kondisi di atas menjadi hal yang harus dibenahi oleh pemerintah

Indonesia, agar terdapat kepastian hukum atas hak milik benda (tidak

bergerak) sesuai asas yang seharusnya diterapkan sebagaimana diatur

dalam UUPA dan tercipta ketertiban administrasi dalam hal pembuktian

(41)

62

VERTIKAL DALAM KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH DI

INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG POKOK-POKOK

AGRARIA

A. Keabsahan Kepemilikan Hak Atas Tanah Berdasarkan Asas Perlekatan Vertikal Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria

Berbicara tentang hak-hak atas tanah tidak terlepas dari pembahasan

mengenai ketentuan hukum yang berlaku di bidang pertanahan, baik

sebelum maupun setelah lahirnya UUPA. Pembagian golongan penduduk di

Indonesia sebelum Indonesia merdeka menggambarkan pluralisme peraturan

yang diberlakukan termasuk ketentuan hukum pertanahannya. Pembagian

golongan penduduk tersebut adalah :

1. Golongan Eropa, terhadap golongan ini berlaku hukum perdata barat

yang diberlakukan Belanda di Indonesia termasuk ketentuan

mengenai pertanahannya, sebagaimana diatur dalam Buku II BW dan

beberapa peraturan yang dibuat oleh pemerintah Belanda di

Indonesia saat itu;

2. Golongan Timur Asing, terhadap golongan ini berlaku ketentuan

hukum pertanahan yang termuat dalam Buku II BW, sama dengan

golongan Eropa berdasarkan asas konkordansi;

3. Golongan Bumiputera, terhadap golongan ini berlaku ketentuan

(42)

Ketentuan hukum setelah Indonesia merdeka, yang serta merta

dihapuskannya pembagian golongan penduduk sesuai asas persamaan

hukum berdasarkan Undang Dasar 1945, akhirnya lahirlah

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang

menjadi unifikasi hukum pertanahan di Indonesia.

Asas dalam hukum pertanahan yang mengalami perubahan dalam

pengaturannya, setelah lahirnya UUPA, antara lain:

1. Asas domein verklaring, yang menyebutkan bahwa setiap bidang

tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan Buku

II BW, maka tanahnya akan jatuh kepada negara. Asas ini

menyebabkan tanah-tanah yang dimiliki berdasarkan hukum adat

beralih pada penguasaan negara (Hindia Belanda), hal ini

mengakibatkan secara bertahap banyak golongan Bumiputera yang

selanjutnya menyatakan menundukan diri kepada hukum pertanahan

yang berlaku bagi golongan Eropa yakni Buku II BW dan berbagai

peraturan lainnya.

2. Asas perlekatan vertikal, yang mengatur bahwa setiap kepemilikan

bidang tanah secara otomatis membuktikan pula kepemilikan atas

segala sesuatu yang berada di atasnya, seperti bangunan, pohon dan

sebagainya. Asas ini dianut dalam Buku II BW mengatur bahwa bukti

kepemilikan atas tanah sekaligus menjadi bukti kepemilikan atas

segala sesuatu yang ada di atasnya, sampai saatnya lahir UUPA.

Asas perlekatan vertikal berubah menjadi asas pemisahan horizontal

yaitu asas yang memisahkan kepemilikan atas tanah dengan segala

(43)

tidak serta merta menjadi bukti kepemilikan segala sesuatu yang ada

diatas tanah..

Asas perlekatan vertikal sebagaimana dianut dalam Buku II BW

merupakan asas yang mengakui kepemilikan hak atas tanah berikut segala

sesuatu yang berdiri di atasnya, namun setelah lahirnya UUPA maka segala

ketentuan mengenai pertanahan dalam Buku II BW, yang telah diatur dalam

UUPA menjadi tidak berlaku lagi. Begitu pula dengan asas perlekatan vertikal

yang dianut dalam Buku II BW, setelah lahirnya UUPA seharusnya menjadi

tidak berlaku lagi dalam kaitannya dengan perolehan hak atas tanah, karena

UUPA menganut asas pemisahan horizantal dalam perolehan hak atas

tanah. Namun demikian sampai dengan saat ini, bukti hak-hak atas tanah

yang dimiliki semua warga negara Indonesia setelah lahirnya UUPA masih

tetap menggambarkan penerapan asas perlekatan vertikal, walaupun telah

ada proses konversi hak atas tanah adat dan tanah barat menjadi

hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA.

Melihat kenyataan tersebut, keabsahan kepemilikan hak-hak atas tanah

termaksud menjadi suatu hal yang perlu dipikirkan. Sertifikat hak atas tanah

yang menjadi alat bukti kepemilikan atas hak atas tanah sekaligus menjadi

alat bukti atas segala sesuatu yang berdiri di atas tanah itu. Hal tersebut

merupakan perwujudan dari asas perlekatan vertikal yang seharusnya telah

tidak berlaku lagi saat ini. Kondisi ini disebabkan karena sampai saat ini

pemerintah belum mengubah fungsi sertifikat atas tanah tersebut. Perlu

waktu, sumber daya manusia dan sistem yang memadai untuk membenahi

(44)

Penerapan asas pemisahan horizontal sebagian telah diwujudkan dalam

kepemilikan satuan unit rumah strata title seperti susun atau apartemen,

namun untuk rumah permanen lainnya yang berbentuk horizontal masih

menggunakan sertifikat hak atas tanah sebagai wujud penerapan asas

perlekatan vertikal.

Berdasarkan penjelasan otentik Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996 Tentang Hak Tanggungan, menegaskan bahwa dalam pembuatan Akta

Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) pada sebuah penjaminan benda

tidak bergerak, berlaku asas pemisahan horizontal, namun apabila

kepentingan menghendakinya, maka sertifikat hak atas tanah dapat dijadikan

jaminan dan dianggap meliputi tanah berikut dengan segala sesuatu (benda

tidak bergerak) yang berdiri di atas tanah termaksud. Dengan demikian

sertifikat hak atas tanah yang dianggap sebagai alat bukti sah atas tanah

berikut segala sesuatu yang berdiri di atasnya dan merupakan perwujudan

dari asas perlekatan vertikal masih memiliki keabsahan secara hukum.

B. Akibat Hukum Penerapan Asas Perlekatan Vertikal Terhadap Kepemilikan Hak Atas Tanah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria

Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok

Agraria memberikan dampak timbulnya perubahan-perubahan dalam hukum

pertanahan di Indonesia. UUPA sebagai wujud unifikasi hukum pertanahan

menyerap hukum adat pertanahan yang ada di Indonesia dan selanjutnya

diakomodir dalam pasal-pasal pada UUPA tersebut, salah satu perubahan

(45)

berkaitan dengan kepemilikan hak atas tanah melalui pendaftaran tanah,

yaitu asas perlekatan vertikal dan asas pemisahan horizontal.

Asas perlekatan vertikal dianut dalam Buku II BW sebagai bagian dari

hukum pertanahan sebelum lahirnya UUPA, sementara itu asas pemisahan

horizontal merupakan asas yang dianut dalam UUPA berkaitan dengan

pemilikan hak atas tanah. Asas perlekatan vertikal sebagaimana diketahui

sebelumnya merupakan asas yang menganggap bahwa sertifikat hak atas

tanah merupakan alat bukti yang sah atas tanah berikut segala sesuatu yang

berdiri di atasnya. Asas pemisahan horizontal merupakan asas yang dianut

UUPA yang menganggap bahwa sertifikat hak atas tanah merupakan bukti

kepemilikan hak atas tanah dan tidak termasuk segala apapun yang berdiri

dan tertanam di atas tanah itu.

Asas perlekatan vertikal dan asas pemisahan horizontal sangat

berpengaruh dalam kaitannya dengan bukti kepemilikan hak atas tanah.

Bukti kepemilikan hak atas tanah diperoleh melalui proses pendaftaran tanah

ke kantor pertanahan setempat dimana tanah berada. Berdasarkan asas

perlekatan vertikal yang dianut oleh Buku II BW, sertifikat tanah sebagai bukti

kepemilikan hak atas tanah merupakan alat bukti pula bagi segala sesuatu

yang berdiri di atas tanah tersebut, sedangkan menurut asas pemisahan

horizontal yang dianut UUPA, bahwa sertifikat atas tanah sebagai bukti

kepemilikan hak atas tanah tidak menjadi alat bukti kepemilikan atas segala

sesuatu yang berada di atas tanah termaksud.

Pada prakteknya, sertifikat hak atas tanah yang dimiliki masyarakat

Indonesia saat ini, sekaligus menjadi alat bukti kepemilikan untuk segala

(46)

strata title seperti rumah susun atau apartemen yang mana sertifikat

kemepilikannya hanya meliputi kepemilikan atas satuan unit rumah susun

atau apartemennya saja, dan tidak termasuk bukti kepemilikan atas tanah

dimana rumah susun atau apartemen itu didirikan, dengan demikian ada

dualisme hukum atas kepemilikan hak atas tanah terkait alat buktinya.

Sebagian sertifikat hak atas tanah merupakan implementasi dari asas

perlekatan vertikal dan sebagaian sertifikat sebagai perwujudan dari asas

pemisahan horizontal. Proses pembuktian hukum atas bukti kepemilikan hak

atas tanah menjadi beranekaragam. Seseorang yang memiliki sertifikat hak

atas tanah secara serta merta menganggap dirinya adalah pemilik atas

segala benda tidak bergerak yang berdiri di atasnya, oleh karena itu,

peralihan hak atas tanah secara serta merta pula berikut segala sesuatu

yang berdiri di atas tanah itu. Berbeda dengan satuan unit rumah susun atau

apartemen, maka peralihan hak atas satuan unit rumah susun atau

apartemen tersebut tidak serta merta beserta tanah dimana bangunan itu

didirikan, karena tanahnya menjadi hak pengelolaan bersama.

Sertifikat hak atas tanah sebagai perwujudan asas perlekatan vertikal

sebagaimana dijelaskan di atas, namun dalam beberapa kondisi, untuk

kepentingan tertentu seperti hak tanggungan, debitur dapat meminta kepada

Notaris PPAT untuk memisahkan pertanggungan hak atas tanah dalam Akta

Permasangan Hak Tanggungan (APHT) dengan bangunan yang berdiri di

atasnya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yaitu :

(47)
(48)
(49)
(50)

TENTANG POKOK-POKOK AGRARIA

THE LEGAL ANALYSIS OF VERTICAL FORMATION PRINCIPLE ON THE LAND

RIGHT OWNERSHIP IN INDONESIA IN CORELATION WITH THE ACT NO.5 OF 1960

ON LANDS FUNDAMENTAL

ARTIKEL

Oleh

Nama : Pia Sutiana

NIM : 31613800

Program Kekhususan : Hukum Bisnis

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG

(51)

ABSTRAK

Analisis Hukum Tentang Asas Perlekatan Vertikal dalam Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria

Kepemilikan atas tanah tidak terlepas dari beberapa asas yang diatur dalam UUPA tersebut. Pada dasarnya UUPA menganut dan meresapi hukum adat, Ada beberapa hal yang berubah seperti berubahnya asas perlekatan vertikal terkait kepemilikan tanah menurut Buku II Burgrelijk Wetboek menjadi asas pemisahan horizontal yang dianut dalam hukum adat. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, maka ada beberapa permasalahan hukum yang muncul, yakni : Bagaimana keabsahan hak atas tanah berdasarkan asas perlekatan vertikal menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria Dan akibat hukum apa yang timbul dengan adanya penerapan asas perlekatan vertikal terhadap kepemilikan hak atas tanah di Indonesia saat ini dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria.

Untuk mencapai tujuan diatas, maka Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dalam hal ini menguji dan mengkaji data sekunder yang berkaitan dengan penerapan asas perlekatan vertikal dalam kepemilikan atas tanah pada tahap ini dilakukan penafsiran secara gramatikal yaitu menafsirkan kata-kata dari peraturan perundang-undangan. Penafsiran hukum secara sistematis dengan menghubungkan peraturan perundang-undangan yang satu dengan perundang-undangan lainnya, penafsiran hukum otentik yang dapat dilakukan dengan cara melihat penjelasan dari pembuat undang-undang itu sendiri.

(52)

LAND RIGHT OWNERSHIP IN INDONESIA IN CORRELATION WITH THE ACT NO. 5 OF 1960 ON LANDS FUNDAMENTAL

The lands ownership since UUPA of land can not be separated from some of the principles set out in the Basic Agrarian Law (BAL). Basically BAL embraces and permeates the customary law. There are a few things that have changed as the changes of vertical attachment related land ownership according to Book II Burgrelijk Wetboek become horizontal separation principle adopted in the common law. Based on the background described in the previous section, there are some legal issues that arise, namely: The observed problems are: how the validation of lands right in refer to the vertical attachment principle according to the Act No. 5 of 1960 on BAL and What legal consequence of the implementation vertical attachment principle of to the lands right ownership in Indonesia at present based on the Act No.5 of 1960.

In order to attain the purpose, the researcher uses the juridical normative method.In this case, he tests and reviews secondary data relating to the implementation of the vertical attachment principle of the land ownership. At this stage, it conducts a grammatical interpretation from the law,systematic interpretation of the law by linking the law with the others, the authentic interpretation of the law which can be done by looking at the explanation of the lawmakers.

Referensi

Dokumen terkait

The scientific method as a method of intervention to improve the character education of elementary school students is more directed to the affective domain in the field of

Penelitian ini didasarkan pada fenomena banyaknya pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh pelajar SMP yang mengemudikan sepeda motor tanpa memiliki Surat Izin Mengemudi

database dan bisa ditampilkan pada web serta mengirim pesan singkat ke handphone apabila salah satu phasa arus pada kWh meter ada yang hilang atau bocor. Pada

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemanasan dalam berbagai suhu yaitu pada suhu 100 o C, 150 o C dan suhu 200 o C terhadap tepung biji nangka

30 Bila orang tua membuat saya kesal, saya akan memberikan kritikan dengan kata-kata yang halus agar mereka tidak tersinggung. SS S

(3) Tatacara, pembatalan atau pengurangan ketetapan pajak dan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Gubernur atau

Adanya ketidaksamaan peran agama dan ideologi dalam kehidupan bermasyarakat, berpolitik dan bernegara dan antara persepsi sebagai ancaman dengan perasaan

Dengan memperhatikan peranan masing-masing sektor utama dalam pembentukan nilai PDRB (Tabel 1), laju pertumbuhan nilai NTB untuk setiap sektor (Tabel 2) dan juga