ANALISIS HUKUM TENTANG ASAS PERLEKATAN VERTIKAL
DALAM KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA
DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960
TENTANG POKOK-POKOK AGRARIA
THE LEGAL ANALYSIS OF VERTICAL FORMATION PRINCIPLE ON THE LAND
RIGHT OWNERSHIP IN INDONESIA IN CORELATION WITH THE ACT NO.5 OF 1960
ON LANDS FUNDAMENTAL
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia
Oleh
Nama : Pia Sutiana
NIM : 31613800
Program Kekhususan : Hukum Bisnis
Dosen Pembimbing : Hetty Hassanah, S.H., M.H..
NIP. 4127.33.00.005
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG
iv
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan
Surat Pernyataan
Kata Pengantar ... i
Daftar Isi ... iv
Abstrak ... vi
Abstract ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Maksud dan Tujuan Penelitian ... 5
D. Kegunaan Penelitian ... 6
E. Kerangka Pemikiran ... 6
F. Metode Penelitian ... 12
BAB II TINJUAN TEORI HAK-HAK ATAS TANAH DAN ASAS PERLEKATAN VERTIKAL DALAM HUKUM PERTANAHAN A. Ruang Lingkup Hak-Hak Tanah ... 16
B. Asas Perlekatan Vertikal dan Asas Pemisahan Horizontal ... 40
BAB III PENERAPAN ASAS PERLEKATAN VERTIKAL DALAM PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA A. Prosedur perolehan Hak-Hak Atas Tanah di Indonesia ... 47
B. Penerapan Asas Perlekatan Vertikal dan Asas Pemisahan Horizontal dalam Perolehan Hak Atas Tanah ... 57
v
BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG ASAS PERLEKATAN VERTIKAL DALAM KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG POKOK-POKOK AGRARIA
A. Keabsahan Kepemilikan Hak Atas Tanah Berdasarkan Asas
Perlekatan Vertikal Dihubungkan Dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria ... 62
B. Akibat Hukum Penerapan Asas Perlekatan Vertikal Terhadap
Kepemilikan Hak Atas Tanah Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria ... 65
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ... 69
B. Saran ... 70
Daftar Pustaka
Buku-Buku :
A. P. Parlindungan. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, CV. Mandar Maju. Bandung. 1998.
_______________. Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah, PT. Alumni, Bandung, 1985.
_______________. Pendaftaran Tanah di Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1999.
Bambang Eko Supriyadi. Hukum Agraria Kehutanan. Rajawali Pers. Jakarta. 2013.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, PT. Djambatan, Jakarta, 1997.
___________, Hukum Agraria Indonesia Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, PT. Djambatan, Jakarta, 1997.
Djuhaendah Hasan, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Alumni, Bandung, 1980
Eddy Ruchiyat. Politik Pertanahan. Alumni. Bandung. 1995.
Kleyin dalam Djuhaendah Hasan, Ichtisar Hukum Benda Belanda, Compedium
Hukum Belanda, Alumni, Bandung, 2007.
Mahadi. Hukum Benda Dalam Sistem Hukum Perdata Nasional. Binacipta. Bandung. 1983
Notonagaro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, CV. Pancuran Tujuh ,Jakarta, 1974
Otje Salman Soemadiningrat dan Anton F. Susanto. Teori Hukum. Refika Aditama. Bandung. 2004.
Riduan Syahrani. Asas-Asas Dan Seluk Beluk Hukum Perdata. Alumni. Bandung. 1992.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Alumni. Bandung. 1998.
Burgerlijk Wetboek
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
DATA PRIBADI
1. Nama Lengkap : Pia Sutiana
2. Tempat, Tanggal Lahir : Sukabumi, 24 November 1986
3. Jenis Kelamin : Laki-Laki
4. Alamat : Loji Ciracap, Sukabumi
PENDIDIKAN FORMAL
1. 1994 - 2000 : SDN IV Ciracap
2. 2000 - 2003 : SMPN I Ciracap
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb.
Segala puji serta syukur Penulis panjatkan kepada Allah S.W.T. yang
telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya, shalawat serta salam semoga
tercurahkan kepada Nabi besar kita Muhammad S.A.W., bahwa Penulis masih
diberikan kesempatan untuk dapat mensyukuri segala nikmat-Nya, berkat taufik
dan hidayah-Nya, Penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul
“ANALISIS HUKUM TENTANG ASAS PERLEKATAN VERTIKAL DALAM
KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG POKOK-POKOK AGRARIA”
Penulis sangat menyadari bahwa dalam pembuatan penulisan skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi substansi maupun sistematika
pembahasan dan tata bahasa, sehingga kiranya masih banyak yang perlu
dipahami dan diperbaiki. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
insya Allah dengan kritik dan saran tersebut, diharapkan dapat memperbaiki
kekurangan dikemudian hari.
Pada proses penyusunan skripsi ini, Penulis mendapatkan bantuan dan
dukungan dari banyak pihak, khususnya Kedua Orang Tua Penulis atas doa dan
dukungannya. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih dengan penuh
rasa hormat kepada Ibu Hetty Hassanah, S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing
yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan kesabarannya untuk
membimbing dalam penelitian dan penulisan Skripsi ini, selain itu dalam
1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, Msc. selaku Rektor
Universitas Komputer Indonesia;
2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Umi Narimawati, Dra. S.E., M.Si. selaku Wakil
Rektor I Universitas Komputer Indonesia;
3. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E., M.S., A.K. selaku Wakil
Rektor II Universitas Komputer Indonesia;
4. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Aelina Surya, selaku Wakil Rektor III Universitas
Komputer Indonesia;
5. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia;
6. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Ilmu
Hukum Universitas Komputer Indonesia;
7. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum. selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia;
8. Yth. Ibu Febilita Wulan Sari, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia;
9. Yth. Bapak Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia;
10. Yth. Ibu Farida Yulianti, S.H., S.E., M.M. selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia;
11. Yth. Ibu Yani Brilyani Tapivah, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia;
12. Yth. Ibu Rika Rosilawati, A.Md. selaku Staff Administrasi Fakultas
13. Yth. Bapak Muray selaku Karyawan Fakultas Hukum Universitas
Komputer Indonesia;
14. Sahabat dan Teman-teman terdekat Peneliti yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Arif Rahman, Arman
Marlando, dan Dian Pratama Sandi, kemudian kepada teman-teman
seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia yaitu Jajang
Supriatna, Rizky Adiputra, Rhamdan Maulana, Widia Magdewijaya, Farhan Aziz,
Ricky Haryanto Nugroho, Meiza Soraya Khaerunnisa, Ivan Rynaldi Setiawan,
Adek Wahyudin, Wiko Putra Dhiarta, Fitria Yanuari, Endang Mukti Aristanti dan
Mochamad Baasith Awaludin yang selalu mendukung dan memberi semangat
dalam menyelesaikan Skripsi ini. Semoga segala sesuatu dan pengorbanan yang
ditujukan dan diberikan baik moril maupun materil kepada Peneliti, mendapatkan
imbalan yang berlipat ganda dari Allah S.W.T. Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang serta berada dalam perlindungan-Nya.
Akhir kata Penulis mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya
kepada Allah S.W.T., karena atas ijin-Nya Penulis dapat menyelesaikan
Penulisan Skripsi ini. Semoga Skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan
peneliti sendiri.
Wassalammualaikum wr.wb.
Bandung, Agustus 2014
1
A. Latar Belakang MasalahSejak Indonesia merdeka, ada banyak hal di bidang hukum yang menjadi
agenda pemerintah Indonesia untuk segera dibenahi, antara lain hukum
pertanahan. Berbicara mengenai tanah di Indonesia tidak dapat dilepaskan
dari pengaruh hukum adat yang sudah berlaku sejak dahulu kala dan diyakini
masyarakat adat di setiap daerah di wilayah nusantara sebagai salah satu
hukum adat meskipun bentuknya tidak tertulis. Tanah menurut hukum adat di
Indonesia pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat magis religius,
karena tanah dianggap sebagai asal mula kehidupan dan tempat kembalinya
kehidupan di dunia ini, sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan
tanah dianggap terpisah perlakuannya dengan tanah tersebut.
Berbicara mengenai hukum pertanahan di Indonesia dibagi menjadi 2
(dua) masa, yakni masa sebelum dan setelah lahirnya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pada masa
sebelum lahirnya UUPA, ada beberapa hukum pertanahan yang berkembang
di Indonesia, seiring dengan kondisi masyarakat Indonesia yang dibagi-bagi
oleh pemerintah Belanda yang saat itu menjajah Indonesia. Berdasarkan
Pasal 163 juncto Pasal 131 IS, penduduk yang tinggal di Indonesia (Hindia
Belanda) dibagi menjadi tiga golongan, yaitu :
1. Golongan Eropa;
2. Golongan Bumiputera; dan
Pasal 131 IS menentukan hukum yang berlaku untuk masing-masing
golongan penduduk. Bagi golongan Eropa, berlaku hukum yang berlaku di
negeri Belanda, bagi golongan Bumi Putera dan Timur Asing berlaku hukum
adatnya masing-masing, apabila kepentingan mereka menghendakinya maka
hukum untuk golongan Eropa dapat dinyatakan berlaku bagi mereka.
Golongan Eropa terdiri dari orang-orang Belanda dan orang-orang Eropa
lainnya yang tinggal di Indonesia. Golongan Bumiputera meliputi orang-orang
Indonesia asli yang tidak beralih menjadi orang golongan Eropa ataupun
golongan Timur asing, sedangkan golongan Timur asing merupakan
kumpulan orang-orang yang bukan golongan Eropa ataupun golongan
Bumiputera, seperti orang Tionghoa maupun bukan Tionghoa misalnya orang
Arab, Pakistan, Jepang dan sebagainya yang tinggal di Indonesia. Hukum
pertanahan yang berlaku bagi golongan Eropa adalah hukum pertanahan
Belanda yang termuat dalam Buku II Burgerlijk Wetboek dan beberapa
ketentuan pertanahan lain dari Ratu Belanda di luar Buku II Burgerlijk
Wetboek yang berlaku di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Hukum
pertanahan yang berlaku bagi golongan Bumiputera adalah hukum
pertanahan dalam hukum adat masing-masing daerah, kecuali terhadap
orang-orang Bumiputera yang menundukan diri atau berhubungan dengan
golongan Eropa. Bagi golongan Timur asing berlaku hukum pertanahan yang
sesuai dengan kebutuhan saat itu dimungkinkan berlaku hukum adat
golongan Bumiputera atau hukum pertanahan Belanda.
Ketentuan hukum pertanahan di luar Buku II Burgerlijk Wetboek sebagai
ciri politik pertanahan yang berlaku sebelum Indonesia merdeka yaitu
Agrarisch Wet (AW) tahun 1870, Agrarisch Besluit dan sebagainya. Agrarisch
Wet tahun 1870 merupakan Undang-Undang Pertanahan yang diberlakukan
di daerah-daerah yang dikuasai langsung oleh pemerintah Hindia Belanda
atau disebut Gubernemen (Rechtstreek bertuurd gebied) dan tidak berlaku
bagi daerah yang tidak dikuasai secara langsung (Indirect bestuur gebied).1.
Agrarisch Besluit merupakan sebuah Keputusan Agraria sebagai ketentuan
pelaksana Agrarisch Wet, ada sebuah asas dalam Agrarisch Besluit yang
diberlakukan di Indonesia (Hindia Belanda) dan dianggap sangat merugikan
golongan Bumiputera, yaitu asas Domein Verklaring sebagaimana termuat
dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit di atas yang menentukan bahwa setiap
bidang tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikan hak eigendomnya
adalah domein atau milik negara.
Melihat beberapa politik pertanahan pada masa penjajahan Belanda
sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Pokok-Pokok Agraria, menggambarkan adanya sifat liberalistik dan pluralistik
ketentuan hukum pertanahan di Indonesia, dan ketentuan tersebut masih
tetap berlaku sampai Indonesia merdeka sekalipun berdasarkan Pasal II
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi ;
“Semua lembaga Negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk
melaksakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”
Lembaga negara dan peraturan yang ada masih tetap berlaku sebelum
diadakan yang baru menurut Undang Dasar 1945, lahirnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya
1
akan disebut sebagai (UUPA), menimbulkan beberapa akibat hukum terkait
dengan hukum pertanahan di Indonesia, antara lain tidak berlakunya lagi
ketentuan pertanahan yang termuat dalam Buku II Burgerlijk Wetboek,
Agrarisch Wet, Agrarisch Besluit dan berbagai peraturan pertanahan yang
dibuat pemerintah Belanda untuk diberlakukan di Indonesia (Hindia Belanda)
selama dan sepanjang telah diatur dalam UUPA, sesuai dengan asas Lex
posterior derogat legi priori yang artinya bahwa peraturan yang lama akan
mengesampingkan peraturan yang baru.
Berbagai hal yang berubah dalam ketentuan pertanahan di Indonesia
setelah lahirnya UUPA, termasuk beberapa hal yang berhubungan dengan
tanah dan kepemilikannya, adanya UUPA telah mengubah pula politik
pertanahan yang melahirkan adanya unifikasi hukum pertanahan, antara lain
dengan dihapuskannya pembagian golongan penduduk di Indonesia, karena
berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :
“Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintah dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak
kecualinya.”
semua warga negara di Indonesia memiliki kedudukan yang sama di depan
hukum dan pemerintahan.
Kepemilikan atas tanah setelah lahirnya UUPA tidak terlepas dari
beberapa asas yang diatur dalam UUPA tersebut. Pada dasarnya UUPA
menganut dan meresapi hukum adat dalam hal pertanahan, sehingga ada
beberapa hal yang berubah seperti berubahnya asas perlekatan vertikal
terkait kepemilikan tanah menurut Buku II Burgrelijk Wetboek menjadi asas
atas, tidak disertai dengan pelaksanaan yang tepat dalam bidang
pertanahan. Pada prakteknya, kepemilikan atas tanah di Indonesia saat ini
masih mengikuti asas perlekatan vertikal yang seharusnya sudah tidak
berlaku lagi. Kondisi seperti ini menimbulkan beberapa masalah terkait
dengan kepemilikan atas tanah tersebut. Penulis tertarik untuk meneliti
masalah ini, dan selanjutnya dituangkan ke dalam tulisan ilmiah berbentuk
skripsi dengan judul “Analisis Hukum Tentang Asas Perlekatan Vertikal
dalam Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria” B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada bagian
sebelumnya, maka ada beberapa permasalahan hukum yang muncul, yakni :
1. Bagaimana keabsahan hak atas tanah berdasarkan asas perlekatan
vertikal menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Pokok-Pokok Agraria?
2. Akibat hukum apa yang timbul dengan adanya penerapan asas
perlekatan vertikal terhadap kepemilikan hak atas tanah di Indonesia
saat ini dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Pokok-Pokok Agraria ?
C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Adapun maksud dan tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan mengkaji keabsahan hak atas tanah
berdasarkan asas perlekatan vertikal menurut Undang-Undang
2. Untuk mengetahui dan mengkaji akibat hukum yang timbul dengan
adanya penerapan asas perlekatan vertikal terhadap kepemilikan hak
atas tanah di Indonesia saat ini Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Pokok-Pokok Agraria.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah:
1. Secara Teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat digunakan bagi
pengembangan ilmu hukum, khususnya bidang hukum pertanahan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Pokok-Pokok Agraria.
2. Secara praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
masukan bagi pihak yang berwenang dalam membuat dan atau
memperbaharui peraturan perundang-undangan mengenai hukum
pertanahan khususnya terkait dengan kepemilikan atas tanah di
Indonesia.
E. Kerangka Pemikiran
Hukum pertanahan di Indonesia merupakan salah satu bidang yang
sering menimbulkan masalah sampai saat ini, walaupun telah ada unifikasi
atau keseragaman hukum yang berlaku tentang pertanahan tersebut dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok
Agraria (UUPA). Ketentuan hukum pertanahan sebelum Indonesia merdeka
diatur berdasarkan pembagian golongan penduduk sebagaimana diatur
dalam Pasal 163 juncto Pasal 131 IS yang membagi golongan penduduk
Ketentuan hukum pertanahan setelah Indonesia merdeka, sesuai Pasal II
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :
“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”
Ketentuan hukum pertanahan di Indonesia tidak terlepas dari alinea
kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa :
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan
rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Konsep pemikiran utilitarianisme dari Jeremy Bentham yang menyatakan
“The great happiness for the greatest number” tampak melekat pada alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di atas, terutama pada
makna adil dan makmur2. Tujuan hukum pada dasarnya adalah memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat, secara yuridis hal ini ditentukan oleh
seberapa besar kemampuan hukum dalam hubungannya dengan fungsi
nama domain tersebut dapat memberikan kemanfaatan kepada masyarakat.
Pelaksanaan tujuan negara yang diamanatkan dalam alinea keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, …”
2 Otje Salman Soemadiningrat dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama,
Amanat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
tersebut merupakan konsekuensi hukum yang mengharuskan pemerintah
tidak hanya melaksanakan tugas pemerintahan saja, melainkan juga
kesejahteraan sosial melalui pembangunan nasional. Kata “melindungi”
mengandung asas perlindungan hukum bagi segenap bangsa Indonesia
untuk mencapai keadilan.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
“NegaraIndonesia adalah negara hukum.”
Kegiatan yang dilakukan di negara Indonesia harus sesuai dengan aturan
yang berlaku, tidak terkecuali dalam hal pelaksanaan kegiatan perekonomian
khususnya kegiatan bisnis melalui penggunaan nama domain. Pelaksanaan
pembangunan dalam kegiatan perekonomian dijabarkan melalui Pasal 33
ayat (1) dan (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :
Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.”
Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945
“Perekonomian nasianal diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan adan kesatuan nasional.”
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :
“Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
Persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di hadapan
hukum, menandakan tidak berlakunya lagi ketentuan mengenai pembagian
golongan penduduk di atas, sehingga tercipta keseragaman atau unifikasi
hukum. Berbicara mengenai kepemilikan atas tanah tidak terlepas dari
ketentuan hukum yang mengaturnya, lahirnya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), maka ketentuan hukum
pertanahan dalam Buku II Burgerlijk Wetboek sepanjang telah diatur dalam
UUPA menjadi tidak berlaku lagi. Kepemilikan atas tanah merupakan
penjelmaan dari hak-hak atas tanah dan dapat dilihat berdasarkan Pasal 16
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria yang
berbunyi :
“Hak-hak atas tanah sebagi yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah:
a. Hak milik;
b. Hak guna usaha;
c. Hak guna bangun;
d. Hak pakai;
e. Hak sewa
Pasal 4 ayat (1) UUPA
“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal
2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta bada -badan hukum.”
Berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Pokok-Pokok Agraria. Menyebutkan hak-hak atas tanah tersebut, yaitu :
1. Hak Milik diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
“Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6.”
Pasal 6 UUPA :
“Semua hak katas tanah mempunyai fungsi social.”
2. Hak Guna Usaha diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria yang berbunyi :
Pasal 28 UUPA
“Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana
tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian perikanan atau
peternakan.”
Pasal 29 ayat (1) UUPA :
“Hak guna usaha diberikan untuk waktu paling 25 tahun”.
Pasal 29 ayat (2) UUPA :
“Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat
diberikan hak guna usaha untuk waktu yang lebih lama 35 tahun.”
Pasal 29 ayat (3) UUPA :
“Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan
perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) ayat (2)
pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang paling 25 tahun.”
3. Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria yang berbunyi :
“Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan memiliki
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan
4. Hak Pakai diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria yang berbunyi :
“Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajibanyang ditentukan dalam keputusan pemberiannya atau dalam perjanjian dengan pemiliktanahnya,yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.”
Beberapa hal yang mengalami perubahan atas kepemilikan atas tanah
yang terdapat dalam UUPA ini apabila dibandingkan dengan ketentuan
mengenai kepemilikan atas tanah sebagaimana diatur dalam Buku II
Burgerlijk Wetboek ataupun ketentuan pertanahan lainnya yang diberlakukan
sebelum lahirnya UUPA, secara yuridis formil salah satu perubahan
termaksud adalah mengenai asas yang diberlakukan dalam kepemilikan atas
tanah itu. Asas yang dianut dalam hukum pertanahan pada Buku II Burgerlijk
Wetboek adalah asas perlekatan vertikal, yaitu asas yang menganggap
segala sesuatu yang berdiri dan melekat di atas tanah merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, sedangkan asas yang dianut dalam UUPA adalah
asas pemisahan horizontal, yaitu asas yang memisahkan kepemilikan atas
tanah dengan segala sesuatu yang ada di atasnya. Pada kenyataannya,
kepemilikan atas tanah saat ini, masih menggambarkan asas perlekatan
vertikal.
Asas perlekatan vertikal diatur dalam Pasal 571 Burgerlijk Wetboek yang
berbunyi :
“Hak milik atas sebidang tanah mengandung didalamnya, kepemilikan atas
segala apa yang ada di atasnya dan didalam tanah.”
benda tidak bergerak sebagai benda pokok, maka benda-benda yang
melekat pada benda pokok tersebut, secara yuridis harus dianggap sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya. Asas pemisahan
horizontal merupakan asas yang memisahkan kepemilikan atas tanah
dengan segala sesuatu yang berdiri dan tertancap di atasnya.
Sistem kepemilikan atas tanah dalam Buergerlijk Wetboek, asas
perlekatan vertikal diterapkan dalam hak milik atas tanah sehingga bukti
kepemilikan atas tanah dapat membuktikan sekaligus kepemilikan segala
sesuatu yang berdiri dan tertanam di atas tanah itu, sedangkan bukti
kepemilikan atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA yang bersumber
dari hukum adat seharusnya menggunakan asas pemisahan horizontal,
artinya bukti kepemilikan atas tanah tidak serta merta menjadi bukti
kepemilikan atas segala sesuatu yang berdiri dan tertancap di atasnya.
Pemerintah Indonesia masih menerapkan asas perlekatan vertikal dalam
kaitannya dengan pembuktian hak atas tanah tersebut, walaupun telah
muncul kepemilikan untuk rumah vertikal/bersusun sebagai perwujudan dari
penerapan asas pemisahan horizontal.
F. Metode Penelitian
Pada penelitian ini, Peneliti menggunakan metode-metode sebagai
berikut :
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis, yaitu
menggambarkan fakta-fakta secara sistematis berupa data sekunder
bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
yaitu pendapat para ahli (doktrin) yang berkaitan dengan kepemilikan
atas tanah serta data sekunder bahan hukum tertier seperti kamus
hukum.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan
yuridis normatif, dalam hal ini menguji dan mengkaji data sekunder
yang berkaitan dengan penerapan asas perlekatan vertikal dalam
kepemilikan atas tanah, pada tahap ini dilakukan penafsiran secara
gramatikal yaitu menafsirkan kata-kata dari peraturan
perundang-undangan yang relevan dengan kepemilikan atas tanah seperti dari
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria,
penafsiran hukum secara sistematis dengan menghubungkan
peraturan undangan yang satu dengan
perundang-undangan lainnya, penafsiran hukum otentik yang dapat dilakukan
dengan cara melihat penjelasan dari pembuat undang-undang itu
sendiri serta melakukan konstruksi hukum seperti argumentum a
contrario.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini dilakukan teknik pengumpulan data yang
dilakukan melalui dua tahap, yaitu :
a. Penelitian kepustakaan (library research), dalam hal ini Penulis
melakukan penelitian terhadap data sekunder bahan hukum
primer berupa peraturan perundang-undangan seperti
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria serta
Tanggungan dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah. Penulis juga meneliti data sekunder
bahan hukum sekunder berupa karya-karya ilmiah para pakar di
bidang hukum serta ditunjang oleh penelitian terhadap data
sekunder bahan hukum tertier, seperti brosur-brosur mengenai
asas perlekatan vertikal kepemilikan atas tanah.
b. Penelitian lapangan (field research). Untuk menunjang dan
melengkapi studi kepustakaan, maka Peneliti juga melakukan
penelitian lapangan dengan cara melakukan wawancara
terstruktur (guide interview) dengan pihak atau instansi terkait
serta browsing melalui internet.
4. Metode Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif. Dalam
hal ini analisis dilakukan dengan memperhatikan hierarki peraturan
perundang-undangan agar peraturan perundang-undangan yang satu
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain
dan tercapainya kepastian hukum, serta menggali hukum yang hidup
dalam masyarakat.
5. Lokasi Penelitian
a. Perpustakaan :
1) Perpustakaan UNIKOM
2) Perpustakaan UNPAD
b. Internet
1) http://www.hukumonline.com/klinik/detail
3) http://intisarihukum.blogspot.com/
47
BAB III
PENERAPAN ASAS PERLEKATAN VERTIKAL DALAM
PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA
A. Prosedur Perolehan Hak-Hak Atas Tanah di Indonesia
Tanah merupakan elemen yang penting bagi kehidupan manusia, oleh
karena itu kepastian hukum hak atas tanah sangat diperlukan untuk
kepastian hukum, sehingga kepemilikan tanah perlu di daftarkan.
Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah dilakukan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya
akan disebut sebagai PP No.10 Tahun 1961) yang telah berlaku sejak tahun
1961 dipandang memiliki substansi yang sudah tidak dapat lagi memenuhi
tuntutan zaman untuk memberikan kepastian atas pendaftaran tanah
tersebut. Pada tanggal 8 Juli 1997 pemerintah menetapkan dan
mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah (selanjutnya akan disebut sebagai PP No. 24 Tahun
1997) untuk menggantikan PP No. 10 Tahun 1961 tersebut. Berdasarkan
ketentuan peralihan dalam Pasal 66 PP No. 24 Tahun 1997, PP ini berlaku
tiga bulan sejak tanggal diundangkannya, berarti secara resmi mulai berlaku
diseluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 8 Oktober 1997 dengan Peraturan
Pelaksananya adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor
3 Tahun 1997 (selanjutnya akan disebut sebagai PerMen No. 3 Tahun 1997).
Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksana dari PP 10 Tahun 1961
diubah atau diganti berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 ini (Pasal 64 ayat (1)
)38.
PP No.24 Tahun 1997 yang menggantikan PP No. 10 Tahun 1961 ini
merupakan peraturan pelaksana dari amanat yang ditetapkan dalam Pasal
19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (yang selanjutnya akan disebut UUPA) yang menegaskan
bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Asas perlekatan vertikal dan asas pemisahan horizontal merupakan asas
yang berkaitan dengan hak atas tanah yang dimulai dari proses pendaftaran
tanah tersebut. Asas perlekatan vertikal sebagaimana diketahui diatur dalam
Buku II BW sedangkan asas pemisahan horizontal pada dasarnya dianut
dalam hukum adat pertanahan di Indonesia yang kemudian diadopsi dalam
UUPA. Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang
Hak Tanggungan menyatakan bahwa penerapan asas pemisahan horizontal
tidak terjadi secara otomatis, tetapi dapat diterapkan apabila telah
diperjanjikan dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT).
Penggunaan asas pemisahan horizontal ini menerobos asas perlekatan
vertikal yang dianut dalam Buku II BW yang menentukan bahwa semua
benda yang melekat dengan tanah dianggap sebagai satu kesatuan dengan
tanahnya, oleh sebab itu, apabila tanahnya dijual atau dijaminkan, maka
sekaligus berikut dengan segala benda yang ada/berdiri di atasnya.
Pengertian pendaftaran tanah/ajudikasi menurut Pasal 1 angka 8
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
yang berbunyi :
“Ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses
pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan
kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek
pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.”
Kegiatan ajudikasi pendaftaran tanah tersebut merupakan prosedur
khusus yang dilakukan untuk pemberian status hukum atas bagian-bagian
tanah kepada pemilik yang benar-benar berwenang. Berdasarkan pasal 19
ayat (2) UUPA yang berbunyi :
“Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.”
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 PP No. 24 Tahun 1997 yang berbunyi :
“Pendaftaran tanah yaitu rangkaian kegiatan yang di lakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan pengkajian serta pemeliharaan data spesifik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termaksud pemberian surat tanda buktinya bagi bidang-bidang tanah yang sudah haknya dan hak miliknya atas rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”
Pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik, yang pada umumnya
bersifat masal dan besar-besaran, maka untuk melaksanakannya Kepala
Kantor Pertanahan dibantu oleh Panitia Ajudikasi yang dibentuk khusus untuk
rutin Kantor Pertanahan tidak terganggu. Dalam melaksanakan tugasnya,
Panitia Ajudikasi dibantu oleh satuan tugas pengukuran dan pemetaan,
satuan tugas pengumpul data yuridis dan satuan tugas administrasi yang
bertugas, susunan dan kegiatannya diatur Menteri. Pada intinya tugas
ajudikasi ini adalah tugas investigasi yang meneliti dan mencari kebenaran
formal bukti, yakni data-data yuridis awal yang dimiliki pemegang hak atas
tanah, dan tugas justifikasi, yaitu membuat penetapan dan pengesahan bukti
yang sudah diteliti tersebut. Walaupun tugas ajudikasi ini sebenarnya adalah
tugas lembaga peradilan yaitu memberikan keputusan atau putusan, akan
tetapi, dalam pendaftaran tanah tugas ajudikasi tersebut diberikan kepada
pemerintah selaku eksekutif. Kegiatan ajudikasi pendaftaran tanah ini, jika
dilakukan dengan sungguh-sungguh akan sangat mendukung dalam
percepatan pendaftaran tanah dan dapat menjamin kepastian hukum39.
Dasar hukum pendaftaran tanah adalah sebagai berikut :
1. Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA).
2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
3. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
4. Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksana dari Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1961.
5. Peraturan Menteri Agraria/kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang
ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.
Pendaftaran tanah memiliki beberapa tujuan antara lain diatur dalam
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah yang berbunyi :
“Pendaftaran tanah bertujuan ;
a. Untuk memberi kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.”
Bidang-bidang tanah yang harus didaftarkan yaitu :
1. Hak milik.
7. Hak milik atas satuan rumah susun.
8. Hak tanggungan.
9. Tanah Negara. Pendaftaran tanah yang objeknya tanah Negara, di
lakukan pencatatan dalam daftar tanah dan tidak di terbitkan
sertifikatnya, sedangkan objek yang lainnya di daftar dengan
membukukannya dalam peta pendaftaran dan buku tanah serta
mengeluarkan sertifikatnya.
Terdapat beberapa instansi yang berperan dalam proses penyelenggara
1. Badan Pertanahan Nasional, sesuai ketentuan Pasal 19 UUPA dan
Pasal 5 PP No. 24 Tahun 1997 yakni bertindak sebagai
penyelenggara pelaksanaan pendaftaran tanah tersebut.
Pasal 19 UUPA :
“Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan
pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuanyang diatur dengan peraturan pemerintah.”
Pasal 5 PP No. 24 Tahun 1997 :
“Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan
Nasional”.
2. Kepala Kantor Pertanahan, sesuai ketentuan Pasal 6 PP No. 24
Tahun 1997 yang berbunyi :
“Dalam rangka penyelenggaran pendaftaran tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukakan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali kegiatan-kegiatan tertentu yang oleh peraturan pemerintah ini atau perundang-undang yang bersangkutan ditugaskan kepada pejabat lain.dalam hal ini bertindak sebagai pelaksana Pendaftaran Tanah kecuali mengenai kegiatan-kegiatan tertentu yang ditugaskan kepada pejabat lain.”
3. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang diatur dalam ketentuan
Pasal 1 Angka 24 PP No. 24 Tahun 1997 yang berbunyi
“Pejabat Penbuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah
Pejabat umum yang diberi kewenanganuntuk membuat akta-akta
tanah.”
Kegiatan PPAT membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam
melaksanakan kegiatan dibidang pendaftaran tanah, khususnya
4. Panitia Ajudikasi, diatur dalam Pasal 8 PP No. 24 Tahun 1997 yang
berrbunyi :
“Ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakn dalam rangka proses
pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan
penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau
beberapa objek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.”
Pendaftaran tanah, tidak terlepas dari sistem pendaftaran tanah itu sendiri
yaitu 40:
1. Sistem Publikasi Positif, yang dilakukan pendaftaran hak, harus ada
buku tanah dan sertifikat sebagai tanda bukti. Menurut sistem ini
bahwa pendaftaran tanah menjamin dengan sempurna, bahwa nama
yang terdaftar dalam buku tanah, tidak dapat dibantah, tidak dapat di
ganggu gugat, walaupun ternyata bukan dia pemilik yang sebenarnya
yang terdaftar dalam buku tanah atau sertifikat. Sistem publikasi
positif tidak berlaku di wilayah Indonesia.
2. Sistem Publikasi Negatif, yang mengatur bahwa apa yang tercantum
dalam buku tanah sertifikat tanah dianggap benar sampai dapat
dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (Tidak Benar) di muka
sidang pengadilan, yang mana dilakukan pendaftaran akta dan di sini
tidak menjamin, nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat di
bantah. Sistem Publikasi negatif ini berlaku di Indonesia yang secara
tegas terdapat dalam PP No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran
Tanah dan digantikan dengan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah sebagai pelaksanaan dari Pasal 19 UUPA No. 5
Tahun 1960.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pendaftaran tanah,
antara lain sebagai berikut 41:
1. Pendafataran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui
pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara
sporadik.
2. Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana
kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh
Menteri.
3. Pendaftaran tanah dalam suatu desa/kelurahan belum ditetapkan
sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik sebagaimana di
maksudkan pendaftaranya dilaksanakan melalui pendaftaran tanah
secara sporadik.
4. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan
pihak yang berkepentingan.
Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah
yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar.
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah 42:
1. Pengumpulan dan pengolahan data fisik, yang meliputi pengukuran
dan pemetaaan; pembuatan peta dasar pendaftaran; penetapan batas
bidang-bidang tanah; pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah
dan pembuatan peta pendaftaran; pembuatan daftar tanah, dan
pembuatan suarat ukur.
41 Ibid
2. Pembuktian hak dan pembukuannya, yang meliputi pembuktian hak
baru; pembuktian hak lama; pembukuan hak.
3. Penerbitan sertifikat.
4. Penyajian data fisik dan yuridis.
5. Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran
tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran
tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama
kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran
tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa
atau kelurahan. Pendaftaran tanah secara sistematik ini didasarkan pada
suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan
menteri, pada suatu wilayah belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran
tanah secara sistematik, maka pendaftarannya dilaksanakan melalui
pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran secara sporadik adalah
kegiatan pendafataran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau
beberapa objek pendafataran tanah dalam suatu wilayah secara individual
atau masal. Pendaftaran tanah secara sporadik ini tentunya dilakukuan atas
permintaan pihak yang berkepentingan, tanpa adanya suatu penetapan
terlebih dahulu dari menteri atas tanah tersebut.
Berdasarkan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi ;
“Pemiliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan
pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah
Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 36 PP No. 24 Tahun 1997 kepada
Kantor Pertanahan. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah ini
dilakukan terhadap tanah-tanah yang sebelumnya sudah terdaftar.
Pendaftaran ini harus dilakukan ketika pihak yang memiliki tanah tesebut
ingin memindahkan haknya melalui jual beli, tukar menukar, hibah, dan
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui
lelang yang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat
oleh PPAT. Kegiatan pemeliharaan data pendafataran tanah meliputi :
1. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak.
2. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya.
Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana
kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri,
dalam hal suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah
pendaftaran tanah secara sistematik sebagaimana pendaftarannya
dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sporadik, sedangkan
pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang
berkepentingan. Pemeliharaan data tanah (maintenance) merupakan
kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis
dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah
dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Kegiatan
pemeliharaan data tanah meliputi: pendaftaran peralihan dan pembebanan
hak serta pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya. Data fisik
adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan
bangunan atau bagian bangunan di atasnya, sedangkan data yuridis meliputi
keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun
yang didaftar, pemegang haknya, dan hak pihak lain serta beban-beban lain
yang membebaninya.
B. Penerapan Asas Perlekatan Vertikal dan Pemisahan Horizontal Dalam Perolehan Hak Atas Tanah
Tanah sebagai elemen penting dalam kehidupan manusia, tidak terlepas
dari berbagai ketentuan hukum yang mengaturnya. Sejarah hukum
pertanahan di Indonesia memperlihatkan keanekaragaman ketentuan hukum
yang mengatur bidang pertanahan, mulai dari politik pertanahan yang
disesuaikan dengan pembagian golongan penduduk sampai lahirnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria.
Pembagian golongan penduduk sebelum Indonesia merdeka,
menyebabkan timbulnya pluralisme pengaturan hukum pertanahan di
Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 163 juncto Pasal 131 IS, penduduk
di Indonesia saat itu dibagi menjadi tiga golongan yaitu :
1. Golongan Eropa, terhadap golongan ini berlaku hukum perdata barat
yang diberlakukan Belanda di Indonesia termasuk ketentuan
mengenai pertanahannya, sebagaimana diatur dalam Buku II BW dan
beberapa peraturan yang dibuat oleh pemerintah Belanda di
Indonesia saat itu;
2. Golongan Timur Asing, terhadap golongan ini berlaku ketentuan
hukum pertanahan yang termuat dalam Buku II BW, sama dengan
3. Golongan Bumiputera, terhadap golongan ini berlaku ketentuan
hukum adat untuk masalah pertanahannya.
Pada saat Indonesia merdeka, yang serta merta dihapuskannya
pembagian golongan penduduk sesuai asas persamaan hukum berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945, akhirnya lahirlah Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang menjadi unifikasi
hukum pertanahan di Indonesia. Mengalami perubahan dalam ketentuan
pertanahan sebelum dan setelah lahirnya UUPA. Politik pertanahan yang
bersifat liberal dan individualistis tersirat dalam hukum pertanahan yang
diatur dalam Buku II BW, termasuk beberapa asas yang mendasari hukum
pertanahan saat itu, antara lain :
1. Asas domein verklaring, yang menyebutkan bahwa setiap bidang
tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan Buku
II BW, maka tanahnya akan jatuh kepada negara 43;
2. Asas perlekatan vertikal, yang mengatur bahwa setiap kepemilikan
bidang tanah secara otomatis membuktikan pula kepemilikan atas
segala sesuatu yang berada di atasnya, seperti bangunan, pohon dan
sebagainya.
Asas domein verklaring menyebabkan tanah-tanah yang dimiliki
berdasarkan hukum adat beralih pada penguasaan negara (Hindia Belanda),
hal ini mengakibatkan secara bertahap banyak golongan Bumiputera yang
selanjutnya menyatakam menundukan diri kepada hukum pertanahan yang
berlaku bagi golongan Eropa yakni Buku II BW dan berbagai pertauran
lainnya.
Asas perlekatan vertikal yang dianut dalam Buku II BW mengatur bahwa
bukti kepemilikan atas tanah sekaligus menjadi bukti kepemilikan atas segala
sesuatu yang ada di atasnya, sampai saatnya lahir UUPA, asas perlekatan
vertikal berubah menjadi asas pemisahan horizontal yaitu asas yang
memisahkan kepemilikan atas tanah dengan segala sesuatu yang ada di
atasnya. Bukti hak atas tanah tidak serta merta menjadi bukti kepemilikan
segala sesuatu yang ada diatas tanah itu, kecuali atas keadaan khusus
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
Tenatang Hak Tanggungan yang berbunyi :
“Apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempu
hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut.”
Terkait dengan Akta pembebanan Hak Tanggungan, bahwa bukti hak
atas tanah dapat dianggap sebagai bukti kepemilikan segala sesuatu yang
berdiri diatas tanah tersebut. Pada prakteknya, bukti kepemilikan hak atas
tanah yang berlaku di Indonesia saat ini adalah sertifikat hak atas tanah baik
Sertifikat Hak Milik, Sertifikat Hak Guna Usaha, Sertifikat Hak Guna
Bangunan ataupun Sertifikat Hak Pakai. Berdasarkan asas pemisahan
horizontal yang dianut dalam UUPA, bukti kepemilikan hak atas tanah
termaksud tidak serta merta menjadi bukti kepemilikan segala sesuatu yang
berdiri di atas tanah tersebut, namun sampai saat ini bukti kepemilikan hak
atas tanah ini selalu dianggap menjadi bukti kepemilikan atas apapun yang
berdiri di atas tanah itu, berarti kondisi ini tidak menggambarkan penerapan
seharusnya diterapkan, tetapi masih menunjukan penerapan asas perlekatan
vertikal atas sertifikat tanah termaksud.
Penerapan asas perlekatan vertikal terjadi di setiap bukti kepemilikan hak
atas tanah di Indonesia, kecuali kepemilikan atas satuan rumah strata title
seperti apartemen atau rumah susun, telah menggambarkan adanya
penerapan asas pemisahan horizontal, karena bukti kepemilikan atas satuan
rumah susun atau apartemen tersebut tidak serta merta menjadi bukti
kepemilikan atas tanah dimana rumah susun atau apartemen itu didirikan.
Apartemen atau rumah susun didirikan di atas tanah hak guna bangunan,
hak milik atau hak pakai, selanjutnya, hak atas tanah tersebut menjadi hak
bersama dari pemilik setiap satuan unit apartemen atau rumah susun itu, dan
dikuasai oleh pengelola rumah susun atau apartemen termaksud. Dengan
demikian tanah tempat dimana apartemen atau rumah susun itu didirikan
tidak dapat dijadikan jaminan hak tanggungan ke lembaga perbankan, namun
demikian bukti kepemilikan atas satuan unit apartemen atau rumah susunnya
dapat dijadikan jaminan hak tanggungan ke lembaga keuangan atau
perorangan, pada prakteknya saat ini, bukti kepemilikan hak atas tanah yang
selalu dijadikan jaminan hak tanggungan adalah sertifikat hak atas tanah
yang menggambarkan adanya penerapan asas perlekatan vertilal karena
sertifikat atas tanah itu dianggap satu kesatuan menjadi bukti kepemilikan
atas segala sesuatu yang berdiri di atas tanah tersebut, sementara itu
Sertifikat bukti kepemilikan atas satuan unit apartemen atau rumah susun
merupakan perwujudan dari asas pemisahan horizontal sebagaimana dianut
Kondisi di atas menjadi hal yang harus dibenahi oleh pemerintah
Indonesia, agar terdapat kepastian hukum atas hak milik benda (tidak
bergerak) sesuai asas yang seharusnya diterapkan sebagaimana diatur
dalam UUPA dan tercipta ketertiban administrasi dalam hal pembuktian
62
VERTIKAL DALAM KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH DI
INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG POKOK-POKOK
AGRARIA
A. Keabsahan Kepemilikan Hak Atas Tanah Berdasarkan Asas Perlekatan Vertikal Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria
Berbicara tentang hak-hak atas tanah tidak terlepas dari pembahasan
mengenai ketentuan hukum yang berlaku di bidang pertanahan, baik
sebelum maupun setelah lahirnya UUPA. Pembagian golongan penduduk di
Indonesia sebelum Indonesia merdeka menggambarkan pluralisme peraturan
yang diberlakukan termasuk ketentuan hukum pertanahannya. Pembagian
golongan penduduk tersebut adalah :
1. Golongan Eropa, terhadap golongan ini berlaku hukum perdata barat
yang diberlakukan Belanda di Indonesia termasuk ketentuan
mengenai pertanahannya, sebagaimana diatur dalam Buku II BW dan
beberapa peraturan yang dibuat oleh pemerintah Belanda di
Indonesia saat itu;
2. Golongan Timur Asing, terhadap golongan ini berlaku ketentuan
hukum pertanahan yang termuat dalam Buku II BW, sama dengan
golongan Eropa berdasarkan asas konkordansi;
3. Golongan Bumiputera, terhadap golongan ini berlaku ketentuan
Ketentuan hukum setelah Indonesia merdeka, yang serta merta
dihapuskannya pembagian golongan penduduk sesuai asas persamaan
hukum berdasarkan Undang Dasar 1945, akhirnya lahirlah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang
menjadi unifikasi hukum pertanahan di Indonesia.
Asas dalam hukum pertanahan yang mengalami perubahan dalam
pengaturannya, setelah lahirnya UUPA, antara lain:
1. Asas domein verklaring, yang menyebutkan bahwa setiap bidang
tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan Buku
II BW, maka tanahnya akan jatuh kepada negara. Asas ini
menyebabkan tanah-tanah yang dimiliki berdasarkan hukum adat
beralih pada penguasaan negara (Hindia Belanda), hal ini
mengakibatkan secara bertahap banyak golongan Bumiputera yang
selanjutnya menyatakan menundukan diri kepada hukum pertanahan
yang berlaku bagi golongan Eropa yakni Buku II BW dan berbagai
peraturan lainnya.
2. Asas perlekatan vertikal, yang mengatur bahwa setiap kepemilikan
bidang tanah secara otomatis membuktikan pula kepemilikan atas
segala sesuatu yang berada di atasnya, seperti bangunan, pohon dan
sebagainya. Asas ini dianut dalam Buku II BW mengatur bahwa bukti
kepemilikan atas tanah sekaligus menjadi bukti kepemilikan atas
segala sesuatu yang ada di atasnya, sampai saatnya lahir UUPA.
Asas perlekatan vertikal berubah menjadi asas pemisahan horizontal
yaitu asas yang memisahkan kepemilikan atas tanah dengan segala
tidak serta merta menjadi bukti kepemilikan segala sesuatu yang ada
diatas tanah..
Asas perlekatan vertikal sebagaimana dianut dalam Buku II BW
merupakan asas yang mengakui kepemilikan hak atas tanah berikut segala
sesuatu yang berdiri di atasnya, namun setelah lahirnya UUPA maka segala
ketentuan mengenai pertanahan dalam Buku II BW, yang telah diatur dalam
UUPA menjadi tidak berlaku lagi. Begitu pula dengan asas perlekatan vertikal
yang dianut dalam Buku II BW, setelah lahirnya UUPA seharusnya menjadi
tidak berlaku lagi dalam kaitannya dengan perolehan hak atas tanah, karena
UUPA menganut asas pemisahan horizantal dalam perolehan hak atas
tanah. Namun demikian sampai dengan saat ini, bukti hak-hak atas tanah
yang dimiliki semua warga negara Indonesia setelah lahirnya UUPA masih
tetap menggambarkan penerapan asas perlekatan vertikal, walaupun telah
ada proses konversi hak atas tanah adat dan tanah barat menjadi
hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA.
Melihat kenyataan tersebut, keabsahan kepemilikan hak-hak atas tanah
termaksud menjadi suatu hal yang perlu dipikirkan. Sertifikat hak atas tanah
yang menjadi alat bukti kepemilikan atas hak atas tanah sekaligus menjadi
alat bukti atas segala sesuatu yang berdiri di atas tanah itu. Hal tersebut
merupakan perwujudan dari asas perlekatan vertikal yang seharusnya telah
tidak berlaku lagi saat ini. Kondisi ini disebabkan karena sampai saat ini
pemerintah belum mengubah fungsi sertifikat atas tanah tersebut. Perlu
waktu, sumber daya manusia dan sistem yang memadai untuk membenahi
Penerapan asas pemisahan horizontal sebagian telah diwujudkan dalam
kepemilikan satuan unit rumah strata title seperti susun atau apartemen,
namun untuk rumah permanen lainnya yang berbentuk horizontal masih
menggunakan sertifikat hak atas tanah sebagai wujud penerapan asas
perlekatan vertikal.
Berdasarkan penjelasan otentik Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 Tentang Hak Tanggungan, menegaskan bahwa dalam pembuatan Akta
Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) pada sebuah penjaminan benda
tidak bergerak, berlaku asas pemisahan horizontal, namun apabila
kepentingan menghendakinya, maka sertifikat hak atas tanah dapat dijadikan
jaminan dan dianggap meliputi tanah berikut dengan segala sesuatu (benda
tidak bergerak) yang berdiri di atas tanah termaksud. Dengan demikian
sertifikat hak atas tanah yang dianggap sebagai alat bukti sah atas tanah
berikut segala sesuatu yang berdiri di atasnya dan merupakan perwujudan
dari asas perlekatan vertikal masih memiliki keabsahan secara hukum.
B. Akibat Hukum Penerapan Asas Perlekatan Vertikal Terhadap Kepemilikan Hak Atas Tanah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria
Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok
Agraria memberikan dampak timbulnya perubahan-perubahan dalam hukum
pertanahan di Indonesia. UUPA sebagai wujud unifikasi hukum pertanahan
menyerap hukum adat pertanahan yang ada di Indonesia dan selanjutnya
diakomodir dalam pasal-pasal pada UUPA tersebut, salah satu perubahan
berkaitan dengan kepemilikan hak atas tanah melalui pendaftaran tanah,
yaitu asas perlekatan vertikal dan asas pemisahan horizontal.
Asas perlekatan vertikal dianut dalam Buku II BW sebagai bagian dari
hukum pertanahan sebelum lahirnya UUPA, sementara itu asas pemisahan
horizontal merupakan asas yang dianut dalam UUPA berkaitan dengan
pemilikan hak atas tanah. Asas perlekatan vertikal sebagaimana diketahui
sebelumnya merupakan asas yang menganggap bahwa sertifikat hak atas
tanah merupakan alat bukti yang sah atas tanah berikut segala sesuatu yang
berdiri di atasnya. Asas pemisahan horizontal merupakan asas yang dianut
UUPA yang menganggap bahwa sertifikat hak atas tanah merupakan bukti
kepemilikan hak atas tanah dan tidak termasuk segala apapun yang berdiri
dan tertanam di atas tanah itu.
Asas perlekatan vertikal dan asas pemisahan horizontal sangat
berpengaruh dalam kaitannya dengan bukti kepemilikan hak atas tanah.
Bukti kepemilikan hak atas tanah diperoleh melalui proses pendaftaran tanah
ke kantor pertanahan setempat dimana tanah berada. Berdasarkan asas
perlekatan vertikal yang dianut oleh Buku II BW, sertifikat tanah sebagai bukti
kepemilikan hak atas tanah merupakan alat bukti pula bagi segala sesuatu
yang berdiri di atas tanah tersebut, sedangkan menurut asas pemisahan
horizontal yang dianut UUPA, bahwa sertifikat atas tanah sebagai bukti
kepemilikan hak atas tanah tidak menjadi alat bukti kepemilikan atas segala
sesuatu yang berada di atas tanah termaksud.
Pada prakteknya, sertifikat hak atas tanah yang dimiliki masyarakat
Indonesia saat ini, sekaligus menjadi alat bukti kepemilikan untuk segala
strata title seperti rumah susun atau apartemen yang mana sertifikat
kemepilikannya hanya meliputi kepemilikan atas satuan unit rumah susun
atau apartemennya saja, dan tidak termasuk bukti kepemilikan atas tanah
dimana rumah susun atau apartemen itu didirikan, dengan demikian ada
dualisme hukum atas kepemilikan hak atas tanah terkait alat buktinya.
Sebagian sertifikat hak atas tanah merupakan implementasi dari asas
perlekatan vertikal dan sebagaian sertifikat sebagai perwujudan dari asas
pemisahan horizontal. Proses pembuktian hukum atas bukti kepemilikan hak
atas tanah menjadi beranekaragam. Seseorang yang memiliki sertifikat hak
atas tanah secara serta merta menganggap dirinya adalah pemilik atas
segala benda tidak bergerak yang berdiri di atasnya, oleh karena itu,
peralihan hak atas tanah secara serta merta pula berikut segala sesuatu
yang berdiri di atas tanah itu. Berbeda dengan satuan unit rumah susun atau
apartemen, maka peralihan hak atas satuan unit rumah susun atau
apartemen tersebut tidak serta merta beserta tanah dimana bangunan itu
didirikan, karena tanahnya menjadi hak pengelolaan bersama.
Sertifikat hak atas tanah sebagai perwujudan asas perlekatan vertikal
sebagaimana dijelaskan di atas, namun dalam beberapa kondisi, untuk
kepentingan tertentu seperti hak tanggungan, debitur dapat meminta kepada
Notaris PPAT untuk memisahkan pertanggungan hak atas tanah dalam Akta
Permasangan Hak Tanggungan (APHT) dengan bangunan yang berdiri di
atasnya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yaitu :
TENTANG POKOK-POKOK AGRARIA
THE LEGAL ANALYSIS OF VERTICAL FORMATION PRINCIPLE ON THE LAND
RIGHT OWNERSHIP IN INDONESIA IN CORELATION WITH THE ACT NO.5 OF 1960
ON LANDS FUNDAMENTAL
ARTIKEL
Oleh
Nama : Pia Sutiana
NIM : 31613800
Program Kekhususan : Hukum Bisnis
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG
ABSTRAK
Analisis Hukum Tentang Asas Perlekatan Vertikal dalam Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria
Kepemilikan atas tanah tidak terlepas dari beberapa asas yang diatur dalam UUPA tersebut. Pada dasarnya UUPA menganut dan meresapi hukum adat, Ada beberapa hal yang berubah seperti berubahnya asas perlekatan vertikal terkait kepemilikan tanah menurut Buku II Burgrelijk Wetboek menjadi asas pemisahan horizontal yang dianut dalam hukum adat. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, maka ada beberapa permasalahan hukum yang muncul, yakni : Bagaimana keabsahan hak atas tanah berdasarkan asas perlekatan vertikal menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria Dan akibat hukum apa yang timbul dengan adanya penerapan asas perlekatan vertikal terhadap kepemilikan hak atas tanah di Indonesia saat ini dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria.
Untuk mencapai tujuan diatas, maka Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dalam hal ini menguji dan mengkaji data sekunder yang berkaitan dengan penerapan asas perlekatan vertikal dalam kepemilikan atas tanah pada tahap ini dilakukan penafsiran secara gramatikal yaitu menafsirkan kata-kata dari peraturan perundang-undangan. Penafsiran hukum secara sistematis dengan menghubungkan peraturan perundang-undangan yang satu dengan perundang-undangan lainnya, penafsiran hukum otentik yang dapat dilakukan dengan cara melihat penjelasan dari pembuat undang-undang itu sendiri.
LAND RIGHT OWNERSHIP IN INDONESIA IN CORRELATION WITH THE ACT NO. 5 OF 1960 ON LANDS FUNDAMENTAL
The lands ownership since UUPA of land can not be separated from some of the principles set out in the Basic Agrarian Law (BAL). Basically BAL embraces and permeates the customary law. There are a few things that have changed as the changes of vertical attachment related land ownership according to Book II Burgrelijk Wetboek become horizontal separation principle adopted in the common law. Based on the background described in the previous section, there are some legal issues that arise, namely: The observed problems are: how the validation of lands right in refer to the vertical attachment principle according to the Act No. 5 of 1960 on BAL and What legal consequence of the implementation vertical attachment principle of to the lands right ownership in Indonesia at present based on the Act No.5 of 1960.
In order to attain the purpose, the researcher uses the juridical normative method.In this case, he tests and reviews secondary data relating to the implementation of the vertical attachment principle of the land ownership. At this stage, it conducts a grammatical interpretation from the law,systematic interpretation of the law by linking the law with the others, the authentic interpretation of the law which can be done by looking at the explanation of the lawmakers.