• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Sifat Fungsional Pati Suweg (Amorphophallus campanulatus var. hortensis) dengan Metode Heat Moisture Treatment

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Sifat Fungsional Pati Suweg (Amorphophallus campanulatus var. hortensis) dengan Metode Heat Moisture Treatment"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN SIFAT

FUNGSIONAL PATI SUWEG

(Amorphophallus campanulatus

var. hortensis)

DENGAN METODE

HEAT MOISTURE

TREATMENT

RADEN CECEP ERWAN ANDRIANSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Sifat Fungsional Pati Suweg (Amorphophallus campanulatus var. hortensis) dengan Metode Heat Moisture Treatment adalah benar karya saya dengan

arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

RADEN CECEP ERWAN ANDRIANSYAH. Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Sifat Fungsional Pati Suweg (Amorphophallus campanulatus var. hortensis) dengan

Metode Heat Moisture Treatment. Dibimbing oleh FERI KUSNANDAR, ELVIRA

SYAMSIR, dan AKMADI ABBAS

Indonesia memiliki beragam sumber pati lokal, diantaranya adalah umbi suweg (Ammorphohallus campanulatus var hortensis). Sebagaimana pati alami umumnya, pasta pati umbi suweg tidak tahan kondisi proses pemasakan suhu tinggi dan pengadukan (shearing), yang ditandai dengan penurunan viskositas bila dipanaskan pada suhu tinggi atau dilakukan proses pengadukan. Hal ini membatasi pemanfaatan pati umbi alami sebagai ingredien pangan, terutama apabila proses pengolahan dilakukan pada suhu tinggi dan/atau proses shearing yang cukup intensif. Modifikasi secara kimia, seperti modifikasi ikatan silang (cross-lingking) dapat memperbaiki karakteristik pasta pati sehingga tahan panas dan tahan shearing. Namun, pati ikatan silang dikelompokkan sebagai bahan tambahan pangan, sehingga penggunaannya dibatasi.

Alternatif modifikasi lain yang dapat memberikan karakteristik yang mirip dengan pati ikatan silang adalah modifikasi secara fisik dengan heat moisture treatment (HMT). Metode modifikasi HMT tidak menggunakan bahan kimia sebagai pereaksi sehingga tidak meninggalkan residu kimia terhadap pati termodifikasi yang dihasilkan sehingga dapat diperlakukan sebagai ingredien pangan. Modifikasi HMT digunakan untuk memperbaiki sifat fungsional pati yang dapat diaplikasikan lebih luas dalam proses pengolahan pangan.

Penelitian ini bertujuan untuk memperlajari perubahan sifat pasting pati suweg yang dimodifikasi HMT pada suhu and waktu pemanasan yang berbeda. Proses modifikasi HMT dilakukan pada kadar air 20% dengan perlakuan pemanasan pada suhu 110oC dan 120oC selama 16, 24, dan 32 jam. Pati hasil modifikasi HMT dianalisis perubahan morfologi, komposisi kimia dan karakteristik pasting dengan Rapid Visco Analyzer.

Metode ekstraksi basah pati suweg menghasilkan rendemen 2.64% pati suweg (bb) dengan warna putih abu-abu. Pati suweg yang dihasilkan mengandung kadar air 10.62%, kadar abu 0.24%, kadar protein 0.24%, kadar lemak 0.18%, kadar karbohidrat 88.72% dan kadar pati 76.61%. Pati suweg mengandung amilosa sebesar 37.02% dan amilopektin 39.58%.

Modifikasi HMT mampu meningkatkan suhu awal gelatinisasi dan menurun-kan viskositas puncak, viskositas akhir atau viskositas pasta dingin, viskositas breakdown, viskositas setback dan perubahan viskositas pada suhu 50oC. Hasil pengamatan mikroskopik dengan mikroskop polarisasi menunjukkan pati HMT masih memiliki sifat birefingence. Hal ini dikonfirmasi dari hasil pengamatan dengan scanning electron microscopic (SEM) dan pola difraksi sinar x yang tidak mengalami perubahan dibandingkan pati alaminya. Modifikasi HMT pada suhu 120oC selama 32 jam menyebabkan perubahan yang nyata terhadap karakteristik pasta pati, dimana pasta pati cenderung lebih tahan terhadap proses pemanasan dan shearing dibandingkan pati alaminya.

(5)

SUMMARY

RADEN CECEP ERWAN ANDRIANSYAH. Physicochemical and Functional Characteristics of Heat Moisture Treated Suweg Starch (Amorphophallus campa-nulatus var. hortensis). Supervised by FERI KUSNANDAR, ELVIRA SYAMSIR, dan AKMADI ABBAS

Indonesia has various sources of starch, suweg (Ammorphohallus campa-nulatus var. hortensis). The viscosity of natural starch, including suweg starch, is unstable to heating and shearing condition during food processing. This limits its utilization as a food ingredient, especially when high processing temperature, stirring and/or pumping is applied. Chemical modification, such as cross linking can improve starch characteristics to be become more heat and shear resistant. However, cross-linked starch is classified as a regulated food additive. Another alternative starch modification that can yield starch with similar characteristics to that of cross-linked starch is physical heat moisture treatment (HMT). A HMT modification does not leave chemical residue and can be applied as a food ingredient that has unlimited application.

The objective of this research was to study the effect of HMT modification to the change of pasting properties of suweg starch. HMT modification was performed at a moisture content of 20% with various heating treatment at 110oC

and 120oC for 16, 24 and 32 hours. The HMT suweg starch was analyzed in terms of starch morphology, chemical composition, and pasting properties.

Wet extraction of starch suweg yield 2.64% starch suweg. The native suweg starch contained water (10.62%), ashes (0.24%), protein (0.24%), fat (0.18%), carbohydrates (88.72%). The main component of carbohydrate is starch (76.61%) which is composed of amylose (37.02%) and amylopectin (39.58%).

In general, HMT suweg starch iniatially gelatinized at higher temperature compared and had lower peak viscosity, final viscosity and cold paste viscosity compared to those of its native. HMT modification did not change birefringence properties. It was confirmed by SEM and X ray diffraction analysis that showed similarity between HMT and native suweg starch. Suweg starch HMT modified at 120oC for 32 hours had the most heat and shear resistant compared to those of its native.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pangan

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN SIFAT

FUNGSIONAL PATI SUWEG

(Amorphophallus campanulatus

var. hortensis)

DENGAN METODE HEAT MOISTURE

TREATMENT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)

Judul Tesis : Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Sifat Fungsional Pati Suweg (Amorphophallus campanulatus var. hortensis) dengan Metode Heat Moisture Treatment

Nama : Raden Cecep Erwan Andriansyah NIM : F251100301

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Feri Kusnandar, MSc

Ketua Dr Elvira Syamsir, STP MSi Anggota

Dr Ir Akmadi Abbas, MEngSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Pangan

Prof Dr Ir Ratih DewantiHariyadi, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini ialah Identifikasi dan Modifikasi Sifat Fisikokimia dan Sifat Fungsional Pati Suweg (Amorphophallus campanulatus var. hortensis) dengan Metode Heat Moisture Treatment (HMT)

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Feri Kusnandar, MSc, Ibu Dr Elvira Syamsir, STP MSi dan Bapak Dr Ir Akmadi Abbas, MEngSc selaku pembimbing atas dorongan dan bimbingan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaan Bapak Dr Tjahja Muhandri, STP MT atas kesediannya menjadi dosen penguji. Terima kasih juga penulis haturkan kepada Kementerian Negara Riset dan Teknologi yang telah memberikan beasiswa karya siswa Ristek.

Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada kakak dan adik tercinta atas kasih sayang, pengertian dan pengorbanan yang diberikan selama penulis menjalani studi.

Kepada rekan-rekan mahasiswa angkatan 2010 Mayor Ilmu Pangan penulis ucapkan terimakasih atas kerjasamanya selama perkuliahan dan penelitian ini. Kepada rekan-rekan teknisi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, SEAFAST Center, dan Laboratorium Pengolahan Pangan Bertuzzi dan Laboratorium Kimia B2PTTG LIPI Subang, penulis ucapkan terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya yang tidak ternilai harganya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(11)

DAFTAR ISI

Modifikasi Pati dengan Metode HMT 9

3 METODE 10

Ekstraksi dan Karakterisasi Pati Suweg Alami 20

Penentuan Kondisi Suhu dan Waktu Proses HMT 26

Penentuan Waktu Tunda 27

Modifikasi Pati Suweg dengan Teknik HMT 28

(12)

DAFTAR TABEL

1 Rendemen pati suweg 20

2 Komposisi kimia pati suweg alami 21

3 Data hasil analisis profil pasting pati suweg 35

DAFTAR GAMBAR

1 (a) Pohon suweg (baltyra.com); (b) Umbi suweg (baltyra.com) 3 2 Profil RVA pada pati (Copeland et al. 2009). Suhu Awal Gelatinisasi

(SAG), Suhu Puncak Gelatinisasi (SPG), Viskositas Puncak (VP), Viskositas Pasta Panas (VPP), Viskositas Breakdown (VB), Viskositas Pasta Dingin (VPD), dan Viskositas Setback (VS) 6 3 Perubahan granula pati selama pengukuran: (a) pati alami, (b) pati

selama proses gelatinisasi ditandai dengan pengembangan granula,

(c) pelepasan amilosa, (d) retrogradasi. 6

4 Diagram alir penelitian pati suweg teknik HMT 11 5 Diagram alir proses modifikasi pati suweg metode HMT (Collado et

al. 2001, Purwani et al. 2006). 12

6 Posisi probe termokopel dalam sampel 13

7 Pati suweg alami dengan pengamatan mikroskop polarisasi

(pembesaran 400x) 23

8 Pengamatan dengan SEM pada pembesaran 200x (a) dan 400x (b)

pati suweg alami 23

9 Pola difraksi sinar X kristalin pati suweg alami 25

10 Profil gelatinisasi pati suweg alami 25

11 Data RVA pati suweg HMT selama 16 jam, 32 jam, dan 48 jam suhu 100 , 105, 110, 115, dan 120 0C dengan kadar air 20% 26 12 Contoh granula pati pada suhu proses HMT 110 0C; 16 Jam (a) dan

120 0C; 16 Jam (b) pada pembesaran 400 x 27

13 Data profil penetrasi panas pada loyang yang digunakan untuk proses

HMT kadar air 20% 28

14 Kurva kadar amilosa pati suweg modifikasi suhu 110 oC dan 120 oC 29

15 Kurva kadar amilopektin pati suweg modifikasi HMT suhu 110 oC

dan 120 oC 29

16 Struktur granula pati suweg termodifikasi HMT 110 oC 16 jam (a), 24 jam (b) dan 32 jam (c) di bawah mikroskop polarisasi (pembesaran

400x) 30

17 Struktur granula pati suweg termodifikasi HMT 120 oC 16 jam (a), 24 jam (b) dan 32 jam (c) di bawah mikroskop polarisasi (pembesaran

400x) 30

18 Pengamatan dengan SEM pada pembesaran 200x (a) dan 400x (b)

pati suweg HMT 110oC selama 32 jam 31

(13)

22 Pola difraksi sinar X kristalin pati suweg dan pati suweg termodifikasi HMT 110oC dan 120oC dengan waktu HMT 32 jam. 33 23 Kurva perubahan suhu awal pasting (a), viskositas puncak (b),

viskositas pasta panas (c), dan viskositas breakdown (d) selama fase

pemanasan 36

24 Kurva perubahan viskositas akhir/pasta dingin (a) dan viskositas

setback selama fase pendinginan (b) 38

25 Kurva perubahan viskositas pada 50 ºC modifikasi suhu 110 dan 120

ºC 39

26 Kekuatan gel pati suweg modifikasi HMT 110 oC dan 120 oC 40

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data hasil analisis profil pasting pati suweg alami pada tahap uji

pendahuluan 47

2 Data analisis proksimat pati suweg alami 48

3 Profil pasta pati suweg perlakuan HMT dan kontrol 49 4 Tabel anova dan uji lanjut Duncan densitas kamba, amilosa,

amilopektin dan derajat putih 50

5 Pola Difraksi Sinar X pati suweg alami 53

6 Pola Difraksi Sinar X pati suweg HMT 110 oC, 32 jam 57 7 Pola Difraksi Sinar X pati suweg HMT 120 oC, 32 jam 61

8 Perubahan viskositas pada suhu 50 oC 65

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki beragam sumber karbohidrat lokal, diantaranya adalah umbi-umbian. Salah satu jenis umbi-umbian sumber karbohidrat yang mengandung karbohidrat yang cukup tinggi, terutama kandungan patinya, adalah umbi suweg (Ammorphohallus campanulatus var hortensis).

Kandungan karbohidrat umbi suweg berkisar 80-85% (Kriswidarti 1980), dengan kandungan pati 39.36%, protein 6.02%, lemak 0.81%, dan serat kasar 0.33% (Richana dan Sunarti 2004). Hasil penelitian Faridah (2005) menunjukkan bahwa umbi suweg memiliki indeks glikemik (IG) sebesar 42 yang dikategorikan sebagai bahan pangan dengan nilai IG rendah (<55). Sebagaimana pati alami umumnya, pasta pati umbi dari suweg tidak tahan kondisi proses pemasakan suhu tinggi dan shearing, yang ditandai dengan penurunan viskositas bila dipanaskan pada suhu tinggi atau dilakukan proses pengadukan (Singh et al. 2007). Hal ini membatasi pemanfaatan pati umbi alami sebagai ingredien pangan, terutama apabila proses pengolahan dilakukan pada suhu tinggi dan/atau proses pengadukan atau pemompaan yang cukup intensif. Modifikasi secara kimia, seperti modifikasi ikatan silang (cross-lingking) dapat memperbaiki karakteristik pasta pati sehingga tahan panas dan tahan pengadukan (Ayoub dan Rizvi 2009). Namun, pati ikatan silang dikelompokkan sebagai bahan tambahan pangan, sehingga penggunaannya diatur.

Alternatif modifikasi lain yang dapat memberikan karaktersitik yang mirip dengan pati ikatan silang adalah modifikasi secara fisik dengan heat moisture treatment (HMT). Metode modifikasi HMT tidak menggunakan bahan kimia sebagai pereaksi sehingga tidak meninggalkan residu terhadap pati termodifikasi yang dihasilkan dan pati yang dihasilkan dapat diperlakukan sebagai ingredien pangan (bukan sebagai bahan tambahan pangan).

Metode modifikasi HMT dilakukan dengan cara memanaskan granula pati di atas suhu gelatinisasinya pada kondisi kadar air terbatas yang tidak menyebabkannya mengalami gelatinisasi tetapi memungkinkan pati mengalami perubahan konformasi molekul amilosa dan amilopektin yang lebih kompak (Singh et al. 2005; Vermeylen et al. 2006; Pukkahuta dan Varavinit 2007).

Beberapa peneliti melaporkan proses modifikasi HMT pada kondisi suhu, waktu dan kadar air yang berbeda, seperti pati canna pada suhu 100 oC selama 6 jam pada kadar air 15-25% (Watcharatewinkul et al. 2009), pati kentang pada suhu 110oC dengan proses stirring selama 30 menit pada kadar air 30% (Zhang et

al. 2013), pati tapioka pada suhu 110 oC selama 240 menit pada kadar air 20% (Syamsir 2012), dan pati kacang hijau pada suhu 120 oC selama 12 jam pada kadar air 15-35% (Li et al. 2011). Hal tersebut menunjukkan kondisi modifikasi dapat berbeda-beda tergantung pada jenis pati dan cara modifikasi yang diterapkan.

(16)

2

dimodifikasi HMT menunjukkan peningkatan kestabilan terhadap panas dan pengadukan, seperti ditunjukkan pada pati beras (Hormdok dan Noomhorm 2007) dan pati jagung (Chung et al. 2009).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini adalah untuk menentukan kondisi suhu dan waktu proses modifikasi pati suweg yang dapat menghasilkan pati suweg termodifikasi HMT dengan sifat pasta yang tahan panas dan tahan pengadukan dan mengetahui pengaruhnya terhadap daya cerna berdasarkan kandungan pati resisten.

Hipotesis

1 Pati suweg hasil modifikasi HMT sifat-sifatnya dapat berubah

2 Pati suweg hasil modifikasi HMT memiliki sifat ketahanan panas dan pengadukan yang lebih tinggi dibandingkan pati alami

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berikut:

1 Informasi kondisi suhu dan waktu pemanasan pati modifikasi HMT yang menghasilkan pati suweg modifikasi dengan sifat ketahanan terhadap proses pemanasan dan pengadukan yang lebih baik.

(17)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Umbi Suweg

Umbi suweg (Amorphophallus campanulatus) adalah tanaman yang termasuk jenis Araceae yang berbatang semu dan memiliki daun tunggal yang terpecah-pecah dengan tangkai daun tegak yang keluar dari umbinya. Tangkai berwarna belang hijau putih, berbintil-bintil dan panjang nya 50-150 cm (Richana dan Sunarti 2004). Seluruh permukaan kulit suweg penuh dengan bintil-bintil dan tonjolan yang sebenarnya merupakan anak umbi dan tunas. Sementara di bagian atas tepat di tengah-tengah lingkaran umbi, terletak tunas utamanya. Bobot umbi suweg ukuran raksasa ini bisa mencapai 10 kg lebih. Kandungan airnya cukup tinggi, yakni antara 65-70%. Sementara kandungan patinya di bawah 30%. Umbi suweg masih satu kerabat dengan bunga bangkai raksasa dari Sumatera yang tingginya bisa mencapai 2 meter lebih. Suweg akan mengeluarkan bunga ketika pertumbuhan vegetatifnya telah mencapai titik optimum dan kandungan pati pada umbi telah penuh. Tepung umbi suweg mempunyai potensi mencegah beberapa penyakit degeneratif, termasuk penyakit jantung koroner, melalui mekanisme penurunan kolesterol dalam darah (Utami 2008).

Di seluruh dunia, ada sekitar 90 jenis Amorphophallus. Selain suweg, masyarakat juga mengenal iles-iles (Amorphophlallus konyac) dan acung (Amorphophallus variabilis). Umbi suweg sebenarnya merupakan batang yang berada dalam tanah, sementara batang suweg yang bisa mencapai diameter 10 cm, tinggi 1.5 m, dan berwarna hijau belang-belang putih mirip tubuh ular itu, sebenarnya hanyalah tangkai daun. Daun suweg sendiri menjadi banyak dan membentuk seperti payung selebar 1 m. Batang semu ini akan menguning, layu, lalu mati menjelang musim kemarau, sehingga pada musim kemarau umbi akan mengalami masa dorman (istirahat) untuk tumbuh lagi pada awal musim penghujan. Benih berupa tonjolan di kulit umbi suweg seukuran kelereng, hingga mencapai ukuran optimal seberat 10 kg yang memerlukan masa pertumbuhan sekitar 5 tahun bahkan lebih. Suweg menuntut tanah yang gembur di bawah naungan tanaman pada dataran rendah sampai ketinggian 800 m di atas permukaan laut dengan curah hujan tinggi sampai sedang. Suweg kurang cocok tumbuh di kawasan yang ekstrem kering seperti Propinsi Nusa Tenggara Timur.

a b

(18)

4

Tanaman suweg dibudidayakan di sela-sela tanaman jagung dan singkong atau di bawah tegakan tanaman keras. Suweg yang ditanam di bawah tegakan tanaman keras, biasanya hasilnya lebih optimal. Pertumbuhan tanaman lebih baik dan ukuran umbinya lebih besar. Namun kadar patinya lebih rendah sementara kandungan airnya lebih tinggi. Benih suweg berupa anakan umbi sebesar telur puyuh dan mata tunas yang berasal dari kulit umbi dewasa akan menghasilkan individu tanaman yang kecil dengan hasil umbi maksimal sebesar kepalan tangan. Umbi yang seperti itu masih belum bisa dikonsumsi. Petani akan membiarkan umbi ukuran kecil ini tetap berada dalam tanah hingga pada musim penghujan berikutnya akan tumbuh menjadi tanaman berukuran sedang. Setelah dua sampai dengan tiga tahun dibiarkan tumbuh terus, ukuran umbi akan mencapai diameter sekitar 15 cm. Umbi dengan ukuran ini sudah mulai dikonsumsi.

Amorphophallus campanulatus merupakan tanaman yang berbatang semu, mempunyai satu daun tunggal yang terpecah-pecah dengan tangkai daun tegak yang keluar dari umbinya. Tangkainya belang hijau putih, berbintil-bintil dengan panjang 50-150 cm. Perbungaannya muncul setelah daun hilang dari permukaan tanah, terdiri atas tangkai bunga, seludang, dan tongkol. Tongkolnya berbau tidak enak dan terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian bawah bunga betina, bagian tengah bunga jantan, dan bagian atas bunga mandul. Spesies Amorphophallus campanulatus mengandung kadar pati yang tinggi yaitu sekitar 77% dan poliosa 14% (Ohtsuki 1968).

Pati

Pati merupakan sumber utama karbohidrat dalam pangan. Pati adalah bentuk penting polisakarida yang tersimpan dalam jaringan tanaman dapat berupa granula dalam kloroplas daun dan dalam amiloplas pada biji dan umbi (Sajilata et al. 2006). Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan alfa-glikosidik. Molekul pati berbentuk semikristalin yang tersusun dari unit kristal dan unit amorphous. Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim, sedangkan unit amorphous pati bersifat lebih labil.

(19)

5 akan mempengaruhi berat molekul amilosa. Rantai polimer sendiri dipengaruhi oleh sumber patinya.

Pada umumnya amilosa dari umbi-umbian mempunyai berat molekul lebih besar dan rantai polimer amilosa yang lebih panjang dibandingkan dengan berat molekul dan panjang rantai polimer amilosa serealia (Fennema 2000).

Gelatinisasi

Pati dalam jaringan tanaman memiliki bentuk granula (butir) yang berbeda-beda. Jenis pati dapat dibedakan dengan pengamatan mikroskopis karena memiliki bentuk, ukuran, letak hilum, dan juga sifat birefringence yang unik (Winarno 2004). Granula pati memiliki sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal gelap terang, sifat inilah yang disebut sifat birefringence. Gelatinisasi adalah peristiwa hilangnya sifat birefringence granula pati akibat penambahan air secara berlebih dan pemanasan pada waktu dan suhu tertentu sehingga granula membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi semula (irreversible). Winarno (2004) menyatakan bahwa suhu saat sifat birefringence granula pati mulai menghilang dihitung sebagai suhu awal gelatinisasi. Menurut Kusnandar (2011) gelatinisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan serangkaian kejadian tidak dapat balik (irreversible) yang terjadi pada pati saat dipanaskan dalam sistem air. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi. Penelitian Richana dan Sunarti (2004) menyebutkan bahwa suhu gelatinisasi pati suweg adalah 79.5 oC. Granula pati tidak larut pada air dingin tetapi bagian amorphous pada granula pati dapat menyerap air sampai 30%. Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air, granula patinya akan menyerap air dan membengkak. Akan tetapi jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas.

(20)

6

gelatinisasi terus berlanjut maka granula akan pecah dan terbentuklah struktur gel koloidal.

Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi pati. Makin kental larutan, maka suhu tersebut akan semakin lama tercapai. Pada suhu tertentu kekentalan tidak bertambah bahkan kadang-kadang turun (Winarno 2004). Selain konsentrasi, pembentukan gel dipengaruhi oleh pH larutan. Pembentukan gel optimum pada pH 4-7. Pada pH yang terlalu tinggi pembentukan gel berlangsung dengan cepat tetapi juga cepat menurun. Sedangkan bila pH terlalu rendah, gel terbentuk terlalu lambat dan saat pemanasan diteruskan maka viskositas akan kembali turun. Pati

Gambar 2 Profil RVA pada pati (Copeland et al. 2009). Suhu Awal

Gelatinisasi (SAG), Suhu Puncak Gelatinisasi (SPG), Viskositas Puncak (VP), Viskositas Pasta Panas (VPP), Viskositas Breakdown (VB), Viskositas Pasta Dingin (VPD), dan Viskositas Setback (VS)

(21)

7 yang telah mengalami gelatinisasi dapat keringkan, tetapi molekul-molekul tersebut tidak dapat kembali lagi ke sifat-sifat sebelum gelatinisasi. Bahan yang dikeringkan tersebut mampu menyerap air kembali dalam jumlah yang besar. Sifat pati yang telah tergelanisasi inilah yang diaplikasikan pada berbagai produk pangan (Winarno 2004).

Proses gelatinisasi setiap sumber pati bersifat khas yang dipengaruhi oleh jenis pati, konsentrasi pati yang digunakan, suhu pemastaan (pasting) atau suhu awal terjadinya gelatinisasi, ukuran granula pati, persentase amilosa, bobot molekul, derajat kristalisasi, tipe granula, prosedur pemasakan (suhu, pH, waktu, agitasi, metode), dan keberadaan komponen lain (Moorthy 2002, Elliason 2004) dalam Murdiati (2012). Proses gelatinisasi pati tersebut dapat diamati dengan menggunakan alat Brabender Viscoamilograph (BVA) atau Rapid Visco Analyzer (RVA). BVA dan RVA mencatat data-data profil gelatinisasi selama fase pemanasan dan pendinginan yaitu suhu awal gelatinisasi, waktu awal gelatinisasi, viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas setback, dan viskositas akhir (Gambar 2 dan Gambar 3). Penentuan parameter profil gelatinisasi tersebut yaitu (1) suhu awal gelatinisasi menunjukkan suhu pada saat nilai viskositas mulai terbaca; (2) waktu gelatinisasi adalah waktu saat nilai viskositas mulai terbaca; (3) viskositas puncak menunjukkan saat granula pati mengembang maksimum selama pemanasan; (4) viskositas breakdown diperoleh dari selisih antara viskositas maksimum dengan viskositas minimum setelah fase pemanasan. Suhu viskositas breakdown menggambarkan tingkat kestabilan pasta pati terhadap proses pemanasan; (5) viskositas setback diperoleh dari selisih viskositas pada saat dimulai suhu pendinginan dengan viskositas maksimum saat pemanasan. Viskositas setback menggambarkan kecenderungan pasta pati untuk mengalami retrogradasi selama fase pendinginan yaitu semakin tinggi viskositas setback maka kecenderungan retrogradasi semakin meningkat; dan (6) viskositas akhir ditentukan dari viskositas setelah pati didinginkan pada fase pendinginan (Kusnandar 2011).

Retrogradasi akan terjadi apabila gel pati didiamkan beberapa lama maka akan terjadi perluasan daerah kristal sehingga mengakibatkan pengerutan struktur gel yang biasanya diikuti dengan keluarnya air dari gel. Pati tergelatinisasi yang kemudian mengalami penurunan suhu dapat mengkristal kembali, peristiwa ini disebut dengan retrogradasi (Fennema 2000). Bila pati didinginkan, energi kinetik tidak cukup tinggi untuk mencegah kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk berikatan satu sama lain. Dengan demikian terjadi semacam jaring-jaring yang membentuk mikrokristal dan mengendap (Winarno 2004). Retrogradasi mengakibatkan perubahan sifat gel pati diantaranya meningkatkan ketahanan pati terhadap hidrolisis enzim amilolitik, menurunkan kemampuan melewatkan cahaya (transmisi), dan kehilangan kemampuan untuk membentuk kompleks berwarna biru dengan iodin.

Modifikasi Pati

(22)

8

ditingkatkan sesuai karakteristik produk pangan dengan teknik modifikasi (Elliason 2004). Pati modifikasi adalah pati yang diberi perlakuan tertentu sehingga dihasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya, terutama sifat fisiko-kimia dan fungsionalnya atau untuk mengubah beberapa sifat lainnya. Perlakuan tersebut mencakup perlakuan secara fisik dan kimia. Metode modifikasi pati antara lain modifikasi dengan pemuliaan tanaman, konversi dengan hidrolisis (asam atau oksidator), cross linking, derivatisasi secara kimia (esterifikasi dan eterifikasi), serta perlakuan fisik yang akan menghasilkan perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul pati.

Modifikasi pati dapat diklasifikasikan secara kimia menurut Beynum dan Roels (1985) dan secara fisik. Modifikasi secara kimia yaitu modifikasi pati yang gugus hidroksilnya telah diubah lewat suatu reaksi kimia (esterifikasi atau oksidasi) atau dengan mengganggu struktur asalnya. Teknik modifikasi pati antara lain modifikasi sifat reologi dan modifikasi dengan stabilisasi. Modifikasi sifat reologi meliputi depolimerisasi dan ikatan silang. Proses depolimerisasi akan menurunkan viskositas sehingga dapat digunakan untuk tingkat total padatan yang tinggi. Depolimerisasi dapat dilakukan dengan cara dekstrinasi, konversi asam, dan oksidasi. Teknik ikatan silang akan membentuk jembatan antara molekul sehingga didapatkan jaringan molekul yang kaku. Cara ini akan mengubah sifat reologi pati dan sifat resistennya terhadap asam. Modifikasi dengan stabilisasi dilakukan melalui reaksi esterifikasi dan eterifikasi. Modifikasi ini menghasilkan pati dengan tingkat retrogradasi yang lebih rendah dan stabilitas yang meningkat.

Modifikasi pati secara fisik yaitu melibatkan beberapa faktor antara lain: suhu, tekanan, pemotongan, dan kadar air pada pati. Granula pati dapat diubah secara parsial maupun total. Prinsip modifikasi fisik adalah dengan pemanasan. Bila dibandingkan dengan modifikasi kimia, modifikasi fisik cenderung lebih aman karena tidak menggunakan berbagai pereaksi kimia. Perlakuan modifikasi secara fisik antara lain: ekstruksi, praboiling, steam-cooking, iradiasi microwave, pemanggangan, hydrotermal treatment dan autoclaving. (Sajilata et al. 2006). Metode modifikasi fisik yang telah disebutkan dapat meningkatkan kadar pati resisten (Sajilata et al. 2006). Metode steaming-cooking dan praboiling umumnya diaplikasikan pada beras sedangkan metode ekstruksi biasa digunakan untuk memodifikasi karakteristik fungsional pati serealia. Proses modifikasi tersebut menggunakan suhu tinggi, waktu yang singkat, dan gelatinisasi pati terjadi pada kandungan air rendah.

(23)

9

Modifikasi Pati dengan Metode HMT

Modifikasi pati dengan metode HMT (Heat Moisture Treatment) merupakan metode modifikasi pati yang dilakukan secara fisik yaitu melibatkan perlakuan panas dan pengaturan kadar air yaitu pada pemanasan yang dilakukan di atas suhu gelatinisasi pati (80-120 oC) namun pada kadar air yang terbatas (<35%) (Collado et al. 2001).

Energi yang diserap oleh granula pati selama pemanasan berlangsung kemungkinan dapat melemahkan ikatan hidrogen inter dan intra molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula pati (Herawati 2009). Kondisi ini memberi peluang kepada air untk menginhibisi granula pati. Jumlah air yang terbatas menyebabkan adanya peningkatan kelarutan pati di dalam air selama pemanasan berlangsung. Modifikasi HMT belum mampu membuat pati mengalami gelatinisasi yang ditunjukkan dengan masih terjaganya integritas granula pati termodifikasi HMT dari hasil analisi difraksi sinar x (Hoover dan Manuel 1996; Gunaratne dan Hoover 2002; Lawal 2005; Adebowale 2005; Vermeylen et al. 2006) dan studi bentuk granula dengan mikroskop polarisasi cahaya atau Scanning Electron Microscope (SEM) (Pukkahuta et al. 2008; Vermeylene et al. 2006). HMT menyebabkan pembentukan rongga dan mengaburnya persilangan dibagian tengah granula. (Herawati 2009; Pukkahuta et al. 2008; Vermeylen et al. 2006; Pukkahuta dan Varavinit 2007).

(24)

10

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2012 Oktober 2013. Penelitian dilakukan di Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna – LIPI dan Laboratorium Seafast Center dan Laboratorium Kimia Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah umbi suweg (Amorphophallus campanulatus varietas hortensis) yang diperoleh dari wilayah Sumedang Jawa Barat dengan umur panen 12-18 bulan. Bahan lainnya antara lain HCl, H2SO4

NaOH (Merck), serta bahan-bahan kimia untuk analisis.

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat chooper, pengepres hidrolik, oven pengering (Memmert tipe 100-800) dengan sirkulasi udara, Rapid Visco Analyzer (RVA) ) (Model Tec-master, Newpot Scientific Pty. Ltd, Warriewood, Australia), Kett White Tester, HPLC, Polarized Light Microscope (PLM) (olympus optical Co. Ltd, Jepang dan Scanning Electron Microscope, peralatan gelas untuk analisis dan alat sieve analysis.

Metodologi

Penelitian ini dibagi menjadi empat tahapan penelitian. Tahap pertama adalah ektraksi dan karakterisasi pati suweg alami, tahap kedua adalah penentuan kondisi proses HMT, tahap ketiga adalah penentuan waktu tunda proses HMT, dan tahap keempat adalah modifikasi pati suweg dengan teknik HMT. Diagram alir penelitian ditampilkan pada Gambar 4 dan diagram proses HMT pada Gambar 5.

Tahapan Penelitian Ekstraksi dan karakterisasi pati suweg alami

Proses ektraksi pati suweg dilakukan dengan tahapan berikut: umbi suweg dikupas, dicuci dan dipotong-potong secara manual, kemudian diperkecil ukurannya dengan menggunakan mesin chooper sehingga dihasilkan hancuran umbi dalam bentuk bubur kasar. Selanjutnya ditambah air hingga merata dengan rasio 1:2.

(25)

11

pengering Memmert tipe 100-800 pada suhu 50 oC sampai diperoleh pati dengan kadar air < 13%. Pati yang dihasilkan kemudian disimpan dalam freezer untuk kepentingan analisis. Pati dianalisis kadar proksimat dengan metode AOAC (2005), kadar pati metode Luff schoorl (Sudarmadji et al. 1997), amilosa dan amilopektin, kemudian analisis sifat fisik: bentuk dan ukuran granula, densitas kamba, tipe kristalin dan kristalinitas granula pati dengan difraksi sinar x, sifat derajat putih, densitas kamba, analisis profil pasta pati dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) (Collado et al. 2001), amilosa-amilopektin (Apriyantono et al. 1989) dan kekuatan gel (Collado dan Corke 1999; Zhu et al. 2009).

(26)

12

Penentuan kondisi suhu dan waktu proses HMT

Tahap kedua bertujuan untuk memilih suhu dan waktu proses HMT yang akan digunakan. Untuk memilih suhu, pati suweg pada proses HMT dengan kadar air 20% pada suhu 100, 105, 110, 115, dan 120 oC selama 16 jam. Kemudian dilakukan pengukuran pada suhu 120 oC selama 16, 32, dan 48 jam. Parameter

yang diamati adalah bentuk dan ukuran granula pati, serta karakteristik pasting. Penentuan suhu proses HMT dilakukan dengan pertimbangan bahwa suhu proses tidak menyebabkan perubahan sifat birefringence granula pati dan mampu menghasilkan pati dengan karakteristik yang lebih stabil terhadap proses *pada penelitian tahap 4 waktu proses HMT ditambahkan waktu tunda 47 menit Gambar 5 Diagram alir proses modifikasi pati suweg metode HMT (Collado et al.

(27)

13 pemanasan dan pengadukan. Untuk memilih waktu proses, pati suweg di proses HMT pada suhu 120 oC selama 16,32 dan 48 jam. Parameter yang diamati adalah karakteristik pasting pati HMT yang dihasilkan.

Proses modifikasi pati suweg metode HMT mengacu pada prosedur Collado et al. (2001) dan Purwani et al. (2006). Perlakuaan modifikasi HMT yang dilakukan adalah dengan cara pati suweg 180 gr disebarkan secara merata diatas loyang alumunium 20x8.5x2 cm3 dengan ketebalan pati 0.5 mm dan kadar air pati suweg diatur menjadi 20% dengan cara sejumlah air ditambahkan ke dalam pati suweg yang telah diketahui kadar airnya. Selanjutnya agar kadar air merata dan homogen, loyang berisi pati suweg ditutup rapat dan disimpan dalam refrigerator (4 oC) selama 12 jam. Loyang kemudian dimasukan ke dalam oven Memmert tipe

100-800. Proses dilakukan sesuai tahap penelitian. Setelah proses HMT selesai, pati suweg disimpan pada suhu ruang dan dikeringkan selama 4 jam pada suhu 50

oC. Pati suweg hasil modifikasi kemudian diayak dengan ayakan 100 mesh

(Retsch GmbH, Jerman). Diagram alir proses modifikasi pati suweg metode HMT ditampilkan pada Gambar 5.

Penentuan waktu tunda proses HMT

Tahap ketiga bertujuan untuk menentukan berapa lama waktu pemanasan yang dibutuhkan oleh bagian terdingin bahan untuk mencapai suhu HMT. Waktu tunda ini selanjutnya akan ditambahkan pada waktu proses HMT. Pengukuran waktu tunda ini dilakukan dengan cara memasukkan sampel pada loyang aluminium ukuran 20x8.5x2 cm. Sampel dengan kadar air 20% yang telah dipasang dengan probe atau sensor dari termokopel pada posisi 4 titik, yaitu: bagian ujung loyang sebelah kanan dan kiri dan bagian tengah loyang seperti terlihat pada Gambar 6. Perekam akan mencatat perubahan suhu terhadap waktu yang diprogram setiap satu menit dengan suhu awal oven yaitu 130 oC dan suhu

target adalah 110 oC.

(28)

14

Modifikasi pati suweg dengan teknik HMT

Tahap keempat bertujuan untuk memperbaiki ketahanan terhadap proses pemanasan dan pengadukan. Modifikasi HMT dilakukan pada suhu 110 dan 120

oC dengan waktu 16, 24, dan 32 jam dengan penambahan waktu 47 menit (waktu

tunda). Sebagai contoh proses HMT pada suhu 110 dan 120 oC pada waktu proses HMT 16 jam menjadi 16 jam 47 menit. Demikian pula pada waktu proses HMT 24 dan 32 jam.

Rancangan Percobaan

Penelitian modifikasi pati suweg dengan metode HMT dan analisis karakteristiknya didesain dengan menggunakan rancangan acak lengkap dengan dua kali pengulangan dengan faktor kombinasi suhu dan waktu pemanasan. Rancangan penelitian untuk menentukan kondisi proses modifikasi pati suweg kombinasi suhu dan waktu dengan rancangan acak lengkap dengan model linier sebagai berikut:

Analisis statistik untuk penelitian tahap modifikasi HMT menggunakan rancangan Rancangan Acak Lengkap (RAL) (Steel dan Torrie 1980) dengan tiga kali ulangan tiap-tiap perlakuan dan diolah dengan SPSS 17.

Prosedur Analisis Rendemen

(29)

15 dalam oven 100 oC selama 6 jam. Cawan dipindahkan ke dalam desikator lalu

didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh berat konstan (C). Perhitungan:

Cawan yang akan digunaan untuk pengabuan terlebih dahulu dikeringkan di dalam oven selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sebanyak ±3 g sampel ditimbang di dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600 oC selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang (C).

3 Kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC 1995)

Analisis protein metode ini terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Sebanyak ±0.51 gram sampel ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 mL, lalu ditambahkan 1.0±0.1 g , 40±10 mg K2SO4 dan 2 ± 0.1 mL H2SO4 pekat. , Sampel didestruksi di ruang

asam pada suhu 410 oC selama kurang lebih 2 jam atau sampai cairan berwarna hijau bening. Labu kjeldahl dicuci dengan akuades 50 hingga 75 mL, lalu ditanda bataskan pada labu ukur 100 mL dan dipipet 5 mL. Kemudian larutan yang dipipet tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 mL yang berisi 25 mL asam borat (H3BO3) 4% yang mengandung indikator bromcherosol green 0.1% dan

methyl red 0.1% dengan perbandingan 2:1. Destilasi dilakukan dengan menambahkan 50 mL larutan NaOH-Na2S2O3 ke dalam alat destilasi hingga

tertampung 100-150 mL destilat di dalam erlenmeyer dengan hasil destilat berwarna hijau. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0.01 N sampai terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh.

Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut:

%

(30)

16

dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam

desikator kemudian labu beserta lemak ditimbang (C) dan dilakukan perhitungan kadar lemak.

Karbohidrat dihitung berdasarkan metode by difference dengan perhitungan:

Residu oksalat (Hitachi High Technology Corporation)

Sebanyak 1-5 g sampel pati suweg ditimbang lalu dilarutkan dalam labu ukur 25 mL dan dilarutkan dan ditandabataskan dengan aquabidest. Selanjutnya larutan tersebut tersebut disentrifusi 3 menit pada 7500 rpm. Larutan jernih kemudian disaring dengan membran filter 0.45 μm dan dimasukan ke dalam vial. Sebanyak 10 μL sampel kemudian diinjeksikan ke dalam sistem HPLC dengan detektor uv/vis yang diset pada 210 nm. Pemisahan dilakukan dengan kromatografi penukar ion menggunakan isokratik elution (Lichrospher Rp18 250x4 mm) pada 1.0 mL/menit dengan fasa gerak (1 mmol H2SO4 dan 1 mmol

Na2SO4 pH 2.8). Kandungan asam oksalat dalam setiap sampel dianalisis dengan

menggunakan kurva standar asam oksalat (0, 25, 50, 100, 250, 500, dan1000 ppm). Semua sampel dianalisis secara triplo.

Kadar pati(Sudarmadji et al. 1997)

(31)

17

W = Glukosa yang terkandung untuk ml Na2S2O3; W1 = Bobot sampel (mg);

FP = Faktor pengenceran

Kandungan amilosa-amilopektin (Apriyantono et al. 1989) Pembuatan kurva standar amilosa

Sebanyak 40 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, ditambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 mL larutan NaOH 1 N ke dalam labu. Labu takar lalu dipanaskan ke dalam penangas air pada suhu 95 °C selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air destilata sampai tanda tera sebagai larutan stok standar.

Dari larutan stok dipipet 1, 2, 3, 4 dan 5 mL dan dipindahkan masing-masing ke dalam labu takar 100 mL. Ke dalam masing-masing-masing-masing labu takar tersebut kemudian ditambahkan 0.2; 0.4; 0.6; 0.8 dan 1.0 mL larutan asam asetat 1 N. Ditambahkan 2 mL larutan iod (0.2 g I2 dan 2 g KI dilarutkan dalam 100 mL air

destilata) ke dalam setiap labu, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar merupakan hubungan antara kadar amilosa dan absorbansi.

Analisis sampel

Sebanyak 100 mg sampel pati dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. Kemudian ditambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 mL larutan NaOH 1 N ke dalam labu. Labu takar lalu dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95 °C selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air destilata sampai tanda tera dan dihomogenkan. Dipipet 5 mL larutan gel pati dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL. Ke dalam labu takar tersebut kemudian ditambahkan 1.0 mL larutan asam asetat 1 N dan 2 mL larutan iod, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa ditentukan berdasarkan persamaan kurva standar yang diperoleh.

W

C = Konsentrasi amilosa (mg/mL) V = Volume akhir contoh (mL) F = Faktor pengenceran

W = Berat contoh (mg)

(32)

18

Derajat putih (Kett Electric Laboratory 1981)

Sampel diukur menggunakan alat Kett Electric Laboratory C-100-3 Whitenessmeter. Sebelum pengukuran dilakukan kalibrasi alat dengan standar derajat putih yaitu BaSO4 yang memiliki derajat putih 100% (81.6). Setelah

dikalibrasi, sampelm diukur dengan memasukan sejumlah sampel dalam wadah sampel yang tersedia smpai benar-benar padat kemudian wadah ditutup. Wadah yang telah berisi sampel dimasukkan ke dalam tempat pengukuran lalu nilai derajat putih akan keluar pada layar (A). Derajat putih dihitung dengan cara sebagai berikut:

Derajat Putih =

tandar a x 100 %

A = Nilai yang terbaca pada alat.

Densitas kamba (Muchtadi dan Sugiyono 2006)

Sampel pati dimasukkan ke dalam gelas ukur 50 mL sampai volume tepat menjadi 50 mL lalu ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan membagi berat sampel dengan volume bahan (g/mL)

Mikrostruktur (Yuliasih 2008 yang dimodifikasi)

Mikrostruktur yang diamati adalah sifat birefringence, bentuk dan ukuran granula pati dianalisis dengan cara membuat suspensi encer dengan melarutkan 1 sudip sampel dalam ±20 mL air. Kemudian diambil beberapa tetes suspensi ke atas sebuah gelas objek. Gelas penutup dipasang, lalu preparat diamati dengan menggunakan mikroskop polarisasi cahaya pada skala pembesaran 400x dan gambar yang teramati dipotret dengan kamera digital.

Analisis bentuk dan ukuran granula pati dilakukan dengan SEM. Sebanyak 2 mg sampel disimpan dalam cetakan logam peralatan SEM yang dilengkapi dengan pompa vakum. Dengan adanya tumbukan electron oleh senjata electron ke arah sampel terekam ke dalam monitor sehingga diperoleh gambar yang diamati pada pembesara 200 dan 400 kali.

Tipe kristal dan kristalinitas granula pati (Kawabata et al. 1994)

Tipe kristal dan kristalinitas granula pati diamati dari difraktogram sinar-X menggunakan difraktogram sinar-X (X-ray diffractometer, XRD 7000 Maxima dari Shimadzu). Sejumlah kecil sampel diletakkan dalam wadah sampel kemudian dimasukkan dalam alat difraktometer sinar X. Kondisi pengukuran adalah radiasi monokromatik yang digunakan Cu dengan panjang gelombang 1.54060 Å yang dihasilkan dari difraktometer X-ray pada 40 kV dan 30 mA. Daerah scanning difraksi pada sudut 2 theta adalah 5-35° dengan step interval 0.02° dan kecepatan scan 2.0°/menit. Stuktur dilihat dari puncak yang dihasilkan. Kristalinitas (%) dinyatakan sebagai persentase rasio dari daerah difraksi puncak dengan difraksi total.

Karakteristik pasting (RVA standar 2 dalam Syamsir 2012)

(33)

19 pada kecepatan 160 rpm dan suhu 50oC. Selanjutnya, sampai menit ke 8.5, suhu

pemanasan dinaikan dari 50 oC menjadi 95 oC. Suhu dijaga konstan pada 95 oC selama 5 menit (sampai menit ke 13.5). Setelah pemanasan konstan, suhu diturunkan menjadi 50 oC (pada menit ke 21) dan dipertahankan pada suhu 50 oC

selama 2 menit (sampai menit ke 23).

Dari kurva RVA akan diperoleh nilai dari suhu awal pasting (TP), suhu viskositas maksimum (T maks), viskositas puncak (VP), viskositas panas dan viskositas akhir. Nilai viskositas (breakdown) VBD dihitung sebagai selisih antara viskositas puncak dikurangi dengan viskositas panas. Viskositas balik (setback viscosity, VB) adalah nilai dari viskositas akhir (final viscosity) dikurangi dengan viskositas panas. Viskositas breakdown relatif (VBD-R) adalah persen rasio dari viskositas breakdown dengan viskositas puncak sementara viskositas balik relatif (VB-R) merupakan persen rasio dari viskositas balik dengan viskositas panas. Kekuatan gel (Collado dan Corke 1999; Zhu et al. 2009)

Pengukuran tekstur gel dilakukan dengan menyiapkan pasta pati suweg dengan konsentrasi 20%. Pembuatan gel dibuat dengan melarutkan 20 g pati pada 100 g air destilata, kemudian dipanaskan selama 30 menit pada suhu 95oC. Pasta pati kemudian dituangkan ke dalam wadah pipa (diameter 2.7 cm dan tinggi 3.5 cm) pada suhu ruang hingga membentuk gel dan dibiarkan selama 1 jam, ditutup dengan alumunium foil lalu disimpan pada suhu 4oC selama 24 jam. Gel yang

(34)

20

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi dan Karakterisasi Pati Suweg Alami Ekstraksi pati suweg

Tahap ekstraksi pati bertujuan mengekstrak pati dari umbi suweg. Umbi suweg mengandung kalsium oksalat yang dapat menyebabkan rasa gatal dan iritasi di mulut. Menurut Kriswidarti (1980), umbi suweg memiliki kandungan kalsium oksalat yang lebih rendah dibandingkan dengan umbi walur. Pada tahap ekstraksi umbi suweg tidak dilakukan reduksi kandungan kalsium oksalat karena apabila dilakukan reduksi oksalat dengan penambahan larutan HCl dengan konsentrasi tertentu diduga akan terjadi proses hidrolisis asam terhadap pati yang dapat menyebabkan penurunan kemampuan pengembangan, viskositas, dan kestabilan pasta pati selama proses gelatinisasi (Ferrini et al. 2008). Hal yang berbeda dilaporkan oleh Purnomo et al. (2010) yang melakukan proses reduksi kalsium oksalat pada umbi basah yang telah diparut dengan cara direndam dengan larutan HCL 0.2 N selama 1.5 jam, kemudian dilanjutkan dengan perendaman dengan dalam larutan Na-bikarbonat 1% selama 5 menit, lalu dilakukan pencucian dengan air.

Pada penelitian ini, pati suweg diekstraksi dengan cara basah yaitu dengan menambahkan sejumlah air dari umbi yang telah diperkecil ukurannya. Tahap ekstraksi pati cara basah meliputi tahapan pembersihan, pengupasan penghancuran dengan mesin chooper, pengepresan untuk mengekstrak pati, penyaringan untuk memisahkan pati, pengendapan, dekantasi, dan pengeringan. Selanjutnya pati suweg yang sudah kering digiling dan disaring menggunakan ayakan 100 mesh.

Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa rendemen pati yang dihasilkan adalah 3.11% (bb). Rendemen dihitung dari perbandingan pati dengan bobot umbi setelah dikupas. Pati yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan ekstraksi pati suweg yang dilakukan oleh Richana dan Sunarti (2004) yaitu 11.56%. Dibandingkan dengan metode ekstraksi pada pati walur oleh Purnomo et al. (2010) diperoleh rendemen pati walur 2.58%, sedangkan metode ektraksi pati walur oleh Anggraini (2011) yaitu 5.06% dan Murdiati (2012) yaitu 5.72%.

(35)

21 Karakteristik kimia pati suweg alami

Kadar Air

Tabel 2 menunjukkan hasil analisis proksimat dari pati suweg alami. Pati suweg memiliki kadar air 10.62% yang masih berada pada batas aman untuk pati dan produk kering lainnya sehingga daya tahan produk terhadap kerusakan selama penyimpanan dapat dikendalikan.

Kadar Abu

Kadar abu pada pati suweg adalah 0.24%. Kadar abu menunjukkan total mineral dalam suatu bahan pangan. Menurut Elliason (2004), mineral dan garam anorganik dalam jumlah kecil dinyatakan sebagai abu yang merupakan residu bahan pangan setelah proses pembakaran menjadi karbon bebas. Pada umumnya pati mengandung kadar abu yang berasal dari berbagai mineral (Ca, Mg, P, K, dan Na) yang rendah yaitu <0.4% (Tester et al. 2004). Secara kuantitatif nilai kadar abu dalam tepung dan pati berasal dari mineral dalam umbi segar, pemakaian pupuk, dan dapat juga berasal dari kontaminasi tanah dan udara selama

Tabel 2 Komposisi kimia pati suweg alami

Parameter Pati suweg alami

Perubahan viskositas pada suhu 50 °C

(36)

22

pengolahan (Soebito 1988). Menurut Anggraini (2012), kadar abu yang tinggi disebabkan karena kandungan mineral fosforus yang tinggi dan kandungan kalsium dari garam kalsium oksalat yang terdeteksi sebagai kalsium bebas.

Kadar Lemak

Kadar lemak yang diperoleh dari hasil analisis pati suweg adalah 0.18%. Menurut Gunaratne dan Hoover (2002) kandungan lemak tersebut termasuk rendah dan berada pada batas antara 0.1-1.14%. Kadar lemak yang tinggi mampu membentuk kompleks amilosa-lemak yang dapat menghambat keluarnya granula pati. Menurut Richana dan Sunarti (2004), lemak dapat berikatan dengan protein membentuk lapisan hidrofobik yang akan menghambat pengikatan air oleh granula pati yang dapat menyebabkan kekentalan pati menurun karena jumlah air berkurang dalam proses pengembangan granula pati.

Kadar Protein

Kadar protein yang dihasilkan pada pati suweg relatif rendah yaitu 0.24% dan masuk ke dalam kelompok pati murni (tanpa pengotor). Menurut Tester et al. (2004) kadar protein pati murni berada pada kisaran <0.6%. Nilai protein tersebut lebih rendah dibandingkan nilai kadar protein yang dihasilkan oleh Richana dan Sunarti (2004) yaitu 6.02%. Granula pati terdiri dari tiga komponen utama, yaitu amilosa, amilopektin, dan bahan antara lipid dan protein. Jumlah masing-masing komponen berbeda-beda untuk tiap jenis pati. Menurut Winarno (2004), fraksi terlarut adalah amilosa dan fraksi tidak larut adalah amilopektin. Hasil analisis amilosa pada pati suweg adalah 38.90% dan amilopektin adalah 37.24%.

Residu Oksalat

Residu oksalat yang terdapat pada pati suweg setelah melalui proses pencucian berulang-ulang dengan air adalah 185.47 ppm. Anggraini (2012) melaporkan umbi walur hasil perendaman HCl 0.2 N menyisakan total oksalat paling rendah yaitu 6066 ppm. Apabila konsumsi pati walur diasumsikan sama dengan konsumsi tepung terigu per hari, yaitu 47.8 g, maka jumlah oksalat yang dikonsumsi adalah 290 mg. Nilai tersebut masih sangat tinggi dari yang direkomendasikan yaitu 70-150 mg/hari (Noonan & Savage 1999). Sedangkan untuk pati suweg dengan nilai 185.47 ppm jumlah oksalat yang dikonsumsi harian adalah 8.87 mg. Jumlah tersebut jauh dibawah yang direkomendasikan sehingga aman untuk dikonsumsi.

Pati

Kadar pati yang dihasilkan dari pati suweg adalah 76.61%. Apabila dihitung sebagai berat kering dengan kadar air 10.32% maka kadar pati menjadi 84.94%. Menurut Sudarmadji (1997) karbohidrat yang berbentuk polimer pati, memiliki ukuran molekul yang sangat besar dan kompleks sehingga sulit ditentukan dalam jumlah yang sebenarnya.

Amilosa-amilopektin

(37)

23

jumlah amilosa dan amilopektin diakibatkan karena adanya kompleksitas biosintesis pati yang dipengaruhi oleh faktor genetik berbagai enzim dan kondisi lingkungan (Copeland et al. 2009).

Karakteristik fisik pati suweg alami Bentuk dan ukuran granula

Pengamatan secara mikroskopis menggunakan mikroskop polarisasi bertujuan mengetahui struktur ganula pati. Gambar 7 menunjukkan bentuk granula pati suweg alami yang masih memiliki sifat birefringence sebagai indikator pati suweg alami bahwa proses gelatinisasi belum terjadi. Pada proses HMT terjadi gelatinisasi sebagian (parsial) yang ditandai dengan tidak rusaknya ukuran dan bentuk granula pati dimana masih terdapat sifat birefringence dalam jumlah sedikit, akan tetapi masih memperlihatkan warna biru dan kuning. Sifat birefringence menunjukkan bahwa kristalin granula pati memiliki struktur molekuler antara amilosa dan amilopektin yang tersusun secara teratur di dalam granula pati (Liu 2005).

Gambar 7 Pati suweg alami dengan pengamatan mikroskop polarisasi (pembesaran 400x)

a b

(38)

24

Ukuran granula pati suweg adalah antara 15-26 μm dengan bentuk agak bulat seperti yang terlihat pada Gambar 8 pada pengamatan menggunakan SEM dengan pembesaran 200x dan 400x. Ukuran granula ini berbeda dengan ukuran granula pati walur yang diperoleh Anggraini (2012) yaitu 10.0-22 μm, akan tetapi hampir sama dengan pati walur yang dilaporkan oleh Murdiati (2012) yaitu 17.6-66 μm. Perbedaan ini diduga terkait dengan waktu pemanenan umbi walur. Ukuran granula pati suweg ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan granula pati lainnya seperti granula pati sagu yepha hongleu asal Irian Jaya yang memiliki kisaran granula panjang 45.1 – 91.6 μm dan kisaran lebar 29.8-74.8 μm (Herawati 2009). Ukuran granula pati suweg masuk ke dalam kelompok ukuran sedang, hal ini sesuai dengan pengelompokan ukuran granula pati menurut Adejumo et al. (2011) yaitu granula pati yang dikelompokan ke dalam empat kelompok ukuran yaitu besar (>25 μm), sedang (10-25 μm), kecil (5-10 μm) dan sangat kecil (<5 μm).

Derajat putih

Derajat putih merupakan daya memantulkan cahaya yang mengenai permukaan benda dibandingkan dengan standar BaSO4. Pengukuran derajat putih

menggunakan Whitenessmeter dengan BaSO4 sebagai pengkalibrasi. Hasil

pengukuran derajat putih pada pati suweg alami diperoleh nilai derajat putih sekitar 53.30%.

Densitas kamba

Densitas kamba mengindikasikan porositas suatu bahan yaitu jumlah rongga yang terdapat diantara partikel bahan (Limonu 2008) Semakin besar porositas bahan maka semakin kecil densitas kambanya. Densitas kamba menunjukkan bahwa pati suweg memerlukan ruang atau wadah yang lebih kecil sehingga dapat menghemat ruang baik dalam pengemasan, penyimpanan maupun dalam distribusi. Nilai densitas berbagai produk tepung-tepungan umumnya berkisar antara 0.2-0.8 g/mL (Wirakartakusumah et al. 1992). Dari hasil pengamatan diperoleh nilai densitas kamba pati suweg antara 0.4400 0.4734 g/mL.

Tipe kristal dan kristalinitas granula pati (Derajat kristalinitas)

Kristalinitas merupakan salah satu uji untuk mengetahui struktur kristalit suatu bahan apakah bahan tersebut memiliki kristalinitas yang tinggi. Derajat kristalinitas dihitung dengan cara membandingkan bagian kristalin dengan jumlah bagian kristal dan bagian amorf pada bahan. Uji derajat kristalinitas dilakukan menggunakan alat X-Ray Difraktometer (XRD). Prinsip kerja alat tersebut adalah dengan cara menyinari bahan dengan sinar X. Sinar X yang datang akan diteruskan dan direfleksikan. Intensitas sinar X yang datang akan lebih tinggi dibandingkan sinar X yang direfleksikan. Hal tersebut disebabkan karena terdapat penyerapan oleh bahan dan juga dipantulkan oleh atom-atom dalam bahan. Grafik Derajat kristalinitas pati suweg alami dapat dilihat pada Gambar 9.

(39)

25

ditandai dengan adanya dua puncak yang sama pada sudut difraksi 2Ɵ sudut 17o dan satu puncak pada 23 oC (Charoenkul et al. 2011).

Hasil analisis pola difraksi sinar X dengan XRD menunjukkan data tentang kristalinitas relatif (Xc). Xc pati suweg alami dari hasil analisis difraksi sinar X

adalah 25.03%. Karakteristik pasting

Karaktersitik pasta pati adalah fenomena yang mengikuti gelatinisasi dimana profil pasta pati menjadi indikator yang baik untuk menentukan sifat fungsional dan potensi aplikasinya sebagai ingredien / bahan tambahan pangan. Profil pasta pati pada Gambar 10 diperoleh dari hasil pengamatan terhadap profil gelatinisasi pati suweg alami yang ditandai dengan suhu awal pasting dimana granula pati mulai menyerap air atau terjadinya peningkatan viskositas. Suhu awal pasting pati suweg adalah 82.95 oC. Pada Gambar 10 terlihat bahwa pati suweg alami memiliki profil pasting tipe A yang dicirikan dengan viskositas puncak yang tinggi diikuti oleh penurunan viskositas secara cepat ketika proses

Gambar 9 Pola difraksi sinar X kristalin pati suweg alami

(40)

26

pemanasan dilanjutkan (breakdown viscosity) dan viskositas balik (setback viscosity) yang rendah pada saat penurunan suhu.

Kekuatan gel

Kekuatan gel pati suweg sebesar 978.25 gf pada suspensi 20%. Nilai kekuatan pati suweg alami berbeda dengan nilai kekuatan gel pati walur yang dilaporkan oleh Saputra (2012) pada konsentrasi 20% yaitu 2137.6 gf. Kekuatan gel dipengaruhi oleh kadar amilosa. Pembentukan ikatan hidrogen lebih mudah terjadi pada molekul amilosa daripada amilopektin (Aini dan Hariyadi 2007).

Penentuan Kondisi Suhu dan Waktu Proses HMT

Pada uji pendahuluan ditentukan suhu HMT yaitu pada suhu 100, 105, 115 dan 120 oC dengan penentuan waktu HMT semula ditentukan waktunya adalah 16, jam. Selanjutnya dilakukan penambahan pengukuran pada suhu 120 oC selama 32 dan 48 jam untuk melihat perbedaan perubahan kurva amilografnya. Kurva amilogragraf disajikan pada Gambar 11. Berdasarkan data kurva amilograf, terlihat bahwa pati suweg mulai menunjukkan perubahan profil amilograf berupa viskositas puncak, breakdown, dan setback yang lebih rendah dari pati alaminya pada saat HMT dilakukan selama 16 jam. Penentuan waktu HMT terlihat dari hasil pengamatan mikroskopik pada Gambar 12 bahwa pada suhu HMT 110 oC mulai terjadi gelatinisasi sebagian yang ditandai dengan granula pati yang mulai kehilangan sifat birefringence dan terdapat lingkaran hitam pada bagian tengah granula. Lingkaran hitam pada bagian tengah granula menandakan pati telah tergelatinisasi parsial. Pada Gambar 12 granula pati tidak tersebar secara merata karena suspensi pati yang dibuat belum homogen sehingga terlihat menempel satu sama lain, hal tersebut tidak terkait dengan hasil proses HMT. Oleh karena itu, waktu 16 jam dipilih sebagai waktu minimum dalam melakukan proses HMT

(41)

27

terhadap pati suweg pada kadar air 20%. Modifikasi HMT pada pati suweg selanjutnya dilakukan selama 16 jam, 24 jam, dan 32 jam. Waktu HMT selama 48 jam tidak dilakukan mengingat terlalu lama waktu HMT dan tidak efisien secara ekonomi.

Hasil analisis dengan RVA menunjukkan bahwa suspensi pati suweg mulai mengalami proses pasting pada suhu yang cukup tinggi, yaitu 82.95 oC. Bila dibandingkan dengan pati umbi lainnya seperti pati ganyong (70.5 oC) dan pati gembili (75.0 oC) (Richana dan Sunarti 2004), suhu pasting pati suweg ini sangat tinggi. Hal serupa dilaporkan oleh Richana dan Sunarti (2004) pada pati suweg, dimana suhu awal pasting pati suweg cukup tinggi (79.5 oC). Pasta pati suweg mencapai viskositas puncak (3958.50 cP) pada suhu 82.95 oC (Tabel 3) kemudian mengalami penurunan viskositas pada pemanasan selanjutnya. Selama proses pemanasan konstan pada suhu 95 oC selama 5 menit, viskositas pasta terus mengalami penurunan hingga mencapai viskositas 2799.0 cP di akhir proses pemanasan (Tabel 3). Hal ini menunjukkan pasta pati suweg tidak tahan terhadap proses pemanasan. Pada saat memasuki fase pendinginan, viskositas pasta pati kembali meningkat hingga mencapai maksimum pada suhu 50 oC (4617 cP) yang menunjukkan terjadinya retrogradasi pati. Pada saat dilakukan holding pada suhu 50 oC selama 2 menit, viskositas pasta pati mengalami penurunan hingga

viskositas akhir mencapai 1818.0 cP. Penurunan pasta pati selama holding pada 50 oC ini menunjukkan pasta pati tidak tahan proses pengadukan. Hasil yang diperoleh dari analisis RVA tersebut mengkonfirmasi bahwa pasta pati suweg alami tidak tahan proses pemanasan dan pengadukan.

Penentuan Waktu Tunda

Tujuan utama uji penetrasi adalah mengetahui keseragaman penyebaran panas di dalam wadah yang telah terisi sampel dan lama waktu tunda untuk mencapai suhu HMT. Waktu tunda dilihat dari titik terdingin pada sampel. Titik terdingin pada sampel, atau bagian sampel yang memiliki kecepatan peningkatan suhu paling rendah (coldest point). Penambahan waktu tunda menjamin proses

a b

(42)

28

berlangsung pada suhu yang diinginkan. Profil hubungan suhu dan waktu proses termal yang disajikan pada Gambar 13.

Sampel pati yang akan diproses dengan HMT berbentuk pati lembab dan memiliki perambatan panas secara konduksi. Proses pindah panas konduksi terjadi pada saat panas akan merambat dari dinding kemasan ke pusat kemasan dari segala arah, dengan demikian pusat terdinginnya akan berada di pusat kemasan (Toledo 1991).

Dari hasil uji distribusi panas diperoleh 3 titik suhu yang tidak berbeda jauh, akan tetapi terdapat 1 titik suhu yang relatif jauh dari ketiga titik lainnya. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu target ± 47 menit.

Modifikasi Pati Suweg dengan Teknik HMT

Modifikasi dengan teknik HMT merupakan metode modifikasi pati yang dilakukan secara fisik dengan perlakuan panas (80 – 120 oC) dan kadar air yang terbatas (<35%) (Collado et al. 2001). Modifikasi HMT pati suweg dilakukan pada suhu proses HMT 110 dan 120 oC dengan variasi waktu HMT 16, 24 dan 32 jam dan penambahan waktu tunda ± 47 menit pada setiap waktu proses HMT. Karakteristik kimia

Amilosa dan amilopektin

Secara umum pati tersusun dari 17-21% amilosa yang terdiri dari glukosa yang tergabung melalui ikatan α-(1-4) D-glukosa sedangkan amilopektin adalah pati yang mempunyai rantai cabang yang terdiri dari glukosa yang tergabung melalui ikatan α-(1-4) D-glukosa dan α-(1-6) D-glukosa (Schwartd dan Zelinskie 1978).

Keterangan: T adalah titik tempat pemasangan termokopel Gambar 13 Data profil penetrasi panas pada loyang yang digunakan untuk

(43)

29

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kadar amilosa pati suweg adalah 37.02% sedangkan kadar amilopektin adalah 39.58%. Dari hasil uji duncan diperoleh bahwa kadar amilosa semua perlakuan HMT baik pada suhu 110 oC

maupun 120 oC memiliki hasil yang tidak berbeda nyata kecuali pada perlakuan HMT suhu 120 oC selama waktu HMT 32 jam memiliki hasil yang berbeda nyata terhadap kontrol. Dari grafik yang ditunjukkan pada Gambar 14 terjadi penurunan nilai amilosa pati suweg HMT berbagai perlakuan dibandingkan pati suweg alaminya. Hal tersebut berbeda dengan yang dilaporkan Li et al. (2011) pada pati mung bean yang mengalami peningkatan kadar amilosa tertinggi pada kondisi HMT 120 oC selama 12 jam pada kadar air 20%. Kadar amilosa pati mung bean

alami 29.7% meningkat menjadi 35.0%. Peningkatan kadar amilosa ini berkaitan Gambar 14 Kurva kadar amilosa pati suweg modifikasi suhu 110 oC dan 120 oC

(44)

30

dengan interaksi rantai pati pada area amorphos granula (Li et al. 2011). Interaksi rantai pati terjadi pada interaksi rantai amilosa-amilosa dan interaksi rantai amilosa-amilopektin (Gunaratne dan Hoover 2002). Struktur yang kompak dari pati HMT akan menjadi lebih tahan terhadap hidrolisis enzim. Menurut Copeland et al. 2009, variasi dalam amilosa dan amilopektin disebabkan karena adanya kompleksitas biosintesis pati tersebut yang dipengaruhi oleh faktor genetik berbagai enzim dan faktor kondisi lingkungan.

Kadar amilopektin pada pati suweg sesuai hasil uji duncan perlakuan HMT 120 oC berbeda nyata terhadap kontrol. Grafik kandungan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 15. Kandungan amilopektin mengalami peningkatan dibandingkan pati suweg alami yaitu dari 39.58% menjadi 42.22% pada perlakuan HMT 120 oC selama 32 jam. Peningkatan kandungan amilopektin ini terjadi karena adanya asosiasi rantai amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin.

Karakteristik fisik

Bentuk dan ukuran granula

Granula pati merefleksikan cahaya terpolarisasi dan memperlihatkan pola silang atau maltose cross yang dikenal dengan sifat birefringence. Pada Gambar 16 dan 17 menunjukkan bahwa kombinasi suhu dan waktu pada berbagai perlakuan HMT 110 oC dan 120 oC pola silang atau maltose cross dan sifat birefringence masih tampak walaupun intensitas warnanya tidak seperti pada granula pati suweg alami. Perlakuan HMT pada kedua suhu tidak terlalu berbeda, tampak bahwa dari Gambar 17 dan Gambar 18 diketahui memiliki intensitas warna yang mulai berkurang. Menurut Kusnandar (2010) sebelum mengalami gelatinisasi, granula pati akan memberikan pola Maltose cross. Bila suspensi dipanaskan secara bertahap, energi kinetik molekul air akan melemahkan dan memecah ikatan hidrogen antar molekul amilosa/amilopektin sehingga kekompakan kristal granula pati menjadi terganggu dan air akan berpenetrasi ke dalam granula yang membuat granula pati mengembang. Suspensi pati akan mengalami peningkatan viskositas saat pati mulai mengembang. Setelah suhu awal gelatinisasi terlewati maka granula pati akan kehilangan sifat birefringence atau maltese cross-nya. Gambar 16 Struktur granula pati suweg termodifikasi HMT 110 a b oC 16 jam (a), c

24 jam (b) dan 32 jam (c) di bawah mikroskop polarisasi (pembesaran 400x)

a b c

(45)

31

Proses HMT belum mampu mengubah bentuk dan ukuran granula pati (Wacharatewinkul et al. 2009). Penelitian yang sama dilaporkan pada pati HMT dari ganyong (Wacharatewinkul et al. 2009) dan new cocoyam ( Lawal 2005).

Granula pati yang diamati dengan Scanning Electron Microscope (SEM) pada berbagai perlakuan HMT pada suhu 110 oC dan 120 oC selama waktu 16, 24,

dan 32 jam memiliki ukuran yang relatif sama yaitu antara 15-26 μm. Pada Gambar 18 sampai 19. SEM menunjukkan bahwa perlakuan HMT memberikan bentuk granul yang relatif mulai rapat dan mengkerut akibat pengaruh pemanasan pada suhu 110 oC dan 120 oC.

Derajat putih

Derajat putih merupakan daya memantulkan cahaya yang mengenai permukaan benda dibandingkan dengan standar BaSO4. Pengukuran derajat putih

menggunakan Whitenessmeter dengan BaSO4 sebagai pengkalibrasi. Dari hasil

pengukuran derajat putih seperti terlihat pada Gambar 20 diperoleh bahwa kombinasi suhu dan waktu pemanasan menghasilkan persentase derajat putih antara 49.55%-52.75% pada pengukuran suhu HMT 110 dan 120 oC pada waktu pemanasan 16, 24, dan 32 jam. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa semua perlakuan HMT memberikan pengaruh nyata terhadap nilai derajat putih kontrol. Nilai derajat putih pati suweg kontrol adalah 53.50%. Proses HMT suhu 110 oC mampu meningkatkan nilai derajat putih dibandingkan pada proses HMT 120 oC yang cenderung menurun nilai derajat putihnya. Lama waktu HMT pada suhu 110

oC mampu meningkatkan nilai derajat putihnya. Pati suweg yang dihasilkan dari

a b

Gambar 18 Pengamatan dengan SEM pada pembesaran 200x (a) dan 400x (b) pati suweg HMT 110oC selama 32 jam

a b

Gambar

Gambar 1  (a) Pohon suweg (baltyra.com); (b) Umbi suweg (baltyra.com)
Gambar 2  Profil RVA pada pati (Copeland  et al. 2009). Suhu Awal Gelatinisasi (SAG), Suhu Puncak Gelatinisasi (SPG), Viskositas Puncak (VP), Viskositas Pasta Panas (VPP), Viskositas Breakdown (VB), Viskositas Pasta Dingin (VPD), dan Viskositas Setback (VS)
Gambar 4  Diagram alir penelitian pati suweg teknik HMT
Gambar 5  Diagram alir proses modifikasi pati suweg metode HMT (Collado et al.2001, Purwani et al
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tidak adanya hubungan disebabkan oleh sebagian besar (93,3%) dengan status gizi baik indeks BB/U cenderung berasal dari keluarga balita yang tahan pangan namun

Nilai TSP yang diperoleh adalah &lt; 1 yang berarti bahwa kemampuan rumahtangga dalam memenuhi kebutuhan konsumsi pangan dan non pangan dari hasil usahatani padi

Selanjutnya tanggung jawab yang harus dijalani pada malam hari juga menimbulkan beban kerja khususnya beban psikologi yang berdampak pada timbulnya stress yang

Urbanisasi dari pendekatan demografis berarti sebagai suatu proses peningkatan konsentrasi penduduk diperkotaan sehingga proporsi penduduk yang tinggal menjadi

Penelitian yang dilakukan terhadap 109 orang responden menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki posisi kerja yang salah sebanyak 65 responden (59,6%) mengalami

Untuk pluralisme yang subjektif keagamaan menyiratkan bahwa masing-masing umat beragama memiliki rasa – ‘irfani – keagamaan yang subjektif secara internal, seperti tentang:

Siswa menyatakan senangdisebabkan siswa lebih mudah memahami penjelasan guru pada saat PBM dengan pembelajaran menggunakan strategi pelatihan laboratorium kareana

Bagi dunia pendidikan, keberadaan museum merupakan suatu yang sangat penting, karena keberadaannya mampu menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dalam proses pembelajaran