• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Efektifitas Pemberian Laksansia Secara Oral dan Rektal terhadap Kesembuhan dan Kekambuhan pada Anak dengan Konstipasi Fungsional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Efektifitas Pemberian Laksansia Secara Oral dan Rektal terhadap Kesembuhan dan Kekambuhan pada Anak dengan Konstipasi Fungsional"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS PEMBERIAN LAKSANSIA SECARA ORAL DAN REKTAL TERHADAP KESEMBUHAN DAN KEKAMBUHAN PADA ANAK DENGAN

KONSTIPASI FUNGSIONAL

WIJI JOKO PRANOTO 080150004/IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Anak di FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak di masa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Pembimbing utama dr. Supriatmo, SpA(K) dan dr. Melda deliana, SpA(K), yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

(3)

3. Prof dr. H. Munar Lubis, SpA(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan bantuan dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.

4. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan dan RS. dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

5. Pimpinan Pesantren Musthafawiyah Kecamatan Purba Baru, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara atas keramahtamahan dan bantuannya selama penelitian.

6. Abang serta adik-adik saya : Dwi jatmiko, Rani Kusuma Pratiwi, Andriamuri, Vita, Jipi dan Ipan yang selalu ada buat saya dalam menyelesaikan tesis ini. 7. Teman-teman yang tidak mungkin bisa saya lupakan yang telah membantu

saya dalam keseluruhan penelitian maupun penyelesaian tesis ini, ,Badai Buana Nasution, Ade Rahmat, Fadli Syahputra, Rizky Adriansyah. Terimakasih untuk kebersamaan kita dalam menjalani pendidikan selama ini. 8. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

(4)

Farhan Arfaputra Pranoto serta Fatih Azkaputra Pranoto yang selalu menjadi inspirasi bagi saya. Semoga budi baik yang telah diberikan mendapat imbalan dari Allah SWT.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Medan,

(5)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan Tesis ii

Ucapan Terima Kasih iiii

Daftar Isi vii

Daftar Tabel ix Daftar Gambar x

Daftar Singkatan dan Lambang xi Abstrak xii

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi konstipasi ... 5

(6)

3.9 Identifikasi Variabel ... 27

3.10 Definisi Operasional ... 28

3.11 Rencana Pengolahan dan Analisis Data ... 29

BAB 4. HASIL ... 30

4.1 Data Demografik dan Karakteristik...30

4.2 Hubungan Pemberian Laksansia Oral dan Rektal Terhadap Kesembuhan...32

4.3 Hubungan Pemberian laksansia Oral dan Rektal Terhadap Kekambuhan...33

BAB 5. PEMBAHASAN...35

BAB 6. KESIMPULAN dan SARAN...44

6.1 Kesimpulan………...44

6.2 saran………..44

Ringkasan...45

Daftar Pustaka...49 Lampiran

1. Personil Penelitian 2. Perkiraan Biaya 3. Jadwal Penelitian

4. Kuisioner dan efek samping obat

5. Lembar Penjelasan terhadap Orang tua 6. Persetujuan Setelah Penjelasan

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Diferensial diagnosis konstipasi berdasarkan usia Tabel 2.2. Frekuensi normal defekasi pada bayi dan anak

Table 2.3. Tanda-tanda peringatan untuk konstipasi organik pada bayi dan anak-anak

Tabel 2.4. Laksansia Stimulan

Tabel 4.1. Karakteristik Dasar Subjek Penelitian

Tabel 4.2. Perbedaan Pemberian Laksansia Oral dan Rektal Terhadap kesembuhan

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Kerangka konsep penelitian

(9)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

WGO : World Gastroenterology Organization NASPGHAN : North American Society for Pediatric

Gastroenterology Hepatology and Nutrition

PaCCT : Paris Consensus on Childhood Constipation Terminology

ASI : Air Susu Ibu

SD : Sekolah Dasar

SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkap Pertama

≥ : Lebih dari atau sama dengan

≤ : Kurang dari atau sama dengan

> : Lebih besar dari

< : Lebih kecil dari

zα : Deviat baku normal untuk α

zβ : Deviat baku normal untuk β

n : Jumlah subjek / sampel

α : Kesalahan tipe I

β : Kesalahan tipe II

P : Besarnya peluang untuk hasil yang diobservasi

bila hipotesis nol benar

CDC : Centers for Desease Control

BMI : Body Mass Index

IMT : Indeks Massa Tubuh

Kg : Kilo Gram

CM : Sentimeter

(10)

ABSTRAK

Latar Belakang. Konstipasi fungsional merupakan masalah umum pada anak-anak yang prevalensinya masih tinggi terutama pada anak usia sekolah dimana efektifitas pemberian laksansia secara oral dengan rektal dihubungkan dengan kesembuhan dan kekambuhan masih masih terus diperdebatkan sampai saat ini.

Tujuan. Menentukan efektifitas pemberian laksansia secara oral dan rektal terhadap kesembuhan dan kejadian kekambuhan pada anak dengan konstipasi fungsional. Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terbuka pada bulan Mei sampai Juni 2010. Anak usia 8 sampai 17 tahun yang memenuhi kriteria Rome III dimasukan ke dalam penelitian. Sampel dirandom dibagi dua kelompok, diberi laksansia secara oral selama 3 hari berturut atau rektal satu kali pemberian (bisakodil 5 mg). Sampel diikuti selama 7 hari serta diberikan catatan defekasi harian, kemudian follow up dilakukan pada hari ke 14, 21, 28, 35 dan 42 untuk melihat frekeuensi defekasi dan kejadian kekambuhan untuk kemudian perbandingan kedua kelompok dinilai menggunakan uji

Chi-square.

Hasil. Sembilan puluh sembilan sampel penelitian diikutsertakan dalam studi ini namun hanya 91 sampel yang menyelesaikan penelitian (kelompok oral n= 46, kelompok rektal n=45) dengan jumlah drop out empat orang pada masing-masing kelompok. Kesembuhan kelompok oral yaitu 39 siswa (84.8%) sementara yang tidak sembuh berjumlah 7 siswa (15.2%) dibandingkan dengan kelompok rektal sembuh 33 orang (73.3%) dan yang tidak sembuh 12 orang siswa (26.7%);P=0.278. Terdapat perbedaan bermakna pada kekambuhan antara kelompok oral yaitu 17 siswa (42.5%) dan kelompok rektal yaitu 23 siswa (57.5%) dengan nilai P=0.026 yang dijumpai pada minggu kedua follow up.

Kesimpulan. Tidak dijumpai perbedaan bermakna antara pemberian laksansia secara oral dengan rektal terhadap kesembuhan, namun demikian dijumpai kejadian kekambuhan yang lebih cepat pada kelompok rektal yaitu pada minggu kedua.

(11)

ABSTRACT

Background. Functional constipation is a common condition in school age and pre-school children. Difference benefits of oral and rectal laxatives to recovery and recurrence in children with functional constipation are still discussed.

Objective. To determine the benefit of oral and rectal laxatives to recovery and recurrence of constipation in children.

Methods. A randomized, open clinical trial was conducted in Mei and June 2010. Children aged 8 to 17 years old with functional constipation based on Rome III criteria were enrolled to study. The participants were assigned randomly to receive stimulant laxatives (bisacodyl 5 mg) consecutive three days orally or rectally single dose. Participants were followed-up for 7 days and on day 14, 21, 28, 35 and 42, symptomps of constipation were recorded and child’s behavior questionnaire was administered. The chi-square test was used to determine the effect of recovery and recurrence. Results. Ninety nine participants were eligible, 46 participants (5 boys, 41 girls) received oral laxatives (group A) and 45 participants (8 boys, 37 girls) received rectal laxatives (group B), with 4 drop out in each group. The mean age of each group was 15.0(1.41) and 15.1(1.36) years, BW 48.6(8.11) and 45.6(7.80) kg, BH 149.9(6.79) and 146.5(6.90) cm, and BMI 21.6(2.77) and 21.1(2.66) kg/m2, respectively. Succesfull recovery was achieved with oral and rectal (84.8% and 73.3%, respectively; P=0.278). The recurrence of constipation with oral and rectal in the second week were 42.5% and 57.5%, respectively; P = 0.026.

Conclusion. Oral and rectal laxatives have no significant difference in the recovery of the functional constipation, however earlier recurrence of constipation more often occured in rectal laxatives.

(12)

ABSTRAK

Latar Belakang. Konstipasi fungsional merupakan masalah umum pada anak-anak yang prevalensinya masih tinggi terutama pada anak usia sekolah dimana efektifitas pemberian laksansia secara oral dengan rektal dihubungkan dengan kesembuhan dan kekambuhan masih masih terus diperdebatkan sampai saat ini.

Tujuan. Menentukan efektifitas pemberian laksansia secara oral dan rektal terhadap kesembuhan dan kejadian kekambuhan pada anak dengan konstipasi fungsional. Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terbuka pada bulan Mei sampai Juni 2010. Anak usia 8 sampai 17 tahun yang memenuhi kriteria Rome III dimasukan ke dalam penelitian. Sampel dirandom dibagi dua kelompok, diberi laksansia secara oral selama 3 hari berturut atau rektal satu kali pemberian (bisakodil 5 mg). Sampel diikuti selama 7 hari serta diberikan catatan defekasi harian, kemudian follow up dilakukan pada hari ke 14, 21, 28, 35 dan 42 untuk melihat frekeuensi defekasi dan kejadian kekambuhan untuk kemudian perbandingan kedua kelompok dinilai menggunakan uji

Chi-square.

Hasil. Sembilan puluh sembilan sampel penelitian diikutsertakan dalam studi ini namun hanya 91 sampel yang menyelesaikan penelitian (kelompok oral n= 46, kelompok rektal n=45) dengan jumlah drop out empat orang pada masing-masing kelompok. Kesembuhan kelompok oral yaitu 39 siswa (84.8%) sementara yang tidak sembuh berjumlah 7 siswa (15.2%) dibandingkan dengan kelompok rektal sembuh 33 orang (73.3%) dan yang tidak sembuh 12 orang siswa (26.7%);P=0.278. Terdapat perbedaan bermakna pada kekambuhan antara kelompok oral yaitu 17 siswa (42.5%) dan kelompok rektal yaitu 23 siswa (57.5%) dengan nilai P=0.026 yang dijumpai pada minggu kedua follow up.

Kesimpulan. Tidak dijumpai perbedaan bermakna antara pemberian laksansia secara oral dengan rektal terhadap kesembuhan, namun demikian dijumpai kejadian kekambuhan yang lebih cepat pada kelompok rektal yaitu pada minggu kedua.

(13)

ABSTRACT

Background. Functional constipation is a common condition in school age and pre-school children. Difference benefits of oral and rectal laxatives to recovery and recurrence in children with functional constipation are still discussed.

Objective. To determine the benefit of oral and rectal laxatives to recovery and recurrence of constipation in children.

Methods. A randomized, open clinical trial was conducted in Mei and June 2010. Children aged 8 to 17 years old with functional constipation based on Rome III criteria were enrolled to study. The participants were assigned randomly to receive stimulant laxatives (bisacodyl 5 mg) consecutive three days orally or rectally single dose. Participants were followed-up for 7 days and on day 14, 21, 28, 35 and 42, symptomps of constipation were recorded and child’s behavior questionnaire was administered. The chi-square test was used to determine the effect of recovery and recurrence. Results. Ninety nine participants were eligible, 46 participants (5 boys, 41 girls) received oral laxatives (group A) and 45 participants (8 boys, 37 girls) received rectal laxatives (group B), with 4 drop out in each group. The mean age of each group was 15.0(1.41) and 15.1(1.36) years, BW 48.6(8.11) and 45.6(7.80) kg, BH 149.9(6.79) and 146.5(6.90) cm, and BMI 21.6(2.77) and 21.1(2.66) kg/m2, respectively. Succesfull recovery was achieved with oral and rectal (84.8% and 73.3%, respectively; P=0.278). The recurrence of constipation with oral and rectal in the second week were 42.5% and 57.5%, respectively; P = 0.026.

Conclusion. Oral and rectal laxatives have no significant difference in the recovery of the functional constipation, however earlier recurrence of constipation more often occured in rectal laxatives.

(14)

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Konstipasi merupakan masalah umum pada anak-anak, sekitar 16 persen sampai 37 persen terjadi pada anak usia sekolah dan sekitar 4 persen pada anak usia prasekolah. Sebanyak 90 persen sampai 95 persen konstipasi fungsional terjadi pada anak diatas usia 1 tahun, hanya 5 persen sampai 10 persen konstipasi disebabkan oleh kelainan organik atau patologis. Konstipasi merupakan masalah kesehatan yang masih cukup tinggi pada anak, yang pada umumnya menimbulkan gejala berupa cemas sewaktu defekasi oleh karena nyeri yang dirasakan, nyeri perut kronis sampai dengan keadaan penurunan nafsu makan.1,2

Konstipasi bukan merupakan suatu diagnosis, melainkan gejala klinis. Penyebab konstipasi dapat dibagi menjadi beberapa kategori yaitu anatomi, fisiologi dan fungsional. Penyebab anatomi dapat berupa penyakit Hirschprung, anus imperforata dan obstruksi saluran cerna. Penyebab fisiologis dapat berupa perubahan motilitas saluran cerna seperti hipotiroidisme dan defek tulang belakang. Penyebab fungsional dapat berupa menahan buang air besar secara sengaja yang merupakan penyebab tersering dari konstipasi, fobia kamar mandi, riwayat nyeri buang air besar.3

(15)

sampai dewasa pada 24 persen anak. Konstipasi persisten dari anak ke dewasa dapat mempengaruhi kualitas hidup.4

(16)

1.2. Perumusan Masalah

1. Apakah ada perbedaan efektifitas pemberian laksansia secara oral dan rektal terhadap kesembuhan pada anak dengan konstipasi fungsional? 2. Apakah ada perbedaan efektifitas pada pemberian laksansia secara oral

dan rektal terhadap terjadinya kekambuhan konstipasi pada anak?

1.3. Hipotesis

Terdapat perbedaan efektifitas dari pemberian laksansia secara oral dan rektal terhadap kesembuhan konstipasi serta dapat mempengaruhi terjadinya kekambuhan konstipasi pada anak.

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

(17)

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui prevalensi konstipasi di lokasi peneltian.

2. Untuk mengetahui efek laksansia secara oral dan rektal terhadap konstipasi fungsional pada anak.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Di bidang akademik dan ilmiah : meningkatkan pengetahuan tentang pengobatan konstipasi fungsional pada anak.

2. Di bidang pelayanan masyarakat : meningkatkan usaha peningkatan kesehatan masyarakat khususnya kesehatan anak penderita konstipasi. 3. Di bidang pengembangan penelitian : memberikan masukan terhadap

(18)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Konstipasi

Konstipasi biasa terjadi pada anak, hanya tiga persen konstipasi pada anak dibawa orang tua berobat ke dokter dan hanya 10 persen sampai 25 persen yang berobat ke klinik gastroenterologi anak.1,11 Pada anak normal, buang air besar dialami setiap hari kedua dan ketiga, tanpa kesulitan.8

Definisi konstipasi bersifat relatif, tergantung pada konsistensi tinja, frekuensi buang air besar dan kesulitan keluarnya tinja. Pada anak normal yang hanya buang air besar setiap 2 samapi 3 hari dengan tinja yang lunak tanpa kesulitan bukan disebut konstipasi. Namun, buang air besar setiap 3 hari dengan tinja yang keras dan sulit keluar, sebaiknya dianggap sebagai konstipasi. Konstipasi dapat timbul dari adanya defek pengisian maupun pengosongan di rektum.12

(19)

Konstipasi memiliki persepsi gejala yang berbeda-beda pada setiap pasiennya. Menurut World Gastroenterology Organization (WGO) beberapa pasien (52%) mendefenisikan konstipasi sebagai defekasi keras, tinja seperti pil/butir obat (44%), ketidakmampuan defekasi saat diinginkan (34%), atau defekasi yang jarang (33%).13

Menurut North American Society for Pediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition (NASPGHAN), konstipasi didefenisikan dengan kesulitan atau lamanya defekasi, timbul selama 2 minggu atau lebih, dan menyebabkan ketidak nyamanan pada pasien, sedangkan menurut Paris Consensus on Childhood Constipation Terminology menjelaskan defenisi konstipasi sebagai defekasi yang terganggu selama 8 minggu dengan mengikuti minimal dua gejala sebagai berikut defekasi kurang dari 3 kali per minggu, inkontinensia frekuensi tinja lebih besar dari satu kali per minggu, massa tinja yang keras yang dapat mengetuk kloset, massa tinja teraba di abdomen, perilaku menahan defekasi, nyeri saat defekasi.14

2.2. Epidemiologi Konstipasi

(20)

konstipasi.16 Penelitian di Amerika Serikat menemukan 28 persen anak-anak Brazil berusia 8-10 tahun mengalami konstipasi.17

Konstipasi yang tersering adalah konstipasi fungsional. Didapati 90 persen sampai 97 persen kasus konstipasi yang terjadi pada anak merupakan suatu konstipasi fungsional.8 Penelitian di Indonesia melaporkan prevalensi dari konstipasi fungsional pada anak – anak di Taman Kanak-kakak kawasan Senen Jakarta berkisar 4.4 persen.18

2.3. Patogenesis

Faktor-faktor penyebab konstipasi berbagai macam dan sulit dimengerti. Berikut merupakan penyebab yang dapat dibedakan berdasarkan struktur (gangguan motilitas) dan fungsi (gangguan bentuk pelvik). Gangguan motilitas dapat berupa :

1. Nutrisi yang tidak adekuat

a. Asupan serat tidak adekuat

b. Dehidrasi akibat asupan cairan tidak adekuat 2. Motilitas kolon melemah

Inersia kolon, konstipasi transit lambat, iritable bowel syndrome

(IBS), miopati intestinal, sindroma Ogilvie, obat-obatan, penyebab neurologis

3. Faktor psikiatri

(21)

Gangguan bentuk pelvik dapat berupa fungsi pelvik dan spingter melemah, obstruksi pelvik, prolapsus rektum, enterokel, intususepsi rektum, rektokel.13 Untuk membedakan konstipasi dapat dilihat pada Tabel 2.1. yang dibedakan berdasarkan usia yaitu sebagai berikut :5,19

Tabel 2.1. Diferensial diagnosis konstipasi berdasarkan usia 5 DIFERENSIAL DIAGNOSIS KONSTIPASI BERDASARKAN USIA

Bayi Anak-anak ( > 1 tahun)

Konstipasi fungsional (lebih dari 95% kasus)

Penyebab organik

Penyakit Hirschsprung’s

Penyebab metabolik:

hipotiroid,

hiperkalsemi, hipokalemi,

diabetes insipidus, diabetes

mellitus

Kista fibrosis

Gluten enteropathy

Spinal cord trauma or abnormalities

Neurofibromatosis

myelomeningocele, spina

bifida, tethered cord

Kista fibrosis

Penyebab Metabolik:

hipotiroid,

hiperkalsemi, hipokalemi,

diabetes insipidus

Keracunan logam berat

(22)

2.4. Klasifikasi 20

Sistem klasifikasi konstipasi pada anak didasarkan pada kriteria Paris Consensus on Childhood Constipation Terminology (PaCCT) dimana konstipasi dibagi menjadi 8 kategori, sebagai berikut :

1. Konstipasi kronik, dalam 8 minggu memenuhi dua atau lebih dari kriteria berikut : frekuensi defekasi kurang dari 3 kali per minggu, lebih dari 1 kali episode inkontinensia feses per minggu, tinja yang banyak di rektum atau abdomen teraba pada pemeriksaan fisik, feses yang melewati rektum terlalu banyak sehingga dapat menyebabkan obstruksi di kloset, perilaku menahan defekasi, dan nyeri defekasi.

2. Inkontinensia fekal, aliran feses pada tempat yang tidak seharusnya. 3. Inkontinensia fekal organik, fekal inkotinensia didapat dari kelainan

organik (kelainan neurologis atau abnormalitas sfingter).

4. Inkontinensia fekal fungsional, fekal inkontinensia yang didapat dari penyakit non-organik, dapat berupa konstipasi berhubungan dengan inkontinensia fekal, inkontinensia fekal non retensi.

5. Konstipasi berhubungan dengan inkontinensia fekal, inkontinensia fekal fungsional yang berhubungan dengan kehadiran konstipasi.

(23)

7. Feses keras, massa feses mengeras dan membatu pada rektum atau abdomen yang tak dapat bergerak. Massa feses dapat terlihat dan dipalpasi di abdomen.

8. Disinergi pelvik, ketidakmampuan pelvik relaksasi ketika defekasi.

2.5. Patofisiologi

Pada orang dewasa normal, defekasi terjadi antara tiga kali setiap hari sampai tiga kali setiap minggu. Frekuensi defekasi pada anak-anak bervariasi menurut umur. Bayi yang minum ASI pada awalnya lebih sering berhajat di bandingkan bayi yang minum formula. Namun mendekati usia 4 bulan, apapun susu yang diminumnya, rerata buang air besar adalah dua kali per hari. Pada umur 2 tahun, frekuensi rata-rata pada defekasi menurun menjadi dua kali setiap hari. Frekuensi defekasi normal pada anak terlihat pada Tabel 2.2.1,5,21

(24)

Patofisiologi konstipasi fungsional pada anak berhubungan dengan kebiasaan anak menahan defekasi akibat pengalaman nyeri pada defekasi sebelumnya, biasanya disertai fisura ani. Pengalaman nyeri berhajat ini menimbulkan penahanan tinja ketika ada hasrat untuk defekasi. Kebiasaan menahan tinja yang berulang akan merenggangkan rektum dan kolon sigmoid yang menampung tinja berikutnya. Tinja yang berada di kolon akan terus mengalami reabsorbsi air dan elektrolit dan membentuk skibala, seluruh proses akan berulang dengan sendirinya, yaitu tinja menjadi keras dan besar sehingga lebih sulit dikeluarkan melalui kanal anus, dan menimbulkan rasa sakit kemudian terjadi retensi tinja selanjutnya. Lingkaran setan terus berlangsung : tinja keras, nyeri waktu berhajat, retensi tinja, tinja makin banyak, reabsorbsi air, tinja makin keras dan makin besar, nyeri waktu berhajat dan seterusnya.1 Tabel 2.2. Frekuensi normal defekasi pada bayi dan anak.1,5,21

Umur Defekasi/minggu Defekasi/hari

0-3 bulan : ASI

(25)

anak akan mulai menahan tinja dalam perut agar tidak dikeluarkan untuk menghindari rasa tidak nyaman yang berasal dari defekasi. Jika menahan-nahan defekasi terus berlanjut, maka keinginan defekasi akan berangsur hilang sehingga akan terjadi penumpukan tinja.1

Proses defekasi yang tidak lancar akan menyebabkan feses menumpuk hingga menjadi lebih banyak dari biasanya dan dapat menyebabkan tinja mengeras yang kemudian dapat berakibat pada spasme sfingter anus. Distensi rektal kronik menyebabkan kehilangan sensitifitas rektal, keinginan defekasi yang dapat berdampak pada inkontiensia fekal.22

2.6. Diagnosis Konstipasi

Pada umumnya gejala klinis dari konstipasi adalah frekuensi defekasi kurang dari 3 kali per minggu, tinja keras dan kesulitan untuk defekasi. Anak sering menunjukkan perilaku tersendiri untuk menghindari proses defekasi. Pada bayi, nyeri ketika akan defekasi ditunjukkan dengan menarik lengan dan menekan anus dan otot-otot bokong untuk mencegah pengeluaran feses. Balita menunjukkan perilaku menahan defekasi dengan menaikkan ke atas ibu jari-ibu jari dan mengeraskan bokongnya.22

(26)

Table 2.3. Tanda-tanda peringatan untuk konstipasi organik pada bayi dan anak-anak.5

Gejala atau tanda peringatan Diagnosis

Pasase mekonium lebih dari 48 jam setelah kelahiran, kotoran bentuk kaliber kecil,gagal tumbuh, demam, diare berdarah, muntah berwarna empedu, spingter anal ketat, ampula rekti kosong padahal teraba massa tinja pada palpasi abdomen

Abdomen distensi, muntah berwarna empedu, ileus

Tonus dan reflek extremitas bawah turun, hilangnya kedutan anus, pilonidal dimple or hair tuft

Kelelahan, intoleransi dingin, bradikardi poor growth

Poliuri, polidipsi

Diare, rash, gagal tumbuh, demam, pneumonia berulang

Diare setelah gandum dimasukkan dalam diet

Pada pemeriksaan fisik dijumpai bentuk dan posisi abnormal pada anus

Penyakit hirschsprung’s

Pseudo-obstruksi

Kelainan medulla spinalis: tethered cord, tumor medulla spinalis,

myelomeningocele

Hipotiroidism

Diabetes insipidus Kista fibrosis

Gluten enteropati

Malformasi kongenital anorektal : anus imperforata, stenosis anal,

(27)

Sesuai dengan Kriteria Rome III, diagnosis konstipasi berdasarkan beberapa kriteria sebagai berikut.24

Konstipasi fungsional

Kriteria diagnostik harus termasuk dua atau lebih dengan usia minimal 4 tahun: - Kurang atau sama dengan 2 kali defekasi per minggu

- Minimal satu episode inkonstinensia per minggu - Riwayat retensi tinja yang berlebihan

- Riwayat nyeri atau susah defekasi

- Teraba massa fekal yang besar di rektum

- Riwayat tinja yang besar sampai dapat menghambat kloset

Non retensi fekal inkontinensia

Diagnosa dalam usia minimal 4 tahun dan harus melibatkan semua kriteria tersebut, yakni :

- Defekasi pada tempat yang tidak selayaknya minimal 1 kali per bulan

- Tidak terdapat inflamasi, kelainan anatomi, metabolik atau proses neoplastik

- Tidak ada retensi fekal

(28)

2.7. Faktor risiko konstipasi

Pengenalan dini faktor-faktor risiko pencetus konstipasi dapat membantu kita untuk mencegah konstipasi itu sendiri. Satu studi menjelaskan bahwa beberapa faktor risiko konstipasi yang ada, dikumpulkan dan dinilai melalui kuesioner untuk kemudian dikalkulasikan skor masing-masing, yang bertujuan untuk menilai derajat risiko seseorang menderita konstipasi.25

Faktor-faktor risiko Konstipasi pada anak, yaitu :13 - Setelah operasi abdomen atau perianal/pelvik - Mobilitas yang sedikit

- Tidak adekuatnya asupan (cairan ataupun serat) - Pengobatan yang beragam

- Salah penggunaan laksansia

- Pasien dengan penyakit stadium lanjut - Perjalanan

- Sejarah dengan konstipasi kronik

(29)

kejadian konstipasi. Peningkatan angka prevalensi obesitas dapat diperoleh dari diet, tingkatan aktivitas, atau pengaruh hormon.26

2.8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan konstipasi fungsional melibatkan faktor non farmakologi dan faktor farmakologi.27 Terapi non farmakologis digunakan untuk meningkatkan frekuensi defekasi pada pasien konstipasi, yaitu dengan menambah asupan serat dan meningkatkan volume cairan yang diminum, serta meningkatkan aktivitas fisik atau olah raga. Serat dapat menambah volume feses (karena dalam saluran pencernaan manusia ia tidak dicerna), mengurangi penyerapan air dari feses, dan membantu mempercepat feses melewati usus sehingga frekuensi defekasi meningkat.28

Suatu studi mengelompokkan algoritma penanganan konstipasi pada anak di bawah 1 tahun dan di atas 1 tahun. Penatalaksanaan dari konstipasi fungsional meliputi edukasi, pencahar, modifikasi perilaku, dan obat-obatan.29,30

(30)

kolon, yang normalnya merupakan organ tempat terjadinya penyerapan cairan menjadi organ yang mensekresikan air dan elektrolit.28

Obat laksansia sendiri dapat dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu: (1) laksansia yang melunakkan feses dalam waktu 1 sampai 3 hari (laksansia

bulk-forming, docusates, dan laktulosa); (2) laksansia yang mampu menghasilkan feses yang lunak atau semi-cair dalam waktu 6 sampai 12 jam (derivat difenilmetan dan derivat antrakuinon), serta (3) laksansia yang mampu menghasilkan pengeluaran feses yang cair dalam waktu 1 sampai 6 jam (saline cathartics, minyak castor, larutan elektrolit polietilenglikol).31

(31)

Tabel 2.4. Laksansia Stimulan31

Nama Obat Bentuk sediaan dan dosis

confusion, denyut nadi tidak teratur, kram otot,

rash kulit, lelah

Dianjurkan untuk diberikan pagi hari waktu perut kosong. Dosis lebih besar tidak menambah efek urin dan tinja warna merah.

Reaksi alergi

Efek laksansia terlihat setelah 6-8 jam.

Bisakodil Tablet bersalut enteral 5 dan 10 mg

Supositoria 10 mg Dosis dewasa 10-15 mg Dosis anak 5-10 mg

Oksifenisatin Tablet 5mg, Sirup 5 mg/5 mL

Sirup, Eliksir, Tablet 125 mg

Dosis 2-5 mL atau 100-300 mg

Sena Sirup, Eliksir, dosis 2-4 mL

Tablet 280 mg, dosis 0,5-2 g

Penggunaan lama menyebabkan

kerusakan neuron messenterik

Efek laksansia terlihat setelah 6 jam.

Dantron Tablet 75 mg, dosis 75-150 mg

(32)

Laksansia stimulan merangsang mukosa, syaraf intramural atau otot polos sehingga meningkatkan peristaltik dan sekresi lendir usus. Laksansia ini dapat menghambat Na+, K+-ATPase yang merupakan bagian dari kerja sebagai laksansia.31 Pergerakan usus (peristaltik) terjadi dalam waktu 6 sampai 12 jam setelah diminum, atau 15 sampai 60 menit setelah diberikan melalui rektal.34

Pemberian per rektal ( enema atau suppositoria ) biasanya digunakan mengatasi konstipasi dan membebaskan rektum dari feses yang keras, dapat juga digunakan untuk membersihkan rektum dan kolon sigmoid untuk persiapan operasi maupun pemeriksaan sigmoidoskopi. Pasien harus berhati-hati mengikuti instruksi penggunaan laksansia secara perektal.9

Setelah 1 tahun pengobatan konvensional berupa edukasi, laksansia, modifikasi perilaku, dan obat-obatan yang dilakukan secara intensif, hampir 30 persen sampai 40 persen anak dengan konstipasi fungsional masih mengeluhkan gejala frekuensi defekasi yang kurang, dimana suatu penelitian jangka panjang menunjukan hasil yang sama dimana gejala yang dirasakan untuk jangka panjang akan menurunkan kualitas hidup baik anak maupun orang tua. Kegagalan dari terapi konvensional bisa dikarenakan kurangnya kepatuhan penderita dalam menjalani terapi.10

(33)

Disimpaksi rektal merupakan terapi yang penting sebelum terapi pemeliharaan dilakukan. Penelitian menunjukan keberhasilan disimpaksi secara oral, rektal maupun keduanya.22,24 Walaupun belum ada penelitian secara control trial yang menunjukan efektifitas penggunaan laksansia seperti bisakodyl untuk inisial disimpaksi, namun demikian terapi ini cukup efektif pada awal terapi.25,26

(34)

2.9. Kerangka Konseptual

Gambar 2.1. Kerangka konsep penelitian

3 episode dalam satu periode waktu selama cairan dan saraf pada

mukosa kolon Bisakodil

(35)

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain

Penelitian ini merupakan uji klinis acak terbuka yang membandingkan efektifitas laksansia yang diberikan secara oral atau melalui rektal terhadap kesembuhan dan kekambuhan pada anak penderita konstipasi fungsional.

3.2. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di SD dan SLTP di Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara mulai bulan Mei sampai Juni 2010.

3.3. Populasi dan Sampel

(36)

3.4. Perkiraan Besar Sampel

Besar sampel dihitung dengan mempergunakan rumus besar sampel untuk uji hipotesis terhadap rerata dua populasi independen, yaitu :21

�1 = �2 =��1−∝/2√

2��+ ���1�1+�2�2�2 (�1− �2)2

n1 = jumlah subyek yang masuk dalam kelompok A (kontrol)

n2 = jumlah subyek yang masuk dalam kelompok B α = kesalahan tipe I = 0,05 → Tingkat kepercayaan 95%

Z1-α = nilai baku normal = 1,96

β = kesalahan tipe II = 0,2 → Power (kekuatan penelitian) 80%

Zβ = 0,842

P1 = proporsi sembuh pada kelompok A = 0,3

P2 = proporsi sembuh pada kelompok B = 0,6

P = P1+P2

2 =

0,3+0,6

2 = 0,45

Q = 1 - 0,45 = 0,55

(37)

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.5.1. Kriteria Inklusi

1. Anak usia 8 - 17 tahun

2. Defekasi ≤ 2 kali dalam 1 minggu 3. Riwayat retensi tinja yang berlebihan 4. Riwayat nyeri atau susah defekasi

5. Teraba massa fekal yang besar di rektum

6. Riwayat tinja yang besar sampai dapat menghambat kloset 7. Orang tua bersedia mengisi informed consent.

3.5.2. Kriteria Eksklusi

1. Dijumpai darah saat defekasi

2. Dijumpai anamnesa : muntah, diare kronis, demam yang tidak diketahui penyebabnya, feses abnormal

3. Kelainan gastrointestinal berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti obstruksi usus, appendisitis, peritonitis.

4. Dijumpai kelainan organ secara pemeriksaan fisik seperti pembesaran organ hepatomegali, splenomegali.

(38)

3.6. Persetujuan / Informed Consent

Semua subyek penelitan akan diminta persetujuan dari orang tua setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu untuk pemberian laksansia pada penderita konstipasi.

3.7. Etika Penelitian

Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian

1. Data dasar diperoleh dari wawancara dan kuesioner

2. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria diagnostik konstipasi (kriteria rome III) dimasukkan dalam penelitian

3. Dilakukan penimbangan berat badan dengan timbangan berat badan merek Camry yang sebelumnya telah ditera dengan kapasitas maksimal 125 kg. Anak mengenakan pakaian seminimal mungkin tanpa memakai sepatu atau sandal.

4. Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan menggunakan microtoise

(39)

5. Hasil penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan dimasukkan ke dalam tabel CDC dan BMI

6. Sampel dilakukan pemeriksaan fisik

7. Sampel dibagi secara acak dengan menggunakan randomisasi sederhana memakai tabel random ke dalam dua kelompok yaitu kelompok A dan kelompok B

8. Kelompok A yaitu anak yang memperoleh Bisakodil (Dulcolax®) 5 mg secara oral (dosis 0,3 mg/KgBB/hari) selama 3 hari

9. Kelompok B yaitu anak yang memperoleh Bisakodil (Dulcolax®) 5 mg melalui rektal (dosis 0,3 mg/KgBB/hari)

10. Pada hari kedua dan ketiga dilakukan kembali wawancara untuk memastikan obat sudah digunakan dengan benar dan melihat adanya efek samping obat serta memberikan catatan defekasi harian

(40)

Alur Penelitian

3.9. Identifikasi Variabel

Variabel bebas Skala

Pemberian laksansia Nominal

Variabel tergantung Skala

Kesembuhan Nominal

Kekambuhan Nominal

Bisakodil 5 mg melalui oral dosis 0,3

mg/KgBB/hari

Bisakodil 5 mg melalui rektal dosis

0,3 mg/KgBB/hari Populasi terjangkau

yang memenuhi kriteria inklusi

Dinyatakan sembuh dari konstipasi

Sampel di wawancara ulang dan diberi kuesioner kembali serta melihat jadwal defekasi kembali

Dinyatakan tidak sembuh dari konstipasi

(41)

3.10. Definisi Operasional

1. Konstipasi adalah kesulitan defekasi dengan tinja keras dan rasa sakit dengan frekuensi defekasi ≤ 2 kali dalam 1 minggu.

2. Konstipasi fungsional adalah konstipasi yang didiagnosis berdasarkan Kriteria ROME III (memenuhi dua dari kriteria berikut selama 1 bulan) yaitu :

a. Buang air besar 2 kali atau kurang setiap minggu

b. Sekurang-kurangnya 1 kali setiap minggu mengalami inkontinensia

c. RIwayat menahan buang air besar yang berlebihan d. Riwayat nyeri saat buang air besar dan feses yang keras e. Teraba massa feses yang banyak di dalam rektum

f. Riwayat feses dalam diameter yang besar sehingga dapat menyumbat lubang toilet.

3. Kesembuhan terjadi bila terdapat peningkatan defekasi yaitu ≥ 3 kali dalam 1 minggu.

(42)

3.11. Pengolahan dan Analisa Data

Penelitian ini merupakan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian laksansia secara oral ataupun rektal terhadap kesembuhan dan kekambuhan menggunakan uji chi-square. Pengolahan data dilakukan menggunakan Mecrosoft Excell 2007 dan SPSS versi 17.0 dengan Interval Kepercayaan yang digunakan adalah 95% dan tingkat kemaknaan P < 0.05.

(43)

BAB 4. HASIL

4.1. Data Demografik dan Karakteristik

Penelitian dilaksanakan di Pesantren Musthafawiyah Kecamatan Purba Baru, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara.

(44)

Gambar 4.1. CONSORT Diagram

Siswa yang selesai mengikuti penelitian ini berjumlah 91 orang dimana rerata usia siswa yang menderita konstipasi fungsional 15 tahun pada kelompok A dan 15.1 tahun pada kelompok B. Jumlah laki-laki pada kelompok A adalah 5 orang sementara kelompok B 8 orang. Jumlah perempuan 41 orang pada kelompok A dan 37 orang pada kelompok B. Berat badan rerata siswa yang menderita konstipasi fungsional 48.6 kg pada kelompok A dan 45.6 kg pada kelompok B. Tinggi badan rerata siswa yang menderita konstipasi fungsional pada kelompok A 149.9 cm dan pada kelompok B 146.5 cm. Indeks

109 Siswa

10 Siswa eksklusi : - 3 BAB berdarah - 4 Hepatosplenomegali - 3 Menolak penelitian

99 Siswa inklusi

Kel ompok A (50 siswa) Kelompok B (49 siswa)

4 Drop out

n = 46 siswa

4 Drop out

(45)

Massa Tubuh (IMT) rerata pada siswa yg menderita konstipasi fungsional 21.6 Kg/m2 pada kelompok A dan 21.1 Kg/m2 pada kelompok B. Karakteristik dasar subjek penelitian seperti pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Karakteristik Dasar Subjek Penelitian (n=91)

Karakteristik Laksansia oral (n=46)

Laksansia rektal (n=45)

Usia (tahun), rerata (SD) 15.0 (1.41) 15.1 (1.36)

Jenis Kelamin, n (%)

- Laki-laki 5 (10.90) 8 (17.80)

- Perempuan 41 (89.10) 37 (82.20)

Berat badan (kg), rerata

(SD)

48.6 (8.11) 45.6 (7.80)

Tinggi Badan (cm), rerata

(SD)

149.9 (6.79) 146.5 (6.90)

IMT (kg/m2), rerata (SD) 21.6 (2.77) 21.1 (2.66)

4.2. Perbedaan Pemberian Laksansia Oral dan Rektal Terhadap Kesembuhan

(46)

pemberian laksansia secara oral dan rektal terhadap kesembuhan siswa dengan konstipasi fungsional terlihat pada tabel 2.

Tabel 4.2. Perbedaan Pemberian Laksansia Oral dan Rektal Terhadap Kesembuhan

Sembuh n (%)

Tidak Sembuh n (%)

P

Laksansia Oral 39 (84.8) 7 (15.2) 0.278

Laksansia rektal 33 (73.3) 12 (26.7)

χ2 = 1.805 df=1 P=0.278

Dari tabel di atas didapati tidak ada perbedaan bermakna antara pemberian laksansia secara oral maupun rektal terhadap kesembuhan siswa dengan konstipasi fungsional dengan nilai P=0.278.

4.3. Perbedaan Pemberian Laksansia Oral dan Rektal Terhadap Kejadian Kekambuhan

(47)

kejadian kekambuhan dimana pada minggu kedua atau hari 14 didapatkan siswa yang mengalami kekambuhan pada kelompok oral yaitu 17 siswa (42.5%) dan yang memperoleh laksansia rektal yaitu 23 siswa (57.5%) dengan nilai P=0.026. Sementara untuk minggu-minggu berikutnya tidak ada perbedaan bermakna antara siswa yang memperoleh laksansia secara oral maupun rektal terhadap kejadian kekambuhan. Hubungan pemberian laksansia secara oral dan rektal terhadap kejadian kekambuhan siswa dengan konstipasi fungsional terlihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Perbedaan Pemberian Laksansia Oral dan Rektal Terhadap Kejadian Kekambuhan

Kambuh, n (%)

P

Oral Rektal

Minggu ke 2 17 (42.5) 23 (57.5) 0.026

Minggu ke 3 11 (37.9) 18 (62.1) 0.110

Minggu ke 4 6 (30.0) 14 (70.0) 0.111

Minggu ke 5 4 (50.0) 4 (50.0) 0.659

(48)

BAB 5. PEMBAHASAN

Konstipasi biasa terjadi pada anak, hanya 3 persen konstipasi pada anak dibawa orang tua berobat ke dokter dan hanya 10 sampai 25 persen yang berobat ke klinik gastroenterologi anak.1,11 Satu studi melaporkan prevalensi konstipasi pada anak usia 4 sampai 17 tahun adalah 22.6 persen8, sedangkan untuk usia di bawah 4 tahun hanya memiliki prevalensi kejadian konstipasi sebesar 16 persen.15 Pada studi longitudinal dilaporkan 16 persen anak usia 9 sampai 11 tahun menderita konstipasi.16

Penelitian di Amerika Serikat menemukan 28 persen anak-anak Brazil berusia 8-10 tahun mengalami konstipasi.17 Konstipasi merupakan masalah umum pada anak-anak, sekitar 16 persen sampai 37 persen terjadi pada anak usia sekolah dan sekitar 4 persen pada anak usia prasekolah. Sebanyak 90 persen sampai 95 persen konstipasi fungsional terjadi pada anak diatas usia 1 tahun, hanya 5 persen sampai 10 persen konstipasi disebabkan oleh kelainan organik atau patologis.1

(49)

terjadinya konstipasi fungsional pada anak usia sekolah serta konstipasi yang disebabkan oleh kelainan organik maupun patologis prevalensinya cukup kecil pada usia tersebut.

Konstipasi dapat terjadi pada semua usia anak3,22, tetapi biasa terjadi pada usia pra sekolah, usia sekolah, dan neonatal. Pada usia sekolah, konstipasi lebih sering terjadi pada anak laki-laki namun demikian satu studi menyimpulkan bahwa jenis kelamin merupakan faktor risiko terjadinya konstipasi dimana perempuan memiliki risiko mendapat konstipasi tiga kali lebih besar dari laki-laki.25 Pada satu penelitian didapatkan bahwa perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya functional bowel diorders

dimana didalamnya termasuk konstipasi fungsional serta prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia.36

(50)

kamar mandi karena fasilitas kamar mandi yang kurang memadai baik kelengkapan maupun kebersihan dari kamar mandi yang ada.

Selain itu masalah yang sering timbul saat ini adalah timbulnya berat badan anak yang berlebih (overweight atau obesitas) yang ternyata merupakan faktor pencetus terjadinya konstipasi pada anak. Pada studi retrospektif melaporkan pada anak-anak konstipasi, dijumpai 22 persen memiliki status gizi obesitas sedangkan pada kelompok kontrol yang obesitas hanya 11 persen. Pada anak obesitas dan konstipasi didapati 25 persen laki-laki dan 19 persen perempuan.26

Studi retrospektif menjelaskan bahwa obesitas memiliki hubungan yang kuat dengan kejadian konstipasi, 41 persen anak obesitas mengalami konstipasi.13 Hal ini diperkuat oleh pada studi cross sectional, didapati 23 persen anak obesitas mengalami konstipasi. Etiologi konstipasi pada anak obesitas belum jelas diketahui, salah satu studi menjelaskan bahwa perubahan hormon atau hiperglikemia berperan penting dalam terjadinya konstipasi pada anak obesitas.31

(51)

Laksansia stimulan seperti Bisakodil secara luas diresepkan dan lebih banyak lagi yang dibeli tanpa resep.32 Bisakodil sangat sedikit diabsorbsi baik di usus halus setelah pemberian oral maupun di usus besar setelah pemberian per rektal.33 Selain itu bisakodil bekerja lokal di usus besar meningkatkan motilitas dan mengurangi waktu singgah feses di kolon secara keseluruhan serta meningkatkan cairan di feses.37

Pilihan pengobatan menggunakan laksansia harus didasarkan pada gejala, pilihan pasien, efek samping serta biaya. Pada umumnya dosis kecil laksansia bisa digunakan dan dapat dikurangi jika gejala berkurang dan tidak disarankan untuk penggunaan jangka panjang.35

Pada penelitian ini digunakan bisakodil sebagai laksansia stimulan dengan merek dagang Dulcolax® dikarenakan sediaannya yang mudah didapatkan serta dapat digunakan baik melalui oral maupun rektal.

Tatalaksana konstipasi fungsional meliputi evakuasi tinja dan terapi rumatan berupa pemberian obat, modifikasi perilaku dan intervensi diet.1,2,5,6 Penanganan lebih awal dapat meningkatkan kemungkinan penyembuhan total dari gejala konstipasi fungsional.5

(52)

untuk jangka panjang akan menurunkan kualitas hidup baik anak maupun orang tua. Kegagalan dari terapi konvensional bisa dikarenakan kurangnya kepatuhan penderita dalam menjalani terapi.10

Disimpaksi rektal merupakan terapi yang penting sebelum terapi pemeliharaan dilakukan. Penelitian menunjukan keberhasilan disimpaksi secara oral, rektal maupun keduanya.22,24 Walaupun belum ada penelitian secara control trial yang menunjukan efektifitas penggunaan laksansia seperti bisakodil untuk inisial disimpaksi, namun demikian terapi ini cukup efektif pada awal terapi.25,26

Sistematik review dari 14 studi prospektif pada tahun 2009 didapatkan bahwa onset konstipasi antara usia 1 sampai 4 tahun tidak berhubungan dengan kesembuhan sedangkan onset pada usia 4 tahun atau lebih memiliki hubungan bermakna dengan kesembuhan.7

Pada satu studi uji klinis tersamar menyimpulkan bahwa tidak ada efek tambahan pada pemberian laksansia secara enema dibandingkan pemberian secara oral pada terapi rumatan pada anak dengan konstipasi.10

(53)

Pada kelompok rektal didapatkan jumlah siswa yang sembuh lebih sedikit daripada kelompok oral namun demikian rata-rata siswa mengalami defekasi lebih cepat pada kelompok rektal. Hal ini dimungkinkan karena pemberian secara rektal bekerja lokal serta memberikan efek terapi yang lebih cepat. Terdapat beberapa kelemahan pada penelitian ini salah satunya kesembuhan hanya dinilai berdasarkan peningkatan defekasi menjadi lebih besar sama dengan tiga kali dalam satu minggu tanpa diikuti follow up jangka panjang serta mengabaikan kejadian retensi tinja yang berlebih, riwayat nyeri atau sulit defekasi berulang serta teraba masa fekal yang besar. Selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi kesembuhan konstipasi fungsional seperti aktifitas fisik, asupan serat, nutrisi dan ketersediaan sarana terutama kamar mandi tidak diintervensi.

Beberapa ahli percaya bahwa konstipasi fungsional merupakan self limiting desease 38,39 walaupun tidak didukung oleh beberapa penelitian yang melakukan follow up jangka panjang, gejala yang persisten dilaporkan terjadi pada 30 sampai 52 persen anak melalui penelitian yang melakukan follow up

selama lima tahun.40,42

(54)

lainnya menemukan 30 persen anak yang telah menjalani terapi konstipasi dengan rerata usia 6.8 tahun masih mengalami konstipasi yang intermiten.44

Pada penelitian ini dijumpai bahwa tidak ada perbedaan bermakna pemberian laksansia secara oral dengan rektal terhadap kekambuhan pada minggu ketiga sampai keenam dimana semua siswa mengalami kekambuhan. Namun demikian didapati perbedaan bermakna pada minggu kedua pemberian laksansia secara oral dan rektal dimana kelompok rektal mengalami kekambuhan lebih banyak yaitu 23 orang siswa (57.5%) dibandingkan dengan laksansia oral 17 orang siswa (42.5%) dengan nilai P=0.026. Pemberian laksansia secara oral merangsang mukosa, syaraf intramural atau otot polos sehingga meningkatkan peristaltik dan sekresi lendir usus sehingga fungsinya selain sebagai terapi evakuasi tinja juga dapat berfungsi sebagai terapi pemeliharaan walaupun laksansia stimulan tidak rutin degunakan sebagai terapi rumatan, lain halnya pemberian secara rektal yang bekerja lokal membersihkan rektum dari feses yang keras serta efek terapi yang cepat.

Intervensi yg lebih dini meningkatkan kesembuhan pada anak dengan konstipasi fungsional dimana terapi termasuk didalamnya disinpaksi rektum diikuti terapi pemeliharaan.45

(55)

konstipasi menunjukan keuntungan dari penggunaan glucomannan terhadap frekuensi defekasi, konsistensi feses, episode soiling, penggunaan suppositori dan efek sampingnya. 48,49

Diperlukan penatalaksanaan yang menyeluruh dan lebih dini untuk mendapatkan hasil yang optimal terhadap konstipasi fungsional pada anak. Modisikasi perilaku termasuk toilet training, asupan serat serta aktivitas fisik, edukasi terhadap keluarga sampai pengobatan menggunakan laksansia mutlak diperlukan.

Satu studi menemukan bahwa kebiasaan bersembunyi saat defekasi sebelum menyelesaikan toilet training berhubungan dengan penolakan untuk defekasi di toilet, konstipasi dan menahan defekasi.50 Salah satu yang terpenting adalah modifikasi perilaku dan kebiasaan untuk defekasi secara teratur. Waktu untuk defekasi di toilet tidak harus tergesa-gesa setelah makan sangat direkmendasikan.51

Sebuah penelitian prospektif randomized trial menunjukan penambahan terapi modifikasi perilaku pada anak konstipasi sangat menguntungkan, dimana penggunaan laksansia paling menguntungkan pada saat anak sudah bisa pergi defekasi di toilet secara rutin.52 Laksansia stimulan diperlukan secara intermiten untuk jangka waktu yang pendek untuk mencegah terjadinya kembali impaksi,53 dalam hal ini laksansia stimulan digunakan pada saat diperlukan saja yakni untuk disimpaksi rektal biasanya menggunakan glycerin

(56)

Satu studi prospektif uji acak tersamar selama 12 bulan menemukan tingkat kesembuhan yang tinggi pada anak yang memperoleh modifikasi perilaku dan diet ditambah dengan pemberian laksansia (miralax, oral dan rektal bisakodil) dibandingkan dengan anak yang hanya memperoleh modifikasi perilaku saja.55

(57)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

Dari penelitian ini diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara pemberian laksansia secara oral maupun rektal terhadap kesembuhan anak dengan konstipasi fungsional. Pada minggu kedua dijumpai kekambuhan yang lebih cepat pada pemberian secara rektal dibandingkan pada pemberian oral.

6.2. SARAN

(58)

RINGKASAN

Konstipasi merupakan masalah umum pada anak-anak baik usia sekolah maupun pra sekolah dimana penyebabnya bisa organik maupun fungsional. Kebiasaan konstipasi pada anak dapat berkelanjutan hingga dewasa sehingga diperlukan penatalaksanaan yang lebih dini serta adekuat. Tatalaksana konstipasi fungsional meliputi evakuasi tinja dan terapi rumatan berupa pemberian obat, modifikasi perilaku dan intervensi diet. Penggunaan laksansia telah lama dikenal sebagai terapi konstipasi terutama sebagai inisial disimpaksi. Disimpaksi rektal merupakan terapi yang penting sebelum terapi pemeliharaan dilakukan. Pemberian laksansia dapat melalui oral maupun rektal dimana sampai saat ini tidak ada penelitian secara acak yang membandingkan efektifitas kedua cara pemberian.

(59)

Sembilan puluh sembilan sampel penelitian diikutsertakan dalam studi ini namun hanya 91 sampel yang menyelesaikan penelitian (kelompok oral n= 46, kelompok rektal n=45). Tidak dijumpai perbedaan bermakna pada karakteristik dasar kedua kelompok serta terhadap kesembuhan (P=0.278) dimana kelompok oral yang sembuh sembuh yaitu 39 siswa (84.8%) sementara yang tidak sembuh berjumlah 7 siswa (15.2%) dibandingkan dengan kelompok rektal sembuh 33 orang (73.3%) dan yang tidak sembuh 12 orang siswa (26.7%). Namun tidak demikian dengan kejadian kekambuhan dimana terdapat perbedaan bermakna antara kelompok oral yaitu 17 siswa (42.5%) dan kelompok rektal yaitu 23 siswa (57.5%) dengan nilai P=0.026 yang dijumpai pada minggu kedua follow up.

(60)

SUMMARY

Constipation is a common problem in both children of school age and pre-school where can caused by organic or functional. Constipation in children can be sustained into adulthood so that early management were necessary . Management of functional constipation includes evacuation of faeces and provision of drug maintenance therapy, behavior modification and dietary interventions. Laxatives has already known as primarily as an initial disimpaksi. Rectal disimpaksi were important before maintenance therapy performed. Laxatives provision can be administered by oral or rectal where there is no randomized studies comparing the effectiveness of both administration.

The aim of this study is to determine the benefit of oral and rectal laxatives to recovery and recurrence in children with functional constipation. This study is a randomized open clinical trial conducted in May and June 2010 at the Islamic School District Musthafawiyah Purba Baru, Mandailing Natal regency, North Sumatra Province. Children ages 8 to 17 years who fulfill the Rome III criteria entered into the study through questionnaires, interviews and physical examinations.

(61)

group was 15.0(1.41) and 15.1(1.36) years, BW 48.6(8.11) and 45.6(7.80) kg, BH 149.9(6.79) and 146.5(6.90) cm, and BMI 21.6(2.77) and 21.1(2.66) kg/m2, respectively. Succesfull recovery was achieved with oral and rectal (84.8% and 73.3%, respectively; P=0.278). The recurrence of constipation with oral and rectal in the second week were 42.5% and 57.5%, respectively; P = 0.026.

So it can be concluded that oral and rectal laxatives have no significant difference in the recovery of the functional constipation, however earlier recurrence of constipation more often occured in rectal laxatives.

(62)

DAFTAR PUSTAKA

1. Jufrie M, Soenarto YS, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani SN. Gastroenterologi-Hepatologi. Cetakan kedua. IDAI. 2011;h.201-13

2. Prasetyo D. Konstipasi pada anak. Dalam: Sinuhaji AB, Lubis M, Supriatmo, Nafianti S, Lubis BM, penyunting. From basic to communiity. Badan Koordinasi gastroenterologi Indonesia (BKGAI). Medan: 2010;h.55-63

3. Brennan LK. Constipation. Dalam: Zaotis LB, Chiang ZW. Penyunting. Comprehensive pediatric hospital medicine. Philadelphia: Mosby Elsevier. 2007;h.612-16

4. Bongers MEJ, Benninga MA, Maurice-Stam H, Grootenhuis MA. Health-related quality of life in young adults with symptoms of constipation continuing from childhood into adulthood. Biomed central. 2009; 7:1-9

5. Biggs WS, Dery WH. Evaluation and treatment of constipation in infants and children. Am Fam Physician. 2006; 73:469-77

6. Felt B. Functional constipation and soiling in children. 2003. Diunduh dari:

7. Pijper MAM, Bongers MEJ, Benninga MA, Berger MY. Functional constipation in children: a systematic review on prognosis and predictive factors. JPGN. 2010; 50:256-68

8. Voskuijl W, Lorijn F, Nerwijs W, Hogeman P, Heijmans J, Mäkel W, et al. PEG 3350 (transipeg) versus lactulose in the treatment of childhood functional constipation: a double blind randomised, controlled, multicentre trial. Gut. 2004; 53:1590-94

9. Cunha JP, Marks JW. Laxatives for constipation. Diunduh dari:

2010

10. Bongers ME, Van de berg MM, Reitsma JB, Voskuijl WP, Benninga MA. A randomized controlled trial of enemas in combination with oral laxative therapy for children with chronic constipation. Clin Gastro and Hepatol. 2009; 7:1069-74

(63)

12. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson Ilmu kesehatan anak. Cetakan Pertama. Jakarta: EGC; 2000.

13. World Gastroenterology Organisation. World Gastroenterology Organisation Practice Guidelines: Constipation. World Gastroenterology Organisation. 2007; h.1-10

14. Borowitz S. Constipation. Diunduh dari:

15. Loening-Baucke V. Prevalence rates for constipation and faecal and urinary incontinence. Arch Dis Child.2007; 92:486-89

16. Saps M, Sztainberg M, Di Lorenzo C. A Prospective community-based study of gastroenterological symptoms in school-age children.

17. Anna San't DA. Constipation in school aged children at public schools in Rio de Janeiro, Brazil. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1999;29:190-3

18. Niemeijer I, Ting L, Alatas FS, Firmansyah A. The prevalence and associated factors of chronic functional constipation in 4-6 years old children. JGAI. 2007; 2:81-6

19. Croffie JM. Constipation in children. Indian Journal of pediatric. 2006; 73:697-701

20. Rubin G, Dale A. Chronic constipation in children. Clinical review. BMJ. 2006; 333:1051-5

21. Greenwald BJ. Clinical practice guidelines for pediatric constipation. Journal of the American Academy of nurse Practitioners. 2010; 17:332-8

22. Constipation in children. Diunduh dari:

http://www.emedicinehealth.com/constipation_in_chldren/article_em.htm. Diakses April 2010

23. Coughlin EC. Assesment and management of pediatric constipation in primary care. Pediatric Nurs. 2003; 29(4):1-9

24. Walker, Caplan-Dover, Rasquin-Weber. Pediatrics Gastrointestinal Symptoms Rome III version. 2000

25. Richmond JP, Wright ME. Development of a constipation risk assesment scale. Elsevier. 2005; 9:37-48

26. Pashankar DS, Loening-Baucke V. Increased prevalence of obesity in children with functional constipation evaluated in a academic medical center. Pediatrics. 2005; 116:377-80

(64)

28. Widyastuti M. Penggunaan pencahar stimulan untuk mengobati konstipasi. Diunduh dari:

29. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, Croffie JM, Di Lorenzo C, Ector W et al. Constipation in Infants and Children: Evaluation and Treatment. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1999; 29:612-26

30. Biggs W, Dery WH. Evaluation and treatment of constipation in infants and children. American Family physician. 2006; 73:469-77

31. Estuningtyas A, Arif A. Obat lokal. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, penyunting. Farmakologi dan terapi. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2007;h.517-40

32. Altman DV. Obat yang digunakan dalam penyakit gastrointestinal. Dalam: Bagian farmakologi FK UNAIR, penyunting. Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta: Salemba medika; 2004; h.541-64

33. Nissen D, editor. Mosby’s drug consult. St Louis: Mosby Elsevier; 2003 34. Dulcolax rect monograph bisacodyl. Diunduh dari:

35. The management of constipation [editorial]. MeReC Bulletin. 2004; 14:21-4

36. Sorouri M, Mohammad A, Pourhoseingholi, Vahedi M, Safaee A, Moghimi DB et al. Functional bowel disorders in iranian population using rome III criteria. Saudi J Gastroenterol. 2010; 16(3):154–60

37. Manabe N, Cremonii F, Camilleri M, Sandborn WJ, Burton DD. Effects of bisacodyl on ascending colon emptying and overall colonic transit in healthy volunteers. Aliment Pharmacol Therapy. 2009; 30:930-36

38. Bellman M. Studies on encopresis. Acta Paediatr Scand. 1966; 170:151-7 39. Abrahamian FP, Lloyd-Still JD. Chronic constipation in childhood: a

longitudinal study of 186 patients. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1984; 3(3):460 – 7

40. Loening-Baucke V. Constipation in early childhood: patient characteristics, treatment, and long-term follow up. Gut. 1993 ; 34(10):1400- 4

(65)

42. Van Ginkel R, Reitsma JB, Buller HA, van Wijk MP, Taminiau JA, Benninga MA. Childhood constipation: longitudinal follow-up beyond puberty. Gastroenterology. 2003; 125(2): 357–63

43. Wang B-X, Wang M-G, Jiang M-Z, et al. Forlax in the treatment of childhood constipation: a randomized, controlled, multicentre clinical study (in Chinese). Zhongguo Dang Dai Er Ke Za Zh.i 2007 ;9:429–32

44. Loening-Baucke V, Pashankar DS. A randomized, prospective, comparison study of polyethylene glycol 3350 without electrolytes and milk of magnesia for children with constipation and fecal incontinence. Pediatrics. 2006; 118:528–35

45. McGrath ML, Mellon MW, Murphy L. Empirically supported treatments in pediatric psychology: constipation and encopresis. J Pediatr Psychol 2000; 25:225-54

46. Williams CL, Bollella M,Wynder EL. A new recommendation for dietary fibre in childhood. Pediatrics. 1995; 96: 985–8

47. Morais MB, Vitolo MR, Aguirre AN. Measurement of low dietary fiber intake as a risk factor for chronic constipation in children. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1999; 29:132–5

48. Loening-Baucke V, Miele E, Staiano A. Fiber (glucomannan) is beneficial in the treatment of childhood constipation. Pediatrics. 2004; 113:259–64

49. Staiano A, Simeone D, Del Giudice E. Effect of the dietary fibre glucomannan on chronic constipation in neurologically impaired children. J Pediatr. 2000; 136:41–5

50. Taubman. Children Who Hide While Defecating Before They Have Completed Toilet Training. Arch Pediatr Adolesc Med. 2003;157:1190-2 51. Lowery SP, Srour JW, Whitehead WE, Schuster NM. Habit training as

treatment of encopresis secondary to chronic constipation. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1985; 4:397-401

52. Nolan T, Debelle G, Oberklaid F, Coffey C. Randomized trial of laxatives in treatment of childhood encopresis. Lancet. 1991; 338:523-7

53. Nurko SS. Constipation. In: WalkerYSmith J, Hamilton D, Walker AW. Practical Pediatric Gastroenterology, 2nd ed. Hamilton, Ontario: BC Decker. 1996:95-106

(66)
(67)

LAMPIRAN

1. Personil Penelitian 1. Ketua Penelitian

Nama : dr. Wiji Joko Pranoto

Jabatan : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak

FK-USU/RSHAM 2. Anggota Penelitian

1. dr. Supriatmo, SpAK 2. dr. Badai Buana Nasution 3. dr. Fadli Syahputra

4. dr. Aridamuriany D. Lubis

2. Biaya Penelitian

1. Bahan / perlengkapan : Rp. 10.000.000 2. Transportasi / Akomodasi : Rp. 2.500.000 3. Penyusunan / penggandaan : Rp. 2.000.000

(68)

3. Jadwal Penelitian Alamat :... Tempat/tanggal lahir: ... Berat badan: ...kg Tinggi badan: ...cm

Status nutrisi : Obese / Overweight / Normoweight / Mild malnutrition / Moderate malnutrition / Severe malnutrition

Saat ini duduk di kelas: ... Sekolah: …..………..

2. Data Sakit perut berulang (NPB)

1.Pada 2 bulan terakhir, seberapa sering anak bapak/ibu buang air besar (BAB)?

1.2 x seminggu atau kurang 2.3-6 kali seminggu

3.sekali sehari

4.2 atau 3 kali sehari 5.lebih dari 3 kali sehari _ tidak tahu

(69)

2.keras

3.tidak begtu keras dan begitu lembek 4.sangat lembek

5.seperi air _ tidak tahu

2a. Jika anak bapak/ibu biasanya fesesnya keras, berapa lama hal tersebut telah terjadi?

0.Kurang dari 1 bulan 1.1 bulan

2.2 bulan

3.3 bulan atau lebih

(70)

8.Pada 2 bulan terakir, apakah feses anak anda menggumpal/membatu hingga menyumbat kloset?

0. Tidak 1. Ya

9.Beberapa anak sering menahan bab-nya walaupun kloset tersedia. Mereka melakukannya dengan menegangkan badannya dan menyilangkan kakinya. Pada 2 bulan terakir, selama di rumah, seberapa sering anak anda menahan bab-nya?

0.tidak pernah 1.1-3 kali per bulan 2. sekali seminggu

3.beberapa kali seminggu 4.Setiap hari

10.Pernahkan dokter atau perawat memeriksa anak anda dan mengatakan ada feses dalam jumlah yang banyak di dalam perut anak anda?

0.tidak 1.Ya

11.Dalam 2 bulan terakir, seberapa sering pakaian dalam anak anda ternoda dengan feses?

0.tidak pernah

1.Kurang dari sekali sebulan 2.1-3 kali sebulan

3.sekali seminggu

4.Beberapa kali seminggu 5.Setiap hari

11a.Ketika pakaian dalam anak anda bernoda oleh feses, seberapa banyak noda feses yang tinggal?

1.tidak ada noda feses 2.sedikit noda feses 3.banyak noda feses

11b.Berapa lama anak anda sudah mengalami noda feses pada pakaian dalamnya?

1.kurang atau sama dengan 1 bulan 2.2 bulan

(71)

Cara Penilaian kuesioner:

Memenuhi 2 atau lebih dari kriteriasebagai berikut:

- P1 = kurang atau sama dengan dua kali per minggu - P2 = feses keras atau sangat keras

- P3 = nyeri BAB

- P8 = Melewati tinja yang sangat banyak

- P9 = retensi feses sekali seminggu atau sering - P10 = Riwayat massa feses di rektum

- P11 = Noda tinja sekali seminggu atau lebih

PEMANTAUAN EFEK SAMPING OBAT *

Nama :

Nomor :

Hari pengobatan 1 2 3 4 5 6 7

Efek samping obat

Anoreksia Nyeri perut Mual Muntah Mencret Rash Gatal-gatal Lain-lain (dirinci)

(72)

5. Lembar Penjelasan Kepada Orang Tua

Bapak/Ibu Yth,

Saat ini saya sedang melakukan penelitian yang berjudul:

“Pengaruh Pemberian Laksansia Secara Oral Dan Rektal Pada Anak Dengan” Konstipasi Fungsional

Konstipasi dapat terjadi pada semua usia anak tetapi biasa terjadi setelah periode

neonatal, usia pra sekolah dan usia sekolah.Pada usia sekolah, konstipasi lebih sering terjadi

pada anak laki-laki. Konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan evakuasi tinja secara

sempurna yang tercermin dari tiga aspek yaitu berkurangnya frekuensi defekasi dari biasanya,

tinja yang lebih keras dari sebelumnnya dan palpasi abdomen teraba massa tinja (skibala)

dengan atau tidak disertai enkoporesis.

Penatalaksanaan konstipasi melibatkan faktor non farmakologi dan faktor farmakologi.

Terapi non farmakologis digunakan untuk meningkatkan frekuensi defekasi pada pasien

konstipasi, yaitu dengan menambah asupan serat dan meningkatkan volume cairan yang

diminum, serta meningkatkan aktivitas fisik atau olah raga. Serat dapat menambah volume

feses (karena dalam saluran pencernaan manusia ia tidak dicerna), mengurangi penyerapan

air dari feses, dan membantu mempercepat feses melewati usus sehingga frekuensi defekasi

meningkat. Terapi farmakologis dengan laksansia digunakan untuk meningkatkan frekuensi

defekasi dan untuk mengurangi konsistensi feses yang kering dan keras.

Secara umum, mekanisme kerja obat laksansia meliputi pengurangan absorpsi air dan

elektrolit, meningkatkan osmolalitas dalam lumen, dan meningkatkan tekanan hidrostatik dalam

usus. Laksansia stimulan seperti Bisakodil secara luas diresepkan dan lebih banyak lagi yang

dibeli tanpa resep.Bisakodil tidak berwarna dan tidak berasa, nama kimianya adalah

bis(p-acetoxyphenyl)-2-pyridylmethane. Bisakodil sangat sedikit diabsorbsi baik di usus halus

setelah pemberian oral maupun di usus besar setelah pemberian per rektal. Efek samping

yang timbul bisa kolik usus, ataupun

perasaan terbakar pada penggunaan rektal. Pemberian pengobatan pada penelitian ini tidak

(73)

Bapak/Ibu Yth. Anak dari bapak/ibu akan dijadikan sukarelawan dalam penelitian ini. Untuk

lebih jelasnya, anak dari bapak/ibu akan menjalani prosedur penelitian sebagai berikut :

1. Pada hari 1, anak bapak/ibu akan anak yang memperoleh Bisakodil (Dulcolax®) 5

mg secara oral (dosis 0,3 mg/KgBB/hari) selama 3 hari atau memperoleh Bisakodil

(Dulcolax®) 5 mg melalui rektal (dosis 0,3 mg/KgBB/hari)

2. Pada hari 2 dan 3 dilakukan kembali wawancara untuk memastikan obat sudah

digunakan dengan benar dan melihat adanya efek samping obat serta memberikan

catatan defekasi harian

3. Pemantauan dilakukan setiap hari langsung oleh peneliti sampai hari ke-7,

selanjutnya dilakukan pada hari ke-14, 21 dan 28 untuk melihat frekuensi defekasi

dan kejadian konstipasi berulang

Pada lazimnya, penelitian ini tidak akan menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi anak

bapak/ibu sekalian. Namun, bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama penelitian

berlangsung, yang disebabkan oleh perlakuan yang dilakukan pada penelitian ini, bapak/ibu

dapat menghubungi dr. Wiji Joko Pranoto

(HP. 081315103770) untuk mendapat pertolongan.

Kerjasama bapak/ibu sangat diharapkan dalam penelitian ini. Bila masih ada hal-hal yang

belum jelas menyangkut penelitian ini, setiap saat dapat ditanyakan kepada peneliti : dr. Wiji

Joko Pranoto.

Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini, diharapkan bapak/ibu

bersedia mengisi lembar persetujuan turut serta terhadap anak bapak/ibu dalam penelitian

yang telah disiapkan.

Medan, 2010

Peneliti,

(74)

6.Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ... Umur ... tahun L / P

Alamat : ...

dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan

PERSETUJUAN

untuk dilakukan pengobatan konstipasi terhadap anak saya :

Nama : ... Umur ... tahun

Alamat Rumah : ...

Alamat Sekolah : ...

yang tujuan, sifat, dan perlunya pengobatan tersebut di atas, serta risiko yang dapat

ditimbulkannya telah cukup dijelaskan oleh dokter dan telah saya mengerti sepenuhnya.

Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.

... , ... 2010

Yang memberikan penjelasan Yang membuat pernyataan persetujuan

dr. Wiji Joko Pranoto ...

Saksi-saksi : Tanda tangan

1. ... ...

(75)
(76)

Gambar

Tabel 2.2. Frekuensi  normal  defekasi pada bayi dan anak.1,5,21
Table 2.3. Tanda-tanda peringatan untuk konstipasi organik  pada bayi dan
Tablet 125 mg
Gambar 2.1. Kerangka konsep penelitian
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok pada keluhan muntah dengan 2 subjek (6,1%) yang mengalami muntah.Simpulan penelitian ini adalah pemberian tropisetron 5 mg lebih

Hasil Penelitian: Kejadian rinitis alergi pada anak dengan riwayat pemberian ASI eksklusif lebih rendah dari pada anak dengan riwayat pemberian susu formula

Kedua kelompok subjek dibandingkan kejadian cardiac death , syok, aritmia dan gagal jantung selama perawatan di rumah sakit.. Tidak dijumpai perbedaan yang bermakna

Anak dengan kadar antibodi difteria di atas 0.01 IU/ml setelah pemberian vaksin DPI kedua yang diberikan dengan jarak dua bulan dari pemberian pertama memiliki

Suatu penelitian di Pakistan terhadap pasien yang dilakukan operasi seksio sesaria secara elektif menunjukkan hasil bahwa pemberian eritromisin 250 mg oral yang diberikan 1 jam

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan waktu munculnya bising usus dan komplikasi gastrointestinal setelah pemberian diet oral dini dengan diet oral yang ditunda

usus maupun keluhan gastrointestinal antara pemberian diet oral cair dini dan tunda pada pascaoperasi sesar dengan anestesi spinal sehingga pemberian diet oral cair dapat

Penelitian ini menjelaskan pengaruh dari pemberian Oral Hygiene dengan media propolis yang dioleskan dan dibilas dengan air terhadap kejadian infeksi post operasi Laboplasty dan