• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komposisi dan Struktur Tegakan pada Areal Bekas Tebangan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Studi Kasus di IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komposisi dan Struktur Tegakan pada Areal Bekas Tebangan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Studi Kasus di IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat)"

Copied!
271
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN

PADA AREAL BEKAS TEBANGAN

TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)

(Studi Kasus di IUPKHH PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat)

Oleh:

FERDIAN TEZAR NEVADA E14201048

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN

PADA AREAL BEKAS TEBANGAN

TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)

(Studi Kasus di IUPKHH PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

FERDIAN TEZAR NEVADA

E 14201048

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

Judul Penelitian : KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN PADA AREAL BEKAS TEBANGAN TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) (

Studi

Kasus di IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur,

Kalimantan Barat).

Nama Mahasiswa : Ferdian Tezar Nevada

NRP : E14201048

Departemen : Manajemen Hutan

Program Studi : Budidaya Hutan

Menyetujui : Dosen Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S.) NIP. 130 536 674

Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan

(Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS) NIP. 131 430 799

(4)

RINGKASAN

Ferdian Tezar Nevada. E14201048. Komposisi dan Struktur Tegakan pada Areal Bekas Tebangan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Studi Kasus di IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat) di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S.

Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan diluar hutan (Soerianegara dan Indrawan 1988). Dalam rangka pengusahaan hutan produksi guna menjamin kelestarian produksi dan fungsi ekologis hutan alam produksi di

Indonesia, telah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan

No. 485/Kpts-II/1989 tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia. Dalam Surat Keputusan tersebut antara lain ditetapkan bahwa pengelolaan hutan alam produksi dapat dilakukan dengan Sistem Silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA), Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) dan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Akan tetapi masih perlu diingat, kendatipun panduan sistem-sistem silvikultur diatas diberlakukan dan diikuti akan tetapi masih terdapat kelemahan-kelemahan terutama pada saat pelaksanaannya. Oleh karena itu, guna tercapainya kelestarian ekologi dan kelestarian hasil hutan yang produktif dan optimal maka Departemen Kehutanan mengembangkan suatu sistem silvikultur yang merupakan usaha penyempurnaan dari sistem-sistem sebelumnya yaitu Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) atau lebih dikenal dengan Sistem Silvikultur Intensif.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dampak kegiatan pemanenan kayu dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) terhadap kondisi lingkungan terutama pada kondisi tegakan tinggal di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat.

Objek penelitian ini adalah kondisi hutan sebelum pemanenan kayu, kondisi hutan setelah pemanenan kayu, kondisi hutan sebelum penjaluran dan kondisi hutan setelah penjaluran. Pada tiap-tiap kondisi hutan tersebut dibuat plot pengamatan pada tiga kelerengan yaitu kelerengan 0-15% (landai), 15-25% (sedang), 25-45% (curam), dengan masing-masing tiga ulangan. Metode yang digunakan adalah metode jalur berpetak dengan ukuran 100 m x 100 m. Dalam plot pengamatan dibuat sub-sub petak dengan ukuran tingkat pohon dengan ukuran petak 20 m x 20 m (menjadi 17 m x 20 m setelah dilakukan kegiatan penebangan jalur), tingkat tiang 10 m x 10 m, tingkat pancang 5 m x 5 m dan tingkat semai 2 m x 2 m.

(5)

pemanenan kayu lebih tinggi daripada penurunan jumlah jenis akibat kegiatan penebangan jalur. Tinggi rendahnya jumlah jenis pada berbagai tingkatan permudaaan vegetasi yang ada menunjukkan tingkat survival dari setiap tingkat permudaan untuk mempertahankan dan mencapai tingkat pertumbuhan selanjutnya.

Jumlah permudaan yang terdapat pada plot pengamatan dikatakan cukup pada semua tingkatan vegetasi apabila dilihat berdasarkan kriteria ketercukupan permudaan dari pedoman TPTI. Akan tetapi tidak pada semua plot pengamatan memenuhi ketercukupan permudaan berdasarkan kriteria dari Wyatt-Smith (1963).

Jenis-jenis yang mendominasi pada plot pengamatan merupakan

jenis-jenis komersial seperti Shorea parvifolia, Medang (Litsea firma), Keruing

(Dipterocarpus crinitus), Nyatoh (Palaquium rostatum), dll. Selain itu ada juga jenis non komersial yang mendominasi pada beberapa tingkatan permudaan seperti jenis Kumpang (Diospyros sp) dan Kelampai (Elaterospermum tapos).

Indeks Kekayaan Margallef (R1) pada plot pengamatan termasuk pada kategori tinggi. Hal ini dapat dilihat dari besaran nilai indeks pada plot pengamatan yang berkisar antara 4,84 sampai 10,99. Sedangkan Indeks Kemerataan Jenis (E) pada plot pengamatan termasuk tinggi juda dengan besaran nilai indeks yang dimiliki yaitu antara 0,66 sampai 0,91.

Untuk nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) pada plot pengamatan secara umum memiliki nilai diatas 3,00. Dengan demikian plot pengamatan tersebut memiliki indeks keanekaragaman yang tinggi.

Nilai indeks kesamaan komunitas (IS) pada tiap-tiap plot pengamatan memiliki nilai diatas 75%, kecuali pada plot pengamatan pemanenan kayu untuk tingkat vegetasi semai dan pancang. Dengan nilai IS diatas 75% maka keadaan komunitas sebelum dan setelah masing-masing kegiatan dianggap sama.

Keterbukaan lahan akibat kegiatan pemanenan kayu dan pembuatan jalur tanam terbesar terjadi pada kelerengan 25-45% dengan persentase keterbukaan laha mencapai 41,53%. Sedangkan pada kelerengan 0-15% dan 15-25% persentase keterbukaan lahan mencapai 36,72% dan 39,36%.

Struktur horizontal tegakan hutan setelah pemanenan kayu dan hutan setelah penebangan jalur membentuk huruf “J” terbalik yang menggambarkan

suatu ekosistem berbagai kelas umur yang relatif seimbang (balanced

uneven-aged forest).

Kerusakan tegakan tinggal terbesar akibat penebangan satu pohon produksi terjadi pada plot pengamatan kelerengan 25-45% dengan persentase kerusakan sebesar 4,51%. Sedangkan persentase kerusakan tegakan tinggal terbesar akibat penebangan jalur sebesar 3,58% dan juga terjadi pada plot pengamatan kelerengan 25-45%.

(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut, Propinsi Jawa Barat pada 23 April

1983 dari Ayah Zafran Syamsudin dan Ibu Prita Rustianingsih.

Penulis terlahir sebagai anak pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan dasar ditempuh di TK Aisyiah II Garut pada tahun

1987 lalu melanjutkan ke SDN Leuwidaun II Garut tahun 1989.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar penulis melanjutkan

pendidikan ke Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 76 Garut dan lulus tahun

1998. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMUN 1

Tarogong dan lulus tahun 2001.

Tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor

melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB) di Program Studi Budidaya Hutan,

Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Tahun 2004 penulis

mengikuti Praktek Umum Kehutanan (PUK) di Kamojang dan Leuweung

Sancang BKSDA Garut serta Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) di KPH

Tasikmalaya. Pada tahun 2005 penulis mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL) di

PT. Inhutani II Unit Usaha Kalimantan Selatan. Selama kuliah penulis juga aktif

sebagai asisten pada mata kuliah Ekologi Hutan.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan,

penulis menyusun skripsi dengan judul “Komposisi dan Struktur Tegakan

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih

karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan penyusunan

karya tulis ini.

Karya tulis ini disusun berdasarkan hasil penelitian di bidang Budidaya

Hutan dengan judul “Komposisi dan Struktur Tegakan pada Areal Bekas

Tebangan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Studi kasus di IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut

Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin

mengucapkan terima kasih yang sebesar - besarnya kepada :

1. Papa, Mama dan Adik-adik yang senantiasa memberikan doa dan kasih

sayangnya, serta segenap keluarga yang telah memberikan dukungan baik

moral maupun material.

2. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang

telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian dan

penulisan skripsi.

3. Prof. Dr. Ir. M. Ali Rachman, MS dan Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS sebagai

dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan

Departemen Hasil Hutan.

4. Ir. Nana Suparna selaku Direktur Utama PT. Alas Kusuma Grup atas

kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk dapat melakukan

penelitian ini.

5. Ir. Joko Widianto selaku Manager Pembinaan Hutan serta Dadi Kristanto,

S.Hut selaku Koordinator TPTII PT. Suka Jaya Makmur atas bantuan

yang telah diberikan.

6. Serta semua pihak yang telah menbantu penulis dalam menyelesaikan

(9)

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk

itu saran dan kritik selalu penulis harapkan untuk perbaikan di masa mendatang.

Akhir kata, semoga banyak manfaat yang diperoleh baik bagi penulis maupun

rekan-rekan yang menggunakan.

Bogor, Januari 2007

(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Melalui lembaran ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Papa, Mama dan Adik-adik yang senantiasa memberikan doa dan kasih

sayangnya, serta segenap keluarga yang telah memberikan dukungan baik

moral maupun material.

2. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian dan penulisan

skripsi.

3. Prof. Dr. Ir. M. Ali Rachman, MS dan Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS sebagai

dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan

Departemen Hasil Hutan.

4. Ir. Nana Suparna selaku Direktur Utama PT. Alas Kusuma Grup atas

kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk dapat melakukan penelitian

ini.

5. Keluarga besar Camp Gunung Bunga (Pak Joko, Pak Hermanto, Pak Dadi,

Poer, Arif, Om Joni, Duryanti, Brekele, dll), Keluarga besar Arboretum (Agus,

Bang Petrus, dll), Pak Cahyadi, Ibu Prasti, Bang Rolex, dll.

6. Keluarga besar laboratorium Ekologi Hutan atas bantuan, ilmu, pengalaman,

kehangatan, serta semuanya. Hatur nuhun pisan...

7. Teman-teman residu peradaban atas persahabatan, pemikiran, kebahagian,

penderitaan serta bantuannya selama ini. (Among, Bery, Fiki, Muchlis,

semangat buat penelitiannya), Syuhada, Dika, Dery... akhirnya kita satu kasta.

8. All Cibanteng crews, yang telah sabar atas kegaduhan yang selama ini terjadi.

9. Beny (thanks buat bantuannya), Aziz, Dania, Anang, Danu, Aa Dasep, Ajay,

Wempi, Andy, Pudy, Jupri, Loedy, Jack, Gin-gin (thanks buat petanya),

Sandy, Welly, Nunu, Videl, Tutu, tulang-tulang rusuk ku yang patah, serta

teman-teman lainnya yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu.

10.Keluarga besar BDH 38 (except ...) serta seluruh keluarga besar Fahutan,

terima kasih atas kenangannya...

(11)

12.Keluarga besar kantin Kornita yang telah menemani lebih dari separuh masa

kuliah penulis.

13.Ella Nurmila Novianty, atas kepercayaan, dukungan serta kasih sayangnya.

14.Muhammad Fauzan Putera Pertama Nevada, yang entah masih ada dimana.

15.Serta semua rekan-rekan yang membantu, mendukung dan mendoakan penulis

untuk dapat menyelesaikan skripsi ini yang tidak mungkin disebutkan satu

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. Hutan Hujan Tropika ... 3

B. Klasifikasi Hutan ... 4

C. Stratifikasi Tajuk ... 6

D. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia ... 8

E. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Intensif Indonesia ... 12

F. Pemanenan Hasil Hutan ... 13

1. Penebangan ... 15

2. Penyaradan ... 17

G. Kerusakan Tegakan Tinggal ... 19

H. Perkembangan Hutan Bekas Tebangan ... 22

I. Hubungan Tanah dengan Tegakan ... 23

J. Analisis Tanah ... 25

1. Sifat Fisik Tanah ... 25

2. Sifat Kimia Tanah ... 27

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 29

A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 29

B. Bahan dan Alat ... 29

C. Metode Pengambilan Data ... 30

1. Analisa Vegetasi ... 30

2. Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu Pohon .. 32

(13)

Kayu dan Penjaluran ... 33

4. Pengukuran Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan ... 34

5. Pengambilan Contoh Tanah ... 35

D. Analisa Data ... 37

1. Analisa Vegetasi ... 37

2. Analisa Kerusakan Pohon Akibat Penebangan Satu Pohon ... 39

3. Analisa Kerusakan Tegakan Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu dan Penjaluran ... 40

4. Analisa Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan ... 40

5. Pengukuran Sifat Fisik Tanah ... 40

6. Pengukuran Sifat Kimia Tanah ... 41

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 43

A. Letak dan Luas Areal ... 43

B. Topografi ... 44

C. Geologi dan Tanah ... 44

D. Hidrologi ... 45

E. Iklim ... 45

F. Kondisi Vegetasi Hutan ... 46

G. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat ... 47

H. Aksesibilitas ... 48

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Komposisi Jenis ... 49

B. Dominansi Jenis ... 55

C. Keanekaragaman Jenis ... 64

D. Kesamaan Komunitas (Indeks Similarity) ... 69

E. Struktur Tegakan ... 71

F. Keterbukaan Lahan ... 73

G. Kerusakan Tegakan Tinggal ... 75

1. Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu Pohon ... 75

2. Kerusakan Tegakan Akibat Pemanenan Kayu dan Penjaluran ... 76

H. Analisa Tanah ... 80

(14)

2. Sifat Kimia Tanah ... 81

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

A. Kesimpulan ... 86

B. Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Plot Pengamatan Analisis Vegetasi ... 31

Gambar 2. Kerapatan Jenis Komersial Ditebang pada Plot Pengamatan

Pemanenan Kayu ... 53

Gambar 3. Frekuensi Jenis Komersial Ditebang pada Plot Pengamatan

Pemanenan Kayu ... 53

Gambar 4. Kerapatan Jenis Komersial Ditebang pada Plot Pengamatan

Penjaluran ... 54

Gambar 5. Frekuensi Jenis Komersial Ditebang pada Plot Pengamatan

Penjaluran ... 55

Gambar 6. Struktur Tegakan untuk Semua Jenis pada LOA 1981/1982 ... 71

Gambar 7. Struktur Tegakan untuk Semua Jenis pada Et+0 ... 71

Gambar 8. Struktur Tegakan untuk Semua Jenis pada Kondisi Hutan

Sebelum Penjaluran ... 72

Gambar 9. Struktur Tegakan untuk Semua Jenis pada Kondisi Hutan

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Tahapan Kegiatan TPTI ... 10

Tabel 2. Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal Didasarkan pada Populasi

Pohon dan Tingkatan Perkembangan Vegetasi ... 21

Tabel 3. Tingkat Kerusakan Didasarkan pada Ukuran Luka (Kerusakan)

pada Setiap Individu Pohon ... 21

Tabel 4. Penilaian Sifat Kimia Tanah ... 27

Tabel 5. Tally Sheet Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan

Satu Pohon ... 32

Tabel 6. Tally Sheet Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Kegiatan

Pemanenan Kayu dan Penjaluran ... 34

Tabel 7. Tally Sheet Pengukuran Keterbukaan Lahan Akibat Penebangan .... 35

Tabel 8. Tally Sheet Pengukuran Keterbukaan Lahan Akibat Penyaradan ... 35

Tabel 9. Penetapan Kesuburan Tanah ... 41

Tabel 10. Luas Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Berdasarkan Kelas

Lereng ... 44

Tabel 11. Deskripsi Satuan Peta Tanah yang Terdapat di Wilayah Studi

dan Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur ... 45

Tabel 12. Hasil Pengamatan Cuaca di Stasiun Pengamat Cuaca Arboretum

dan Camp 128 pada Bulan Desember 2004 ... 46

Tabel 13. Jumlah Jenis yang Ditemukan di LOA 1981/1982 dan Et+0 pada

Berbagai Kelerengan ... 49

Tabel 14. Jumlah Jenis yang Ditemukan pada Kondisi Hutan Sebelum

Penjaluran dan Setelah Penjaluran pada Berbagai Kelerengan ... 51

Tabel 15. Komposisi Permudaan Jenis Komersial Ditebang pada Hutan

Primer dan Et+0 Dilihat dari Kerapatan (N/Ha)

Serta Frekuensi ... 52

Tabel 16. Komposisi Permudaan Jenis Komersial Ditebang pada Hutan

Sebelum Penjaluran dan Hutan Setelah Penjaluran Dilihat dari

(17)

Tabel 17. Daftar Jenis dengan INP Terbesar pada LOA 1981/1982 dan

Et+0 ... 57

Tabel 18. Daftar Jenis INP Terbesar pada Hutan Sebelum Penjaluran dan

Hutan Setelah Penjaluran ... 58

Tabel 19. Indeks Nilai Penting Kelompok Jenis pada LOA 1981/1982 dan

Et+0 ... 62

Tabel 20. Indeks Nilai Penting Kelompok Jenis pada Kondisi Hutan

Sebelum Penjaluran dan Hutan Setelah Penjaluran ... 63

Tabel 21. Indeks Kekayaan Margallef (R1) pada LOA 1981/1982 dan

Et+0 ... 64

Tabel 22. Indeks Kekayaan Margallef (R1) pada Kondisi Hutan Sebelum

Penjaluran dan Setelah Penjaluran ... 65

Tabel 23. Indeks Dominansi Jenis (C) pada LOA 1981/1982 dan Et+0 ... 66

Tabel 24. Indeks Dominansi Jenis (C) pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran

dan Hutan Setelah Penjaluran ... 66

Tabel 25. Indeks Kemerataan Jenis (E) pada LOA 1981/1982 dan Et+0 ... 67

Tabel 26. Indeks Kemerataan Jenis (E) pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran

dan Hutan Setelah Penjaluran ... 67

Tabel 27. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) pada LOA 1981/1982 dan

Et+0 ... 68

Tabel 28. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) pada Kondisi Hutan Sebelum

Penjaluran dan Hutan Setelah Penjaluran ... 69

Tabel 29. Indeks Similarity (IS) pada LOA 1981/1982 dan Et+0 ... 70

Tabel 30. Indeks Similarity (IS) pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran dan

Setelah Penjaluran ... 70

Tabel 31. Keterbukaan Lahan Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu dan

Penjaluran Per Hektar ... 74

Tabel 32. Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan Satu Pohon ... 76

Tabel 33. Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu dan

Penjaluran ... 77

Tabel 34. Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu dan Penjaluran

(18)

Tabel 35. Persentase Tipe-Tipe Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan

Kayu dan Penjaluran ... 79

Tabel 36. Pengukuran Sifat Fisik Tanah ... 80

Tabel 37. Pengukuran pH Tanah ... 81

Tabel 38. Pengukuran Sifat Kimia Tanah dan Penetapan Tingkat Kesuburan

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Jenis Tumbuhan Yang Ditemukan di Plot Pengamatan.

Lampiran 2. Rekapitulasi INP di Setiap Plot Pengamatan.

Lampiran 3. Foto-Foto Penelitian.

(20)

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki arti

penting bagi kehidupan manusia. Hutan dengan berbagai fungsi dan

manfaatnya memberikan pengaruh yang sangat besar baik secara langsung

maupun tidak langsung terhadap aspek ekologi, ekonomi, sosial dan

sebagainya. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta

bertambahnya jumlah penduduk maka menyebabkan kebutuhan manusia

menjadi semakin meningkat. Hal ini berdampak pada ketergantungan manusia

terhadap sektor kehutanan menjadi semakin meningkat sehingga dapat

mempengaruhi kondisi hutan secara ekologis. Oleh karena itu diperlukan

konsep pengelolaan hutan secara lestari, yang dalam perkembangannya

diharapkan dapat menambah nilai ekonomi namun tetap menjaga fungsi

ekologis.

Dalam rangka pengusahaan hutan produksi guna menjamin kelestarian

produksi dan fungsi ekologis hutan alam produksi di Indonesia, telah

dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/Kpts-II/1989

tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia.

Dalam Surat Keputusan tersebut antara lain ditetapkan bahwa pengelolaan

hutan alam produksi dapat dilakukan dengan Sistem Silvikultur Tebang Habis

dengan Permudaan Alam (THPA), Tebang Habis dengan Permudaan Buatan

(THPB) dan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI).

Dari pelaksanaan kegiatan pengusahaan hutan yang telah berjalan, jika

diadakan penilaian umum maka secara garis besar dapat ditemukan dua hal

yang tidak mungkin dipungkiri. Pada satu sisi, keterlaksanaan pengusahaan

hutan telah menyebabkan meningkatnya peranan sektor kehutanan di dalam

perekonomian negara. Tetapi disisi lain, keterlaksanaan tersebut telah

menyebabkan timbulnya kerusakan pada sumberdaya hutan itu sendiri.

Akan tetapi masih perlu diingat, kendatipun panduan sistem-sistem

silvikultur diatas diberlakukan dan diikuti akan tetapi masih terdapat

(21)

guna tercapainya kelestarian ekologi dan kelestarian hasil hutan yang

produktif dan optimal maka Departemen Kehutanan mengembangkan suatu

sistem silvikultur yang merupakan usaha penyempurnaan dari sistem-sistem

sebelumnya yaitu Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif

(TPTII) atau lebih dikenal dengan Sistem Silvikultur Intensif.

Penelitian ini dilaksanakan sebagai pemberi informasi awal

pelaksanaan TPTII sehingga dapat diketahui dampak yang ditimbulkan serta

tingkat keberhasilan dari pelaksanaan sistem ini.

B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mempelajari pelaksanaan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif yang

dilaksanakan di PT. Suka Jaya Makmur.

2. Mempelajari dampak kegiatan pemanenan kayu dengan Sistem Silvikultur

Tebang Pilih dan Tanam Indonesia Intensif terhadap kondisi lingkungan

(22)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hutan Hujan Tropika

Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai

pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di

luar hutan (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Sedangkan menurut

Departemen Kehutanan (1992), hutan ialah suatu lapangan bertumbuhan

pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam

hayati beserta alam lingkungannya atau ekosistem.

Hutan hujan tropika merupakan suatu komunitas tumbuhan yang

bersifat selalu hijau, selalu basah dengan tinggi tajuk sekurang-kurangnya 30

m serta mengadung spesies-spesies efifit berkayu dan herba yang bersifat

efifit (Schimper, 1903 dalam Mabberley, 1992). Richards (1966) juga

menjelaskan bahwa salah satu ciri penting dari hutan hujan tropika adalah

adanya tumbuhan berkayu, tumbuhan pemanjat dan efifit berkayu dalam

berbagai ukuran.

Hutan hujan tropika merupakan jenis wilayah yang paling subur.

Hutan jenis ini terdapat di wilayah tropika atau di dekat wilayah tropika di

bumi ini, yang menerima curah hujan berlimpah sekitar 2000-4000 mm per

tahun. Suhunya tinggi (sekitar 25-26oC), dengan kelembaban rata-rata sekitar

80%. Komponen dasar hutan itu adalah pohon tinggi dengan tinggi

maksimum rata-rata sekitar 30 m. Salah satu corak yang menonjol adalah

sebagian besar tumbuhannya mengandung kayu (Ewusie, 1990).

Hutan hujan tropika ialah suatu komunitas yang kompleks dengan

kerangka yang utama adalah pepohonan dengan berbagai ukuran. Adanya

kanopi hutan menyebabkan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan diluar,

cahaya yang kurang, kelembaban yang tinggi, dan suhu yang rendah

(Whitmore, 1986).

Richards (1966) memberikan beberapa ciri hutan hujan tropika,

(23)

a. Hutan hujan tropika terdiri dari berjenis-jenis tumbuhan berkayu dan

umumnya kaya akan jenis-jenis dengan ukuran tinggi dan diameter yang

besar.

b. Mempunyai banyak jenis-jenis kodominan, tetapi dapat juga hanya terdiri

dari beberapa jenis saja. Jenis-jenis memperlihatkan gambaran umum

yang sama, yaitu batangnya berbanir, lurus dan dekat tajuknya tidak

bercabang.

c. Pada umumnya susunan tajuknya terdiri dari dua sampai tiga lapisan,

sedangkan tumbuhan bawah terdiri dari perdu, dan permudaan atau

tunas-tunas dari jenis-jenis pohon lapisan bawah.

d. Selain jenis pokok, pada umumnya mempunyai banyak jenis-jenis efifit,

tumbuhan pemanjat, palma dan pandan.

e. Merupakan susunan vegetasi klimaks di daerah khatulistiwa,

masing-masing jenis tumbuh-tumbuhan di dalamnya mempunyai sifat-sifat hidup

yang berbeda, tetapi dengan kondisi-kondisi edafis dan klimatologis

tertentu mereka membentuk suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan yang

seimbang.

B. Klasifikasi Hutan

Menurut Departemen Kehutanan (1992), hutan dapat digolongkan bagi

tujuan pengelolaan hutan menurut hal-hal berikut:

a. Susunan jenis.

Hutan murni adalah hutan yang hampir semua atau seluruhnya dari jenis

yang sama. Hutan campuran ialah hutan yang terdiri dari atas dua atau

lebih jenis pohon. Baik hutan murni atau campuran dapat berupa seumur,

tidak seumur atau segala umur.

b. Kerapatan tegakan.

Pada umumnya, hutan-hutan berbeda dalam hal jumlah pohon dan volume

per hektar, luas bidang dasar dan kriteria lain. Perbedaan antara sebuah

tegakan yang rapat dan jarang, lebih mudah dilihat dengan kriteria

pembukaan tajuknya. Sedangkan kerapatan berdasarkan volume, luas

(24)

pengukuran. Untuk keperluan praktis, tiga kelas kerapatan telah dibuat,

yaitu:

1. Rapat, bila terdapat lebih dari 70 % penutupan tajuk.

2. Cukup, bila terdapat 40-70 % penutupan tajuk.

3. Jarang, bila terdapat kurang dari 40 % penutupan tajuk.

Hutan yang terlalu rapat, pertumbuhannya akan lambat karena persaingan

yang keras terhadap sinar matahari, air, dan zat hara mineral. Kemacetan

pertumbuhan akan terjadi. Tetapi tidak lama, karena persaingan diantara

pohon-pohon akan mematikan yang lemah dan penguasaan oleh yang kuat.

Sebaliknya, hutan yang terlalu jarang, terbuka atau hutan rawang, akan

menghasilkan pohon-pohon dengan tajuk besar dan bercabang banyak,

dengan yang pendek.

Suatu hutan yang dikelola baik ialah hutan yang kerapatannya dipelihara

pada tingkat optimum, sehingga pohon-pohonnya dapat dengan penuh

memanfaatkan air, sinar matahari, dan zat hara mineral dalam tanah.

Dengan demikian hutan yang tajuknya kurang rapat berfungsi kurang

efisien kecuali bila celah terbuka yang ada, di isi dengan permudaan hutan

atau pohon-pohon muda. Tempat-tempat terbuka tersebut biasanya

ditumbuhi gulma yang mengganggu pertumbuhan jenis-jenis pohon utama

atau tanaman pokok.

c. Komposisi umur.

Suatu lahan hutan disebut seumur, bila ditanam pada waktu bersamaan.

Meskipun demikian, ukurannya dapat berlainan, karena laju pertumbuhan

yang berbeda. Hutan segala umur terdiri dari pohon-pohon berukuran besar

hingga tingkatan semai. Jadi meliputi berbagai umur maupun ukuran.

Sedangkan hutan tidak seumur ialah hutan yang hanya mempunyai dua

atau tiga kelompok umur atau ukuran. Misalnya hutan yang terdiri atas

pohon-pohon yang sudah masak tebang, miskin riap, dan ukuran pancang

saja.

Hutan segala umur biasanya penyebaran ukurannya lebih beragam dan

jenisnya umumnya lebih toleran terhadap naungan. Sementara hutan

(25)

berlebihan, kebakaran dan bencana lain, menciptakan kelompok-kelompok

yang tidak seumur.

d. Tipe hutan.

Tipe hutan ialah istilah yang digunakan bagi kelompok tegakan yang

mempunyai ciri-ciri yang sama dalam susunan jenis dan

perkembangannya. Tipe hutan diberi nama menurut satu atau lebih jenis

pohon yang dominan.

C. Stratifikasi Tajuk

Kanopi dari hutan hujan tropika sering kali terdiri dari beberapa

lapisan atau stratifikasi dan formasi hutan yang berbeda memiliki tingkatan

strata yang berbeda pula. Strata (lapisan) terkadang terlihat mudah di hutan

atau pada diagram profil, tetapi terkadang juga tidak. Pertentangan pendapat

tentang konsep ini cukup hebat. Oleh sebab itu amat perlu ditinjau ciri-ciri

yang terlibat dengan teliti (Whitmore, 1986).

Dalam suatu masyarakat tumbuhan akan terjadi suatu persaingan

antara individu-individu dari suatu jenis atau berbagai jenis, jika

tumbuhan-tumbuhan tersebut mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang sama dalam hal

hara mineral, tanah, air, cahaya, dan ruangan. Sebagai akibat adanya

persaingan ini, mengakibatkan jenis-jenis tertentu akan lebih menguasai

(dominan) daripada yang lain, maka akan terjadi stratifikasi tumbuhan di

dalam hutan. Pohon-pohon yang tinggi dari stratum teratas menguasai

pohon-pohon yang lebih rendah dan merupakan jenis-jenis yang mencirikan

masyarakat hutan yang bersangkutan (Soerianegara dan Indrawan, 1988).

Richards (1966) menyatakan bahwa struktur hutan hujan tropika paling

jelas dinyatakan dengan penampakan arsitekturnya, stratifikasi tajuk

pohon-pohonnya, semak dan tumbuhan bawah.

Menurut Ewusie (1990), hutan hujan tropika terkenal karena adanya

perlapisan atau stratifikasi. Ini berarti bahwa populasi campuran didalamnya

disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara tak-sinambung.

(26)

menampilkan tiga lapisan pohon. Lapisan pohon ini dan lapisan lainnya yang

terdiri dari belukar serta tumbuhan terna di uraikan sebagai berikut:

a. Lapisan paling atas (tingkat A) terdiri dari pepohonan setinggi 30-45 m.

Pepohonan yang muncul keluar ini mencuat tinggi, bertajuk lebar; dan

umumnya tersebar sedemikian rupa sehingga tidak saling bersentuhan

membentuk lapisan yang berkesinambungan. Bentuk khas tajuknya sering

dipakai untuk mengenali spesies itu dalam suatu wilayah. Pepohonan yang

mencuat ini sering berakar, agak dangkal dan berbanir.

b. Lapisan pepohonan kedua (tingkat B) di bawah yang mecuat tadi, terdiri

dari pepohonan dengan tinggi sekitar 18-27 m. Pepohonan ini tumbuh

lebih berdekatan. Tajuk sering membulat atau memanjang dan tidak

selebar seperti pohon yang mencuat.

c. Lapisan pepohonan ketiga (tingkat C), terdiri dari pepohonan dengan

tinggi sekitar 8-14 m. Pepohonan di sini sering mempunyai bentuk yang

agak beraneka tetapi cenderung membentuk lapisan yang rapat, terutama

di tempat yang lapisan keduanya tidak demikian.

d. Selain lapisan pepohonan tersebut, terdapat lapisan belukar yang terdiri

dari spesies dengan ketinggiannya kurang dari 10 m.

e. Dan yang terakhir adalah lapisan terna yang terdiri dari tumbuhan yang

lebih kecil yang merupakan kecambah dari pepohonan yang lebih besar

dari bagian atas, atau spesies terna.

Sedangkan menurut Soerianegara dan Indrawan (1988), stratifikasi

tajuk hutan hujan tropika misalnya sebagai berikut:

a. Stratum A: Lapisan teratas, terdiri dari pohon-pohon yang tinggi totalnya

30 m keatas. Biasanya tajuknya diskontinyu, batang pohon tinggi dan

lurus, batang bebas cabang (clear bole) tinggi. Jenis-jenis pohon dari

stratum ini pada waktu mudanya, tingkat semai hingga sapihan (seedling

sampai sapling), perlu naungan sekedarnya, tetapi untuk pertumbuhan

selanjutnya perlu cahaya yang cukup banyak.

b. Stratum B: Terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 20-30 m, tajuknya

(27)

tidak terlalu tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini kurang memerlukan

cahaya atau tahan naungan (toleran).

c. Stratum C: Terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 4-20 m, tajuknya

kontinyu. Pohon-pohon dalam stratum ini rendah, kecil, banyak

bercabang.

Disamping ketiga strata pohon itu terdapat pula strata perdu-semak dan

tumbuh-tumbuhan penutup tanah, yaitu :

d. Stratum D: Lapisan perdu dan semak, tingginya 1-4 m.

e. Stratum E: Lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah (ground cover),

tingginya 0-1 m.

Richards (1966) mengemukakan bahwa hutan primer dengan struktur

yang teratur akan menjadi kelompok hutan-hutan sekunder yang tidak teratur

setelah penebangan pohon yang terseleksi. Keadaan tegakan yang

ditinggalkan akan menentukan struktur dan komposisi pohon selanjutnya.

D. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)

Untuk mengelola kawasan hutan alami fungsi produksi dengan

berbagai karakteristiknya maka sistem silvikultur tebang pilih dianggap paling

efisien, karena hanya menebang pohon besar yang kayunya dapat langsung

dimanfaatkan saja tanpa mengubah ekosistem hutan terlalu keras. Sistem

silvikultur tebang pilih merupakan sistem silvikultur yang paling luas di

Indonesia. Sistem silvikultur ini dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan

dengan nama Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (Sutisna, 2001).

Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana dari

pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, dan pemeliharaan

tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan

lainnya. Sedangkan TPTI adalah sistem silvikultur yang meliputi cara

penebangan dengan batas diameter dan permudaan hutan (Departemen

Kehutanan, 1992).

Sistem silvikultur TPTI merupakan sistem yang paling sedikit

mengubah ekosistem hutan di hutan produksi yang merupakan hutan alami

(28)

Sistem TPTI diharapkan menjadi modifikasi dari peristiwa alami di dalam

hutan, yaitu menyingkirkan pohon-pohon tua agar ruang yang dipakainya

dimanfaatkan oleh pohon-pohon muda yang masih produktif (Sutisna, 2001).

Satu sistem silvikultur ditetapkan untuk satu risalah hutan. Risalah

hutan adalah kegiatan pendahuluan perencanaan yang memuat bahasan kritis

terhadap tegakan hutan sebagai dasar penetapan kegiatan silvikultur atau

bahkan sistem silvikultur yang sesuai. Penetapan ini harus selalu

memperhatikan azas kelestarian hutan yang mencakup kelangsungan

produksi, penyelamatan tanah dan air, perlindungan alam, dan aspek usaha

yang menguntungkan (Sutisna, 2001).

Tujuan dari sistem TPTI adalah untuk mengatur pemanfaatan hutan

alam produksi serta meningkatkan nilai hutan, baik kualitas maupun kuantitas

pada areal bekas tebangan, untuk rotasi berikutnya agar terbentuk tegakan

hutan campuran yang diharapkan dapat berfungsi sebagai penghasil kayu

penghara industri secara lestari (Departemen Kehutanan, 1992). Sedangkan

sasaran dari TPTI adalah tegakan hutan alam produksi tidak seumur dengan

keanekaragaman hayati yang tinggi (Sutisna, 2001).

Untuk mencapai tujuan ini maka tindakan-tindakan silvikultur dalam

hal ini permudaan hutannya diarahkan kepada:

1. Pengaturan komposisi jenis pohon didalam hutan yang diharapkan dapat

lebih menguntungkan baik ditinjau dari segi ekologi maupun ekonomi.

2. Pengaturan struktur/kerapatan tegakan yang optimal didalam hutan yang

diharapkan dapat memberikan peningkatan produksi kayu bulat dari

tegakan sebelumnya.

3. Terjaminnya fungsi hutan dalam rangka pengawetan tanah dan air.

4. Terjaminnya fungsi perlindungan hutan.

Untuk mencapai sasaran yang diharapkan, maka ditetapkan tahapan

TPTI dan tata waktu pelaksanaannya sebagai berikut:

Tabel 1. Tahapan Kegiatan TPTI.

No Tahapan Kegiatan TPTI Waktu Pelaksanaan (dalam tahun)

1 Penataan Areal Kerja Et – 3

2 Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan Et – 2

(29)

4 Penebangan Et

5 Penebasan Et + 1

6 Inventarisasi Tegakan Tinggal Et + 1

7 Pengadaan bibit Et + 2

8 Penanaman/pengayaan Et + 2

9 Pemeliharaan tahap pertama Et + 3

10

Pemeliharaan tahap lanjutan a. Pembebasan

b. Penjarangan

Et + 4 Et + 9 Et + 14 Et + 19 11 Perlindungan dan penelitian Terus menerus (Sumber Departemen Kehutanan, 1992).

Keterangan: Et adalah simbol tahun penebangan.

Pelaksanaan sistem silvikultur TPTI dalam pengusahaan hutan

dimaksudkan untuk mengatur kegiatan penebangan dan pembinaan hutan

alam produksi yang mempunyai jumlah pohon inti minimal 25 pohon per

hektar. Pohon inti adalah pohon jenis komersial berdiameter minimal 20 cm

yang akan membentuk tegakan utama yang akan ditebang pada rotasi

tebangan berikutnya. Pohon inti yang ditunjuk, diutamakan terdiri dari pohon

komersial yang sama dengan pohon yang ditebang. Seandainya jumlahnya

masih kurang dari 25 pohon per hektar, dapat ditambah dari jenis kayu lain

(Departemen Kehutanan, 1992).

Pada unit kesatuan pengusahaan hutan alam produksi, yang

mempunyai komposisi dan struktur tegakan yang khusus, dapat diadakan

penyesuaian sistem silvikultur TPTI sebagai berikut: (Departemen Kehutanan,

1992)

a. Pada hutan payau, pedoman sistem silvikultur yang dipergunakan tetap

berdasarkan pada Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No.

60/Kpts/DJ/1978.

b. Pada hutan rawa dengan komposisi hutan terdiri dari jenis komersial

khusus, misalnya jenisramin, perupuk, dan jenis komersial lainnya; dan

pemegang HPH tidak sanggup/sulit melaksanakan kegiatan

penanaman/pengayaan, maka hanya diijinkan menebang pohon

sebanyak-banyaknya 2/3 dari jumlah pohon, sesuai dengan komposisi jenisnya.

c. Pada kondisi hutan rawa yang tidak ditemukan pohon berdiameter 50 cm

(30)

maka khusus jenis ramin dapat dilakukan penurunan batas diameter pohon

yang boleh ditebang menjadi 35 cm; dengan jumlah pohon inti paling

sedikit 25 pohon per hektar, berdiameter 15 cm ke atas. Sedangkan rotasi

tebangan ditetapkan 25 tahun. Pengaturan pohon yang dapat ditebang

mengikuti ketentuan pada butir (b) tersebut.

d. Pada kondisi hutan dengan jumlah pohon muda yang berdiameter 20-49

cm, yang dapat ditunjuk sebagai pohon inti kurang dari 25 pohon per

hektar, maka kekurangannya harus ditambah dengan pohon komersial

lain, yang berdiameter di atas 50 cm dan berfungsi pula sebagai pohon

induk. Batas diameter batang yang boleh ditebang adalah 50 cm, dengan

jumlah pohon inti paling sedikit 25 pohon per hektar, sedangkan rotasi

tebang ditetapkan 35 tahun.

e. Pada kondisi hutan yang terdiri dari jenis-jenis komersial, yang memiliki

pertumbuhan yang lambat dan sulit ditemukan pohon-pohon yang

berdiameter 50 ke atas, seperti pada hutan eboni campuran, maka khusus

untuk jenis eboni dapat dilakukan penurunan batas diameter pohon yang

boleh ditebang menjadi 35 cm, dengan jumlah pohon inti paling sedikit 25

pohon per hektar, berdiameter 15 cm ke atas. Sedangkan rotasi tebang

ditetapkan 45 tahun.

TPI/TPTI mengikuti kaidah alami dengan menebang jenis-jenis pohon

komersial dengan limit diameter 50 cm ke atas pada hutan produksi dan limit

diameter 60 cm ke atas pada hutan produksi terbatas. Hasil tebangan

TPI/TPTI tersebar dalam bentuk rumpang pada areal bekas tebangan, menurut

kerapatan jenis-jenis pohon komersial ditebang pada areal tebangan

(Soerianegara, 1996).

TPI/TPTI juga mensyaratkan diadakannya penanaman pengayaan pada

areal hutan yang permudaannya kurang, pada areal bekas lahan sarad bekas

tempat pengumpulan dan tanah-tanah terbuka lainnya. Pemilihan jenis pohon

untuk penanaman pengayaan sesuai dengan kondisi daerah yang akan

ditanami khususnya keadaan tanah dan cahaya sangat berperan dalam

(31)

Menurut pedoman TPTI maka harus tersedia minimal 400

batang/hektar untuk tingkat semai, 200 batang/hektar untuk tingkat pancang

dan 75 batang/hektar untuk tingkat tiang dan 25 pohon /hektar jenis komersial

dan sehat (Departemen Kehutanan, 1993).

Sistem TPTI memerlukan struktur tegakan pohon-pohon jenis niagawi

yang berimbang, artinya jenis-jenis pohon yang bakal dipanen harus memiliki

jumlah permudaan segala tingkatan yang memadai. Namun struktur demikian

pada umumnya tidak dimiliki oleh jenis-jenis pohon stratum atasan, karena

jenis-jenis itu hanya berkembang tumbuh di dalam rumpang dengan sinar

matahari yang cukup. Untuk memperbaiki struktur harmonis dari tegakan

jenis-jenis niagawi, diperlukan pengaturan ruang tumbuh untuk mendukung

sejumlah terbatas dari permudaan agar segala tingkatan permudaan memiliki

jumlah yang memadai (Sutisna, 2001).

E. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Intensif Indonesia (TPTII)

Dalam mendorong tercapainya kondisi hutan yang mampu berfungsi

secara optimal, produktif, serta dikelola dengan efektif dan efisien

Departemen Kehutanan akan mengembangkan pembangunan Sistem

Silvikultur Intensif atau Tebang Pilih Tanam Intensif Indonesia dalam

pemanfaatan sumberdaya hutan. Silvikultur adalah cara-cara penyelenggaraan

dan pemeliharaan hutan, serta penerapan praktik-praktik pengaturan

komposisi dan pertumbuhan hutan. Dengan demikian sistem silvikultur

merupakan cara utama untuk mewujudkan hutan dengan struktur dan

komposisi yang dikehendaki, yang disesuaikan dengan lingkungan

setempat. Sistem silvikultur intensif ini merupakan penyempurnaan dari

sistem-sistem sebelumnya, yaitu Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam

Indonesia (TPTI) dan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ).

Sistem TPTII adalah regime silvikultur hutan alam yang

mengharuskan adanya tanaman pengkayaan pada areal pasca penebangan

secara jalur, tanpa memperhatikan cukup atau tidaknya anakan yang tersedia

dalam tegakan tinggal. Keunggulan dari Tebang Pilih dan Tanam Indonesia

(32)

a. Kontrol pengelolaan baik oleh perusahaan sendiri, maupun pihak luar

lebih efisien, mudah dan murah

b. Pada awal pembangunannya telah menggunakan bibit dengan jenis yang

terpilih dan pada rotasi berikutnya telah menggunakan bibit dari hasil

pemuliaan, sehingga produktivitasnya bisa meningkat 5 kali, kualitas

produk lebih baik.

c. Target produksi lebih bisa fleksibel bergantung pada investasi tanaman

(kayu, produk metabolisme sekunder).

d. Keanekaragaman hayati, kondisi lingkungan lebih baik.

e. Kemampuan perusahaan meningkat.

F. Pemanenan Hasil Hutan

Pemanenan kayu merupakan salah satu kegiatan pengelolaan hutan,

pada dasarnya merupakan serangkaian tahapan kegiatan yang dilaksanakan

untuk mengubah pohon dari hutan dan memindahkannya ke tempat

penggunaan/pengelolaan dengan melalui tahapan perencanaan pembukaan

wilayah hutan (PWH), penebangan, penyaradan, pengangkutan dan pengujian

sehingga bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat

berdasarkan prinsip kelestarian (Conway, 1976).

Pemanenan merupakan suatu kegiatan memanen kayu secara ekonomis

untuk memasok industri dengan menjaga kelestarian hasil, kualitas

lingkungan, dan keselamatan pekerja dan peralatan (Suparto, 1994).

Sedangkan menurut Elias (1997), pemanenan adalah satu bagian yang

dominan dalam manajemen hutan secara keseluruhan oleh karena itu feed

back nya terhadap kesuksesan maupun kegagalan pengelolaan hutan yang

lestari dalam jangka panjang sangatlah penting.

Reduced Impact Timber Harvesting (RITH) ialah suatu teknik

pemanenan kayu yang direncanakan secara intensif, dalam pelaksanaan

operasinya menggunakan teknik pelaksanaan dan peralatan yang tepat serta

diawasi secara intensif untuk meminimalkan kerusakan terhadap tegakan

tinggal dan tanah (Elias, 2002). Dan tujuan dari implementasi RITH adalah

(33)

pengeruhan air sungai), meningkatkan efisiensi pemanenan (penekanan

terhadap volume limbah pemanenan, biaya pemanenan dan peningkatan

kualitas produksi kayu), menciptakan ruang tumbuh yang optimal dalam

tegakan (memaksimalkan pertumbuhan dan hasil hutan non kayu),

meningkatkan pendapatan, kesehatan dan keselamatan kerja pekerja dan

masyarakat dan menciptakan prasyarat/kondisi pengelolaan hutan alam lestari

(Elias, 2002).

Sistem pemanenan kayu jati dan rimba di Pulau Jawa menggunakan

sistem manual, dengan menggunakan sub sistem penyaradan dengan sapi dan

pemikulan oleh manusia. Sedangkan sistem pemanenan kayu di luar Jawa

menggunakan sistem mekanis, dengan sub sistem penyaradan dengan traktor

di tanah kering dan tanah rawa dengan sistem kuda-kuda (Elias, 1998).

Kegiatan pemanenan kayu yang intensif dapat berpengaruh serius

terhadap struktur hutan dan persentase serta kerusakan terbesar terjadi pada

pohon-pohon yang memungkinkan untuk ditebang (Whitmore, 1986).

Pemanenan kayu dengan sistem TPTI tidak menyebabkan perubahan

stratifikasi tegakan, karena jumlah strata tegakan sebelum dan sesudah

pemanenan kayu masih sama, yakni terdiri dari strata A, B dan C. Perubahan

yang terjadi hanya pada tajuk terhadap lantai hutan yang berkisar 15-25 %

(Elias, 1997).

Pemanenan kayu menyebabkan terjadinya perubahan komposisi dan

struktur yang ditandai dengan bergesernya peringkat Indeks Nilai Penting

(INP) masing-masing jenis dalam petak. Jumlah yang hilang akibat

pemanenan kayu terkendali dan konvensional berkisar antara 1-6 jenis

(Sularso, 1996).

Kegiatan penebangan dan penyaradan menyebabkan kerusakan

tegakan tinggal yang berat. Penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa

kegiatan penyaradan menimbulkan kerusakan yang lebih berat daripada

penebangan. Hal ini tergantung dari keterampilan pekerja, tegakan dan tajuk

hutan, serta keadaan area pemanenan (Bureau of Forestry Philippines, 1970).

Menurut Elias (1994), kerusakan lingkungan yang dapat diakibatkan

(34)

sebagai tempat tumbuh pohon-pohon, erosi, menurunnya keragaman jenis

(biodiversity) terjadinya limbah pemanenan kayu (logging waste) yang besar.

1. Penebangan

Penebangan adalah pengambilan kayu dari pohon-pohon dalam

tegakan yang berdiameter sama dengan atau lebih besar dari batas diameter

yang ditetapkan (Departemen Kehutanan, 1993).

Menurut Suparto (1979) dalam Budiaman (2003), penebangan

merupakan langkah awal dari kegiatan pemanenan kayu, meliputi tindakan

yang diperlukan untuk memotong kayu dari tunggaknya secara aman dan

efisien.

Maksud kegiatan penebangan melaksanakan pemanfaatan kayu secara

optimal dari blok tebangan yang sudah disahkan atas pohon-pohon yang

berdiameter lebih besar dari batas diameter yang ditetapkan dan

meminimalkan kerusakan terhadap tegakan tinggal (Departemen Kehutanan,

1993).

Kegiatan penebangan pohon meliputi pekerjaan penentuan arah rebah,

pelaksanaan penebangan, pembagian batang, penyaradan, pengupasan dan

pengangkutan kayu bulat dari Tempat Pengumpulan (TPn), ke Tempat

Penimbunan Kayu (TPK) (Departemen Kehutanan, 1993). Tetapi pada

dasarnya kegiatan penebangan pohon terdiri dari 3 kegiatan, yaitu: persiapan

penebangan, penentuan arah rebah, pembuatan takik rebah dan balas

(Budiaman, 2003).

Asas-asas penebangan pohon dalam sistem TPTI (Sutisna, 2001)

adalah:

a. Menebang pohon besar yang telah mencapai ukuran siap panen untuk

dijual agar perusahaan memperoleh keuntungan finansial, dan

memberikan ruang tumbuhnya kepada permudaan yang menghasilkan riap

kayu lebih besar daripada pohon-pohon tua.

b. Pemanfaatan potensi hutan per satuan luas seoptimal mungkin dengan

(35)

c. Penebangan pohon dalam tegakan menggunakan arah rebah menuju

pangkal jalan sarad agar kerusakan dan tegakan tinggal dapat

diminimalkan.

d. Penomoran kayu bulat secara konsisten berdasarkan nomor pohon berdiri

yang dibuat dan dipetakan dalam kegiatan ITSP.

Teknik penebangan yang benar menurut Sinaga, et.al. (1984) dalam

Putra (2003) adalah:

1. Menyingkirkan rintangan, yaitu untuk memudahkan pekerjaan dan

mencegah kecelakaan.

2. Menentukan arah rabah pohon. Penentuan arah rebah pohon yang cermat

sangat penting untuk menghindari kerusakan kayu, antara lain

menghindari rebahnya pohon di atas parit, batu, tunggak dan masuk

jurang.

3. Membuat takik rebah dan takik balas. Untuk mengurangi kerusakan

pangkal pohon yang ditebang berupa serat kayu tercabut (barber chair)

juga untuk mengarahkan rebah pohon sesuai dengan arah rebah yang telah

ditentukan terlebih dahulu.

4. Penebangan. Untuk pohon yang tidak berbanir, penebangan dilakukan

serendah mungkin yaitu sepertiga diameter pohon dari atas tanah,

sedangkan pada pohon berbanir penebangan dilakukan di atas banir.

5. Pembagian dan pemotongan batang. Pekerjaan ini mencakup perataan

takik rebah dan takik balas, membagi atau memotong batang menurut

panjang sortimen yang dikehendaki.

Wyatt-Smith (1963) menyatakan bahwa permudaan dianggap cukup

apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Terdapat paling sedikit 40 % stocking permudaan semai jenis komersial

aatau 400 petak ukur mili acre per acre (1000 petak ukur acre per hektar).

b. Terdapat paling sedikit 60% stocking permudaan pancang jenis komersial

atau 96 petak ukur per acre (240 petak ukur per hektar).

c. Terdapat paling sedikit 75% stocking permudaan tingkat tiang jenis

komersial atau 30 petak ukur per acre (75 petak ukur per hektar).

(36)

Penyaradan (skidding, yarding) adalah suatu kegiatan pengeluaran

kayu dari tempat tebangan ke tempat pengumpulan kayu atau disebut TPn

(Sastrodimedjo, 1992). Sedangkan Budiaman (2003) menjelaskan bahwa

penyaradan kayu adalah kegiatan memindahkan kayu dari tempat tebangan ke

tempat pengumpulan kayu atau ke pinggir jalan angkutan. Dan untuk

mengurangi kerusakan lingkungan (tanah maupun tegakan) yang ditimbulkan,

penyaradan seharusnya dilakukan sesuai dengan rute penyaradan yang telah

direncanakan di atas peta kerja.

Menurut Budiaman (2003), metode penyaradan dapat dilakukan

dengan berbagai cara antara lain:

1. Secara manual.

2. Menggunakan hewan.

3. Memanfaatkan gaya gravitasi.

4. Skidding atau yarding (dengan traktor).

5. Menggunakan kabel, pesawat, helikopter.

Berbagai cara penyaradan yang tergantung pada beberapa faktor antara

lain kerapatan tegakan dan ketebalan tumbuhan bawah (Conway, 1976).

Menurut Brown (1949) faktor lain yang perlu dipertimbangkan yaitu sistem

silvikultur yang digunakan, keadaan iklim serta jarak ke tempat pengumpulan

kayu. Sementara itu Sumitro (1980) menyatakan faktor-faktor yang

mempengaruhi penyaradan (terutama di luar Jawa), antara lain: alat dan cara

penyaradan, keadaan medan (kelerengan, cuaca), serta keadaan tegakan sisa.

Hutan alam diluar Jawa dengan sistem TPTI, menyulitkan jalannya

penyaradan. Jalan sarad yang panjang menurut kontur dan kerapatannya

rendah, terang akan mengurangi kerusakan tegakan tinggal. Kerusakan tidak

langsung berupa luka bekas traktor dan pemadatan pada lapisan atas tanah

tergantung pada beratnya traktor. Sayangnya tanah hutan di luar Jawa

umumnya peka sekali terhadap gangguan ini (Sumitro, 1980).

Pada pelaksanaannya, penyaradan dapat dilakukan dua tahap. Tahap

pertama, yaitu menarik kayu dari tunggak di tempat tebangan ke suatu tempat

pengumpulan sementara, yang pada umumnya terletak di dalam hutan.

(37)

selanjutnya, yang dilaksanakan karena jarak sarad yang terlalu jauh sehingga

bila dilakukan penyaradan secara langsung satu tahap saja, biayanya menjadi

terlalu mahal (Sastrodimedjo, 1992).

Kebanyakan HPH beroperasi di daerah yang berbukit-bukit. Untuk

mengeluarkan kayu dari tegakan hutan ke tempat pengumpulan, peralatan

yang sering digunakan di hutan alam tropis di Indonesia ialah traktor berban

ulat, seperti Cat D7 dan Komatsu D 85 E-SS. Traktor ini dapat bekerja pada

kelerengan yang curam (Elias, 1997).

Menurut Elias (1999), ada beberapa kerusakan akibat penggunaan alat

berat (seperti traktor), antara lain:

a. Pemadatan tanah.

Pemadatan tanah adalah proses dimana partikel-partikel tanah secara

mekanik bergerak ke posisi yang lebih rapat satu sama lain. Pemadatan

tanah diakibatkan oleh beban atau tekanan yang dialami tanah tersebut.

Idris (1987) menyatakan bahwa pemadatan tanah hutan yang terjadi akibat

penyaradan kayu dengan traktor berban baja ditunjukkan oleh besarnya

kerapatan massa tanah hutan antara 0,703-1,960 g/cm3 dengan rata-rata

1,158 g/cm3. Porositas tanah pada kerapatan massa tanah tersebut adalah

56%. Pemadatan tanah ini merupakan fungsi dari intensitas penggunaan

jalan sarad, kebecekan tanah hutan serta kemiringan memenjang jalan

sarad.

b. Keterbukaan Tanah.

Keterbukaan tanah yang disebabkan penggunaan alat berat dalam

pengelolaan hutan alam pada hanya terjadi pada kegiatan penyaradan dan

pembukaan wilayah hutan (jaringan jalan angkutan).

c. Erosi Setempat.

Sistem pemanenan kayu dan PWH merupakan faktor dominan yang

menyebabkan erosi setempat (terutama erosi parit). Menurut Arsyad

(1989), erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau atau

bagian-bagian dari tanah dari sutau tempat yang diangkut oleh air atau angin

(38)

dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan

tanah untuk menyerap dan menahan air.

d. Kerusakan Pada Vegetasi Hutan.

Kerusakan vegetasi hutan akibat operasi alat berat kehutanan terutama

terjadi pada kegiatan penyaradan. Kerusakan vegetasi hutan, pertama

terjadi pada kesulitan perakaran pohon untuk menembus tanah yang

terpadatkan akibat dilewati oleh alat berat, sehingga usaha mencari bahan

makanan, air dan menunjang batang pohonnya sendiri sering terganggu.

e. Gangguan Terhadap Satwa Liar.

Gangguan pengoperasian alat berat di hutan terhadap satwa liar terutam

karena kebisingannya. Pada umumnya satwa liar akan menghilang pada

waktu pengopersian alat berat, dan kembali lagi setelah operasi alat berat

berhenti.

G. Kerusakan Tegakan Tinggal

Semua bentuk pemanenan kayu tanpa kecuali menimbulkan kerusakan

pada lingkungan, baik itu lingkungan hutan itu sendiri maupun lingkungan

sekitar hutan (Suparto,1994).

Kerusakan tegakan tinggal secara umum disebabkan oleh kegiatan

penebangan dan penyaradan. Tingkat kerusakan dari keterbukaan lahan

tegakan tinggal yang disebabkan oleh kegiatan penebangan dan penyaradan

tergantung dari luasan intensitas pemanenan, terutama keterbukaan lahan

yang disebabkan penebangan. Intensitas terbesar dari pemanenan

menyebabkan luasnya keterbukaan lahan pada tegakan tinggal (Elias, 1997).

Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu dengan sistem

TPTI adalah kerusakan yang terjadi pada bagian yang sebenarnya tidak

termasuk dalam rencana untuk dipanen hasilnya pada waktu pemanenan kayu.

Kerusakan-kerusakan tersebut dapat berupa pohon roboh atau pohon masih

berdiri tetapi bagian batang, banir atau tajuk dan diperkirakan tidak dapat

tumbuh lagi dengan normal dan keterbukaan areal/tanah akibat penebangan

(39)

Pohon inti dinyatakan rusak apabila mengalami salah satu atau lebih

keadaan sebagai berikut: (Departemen Kehutanan, 1993)

a. Tajuk pohon rusak lebih dari 30% atau cabang pohon/dahan besar patah.

b. Luka batang mencapai bagian kayu berukuran lebih dari 1/4 keliling

batang dengan panjang lebih dari 1,5 m.

c. Perakaran terpotong atau 1/3 banirnya rusak.

Menurut Elias (1993) dalam Sularso (1996), berdasarkan populasi

pohon dalam petak, kerusakan tegakan tinggal dapat dikelompokkan sebagai

berikut: tingkat kerusakan ringan (<25%), tingkat kerusakan sedang (25-50%)

dan tingkat kerusakan berat (>50%).

Beberapa tingkat kerusakan yang terjadi pada indivudu pohon yaitu:

1. Tingkat kerusakan berat

a. Patah batang.

b. Pecah batang.

c. Roboh, tumbang atau miring sudut < 45o dengan permukaan tanah.

d. Rusak tajuk (>50% rusak tajuk), juga didasarkan atas banyaknya

cabang pembentuk tajuk patah.

e. Luka batang/rusak kulit (>1/2 keliling pohon atau 300-600 cm kulit

mengalami kerusakan).

f. Rusak banir/akar (>1/2 banir atau perakaran rusak/terpotong).

2. Tingkat kerusakan sedang

a. Rusak tajuk (30-50% tajuk rusak atau 1/6 bagian tajuk mengalami

kerusakan).

b. Luka batang/rusak kulit (1/4-1/2 keliling pohon rusak atau 150-300 cm

kulit rusak).

c. Rusak banir/akar (1/3-1/2 banir/akar rusak atau terpotong).

d. Condong atau miring (pohon miring membentuk sudut >45o dengan

tanah).

3. Tingkat kerusakan ringan

(40)

b. Luka batang/rusak kulit (1/4-1/2 keliling dan panjang luka <1,5 m atau

kerusakan sampai kambium dengan lebar lebih dari 5 cm, lebih kurang

sepanjang garis sejajar sumbu longitudinal dari batang).

c. Rusak banir/akar (<1/4 banir rusak atau perakaran terpotong).

Menurut Elias (1993), tingkat kerusakan tegakan tinggal didasarkan

pada populasi pohon dan tingkatan perkembangan vegetasi sebagai berikut:

Tabel 2. Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal Didasarkan pada Populasi Pohon dan

Tingkatan Perkembangan Vegetasi.

Tingkatan vegetasi PT. Narkata Rimba (%) PT. Kiani Lestari (%)

Semai 30.02 38.20

Pancang 27.17 43.40

Tiang 24.60 33.26

Pohon - 12.63

Berdasarkan pada ukuran luka (kerusakan) pada setiap individu pohon,

tingkat kerusakan yang disebabkan pemanenan kayu sebagai berikut:

Tabel 3. Tingkat Kerusakan Didasarkan pada Ukuran Luka (Kerusakan)

pada Setiap Individu Pohon.

PT. Narkata Rimba (%) PT. Kiani Lestari (%)

Pohon luka berat 82.12 83.29

Pohon luka sedang 13.19 6.15

Pohon luka ringan 4.58 10.56

Hasil penelitian Muhdi (2001), memperlihatkan bahwa kerusakan

terhadap tegakan tinggal pada berbagai tingkatan vegetasi akibat pemanenan

kayu konvensional sebagai berikut: semai 34,42% (akibat penebangan

13,55% dan akibat penyaradan 20,87%), pancang 35,13% (penebangan 8,73%

dan penyaradan 26,40%), pohon 33,15% (penebangan 8,90% dan penyaradan

24,25%). Sedangkan kerusakan terhadap tegakan tinggal pada berbagai

tingkatan vegetasi akibat pemanenan kayu RITH sebagai berikut: 23,17%

(akibat penebangan 6,36% dan penyaradan 16,80%), pancang 21,72%

(penebangan 5,43% dan 16,29%), pohon 19,53% (penebangan 6,63% dan

penyaradan 12,89).

Adapun hasil penelitian Sularso (1996), memperlihatkan bahwa

persentase rata-rata kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan kayu

(terkendali dan konvensional) berdasarkan tipe kerusakan berturut-turut

adalah tipe batang sebesar 35,91%, patah tajuk 25,16%, patah cabang/ranting

(41)

5,64%. Sedangkan akibat penyaradan kayu urutan tipe kerusakan adalah

sebagai berikut: kerusakan roboh 50,80%, patah batang 19,57%, patah tajuk

10,26%, patah cabang/ranting 7,15%, terkelupas kulit/pecah banir 6,75% dan

condong 5,47%.

Hasil percobaan minimalisasi kerusakan akibat pemanenan kayu

menunjukkan bahwa penerapan cara pemanenan kayu berwawasan

lingkungan dapat mengurangi kerusakan tegakan tinggal sampai 50% dan

limbah pemanenan kayu 10-30%. Kenaikan biaya produksi/pemanenan kayu

hanya 1,27% (Elias, 1997).

H. Perkembangan Hutan Bekas Tebangan

Suksesi ialah rangkaian perubahan kondisi pada komunitas tanaman

bersamaan dengan perubahan habitatnya (Baker, 1950). Sedangkan Ewusie

(1990) menyatakan bahwa suksesi merupakan hasil dari tumbuhan itu sendiri,

dalam arti bahwa tumbuhan yang berada dalam daerah tersebut pada suatu

waktu tertentu mengubah lingkungannnya, yang terdiri dari tanah, tumbuhan

dan iklim mikro yang berada di atasnya, sedemikian rupa sehingga

membuatnya lebih cocok untuk spesies yang lain daripada bagi tumbuhan itu

sendiri.

Richards (1966) membedakan suksesi atas dua bagian berdasarkan

awal terjadinya, yaitu suksesi primer dan suksesi sekunder. Suksesi primer

merupakan perkembangan vegetasi mulai dari yang tidak bervegetasi hingga

mencapai masyarakat yang stabil. Sedangkan suksesi sekunder terjadi apabila

klimaks atau suksesi normal terganggu, seperti terjadinya kebakaran,

perladangan dan pembalakan.

Soerianegara dan Indrawan (1988) mengemukakan bahwa selama

proses suksesi berlangsung hingga tercapainya stabilitas atau keseimbangan

dinamis dengan lingkungan, terjadi pergantian masyarakat tumbuhan hingga

terbentuk masyarakat yang disebut vegetasi klimaks.

Whitmore (1986) berpendapat bahwa siklus pertumbuhan dalam

rangka regenerasi pohon di hutan hujan tropika dapat di bedakan dalam tiga

(42)

dapat dianggap sebagai fase-fase terpidah satu sama lainnya, melainkan

berhubungan melalui kesinambungan pertumbuhan. Fase celah berisi

permudaan ukuran semai dan pancang, fase pengembangan berisi tingkat

tiang atau pohon muda, sedangkan fase tua terdiri dari pohon-pohon besar dan

tua.

Richards (1966) menyatakan menyatakan bahwa apabila pohon yang

besar mati, pohon tersebut akan meninggalkan suatu celah (gap) atau opening

(bukaan) di dalam stratum pohon tersebut. Pembentukan suatu celah (gap)

menyebabkan perkembangan tumbuhan bawah yang cepat, karena dirangsang

pertambahan penyinaran dan mungkin oleh berkurangnya persaingan akar

setempat, jenis pohon muda yang intoleran yang terdapat di sekitar tumbuhan

bawah itu akan lebih cepat tumbuh daripada jenis yang toleran.

I. Hubungan antaraTanah dengan Tegakan

Tanah adalah kumpulan bahan-bahan alami yang terdapat di

permukaan bumi, tempat berpijak pohon-pohon, yang mempunyai ciri-ciri

yang terjadi karena pengaruh iklim dan kehidupan pada bahan induk

tergantung pula pada bentuk (relief) dan waktu (Loekito, D dan R. Hardjono,

1970). Dengan demikian faktor-faktor pembentuk tanah ialah iklim,

organisme, relief, bahan induk dan waktu.

Sementara Buckman dan Brady (1989) menyatakan bahwa tanah

merupakan suatu tubuh alam, disintesakan dalam bentuk penampang dari

berbagai campuran hancuran mineral dan bahan organik, bila mengandung

cukup air dan udara akan menjadi tunjungan mekanik dan makanan bagi

tumbuhan. Lebih lanjut lagi Buckman menyatakan bahwa larutan tanah

mengandung garam-garam yang larut dan sebagian besar merupakan hara

esensial bagi tumbuhan. Antara bagian pada tanah dengan larutan tanah

terjadi pertukaran hara dan selanjutnya antara larutan tanah dengan tanaman.

Pertukaran ini hingga batas-batas tertentu ditentukan oleh jumlah di dalam

tanah dan kadar garam dalam larutan tanah.

Tanah terdiri dari berbagai ukuran bahan mineral (seperti: pasir, debu

(43)

pembusukan tumbuh-tumbuhan dan binatang), air (dari presipitasi), udara

(yang keluar dalam atmosfir) dan sejumlah besar jasad renik (Manan, 1976).

Faktor tanah mempunyai peran memenuhi berbagai kebutuhan hidup

tanaman, yaitu: memberi dukungan mekanis dengan menjadi tempat

berjangkarnya akar, menyediakan ruang untuk pertumbuhan dan

perkembangan akar, menyediakan udara (oksigen) untuk respirasi, air, dan

hara, serta menjadi media untuk memungkinkannya saling tindak dengan

jasad lain (Purwowidodo, 2000). Sedangkan Baur (1968) menyatakan bahwa

tanah sangat penting bagi tanaman untuk tumbuh dengan berbagai cara. Tanah

menyediakan daya dukung fisik sebagai jangkar bagi akar yang dibutuhkan

sebelum pohon tumbuh. Tanah juga menyediakan unsur hara yang dibutuhkan

oleh tanaman baik itu secara langsung ataupun tidak langsung. Kedua fungsi

dari tanah tersebut sangatlah penting bagi pertumbuhan dan perkembangan

hutan hujan tropika.

Kerusakan tanah dapat terjadi oleh beberapa hal antara lain:

kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran,

terkumpulnya garam di daerah perakaran (salinasi), terkumpulnya unsur atau

senyawa yang merupakan racun bagi tanaman, penjenuhan tanah oleh air

(waterlogging), dan erosi. Kerusakan tanah oleh satu atau lebih proses

tersebut menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung

pertumbuhan tumbuhan atau menghasilkan barang atau jasa (Riquier, 1977

dalam Arsyad, 1989).

Oliver dan Larson (1983) menyatakan bahwa tempat tumbuh dapat

berubah seperti juga halnya dengan perkembangan hutan. Perkembangan

tegakan akan meningkatkan kelembaban yang memungkinkan akar untuk

melakukan penetrasi dalam menyerap mineral tanah dan akan meningkatkan

ruang pori untuk menyimpan kelembaban. Oksigen tanah dan nutrisi akan

meningkat seperti juga dengan peningkatan ruangan pori. Nutrisi meningkat

sehingga akar, mikroorganisme dapat mengambilnya dari bahan induk tanah

dan mengedarkan ke tanah dan akhirnya ke pohon. Total nitrogen akan

meningkat sejalan dengan perkembangan tegakan karena semakin banyak

(44)

Keberhasilan pertumbuhan suatu tanaman hutan di lapangan

dikendalikan oleh faktor-faktor pertumbuhan, yang terdiri dari faktor genetis

dan faktor-faktor lingkungan. Pengendalian faktor genetis dimunculkan oleh

gen-gen kromosom yang mempengaruhi proses-proses fisiologis melalui

pengendalian pada sistesis ensim-ensim yang berperan ganda pada aneka

reaksi fisiologis. Sedangkan pengendalian faktor lingkungan dimunculkan

oleh peran aneka keadaan di luar tubuh suatu tanaman yang mempengaruhi

proses-proses fisiologis (Poerwowidodo, 2000).

Kegiatan tebang pilih dapat menyebabkan kelembaban tanah

meningkat, intersepsi air hujan berkurang, evaporasi meningkat, lapisan

permukaan lebih cepat kering daripada hutan alami tetapi lebih lambat

daripada tebang habis, serta terjadinya peningkatan traspirasi (Baker, 1950).

J. Analisis Tanah 1. Sifat Fisik Tanah

Tekstur tanah adalah perbandingan relief dari berbagai golongan

besar partikel tanah dalam suatu massa tanah, terutama perbandingan

antara fraksi-fraksi kiat, debu, dan pasir (Sarief, 1985). Sedangkan

menurut Poerwowidodo (2004) tekstur tanah adalah perbandingan nisbi

aneka kelompok ukuran jarah/pisahan tanah yang menyusun massa tanah

suatu bagian tubuh tanah.

Kadar liat merupakan kriteria penting sebab liat mempunyai

kemampuan menahan air yang tinggi. Tanah yang mengandung liat dalam

jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh

menimpanya, dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh

butir-butir liat semakin tinggi nisbah liat maka laju infiltrasi semakin kecil

(Arsyad, 2000).

Tanah-tanah yang bertekstur liat mempunyai luas permukaan yang

besar sehingga kemampuan menahan air dan menyimpan unsur hara

tinggi. Tanaman yang ditanam pada tanah pasir umumnya lebih mudah

kekeringan daripada tanah-tanah bertekstur lempung atau liat

(45)

Struktur tanah adalah istilah untuk menunjuk pada fenomena

penyusun jarah-jarah primer tanah untuk membentuk paduan jarah tanah

(jarah-jarah sekunder tanah) (Poerwiwidodo, 2004). Sedangkan menurut

Hardjowigeno (2003) struktur tanah merupakan gumpalan-gumpalan kecil

alami dari tanah, akibat melekatnya butir-butir primer tanah satu sama

lain. Sarief (1985) menyatakan bahwa struktur tanah memegang peranan

penting terhadap pertumbuhan tanaman, baik secara langsung maupun

tidak langsung. Bila tanah padat, maka akar akan susah untuk menembus

tanah tersebut. Bila srtuktur tanah remah, maka akar akan tumbuh dengan

baik.

Bobot isi tanah (Bulk Density) menunjukkan berat tanah kering

persatuan volume tanah (termasuk pori-pori tanah). Bulk density biasanya

dinytakan dalam g/cc (Hardjowigeno, 2003). Poerwowidodo (2000)

menyatakan tanah-tanah yang mengandung lempung banyak cenderung

mempunyai bobot isi tinggi. Bobot isi tanah merupakan petunjuk tidak

langsung atas kepadatan tanah.

2. Sifat Kimia Tanah

Sifat kimia tanah berperan besar dalam menentukan sifat dan ciri

tanah umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Sifat-sifat yang

perlu dianalisi untuk mengetahui kadar unsur hara dalam tanah adalah pH,

C-organik, N-total, P2O5, K2O, KTK dan KB. Evaluasi kesuburan tanah

dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah, 1983)

Sifat Tanah Rendah Sedang Tinggi

BO (%) < 0.346 3.46 - 5.19 > 5.19

C (%) 1.00 - 2.00 2.01 - 3.00 3.01 - 5.00

N (%) 0.10 -0.20 0.21 - 0.50 0.51 - 0.75

C/N 5 - 10 11 - 15 16 - 25

P2O5 HCl

(mg/100 g) 10 - 20 21 - 40 41 - 60

K2O HCl

(mg/100g) 10 - 20 21 - 40 41 - 60

KTK (cmol

(+)/Kg) 5 - 16 17 - 24 25 - 40

KB (%) 20-35 36 - 50 51 - 70

Gambar

Gambar 1. Plot Pengamatan Analisis Vegetasi
Tabel 10. Penetapan Status Kesuburan Tanah.
Tabel 11. Deskripsi Satuan Peta Tanah yang Terdapat di Wilayah Studi dan Areal IUPHHK PT
Gambar 3. Frekuensi Jenis Komersial Ditebang pada Plot Pengamatan Pemanenan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Kurniawan (2010:4) “PHP merupakan script untuk pemrograman webserver-side, script yang membuat dokumen HTML, secara on the fly, dokumen HTML yang dihasilkan

mudah dipelajari/dimengerti resulted Interpretation percentage of 91%, according to the scale intervals stated very hight that the application can help on learning

Center Sender dan GTalk Center Sender bertujuan untuk mengetahui apakah pesan dari ID YM/ID GTalk lain dapat diterima dan di proses dengan benar

Pengikatan barang jaminan tidak diatur dalam ketentuan syariah, oleh karena itu tata cara pengikatan terhadap barang jaminan harus berpedoman pada ketentuan

NOVIA IKA SETYANI, D1210054, Penggunaan Media Sosial sebagai Sarana Komunikasi bagi Komunitas (Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Media Sosial Twitter, Facebook, dan Blog

Islamic religion. Teaching Arabic in an early time of Muslims in the Philippines has no formal. grades called for today non-formal education. madaris)

Faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode yaitu, faktor penurut karena Tukul Arwana dalam berkomunikasi menggunakan berbagai bahasa yaitu bahasa Indonesia,

Nilai satu lembar uang lima ribu rupiah setara dengan 4 lembar uang seribu rupiah dan .... keping uang dua