• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asetilasi Kayu Kemiri (Aleurites moluccana), Durian (Durio zibethinus), dan Manggis (Garcinia mangostana)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Asetilasi Kayu Kemiri (Aleurites moluccana), Durian (Durio zibethinus), dan Manggis (Garcinia mangostana)"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

ASETILASI KAYU KEMIRI (

Aleurites moluccana

)

,

DURIAN

(

Durio zibethinus

), DAN MANGGIS (

Garcinia mangostana

)

HASIL PENELITIAN

Oleh:

Febrina Heryani Tarigan 081203013 / Teknologi Hasil Hutan

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Asetilasi Kayu Kemiri (Aleurites moluccana), Durian (Durio zibethinus), dan Manggis (Garcinia mangostana) Nama : Febrina Heryani Tarigan

NIM : 081203013 Program Studi : Kehutanan

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing :

Luthfi Hakim, S. Hut, M. Si

Ketua Anggota

Dr. Rudi Hartono S.Hut, M.Si

Mengetahui,

(3)

ABSTRACT

FEBRINA HERYANI TARIGAN. Wood Acetylation Of Aleurites moluccana, Durio zibethinus, And Garcinia mangostana woods. Supervised by Luthfi Hakim and Rudi Hartono.

The alternative that was used to solve the problem of the unstable dimensions of wood fruits and the susceptible of the wood from termines attack is an attempt preservation of wood by chemical modification of wood acetylation. The purpose of this research are to evaluate the stability dimension and the quantity of the preservatives that absorbed into the Aleurites moluccana, Durio zibethinus, and Garcinia mangostana woods, and to know the durability of wood from termite attack by acetylation with laboratory tests and grave test.

This research carried out by soaking the kemiri wood, durian wood, and manggis wood for 2 weeks with the concentration of acetic acid solution 10%, 15%, 20%, and 25%. The results showed that concentration of 15% has good stability dimension 67.8% and in addition 44.41%. The greatest retention from the concentration 25% by 7.73 gr/cm3 this his means that the greater the concentration of acetic acid solution, effect to the higher retention becomes which means resistance and the wood becomes better..

(4)

ABSTRAK

FEBRINA HERYANI TARIGAN. Asetilasi Kayu Kemiri (Aleurites molucanna), Durian (Durio zibethinus), dan Manggis (Garcinia

mangostana). Dibawah bimbingan Luthfi Hakim dan Rudi Hartono

Alternatif yang digunakan untuk mengatasi masalah kayu buah-buahan yang tidak stabil dimensinya dan rentan terhadap serangan rayap tanah adalah usaha pengawetan kayu dengan modifikasi kimia asetilasi kayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi stabilitas dimensi dan banyaknya bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu kemiri, durian, dan manggis serta mengetahui ketahanan terhadap serangan rayap tanah setelah asetilasi dengan uji laboratorium dan uji kubur.

Penelitian dilakukan dengan merendam kayu kemiri, durian, dan manggis selama 2 minggu dengan konsentrasi larutan asam asetat 10%, 15%, 20%, dan 25%. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi 15% memiliki stabilitas dimensi yang baik 67.8% dan penambahan berat 44.41%. Retensi yang paling besar pada konsentrasi 25 % sebesar 7.73 gr/cm3 sehingga semakin besar konsentrasi asam asetat maka retensi larutan semakin tinggi dan ketahanan kayu semakin baik.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 7 Februari 1991 dari Ayah

Roberth Herry Tarigan (+) dan Ibu Erna Suryani. Penulis merupakan anak sulung

dari dua bersaudara.

Pendidikan formal yang ditempuh selama ini:

1. SD Methodist Pematang Siantar, lulus tahun 2002

2. SMP Methodist Pematang Siantar, lulus tahun 2005

3. SMA Methodist Pematang Siantar, lulus tahun 2008

4. Tahun 2008 lulus Ujian Masuk Bersama (UMB) diterima di Program Studi

Teknologi Hasil Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten dosen

Praktikum Silvikultur. Penulis juga mengikuti kegiatan organisasi HIMAS Sylva.

Penulis melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PEH) di

Kawasan Danau Lau Kawar Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Penulis

melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Riau Fiber, Riau Andalan Pulp

and Paper, Kerinci.

Pada akhir kuliah, penulis melaksanakan penelitian dengan judul

“Asetilasi Kayu Kemiri (Aleurites moluccana), Durian (Durio zibethinus), dan

Manggis (Garcinia mangostana)” di bawah bimbingan Bapak Luthfi Hakim,

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala

berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul Asetilasi Kayu Kemiri (Aleurites moluccana), Durian

(Durio zibethinus), dan Manggis (Garcinia mangostana) dengan baik dan tepat

waktu. Selain itu, penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Program Studi Kehutanan, Fakultas

Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Luthfi Hakim, S.Hut, M.Si dan Bapak Dr. Rudi Hartono, S.Hut, M.Si

dan sebagai komisi pembimbing yang telah mendukung, membimbing dan

memberikan saran serta berbagai masukan dalam menyelesaikan hasil

penelitian ini.

2. Ketua Program Studi Kehutanan Ibu Siti Latifah S.Hut, M.Si, Ph.D dan staf

pegawai Kehutanan (Bang Roby, Kak Yeni, Kak Yanti, dan Bang Teguh) yang

membantu dalam proses administrasi.

3. Orangtua, Bapak Robert Herry Tarigan, SH (+) dan Ibu Dra. Erna Suryani

yang selalu mendoakan, memberi dukungan, nasihat, kasih sayang dan materi

serta menginspirasi penulis untuk tetap semangat dalam mewujudkan skripsi

ini, serta adik Monika Febriani Tarigan dan ribu Anjar Malem yang selalu

mendoakan, memberi dorongan dan semangat dalam mengerjakan skripsi ini.

4. Jendro Zalukhu teman seperjuangan dalam penelitian yang selalu memotivasi

(7)

Bulan, Chendy Herawaty, Risdalia Sitorus, Friska Evalina, dan Nova

Tampubolon, juga teman-teman THH 2008 atas semua perhatian, dukungan,

motivasi, saran, serta bantuan yang diberikan.

5. Leo Simbolon, Jossie Faraq Barus, dan Apryanto Siallagan serta semua pihak

yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberi perhatian dan

dukungan semangat kepada penulis dari awal penelitian hingga akhir penulisan

skripsi ini.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan hasil

penelitian ini. Untuk itu, penulis menerima saran dan kritik yang membangun

untuk perbaikan selanjutnya. Akhir kata penulis menyampaikan terima kasih.

Medan, Agustus 2012

(8)
(9)

Analisis Data ... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penambahan Berat Kayu atau Weight Percent Gain (WPG) ... 26 Antiswelling Effeciency (ASE) ... 28 Retensi ... 30 Uji Ketahanan Kayu Terhadap Rayap Tanah

1. Uji Laboratorium ... 34 2. Uji Kubur ... 37

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan... 41 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(10)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah

berdasarkan penurunan berat dalam uji laboratorium ... 22 2. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Penguburan contoh uji ... 22

2. Grafik rerata WPG dari berbagai jenis kayu dan konsentrasi asam asetat ... 26

3. Grafik rerata ASE dari berbagai jenis kayu dan konsentrasi asam asetat ... 29

4. Grafik rerata retensi dari berbagai jenis kayu dan konsentrasi asam asetat ... 31

5. Kerapatan kayu kemiri, durian, dan manggis ... 32

6. Grafik rerata nilai kehilangan berat uji laboratorium ... 34

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Weight percent gain (WPG) pada berbagai jenis kayu dan konsentrasi .... 45

2. Analisis sidik ragam WPG ... 46

3. ASE pada berbagai jenis kayu dan konsentrasi ... 47

4. Analisis sidik ragam ASE... 48

5. Retensi pada berbagai jenis kayu dan konsentrasi ... 49

6. Analisis sidik ragam retensi ... 50

7. Kehilangan berat berbagai jenis kayu pada uji laboratorium ... 51

8. Analisis sidik ragam uji laboratorium ... 52

9. Kehilangan berat berbagai jenis kayu pada uji kubur... 53

10. Analisis sidik ragam uji kubur ... 54

(13)

ABSTRACT

FEBRINA HERYANI TARIGAN. Wood Acetylation Of Aleurites moluccana, Durio zibethinus, And Garcinia mangostana woods. Supervised by Luthfi Hakim and Rudi Hartono.

The alternative that was used to solve the problem of the unstable dimensions of wood fruits and the susceptible of the wood from termines attack is an attempt preservation of wood by chemical modification of wood acetylation. The purpose of this research are to evaluate the stability dimension and the quantity of the preservatives that absorbed into the Aleurites moluccana, Durio zibethinus, and Garcinia mangostana woods, and to know the durability of wood from termite attack by acetylation with laboratory tests and grave test.

This research carried out by soaking the kemiri wood, durian wood, and manggis wood for 2 weeks with the concentration of acetic acid solution 10%, 15%, 20%, and 25%. The results showed that concentration of 15% has good stability dimension 67.8% and in addition 44.41%. The greatest retention from the concentration 25% by 7.73 gr/cm3 this his means that the greater the concentration of acetic acid solution, effect to the higher retention becomes which means resistance and the wood becomes better..

(14)

ABSTRAK

FEBRINA HERYANI TARIGAN. Asetilasi Kayu Kemiri (Aleurites molucanna), Durian (Durio zibethinus), dan Manggis (Garcinia

mangostana). Dibawah bimbingan Luthfi Hakim dan Rudi Hartono

Alternatif yang digunakan untuk mengatasi masalah kayu buah-buahan yang tidak stabil dimensinya dan rentan terhadap serangan rayap tanah adalah usaha pengawetan kayu dengan modifikasi kimia asetilasi kayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi stabilitas dimensi dan banyaknya bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu kemiri, durian, dan manggis serta mengetahui ketahanan terhadap serangan rayap tanah setelah asetilasi dengan uji laboratorium dan uji kubur.

Penelitian dilakukan dengan merendam kayu kemiri, durian, dan manggis selama 2 minggu dengan konsentrasi larutan asam asetat 10%, 15%, 20%, dan 25%. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi 15% memiliki stabilitas dimensi yang baik 67.8% dan penambahan berat 44.41%. Retensi yang paling besar pada konsentrasi 25 % sebesar 7.73 gr/cm3 sehingga semakin besar konsentrasi asam asetat maka retensi larutan semakin tinggi dan ketahanan kayu semakin baik.

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada umumnya, kayu-kayu yang berasal dari hutan rakyat didominasi oleh

kayu yang mempunyai keterawetan rendah (III, IV, dan V), seperti kayu kemiri

yang memiliki kelas awet V dengan kelas kuat IV-V (Martawijaya,dkk, 1989),

kayu durian yang memiliki kelas awet IV-V dengan kelas kuat II-III

(Mulyadi, 2006), dan kayu manggis yang memiliki kelas awet III dengan kelas

kuat I-II (Wahyuni, dkk, 2008). Hal ini menyebabkan kayu tersebut sangat rentan

terhadap serangan organisme perusak kayu, khususnya rayap. Menurut Nandika,

dkk (2003), di Indonesia jenis rayap yang paling banyak menimbulkan kerusakan

dan ganas dalam menyerang kayu adalah rayap tanah. Steller dan Labosky (1982)

menegaskan bahwa rayap tanah merupakan jenis rayap yang menimbulkan

kerusakan paling besar dan luas.

Upaya melindungi kayu dari serangan organisme perusak kayu

khususnya rayap dapat dilakukan melalaui usaha pengawetan kayu

(Karlinasari, dkk, 2010). Salah satu usaha pengawetan kayu adalah modifikasi

kimia dengan asetilasi kayu. Menurut Hadi (2007) bahwa modifikasi kimia kayu

dapat meningkatkan sifat fisis-mekanis dan keawetan kayunya. Proses asetilasi

pada kayu terjadi karena pergantian gugus OH oleh gugus asetil yang dapat

menyebabkan kayu mempunyai stabilitas dimensi yang lebih tinggi karena air

yang dapat diserapnya menjadi lebih sedikit. Menurut Rowell (1992) dalam

Hamid (2008) bahwa modifikasi dengan asam asetat (asetilasi) pada selulosa kayu

(16)

Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan perlakuan terhadap kayu buah-buahan

berupa kayu kemiri, durian, dan manggis. Bahan kimia yang digunakan dalam

asetilasi kayu ini yakni larutan asam asetat dengan berbagai konsentrasi (10 %,

15%, 20 %, dan 25%)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah

1. untuk menghitung nilai penambahan berat/Weight Percent Gain (WPG),

stabilitas dimensi/Antiswelling Effeciency (ASE) kayu kemiri, durian, dan

manggis setelah proses asetilasi

2. untuk menghitung retensi asam asetat yang masuk ke dalam kayu kemiri,

durian, dan manggis

3. untuk mengetahui ketahanan terhadap serangan rayap setelah asetilasi baik

dengan uji laboratorium maupun uji kubur.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan nilai tambah dan nilai ekonomis dari kayu buah-buahan yang

berkualitas rendah

2. Meningkatkan keawetan dan stabilitas dimensi dengan modifikasi kimia proses

asetilasi kayu.

Hipotesis Penelitian

1. Adanya pengaruh dari ketiga jenis kayu (kemiri, durian, dan cempedak) dan

larutan asam asetat (kontrol, 10%, 15%, 20 %, dan 25%) terhadap WPG, ASE,

(17)

2. Adanya interaksi dari ketiga jenis kayu (kemiri, durian, dan cempedak)

dengan konsentrasi (kontrol, 10%, 15%, 20 %, dan 25%) terhadap WPG,

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Kayu Kemiri

Paimin (1997) menyatakan berdasarkan penggolongan jenis

tumbuh-tumbuhan (taksonomi), tanaman kemiri termasuk famili Euphorbiaceae.

Secara sistematis klasifikasi tanaman kemiri adalah :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Archichlamydae

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Aleurites

Spesies : Aleurites sp.

Ketinggiannya dapat mencapai 40 meter dan diameter batang bagian

bawah dapat mencapai 1,25 meter. Daunnya selalu hijau sepanjang tahun dan

tajuknya sangat rindang (Sunanto, 1994).

Tanaman kemiri (Aleurites moluccana Willd) termasuk dalam kelompok

tanaman tahunan. Umur produktif tanaman ini 25-40 tahun dan jarang yang dapat

hidup baik sampai umur ratusan tahun karena kayunya mudah rapuh. Batang

kemiri dapat mencapai diameter lebih dari 1 meter, terutama yang berumur tua.

Tinggi pohon mencapai 40 meter dengan panjang batang bebas cabang 9-14

meter. Pertumbuhan tergolong cepat, pada usia 2 tahun, tanaman dapat mencapai

ketinggian 1,25-3 meter. Pohon mulai bercabang bila telah mencapai ketinggian

0,25-0,5 meter atau pada umur sekitar 1 tahun. Cabang-cabang pohon kemiri

umumnya berjarak 0,25-1 meter pada umur 1-3 tahun. Tiap kumpulan cabang

(19)

batang kemiri berwarna abu-abu agak mengkilap, serta beralur sedikit dan

dangkal. Kayu terasnya berwarna putih kekuning-kuningan dengan tekstur agak

kasar. Permukaan kayu agak mengkilap jika diraba agak kasar. Arah serat kayu

lurus dengan pori berbentuk lonjong dan hampir seluruhnya soliter. Jika

berkelompok biasanya bergabung setiap 2-3 pori, kadang-kadang 6-11 pori dalam

arah radial, pori-pori berdiameter 120-220 µ (Martawijaya, dkk, 1989), sedangkan

menurut Asdar dan Lempang (2011), kayu kemiri yang diteliti memiliki

karakteristik antara lain warna kayu putih kekuning-kuningan, tidak dapat

dibedakan antara kayu gubal dan teras, tekstur agak kasar, arah serat lurus, kesan

raba agak kesat, permukaan agak mengkilap, pori berbentuk lonjong, agak kecil

dan tersebar tata baur, bidang perforasi sederhana, parenkim dua tipe yaitu

paratrakeal selubung tidak lengkap dan apotrakeal berbentuk garis-garis

tangensial pendek, serta jari-jari heteroselular berseri satu sampai dua (uniseriat

dan biseriat).

Sifat kimia dan keawetan kayu kemiri yakni kayu kemiri

(Aleurites moluccana Willd) mengandung 44,4 % selulosa; 24,9 % lignin; 16,1 %

pentosa; dan 1,4 % abu. Karena kandungan selulosa yang cukup tinggi maka

kayu kemiri berpotensi sebagai bahan baku dalam industri kertas dan industri

kayu lapis. Daya awet kayu kemiri memang kurang baik, hanya tergolong dalam

kelas awet V dalam dunia perkayuan. Daya tahannya terhadap rayap kering

termasuk kelas V, sedangkan terhadap jamur pelapuk kayu hanya tergolong kayu

kelas IV. Kayu kemiri memiliki kelas kuat IV-V. Oleh karena itu tidak cocok

dijadikan untuk bahan bangunan. Meski demikian kayu kemiri mudah dikeringkan

(20)

Kayu Durian

Nama botanis durian adalah Durio spp famili Bombacaceaea (terutama D.

carinatus Mast., D. Oxleyanus Griff., D. Zibethinus Murr.). Nama daerahnya

adalah duren, deureuyan, andurian, duriat, duriang, derian, duiang, duhuian,

tuleno, turene. Sedangkan nama lain : durian (Philipina, Sabah, Inggris, Amerika

Serikat, Perancis, Spanyol, Italia, Belanda, Jerman). Secara sistematis klasifikasi

tanaman durian adalah :

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)

Sub Kelas : Dilleniidae

Ordo : Malvales

Famili

Genus

Spesies : Durio zibethinus

Penyebaran kayu durian ini di seluruh Indonesia. Menurut Mandang &

Pandit (1997) bahwa ciri anatomi kayu durian adalah pembuluh atau pori baur,

soliter dan berganda radial yang terdiri atas 2-3 pori, umumnya berukuran agak

besar, Jari-jari sangat sempit sampai lebar, letaknya jarang sampai agak jarang,

ukurannya pendek sampai agak pendek. Martawijaya, dkk (1989) menyatakan

bahwa pori-pori kayu durian berdiameter 100-400 µ. Kayu durian mengandung

54,6 % selulosa; 11,3 % pentosa; dan 0,8 % abu. Ciri umum dari kayu ini adalah

kayu teras berwarna coklat merah jika masih segar, lambat laun menjadi coklat

kelabu atau coklat semu-semu lembayung. Kayu gubal berwarna putih dan dapat

(21)

dan merata dengan arah serat lurus atau berpadu. Permukaan kayu agak licin dan

mengkilap. Kesan raba agak licin sampai licin, kekerasan agak lunak sampai agak

keras. Menurut PIKA (1979) dalam Mulyadi (2006), kayu durian ini memiliki

berat jenis rata-rata 0,64 (0,42 – 0,91) dengan tekstur kasar dan tidak merata.

Kayu ini memiliki arah serat lurus, kadang-kadang berpadu dan termasuk kayu

dengan kelas awet IV-V serta kelas kuat II-III. Kayu ini digunakan sebagai kayu

bangunan, plywood, peti, bingkai, kotak serutu dan papan.

Menurut Oey Djoen Seng (1990), kayunya mudah digergaji meskipun

permukaanya cenderung untuk berbulu, selain itu mudah dikupas untuk dibuat

finir. Kayu durian cepat menjadi kering tanpa cacat, tetapi papan yang tipis

cenderung untuk menjadi cekung. Sedangkan kegunaan kayu ini adalah sebagai

bangunan dibawah atap, rangka pintu dan jendela, perabot rumah tangga

sederhana (termasuk lemari), lantai, dinding, sekat ruangan, kayu lapis, peti,

sandal kayu, peti jenazah, dan bangunan kapal (Kurnia, 2009).

Kayu Manggis

Manggis merupakan pohon tropika yang hijau sepanjang tahun dan

dipercaya sebagai tumbuhan asli dari daerah Sunda dan Maluku. Manggis terdapat

juga di Malaysia, Thailand, Kamboja, Vietnam, Singapura, India, Filipina,

Ekuador, dan Inggris. Departemen Pertanian Amerika Serikat menerima biji

manggis dari Jawa tahun 1906. Kayu manggis termasuk kelas kuat I-II (Wahyuni,

dkk., 2008). Berdasarkan penggolongan jenis tumbuh-tumbuhan (taksonomi),

(22)

Secara sistematis klasifikasi tanaman manggis adalah :

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliofita

Kelas : Magnoliopsida

Kayu merupakan material yang dimensinya tidak stabil, karena volume

kayu dipengaruhi oleh kadar air kayu. Kayu akan menyusut bila air, H

2O,

terdesorpsi dari dinding sel dan mengembang lagi bila H

2O teradsorpsi ke dalam

dinding sel kayu. Hal ini disebabkan karena dalam dinding sel terdapat selulosa

amorf, hemiselulosa dan lignin, yang dapat mengikat H

2O, sehingga

mempengaruhi dimensi kayu (Sanjaya, 2001). Menurut Hadi (2007) bahwa

dengan adanya reaksi kimia satu atau beberapa tapak maka akan terjadi ikatan

elektron yang kuat, sehingga kayu termodifikasi tidak akan tercuci dan tidak

menimbulkan racun ketika dipakai. Pada proses asetilasi pada kayu terjadi adanya

pergantian gugus OH oleh gugus asetil, sehingga kayu asetilasi lebih bersifat

hydrophobic yakni daya penolakan terhadap air lebih besar. Hal ini menyebabkan kayu mempunyai stabilitas dimensi yang lebih tinggi karena air yang dapat

diserapnya menjadi lebih sedikit.

Adsorpsi H

2O oleh selulosa bergantung pada jumlah gugus -OH bebas

atau gugus –OH di daerah amorf. Semakin banyak gugus –OH di daerah amorf,

maka akan semakin banyak H

(23)

kayu mula-mula membentuk lapisan molekul tunggal. Pembentukan lapisan ini

berlangsung sampai kelembaban kayu 5%. Adsorpsi selanjutnya membentuk

lapisan ganda dan menyebabkan dinding sel mengembang. Banyaknya H

2O

yang diadsorpsi sehingga memberikan pengembangan maksimum, dan keadaan

ini disebut Titik Jenuh Serat (TJS). H

2O setelahnya disebut H2O bebas,

menempati pori atau rongga sel kayu, tidak berikatan dengan selulosa serta tidak

mengembangkan kayu. Modifikasi kimia mengandung beberapa reaksi kimia

antara gugus OH dari komponen kayu dan bahan kimia (Sanjaya, 2001).

Modifikasi kimia termasuk dalam beberapa sistem kimia yang akan

mempengaruhi dinding sel dan mengisi ruangan dalam kayu (Yusuf, 1996).

Menurut Indrayani (1999) bahwa modifikasi kimia terhadap kayu dapat

meningkatkan ketahanan terhadap degradasi hayati atau pelapukan,

memperbaiki kemantapan dimensi, dan menurunkan kemudahan terbakarnya.

Namun semua itu,tergantung pada distribusi bahan kimia yang bereaksi di

daerah yang dapat dicapai air di dinding sel. Bahan kimia yang digunakan untuk

memodifikasi kayu harus mampu memekarkan/mengembangkan kayu untuk

memudahkan penetrasi dan harus bereaksi dengan gugus hidroksil pada polimer

dinding sel di bawah kondisi asam atau agak basa pada suhu kurang dari 1200C.

Menurut Indrayani (1999), asetilasi adalah suatu proses dimana group

hidroksil aktif pada holoselulosa dan lignin diisi oleh asetil dan merupakan

reaksi satu tapak yang artinya satu asetil per gugus hidroksil, tidak ada

polimerisasi. Asetilasi terjadi melalui reaksi kayu dengan anhidrida asetat yang

menghasilkan produk samping berupa asam asetat. Persamaan reaksinya adalah

(24)

Anhidrida asetat tersebut bereaksi dengan gugus hidroksil yang ada pada

kayu daun gubal maupun kayu teras dari kayu daun jarum maupun daun lebar.

Reaksi tersebut dapat terjadi di selulosa, hemiselulosa, maupun lignin. Menurut

Sanjaya (2001), metode asetilasi kayu adalah metode stabilisasi dimensi kayu

secara kimiawi, yang bertujuan mengubah gugus –OH bebas atau –OH pada

daerah amorf pada struktur komponen kayu dengan gugus asetil dari senyawa

yang mengandung gugus asetil, misalnya (CH

3CO)2O, anhidridasetat .

Zat aditif

masuk ke dalam struktur kayu, sehingga struktur kayu menjadi stabil

dimensinya. Secara umum reaksi asetilasi kayu dengan menggunakan

anhidridasetat, adalah sebagai berikut :

Kayu + anhidridasetat kayu tersubstitusi

Asam asetat merupakan salah satu

setelah

memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk

CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat murni (disebut

Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah

terdisosiasi sebagian menjadi + dan CH3COO-. Asam asetat

merupakan

(25)

Asam asetat merupakan pelarut yang bersifat polar (hidrofilik) seperti air

dan etanol. Selain dapat melarutkan senyawa-senyawa polar seperti garam organik

dan gula, asam asetat juga dapat melarutkan senyawa-senyawa non polar seperti

minyak. Dengan sifat –sifat yang dimiliki, asam asetat banyak digunakan dalam

industri kimia. Modifikasi dengan asam asetat (asetilasi) pada selulosa kayu

bertujuan untuk menstabilkan dinding sel dan meningkatkan stabilitas

dimensional (Marpaung, 2011).

Pengawetan Kayu

Menurut Suranto (2002) mengemukakan bahwa pengawetan kayu

adalah suatu usaha yang bertujuan untuk melindungi dan menghindarkan kayu

dari berbagai serangan unsur-unsur biologi dan lingkungan yang merusak kayu

sehingga umur kayu dalam pemakaiannya menjadi lebih panjang.

Menurut Hunt dan Garrat (1986), ada empat faktor utama yang

mempengaruhi hasil pengawetan, yaitu:

1. Jenis kayu, yang ditandai oleh sifat yang melekat pada kayu itu sendiri seperti

struktur anatomi, permeabilitas, kerapatan dan sebagainya.

2. Keadaan kayu pada waktu dilakukan pengawetan, antara lain kadar air, bentuk

kayu, gubal/teras dan sebagainya.

3. Metode pengawetan yang digunakan.

4. Sifat bahan pengawet yang dipakai.

Suranto (2002) mengemukakan derajat pengawetan kayu diukur dengan

tiga macam tolak ukur yaitu penetrasi, absorbsi dan retensi bahan pengawet.

Retensi bahan pengawet adalah suatu ukuran yang menggambarkan banyaknya

(26)

diawetkan. Semakin banyak jumlah bahan pengawet murni yang dapat menetap

(terfiksasi) dalam kayu, retensi bahan pengawet itu juga semakin besar.

Sebaliknya, semakin sedikit jumlah bahan pengawet yang dapat diserap oleh

kayu, semakin kecil pula retensi pengawetan itu. Dengan demikian, retensi bahan

pengawet dinyatakan dalam satuan gram/cm3 atau kg/m3. Faktor konsentrasi

bahan pengawet juga mempengaruhi pengawetan kayu. Semakin tinggi

konsentrasi bahan pengawetnya, maka kayu yang telah diawetkan menjadi lebih

awet.

Kayu perlu diawetkan dengan retensi yang berbeda-beda, bergantung

pada kondisi pemanfaatan kayu yang telah diawetkan. Bila kayu itu akan

digunakan di dalam ruangan (interior), retensinya dapat kurang dari 8 kg/m3.

bila kayu itu akan digunakan di luar ruangan (eksterior) dan tidak bersentuhan

dengan tanah, retensi bahan pengawet minimal 8 kg/m3. Namun bila kayu

digunakan dalam kondisi bersentuhan dengan tanah maka perlu diawetkan

dengan retensi 12 kg/m3. Kayu yang digunakan dalam lingkungan yang basah

dan lembab, pengawetannya perlu dilakukan dengan retensi 16 kg/m3

(Suranto, 2002).

Rayap

Rayap adalah serangga sosial yang hidup dalam suatu komunitas yang

disebut koloni dan rayap tidak memiliki kemampuan untuk hidup lebih lama bila

tidak berada dalam koloninya (Nandika dkk,. 2003). Satu koloni terbentuk dari

sepasang laron (alates) betina dan jantan yang memperoleh habitat dari bahan

yang berselulosa untuk membentuk sarang utama. Bahkan lebih dari itu dengan

(27)

merusak beraneka ragam bahan yang menjadi kepentingan manusia seperti

karton, kertas, kain dan plastik. Aktifitas jelajah merupakan bagian dari perilaku

rayap untuk mencari sumber makanannya. Pada ruang terbuka aktifitas tersebut

ditandai oleh pembentukan liang kembara rayap untuk melindungi aktifitasnya

dari cahaya langsung.

Dalam siklus hidupnya, rayap mengalami metamorfosis bertahap atau

gradual (hemimetabola), dari telur kemudian nimfa sampai menjadi dewasa.

Setelah menetas dari telur, nimfa akan menjadi dewasa melalui beberapa instar

(bentuk diantara dua tahap perubahan). Perubahan yang gradual ini berakibat

terhadap kesamaan bentuk badan secara umum, cara hidup dan jenis makanan

antara nimfa dan dewasa. Namun, nimfa yang memiliki tunas, sayapnya akan

tumbuh sempurna pada instar terakhir ketika rayap telah mencapai tingkat

dewasa (Prasetiyo dan yusuf, 2005).

Prilaku Rayap

Nandika dan Tambunan (1989), menjelaskan dalam setiap koloni terdapat

tiga kasta yang menurut fungsinya masing-masing diberi nama kasta pekerja,

kasta prajurit, dan kasta reproduktif (reprodukif primer dan reproduktif

suplementer). Dalam penggolongan ini, bentuk (morfologi) dari setiap kasta

sesuai dengan fungsinya masing-masing sebagai berikut :

• Kasta pekerja

Kasta pekerja mempunyai anggota yang terbesar dalam koloni, berbentuk

seperti nimfa dan berwarna pucat dengan kepala hypognat tanpa mata facet.

(28)

fungsinya adalah sebagai pencari makanan, merawat telur serta membuat dan

memelihara sarang.

• Kasta prajurit

Kasta prajurit mudah dikenal karena bentuk kepalanya yang besar dan dengan

sklerotisasi yang nyata. Anggota-anggota dari pada kasta ini mempunyai

mandible atau restrum yang besar dan kuat. Berdasarkan pada bentuk kasta

prajuritnya, rayap dibedakan atas dua kelompok yaitu tipe mandibulate dan tipe

nasuti. Pada tipe mandibulate prajurit-prajuritnya mempunyai mandibel yang

kuat dan besar tanpa rostrum, sedangkan tipe nasuti prajurit-prajuritnya

mempunyai rostrum yang panjang tapi mandibelnya kecil. Fungsi kasta prajurit

adalah melindungi koloni terhadap gangguan dari luar.

• Kasta reproduktif

Kasta reproduktif primer terdiri dari serangga-serangga dewasa yang bersayap

dan menjadi pendiri koloni (raja dan ratu).bila masa perkawinan telah tiba,

imago-imago ini terbang keluar dari sarang dalam jumlah yang besar. Saat

seperti ini merupakan masa perkawinan dimana sepasang imago (jantan dan

betina) bertemu dan segera meninggalkan sayapnya serta mencari tempat yang

sesuai di dalam tanah atau kayu. Semasa hidupnya kasta reproduktif (ratu)

bertugas menghasilkan telur, sedangkan makanannya dilayani oleh para pekerja.

Borror et al (1996) menambahkan apabila terjadi bahwa raja dan ratu mati atau

bagian dari koloni dipisahkan dari koloni induk, kasta reproduktif tambahan

terbentuk di dalam sarang dan mengambil alih fungsi raja dan ratu.

Aktivitas jelajah merupakan bagian dari perilaku rayap untuk mencari

(29)

adanya pembentukan liang-liang kembara yang melindungi diri dari cahaya

(Bignell et. al, 2001).

Tarimungkeng (1993) menyatakan bahwa di alam rayap dihadapkan pada

banyak pilihan makan. Pada kondisi ini rayap tanah akan memilih tipe makanan

yang paling sesuai, yaitu yang mengandung banyak selulosa, mudah digigit dan

dikunyah. Dengan gigitannya yang bersifat mekanis, maka tipe makanan yang

keras akan ditinggalkan bila makanan yang lunak tersedia.

Rayap mencari makanan tidak melalui proses visual karena rayap

memiliki mata yang vestigial (tidak berkembang). Oleh karena itu, rayap akan

menjelajah secara acak. Rayap pekerja menyebar dari pusat sarang sampai

menemukan sumber makanan yang sesuai dan kembali ke pusat sarang sambil

meletakkan feromon penanda jejak sehingga rayap pekerja lain dapat menuju

sumber makanan yang baru ditemukan (Bignell et. al, 2001).

Nicholas (1987) menjelaskan bahwa rayap merobek-robek partikel kayu

kecil dengan mandibula-mandibulanya, dan potongan-potongan kecil ini

kemudian dimakan dan digerus menjadi partikel yang lebih halus di dalam badan

rayap. Partikel itu kemudian menuju ke usus belakang dimana enzim-enzim

selulolitik protozoa, bakteri dan sebagainya, mengurangi bagian selulosa partikel

itu menjadi nutrient. Bahan yang dikeluarkan mempunyai kandungan lignin

tinggi.

Menurut Nandika dkk (2003), dalam hidupnya rayap mempunyai beberapa

sifat penting untuk diperhatikan, yaitu :

1. Sifat Trophalaxis, yaitu sifat rayap untuk berkumpul, saling menjilat serta

(30)

2. Sifat Cryptobiotic, yaitu sifat rayap untuk menjauhi cahaya. Sifat ini tidak

berlaku pada rayap yang bersayap (calon kasta reproduktif) dimana mereka

selama periode yang pendek di dalam hidupnya memerlukan cahaya (terang).

3. Sifat Kanibalisme, yaitu sifat rayap yang memakan individu sejenis yang

lemah atau sakit. Sifat ini lebih menonjol bila rayap berada dalam keadaan

kekurangan makanan.

4. Sifat Necrophagy, yaitu sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya.

Klasifikasi Rayap

Menurut Nandika dan Tambunan (1989), berdasarkan habitatnya, rayap

dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu :

1. Rayap kayu basah (dampwood termite) adalah golongan rayap yang biasa

menyerang kayu-kayu busuk atau pohon pohon yang akan mati. Sarangnya

terletak di dalam kayu dan tidak mempunyai hubungan dengan tanah.

Misalnya Glyprotermes spp. (famili Kalotermitidae).

2. Rayap kayu kering (drywood termite) adalah golongan rayap yang biasa

menyerang kayu-kayu kering, misalnya pada kayu yang digunakan sebagai

bahan bangunan, perlengkapan rumah tangga dan lain-lain. Sarangnya

terletak di dalam kayu dan tidak mempunyai hubungan dengan tanah.

Misalnya Cryptotermes spp. (famili Kalotermitidae).

3. Rayap pohon (tree termite) adalah golongan rayap yang menyerang

pohon-pohon hidup. Mereka bersarang di dalam pohon-pohon dan tidak mempunyai

(31)

4. Rayap subteran, umumnya hidup di dalam tanah yang mengandung banyak

bahan kayu yang telah mati atau membusuk, tunggak pohon baik yang telah

mati maupun masih hidup. Di Indonesia rayap subteran yang paling banyak

merusak adalah jenis-jenis dari famili Rhinotermitidae.

5. Rayap tanah, Bersarang dalam tanah, terutama dekat dengan bahan organik

yang mengandung selulosa seperti kayu dan humus. Contoh dari jenis rayap

ini adalah dari famili Termitidae yang paling umum menyerang bangunan

adalah Macrotermes dan Odontotermes.

Rayap tanah merupakan rayap perusak kayu yang paling ganas di

Indonesia. Hal tersebut dikaitkan dengan aktifitas makan rayap yang memiliki

daya cerna selulosa yang cukup tinggi diimbangi dengan tingginya populasi

flagelata di usus dengan rata-rata 4.682 ekor flagelata per rayap. Jarak jelajah

yang dapat ditempuh oleh rayap tanah dalam mencari makanannya sampai 480

meter. Terdapat dua famili rayap tanah di Indonesia, yaitu Rhinotermitidae dan

Termtidae. Rayap tanah mudah menyerang kayu sehat atau kayu busuk yang ada di dalam atau di atas tanah lembab, juga dapat membentuk saluran-saluran yang

terlindung pada pondasi-pondasi atau penghalang-penghalang lain yang tidak

dapat ditembus serta dapat mendirikan sarang berbentuk seperti menara langsung

dari tanah. Saluran-saluran dan menara-menara yang terbuat dari tanah yang halus

dan kayu akan dicerna sebagian, kemudian direkatkan bersama dengan ekskresi

serangga, memungkinkan rayap tersebut menciptakan kondisi kelembaban dalam

kayu yang cocok, jika tidak kayu akan kering sehingga tahan terhadap serangan

(32)

Adapun klasifikasi jenis Famili Termtidae yang memiliki beberapa jenis

rayap yang sering merusak bangunan, diantaranya Microtermes spp.,

Macrotermes spp. dan Odontotermes spp. ketiga jenis rayap perusak tersebut

merupakan jenis rayap tanah. Tingkat serangan rayap ini tidak seganas serangan

rayap kayu basah atau subteran (Coptotermes curvignatus). Rayap dari famili

Termitidae biasanya bersarang di dalam tanah, terutama yang dekat dengan bahan

yang banyak mengandung selulosa seperti kayu, timbunan sampah organic,

humus atau serasah (Prasetiyo dan Yusuf, 2005).

Rayap Coptotermes curvignathus merupakan rayap perusak yang menimbulkan tingkat serangan yang paling ganas. Rayap mampu menyerang

hingga ke lantai atas suatu banguanan bertingkat. Rayap ini akan masuk ke dalam

kayu sampai bagian tengah yang memanjang searah dengan serat kayu melalui

lubang kecil yang ada di permukaan kayu. Ada perilaku unik yang dilakukan

rayap ini ketika menyerang kayu yaitu bagian luar kayu yang diserang tidak rusak

(33)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan mulai bulan Januari 2012 sampai Juli

2012. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Program

Studi Kehutanan Fakultas Pertanian, Laboratorium Kimia Polimer dan Arboretum

Tridarma Universitas Sumatera Utara.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : botol kaca, mikrometer

skrup, oven, timbangan, kalifer, ember, kuas, bak rendaman, alat tulis, sarung

tangan, masker, alat semprot, dan kalkulator. Bahan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah cat, tiga jenis kayu buah-buahan (kayu kemiri, kayu durian,

dan kayu manggis), larutan asam asetat (10%, 15%, 20%, dan 25%), pasir, dan

rayap Macrotermes gilvus dan Coptotermes curvignathus.

Prosedur Penelitian 1. Persiapan Contoh Uji

Contoh uji yang digunakan yakni kayu yang berukuran 2 cm x 2 cm x

30 cm untuk penambahan berat/ Weight Percent Gain (WPG), pengujian

stabilitas dimensi/Antiswelling Effeciency (ASE), dan pengujian rayap tanah

dengan uji kubur, contoh uji kayu yang berukuran 2 cm x 2 cm x 0,5 cm untuk

pengujian rayap tanah dengan skala laboratorium, contoh uji kayu yang

berukuran 5 cm x 5 cm x 12 cm untuk pengujian retensi kayu dan kayu yang

berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm untuk pengukuran kerapatan. Seluruh contoh

(34)

serta 2 cm x 2 cm x 0,5 cm tersebut dioven dengan suhu 85oC selama 3 hari

kemudian ditimbang untuk mengetahui berat dan mengukur dimensinya.

Contoh uji kayu untuk pengujian retensi yang berukuran 5 cm x 5 cm x 12 cm

dicat pada kedua bagian ujungnya.

2. Perendaman dengan Larutan Asam Asetat

Contoh uji kayu tersebut direndam ke dalam larutan asam asetat dengan

konsentrasi 10%, 15%, 20%, dan 25% selama 2 minggu. Setelah 2 minggu,

contoh uji kayu tersebut dicuci dengan air mengalir . Selanjutnya contoh uji

tersebut dikeringkan dalam oven selama 3 hari dengan suhu 85oC dan

ditimbang berat dan diukur dimensi kayu.

3. Perhitungan Penambahan Berat

Perhitungan penambahan berat dilakukan dengan cara menimbang

sebelum dan sesudah proses asetilasi. Contoh uji diukur dalam kondisi berat

kering tanur (BKT). Pertambahan bahan beratnya (WPG, Weight Percent

Gain) dihitung dengan rumus:

WPG (%) = B1 – B0 B0

x 100 %

Keterangan : WPG = persen pertambahan berat kayu (%) B0 = berat bahan baku sebelum asetilasi (gr) B1 = berat bahan baku setelah asetilasi (gr)

4. Perhitungan Stabilitas Dimensi

Untuk menghitung stabilitas dimensi, maka diukur volume awal dan

volume akhir. Volume diukur dalam keadaan kering dan keadaan basah untuk

mengetahui swelling (S). Berdasarkan Yusuf (1996) bahwa Antisweeling x 100%

(35)

efficiency (ASE) dievaluasi dengan menghitung perbedaan swelling sesudah dan sebelum perlakuan contoh uji yang dihitung dengan rumus :

S (%) = {(V2/V1)} -1 x 100 %

Keterangan : V2 = volume dalam keadaan basah V1 = volume dalam keadaan kering oven

ASE = {1- (S2/S1) } x 100 %

Keterangan : S2 = swelling dalam keadaan basah S1 = swelling dalam keadaan kering oven

5. Pengukuran Retensi

Retensi dapat dihitung dengan rumus

Keterangan : B1 = berat kering tanur sesudah diawetkan (gr) B0 = berat kering tanur sebelum diawetkan (gr) R = retensi bahan pengawet (gr/cm3)

K = konsentrasi larutan (%)

V = volume kayu yang diawetkan (cm3)

6. Uji Ketahanan terhadap Rayap Tanah

A. Uji Ketahanan terhadap Rayap Tanah Skala laboratorium

Contoh uji kayu yang berukuran 2,5 cm x 2,5 cm x 0,5 cm diumpankan

kepada rayap tanah dengan prinsip memaksa rayap tanah. Contoh uji kayu

dimasukkan ke dalam botol kaca yang berisi pasir kemudian dimasukkan

rayap sebanyak 50 ekor yang terdiri dari 45 rayap pekerja dan 5 rayap prajurit.

Contoh uji kayu tersebut diletakkan dengan cara disandarkan di dinding botol

kaca. Botol kaca diletakkan di tempat yang gelap.

Setelah 1 bulan, ditetapkan persen pengurangan berat dan persen

kerusakan masing-masing contoh uji. Perhitungan kehilangan berat kayu

setelah pengujian pada skala laboratorium dengan rumus : R= B1 –B0 x K

(36)

5 cm

Berdasarkan SNI 01-7207-2006 tentang uji ketahanan kayu dan produk kayu

terhadap organisme perusak kayu, maka skala ketahanan kayu terhadap

serangan rayap tanah dalam uji laboratorium dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah berdasarkan penurunan berat dalam uji laboratorium

Kelas Ketahanan Penurunan Berat

I

B. Uji Ketahanan terhadap Rayap Tanah dengan Uji Kubur

Contoh uji kayu yang berukuran 30 cm x 2 cm x 2 cm diumpankan

terhadap rayap tanah. Contoh-contoh uji ini dikubur ke dalam tanah hingga

menyisakan sekitar 5 cm bagian yang diatas permukaan sebagaimana

disajikan pada Gambar 1. Lokasi penguburan di Arboretum Tridarma USU

selama 3 bulan. Pada akhir pengujian ditetapkan persen pengurangan berat

dan persen kerusakan masing-masing contoh uji.

(37)

Perhitungan kehilangan berat kayu setelah pengujian pada uji kubur,

Setelah dihitung kehilangan berat dari contoh uji kayu, maka skala ketahanan

kayu terhadap serangan rayap tanah dalam uji kubur dapat dilihat pada

Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah berdasarkan penurunan berat pada uji kubur

Kehilangan Berat (%) Tingkat Ketahanan Kayu 0

Contoh uji berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm ditimbang beratnya, lalu diukur

rata-rata panjang, lebar, dan tebalnya untuk menentukan volume contoh uji.

Nilai kerapatan kayu dihitung dengan rumus :

Kerapatan (g/cm3) = Berat Kering Tanur Volume kering udara

Analisis Data

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial,

dengan dua faktor perlakuan yaitu faktor A adalah 3 jenis kayu (kayu kemiri, kayu

durian, dan kayu manggis) dan faktor B adalah 5 konsentrasi asam asetat (kontrol,

(38)

Sehingga jumlah kayu yang digunakan yakni 45 kayu.

Model statistik yang digunakan adalah:

Yijk = µ + αi+ βj+ (αβ)ij + ∑ijk

Keterangan:

Yijk = Pengamatan perlakuan percobaan yang dilakukan pada taraf ke-i dari

ketiga jenis kayu (kayu kemiri, kayu durian, dan kayu manggis) yang memperoleh perlakuan taraf ke-j dari perendaman pada larutan asam asetat (kontrol, 10%, 15%, 20% dan 25%) pada ulangan ke-k (1, 2, 3).

µ = Nilai rata-rata yang sesungguhnya.

αi = Pengaruh taraf ke-i dari ketiga jenis kayu (kayu kemiri, kayu durian,

dan kayu manggis).

βj = Pengaruh taraf ke-j dari perendaman pada asam asetat (kontrol, 10%,

15%, 20% dan 25%.

(αβ)ij = Pengaruh interaksi antara taraf ke-i dari ketiga jenis kayu (kayu kemiri,

kayu durian, dan kayu manggis) dan perendaman pada larutan asam asetat (kontrol, 10%, 15%, 20% dan 25%).

∑ijk = Pengaruh acak perlakuan pada kombinasi antara taraf ke-i dari ketiga

jenis kayu (kayu kemiri, kayu durian, dan kayu manggis) dengan perendaman pada larutan asam asetat (kontrol, 10%, 15%, 20%, dan 25%), pada ulangan ke-k (1, 2, 3).

Ada tidaknya pengaruh perlakuan terhadap respons maka dilakukan

analisis sidik ragam berupa uji F pada tingkat kepercayaan 95% menggunakan

perangkat lunak (software) SPSS 16. Hipotesis yang diuji adalah:

H0 : tidak ada interaksi yang terjadi pada perendaman ketiga jenis kayu (kayu

kemiri, kayu durian, dan kayu manggis) pada larutan asam asetat

(kontrol, 10%, 15%, 20%, dan 25%).

H1 : terjadi interaksi pada perendaman ketiga jenis kayu (kayu kemiri, kayu

durian, dan kayu manggis) pada larutan asam asetat (kontrol, 10%, 15%,

(39)

Untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan-perlakuan yang dicoba,

dilakukan analisis keragaman dengan kriteria uji jika F hitung ≤ F tabel maka H 0

diterima dan jika F hitung > F tabel maka H0 ditolak. Jika perlakuan berpengaruh

nyata maka dilakukan uji lanjutan dengan analisis DMRT (Duncan’s Multiple

(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penambahan Berat Kayu atau Weight Percent Gain (WPG)

Penambahan berat kayu atau Weight Percent Gain (WPG) didasarkan pada

berat sebelum dan sesudah proses asetilasi kayu dengan menggunakan asam asetat

dalam kondisi berat kering oven. Berikut grafik hasil pengujian yang

memperlihatkan data rerata WPG yang berbeda-beda pada masing-masing

konsentrasi. Hasil pengujian yang diperoleh dapat ditunjukkan pada Gambar 2

dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar 2. Grafik rerata WPG dari berbagai jenis kayu dan konsentrasi asam asetat

Hasil penelitian WPG terlihat bahwa adanya perbedaan nilai WPG pada

berbagai jenis kayu dan konsentrasi asam asetat. Berdasarkan Gambar 2 bahwa

nilai WPG dari konsentrasi asam asetat 10 % ke konsentrasi asam asetat 15 %

mengalami kenaikan, kemudian mengalami penurunan pada konsentrasi asam

16.

(41)

asetat 20 % dan 25 %. Nilai WPG yang paling tinggi yakni kayu durian dengan

konsentrasi 15 % yakni sebesar 44.41 %, sedangkan nilai WPG yang paling kecil

yakni kayu manggis dengan konsentrasi 10 % yakni sebesar 14.14 %.

Berdasarkan analisis sidik ragam bahwa jenis kayu dan konsentrasi

larutan asam asetat serta interaksi antara kayu dan larutan memiliki pengaruh

yang nyata terhadap nilai WPG (Lampiran 2). Hal ini berarti bahwa semua

faktor berkontribusi terhadap nilai WPG.

Berdasarkan uji lanjut Duncan, maka setiap jenis kayu (kemiri, durian,

dan manggis) berbeda nyata. Selanjutnya konsentrasi larutan 15 % dan 20 % tidak

berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan konsentrasi larutan 10 % dan 25 %.

Interaksi antara kayu manggis dengan konsentrasi 10 % tidak berbeda nyata

dengan interaksi antara kayu kemiri dengan konsentrasi 10 %, durian dengan

konsentrasi 10 %, , kayu manggis dengan konsentrasi 15 % dan 20 %, tetapi

berbeda nyata dengan kayu kayu kemiri dengan konsentrasi 15 % dan 20 % serta

kayu durian dengan konsentrasi 15 %, 20 % dan 25%. Interaksi antara kayu

durian 15 % tidak berbeda nyata dengan interaksi antara kayu kemiri dengan

konsentrasi 15 % dan 20 %, kayu durian dengan konsentrasi 10 %, 20 %, dan 25

%, kayu manggis dengan konsentrasi 15 % dan 20 %, tetapi berbeda nyata dengan

interaksi antara kayu kayu kemiri dengan konsentrasi 10 % dan 25 % dan kayu

manggis dengan konsentrasi 10 % dan 25%.

Adanya WPG pada ketiga jenis kayu yang berinteraksi pada larutan asam

asetat ini diduga terjadi reaksi antara kayu dengan bahan pengawet yang

(42)

dengan gugus asetil. Selain itu juga, secara umum reaksi asetilasi kayu dengan

menggunakan asam asetat, adalah sebagai berikut :

OH O

Kayu –OH + CH3-C kayu – O –C-CH3 + H20

O

Nilai WPG yang tertinggi yakni kayu durian, diikuti dengan nilai

penambahan berat kayu kemiri kemudian kayu manggis. Hal ini terjadi karena

pori-pori kayu durian berukuran agak besar sehingga cairan yang mengandung

asam asetat lebih banyak masuk ke dalam kayu. Martawijaya, dkk (1989)

menyatakan bahwa pori-pori kayu durian umumnya agak besar dengan

berdiameter 100-400 µ, sedangkan kayu kemiri memiliki pori-pori agak kecil

dengan berdiameter 120-220 µ. Selain itu dari pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa

konsentrasi 15 % lebih tinggi daripada konsentrasi 10%, 20 % dan 25%. Hal ini

diduga jika konsentrasi larutan tinggi, maka dapat merusak dinding sel. Sesuai

dengan pernyataan Sucipto (2009), perlakuan yang melebihi batas dengan

penambahan bahan kimia untuk meningkatkan ikatan kimia akan merusak

struktur dinding sel dan kehilangan stabilitas dimensi.

Antiswelling Effeciency (ASE)

Stabilitas dimensi kayu menunjukkan kemampuan kayu untuk menahan

perubahan dimensi karena perubahan kondisi kadar air. Kayu yang bersifat

higroskopis dapat menyebabkan ketidakstabilan dimensi. Hasil pengujian ASE

(Antiswelling Effeciency) yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 3 dan data

(43)

Gambar 3. Grafik rerata ASE dari berbagai jenis kayu dan konsentrasi asam asetat

Berdasarkan Gambar 3 menunjukkkan bahwa nilai ASE mengalami

peningkatan dari konsentrasi asam asetat 10 % ke konsentrasi 15 %, kemudian

mengalami penurunan pada konsentrasi 20 % dan 25 %. Kayu durian dengan

konsentrasi 15 % memiliki nilai ASE yang tertinggi dari semua perlakuan sekitar

67.8 % sedangkan kayu kemiri pada konsentrasi 10 % memiliki nilai ASE yang

terendah dari semua perlakuan sebesar 10.06%.

Berdasarkan analisis sidik ragam bahwa jenis kayu dan besarnya

konsentrasi berpengaruh nyata terhadap nilai ASE. Interaksi antara kayu dan

konsentrasi tidak berpengaruh nyata terhadap ASE (Lampiran 4).

Berdasarkan uji lanjut Duncan bahwa kayu kemiri berbeda nyata dengan

kayu durian dan kayu manggis, sedangkan kayu durian dan manggis tidak berbeda

nyata. Konsentrasi 15 %, 20 %, dan 25 % juga tidak berbeda nyata tetapi berbeda

nyata dengan konsentrasi 10%.

(44)

Kayu durian memiliki stabilitas dimensi yang lebih tinggi dibandingkan

dengan kayu manggis dan kayu kemiri. Hal ini disebabkan karena jumlah bahan

pengawet yang masuk lebih banyak dan diduga bahwa adanya pergantian gugus

OH dengan gugus asetil tersebut yang menyebabkan kayu bersifat menolak air.

Sesuai dengan pernyataan Sanjaya (2001), metode asetilasi kayu adalah metode

stabilisasi dimensi kayu secara kimiawi, yang bertujuan mengubah gugus –OH

bebas atau –OH pada daerah amorf pada struktur komponen kayu dengan gugus

asetil dari senyawa yang mengandung gugus asetil, sedangkan Hadi (2007), pada

proses asetilasi pada kayu terjadi adanya pergantian gugus OH oleh gugus asetil,

sehingga kayu asetilasi lebih bersifat hydrophobic yakni daya penolakan terhadap

air lebih besar. Hal ini menyebabkan kayu mempunyai stabilitas dimensi yang

lebih tinggi karena air yang dapat diserapnya menjadi lebih sedikit.

Retensi

Retensi bahan pengawet adalah suatu ukuran yang menggambarkan

banyaknya (beratnya) zat pengawet murni yang dapat dikandung oleh kayu

setelah diawetkan. Grafik pengukuran retensi bahan pengawet yakni asam asetat

dapat dilihat pada Gambar 4 dan data selengkapnya dapat dilihat pada

(45)

Gambar 4. Grafik rerata retensi dari berbagai jenis kayu dan konsentrasi asam asetat

Berdasarkan Gambat 4, terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan

asam asetat maka semakin tinggi retensi. Retensi yang paling tinggi yakni pada

kayu kemiri sebesar 7.73 gr/cm3, kemudian kayu durian sebesar 6.22 gr/cm3, dan

kayu manggis sebesar 4.95 gr/cm3.

Berdasarkan analisis sidik ragam bahwa jenis kayu dan konsentrasi asam

asetat serta interaksi diantara keduanya berpengaruh terhadap retensi bahan

pengawet. Hal ini berarti bahwa semua faktor berkontribusi terhadap nilai retensi

bahan pengawet. Berdasarkan uji lanjut Duncan, antara kayu kemiri, durian, dan

manggis memberikan hasil yang berbeda nyata, Konsentrasi larutan 10 % juga

berbeda nyata dengan konsentrasi 15 %, 20 %, dan 25 %. Interaksi antara kayu

kemiri dengan konsentrasi 10 % tidak berbeda nyata dengan interaksi antara kayu

kemiri dengan konsentrasi 15 %, 20 % dan 25 % ; kayu durian dengan konsentrasi

10 % ; kayu manggis dengan konsentrasi 10 % ; tetapi berbeda nyata dengan

2.

(46)

interaksi antara kayu durian dengan konsentrasi 15 %, 20 %, dan 25 % ; kayu

manggis dengan konsentrasi 15 %, 20 % dan 25 %. Interaksi antara kayu manggis

dengan konsentrasi 20 % tidak berbeda nyata dengan kayu kemiri dengan

konsentrasi 20 % ; kayu durian dengan konsentrasi 20 % ; kayu manggis dengan

konsentrasi 10 %, 15 %, dan 25 % ; tetapi berbeda nyata dengan interaksi antara

kayu kemiri dengan konsentrasi 10 %, 15 % dan 25 % ; kayu durian dengan

konsentrasi 10 %, 15 %, dan 25 %. (Lampiran 6).

Asam asetat yang masuk ke dalam kayu manggis lebih sedikit

dibandingkan dengan kayu durian dan kayu kemiri karena kerapatan kayu

manggis lebih besar dibandingkan dengan kayu durian dan kemiri. Hal ini dapat

dilihat pada rerata kerapatan manggis yaitu 0.88 gr/cm3, sedangkan kayu durian

memiliki kerapatan yakni 0.53 gr/cm3, dan kayu kemiri memiliki kerapatan

bernilai 0.34 gr/cm3 (Gambar 5) dan data selengkapnya dapat dilihat pada

Lampiran 11.

Kemiri Durian Manggis

(47)

Sulastiningsih dan Sutigno (1999) mengemukakan bahwa kerapatan

berhubungan dengan ketebalan dinding selnya. Semakin tinggi kerapatan kayu,

maka semakin tebal dinding selnya, sehingga memerlukan tekanan yang relatif

lebih besar untuk menembus ke dalam kayu.

Konsentrasi asam asetat 10 %, 15 %, 20 %, dan 25 % memberikan hasil

yang berbeda nyata terhadap nilai retensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

semakin tinggi konsentrasi asam asetat, maka bahan pengawet yang masuk juga

semakin banyak, baik itu pada kayu kemiri, durian, dan manggis. Larutan asam

asetat dengan konsentrasi 25% yang memiliki nilai retensi yang paling tinggi.

Adanya interaksi antara jenis kayu dan tingkat konsentrasi, diduga bahwa larutan

asam asetat masuk ke dalam lumen kayu sehingga serapan larutan asam asetat

tersebut semakin banyak. Sesuai dengan penelitian Mandasyari (2007) bahwa

semakin tinggi konsentrasi pengawet yang digunakan maka semakin besar nilai

retensi bahan pengawet yang didapat. Selain itu juga dan Martawijaya dan

Abdurrohim (1984), yang menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi larutan

senyawa asam borat dari 5%-10% dapat menaikkan retensi dan penetrasi boron

pada tiga jenis kayu percobaan yaitu : sengon, karet dan agathis. Menurut

Abdurrohim dan Djarwanto (2000), retensi bergantung kepada jumlah larutan

yang diabsorbsi dan konsentrasi larutan. Sampai konsentrasi tertentu larutan yang

diabsorbsi pada contoh uji yang seragam dianggap sama sehingga retensi yang

(48)

Uji Ketahanan Kayu Terhadap Rayap A. Uji Laboratorium

Salah satu indikator dalam menentukan keawetan kayu setelah adanya

proses asetilasi kayu adalah mengumpankan contoh uji kayu ke dalam botol kaca

dalam skala laboratorium untuk mengukur ketahanan kayu terhadap rayap tanah

berdasarkan kehilangan berat. Hasil pengujian kehilangan berat kayu pada skala

laboratorium pada penelitian ini dapat ditunjukkan pada Gambar 6 dan data

selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7.

Gambar 6. Grafik rerata nilai kehilangan berat skala laboratorium

Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi, maka

nilai kehilangan berat semakin rendah dan semakin meningkat ketahanan kayu

terhadap serangan rayap. Nilai kehilangan berat yang paling tinggi yakni pada

kayu kontrol dibandingkan dengan nilai kehilangan berat pada kayu dengan

perlakuan asetilasi.

(49)

Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kehilangan berat

pada skala laboratorium dipengaruhi jenis kayu dan konsentrasi, sedangkan

interaksi jenis kayu dan konsentrasi tidak memberikan pengaruh yang nyata

terhadap ketahanan kayu. Berdasarkan uji lanjut Duncan bahwa kayu kemiri dan

kayu manggis tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata pada kayu durian. Selain

itu juga, konsentrasi asam asetat 25 % tidak berbeda nyata dengan konsentrasi

15 % dan 20 % tetapi berbeda nyata dengan konsentrasi 10 % dan kontrol (tanpa

perlakuan) dan kayu kontrol tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 10 %, tetapi

berbeda nyata dengan konsentrasi 15 %, 20 %, dan 25 % (Lampiran 8).

Kayu durian memiliki kehilangan berat yang lebih tinggi dibandingkan

dengan kemiri dan manggis. Hal ini dikarenakan karena kayu durian memiliki

selulosa yang paling banyak dibandingkan dengan kayu kemiri dan kayu manggis.

Paimin (1997) menyatakan bahwa kayu durian mengandung 54.6 % selulosa

sedangkan Martawijaya, dkk (1989) menyatakan bahwa kayu kemiri mengandung

44,4 % selulosa.

Semakin tinggi konsentrasi pada semua kayu (kemiri, durian, dan

manggis) maka kehilangan berat kayu tersebut semakin kecil. Dapat diasumsikan

bahwa kayu yang diberi perlakuan asam asetat dengan berbagai konsentrasi

merupakan suatu zat yang tidak disukai oleh rayap atau mengandung racun. Selain

itu juga, rayap tidak mampu lagi beradaptasi pada kondisi asam pada proses

perlakuan asetilasi dengan asam asetat.

Penentuan kelas ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah didasarkan

pada presentase kehilangan berat. Tingkat ketahanan kayu terhadap serangan

(50)

Berdasarkan nilai kehilangan berat pada uji laboratorium, dapat ditentukan

perbedaan nilai ketahanan pada masing-masing kayu dengan berbagai konsentrasi,

dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai ketahanan kayu pada uji laboratorium

Jenis Kayu Konsentrasi Kehilangan berat Ketahanan kayu Kemiri Kontrol 11.111 buruk

10% 8.063 sedang

15% 3.895 tahan

20% 3.866 tahan

25% 3.074 sangat tahan

Durian Kontrol 16.295 buruk 10% 12.445 buruk 15% 10.429 sedang

20% 6.241 tahan

25% 4.137 tahan

Manggis Kontrol 8.194 sedang

10% 6.486 tahan

15% 4.614 tahan

20% 3.727 tahan

25% 3.195 sangat tahan

Kayu durian dan manggis memiliki kelas ketahanan sangat tahan pada

konsentrasi 25 %, sedangkan kayu kemiri memiliki kelas ketahanan tahan pada

konsentrasi 25 %. Pada konsentrasi 20 %, kayu kemiri ,durian, dan manggis

memiliki kelas ketahanan tahan. Berbeda halnya dengan kontrol pada kayu kemiri

dan durian masuk ke kelas ketahanan buruk sedangkan kontrol pada kayu

(51)

B. Uji Kubur

Selain uji rayap skala laboratorium, salah satu indikator dalam

menentukan keawetan kayu setelah adanya proses asetilasi kayu adalah

mengumpankan contoh uji kayu di sekitar sarang rayap tanah di lapangan untuk

mengukur ketahanan kayu terhadap rayap tanah berdasarkan kehilangan berat.

Hasil pengujian kehilangan berat kayu pada uji kubur pada penelitian ini dapat

dilihat pada Gambar 7 dan data selengkapnya dapat dilihat pada

Lampiran 8.

Gambar 7. Grafik rerata nilai kehilangan berat skala lapangan

Berdasarkan Gambar 7 bahwa kehilangan berat cenderung menurun

seiring dengan peningkatan konsentrasi larutan. Yang cukup mencolok adalah

kehilangan berat pada kontrol kayu durian yang mencapai 63.55 %. Persen

kehilangan berat pada berbagai konsentrasi baik 10 %, 15 %, 20 %, dan 25 %

(52)

berkisar antara 0.21 % sampai 63.55 % dengan kelas ketahanan berkisar dari

sangat tahan hingga sangat rentan.

Berdasarkan analisis sidik ragam, kehilangan berat pada uji kubur

dipengaruhi jenis kayu dan konsentrasi asam asetat, serta adanya interaksi antara

jenis kayu dan konsentrasi asam asetat. Berdasarkan uji lanjut Duncan bahwa

kayu kemiri dan manggis tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan kayu

durian. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 7. , dimana adanya perbedaan nilai

kehilangan berat yang sangat jauh antara kontrol pada kayu durian dengan kontrol

pada kayu manggis atau kemiri. Selain itu juga, konsentrasi asam asetat 10 %, 15

%, 20 % dan 25 % tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan kayu kontrol

atau tanpa perlakuan proses asetilasi kayu. Interaksi antara kayu kayu kemiri 10

%, 15 %, 20 % dan 25 % tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan kecuali

pada interaksi antara kayu durian tanpa perlakuan (kontrol). Interaksi kayu durian

tanpa perlakuan (kontrol) tidak berbeda nyata dengan kayu kemiri tanpa perlakuan

(kontrol), kayu durian dengan konsentrasi 10 %, 15 %, 20 %, dan 25 % tetapi

berbeda nyata dengan interaksi antara kayu kemiri dengan konsentrasi10 %, 15 %,

20 %, dan 25 %, kayu manggis dengan konsentrasi 10 %, 15 %, 20 %, dan 25 %.

Dari grafik kehilangan berat pada uji kubur, dapat terlihat bahwa adanya

perbedaan yang sangat drastis antara kayu kontrol dengan perlakuan proses

asetilasi kayu pada berbagai konsentrasi. Kayu durian yang tidak diberi perlakuan

rendaman asam asetat memiliki kehilangan berat sebesar 63.551 %, sedangkan

pengurangan berat pada kayu kemiri maupun kayu manggis tidak terlalu besar

(53)

disukainya dengan menghabiskan kayu durian terlebih dahulu, selanjutnya baru

mencari makanan yang lain.

Kayu durian, kemiri dan manggis yang diberi perlakuan perendaman

larutan asam asetat tidak mengalami penurunan berat yang terlalu besar. Hal ini

dikarenakan banyaknya makanan rayap yakni kayu yang diumpankan pada sarang

rayap sehingga rayap memilih salah satu jenis makanan.

Contoh uji kayu yang diberi perlakuan dengan asam asetat pada berbagai

konsentrasi menimbulkan bau asam dan bersifat racun sehingga rayap yang

memakan akan mati. Menurut Kurnia (2009) bahwa orientasi makan dapat

berlangsung secara acak dan dapat pula berlangsung karena pengaruh tertentu,

misalnya oleh sejenis bau yang berasal dari makanan yang diberikan. Selanjutnya

rayap akan mencoba mencicipi makanan yang diberikan dengan jalan menggigit

bagian permukaan. Bila bagian tersebut tidak cocok, mereka akan beralih ke

bagian lain sampai ditemukan bagian yang tidak sesuai dan memenuhi syarat

sebagai makanan. Jika makanan itu sesuai, rayap akan meneruskan proses

makannya, sebaliknya jika makanan itu tidak memenuhi syarat, rayap

meninggalkan makanan yang disediakan dan rayap memilih untuk tidak makan

kayu. Rajani (2002) juga mengemukakan bahwa pada kondisi di alam, rayap

mempunyai banyak pilihan makanan. Dalam keadaan demikian rayap akan

memilih makanan yang paling sesuai, bukan saja tipe makanan yang cukup

mengandung selulosa, tetapi juga makanan yang mudah untuk digigit dan

dikunyah.

Penentuan kelas ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah didasarkan

(54)

lapangan bahwa dapat ditentukan ketahanan pada masing-masing kayu dengan

berbagai konsentrasi, dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai ketahanan kayu pada uji kubur

Jenis Kayu Konsentrasi Kehilangan berat Ketahanan kayu

Kemiri Kontrol 7.472 cukup rentan

10% 7.071 cukup rentan

15% 6.336 cukup rentan

20% 0.847 sangat tahan

25% 0.206 sangat tahan

Durian Kontrol 63.551 sangat rentan

10% 10.989 rentan

15% 3.114 tahan

20% 1.796 tahan

25% 0.682 sangat tahan

Manggis Kontrol 5.188 cukup rentan

10% 4.005 cukup rentan

15% 2.588 tahan

20% 0.632 sangat tahan

25% 0.472 sangat tahan

Kayu kemiri dan manggis memiliki kelas ketahanan sangat tahan pada

konsentrasi 20 % dan 25 %, sedangkan kayu durian memiliki kelas ketahanan

tahan pada konsentrasi 20 % dan kelas ketahanan sangat tahan pada konsentrasi

20 %. Berbeda halnya dengan kontrol pada kayu kemiri, durian, dan manggis

yang memiliki kelas ketahanan cukup rentan sampai sangat rentan terhadap

(55)

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kayu durian dengan konsentrasi 15 % merupakan WPG (44.415 %) dan

ASE (67.8 %) yang paling tinggi.

2. Retensi yang paling besar yakni pada kayu kemiri dengan konsentrasi 25%.

3. Pada uji laboratorium, kayu kemiri memiliki kelas ketahanan tahan pada

konsentrasi 15 %, kayu durian memiliki kelas ketahanan tahan pada

konsentrasi 20 %, dan kayu manggis memiliki kelas ketahanan tahan pada

konsentrasi 10 %. Pada uji kubur, kayu kemiri memiliki kelas ketahanan

sangat tahan pada konsentrasi 20 %, kayu durian memiliki kelas ketahanan

tahan pada konsentrasi 15 %, dan kayu manggis memiliki kelas ketahanan

tahan pada konsentrasi 15 %.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut guna mengetahui daya tahan kayu

yang diasetilasi terhadap serangan rayap kayu kering serta organisme perusak

(56)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohim, S. dan Djarwanto. 2000. Pengawetan Kayu Mangium secara Rendaman Dingin dengan Senyawa Boron. Buletin Penelitian Hasil Hutan. Vol. 18 No 1.

Asdar, M Dan M. Lempang. 2011. Karakteristik Anatomi, Fisik Mekanik, Pengeringan dan Keterawetan Kayu Kemiri (Aleurites Moluccana Willd.). Jurnal Perennial, 2(2) : 19-25

Bignell, D. E., Lo, N., Roisin, Y. 2001. Biology of Termites: A Modern Synthesis. Springer Dordrecht Heidelberg London. New York

Borror, D.J., C.A. Triplehorn, dan N.F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi Keenam. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Hadi, Y. S. 2007. Ketahanan Kayu Termodifikasi Kimia Terhadap Biodeteriorasi : Studi pada Kayu asap dan kayu Asetilasi. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.

Hamid, T. F. Z. 2008. Pengaruh Modifikasi Kimia Terhadap Sifat-Sifat Komposit Polietilena Densitas Rendah (LDPE) Terisi Tempurung Kelapa. [Tesis]. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Hunt, G. M. dan Garrat, G. A., 1986. Pengawetan Kayu. Terjemahan. Diterjemahkan oleh M. Yusuf . CV Akademika Pressindo. Jakarta.

Indrayani, Y. 1999. Pengaruh Perlakuan Asetilasi dan TBTOA Terhadap Keawetan Kayu Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese, Arthocephaus

chinensis Lamk. A. Rich. Ex. Walp. dan Pinus taeda L. [Tesis]. Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Karlinasari, L., Maya. R, dan T. R. Mardikanto. 2010. Pengaruh Pengawetan Kayu Terhadap Kecepatan Gelombang Ultrasonik dan Sifat Mekanis Lentur serta Tekan Sejajar Serat Kayu Acacia Mangium Willd. Jurnal Teoretis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil Vol. 17 No. 3 Desember 2010.

Kurnia, A. 2009. Sifat Keterawetan Dan Keawetan Kayu Durian, Limus, Dan Duku Terhadap Rayap Kayu Kering, Rayap Tanah, Dan Jamur Pelapuk. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Lancester, M. 2002. Green Chemistry. Royal Society of Chemistry. Cambridge.

(57)

Mandasyari, R. 2007. Keawetan Alami Dan Keterawetan Kayu Nangka (Artocarpus Heterophyllus Lamk) [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara. Medan

Marpaung. N. 2011. Pemanfaatan Selulosa Dari Tandan Kosong Kelapa Sawit Sebagai Bahan Pengisi Komposit Polietilena Densitas Rendah (LDPE) [Tesis]. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Martawijaya, A. dan S. Abdurrohim. 1984. Spesifikasi Pengawetan Kayu untuk Perumahan. Edisi ketiga. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Martawijaya, A., I. Kartasujana., K. Kadir., dan S. A. Prawira. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Balai Penelitidan dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Mulyadi. M. 2006. Kecepatan Rambatan Gelombang dan Keteguhan Lentur Beberapa Jenis Kayu Pada Berbagai Kondisi Kadar Air [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nandika, D dan B. Tambunan. 1989. Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi Instititut Pertanian Bogor. Bogor.

Nandika, D., Y. Rismayadi dan F. Diba. 2003. Rayap Biologi dan Pengendaliannya. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Nicholas, D.D. 1987. Kemunduran (Deteriorasi) Kayu Dan Pencegahannya Dengan Perlakuan-Perlakuan Pengawetan. Jilid I. Universitas Airlangga. Surabaya.

Oey Djoen Seng. 1990. Berat Jenis Dari Jenis – Jenis Kayu Indonesia dan Pengertian Beratnya Kayu untuk Keperluan Praktek. Nomor 1 Cetakan II. Soewarsono P.H., penerjemah; Bogor : Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Terjemahan dari : Specific Gravity of Indonesian Woods and its Significance for Practical Use.

Paimin, F. R. 1997. Kemiri Budidaya dan Prospek Bisnis. Penebar Swadaya. Jakarta.

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah berdasarkan penurunan berat dalam uji laboratorium
Tabel 2. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah berdasarkan penurunan berat pada uji kubur
Gambar 3. Grafik rerata ASE dari berbagai jenis kayu dan konsentrasi asam asetat
Gambar 4. Grafik rerata retensi dari berbagai jenis kayu dan konsentrasi asam asetat
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan hasil sidik ragam (anova) terhadap Modulus of elasticity (MOE) pada perlakuan perendaman serutan kayu durian dalam campuran larutan asam asetat dan acetic anhydride

Dari hasil tersebut dapat dike- tahui bahwa sifat antibakteri pada ekstrak secang dan manggis juga sangat dipengaruhi oleh senyawa lain se- lain senyawa fenol, hal ini terbukti pada

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Perendaman Serutan Kayu Durian

RIZKY FEBRIANA BR LUBIS: Pengaruh Perendaman Serutan Kayu Durian ( Duriozibethinus ) Dalam Larutan Asam Asetat dan Acetic Anhydride Terhadap Kualitas Papan Partikel,

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh perlakuan asetilasi perendaman serutan kayu Durian ( Durio zibethinus ) dengan menggunakan larutan asam asetat dan

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Perendaman Serutan Kayu