• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Penderita Rinosinusitis Di RSUP. Haji Adam Malik Medan Pada Tahun 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Penderita Rinosinusitis Di RSUP. Haji Adam Malik Medan Pada Tahun 2010"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN PENDERITA RINOSINUSITIS DI RSUP.

HAJI ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN 2010

Oleh :

SITI AISYAH DALIMUNTHE

080100012

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

GAMBARAN PENDERITA RINOSINUSITIS DI RSUP.

HAJI ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN 2010

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

SITI AISYAH DALIMUNTHE

080100012

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

GAMBARAN PENDERITA RINOSINUSITIS DI RSUP.

HAJI ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN 2010

Nama

: Siti Aisyah Dalimunthe

NIM

: 080100012

Pembimbing

Penguji I

dr. Siti Hajar H, Sp.THT-KL

dr. Isti Ilmiati F, MSc. CM-FM, MPd. Ked.

(197906202002122003)

(196705271999032001)

Penguji II

(4)

ABSTRAK

Pendahuluan: Rinosinusitis merupakan penyakit peradangan yang menyerang

organ sinus paranasal dan kavitas nasal. Rinosinusitis merupakan salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Prevalensi rinosinusitis di Indonesia cukup tinggi, terbukti pada data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit tersebut berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama

Tujuan Penelitian: Mengetahui gambaran penderita rinosinusitis di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2010.

Metode: Penelitian ini bersifat deskiptif dengan desain case series. Data penderita rinosinusitis dikumpulkan dari bagian rekam medis di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010.

Hasil penelitian: Jumlah total penderita rinosinusitis di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010 adalah 96 orang dengan yang tertinggi pada kelompok usia 40-49 tahun (21.9%) dan lebih banyak diderita oleh perempuan (60.4%). Pekerjaan yang paling sering adalah Ibu rumah tangga (21.9%). Tingkat pendidikan sarjana (35.4%) merupakan yang paling banyak didapati. Keluhan Utama yang paling banyak adalah keluhan hidung tersumbat (67.7%). Single rinosinusitis yang terbanyak yang diderita oleh penderita rinosinusitis (66.7%) dan sinus yang paling banyak terlibat adalah sinus maksilaris (64.6%). Berdasarkan lama penyakit, penderita rinosinusitis kronis yang paling banyak ditemukan yaitu 75 orang (78.1%). Hanya 1 orang pasien (1%) yang menunjukkan adanya komplikasi yaitu mukokel.

(5)

ostiumnya lebih tinggi dari dasar sinus dan dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila

(6)

ABSTRACT

Introduction: Rhinosinusitis is inflammation disease which attack sinus paranasal and nasal cavity. It is one of the most common disease in almost all countries. The prevalence of rhinosinusitis in Indonesia is extremely high. Based on the data obtained from the RI health department in 2003, rhinosinusitis is in the 25th rank from 50 major disease.

Aim: To know the description of rhinosinusitis patients in H. Adam Malik General Hospital, Medan in 2010.

Methods: This is a descriptive study with a case series design. The data of rhinosinusitis patiens were collected from medical records at H. Adam Malik General Hospital, Medan in 2010

Results: A total of 96 patients were treated as Rhinosinusitis in Haji Adam Malik General Hospital in 2010 with the highest number of suffering is between 40-49 years age group (21.9%) and more often in female patients (60.4%). The most common profession found are homeworkers (21.9%). As for level of education, 35.4% are degree holders. The most common complaint made were nasal congestion (67.7%). Majority of rhinosinusitis patients suffered from single rhinosinusitis (66.7%) and the most common paranasal sinus that was involved was maxilarry sinus (64.6%). According to the duration of disease, chronic rhinosinusitis are the most commonly observed (78.1%). There was only one patient with mucoccel complication (1%).

(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat serta Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Karya tulis ilmiah ini berjudul ”Gambaran penderita rhinosinusitis di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010”. Dalam penyelesaian karya tulis ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL selaku dosen pembimbing penulis yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberi arahan kepada penulis, sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. Prof. dr. Adril Arsyad Hakim, Sp.S, Sp.BS (K) selaku dosen penasihat akademis penulis yang telah membimbing penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

4. Seluruh jajaran RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan izin dan banyak bantuan kepada penulis dalam melakukan proses pengambilan data di lokasi penelitian.

5. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

(9)

7. Kakak dan adik tercinta, Nurul Ika Putri Dalimunthe, Faisal Ramli Dalimunthe dan Almira Dalimunthe, terima kasih untuk selalu mendukung, memberi motivasi, memberi keceriaan maupun doa untuk menyelesaikan karya tulis ini.

8. Sahabat-sahabat penulis, Fanny Syawindra T, Taya Rizki Arini H, Rizki Anindita P, M. Faridz Syahrian, Alviera Yuliandra Amal P, Syahrul Hidayat Nst, Fini Meirisa Alnaz, Ira Mendrofa, Astinal Eka Sari, Tri Suci Handayani, Yuli Marlina dan Hanidya Fazwat, terima kasih karena telah memberi motivasi, dukungan dan membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini.

9. Karuna Malar Paramasivan, Girtheekadevy dan seluruh Mahasiswa/i Fakultas Kedokteran USU Stambuk 2008, terima kasih untuk segala motivasi dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini berguna bagi kita semua.

Medan, 19 Desember 2011 Penulis,

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

ABSTRAK ... ... ii

ABSTRACT ... ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Anatomi Sinus Paranasal ... 5

2.2. Fungsi Sinus Paranasal ... 8

2.3. Rinosinusitis ... 9

2.3.1. Definisi ... 9

2.3.2. Epidemiologi ... 10

2.3.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi ... 19

2.3.4. Patofisiologi ... 12

2.3.5. Klasifikasi ... 13

2.3.6. Gejala Klinis ... 14

2.3.7. Diagnosa ... 17

2.3.8. Terapi ... 19

(11)

2.4. Rinosinusitis dan umur, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat Pendidikan, keluhan utama, lokasi, jumlah sinus yang terlibat,

lama penyakit dan komplikasi ... 23

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 25

3.1. Kerangka Konsep ... 25

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 31

5.1Hasil Penelitian ... 31

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 29

5.1.2. Karakteristik Individu ... 29

5.1.3. Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan umur ... 31

5.1.4. Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan jenis kelamin ... 32

5.1.5. Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan pekerjaan ... 33

5.1.6. Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan tingkat pendidikan ... 34

(12)

5.1.8. Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan

lokasi ... 35 5.1.9. Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan

jumlah sinus yang terlibat ... 37 5.1.10. Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan

lama penyakit ... 37 5.1.11. Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan

komplikasi ... 38 5.2Pembahasan ... 38

5.2.1. Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan

umur ... 38 5.2.2. Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan

jenis kelamin ... 39 5.2.3. Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan

pekerjaan ... 40 5.2.4. Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan

tingkat pendidikan ... 41 5.2.5. Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan

keluhan Utama ... 42 5.2.6. Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan

lokasi ... 42 5.2.7. Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan

jumlah sinus yang terlibat ... 43 5.2.8. Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan

lama penyakit ... 44 5.2.9. Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan

(13)

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

6.1Kesimpulan ... 45

6.2Saran ... 46

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN I Daftar Riwayat Hidup

LAMPIRAN II Master Data Penelitian

LAMPIRAN III Hasil Output SPSS

LAMPIRAN IV Surat Ethical Clearence

(15)

ABSTRAK

Pendahuluan: Rinosinusitis merupakan penyakit peradangan yang menyerang

organ sinus paranasal dan kavitas nasal. Rinosinusitis merupakan salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Prevalensi rinosinusitis di Indonesia cukup tinggi, terbukti pada data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit tersebut berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama

Tujuan Penelitian: Mengetahui gambaran penderita rinosinusitis di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2010.

Metode: Penelitian ini bersifat deskiptif dengan desain case series. Data penderita rinosinusitis dikumpulkan dari bagian rekam medis di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010.

Hasil penelitian: Jumlah total penderita rinosinusitis di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010 adalah 96 orang dengan yang tertinggi pada kelompok usia 40-49 tahun (21.9%) dan lebih banyak diderita oleh perempuan (60.4%). Pekerjaan yang paling sering adalah Ibu rumah tangga (21.9%). Tingkat pendidikan sarjana (35.4%) merupakan yang paling banyak didapati. Keluhan Utama yang paling banyak adalah keluhan hidung tersumbat (67.7%). Single rinosinusitis yang terbanyak yang diderita oleh penderita rinosinusitis (66.7%) dan sinus yang paling banyak terlibat adalah sinus maksilaris (64.6%). Berdasarkan lama penyakit, penderita rinosinusitis kronis yang paling banyak ditemukan yaitu 75 orang (78.1%). Hanya 1 orang pasien (1%) yang menunjukkan adanya komplikasi yaitu mukokel.

(16)

ostiumnya lebih tinggi dari dasar sinus dan dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila

(17)

ABSTRACT

Introduction: Rhinosinusitis is inflammation disease which attack sinus paranasal and nasal cavity. It is one of the most common disease in almost all countries. The prevalence of rhinosinusitis in Indonesia is extremely high. Based on the data obtained from the RI health department in 2003, rhinosinusitis is in the 25th rank from 50 major disease.

Aim: To know the description of rhinosinusitis patients in H. Adam Malik General Hospital, Medan in 2010.

Methods: This is a descriptive study with a case series design. The data of rhinosinusitis patiens were collected from medical records at H. Adam Malik General Hospital, Medan in 2010

Results: A total of 96 patients were treated as Rhinosinusitis in Haji Adam Malik General Hospital in 2010 with the highest number of suffering is between 40-49 years age group (21.9%) and more often in female patients (60.4%). The most common profession found are homeworkers (21.9%). As for level of education, 35.4% are degree holders. The most common complaint made were nasal congestion (67.7%). Majority of rhinosinusitis patients suffered from single rhinosinusitis (66.7%) and the most common paranasal sinus that was involved was maxilarry sinus (64.6%). According to the duration of disease, chronic rhinosinusitis are the most commonly observed (78.1%). There was only one patient with mucoccel complication (1%).

(18)
(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rinosinusitis merupakan penyakit peradangan yang menyerang organ sinus paranasal dan kavitas nasal. Sejak pertengahan tahun 1990, kata sinusitis telah diganti menjadi istilah rinosinusitis, dimana jarang ditemukan kasus sinusitis tanpa rhinitis dan juga penyakit rhinitis yang selalu disertai dengan sinusitis. (Lee, 2008)

Rinosinusitis dianggap merupakan salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Sekitar 14% atau 31 juta orang dewasa yang menderita penyakit rinosinusitis per tahun . (Assish, 2008).

Task Force of the Rhinology and Paranasal Sinus Committee pada tahun

1997 mengkategorikan rinosinusitis sebagai rinosinusitis akut apabila menderita gejala dengan durasi kurang dari 4 minggu, rinosinusitis subakut apabila menderita gejala lebih dari 4 minggu sampai kurang dari 12 minggu dan rinosinusitis kronis apabila gejala sama dengan lebih dari 12 minggu. (Fergurson, 2005)

Menurut Global Research In Allergy (2009), insidensi rinosinusitis di Amerika pada tahun 1997 yaitu sekitar 14,7% atau 31 juta kasus per tahun, dengan angka kejadian yang meningkat dalam kurun waktu 11 tahun terakhir. Rinosinusitis juga menyumbang sekitar lebih dari 21 juta resep antibiotik dan merupakan peringkat ketiga diagnosis yang membutuhkan peresepan antibiotik. Penelitian yang diadakan di Jerman pada tahun 2001 juga memaparkan bahwa angka kejadian rinosinusitis akut sebesar 6,3 juta orang dengan peresepan obat untuk rinosinusitis akut sekitar 8,5 juta resep, sedangkan angka kejadian rinosinusitis kronis sebesar 2,6 juta dan 3,4 juta peresepan obat diberikan untuk rinosinusitis kronis. European Position Paper

on Rinosinusitis on Nasal Polyps atau EP30S (2007) memaparkan pada studi

(20)

jumlah populasi rinosinusitis kronis kurang lebih sama, dengan persentase 9,6% dan 9,3%.

Berdasarkan penelitian di Belanda pada tahun 1999 bahwa sekitar 8,4% populasi setidaknya pernah menderita satu episode rinosinusitis akut pertahunnya. Insidensi kunjungan ke dokter-dokter untuk keluhan rinosinusitis akut di Belanda pada tahun 2000 adalah sekitar 20 per 1000 laki-laki dan 33,8 per 1000 wanita (EP30S, 2007). Penelitian di Kanada menyebutkan prevalensi rata-rata rinosinusitis kronis lebih banyak diderita oleh wanita, dengan rasio perbandingan 6:4. (Daudia, 2008). US Government Statistics pada tahun 1994 juga mengatakan bahwa Rinosinusitis kronis lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria.

Prevalensi rinosinusitis kronis pada kelompok usia 20-29 tahun sekitar 2,7%, usia 50-59 tahun sekitar 6,6% dan pada usia >60 tahun sekitar 4,7%. Penelitian di Korea menyatakan bahwa prevalensi rinosinusitis kronis terdapat kurang lebih tiga gejala pada nasal selama lebih dari tiga bulan dan pada temuan endoskopi nya terdapat nasal polip dan atau cairan mukopurulen di meatus media yaitu sekitar 1,01%. Penelitian di Belgia, Gordts et al melaporkan bahwa sekitar 6% dari subjek penelitian menderita rinosinusitis kronis disertai sekret di hidung yang kronis pula. (EP3OS,2007).

DEPKES RI tahun 2003 menyatakan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit utama atau sekitar 102.818 penderita rawat jalan di rumah sakit (Hardi, 2008). Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSUD.Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2010 terdapat 3201 kasus rinosinusitis kronis.

(21)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran penderita rinosinusitis di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010 .

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran penderita rinosinusitis di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran penderita rinosinusitis di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010 berdasarkan umur dan jenis kelamin

b. Untuk mengetahui gambaran penderita rinosinusitis di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010 berdasarkan pekerjaan c. Untuk mengetahui gambaran penderita rinosinusitis di RSUP. Haji

Adam Malik Medan pada tahun 2010 berdasarkan tingkat pendidikan

d. Untuk mengetahui keluhan utama yang terbanyak diderita oleh penderita rinosinusitis di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010.

e. Untuk mengetahui distribusi rinosinusitis yang datang ke RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010 berdasarkan lokasi f. Untuk mengetahui distribusi jumlah sinus yang terlibat pada pasien

rinosinusitis di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010. g. Untuk mengetahui distribusi rinosinusitis berdasarkan lama

(22)

h. Untuk mengetahui komplikasi pada pasien rinosinusitis di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1. Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat tentang

bahaya dan masalah-masalah yang mungkin timbul akibat dari rinosinusitis agar dapat berobat lebih awal.

2. Hasil data penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh dokter untuk mendiagnosa serta melakukan penatalaksanaan yang baik.

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI SINUS PARANASAL

Ada delapan buah sinus paranasal, empat buah di tiap sisi hidung. Sinus frontal kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri, sinus maksila kanan dan kiri dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua rongga hidung tersebut merupakan kelanjutan dari mukosa hidung yang berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. (Ballanger, 2002)

Sinus paranasal pada fase embriologik berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan berkembang sejak usia fetus 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontalis. (Soetjipto, 2007). Sinus maksila berkembang pada saat bulan ketiga masa gestasi sedangkan sinus etmoid berkembang pada saat bulan kelima masa gestasi. (Lee, 2008). Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak berusia kurang dari 8 tahun. Sinus sfenoid berkembang sejak usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Pada umumnya sinus-sinus tersebut akan mencapai besar maksimal pada usia 15-18 tahun. (Soetjipto, 2007).

Pembagian sinus paranasal: a. Sinus frontal

(24)

resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid. (Soetjipto, 2007).

Dinding anterior dan dasar sinus frontal merupakan tulang yang mempunyai sumsum, dimana osteomielitis dapat berkembang. Dasar dari sinus frontales merupakan atap orbita. Dinding posterior sinus frontal membentuk batas anterior dari fossa kranial, sehingga infeksi pada sinus dapat berpindah ke fossa kranial bagian anterior dan orbita. (Maqbool, 2001)

b. Sinus Etmoid

Sinus etmoid pada orang dewasa berbentuk seperti piramid dengan dasarnya pada bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior adalah 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di anterior sedangkan di bagian posterior 1,5 cm. (Soetjipto, 2007).

Sinus etmoid berongga-rongga yang terdiri dari sel-sel seperti sarang tawon, terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid dan terletak di antara konka media dan dinding medial orbita.(Soetjipto, 2007). Tulang-tulang etmoid mempunyai bidang horizontal dan bidang vertikal yang saling tegak lurus. Bagian superior bidang vertical disebut krista gali dan bagian inferiornya disebut lamina perpendikularis os etmoid. Bidang horizontalnya terdiri dari bagian medial, yang tipis dan berlubang-lubang disebut lamina kribrosa dan bagian lateral yang lebih tebal dan merupakan atap-atap sel-sel etmoid.( Ballanger, 2002)

(25)

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat resesus frontal yang berupa bagian yang sempit yang berhubungan dengan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Terdapat satu penyempitan di daerah etmoid anterior yang disebut dengan infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.(Soetjipto, 2007)

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina fibrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid. (Maqbool,2001)

c. Sinus Maksila

Pada waktu lahir sinus maksila berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Pada awalnya dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung, kemudian terus mengalami penurunan, sehingga pada usia delapan tahun menjadi sama tinggi. Perkembangannya berjalan kearah bawah dan amembentuk sempurna setelah erupsi gigi permanen. Ukuran rata-rata pada bayi yang baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan pada usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm dan isinya kira-kira 15 ml. (Ballanger, 2002)

Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum.(Soetjipto, 2007)

Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus.( Ballanger, 2002)

(26)

akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi dapat naik ke atas dan menyebabkan sinusitis. (2). Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. (3). Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui infundibulum yang sempit.(Soetjipto, 2007).

d. Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak di os sfenoid, di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang jarang terletak di tengah disebut septum intersfenoid. (Soetjipto, 2007). Ukuran sinus ini kira-kira pada saat usia 1 tahun 2,5 x 2,5 x 1,5, pada usia 9 tahun 15 x 12 x 10,5 mm. Isi rata-rata sekitar 7,5 ml (0,05-30 ml). (Ballanger, 2002).

Batas-batasnya ialah sebelah superior terdapat fossa serebri dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons. (Maqbool, 2001).

2.2 FUNGSI SINUS PARANASAL

Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi dari sinus paranasal, namun belum ada bukti yang sesuai yang dapat mebuktikan teori-teori tersebut. Beberapa teori yang dikemukakan antara lain:

a. Sebagai pengatur kondisi udara

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi (Maqbool, 2001 ; Voight, 2006). Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan rongga hidung.

b. Sebagai penahan suhu

(27)

c. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini tidak dianggap bermakna. (Maqbool, 2001)

d. Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk menambah resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif. (Maqbool, 2001)

e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini akan berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin dan beringus. (Soetjipto, 2007) f. Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dalam udara. (Soetjipto, 2007)

2.3 RINOSINUSITIS 2.3.1 DEFENISI

Rinosinusitis merupakan inflamasi pada organ hidung dan sinus paranasal, yang karakteristiknya ditandai oleh dua faktor mayor atau kombinasi dari satu faktor mayor dan dua faktor minor. Faktor mayor termasuk obstruksi nasal, nyeri di daerah wajah, nasal discharge/purulance/discolored postnasal drainage,

hyposmia/anosmia. Faktor minor ialah nyeri kepala, demam, halitosis, sakit gigi,

(28)

2.3.2 EPIDEMIOLOGI

Rinosinusitis telah menginfeksi sekitar 14 % atau 31 juta orang dewasa per-tahun (Assish,2008). Rata-rata orang menderita 2-4 kali rinosinusitis akut pertahun (Fergurson,2005). EP3OS(2007) juga memaparkan berdasarkan penelitian di Belanda pada tahun 1999, sekitar 8,4 % populasi pernah menderita satu episode rinosinusitis akut per tahunnya. Rinosinusitis kronis di Amerika pada tahun 1997, sekitar 14,7 % atau 31 juta kasus per tahun dan dengan angka kejadian yang terus meningkat dalam kurun waktu 11 tahun terakhir. (GLORIA, 2009). Data dari RSUD. Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2010 terdapat 3201 kasus rinosinusitis kronis.

2.3.3 ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI

a. Virus

Virus yang biasanya menyebabkan rinosinusitis adalah rhinovirus, virus parainfluenza, respiratory syncitial virus (RSV) dan virus influenza. Tiap-tiap virus mempunyai banyak serotype, yang mana semuanya berpotensi untuk memperparah infeksi tersebut. Rhinovirus merupakan penyebab tersering pada orang dewasa dan memuncak pada musim gugur. RSV dan virus influenza lebih merusak silia pernafasan pada saat musim dingin dan di awal musim semi. (Fergurson, 2005)

b. Bakteri

(29)

c. Jamur

Aspergilosis merupakan salah satu jamur yang paling banyak ditemui pada infeksi sinus paranasal dengan ciri khas sekret mukopurulen yang bewarna hijau kecoklatan. Mukormikosis merupakan infeksi oportunistik yang ganas yang dapat menjadi patogenik pada manusia yang menderita asidosis diabetik dan imunosupresi. Dijumpai sekret yang berwarna pekat, gelap, berdarah dan gambaran konka yang berwana hitam atau merah bata. Kandida bersama histoplasmosis, koksidiomilosis, sporotrikosis, serokosporamikosis dan blastomikosis jarang yang mengenai hidung. (Boeis, 1997)

d. Alergi

Rinitis merupakan suatu reaksi alergi yang diperantarai oleh imunoglobulin. Reaksi ini melibatkan suatu antibodi, biasanya IgE, yang mana bagian Fc antibodi melekat pada suatu sel yang mengandung mediator atau prekursornya (sel mast, basofil, eosinofil, makrofag). Bagian Fab dari antibodi ini berinteraksi dengan alergen spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran. Hasil pembelahan enzimatik menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien. Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera yang timbul , misalnya edema. Selain itu juga akan terjadi reaksi lambat yang selanjutnya cenderung terjadi akibat pelepasan mediator dari sel mast dan demikian pula eosinofil, makrofag dan trombosit. (Boeis, 1997).

e. Kelainan struktur dan anatomi hidung

(30)

f. Hormonal

Pada penelitian Sobot et al didapati bahwa 61% wanita yang hamil pada trimester pertama menderita nasal congestion. Namun patogenesis nya masih belum jelas. (EP3OS,2007)

g. Lingkungan

Apabila terpapar oleh lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok yang lama, hal tersebut akan menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia. (Mangunkusumo E, 2007)

2.3.4 PATOFISIOLOGI

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens dari mukosiliar didalam kompleks osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.

Bila terinfeksi organ-organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan terapi antibiotik.

(31)

2.3.5 KLASIFIKASI

Secara klinis rinosinusitis terbagi atas:

• Rinosinusitis akut : durasi terkena rinosinusitis dibawah 4 minggu

• Rinosinusitis subakut : durasi terkena rinosinusitis dari 4 minggu 12 minggu.

• Rinosinusitis kronis : durasi terkena rinosinusitis sama atau lebih dari 12 minggu

• Rinosinusitis rekuren : menderita sama dengan atau lebih dari 4 kali menderita episode rinosinusitis, tia

episode lebih kurang durasinya 7-10 hari. (Osguthorpe, 2001; Meltzer, 2011)

Berdasarkan penyebabnya rinosinusitis terbagi atas:

• Sinusitis rinogen : penyebabnya adalah kelainan atau masalah Di hidung. Segala sesuatu yang

menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.

• Sinusitis dentogen : penyebabnya adalah kelainan gigi yang sering menyebabkan sinusitis sepert infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar). (Mangunkusumo E, 2007).

2.3.6 GEJALA KLINIS

Setiap gejala-gejala rinosinusitis, keparahan dan durasinya harus didokumentasi.

The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS)

(32)

• Gejala Mayor : - Obstruksi hidung

- Sekret pada daerah hidung/ sekret belakang hidung yang sering disebut PND (Postnasal drip)

- Kongesti pada daerah wajah - Nyeri /rasa tertekan pada wajah

- Kelainan penciuman(Hiposmia / anosmia) - Demam (hanya pada akut)

• Gejala Minor: - Sakit kepala

- Sakit/ rasa penuh pada telinga - Halitosis/ nafas berbau

- Sakit gigi

- Batuk dan iritabilitas - Demam (semua nonakut) - Lemah

a. Nyeri Gejala Subjektif

Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena. Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinus yang letaknya lebih dalam seperti sinus etmoid posterior dan sfenoid, nyeri terasa jauh di dalam kepala, tak jelas letaknya atau disebarkan ke perifer kepala di daerah yang tidak ada hubungan dengan lokasi sinus.

b. Sakit kepala

(33)

tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat. Sakit kepala akibat penyakit di sinus frontal dinyatakan sebagai nyeri yang tajam, menusuk-nusuk, melalui mata atau nyeri dan rasa berat yang biasanya menetap.

c. Nyeri pada penekanan

Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada penyakit sinus yang berhubungan dengan permukaaan wajah seperti sinus frontal, sinus etmoid anterior dan sinus maksila. Nyeri tekan pada os frontal apabila ada penekanan di sudut medial rongga orbita. Pada pemeriksaan sel-sel etmoid anterior, tekanan dilakukan pada sudut medial orbital pada planum orbita os etmoid. Pada pemeriksaan sinus maksila, harus dilakukan penekanan pada fosa kanina os maksila superior.

d. Gangguan Penciuman

Keluhan yang paling sering adalah kehilangan sensasi penciuman.

a. Pembengkakan dan edema Gejala Objektif

Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan etmoid anterior) terkena secara akut, dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan. Pembengkakan ini lebih sering ditemukan di daerah sinus frontal.

b. Sekret Nasal

(34)

etmoid posterior atau sfenoid yang mungkin terkena, karena sel-sel tersebut berdrainase ke dalam meatus superior di atas konka medius. c. Transiluminasi

Transiluminasi sinus memberikan informasi objektif atas kondisi sinus maksila dan frontal, tetapi tidak untuk sinus lainnya. Pada transiluminasi sinus, di dalam kamar gelap, suatu sumber cahaya diletakkan dalam mulut pasien dengan mata pasien terbuka. Apabila refleks pupil merah dan bayangan sinar bulan sabit tidak ada maka kemungkinan sinus maksila terkena. Transiluminasi pada sinus frontal, cahaya diletakkan di bawah dasar sinus frontal pada sudut atas dan dalam orbita, dan kedua sisi dibandingkan,

d. Cairan radioopak

Untuk sinus maksila dan sfenoid hal ini mempunyai arti yang besar. Dengan adanya cairan itu, rongga sinus tampak jelas tergambar, sehingga penebalan mukosa dan adanya polip dapat diketahui dan ketidaksamaan ukuran dapat tergambar dengan jelas.(Ballanger ,2002)

2.3.7 DIAGNOSA

a. Rinoskopi anterior

Rinoskopi anterior merupakan alat dasar untuk pemeriksaan fisik yang paling spesifik yang berkaitan dengan keadaan patologis pada daerah sinonasal. Rinoskopi adalah pemeriksaan yang paling tepat untuk mengevaluasi pasien, sebelum atau sesudah pemakaian dekongestan topikal. Sebelum dekongesti, pemeriksa mengevaluasi permukaaan anterior nasal. Biasanya hanya setelah dekongesti, middle turbinate dapat divisualisasi secara jelas. (Meltzer, 2004).

b. Endoskopi nasal

(35)

• Gejala-Gejala pasien saja tidak dapat menjadi patokan untuk mendiagnosis.

• Endoskopi merupakan fasilitas diagnostik yang lebih baik dan dapat mendeteksi kelainan yang tidak ditemukan pada saat anamnesa, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan pencritraan.

• Perubahan warna hijau kekuningan tampak pada permukaan nasal

• Kultur endoskopik berguna untuk mengetahui organisme yang menyebabkan rinosinusitis. (Meltzer, 2004).

c. Pemeriksaan mikrobiologi

Biakan yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih akurat dibandingkan dengan biakan yang berasal dari hidung bagian anterior. Namun demikian, pengambilan biakan hidung posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan mengaspirasi pus dari sinus yang terkena. Seringkali dilakukan untuk mencari antibiotik yang sesuai untuk membasmi mikroorganisme untuk penyakit ini. (Brown, 2008)

d. Foto polos kavitas nasal dan sinus paranasal Rinosinusitis menunjukkan gambaran berupa : 1. Penebalan mukosa,

2. Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)

3. Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto waters.

Bagaimanapun juga, harus diingat bahwa foto polos ini memiliki kekurangan dimana foto polos gagal menunjukkan anatomi sinus yang diperlukan dan gagal menunjukkan peradangan yang meluas. (Meltzer, 2004).

e. CT scan

(36)

Walaupun demikian, harus diingat bahwa CT scan menggunakan dosis radiasi yang sangat besar yang berbahaya bagi mata.(Meltzer, 2004). f. MRI

Walaupun MRI tidak dapat menunjukkan anatomi tulang sinus paranasal seperti CT scan, namun MRI dapat menunjukkan kelainan pada mukosa dengan baik. (Meltzer,2004)

2.3.8 TERAPI

Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk memperlancar drainase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT scan dan atau endoskopi nasal. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Apabila tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus. (McCort, 2005 ; EP30S,2007)

Rinosinusitis Akut

(37)

Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus. Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan resistensi kuman selama 10 – 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan mukolitik. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave Diathermy) sebanyak 5 – 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz. (EP30S,2007)

Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz. (Mangunkusumo,2007 ; EP30S,2007)

(38)

2.3.9 KOMPLIKASI

1. Kelainan pada orbita

Terutama disebabkan oleh sinusitis ethmoidalis karena letaknya yang berdekatan dengan mata.

Komplikasi dapat melalui 2 jalur :

a) Direk/langsung : melalui dehisensi kongenital ataupun adanya erosi pada tulang barier terutama lamina papirasea.

b) Retrograde tromboplebitis : melalui anyaman pembuluh darah yang berhubungan langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan orbita.

Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.

Terdapat lima tahapan :

• Peradangan atau analgetik reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.

• Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.

• Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.

(39)

• Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik. (Casiano, 1999 ; EP30S,2007)

2. Kelainan intrakranial

a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis. b. Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna

kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial. Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan

arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura, yaitu nyeri kepala yang membandel dan demam tinggi dengan tanda-tanda rangsangan meningen. Gejala utama tidak timbul sebelum tekanan intrakranial meningkat atau sebelum abses memecah kedalam ruang subarachnoid.

c. Abses otak, setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Namun, abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara langsung. Dengan demikian, lokasi abses yang lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan arachnoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks seebri.

3. Kelainan pada tulang

(40)

Pembengkakan diatas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dalam hal mana terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup. Timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan. Radiogram dapat memperlihatkan erosi batas-batas tulang dan hilangnya septa intrasinus dalam sinus yang keruh. (EP3OS,2007)

4. Mukokel dan piokel

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.

Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.

(41)

2.4 RINOSINUSITIS DAN UMUR, JENIS KELAMIN, PEKERJAAN,

TINGKAT PENDIDIKAN, KELUHAN UTAMA, LOKASI, JUMLAH SINUS YANG TERLIBAT, LAMA PENYAKIT DAN KOMPLIKASI

Prevalensi rinosinusitis kronis pada kelompok usia 20-29 tahun sekitar 2,7%, usia 50-59 tahun sekitar 6,6% dan pada usia >60 tahun sekitar 4,7%. (EP3OS,2007). Pujiwati (2006) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa usia terbanyak yang menderita rinosinusitis yaitu 20-29 tahun sekitar 37,5%, 30-39 tahun sekitar 1,3%, 40-49 tahun sekitar 26,3% dan >50 tahun yaitu 5,0%.

Penelitian di Kanada menyebutkan prevalensi rata-rata rinosinusitis kronis lebih banyak diderita oleh wanita, dengan rasio perbandingan 6:4. (Anu D, 2008) dan US Government Statistics pada tahun 1994 juga mengatakan bahwa Rinosinusitis kronis lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria.

Penelitian case series oleh Pujiwati (2006) terhadap 80 orang pekerja, dimana yang menderita rinosinusitis akibat kerja sebanyak 35 orang (43,8%).

Berdasarkan penelitian Pujiwati (2006), bahwa terdapat sekitar 82,5% penderita rinosinusitis pada orang – orang dengan pendidikan sedang, sedang pendidikan rendah sekitar 13,8% dan tinggi sekitar 3,8%.

Penelitian di Korea menyatakan bahwa prevalensi rinosinusitis kronis yang terdapat kurang lebih tiga gejala pada nasal selama lebih dari tiga bulan dan yang pada temuan endoskopi nya terdapat nasal polip dan atau cairan mukopurulen di meatus media yaitu sekitar 1,01%. Penelitian di Belgia, Gordts et al melaporkan bahwa sekitar 6% dari subjek penelitian menderita rinosinusitis kronis disertai sekret di hidung yang kronis pula. (EP3OS,2007).

(42)

Penelitian oleh Ogunleye (1999) yang menyatakan di Ibadan, Nigeria, berdasarkan studi retrospektif pada 90 pasien, didapatkan bahwa yang menderita single rinosinusitis yaitu sekitar 56%, multisinusitis 16% dan pansinusitis yaitu 29%.

Penelitian yang diadakan di Jerman pada tahun 2001 juga memaparkan bahwa angka kejadian rinosinusitis akut sebesar 6,3 juta orang dengan peresepan obat untuk rinosinusitis akut sekitar 8,5 juta resep, sedangkan angka kejadian rinosinusitis kronis sebesar 2,6 juta dan 3,4 juta peresepan obat diberikan untuk rinosinusitis kronis. (GLORIA,2009)

Penelitian Frisdiana (2010) , bahwa dari 102 penderita rinosinusitis kronik yang dirawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth dari tahun 2006-2010,

(43)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Dalam penelitian ini yang diamati adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, keluhan utama,, lokasi sinus yang terlibat, jumlah sinus yang terlibat, lama penyakit dan komplikasi dari penyakit rinosinusitis. Kerangka konsep tentang gambaran pasien rinosinusitis dapat dijabarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1 : Kerangka konsep

3.2. Definisi Operasional

a. Rinosinusitis merupakan penyakit peradangan yang menyerang organ sinus paranasal dan kavitas nasal dengan memiliki dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua atau lebih kriteria minor . Kriteria mayor yaitu obstruksi atau adanya sumbatan di hidung, sekret di hidung atau di belakang hidung (postnasal drip), kongesti atau penumpukan cairan di daerah wajah, nyeri di daerah wajah, kelainan penciuman (hiposmia/penurunan sensitivitas penciuman, anosmia/hilang sensasi penciuman), demam (hanya pada akut). Yang masuk ke kriteria minor adalah sakit kepala, sakit pada telinga, halitosis atau nafas yang berbau, sakit gigi, batuk, demam (non-akut) dan lemah. Penderita

Umur

Jumlah Sinus yang terlibat Lama penyakit

(44)

rinosinusitis adalah pasien yang dinyatakan menderita rinosinusitis berdasarkan hasil diagnosis dokter dan tercatat dalam rekam medis.

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal

b. Umur adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan).

Umur responden adalah jumlah tahun hidup responden sejak lahir sampai didiagnosa menderita rinosinusitis yang dinyatakan dalam satuan tahun.

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Numerik

c. Jenis kelamin

Jenis kelamin adalah sifat jasmani yang membedakan dua makhluk sebagai laki-laki dan perempuan. Penilaian karakteristik dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu laki-laki dan perempuan.

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal

d. Pekerjaan

Pekerjaan adalah aktifitas utama atau kegiatan rutin yang dilakukan oleh penderita rinosinusitis sesuai dengan yang tercatat pada status rekam medik pasien.

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis

(45)

e. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan terakhir yang ditempuh oleh penderita rinosinusitis. Penilaian karakteristik dikelompokkan menjadi

belum tamat SD, SD, SMP, SMA atau Sarjana. Cara pengukuran : Observasi

Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Ordinal

f. Keluhan utama adalah keluhan yang paling berat yang dirasakan oleh pasien rinosinusitis yang menyebabkan pasien berobat ke dokter.

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal

g. Lokasi sinus yang terlibat adalah organ sinus yang mengalami kelainan pada pasien rinosinusitis. Penilaian karakteristik dikelompokkan menjadi: (1) Sinusitis maksilaris, (2) Sinusitis ethmoidalis, (3) Sinusitis sfenoidalis, (4) Sinusitis frontalis, (5) Sinusitis maksilaris serta etmoidalis, (6) Sinusitis maksilaris serta sfenoidalis, (7) Sinusitis maksilaris serta frontalis, (8) Sinusitis emoidalis serta sfenoidalis, (9) Sinusitis etmoidalis serta frontalis, (10) Sinusitis sfenoidalis dan frontalis, (11) Sinusitis maksilaris serta etmoidalis dan sfenoidalis, (12) Sinusitis maksilaris serta etmoidalis dan frontalis, (13) Sinusitis maksilaris serta sfenoidalis dan frontalis, (14) Sinusitis etmoidalis serta sfenoidalis dan frontalis, (15) Sinusitis maksilaris serta etmoidalis, sfenoidalis dan frontalis.

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis

(46)

h. Jumlah Sinus yang terlibat adalah jumlah organ sinus yang mengalami kelainan pada pasien rinosinusitis. Penilaian karakteristik dikelompokkan menjadi: (1) Single rinosinusitis jika ditemukan keterlibatan satu sinus paranasal, (2) Multisinusitis jika ditemukan keterlibatan dua atau lebih sinus paranasal dan (3) Pansinusitis jika ditemukan keterlibatan seluruh sinus paranasal.

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Ordinal

i. Lama penyakit adalah lama waktu yang diderita oleh pasien rinosinusitis. Penilaian karakteristik dikelompokkan menjadi: (1) Akut : ≤ 4 minggu, (2) Subakut : 4-12 minggu dan (3) Kronis : > 12 minggu

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Ordinal

j. Komplikasi rinosinusitis adalah penyakit lain yang bisa timbul diakibatkan dari rinosinusitis yang tercatat dalam rekam medis.

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis

(47)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif yang bersifat retrospektif untuk melihat gambaran pasien-pasien rinosinusitis yang datang berobat di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP. Haji Adam Malik Medan. Pemilihan lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa RSUP. Haji Adam Malik Medan

merupakan rumah sakit pendidikan dan juga merupakan rumah sakit rujukan yang memiliki data rekam medis yang baik. Waktu penelitian mulai dari bulan Agustus- September 2011.

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh data penderita rinosinusitis yang datang ke RSUP. Haji Adam Malik Medan tahun 2010. Populasi target adalah rekam medis penderita rinosinusitis yang terdapat di RSUP. Haji Adam Malik Medan. Populasi terjangkau adalah rekam medis yang terdapat di RSUP. Haji Adam Malik Medan dari bulan Januari sampai Desember 2010.

4.3.2 Sampel

(48)

menderita rinosinusitis. Kriteria eksklusi adalah status rekam medis penderita rinosinusitis yang tidak lengkap.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari status penderita dari rekam medis RSUP. Haji Adam Malik Medan tahun 2010. Status penderita rinosinusitis yang dipilih sebagai sampel, dikumpul dan dilakukan pencatatan tabulasi sesuai dengan variabel yang diteliti.

4.5 Metode analisis data

(49)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991 yang memiliki visi sebagai pusat unggulan pelayanan kesehatan dan pendidikan serta merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, D.I. Aceh, Sumatera Barat dan Riau. Lokasinya dibangun di atas tanah seluas ± 10 ha dan terletak di Jalan Bunga Lau No.17 km.12, Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara.

5.1.2 Karakteristik Individu

Berdasarkan data rekam medis, jumlah kasus Rinosinusitis yang berobat di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010 tercatat 96 kasus. Karakteristik yang akan dinilai adalah berdasarkan umur, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, keluhan utama, lokasi, jumlah sinus yang terlibat, lama penyakit dan komplikasi.

5.1.3 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan umur

(50)

Tabel 5.1 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan umur di RSUP. H.

Adam Malik pada Tahun 2010

No Umur Jumlah % Jumlah

1. 0-9 2 2.1

2. 10-19 10 10.4

3. 20-29 17 17.7

4. 30-39 16 16.7

5. 40-49 21 21.9

6. 50-59 19 19.8

7. 60-69 7 7.3

8. 70-79 4 4.2

Total 96 100

Kelompok usia responden tertinggi terdapat pada kelompok usia 40-49 tahun yaitu sebanyak 21 orang (21,9%) sedangkan kelompok usia terendah terdapat pada kelompok usia 0-9 tahun yaitu sebanyak 2 orang (2,1%).

5.1.4 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan jenis kelamin

Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan jenis kelamin pasien di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010 dijelaskan pada tabel 5.2 berikut

Tabel 5.2 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan jenis kelamin di RSUP. H. Adam Malik pada Tahun 2010

No. Jenis Kelamin Jumlah % Jumlah

1. Laki-Laki 38 39.6 2. Perempuan 58 60.4

(51)

Berdasarkan tabel 5.2 didapatkan bahwa jumlah penderita rinosinusitis lebih banyak diderita oleh perempuan yaitu 58 orang (60,4%), sedangkan laki-laki yaitu sebanyak 38 orang (39,6%)

5.1.5 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan pekerjaan

Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan pekerjaan di RSUP. Haji Adam Malik Medan tahun 2010 dijelaskan pada tabel 5.3 berikut:

Tabel 5.3 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan pekerjaan di RSUP. H. Adam Malik pada Tahun 2010

No. Pekerjaan Jumlah % Jumlah

1. Ibu rumah tangga 21 21.9

2. Mahasiswa 6 6.3

3. Nelayan 2 2.1

4. Pegawai negeri 15 15.6 5. Pegawai swasta 8 8.3

6. Pelajar 13 13.5

7. Pensiunan 2 2.1

8. Petani 5 5.2

9. Tidak bekerja 3 3.1

10. Tukang 1 1.0

11. Wiraswasta 20 20.8

Total 96 100.0

(52)

5.1.6 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan tingkat pendidikan

Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan tingkat pendidikan di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010 dijelaskan pada tabel 5.4 berikut:

Tabel 5.4 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan tingkat pendidikan di RSUP. H. Adam Malik pada Tahun 2010

No. Tingkat pendidikan Jumlah % Jumlah

1. belum tamat SD 2 2.1

2. SD 16 16.7

3. SMP 13 13.5

4. SMA 31 32.3

5. Sarjana 34 35.4

Total 96 100.0

Berdasarkan Tabel 5.4 diatas dijelaskan bahwa pasien dengan tingkat pendidikan Sarjana lebih banyak menderita rinosinusitis yaitu sebanyak 34 orang (35,4%). Sedangkan pasien yang belum tamat SD merupakan yang paling sedikit menderita rinosinusitis yaitu 2 orang (2,1%).

5.1.7 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan keluhan utama

(53)

Tabel 5.5 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan keluhan utama di RSUP. H. Adam Malik pada Tahun 2010

No Keluhan Utama Jumlah % Jumlah

1. Hidung tersumbat 65 67.7 2. Nyeri di hidung 6 6.3 3. Nyeri di pipi 2 2.1 4. Hidung berair 8 8.3 5. Sakit kepala 5 5.2 6. Mata bengkak 2 2.1 7. Hidung berbau 3 3.1 8. Hidung berdarah 3 3.1

9. Batuk 1 1.0

10. Sakit menelan 1 1.0

Total 96 100.0

Dijelaskan pada tabel 5.5 keluhan utama yang paling banyak diderita pada pasien rinosinusitis di RSUP. Haji Adam Malik medan adalah keluhan hidung tersumbat yaitu 65 orang (67,7%). Lalu didapatkan juga keluhan keluhan lain seperti keluhan hidung berair sebanyak 8 orang (8,3%), nyeri di hidung sebanyak 6 orang (6,3%), sakit kepala sebanyak 5 orang (5,2%), nyeri di pipi sebanyak 2 orang (2,1%), mata bengkak sebanyak 2 orang (2,1%), keluhan batuk sebanyak 1 orang (1%) dan sakit menelan sebanyak 1 orang (1%).

5.1.8 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan lokasi

(54)

Tabel 5.6 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan lokasi rinosinusitis di RSUP. H. Adam Malik pada Tahun 2010

No. Tipe Jumlah % Jumlah 8. Maksilaris, Etmoidalis,Sfenoidalis 2 2.1 9. Etmoidalis, Sfenoidalis, Frontalis 2 2.1 10. Maksilaris, Sfenoidalis, Frontalis 1 1.0 11. Maksilaris, Etmoidalis, Frontalis 5 5,3 12. Maksilaris,

Etmoidalis,Sfenoidalis,Frontalis

3 3,1

Total 96 100.0

(55)

5.1.9 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan jumlah sinus yang terlibat

Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan jumlah sinus yang terlibat di RSUP. Haji Adam Malik Medan tahun 2010 dijelaskan pada tabel 5.7 berikut :

Tabel 5.7 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan jumlah sinus yang terlibat di RSUP. H. Adam Malik pada Tahun 2010

No Sinus yang terlibat Jumlah % Jumlah

1. Single rinosinusitis 65 67.7 2. Multisinusitis 28 29.2 3. Pansinusitis 3 3.1

Total 96 100.0

Pada tabel 5.7 diatas dapat dijelaskan bahwa berdasarkan jumlah sinus yang terlibat untuk single rinosinusitis merupakan yang paling banyak diderita oleh pasien-pasien yang datang ke RSUP Haji Adam Malik Medan yaitu sebanyak 65 orang (67,7%) lalu diikuti dengan Multisinusitis dengan 28 orang (29,2%) dan Pansinusitis yaitu 3 orang (3,1%).

5.1.10 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan lama penyakit

Distribusi penderita berdasarkan lama penyakit rinosinusitis di RSUP. Haji Adam Malik Medan tahun 2010 dijelaskan pada tabel 5.8 berikut :

Tabel 5.8 Distribusi penderita berdasarkan lama penyakit rinosinusitis di RSUP. H. Adam Malik pada Tahun 2010

No. Lama penyakit Jumlah % Jumlah

1. Akut 9 9.4

(56)

3. Kronis 75 78.1

Total 96 100.0

Penderita rinosinusitis kronis merupakan yang terbanyak yang diderita oleh pasien di RSUP. Haji Adam Malik pada tahun 2010 dengan pasien sebanyak 75 orang (78,1%) dan penderita rinosinusitis akut merupakan yang terendah yang diderita oleh pasien yaitu sebanyak 9 orang (9,4%).

5.1.11 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan komplikasi

Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan komplikasi di RSUP. Haji Adam Malik Medan tahun 2010 dijelaskan pada tabel 5.9 berikut :

Tabel 5.9 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan komplikasi di

RSUP. H. Adam Malik pada Tahun 2010

No. Komplikasi Jumlah % Jumlah

1. Tidak ada 95 99.0

2. Mukokel 1 1.0

Total 96 100.0

Berdasarkan tabel 5.9 dilihat bahwa komplikasi yang diderita pasien yaitu Mukokel pada 1 orang pasien (1,0%). Sedangkan sekitar 95 orang pasien (99%) tidak menunjukkan adanya komplikasi

5.2 Pembahasan

5.2.1 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan umur

(57)

Nasal Polyps pada tahun 2007 juga menyatakan bahwa usia yang paling banyak menderita rinosinusitis adalah penderita dengan usia <50 tahun.

Varonen (2003) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pasien-pasien rinosinusitis yang menjadi subjek penelitiannya berasal dari umur 18-75 tahun, dengan umur rata-rata yaitu 39,7 tahun.

Penelitian yang dilakukan oleh Acala (2010) di Poliklinik RSUP. Dr. Sardjito bahwa pasien rinosinusitis paling banyak pada umur dekade ke 3 yaitu 30%.

Penelitian yang dilakukan Frisdiana (2010) di RS. Santa Elisabeth Medan pada tahun 2006-2010 menyatakan bahwa kelompok usia yang terbanyak menderita rinosinusitis adalah 23-31 tahun yaitu sebanyak 22 orang (21,6%).

Dari data diatas didapati bahwa penderita rinosinusitis lebih banyak diderita oleh kelompok usia dewasa. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh kelompok usia dewasa merupakan kelompok usia yang aktif dan sering terpapar oleh polutan atau zat-zat iritan yang mungkin dapat menyebabkan atau memperberat terjadinya rinosinusitis, sehingga lebih banyak penderita dengan kelompok usia dewasa yang datang berobat ke rumah sakit.

5.2.2 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan jenis kelamin

(58)

1994 juga mengatakan bahwa rinosinusitis kronis lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria.

Penelitian yang dilakukan oleh Lindbaek (1997) di Norwegia menyatakan bahwa dari 1.053 subjek yang didiagnosa menderita rinosinusitis, didapatkan bahwa perempuan sebanyak 69% sedangkan laki-laki sebanyak 31%.

Varonen (2003) pada penelitiannya menyatakan bahwa dari total 150 pasien rinosinusitis yang dimasukkan kedalam penelitiannya, terdapat 105 perempuan (70%) dan 45 laki-laki (30%).

Chen (2009) dalam penelitiannya di Kanada menyatakan bahwa dari 73.364 subjek rinosinusitis yang diteliti, didapatkan prevalensi rinosinusitis tertinggi pada wanita yaitu sebesar 5,7% sedangkan laki-laki yaitu 3,4%.

Manor (2010) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa dari 137 pasien rinosinusitis, terdapat bahwa perempuan sebanyak 83 orang sedangkan laki-laki 54 orang.

Penelitian secara case series oleh Multazar (2008) juga menyatakan bahwa

proporsi penderita rinosinusitis lebih banyak dijumpai pada jenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 57,09% sedangkan laki-laki sebanyak 42,91% .

Banyaknya penderita rinosinusitis perempuan pada penelitian ini kemungkinan karena perempuan lebih peduli dengan keluhan sakit sehingga perempuan yang lebih banyak dan lebih cepat berobat ke rumah sakit. Selain itu European Position Paper on Rinosinusitis and Nasal Polyps pada tahun 2007

menyatakan beberapa teori bahwa adanya efek hormonal dari estrogen, progesteron dan placental growth hormon pada mukosa nasal dan pembuluh darah. Philpott (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dari 25 orang pasien wanita yang menderita rhinitis, sebanyak 24 orang ditemukan adanya estrogen pada biopsi nasal pasien tersebut.

(59)

Pada penelitian ini ditemukan bahwa jumlah sampel dengan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga merupakan yang terbanyak yang dijumpai yaitu 21 orang (21,9%).

Hal tersebut mungkin disebabkan karena Ibu Rumah Tangga sering dihadapkan kepada pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti sering terpapar asap atau debu yang dapat memacu terjadinya aeroalergen yang akhirnya dapat meningkatkan kejadian rinosinusitis. Ibu rumah tangga juga mempunyai lebih banyak waktu yang fleksibel sehingga frekwensi ibu rumah tangga untuk berobat ke dokter lebih sering. Selain itu adanya penelitian-penelitian lain yang menyatakan bahwa rinosinusitis memang lebih banyak diderita oleh perempuan dibandingkan laki-laki.

Pada penelitian saya ditemukan bahwa rinosinusitis juga banyak diderita oleh pekerja baik sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, wiraswasta, petani, nelayan dan tukang yaitu sebanyak 51 orang. Hal tersebut sejalan dengan penelitian case series oleh Pujiwati (2006) terhadap 80 orang pekerja, dimana yang menderita rinosinusitis akibat kerja sebanyak 35 orang (43,8%).

Tingginya kejadian rinosinusitis pada pekerja mungkin dapat diakibatkan oleh terpaparnya polutan atau zat-zat iritan yang berpotensi untuk terjadinya rinosinusitis. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Mangunkusumo (2007), bahwa apabila terpapar terus menerus oleh lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok yang lama, hal tersebut akan menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.

5.2.4 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan tingkat pendidikan

Pada penelitian ini, pasien dengan tingkat pendidikan sarjana lebih banyak menderita rinosinusitis yaitu sebanyak 34 orang (35,4%). Sedangkan pasien yang belum tamat SD merupakan yang paling sedikit menderita rinosinusitis yaitu 2 orang (2,1%). Hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian Pujiwati (2006), bahwa terdapat sekitar 82,5% penderita rinosinusitis terdapat pada pasien dengan pendidikan sedang (SMA), pendidikan rendah (SD dan SMP) sekitar 13,8% dan pendidikan tinggi (Sarjana) sekitar 3,8%.

(60)

langsung memeriksakan diri ke dokter apabila terdapat keluhan pada kesehatannya. Sehingga pada penelitian ini, lebih banyak pasien rinosinusitis dengan tingkat pendidikan Sarjana yang tercatat di rekam medis RSUP. Haji. Adam Malik medan pada tahun 2010.

5.2.5 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan keluhan utama

Keluhan utama yang paling banyak didapatkan pada penelitian ini yaitu keluhan hidung tersumbat sebanyak 65 orang (67,7%). Hal tersebut sejalan dengan penelitian case series Kurnia (2002) terhadap 40 penderita rinosinusitis di RSUP H. Adam Malik, Medan bahwa terdapat keluhan utama rinosinusitis yang terbanyak adalah hidung tersumbat dengan 38 penderita (95%). Penelitian case

series yang dilakukan oleh Multazar (2008) juga menunjukkan bahwa proporsi keluhan utama terbanyak pada penderita rinosinusitis adalah hidung tersumbat sebesar 75,3%.

Penelitian case series oleh Frisdiana (2010) di RS. Santa Elisabeth Medan pada tahun 2006-2010 juga didapati bahwa keluhan utama yang paling banyak ditemukan adalah hidung tersumbat yaitu 63,7%.

Hidung tersumbat terjadi karena adanya proses inflamasi, baik karena infeksi sebelum terjadi rinosinusitis ataupun sebagai infeksi sekunder dari rinosinusitis. Bila terinfeksi organ-organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium sehingga terjadi penghambatan drainase sinus. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri dan dapat menyebabkan infeksi sekunder. (Casiano,1999; Mangunkusumo E, 2007; Meltzer, 2011)

Penyebab lain hidung tersumbat bisa dikarenakan oleh deviasi septum, hipertrofi konka, polip kavum nasi, tumor hidung. (Ballenger, 1994)

5.2.6 Distribusi proporsi pasien rinosinusitis berdasarkan lokasi

(61)

(64,6%). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Sogebi (2008) yang menyatakan bahwa sinus maksilaris merupakan lokasi sinus yang paling banyak mendapatkan kelainan yaitu sebanyak 70,51%, sedangkan sinus sfenoidalis merupakan lokasi sinus yang paling jarang terdapat kelainan yaitu 0%.

Penelitian case series oleh Frisdiana (2010) di RS. Santa Elisabeth Medan pada tahun 2006-2010 bahwa rinosinusitis maksilaris merupakan yang paling banyak diderita oleh pasien yaitu sebesar 94,1%. Mangunkusumo (2007) menyatakan bahwa sinus yang paling sering terkena rinosinusitis adalah sinus etmoid dan maksila.

Sinus maksila merupakan sinus yang paling sering terinfeksi, oleh karena merupakan sinus paranasal yang terbesar dan letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar sinus. Selain itu dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila (Ballenger, 1997)

5.2.7 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan jumlah sinus yang terlibat

Single rinosinusitis merupakan yang paling banyak diderita oleh pasien-pasien yang datang ke RSUP Haji Adam Malik Medan yaitu sebanyak 64 orang (66,7%) lalu diikuti dengan Multisinusitis dengan 28 orang (29,2%) dan Pansinusitis yaitu 4 orang (4,2%).

Hal tersebut sejalan dengan penelitian oleh Ogunleye (1999) yang menyatakan di Ibadan, Nigeria, berdasarkan studi retrospektif pada 90 pasien, didapatkan bahwa yang menderita single rinosinusitis yaitu sekitar 56%, multisinusitis 16% dan pansinusitis yaitu 29%.

Sogebi (2008) juga menyatakan bahwa sebanyak 73,08% subjek pada penelitiannya menderita single rinosinusitis, 21,79% multisinusitis dan 5,13% pansinusitis.

Penelitian yang dilakukan Multazar (2008), juga menyatakan bahwa yang

paling banyak terlibat adalah single rinosinusitis sebesar 87,8% dan paling rendah adalah pansinusitis sebesar 0,4%.

(62)

merupakan yang terbesar dan letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar sinus. Sehingga hal tersebut menyebabkan sinus maksilaris lebih berpotensi untuk terkena infeksi dibandingkan organ sinus yang lain.

5.2.8 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan lama penyakit

Penderita rinosinusitis kronis merupakan yang terbanyak yang diderita oleh pasien di RSUP. Haji Adam Malik pada tahun 2010 dengan pasien sebanyak 75 orang (78,1%) sedangkan penderita rinosinusitis akut diderita oleh pasien yaitu sebanyak 9 orang (9,4%). Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ogunleye (1999) dalam penelitiannya di Ibadan, Nigeria, bahwa terdapat sekitar 93% pasien rinosinusitis kronis sedangkan hanya 7% pasien rinosinusitis akut.

Namun hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang diadakan di Jerman pada tahun 2001, bahwa angka kejadian rinosinusitis akut sebesar 6,3 juta orang sedangkan angka kejadian rinosinusitis kronis sebesar 2,6 juta orang.

Adanya perbedaan tersebut dapat terjadi dikarenakan gejala Rinosinusitis akut dianggap gejala yang biasa karena waktu pada saat muncul gejalanya hanya sebentar sehingga orang awam lebih banyak menanggap hal tersebut bukan merupakan suatu masalah yang berarti dan tidak datang berobat ke rumah sakit.

5.2.9 Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan komplikasi

Gambar

Gambar 3.1 : Kerangka konsep
Tabel 5.2  Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan jenis kelamin di
Tabel 5.3  Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan pekerjaan di RSUP. H. Adam Malik pada Tahun 2010
Tabel 5.4  Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan tingkat pendidikan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Kreativitas siswa kelas 5 SD Negeri 04 Wonorejo khususnya pada kompetensi dasar menyimpulkan hasil penyelidikan tentang perubahan sifat benda baik sementara maupun

Program dan Jenis Kegiatan Hasil yang diharapkan Waktu Pelaksana an Pelaksa na Sumbe r Dana penyelenggaraan Prakerin 2.3 Pencarian obyek. 2.4   Rapat   pembentukan

To obtain well-distributed, stable and quantity controllable features, UR-SIFT algorithm is adopted in source image, meanwhile, SIFT with lower contrast threshold

[r]

The paper presents an approach to use object based image analysis (OBIA) combing high spatial resolution imagery and Lidar cloud points in order to refine objects

Dengan diskusi pemecahan masalah, siswa mampu mengidentifikasi pentingnya peran hewan sebagai sumber daya alam dalam menjaga keseimbangan alam dengan tepat7. Dengan

The proposed algorithm requires a labeled dataset for training. We found that it is hard to use real surveillance videos for this task. Most of such data does not contain

[r]