• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN KELEMBAGAAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN

TAMAN NASIONAL BATANG GADIS

HASIL PENELITIAN

Rozalina

031201003/Manajemen Hutan

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga draft hasil penelitian ini dapat selesai dikerjakan.

Draft ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan April tahun 2007 dengan judul “Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis”.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak, yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Yang tercinta Ayahanda Armen Lubis, Ibunda Almh. Hafni Harahap, Abang Ahmad Rizal, Ujing Siti Hani, dan seluruh keluarga yang telah memberikan dorongan baik moril maupun materil sehingga ananda dapat melaksanakan studi terutama dalam penelitian ini.

2. Bapak Dr.Ir.Edy Batara Mulya Siregar, MS selaku Ketua Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Oding Affandi, S. Hut, MP dan Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu dan mengarahkan penulis dalam penelitian ini.

(3)

5. Para sahabat penulis, Roro, Wilda, Endang, Nia, Azmin, Anto, Riyadi, Kak Yos, Bang Hasrul, Bang Yudi, Pak Cardi, Bowo’05, terima kasih atas bantuannya.

Penulis menyadari banyak kekurangan dari diri penulis dalam menyusun draft hasil penelitian ini. Oleh karena itu, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak. Besar harapan penulis dapat menerima saran dan kritik dari berbagai pihak sehingga nantinya dapat menjadi bahan bagi penulis dalam memperbaikinya. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pembaca.

Medan. November 2007 Penulis

(4)

DAFTAR ISI

Manfaat Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Sekilas Taman Nasional Batang Gadis ... 6

Partisipasi ... 11

Masyarakat Lokal ... 17

Kelembagaan ... 20

Komponen dan Fungsi Kelembagaan ... 22

Penguatan Identitas ... 23

Kebijakan Dasar Pengelolaan TNBG... 24

Pengorganisasian dan Kelembagaan Pengelolaan TNBG ... 25

Pengaruh Taman Nasional Batang Gadis ... 26

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

Metode Penelitian ... 27

Objek Penelitian ... 27

Teknik dan Tahapan Pengumpulan Data... 27

Analisis Data ... 28

DESKRIPSI UMUM LOKASI PENELITIAN Daerah Lokasi Studi ... 30

Kondisi Geografis ... 30

Kondisi Desa Sibanggor Julu ... 31

Kondisi Desa Sopotinjak ... 33

HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan Pengelolaan TNBG ... 35

(5)

Program dan Kegiatan Pengelolaan TNBG Tahun 2007... 38

Permasalahan Pengelolaan TNBG ... 39

Kelembagaan Lokal Masyarakat dalam TNBG ... 40

Kelembagaan Desa Sopotinjak ... 40

Kaitan Desa Sopotinjak dengan TNBG ... 41

Kelembagaan Desa Sibanggor Julu ... 43

Kaitan Desa Sibanggor Julu dengan TNBG ... 45

Peran dan Fungsi Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan TNBG ... 46

Hubungan Antar Kelembagaan dalam Pengelolaan TNBG ... 56

Kelembagaan lain dalam Pengelolaan TNBG ... 56

Hubungan antar lembaga dalam Pengelolaan TNBG... 62

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 66

Saran ... 67

(6)

DAFTAR TABEL

(7)

DAFTAR GAMBAR

1. Struktur Organisasi Balai TNBG ... 36 2. Struktur Organisasi Kolaborasi Pengelolaan dan Keterkaitannya

(8)

Judul : Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis

Nama : Rozalina

NIM : 031201003

Departemen : Kehutanan

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Oding Affandi, S. Hut, MP Drs. Zulkifli Lubis, MA NIP. 132 259 566 NIP. 131 882 278

Mengetahui,

Ketua Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian

(9)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Akar dari berbagai persoalan dan konflik di dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah ketidakadilan dalam alokasi sumberdaya alam itu sendiri. Di sisi lain pengelolaan yang sentralistik telah mematikan potensi Pemerintah Daerah termasuk peluangnya untuk mengembangkan daerah sesuai kebutuhan dan keinginan sendiri, dan tidak adanya hak dasar masyarakat untuk mengelola sumberdaya yang terdapat di sekitar mereka (Sembiring, dkk., 1999).

Dengan berlakunya otonomi daerah maka Pemerintah Daerah mempunyai tanggung jawab dan wewenang untuk mengelola sumberdaya alam termasuk hutan. Demikian halnya dengan masyarakat dan Pemerintah Daerah Mandailing Natal yang mempunyai kesadaran dan berinisiatif dalam mengelola Taman Nasional Batang Gadis.

Harus diakui bahwa Pemerintah mempunyai keterbatasan sumber daya, baik dalam dukungan finansial, sarana atau fasilitas maupun sumber daya manusia. Atas dasar hal tersebut, keterlibatan lembaga swadaya masyarakat perlu dipertimbangkan dalam upaya memberikan manfaat, khususnya manfaat ekonomis dari hutan dan pemanfaatan pengetahuan tradisional itu sendiri.

(10)

sumber daya alam dan warisan budaya (conservation of natural and cultural heritage), dan sebagainya (Sardjono, 2006).

Meskipun secara historis pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan telah cukup memadai, namun peningkatan terus menerus kualitas teknis dan produktivitas lahan hutan masih cukup relevan untuk dilakukan saat ini, terutama untuk menghindari ekstraktivitas dalam pengusahaan sumberdaya hutan. Selain itu, pengelolaan hutan di masa mendatang juga menuntut adanya kelembagaan masyarakat yang fungsional dan mandiri, yang banyak disyaratkan oleh pemerintah (Awang, dkk., 2000).

Kelembagaan yang fungsional dan mandiri tersebut penting agar hak dan akses pengelolaan yang akan diberikan tidak diterapkan dalam skema penguasaan yang horizontal dan anarkis, melainkan melalui pendekatan kolektif yang diorientasikan kepada kesejahteraan seluruh masyarakat. Dengan demikian, obsesi menjadikan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga lokal yang ada di masyarakat untuk peran pengaturan fungsi hutan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi dan konservasi dapat terlaksana (Awang, dkk., 2000).

(11)

Salah satu hal penting yang menjadi tantangan ke depan dalam konservasi TNBG yaitu mempersiapkan dan melaksanakan penataan ruang dan pengurusan kawasan taman nasional secara efisien dan efektif melalui pengelolaan kolaborasi. Artinya, akan lebih banyak pihak berkepentingan yang terlibat dalam pengambilan keputusan untuk pengelolaan TNBG, khususnya masyarakat setempat dan Pemerintah Kabupaten Madina.

Pengelolaan TNBG akan dikembangkan secara kolaboratif yang lebih inklusif dengan lebih banyak melibatkan para pihak dalam pengelolaannya. Pemerintah pusat dalam hal ini akan terbantu oleh pemerintah daerah dan para pihak lainnya dalam mengamankan eksistensi TNBG. Di sisi lain juga akan menciptakan keseimbangan kontrol yang sama besar antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat setempat, sehingga keberadaan jasa ekologis taman nasional lebih dapat terlindungi dalam jangka panjang (Rahayuningsih, dkk., 2004).

(12)

Perumusan Masalah

1. Pengaturan dan pengelolaan hutan Madina telah ditetapkan sejak zaman Belanda dan diusahakan oleh masyarakat sekitar hutan tersebut dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Namun keberadaan TNBG yang terbentuk sejak tahun 2004 belum bisa menjamin apakah TNBG mampu menjadi andalan utama dalam mensejahterakan masyarakat desa sekitar TNBG tersebut.

2. Pengaturan pengelolaan TNBG sangat ditentukan oleh bentuk pengelolaan yang ada pada pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Pengaturan pengelolaan tersebut sangat ditentukan oleh peran serta lembaga-lembaga yang terkait dengan TNBG. Identifikasi kelembagaan tersebut perlu dikaji kembali apakah lembaga-lembaga tersebut berperan dalam pengelolaan TNBG.

Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana bentuk-bentuk kelembagaan lokal yang fungsional dalam pengelolaan TNBG.

2. Bagaimana fungsi dan peran lembaga lokal yang fungsional dalam pengelolaan TNBG.

(13)

Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi kelembagaan lokal yang fungsional dalam pengelolaan TNBG.

2. Mengetahui fungsi dan peran lembaga lokal yang fungsional dalam pengelolaan TNBG.

3. Mengetahui hubungan antar kelembagaan dalam pengelolaan TNBG.

Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi bagi pihak-pihak dalam mempertimbangkan kebijakan dalam pengelolaan TNBG untuk masa yang akan datang.

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Sekilas Taman Nasional Batang Gadis

Hutan lindung merupakan kawasan hutan register yang relatif masih utuh dan terbaik dibandingkan dengan kawasan hutan lindung di Provinsi Sumatera Utara. Hutan lindung dan hutan produksi tersebut merupakan sumber mata air bagi Batang Gadis dan sungai-sungai lainnya di DAS Batang Gadis. Ada 13 dari 17 kecamatan di Kabupaten Madina dan Kecamatan Batang Angkola di tapanuli Selatan yang termasuk DAS dan Sub DAS Batang Gadis, ialah : Muara Sipongi, Ulu Pungkut, Kotanopan, Lembah Sorik Merapi, Laru Tambangan, Panyabungan Kota, Panyabungan Utara, Bukit Malintang, Siabu, dan Muara Batang Gadis sepanjang 180 kilometer (Harahap, 2004).

(15)

Berbeda halnya dengan taman nasional lainnya, penunjukan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) diprakarsai oleh Pemerintah Derah Mandailing Natal (Madina). Prakarsa ini tidak terlepas dari inisiatif, keinginan, dorongan, dan dukungan dari masyarakat setempat, tokoh-tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan hidup. Tujuannya tak lain untuk menyelamatkan “harta dan kekayaan” Madina yaitu tutupan hutan alam yang masih tersisa dan relatif utuh di Provinsi Sumatera Utara, agar dapat mendatangkan manfaat jangka panjang bagi masyarakat setempat dan Pemerintah daerah (Rahayuningsih, dkk., 2004).

Sejalan dengan upaya sinergi dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan disambut Departemen Kehutanan, akhirnya dapat ditunjuk dan diresmikan penunjukannya oleh Menteri Kehutanan sebagai kawasan pelestarian alam yang meliputi luas 108.000 hektar berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.126/Menhut-II/2004 tanggal 29 April 2004 (Balai TNBG, 2007).

Sesuai dengan peraturan, penataan batas-batas Taman Nasional Batang Gadis merupakan wewenang dari Badan Planologi Kehutanan, sedangkan pengelolaannya menjadi wewenang Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Harahap, 2004).

Taman Nasional Batang Gadis secara administrasi berada di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis terletak diantara 99° 12' 45" sampai dengan 99° 47' 10" Bujur Timur dan 0° 27' 15" sampai dengan 1° 01' 57" Lintang Utara (Balai TNBG, 2007).

Taman Nasional Batang Gadis memiliki luas 108.000 hektar atau 16 %

(16)

sampai 2.145 meter di atas permukaan laut dengan titik tertingginya di puncak gunung berapi Sorik Merapi. Keadaan topografi kawasan hutan TNBG berupa perbukitan sampai pegunungan (dolok – dolok) yang memiliki ketinggian bervariasi, dengan kemiringan rata – rata lebih dari 40 %. Kombinasi curah hujan yang tinggi, dominasi kemiringan lereng > 50 %, kondisi topografi yang umumnya perbukitan dan pegunungan, terletak di daerah vulkanis aktif sehingga membawa kondisi geologis yang labil. Disamping itu dengan topografi yang memiliki elevasi yang tinggi tersebut mengakibatkan tingkat rawan erosi tanah sangat tinggi, dengan kata lain tanah akan rawan tererosi, sehingga keadaan ini menyebabkan di Mandailing Natal relatif rawan bencana alam seperti tanah longsor, erosi dan penurunan kualitas tanah (Balai TNBG, 2007).

(17)

kurang lebih 386.445 Ha atau 58,37 % dari luas daratan Kabupaten Mandailing Natal (Balai TNBG, 2007).

TNBG yang terletak pada bagian bukit barisan di tubuh Pulau Sumatera bagian Barat-Utara, memiliki potensi sebagai hutan hujan tropis alami mendukung untuk terbentuknya koridor biodiversitas Sumatera. Dipertegas bahwa adanya bentang alam yang berfungsi sebagai koridor biodiversitas ini akan membantu dalam upaya penyelamatan species langka untuk dapat berkembang biak dengan menyediakan peluang untuk bergerak, berpindah untuk mendapatkan habitat dan berinteraksi dengan individu lain sehingga menghindarkan pada kawin kerabat yang akan menurunkan kualitas genetis pada turunannya (Balai TNBG, 2007).

Penelitian keanekaragaman hayati secara cepat telah dilakukan oleh CI Indonesia, Balitbang Kehutanan-Dephut, LIPI dan Pemerintah Kabupaten Madina pada tahun 2004. Berdasarkan hasil penelitian flora, dalam petak penelitian di hutan dataran rendah dengan ketinggian ± 660 meter dpl, di TN. Batang Gadis terdapat 240 jenis tumbuhan berpembuluh (vascular plant) yang terdiri dari 47 suku atau sekitar 0,9% dari flora yang ada di Indonesia (sekitar 25.000 jenis tumbuhan berpembuluh di Indonesia). Nilai penting jenis untuk famili dari 10 famili yang paling seringkali ditemukan menunjukan bahwa keluarga Dipterocarpaceae menempati urutan pertama dengan Species Important Values

for a Family (TSIVF) sebesar 84,24% disusul secara berurutan keluarga-keluarga

dari Euphorbiaceae 31.97%, Burseraceae 24.11%, Myrtaceae 15.89%, Fagaceae 13.72%, Lauraceae 11.62 %, Sapotaceae 11.51% , Myristicaceae

(18)

keberadaan mamalia di TN. Batang Gadis dan sekitarnya dari 26 menjadi 47 jenis. Di antara jenis mamalia yang tercatat dalam survei ini adalah harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjac), Landak (Hystrix brachyura) empat jenis primata, serta beberapa jenis kucing hutan yaitu : Kucing emas (Catopuma temmininckii), Kucing cengkok (Celis bengalensis), Macan dahan (Neofelis nebulosa). Sementara masyarakat juga menginformasikan adanya anjing hutan/ajak (Cuon alpinus) dan dua jenis berang-berang di TNBG (Balai TNBG, 2007).

Hasil Kajian Tim terpadu ini menjadi bahan pertimbangan bagi Menteri Kehutanan dalam proses pengambilan keputusan tentang pembentukan Taman Nasional Batang Gadis. Keputusan Menteri Kehutanan itu merupakan landasan kebijakan pengelolaan dan pelestarian kawasan Taman Nasional Batang Gadis. Hal ini menjadi sangat penting, karena proses penetapan Taman Nasional Batang Gadis berawal dari keinginan yang kuat dari seluruh elemen masyarakat Mandailing Natal. Keinginan yang kuat itu ditanggapi dan diperjuangkan oleh Pemerintah Daerah Mandailing Natal, sampai ditetapkannya Taman Nasional Batang Gadis. Ini bermakna, bahwa peran serta dan kerjasama masyarakat dan Pemerintah Daerah Mandailing Natal sejak dahulu sampai kini masih tetap kuat dalam pengelolaan, pemanfaatan dan pelestarian sumber daya hutan, tanah, air, danau, dan sumber daya alam lainnya (Harahap, 2004).

(19)

organisasi-organisasi non pemerintah terkait lainnya. Dengan pendekatan pengelolaan kolaboratif atau pengelolaan multipihak bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan kesinambungan keberdayaan serta memperbesar komitmen dari para pihak dalam pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis (Dinas Kehutanan Madina, 2004).

Partisipasi

Mengutip pendapat David-Case (1990) dikemukakan oleh Messerschmidt (1995) dalam Sardjono (2004), partisipasi merupakan pelibatan secara aktif pihak dalam ataupun pihak luar dalam seluruh keputusan yang terkait dnegan sasaran, tujuan dan kegiatan, maupun dalam implementasi kegiatan itu sendiri. Maksud daripada partisipasi itu sendiri adalah pelibatan secara aktif pihak dalam ataupun dari luar dalam seluruh keputusan yang terkait dengan sasaran, tujuan dan kegiuatan, maupun dalam implementasi kegiatan itu sendiri. Maksud daripada partisipasi itu sendiri adalah untuk mendorong kemandirian masyarakat sehingga tercapai pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Sementara Natapracha dan Stephens (1990) dalam Desmond (1996) dalam Sardjono (2004), partisipasi merupakan masyarakat sebagai suatu proses dimana masyarakat dilibatkan pada setiap tahap situasi yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Keterlibatan tersebut meliputi kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan dan pelaksanaannya, termasuk di dalamnya adalah penjajagan, perencanaan, implementasi, pemantauan, evaluasi dan distribusi keuntungan.

(20)

dilaksanakan. Disamping itu, dan tidak kalah pentingnya adalah membuat mereka menjadi lebih mandiri dan lebih mampu dalam mencoba menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang mungkin akan dihadapi selanjutnya pada saat dukungan teknis dan finansial dari pemerintah atau pihak luar lainnya dihentikan.

Dalam upaya meningkatkan keberhasilan pemeransertaan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, perlu diperhatikan dan dipelajari situasi lapangan. Memang benar bahwa masyarakat lokal tradisonal relatif homogen dalam arti antara lain berciri kelompok primer, ikatan-ikatan kekeluargaan dan kekerabatan (family and kindship ties) membentuk batasan-batasan dalam masyarakat dan menentukan kesetiaan (loyalties) dan solidaritas (soladarities). Akan tetapi, kondisi tersebut tidak berarti bahwa perbedaan kecil yang menyangkut kelompok-kelompok berkepentingan lebih kecil seperti didasarkan jenis kelamin (kelompok pria dan wanita), umur (golongan tua dan golongan muda), tingkat pendidikan (kelompok terdidik dan kurang terdidik), dan lain-lain bisa diabaikan (Sardjono, 2004).

(21)

Di samping itu, partisipasi dalam arti melibatkan masyarakat yang mewakili seluruh komponen yang ada semata tidak mencukupi untuk menunbuhkan kemandirian, bilaman tidak disertai dengan pembagian tanggung jawab. Tanggung jawab hanya dapat ditumbuhkan bilamana setiap pihak yang terlibat juga memberikan kontribusinya secara setara, tidak terkecuali masyarakat lokal sekitar hutan. Hal inilah yang mulai menggeser konsep pelibatan masyarakat kepada konsep bekerja bersama antar parapihak dengan menempatkan masyarakat sebagai salah satu komponen kuncinya (Sardjono, 2004).

Tipe – tipe Partisipasi masyarakat menurut Sardjono, (2004) :

1) Partisipasi Pasif (Passive participation). Masyarakat berperan serta dengan melalui pemberitahuan/arahan dari satu sisi (penyelenggara proyek/program kegiatan a.l. pemerintah atau perusahaan);

2) Partisipasi dalam Pemberian Informasi (Participation in Information Giving). Masyarakat berperan serta dengan sekedar menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka sehubungan dengan suatu kegiatan proyek/program kegiatan;

3) Partisipasi untuk Konsultasi (participation by Consultation). Berbeda dengan butir dua di atas, masyarakat di sini berperan serta dengan cara memberikan saran-saran/pandangan atas permasalahan yang sedang dihadapi dalam rangka suatu peroyek / program kegiatan ;

(22)

5) Partisipasi secara Fungsional (Functional participation). masyarakat berperan serta dengan membentuk kelompok-kelompok kecil guna memenuhi tujuan proyek / program kegiatan yang telah ditetapkan;

6) Partisipasi Interaktif (Interactive participation). Masyarakat berperan serta dalama analisis bersama pelaksana proyek/program kegiatan melalui upaya memfungsikan peran kelembagaan yang sudah ada di masyarakat. Tipe partisipasi ini yang umum dikembangkan saat ini ;

7) Mobilisasi secara Mandiri (Self-mobilization). Masyarakat berperan serta dalam suatu proyek/program kegiatan berdasarkan inisiatif sendiri tanpa tergantung dengan pihak luar.

Prinsip- prinsip partisipasi menurut Djohani, dkk., (1996) adalah:

Cakupan. semua orang, atau wakil-wakil dari semua kelompok yang

terkena dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses-proyek pembangunan misalnya.

Kesetaraan dan Kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya setiap

orang mempunyai ketrampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak.

Transparansi. Semua pihak harus dapat menumbuh-kembangkan

(23)

Kesetaraan Kewenangan (Sharing Power / Equal Powership). Berbagai

pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi.

Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak

mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya.

Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas

dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain

Kerjasama. Diperlukan adanya kerjasama berbagai pihak yang terlibat

untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumberdaya manusia.

Hambatan-hambatan yang kerap menghambat menurut Djohani, dkk., (1996) antara lain:

(24)

• Hambatan Kebijakan. Meskipun kebijakan tingkat tinggi telah memperkenalkan pendekatan partisipatif, namun visi, misi serta program lembaga pemerintah masih mengikuti pendekatan top-down. Hal ini diperparah lagi oleh para manajer senior dan pembuat kebijakan yang masih memakai cara-cara lama dalam pengambilan kebijakan, yaitu dengan mengeluarkan Surat Keputusan dan Petunjuk Pelaksanaan.

• Hambatan sistem manajemen. Sebagian besar bahkan nyaris semua- sistem manajemen dalam lembaga pemerintah masih mengikuti "Model Perencanaan Mekanistik" dimana "para ahli" di tingkat pusat menyiapkan "cetak biru" untuk dilaksanakan oleh petugas lapangan. Alokasi dana dan sistem manajemen dirancang untuk mendukung proyek mencapai hasil-hasil fisik. Sedang sistem monitoring dan evaluasi didesain untuk mengukur pengeluaran dan pembelanjaan ketimbang mengetahui hasil dan dampak yeng telah dicapai. Sistem perencanaan bottom-up yang dulu tidak berfungsi, kini sudah mulai digunakan untuk menyusun rencana pembangunan daerah, sehingga pada akhirnya nanti proyek akan dibiayai dari anggaran pemerintah daerah. Sayangnya, meski angin desentralisasi telah dihembuskan ke daerah, namun nyaris tidak ada saran yang diberikan kepada pemerintah daerah mengenai sistem yang selayaknya mereka bangun. Situasi ini akan terus menghidupkan sistem top-down dan sentralistik.

(25)

ditengah-tengah mereka. Karenanya pelatihan sangat diperlukan untuk melengkapi mereka dengan keahlian baru yang kelak akan berguna.

Masyarakat Lokal

Istilah masyarakat didefinisikan dalam bahasa yang berbeda oleh para ahli sosiologi, akan tetapi secara umum mengandung persamaan pemahaman, yaitu, menjelaskan: sekelompok manusia, yang hidup bersama pada suatu wilayah geografis tertentu, sehingga memilki budaya yasng sama, dan (lebih penting lagi) dapat bertindak secara terintegrasi dalam mencapai tujuan kolektif. Dalam pemahaman luas dapat meliputi suatu bangsa atau secara sempit dapat dipandang sebagi suatu kampung. Penggunaan istilah “lokal” dimaksudkan untuk mengartikulasikan, masyarakat ‘manakah’ yang dimaksud, atau membedakan antara suatu persekutuan hidup dimaksud dengan ‘siapa- siapa’ yang tidak termasuk didalamnya (Sardjono, 2004).

Masyarakat Lokal (Pemerintah: SK Menteri Kehutanan No. 31/ Kpts II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan) yaitu :

“Kesatuan sosial yang terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang tinggal

di dalam dan/ atau di sekitar hutan, yang membentuk komunitas, yang didasarkan

pada mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, yang membentuk

komunitas, yang didasarkan pada mata pencaharian yang berkaitan dengan

hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib

kehidupan bersama”

(26)

temurun bertempat tinggal didalam dan di sekitar hutan sehingga memiliki keterikatan kehidupan (termasuk teknologi dan norma budaya) serta penghidupan (meliputi subsistensi dan pendapatan) bersama atas hasil hutan dan / atau lahan hutan (Sardjono, 2004).

Menurut Sardjono (2004), sebenarnya sulit untuk mencari alasan yang sangat ‘akurat’ dalam hal ini. Akan tetapi secara pemikiran logis (common sense), adalah adil bila masyarakat adat memperoleh prioritas kepentingan terhadap sumberdaya alam setempat lebih tinggi daripada kelompok pendatang, karena:

• ditinjau baik dari sisi sejarah kehadirannya (yang seharusnya lebih dulu)

• keterikatan dan tanggung jawab bagi masa depan sumberdaya (yang seharusnya lebih besar)

• implementasi kelembagaan (yang seharusnya lebih membudidaya)

• pengakuan yang diberikan oleh pihak- pihak luar atas sumberdaya (yang seharusnya lebih kuat)

(27)

kepercayaan terhadap kehadiran tenaga supranatura dalam bentuk tempat dan larangan masuk daerah keramat masih sangat kuat.

Menurut Sardjono (2004), tipologi masyarakat lokal hanya akan dibedakan atas dasar dua kelompok yang lebih umum, yaitu :

1. Masyarakat Lokal tradisional (Local Traditional Community)

Yaitu masyarakat yang sudah turun- temurun di dalam atau sekitar hutan, baik yang saat ini sudah atau belum bertempat tinggal pada suatu desa yang defenitif, tetapi masih memiliki dan mempraktekkan kelembagaan (organisasi, struktur dan norma) adat dan teknologi tradisionalnya dalam kehidupan sehari- hari (termasuk dalam mengelola sumberdaya hutan sebagai sumber utama kehidupan dan penghidupan di samping kegiatan perladangan dan perkebunan tradisional).

(28)

demografinya heterogen (multietnik), lokasinya tersentuh dengan beberapa program pembangunan (khususnya sarana dan prasarana sosial- ekonom, pendidikan dan kesehatan), motivasi dan orientasi semi-komersial hingga komersial mulai mewarnai kehidupan perekonomian masyarakat.

Kelembagaan

Meskipun secara historis pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan telah cukup memadai. Namun peningkatan terus menerus kualitas teknis dan produktivitas lahan hutan masih cukup relevan untuk dilakukan saat ini, terutama untuk menghindari ekstraktivitas dalam pengusahaan sumberdaya hutan. Selain itu, masyarakat yang fungsional dan mandiri, yang banyak disyaratkan oleh pemerintah, terutama dalam kaitannya dengan skenario redistribusi sumberdaya alam yang banyak diperbincangkan akhir-akhir ini. Kelembagaan yang fungsional dan mandiri tersebut penting agar hak dan akses pengelolaan yang akan diberikan tidak diterapkan dalam skema penguasaan yang horizontal dan anarkis, melainkan melalui pendekatan kolektif yang diorientasikan kepada kesejahteraan seluruh masyarakat. Dengan demikian, obsesi menjadikan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga lokal yang ada di masyarakat untuk peran pengaturan fungsi hutan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi dan konservasi dapat terlaksana (Awang, dkk., 2000).

(29)

masih sangat beragam, namun dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan, khususnya mengenai pelestarian peran, manfaat dan fungsi hutan, masyarakat sudah memiliki pola kelembagaan yang berperan mengatur kegiatan, membangun, memanfaatkan dan menjaga sumberdaya hutan. Dalam kehidupan sehari-hari, kelompok/institusi ini memiliki corak yang beragam, baik dalam jenis, bentuk maupun kegiatannya, sesuai dengan yang dikembangkan sendiri oleh masyarakat (Awang, dkk., 2000).

(30)

merupakan sarana ampuh dalam memperjuangkan kembalinya hak penguasaan sumberdaya alam termasuk hutan (Sardjono, 2004).

Komponen dan Fungsi Kelembagaan

Menurut Babbie (1994) dalam Sardjono (2004), dari sisi sosiologi ada empat komponen utama kelembagaan, yaitu: norma (norms), sanksi (sanctions), nilai (values), dan kepercayaan (beliefs). Norma menekankan pada tingkah laku yang dituntut dari masyarakat secara keseluruhan (tidak terikat dengan status sosial yang disandang). Sedangkan sanksi, adalah instrument yang terikat pada norma dalam bentuk penghargaan (reward) dan hukuman (punishments). Sanksi diharapkan dapat menjamin terlaksananya norma dimaksud. Nilai, lebih ditekankan pada hal-hal yang lebih disukai (atau yang tidak disukai) dalam rangka menetapkan norma yang dipilih. Nilai akan dijustifikasikan melalui basis kepercayaan yang berkembang di kelompok. Sedangkan pola kelembagaan secara total akan membentuk budaya.

Kelembagaan sebenarnya memiliki fungsi penting dalam mengatur hubungan antara manusia dengan sumberdaya alam (termasuk hutan) agar tetap bisa berfungsi lestari, serta menjamin hubungan antar manusia dalam masyarakat (bisa warga satu desa yang sama dan atau antar desa bertetangga) agar tetap harmonis (Sardjono, 2004).

(31)

sah dan layak apabila sesuai dengan adat. Apa yang menjadi hukum adalah kebiasaan yang sudah diterima oleh masyarakat yang bersangkutan. Bilamana terdapat pelanggaran terhadap adat kebiasaan itu, maka sanksi hukum biasanya ditetapkan oleh kepala adat setempat yang bentuk putusannya pun tidak tertulis (Sardjono, 2006).

Penguatan Identitas

Masyarakat desa hutan secara historis kultural memiliki karakteristik khas yang dianggap sebagai identitas bersama, yaitu sistem tata nilai budaya yang arif, kelembagaan lokal yang mengakar, dan terikat oleh lingkungan sumber daya hutan. Sistem tata nilai budaya, kelembagaan lokal, dan keterikatan masyarakat desa hutan atas lingkungan sumber daya hutan mengalami kemarginalan. Realita ini memberi perhatian (warning) ancaman akan bahaya kepunahan masyarakat desa hutan. Atas dasar itu perlu dilakukan suatu upaya penguatan (revitalitation) dari identitas bersama masyarakat desa hutan. Ada 3 upaya yang dapat segera dilakukan guna mengeksistensikan kembali identitas bersama masyarakat desar hutan, yaitu (1) penguatan sistem tata nilai budaya, (2) penghidupan kembali sistem kelembagaan lokal, dan (3) optimalisasi potensi sumber daya hutan (Nugraha dan Murtijo, 2005).

(32)

melangkah untuk menapak jalan kehidupan yang pasti. Kebijakan struktural kelembagaan dari pemerintah pusat mengakibatkan tercerai berainya sistem kelembagaan masyarakat desa hutan yang berakar pada sistem tata nilai budaya lokal. Bercermin pada realita tersebut, maka langkah prioritas yang segera harus dilakukan untuk mewujudkan eksistensi masyarakat desa hutan adalah penghidupan kembali sistem kelembagaan lokal. Hal ini didasarkan oleh sisi positif kelembagaan lokal masyarakat, yaitu berakar pada sistem tata nilai budaya masyarakat lokal, struktur kelembagaan yang demokratis, tingkat partisipasi yang tinggi, dan selaras dengan nafas desentralisasi. Atas dasar itu, upaya yang segera dapat dipersiapkan untuk menghidupkan kembali kelembagaan lokal sebagai wujud aktualisasi kembali masyarakat desa hutan, adalah : (1) identifikasi kelembagaan lokal yang pernah ada, (2) merevitalisasi kelembagaan lokal dengan mengadopsi aspek positif kelembagaan sekarang, (3) sosialisasi kelembagaan, dan (4) penerapan akulturasi kelembagaan di masyarakat (Nugraha dan Murtijo, 2005).

Kebijakan Dasar Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis

(33)

keputusan birokrasi yang top down menjadi buttom up (Dinas Kehutanan Madina, 2004).

Dengan demikian maka kebijakan dasar pengelolaan TNBG menurut Dinas Kehutanan Madina (2004), dapat ditetapkan sebagai berikut :

a. Pengelolaan TNBG dilakukan secara holistic, terencana dan berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan barang, jasa maupun pelestarian lingkungan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

b. Pengnelolaan TNBG dilaksanakan secara kolaboratif antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan stakeholder yang bertanggungjawab dengan pendekatan taman nasional dan kawasan pendukungnya sebagai suatu kawasan pengelolaan.

c. Pengelolaan TNBG dilaksanakan secara partisipatif dan konsultatif pada tiap tingkatan untuk mendorong tumbuhnya komitmen bersama antar pihak yang berkepentingan (stakeholder). Perlu diciptakan kondisi yang memungkinkan partisipasi masyarakat guna mengurangi secara bertahap baban pemerintah dalam pengelolaan TNBG.

d. Sasaran wilayah pengelolaan TNBG adalah wilayah TNBG dan wilayah pendukungnya secara utuh menjadi satu kesatuan ekosistem.

Pengorganisasian dan Kelembagaan Pengelolaan TNBG

(34)

bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan kesinambungan keberdayaan serta memperbesar komitmen dari para pihak dalam pengelolaan TNBG (Dinas Kehutanan Madina, 2004).

Pengaruh Taman Nasional Batang Gadis

Menurut Dinas Kehutanan Madina (2004), keberadaan taman nasional harus dapat lebih meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat antara lain :

1. Persepsi dan kesadaran konservasi pada masyarakat.

2. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan taman nasional.

3. Pengembangan sistem zonasi kawasan taman nasional yang dapat mengakomodasi peningkatan kesejahteraan masyarakat :

a. Zona pemukiman khusus/enclave

b. Zona pemanfaatan khusus/tradisional (pemanfaatan non-kayu) c. Zona rehabilitasi (rehabilitasi kawasan melibatkan masyarakat) 4. Pelatihan dan penguatan kelembagaan masyarakat

a. Pelatihan di bidang jasa pelayanan dan pengusahaan wisata alam b. Bantuan teknis dan nasehat di bidang pengusahaan berbasis

(35)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sopotinjak, Kecamatan Batang Natal, dan Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Tambangan, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara, yang dilaksanakan pada bulan April-September 2007.

Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kajian deskriptif yang bersifat eksploratif, pengumpulan data dilakukan dengan mengkombinasikan Metode Telaahan Dokumentasi (Documentation Study) dari berbagai sumber data sekunder dan Metode Langsung (Direct Methods) yaitu pengumpulan data primer di lapangan dengan teknik wawancara (dengan dan tanpa kuesioner) dan observasi lapangan.

Objek Penelitian

Penelitian ini melibatkan lembaga yang terkait dengan pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis dengan obyek penelitian:

(1) Lembaga formal (2) Lembaga non-formal

Metode Pengumpulan Data

Teknik dan Tahapan Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan secara langsung di lapangan (daerah terpilih sebagai lokasi kajian). Tahapan yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut:

(36)

• Wawancara

Wawancara adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada para responden (Subagyo, 1997). Wawancara ini dilakukan kepada pihak lembaga yang ada untuk memperoleh informasi mengenai proses pelaksanaan kebijakan kelembagaan.

• Observasi

Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan (Subagyo, 1997). Observasi atau pengamatan langsung ini dilakukan terhadap kondisi dan peran kelembagaan tersebut. 2. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari arsip-arsip lembaga, pustaka

maupun publikasi yang dibuat oleh instansi terkait.

Analisis Data

Keseluruhan data, baik primer maupun sekunder, selanjutnya di edit (untuk menghilangkan keraguan data) dan ditabulasikan sesuai dengan kebutuhan sebelum dilakukan pengolahan dan analisis data.

(37)

Untuk jelasnya tentang tujuan studi, sumber dan metode, data kunci, serta hasil yang diharapkan dalam penelitian disajikan secara matrik pada Tabel 1. Tabel 1. Matrik Metodologi yang Digunakan dalam Penelitian.

Tujuan Studi Data Kunci Sumber dan Metoda Kondisi alam : Tipe bentang alam, iklim, yang ada pada lembaga

(38)

DESKRIPSI UMUM LOKASI PENELITIAN

Daerah Lokasi Studi

Pada awalnya, Kabupaten Mandailing adalah wilayah bagian administrasi Kabupaten Tapanuli Selatan. Kabupaten Madina resmi berpisah dari Kabupaten Tapanuli Selatan pada tanggal 23 November 1998, yang ditetapkan melalui UU Nomor 12 tahun 1998. Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari 8 kecamatan dengan 273 desa dan kelurahan saat dimekarkan pada 1998. Sejak 2003, jumlah kecamatan dan desa bertambah menjadi 17 kecamatan, 322 desa, dan 7 kelurahan. Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) berada pada Pegunungan Bukit Barisan Sumatera bagian Utara secara administrasi berlokasi di Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Dari 17 kecamatan tersebut, ada 10 kecamatan yang berada dalam wilayah TNBG, yaitu Kecamatan Panyabungan Utara, Panyabungan Selatan, Panyabungan Barat, Ulu Pungkut, Tambangan, Kotanopan, Lembah Sorik Marapi, Siabu, Bukit Malintang, dan Batang Natal. Tujuh puluh satu desa yang berada dalam 10 kecamatan tersebut, bersinggungan langsung dengan kawasan Taman Nasional Batang Gadis, dan dua diantaranya adalah Desa Sopotinjak dan Desa Sibanggor Julu.

Kondisi Geografis

(39)

sebelah utara, dengan Provinsi Sumatera Barat di selatan dan timar, dengan Samudera Hindia di sebelah barat.

Topografi wilayah Kabupaten Mandailing Natal terbagi atas tiga bagian, yaitu dataran rendah dengan kemiringan 0'-2' di bagian pesisir pantai barat, dengan luas daerah sekitar 160.500 Ha (24,24%); daerah landai dengan kemiringan 2'-15' seluas 36.385 Ha (5,49%); dataran tinggi dengan kemiringan 7'-40' yang terbagi atas dua yaitu daerah perbukitan dengan luas 112.000 ha (16,91) dengan kemiringan 15'-40', daerah pegunungan seluas 353.185 ha (53,34%) dengan kemiringan 7'-40'.

Dengan topografi yang dominan dataran tinggi, pegunungan dan perbukitan, maka tidak mengherankan jika di daerah Madina terdapat banyak aliran sungai besar dan kecil. Beberapa sungai yang besar di daerah ini antara lain adalah Batang Gadis, Batahan, Batang Natal, Kunkun, dan Parlampungan. Sungai Batang Gadis tercatat sebagai sungai yang terpanjang di daerah ini, dengan panjang 137,50 km. Di gugusan Pegunungan Bukit Barisan yang melintasi wilayah Madina juga terdapat gunung dan bukit yang tinggi-tinggi. Gunung Kulabu dan Gunung Sorik Marapi adalah dua diantaranya yang tergolong paling tinggi. Gunung Sorik Marapi (2.145 mdpl) termasuk gunung api yang masih aktif hingga sekarang.

Kondisi Desa Sibanggor Julu

(40)

tanah pertanian di sekitarnya. Desa Sibanggor Julu merupakan desa yang paling dekat dengan puncak Gunung Sorik Marapi sehingga menjadikan Desa Sibanggor Julu terkategori sebagai daerah bahaya dengan jarak hanya 4,5 km dari puncak. Luas daerah Sibanggor Julu menurut catatan resmi pemerintah (BPS/Kecamatan Tambangan Dalam Angka 2006) adalah 499,51 ha dengan jumlah penduduk 1.260 jiwa. Batas wilayah Desa Sibanggor Julu adalah Sibanggor Tonga di sebelah utara, Gunung Sorik Marapi, Tor Aek Silai-lai dan anak gunung Sorik Marapi di sebelah selatan, dan Huta Lombang di sebelah timur.

Mayoritas penduduk Desa Sibanggor Julu sebenarnya bermarga Tanjung, baru disusul oleh penduduk bermarga Nasution, Lubis dan Batubara. Secara tradisional Desa Sibanggor Julu termasuk kawasan Mandailing Godang, karena itu klen Nasution menjadi raja huta di Sibanggor Julu mengikuti tradisi kawasan Mandailing Godang yang dipimpin oleh raja-raja bermarga Nasution.

Pemukiman penduduk di Desa Sibanggor Julu dikelilingi oleh lahan pertanian berupa sawah, tegalan, kebun karet dan hutan. Mayoritas penduduk Desa Sibanggor Julu hidup dari sektor pertanian. Hasil utama dari Desa Sibanggor Julu adalah padi, gula aren, karet, sayur-sayuran dan beberapa jenis hasil hutan. Karena posisinya yang berada di lereng bukit, hampir semua lanskap wilayah desa berada dalam kemiringan di atas 25%, sehingga pengaturan rumah-rumah penduduk juga disusun berbanjar mengikuti kontur tanah perbukitan.

(41)

lain karena sarana transportasi yang cukup ramai mengisi jalur kawasan Hutanamale Sibanggor dengan Panyabungan.

Desa Sibanggor Julu terdapat 1 unit sekolah SD dan 1 unit madrasah Ibtidaiah/Tsanawiyah. Sarana peribadatan terdiri dari 1 mesjid dan 4 surau, sementara sarana kesehatan ada satu.

Kondisi Desa Sopotinjak

Luas Desa Sopotinjak menurut catatan resmi (Kecamatan Batang Natal Dalam Angka 2006) adalah 1733,45 dengan jumlah penduduk 223 jiwa. Desa Sopotinjak berada di lereng bukit terusan dari Tor Pangolat, diapit di sebelah utara oleh bukit Tor Marogung, di sebelah selatan oleh Tor Jilok dan sebelah barat daya oleh Tor Sialangan. Tempat ini mudah dikenali karena letaknya di tempat ketinggian yang berjarak sekitar 15 km sebelum daerah Muara Soma, ibukota Kecamatan Batang Natal. Awalnya, Desa Sopotinjak mempunyai anak desa yaitu Bulu Soma, Namur Sejak akhir tahun 2005 daerah Bulu Soma telah berubah status menjadi desa.

Desa Sopotinjak berada dalam wilayah administratif Kecamatan Batang Natal. Batas wilayah Desa Sopotinjak adalah sebelah barat berbatasan dengan Desa Bulu Soma, sebelah timur berbatasan dengan wilayah Panyabungan Selatan, sebelah utara berbatasan dengan wilayah Panyabungan Utara, dan bagian selatan berbatasan dengan Lembah Sorik Marapi Kecamatan Tambangan.

(42)

fauna. Desa Sopotinjak memiliki kemiringan tanah yang cukup tinggi. Daerah Sopotinjak merupakan daerah hulu sungai Batang Natal.

Mayoritas masyarakat Desa Sopotinjak adalah masyarakat suku Mandailing. Klan Daulay menurut masyarakat desa adalah yang pertama kali membuka kampung Sopotinjak, dimana pada awalnya Desa Sopotinjak berada pada daerah atas, lalu pindah ke daerah yang sekarang ini. Hingga saat ini klan yang mendiami Desa Sopotinjak adalah klan Lubis, Nasution, Matondang, Rangkuti. Berdasarkan gambaran tersebut dapat dilihat kebudayaan yang berkembang adalah kebudayaan Mandailing dan bahasa seharí-hari yang digunakan juga bahasa Mandailing.

Mata pencaharian utama penduduk Sopotinjak adalah bertani dan mengambil hasil hutan. Tanaman perkebunan masyarakat umumnya adalah tanaman keras, sedangkan tanaman palawija banyak ditanam di pekarangan rumah penduduk. Mereka mengelola sawah, ladang dan kebun kulit manis. Daerah persawahan berada di bawah pemukiman di antara perbatasan Desa Sopotinjak dengan daerah desa Bulusoma. Desa Sopotinjak berada lebih kurang 34 km dari Kecamatan Panyabungan. Untuk menuju tempat ini tidak sulit, angkutan yang lewat cukup banyak karena desa ini berada di jalan lintas antara Panyabungan menuju Natal.

(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan Pengelolaan TNBG

Balai TNBG adalah organisasi pelaksana teknis pengelolaan Taman Nasional yang berada di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Balai TNBG melakukan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan TNBG berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku yakni Peraturan Menteri Kehutanan No.P.19/Menhut-II/2004.

Balai TNBG melaksanakan tugas dengan menyelenggarakan fungsi (Balai TNBG, 2007) :

a. Penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan kawasan TNBG

b. Pengelolaan kawasan TNBG

c. Penyidikan, perlindungan dan pengamanan kawasan TNBG d. Pengendalian kebakaran hutan

e. Promosi, informasi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya f. Pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumber daya

(44)

g. Kerjasama pengembangan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan

h. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan TNBG

i. Pembangunan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam j. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga

Balai TNBG termasuk taman nasional tipe A dengan struktur organisasi sebagai berikut:

Gambar 1. Struktur Organisasi Balai TNBG Keterangan :

SPTN = Seksi Pengelolaan Taman Nasional PEH = Pengendali Ekosistem Hutan

Polhut = Polisi hutan

(Sumber : Balai TNBG, 2007)

Sebagai salah satu taman nasional yang baru Balai TNBG saat ini masih memiliki sarana dan prasarana yang sangat terbatas diantaranya terdapat gedung

Kepala Balai

Panyabungan

Ka Sub Bag TU

Panyabungan

Kepala SPTN I

Siabu

Kepala SPTN II

Kotanopan

Kepala SPTN III

Muarasoma

Fungsional

(45)

kantor balai di Panyabungan, kendaraan dinas roda empat 2 unit, kendaraan roda dua 3 unit. Untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya masih sangat perlu meningkatkan sarana dan prasarananya.

Visi dan Misi Pengelolaan

Pengelolaaan TNBG mempunyai visi yaitu : “Terwujudnya Taman Nasional Batang Gadis yang lestari dan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat yang didukung semua pihak”

Untuk mencapai visi tersebut diupayakan melalui misi pengelolaan TNBG, sebagai berikut:

1. Mewujudkan keamanan dan keutuhan kawasan dengan meingkatkan peran serta masyarakat.

2. Mewujudkan kelestarian flora dan fauna serta ekosistem dalam kawasan TNBG.

3. Mewujudkan pengembangan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistem TNBG melalui pemanfaatan secara lestari dan berkelanjutan.

4. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat sekitar dan upaya meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

5. Mengoptimalkan kelembagaan pengelolaan dan kerjasama kemitraan untuk mendukung TNBG.

(46)

dilaksanakan. Program dan kegiatan TNBG diantaranya akan disampaikan pada uraian berikut.

Program dan Kegiatan Pengelolaan TNBG Tahun 2007

i. Program Pemantapan Keamanan Dalam Negeri

Program ini dilaksanakan melalui kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan diantaranya Operasi Pengamanan Hutan (Operasi Pengamanan Fungsional, operasi pengamanan kawasan di tiga seksi pengelolaan taman nasional) patroli pengamanan kawasan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pengamanan kawasan.

Melalui kegiatan ini diharapkan terjaganya keamanan kawasan hutan dari perambahan dan kejahatan kehutanan lainnya.

ii. Perlindungan dan Konservasi SDA

Program ini dilaksanakan melalui kegiatan:

1. Pengelolaan Taman Nasional yakni inventarisasi permasalahan kerusakan kawasan, sosialisasi pengelolaan TNBG ke desa-desa sekitar kawasan, sosialisasi rencana pengelolaan TNBG ke instansi terkait, identifikasi ketergantungan masyarakat terhadap TNBG.

2. Pengembangan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam yakni pengembangan pemanfaatan wisata alam dan inventarisasi objek dan daya tarik wista alam.

(47)

Permasalahan Pengelolaan TNBG

Masalah yang sering ditemukan saat ini adalah batas kawasan yang belum jelas di lapangan sehingga masyarakat tidak mengetahui batas atau pura-pura tidak mengetahui. Hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi dari pihak Balai TNBG dikarenakan pada saat penentuan batas kawasan pihak Balai TNBG hanya melibatkan beberapa anggota masyarakat yang kemudian tidak dilakukan sosialisasi lebih lanjut dari pihak masyarakat.

Selain itu sebagai salah satu taman nasional yang baru masalah keterbatasan sarana dan prasarana serta tenaga menjadi sesuatu perhatian yang saat ini masih perlu ditingkatkan untuk efisiensi dan efektifitas pengelolaan TNBG.

Terkait dengan keseluruhan sistem pengelolaan taman nasional Indonesia, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) tidak dapat diharapkan untuk dapat menangani semua aspek pengelolaan kawasan konservasi. Terlebih lagi pada era krisis ekonomi dan politik, di mana anggaran pemerintah untuk taman nasional mengalami penurunan signifikan, sementara tekanan terhadap kawasan terus meningkat tajam. Atas pertimbangan tersebut, pengembangan mekanisme alternatif sangat diperlukan untuk memperkuat sumberdaya keuangan, sosial, dan teknis dalam pengelolaan kawasan konservasi. Mekanisme alternatif yang dimaksud adalah kemitraan atau kolaborasi dimana organisasi yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan para stakeholder lain menerapkan kerjasama.

(48)

mengikutsertakan para pemangku kepentingan baik sektor swasta, pemerintah, LSM, dan masyarakat untuk memaduserasikan pembangunan berkelanjutan dan pengelolaan konservasi. Pendekatan tersebut dapat memperkuat jaringan antar para pemangku kepentingan dan dapat menciptakan proses-proses yang lebih transparan baik untuk kegiatan pembangunan maupun konservasi.

Keberhasilan dari suatu kemitraan dapat dilihat dari sejauhmana sumberdaya keuangan atau kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan langsung dengan taman nasional dapat dimobilisir dan dimanfaatkan secara bersama. Sejauh ini, kemitraan TNBG berjalan dengan lancar, kapasitas organisasi dan sumberdaya (mis. Waktu, pengetahuan, keterampilan, informasi, hadir dalam rapat-rapat) untuk memberikan kontribusi terhadap pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan.

Kelembagaan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan TNBG

Kelembagaan Desa Sopotinjak

Lembaga formal yang ada di Desa Sopotinjak ini adalah pemerintahan desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Fungsi pemerintahan desa dan BPD ini belum berjalan secara optimal. Secara formal kedudukan kepala desa saat ini dijabat oleh Suharman Nasution. Sementara BPD, diketuai oleh Ali Hasan dan beranggotakan lima orang yang juga belum berjalan sesuai fungsinya.

(49)

pemerintahan desa sehingga setiap urusan yang menyangkut desa sampai saat ini dilakukan di rumah kepala desa.

Lembaga lainnya yang bersifat non-formal/adat adalah perkumpulan pemuda-pemudi (naposo nauli bulung) dan Hatobangun (para pemuka masyarakat) yang sudah terbentuk sejak terbentuknya Desa Sopotinjak. Perkumpulan Naposo Bulung dan Nauli Bulung adalah mereka yang berusia muda dan belum menikah. Mereka banyak membantu dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan peristiwa sukacita maupun dukacita, perayaan hari-hari besar keagamaan, dan mengelola kolam ikan milik perkumpulan Sopotinjak. Hatobangon adalah tokoh pemuka masyarakat yang mempunyai peranan sebagai

penasehat dalam kehidupan sosial masyarakat. Pada umumnya Hatobangon ikut campur dalam menyelesaikan masalah atau konflik, dimana aturan dan norma yang ada dalam lembaga adat ini tidak tertulis tapi masyarakat menghormati dan menjunjung tinggi adat ini.

Kaitan Desa Sopotinjak dengan Taman Nasional Batang Gadis

(50)

satu-satunya jalan bagi masyarakat desa untuk memenuhi kebutuhan air bersih adalah dengan memanfaatkan sumber-sumber air yang terdapat di lereng-lereng bukit. Peraturan lisan mengenai penjagaan sumber air dan penebangan hutan pada bagian daerah tangkapan air sekarang ini sudah makin dikuatkan melalui Peraturan Desa, untuk mempertegas sikap masyarakat Desa Sopotinjak mengenai penjagaan sumber air.

Air di desa Sopotinjak berasal dari Saba Begu yang terletak di sebelah kiri jalan menuju Natal, tepatnya di ujung Putusan sebelah kiri tempat peristirahatan Paranginan. Sumber air ini sengaja diberi nama Saba Begu agar masyarakat desa tidak berani untuk mengusiknya atau mengganggu areal persawahan ini. Air Saba Begu ini berasal dari danau yang berada diatas persawahan yang dikelilingi hutan. Dengan mendengar namanya saja masyarakat tidak berani mengganggu areal persawahan dan danau tersebut karena termasuk ‘na borgo-borgo’ (tempat terlarang). Tugas masyarakat Sopotinjak terutama Naposo Bulung ialah menjaga air yang keluar dari Saba Begu agar tidak terjadi kebocoran sampai ke Desa Sopotinjak dengan membuat tali air.

Menurut masyarakat Sopotinjak, kawasan hutan lindung hanya berubah nama yang sekarang menjadi Taman Nasional Batang Gadis yang terletak di bagian luar daerah pemukiman desa. Setiap masyarakat Desa Sopotinjak mengetahui batas dari hutan lindung desa. Batas hutan lindung desa Sopotinjak lebih dikenal dengan istilah batas Bezwezen. Batas ini adalah batas hutan lindung yang ditetapkan sejak zaman Belanda yang tidak diganggu sejak dahulu.

(51)

yang ada. Sehingga pada umumnya masyarakat Sopotinjak setuju dengan rencana TNBG walaupun saat ini mereka belum mengerti pengelolaan kolaborasi yang bagaimana yang akan dijalankan.

Setelah Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) diresmikan, setiap desa yang bersentuhan dengan TNBG membentuk suatu Organisasi Konservasi Rakyat (OKR). Anggota OKR adalah masyarakat desa itu sendiri, yang bertujuan sebagai pegawai, dan pengelola langsung TNBG. OKR Desa Sopotinjak berdiri pada tanggal 11 Maret 2005 yang saat ini diketuai oleh Syahrin Lubis dan jumlah anggotanya hingga tahun 2006 sebanyak 68 orang.

Kelembagaan Desa Sibanggor Julu

Lembaga formal yang ada di Desa Sibanggor Julu ini adalah pemerintahan desa, BPD, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Secara formal kedudukan kepala desa saat ini dijabat oleh Edy Safri Lubis. Sementara itu, BPD Sibanggor Julu diketuai oleh Imbaloh dan beranggotakan empat orang. LPM di desa ini diketuai oleh Nasaruddin. Fungsi lembaga pemerintahan desa belum berjalan secara optimal karena para perangkat pemerintahan desa ini baru saja terpilih pada bulan Juli 2007 sehingga belum ada aktivitas yang berjalan. Desa Sibanggor Julu ini tidak memiliki kantor resmi pemerintahan desa sehingga setiap urusan yang menyangkut desa sampai saat ini dilakukan di rumah kepala desa.

(52)

Salah satu wujud struktur sosial yang hingga kini masih kuat dalam kehidupan komunitas desa adalah pengelompokan warga atas kelompok klen patrilineal (marga yang sama), atau bagian dari suatu kelompok klen yang merujuk kepada satu kakek bersama. Satuan sosial yang disebut “saparkahanggion” tersebut biasanya memiliki seorang pimpinan yang dituakan yang disebut hatobangon. Masing-masing kelompok marga memiliki hatobangon sendiri.

Kelompok remaja atau pemuda-pemudi yang belum berumah tangga dalam Bahasa Mandailing disebut dengan istilah Naposo Bulung (putra) dan Nauli Bulung (putri). Mereka berhimpun dalam sebuah wadah lembaga informal yang

disebut Persatuan Naposo dan Nauli Bulung. Keberadaan persatuan ini sebenarnya sudah lama muncul dalam kehidupan masyarakat Mandailing. Bermula dari fungsi mereka dalam setiap upacara adat (horja), baik yang berkaitan dengan peristiwa sukacita maupun dukacita, kelompok naposo-nauli bulung menjadi penyangga yang sangat penting dalam setiap penyelenggaraan

upacara adat. Ada sejumlah kegiatan yang menjadi tanggung jawab mereka dalam setiap penyelenggaraan horja, misalnya mengundang, mengumpul kayu bakar, melayani pada jamuan makan, dan lain sebagainya. Dengan atau tanpa struktur organisasi, lembaga naposo-nauli bulung secara faktual selalu menjalankan peran-peran yang menjadi tanggung jawab mereka secara adat.

(53)

pengutipan beras jimpitan untuk keperluan pembangunan sarana publik di desa, mengumpulkan retribusi pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam di Desa Sibanggor Julu ini.

Kaitan Desa Sibanggor Julu dengan Taman Nasional Batang Gadis

Beberapa bentuk kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alam yang teridentifikasi antar lain adanya pengetahuan dan pantangan untuk tidak menebang pohon “sampinur” jika sedang membuka lahan hutan. Pohon tersebut diyakini banyak menyimpan air, sehingga ketika musim hujan datang pohon ini dapat menyimpan air yang akan berguna jika tiba musim kemarau. Pengetahuan mengenai pentingnya memelihara kawasan hutan yang menjadi sumber mata air juga masih menjadi rujukan dalam pengelolaan lahan, sehingga warga tidak dibolehkan untuk membuka lahan hutan di bagian-bagian hulu sungai karena akan menyebabkan terganggunya pasokan air untuk menjaga kehidupan masyarakat.

(54)

tentang tujuan dari TNBG, akhirnya masyarakat dapat memahami kehadiran TNBG, yakni kehadiran TNBG sebagai suatu cara yang tepat untuk menyelamatkan keberadaan hutan dan kekayaan alam yang ada di dalamnya serta memberi peluang bagi masyarakat untuk meningkat taraf hidup dan menjamin kelangsungan hidup jangka panjang dengan tidak mempersempit ruang gerak masyarakat mencari nafkah.

Sama halnya dengan Desa Sopotinjak, Desa Sibanggor Julu juga membentuk OKR pada tahun 2005 lalu, yang saat ini diketuai oleh Mizwar Nasution dan beranggotakan seluruh masyarakat desa Sibanggor Julu.

Selain itu, terbentuk juga Lembaga Pariwisata Peduli Sibanggor (LPPS) pada tahun 2005 yang berfungsi untuk menggali potensi wisata yang ada di Desa Sibanggor Julu ini. Lembaga ini beranggotakan seluruh pemuda pemudi Sibanggor Julu. Lembaga ini masih dalam tahapan belajar karena dinilai masih baru.

Peran dan Fungsi Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan TNBG

(55)

Kelembagaan formal banyak yang tidak disertai dengan optimalisasi fungsi sesuai dengan aturan organisasi. Sebaliknya, yang bertahan hidup adalah kelembagaan informal yang dalam banyak hal tidak memiliki satuan organisasi yang berciri modern, namun keberadaannya fungsional untuk menanggulangi persoalan warga. Berkaitan dengan itu, pimpinan lembaga formal tidak selalu menjadi tokoh yang dihormati atau memiliki pengaruh dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya, banyak tokoh yang dianggap berpengaruh dan dihormati warga justru adalah mereka yang tidak menduduki posisi dalam kelembagaan formal.

(56)

lebih luas, termasuk dalam konteks pemasaran hasil nantinya. Patut diperhatikan bahwa posisi tawar petani selama ini selalu berada di bawah elit-elit penguasa ekonomi setempat (terutama para toke).

Kedua, pengelolaan TNBG mungkin juga tidak boleh terlalu ‘kaku’ untuk

memberlakukan larangan-larangan pemanfaatan hasil-hasil ekstraktif dari hutan TNBG, paling tidak untuk satu periode waktu tertentu menunggu mapannya pengelolaan pertanian yang berciri intensif atau tumbuhnya alternatif-alternatif ekonomi baru. Perlu diingat bahwa pemberlakuan larangan-larangan secara kaku pada masa awal-awal pengelolaan TNBG akan menumbuhkan sikap resisten dari warga.

Ketiga, meskipun pada kenyataannya ketergantungan warga terhadap

produk-produk ekstraktif tidak terlalu tinggi, tetapi pemanfaatan itu merupakan bagian dari budaya yang sudah mereka jalankan selama ini. Oleh karena itu, perubahan budaya yang dituju yaitu reduksi relasi fungsional dengan sumberdaya-sumberdaya alamiah yang ada di dalam hutan TNBG, tidak bisa dipaksakan secara instan. Perubahan ke arah itu memerlukan proses yang akan memakan waktu lama.

(57)

Untuk mengatasi masalah diatas, mitra Balai TNBG yakni BITRA Konsorsium yang mempunyai program utama yaitu menginisiasi penguatan masyarakat dengan membentuk Organisasi Konservasi Rakyat (OKR) dan pengembangan usaha ekonomi alternatif masyarakat di 35 desa sekitar kawasan TNBG. Harapannya adalah munculnya peran serta masyarakat dalam menjaga, melestarikan dan mengembangkan sumber daya alam kawasan TNBG dalam jangka panjang.

Program yang telah dilakukan :

• Assesment di 35 Desa sekitar kawasan Taman Nasional Batang Gadis. Sebagai bahan untuk melakukan penguatan masyarakat.

• Penguatan masyarakat di 35 Desa 10 Kec. Yang terdiri dari Kec. Siabu, Bukit Malintang, Penyabungan Utara, Penyabungan Barat, Penyabungan Selatan, Batang Natal, Tambangan, Lembah Sorik Merapi, Kota Nopan, dan Ulu Pungkut. Keluaran dari kegiatan ini adalah terbentuk Organisasi Rakyat yang bernuansa Konservasi, guna mendukung pelestarian kawasan TNBG.

• Pembuatan Regulasi Peraturan Desa. Tujuan kegiatan ini agar Desa menjadi lapisan utama dalam upaya penyelamatan kawasan. Para perangkat desa diberi pelatihan pembuatan Peraturan Desa.

• Pelatihan-pelatihan masyarakat desa agar mampu untuk melakukan proses pengawasan dan penyelamatan kawasan. Antara lain, pelatihan simultan kerakyatan dan teknis-teknisnya, dan sosialisasi dampak pertambangan.

• Pelatihan peningkatan kapasitas masyarakat tentang Organisasi Rakyat.

(58)

• Pelatihan ekonomi alternatif. Dengan harapan bisa memberikan solusi alternative sumber ekonomi bagi masyarakat desa.

• Pelatihan Pemetaan Partisipasi Desa (PRA).

• Pelatihan Kader Konservasi. Diadakannya pelatihan studi banding bagi anggota OKR desa ke taman nasional lainnya untuk melihat pengelolaannya yang berbeda dengan TNBG.

Program utama yang telah dijalankan oleh OKR adalah ekonomi alternative di 35 desa yakni penanaman tanaman kentang sayur, jadi setiap desa diberi dana ± Rp 10 juta dan modal bibit kentang sayur sebanyak 3 ton tapi bibit tersebut rusak/busuk karena kelamaan sehingga bibit yang baik hanya ± 1 ton yang kemudian ditanam dan itupun tidak sukses termasuk untuk Desa Sopotinjak dan Desa Sibanggor Julu. Tanaman ekonomi alternative ini hanya sukses di empat desa.

Sedangkan program OKR untuk saat ini adalah pembuatan kebun terpadu yang dikoordinir oleh Muhammad Nuh, Enda Mora, Fakhruddin, dan Fadli. Kebun terpadu ini seluas 5 ha yang terdiri dari tanaman hortikultura (tanaman cabe dan semangka) seluas 1 ha dan kebun karet dengan kopi seluas 4 ha. Kebun ini terletak di Pastab Julu, Kotanopan. Tujuan dari pembentukan kebun terpadu ini adalah untuk biaya operasional OKR ke depannya.

(59)

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh OKR sebagai lembaga lokal masyarakat desa di atas, menunjukkan adanya sinkronisasi dengan kegiatan TNBG yang dilaksanakan oleh Balai TNBG (misalnya, pengembangan jasa lingkungan dan wisata alam melalui LPPS yang ada di Sibanggor Julu, pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan TNBG, upaya meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, dan lain sebagainya).

Sejak terbentuknya TNBG pada tahun 2004, para stakeholder mulai mempersiapkan pengaturan pengelolaan TNBG hingga sekarang. Untuk melihat peranan lembaga-lembaga dan mitra dalam pengelolaan TNBG dapat dilihat Tabel 2 berikut :

Tabel 2. Peranan lembaga-lembaga dan mitra dalam Pengelolaan TNBG No

Kegiatan Hasil Waktu Status Diskripsi Stakeholders terlibat 1. Survei biodiversity,

monitoring dan inventarisasi spesies kunci, seperti harimau, tapir, dll. (pemantauan fauna dengan menggunakan kamera trap)

Peta atau data dan informasi penyebaran kamera trap). Saat ini yang terpasang ada di Aek Nangali Kec.Batang Natal (4 kamera). Pengecekan cek plot vegetasi permanen di lokasi Aek Nangali

2. Pemetaan dan assessment stakeholder (kaitannya dengan sosial, ekonomi, budaya, tata guna lahan)

Peta atau informasi mengenai kondisi sosial serta data stakeholder dan peranannya.

Jan 05- Apr 06

(60)

3. Identifikasi stakeholder dan

done 1. Keluarnya surat keputusan Direktur ke Menteri Kehutanan.

Dinas-dinas

4. Workshop penyusunan rencana pengelolaan TNBG dan identifikasi peran dan tanggung jawab stakeholder.

Hasil-hasil diskusi,

done 1. Terbentuk nya Forum Kolaborasi TNBG yang

5. Studi awal mengenai kondisi umum kopi rakyat di Madina

Laporan kondisi

Done Identifikasi lokasi yang selama ini menjadi masa yang akan datang.

Dinas terkait di Madina dan masyarakat di sekitar lokasi.

6. Ulang Tahun deklarasi TNBG

Marluhut Godang Hita Sahuta Mangholongi Harangan Taman Nasional Batang Gadis” (Village community big meeting to protect Batang Gadis National Park)

Komitmen dari stakeholder dalam menyelamatkan hutan di kab. Madina serta pencanangan gerakan anti illegal logging dan perambahan hutan

7. Sosialisasi TNBG termasuk konsultasi public dengan DPRD Kab. Madina, Dinas – dinas di Pemkab Madina dan tokoh – tokoh masyarakat.

Terbangunnya 8. Penyebaran informasi seperti

video, booklet, poster, dll. ke desa-desa di sekitar TNBG termasuk pemutaran film konservasi, safari Ramadhan dan ekspose melalui media cetak dan elektronik.

Terbangunnya

(61)

9. Studi awal potensi ekowisata

Done Pemetaan kawasan di sekitar TNBG yang hutan di kawasan TNBG sebagai jasa lingkungan.

Laporan dan data tentang nilai ekonomi kawasan hutan TNBG.

Okt 05 – Okt 06

Done Dinas Terkait

dan masyarakat.

11. Studi awal potensi

konservasi tanaman karet di Madina

Done Identifikasi lokasi yang selama ini menjadi masa yang akan datang.

Dinas terkait di Madina dan masyarakat di sekitar lokasi.

12. Sosialisasi Tata Batas dan Zonasi Pengelolaan TNBG

13. Program penguatan masyarakat untuk

14. Pelatihan penyusunan peraturan desa

Sumber : Conservation International Indonesia

Dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan, khususnya mengenai pelestarian peran, manfaat dan fungsi hutan, masyarakat sudah memiliki pola kelembagaan yang berperan mengatur kegiatan, membangun, memanfaatkan dan menjaga sumberdaya hutan walaupun peraturan-peraturan kelembagaan adat tersebut tidak tertulis atau lisan, namun aturan adat tersebut tetap berlaku hingga sekarang.

(62)

terbentuknya OKR di setiap desa, khususnya Desa Sopotinjak dan Desa Sibangggor Julu yang bersinggungan langsung dengan TNBG.

OKR yang beranggotakan seluruh masyarakat desa secara aktif mengikuti setiap kegiatan yang diadakan OKR Kabupaten Madina dan didampingi oleh BITRA Konsorsium. Dalam setiap kegiatan BITRA dan stakeholder lainnya, OKR dengan perwakilannya turut mendukung kegiatan tersebut.

Pemetaan potensi desa yang dilakukan di 10 desa termasuk Desa Sopotinjak dan Desa Sibanggor Julu guna mendapatkan data dalam mengembangkan desa melalui Peraturan Desa dan ekonomi alternatif. OKR desa mendukung kegiatan ini dengan mengikuti sosialisasi dan diskusi tingkat desa serta mengikuti pelatihan penyusunan Perdes sehingga dapat bertukar pikiran antar aparat desa dengan tujuan agar pemerintahan desa mampu membuat peraturan yang berbasis konservasi.

Beberapa anggota OKR juga mengikuti workshop dan pelatihan ekonomi alternatif di Training Center BITRA Indonesia, Sayum sabah-Sibolangit yang tujuannya menggali potensi ekonomi sehingga bukan hanya hutan yang terselamatkan, akan tetapi masyarakat sekitarnya berdaya dalam hal ekonominya.

(63)

Partisipasi yang dilakukan masyarakat desa yang bersinggungan langsung dengan TNBG masih pada tahap partisipasi secara fungsional (functional participation). Menurut Sardjono (2004), partisipasi secara fungsional (functional

participation) adalah masyarakat yang berperan serta dengan membentuk

kelompok-kelompok kecil guna memenuhi tujuan proyek / program kegiatan yang telah ditetapkan. Hal tersebut dapat dilihat dari terbentuknya OKR oleh masyarakat dan BITRA yang diharapkan menjadi perwakilan desa untuk ikut serta dalam pengelolaan TNBG yang kolaboratif. Tetapi, untuk saat ini tingkat partisipasi masyarakat berkurang karena dengan berbagai macam program/kegiatan yang sudah dijalankan dan diikuti oleh perwakilan masyarakat desa belum menuai manfaat secara langsung sejak terbentuknya TNBG yang sudah berselang 3 tahun.

(64)

bahwa masyarakat desapun mempunyai berbagai kesibukan dan kepentingan (Tim Pengelolaan Hutan Bersama ACM-CIFOR, 2003).

Hubungan Antar Kelembagaan dalam Pengelolaan TNBG

Pengelolaan TNBG akan dikembangkan secara kolaboratif dengan lebih banyak melibatkan para pihak dalam pengelolaannya. Pengelolaaan TNBG dilaksanakan secara bersama-sama oleh instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah Provinsi, instansi pemerintah Kabupaten dan lembaga swadaya masyarakat atau organisasi-organisasi non pemerintah terkait lainnya. Dengan pendekatan pengelolaan kolaboratif atau pengelolaan multipihak bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan kesinambungan keberdayaan serta memperbesar komitmen dari para pihak dalam pengelolaan TNBG.

Kelembagaan Lain dalam Pengelolaan TNBG

Demi memfasilitasi terwujudnya bentuk kolaborasi pengelolaan Taman Nasional tersebut, pada tahun 2005 pemerintah melalui Direktur Konservasi Kawasan Departemen Kehutanan memutuskan untuk membentuk suatu tim inisiator kolaborasi pengelolaan TNBG. Tim inisiator tersebut terdiri dari lima lembaga terkait yaitu Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Dinas Kehutanan Kabupaten Mandailing Natal, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara II, Conservation International Indonesia, Konsorsium BITRA, dan Yayasan Batang Gadis.

Dinas Kehutanan Sumatera Utara dan Madina

(65)

lembaga-lembaga swadaya dan memberikan dukungannya ke pemerintah pusat. Pemerintah Kabupaten Madina telah menunjukkan komitmennya dan sudah mulai terlibat untuk mendukung pengurusan TNBG. Pemerintah Kabupaten Madina pada tahun anggaran 2004 telah memberikan kontribusi sebesar Rp. 764.000.000,- untuk kegiatan perencanaan dan sosialisasi TNBG serta pembangunan Kantor Bersama Pengelolaan TNBG.

Conservation International Indonesia

Conservation International Indonesia (CII) telah mempunyai komitmen menyumbangkan kemampuan kapasitasnya (sumberdaya manusia, keahlian dan finansial) dalam membangun proses kolaborasi pengelolaan di TNBG. CII dengan bantuan beberapa sumber pendanaan luar negeri memberikan komitmennya untuk membantu pembiayaan berbagai aspek pendukung pengelolaan TNBG. Saat ini CII terus melakukan pengumpulan informasi keanekaragaman hayati yang berguna untuk penataan kawasan dan mendampingi para pihak dalam membangun kolaborasi pengelolaan ekosistem TNBG. Koordinator CII untuk pengelolaan TNBG adalah Bapak Abu Hanifah Lubis.

BITRA Konsorsium

Bitra Konsorsium yang terdiri dari, Yayasan BITRA Indonesia, WALHI Sumatera Utara, Yayasan Pusaka Indonesia dan Yayasan Samudera. BITRA Konsorsium akan memberikan kontribusinya melalui kegiatan-kegiatan yang difokuskan pada pemberdayaan kapasitas masyarakat lokal.

Yayasan Batang Gadis

Gambar

Tabel  1. Matrik Metodologi yang Digunakan dalam Penelitian.
Tabel 2. Peranan lembaga-lembaga dan mitra dalam Pengelolaan TNBG
Gambar 2. Struktur Organisasi Kolaborasi Pengelolaan dan Keterkaitannya antar  Hubungan Lembaga, Program dan Sumber Dana
Gambar 3. Hubungan stakeholder dalam Pelaksanaan Pengelolaan TNBG

Referensi

Dokumen terkait

Hasil simulasi menunjukkan bahwa optimasi pengelolaan ekowisata (keberlanjutan kegiatan ekowisata dan peningkatan ekonomi masyarakat lokal dan daerah) di gugus Pulau Togean

Selain didukung oleh keberadaan tanaman lokal, program diversifikasi konsumsi pangan didukung pula oleh adanya kebiasaan masyarakat setempat yang melakukan variasi dalam menu

a. Tahapan Pengukuhan Kelembagaan LPM, yakni tahapan dimana LPM menjadi lembaga masyarakat yang refresentatif, dan pengurusnya dipilih secara demokratis dan transparan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam perspektif masyarakat lokal, desa wisata Kaba-Kaba memiliki kekuatan dalam pengembangan kegiatan pariwisata, seperti: daya

Berdasarkan ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh masyarakat desa penyangga di Kawasan Taman Nasional Meru Betiri terkait dengan pengelolaan hutan bahwa sistem

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat sekitar Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) melalui jenis, cara penggunaan, dan bagian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya sistem kategorisasi sumber daya hutan pada masyarakat Nagari Simanau hutan olahan, simpanan, dan larangan membantu mengendalikan perilaku

Dari pemahaman tersebut di atas, maka pengembangan desa wisata yang melibatkan masyarakat sejak dari awal sampai dengan akhir merupakan jawaban akan adanya tuntutan untuk menghadirkan