• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L.) terhadap pemberian pupuk guano dan KCl

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Respon pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L.) terhadap pemberian pupuk guano dan KCl"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK GUANO DAN KCL

SKRIPSI

OLEH :

PISPA RAJAGUKGUK

090301107/ AGROEKOTEKNOLOGI

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

(2)

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK GUANO DAN KCL

SKRIPSI

OLEH :

PISPA RAJAGUKGUK

090301107/ AGROEKOTEKNOLOGI

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

(3)

Judul : Respon Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma cacao L.) terhadap Pemberian Pupuk Guano dan KCL

Nama : Pispa Rajagukguk

NIM : 090301107

Minat : Budidaya Pertanian dan Perkebunan

Program Studi : Agroekoteknologi

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

(Ir. Balonggu Siagian, MS.) (Ir. Ratna Rosanty Lahay, MP NIP. 1949 0102 1979 03 1002 NIP. 19631019 1989032 2 002

)

Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing

Mengetahui,

(Prof. Ir. T. Sabrina, M.Sc., Ph.D. NIP. 19640620 198903 2 001

)

(4)

ABSTRAK

PISPA RAJAGUKGUK: Respon pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L.) terhadap pemberian pupuk guano dan KCl, dibimbing oleh BALONGGU SIAGIAN dan RATNA ROSANTI LAHAY.

Pemberian pupuk guano untuk pembibitan kakao merupakan salah satu upaya pemanfaatan pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan yang ada di alam. Maka dari itu melalui pemberian pupuk guano diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kakao di pembibitan. Penelitian dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas Pertanian USU pada Oktober 2013 - Januari 2014, menggunakan rancangan acak kelompok faktorial dengan dua faktor yaitu pemberian dosis pupuk guano (0, 75, 150, 225 g/polibag) dan dosis pupuk KCl (0, 2, 4 g/polibag). Peubah amatan yang diamati adalah tinggi bibit kakao, diameter batang bibit kakao, jumlah daun bibit kakao, total luas daun bibit kakao, bobot basah tajuk bibit kakao, bobot kering tajuk bibit kakao, bobot basah akar bibit kakao, bobot kering akar bibit kakao, rasio bobot kering tajuk – akar bibit kakao.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon peubah amatan tinggi bibit kakao, diameter batang bibit kakao, total luas daun bibit kakao, bobot basah tajuk bibit kakao, dan bobot kering tajuk bibit kakao nyata terhadap pemberian puguk guano. Respon seluruh peubah amatan tidak nyata terhadap pemberian pupuk KCl dan terhadap interaksi keduanya.

(5)

ABSTRACT

PISPA RAJAGUKGUK: Respone in Growth of Cacao Seedling to Addition of Guano and KCl, supervised by BALONGGU SIAGIAN and RATNA ROSANTI LAHAY.

Addition of Guano in Cultivation of Cacao Seedling is the one of step to use organic fertilizer that comes from animal feces in the world. For that purpose addition guano aims to increase growth of Cacao in Cultivation of Seedling. This research had been conducted at experimental field of Fakultas Pertanian USU in October 2013 - January 2014 using factorial randomized block design with two

factor, i.e. addition dose of Guano (0, 75 , 150 , 225 g/polibag) and dose of KCl (0 , 2 , 4 g/polibag). Parameter observed were cacao height, cacao stem diameter,

cacao leaf number, total leaf area of cacao, shoot fresh weight of cacao, shoot dry weight of cacao, root fresh weight of cacao, root dry weight of cacao ,and cacao shoot root ratio,

The result showed that parameter cacao height, cacao stem diameter, total leaf area of cacao, shoot fresh weight of cacao, shoot dry weight of cacao, and cacao shoot root ratio were significantly to addition Guano. All parameters were ot significantly to addition KCl and the interaction of two factor.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 21 Agustus 1990 dari ayah

Hasudungan Rajagukguk dan ibu Murniati Manurung. Penulis merupakan putri

pertama dari lima bersaudara.

Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri I Tebing Tinggi dan pada

tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujian masuk

bersama (UMB). Penulis memilih minat Budidaya Pertanian dan Perkebunan,

Program Studi Agroekoteknologi.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan

Mahasiswa Agroekoteknologi (Himagrotek).

Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di PT. Perkebunan

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas segala

rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Respon Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma cacao L.) terhadap Pemberian Pupuk Guano dan KCl”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak

Ir. Balonggu Siagian, M.S. da

anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan

selama penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua

orang tua yang telah memberikan dukungan finansial dan spiritual. Ucapan

terimakasih juga ditujukan kepada seluruh staf pengajar, pegawai serta kerabat di

lingkungan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara yang telah

berkontribusi dalam kelancaran studi dan penyelesaian skripsi ini.

Semoga hasil skripsi ini bermanfaat bagi petani bibit kakao serta pihak

yang membutuhkan.

Medan, Juni 2014

(8)
(9)

Pelaksanaan Penelitian ... 28

Persiapan arel lahan ... 28

Persiapan naungan ... 28

Persiapan media tanam dan aplikasi pupuk guano ... 28

Pemupukan dasar ... 28

Pengecambahan benih ... 28

Penanaman kecambah ... 29

Aplikasi pupuk KCl ... 29

Pemeliharaan tanaman ... 29

Penyiraman ... 29

Penyiangan ... 29

Penyulaman ... 29

Pengendalian hama ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 30

Pembahasan ... 44

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 51

Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

(10)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Dosis umum pemupukan tanaman kakao ... 13 2. Dosis umum pemupukan tanaman kakao dengan menggunakan

pupuk Urea, TSP, KCL, dan Kieserit ... 14 3. Perbandingan nutrien feses pada beberapa hewan (%) ... 17 4. Tinggi bibit kakao 2-16 MST (cm) pada pemberian pupuk guano

dan KCl (g). ... 31 5. Diameter batang bibit kakao 2-16 MST (mm) pada pemberian

pupuk guano dan KCl (g). ... 33 6. Jumlah daun bibit kakao 2-16 MST (helai) pada pemberian pupuk

guano dan KCl (g). ... 35 7. Total luas daun bibit kakao 4, 8 dan 16 MST (cm2) pada

pemberian Pupuk guano dan KCl (g). ... 36 8. Bobot basah tajuk bibit kakao 16 MST (g) pada pemberian

pupuk guano dan KCl (g). ... 38 9. Bobot kering tajuk bibit kakao 16 MST (g) pada pemberian

pupuk guano dan KCl (g). ... 40 10. Bobot basah akar bibit kakao 16 MST (g) pada pemberian pupuk

guano dan KCl (g). ... 42 11. Bobot kering akar bibit kakao 16 MST (g) pada pemberian

pupuk guano dan KCl (g). ... 43 12. Rataan rasio bobot kering tajuk - akar pada pemberian pupuk

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Hubungan tinggi bibit kakao 16 MST dengan pemberian pupuk

guano . ... 32

2. Hubungan diameter batang bibit kakao 10 MST dengan

pemberian pupuk guano ... 34 3. Hubungan total luas daun bibit kakao 16 MST dengan pemberian

pupuk guano. ... 37

4. Hubungan bobot basah tajuk bibit kakao 16 MST dengan

pemberian pupuk guano.. ... 39 5. Hubungan rataan bobot kering tajuk bibit kakao 16 MST dengan

(12)
(13)

39. Sidik ragam jumlah daun bibit kakao 2 MST ... 76

68. Data pengamatan rasio bobot kering tajuk-akar bibit kakao 16 MST ... 91

69. Sidik ragam rasio bobot kering tajuk-akar bibit kakao 16 MST ... 91

70. Rekapitulasi uji beda rataan pengamatan parameter ... 92

(14)

ABSTRAK

PISPA RAJAGUKGUK: Respon pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L.) terhadap pemberian pupuk guano dan KCl, dibimbing oleh BALONGGU SIAGIAN dan RATNA ROSANTI LAHAY.

Pemberian pupuk guano untuk pembibitan kakao merupakan salah satu upaya pemanfaatan pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan yang ada di alam. Maka dari itu melalui pemberian pupuk guano diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kakao di pembibitan. Penelitian dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas Pertanian USU pada Oktober 2013 - Januari 2014, menggunakan rancangan acak kelompok faktorial dengan dua faktor yaitu pemberian dosis pupuk guano (0, 75, 150, 225 g/polibag) dan dosis pupuk KCl (0, 2, 4 g/polibag). Peubah amatan yang diamati adalah tinggi bibit kakao, diameter batang bibit kakao, jumlah daun bibit kakao, total luas daun bibit kakao, bobot basah tajuk bibit kakao, bobot kering tajuk bibit kakao, bobot basah akar bibit kakao, bobot kering akar bibit kakao, rasio bobot kering tajuk – akar bibit kakao.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon peubah amatan tinggi bibit kakao, diameter batang bibit kakao, total luas daun bibit kakao, bobot basah tajuk bibit kakao, dan bobot kering tajuk bibit kakao nyata terhadap pemberian puguk guano. Respon seluruh peubah amatan tidak nyata terhadap pemberian pupuk KCl dan terhadap interaksi keduanya.

(15)

ABSTRACT

PISPA RAJAGUKGUK: Respone in Growth of Cacao Seedling to Addition of Guano and KCl, supervised by BALONGGU SIAGIAN and RATNA ROSANTI LAHAY.

Addition of Guano in Cultivation of Cacao Seedling is the one of step to use organic fertilizer that comes from animal feces in the world. For that purpose addition guano aims to increase growth of Cacao in Cultivation of Seedling. This research had been conducted at experimental field of Fakultas Pertanian USU in October 2013 - January 2014 using factorial randomized block design with two

factor, i.e. addition dose of Guano (0, 75 , 150 , 225 g/polibag) and dose of KCl (0 , 2 , 4 g/polibag). Parameter observed were cacao height, cacao stem diameter,

cacao leaf number, total leaf area of cacao, shoot fresh weight of cacao, shoot dry weight of cacao, root fresh weight of cacao, root dry weight of cacao ,and cacao shoot root ratio,

The result showed that parameter cacao height, cacao stem diameter, total leaf area of cacao, shoot fresh weight of cacao, shoot dry weight of cacao, and cacao shoot root ratio were significantly to addition Guano. All parameters were ot significantly to addition KCl and the interaction of two factor.

(16)

PENDAHULUAN Latar belakang

Kakao adalah salah satu komoditas unggulan perkebunan yang prospektif

serta berpeluang besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena

sebagian besar diusahakan melalui perkebunan rakyat (± 94,01%). Sampai tahun

2010 areal kakao telah mencapai 1.650.621 Ha dengan produksi 837.918 ton dan

tersebar di 32 provinsi. Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan

perkebunan sebagai penghasil devisa negara, sumber pendapatan petani,

penciptaan lapangan kerja petani, mendorong pengembangan agribisnis dan

agroindustri, pengembangan wilayah serta pelestarian lingkungan

(Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012).

Pada tahun 2009, luas areal tanaman kakao di Indonesia mencapai

1.587.136 ha yang terdiri dari 1.491.808 ha (93,9%) Perkebunan Rakyat,

49.489 ha Perkebunan Besar Negara dan 45.839 ha Perkebunan Besar

Swasta, dengan jumlah petani yang terlibat secara langsung sebanyak

1.475.353 KK. Produksi sebesar 809.583 ton menempatkan Indonesia sebagai

negara produsen terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading (1.380.000 ton).

Ekspor kakao Indonesia pada tahun 2009 mencapai 521,3 ribu ton dengan

nilai US$ 1,3 milyar menempatkan kakao sebagai penghasil devisa terbesar

ketiga sub sektor perkebunan setelah kelapa sawit dan karet. Sentra kakao

Indonesia tersebar di Sulawesi (63,8%), Sumatera (16,3%), Jawa (5,3%),

Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Bali (4,0%), Kalimantan

(3,6%), Maluku dan Papua (7,1%)

(17)

Indonesia merupakan salah satu negara pembudidaya tanaman kakao

paling luas di dunia dan termasuk negara penghasil kakao terbesar ketiga setelah

Ivory-Coast dan Ghana, yang nilai produksinya mencapai 1.315.800 ton/tahun.

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, perkembangan luas areal perkebunan kakao

meningkat secara pesat dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 8%/tahun dan saat

ini mencapai 1.462.000 ha. Hampir 90% dari luasan tersebut merupakan

perkebunan rakyat (Karmawati, dkk., 2010).

Tanaman kakao berasal dari Amerika Selatan, kemudian menyebar ke

Amerika Utara, Afrika, dan Asia. Di Indonesia, kakao dikenal sejak tahun 1560,

namun menjadi komoditi penting sejak tahun 1951. Komoditas kakao memegang

peran penting dalam perekonomian nasional dan merupakan komoditas andalan

Kawasan Timur Indonesia (KTI) khususnya daerah Sulawesi Tengah, Sulawesi

Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Sebagai komoditas terpenting ketiga setelah

karet dan kelapa sawit, kakao merupakan salah satu sumber utama pendapatan

petani di 30 propinsi yang menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan

bagi 900 ribu kepala keluarga petani di KTI (Basri, dkk., 2012).

Teknik budidaya merupakan salah satu faktor yang akan membawa

manfaat besar dalam mencapai produksi tinggi dan mutu yang baik, sedangkan

pembibitan adalah awal dari upaya mencapai tujuan tersebut. Teknik pembibitan

yang tepat dan baik akan memberikan peluang besar bagi keberhasilan tanaman.

Media tumbuh kakao memerlukan kesuburan kimia dan fisika, agar dapat

diperoleh bibit yang baik dan sehat untuk pertumbuhan selanjutnya. Salah satu

(18)

tumbuh dapat diperbaiki atau ditingkatkan dengan pemupukan anorganik, organik,

atau penggunaan biostimulan mikroorganisme (Quddusy, 1999).

Bibit kakao yang baik adalah modal dasar bagi petani untuk mendapatkan

keuntungan dalam usahatani kakao. Kakao adalah tanaman tahunan yang tetap

ekonomis hingga umur 37 tahun, sehingga kesalahan memilih bibit akan

menyebabkan kerugian dalam jangka panjang. Oleh karenanya pemilihan bibit

adalah langkah awal yang sangat penting dalam budidaya kakao

(Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008).

Pertumbuhan bibit kakao di lapangan sangat ditentukan oleh

pertumbuhan tanaman selama di pembibitan. Media tanam merupakan salah

satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman kakao di pembibitan.

Penggunaan media tanam yang banyak mengandung bahan organik sangat

menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman kakao (Sudirja, dkk., 2005).

Pada prinsipnya pupuk guano adalah sama dengan pupuk organik,

hanya memiliki kandungan lebih baik (kelebihan) untuk unsur N, P dan K

dibandingkan pupuk organik biasa. Kelebihan kandungan P umumnya disebabkan

oleh kotoran kelelawar (guano) yang tertimbun di dalam goa yang

batuan-batuan maupun tetesan-tetesan airnya mengandung cukup tinggi kandungan

unsur fosfat (P). Sedangkan kelebihan N dan K karena faktor makanan yg

dimakan oleh kelelawar (Samijan, 2010).

Adapun pupuk anorganik yang sering diberikan pada bibit tanaman kakao

adalah pupuk NPK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemupukan NPK sangat

nyata meningkatkan tinggi bibit kakao, jumlah daun bibit kakao, total luas daun

(19)

basah akar bibit kakao, dan bobot kering akar bibit kakao pada umur 4 bulan.

Dalam penelitian tersebut pupuk yang digunakan adalah NPK (16:16:16)

(Christian, D, 2011).

Salah satu jenis tanah mineral yang banyak digunakan sebagai media

tumbuh bibit adalah tanah ultisol. Hal ini terjadi karena jenis tanah tersebut

tersebar cukup luas di Indonesia. Kelemahan tanah Ultisol sebagai media tumbuh

adalah karena tanah ini umumnya bereaksi sangat masam. Oleh karena itu untuk

menaikkan pertumbuhan bibit tanarnan diperlukan media tumbuh yang baik bagi

tanaman. Untuk rnenciptakan media tumbuh yang baik tersebut diperlukan pupuk

yang mengandung zat bereaksi basa seperli Kalium (K). Salah satu jenis pupuk

yang mengandung unsur kalium adalah pupuk KCl. Untuk rnemperbaiki

kesuburan tanah akibat keasarnan tanah dan adanya kelarutan unsur Al, Fe dan

Mn pada umumnya dilakukan pengapuran (Nugroho, 2000).

Pada saat ini permasalahan yang dihadapi dalam pembibitan kakao pada

skala besar adalah keterbatasan tanah top soil sebagai media tanam di polybag.

Pada kenyataannya ketersediaan tanah sub soil yang cukup banyak di lapangan

sudah mulai digunakan sebagai pengganti media tanam top soil. Pada umumnya

tanah sub soil mempunyai nilai kesuburan yang lebih rendah dibandingkan

dengan tanah top soil, antara lain ditunjukkan dengan rendahnya kandungan bahan

organik dan ketersediaan unsur hara, sehigga jika ingin mendapatkan

pertumbuhan bibit kakao yang baik pada tanah sub soil maka kandungan bahan

(20)

Dengan demikian pupuk guano bisa dijadikan sebagai pupuk yang

mengandung N dan P yang tinggi dan pupuk KCl sebagai penambah unsur hara K

pada media pertumbuhan kakao.

Tujuan penelitian

Untuk mengetahui respons pemberian pupuk guano dan pupuk KCl serta

interaksinya terhadap pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L.)

Hipotesis penelitian

Ada peningkatan pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L.) terhadap pemberian pupuk guano dan pupuk KCL serta interaksinya.

Kegunaan penelitian

Penelitian berguna untuk mendapatkan data penyusunan skripsi sebagai

salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian di Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara, Medan, dan diharapkan berguna sebagai informasi

(21)

TINJAUAN PUSTAKA Botani tanaman

Menurut Tjitrosoepomo, G., (2005), sistematika tanaman kakao adalah

sebagai berikut : Kingdom: Plantae ; Divisi : Spermatophyta ; Sub division :

Angiospermae; Kelas : Dicotyledoneae ; Ordo : Malvales ; Family : Sterculiaceae;

Genus : Theobroma ; Spesies : Theobroma cacao L.

Perakaran kakao tumbuh cepat pada bibit dari biji yang baru berkecambah,

dari panjang akar 1 cm pada umur 1 minggu tumbuh menjadi 16-18 cm pada umur

1 bulan dan 25 cm pada umur 3 bulan. Pertumbuhan akar mencapai 50 cm pada

umur 2 tahun. Jadi makin lama kecepatan pertumbuhan akar semakin berkurang.

Pada tanah yang dalam dan drainasenya baik, perakaran kakao dewasa mencapai

1,0-1,5 m. Akar lateral sebagian besar sekitar 56% tumbuh pada lapisan tanah

sedalam 0-10 cm. Sedangkan 26% pada bagian yang lebih dalam (11-20 cm), dan

sekitar 14% pada bagian yang lebih dalam lagi (21-30 cm), dan hanya sekitar 4%

tumbuh pada kedalaman lebih dari 30 cm. Jangkauan akar lateral jauh diluar

proyeksi tajuk tanaman (Susanto, 1994).

Tanaman kakao, percabangannya bersifat dimorphik. Batang utama yang

tumbuh lurus sampai ketinggian 1-2 m bersifat orthotophik. Namun pada setiap

ketiak daun yang tumbuh dibatang utama akan tumbuh tunas air. Tunas air ini

pertumbuhannya bersifat Orthrotophik dan akan membentuk ”Jourqutte”. Tunas

air disebut ”Chupon”. Bila chupon chupon ini dibiarkan tumbuh, maka chupon

akan membentuk batang baru dan cabang kipas baru. Demikian seterusnya

sehingga akan terbentuk batang baru yang bertingkat tingkat dan bisa berbentuk

(22)

pada waktu terbentuknya Jourqutte disebut cabang kipas dan bersifat

Plagiotrophik. Pertumbuhan kesamping dibentuk dari cabang kipas baru. Secara

umum disebutkan bahwa percabangan pada tanaman kakao dibedakan cabang

yang tumbuh vertikal disebut ”Orthotoph” dan cabang yang tumbuh horizontal

disebut ”Plagiothroph”. Cabang Orthotoph atau chupon hanya tumbuh dari cabang

orthotroph dan cabang plagiothroph atau cabang kipas hanya tumbuh dari cabang

plagiothroph atau cabang kipas (PTPN IV, 1996).

Tanaman kakao asal biji, setelah mencapai tinggi 0,9-1,5 meter akan

berhenti tumbuh dan membentuk jorket (jourqutte). Jorket adalah tempat

percabangan dari pola percabangan ortotrop ke pola plagiotrop dan khas hanya

pada tanaman kakao. Pembentukan jorket didahului dengan berhentinya

pertumbuhan tunas ortotrop karena ruas ruasnya tidak memanjang. Pada ujung

tunas tersebut, stipula (semacam sisik pada kuncup bunga) dan kuncup ketiak

daun serta tunas daun tidak berkembang. Dari ujung pemberhentian tersebut

selanjutnya tumbuh 3-6 cabang yang arah pertumbuhannya condong kesamping

membentuk sudut 0-600 dengan arah horizontal. Cabang cabang itu disebut

dengan cabang primer (cabang plagiotrop). Pada cabang primer tersebut kemudian

tumbuh cabang cabang lateral (fan) sehingga tanaman membentuk tajuk yang

rimbun (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

Sama dengan sifat percabangannya, daun kakao juga bersifat dimorfisme.

Pada tunas ortotrop , tangkai daunnya panjang, yaitu 7,5-10 cm sedangkan pada

tunas plagiotrop panjang tangkai daunnya hanya sekitar 2,5 cm. Tangkai daun

bentuknya silinder dan bersisik halus, bergantung pada tipenya. Salah satu sifat

(23)

dipangkal dan ujung tangkai daun. Dengan persendian ini dilaporkan daun mampu

membuat gerakan untuk menyesuaikan dengan arah datangnya sinar matahari

(Karmawati, dkk., 2010).

Bentuk helai daun bulat memanjang (oblongus) ujung daun meruncing

(acuminatus) dan pangkal daun runcing (acutus). Susunan daun tulang menyirip

dan tulang daun menonjol ke permukaan bawah helai daun. Tepi daun rata, daging

daun tipis tetapi kuat seperti perkamen. Warna daun dewasa hijau tua bergantung

pada kultivarnya. Panjang daun dewasa 30 cm dan lebarnya 10 cm. Permukaan

daun licin dan mengkilap (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

Perkembangan bunga kakao bersifat kauliflori, yakni bunga tumbuh dan

berkembang dari bekas ketiak daun. Bunga kakao mengikuti rumus

K5C5A5+5G(5) yang berarti bunga tersusun atas 5 daun kelopak bunga yang

tidak terkait satu sama lain, 5 daun mahkota, 10 tangkai sari (tersusun dalam 2

lingkaran) masing masing terdiri dari 5 tangkai sari, dan 5 daun buah yang

bersatu. Adapun ciri ciri umum dari morfologi bunga kakao adalah sebagai

berikut; berwarna putih, ungu atau kemerahan. Warna yang kuat terdapat pada

benang sari dan daun mahkota. Warna bunga ini khas untuk setiap kultivar.

Tangkai bunga kecil, tetapi panjang dengan ukuran 1-1,5 cm. Daun mahkota

berukuran panjang 6-8 mm dan terdiri atas dua bagian, yakni dibagian pangkal

menyerupai kuku binatang dan di bagian ujung berbentuk lembaran tipis berwarna

putih yang fleksibel (wahyudi, dkk., 2008).

Warna buah kakao sangat beragam, tetapi pada dasarnya hanya ada dua

macam warna. Buah yang ketika muda berwarna hijau atau hijau agak putih jika

(24)

berwarna merah, setelah masak berwarna jingga (oranye). Kulit buah memiliki 10

alur dalam dan dangkal yang letaknya berselang-seling. Pada tipe criollo dan

trinitario alur kelihatan jelas. Kulit buahnya tebal tetapi lunak dan permukaannya

kasar. Sebaliknya, pada tipe forastero, permukaan kulit buah pada umumnya halus

(rata); kulitnya tipis, tetapi dan liat. Buah akan masak setelah berumur enam

bulan. Pada saat itu ukurannya beragam, dari panjang 10 hingga 30 cm, pada

kultivar dan faktor-faktor lingkungan selama perkembangan buah

(Karmawati, dkk., 2010).

Syarat tumbuh Iklim

Kakao mempunyai persyaratan tumbuh sebagai berikut : curah hujan

1.600 - 3.000 mm/tahun atau rata-rata optimalnya 1.500 mm tahun terbagi merata

sepanjang tahun (tidak ada bulan kering), garis lintang 20° LS sampai 20° LU,

tinggi tempat 0 s/d 600 m dpl, suhu yang terbaik 24°C - 28°C dan angin yang kuat

(lebih dari 10 m/detik) berpengaruh jelek terhadap tanaman kakao. Kecepatan

angin yang baik bagi tanaman kakao adalah 2-5 m detik karena dapat membantu

penyerbukan (Sutanto, 1994).

Pengaruh suhu terhadap kakao erat kaitannya dengan ketersedian air, sinar

matahari dan kelembaban. Faktor - faktor tersebut dapat dikelola melalui

pemangkasan, penataan tanaman pelindung dan irigasi. Suhu sangat berpengaruh

terhadap pembentukan flush, pembungaan, serta kerusakan daun. Menurut hasil

penelitian, suhu ideal bagi tanaman kakao adalah 30o – 32oC (maksimum) dan

18º - 21oC (minimum). Kakao juga dapat tumbuh dengan baik pada suhu

(25)

masih baik untuk pertumbuhan kakao asalkan tidak didapati musim hujan yang

panjang (Karmawati, dkk., 2010).

Tanaman kakao menghendaki lingkungan yang dengan kelembaban tinggi

dan konstan, yakni diatas 80%. Nilai kelembapan ini merupakan mikroklimat

hutan tropis yang dapat menjaga kestabilitas tanaman. Kelembapan tinggi bisa

mengimbangi evapotranspirasi tanaman dan mengompensasi curah hujan yang

rendah (Wahyudi, dkk., 2008).

Kakao tergolong tanaman C3 yang mampu berfotosintesis pada suhu daun

rendah. Fotosintesis maksimum diperoleh pada saat penerimaan cahaya pada tajuk

sebesar 20 persen dari pencahayaan penuh. Kejenuhan cahaya di dalam

fotosintesis setiap daun yang telah membuka sempurna berada pada kisaran 3-30

persen cahaya matahari atau pada 15 persen cahaya matahari penuh. Hal ini

berkaitan pula dengan pembukaan stomata yang lebih besar bila cahaya matahari

yang diterima lebih banyak (Karmawati, dkk., 2010).

Sebagai tanaman C3, kakao memiliki laju fotorespirasi tinggi, yaitu

20-50% dari hasil total fotosintesis. Fotorespirasi meningkat seiring dengan naiknya

suhu udara. Di daerah tropis ideanya laju fotorespirasi mencapai 40%. Tidak

seperti fotosintesis, fotorespirasi tidak menghsilkan energi energi yang bermanfaat

bagi tanaman sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Oleh karena itu,

upaya menekan laju fotorespirasi identik dengan upaya meningkatkan

produktivitas, diantaranya dengan pemberian naungan (Wahyudi, dkk., 2008). Pada kondisi optimum, laju fotosintesis tanaman kakao mencapai 7,5 mg

CO2 per dm2 luas daun atau ekuivalen dengan 60 mg per dm2 per hari dengan

(26)

kemampuan untuk menyerap CO2 sebesar 80.000 kg/ha/tahun dengan melepaskan

CO2 sebesar 63.000 kg/ha/tahun sehingga serapan bersih tiap tahun mencapai

73.000 kg/ha/tahun untuk diubah menjadi karbohidrat. Dengan luas lahan kakao

di Indonesia yang mencapai 1.563.423 ha akan memberikan pengaruh yang

signifikan terhadap penyerapan karbon di udara (Yuliasmara, dkk., 2009).

Lingkungan hidup alami tanaman kakao ialah hutan hujan tropis yang di

dalam pertumbuhannya membutuhkan naungan untuk mengurangi pencahayaan

penuh. Cahaya matahari yang terlalu banyak akan mengakibatkan lilit batang

kecil, daun sempit, dan batang relatif pendek. Pemanfaatan cahaya matahari

semaksimal mungkin dimaksudkan untuk mendapatkan intersepsi cahaya dan

pencapaian indeks luas daun optimum (Firdausil, dkk., 2008).

Tanah

Tanaman kakao dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki pH

6-7,5; tidak lebih tinggi dari 8 serta tidak lebih rendah dari 4, paling tidak pada

kedalaman 1 meter. Hal ini disebabkan terbatasnya ketersediaan harapada pH

tinggi dan efek racun dari Al, Mn, dan Fe pada pH rendah

(Karmawati, dkk., 2010).

Tekstur tanah yang baik untuk tanaman kakao adalah lempung liat berpasir

dengan komposisi 30-40 % fraksi liat,50% pasir, dan 10-20 persen debu. Susunan

demikian akan mempengaruhi ketersediaan air dan hara serta aerasi tanah.

Struktur tanah yang remah dengan agregat yang mantap menciptakan gerakan air

dan udara di dalam tanah sehingga menguntungkan bagi akar. Tanah tipe latosol

(27)

kakao, sedangkan tanah regosol dengan tekstur lempung berliat walaupun

mengandung kerikil masih baik bagi tanaman kakao (Firdausil, dkk., 2008).

Seperti tanaman pada umumnya, kakao juga menghendaki tanah yang

mudah diterobos oleh akar tanaman, dapat menyimpan air terutama pada musim

hujan drainase dan aerasenya baik. Perakaran kakao pada umumnya dapat

mencapai kedalaman sekitar 1-1,5 m untuk akar tunggangnya. Sedangkan akar

lateral sebagian besar terdapat pada lapisan atas, sedalam sekitar 30 cm. Maka

untuk memperoleh perakaran yang baik, yang mampu menghisap air dan unsur

hara, tanaman tahan kekeringan dan tidak mudah rebah, diperlukan kedalaman

efektif tanah sekitar 1,5 m. Disamping itu, tanah bebas dari batu-batuan dan cadas

yang mengganggu perkembangan akar (Susanto, 1994).

Tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi, yaitu

di atas 3%. Kadar bahan organik yang tinggi akan memperbaiki struktur tanah,

biologi tanah, kemampuan penyerapan (absorbsi) hara, dan daya simpan lengas

tanah. Tingginya kemampuan absorbsi menandakan bahwa daya pegang tanah

terhadap unsur – unsur hara cukup tinggi dan selanjutnya melepaskannya untuk

diserap akar tanaman (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

Tanaman kakao dapat tumbuh dan berproduksi pada jenis tanah ultisol

yang dikenal dengan solum tanahnya antara 1,3-5,0 m, tanah podsolik merah

hingga kuning, teksturnya lempung berpasir sampai lempung liat, gembur,

kandungan haranya rendah, tanah andosol dapat dikenal dengan solum tanah yang

tebal antara 1-2 m, berwarna hitam kelabu sampai kakao tua (Widya, 2008).

Areal penanaman tanaman kakao yang baik tanahnya mengandung fosfor

(28)

liat dari 10,8-43,3 persen; kedalaman efektif 150 cm; tekstur rata-rata 0-50 cm >

SC, CL, SiCL; kedalaman Gley dari permukaan tanah150 cm; pH-H2O (1:2,5)

adalah 6-7; bahan organik 4 persen; KTK rata-rata 0-50 cm > 24 me/100 gram;

kejenuhan basa rata rata 0-50 cm >50% (Karmawati, dkk., 2010).

Pemupukan tanaman kakao

Pemupukan bertujuan untuk memenuhi jumlah kebutuhan hara yang

kurang sesuai di dalam tanah, sehingga produksi meningkat. Hal ini berarti

penggunaan pupuk dan input lainnya diusahakan agar mempunyai efisiensi tinggi.

Efisiensi pemupukan haruslah dilakukan, karena kelebihan atau ketidaktepatan

pemberian pupuk merupakan pemborosan yang berarti mempertinggi input.

Keefisienan pupuk diartikan sebagai jumlah kenaikan hasil yang dapat dipanen

atau parameter pertumbuhan lainnya yang diukur sebagai akibat pemberian satu

satuan pupuk/hara (Lindawati, dkk., 2000).

Tabel 1.Dosis umum pemupukan tanaman kakao

Umur/fase Satuan N P2O2 K2O MgO

Bibit Gram/bibit 2 2 2 1

0-1 Tahun Gram/Pohon/Tahun 10 10 10 5

1-2 Tahun Gram/Pohon/Tahun 20 20 20 10

2-3 Tahun Gram/Pohon/Tahun 40 40 40 15

3-4 Tahun Gram/Pohon/Tahun 80 80 80 20

>4 Tahun Gram/Pohon/Tahun 80 80 100 30

Sumber: (Pusat penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2010).

Jika menggunakan pupuk Urea, TSP, KCL, dan Kieserit dosis pupuknya

(29)

Tabel 2. Dosis umum pemupukan tanaman kakao dengan menggunakan pupuk Urea, TSP, KCL, dan Kieserit

Umur/Fase Satuan Urea TSP KCL Kieserit

Bibit Gram/Bibit 5 5 4 4

0-1 Tahun Gram/Pohon/tahun 25 25 20 20

1-2 Tahun Gram/Pohon/tahun 45 45 35 40

2-3 Tahun Gram/Pohon/tahun 90 90 70 60

3-4 Tahun Gram/Pohon/tahun 180 180 135 7

>4 Tahun Gram/Pohon/tahun 220 180 170 115

Sumber: (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2010).

Manfaat utama dari pupuk yang berkaitan dengan sifat fisik tanah, yaitu :

memperbaiki struktur tanah dari padat menjadi gembur, mengurangi erosi pada

permukaan tanah, sebagai penutup tanah dan dapat memperbaiki struktur tanah

dibagian permukaan. Manfaat pupuk yang berkaitan dengan sifat kimia tanah

menyediakan unsur hara yang diperlukan bagian tanaman, membantu mencegah

kehilangan unsur hara yang cepat hilang seperti nitrogen, fosfor dan kalium,

memperbaiki keasaman tanah (Marsono, 2001).

Nitrogen adalah komponen utama dari berbagai substansi penting dalam

tanaman. Sekira 40-50% kandungan protoplasma yang merupakan substansi hidup

dari sel tumbuhan terdiri dari senyawa nitrogen. Senyawa nitrogen digunakan oleh

tanaman untuk membentuk asam amino yang akan diubah menjadi protein.

Nitrogen juga dibutuhkan untuk membentuk senyawa penting seperti klorofil,

asam nukleat, dan enzim. Karena itu, nitrogen dibutuhkan dalam jumlah relatif

besar pada setiap tahap pertumbuhan tanaman, khususnya pada tahap

pertumbuhan vegetatif, seperti pembentukan tunas, atau perkembangan batang

(30)

berkurang. Tanpa suplai nitrogen yang cukup, pertumbuhan tanaman yang baik

tidak akan terjadi (Novizan, 2002).

Menurut Lindawati, dkk (2000), pupuk nitrogen merupakan pupuk yang sangat penting bagi semua tanaman, karena nitrogen merupakan penyusun dari

semua senyawa protein, lemak, dan berbagai persenyawaan organik lainnya.

Nitrogen juga memiliki peranan yaitu merangsang pertumbuhan tanaman secara

keseluruhan, khususnya batang, cabang, dan daun. Nitrogen penting dalam hal

pembentukan hijau daun yang berguna sekali dalam proses fotosintesis.

Pemupukan bertujuan untuk memenuhi jumlah kebutuhan hara yang kurang

sesuai di dalam tanah, sehingga produksi meningkat. Hal ini berarti penggunaan

pupuk dan input lainnya diusahakan agar mempunyai efisiensi tinggi. Efisiensi

pemupukan haruslah dilakukan, karena kelebihan atau ketidaktepatan pemberian

pupuk merupakan pemborosan yang berarti mempertinggi input. Keefisienan

pupuk diartikan sebagai jumlah kenaikan hasil yang dapat dipanen atau parameter

pertumbuhan lainnya yang diukur sebagai akibat pemberian satu satuan

pupuk/hara.

Pemupukan Nitrogen akan menaikkan produksi tanaman, kadar protein,

dan kadar selulosa, tetapi sering menurunkan kadar sukrosa, polifruktosa, dan

pati. Hasil asimilasi CO2 diubah menjadi karbohidrat dan karbohidrat ini akan

disimpan dalam jaringan tanaman apabila tanaman kekurangan unsur Nitrogen.

Untuk pertumbuhan yang optimum selama fase vegetatif, pemupukan N harus

diimbangi dengan pemupukan unsur lain. Pembentukan senyawa N organik

tergantung pada imbangan imbangan ion lain, termasuk Mg untuk pembentukan

(31)

sintesis menjadi protein juga dipengaruhi oleh ketersediaan ion K+

(Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Di dalam metabolisme tanaman fosfor memegang peranan langsung

sebagai pembawa energi. Fungsi ini dimungkinkan karena adanya beberapa ikatan

yang melalui proses hidrolisis dapat menghasilkan energi. Senyawa fosfor yang

mempunyai energi tinggi dan mempunyai potensi menyimpan dan melepaskan

energi untuk proses proses metabolisme di dalam tanaman disebut Adenosin Tri

Fosfat (ATP). Di dalam proses oksidasi terjadi pembebasan energi, dimana

sebagian energi bebas berupa panas dan sebagian lagi ditangkap oleh molekul

ADP yang kemudian menjadi ATP. Secara fisik ATP memegang peranan dalam

hal mengahasilkan panas, cahaya dan gerak, secara kimia peranannya dapat dilihat

dalam proses fotosintesis dan respirasi (Damanik, dkk., 2011).

Fosfor terdapat pada seluruh sel hidup tanaman. Beberapa fungsi fosfor

adalah membentuk asam nukleat, menyimpan serta memindahkan energi

Adenosin Tri Phosphat dan Adenosin Di Phosphat, merangsang pembelahan sel,

dan membantu proses asimilasi dan respirasi (Novizan, 2002).

Pupuk guano

Kotoran kelelawar yang sering disebut guano, ternyata menyimpan

potensi besar sebagai pupuk organik. Salah satu penelitian yang mampu

membuktikan kegunaan guano sebagai bahan dasar pupuk organik adalah

penelitian Universitas Cornell di New York-Amerika Serikat. Perbandingan

nutrien pada beberapa hewan dapat dilihat pada tabel 1. perbandingan nutrien

(32)

Tabel 3. Perbandingan nutrien feses pada beberapa hewan (%)

Sumber : http.www.css. Cornell, educ. fertilizer analisis.pdf.

Pada tabel dapat dilihat bahwa guano memiliki tingkat nitrogen

terbesar setelah kotoran merpati. Namun, menduduki urutan pertama dalam

bagian kadar unsur fosfat dan menduduki urutan ketiga terbesar bersama kotoran

sapi perah dalam kadar kalium. Dari keterangan tersebut guano kelelawar

mengandung paling banyak fosfat. Fosfat merupakan bahan utama penyusun

pupuk selain nitrogen dan Potasium. Guano juga mengandung unsur mikro

seperti magnesium oksida (MgO) dan kalsium oksida (CaO) yang

dibutuhkan tanaman. Tidak seperti pupuk kimia buatan, guano tidak

mengandung zat pengisi. Guano tertahan lebih lama dalam jaringan tanah,

meningkatkan produktivitas tanah dan menyediakan makanan bagi tanaman

lebih lama dari pada pupuk kimia buatan.

Pupuk organik memiliki keunggulan, yaitu : mengandung unsur hara

makro dan mikro lengkap, namun jumlahnya sedikit dan dapat memperbaiki

(33)

(water holding capacity) yang tinggi, beberapa tanaman yang dipupuk dengan

pupuk organik lebih tahan terhadap serangan hama, meningkatkan aktivitas

mikroorganisme tanah yang menguntungkan dan memiliki residual effect yang positif, sehingga tanaman yang ditanam pada musim berikutnya tetap bagus

pertumbuhan dan produktivitasnya (Hadisuwito, S, 2012).

Pupuk KCL

Pupuk KCl memiliki kadar hara K tinggi berkisar antara 60%-62% K2O.

Namun yang diperdagangkan hanya memiliki kadar K2O sekitar 50%. Pupuk ini

berupa butiran-butiran kecil atau berupa tepung dengan warna putih sampai

kemerah-merahan, dan lebih banyak digunakan karena harganya relatif murah

(Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Pupuk anorganik seperti Urea, ZA dan KCl termasuk pupuk fast release

ditaburkan ke tanah, dalam waktu singkat unsur hara yang dikandungnya dapat

dimanfaatkan oleh tanaman. Kelemahan dari pupuk anorganik ialah terlalu cepat

habis bukan hanya diserap oleh tanaman,tetapi juga karena menguap dan tercuci

oleh air. Dalam pemberian pupuk perlu diperhatikan mobilitas (mudah tidaknya

berpindah) unsur hara. Artinya dalam penggunaan pupuk harus mengetahui

apakah jenis pupuk yang diberikan mengandung unsur hara yang mudah

berpindah, tercuci atau menguap. Fosfor (P) hampir tidak bersifat mobil (mudah

berpindah). Akibatnya pupuk P tetap berada di tempat semula (tidak jauh dari

tempat pemberian pupuk), sehingga harus diberikan lebih banyak pada pupuk

dasar dan dekat dengan area perakaran. Pemberian pupuk P sebaiknya dengan

cara pembuatan tugalan atau larikan disamping tanaman, sebab jika dengan cara

(34)

Kalium dan Nitrogen cenderung mudah bergerak (mobil) dari tempat asal

penebarannya. Pola pergerakannya vertikal ke bawah bersama air. Sehingga

dalam memberikan pupuk Kalium dan Nitrogen secara bertahap supaya

kemungkinan terjadinya penguapan atau pencucian tidak terlalu besar

(Azhari, M, 2001).

Adapun unsur hara yang terkandung dalam pupuk KCl yakni unsur K yang

memiliki manfaat membantu pembentukan protein, karbohidrat dan gula dari daun

ke buah, memperkuat jaringan tanaman serta meningkatkan daya tahan terhadap

penyakit, adapun gejala tanaman yang membutuhkan pupuk ini adalah daun

mengerut atau keriting, timbul bercak bercak merah cokelat, lalu kering dan mati.

Perkembangan akar lambat, buah tumbuh tidak sempurna, kecil, kualitas jelek dan

tidak tahan lama (Novizan, 2002).

Kalium tergolong unsur yang mobil dalam tanaman baik dalam sel, dalam

jaringan tanaman, maupun dalam xylem dan floem. Kalium banyak terdapat

dalam sitoplasma; garam kalium berperanan dalam tekanan osmose sel. Dalam

sitoplasma kisaran konsentrasi K relatif sempit, yaitu 100 – 120 mM dan dalam

kloroplas lebih bervariasi, yaitu 20- 200 mM. Peranan K dalam mengatur turgor

sel diduga berkaitan dengan konsentrasi K dalam vakuola

(Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Tanaman menyerap ion K+ hasil pelapukan, pelepasan dari situs

pertukaran kation tanah dan dekomposisi bahan organic yang terlarut dalam

larutan tanah. Kadar K-tukar tanah biasanya sekitar 0.5-0.6 % dari total K tanah.

Ketersediaan K terkait dengan reaksi tanah dan status kejenuhan basa (KB). Pada

(35)

kritis k adalah 0.01 me/ 100g (3,9 mg) atau sekitar 2-3% jumlah basah tertukar

(Hanafia, 2005)

Secara umum dapat disimpulkan bahwa kalium memegang peranan

penting dalam peristiwa peristiwa fisiologis berikut: (1) metabolisme karbohidrat,

pembentukan, pemecahan dan translokasi pati, translokasi (pemindahan) gula

pada pembentukan pati dan protein (2) metabolisme protein dan sintesis protein,

(3) mengawasi dan mengatur aktivitas berbagai unsur mineral, (4) mengaktifkan

berbagai enzim, (5) mempercepat pertumbuhan jaringan meristematik,

(6) mengatur membuka dan menutup stomata dan hal hal yang berkaitan dengan

air (Damanik, dkk., 2011).

Tanah ultisol

Tanah Ultisol memiliki ciri reaksi tanah sangat masam (pH 4,1-4,8).

Kandungan bahan organik lapisan atas yang tipis (8-12 cm) umumnya rendah

sampai sedang. Rasio C/N tergolong rendah (5-10). Kandungan P-potensial yang

rendah dan K-potensial yang bervariasi sangat rendah sampai rendah, baik lapisan

atas maupun lapisan bawah. Jumlah basa-basa tukar yang rendah, kandungan

K-dd hanya berkisar 0-0,1 me/100g tanah di semua lapisan termasuk rendah,

dapat disimpulkan potensi kesuburan alami tanah Ultisol sangat rendah sampai

rendah (Subagyo, dkk., 2000).

Pada umumnya ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada

klasifikasi lama, ultisol diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kuning (PMK).

Warna tanah pada horizon argilik sangat bervariasi dengan hue dari 10YR hingga 10R, nilai 3−6 dan kroma 4−8. Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor,

(36)

mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan

warna putih keabuan, serta oksida besi seperti goethit dan hematit yang

memberikan warna kecoklatan hingga merah. Makin coklat warna umumnya

makin tinggi kandungan goethit, dan makin merah warna tanah makin tinggi

kandungan hematit (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Tanah Ultisol sering diidentikkan dengan tanah yang tidak subur, tetapi

sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian potensial, asalkan

dilakukan pengelolaan yang memperhatikan kendala yang ada pada pada tanah

tersebut. Ultisol ternyata dapat merupakan lahan potensial apabila iklimnya

mendukung. Untuk meningkatkan produktivitas ultisol, dapat dilakukan melalui

pemberian kapur, pemupukan, penambahan bahan organik, penanaman tanaman

adaptif, penerapan tekhnik budidaya tanaman lorong (atau tumpang sari),

terasering, drainase dan pengolahan tanah yang seminim mungkin. Pengapuran

yang dimaksudkan untuk mempengaruhi sifat fisik tanah, sifat kimia dan kegiatan

jasad renik tanah. Pengapuran pada ultisol di daerah beriklim humid basah seperti

di Indonesia tidak perlu mencapai pH tanah 6,5 (netral), tetapi sampai pada pH 5,5

sudah dianggap baik sebab yang terpenting adalah bagaimana meniadakan

pengaruh meracun dari aluminium dan penyediaan hara kalsium bagi

pertumbuhan tanaman (Hakim, dkk., 1986).

Kandungan hara pada tanah Ultisol umumnya rendah karena pencucian

basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena

proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi. Pada tanah Ultisol

yang mempunyai horizon kandik, kesuburan alaminya hanya bergantung pada

(37)

kontribusi pada kapasitas tukar kation tanah, sehingga kapasitas tukar kation

hanya bergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi liat. Oleh karena itu,

peningkatan produktivitas tanah Ultisol dapat dilakukan melalui perbaikan tanah

(ameliorasi), pemupukan, dan pemberian bahan organik

(Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Pemanfaatan ultisol sebagai areal pertanian menemui berbagai kendala,

baik kendala kimia maupun kendala fisik. Kendala kimia berupa kemasaman

tanah dan kandungan alumunium pada taraf meracun tanaman, kekahatan unsur

hara makro dan mikro, serta kapasitas tukar kation, kejenuhan basah, dan kadar

bahan organik rendah. Sedangkan kendala fisik antara lain peka terhadap erosi

dan jumlah pori makro rendah. Hal ini mengakibatkan perkolasi dan infiltrasi

(38)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di lahan percobaan Fakultas pertanian dan di

Laboratorium Teknologi Benih Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,

Medan dengan ketinggian + 25 meter di atas permukaan laut, mulai bulan Oktober

2013 sampai dengan Januari 2014.

Bahan dan alat penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kakao varietas

lindak, polibag ukuran 20 x 30 cm, tanah subsoil ultisol dari Arboretum Kwala

Bekala sebagai media tanam, pupuk guano dari Gua Dalam Indah Penen

Sibolangit sebagai objek perlakuan, pupuk KCL sebagai objek perlakuan, pupuk

TSP sebagai pupuk dasar, insektisida matador 25 EC yang berbahan aktif lamda

sihalotrin : 25 g/l, bambu sebagai tiang naungan, dan daun nipah sebagai atap

naungan.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul sebagai alat

untuk mengolah lahan, gembor sebagai alat untuk menyiram bibit kakao, meteran

untuk mengukur lahan dan tinggi bibit kakao, caliper (jangka sorong digital)

untuk mengukur diameter batang bibit kakao, bak kecambah sebagai wadah

pengecambahan benih kakao, timbangan analitik untuk menimbang pupuk guano,

pupuk TSP dan pupuk KCl, oven sebagai alat untuk mengovenkan tanaman,

parang untuk membelah bambu dalam pembuatan naungan, handsprayer sebagai

alat untuk menyemprotkan pestisida, dan alat tulis untuk peulisan data

(39)

Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial

dengan 2 faktor perlakuan dengan 3 ulangan, yakni sebagai berikut:

Faktor 1: Pupuk Guano dengan empat taraf, yaitu:

G0 : 0 g/polibag

G 1 : 75 g/polibag

G 2 : 150 g/polibag

G 3 : 225 g/polibag

Faktor 2: Pupuk KCL dengan 3 taraf, yaitu:

K0 : 0 g / polibag

K1 : 2 g / polibag

K2 : 4 g / polibag

Diperoleh kombinasi perlakuan sebanyak 12 kombinasi, yaitu :

G0K0 G1K0 G2K0 G3K0

G0K1 G1K1 G2K1 G3K1

G0K2 G1K2 G2K2 G3K2

Jumlah kombinasi perlakuan = 12

Jumlah ulangan = 3

Jumlah petak penelitian = 36

Jumlah tanaman / petak = 4

Jumlah sampel / petak = 4

Jumlah tanaman seluruhnya = 144 tanaman

Jumlah sampel seluruhnya = 144 tanaman

(40)

Jarak antar blok = 50 cm

Jarak antar petak = 30 cm

Ukuran petak = 80 cm x 80 cm

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam

berdasarkan model linier sebagai berikut:

Yijk = µ + ρi + αj + βk + (αβ)jk + εijk

dimana:

Yijk = Hasil pengamatan pada blok ke-i yang diberi pemberian pupuk

guano pada taraf ke- j dan pupuk KCL pada taraf ke-k

µ = Nilai tengah

ρi = Pengaruh blok ke-i

αj = Pengaruh pemberian pupuk guano pada taraf ke- j

βk = Pengaruh pupuk KCL pada taraf ke-k

(αβ)jk = Pengaruh interaksi pemberian pupuk guano pada taraf ke- j dan

pupuk KCL pada taraf ke-k

εijk = Pengaruh galat pada blok ke-i yang mendapat perlakuan pemberian

pupuk guano pada taraf ke- j dan pupuk urea pada taraf ke-k

Data hasil penelitian pada perlakuan yang berpengaruh nyata dilanjutkan

dengan uji Jarak Berganda Duncandengan taraf 5%.

Peubah amatan

Tinggi bibit kakao (cm)

Tinggi bibit diukur mulai dari garis permukaan tanah pada patok standar

hingga titik tumbuh bibit dengan menggunakan meteran. Pengukuran tinggi

tanaman dilakukan sejak tanaman berumur 2 MST hingga 16 MST dengan

(41)

Diameter batang bibit kakao (mm)

Diameter batang diukur dengan menggunakan caliper (jangka sorong

digital). Pengukuran dilakukan pada tiga bagian sisi batang yang diukur

diameternya yang kemudian dirata-ratakan. Pengukuran dilakukan sejak tanaman

berumur 2 MST hingga 16 MST dengan interval pengamatan dua minggu sekali.

Jumlah daun bibit kakao (helai)

Jumlah daun yang dihitung adalah seluruh daun yang telah membuka

sempurna dengan ciri-ciri helaian daun dalam posisi terbuka yang ditandai telah

terlihatnya tulang-tulang daun seluruhnya bila diamati dari atas daun. Pengukuran

jumlah daun dilakukan sejak tanaman berumur 2 MST hingga 16 MST dengan

interval pengamatan dua minggu sekali.

Total luas daun bibit kakao (cm²)

Pengamatan total luas daun dilakukan di awal, tengah, dan akhir penelitian

(4 MST, 8 MST, dan 16 MST) dengan menggunakan persamaan yang dibuat oleh

Asomaning dan Locard dalam Sunarwidi (1982) yaitu : Log Y = -0,495 + 1,904 log X

Dimana : Y = luas daun (cm2)

X = panjang daun (cm)

Bobot basah tajuk bibit kakao (g)

Bobot basah tajuk diukur pada akhir penelitian. Tajuk tanaman adalah

bagian atas tanaman yang terdiri dari batang, serta daun-daun pada tanaman

(42)

Bobot kering tajuk bibit kakao (g)

Bobot kering tajuk diukur pada akhir penelitian (16 MST). Setelah

dibersihkan tajuk kemudian dimasukkan ke dalam amplop coklat yang telah

dilubangi, kemudian dikeringkan pada suhu 105°C selama 2 hari di dalam oven

hingga bobot keringnya konstan saat penimbangan.

Bobot basah akar bibit kakao (g)

Bobot basah akar diukur pada akhir penelitian (16 MST). Akar

dibersihkan dan kemudian ditimbang dengan timbangan analitik.

Bobot kering akar bibit kakao (g)

Bobot kering akar diukur pada akhir penelitian. Setelah dibersihkan Akar

kemudian dimasukkan ke dalam amplop coklat yang telah dilubangi, kemudian

dikeringkan pada suhu 105°C selama 2 hari di dalam oven hingga bobot

keringnya konstan saat penimbangan.

Rasio bobot kering tajuk – akar bibit kakao

Rasio bobot kering tajuk – akar bibit kakao diperoleh dengan cara

membagi bobot kering tajuk dengan bobot kering akar.

Rasio :

(43)

PELAKSANAAN PENELITIAN Persiapan areal lahan

Lahan yang akan digunakan untuk penelitian dibersihkan dari gulma dan

sampah lainnya. Lahan diukur dan dibuat plot-plot percobaan dengan luas

80 cm x 80 cm dengan jarak antar plot 30 cm dan jarak antar blok 50 cm.

Persiapan naungan

Naungan dibuat dari bambu sebagai tiang dan daun nipah sebagai atap

memanjang utara-selatan dengan tinggi 1,5 m di sebelah timur dan 1,2 m di

sebelah barat dengan panjang areal naungan 20 m dan lebar 6 m.

Persiapan media tanam dan aplikasi pupuk guano

Tanah subsoil ultisol sebagai media tanam dicampur dengan guano secara

merata dan dimasukkan ke dalam polybag berukuran 30 x 20 cm dengan bobot ±

5 kg sesuai dengan perlakuan yang telah ditetapkan di atas.

Pemupukan dasar

Media tanam yang sudah dicampur dengan guano diberi tambahan pupuk

dasar TSP sebanyak 4 g yakni sesuai rekomendasi pemupukan pada media tanam

pembibitan kakao karena kandungan unsur hara P pada guano yang digunakan

sangat kecil.

Pengecambahan benih

Pasir digunakan sebagai media perkecambahan yang diletakkan di dalam

bak kecambah setebal 10-15 cm. Benih ditanam dengan posisi radikula di bagian

bawah dengan jarak antar benih 2 cm x 3 cm. Benih ditanam dengan kedalaman

± 5 cm di bak kecambah, pengecambahan dilakukan di dalam ruangan dengan

(44)

Penanaman kecambah

Pemindahan bibit ke dalam polibag dilakukan setelah benih berumur

5 hari. Setiap polibag diisi lebih dari satu kecambah bertujuan agar apabila salah

satu bibit mati masih ada bibit yamg satu lagi untuk pengamatan peubah amatan

sehingga tidak diperlukan penyulaman, bibit ditanam dengan membenamkannya

kedalam media tanam sedalam ±5 cm lalu ditutup dengan campuran media tanam.

Polibag yang telah diisi kecambah disusun rapi/teratur di atas lahan pembibitan

yang sudah diberi naungan.

Aplikasi pupuk KCl

Aplikasi pupuk KCL dilakukan pada saat penanaman dengan ½ dosis

perlakuan dan minggu ke 8 dengan ½ dosis sesuai perlakuan masing masing.

Aplikasi pupuk dilakukan dengan membenamkannya ke dalam media tanam.

Pemeliharaan tanaman Penyiraman

Penyiraman dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi hari pukul 07.00

-08.00 WIB dan sore hari pukul 17.00–18.00 WIB atau sesuai kondisi di lapangan.

Penyiangan

Penyiangan dilakukan secara manual dengan mencabut rumput yang

berada dalam polibag dan menggunakan cangkul untuk gulma yang berada pada

plot. Penyiangan dilakukan sesuai kondisi di lapangan.

Pengendalian hama

Pengendalian hama dilakukan dengan cara menyemprotkan insektisida

berbahan aktif dengan dosis 2 cc/l air, aplikasi ini dilakukan bila terjadi serangan

(45)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Hasil pengamatan dan sidik ragam tinggi bibit kakao (cm)

(Lampiran 5-20), diameter batang bibit kakao (mm) (Lampiran 21-36), jumlah

daun bibit kakao (helai) (Lampiran 37-52), total luas daun bibit kakao (cm2)

(Lampiran 53-58), bobot basah tajuk bibit kakao (g) (Lampiran 59 dan 60),

bobot kering tajuk bibit kakao (g) (Lampiran 61 dan 62), bobot basah akar bibit

kakao (g) (Lampiran 63 dan 64), bobot kering akar bibit kakao (g)

(Lampiran 65 dan 66), rasio bobot kering tajuk - akar bibit kakao

(Lampiran 67 dan 68). Respon peubah amatan tinggi bibit kakao, diameter bibit

kakao, total luas daun bibit kakao, bobot basah tajuk bibit kakao, bobot kering

tajuk bibit kakao nyata terhadap pemberian pupuk guano. Respon seluruh peubah

amatan tidak nyata terhadap pemberian pupuk KCl dan interaksi keduanya.

Tinggi bibit kakao (cm)

Berdasarkan data pengamatan dan hasil sidik ragam (Lampiran 5-20),

diketahui bahwa respon peubah amatan tinggi bibit kakao 12, 14 dan 16 MST

nyata terhadap pemberian pupuk guano, namun respon peubah amatan tinggi bibit

kakao 2-16 MST tidak nyata pada pemberian pupuk KCl dan interaksi keduanya.

Tinggi bibit kakao 2 - 16 MST pada pemberian pupuk guano dan pupuk

(46)

Tabel 4. Tinggi bibit kakao 2-16 MST (cm) pada pemberian pupuk guano dan Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada kelompok baris yang sama menunjukkan

berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

Berdasarkan Tabel 4 tampak bahwa tinggi bibit kakao 16 MST tertinggi

pada pemberian pupuk guano terdapat pada G2 (41.09 cm) berbeda nyata dengan

G0 (32.39 cm), tetapi berbeda tidak nyata dengan G1 (39.39cm), dan

G3 (40.84 cm). Tinggi bibit kakao 16 MST terendah pada pemberian pupuk guano

(47)

Grafik hubungan tinggi bibit kakao 16 MST dengan pemberian pupuk

guano ditampilkan pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Hubungan tinggi bibit kakao 16 MST dengan pemberian pupuk guano.

Berdasarkan Gambar 1 diatas diketahui bahwa hubungan tinggi bibit

kakao 16 MST dengan pemberian pupuk guano menunjukkan persamaan

kuadratik. Berdasarkan hal ini terdapat tinggi bibit kakao 16 MST maksimum

yaitu 41.96 terhadap pemberian pupuk guano sebanyak 174.9 g.

Tinggi bibit kakao 16 MST tertinggi pada pemberian pupuk KCl terdapat

pada K0 (39,23 cm) berbeda tidak nyata dengan K1 (37.96 cm) dan

K2 (38.11 cm). Tinggi bibit kakao 16 MST terendah pada pemberian pupuk KCl

terdapat pada K1 yaitu 37.96 cm.

Diameter batang bibit kakao (mm)

Berdasarkan data pengamatan dan hasil sidik ragam (Lampiran 21-36),

diketahui bahwa respon peubah amatan diameter batang bibit kakao 4, 6, 8, dan

10 MST nyata terhadap pemberian pupuk guano, namun respon peubah amatan

diameter batang bibit kakao 2-16 MST tidak nyata terhadap pemberian pupuk

(48)

Diameter batang bibit kakao 2-16 MST pada pemberian pupuk guano dan

pupuk KCl ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Diameter batang bibit kakao 2-16 MST (mm) pada pemberian pupuk guano dan KCl (g). Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada kelompok baris yang sama menunjukkan

berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa diameter batang bibit kakao 10 MST

tertinggi pada pemberian pupuk guano terdapat pada G1 (6.19 mm), berbeda

(49)

G2 (6.13 mm). Diameter bibit kakao 16 MST terendah pada pemberian pupuk

guano terdapat pada G0 yaitu 5.56 mm.

Grafik hubungan diameter batang bibit kakao 10 MST dengan pemberian

pupuk guano ditampilkan pada Gambar 2 berikut ini:

Gambar 2. Hubungan diameter batang bibit kakao 10 MST dengan pemberian pupuk guano.

Berdasarkan Gambar 2 diatas diketahui bahwa diameter batang bibit kakao

10 MST dengan perlakuan pemberian pupuk guano menunjukkan persamaan

kuadratik. Berdasarkan hal ini terdapat diameter batang bibit kakao 10 MST

maksimum yaitu 6.20 terhadap perlakuan pemberian pupuk guano sebanyak

175.5 g.

Diameter batang bibit kakao 16 MST tertinggi pada pemberian pupuk KCl

terdapat pada K0 (8.32 mm), berbeda tidak nyata dengan K1 (8.27 mm) dan

K2 (8.31 mm). Diameter batang bibit kakao 16 MST terendah pada pemberian

pupuk KCl terdapat pada K1 yaitu 8.27 mm.

(50)

Jumlah daun bibit kakao (helai)

Berdasarkan data pengamatan dan hasil sidik ragam (Lampiran 37-52),

diketahui bahwa respon peubah amatan jumlah daun bibit kakao 2-16 MST tidak

nyata terhadap pemberian pupuk guano, pemberian pupuk KCl, dan interaksi

keduanya.

Jumlah daun bibit kakao 16 MST pada pemberian pupuk guano dan

pemberian pupuk KCl ditampilkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah daun bibit kakao 2-16 MST (helai) pada pemberian pupuk guano dan KCl (g).

(51)

daun bibit kakao 16 MST terendah pada pemberian guano terdapat pada G2 yaitu

20.14 helai.

Jumlah daun bibit kakao 16 MST tertinggi pada pemberian pupuk KCl

terdapat pada K2 (21.65 helai), berbeda tidak nyata dengan K0 (21.50 helai) dan

K2 (21.50 helai). Jumlah daun bibit kakao 16 MST terendah pada pemberian

pupuk KCl terdapat pada K0 dan K1 yaitu 21.50 helai.

Total luas daun bibit kakao (cm2)

Berdasarkan data pengamatan dan hasil sidik ragam (Lampiran 53-58),

diketahui bahwa respon peubah amatan total luas daun bibit kakao 8 dan 16 MST

nyata terhadap pemberian pupuk guano, tidak nyata terhadap pemberian pupuk

KCl dan interaksi keduanya.

Total luas daun bibit kakao 16 MST pada pemberian pupuk guano dan

pemberian pupuk KCl ditampilkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Total luas daun bibit kakao 4, 8 dan 16 MST (cm2) pada pemberian Rataan 315.84b 362.77ab 428.99a 432.19a 384.95 K0 (0) 1148.48 1202.38 1650.32 1919.39 1480.14 16 MST K1 (2) 710.30 1620.54 1700.68 1894.89 1481.60 K2 (4) 1402.05 1609.02 1757.30 1489.53 1564.48 Rataan 1086.94b 1477.31a 1702.77a 1767.94a 1508.74 Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada kelompok baris yang sama menunjukkan

berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa total luas daun bibit kakao 16 MST

tertinggi pada pemberian pupuk guano diperoleh pada G3 (1767.94 cm2) berbeda

(52)

dan G2 (1702.77 cm2). Total luas daun bibit kakao 16 MST terendah pada

pemberian pupuk guano terdapat pada G0 yaitu 1086.94 cm2.

Grafik hubungan total luas daun 16 MST dengan pemberian pupuk guano

ditampilkan pada Gambar 5 berikut ini.

Gambar 5. Hubungan total luas daun bibit kakao 16 MST dengan pemberian pupuk guano.

Berdasarkan Gambar 5 diatas diketahui bahwa total luas daun bibit kakao

16 MST pada pemberian guano menunjukkan linear positif. Berdasarkan hal ini

peningkatan total luas daun bibit kakao 16 MST sebanding dengan peningkatan

tinggi dosis pupuk guano yang diberikan hingga batas 225 g.

Total luas daun bibit kakao 16 MST tertinggi pada pemberian pupuk KCl

yaitu pada K2 (155.64 cm2) berbeda tidak nyata dengan K0 (1480.14 cm2) dan

K1 (1481.60 cm2). Total luas daun bibit kakao terendah pada pemberian pupuk

KCl terdapat pada K0 yaitu 1480.14 cm.

Bobot basah tajuk bibit kakao (g)

Berdasarkan data pengamatan dan hasil sidik ragam (Lampiran 61 dan 62),

(53)

nyata terhadap pemberian pupuk guano, tidak nyata terhadap pemberian pupuk

KCl dan interaksi keduanya.

Bobot basah tajuk bibit kakao 16 MST pada pemberian pupuk guano dan

pemberian pupuk KCl ditampilkan pada Tabel 8.

Tabel 8. Bobot basah tajuk bibit kakao 16 MST (g) pada pemberian pupuk guano dan KCl (g).

KCl (g/polibag) Guano (g/polibag) Rataan

K0 (0)

G0 (0) G1 (75) G2 (150) G3 (225)

27.34 20.42 24.11 28.53 36.30

K1 (2) 15.57 33.63 27.43 36.43 28.27

K2 (4) 20.90 22.71 28.47 36.81 27.22

Rataan 18.96c 26.82bc 28.14b 36.51a 27.61 Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda

tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa bobot basah tajuk bibit kakao

16 MST tertinggi pada pemberian pupuk guano terdapat pada G3 (36.51 g)

berbeda nyata dengan G0 (18.96 g), G1 (26.82 g), dan G2 (28.14 g). Bobot basah

tajuk bibit kakao 16 MST terendah pada pemberian pupuk guano terdapat pada

G0 yaitu 18.96 g.

Grafik hubungan bobot basah tajuk bibit kakao 16 MST dengan pemberian

(54)

Gambar 6. Hubungan bobot basah tajuk bibit kakao 16 MST dengan pemberian pupuk guano.

Berdasarkan Gambar 6 diatas diketahui bahwa bobot basah tajuk bibit

kakao 16 MST pada pemberian pupuk guano menunjukkan linear positif.

Berdasarkan hal ini peningkatan bobot basah tajuk bibit kakao 16 MST sebanding

dengan peningkatan tinggi dosis pupuk guano yang diberikan hingga batas 225 g.

Bobot basah tajuk bibit kakao 16 MST tertinggi pada pemberian pupuk

KCl terdapat pada K1 (28.27 g) berbeda tidak nyata dengan K0 (27.34 g) dan

K2 (27.22 g). Bobot basah tajuk bibit kakao 16 MST terendah pada pemberian

pupuk KCl terdapat pada K0 yaitu 27.34 g.

Bobot kering tajuk bibit kakao (g)

Berdasarkan data pengamatan dan hasil sidik ragam (Lampiran 63 dan 64),

diketahui bahwa respon peubah amatan bobot kering tajuk bibit kakao 16 MST

nyata terhadap pemberian pupuk guano, tidak nyata terhadap pemberian pupuk

(55)

Bobot kering tajuk bibit kakao 16 MST pada pemberian pupuk guano dan

pemberian pupuk KCl ditampilkan pada Tabel 9.

Tabel 9. Bobot kering tajuk bibit kakao 16 MST (g) pada pemberian pupuk guano dan KCl (g).

KCl (g/polibag) Guano (g/polibag) Rataan

K0 (0)

G0 (0) G1 (75) G2 (150) G3 (225)

9.19 5.98 9.63 9.10 12.05

K1 (2) 4.56 16.52 8.41 11.12 10.15

K2 (4) 6.36 6.91 8.47 11.54 8.32

Rataan 5.63b 11.02a 8.66ab 11.57a 9.22 Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda

tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa bobot kering tajuk bibit kakao

16 MST tertinggi pada pemberian pupuk guano terdapat pada G3 (11.57 g)

berbeda nyata dengan G0 (5.63 g), G1 (11.02 g), dan G2 (8.66 g). Bobot kering

tajuk bibit kakao 16 MST terendah pada pemberian pupuk guano terdapat pada

G0 yaitu 5.63 g.

Grafik hubungan bobot basah tajuk bibit kakao 16 MST dengan

(56)

Gambar 7. Hubungan bobot kering tajuk bibit kakao 16 MST dengan pemberian pupuk guano.

Berdasarkan Gambar 7 diatas diketahui bahwa hubungan bobot kering

tajuk bibit kakao 16 MST dengan pemberian pupuk guano menunjukkan

persamaan linear positif. Berdasarkan hal ini peningkatan bobot kering tajuk bibit

kakao 16 MST sebanding dengan peningkatan tinggi dosis pupuk guano yang

diberikan hingga batas 225 g.

Bobot kering tajuk bibit kakao 16 MST tertinggi pada pemberian pupuk

KCl terdapat pada K1 (10.15 g) berbeda tidak nyata dengan K0 (9.19 g) dan K2

(8.32 g). Bobot kering tajuk bibit kakao 16 MST terendah pada pemberian pupuk

KCl terdapat pada K2 yaitu 8.23 g.

Bobot basah akar bibit kakao(g)

Berdasarkan data pengamatan dan hasil sidik ragam (Lampiran 65 dan 66),

diketahui bahwa respon peubah rataan bobot basah akar bibit kakao 16 MST

tidak nyata terhadap pemberian pupuk guano, pemberian pupuk KCl, dan interaksi

(57)

Bobot basah akar bibit kakao 16 MST pada pemberian pupuk guano dan

pemberian pupuk KCl ditampilkan pada Tabel 10.

Tabel 10. Bobot basah akar bibit kakao 16 MST (g) pada pemberian pupuk guano dan KCl (g).

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris atau kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa bobot basah akar bibit kakao 16 MST

tertinggi pada pemberian pupuk guano terdapat pada G2 (6.70 g) berbeda tidak

nyata dengan G0 (4.49 g), G1 (4.89 g), dan G3 (5.60 g). Bobot basah akar bibit

kakao terendah pada pemberian pupuk guano terdapat pada G0 yaitu 4.49 g.

Bobot basah akar bibit kakao 16 MST tertinggi pada pemberian pupuk

KCl terdapat pada K2 (6.62 g) berbeda tidak nyata dengan K0 (4.23 g) dan K2

(5.40 g). Bobot basah akar bibit kakao 16 MST terendah pada pemberian pupuk

KCl terdapat pada K0 yaitu 4.23 g.

Bobot kering akar bibit kakao (g)

Berdasarkan data pengamatan dan hasil sidik ragam

(Lampiran 67 dan 68), diketahui bahwa respon peubah amatan rataan bobot

kering akar bibit kakao 16 MST tidak nyata terhadap pemberian pupuk guano,

pemberian pupuk KCl, dan interaksi keduanya.

Bobot kering akar bibit kakao 16 MST pada pemberian pupuk guano dan

(58)

Tabel 11. Bobot kering akar bibit kakao 16 MST (g) pada pemberian pupuk guano Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris atau kolom yang sama menunjukkan

berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa bobot kering bibit kakao akar

16 MST tertinggi pada pemberian pupuk guano terdapat pada G3 (1.62 g) berbeda

tidak nyata dengan G0 (1.33 g), G1 (1.60 g), dan G3 (1.36 g). Bobot kering bibit

kakao akar 16 MST terendah pada pemberian pupuk guano terdapat pada

G0 yaitu 1.33 g.

Bobot kering akar bibit kakao16 MST tertinggi pada pemberian pupuk

KCl terdapat pada K1 (1.57 g) berbeda tidak nyata dengan K0 (1.39 g) dan

K2 (1.48 g). Bobot kering akar bibit kakao16 MST terendah pada pemberian

pupuk KCl terdapat pada K0 yaitu 1.39 g.

Rasio bobot kering tajuk – akar bibit kakao 16 MST

Berdasarkan data pengamatan dan hasil sidik ragam (Lampiran 69 dan 70),

diketahui bahwa respon peubah amatan rasio bobot kering tajuk – akar tidak nyata

pada pemberian pupuk guano, pemberian pupuk KCl dan interaksi keduanya.

Rataan rasio bobot kering tajuk - akar pada pemberian pupuk guano dan

Gambar

Tabel 1. Dosis  umum pemupukan tanaman kakao
Tabel 2. Dosis umum pemupukan tanaman kakao dengan menggunakan pupuk Urea, TSP, KCL, dan Kieserit
Tabel 3. Perbandingan nutrien feses pada beberapa hewan (%)
Tabel 4. Tinggi bibit kakao 2-16 MST (cm) pada pemberian pupuk guano dan KCl (g).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Percampuran kategori dibenarkan pada keadaan dan masa tertentu jikalau ia tidak mengganggu keselamatan dan masih dalam kawalan yang baik. Banduan muda sabitan dan banduan muda

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara external locus of control

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahnya keapada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:

Anak yang lebih siap masuk sekolah akan melalui proses penyesuaian diri dengan lebih mudah, apalagi bila ada banyak teman yang sudah dikenal sebelumnya masuk pada

Akan tetapi indikator tersebut relevan dijadikan sebagai ukuran dasar pengelolaan hutan lestari untuk aspek produksi karena indikator tersebut merupakan

Agar penelitian ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari topik yang dipersoalkan maka pembahasan dalam tulisan ini lebih di fokuskan bagaimana upaya pengusaha souvenir mata

Hasil yang didapat menunjukkan adanya hubungan yang sangat bermakna (p<0,05) antara tingkat asupan energi dengan kejadian sindrom metabolik dan hasil ini juga

Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia yang akan mengambil Prodi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah harus menempuh sejumlah matakuliah keilmuan