• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Betok yang Direndam dengan Hormon Pertumbuhan Rekombinan Ikan Kerapu Kertang pada Dosis Berbeda.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Betok yang Direndam dengan Hormon Pertumbuhan Rekombinan Ikan Kerapu Kertang pada Dosis Berbeda."

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

HIKMA NADIATUL HUSNA. Growth and Survival of Climbing Perch Anabas testudineus Juveniles Immersed in Recombinant Giant Grouper Growth Hormone at Different Dose. Supervised by Dr. Alimuddin and Dr. Odang Carman

This research was conducted to determine the dose of immersion recombinant giant grouper growth hormone (rElGH) that generates the highest growth and survival rate of climbing perch Anabas testudineus juveniles. The dose of rElGH used was 3 mg/L, 6 mg/L, and 12 mg/L and without administration of rElGH as a control. Two hundred juveniles of 6 days after hatching (were the yolk egg absorbed) were immersed into 200 mL of rElGH solution for 2 hours. Fish were reared in aquarium (30x20x20 cm) at stocking densities of 20 fish/L. Fish were maintained for 8 weeks and fed on rotifer, Artemia nauplii and silk worm 4 times a day ad libithum and commercial diet at satiation. The results showed that the body length of 12 mg/L rGH-treated fish (4.6233 cm) were higher (P<0.05) compared to that of 6 mg/L (4.5633 cm), 3 mg/L (4.4633 cm) and control (4.4967 cm). Biomass of fish treated with rGH in a dose of 12 mg/L (529.01 g) were higher (P<0.05) compared to that of 6 mg/L (487.55 g), 3 mg/L (476.18 g) and control (416.17 g). Specific growth rate of among rGH-treated fish, and control were similar (P>0.05). Survival rate of 12 mg/L rElGH-treated fish was also higher compared with other treatments and control. Thus, immersion of fish in 12 mg/L rElGH solution can be applied to enhance the growth and survival rate of climbing perch.

(2)

ABSTRAK

HIKMA NADIATUL HUSNA. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Betok yang Direndam dengan Hormon Pertumbuhan Rekombinan Ikan Kerapu Kertang pada Dosis Berbeda. Dibimbing oleh Dr.Alimuddin dan Dr.Odang Carman

Penelitian ini dilakukan untuk menentukan dosis perendaman hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElHP) yang menghasilkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan betok tertinggi. Dosis rElHP yang diberikan, yaitu 3 mg/L, 6 mg/L, dan 12 mg/L serta tanpa pemberian rElHP sebagai kontrol. Benih ikan sebanyak 200 ekor yang berumur 6 hari setelah menetas (habis kuning telur) direndam ke dalam 200 mL larutan rElHP selama 2 jam. Ikan dipelihara dalam akuarium (30x20x20 cm) dengan padat tebar 20 ekor/L selama 8 minggu dan diberi pakan rotifer, naupli Artemia dan cacing sutera 4 kali dalam sehari secara ad libithum serta pakan buatan at satiation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang baku benih ikan betok yang diberi perlakuan perendaman rElHP dengan dosis 12 mg/L (4,62 cm) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan 6 mg/L (4,56 cm), 3 mg/L (4,46 cm), dan kontrol (4,49 cm). Biomassa ikan yang diberi perlakuan perendaman rHP dengan dosis 12 mg/L (529,01 g) juga lebih tinggi (P<0,05) daripada perlakuan 6 mg/L (487,55 g), 3 mg/L (476,18 g), dan kontrol (416,17 g). Laju pertumbuhan spesifik tidak berbeda antar perlakuan, dan kontrol (P>0,05). Tingkat kelangsungan hidup benih ikan betok perlakuan 12 mg/L lebih tinggi dibandingkan perlakuan lain, dan kontrol. Dengan demikian perendaman benih dalam larutan rElHP dengan dosis 12 mg/L dapat diaplikasikan untuk meningkatkan pertumbuhan, dan kelangsungan hidup ikan betok.

(3)

1 I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan betok Anabas testudineus Bloch. atau dikenal dengan nama ikan papuyu di daerah Banjar, Kalimantan Selatan (Kottelat et al., 1993) merupakan salah satu ikan air tawar yang berpotensi untuk dikembangkan karena memiliki

nilai ekonomis cukup tinggi yaitu harganya dapat mencapai Rp100.000,00 per kg

(Borneonews, 2011). Budidaya ikan betok hingga saat ini masih belum banyak

dikembangkan. Salah satu hambatannya adalah pertumbuhan yang lambat dan

memerlukan waktu kurang lebih satu tahun untuk mencapai ukuran konsumsi

(70-100 gram) (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008).

Pertumbuhan ikan dapat ditingkatkan melalui perbaikan mutu ikan.

Perbaikan mutu ikan dapat dilakukan dengan metode seleksi, hibridisasi,

transgenesis, dan aplikasi protein rekombinan. Aplikasi metode seleksi

membutuhkan waktu relatif lama untuk mencapai efek signifikan khususnya pada

ikan yang membutuhkan waktu lama untuk mencapai matang kelamin pertama

kali (Bolivar et al., 2002). Penerapan teknologi hibridisasi juga memerlukan waktu relatif lama. Selain itu, aplikasi teknologi transgenesis dapat menghasilkan

ikan dengan tingkat perbaikan kualitas tinggi dalam waktu relatif cepat, tetapi

teknologi ini masih menimbulkan kontroversi terhadap keamanan pangan.

Sementara itu, hingga saat ini penggunaan hormon pertumbuhan rekombinan

(rHP) pada ikan dikatakan aman untuk dikonsumsi, karena rHP tidak

ditransmisikan ke keturunan selanjutnya sehingga tidak termasuk organisme

transgenik (Acosta et al., 2007).

Protein rHP cukup efektif digunakan untuk meningkatkan laju

pertumbuhan ikan. rHP merupakan polipeptida rantai tunggal dengan ukuran

sekitar 22 kDa yang dihasilkan menggunakan bioreactor/fermentor, seperti bakteri (Rousseau & Dufour, 2007 dalam Acosta et al., 2009). Penggunaan teknologi protein rHP untuk mempercepat pertumbuhan ikan sudah banyak

dilakukan pada beberapa spesies ikan dengan metode yang berbeda. Pemberian

rHP ikan mas melalui metode injeksi dengan dosis sebesar 0,1 µg/g bobot tubuh

(4)

2 dibandingkan dengan kontrol (Li et al. 2003). Pemberian jenis rHP yang berbeda pada ikan nila melalui teknik penyuntikan atau injeksi berhasil meningkatkan

bobot ikan yaitu sebesar 20,94% dengan rHP ikan kerapu kertang; 18,09% dengan

rHP ikan mas; 16,99% dengan rHP ikan gurame (Alimuddin et al., 2010). Pemberian rHP ikan mas melalui pakan Artemia pada benih ikan gurame dapat meningkatkan pertumbuhan sebesar 13% (Rahmawaty, 2011). Hasil lain diperoleh

dari pemberian protein rHP ikan gurame pada benih ikan gurame melalui metode

perendaman dengan dosis 30 mg/L sebanyak 3 kali perendaman efektif

meningkatkan pertumbuhan sebesar 75,04% dibandingkan dengan kontrol (Putra,

2011).

Pemberian rHP dapat dilakukan dengan beberapa metode, di antaranya:

perendaman/imersi (Moriyama, 1990; Acosta et al., 2007; Putra, 2011), penyuntikan/injection (Li et al., 2003; Lesmana, 2010), dan melalui pakan (Moriyama et al., 1993; Xu et al., 2001; Rahmawaty, 2011). Berdasarkan ketiga metode yang telah dilakukan, metode penyuntikan dikatakan kurang aplikatif dan

memperlihatkan respons yang lambat, sedangkan metode perendaman pada stadia

larva atau juvenil merupakan cara yang aplikatif untuk skala massal. Pada metode

perendaman diperlukan kejut salinitas. Menurut Ratnawati (2012) kejut salinitas

berfungsi untuk membuka jalur masuknya rHP melalui insang dengan

memanfaatkan mekanisme pertukaran cairan tubuh.

Protein rekombinan yang digunakan dalam kegiatan ini rElHP (hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang Epinephelus lanceolatus) (Lesmana, 2010). Hormon ini digunakan karena tingkat produksi rHP ikan kerapu kertang pada

Escherichia coli lebih tinggi dibandingkan dengan rHP ikan gurame dan ikan mas (Irmawati et al., 2011 belum dipublikasikan). Selain itu, rElHP telah terbukti memiliki bioaktivitas dalam menginduksi pertumbuhan ikan nila (Alimuddin et al., 2010) dan ikan sidat (Aminah, 2012).

1.2. Tujuan

Penelitian ini dilakukan untuk menentukan dosis protein rHP ikan kerapu

(5)

3 II. BAHAN DAN METODE

2.1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan salinitas kejut (shock salinity) untuk larva ikan betok. Larva ikan betok berumur 6 hari diberi kejut salinitas 3,0%; 2,5% dan 2,0% NaCl selama 2 menit. Selanjutnya benih ikan betok

direndam dalam larutan NaCl 0,3%; 0,5%; dan 0,7% selama 2 jam dengan satu

kali ulangan. Pada setiap perlakuan digunakan benih umur 6 hari sebanyak 100

ekor. Setelah itu ikan diperlihara selama 14 hari. Perlakuan yang memberikan

kelangsungan hidup tertinggi digunakan dalam penelitian utama.

Tabel 1. Tingkat kelangsungan hidup (survival rate/SR) benih ikan betok setelah diberi kejut salinitas selama 2 menit, dilanjutkan perendaman salinitas berbeda selama 2 jam

Kejut salinitas berbeda (%) selama 2 menit

Salinitas (%) perendaman larva selama 2 jam

0,3 0,5 0,7

3,0 46 80 48

2,5 65 58 53

2,0 54 58 54

Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup

tertinggi (80%) diperoleh pada perlakuan dengan kejut salinitas NaCl 3,0% dan

perendaman pada larutan NaCl 0,5%. Salinitas tersebut selanjutnya digunakan

pada penelitian utama.

2.2. Produksi Protein rHP

Produksi protein rHP yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan

bakteri E. coli BL21 yang mengandung pCold-I/ElHP yang dibuat oleh Lesmana (2010). Bakteri dikultur awal dalam 3 mL media LB cair yang mengandung

ampisilin dan NaOH 5M, lalu diinkubasi suhu 37 oC dengan menggunakan shaker kecepatan 200 rpm selama 18 jam. Setelah itu, dilakukan subkultur dengan

mengambil sebanyak 1% dari kultur awal dan dimasukkan ke dalam 100 ml media

LB cair mengandung ampisilin dan NaOH yang baru, lalu diinkubasi lagi pada

(6)

4 diberikan kejutan dengan suhu 15 oC selama 30 menit, ditambahkan IPTG

sebanyak 750 µL dan diinkubasi menggunakan shaker pada suhu 15 oC selama 24 jam. Bakteri hasil kultur disentrifugasi kecepatan 12.000 rpm selama 1 menit

dengan tujuan mengendapkan sel bakteri. Pelet bakteri yang diperoleh dicuci

dengan phosphate buffer saline (PBS) sebanyak 1 kali, selanjutnya disimpan dalam deep-freezer (-80 oC) hingga akan digunakan.

Inaktivasi bakteri dilakukan dengan cara pelet bakteri yang diperoleh dan

mengandung rekombinan ElHP dimasukkan ke dalam freezer -20 oC selama semalam, kemudian dimasukkan kembali ke deep-freezer (-80 oC). Lisis dinding sel bakteri dilakukan secara kimiawi menggunakan lisozim. Pelet bakteri hasil

sentrifugasi dicuci menggunakan bufer Tris-EDTA (TE) sebanyak 1 mL per 200 mg bakteri, lalu diinkubasi pada suhu 37 oC selama 20 menit. Selanjutnya, tabung

disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 1 menit, kemudian supernatan

dalam tabung mikro dibuang. Pelet bakteri (natan) yang diperoleh ditambahkan

500 µL larutan lisozim (10 mg dalam 1 mL bufer TE), lalu diinkubasi suhu 37 oC

selama 20 menit, selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama

1 menit. Supernatan dalam tabung mikro dibuang dan pelet yang terbentuk

merupakan protein rHP dalam bentuk badan inklusi (inclusion body). Pelet protein rHP dicuci PBS sebanyak satu kali dan disimpan dalam deep-freezer (-80 oC) hingga akan digunakan.

2.3. Rancangan Perlakuan

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri dari

empat perlakuan dengan tiga ulangan. Benih ikan betok yang digunakan berumur

6 hari. Ikan dipuasakan terlebih dahulu sehari sebelum diberi perlakuan. Pada

setiap perlakuan, sebanyak 200 ekor ikan betok direndam (salinity shock) dalam 200 mL media NaCl 3,0% selama 2 menit, lalu dimasukkan dalam larutan yang

mengandung rHP dengan dosis berbeda. Dosis rHP yang diuji yaitu 3 mg/L, 6

mg/L dan 12 mg/L dalam larutan NaCl 0,5% dan BSA (bovine serum albumine) 0,01%. Untuk perlakuan kontrol, ikan diberikan kejut salinitas NaCl 3,0% selama

2 menit, lalu dimasukkan dalam larutan NaCl 0,5% dan BSA 0,01% (tidak

(7)

5 2.4. Pemberian Pakan dan Pemeliharaan Ikan Betok

Ikan betok diberi pakan dengan skedul seperti disajikan pada Tabel 2. Ikan

dipelihara dalam akuarium ukuran 30x20x20 cm dengan volume air 10 liter

hingga berumur 30 hari, lalu pada akuarium dengan volume air 20 liter hingga

berumur 40 hari dan selanjutnya dipindah ke media hapa berukuran 1x1 meter.

Sampling panjang dilakukan pada awal pemeliharaan, hari ke-18, 30, dan 58.

Pada awal pemeliharaan, panjang ikan diukur menggunakan mikroskop dibantu

mikrometer dengan galat 0,05, sedangkan pada sampling kedua hingga akhir

digunakan milimeter blok untuk mengukur panjang. Sampling bobot dilakukan

pada awal pemeliharaan dan akhir pemeliharaan dengan jumlah ikan yang diambil

30 ekor per perlakuan menggunakan timbangan digital. Pergantian air sebanyak

60% dilakukan pada waktu sampling kedua, dan ketiga.

Tabel 2. Jenis dan skedul pemberian pakan pada ikan betok selama pemeliharaan

Pakan Hari ke- Frekuensi

Rotifer 6 s/d 9 4 x sehari (ad-libithum) Rotifer + Artemia 10 s/d 11 4 x sehari (ad-libithum) Naupli Artemia 12 s/d 13 4 x sehari (ad-libithum) Artemia + cacing cacah 14 s/d 17 4 x sehari (ad-libithum) Cacing sutera dicacah 18 s/d 19 4 x sehari (ad-libithum) Cacing sutera 20 s/d 30 3 x sehari (ad-libithum)

Cacing + Pakan Buatan 31 s/d 40 Cacing : malam hari Pakan Buatan : at-satiation Pakan Buatan 41 s/d 57 1 jam sekali (at-satiation)

2.5. Analisis Statistik

Parameter yang diamati pada penelitian ini meliputi pertumbuhan panjang

(panjang baku; panjang total), biomassa, rerata bobot tubuh, growth rate (GR), spesific growth rate (SGR) dan tingkat kelangsungan hidup. Parameter yang diamati tersebut dianalisis menggunakan metode sidik ragam (ANOVA) dan uji

(8)

6 III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

3.1.1. Pertumbuhan Panjang Benih Ikan Betok

Pertumbuhan panjang benih ikan betok pada akhir penelitian setelah

perendaman 2 jam dengan protein rHP pada dosis berbeda disajikan pada Tabel 3

dan Gambar 1. Rerata panjang baku benih ikan betok yang diberi perlakuan

perendaman rHP dosis 12 mg/L (4,62 cm) adalah lebih tinggi (P<0,05)

dibandingkan perlakuan 6 mg/L (4,56 cm), 3 mg/L (4,46 cm) dan kontrol (4,49

cm). Pertambahan panjang total juga berbeda antar perlakuan (P<0,05; Tabel 3).

Rerata panjang total benih ikan betok yang diberi perlakuan perendaman rHP

dosis 12 mg/L (5,59 cm) dan dosis 6 mg/L (5,51 cm) juga lebih tinggi (P<0,05)

dibandingkan perlakuan 3 mg/L (5,430 cm), dan kontrol (5,477cm). Rerata tinggi

badan antar perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05; Tabel 3).

Tabel 3. Rerata panjang (cm) benih ikan betok pada perendaman rHP dengan dosis berbeda

Dosis ElHP

(mg/L) Panjang Baku Panjang Total Tinggi badan Kontrol (0) 4,49 ± 0,04a 5,47± 0,04ab 1,75 ± 0,01a

3 4,46 ± 0,03a 5,43± 0,04a 1,74 ± 0,03a 6 4,56 ± 0,06ab 5,51 ± 0,09ab 1,77 ± 0,02a 12 4,62 ± 0,03b 5,590± 0,01b 1,79 ± 0,02a

Keterangan: Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata (P<0,05). Data tersebut berdasarkan rerata dari 3 kali ulangan

Gambar 1. Pertumbuhan panjang baku benih ikan betok perlakuan12 mg/L(■) dan kontrol (♦). Pengukuran panjang ikan dilakukan pada awal penelitian, hari ke-18, 30, dan 58 setelah perlakuan perendaman rElHP.

0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0

Sampling ke-1 Sampling ke-2 Sampling ke-3 Sampling ke-4

Pan

(9)

3 rerata dari 3 ka

(10)
(11)

9 3.2. Pembahasan

Aplikasi protein rElHP dosis 12 mg/L menunjukkan peningkatan pertumbuhan panjang dan biomassa lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya

(Gambar 1 dan 2). Perlakuan rHP dosis 12 mg/L mampu meningkatkan biomassa

27,11% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (P<0,05; Lampiran 1) serta

lebih tinggi 150% dibandingkan dengan yang dilakukan Pogram (2012, belum

dipublikasikan). Pogram (2012) melakukan perendaman hari ke-12 dengan dosis

12 mg/L memiliki kelangsungan hidup 30,5% setelah 35 hari pemeliharaan.

Perbedaan hasil tersebut diduga karena perbedaan umur larva saat perendaman,

penelitian ini menggunakan larva berumur 6 hari, ada kemungkinan rHP lebih

mudah terserap melalui pori-pori dan insang sehingga respons pertumbuhan dan

kelangsungan hidup yang diperoleh lebih baik. Hal yang sama juga telah

dilakukan Putra (2011) pada penelitian sebelumnya, yaitu benih ikan gurame yang

diberi perlakuan perendaman rHP ikan gurame dengan dosis 20 mg/L dan 30

mg/L berhasil meningkatkan pertumbuhan masing-masing 63,95% dan 75,04%

lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Perbedaan persentase hasil antara

penelitian ini dengan penelitian sebelumnya diduga karena perbedaan rHP dan

ikan target yang digunakan. Penelitian Putra (2011) menggunakan jenis rHP yang

sama dengan ikan yang diujikan sehingga rHP ikan gurame yang diberikan dapat

diterima dengan baik oleh reseptor HP pada ikan gurame yang diujikan untuk

memicu pertumbuhan.

Pada penelitian ini diperoleh bahwa peningkatan benih ikan betok yang

diberi perlakuan rHP dosis 12 mg/L memiliki peningkatan pertumbuhan biomassa

terbaik, yaitu 1,27 kali lebih tinggi daripada kontrol. Hal tersebut hampir sama

dengan penelitian Moriyama dan Kawauchi (2004) yaitu perendaman benih

abalon dengan rsHP dosis 30 mg/L dengan frekuensi pemberian setiap 7 hari

sekali selama 84 hari pemeliharaan mampu meningkatkan bobot tubuh sebesar 1,2

kali dari kontrol. Namun pada penelitian ini perendaman hanya dilakukan satu

kali sehingga metode perendaman dalam penelitian ini lebih praktis.

Pertumbuhan ikan betok pada kontrol dan perlakuan rHP 12 mg/L

mengalami peningkatan panjang baku dari awal pemeliharaan hingga hari ke-12

(12)

10 perlakuan 12 mg/L mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu 0,99 kali

menjadi 1,06 kali lipat lebih tinggi dibandingkan kontrol. Namun, pada hari ke-58

terjadi penurunan menjadi 1,02 kali lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hal

tersebut sesuai pernyataan Acosta et al. (2009) bahwa pemberian tiGH dengan metode perendaman pada larva ikan mas koki dengan frekuensi sebanyak 3 kali

seminggu dapat meningkatkan bobot tubuh sebesar 3,5 kali lipat dari perlakuan

kontrol setelah pemeliharaan 15 hari dan menurun pada hari ke-30 yaitu hanya

sebesar 2,2 kali lipat dari perlakuan kontrol. Hal tersebut diduga terkait dengan

daya dukung wadah pemeliharaan, pada minggu ke-8 daya dukung wadah sudah

tercapai.

Perlakuan perendaman rHP dengan dosis 12 mg/L memiliki biomassa

(529,01 g) dan tingkat kelangsungan hidup (76,33%) benih ikan betok lebih tinggi

dibandingkan dengan perlakuan lain dan kontrol. Menurut Putra (2011) hal

tersebut diduga karena rHP yang diberikan memberikan pengaruh peningkatan

daya tahan tubuh khususnya terhadap stres berupa kejutan salinitas yang

diberikan. Pada penelitian Acosta et al., (2009) disampaikan bahwa pemberian rHP pada larva dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan daya tahan terhadap

stres serta infeksi penyakit. Pemberian nHP dan rHP pada ikan rainbow trout juga efektif meningkatkan resistensi terhadap Vibrio anguillarum (Sakai et al., 1997). Pada penelitian ini kelangsungan hidup meningkat diduga juga karena

peningkatan daya tahan terhadap penyakit, meskipun pada penelitian ini tidak

dilakukan uji tantang atau pemeriksaan prevalensi penyakit. Sementara itu,

biomassa ikan terlihat meningkat 1,27 kali lipat pada minggu ke-8. Peningkatan

biomassa tersebut diduga karena pada minggu ke-7 dilakukan pemindahan ikan ke

media yang lebih besar, yaitu hapa ukuran 1x1 meter sehingga pertumbuhan ikan

lebih maksimum.

Peningkatan biomassa dan kelangsungan hidup ikan memiliki keterkaitan

dengan selera makan ikan, pada perlakuan 12 mg/L nafsu makan ikan lebih tinggi

dibanding perlakuan lain dan kontrol. Hal yang sama juga telah disampaikan oleh

(13)

11 Selain itu, apabila dilihat dari analisis keseragaman rerata bobot tubuh

akhir ikan pada Tabel 4, perlakuan 12 mg/L memiliki standar deviasi yang paling

rendah (0,014) dibandingkan perlakuan lain. Hal tersebut menandakan bahwa

ukuran ikan pada perlakuan 12 mg/L lebih seragam. Sementara itu, standar

deviasi pada kontrol terlihat paling tinggi (0,207), hal tersebut menunjukkan

bahwa tingkat keragaman ikan pada kontrol tinggi (beragam). Dengan demikian,

dapat dikatakan bahwa perlakuan perendaman rHP memiliki tingkat keseragaman

ukuran ikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Ukuran ikan yang

lebih seragam dapat berimplikasi pada waktu pemanenan ikan, harga jual, dan

pendapatan pembudidaya.

Mekanisme penyerapan rHP ke dalam tubuh ikan belum diketahui secara

pasti. Namun demikian, menurut Sherwood & Harvey (1986) dalam Moriyama (1990) pemberian gonadotropin releasing hormone (GnRH) terlihat berpengaruh pada plasma ikan mas setelah pemberian melalui insang. Hal tersebut diperkuat

dengan pernyataan Smith (1982) dalam Moriyama (1990) bahwa ditemukan ditemukan radiolabeled-BSA pada insang dan epidermis ikan rainbow trout setelah perendaman dalam larutan dan diduga bahwa larutan tersebut masuk

melalui insang. Oleh karena itu diduga bahwa mekanisme masuknya rHP pada

ikan betok juga melalui insang.

Metode perendaman merupakan salah satu metode yang aplikatif

dilakukan secara massal dan mudah diterapkan oleh pembudidaya. Jumlah benih

yang direndam pada penelitian ini adalah 200 ekor/200 mL media, perendaman

dilakukan pada hari ke-6. Pemeliharaan benih ikan betok dilakukan pada media

pemeliharaan dengan volume 10 liter hingga benih berumur 23 hari, selanjutnya

benih ikan dipelihara pada akuarium dengan volume 20 liter, lalu dipindah ke

wadah yang lebih besar yaitu hapa dengan ukuran 1x1 meter agar pertumbuhan

ikan dapat lebih maksimal. Penggunaan media yang kurang sesuai dengan padat

(14)

12 IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Pemberian rElHP dosis 12 mg/L melalui perendaman dapat meningkatkan pertumbuhan benih ikan betok.

4.2. Saran

Metode pendederan ikan betok di akuarium belum diketahui dengan baik.

Pada penelitian selanjutnya diharapkan jumlah larva yang ditebar harus

disesuaikan dengan daya dukung wadah, agar tercapai pertumbuhan yang optimal.

(15)

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH

IKAN BETOK YANG DIRENDAM DENGAN HORMON

PERTUMBUHAN REKOMBINAN IKAN KERAPU KERTANG

PADA DOSIS BERBEDA

HIKMA NADIATUL HUSNA

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(16)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH

IKAN BETOK YANG DIRENDAM DENGAN HORMON

PERTUMBUHAN REKOMBINAN IKAN KERAPU KERTANG

PADA DOSIS BERBEDA

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2012

(17)

ABSTRAK

HIKMA NADIATUL HUSNA. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Betok yang Direndam dengan Hormon Pertumbuhan Rekombinan Ikan Kerapu Kertang pada Dosis Berbeda. Dibimbing oleh Dr.Alimuddin dan Dr.Odang Carman

Penelitian ini dilakukan untuk menentukan dosis perendaman hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElHP) yang menghasilkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan betok tertinggi. Dosis rElHP yang diberikan, yaitu 3 mg/L, 6 mg/L, dan 12 mg/L serta tanpa pemberian rElHP sebagai kontrol. Benih ikan sebanyak 200 ekor yang berumur 6 hari setelah menetas (habis kuning telur) direndam ke dalam 200 mL larutan rElHP selama 2 jam. Ikan dipelihara dalam akuarium (30x20x20 cm) dengan padat tebar 20 ekor/L selama 8 minggu dan diberi pakan rotifer, naupli Artemia dan cacing sutera 4 kali dalam sehari secara ad libithum serta pakan buatan at satiation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang baku benih ikan betok yang diberi perlakuan perendaman rElHP dengan dosis 12 mg/L (4,62 cm) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan 6 mg/L (4,56 cm), 3 mg/L (4,46 cm), dan kontrol (4,49 cm). Biomassa ikan yang diberi perlakuan perendaman rHP dengan dosis 12 mg/L (529,01 g) juga lebih tinggi (P<0,05) daripada perlakuan 6 mg/L (487,55 g), 3 mg/L (476,18 g), dan kontrol (416,17 g). Laju pertumbuhan spesifik tidak berbeda antar perlakuan, dan kontrol (P>0,05). Tingkat kelangsungan hidup benih ikan betok perlakuan 12 mg/L lebih tinggi dibandingkan perlakuan lain, dan kontrol. Dengan demikian perendaman benih dalam larutan rElHP dengan dosis 12 mg/L dapat diaplikasikan untuk meningkatkan pertumbuhan, dan kelangsungan hidup ikan betok.

(18)

ABSTRACT

HIKMA NADIATUL HUSNA. Growth and Survival of Climbing Perch Anabas testudineus Juveniles Immersed in Recombinant Giant Grouper Growth Hormone at Different Dose. Supervised by Dr. Alimuddin and Dr. Odang Carman

This research was conducted to determine the dose of immersion recombinant giant grouper growth hormone (rElGH) that generates the highest growth and survival rate of climbing perch Anabas testudineus juveniles. The dose of rElGH used was 3 mg/L, 6 mg/L, and 12 mg/L and without administration of rElGH as a control. Two hundred juveniles of 6 days after hatching (were the yolk egg absorbed) were immersed into 200 mL of rElGH solution for 2 hours. Fish were reared in aquarium (30x20x20 cm) at stocking densities of 20 fish/L. Fish were maintained for 8 weeks and fed on rotifer, Artemia nauplii and silk worm 4 times a day ad libithum and commercial diet at satiation. The results showed that the body length of 12 mg/L rGH-treated fish (4.6233 cm) were higher (P<0.05) compared to that of 6 mg/L (4.5633 cm), 3 mg/L (4.4633 cm) and control (4.4967 cm). Biomass of fish treated with rGH in a dose of 12 mg/L (529.01 g) were higher (P<0.05) compared to that of 6 mg/L (487.55 g), 3 mg/L (476.18 g) and control (416.17 g). Specific growth rate of among rGH-treated fish, and control were similar (P>0.05). Survival rate of 12 mg/L rElGH-treated fish was also higher compared with other treatments and control. Thus, immersion of fish in 12 mg/L rElGH solution can be applied to enhance the growth and survival rate of climbing perch.

(19)

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH

IKAN BETOK YANG DIRENDAM DENGAN HORMON

PERTUMBUHAN REKOMBINAN IKAN KERAPU KERTANG

PADA DOSIS BERBEDA

HIKMA NADIATUL HUSNA

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya

Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(20)

SKRIPSI

Judul : Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Betok yang Direndam dengan Hormon Pertumbuhan Rekombinan Ikan Kerapu Kertang pada Dosis Berbeda

Nama : Hikma Nadiatul Husna

Nrp : C14080005

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Alimuddin Dr. Odang Carman NIP. 19700103 199512 1 001 NIP. 19591222 198601 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Budidaya Perairan

Dr. Odang Carman NIP. 19591222 198601 1 001

(21)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Penelitian ini telah

dilaksanakan dari bulan Januari sampai April 2012, bertempat di Laboratorium

Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen Budidaya Perairan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Beragam kata tak mudah diutarakan, hanyalah ungkapan kebahagiaan dan

terimakasih yang tulus kepada:

1. Dr. Alimuddin, selaku Pembimbing I dan Pembimbing Akademik

2. Dr. Odang Carman, selaku Pembimbing II

3. Dr. Nur Bambang Priyo Utomo, selaku Penguji Tamu dalam ujian akhir

4. Dr. Mia Setiawati, selaku Komisi Pendidikan Program S1

5. Drs. H. Afif Bintoro, MP dan Dra. Hj. Hastutiningsih, selaku orang tua

yang selalu memberikan dukungan moriil dan kasih sayang yang tidak

terkira serta Saudara-saudari tersayang Niskan WM, S.Hut, M.Sc, Aini,

Rodhia, dan Zur’an yang selalu memberikan dukungan dan semangat

6. Anna Octavera, S.Pi, M.Si, yang telah banyak membantu dalam penelitian

dan penyusunan serta penulisan skripsi ini

7. Bu Yulintine, S.Pi, M.Sc, Bu Eny, S.Pi, Mas Boyun S.Pi, Genetic’s Crew

dan Pak Aam yang telah memberikan motivasi, informasi, bimbingan serta

ilmu yang telah diberikan

8. Fajar Maulana S.Pi yang selalu memberikan dukungan dan bantuan dalam

menyelesaikan skripsi ini. Rima, Nurlatifa, Dita, Aminah, Sri, M. Firdaus,

Yadi, teman-teman Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme

Akuatik, sahabat BDP 45 (2008), 44, 46 dan 47 serta berbagai pihak yang

selalu memberikan dukungan.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan berguna bagi

kesejahteraan masyarakat.

Bogor, Mei 2012

(22)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 13 Agustus 1990. Mengawali pendidikan di SD Negeri 2 Merapi Perumnas Way Halim pada tahun 1996 dan menyelesaikannya pada tahun 2002. Melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Bandar Lampung (2002-2005) dan SMA Negeri 1 Natar Lampung Selatan (2005-2008).

Tahun 2008 diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan, aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) periode 2010-2011, dan asisten praktikum mata kuliah Dasar-dasar Genetika Ikan periode 2012.

Penulis aktif di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Pada bulan Juni-Juli 2010, penulis pernah melaksanakan magang di dua tempat yaitu Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung dan Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo. Penulis pernah menjadi anggota PKM dengan judul “Optimalisasi Metode Elektroporasi untuk Produksi Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch.) Transgenik kemudian menjadi ketua PKM dengan judul “Aplikasi Protein Rekombinan dalam Meningkatkan Laju Pertumbuhan Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch.)” yang keduanya didanai oleh DIKTI. Penulis juga pernah melaksanakan praktik kerja lapangan dengan judul “Pembenihan Ikan Bawal Bintang Trachinotus blochii di Balai

(23)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan ... 2

II. BAHAN DAN METODE ... 3 2.1. Penelitian Pendahuluan ... 3 2.2. Produksi Protein rHP ... 3 2.3. Rancangan Perlakuan ... 4 2.4. Pemberian Pakan dan Pemeliharaan Ikan Betok ... 5 2.5. Analisis Statistik ... 5

III. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 6 3.1. Hasil ... 6 3.1.1. Pertumbuhan Panjang Benih Ikan Betok ... 6 3.1.2. Biomassa dan Rerata Bobot Tubuh Ikan ... 7 3.1.3. Kelangsungan Hidup Ikan ... 8 3.2. Pembahasan ... 9

IV. KESIMPULAN ... 12 4.1. Kesimpulan ... 12 4.2. Saran ... 12

DAFTAR PUSTAKA ... 13

(24)

x DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tingkat kelangsungan hidup benih ikan betok setelah diberi kejut salinitas selama 2 menit dilanjutkan perendaman salinitas berbeda selama 2 jam ... 3

2. Jenis dan skedul pemberian pakan pada ikan betok selama pemeliharaan ... 5

3. Rerata panjang (cm) benih ikan betok pada perendaman rHP dengan dosis berbeda ... 6

4. Biomassa (g) dan rerata bobot tubuh akhir (g) benih ikan betok pada perendaman rHP dengan dosis berbeda ... 7

(25)

xi DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Perbandingan pertumbuhan panjang baku benih ikan betok perlakuan 12 mg/L dan kontrol ... 6

2. Biomassa benih ikan betok kontrol dan yang diberis perendaman rElHP dosis berbeda setelah pemeliharaan selama 8 minggu ... 7

3. Ikan betok kontrol dan yang diberi perendaman rElHP dosis berbeda setelah pemeliharaan selama 8 minggu ... 8

(26)

xii DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Analisis sidik ragam (ANOVA) dan Uji lanjut Tukey’s... 16

2. Skema penelitian pendahuluan ... 19

3. Proses produksi rHP ... 19

(27)

1 I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan betok Anabas testudineus Bloch. atau dikenal dengan nama ikan papuyu di daerah Banjar, Kalimantan Selatan (Kottelat et al., 1993) merupakan salah satu ikan air tawar yang berpotensi untuk dikembangkan karena memiliki

nilai ekonomis cukup tinggi yaitu harganya dapat mencapai Rp100.000,00 per kg

(Borneonews, 2011). Budidaya ikan betok hingga saat ini masih belum banyak

dikembangkan. Salah satu hambatannya adalah pertumbuhan yang lambat dan

memerlukan waktu kurang lebih satu tahun untuk mencapai ukuran konsumsi

(70-100 gram) (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008).

Pertumbuhan ikan dapat ditingkatkan melalui perbaikan mutu ikan.

Perbaikan mutu ikan dapat dilakukan dengan metode seleksi, hibridisasi,

transgenesis, dan aplikasi protein rekombinan. Aplikasi metode seleksi

membutuhkan waktu relatif lama untuk mencapai efek signifikan khususnya pada

ikan yang membutuhkan waktu lama untuk mencapai matang kelamin pertama

kali (Bolivar et al., 2002). Penerapan teknologi hibridisasi juga memerlukan waktu relatif lama. Selain itu, aplikasi teknologi transgenesis dapat menghasilkan

ikan dengan tingkat perbaikan kualitas tinggi dalam waktu relatif cepat, tetapi

teknologi ini masih menimbulkan kontroversi terhadap keamanan pangan.

Sementara itu, hingga saat ini penggunaan hormon pertumbuhan rekombinan

(rHP) pada ikan dikatakan aman untuk dikonsumsi, karena rHP tidak

ditransmisikan ke keturunan selanjutnya sehingga tidak termasuk organisme

transgenik (Acosta et al., 2007).

Protein rHP cukup efektif digunakan untuk meningkatkan laju

pertumbuhan ikan. rHP merupakan polipeptida rantai tunggal dengan ukuran

sekitar 22 kDa yang dihasilkan menggunakan bioreactor/fermentor, seperti bakteri (Rousseau & Dufour, 2007 dalam Acosta et al., 2009). Penggunaan teknologi protein rHP untuk mempercepat pertumbuhan ikan sudah banyak

dilakukan pada beberapa spesies ikan dengan metode yang berbeda. Pemberian

rHP ikan mas melalui metode injeksi dengan dosis sebesar 0,1 µg/g bobot tubuh

(28)

2 dibandingkan dengan kontrol (Li et al. 2003). Pemberian jenis rHP yang berbeda pada ikan nila melalui teknik penyuntikan atau injeksi berhasil meningkatkan

bobot ikan yaitu sebesar 20,94% dengan rHP ikan kerapu kertang; 18,09% dengan

rHP ikan mas; 16,99% dengan rHP ikan gurame (Alimuddin et al., 2010). Pemberian rHP ikan mas melalui pakan Artemia pada benih ikan gurame dapat meningkatkan pertumbuhan sebesar 13% (Rahmawaty, 2011). Hasil lain diperoleh

dari pemberian protein rHP ikan gurame pada benih ikan gurame melalui metode

perendaman dengan dosis 30 mg/L sebanyak 3 kali perendaman efektif

meningkatkan pertumbuhan sebesar 75,04% dibandingkan dengan kontrol (Putra,

2011).

Pemberian rHP dapat dilakukan dengan beberapa metode, di antaranya:

perendaman/imersi (Moriyama, 1990; Acosta et al., 2007; Putra, 2011), penyuntikan/injection (Li et al., 2003; Lesmana, 2010), dan melalui pakan (Moriyama et al., 1993; Xu et al., 2001; Rahmawaty, 2011). Berdasarkan ketiga metode yang telah dilakukan, metode penyuntikan dikatakan kurang aplikatif dan

memperlihatkan respons yang lambat, sedangkan metode perendaman pada stadia

larva atau juvenil merupakan cara yang aplikatif untuk skala massal. Pada metode

perendaman diperlukan kejut salinitas. Menurut Ratnawati (2012) kejut salinitas

berfungsi untuk membuka jalur masuknya rHP melalui insang dengan

memanfaatkan mekanisme pertukaran cairan tubuh.

Protein rekombinan yang digunakan dalam kegiatan ini rElHP (hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang Epinephelus lanceolatus) (Lesmana, 2010). Hormon ini digunakan karena tingkat produksi rHP ikan kerapu kertang pada

Escherichia coli lebih tinggi dibandingkan dengan rHP ikan gurame dan ikan mas (Irmawati et al., 2011 belum dipublikasikan). Selain itu, rElHP telah terbukti memiliki bioaktivitas dalam menginduksi pertumbuhan ikan nila (Alimuddin et al., 2010) dan ikan sidat (Aminah, 2012).

1.2. Tujuan

Penelitian ini dilakukan untuk menentukan dosis protein rHP ikan kerapu

(29)

3 II. BAHAN DAN METODE

2.1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan salinitas kejut (shock salinity) untuk larva ikan betok. Larva ikan betok berumur 6 hari diberi kejut salinitas 3,0%; 2,5% dan 2,0% NaCl selama 2 menit. Selanjutnya benih ikan betok

direndam dalam larutan NaCl 0,3%; 0,5%; dan 0,7% selama 2 jam dengan satu

kali ulangan. Pada setiap perlakuan digunakan benih umur 6 hari sebanyak 100

ekor. Setelah itu ikan diperlihara selama 14 hari. Perlakuan yang memberikan

kelangsungan hidup tertinggi digunakan dalam penelitian utama.

Tabel 1. Tingkat kelangsungan hidup (survival rate/SR) benih ikan betok setelah diberi kejut salinitas selama 2 menit, dilanjutkan perendaman salinitas berbeda selama 2 jam

Kejut salinitas berbeda (%) selama 2 menit

Salinitas (%) perendaman larva selama 2 jam

0,3 0,5 0,7

3,0 46 80 48

2,5 65 58 53

2,0 54 58 54

Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup

tertinggi (80%) diperoleh pada perlakuan dengan kejut salinitas NaCl 3,0% dan

perendaman pada larutan NaCl 0,5%. Salinitas tersebut selanjutnya digunakan

pada penelitian utama.

2.2. Produksi Protein rHP

Produksi protein rHP yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan

bakteri E. coli BL21 yang mengandung pCold-I/ElHP yang dibuat oleh Lesmana (2010). Bakteri dikultur awal dalam 3 mL media LB cair yang mengandung

ampisilin dan NaOH 5M, lalu diinkubasi suhu 37 oC dengan menggunakan shaker kecepatan 200 rpm selama 18 jam. Setelah itu, dilakukan subkultur dengan

mengambil sebanyak 1% dari kultur awal dan dimasukkan ke dalam 100 ml media

LB cair mengandung ampisilin dan NaOH yang baru, lalu diinkubasi lagi pada

(30)

4 diberikan kejutan dengan suhu 15 oC selama 30 menit, ditambahkan IPTG

sebanyak 750 µL dan diinkubasi menggunakan shaker pada suhu 15 oC selama 24 jam. Bakteri hasil kultur disentrifugasi kecepatan 12.000 rpm selama 1 menit

dengan tujuan mengendapkan sel bakteri. Pelet bakteri yang diperoleh dicuci

dengan phosphate buffer saline (PBS) sebanyak 1 kali, selanjutnya disimpan dalam deep-freezer (-80 oC) hingga akan digunakan.

Inaktivasi bakteri dilakukan dengan cara pelet bakteri yang diperoleh dan

mengandung rekombinan ElHP dimasukkan ke dalam freezer -20 oC selama semalam, kemudian dimasukkan kembali ke deep-freezer (-80 oC). Lisis dinding sel bakteri dilakukan secara kimiawi menggunakan lisozim. Pelet bakteri hasil

sentrifugasi dicuci menggunakan bufer Tris-EDTA (TE) sebanyak 1 mL per 200 mg bakteri, lalu diinkubasi pada suhu 37 oC selama 20 menit. Selanjutnya, tabung

disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 1 menit, kemudian supernatan

dalam tabung mikro dibuang. Pelet bakteri (natan) yang diperoleh ditambahkan

500 µL larutan lisozim (10 mg dalam 1 mL bufer TE), lalu diinkubasi suhu 37 oC

selama 20 menit, selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama

1 menit. Supernatan dalam tabung mikro dibuang dan pelet yang terbentuk

merupakan protein rHP dalam bentuk badan inklusi (inclusion body). Pelet protein rHP dicuci PBS sebanyak satu kali dan disimpan dalam deep-freezer (-80 oC) hingga akan digunakan.

2.3. Rancangan Perlakuan

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri dari

empat perlakuan dengan tiga ulangan. Benih ikan betok yang digunakan berumur

6 hari. Ikan dipuasakan terlebih dahulu sehari sebelum diberi perlakuan. Pada

setiap perlakuan, sebanyak 200 ekor ikan betok direndam (salinity shock) dalam 200 mL media NaCl 3,0% selama 2 menit, lalu dimasukkan dalam larutan yang

mengandung rHP dengan dosis berbeda. Dosis rHP yang diuji yaitu 3 mg/L, 6

mg/L dan 12 mg/L dalam larutan NaCl 0,5% dan BSA (bovine serum albumine) 0,01%. Untuk perlakuan kontrol, ikan diberikan kejut salinitas NaCl 3,0% selama

2 menit, lalu dimasukkan dalam larutan NaCl 0,5% dan BSA 0,01% (tidak

(31)

5 2.4. Pemberian Pakan dan Pemeliharaan Ikan Betok

Ikan betok diberi pakan dengan skedul seperti disajikan pada Tabel 2. Ikan

dipelihara dalam akuarium ukuran 30x20x20 cm dengan volume air 10 liter

hingga berumur 30 hari, lalu pada akuarium dengan volume air 20 liter hingga

berumur 40 hari dan selanjutnya dipindah ke media hapa berukuran 1x1 meter.

Sampling panjang dilakukan pada awal pemeliharaan, hari ke-18, 30, dan 58.

Pada awal pemeliharaan, panjang ikan diukur menggunakan mikroskop dibantu

mikrometer dengan galat 0,05, sedangkan pada sampling kedua hingga akhir

digunakan milimeter blok untuk mengukur panjang. Sampling bobot dilakukan

pada awal pemeliharaan dan akhir pemeliharaan dengan jumlah ikan yang diambil

30 ekor per perlakuan menggunakan timbangan digital. Pergantian air sebanyak

60% dilakukan pada waktu sampling kedua, dan ketiga.

Tabel 2. Jenis dan skedul pemberian pakan pada ikan betok selama pemeliharaan

Pakan Hari ke- Frekuensi

Rotifer 6 s/d 9 4 x sehari (ad-libithum) Rotifer + Artemia 10 s/d 11 4 x sehari (ad-libithum) Naupli Artemia 12 s/d 13 4 x sehari (ad-libithum) Artemia + cacing cacah 14 s/d 17 4 x sehari (ad-libithum) Cacing sutera dicacah 18 s/d 19 4 x sehari (ad-libithum) Cacing sutera 20 s/d 30 3 x sehari (ad-libithum)

Cacing + Pakan Buatan 31 s/d 40 Cacing : malam hari Pakan Buatan : at-satiation Pakan Buatan 41 s/d 57 1 jam sekali (at-satiation)

2.5. Analisis Statistik

Parameter yang diamati pada penelitian ini meliputi pertumbuhan panjang

(panjang baku; panjang total), biomassa, rerata bobot tubuh, growth rate (GR), spesific growth rate (SGR) dan tingkat kelangsungan hidup. Parameter yang diamati tersebut dianalisis menggunakan metode sidik ragam (ANOVA) dan uji

(32)

6 III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

3.1.1. Pertumbuhan Panjang Benih Ikan Betok

Pertumbuhan panjang benih ikan betok pada akhir penelitian setelah

perendaman 2 jam dengan protein rHP pada dosis berbeda disajikan pada Tabel 3

dan Gambar 1. Rerata panjang baku benih ikan betok yang diberi perlakuan

perendaman rHP dosis 12 mg/L (4,62 cm) adalah lebih tinggi (P<0,05)

dibandingkan perlakuan 6 mg/L (4,56 cm), 3 mg/L (4,46 cm) dan kontrol (4,49

cm). Pertambahan panjang total juga berbeda antar perlakuan (P<0,05; Tabel 3).

Rerata panjang total benih ikan betok yang diberi perlakuan perendaman rHP

dosis 12 mg/L (5,59 cm) dan dosis 6 mg/L (5,51 cm) juga lebih tinggi (P<0,05)

dibandingkan perlakuan 3 mg/L (5,430 cm), dan kontrol (5,477cm). Rerata tinggi

badan antar perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05; Tabel 3).

Tabel 3. Rerata panjang (cm) benih ikan betok pada perendaman rHP dengan dosis berbeda

Dosis ElHP

(mg/L) Panjang Baku Panjang Total Tinggi badan Kontrol (0) 4,49 ± 0,04a 5,47± 0,04ab 1,75 ± 0,01a

3 4,46 ± 0,03a 5,43± 0,04a 1,74 ± 0,03a 6 4,56 ± 0,06ab 5,51 ± 0,09ab 1,77 ± 0,02a 12 4,62 ± 0,03b 5,590± 0,01b 1,79 ± 0,02a

Keterangan: Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata (P<0,05). Data tersebut berdasarkan rerata dari 3 kali ulangan

Gambar 1. Pertumbuhan panjang baku benih ikan betok perlakuan12 mg/L(■) dan kontrol (♦). Pengukuran panjang ikan dilakukan pada awal penelitian, hari ke-18, 30, dan 58 setelah perlakuan perendaman rElHP.

0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0

Sampling ke-1 Sampling ke-2 Sampling ke-3 Sampling ke-4

Pan

(33)

3 rerata dari 3 ka

(34)
(35)

9 3.2. Pembahasan

Aplikasi protein rElHP dosis 12 mg/L menunjukkan peningkatan pertumbuhan panjang dan biomassa lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya

(Gambar 1 dan 2). Perlakuan rHP dosis 12 mg/L mampu meningkatkan biomassa

27,11% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (P<0,05; Lampiran 1) serta

lebih tinggi 150% dibandingkan dengan yang dilakukan Pogram (2012, belum

dipublikasikan). Pogram (2012) melakukan perendaman hari ke-12 dengan dosis

12 mg/L memiliki kelangsungan hidup 30,5% setelah 35 hari pemeliharaan.

Perbedaan hasil tersebut diduga karena perbedaan umur larva saat perendaman,

penelitian ini menggunakan larva berumur 6 hari, ada kemungkinan rHP lebih

mudah terserap melalui pori-pori dan insang sehingga respons pertumbuhan dan

kelangsungan hidup yang diperoleh lebih baik. Hal yang sama juga telah

dilakukan Putra (2011) pada penelitian sebelumnya, yaitu benih ikan gurame yang

diberi perlakuan perendaman rHP ikan gurame dengan dosis 20 mg/L dan 30

mg/L berhasil meningkatkan pertumbuhan masing-masing 63,95% dan 75,04%

lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Perbedaan persentase hasil antara

penelitian ini dengan penelitian sebelumnya diduga karena perbedaan rHP dan

ikan target yang digunakan. Penelitian Putra (2011) menggunakan jenis rHP yang

sama dengan ikan yang diujikan sehingga rHP ikan gurame yang diberikan dapat

diterima dengan baik oleh reseptor HP pada ikan gurame yang diujikan untuk

memicu pertumbuhan.

Pada penelitian ini diperoleh bahwa peningkatan benih ikan betok yang

diberi perlakuan rHP dosis 12 mg/L memiliki peningkatan pertumbuhan biomassa

terbaik, yaitu 1,27 kali lebih tinggi daripada kontrol. Hal tersebut hampir sama

dengan penelitian Moriyama dan Kawauchi (2004) yaitu perendaman benih

abalon dengan rsHP dosis 30 mg/L dengan frekuensi pemberian setiap 7 hari

sekali selama 84 hari pemeliharaan mampu meningkatkan bobot tubuh sebesar 1,2

kali dari kontrol. Namun pada penelitian ini perendaman hanya dilakukan satu

kali sehingga metode perendaman dalam penelitian ini lebih praktis.

Pertumbuhan ikan betok pada kontrol dan perlakuan rHP 12 mg/L

mengalami peningkatan panjang baku dari awal pemeliharaan hingga hari ke-12

(36)

10 perlakuan 12 mg/L mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu 0,99 kali

menjadi 1,06 kali lipat lebih tinggi dibandingkan kontrol. Namun, pada hari ke-58

terjadi penurunan menjadi 1,02 kali lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hal

tersebut sesuai pernyataan Acosta et al. (2009) bahwa pemberian tiGH dengan metode perendaman pada larva ikan mas koki dengan frekuensi sebanyak 3 kali

seminggu dapat meningkatkan bobot tubuh sebesar 3,5 kali lipat dari perlakuan

kontrol setelah pemeliharaan 15 hari dan menurun pada hari ke-30 yaitu hanya

sebesar 2,2 kali lipat dari perlakuan kontrol. Hal tersebut diduga terkait dengan

daya dukung wadah pemeliharaan, pada minggu ke-8 daya dukung wadah sudah

tercapai.

Perlakuan perendaman rHP dengan dosis 12 mg/L memiliki biomassa

(529,01 g) dan tingkat kelangsungan hidup (76,33%) benih ikan betok lebih tinggi

dibandingkan dengan perlakuan lain dan kontrol. Menurut Putra (2011) hal

tersebut diduga karena rHP yang diberikan memberikan pengaruh peningkatan

daya tahan tubuh khususnya terhadap stres berupa kejutan salinitas yang

diberikan. Pada penelitian Acosta et al., (2009) disampaikan bahwa pemberian rHP pada larva dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan daya tahan terhadap

stres serta infeksi penyakit. Pemberian nHP dan rHP pada ikan rainbow trout juga efektif meningkatkan resistensi terhadap Vibrio anguillarum (Sakai et al., 1997). Pada penelitian ini kelangsungan hidup meningkat diduga juga karena

peningkatan daya tahan terhadap penyakit, meskipun pada penelitian ini tidak

dilakukan uji tantang atau pemeriksaan prevalensi penyakit. Sementara itu,

biomassa ikan terlihat meningkat 1,27 kali lipat pada minggu ke-8. Peningkatan

biomassa tersebut diduga karena pada minggu ke-7 dilakukan pemindahan ikan ke

media yang lebih besar, yaitu hapa ukuran 1x1 meter sehingga pertumbuhan ikan

lebih maksimum.

Peningkatan biomassa dan kelangsungan hidup ikan memiliki keterkaitan

dengan selera makan ikan, pada perlakuan 12 mg/L nafsu makan ikan lebih tinggi

dibanding perlakuan lain dan kontrol. Hal yang sama juga telah disampaikan oleh

(37)

11 Selain itu, apabila dilihat dari analisis keseragaman rerata bobot tubuh

akhir ikan pada Tabel 4, perlakuan 12 mg/L memiliki standar deviasi yang paling

rendah (0,014) dibandingkan perlakuan lain. Hal tersebut menandakan bahwa

ukuran ikan pada perlakuan 12 mg/L lebih seragam. Sementara itu, standar

deviasi pada kontrol terlihat paling tinggi (0,207), hal tersebut menunjukkan

bahwa tingkat keragaman ikan pada kontrol tinggi (beragam). Dengan demikian,

dapat dikatakan bahwa perlakuan perendaman rHP memiliki tingkat keseragaman

ukuran ikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Ukuran ikan yang

lebih seragam dapat berimplikasi pada waktu pemanenan ikan, harga jual, dan

pendapatan pembudidaya.

Mekanisme penyerapan rHP ke dalam tubuh ikan belum diketahui secara

pasti. Namun demikian, menurut Sherwood & Harvey (1986) dalam Moriyama (1990) pemberian gonadotropin releasing hormone (GnRH) terlihat berpengaruh pada plasma ikan mas setelah pemberian melalui insang. Hal tersebut diperkuat

dengan pernyataan Smith (1982) dalam Moriyama (1990) bahwa ditemukan ditemukan radiolabeled-BSA pada insang dan epidermis ikan rainbow trout setelah perendaman dalam larutan dan diduga bahwa larutan tersebut masuk

melalui insang. Oleh karena itu diduga bahwa mekanisme masuknya rHP pada

ikan betok juga melalui insang.

Metode perendaman merupakan salah satu metode yang aplikatif

dilakukan secara massal dan mudah diterapkan oleh pembudidaya. Jumlah benih

yang direndam pada penelitian ini adalah 200 ekor/200 mL media, perendaman

dilakukan pada hari ke-6. Pemeliharaan benih ikan betok dilakukan pada media

pemeliharaan dengan volume 10 liter hingga benih berumur 23 hari, selanjutnya

benih ikan dipelihara pada akuarium dengan volume 20 liter, lalu dipindah ke

wadah yang lebih besar yaitu hapa dengan ukuran 1x1 meter agar pertumbuhan

ikan dapat lebih maksimal. Penggunaan media yang kurang sesuai dengan padat

(38)

12 IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Pemberian rElHP dosis 12 mg/L melalui perendaman dapat meningkatkan pertumbuhan benih ikan betok.

4.2. Saran

Metode pendederan ikan betok di akuarium belum diketahui dengan baik.

Pada penelitian selanjutnya diharapkan jumlah larva yang ditebar harus

disesuaikan dengan daya dukung wadah, agar tercapai pertumbuhan yang optimal.

(39)

13 DAFTAR PUSTAKA

Acosta J, Morales R, Morales A, Alonso M, Estrada MP. 2007. Pichia pastoris expressing recombinant tilapia growth hormone accelerates the growth of tilapia. Biotechnol Lett 29:1671–1676

, Estrada MP, Carpio Y, Ruiz O, Morales R, Martinez E, Valdes J, Borroto C, Besada V, Sanchez A, Herrera F. 2009. Tilapia somatotropin polypeptides : potent enhanchers of fish growth and innate immunity. Biotecnologia Aplicada 26: 267-272.

Alimuddin, LesmanaI, SudrajatAO, Carman O, Faizal I. 2010. Production and bioactivity potential of three recombinant growth hormones of farmed fish. Indonesian Aquaculture Journal 5(1): 11-17.

Aminah. 2012. Aplikasi Hormon Pertumbuhan Rekombinan Ikan Kerapu Kertang pada Glass eel dengan Dosis Perendaman Berbeda.

Bolivar RB, Gary F, Newkirk. 2002. Response to within family selection for body weight in Nile tilapia Oreochromis niloticus using a single-trait animal model. Aquaculture 204: 371-381

Borneonews. 2011. Harga Ikan Papuyu 2011. http://www.borneonews.co.id/news/palangkaraya/11palangkaraya/1389/har

ga-papuyu-rp100-ribu-per-kg.html. [10 Maret 2012]

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Biologi Ikan Papuyu Mandiangin: Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).

Handoyo. 2012. Aplikasi Pemberian Rekombinan Hormon Pertumbuhan dengan Metode Berbeda pada Ikan Sidat (Anguilla sp.) dan Responnya [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Irmawati, Alimuddin, Zairin M, Suprayudi MA, Wahyudi AT. 2012. Respons Benih Ikan Gurame (Osphronemus goramy Lac.) yang Direndam dengan Hormon Pertumbuhan Ikan Mas. Jurnal Iktiologi Indonesia (IN PRESS).

Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, Wirjoatmodjo S.1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Jakarta: Periplus Editions-Proyek EMDI.

Lesmana I. 2010. Produksi dan Bioaktivitas Protein Rekombinan Hormon Pertumbuhan Dari Tiga Jenis Ikan Budidaya. [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

(40)

14 stimulation of juvenile tilapia (Oreochromis niloticus). Aquaculture 216: 329-341.

Moriyama S, Kawauchi H. 1990. Growth stimulation of juvenile salmonids by immersion in recombinant salmon growth hormone. Nippon Suisan Gakkaishi 56: 31-34.

, Hiroshi Y, Seiji S, Toshio A, Tetsuya H, and Hiroshi K. 1993. Oral administration of recombinant salmon growth hormone to rainbow trout, Oncorhynchus mykiss. Aquaculture 112: 99-106.

, Kawauchi H. 2004. Somatic growth acceleration of juvenile abalone, Haliotis discus hannai, by immersion in and intramuscular injection of recombinant salmon growth hormone. Aquaculture 229: 469-478.

Pogram RKS. 2012. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Betok Umur 12 Hari yang Direndam dengan Hormon Pertumbuhan Rekombinan Ikan Kerapu Kertang pada Dosis Berbeda.

Promdonkoy B, Warit S, Panyim S. 2004. Production of a biologically active growth hormone from giant catfish (Pangasianodon gigas) in Escherichia coli. Biotechnology Lett 26: 649-653.

Putra HGP. 2011. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Gurame yang Diberi Protein Rekombinan GH Melalui Perendaman dengan Dosis Berbeda [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Rahmawaty. 2011. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Gurame yang Diberi Pakan Alami yang Disuplementasi Hormon Pertumbuhan Rekombinan. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Ratnawati. 2012. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Gurame yang Diberi Hormon Pertumbuhan Rekombinan dengan Lama Perendaman yang Berbeda. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Sakai M , Kajita Y, Kobayashi M, Kawauchi H. 1997. Immunostimulating effect of growth hormone: in-vivo administration of growth hormone in rainbow trout enhances resistance to Vibrio anguillarum infection. Veterinary Immunology and Immunopathology 57: 147-152.

(41)

LA

AM

MP

PI

IR

RA

15

(42)

16 Lampiran 1. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjut Tukey’s

Descriptives

Parameter Perlakuan N Mean Std.

Deviation

95% Confidence Interval for Mean

Lower

Total 12 4,5367 ,07390 4,4897 4,5836

P.Total Kontrol (0) 3 5,4767 ,04665 5,3608 5,5926

3 mg/L 3 5,4300 ,04670 5,3140 5,5460

6 mg/L 3 5,5100 ,09165 5,2823 5,7377

12 mg/L 3 5,5900 ,01000 5,5652 5,6148

Total 12 5,5017 ,07782 5,4522 5,5511

Tinggi Kontrol (0) 3 1,7567 ,01000 1,7319 1,7815

3 mg/L 3 1,7467 ,02665 1,6805 1,8129

6 mg/L 3 1,7733 ,02335 1,7153 1,8313

12 mg/L 3 1,7967 ,02335 1,7387 1,8547

Total 12 1,7683 ,02713 1,7511 1,7856

Biomassa Kontrol (0) 3 416,1733 38,57378 320,3508 511,9959 3 mg/L 3 476,1800 36,47076 385,5816 566,7784 6 mg/L 3 487,5533 25,62691 423,8926 551,2141 12 mg/L 3 529,0100 19,14772 481,4444 576,5756

Total 12 477,2292 49,75680 445,6152 508,8431

ABW Kontrol (0) 3 3,4022 ,20708 2,8877 3,9166

3 mg/L 3 3,3931 ,05659 3,2525 3,5337

6 mg/L 3 3,4124 ,06601 3,2484 3,5764

12 mg/L 3 3,4655 ,01395 3,4308 3,5001

Total 12 3,4183 ,10033 3,3545 3,4820

(43)

17

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05 1 2

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

P.Total

Tukey HSDa

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05

1 2

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

(44)

18 Tinggi

Tukey HSDa

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05 1 Means for groups in homogeneous subsets

are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

ABW

Tukey HSDa

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05 1 Means for groups in homogeneous subsets

are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

SGR

Tukey HSDa

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05 1 Means for groups in homogeneous subsets

are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

Biomassa

Tukey HSDa

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05 1 2

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

GR

Tukey HSDa

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05 1 Means for groups in homogeneous subsets

are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

SR

Tukey HSDa

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05 1 Means for groups in homogeneous subsets

(45)

19 Lampiran 2. Skema Penelitian Pendahuluan

Penelitian Pendahuluan

SR terbaik sebesar 80% 

setelah 14 hari

pemeliharaan

Akuarium ukuran:

30 x 20 x 20 cm Diisi :

10 liter air tawar

Lampiran 3. Proses Produksi rHP

Plate E. coli BL21  

(46)

20 Lampiran 4. Dokumentasi Produksi rHP

(47)

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH

IKAN BETOK YANG DIRENDAM DENGAN HORMON

PERTUMBUHAN REKOMBINAN IKAN KERAPU KERTANG

PADA DOSIS BERBEDA

HIKMA NADIATUL HUSNA

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(48)

13 DAFTAR PUSTAKA

Acosta J, Morales R, Morales A, Alonso M, Estrada MP. 2007. Pichia pastoris expressing recombinant tilapia growth hormone accelerates the growth of tilapia. Biotechnol Lett 29:1671–1676

, Estrada MP, Carpio Y, Ruiz O, Morales R, Martinez E, Valdes J, Borroto C, Besada V, Sanchez A, Herrera F. 2009. Tilapia somatotropin polypeptides : potent enhanchers of fish growth and innate immunity. Biotecnologia Aplicada 26: 267-272.

Alimuddin, LesmanaI, SudrajatAO, Carman O, Faizal I. 2010. Production and bioactivity potential of three recombinant growth hormones of farmed fish. Indonesian Aquaculture Journal 5(1): 11-17.

Aminah. 2012. Aplikasi Hormon Pertumbuhan Rekombinan Ikan Kerapu Kertang pada Glass eel dengan Dosis Perendaman Berbeda.

Bolivar RB, Gary F, Newkirk. 2002. Response to within family selection for body weight in Nile tilapia Oreochromis niloticus using a single-trait animal model. Aquaculture 204: 371-381

Borneonews. 2011. Harga Ikan Papuyu 2011. http://www.borneonews.co.id/news/palangkaraya/11palangkaraya/1389/har

ga-papuyu-rp100-ribu-per-kg.html. [10 Maret 2012]

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Biologi Ikan Papuyu Mandiangin: Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).

Handoyo. 2012. Aplikasi Pemberian Rekombinan Hormon Pertumbuhan dengan Metode Berbeda pada Ikan Sidat (Anguilla sp.) dan Responnya [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Irmawati, Alimuddin, Zairin M, Suprayudi MA, Wahyudi AT. 2012. Respons Benih Ikan Gurame (Osphronemus goramy Lac.) yang Direndam dengan Hormon Pertumbuhan Ikan Mas. Jurnal Iktiologi Indonesia (IN PRESS).

Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, Wirjoatmodjo S.1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Jakarta: Periplus Editions-Proyek EMDI.

Lesmana I. 2010. Produksi dan Bioaktivitas Protein Rekombinan Hormon Pertumbuhan Dari Tiga Jenis Ikan Budidaya. [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

(49)

14 stimulation of juvenile tilapia (Oreochromis niloticus). Aquaculture 216: 329-341.

Moriyama S, Kawauchi H. 1990. Growth stimulation of juvenile salmonids by immersion in recombinant salmon growth hormone. Nippon Suisan Gakkaishi 56: 31-34.

, Hiroshi Y, Seiji S, Toshio A, Tetsuya H, and Hiroshi K. 1993. Oral administration of recombinant salmon growth hormone to rainbow trout, Oncorhynchus mykiss. Aquaculture 112: 99-106.

, Kawauchi H. 2004. Somatic growth acceleration of juvenile abalone, Haliotis discus hannai, by immersion in and intramuscular injection of recombinant salmon growth hormone. Aquaculture 229: 469-478.

Pogram RKS. 2012. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Betok Umur 12 Hari yang Direndam dengan Hormon Pertumbuhan Rekombinan Ikan Kerapu Kertang pada Dosis Berbeda.

Promdonkoy B, Warit S, Panyim S. 2004. Production of a biologically active growth hormone from giant catfish (Pangasianodon gigas) in Escherichia coli. Biotechnology Lett 26: 649-653.

Putra HGP. 2011. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Gurame yang Diberi Protein Rekombinan GH Melalui Perendaman dengan Dosis Berbeda [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Rahmawaty. 2011. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Gurame yang Diberi Pakan Alami yang Disuplementasi Hormon Pertumbuhan Rekombinan. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Ratnawati. 2012. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Gurame yang Diberi Hormon Pertumbuhan Rekombinan dengan Lama Perendaman yang Berbeda. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Sakai M , Kajita Y, Kobayashi M, Kawauchi H. 1997. Immunostimulating effect of growth hormone: in-vivo administration of growth hormone in rainbow trout enhances resistance to Vibrio anguillarum infection. Veterinary Immunology and Immunopathology 57: 147-152.

(50)

LA

AM

MP

PI

IR

RA

15

(51)

16 Lampiran 1. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjut Tukey’s

Descriptives

Parameter Perlakuan N Mean Std.

Deviation

95% Confidence Interval for Mean

Lower

Total 12 4,5367 ,07390 4,4897 4,5836

P.Total Kontrol (0) 3 5,4767 ,04665 5,3608 5,5926

3 mg/L 3 5,4300 ,04670 5,3140 5,5460

6 mg/L 3 5,5100 ,09165 5,2823 5,7377

12 mg/L 3 5,5900 ,01000 5,5652 5,6148

Total 12 5,5017 ,07782 5,4522 5,5511

Tinggi Kontrol (0) 3 1,7567 ,01000 1,7319 1,7815

3 mg/L 3 1,7467 ,02665 1,6805 1,8129

6 mg/L 3 1,7733 ,02335 1,7153 1,8313

12 mg/L 3 1,7967 ,02335 1,7387 1,8547

Total 12 1,7683 ,02713 1,7511 1,7856

Biomassa Kontrol (0) 3 416,1733 38,57378 320,3508 511,9959 3 mg/L 3 476,1800 36,47076 385,5816 566,7784 6 mg/L 3 487,5533 25,62691 423,8926 551,2141 12 mg/L 3 529,0100 19,14772 481,4444 576,5756

Total 12 477,2292 49,75680 445,6152 508,8431

ABW Kontrol (0) 3 3,4022 ,20708 2,8877 3,9166

3 mg/L 3 3,3931 ,05659 3,2525 3,5337

6 mg/L 3 3,4124 ,06601 3,2484 3,5764

12 mg/L 3 3,4655 ,01395 3,4308 3,5001

Total 12 3,4183 ,10033 3,3545 3,4820

(52)

17

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05 1 2

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

P.Total

Tukey HSDa

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05

1 2

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

(53)

18 Tinggi

Tukey HSDa

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05 1 Means for groups in homogeneous subsets

are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

ABW

Tukey HSDa

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05 1 Means for groups in homogeneous subsets

are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

SGR

Tukey HSDa

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05 1 Means for groups in homogeneous subsets

are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

Biomassa

Tukey HSDa

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05 1 2

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

GR

Tukey HSDa

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05 1 Means for groups in homogeneous subsets

are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

SR

Tukey HSDa

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05 1 Means for groups in homogeneous subsets

(54)

19 Lampiran 2. Skema Penelitian Pendahuluan

Penelitian Pendahuluan

SR terbaik sebesar 80% 

setelah 14 hari

pemeliharaan

Akuarium ukuran:

30 x 20 x 20 cm Diisi :

10 liter air tawar

Lampiran 3. Proses Produksi rHP

Plate E. coli BL21  

(55)

20 Lampiran 4. Dokumentasi Produksi rHP

Gambar

Tabel 1. Tingkat kelangsungan hidup (survival rate/SR) benih ikan betok setelah diberi kejut salinitas selama 2 menit, dilanjutkan perendaman salinitas berbeda selama 2 jam
Tabel 2. Jenis dan skedul pemberian pakan pada ikan betok selama pemeliharaan
Tabel 3. Rerata panjang (cm) benih ikan betok pada perendaman rHP dengan dosis berbeda
Gambar 2. Bdman r Gdosis berbed Biomassa beda setelah peenih ikan betemeliharaan tok kontrol dselama 8 midan yang dibinggu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian Tuberkulosis pada anak di Kota Denpasar. Untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan ibu terhadap kejadian

Dalam penelitian ini menjelaskan/ mendeskripsikan Prosedur Pengurangan dan Penghapusan Sanksi Administrasi di PT X Denpasar dengan sumber data dari dokumen PT X yang dimiliki

Bila bank sentral menetapkan tujuan jangka panjangnya adalah tingkat inflasi yang rendah, dan bank sentral menggunakan suku bunga sebagai variabel operasionalnya, maka kondisi

Kebijakan atau program apakah yang akan dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bantul dalam mempertahankan ketaatan Wajib Pajak yang telah mengikuti program

Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa interaksi sosial investor dalam rumah tangga dan tetangganya dapat lebih mempengaruhi keputusan dalam berinvestasi di

model sikap multiciri (multiattrihute attitude model) karena difokuskan pada kepercayaan konsumen tentang multiciri suatu merek atau produk Untuk hal ini, model Martin Fishbein

Sedangkan wilayah Musi Rawas Utara, Empat Lawang, Lahat bagian selatan, Pagar Alam bagian timur, Muara Enim bagian selatan dan OKU Selatan bagian barat mengalami curah

Implementasi sistem senayan untuk menggantikan sistem RBTC dan DIGILIB dengan cara migrasi data, migrasi proses bisnis dan penambahan modul dapat dilakukan dengan