• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian Resistensi Tribolium castaneum Herbst. (Coleoptera: Tenebronidae), Rhyzopertha dominica (F.) (Coleoptera: Bostrichidae), Cryptolestes sp. (Coleoptera: Laemopholidae) terhadap Fosfin dan Keragaan Relatif Strain Resisten.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengujian Resistensi Tribolium castaneum Herbst. (Coleoptera: Tenebronidae), Rhyzopertha dominica (F.) (Coleoptera: Bostrichidae), Cryptolestes sp. (Coleoptera: Laemopholidae) terhadap Fosfin dan Keragaan Relatif Strain Resisten."

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

(Coleoptera: Bostrichidae),

Cryptolestes

sp.

(Coleoptera: Laemopholidae) TERHADAP FOSFIN

DAN KERAGAAN RELATIF STRAIN RESISTEN

LISTIKA MINARTI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRAK

LISTIKA MINARTI. Pengujian Resistensi Tribolium castaneum Herbst. (Coleoptera: Tenebronidae), Rhyzopertha dominica (F.) (Coleoptera: Bostrichidae), Cryptolestes sp. (Coleoptera: Laemopholidae) terhadap Fosfin dan Keragaan Relatif Strain Resisten. Dibimbing oleh IDHAM SAKTI HARAHAP.

Fosfin merupakan salah satu jenis fumigan yang dibuat secara khusus untuk mengendalikan serangga hama gudang. Penggunaan fosfin yang terus-menerus dan cara aplikasi yang tidak tepat dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap fumigan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat resistensi T. castaneum, R. dominica dan Cryptoletes sp. terhadap fosfin, serta keragaan relatif strain resisten dari beberapa lokasi di Pulau Jawa. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP dari bulan April sampai November 2011. Serangga yang digunakan untuk pengujian resistensi adalah serangga yang dikumpulkan dari beberapa lokasi seperti: Probolinggo, Indramayu, Semarang, Ciamis, Surakarta, dan Klaten. Sedangkan untuk pengujian keragaan relatif, serangga yang resisten disilangkan dengan serangga yang rentan dari SEAMEO BIOTROP. Pengujian resistensi dilaksanakan sesuai metode FAO (1980) menggunakan 7 tingkat konsentrasi fosfin yaitu 0.000, 0.010, 0.015, 0.020, 0.030, dan 0.040 mg/l dengan ulangan sebanyak 2 kali. Jumlah serangga uji setiap ulangan adalah 50 ekor. Perlakuan fumigasi dilakukan pada stoples kaca bervolume 2 l dengan pemaparan gas fosfin selama 20 jam, setelah itu serangga dipindahkan kedalam stoples kaca lainnya dengan diberi pakan dan diamati mortalitasnya setelah 14 hari fumigasi. Pengamatan dilakukan terhadap mortalitas dan fekunditas serangga uji. Data pengujian mortalitas serangga uji dianalisis dengan Analisis Probit dengan menggunakan program POLO-PC untuk mendapatkan nilai LD50 dan LD99.9 dari masing-masing lokasi. Nilai LD99.9 serangga uji tersebut selanjutnya dibandingkan dengan nilai LD99.9 seranggayang rentan dari BIOTROP, hal ini sesuai dengan metode FAO (1980) untuk mengetahui tingkat resistensi serangga uji dari masing-masing lokasi. Jika hasil pengujian dengan pemaparan gas fosfin selama 20 jam terdeteksi resisten, maka dilakukan pengujian lanjut dengan pemaparan gas fosfin selama 48 jam. Dari tiga sampel serangga yang diuji, R. dominica merupakan serangga uji yang tingkat resistensinya lebih tinggi terhadap fosfin dibandingkan dengan T. castaneum. Sedangkan Cryptolestes sp. tidak menunjukkan terjadinya resistensi. Faktor resistensi (RF) berkisar antara 1 – 15.5 kali. Selain itu juga, pengujian keragaan relatif strain resisten menunjukkan bahwa resistensi dapat menurunkan keperidian atau fekunditas serangga itu sendiri. Persilangan antara strain resisten dengan strain rentan dapat menurunkan tingkat resistensi di generasi berikutnya.

(3)

PENGUJIAN RESISTENSI

Tribolium castaneum

Herbst.

(Coleoptera: Tenebronidae),

Rhyzopertha dominica

(F.)

(Coleoptera: Bostrichidae),

Cryptolestes

sp.

(Coleoptera: Laemopholidae) TERHADAP FOSFIN

DAN KERAGAAN RELATIF STRAIN RESISTEN

LISTIKA MINARTI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Pertanian Pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Judul : Pengujian Resistensi Tribolium castaneum Herbst. (Coleoptera: Tenebronidae), Rhyzopertha dominica (F.) (Coleoptera: Bostrichidae), Cryptolestes sp. (Coleoptera: Laemopholidae) terhadap Fosfin dan Keragaan Relatif Strain Resisten.

Nama Mahasiswa : Listika Minarti

NRP : A34070071

Disetujui

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si NIP. 19591022 198503 1 002

Diketahui

Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si NIP. 19650621 198910 2 001

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Sawah, Kecamatan Kampar Utara, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau pada tanggal 22 Agustus 1989. Penulis adalah anak ketiga dari lima bersaudara dari keluarga Bapak Anwar dan Ibu Murni. Penulis memiliki dua orang abang yang bernama Yudi Istira Hendra Yana, dan Iwan Hermawan, dan memiliki dua orang adik bernama Eni Deswita dan Fahmi Husnan.

Penulis lulus dari SDN 021 Sawah pada tahun 2001, kemudian melanjutkan ke Sekolah MTs Desa Sawah dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama melanjutkan ke SPP-SPMA N Riau dan lulus pada tahun 2007.

Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dari Pemerintahan Provinsi Riau dan diterima sebagai mahasiswi Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) Divisi Public Relation periode 2010/2011, Bendahara umum Himpunan Keluarga Pelajar Mahasiswa Kampar (HIKAPEMAKA) Bogor periode 2008/2009 dan 2009/2010. Penulis juga aktif mengikuti pelatihan dan seminar diantaranya, Seminar

Pertanian Nasional “Pemuda, Mahasiswa, dan Teknoligi Pertanian dalam Mengatasi Krisis Pangan” pada tahun 2008, Seminar Nasional dan penanaman “Save Mangrove for Our Earth” pada tahun 2011, Seminar “Reklamasi Lahan Bekas Tambang untuk Mendukung Pembangunan yang Berkelanjutan” pada tahun 2011, dan mengikuti Pelatihan “Pengelolaan Hama Gudang Terpadu” pada

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan hanya untuk Allah SWT atas seluruh berkah rahmat dan karunia Nya yang telah diberikan kepada seluruh manusia dan shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah SAW sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengujian Resistensi Tribolium castaneum Herbst. (Coleoptera: Tenebronidae), Rhyzopertha dominica (F.) (Coleoptera: Bostrichidae), Cryptolestes sp. (Coleoptera: Laemopholidae) terhadap Fosfin dan Keragaan Relatif Strain Resisten”.

Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si. sebagai dosen pembimbing dan Drs. Sunjaya serta Ir. Sri Widayanti sebagai pembimbing di Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP yang telah memberikan pengetahuan, pengarahan, dukungan, dan bimbingan sejak awal hingga akhir penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang banyak memberikan dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan pendidikan selama di IPB. Terima kasih kepada Dr. Ir. Giyanto, M.Si selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan banyak masukan dan koreksi penulisan skripsi ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar Fakultas Pertanian dan laboran Departemen Proteksi Tanaman yang telah memberikan ilmu dan pengalaman selama menyelesaikan pendidikan di Fakultas Pertanian IPB.

Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih untuk Ibunda Murni dan Ayahanda Anwar tercinta, Atuk, Abang, dan Adik untuk dukungan, do’a, kasih dan sayang yang selalu diberikan hingga menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada Mas Heri Yanto dan Bapak Mukhtar atas bantuan kerjasama dan dukungan moril di Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP hingga menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada teman-teman DPT 44: Jessica Valindria, Lutfi Afifah, Irma Utami Siagian, Kurniatus Ziyadah dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas kebersamaan, semangat, persahabatan dan dukungannya selama kuliah. Terima kasih kepada teman dan sahabat yang sekaligus telah menjadi keluarga di Bogor: Winda Puspita Sari, Indah Permatasari, Tika Sri Aminah, Gabby Elfanda Mumpunie, Nurul Inayah, Tifanny Sukmawati, Fatma Silviani, Christine Mahardika, Ita Utami Aidid, Alfia Ainur Azizih, Eva Arifah, Asia atas kebersamaan dan kenangan indah selama ini. Terima kasih kepada Keluarga Pelajar Mahasiswa Kampar Bogor: Mardiyanto, Elmilia Alda, Yeni Elvia, Frensi Firma, Adly Firma atas kebersamaan selama ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi penulisan yang lebih baik. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan pengetahuan bagi siapa saja yang membacanya.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Triboliumcastaneum (Herbst) ... 4

Rhyzopertha dominica (Fabricius) ... 5

Cryptolestes spp. ... 7

Pemilihan Fosfin sebagai Fumigan ... 8

Fumigasi dengan fosfin ... 10

Karakteristik Fosfin ... 10

Formulasi dan Bentuk Fosfin ... 11

BAHAN DAN METODE ... 13

Tempat dan Waktu Penelitian ... 13

Bahan dan Alat ... 13

Metode Penelitian ... 13

Pemeliharaan Serangga Uji ... 13

Persiapan Pengujian ... 14

Pelaksanaan Fumigasi ... 16

Pengujian Resistensi ... 18

Pengujian Keragaan Relatif ... 18

Analisis Data ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

Pengujian Resistensi ... 20

(8)

Faktor Resistensi ... 22

Fekunditas Serangga Uji ... 26

KESIMPULAN DAN SARAN ... 29

Kesimpulan ... 29

Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Deskripsi fumigan fosfin ... 11 Tabel 2 Bentuk formulasi dan kandungan bahan aktif Fosfin ... 12 Tabel 3 Nilai LD50, LD99.9 dan Faktor Resistensi (RF) T. castaneum dari

beberapa lokasi dengan periode fumigasi selama 20 dan 48 jam . 20 Tabel 4 Nilai LD50, LD99.9 dan Faktor Resistensi (RF) R. dominica dari

beberapa lokasi dengan periode fumigasi selama 20 dan 48 jam . 21 Tabel 5 Nilai LD50 , LD99.9 dan Faktor Resistensi (RF) T. castaneum

(F1 dan F2) dari beberapa lokasi dengan periode fumigasi selama 20 dan 48 jam ... 23 Tabel 6 Nilai LD50, LD99.9 dan Faktor Resistensi R. dominica (F1 dan F2)

dari beberapa lokasi dengan periode fumigasi selama 20 dan 48 jam... 24 Tabel 7 Nilai LD50, LD99.9 dan Faktor Resistensi Cryptolestes sp.

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Imago T. castaneum ... 5

Gambar 2 Imago R. dominica ... 6

Gambar 3 Imago Cryptolestes spp. ... 8

Gambar 4 Alat penghasil gas fosfin ... 14

Gambar 5 Cincin paralon tempat menyimpan serangga dan magnet pengaduk; (a) tampak atas, (b) tampak samping ... 15

Gambar 6 Stoples berisi serangga uji yang telah ditutup rapat dengan plastisin; (a) stoples berisi serangga uji, (b) stoples yang telah ditutup dengan plastisin ... 16

Gambar 7 Karet penutup lubang stoples tempat menginjeksikan gas fosfin; (a) karet penutup stoples, (b) tutup stoples yang ditutup dengan plastisin ... 16

Gambar 8 Aplikasi gas fosfin ke dalam stoples dengan menggunakan alat suntik; (a) pengambilan gas fosfin. (b) penyuntikan gas fosfin kedalam stoples ... 17

Gambar 9 Alat pengaduk magnetik... 17

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T. castaneum

terhadap Fosfin (Probolinggo) dengan Pengamatan 20 jam. . 34 Lampiran 2 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T. castaneum

terhadap Fosfin (Indramayu) dengan Pengamatan 20 jam .... 35 Lampiran 3 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T.castaneum

terhadap Fosfin (Biotrop) dengan Pengamatan 20 jam ... 36 Lampiran 4 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T. castaneum

terhadap Fosfin (Biotrop Vs Probolinggo) dengan

Pengamatan 20 jam ... 37 Lampiran 5 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T. castaneum

terhadap Fosfin (Biotrop Vs Indramayu) dengan

Pengamatan 20 jam ... 38 Lampiran 6 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T. castaneum

terhadap Fosfin (Biotrop Vs Semarang) dengan

Pengamatan 20 jam ... 39 Lampiran 7 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T.castaneum

(F2) terhadap Fosfin (Biotrop Vs Probolinggo) dengan

Pengamatan 20 jam ... 40 Lampiran 8 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T. castaneum

(F2) terhadap Fosfin (Biotrop Vs Indramayu) dengan Pengamatan 20 jam ... 41 Lampiran 9 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T. castaneum (F2)

terhadap Fosfin (Biotrop Vs Semarang) dengan Pengamatan 20 jam ... 42 Lampiran 10 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi R. dominica terhadap Fosfin (Probolinggo) dengan Pengamatan 20 jam .. 43 Lampiran 11 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi R. dominica

(12)

Lampiran 12 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi R. dominica terhadap Fosfin (Biotrop) dengan Pengamatan 20 jam ... 45 Lampiran 13 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi R. dominica

terhadap Fosfin (Biotrop Vs Probolinggo) dengan

Pengamatan 20 jam ... 46 Lampiran 14 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi R. dominica

terhadap Fosfin (Biotrop Vs Ciamis) dengan Pengamatan 20 jam ... 47 Lampiran 15 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi R. dominica (F2)

terhadap Fosfin (Biotrop Vs Probolinggo) dengan

Pengamatan 20 jam ... 48 Lampiran 16 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi R. dominica (F2)

terhadap Fosfin (Biotrop Vs Ciamis) dengan Pengamatan 20 jam ... 49 Lampiran 17 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi Cryptolestes sp.

terhadap Fosfin (Biotrop) dengan Pengamatan 20 jam ... 50 Lampiran 18 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi Cryptolestes sp.

terhadap Fosfin (Biotrop Vs Klaten) dengan Pengamatan 20 jam ... 51 Lampiran 19 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi Cryptolestes sp.

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyimpanan merupakan suatu kegiatan pascapanen yang sangat penting. Selama dalam masa penyimpanan, komoditas pangan dapat mengalami kerusakan yang disebabkan oleh serangan serangga hama. Besarnya kerusakan dan kehilangan pada komoditas pangan yang disimpan di negara berkembang dapat mencapai lebih dari 20% (Phillips & Thorne 2010). Jenis hama gudang yang dapat merusak bahan pangan yang disimpan di antaranya adalah Tribolium castaneum Herbst. (Coleoptera: Tenebrionidae), Rhyzopertha dominica (F.) (Coleoptera: Bostrichidae), dan Cryptolestes sp. (Coleoptera: Laemophloeidae). Ketiga jenis hama gudang ini memberikan kontribusi terhadap kerusakan yang terbesar pada komoditas pangan yang disimpan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Saat ini upaya pengendalian populasi hama gudang masih bertumpu pada fumigasi dan penyemprotan insektisida kontak, karena cukup mudah dan hasilnya cepat diketahui. Fumigan yang efektif untuk mengendalikan hama gudang adalah metil bromida (CH3Br) dan fosfin (PH3). Kedua jenis fumigan ini dapat digunakan secara bergiliran untuk memperlambat munculnya resistensi pada hama gudang. Namun sejak Montreal Protocol diberlakukan pada tahun 1995 penggunaan metil bromida dibatasi karena mengandung bahan kimia yang reaktif, merubah sifat dari unsur-unsur beberapa bahan yang biasanya difumigasi, selain itu juga berbahaya karena beracun dan dapat merusak lapisan ozon. Saat ini satu-satunya fumigan yang dapat digunakan untuk mengendalikan serangan hama gudang adalah gas fosfin (ACIAR 1998).

Fumigasi adalah suatu tindakan atau perlakuan terhadap hama pada komoditas dengan menggunakan senyawa kimia tertentu, di ruang kedap udara, pada suhu, dan tekanan tertentu. Selain mempunyai dampak positif, fumigasi juga menyebabkan permasalahan yang cukup serius, yaitu terjadinya resistensi hama terhadap fumigasi (ACIAR 1998).

(14)

Menurut Hole et.al. (1976), fumigasi dengan menggunakan fosfin dosis rendah dan waktu perlakuan lebih lama akan lebih efektif dibandingkan dengan dosis fosfin yang tinggi dengan lama perlakuan yang singkat. Penentuan dosis fosfin bergantung pada berbagai faktor antara lain kondisi lingkungan, penyimpanan, lama perlakuan serta jenis serangga utama yang dikendalikan (TDRI 1983). Menurut Heseltine (1973), terdapat perbedaan kerentanan terhadap fosfin yang besar di antara berbagai jenis serangga, sehingga sulit untuk menentukan tingkat dosis yang mampu mengendalikan berbagai jenis serangga sekaligus.

Menurut Lorini & Collins (2003) penggunaan fosfin yang terus-menerus dalam waktu yang lama dapat memicu timbulnya resistensi hama. Hasil penelitian antara BULOG dan TDRI (Tropical Development Research Institute) telah menunjukkan indikasi adanya resistensi hama gudang seperti T. castaneum, R. dominica, Cryptolestes sp, dan serangga lainnya terhadap fosfin (Sidik & Pranata 1988). Resistensi serangga terhadap fosfin telah menjadi masalah di Australia, Cina, India, dan Brasil (Pimentel et.al. 2006). Pada awalnya resistensi dilaporkan pada tingkat rendah, tetapi pada pertengahan tahun 1990 beberapa strain serangga di beberapa negara berkembang menjadi resistensi tingkat tinggi (Su et.al. 2008). Permasalahan yang tejadi di negara lain dimana resistensi yang tinggi terhadap fosfin timbul pada sejumlah spesies hama sebagai akibat dari cara fumigasi yang tidak tepat. Oleh sebab itu perlu dilakukan pengujian resistensi terhadap populasi hama gudang.

Tujuan

(15)

Manfaat Penelitian

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Triboliumcastaneum (Herbst)

Serangga T. castaneum termasuk ordo Coleoptera dan famili Tenebronidae. Serangga ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) yaitu perkembangannya melalui fase telur, larva, pupa, dan imago. Serangga ini merupakan hama sekunder yang bersifat kosmopolitan dan termasuk external feeder pada tepung dan serealia lain (Haines 1991). Menurut Munro (1966) dan Ress (2004), Tribolium spp. merupakan serangga yang paling banyak terdapat pada penyimpanan serealia.

Tribolium castaneum merupakan salah satu spesies serangga hama penting di daerah tropika. Serangga ini merupakan hama yang paling banyak ditemukan di gudang penyimpanan biji-bijian serealia, khususnya pada produk olahan seperti tepung dan beras giling. Bahan pangan yang terserang berat biasanya tercemar oleh benzokuinon (ekskresi T. castaneum) sehingga tidak layak untuk dikonsumsi (Sunjaya & Widayanti 2006).

Tribolium castaneum dikenal sebagai kumbang tepung (rust red flour beetle). Kumbang ini bertubuh pipih dan berwarna merah karat dengan panjang tubuh 2,3 - 4,4 mm. Lama perkembangan serangga ini sangat bervariasi, antara lain bergantung pada suhu, kelembaban, dan jenis makanan. Pada kondisi optimum yakni suhu 35 0C dan kelembaban 75%, lama perkembangan dari telur hingga dewasa mencapai 20 hari (Haines 1991). Kumbang betina meletakkan telur di antara butiran tepung, secara acak. Telur menempel pada tepung dan dilindungi oleh partikel – pertikel tepung. Kumbang betina dapat meletakkan telur sampai dengan 1000 telur selama masa hidupnya (Ress 2004).

(17)

telur dan pupa relatif singkat, lebih dari 60% dari siklus hidupnya dihabiskan sebagai larva (Ress 2004).

Kumbang ini mampu bertahan hidup pada bahan pangan dengan kadar air rendah dan terutama menimbulkan kerusakan pada serealia yang telah digiling, namun perkembanganbiakannya tidak cepat pada serealia yang berkadar air rendah, masih utuh dan bebas dari serpihan (Haines 1991).

Gambar 1 Imago T. castaneum

Pengendalian serangga T. castaneum yang sering dilakukan di gudang penyimpanan beras yaitu dengan sanitasi gudang, mengatur sirkulasi udara, dan kelembaban gudang. Selain itu, pengendalian dilakukan dengan cara fumigasi.

Rhyzopertha dominica (Fabricius)

Serangga R. dominica termasuk ordo Coleoptera dan famili Bostrychidae. Serangga ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) yaitu perkembangannya melalui fase telur, larva, pupa, dan imago (Haines 1991). Serangga ini termasuk hama primer dan banyak ditemukan di daerah tropika dan subtropika, namun daerah hangat lebih disukai. Rhyzopertha dominica dapat menyerang serealia yang masih utuh. Selain menyerang serealia, serangga ini juga dapat menyerang gaplek (Sunjaya & Widayanti 2006).

(18)

Serangan kumbang ini dapat meningkatkan temperatur sehingga memicu pertumbuhan cendawan (Harahap 2009).

Rhyzopertha dominica dikenal sebagai kumbang bubuk gabah(lesser grain borer). Kumbang ini banyak ditemukan pada penyimpanan gabah. Fase larva dan imago memakan bahan yang sama. Serangga dewasa melubangi biji-bijian dan membuat lubang yang bentuk nya tidak beraturan sehingga menghasilkan bubuk dalam jumlah yang banyak. Imago berbentuk silindris, panjang 2 - 3 mm, dan berwarna coklat gelap sampai hitam, tepi elitra paralel, kepala menekuk ke bawah; tidak terlihat dari arah dorsal, antena capitate dengan tiga ruas terakhir membentuk bendolan, pada sisi depan pronotum terdapat barisan duri-duri halus (Harahap 2009).

Telur diletakkan pada celah-celah di permukaan biji. Larva dan pupa terdapat di dalam biji. Fase larva lebih cepat berkembang pada biji-bijian yang masih utuh daripada tepung. Larva kumbang ini berwarna putih sampai kuning pucat. Larva kumbang ini berbentuk seperti huruf C (seperti larva kumbang penggerek batang). Pupa R. dominica berukuran hampir 2 mm, berwarna putih sampai hijau pucat (Munro 1966). Kondisi optimum untuk perkembangannya adalah pada suhu 34 0C dan kelembaban 70%. Pada suhu 25 0C imago betina dapat bertelur rata-rata 244 butir dan 418 butir pada suhu 34 0C (Sunjaya & Widayanti 2006). Pada kondisi lingkungan yang mendukung perkembangannya adalah tempat penyimpanan yang tertutup dengan bebijian yang ditimbun dalam jumlah banyak untuk waktu yang lama. Kumbang ini menyukai tempat yang berada di bagian bawah tumpukan bahan simpanan (Vardeman et.al 2007).

(19)

Pengendalian serangga R. dominica yang sering dilakukan di gudang penyimpanan yaitu dengan sanitasi gudang, mengatur sirkulasi udara, dan kelembaban gudang. Selain itu, pengendalian dilakukan dengan cara fumigasi.

Cryptolestes spp.

Serangga ini bersifat kosmopolitan, banyak ditemukan di daerah tropika. Kumbang Cryptolestes spp. termasuk hama sekunder, banyak ditemukan dan dapat menyerang produk biji-bijian yang berminyak (oilseed cake), serealia, kacang tanah, tepung serealia, dan gaplek. Komoditi yang diserang Cryptolestes ferrugineus menjadi berlubang-lubang (Sunjaya & Widayanti 2006).

(20)

Gambar 3 Imago Cryptolestes spp.

Pengendalian serangga Cryptolestes spp. yang sering dilakukan di gudang penyimpanan yaitu dengan sanitasi gudang, mengatur sirkulasi udara, dan kelembaban gudang. Selain itu, pengendalian dilakukan dengan cara fumigasi.

Pemilihan Fosfin sebagai Fumigan

Fumigasi adalah suatu tindakan perlakuan terhadap suatu komoditi dengan menggunakan fumigan tertentu, didalam ruang kedap udara, pada suhu dan tekanan tertentu. Fumigan yang efektif untuk mengendalikan hama gudang adalah metil bromida (CH3Br) dan fosfin (PH3). Sejarah manajemen hama mengungkapkan bahwa awal penggunaan metil bromida (CH3Br) sebagai fumigan dilaporkan oleh Le Goupil (1932), Jones (1938), Brown (1954), Lindgren et.al (1954)., Monro dkk., (1961) dan Howe & Lubang (1966).Fosfin sebagai fumigan pertama kali digunakan pada tahun 1934 (Freyberg 1935) dan dilakukan pengembangan formulasi baru, yaitu tablet aluminium fosfida di Jerman pada tahun 1953 (Mordkovich 2004).

(21)

bromida yang diproduksi. Metil bromida termasuk salah satu bahan perusak lapisan ozon (Hidayat 2009).

Sejak Montreal Protocol diberlakukan, fumigan dengan metil bromida tidak boleh digunakan lagi, kecuali untuk keperluan karantina dan prapengapalan karena belum ada alternatif penggantinya yang layak secara teknis dan ekonomis. Fumigasi dengan metil bromida dapat mengakibatkan kerusakan atau penurunan kualitas komoditas yang difumigasi. Selain itu, banyak negara mempersyaratkan fumigasi dengan fosfin karena fosfin tidak banyak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, khususnya kerusakan pada lapisan ozon. Perlakuan fumigasi dengan fosfin merupakan salah satu alternatif pengganti metil bromida yang umum digunakan dalam tindakan perlakuan fumigasi (DEPTAN 2007).

Umumnya fosfin digunakan dalam bentuk formulasi padat seperti aluminium fosfida dan magnesium fosfida. Suhu dan kelembaban tertentu diperlukan agar fosfin dapat menguap. Fosfin dalam bentuk formulasi magnesium fosfida dapat melepaskan fosfin lebih cepat dan dapat digunakan pada temperatur lebih rendah, misal 5 0C. Dalam perkembangannya fosfin juga diformulasikan dalam bentuk gas cair. Di Indonesia pernah dicoba penggunaan fosfin dalam formulasi gas cair, yaitu EcoFume. Hasil percobaan ini cukup baik, namun dirasa teknik ini agak sulit untuk dilakukan karena membutuhkan alat-alat tertentu, relatif mahal, dan ketersediaaannya terbatas. Oleh karena itu penggunaan fosfin dalam formulasi padat merupakan pilihan yang paling baik untuk saat ini. Selain mudah didapatkan juga mudah diaplikasikan digudang penyimpanan (Hidayat & Halid 2009).

(22)

organisme pengganggu tumbuhan yang menjadi sasaran fumigasi (DEPTAN 2007).

Fumigasi dengan fosfin

Fumigasi dengan fosfin dapat dilaksanakan pada biji-bijian yang ditumpuk dalam bentuk curah (bulk storage) maupun pada tumpukan kemasan yang berisi biji-bijian (bagged stack stapel). Fosfin akan sangat efektif sebagai fumigan bila diaplikasikan dengan menggunakan fosfin dosis rendah dalam waktu fumigasi panjang. Periode pemaparan (exposure periode) sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu minimum untuk fumigasi fosfin adalah 15 0C dan pada suhu dibawah 20 0C waktu fumigasi yang direkomendasikan adalah 16 hari. Bahkan di daerah tropik yang bersuhu tinggi waktu fumigasi tidak boleh kurang dari 5 hari. Bila fumigasi dapat dilakukan selama tidak kurang dari 7 hari maka kemungkinan terjadinya kegagalan fumigasi dapat dikurangi.

Peralatan untuk mengukur konsentrasi fosfin baik dalam tumpukan maupun pada ruangan di sekitarnya untuk mengetahui apakah terjadi kebocoran pada

sungkup fumigasi, yang banyak digunakan adalah detektor gas (misalnya “drager tubes”) dan alat pengukur fosfin elektronik (“electronic meter”). Dengan “drager tubes” konsentrasi gas fosfin dapat diukur dengan cepat dan mudah. Sedangkan

electronic meter” yang dilengkapi dengan sensor elektrochemical dapat menunda konsentrasi gas secara langsung dengan kisaran 0 – 2000 ppm dan ditampilkan secara digital. Fumigasi dapat dikatakan berhasil apabila konsentrasi fosfin tidak dibawah 150 ppm pada akhir hari ke lima fumigasi atau tidak dibawah 100 ppm pada akhir hari ke tujuh (WFP, 2003).

Karakteristik Fosfin

(23)

Tabel 1 Deskripsi fumigan fosfin

Di dalam aplikasinya, pelaksanaan fumigasi dengan fosfin selain harus memperhatikan sifat-sifat fisik dan kimia fosfin di atas, harus diperhatikan juga sifat fosfin sebagai berikut : (a) pada konsentrasi di atas 1.8% volume di udara atau 25 g/m3 pada tekanan udara normal mudah meledak, (b) pada temperatur di atas 1000C (2120F) mudah terbakar dengan sendirinya, (c) mudah meledak bila terkena air, (d) bereaksi dengan tembaga/logam mulia atau bahan-bahan yang terbuat dari tembaga/logam mulia dan menyebabkan korosi pada temperatur dan kelembaban yang relatif tinggi.

Formulasi dan Bentuk Fosfin

(24)

1. AlP + 3H2O Al (OH)3 + PH3 Alumunium + Uap air Alumunium + Fosfin

Fosfida hidroksida

2. Mg3P2 + 6H2O 3Mg (OH) 2 + 2PH3 Magnesium Uap air Magnesium + Fosfin

Fosfida hidroksida

Proses perubahan gas fosfin terjadi apabila alumunium fosfida atau magnesium fosfida bereraksi dengan uap air di udara. Pada proses tersebut selain gas fosfin dihasilkan juga senyawa alumunium hidroksida atau magnesium hidroksida. Senyawa-senyawa ini bersifat limbah dalam fumigan fosfin.

Pada senyawa alumunium fosfida atau magnesium fosfida ditambahkan bahan pelapis untuk memperlambat terjadinya pelepasan gas dan untuk mencegah terjadinya akumulasi konsentrasi yang tinggi di udara yang dapat mengakibatkan terjadinya kebakaran. Bahan pelapis yang digunakan adalah lilin parafin dan lapisan matric plastic. Pada umumnya senyawa alumunium fosfida atau magnesium fosfida mulai bereaksi setelah 2 – 4 jam dan dekomposisi sempurna akan terjadi setelah 72 jam pada temperatur dan kelembaban yang sesuai. Pada temperatur dan kelembaban yang lebih rendah dekomposisi akan lebih lama sekitar 120 jam. Bentuk formulasi Fosfin antara lain dapat berupa pelet, tablet, plate, dan bags dengan jumlah kandungan fosfin yang berbeda-beda, sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2 Bentuk formulasi dan kandungan bahan aktif Fosfin Bentuk

formulasi

Berat per satuan formulasi

Berat bahan aktif (fosfin) per satuan formulasi

Pelet 0.6 gram 0.2 gram

Tablet 3.0 gram 1.0 gram Plate 117.0 gram 33.0 gram Bags 34.0 gram 11.3 gram Strips 2340.0 gram 660.0 gram

(25)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP (Southesast Asian Regional Center for Tropical Biology), Jl. Raya Tajur Km 6, Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan April sampai November 2011.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aluminium fosfida (AlP) dalam bentuk pelet, asam sulfat (H2SO4) 10%, akuades, dedak, sorgum, jagung pecah, dan kain kasa. Serangga uji yang digunakan adalah serangga yang dikumpulkan dari berbagai lokasi seperti: Probolinggo, Indramayu, Semarang, Ciamis, Surakarta dan Klaten.

Alat yang digunakan adalah seperangkat alat pengujian fumigasi di laboratorium, stoples bervolume dua liter dengan kasa kawat sebagai alat penyangga didalamnya. Stoples ini merupakan modifikasi dari desikator yang digunakan dalam metode FAO (1980). Cincin paralon yang beralas dan bertutup kain kasa sebagai wadah serangga uji, plastisin untuk mencegah kebocoran gas fosfin, alat suntik (syringe), alat monitor fosfin, alat magnetic stirrer, dan alat penunjang lainnya.

Metode Penelitian

Pemeliharaan Serangga Uji

(26)

Biotrop. Sedangkan pengujian untuk keragaan relatif strain resisten terhadap fosfin, masing-masing spesies serangga uji dilakukan persilangan antara strain yang telah dipastikan resisten terhadap fosfin dan strain yang rentan dari laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP. Strain resisten diperoleh dari hasil pengujian resistensi tahun 2010. Tribolium castaneum yang resisten berasal dari lokasi Probolinggo, Indramayu, dan Semarang, R. dominica berasal dari lokasi Probolinggo dan Ciamis, dan Cryptolestes sp. berasal dari lokasi Klaten dan Surakarta. Sebanyak 100 ekor imago dari masing-masing spesies serangga yang disilangkan dimasukkan ke dalam stoples kaca berisi makanan serangga tersebut. Empat belas hari kemudian, semua imago dikeluarkan dari stoples kaca dan dipindahkan ke stoples kaca yang baru untuk disilangkan kembali di wadah stoples baru. Hal ini dilakukan sampai ke stoples yang ketiga. Setelah imago dari stoples ketiga dikeluarkan, serangga dibiarkan berkembangbiak hingga muncul imago. Metode yang sama dilakukan untuk mendapatkan keturunan F2. Masing-masing persilangan yang dibiakkan tanpa melalui seleksi. Pemeliharaan serangga tersebut di Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP pada suhu kamar dan RH 75%.

Persiapan Pengujian

Fosfin yang digunakan pada pengujian berasal dari aluminium fosfida yang berbentuk pelet. Pelet tersebut di ubah menjadi gas fosfin dengan menggunakan alat penghasil fosfin (apparatus for generating phosphine) sesuai dengan metode FAO (1975) (Gambar 4).

(27)

Stoples kaca yang digunakan untuk fumigasi dilengkapi dengan kawat kasa yang digantung ditengah-tengah stoples, sebagai tempat untuk meletakkan serangga uji. Pada bagian dasar stoples diletakkan magnetic bar (batangan magnetik) yang berfungsi sebagai pengaduk agar gas fosfin dapat tersebar merata di dalam stoples. Serangga uji sebanyak 50 ekor dimasukkan ke dalam cincin paralon (diameter 2,5 cm dan tinggi 2,5 cm) yang telah diberi alas dan tutup dengan kain kasa halus. Cincin paralon berisi serangga uji tersebut diletakkan di atas kawat kasa yang sudah dipasang pada bagian tengah stoples. Setiap perlakuan (stoples) terdiri dari 2 buah cincin paralon yang berisi masing-masing 50 ekor serangga uji.

Gambar 5 Cincin paralon tempat menyimpan serangga dan magnet pengaduk; (a) tampak atas, (b) tampak samping

Stoples berisi serangga uji ditutup rapat dan di antara tutup stoples dengan dinding luar stoples direkatkan dengan menggunakan plastisin untuk mencegah kebocoran gas fosfin. Tutup stoples diberi lubang kecil, kemudian lubang tersebut diberi sumbat karet (rubber stopper) dan pada pinggir karet tersebut juga diberi plastisin untuk mencegah kebocoran gas fosfin. Sumbat karet tersebut berfungsi sebagai tempat untuk menyuntikkan gas fosfin ke dalam stoples.

(28)

Gambar 6 Stoples berisi serangga uji yang telah ditutup rapat dengan plastisin; (a) stoples berisi serangga uji, (b) stoples yang telah ditutup dengan plastisin

Gambar 7 Karet penutup lubang stoples tempat menginjeksikan gas fosfin; (a) karet penutup stoples, (b) tutup stoples yang ditutup dengan plastisin

Pelaksanaan Fumigasi

Perlakuan fumigasi dilakukan pada stoples berisi serangga uji yang telah ditutup rapat dan direkat dengan plastisin. Gas fosfin yang diperoleh menggunakan metode FAO (1980) dengan konsentrasi 0.000; 0.010; 0.015; 0.020; 0.025; 0.030; dan 0.040 mg/l, kemudian disuntikkan ke dalam stoples kaca dengan menggunakan syringe.

a

b

(29)

Gambar 8 Aplikasi gas fosfin ke dalam stoples dengan menggunakan alat suntik; (a) pengambilan gas fosfin. (b) penyuntikan gas fosfin kedalam stoples

Setelah penyuntikan gas fosfin, karet tersebut ditutup kembali dengan menggunakan plastisin. Stoples yang telah difumigasi fosfin kemudian diaduk selama 2 menit dengan menggunakan alat pengaduk magnetik (magnetic stirrer) agar gas tersebut tersebar merata keseluruh bagian dalam stoples.

Gambar 9 Alat pengaduk magnetik

(30)

Pengujian Resistensi

Proses fumigasi dilakukan selama 20 jam. Kemudian serangga uji yang berada dalam stoples kaca tersebut di keluarkan dari stoples dan dipindahkan ke dalam stoples baru dengan diberi sedikit beras sebagai pakan serangga sampai saat pengamatan tiba. Pengamatan mortalitas serangga uji dilakukan 14 hari setelah pengujian. Jika ada indikasi resisten maka dilakukan pengujian lanjutan yaitu dengan perlakuan fumigasi selama 48 jam. Pengujian lanjutan ini bertujuan untuk mengkonfirmasi terjadinya resistensi pada serangga uji.

Gambar 10 Inkubasi serangga uji setelah aplikasi

Pengujian Keragaan Relatif

(31)

Analisis Data

Data mortalitas serangga uji dianalisis dengan Analisis Probit dengan menggunakan program POLO-PC untuk mendapatkan nilai LD50 danLD99.9 dari masing-masing contoh serangga uji. Nilai LD50 dan LD99.9 tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai LD99.9 strain rentan dari Biotrop untuk mengetahui tingkat resistensi masing-masing contoh serangga uji. Faktor resisten (RF = Resistence Factor) dihitung dengan menggunakan rumus :

RF = Nilai LD99.9 serangga uji / nilai LD99.9 serangga yang rentan (FAO 1980).

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Resistensi

Hasil pengujian resistensi menunjukkan bahwa dari tiga spesies serangga yang diuji, dua spesies menunjukkan resistensinya terhadap fosfin dengan faktor resistensi (RF) yang bervariasi, berkisar antara 1 kali sampai 15.5 kali yaitu T. castaneum, dan R. dominica, sedangkan spesies yang ketiga, yaitu Cryptolestes sp. tidak menunjukkan resistensinya terhadap fosfin (Tabel 3 – 7).

Tabel 3 Nilai LD50, LD99.9 dan Faktor Resistensi (RF) T. castaneum dari beberapa lokasi dengan periode fumigasi selama 20 dan 48 jam.

Lokasi

Keteranga : RF** = Resistance factor (Faktor Resistensi) - = Tidak dilakukan pengujian

Berdasarkan data pada Tabel 3 tersebut, terlihat bahwa nilai faktor resistensi (RF) sampel hasil pengujian T. castaneum dengan pemaparan gas fosfin selama 20 jam lebih besar dari satu, yang mempunyai arti bahwa serangga yang berasal dari tiga lokasi (Probolinggo, Indramayu, dan Semarang) menunjukkan sifat resistensinya terhadap fosfin, dengan faktor resistensi berkisar antara 3.4 sampai dengan 8.9 kali. Resistensi terendah terhadap fosfin terdapat pada sampel yang berasal dari Probolinggo dengan faktor resistensi 3.4 kali, sedangkan resistensi tertinggi berasal dari Semarang dengan faktor resistensi 8.9 kali. Sampel serangga uji yang telah diduga resisten terhadap fosfin tersebut kemudian dilakukan pengujian dengan pemaparan gas fosfin selama 48 jam untuk memastikan resistensinya.

(33)

diduga bahwa serangga T. castaneum yang terdeteksi resisten terhadap fosfin tersebut karena lebih sering terpapar oleh gas fosfin.

Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian BULOG dan SEAMEO BIOTROP (2010) yang dilakukan di laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP, pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa T. castaneum yang berasal dari Indramayu dengan faktor resistensi 1.1 kali, dan serangga yang berasal dari Probolinggo dengan faktor resistensi sebanyak 1.3 kali. Demikian juga hasil penelitian Pimentel et.al (2006) menunjukkan terjadinya resistensi fosfin di sepuluh populasi T. castaneum dari negara bagian Goias, Mato Grasso, Minas Gerais, dan Sao Paulo. Di Brazil menurut Pimentel et.al (2010) dari 19 sampel serangga T. castaneum yang diuji, 14 sampel yang menunjukkan resistensi yang tinggi dan 5 sampel serangga yang tidak terjadi resistensi. Athie and Mills (2005) juga melaporkan terjadinya resistensi T. castaneum terhadap fosfin sebanyak sepuluh dari dua belas sampel yang diuji.

Tabel 4 Nilai LD50, LD99.9 dan Faktor Resistensi (RF) R. dominica dari beberapa lokasi dengan periode fumigasi selama 20 dan 48 jam.

- = Tidak dilakukan pengujian

Nilai LD50 dan LD99.9 R. dominica yang berasal dari Probolinggo, dan Ciamis pada pemaparan gas fosfin selama 20 jam dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai LD99.9 dari beberapa lokasi tersebut berturut-turut dari nilai yang terendah ke nilai tertinggi adalah Probolinggo 0.155 mg/l dan Ciamis 0.292 mg/l. Berdasarkan perbandingan nilai LD99.9 serangga uji dengan nilai LD99.9 serangga yang rentan dapat dikatakan bahwa R. dominica dari sampel probolinggo dan Ciamis telah menunjukkan terjadinya resistensi terhadap fosfin, karena nilai LD99.9 nya lebih tinggi daripada nilai LD99.9 strain rentan dari Biotrop. Sampel serangga uji yang telah diduga resisten terhadap fosfin tersebut kemudian dilakukan pengujian dengan pemaparan gas fosfin selama 48 jam untuk memastikan resistensinya.

Lokasi

(34)

Pada pemaparan gas fosfin selama 48 jam tersebut menunjukkan hasil bahwa serangga yang berasal dari Probolinggo dan Ciamis terjadi resistensi terhadap fosfin, dengan faktor resistensi 17.7 kali dan 19.5 kali. Song et.al (2011) melaporkan dari 16 strain serangga R. dominica, ada lima strain yang tingkat resistensinya rendah, enam strain yang tingkat resistensinya sedang, dan lima strain yang tingkat resistensinya tinggi. Demikian juga menurut hasil penelitian Athie dan Mills (2005) yaitu adanya resistensi sembilan dari sepuluh sampel serangga R. dominica.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya resistensi terhadap fumigan di antaranya adalah frekuensi aplikasi fumigasi dan perpindahan bahan komoditi pangan (Georghiou 1972). Data pengujian resistensi terhadap fosfin menunjukkan bahwa resistensi R. dominica lebih tinggi daripada serangga T. castaneum. Hal ini ditunjukkan oleh nilai faktor resistensi (RF) yang lebih tinggi. Hasil pengujian ini hampir sama dengan pengujian BULOG dan SEAMEO BIOTROP (2010), yang melaporkan bahwa serangga R. dominica menunjukkan tingkat resistensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan serangga T. castaneum.

Pengujian Keragaan Relatif Strain Resisten

Pengujian keragaan relatif dilakukan terhadap strain resisten dibandingkan dengan strain rentan dan hasil silangan antara strain resisten dengan strain rentan. Peubah yang diamati adalah faktor resistensi dan fekunditas dari strain yang diuji.

Faktor Resistensi

(35)

generasi 1 hasil persilangan dari strain rentan dengan strain resisten dari beberapa lokasi tersebut berturut-turut dari nilai terendah ke nilai tertinggi adalah Biotrop x Semarang 2.4 kali, Biotrop x Probolinggo 2.7 kali, dan Biotrop x Indramayu 3.5 kali. Sedangkan T. castaneum generasi 2 nilai faktor resistesnsinya dari nilai terendah ke nilai tertinggi adalah Biotrop x Indramayu 1.2 kali, Biotrop x Probolinggo 1.9 kali, dan Biotrop x Semarang 4.3 kali.

Tabel 5 Nilai LD50 , LD99.9 dan Faktor Resistensi (RF) T. castaneum (F1 dan F2) dari beberapa lokasi dengan periode fumigasi selama 20 dan 48 jam.

Lokasi

Keteranga : RF** = Resistance factor (Faktor Resistensi) - = Tidak dilakukan pengujian

(36)

pemaparan gas fosfin selama 48 jam, hal ini terjadi dikarenakan oleh keterbatasan serangga uji dan keterbatasan waktu penelitian.

Hasil pengujian R. dominica dengan pemaparan gas fosfin selama 20 jam, menunjukkan hasil yang sama dengan T. castaneum, yaitu terjadinya penurunan nilai faktor resistensi (RF) terhadap serangga hasil persilangan dibandingkan dengan serangga induknya yang resisten (Tabel 6). Rhyzopertha dominica generasi 1 memiliki nilai faktor resistensi (RF) dari hasil persilangan strain rentan dengan strain resisten dari lokasi Biotrop x Probolinggo adalah 10.3 kali dan Biotrop x Ciamis 13.2 kali. Sedangkan generasi 2 nilai faktor resistensi (RF) nya adalah Biotrop x Probolinggo 8.8 kali dan Biotrop x Ciamis 13.4 kali. Hal ini diduga bahwa serangga R. dominica telah terdeteksi terjadinya resistensi terhadap fosfin, sehingga dilakukan pengujian lanjutan dengan pemaparan gas fosfin selama 48 jam.

Tabel 6 Nilai LD50, LD99.9 dan Faktor Resistensi R. dominica (F1 dan F2) dari beberapa lokasi dengan periode fumigasi selama 20 dan 48 jam.

(37)

et.al (2000) tidak ada keseimbangan kebugaran yang jelas terkait dengan strain yang rentan dengan strain yang resisten. Hal ini menunjukkan bahwa strain yang resisten akan menghasilkan keturunan yang resisten dan sebaliknya. Persilangan antara serangga yang resisten dengan serangga yang rentan menghasilkan keturunan yang resisten kuat dan strain resisten lemah. Hanya dari mayoritas serangga yang rentan akan dapat mengurangi tingkat resistensi pada populasi resisten. Athie and Mills (2005) melaporkan bahwa dari dua gen yang memiliki sifat resisten terhadap fosfin, gen heterozigot memiliki sifat resistensi yang lebih rendah daripada gen homozigot.

Resistensi Cryptolestes sp. yang berasal dari lokasi Klaten dan Surakarta terhadap fosfin tidak dilakukan pengujian, hal ini dikarenakan oleh keterbatasan serangga uji. Data pengujian resistensi pada Tabel 7 didapat dari pengujian resistensi tahun 2010 di Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP. Nilai LD50 dan LD99.9 serangga uji Cryptolestes sp. dari strain hasil persilangan antara Biotrop dengan Klaten, Biotrop dengan Surakarta, dan strain Biotrop itu sendiri dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Nilai LD50, LD99.9 dan Faktor Resistensi Cryptolestes sp. (F1 dan F2) dari beberapa lokasi dengan periode fumigasi selama 20 dan 48 jam.

Lokasi

(38)

strain hasil persilangan antara Biotrop dengan Klaten tidak ditemukan terjadinya resistensi terhadap fosfin, karena nilai faktor resistensinya 1 kali. Sedangkan strain serangga hasil persilangan antara Biotrop dengan Surakarta, tidak menunjukkan terjadinya resistensi terhadap fosfin, karena nilai faktor resistensi (RF) serangga tersebut kurang dari satu. Generasi 2 Cryptolestes sp. tidak memiliki nilai LD50 dan LD99.9, karena serangga yang diuji menunjukkan nilai mortalitas hampir 100%, sehingga waktu dianalisis dengan probit tidak muncul nilai LD50 dan LD99.9. Meskipun demikian, Athie dan Mills (2005) juga melaporkan adanya resistensi Cryptolestes sp. di Brazil.

Fekunditas Serangga Uji

Pertumbuhan populasi serangga hama gudang dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar dari populasi serangga tersebut. Faktor dalam, seperti keperidian atau kemampuan bertelur dan siklus hidup, dapat menentukan kecepatan berkembangbiak suatu jenis serangga. Semakin tinggi keperidian dan semakin singkat siklus hidup, pertumbuhan populasi serangga tersebut akan semakin cepat (Harahap 2009). Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan populasi serangga adalah makanan, suhu, dan kelembaban.

Berdasarkan hasil pengujian untuk ketiga sampel serangga uji yang berasal dari beberapa lokasi tersebut, terlihat bahwa nilai fekunditasnya berbeda-beda dari keturunan F1 sampai keturunan F2. Urutan nilai fekunditas serangga uji dari yang terendah sampai yang tertinggi dari keturunan F1 adalah T. castaneum, Cryptolestes sp, dan R. dominica. Sedangkan urutan populasi terendah pada keturunan F2 adalah T. castaneum, R. dominica, dan Cryptolestes sp. (Tabel 8).

(39)

pada serangga yang disilangkan antara strain yang rentan dengan strain yang resisten. Populasi imago yang tertinggi dari serangga uji T. castaneum untuk keturunan F1 berasal dari persilangan antara Biotrop dengan Probolinggo sebanyak 1591 ekor, sedangkan keturunan F2 berasal dari persilangan antara Biotrop dengan Semarang sebanyak 1041ekor.

Tabel 8 Faktor resistensi dan fekunditas/keperidian serangga T.castaneum, R. dominica, dan Cryptolestes sp.pada keturunan F1 dan F2 selama 14 hari.

Keterangan: RF** = Resistance factor (Faktor Resistensi) - = Tidak dilakukan pengujian

Jika dikaitkan antara hasil pengujian resistensi serangga F1 T. castaneum hasil persilangan dari strain rentan (Biotrop) dan strain resisten yang berasal dari Probolinggo, Indramayu, dan Semarang maupun serangga R. dominica hasil persilangan strain rentan (Biotrop) dan strain resisten yang berasal dari Pobolinggo dan Ciamis, maka terlihat bahwa serangga hasil persilangan masih resisten terhadap fosfin. Sebagai akibat dari resistensi ini maka terjadi penurunan fekunditas atau keperidian serangga-serangga tersebut pada keturunan F1 dibandingkan dengan F2 nya, sehingga populasi keturunan F2 lebih rendah dibandingkan dengan populasi keturunan F1. Sedangkan serangga uji Cryptolestes

Jenis serangga Lokasi

Rhyzopertha dominica Probolinggo 15.1 kali - -

Ciamis 13.9 kali - -

Biotrop 0.3 kali - -

Biotrop x Probolinggo 10.3 kali 3456 1985

(40)

sp. mengalami penambahan populasi dari keturunan F1 ke keturunan F2. Hal ini terjadi karena serangga Cryptolestes sp tidak terdeteksi terjadinya resistensi terhadap fosfin.

(41)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa dari tiga spesies serangga uji, T. castaneum dan R. dominica terdeteksi resisten terhadap fosfin, sedangkan Cryptolestes sp. tidak terdeteksi resisten terhadap fosfin. Rhyzopertha dominica merupakan serangga uji yang tingkat resistensinya lebih tinggi terhadap fosfin daripada T. castaneum. Dengan nilai faktor resistensi (RF) berkisar antara 1 sampai dengan 15.5 kali. Selain itu, pengujian keragaan relatif strain resisten menunjukkan bahwa resistensi dapat menurunkan keperidian atau fekunditas serangga itu sendiri, dan hasil persilangan antara strain rentan dengan strain resisten (cross breeding) dapat menurunkan nilai faktor resistensi (RF).

Saran

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Australian Centre for International Agricultural Research. 1998. Petunjuk fumigasi biji-bijian regional ASEAN. (Buku 1. Dasar dan petunjuk umum). Canberra : ACIAR.

Arnaud L dan Haubruge E. 2002. Insecticide resistance enhances male reproductive success in a beetle. Evalution. 56: 2435-2444.

Athie I and K A Mills. 2005. Resistance to phosphine in stored-grain insect pests in Brazil. Brazilian Journal of Food Technology. 8(2): 143-147.

BULOG dan SEAMEO BIOTROP. 2010. Pengujian Resistensi Hama Gudang terhadap Fosfin dari Beberapa Gudang Beras Perum Bulog. Bogor.

Collins PJ, Daglish GJ, Nayak MK, Ebert PR, Schlipalius D, Chen W, Pavic H, Lambkin TM, Kopittke R, and Bridgeman BW. 2000. Combating resistance to phosphine in Australia. Controlled Atmosphere and Fumigation in Stored Product. Pp. 593-607.

Daglish GJ. 2004. Effect of exposure period on degree of dominance of phosphine resistance in adults of Rhizopertha dominica (Coleoptera: Bostrychidae) and Sitophilus zeamais (Coleoptera: Curculionidae). Pest Management. 60 (8): 822-6.

Departemen Pertanian. 2007. Manual Fumigasi Fosfin untuk Perlakuan Karantina Tumbuhan. Jakarta: Departemen Pertanian RI.

FAO. 1975. Recommended methods for the detection and measurement of resistence of agricultural pests to peticides. Tentative method for adults of some major pest species of stored cereals, with methyl bromide and phosphine. FAO Plant Prot Bull 23: 12-24.

. 1980. Recommended methods for measurement of pest resistance to pesticides. Method for adults of some major pest species of stored cereals, with methyl bromide and phosphine. FAO plant production and protection paper 21: 91-102

Fragoso DB, Guedes RNC, Peternelli LA. 2005. Developmental rates and population growth of insecticide resistant and susceptible population of Sitophilus zeamais. J. Stored Product. Res. 41: 271-281.

Georghiou G P. 1972. The evolution of resistance to pesticides. Annu Rev Ecol Syst 3: 133-168.

(43)

Harahap I. 2009. Ekologi serangga hama gudang. Di dalam Prijono D, Dharmaputra OS, Widayanti S, editor. Pengelolaan Hama Gudang Terpadu. Bogor: KLH, UNIDO, SEAMEO BIOTROP. hlm 53-55.

Haubruge E, Arnaud A. 2001. Fitness consequences malathion specific resistance in red flour beetle (Coleoptera; Tenebronidae) and selection for resistance in the absence of malathion. Journal of Economic Entomology 94, 552-557. Heseltine HK. 1973. A guide to fumigation with phosphine in the tropics. Trop

Stored Prod Inf 24: 25-35.

Hidayat P. 2009. Menuju penghapusan penggunaan metil bromida di pergunangan Indonesia. Di dalam Prijono D, Dharmaputra OS, Widayanti S, editor. Pengelolaan Hama Gudang Terpadu. Bogor: KLH, UNIDO, SEAMEO BIOTROP. hlm 11-19.

Hole BD, Bell CH, Mills KA, and Goodship G. 1967. The toxicity of phosphin to all developmental stages of thirteen species of stored product beetles. J Stored Prod Res 12: 235-244.

LeOra software. 1987. POLO-PC User’s Guide. Petaluma (CA): LeOra software.

Lorini I, Collins PJ. 2003. Resistance to phosphine in Rhyzopertha dominica (F.) (Coleoptera: Bostrychedea) collected from wheat storages in Brazil. Pest Resistance to Pesticide and Control Measure. P: 319-323.

Mangoendiharjo S. 1984. Hama-hama Pasca panen. Proyek Pengembangan Kemampuan. Jakarta: Departemen Pertanian.

Munro JW. 1966. Pest of stored products. Hutchinson of London. The Rentokil Library.

Mordkovich, Ya. B. 2004. Resistance of stored products pests to aluminium phosphide. Zashchita-i- Karantin Rastenii, 12: 43-44.

Phillips TW, Thorne JE. 2010. Biorational approaches to managing stored- product insect. Annu Rev Entomol, 55: 275-397.

Pimentel MAG, Faroni LRD’A, Guedes RNC, Neto AP, and Garcia FM. 2006. Phosphine resistance, respiration rate and fitness consequences in Tribolium castaneum (Hrbst.) (Coleoptera: tenebronidae). Pp. 344-351, In: Lorini I et.al (eds), Proc. Of 9th Int Conf. Stored- Product Protection, Sao Paulo, 15-18 October 2006.

. 2010. Spread of phosphine resistance among Brazilian populations of three species of stored product insects. Neotropical Entomolagy.

(44)

Sidik M, Pranata RI. 1988. The current problems of storage pests in Indonesia. BIOTROP. Spec. Publ. No. 23: 55-56.

Su XH, Wang P, and Zhang H. 2011. Phosphine resistance in Rhyzopertha dominica (Fabricius) (Coleoptera: Bostrichidae) from different geographical population in China. African Journal of Biotechnology, 10(48): 9911-9917. . 2008. Resistance and genetic differentiation of Rhyzopertha dominica to

phosphine among defferent geographical populations in China: a preliminary study. Proceeding of the 8th International Conference on Controlled Atmosphere and Fumigation in Stored Product. China. p: 605-609.

Sunjaya dan Widayanti S. 2006. Pengenalan serangga hama gudang. Di dalam Prijono D, Dharmaputra OS, Widayanti S, editor. Pengelolaan Hama Gudang Terpadu. Bogor : KLH, UNIDO, SEAMEO BIOTROP. hlm 39-51.

Tropical Development research Institute. 1983. Food storage manual. Word Food Programme. FOA & TDRI. England. 263 pp.

. 1985. Fumigation and insecticide use. Training notes Tropical Development and Research Institute. United Kingdom. 83 pp.

Vardeman EA, Campbell JF, Arthur FH, Nechole JR. 2007. Behaviour of female Rhyzopertha dominica (Coleoptera: Bostrichidae) in a mono-layer of wheat treated with diatomaceous earth. Journal of Stored Products Research. 43: 297-301.

White, Bell RJ. 1990. Relative fitness of a malathion resistant strain of Cryptolestes ferrugineus (Coleoptera: Cucujidae) when development and oviposition coccur in malathion treated and untreated wheat kernels. J. Stored Product. Res. 26: 23-37.

(45)
(46)
(47)
(48)
(49)

Lampiran 4 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T. castaneum terhadap

(50)

Lampiran 5 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T. castaneum terhadap Fosfin (Biotrop Vs Indramayu) dengan Pengamatan 20 jam.

parameter standard error t ratio DTCBIDMY 5.5504505 .71325223 7.7818901 SLOPE 3.2484608 .42265977 7.6857583

Variance-Covariance matrix

DTCBIDMY SLOPE DTCBIDMY .5087287 .2996616 SLOPE .2996616 .1786413

chi-square 2.1737 degrees of freedom 4 heterogeneity .54

Index of significance for potency estimation: g(.90)=.04580 g(.95)=.06503 g(.99)=.11232

Effective Doses

dose limits 0.90 0.95 0.99 LD10 DTCBIDMY .00789 lower .00593 .00551 .00467 upper .00955 .00984 .01039 LD25 DTCBIDMY .01213 lower .01012 .00968 .00875 upper .01378 .01407 .01462 LD50 DTCBIDMY .01956 lower .01774 .01737 .01663 upper .02142 .02180 .02259 LD75 DTCBIDMY .03155 lower .02824 .02773 .02678 upper .03664 .03799 .04119 LD90 DTCBIDMY .04851 lower .04096 .03988 .03800 upper .06226 .06630 .07654 LD99 DTCBIDMY .10174 lower .07613 .07280 .06720 upper .15820 .17708 .22958 LD** DTCBIDMY 1.37527 lower .65507 .58485 .47803 upper 4.31331 5.78541 11.39845

PENGUJIAN RESISTENSI Tribolium castaneum TERHADAP FOSFIN (BIOTROP Vs INDRAMAYU) DTCBIDMY subjects 300 controls 50

log(L)=-173.9 slope=3.248+-.423 nat.resp.=.000+-.000 heterogeneity=.54 g=.065

(51)

Lampiran 6 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T. castaneum terhadap

(52)

Lampiran 7 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T.castaneum (F2)

terhadap Fosfin (Biotrop Vs Probolinggo) dengan Pengamatan 20 jam

parameter standard error t ratio

We will use only the probabilities for which g is less than 0.5

Effective Doses

(53)

Lampiran 8 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T. castaneum (F2)

(54)

Lampiran 9 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T. castaneum (F2)

terhadap Fosfin (Biotrop Vs Semarang) dengan Pengamatan 20 jam.

parameter standard error t ratio

(55)
(56)
(57)

Lampiran 12 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi R. dominica terhadap Fosfin (Biotrop) dengan Pengamatan 20 jam.

parameter standard error t ratio DRDBIO -1.3562809 .65087457 -2.0837822 SLOPE -1.1068726 .38923001 -2.8437494

Variance-Covariance matrix

DRDBIO SLOPE DRDBIO .4236377 .2515944 SLOPE .2515944 .1515000

chi-square 24.090 degrees of freedom 4 heterogeneity 6.0226

Index of significance for potency estimation:

g(.90)=3.3846 g(.95)=5.7409 g(.99)=15.787

Effective Doses

dose limits 0.90 0.95 0.99 LD10 DRDBIO .85602

LD25 DRDBIO .24212 LD50 DRDBIO .05952 LD75 DRDBIO .01463 LD90 DRDBIO .00414 LD95 DRDBIO .00194 LD99 DRDBIO .00047 LD** DRDBIO .00000

PENGUJIAN RESISTENSI Rhyzopertha dominica TERHADAP FOSFIN (BIOTROP) DRDBIO subjects 300 controls 50

(58)

Lampiran 13 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi R. dominica terhadap Fosfin (Biotrop Vs Probolinggo) dengan Pengamatan 20 jam.

parameter standard error t ratio

(59)

Lampiran 14 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi R. dominica terhadap

(60)

Lampiran 15 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi R. dominica (F2)

terhadap Fosfin (Biotrop Vs Probolinggo) dengan Pengamatan 20 jam.

parameter standard error t ratio

(61)

Lampiran 16 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi R. dominica (F2) terhadap Fosfin (Biotrop Vs Ciamis) dengan Pengamatan 20 jam.

parameter standard error t ratio

(62)

Lampiran 17 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi Cryptolestes sp. terhadap

We will use only the probabilities for which g is less than 0.5

(63)

Lampiran 18 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi Cryptolestes sp. terhadap

(64)

Lampiran 19 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi Cryptolestes sp. terhadap

We will use only the probabilities for which g is less than 0.5

Effective Doses

(65)

(Coleoptera: Bostrichidae),

Cryptolestes

sp.

(Coleoptera: Laemopholidae) TERHADAP FOSFIN

DAN KERAGAAN RELATIF STRAIN RESISTEN

LISTIKA MINARTI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(66)

ABSTRAK

LISTIKA MINARTI. Pengujian Resistensi Tribolium castaneum Herbst. (Coleoptera: Tenebronidae), Rhyzopertha dominica (F.) (Coleoptera: Bostrichidae), Cryptolestes sp. (Coleoptera: Laemopholidae) terhadap Fosfin dan Keragaan Relatif Strain Resisten. Dibimbing oleh IDHAM SAKTI HARAHAP.

Fosfin merupakan salah satu jenis fumigan yang dibuat secara khusus untuk mengendalikan serangga hama gudang. Penggunaan fosfin yang terus-menerus dan cara aplikasi yang tidak tepat dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap fumigan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat resistensi T. castaneum, R. dominica dan Cryptoletes sp. terhadap fosfin, serta keragaan relatif strain resisten dari beberapa lokasi di Pulau Jawa. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP dari bulan April sampai November 2011. Serangga yang digunakan untuk pengujian resistensi adalah serangga yang dikumpulkan dari beberapa lokasi seperti: Probolinggo, Indramayu, Semarang, Ciamis, Surakarta, dan Klaten. Sedangkan untuk pengujian keragaan relatif, serangga yang resisten disilangkan dengan serangga yang rentan dari SEAMEO BIOTROP. Pengujian resistensi dilaksanakan sesuai metode FAO (1980) menggunakan 7 tingkat konsentrasi fosfin yaitu 0.000, 0.010, 0.015, 0.020, 0.030, dan 0.040 mg/l dengan ulangan sebanyak 2 kali. Jumlah serangga uji setiap ulangan adalah 50 ekor. Perlakuan fumigasi dilakukan pada stoples kaca bervolume 2 l dengan pemaparan gas fosfin selama 20 jam, setelah itu serangga dipindahkan kedalam stoples kaca lainnya dengan diberi pakan dan diamati mortalitasnya setelah 14 hari fumigasi. Pengamatan dilakukan terhadap mortalitas dan fekunditas serangga uji. Data pengujian mortalitas serangga uji dianalisis dengan Analisis Probit dengan menggunakan program POLO-PC untuk mendapatkan nilai LD50 dan LD99.9 dari masing-masing lokasi. Nilai LD99.9 serangga uji tersebut selanjutnya dibandingkan dengan nilai LD99.9 seranggayang rentan dari BIOTROP, hal ini sesuai dengan metode FAO (1980) untuk mengetahui tingkat resistensi serangga uji dari masing-masing lokasi. Jika hasil pengujian dengan pemaparan gas fosfin selama 20 jam terdeteksi resisten, maka dilakukan pengujian lanjut dengan pemaparan gas fosfin selama 48 jam. Dari tiga sampel serangga yang diuji, R. dominica merupakan serangga uji yang tingkat resistensinya lebih tinggi terhadap fosfin dibandingkan dengan T. castaneum. Sedangkan Cryptolestes sp. tidak menunjukkan terjadinya resistensi. Faktor resistensi (RF) berkisar antara 1 – 15.5 kali. Selain itu juga, pengujian keragaan relatif strain resisten menunjukkan bahwa resistensi dapat menurunkan keperidian atau fekunditas serangga itu sendiri. Persilangan antara strain resisten dengan strain rentan dapat menurunkan tingkat resistensi di generasi berikutnya.

(67)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyimpanan merupakan suatu kegiatan pascapanen yang sangat penting. Selama dalam masa penyimpanan, komoditas pangan dapat mengalami kerusakan yang disebabkan oleh serangan serangga hama. Besarnya kerusakan dan kehilangan pada komoditas pangan yang disimpan di negara berkembang dapat mencapai lebih dari 20% (Phillips & Thorne 2010). Jenis hama gudang yang dapat merusak bahan pangan yang disimpan di antaranya adalah Tribolium castaneum Herbst. (Coleoptera: Tenebrionidae), Rhyzopertha dominica (F.) (Coleoptera: Bostrichidae), dan Cryptolestes sp. (Coleoptera: Laemophloeidae). Ketiga jenis hama gudang ini memberikan kontribusi terhadap kerusakan yang terbesar pada komoditas pangan yang disimpan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Saat ini upaya pengendalian populasi hama gudang masih bertumpu pada fumigasi dan penyemprotan insektisida kontak, karena cukup mudah dan hasilnya cepat diketahui. Fumigan yang efektif untuk mengendalikan hama gudang adalah metil bromida (CH3Br) dan fosfin (PH3). Kedua jenis fumigan ini dapat digunakan secara bergiliran untuk memperlambat munculnya resistensi pada hama gudang. Namun sejak Montreal Protocol diberlakukan pada tahun 1995 penggunaan metil bromida dibatasi karena mengandung bahan kimia yang reaktif, merubah sifat dari unsur-unsur beberapa bahan yang biasanya difumigasi, selain itu juga berbahaya karena beracun dan dapat merusak lapisan ozon. Saat ini satu-satunya fumigan yang dapat digunakan untuk mengendalikan serangan hama gudang adalah gas fosfin (ACIAR 1998).

Fumigasi adalah suatu tindakan atau perlakuan terhadap hama pada komoditas dengan menggunakan senyawa kimia tertentu, di ruang kedap udara, pada suhu, dan tekanan tertentu. Selain mempunyai dampak positif, fumigasi juga menyebabkan permasalahan yang cukup serius, yaitu terjadinya resistensi hama terhadap fumigasi (ACIAR 1998).

Gambar

Tabel 1  Deskripsi fumigan fosfin ..............................................................
Gambar 1  Imago T.  castaneum ................................................................
Gambar 3  Imago Cryptolestes spp.
Tabel 1  Deskripsi fumigan fosfin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel human relations yang terdiri dari komunikasi, kesadaran diri, penerimaan diri, motivasi, kepercayaan, keterbukaan diri dan penyelesaian konflik secara

Pada penelitian sebelumnya, pernah dilakukan perancangan kapal selam wisata untuk wilayah Taman Nasional Bunaken di Manado yang memiliki kapasitas 30 penumpang

Strategi adaptasi isi rumah nelayan ini selari dengan kajian kemiskinan yang mendapati bahawa bentuk optimalisasi tenaga kerja merupakan cara yang umum dilakukan oleh komuniti

Menurut UU yang berlaku sekarang informasi yang diberikan oleh intelijen bukan merupakan bukti permulaan yang cukup untuk menangkap orang yang diduga ingin melakukan aksi

Pengertian lain dari globalisasi seperti yang dikatakan oleh Barker (2004) adalah bahwa globalisasi merupakan koneksi global ekonomi, egara, budaya dan politik yang semakin

Apabila ada pihak yang berkeberatan atas hasil di atas dapat menyampaikan sanggahan secara tertulis disertai bukti otentik yang dialamatkan kepada PANITIA PENGADAAN JASA

Dengan menggunakan uang elektronik masyarakat bisa menekan tingkat kejahatan pencurian dan perampokan. Hal ini pun sesuai dengan teori hifz al-mal , karena pembahasan

Dark chocolate bar dengan penambahan minyak atsiri kencur (Kaempferia galanga L.) diharapkan dapat menjadi produk olahan cokelat khas Indonesia (signature Indonesia chocolate bar)