• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kitosan sebagai edible coating pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) asap yang dikemas vakum selama penyimpanan suhu ruang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kitosan sebagai edible coating pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) asap yang dikemas vakum selama penyimpanan suhu ruang"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

KITOSAN SEBAGAI

EDIBLE COATING

PADA IKAN LELE

DUMBO (

Clarias

gariepinus

) ASAP YANG DIKEMAS VAKUM

SELAMA PENYIMPANAN SUHU RUANG

RIDA MARTA SISWINA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

RINGKASAN

RIDA MARTA SISWINA C34060344. Kitosan Sebagai Edible Coating pada Ikan Lele Dumbo (Clarias Gariepinus) Asap yang Dikemas Vakum Selama Penyimpanan Suhu Ruang. Dibimbing oleh DJOKO POERNOMO dan PIPIH SUPTIJAH.

Pengasapan merupakan cara pengawetan ikan dengan menggunakan asap dari pembakaran kayu atau bahan organik lainnya. Salah satu jenis ikan asap yang saat ini tengah menjajaki pasar ekspor yaitu ikan lele asap. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, pengembangan ikan lele dumbo asap memberikan peluang yang cukup besar. Akan tetapi, ikan asap yang dihasilkan dari proses pengasapan panas umumnya masih memiliki kadar air yang cukup tinggi sehingga daya awetnya relatif singkat. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan kitosan sebagai edible coating pada ikan lele dumbo asap yang dikemas vakum selama penyimpanan suhu ruang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan melihat pengaruh perlakuan konsentrasi kitosan dan lama penyimpanan maupun interaksinya terhadap mutu ikan lele dumbo asap dari aspek sensori (organoleptik), mikrobiologi (total bakteri/TPC) dan kimiawi (TBA dan aktivitas air).

Penelitian ini diawali dengan pembuatan alat pengasapan sederhana dari drum dan trial error pembuatan ikan lele asap dengan menggunakan alat tersebut serta karakterisasi kitosan yang akan digunakan sebagai edible coating. Pada penelitian utama dilakukan pelapisan kitosan dengan tiga perlakuan konsentrasi yaitu 0%, 1% dan 2%, dan lama penyimpanan (0, 7, dan 14 hari) dengan dua kali ulangan. Rancangan percobaan yang digunakan yaitu rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor. Selanjutnya data dianalisis dengan ANOVA (TPC, TBA, dan

a

w) dan analisis non parametrik Kruskal-Wallis (organoleptik).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kitosan bahan penelitian memiliki kadar air 9%, kadar abu 0,21%, kadar nitrogen 1,33%, dan derajat deasetilasi 88,66%. Hasil uji proksimat selama penyimpanan menunjukkan bahwa ikan lele dumbo asap yang dikemas vakum dengan pelapisan kitosan 0%, 1% dan 2% pada hari ke-0 memiliki kadar air 64,36%, 63,69% dan 59,70%, kadar abu 5,22%, 3,96% dan 3,82, kadar lemak 5,69%, 5,47% dan 7,21%, kadar protein 19,12%, 23,67% dan 24,07% serta kadar karbohidrat 3,88%, 3,22% dan 5,21%. Pada hari ke-14 kadar air menjadi 67,00%, 64,10% dan 62,31%, kadar abu 5,07%, 3,93% dan 3,48%, kadar lemak 5,69%, 4,17% dan 5,32%, kadar protein 14,94%, 21,49% dan 21,07% serta kadar karbohidrat 7,31%, 6,32% dan 7,83%. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa variabel konsentrasi kitosan dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap parameter organoleptik (kecuali pada parameter tekstur), total bakteri (TPC), TBA dan

a

w ikan lele dumbo

asap. Sedangkan variabel kombinasi atau interaksi antara konsentrasi kitosan dengan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap

a

w ikan lele
(3)

KITOSAN SEBAGAI

EDIBLE COATING

PADA IKAN LELE

DUMBO (

Clarias

gariepinus

) ASAP YANG DIKEMAS VAKUM

SELAMA PENYIMPANAN SUHU RUANG

RIDA MARTA SISWINA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Judul : Kitosan Sebagai Edible Coating pada Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Asap yang dikemas Vakum Selama Penyimpanan Suhu Ruang

Nama : Rida Marta Siswina

NRP : C34060344

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Djoko Poernomo, B.Sc Dra. Pipih Suptijah, MBA NIP. 19580419 198303 1 001 NIP. 19531020 198503 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS. M.Phill NIP. 19580511 198503 1 002

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ‘kitosan sebagai edible coating pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) asap yang dikemas vakum selama penyimpanan suhu ruang’ adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat, hidayah serta karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “Kitosan Sebagai Edible Coating pada Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Asap yang dikemas Vakum Selama Penyimpanan Suhu Ruang”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini :

1 Bapak Ir. Djoko Poernomo, B.Sc dan Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu dan memberikan arahan, masukan, nasehat dan motivasi serta kritik selama penyusunan skripsi ini. 2 Bapak Ir. Dadi R. Sukarsa selaku dosen penguji yang telah memberikan

arahan, masukan, dan nasehat.

3 Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS. M.Phill selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

4 Bapak (Tauchid) dan Ibu (Marliyah), mas Gan, dek Arin dan seluruh keluarga besarku atas segala motivasi, do’a, kesabaran, bimbingan, keikhlasan dan kasih sayang.

5 Special thanks to My Best Friend “Anggi, Cece, “Dian” My roommate in Wisma Ayu, Arin, Yayan, Sukma, Acie, E’na, Ade Hilda, Era, Memey, Tika, Patce, Movi, anak-anak yang sering nongkrong di OMBENK : Minal, Wahyu, Icha, Ijal, Holland, Spy, Budi, Ely, Oji, Idris, Fau, Anjar, Aul, Gae, mpok Lely, bang I’o, Umi, Nico, Joha, dan semua anak THP 43 yang telah memberikan bantuan, dukungan, semangat, hiburan, masukan, dan inspirasi kepada penulis. Terima kasih untuk persahabatan, keceriaan dan kebersamaannya.

(7)

7 Keluarga besar Departemen Teknologi Hasil Perairan, staf dosen, TU, serta teman-teman THP 41, 42, 43, 44, dan 45 terima kasih atas dukungan dan bantuannya.

8 Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Terima kasih telah membantu penulis selama penelitian dan penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, Juni 2011

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Batang, pada tanggal 4 Juni 1988. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Tauchid Sja’ban dan Ibu Marliyah. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di SDN 2 Lebo dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2003, penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Weleri. Kemudian pada tahun 2006, penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 1 Pekalongan.

Pada tahun 2006, penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor) sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama. Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa program Mayor-Minor di Departemen Teknologi Hasil Perairan. Selama menjalani pendidikan akademik penulis aktif mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) periode 2007-2009 dan aktif sebagai asisten praktikum m.k teknologi pengolahan tradisional hasil perairan periode 2009-2010. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan dan seminar yang diselenggarakan di IPB.

Selama tahun 2008-2010 penulis memperoleh beasiswa PPA dari IPB dan telah melaksanakan praktek lapang di PT. Aneka Tuna Indonesia, Pasuruan-Jawa Timur. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor penulis melakukan penelitian dengan judul ’Kitosan Sebagai Edible Coating pada Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Asap yang dikemas Vakum Selama Penyimpanan Suhu Ruang’ dibawah bimbingan Ir. Djoko Poernomo, B.Sc dan Dra. Pipih Suptijah, MBA.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... 0

DAFTAR GAMBAR ...0

DAFTAR LAMPIRAN ...0

1 PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA ...4

2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ... 4

2.2 Pengasapan ... 5

2.2.1 Macam-macam pengasapan ...6

2.2.2 Komposisi dan sifat kimia asap ...7

2.2.3 Proses pengasapan ...9

2.3 Kitin dan Kitosan ... 10

2.4 Kitosan sebagai Edible Coating ... 12

2.5 Pengemasan Vakum ... 13

2.6 Kerusakan Pangan ... 14

3 METODOLOGI ...17

3.1 Waktu dan Tempat ... 17

3.2 Bahan dan Alat Penelitian ... 17

3.3 Metode Penelitian ... 17

3.4 Karakterisasi Kitosan (Derajat deasetilasi) ... 19

3.5 Prosedur Pengujian Selama Penyimpanan ... 20

3.5.1 Uji organoleptik...20

3.5.2 Uji TPC (Total Plate Count) (Fardiaz 1992) ...20

3.5.3 Uji proksimat ...22

3.5.4 Analisis aw (water activity) ...24

3.5.5 Analisis bilangan TBA metode Tarladgis (Arpah 2007) ...24

3.5.6 Analisis data ...25

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ...27

4.1 Karakterisasi Kitosan ... 27

4.2 Uji Organoleptik Selama Penyimpanan ... 28

4.2.1 Penampakan ...30

4.2.2 Aroma ...32

4.2.3 Rasa ...34

4.2.4 Tekstur ...36

4.2.5 Warna ...38 vii xi xii

viii

(10)

4.3 Analisis Proksimat Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Asap

Selama Penyimpanan Suhu Ruang (27-30oC) ... 40

4.4 Uji Mikrobiologi Total Plate Count (TPC) Selama Peyimpanan ... 42

4.5 Analisis Bilangan Thiobarbituric Acid (TBA) Selama Penyimpanan ... 44

4.6 Analisis Aktivitas Air (aw) Selama Penyimpanan ... 46

5 KESIMPULAN DAN SARAN ...49

5.1 Kesimpulan ... 49

5.2 Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ...51

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Komposisi kimia ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 5

2 Perbedaan antara pengasapan panas dan pengasapan dingin ... 7

3 Komposisi kimia asap kayu ... 9

4 Komposisi kimia sabut kelapa ... 9

5 Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan asap ... 16

6 Karakteristik kitosan bahan penelitian dan standar internasional ... 27

7 Hasil analisis rata-rata nilai organoleptik penampakan ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ... 30

8 Hasil analisis rata-rata nilai organoleptik aroma ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ... 32

9 Hasil analisis rata-rata nilai organoleptik rasa ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ... 34

10 Hasil analisis rata-rata nilai organoleptik tekstur ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ... 36

11 Hasil analisis rata-rata nilai organoleptik warna ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ... 38

12 Hasil analisis proksimat ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ... 40

13 Total mikroba ikan lele dumbo asap edible coating kitosan yang dikemas vakum selama penyimpanan suhu ruang ... 43

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 4

2 Skema proses pengasapan ikan (Wibowo 1995) ... 6

3 Struktur kitin dan kitosan ... 10

4 Diagram alir proses pengasapan ikan lele dumbo (Wibowo 1995) ... 18

5 Diagram alir proses pada penelitian utama ... 19

6 Diagram batang organoleptik ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ... 28

7 Diagram batang organoleptik parameter penampakan ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ... 31

8 Diagram batang organoleptik parameter aroma ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ... 33

9 Diagram batang organoleptik parameter rasa ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ... 35

10 Diagram batang organoleptik parameter tekstur ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ... 37

11 Diagram batang organoleptik parameter warna ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ... 39

12 Diagram batang uji TPC ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ... 43

13 Diagram batang uji TBA ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ... 45

14 Diagram batang uji

a

w ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ... 47
(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1a Data uji proksimat kitosan bahan penelitian ... 57 1b Produk ikan lele dumbo asap sebelum dan sesudah dikemas vakum

... 57 2 Data uji organoleptik penampakan ikan lele dumbo asap selama

penyimpanan ... 58 3 Data uji organoleptik aroma ikan lele dumbo asap selama penyimpanan .... 59 4 Data uji organoleptik rasa ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ... 60 5 Data uji organoleptik tekstur ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ... 61 6 Data uji organoleptik warna ikan lele dumbo asap selama penyimpanan .... 62 7 Lembar penilaian sensori ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ... 63 8a Data uji Thiobarbituric Acid (TBA) ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

asap selama penyimpanan... 64 8b Data uji Total Plate Count (TPC) ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

asap selama penyimpanan... 64 8c Data uji Aktivitas air (aw) ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

asap selama penyimpanan... 64 9a Data uji proksimat ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) asap

sebelum penyimpanan ... 65 9b Data uji proksimat ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) asap

sesudah penyimpanan ... 65 10 Data uji statistik hubungan antara konsentrasi kitosan dengan lama

penyimpanan terhadap parameter organoleptik ikan lele dumbo asap ... 66 11a Data uji Kruskal-Wallis interaksi antara konsentrasi kitosan dengan lama

penyimpanan terhadap parameter organoleptik ikan lele dumbo asap ... 68 11b Data uji Kruskal-Wallis tingkat konsentrasi kitosan terhadap parameter

organoleptik ikan lele dumbo asap ... 68 11c Data uji Kruskal-Wallis lama penyimpanan terhadap parameter

organoleptik ikan lele dumbo asap ... 68 12a Data uji lanjut dunn (Multiple Comparison) pada tingkat konsentrasi kitosan dan lama penyimpanan terhadap penampakan ikan lele dumbo asap ... 69 12b Data uji lanjut dunn (Multiple Comparison) pada tingkat konsentrasi kitosan dan lama penyimpanan terhadap aroma ikan lele dumbo asap... 69 13a Data uji lanjut dunn (Multiple Comparison) pada tingkat konsentrasi kitosan dan lama penyimpanan terhadap rasa ikan lele dumbo asap ... 70

(14)

13b Data uji lanjut dunn (Multiple Comparison) pada tingkat konsentrasi

kitosan dan lama penyimpanan terhadap tekstur ikan lele dumbo asap ... 70 14 Data uji lanjut dunn (Multiple Comparison) pada tingkat konsentrasi kitosan

dan lama penyimpanan terhadap warna ikan lele dumbo asap ... 71 15 Data uji statistik hubungan antara konsentrasi kitosan dengan lama

penyimpanan terhadap total bakteri (TPC) ikan lele dumbo asap ... 72 16a Data ANOVA total bakteri (TPC) ikan lele dumbo asap ... 73 16b Data uji lanjut duncan pada tingkat konsentrasi kitosan dan lama

penyimpanan yang berbeda terhadap total bakteri ikan lele dumbo asap ... 73 17a Data uji lanjut duncan pada tingkat konsentrasi kitosan yang berbeda

terhadap total bakteri (TPC) ikan lele dumbo asap ... 74 17b Data uji lanjut duncan pada lama penyimpanan yang berbeda

terhadap total bakteri (TPC) ikan lele dumbo asap ... 74 18a Data uji statistik hubungan antara konsentrasi kitosan dengan lama

penyimpanan terhadap TBA ikan lele dumbo asap ... 75 19a Data ANOVA Thiobarbituric acid (TBA) ikan lele dumbo asap ... 76 19b Data uji lanjut duncan pada tingkat konsentrasi kitosan dan lama

penyimpanan yang berbeda terhadap TBA ikan lele dumbo asap ... 76 20a Data uji lanjut duncan pada tingkat konsentrasi kitosan yang berbeda

terhadap TBA ikan lele dumbo asap ... 77 20b Data uji lanjut duncan pada lama penyimpanan yang berbeda

terhadap TBA ikan lele dumbo asap ... 77 21 Data uji statistik hubungan antara konsentrasi kitosan dengan

lama penyimpanan terhadap aw ikan lele dumbo asap ... 78 22a Data ANOVA aktivitas air (

a

w) ikan lele dumbo asap ... 79 22b Data uji lanjut duncan pada tingkat konsentrasi kitosan yang berbeda

terhadap aktivitas air (

a

w) ikan lele dumbo asap ... 79 22c Data uji lanjut duncan pada lama penyimpanan yang berbeda terhadap

aktivitas air (

a

w) ikan lele dumbo asap ... 79 23 Peralatan yang digunakan dalam penelitian ... 80 24 Spektograf infra merah kitosan ... 81
(15)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor industri perikanan Indonesia selama dekade terakhir ini mengalami perkembangan yang cukup baik. Ekspor perikanan Januari - Maret 2010 naik menjadi US$ 621,8 juta dari Januari-Maret 2009 senilai US$ 577,2 juta (Amri 2010). Selain itu, pengembangan produk olahan tradisional juga mulai mendapat perhatian dari kalangan pengusaha yang ditunjukkan dengan semakin banyaknya variasi produk olahan yang ada di pasaran. Beberapa jenis produk olahan tradisional seperti produk ikan asin, ikan pindang, dan produk awetan tradisional (terasi, asapan) pada tahun 2006-2007 mengalami perkembangan yang cukup baik. Kenaikan rata-rata produk ikan asin tahun 2006-2007 sebesar 29,54%, ikan pindang 58,56%, terasi 676,47%, dan produk asapan sebesar 43,18% (Departemen Kelautan dan Perikanan 2008). Salah satu produk tradisional yang saat ini tengah dikembangkan sebagai komoditas ekspor yaitu ikan asap. Volume ekspor ikan asap Indonesia tahun 2006-2007 mengalami kenaikan sebesar 60,17% (Departemen Kelautan dan Perikanan 2009).

Menurut Adawyah (2007), pengasapan merupakan cara pengawetan ikan dengan menggunakan asap yang berasal dari pembakaran kayu atau bahan organik lainnya. Ikan lele asap merupakan salah satu jenis ikan asap yang saat ini tengah menjajaki pasar ekspor. Selain telah diekspor ke Malaysia dan Singapura, ikan lele asap juga akan diekspor ke sejumlah negara Timur Tengah. Salah satu jenis ikan lele yang saat ini sangat diminati oleh masyarakat dan sudah banyak dibudidayakan oleh para petani ikan adalah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Ikan lele jenis ini mempunyai sifat-sifat yang lebih unggul dibanding jenis ikan lainnya, diantaranya pertumbuhannya yang cepat (2-4 bulan), memiliki kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, rasanya enak dan kandungan gizinya tinggi (Najiyati 1998). Oleh karena itu, pengembangan ikan lele dumbo asap sebagai komoditas ekspor diharapkan dapat memajukan sektor industri perikanan Indonesia.

Pengasapan ikan yang berkembang di Indonesia pada dasarnya ada dua

(16)

(cold smoking). Pengasapan panas biasanya menggunakan suhu sekitar 70-80oC selama 4-5 jam. Sedangkan pengasapan dingin biasanya menggunakan suhu sekitar 40-50oC selama beberapa hari bahkan dapat mencapai beberapa minggu. Oleh karena itu, ikan asap dari proses pengasapan panas hasilnya tidak mampu bertahan lama. Artinya ikan-ikan yang diasapi dengan pengasapan panas masih mengandung kadar air yang tinggi sehingga tidak tahan disimpan dalam jangka waktu lama (Irawan 1995). Meskipun demikian, produk hasil pengasapan panas umumnya lebih diminati oleh konsumen.

Kitosan terutama yang terbuat dari cangkang krustasea merupakan polimer

alam kedua yang paling berlimpah di alam setelah selulosa (Shahidi et al. 1999 diacu dalam Fan et. al 2009). Karena sifatnya yang tidak

beracun, antibakteri, antioksidan, pembentuk film, biokompatibilitas dan biodegradabilitas, kitosan telah menarik perhatian sebagai bahan tambahan makanan alami (Majeti dan Kumar 2000). Oleh karena itu, pengembangan kitosan sebagai edible coating merupakan salah satu alternatif dalam pengemasan produk untuk menjaga kualitas serta memperpanjang daya awetnya, terutama untuk produk tradisional yang tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama seperti ikan asap hasil pengasapan panas.

Edible coating dapat dibuat dari berbagai bahan termasuk polisakarida, protein dan lipid (Gennadios et al. 1997 diacu dalam Estaca et al. 2007). Coating dapat diterapkan secara langsung untuk bahan makanan (Sathivel et al. 1995 diacu dalam Estaca et al. 2007) atau dibuat menjadi edible film yang kemudian digunakan untuk melapisi permukaan makanan (Oussalah et al. 2004). Mekanisme utama penggunaan edible coating pada makanan yaitu meningkatkan kualitas dan memperpanjang umur simpan yang bertindak sebagai penghalang terhadap oksigen dan air, sehingga memperlambat oksidasi dan menjaga kelembaban (Gennadios et al. 1997).

(17)

foods (Kim dan Thomas 2007). Selain itu, pelapisan kitosan pada otak-otak bandeng yang disimpan pada suhu ruang mampu meningkatkan daya awetnya 2 hari lebih lama dibanding tanpa pelapisan kitosan yang hanya 2 hari (Falahuddin 2009), serta penggunaan larutan kitosan mampu mempertahankan kesegaran fillet ikan patin 2 jam lebih lama dibandingkan dengan fillet ikan patin tanpa perlakuan larutan kitosan (Gushagia 2008).

Kitosan memiliki potensi sebagai kemasan makanan (edible film dan edible coating), terutama karena dapat dimakan (Subramaniam et al. 2007; Tual et al. 2000 diacu dalam Fan et al. 2009). Dengan mempertimbangkan potensi kitosan sebagai bahan pengawet dan daya tahan ikan asap yang relatif singkat, diharapkan penggunaan kitosan sebagai edible coating pada ikan asap merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya awet dan menjaga mutu produk ikan asap selama penyimpanan.

1.2 Tujuan

(18)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Lele merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan tubuh memanjang dan kulit licin. Di sekitar mulut terdapat empat pasang sungut. Pada sirip dada terdapat patil atau duri keras yang berfungsi sebagai alat untuk memepertahankan diri. Ikan lele memiliki alat pernapasan tambahan yang terletak di bagian depan ronggga insang yang memungkinkan ikan untuk mengambil oksigen dari udara. Oleh karena itu, ikan lele dapat hidup dalam kondisi perairan yang sedikit mengandung kadar oksigen (Suyanto 1999).

Ikan lele tidak pernah ditemukan di air payau atau air asin. Habitatnya di sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, sawah yang tergenang air. Ikan lele bersifat noctural, yaitu aktif bergerak mencari makanan pada malam hari. Pada siang hari, ikan lele berdiam diri dan berlindung di tempat-tempat gelap. Di alam ikan lele memijah pada musim penghujan (Satya 2008).

Ikan lele dumbo merupakan ikan lele hibrida hasil perkawinan Clarias mossambicus dari Kenya dan Clarias fuscus dari Taiwan yang dibawa ke Indonesia oleh PT. Cipta Mina Sentosa (Suyanto 1999). Gambar ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Adapun klasifikasi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) menurut Saanin (1986) diacu dalam Satya (2008) adalah sebagai berikut :

(19)

Kelas : Pisces Sub-kelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Sub-ordo : Siluroidea Familia : Clariidae Genus : Clarias

Spesies : Clarias gariepinus

Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan lele lokal (Clarias batrachus). Pertama, ikan lele dumbo dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan ikan lele lokal yaitu dalam waktu 24 minggu lele dumbo dapat mencapai berat 200 gram sedangkan lele lokal hanya 50-60 gram. Kedua, lele dumbo dapat tumbuh lebih besar, seekor ikan lele dumbo mampu mencapai berat 2-3 kg. Ketiga, telur ikan lele dumbo lebih banyak sehingga dapat menghasilkan benih yang lebih banyak. Keempat, ikan lele dumbo dapat diberi berbagai macam pakan seperti pelet maupun berbagai jenis bangkai, sehingga biaya pemeliharaannya lebih murah (Prihartono et al. 2000). Komposisi kimia ikan lele dumbo disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Komponen Jumlah (%)

Air Abu Lemak Protein

Karbohidrat (by different)

79,73 1,47 0,95 17,71

0,14

Sumber : Nurilmala et. al (2009)

2.2 Pengasapan

(20)

seperti penggaraman dan pemanasan. Asap memiliki sifat sebagai pengawet. Fenol yang dikandungnya memiliki sifat bakteriostatik sehingga menyebabkan bakteri tidak berkembang biak, fungisidal sehingga jamur tidak tumbuh, dan antioksidan sehingga cukup berperan mencegah oksidasi lemak pada ikan asap (Adawyah 2007). Adapun proses pengasapan ikan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Skema proses pengasapan ikan (Wibowo 1995) 2.2.1 Macam-macam pengasapan

Proses pengasapan biasanya dilakukan untuk beberapa tahap agar memperoleh hasil asapan yang berwarna indah dengan rasa prima. Saat ini telah banyak dikembangkan teknik pengasapan dengan menggunakan asap cair atau asap buatan, yang aplikasinya dengan cara dioleskan pada permukaan bahan pangan, tanpa atau sedikit panas. Pada dasarnya, dalam pengasapan ikan ada dua metode yang dapat digunakan, yaitu pengasapan panas (hot smoking) dan pengasapan dingin (cold smoking).

Pengasapan panas bertujuan untuk mengawetkan dan memberi warna serta rasa yang khas pada ikan. Dalam pengasapan panas, jarak antara ikan dengan sumber asap dimana asap keluar dilakukan sedekat mungkin, dan sumber pemanas yang berasal dari api itu juga cukup besar. Suhu di dalam ruangan pengasapan panas biasanya sekitar 70-85oC. Cara ini dapat dikatakan merupakan suatu proses pemanggangan ikan secara perlahan-lahan. Suhu panas yang ada

Perendaman larutan garam (10-15% b/v) Penyiangan dan pencucian

Penggantungan dan penirisan

Pengasapan

(21)

dalam alat pengasapan sepenuhnya diserap oleh ikan-ikan itu, sehingga dengan cepat ikan menjadi kering, matang dan berdaging lunak dengan rasa yang enak. Tetapi proses pengasapan panas ini hasilnya tidak mampu bertahan lama. Artinya ikan-ikan yang diasapi dengan pengasapan panas masih mengandung kadar air yang tinggi sehingga tidak tahan disimpan dalam jangka waktu lama (Irawan 1995).

Salah satu perbedaan antara pengasapan panas dengan pengasapan dingin adalah suhu yang digunakan untuk mengasapi. Suhu yang biasanya digunakan dalam alat pengasapan dingin yaitu antara 40-50oC. Pada pengasapan dingin, asap yang ditimbulkan dari api tidak banyak berpengaruh pada ikan-ikan yang diasapi. Sebab, selain asapnya tipis (api tidak terlalu besar) juga jarak antara sumber asap dengan ikan-ikan yang diasapi agak jauh. Oleh karena itu, lamanya pengasapan dingin dapat sampai beberapa hari atau bahkan sampai beberapa minggu. Selama proses pengasapan, ikan-ikan itu akan menyerap asap cukup banyak sehingga air yang ada di dalam daging ikan akan terus menguap dan ikan akan menjadi kering. Oleh sebab itu, hasil pengasapan dingin tahan untuk disimpan dalam jangka waktu yang lama (Irawan 1995). Secara umum perbedaan antara pengasapan panas dan pengasapan dingin seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Perbedaan antara pengasapan panas dan pengasapan dingin Kriteria Pengasapan panas

(hot smoking)

Pengasapan dingin (cold smoking)

Suhu pengasapan 70-90oC Sekitar 30oC

Lama pengasapan 4-5 jam 5 hari-2 minggu

Sumber asap/panas Langsung Tidak langsung

Tekstur produk Lembek, berair, masak Keras, kering, mentah

Kadar air produk 60-70% 45-55%

Tujuan Untuk mendapatkan aroma

dan rasa yang disukai

Mengawetkan produk

Sumber : Nitibaskara (1988)

2.2.2 Komposisi dan sifat kimia asap

(22)

dan partikel padatan yang berukuran sangat kecil. Kedua unsur ini mempunyai komposisi kimia yang sama tetapi dengan perbandingan yang berbeda. Asap mengandung senyawa asam fenolat, karbonil dan organik. Asam dan senyawa karbonil terbentuk dari selulosa dan hemiselulosa, sedangkan fenol dihasilkan dari proses pirolisis lignin. Asam terutama senyawa alifatik berkontribusi terhadap rasa produk. Senyawa fenol memiliki peran sebagai rasa, antioksidan dan komponen bakteriostatik. Senyawa karbonil akan bereaksi dengan protein membentuk warna daging asap atau ikan yang diasapi. Asap bertindak sebagai pengawet makanan karena efek desinfeksi formaldehid, asam asetat, dan senyawa fenol (Giyatmi et al. 2002).

(23)

Tabel 3 Komposisi kimia asap kayu

Komposisi kimia Kandungan

% berat serbuk kayu mg/m3 asap

Formaldehid 0,06 30-50

Aldehid lain (termasuk furfural) 0,19 180-830

Keton (termasuk aseton) 0,13 190-200

Asam formiat 0,43 115-160

Asam asetat dan lainnya 1,8 600

Metil alkohol 1,04 -

Ter 5,28 1295

Phenol - 23-40

Air 103,8 -

Sumber : Zaitsev et al. (1969)

Tabel 4 Komposisi kimia sabut kelapa

Komponen kimia Berat kering (%)

Pektin 14,06

Hemiselulosa 7,69

Komponen lain yang larut dalam air 5,80

Lignin 30,02

Selulosa 18,24

Komponen lain yang tidak larut dalam air 19,19

Mineral 5,0

Sumber : Grimwood (1975)

2.2.3 Proses pengasapan

Proses pengasapan merupakan kombinasi dari proses pengolahan lainnya, yaitu penggaraman, pengeringan, pengasapan dan pemanasan. Proses penggaraman dilakukan sebelum ikan diasapi, penggaraman dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara penggaraman kering (dry salting) dan penggaraman basah atau larutan (brine salting). Penggaraman menyebabkan daging ikan menjadi lebih kompak, karena garam menarik air dan menggumpalkan protein dalam daging ikan. Pada konsentrasi tertentu, garam dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Selain itu, garam juga menyebabkan daging ikan menjadi enak (Adawyah 2007).

(24)

Proses pemanasan dan pengasapan dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Selain itu, adanya proses dehidrasi, koagulasi protein dan pelekatan zat-zat formaldehid dan phenol akan berpengaruh baik secara fisik maupun kimiawi, yaitu terbentuknya suatu lapisan yang dapat mencegah penetrasi dan pertumbuhan mikroba pada makanan tersebut (Price and Schweigert 1978).

2.3 Kitin dan Kitosan

Kitin dan kitosan merupakan senyawa golongan karbohidrat yang dapat dihasilkan dari limbah hasil laut, khususnya golongan udang, kepiting, ketam, dan kerang. Kitosan adalah polisakarida yang diperoleh dari deasetilasi kitin, yang merupakan komponen utama dari exoskeleton dari krustasea (No et al. 2002). Kitosan ditemukan oleh Rouget pada tahun 1859 selama perebusan kitin dalam larutan kalium hidroksida, yang dihasilkan dari deasetilasi kitin (Muzzarelli 1977). Menurut struktur kimia, kitosan terdiri dari 2-amino-2-deoksi-D-glukosa (glukosamin) monomer, terkait β-1-4-glycosidically, sedangkan kitin terdiri dari monomer-glukosamin N asetil-, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 (Rabea et al. 2003).

Chitin Chitosan

Gambar 3 Struktur kitin dan kitosan

Limbah udang yang dimanfaatkan umumnya adalah kulit dan kepalanya, sedangkan kitin dari rajungan diperoleh dari karapasnya. Kandungan kitin kulit udang mencapai 40-60% dari berat kering tubuhnya tergantung dari jenis dan spesiesnya (Ashford 1977 diacu dalam Knorr 1982). Sedangkan pada kulit rajungan kitinnya dapat mencapai 12,5-15%. Kitin dan kitosan juga terkandung pada dinding sel jamur (Sudarshan et al. 1992).

(25)

pelarut organik, rendahnya reaktivitas kimia dan sangat hidrofobik. Karena ketiga sifat tersebut penggunaan kitin relatif lebih sedikit dibandingkan kitosan dan derivatnya. Sifat multiguna kitosan tidak terlepas dari sifat alaminya. Sifat alami tersebut dapat dibagi menjadi dua sifat besar yaitu, sifat kimia dan biologi. Sifat kimia kitosan sama dengan kitin tetapi yang khas antara lain, merupakan polimer poliamin berbentuk linear, mempunyai gugus amino aktif, dan mempunyai kemampuan mengkhelat beberapa logam (Rismana 2001). Asam yang paling banyak digunakan untuk melarutkan kitosan adalah asam asetat dan asam format (Muzzarelli 1977).

Salah satu sifat paling khas dari polimer, termasuk kitosan adalah kemampuan untuk membentuk larutan kental, sehingga kitosan dapat berfungsi sebagai stabilizer, thickener, atau bahan pengental dan bersifat pseudoplastik serta viskoelastik (Cho et al. 2000 ). Viskositas kitosan dipengaruhi oleh derajat deasetilasi, berat molekul, konsentrasi, jenis pelarut, nilai pH larutan yang berlaku dan kekuatan ion, dan temperatur (Kumar 2000).

Sifat biologi kitosan yang menguntungkan yaitu alami, (biodegradable) mudah diuraikan oleh mikroba, biokompatibel artinya sebagai polimer alami sifatnya tidak mempunyai akibat samping, dan tidak beracun (Muzzarelli 1996). Di sisi lain, juga telah sifat biologis lainnya seperti analgesik, antitumoregenic, hemostatik, hipokolesterolemik dan antioksidan (Tharanathan dan Kittur 2003). Sifat-sifat biologis ini membuat kitosan di satu sisi sebagai pilihan yang sangat baik untuk komponen aditif makanan alami dan bahan berharga untuk aplikasi farmasi, dan industri biomedis (Rafaat dan Sahal 2009). Di sisi lain, kitosan secara ekonomi lebih murah karena merupakan senyawa alami yang berasal dari deasetilasi kitin yang dihasilkan dari limbah udang, kepiting, dan kerang (Knorr 1994).

(26)

Namun, kitosan menunjukkan aktivitas antibakteri hanya dalam media asam karena kelarutannya rendah di atas pH 6,5 (No et al. 2002).

2.4 Kitosan sebagai Edible Coating

Kitosan termasuk salah satu jenis polisakarida yang dapat bersifat sebagai barrier (penghalang) yang baik, karena pelapis polisakarida dapat membentuk matriks yang kuat dan kompak (Krochta et al. 1994). Kitosan merupakan polimer yang dapat dimakan dan biodegradable berasal dari kitin, kerangka utama bahan organik pada exoskeleton arthropoda, termasuk serangga, krustasea, dan beberapa jamur. Selain selulosa, kitosan adalah polimer alam yang paling banyak tersedia. Beberapa sifat yang diinginkan dari kitosan adalah bahwa film yang terbentuk tanpa penambahan aditif, penetrasi oksigen yang baik, permeabilitas karbon dioksida dan sifat mekanik yang baik serta aktivitas antimikroba terhadap bakteri ragi, dan jamur (Vartiainen et al. 2004 diacu dalam Ruban 2009). Namun, satu kelemahan dengan kitosan adalah sensitivitas tinggi terhadap kelembaban (Ruban 2009).

Saat ini, sebuah konsep baru sedang dikembangkan dimana pengawet sebagai senyawa antimikroba dapat dibuat dalam bentuk lapisan atau film pada permukaan makanan untuk menjaga keawetan makanan lebih lama selama penyimpanan (Guilbert 2000). Edible coating atau film telah diselidiki mampu untuk menghambat kelembaban, oksigen, aroma, dan pengangkutan zat terlarut (Ouattara et al. 2000). Selain itu, edible coating atau film adalah salah satu metode yang paling efektif untuk menjaga kualitas makanan (Pranoto et al. 2005), sebagai pengikat warna, flavor, sumber gizi, dan bahan antioksidan (Cassariego et al. 2007). Karena masalah lingkungan pula, pelapis dibuat dari biopolimer yang dapat dimakan seperti protein, polisakarida, dan lipid yang biasanya digunakan sebagai antimikroba (Ouattara et al. 2001).

(27)

1 Pencelupan (dipping)

Biasanya teknik ini digunakan pada produk yang memiliki permukaan kurang rata. Setelah pencelupan kelebihan bahan coating dibiarkan terbuang. Produk kemudian dibiarkan dingin hingga edible coating menempel. Teknik ini telah diaplikasikan pada daging, ikan, produk ternak, buah dan sayuran.

2 Penyemprotan (spraying)

Teknik ini menghasilkan produk dengan lapisan yang lebih tipis atau lebih seragam daripada teknik pencelupan. Teknik ini digunakan untuk produk yang mempunyai dua sisi permukaan, seperti pizza.

3 Pembungkusan (casing)

Teknik ini digunakan untuk membuat film yang berdiri sendiri, terpisah dari produk. Teknik ini diadopsi dari teknik yang dikembangkan untuk non-edible coating.

4 Pengolesan (brushing)

Teknik ini dilakukan dengan cara mengoles edible coating pada produk. 2.5 Pengemasan Vakum

Pengemasan vakum merupakan sistem pengemasan hampa udara dimana tekanannya kurang dari satu atmosfir (<1 atm) dengan cara mengeluarkan oksigen (O2) dari kemasan sehingga dapat memperpanjang umur simpan. Teknik

pengemasan vakum dilakukan dengan cara memasukkan produk ke dalam plastik yang diikuti dengan pengosongan atau pengontrolan udara menggunakan mesin pengemas vakum, kemudian ditutup dan disealler (Jay 1996).

Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan bahan pangan sehubungan dengan kemasan yang digunakan dapat dibagi menjadi dua golongan utama yaitu :

1 Kerusakan yang sangat ditentukan oleh sifat alamiah dari produk sehingga tidak dapat dicegah dengan pengemasan saja (perubahan-perubahan fisik, biokimia dan kimia serta mikrobiologi).

(28)

Menurut Syarief dan Halid (1993), kandungan air suatu bahan tidak dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan simpan. Selama penyimpanan, parameter-parameter mutu seperti kadar air, cita rasa, tekstur, warna dan sebagainya akan berubah karena pengaruh lingkungan seperti suhu, kelembaban dan tekanan udara atau karena faktor komposisi makanan itu sendiri. 2.6 Kerusakan Pangan

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kerusakan pangan yaitu suhu lingkungan bahan pangan, kadar air, O2, pH, relatif humidity (RH) dan aw

(water activity). Suhu lingkungan sangat mempengaruhi kecepatan reaksi kimia dan biokimia serta proses fisiologi hasil panen dan post mortem. Suhu juga mempengaruhi pertumbuhan optimal mikroba pembusuk (Winarno 2007).

Aktivitas air (water activity) merupakan tekanan uap air yang terdapat dalam makanan dibagi dengan tekanan uap air dari air murni, pada suhu yang sama. Aw sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba, contohnya persyaratan minimal bagi mikroba dapat hidup untuk bakteri 0,90; untuk khamir 0,88; untuk kapang 0,80; dan untuk bakteri halophilik 0,75 (Winarno 2007).

Bila ditinjau dari penyebabnya, kerusakan bahan pangan dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu kerusakan mikrobiologis, mekanis, fisik, biologis, dan kimia. Kerusakan mikrobiologis merupakan bentuk kerusakan yang banyak merugikan serta kadang-kadang berbahaya terhadap kesehatan manusia, karena racun yang diproduksi, penularan serta penjalaran kerusakan yang cepat. Cara perusakannya yaitu dengan mendegradasi makromolekul-makromolekul yang menyusun bahan pangan menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil (Muchtadi 2008).

(29)

Kerusakan fisiologis meliputi kerusakan yang disebabkan oleh reaksi-reaksi metabolisme dalam bahan atau oleh enzim-enzim yang terdapat di dalamnya secara alami sehingga terjadi proses autolisis yang berakhir dengan kerusakan dan pembusukan (Muchtadi 2008).

Kerusakan ikan asap terutama disebabkan oleh pertumbuhan mikroba karena kondisi penyimpanan yang tidak tepat. Kerusakan ini tidak selalu menyebabkan keracunan pangan. Jika yang tumbuh adalah mikroba pembusuk, maka akibat yang ditimbulkan adalah kerusakan produk yang membuat produk tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Beberapa kerusakan ikan asap adalah sebagai berikut (Syamsir 2009) :

1 Pembentukan bau asam

Bau asam timbul karena terjadinya pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) pada ikan asap, selama proses pengasapan atau selama penyimpanan. Pertumbuhan BAL relatif lambat dan menghasilkan asam organik yang merusak bau dan flavor produk ikan asap.

2 Pembentukan spot-spot berwarna putih atau warna lain di permukaan ikan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya pertumbuhan kapang permukaan yang bersifat halofilik (tahan konsentrasi garam tinggi).

3 Pembentukan lendir

Pembentukan lendir ini diproduksi oleh beberapa Micrococcus spp. dan bakteri lainnya yang memproduksi lendir dipermukaan ikan asap.

4 Pembentukan gas, yang disebabkan oleh pertumbuhan beberapa mikroorganisme yang memproduksi gas.

5 Pembentukan flavor tengik

Terutama pada ikan asap berkadar lemak tinggi. Garam meningkatkan reaksi oksidasi lemak selama penyimpanan dengan waktu yang lama sehingga terbentuk flavor tengik.

(30)
[image:30.595.108.519.103.292.2]

Tabel 5 Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan asap

Jenis Uji Satuan Persyaratan

a. Organoleptik Angka(1-9) Minimal 7

b. Cemaran mikroba*

- ALT

- Escherichia coli - Salmonella

- Staphylococcus aureus* - Vibrio cholerae*

Koloni/g APM/g per 25 g Koloni/g per 25 g

Maksimal 1x105 Maksimal<3

Negatif Maksimal 1x103

Negatif c. Kimia*

- Kadar air - Kadar histamin - Kadar garam

% fraksi massa mg/kg % fraksi massa

Maksimal 60 Maksimal 100

Maksimal 4 CATATAN *) Bila diperlukan

(31)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan November 2010 yang bertempat di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Organoleptik Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, serta Laboratorium Biokimia Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan size 7 (7 ekor/kg), tempurung kelapa, dan garam yang dibeli di pasar dramaga Bogor. Kitosan yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Laboratorium Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Sedangkan bahan-bahan kimia yang digunakan diantaranya akuades, pelarut heksana, K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH, H3BO3,

HNO3, HC, asam 2-thiobarbituriat, TCA, Formaldehid, asam asetat, tablet

kjeldahl, indikator (campuran metil merah 0,2% dalam alkohol dan metilen biru 0,2% dalam alkohol, 2:1), dan media agar NA.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pisau, timbangan, baskom, talenan, drum pengasapan, alat pengemas vakum, kawat, kipas, pengatur waktu, termometer, bahan kemasan plastik HDPE, FTIR (Fourier Transform Infrared), serta alat-alat lain di laboratorium yang digunakan untuk analisis kimia dan mikrobiologi seperti oven, timbangan analitik, vortex, desikator, cawan porselin, pemanas kjeldahl, labu kjeldahl, erlenmeyer, cawan petri, alat ekstraksi soxhlet, pemanas listrik, gelas piala,

a

w-meter, colorimeter, gelas ukur, sudip, cawan

conway, pipet volumetrik, dan tabung reaksi. Sedangkan untuk pengujian mutu secara organoleptik digunakan score sheet menurut SNI 2725.1: 2009.

3.3 Metode Penelitian

(32)
[image:32.595.179.447.312.692.2]

lele dumbo asap menggunakan alat pengasapan yang sudah dibuat. Prosedur pembuatan ikan lele dumbo asap yaitu diawali dengan penyiangan ikan lele dumbo dengan cara membuang lendir, insang dan isi perutnya kemudian dicuci menggunakan air bersih untuk menghilangkan darah dan kotoran yang menempel pada tubuh ikan. Selanjutnya, ikan lele tersebut direndam dalam larutan garam 15% selama ± 1 jam, kemudian ikan dikaitkan dengan kawat yang telah dibentuk huruf “S” lalu diangin-anginkan atau ditiriskan selama ± 45 menit. Setelah itu, ikan dimasukkan ke dalam drum pengasapan untuk diasapi menggunakan metode pengasapan panas. Suhu dan lama pengasapan yang digunakan yaitu 70-90oC selama 4-5 jam. Diagram alir pembuatan ikan lele dumbo asap dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Diagram alir proses pengasapan ikan lele dumbo (Wibowo 1995) Ikan lele segar

Penggaraman (15% b/v) selama ± 1 jam Penyiangan dan pencucian

Ikan diangin-anginkan atau ditiriskan selama ± 45 menit

Pengasapan panas dalam drum pengasapan (Suhu 70-90oC; 4-5 jam)

ikan lele dumbo asap

(33)

Setelah proses pengasapan selesai, kemudian ikan lele dumbo asap tersebut dilapisi (coating) dengan kitosan yang sudah dikarakterisasi. Konsentrasi kitosan yang digunakan masing-masing adalah 0%, 1% dan 2%. Lama waktu pencelupan yaitu sekitar 10 detik. Ikan lele dumbo asap yang telah dicoating kemudian dikemas vakum dengan menggunakan plastik HDPE dan disimpan pada suhu ruang selama ± 2 minggu. Selama penyimpanan berlangsung, dilakukan pengamatan setiap 1 minggu sekali dan pengujian meliputi uji organoleptik, TPC, TBA, dan aw. Untuk uji proksimat dilakukan pada awal dan akhir penyimpanan.

[image:33.595.140.473.278.548.2]

Diagram alir pada penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Diagram alir proses pada penelitian utama 3.4 Penentuan Nilai Derajat Deasetilasi

Penentuan derajat deasetilasi (DD) kitosan diukur dengan menggunakan FTIR (Fourier Transform Infrared). Puncak tertinggi dicatat dan diukur dari garis dasar yang dipilih. Nilai absorbans dapat diukur dengan menggunakan rumus :

A = log dengan

Po = transmitans pada garis dasar P = transmitans pada puncak minimum A = absorbans

Pengemasan vakum dengan plastik HDPE

Pengamatan secara organoleptik dan pengujian TPC, TBA, dan aw setiap 7 hari sekali

ikan lele dumbo asap

Pelapisan dengan larutan kitosan : 0%, 1% dan 2%

Penyimpanan produk dalam suhu ruang ± (27-30oC) selama 14 hari

(34)

DD dapat dihitung dengan membandingkan nilai absorbans pada bilangan gelombang 1655 cm-1 (serapan pita amida) dengan bilangan gelombang 3450 cm-1 (serapan pita hidroksi), kitin yang tidak terdeasetilasi menghasilkan nilai perbandingan A1655/A3450 = 1,33. DD dihitung dengan persamaan :

DD = [1− (A1655/A3450 x 1/1,33)] x 100%

3.5 Prosedur Pengujian Selama Penyimpanan

Pengujian yang dilakukan selama penyimpanan pada produk ikan lele dumbo asap ini meliputi uji organoleptik, uji proksimat (kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat secara by difference), uji TPC, uji aw, dan uji TBA.

3.5.1 Uji organoleptik

Uji organoleptik sering juga disebut dengan pengujian secara subyektif dengan bantuan panca indera manusia untuk menilai daya terima suatu bahan, dapat juga untuk menilai karakteristik mutu, dan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sifat-sifat citarasa suatu bahan. Uji organoleptik skala hedonik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap suatu produk melalui penilaian terhadap beberapa atribut produk seperti penampakan, warna, aroma, rasa, dan tekstur. Menurut Winarno (1997), penentuan bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya citarasa, warna, tekstur dan nilai gizinya.

Menurut Badan Standardisasi Nasional (SNI 2725.1: 2009), skala penilaian organoleptik untuk produk ikan asap yaitu 1-9 (keterangan lembar penilaian sensori dapat dilihat pada Lampiran 7) dengan persyaratan mutu dan keamanan pangan minimal 7. Kemudian sampel yang diujikan diberi kode secara acak dan

panelis dengan jumlah 20-30 orang diminta memberikan penilaian. Uji organoleptik ini berupa uji penilaian sensori ikan asap selama penyimpanan.

Parameter yang diuji meliputi penampakan, warna, aroma, rasa, dan tekstur. 3.5.2 Uji TPC (Total Plate Count) (Fardiaz 1992)

(35)

secara duplo. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo dapat meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni bakteri yang dapat dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni.

Cawan petri, tabung reaksi dan pipet sebelum digunakan disterilkan terlebih dahulu dalam oven pada suhu 180oC selama 2 jam. Media disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit dengan tekanan 1 atm. Setelah disterilisasi, untuk menjaga agar media tidak membeku suhu media dipertahankan pada 45-55oC dalam penangas air. Pembuatan larutan pengencer dilakukan dengan cara melarutkan 8,5 gram NaCl dalam 1 liter aquades yang kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.

Sampel sebanyak 10 gram dihaluskan terlebih dahulu, kemudian dilarutkan ke dalam larutan pengencer steril yang telah berisi dengan volume mencapai 100 ml sehingga didapatkan pengenceran 10-1. Dari larutan tersebut dipipet 1 ml, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml larutan pengencer steril untuk memperoleh pengenceran 10-2. Demikian seterusnya sampai didapat pengenceran 10-5, disesuaikan dengan pendugaan tingkat kebusukan ikan lele dumbo asap pada saat pengamatan. Dari setiap tabung reaksi pengenceran tersebut diambil dengan menggunakan pipet sebanyak 1 ml selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan petri yang sudah disterilkan. Setiap pengenceran dilakukan secara duplo. Kemudian setiap cawan tersebut digerakkan secara melingkar di atas meja supaya media NA merata. Setelah NA membeku, cawan petri diinkubasi dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 30oC, cawan petri tersebut diletakkan secara terbalik dalam inkubator.

(36)

3.5.3 Uji proksimat

a. Kadar air (AOAC 2007)

Cawan kosong yang akan digunakan terlebih dahulu dikeringkan dalam oven selama 15 menit atau sampai berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sampel kira-kira sebanyak 2gr ditimbang dan diletakkan dalam cawan kemudian dipanaskan dalam oven selama 3-4 jam pada suhu 105-110oC. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang kembali. Presentase kadar air (berat basah) dapat dihitung dengan rumus :

Keterangan :

B = Berat sampel (gram)

B1 = Berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan

B2 = Berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan

b. Kadar abu (AOAC 2007)

Sampel basah sebanyak 4 gram ditempatkan dalam wadah porselin lalu dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 60-105oC selama 8 jam. Kemudian sampel yang sudah kering dibakar menggunakan hotplate sampai tidak berasap selama ± 20 menit. Setelah itu diabukan dalam tanur bersuhu 600oC selama 3 jam lalu ditimbang. Kadar abu dapat dihitung menggunakan rumus :

c. Kadar protein (AOAC 2007)

Sampel ditimbang (0,1 gram) lalu dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml. Setelah itu, ditambahkan 1,9 g K2SO4, 40 mg HgO dan 2,5 ml H2SO4

(37)

Berat lemak = (berat labu + lemak) – berat labu

ujung kondensor terendam di dalamnya. Lalu ke dalam tabung reaksi ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml.

Setelah itu cairan dalam ujung kondensor ditampung dengan erlenmeyer 125 ml yang berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (campuran

metil merah 0,2% dalam alkohol dan metilen biru 0,2% dalam alkohol dengan perbandingan 2:1) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan

indikator dalam erlenmeyer. Kemudian destilat dititrasi dengan menggunakan

HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah. Penetapan blanko dilakukan dengan prosedur yang sama, akan tetapi sampel diganti dengan akuades. Kadar protein dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Faktor konversi = 6,25 d. Kadar lemak (AOAC 2007)

(38)

e. Kadar karbohidrat (AOAC 2007)

Analisis kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Analisis kadar karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

3.5.4 Analisis aw (water activity)

Sampel sebanyak 2-5 g ditumbuk sampai halus kemudian dimasukkan ke dalam plastik. Setelah itu, dimasukkan ke dalam aw meter untuk pengukuran nilai

aw tersebut. Sebelum dilakukan pengukuran, aw meter distandarisasi dengan NaCl,

Mg(NO3)2 dan BaCl2 masing-masing selama 30 menit. Kemudian dilakukan

pengukuran aw masing-masing sampel selama 15 menit.

3.5.5 Analisis bilangan TBA (Thiobarbituric Acid) metode Tarladgis (Arpah 2007)

Sampel sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam waring blender, kemudian ditambahkan 50 ml akuades dan dilumatkan selama 2 menit. Secara kuantitatif dipindahkan ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47,5 ml akuades. Setelah itu ditambahkan 2,5 ml HCl 4M sampai pH 1,5 lalu ditambahkan batu didih dan pencegah buih secukupnya, dan labu destilasi dipasang pada alat destilasi. Pemanasan dilakukan sedemikian sehingga diperoleh 50 ml destilat selama 10 menit. Destilat yang diperoleh diaduk lalu dipipet sebanyak 5 ml ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 5 ml pereaksi TBA, dipanaskan selama 25 menit dalam air mendidih. Selanjutnya didinginkan selama 10 menit kemudian dibaca absorbansinya pada λ 528 nm dengan larutan blanko sebagai titik nol. Blanko terdiri dari 5 ml akuades dan 5 ml pereaksi yang disiapkan

(39)

Perhitungan bilangan TBA dalam sampel menggunakan rumus :

Keterangan :

TBA = Thiobarbituric Acid (mg malonaldehid per kg sampel) Absorbansi = Nilai absorbansi pada panjang gelombang 528 nm 3.5.6 Analisis data

Analisis data uji organoleptik dengan menggunakan metode Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparison. Langkah-langkah metode Kruskal-Wallis sebagai berikut :

a. Merangking data dari yang terkecil hingga terbesar untuk seluruh perlakuan dalam satu parameter.

b. Menghitung total rangking untuk setiap perlakuan dan rata-ratanya dengan menggunakan rumus :

( )

12 Ri

( )

H = - 3 n+1

n n+1

ni

H H' =

Pembagi

( ) ( )

T

Pembagi =

1-n-1 n n+1

Σ

( ) ( )

1

1

T

i

i i

Σ = Σ −

+

Keterangan :

(40)

Jika hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan hasil yang berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Multiple Comparison dengan rumus :

(

1

)

2

6

i j

N k

RR ><Za p +

Keterangan :

Ri : rata-rata rangking perlakuan ke-i

Rj : rata-rata rangking perlakuan ke-j

k : banyak ulangan

N : jumlah total data

Analisis data untuk uji TPC, TBA, dan aktivitas air yaitu dengan

menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial (2 faktor) dengan dua kali

ulangan dan α (0,05). Faktor pertama adalah konsentrasi kitosan sebagai

edible coating yang terdiri dari tiga taraf yaitu 0%, 1%, dan 2%. Faktor kedua

adalah lama penyimpanan yang terdiri dari hari ke-0, 7, dan 14. Adapun model

rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan menggunakan dua faktor sebagai

berikut :

( )

ijk i j ij ijk

Y

= + + +

µ α β

αβ

+

ε

Keterangan :

Yijk : nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j dan

ulangan ke-k

(µ, αi, βj) : komponen aditif dari rataan, pengaruh utama faktor A dan pengaruh

utama faktor B.

(αi, βj) : komponen interaksi dari faktor A dan faktor B

(41)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakterisasi Kitosan

[image:41.595.110.517.344.469.2]

Kitosan mempunyai potensi yang dapat digunakan baik dalam berbagai bidang industri maupun bidang kesehatan. Kitosan sebagai edible coating merupakan salah satu aplikasi kitosan dalam bidang industri pangan. Kemampuan kitosan sebagai edible coating pada suatu produk sangat dipengaruhi oleh kualitas kitosan itu sendiri. Dunia perdagangan sudah memiliki standar kualitas kitosan yang diproduksi secara massal dan sudah umum diaplikasikan (komersil). Adapun karakteristik kitosan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Karakteristik kitosan bahan penelitian dan standar internasional

Parameter Karakteristik Kitosan

Bahan Penelitian Standar Mutu Kitosan* - Ukuran partikel

- Kadar air - Kadar abu - Kadar nitrogen - Derajat deasetilasi

Butiran/bubuk < 2 mm 9%

0.21% 1.33% 88,66%

Butiran/bubuk < 2 mm < 10%

Maksimal 2% Maksimal 5% Minimal 70%

Sumber : *Protan Biopolimer dalam Suptijah et al. (1992)

Kitosan telah menarik perhatian sebagai bahan tambahan makanan alami karena sifatnya yang tidak beracun, antibakteri, antioksidan, pembentuk film, biokompatibilitas dan biodegradabilitas (Majete dan Kumar 2000). Berdasarkan data karakteristik kitosan pada Tabel 6 menunjukkan bahwa kitosan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kadar air, kadar abu dan kadar nitrogen secara berturut-turut sebesar 9%, 0,21% dan 1,33%. Nilai ini sesuai dengan standar mutu kadar air kitosan yaitu <10%, kadar abu maksimal 2% dan kadar nitrogen maksimal 5% (Protan Biopolimer dalam Suptijah et al. 1992).

(42)

yang rendah dengan derajat deasetilasi yang tinggi. Semakin tinggi derajat deasetilasinya, berarti semakin banyak gugus amino (NH2) pada rantai molekul

kitosan sehingga kitosan semakin reaktif (Agustini dan Sedjati 2007). Derajat deasetilasi dipengaruhi oleh proses pembuatan kitosan meliputi proses deproteinasi, demineralisasi dan deasetilasi. Proses-proses ini bertujuan menghilangkan pengotor seperti kandungan protein dan mineral, serta memurnikan gugus asetilnya yang akan berpengaruh terhadap fungsi dari gugus kitosan. Apabila masih terdapat pengotor dari kitosan maka derajat deasetilasi kitosan akan rendah dan kitosan tidak akan berfungsi secara maksimal (Suptijah 2006).

4.2 Uji Organoleptik Selama Penyimpanan

Analisis organoleptik merupakan analisis secara subyektif dengan bantuan panca indera manusia untuk menilai daya terima suatu bahan, dapat juga untuk menilai karakteristik mutu, yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sifat-sifat fisik suatu bahan. Uji organoleptik pada produk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) asap dilakukan pada selang hari ke-0, 7 dan 14. Parameter yang diujikan dalam pengujian organoleptik meliputi penampakan, aroma, rasa, tekstur, dan warna selama penyimpanan. Score sheet uji kemunduran mutu produk ikan lele dumbo asap dapat dilihat pada Lampiran 7. Adapun diagram batang nilai organoleptik ikan lele dumbo asap selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 6. 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

H0 H7 H14 H0 H7 H14 H0 H7 H14

0% 1% 2%

N il a i o r g a n o le p ti k

Konsentrasi kitosan dan lama penyimpanan (hari ke-)

(43)

Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 11) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi kitosan memberikan pengaruh nyata terhadap parameter organoleptik penampakan, aroma, rasa, dan warna, namun tidak berpengaruh nyata terhadap tekstur ikan lele dumbo asap selama penyimpanan. Sedangkan perlakuan lama penyimpanan dan interaksi antara perbedaan konsentrasi kitosan dengan lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap semua parameter organoleptik (penampakan, aroma, rasa, tekstur, dan warna) ikan lele dumbo asap.

Berdasarkan diagram batang uji organoleptik ikan lele dumbo asap selama penyimpanan pada Gambar 6 menunjukkan bahwa ikan lele dumbo asap tanpa pelapisan kitosan (kitosan 0%) lebih cepat mengalami penurunan mutu secara sensori dibanding dengan pelapisan kitosan 1% dan 2%. Dan jika dilihat dari hasil uji lanjut dunn (Lampiran 12, 13, dan 14) menunjukkan bahwa penyimpanan hari ke-0 dari semua parameter organoleptik untuk ketiga konsentrasi yaitu 0%, 1%, dan 2% tidak berbeda nyata. Pada penyimpanan hari ke-7, untuk parameter penampakan dan tekstur dari ketiga konsentrasi (0%, 1%, 2%) tidak berbeda nyata, tetapi untuk parameter rasa ketiganya menunjukkan perbedaan yang nyata. Sedangkan untuk parameter aroma dan warna, konsentrasi kitosan 0% berbeda nyata dengan kitosan 1%, namun tidak berbeda nyata dengan kitosan 2%. Dan antara konsentrasi kitosan 1% dan 2% dari semua parameter organoleptik pada hari ke-7 menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. Pada penyimpanan hari ke-14 menunjukkan bahwa untuk semua parameter organoleptik, konsentrasi kitosan 0% berbeda nyata dengan kitosan 1% dan 2%, namun antara kitosan 1% dan 2% tidak menunjukkan perbedaan nyata. Secara keseluruhan dari hasil penilaian organoleptik, dapat dikatakan bahwa antara konsentrasi kitosan 1% dan 2% tidak berbeda nyata.

(44)

mikroorganisme seperti bakteri, jamur, dan ragi (Sagoo et al. 2002). Selain itu, edible coating atau film adalah salah satu metode yang paling efektif untuk menjaga kualitas makanan (Pranoto et al. 2005), sebagai pengikat warna, flavor, sumber gizi, dan bahan antioksidan (Cassariego et al. 2007).

4.2.1 Penampakan

Penampakan merupakan kondisi keseluruhan produk yang dilihat secara visual melalui indra penglihatan. Penilaian organoleptik penampakan ikan lele dumbo asap dengan edible coating kitosan hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 7.

Tabel 7 Hasil analisis rata-rata nilai organoleptik penampakan ikan lele dumbo asap selama penyimpanan

Kitosan Lama Penyimpanan (hari ke-)

Rataan Penampakan

0% 0 7,60 Utuh, bersih, warna cokelat,

mengkilat spesifik jenis

7 6,27 Utuh, bersih, warna cokelat, kusam 14 4,73 Tidak utuh, warna cokelat tua,

kusam sekali

1% 0 7,93 Utuh, bersih, warna cokelat,

mengkilat spesifik jenis

7 7,13 Utuh, bersih, warna cokelat, kusam 14 6,53 Utuh, bersih, warna cokelat, kusam

2% 0 7,60 Utuh, bersih, warna cokelat,

mengkilat spesifik jenis

7 7,13 Utuh, bersih, warna cokelat, kusam 14 7,07 Utuh, bersih, warna cokelat, kusam

[image:44.595.94.517.328.540.2]
(45)

mempunyai sifat mekanis yang diinginkan sehingga berguna untuk meningkatkan integritas bahan pangan yang mudah rusak (Krochta et al. 1994) sehingga mampu menjaga mutu penampakan ikan lele dumbo asap selama penyimpanan.

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00

0 7 14

7.60c 6.27b 4.73a 7.93c 7.13bc 6.53b 7.60c

7.13bc 7.07b

N il a i ra ta -r a ta o rg a n o le p ti k p en a m p a k a n

Penyimpanan hari ke-

Gambar 7 Diagram batang organoleptik parameter penampakan ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ( Kitosan 0% Kitosan 1% Kitosan 2%)

Keterangan : supercript huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (α 5%) yang ditentukan berdasarkan uji lanjut dunn.

(46)

4.2.2 Aroma

Komponen asap golongan fenol seperti quaiakol, siringol dan pirokatekol mudah larut dalam lemak, sehingga semakin banyak kadar lemak bahan pangan makin sedap pula aroma asap yang didapat (Shahidi 1994). Ikan yang baru mengalami proses pengasapan memiliki aroma asap yang lembut sampai cukup tajam atau tajam, tidak tengik, tanpa bau busuk, tanpa bau asing, tanpa bau apek dan asam (Adawyah 2007). Adapun penilaian organoleptik aroma ikan lele dumbo asap dengan edible coating kitosan hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 8.

Tabel 8 Hasil analisis rata-rata nilai organoleptik aroma ikan lele dumbo asap selama penyimpanan

Kitosan Lama Penyimpanan (hari ke-)

Rataan Aroma

0% 0 8,33 Kurang harum, asap cukup, tanpa bau

tambahan mengganggu

7 6,53 Bau tambahan kuat, tercium bau amoniak dan tengik

14 4,27 Busuk, bau amoniak kuat dan tengik

1% 0 8,13 Kurang harum, asap cukup, tanpa bau

tambahan mengganggu

7 7,93 Kurang harum, asap cukup, tanpa bau tambahan mengganggu

14 6,27 Bau tambahan kuat, tercium bau amoniak dan tengik

2% 0 8,33 Kurang harum, asap cukup, tanpa bau

tambahan mengganggu 7 7,40 Netral, sedikit bau tambahan 14 6,73 Netral, sedikit bau tambahan

[image:46.595.90.517.316.554.2]
(47)

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00

0 7 14

8.33e

6.53b

4.27a

8.13de 7.93cd

6.27b 8.33e 7.40bcd 6.73bc N il a i ra ta -r a ta o rg a n o le p ti k a r o m a

Penyimpanan hari ke-

Gambar 8 Diagram batang organoleptik parameter aroma ikan lele dumbo asap selama penyimpanan ( Kitosan 0% Kitosan 1% Kitosan 2%)

Keterangan : supercript huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (α 5%) yang ditentukan berdasarkan uji lanjut dunn.

(48)

lemak selama penyimpanan juga dipengaruhi oleh bahan organik (bahan bakar) yang digunakan dalam proses pengasapan. Kayu yang mengandung damar, rusak, lapuk atau berjamur tidak baik untuk pengasapan ikan karena menimbulkan bau dan rasa yang kurang enak (Adawyah 2007).

4.2.3 Rasa

[image:48.595.100.517.368.540.2]

Rasa merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan keputusan akhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan. Meskipun parameter penilaian baik, tetapi jika rasanya tidak disukai atau tidak enak maka produk akan ditolak oleh konsumen (Winarno 1992). Penilaian organoleptik rasa ikan lele dumbo asap dengan edible coating kitosan hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 9 dan Gambar 9.

Tabel 9 Hasil analisis rata-rata nilai organoleptik rasa ikan lele dumbo asap selama penyimpanan

Kitosan Lama Penyimpanan (hari ke-)

Rataan Rasa

0% 0 8,40 Enak, kurang gurih

7 6,27 Tidak enak dengan rasa tambahan mengganggu

14 3,93 Basi

1% 0 8,33 Enak, kurang gurih

7 7,60 Kurang enak, tidak gurih 14 6,47 Kurang enak, tidak gurih

2% 0 8,13 Enak, kurang gurih

7 7,53 Kurang enak, tidak gurih 14 6,60 Kurang enak, tidak gurih

(49)

dapat mempengaruhi penilaian panelis terhadap rasa suatu produk, oleh karena itu dengan pelapisan kitosan dapat menghambat pertumbuhan mikroba, kapang, dan jamur. Karena kitosan memiliki sifat yang tidak beracun, antibakteri, antioksidan, pembentuk film, biokompatibilitas dan biodegradabilitas (Majeti dan Kumar 2000). 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00

0 7 14

8.40e 6.27b 3.93a 8.33e 7.60cd 6.47bc 8.13d 7.53cd 6.60bcd N il a i r a ta -r a ta o rg a n o le p ti k r a sa

Penyimpanan hari ke-

Gambar 9 Diagram batang organoleptik p

Gambar

Gambar 1  Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Tabel 1  Komposisi kimia ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Gambar 2  Skema proses pengasapan ikan (Wibowo 1995)
Tabel 2  Perbedaan antara pengasapan panas dan pengasapan dingin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Sudirman (2004) bahwa ikan yang memiliki sifat fototaxis negative (ikan-ikan nokturnal) seperti seperti halnya ikan lele dumbo

Tujuan penelitian (1) mengetahui perbedaan mutu inderawi sosis ikan lele dumbo kontrol dan sosis ikan lele dumbo dengan penambahan wortel yang berbeda yaitu 10%, 30%, dan

Ikan lele dumbo memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif cepat bila dibandingkan dengan ikan lele lokal, dalam waktu kurang lebih tiga bulan bobot ikan lele dumbo dapat

Keong emas dapat digunakan sebagai pakan alternatif yang mendukung peningkatan kadar protein daging dan pertumbuhan ikan lele dumbo. Terdapat konsentrasi keong emas

Pengaplikasian edible coating dari karagenan yang ditambahkan dengan minyak wijen sebanyak 0,5% pada bakso ikan lele mampu memperpanjang umur simpan bakso ikan lele

Penyimpanan hari ke-15 pada konsentrasi kitosan 1% dan 2% menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan 0% (kontrol), karena perlakuan tanpa pelapis (0%) megalami

( = kitosan kontrol, = kitosan 1%, = kitosan 2%, = kitosan 3%) Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 6), penambahan kitosan sebagai edible coating

Prosedur penelitian dimulai dengan pembuatan kitosan, pati jahe, larutan kitosan-pati jahe, pembuatan fillet ikan, dan mencelupkannya ke dalam larutan edible coating kitosan-pati jahe