• Tidak ada hasil yang ditemukan

El Niño Modoki dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Curah Hujan Monsunal di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "El Niño Modoki dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Curah Hujan Monsunal di Indonesia"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

EL NIÑO MODOKI DAN PENGARUHNYA TERHADAP

PERILAKU CURAH HUJAN MONSUNAL DI INDONESIA

ELA HASRI WINDARI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

ELA HASRI WINDARI. El Niño Modoki and Its Influence to Monsoonal Rainfall Behavior over Indonesia. Supervised by Akhmad Faqih and Eddy Hermawan.

This study aims to investigate El Niño Modoki phenomenon and its influence to the monsoonal rainfall behavior over Indonesia. The study is also intended to identify the differences between the El Nino Modoki and the well-known El Nino events, referred in this study as Conventional El Niño. By using correlation analysis, it is shown that the El Nino Modoki Index, known as EMI, is strongly correlated with SST anomaly index in Nino-4 region. The correlation coefficient value is 0.57, which is higher than the EMI’s correlations with other SST anomaly indices from different Nino regions, i.e. Nino-1.2, Nino-3 and Nino-4. Temporal analysis on both Nino-4 index and EMI by using Power Spectral Density shows a different strength in the temporal cycle of both indices, where Nino-4 data demonstrates a strong 4-5 year interannual cycles, while EMI is dominated by 6–8 years cycles. This is consistent with the result of Wavelet analysis that indicates four years interannual cycles of Nino-4 index and nearly decadal (~10 years) cycles of EMI data. The composite of seven El Nino Modoki events in 1986/87, 1990/91, 1992/93, 1994/95, 2002/2003, 2004/2005, and 2009/2010, generally shows that the El Nino Modoki events indicated by the raise of EMI exceeding its defined threshold usually occurred from July to March. It is shown by clear characteristics of growing phase starting from March or April until January, and continued by decreasing phase around February. Based on the results of regression analysis, the El Nino Modoki strongly influence monsoonal rainfall over Sumbawa Besar, Makassar, and Banjar Baru during both June-July-August (JJA) and September-October-November (SON) periods, over Lampung only during JJA, and Indramayu during SON. The use of EMI which includes information about the SST anomaly around Indonesia led to a significant cross-correlation values between monsoonal rainfall anomaly and EMI with only maximum of one month lag time.

(3)

RINGKASAN

ELA HASRI WINDARI. El Niño Modoki dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Curah Hujan Monsunal di Indonesia. Dibimbing oleh Akhmad Faqih dan Eddy Hermawan.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kejadian El Nino Modoki dan pengaruhnya terhadap keragaman curah hujan bertipe monsunal di Indonesia. Selain itu, di dalam penelitian ini juga dikaji perbedaan antara El Nino Modoki dengan kejadian El Nino konvensional yang telah dikenal selama ini. Analisis korelasi digunakan untuk melihat hubungan El Niño Modoki , yang diwakili oleh nilai El Niño Modoki Index (EMI), dengan El Niño konvensional, yang diwakili oleh indeks anomali suhu muka laut (aSML) di empat wilayah Niño, yaitu masing-masing di wilayah Nino-1.2, Nino-3, Nino-3.4 dan Nino-4. Hasil analisis menunjukkan bahwa koefisien korelasi EMI terhadap indeks Niño-4 sebesar 0.57 merupakan yang paling tinggi dibandingkan dengan indeks Niño lainnya. Analisis Power Spectral Density terhadap data indeks aSML periode 1979–2010 menghasilkan perbedaan karakteristik temporal antara keduanya, dimana El Niño Modoki memiliki siklus 6–8 tahunan, sedangkan El Niño konvensional memiliki siklus 4–5 tahunan. Hasil ini juga didukung oleh hasil analisis Analisis Wavelet yang menunjukkan pola osilasi dominan El Niño konvensional ~4 tahunan sedangkan El Niño Modoki hampir mendekati pola dekadal (~10 tahunan). Dari analisis tersebut juga terlihat kecenderungan pembentukan pola El Niño Modoki yang semakin meningkat setelah tahun 2000-an. Hasil analisis komposit dari tujuh kejadian El Niño Modoki, yaitu tahun 1986/87, 1990/91, 1992/93, 1994/95, 2002/2003, 2004/2005, dan 2009/2010 menunjukkan secara umum bahwa anomali hangat yang berkaitan dengan peristiwa El Nino biasanya konsisten melampaui nilai threshold sekitar periode Juli–Maret. Fase pertumbuhan mulai terlihat sekitar Maret atau April hingga Januari kemudian mulai turun sekitar bulan Februari. Puncak anomalinya terjadi pada bulan Agustus–Januari. Menurut hasil analisis regresi anomali curah hujan terhadap EMI periode 1971-2000, El Niño Modoki memberikan pengaruh yang jelas terhadap penurunan curah hujan di wilayah Sumbawa Besar, Makassar, dan Banjar Baru pada musim JJA dan semakin kuat pengaruhnya pada musim SON. Wilayah Lampung hanya merasakan pengaruh Modoki dengan jelas pada musim JJA saja sedangkan Indramayu pada musim SON. Penggunaan indeks EMI yang memasukkan informasi aSML di sekitar wilayah Indonesia menyebabkan nilai korelasi silang yang signifikan antara anomali curah hujan dengan EMI hanya menghasilkan jeda maksimum satu bulan.

(4)

EL NIÑO MODOKI DAN PENGARUHNYA TERHADAP

PERILAKU CURAH HUJAN MONSUNAL DI INDONESIA

ELA HASRI WINDARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada Mayor Meteorologi Terapan

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi

: El Niño Modoki dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Curah

Hujan Monsunal di Indonesia

Nama

: Ela Hasri Windari

NIM :

G24070008

Menyetujui

Pembimbing I,

(Dr. Akhmad Faqih)

NIP: 19800823 200701 1 001

Pembimbing II,

(Dr. Eddy Hermawan)

NIP: 19620128 199003 1 003

Mengetahui :

Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi,

(Dr. Ir. Rini Hidayati, MS)

NIP: 19600305 198703 2 002

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kenagarian V Koto – Tanjung Ampalu, Sumatera Barat, pada hari Senin, 15 Mei 1989 sebagai anak kandung dari pasangan Bapak Haslizar dan Ibu Oriza Sativa, S.Pd. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 09 Koto Panjang tahun 2000. Di tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di sekolah asrama MTsN Padangpanjang, lulus pada tahun 2004. Kemudian melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Sijunjung dan lulus tahun 2007. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, penulis melanjutkan kuliah S1 di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI sebagai mahasiswa Departemen Geofisika dan Meteorologi (GFM) dengan program Mayor Meteorologi Terapan.

Selama menjalani masa studi, penulis menikmati peran sabagai mahasiswa Mayor Meteorologi Terapan dengan menjadi anggota Himpunan Profesi Mahasiswa Geofisika dan Meteorologi (HIMAGRETO) dan mengikuti berbagai kepanitiaan seperti Meteorologi Interaktif (METRIK) 2008 dan 2009, Earth Challenge 2010. Pada tahun 2010 penulis diberikan kesempatan magang untuk mengembangkan kemampuan di Bidang Pemodelan Iklim, Bagian Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN Bandung. Pada tahun 2011, Penulis mengikuti

International Symposium on The 10th Annyversary of the Equatorial Atmosphere Radar (EAR) di Jakarta dan turut berperan sebagai panitia pelaksana peresmian IPCC Indonesia di Bogor. Pada tahun yang sama, penulis juga diberi kesempatan untuk melakukan presentasi terkait El Niño Modoki pada Workshop on Progress of Research and Prediction of Short–Term Climate Variation; MJO, ENSO and IOD di Neonet Ofice BPPT Jakarta atas rekomendasi pembimbing II, Dr. Eddy Hermawan. Untuk kegiatan di luar Departemen GFM, penulis pernah aktif dalam organisasi mahasiswa daerah seperti Himaswiss (Himpunan Mahasiswa Sawahlunto, Sijunjung, dan Dharmasraya) dan IPMM (Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang).

(7)

PRAKATA

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Indah pemilik seruan sekalian alam. Atas rahmat dan hidayah–Nya, tugas akhir yang berjudul “El Niño Modoki dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Curah Hujan Monsunal di Indonesia” dapat terselesaikan dengan baik.

Berbagai pihak telah banyak membantu penulis dalam proses penelitian, penulisan, dan penyusunan tugas akhir ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang terdalam kepada Mamah, Papah, dan Haris, yang menjadi kausalitas utama inspirasi penulis. Big Uncle An, Midd Uncle Ali, Auntie Eti, Oom Epigon, dan seluruh keluarga besar Dt. Sampanhulu atas doa, kasih sayang, serta dukungannya, lalu kepada:

1. Dr. Akhmad Faqih sebagai pembimbing I dan Dr. Eddy Hermawan sebagai pembimbing II, yang telah memberikan ide, ilmu, pengarahan, masukan, nasehat, dan tentu saja bimbingan hingga tugas akhir ini terselesaikan.

2. Kepala Bidang Pemodelan Iklim, Ir. Hallimurrahman, MT. Staff LAPAN Bandung; Pak Teguh, Pak Terson, Pak Martono, dan Kak Mian.

3. Prof. Yamagata, Prof. Yeh, Prof. Yamanaka dan Bapak Rachmad Hariadi Asad atas korespondensi terkait penelitian penulis.

4. Prof. Hidayat Pawitan sebagai Pembimbing Akademik penulis dan jajaran majelis dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB.

5. Staff Tata Usaha Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB.

6. Teman-teman GFM44 Kabinet Lebay yang masing-masingnya memiliki kesan tersendiri di hati penulis, terima kasih atas kekompakannya.

7. Teman-teman GFM43, GFM45, dan GFM46 atas senyum dan semangatnya.

8. Teman-teman A1/76; Anya, Lika, Noni, dan Penghuni kost putri “TAZKIA Perwira”; Aisyah, Ateu, Uun Yani, Mba E. Lestari: atas kebersamaan, candaan, kekompakan dan dorongan semangatnya.

9. Andika GFM40, teristimewa atas cinta dan bijaksana.

10. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Maka dengan hati yang penuh rasa ikhlas dan tawadhu, penulis bersedia untuk menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun sehingga dapat mendekati kata sempurna. Semoga isi yang tertuang dalam tugas akhir ini tidak hanya bernilai guna, tapi juga bernilai manfaat bagi kalangan akademik khususnya. Amin.

Bogor, Februari 2012

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR . ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

II TINJAUAN PUSTAKA ... 2

2.1 Dinamika Atmosfer Indonesia ... 2

2.2 Interaksi Lautan–Atmosfer di Samudera Pasifik ... 2

2.3 Keragaman Curah Hujan Indonesia ... 7

III METODOLOGI ... 8

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 8

3.2 Alat dan Data yang digunakan ... 8

3.3 Metode Penelitian ... 9

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13

4.1 El Niño Konvensional dan El Niño Modoki ... 13

4.2 Perbandingan Pengaruh El Niño Modoki dan El Niño Konvensional Terhadap Curah Hujan Monsunal di Indonesia ... 20

4.3 Pengaruh El Niño Modoki Terhadap Perilaku Curah Hujan Monsunal di Indonesia ... 25

V KESIMPULAN DAN SARAN ... 28

5.1 Kesimpulan ... 28

5.2 Saran ... 28

DAFTAR PUSTAKA . ... 29

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi cuaca dan iklim Indonesia ... 8

2 Nilai Kritis Koefisien Korelasi Pearson ... 12

3 Curah hujan normal wilayah kajian ... 20

4 Koefisien korelasi anomali curah hujan terhadap EMI (musiman: DJF, MAM, JJA, SON) 23

5 Koefisien korelasi anomali curah hujan terhadap EMI, Niño3.4, dan Niño4 (musiman:

JJA dan SON) ... 24

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Plot deret waktu Niño3 (atas) dan Niño3.4 (bawah); 1950–1979 ... 3

2 Wilayah Niño ... 3

3 Skematik kondisi Normal dan El Niño Konvensional ... 4

4 Pola penghangatan El Niño Konvensional dan El Niño Modoki di Pasifik tropis ... 5

5 Komposit aSML (ºC) selama kejadian El Niño Modoki . ... 5

6 Wilayah perhitungan El Niño Modoki Index ... 6

7 Skematik kondisi Normal dan El Niño Modoki ... 7

8 Pola curah hujan di Indonesia terbagi menjadi 3 wilayah A (Monsoonal) pada garis Tebal, wilayah B (Equatorial) pada garis samar pendek dan Wilayah C (Local) pada garis samar panjang . ... 7

9 Skema faktor pengendali curah hujan wilayah Indonesia ... 8

10 Skema transformasi Fourier ………. ... 10

11 Skema transformasi Wavelet . ... 10

12 Diagram Hovmoller ... 11

13 Diagram metodologi penelitian . ... 13

14 Analisis regresi aSML EMI terhadap aSML 4 wilayah Niño ... 14

15 Plot time series aSML 4 wilayah Niño dan EMI periode 1979 – 2010 ... 15

16 Periodisitas aSML Niño dan EMI 1979 – 2010 ... 16

17 Plot deret waktu aSML EMI dan Niño Periode 1979 – 2010 ... 16

18 Analisis Wavelet El Niño Konvensional (Niño3.4) periode 1979 – 2010 ... 17

19 Analisis Wavelet El Niño Modoki (EMI) periode 1979 – 2010 ... 17

20 Plot deret waktu Box EMI periode1979 – 2010 ... 19

21 Fase pertumbuhan El Niño Modoki ... 20

22 Peta wilayah kajian bertipe curah hujan monsunal ... 20

23 Pola osilasi dominan curah hujan monsunal wilayah kajian ... 21

24 Kondisi anomali curah hujan wilayah kajian pada kejadian El Niño Modoki 1994 dan El Niño Konvensional 1997 ... 22

25 Persentase penurunan total curah hujan tahunan pada kejadian El Niño Modoki 1994 dan El Niño Konvensional 1997 terhadap kondisi normal ... 22

26 Perbandingan analisis spasial terhadap curah hujan wilayah Indonesia tahun El Niño Modoki kuat, El Niño Konvensional, dan tahun normal ... 23

27 Jeda waktu(lag time) curah hujan Banjar Baru terhadap El Niño Modoki 1994 ... 25

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data insitu curah hujan bulanan wilayah kajian periode 1971–2000 ... 32

2 Curah hujan normal wilayah kajian periode 1971–2010 ... 40

3 Koefisien Korelasi musimam anomali curah hujan wilayah kajian terhadap El Niño Modoki Index (EMI) periode 1971–2010 ... 41

4 Plot deret waktu 3 box EMI periode 1971–2010 ... 41

5 Plot aSML EMI 7 kejadian Modoki kuat periode 1979–2010 ... 42

6 Script untuk pengolahan data menggunakan perangkat lunak Matlab R2008a ... 42

7 Script untuk pengolahan data dengan menggunakan GrADS 2.0 ... 47

8 Distribusi spasial Hovmoller curah hujan wilayah kajian pada tahun kejadian El Niño Modoki 2002/03 dan 2009/10 ... 49

(12)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem cuaca/iklim di Indonesia sangat unik, kompleks, dan dinamis. Hal ini tidak terlepas dari letak geografis Indonesia yang diapit oleh dua benua, Asia – Australia, dan dua samudera, Samudera Pasifik – Samudera Hindia. Kondisi tidak normal cuaca/iklim terjadi karena pengaruh fenomena iklim global. Dalam mempelajari fenomena iklim global diperlukan pemahaman terkait sistem peredaran umum atmosfer Indonesia. Dua komponen peredaran umum yang ikut mempengaruhi sistem cuaca/iklim Indonesia yaitu peredaran utara–selatan (meridional) yang disebut sebagai sirkulasi Hadley dan peredaran timur–barat (zonal) yang disebut sirkulasi Walker. Keragaman iklim berkaitan dengan dinamika sirkulasi Walker, salah satunya berkaitan dengan adanya fenomena interaksi lautan-atmosfer yang dikenal dengan istilah El Niño and Southern Oscillation

(ENSO) dengan dua kemungkinan kejadiannya yaitu El Niño atau La Niña.

Siklus El Niño biasanya muncul antara 4-7 tahun sekali, namun dalam beberapa tahun terakhir muncul lebih awal dan semakin sering terjadi. Menurut Yeh et al. (2009), hal ini diperkirakan berkaitan dengan perubahan iklim yang terjadi sebagai akibat adanya pemanasan global. Data anomali suhu muka laut di wilayah Niño (sepanjang Samudera Pasifik ekuator bagian tengah dan timur) menunjukkan bahwa frekuensi kejadian El Niño semakin meningkat. Tercatat dalam tempo 12 tahun (1994–2006) terjadi enam kali El Niño; 1994, 1997, 2002, 2003, 2006.

Ashok et al. (2007) telah melakukan kajian terhadap anomali suhu muka laut di Samudera Pasifik tropis yang terjadi pada tahun 2004 terutama terkait dengan pola penghangatan dan pola interaksinya. Hasil kajian tersebut memperkenalkan suatu istilah yang menggambarkan pola anomali penghangatan suhu muka laut yang berbeda dari biasanya, yang dikenal dengan istilah El Niño Modoki. Kemudian istilah ini menjadi semakin dikenal dan menarik perhatian kalangan komunitas peneliti iklim global. Sehingga mulai banyak yang mengkaji tentang El Niño Modoki, dampaknya, dan interaksinya di berbagai wilayah (contoh: Chang et al. (2008), Li et al. (2010a & 2010b), Yu & Kim (2010), Lee & McPhaden (2010)).

Fenomena iklim ekstrim menjadi suatu kajian yang menarik perhatian para peneliti

iklim global. Seperti yang dilakukan Coughlan et al. (2004) terkait kekeringan yang berlangsung lama pada tahun 2002 dan tercatat sebagai kekeringan dengan peringkat ke-4 terparah sepanjang sejarah kekeringan di Australia. Weng et al. (2007) juga mengkaji fenomena iklim ekstrim yang terjadi pada tahun 2004. Pada tahun tersebut tercatat bahwa suhu udara di Jepang sangat tinggi dan ada 10 kejadian topan yang memecahkan rekor topan musim panas. Wilayah Amerika utara bagian barat mulai dari Alaska hingga California juga mengalami kekeringan yang parah.

Tahun 2002 dan 2004 merupakan tahun yang menunjukkan pola penghangatan suhu muka laut yang terkonsentrasi hanya di Pasifik bagian tengah. Hasil analisis kajian Weng et al (2007) dan Ashok et al. (2007) menyatakan bahwa semua fenomena iklim ektrim tersebut di atas tidak bisa dijelaskan oleh pola interaksi El Niño dan La Niña biasa karena ada indikasi kecenderungan fenomena iklim ekstrim di atas sebagai dampak interaksi El Niño Modoki terhadap kondisi iklim global.

Kejadian El Niño Modoki sendiri ditunjukkan oleh adanya ‘kolam panas’ yang terkonsentrasi hanya di bagian tengah Samudera Pasifik ekuator, sedangkan di bagian timur dan baratnya tetap dingin. Fenomena ini juga baru dipublikasikan tahun 2004 oleh peneliti JAMSTEC pada berbagai

press release. Sejauh ini, dari kajian yang dilakukan peneliti Badan Riset Kelautan Jepang (Japan Agency for Marine–Earth Science and Technology, JAMSTEC), wilayah Indonesia belum banyak diteliti. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang jelas mengenai perbedaan El Niño Konvensional dengan El Niño Modoki, khususnya berkaitan dengan pengaruhnya terhadap perilaku curah hujan monsunal di Indonesia.

1.2 Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian tentang El Niño Modoki dan pengaruhnya terhadap perilaku curah hujan monsunal di Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Mempelajari perbedaan antara El Niño Konvensional dan El Niño Modoki.

(13)

c. Mengetahui pola interaksi El Niño Modoki di Samudera Pasifik terhadap perilaku curah hujan monsunal di Indonesia.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dinamika Atmosfer Indonesia Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan wilayah perairan yang relatif cukup luas, memiliki karakteristik yang berbeda dengan atmosfer di wilayah khatulistiwa lainnya. Ramage (1968) menyebut kondisi ini sebagai Indonesia Maritime Continent (IMC) atau lebih dikenal dengan “Benua Maritim Indonesia” (BMI). Hal ini disebabkan diantaranya oleh letak geografis Indonesia yang unik, yakni diapit oleh dua benua besar (Asia dan Australia) dan dua samudera besar (Hindia dan Pasifik).

Benua Maritim Indonesia merupakan wilayah dengan proses konveksi yang paling aktif (deep convection) di dunia (Hamada et al. 2002). Proses tersebut merupakan salah satu faktor yang mendominasi cuaca dan iklim di BMI. Selain karena pengaruh posisi geografisnya berada di khatulistiwa sehingga menerima energi radiasi matahari yang besar, kondisi Indonesia yang 2/3 bagian wilayahnya terdiri atas perairan ikut mempengaruhi status

deep convection ini. Oleh karena itu, BMI merupakan daerah surplus energi dan uap air, yang keduanya merupakan bahan bakar utama dalam proses konveksi. Oleh karena adanya konveksi aktif dari lautan tersebut, maka menjadi pemicu terhadap pembentukan dan pertumbuhan awan hujan cumulonimbus. Selain itu, aliran panas dari daratan yang dikelilingi lautan, sirkulasi angin darat–laut, dan topografi pegunungan dapat mendorong terjadinya proses konveksi. Inilah yang membuat keragaman curah hujan BMI sangat tinggi. Menurut letak astronomisnya Indonesia berada pada 6⁰LU-11⁰LS dan 96⁰BT-141⁰BT. Kondisi ini memposisikan Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki 1/8 bagian keliling bumi. Keseluruhan karakteristik tersebut menjadikan Indonesia sebagai laboratorium atmosfer terbesar di dunia.

Dinamika atmosfer Indonesia sangat kompleks. Wilayah Indonesia menjadi pertemuan antara sirkulasi zonal (timur–barat) dan sirkulasi meridional (utara–selatan). Kombinasi fenomena interaksi lautan atmosfer di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang membentuk sirkulasi zonal menjadi faktor penentu yang relatif mempengaruhi keragaman iklim Indonesia.

Keragaman iklim merupakan fluktuasi unsur-unsur iklim yang terjadi pada rentang waktu tertentu seperti variasi musiman atau tahunan (pergeseran waktu dan durasi musim hujan dan kemarau) termasuk kejadian iklim ekstrim. Faktor monsun yang dihasilkan dari sirkulasi meridional dan faktor lokal juga berkaitan erat terhadap keragaman iklim Indonesia.

2.2 Interaksi Lautan dan Atmosfer di Samudera Pasifik

Salah satu faktor pengendali keragaman iklim khususnya curah hujan antar tahunan di wilayah Indonesia adalah fenomena berskala global yang dikenal dengan istilah El Niño.

Fenomena El Niño terjadi akibat adanya penyimpangan dari kondisi normal interaksi antara lautan dan atmosfer di sepanjang Samudera Pasifik ekuator. Secara umum, peristiwa El Niño berulang antara 2–7 tahun. Di Indonesia, peristiwa El Niño diidentikkan dengan musim kering yang melebihi kondisi normalnya. Hal ini berbanding terbalik dengan peristiwa La Niña yang mampu menghasilkan curah hujan melebihi batasan normalnya (Ropelweski & Halpert 1987).

2.2.1 El Niño Konvensional a. Definisi El Niño

Istilah El Niño telah mengalami perkembangan definisi dari tahun ke tahun, sehingga dapat menimbulkan kebingungan dalam penggunaannya. Oleh karena fenomena ini semakin terlihat jelas dalam beberapa tahun terakhir sebagai mode dominan keragaman iklim antar tahunan di seluruh dunia, maka diperlukan definisi El Niño yang lebih baik dan definitif (Trenberth 1997).

Pada awalnya terminologi El Niño digunakan untuk memberi nama arus air laut yang menghangat dari kondisi normal tahunan yang mengalir ke arah selatan sepanjang pesisir Peru dan Ekuador pada bulan desember. Hingga saat ini banyak ditemukan defini tentang El Niño, hal ini disebabkan perbedaan cara pandang para ahli dalam memahami El Niño.

(14)

mendefinisikan El Niño sebagai berikut: “El Niño adalah munculnya anomali air hangat di sepanjang pantai Ekuador dan Peru hingga sejauh bagian selatan Lima (12°S) dengan anomali suhu muka laut melebihi nilai standar deviasinya untuk setidaknya empat bulan berturut-turut. Anomali suhu muka laut (selanjutnya disingkat menjadi aSML) yang melebihi kondisi normal ini harus terjadi setidaknya pada tiga dari lima stasiun di pantai Peru”. Definisi ini ditolak banyak ilmuwan karena hanya memperhatikan kejadian di Pesisir Peru saja. Para praktisi ilmiah memiliki cara pandang berbeda-beda terhadap El Niño. Menurut Japan Meteorological Agency (JMA), definisi El Niño (La Niña) adalah normalisasi data anomali SML 5 bulanan area 4°N–4°S dan 150°W–90°W (dikenal dengan wilayah Niño3) melebihi standar deviasi anomali SML 0.5ºC (–0.5ºC) atau lebih tinggi (lebih rendah) selama enam bulan berturut–turut atau lebih (Trenberth 1997).

Gambar 1 Plot deret waktu Niño 3 (atas) dan Niño 3.4 (bawah); 1950–1979.

(NOAA 2011)

Gambar 1 menunjukkan aSML Niño3 dan Niño3.4, dengan normalisasi data lima bulanan menggunakan data dari NOAA pada periode dasar klimatologi 1950–1979. Normalisasi data aSML di wilayah Niño3 dan Niño3.4 dilakukan untuk mengurangi dampak variasi antar musiman di Pasifik tropis. Nilai ambang batas ±0.5°C untuk Niño3 dan ±0.4°C untuk Niño3.4 diberi warna untuk menunjukkan peristiwa El Niño. Wilayah Niño3 dibatasi oleh 170⁰–120⁰W dan 5°S–

5°N. Sedangkan wilayah Niño3.4 dibatasi oleh 120°W–170°W dan 5°S –5°N.

Aktivitas El Niño sepanjang tahun dapat diukur melaui indeks anomali suhu muka laut setiap bagian wilayah yang berbeda di sepanjang samudera Pasifik tropis (Trenberth dan Stepaniak 2001). Samudera Pasifik tropis terbagi menjadi 4 bagian wilayah Niño (Gambar 2), yaitu NIÑO3 (5⁰N–5⁰S, 150W– 90⁰W), NIÑO3.4 (5⁰N–5⁰S, 170⁰W–120⁰W), NIÑO1+2 (0⁰–10⁰S, 90⁰W–80⁰W), dan NIÑO4 (5⁰N–5⁰S, 160⁰E–150⁰W). Adapun N untuk Lintang Utara, S untuk Lintang Selatan, W untuk Bujur Barat, dan E untuk Bujur Timur. Keempat wilayah Niño tersebut memiliki indeksnya masing-masing sesuai dengan kondisi anomali suhu muka lautnya.

Gambar 2 Wilayah Niño.

(IRI 2011)

NOAA menggunakan indeks Niño3.4 untuk menentukan kejadian El Niño. Indeks ini didefinisikan sebagai rata–rata 3 bulanan data SML wilayah kritis Pasifik ekuator (wilayah Niño3.4; 5°N–5°S, 120°W–170°W). Wilayah ini merupakan apa yang disebut oleh para ilmuwan sebagai “equatorial cold tongue”, kolam dingin yang terbentang di sepanjang ekuator dari pantai selatan Amerika hingga Samudera Pasifik tengah. Pergerakan rata–rata bulanan SML di wilayah ini sangat penting dalam menentukan penyebab utama tidak hanya pada pergeseran pola curah hujan tropis disana, tapi juga mempengaruhi jet streams dan pola suhu udara serta hujan di dunia.

(15)

negatif di bawah normal (periode klimatologis 1971–2000 sebagai acuan) di wilayah Niño3.4 yang melebihi atau sama dengan 0.5ºC, rata-rata tiga bulan berturut-turut atau lebih.

b. Mekanisme Fisik El Niño

Pemahaman tentang mekanisme fisik fenomena iklim global El Niño (La Niña) terlebih dahulu memerlukan pemahaman terhadap sistem angin pasat normal di Lautan Pasifik tropis. Wilayah ekuator menerima radiasi matahari yang lebih banyak dan merata sepanjang tahun dibanding wilayah lainnya seperti subtropis dan kutub. Akibatnya udara di sekitar wilayah ekuator yang bertekanan rendah akan cenderung naik (akibat densitas/kerapatan udara yang kecil) dari permukaan. Udara yang naik ini digantikan oleh aliran udara dari wilayah subtropis. Gaya Coriolis membelokkan aliran ini ke kanan di belahan bumi utara (BBU) dan ke kiri di Belahan Bumi Selatan (BBS) sehingga terdapat sabuk angin pasat yang besar mengalir menuju ekuator dan ke arah barat dari Pasifik tropis. Kondisi tersebut menimbulkan sistem kopel dan interaksi lautan–atmosfer di Pasifik tropis. Angin menentukan suhu muka laut, tetapi suhu muka laut juga menentukan angin. Sifat angin mengalir dari wilayah bertekanan udara tinggi ke wilayah bertekanan udara rendah.

Kondisi normal (Gambar 3a) ditandai dengan suhu muka laut yang lebih dingin di Pasifik timur dan lebih hangat di Pasifik barat. Angin mengalir menuju suhu air laut yang lebih hangat karena tekanan udara diatas muka lautnya lebih rendah. Suhu air laut yang hangat memanaskan udara di atasnya sehingga udara tersebut naik. Udara yang naik digantikan oleh udara di tempat lain. Karena tekanan angin pasat tersebut, muka air laut di Indonesia lebh tinggi sekitar 0.5 meter daripada di Peru. Angin yang bergerak ke barat sepanjang ekuator mendorong air panas ke barat sehingga termoklin naik dan air dingin di bawahnya muncul ke muka (upwelling) di wilayah Pasifik timur ekuator.

Upwelling mendinginkan air permukaan di Pasfik timur (Wiratmo 1998).

Pada saat El Niño terjadi (Gambar 3b), seluruh sistem yang dijelaskan di atas melemah. Angin pasat melemah, khususnya di batas barat Pasifik ekuator sehingga air yang menumpuk di barat akan berbalik ke timur dan membawa kolam hangat tersebut bersamanya. Wilayah udara yang terangkat ke atas bergeser pula ke timur seiring dengan bergesernya kolam hangat tersebut ke timur

sehingga udara hangat dan kelembaban yang dipompa ke atmosfer atas juga ikut bergeser. Pergeseran ini menyebabkan pola cuaca dunia juga turut berubah. Angin pasat melemah, sehingga upwelling juga turut melemah. Kolam panas yang bergeser ke timur menyebabkan air yang di–upwelling–kan juga tidak sedingin seperti pada kondisi normal. Bila suhu muka laut di Pasifik tropis bagian timur hangat, maka perbedaan suhu timur– barat menjadi lebih kecil sehingga angin pasat menjadi lemah. Upwelling merupakan peristiwa naiknya massa air di bawah permukaan laut menuju permukaan laut. Angin pasat mendorong air permukaan laut ke Pasifik tropis bagian barat dan menyebabkan

upwelling di pantai barat Amerika Selatan (Wiratmo 1998).

a. Kondisi Normal

b. El Niño Konvensional

Gambar 3 Skematik mekanisme fisik kondisi Normal dan El Niño Konvensional.

(Ashok & Yamagata 2009)

2.2.2 El Niño Modoki

a. El Niño Modoki sebagai Tipe Baru Fenomena El Niño

(16)

Niño Modoki berkaitan dengan anomali penghangatan yang kuat di pasifik tropis bagian tengah disertai dengan pendinginan di wilayah bagian timur dan baratnya (Gambar 4b). Sehubungan dengan pola penghangatan dan pendinginan yang tidak biasa ini, telekoneksinya pun sangat berbeda dari pola telekoneksi El Niño Konvensional. Oleh karena itu, fenomena yang termasuk baru ini menjadi daya tarik tersendiri bagi kajian komunitas peneliti iklim global dunia (JAMSTEC 2011).

a. El Niño Konvensional

b. El Niño Modoki

Gambar 4 Pola Penghangatan El Niño Konvensional dan El Niño Modoki di Pasifik tropis.

(Weng et al. 2007)

Menurut Ashok et al. (2007), keberadaan pola aSML yang tidak biasa ini (Gambar 4b) juga pernah ditemukan oleh para peneliti sebelumnya seperti Weare et al. (1976), Rasmusson dan Carpenter (1982), Donguy dan Dessier (1983), dan Meyers et al. (1999). Namun baru diteliti secara mendalam oleh Yamagata (2004) beserta timnya dari Japan Agency for Marine-Earth Science Technology

(JAMSTEC), karena sifat khusus yang terlihat berbeda jelas dengan El Niño Konvensional, bahkan berbeda dari yang didefinisikan oleh NOAA (2003). Dengan mengacu kepada pola unik dan tidak biasa anomali suhu muka laut hasil observasi tahun 2004 di sepanjang Pasifik tropis, Ashok et al. (2007) menamakan pemanasan yang hanya terkonsentrasi di wilayah Pasifik tropis bagian tengah (mencakup wilayah Niño4) dan diapit oleh aSML yang lebih dingin di bagian timur dan baratnya sebagai El Niño Modoki (Pseudo El Niño).

Istilah El Niño Modoki pertama kali diperkenalkan dan dipublikasikan oleh Toshio Yamagata dalam berbagai press release media informasi Jepang terkait penjelasannya dalam hal kemungkinan penyebab kondisi iklim musim panas yang tidak normal di Jepang pada tahun 2004 (seperti dikutip dalam Japan Times pada 24 Juli 2004 dibawah judul “Mock El Niño: culprit behind heat wave, floods”. Toshio Yamagata adalah seorang Profesor di Universitas Tokyo dengan spesialisasi bagian dinamika iklim global.

Fenomena yang sepintas terlihat seperti El Niño di Pasifik bagian tengah pada tahun 2004 telah memicu terjadinya gelombang panas dan banjir di berbagai belahan wilayah Jepang. Yamagata (2004) mengatakan bahwa peningkatan aSML di wilayah ini mampu mengaktifkan arus konveksi dan memicu terbentuknya tekanan yang lebih tinggi di Pasifik tengah. Di Jepang berakibat musim panas yang lebih hangat dari kondisi musim panas normalnya. Sedangkan untuk dampak di Indonesia, masih belum dikaji secara mendalam.

Gambar 5 Komposit aSML (ºC) selama kejadian El Niño Modoki positif kuat (a) tujuh musim panas boreal, yaitu musim JJAS 1986, 1990, 1991, 1992, 1994, 2002, dan 2004 (b) delapan musim dingin boreal, yaitu musim DJF 1979–80, 1986– 87, 1990–91, 1991–92, 1992–93, 1994–95, 2002–03, dan 2004–05. Nilai Signifikan di atas selang kepercayaan 95% dari uji t–student dua arah. (Ashok et al. 2007)

(17)

bagian tengah. Pola penghangatan yang unik ini semakin terlihat dengan jelas pada musim dingin boreal DJF. Istilah boreal mengacu pada kondisi iklim di belahan bumi utara.

Istilah El Niño Modoki sekarang sudah populer di kalangan peneliti dan pengamat iklim global terutama di Jepang dan Asia. Ashok et al. (2007) menjelaskan bahwa kata Modoki berasal dari bahasa Jepang klasik yang berarti “serupa tapi tidak sama” (similar but different thing), mengacu kepada fenomena yang menyerupai El Niño Konvensional namun jelas berbeda secara spasial dan temporal serta bersifat independen dari fenomena El Niño Konvensional.

Berawal dari tujuan untuk menjelaskan fenomena unik 2004 di Pasifik tengah dengan definisi yang tepat, Ashok et al. (2007) mengklasifikasikan kejadian 2004 dan kejadian lain yang serupa sebagai suatu entitas yang berbeda dengan El Niño Konvensional, sehingga menghasilkan pola telekoneksi yang juga berbeda. Pola unik ini semakin sering terjadi sejak akhir tahun 1970–an hingga sekarang. Tercatat beberapa kejadian unik El Niño Modoki sepanjang 1979–2004: 1986, 1990, 1991, 1992, 1994, 2002, dan 2004. Anomali suhu muka laut positif yang berlangsung lama dari tahun 1990–1994 disebut sebagai El Niño Modoki yang berlarut–larut. Ada juga yang menyebut bahwa kejadian ini merupakan El Niño yang berlangsung sangat lama. Yeh et al. (2009) menyatakan kejadian El Niño Pasifik tengah (istilah lain yang mengacu kepada El Niño Modoki) akan lebih sering ditemukan jika pemanasan global terus meningkat.

Pola aSML El Niño Modoki yang tidak biasa bukan merupakan bagian dari evolusi El Niño Konvensional sebagaimana yang disebutkan oleh Trenberth dan Stepaniak (2002). Jika hipotesis tersebut berlaku, maka kondisi El Niño Modoki pada musim panas boreal 2004 sudah diikuti (didahului) oleh El Niño Konvensional setelahnya (sebelumnya) dengan perkiraan lag time 3–12 bulan. Tapi pada kenyataannya, berdasarkan data observasi aSML Niño3 dan Niño3.4 tidak satu pun dari hal yang disebutkan diatas terjadi. Hanya kejadian periode 1982–1983 yang sesuai dengan hipotesis tersebut. Tahun 1997 yang disebut sebagai El Niño Konvensional sangat kuat didahului oleh El Niño Modoki yang sangat lemah. Hipotesis ini juga tidak berlaku pada kejadian El Niño 1990–1994 yang berlarut–larut (Ashok et al. 2007).

Gambar 6 Wilayah Perhitungan El Niño Modoki Index. (Ashok et al.

2007)

Secara matematis, Ashok et al. (2007) mendefinisikan El Niño Modoki melalui suatu persamaan sebagai berikut:

EMI = [SSTA]Central – (0.5[SSTA]East +

SSTA yang merupakan singkatan dari Sea Surface Temperature Anomalies merupakan istilah global yang merujuk pada anomali suhu muka laut (aSML). Persamaan diatas menghasilkan suatu indeks yang dikenal sebagai El Niño Modoki Index (EMI). EMI menjadi tolak ukur kejadian El Niño Modoki. Gambar 6 mendeskripsikan cakupan wilayah dalam perhitungan EMI.

Menurut Ashok et al (2007), aSML dikategorikan termasuk ke dalam fase El Niño Modoki kuat ketika amplitudo indeksnya ≥ 0.7σ, dengan σ adalah standar deviasi musiman, sehingga berdasarkan ketentuan tersebut diperoleh 0.50⁰C dan 0.54⁰C sebagai

threshold EMI untuk musim panas (boreal summer) dan musim dingin (boreal winter).

(18)

menunjukkan suhu muka laut yang lebih dingin.

a. Kondisi Normal

b. El Niño Modoki

Gambar 7 Skematik Kondisi Normal dan El Niño Modoki.

(Ashok & Yamagata 2009)

Kejadian El Niño Modoki (Gambar 7b) merupakan sejenis kondisi anomali yang perbedaannya sangat jelas dengan El Niño Konvensional. SML yang lebih hangat terbentuk di Pasifik bagian tengah, diapit dengan SML yang lebih dingin di kedua sisi barat dan timurnya. Sehingga pola khusus konveksi atmosfer yang terjadi adalah tekanan udara di sisi timur dan barat yang lebih tinggi akibat udaranya yang lebih dingin membuat angin yang bertiup berasal dari kedua kutub tersebut menuju ke bagian tengah Pasifik tropis ekuator. Angin tersebut mengakibatkan awan-awan konvektif yang bersumber dari sisi barat dan timur berpusat di bagian tengah. Sehingga wilayah Pasifik bagian tengah mengalami anomali yang tidak biasa menjadi lebih basah dan kedua sisi yang mengapitnya akan lebih kering akibat penarikan awan-awan konvektif itu sendiri.

2.3 Keragaman Curah Hujan Wilayah Indonesia

2.3.1 Karakteristik Curah Hujan Wilayah Indonesia

Hujan merupakan salah satu unsur iklim yang paling sering dikaji di Indonesia karena memiliki tingkat keragaman yang sangat tinggi baik secara temporal (waktu) maupun

secara spasial (keruangan). Keadaan ini disebabkan oleh posisi Indonesia yang dilewati oleh garis khatulistiwa dan keberadaannya diantara dua benua dan dua samudera. Selain itu keadaan Indonesia yang memiliki banyak pulau besar dan kecil dengan topografi yang beragam juga dapat mengakibatkan tingginya keragaman hujan di Indonesia. Karena memiliki tingkat keragaman yang tinggi, kondisi data curah hujan di Indonesia memerlukan observasi yang panjang dengan perwakilan sebaran data yang memadai (As-Syakur 2010).

Gambar 8 Pola Curah Hujan di Indonesia; terbagi menjadi 3, wilayah A (Monsoonal) pada garis tebal, wilayah B (Equatorial) pada garis samar pendek dan Wilayah C (Local) pada garis samar panjang (Aldrian & Susanto 2003)

Berdasarkan Gambar 8, pola curah hujan di Indonesia memiliki tiga tipe (Aldrian & Susanto 2003), yaitu:

1. Monsoonal; ciri khusus wilayah yang memiliki tipe monsunal adalah hujan berlangsung selama enam bulan dan enam bulan berikutnya berlangsung musim kemarau.

2. Equatorial; ciri khusus wilayah tipe curah hujan ekuatorial ditandai dengan sifat hujannya yang memiliki dua puncak maksimum dalam setahun, biasa berlangsung pada bulan Maret dan Oktober.

3. Local; ciri khusus wilayah tipe hujan lokal berbalikan dengan tipe monsunal.

2.3.2 Faktor Pengendali Curah Hujan Wilayah Indonesia

(19)

yang menghasilkan hujan terjadi dua kali, yang pada umumnya dapat dilihat pada pola curah hujan bulanan yang memiliki dua puncak. Dengan demikian maka iklim di daerah Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor global, faktor regional, dan faktor lokal (Tabel 1).

Menurut Aldrian dan Susanto (2003), efek kejadian El Niño pada curah hujan di Indonesia akan dimulai pada bulan April dan berakhir pada bulan Desember. Curah hujan wilayah bagian selatan Indonesia atau wilayah A merupakan daerah sensitif El Niño sementara curah hujan di wilayah C yang terletak di bagian timur Indonesia juga merupakan wilayah sensitif El Niño. Gambar 9 menjelaskan secara skematik mekanisme sirkulasi global seperti El Niño ikut mempengaruhi curah hujan Indonesia.

Tabel 1 Faktor–faktor yang Mempengaruhi Cuaca dan Iklim Indonesia

Faktor

Skala Besar Skala

Sedang Skala Kecil

Interannual Seasonal Intra Seasonal

ARLINDO Siang dan Malam

(Sumber: Purwandani et al. 1998)

Pada saat ini, kemungkinan memperoleh data curah hujan yang diperlukan dalam berbagai aplikasi ilmiah dapat diperoleh dari satelit meteorologi. Satelite meteorologi dapat menyediakan data hujan dengan sebaran yang lebih baik serta dengan penggabungan berbagai jenis satelite dan data dari pos pengamatan hujan dalam suatu model iklim akan lebih mampu meningkatkan keakuratan data yang dihasilkan oleh satelite meteorologi. Karena sebaran keberadaan pos penakar hujan tidak merata khususnya di daerah dengan topografi sulit, daerah tidak berpenghuni, dan di daerah sekitar lautan mengakibatkan berkurangnya tingkat keakuratannya dalam menampilkan sebaran pola spasial curah hujan (As–Syakur 2010).

Gambar 9 Skema faktor pengendali curah hujan wilayah Indonesia.

(BMKG 2011)

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Pemodelan Iklim (Moklim) Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung dan Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB selama bulan Maret–September 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Seperangkat Personal Computer dan perangkat lunak; Microsoft office, Matlab versi R2008a, SPSS versi 16, GrADS 2.0 adalah alat yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun data yang digunakan sebagai berikut:

(20)

¾ Data El Niño Modoki Index (EMI), berupa data deret waktu anomali suhu muka laut bulanan (⁰C) hasil perhitungan tiga wilayah formulasi El Niño Modoki dengan periode waktu 1970–2010. Data EMI diperoleh dari website JAMSTEC Jepang:

http://www.jamstec.go.jp/frcgc/researc h/d1/iod/DATA/emi.monthly.txt

¾ Data observasi curah hujan rata-rata bulanan (mm/bulan) beberapa wilayah bertipe hujan monsun di Indonesia, yaitu Lampung (Sumatera), Indramayu (Jawa Barat), Makassar (Sulawesi Selatan), Banjar Baru (Kalimantan Selatan), dan Sumbawa Besar (Nusa Tenggara Barat) periode 1970–2000. Data pengamatan tersebut merupakan data stasiun meteorologi/klimatologi setempat, bersumber dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

¾ Data curah hujan bulanan satelit TRMM 3B43 tahun 1998 – 2010, dapat diperoleh di website:

ftp://disc2.nascom.nasa.gov/data/TRM M/Gridded/3B43_V6/

Data satelit TRMM 3B43 memiliki resolusi temporal bulanan dan resolusi spasial 0.25°x0.25° (NASDA 2001). Cakupan pengamatan datanya adalah global, 50°N– 50°S dan 180°E–180°W, dan tersedia dari bulan Januari 1998 sampai sekarang. Namun dalam penelitian ini, data TRMM 3B43 yang digunakan dibatasi pada periode 1998–2010.

Wilayah kajian yang dipilih adalah:

¾ Lampung (Sumatera),

¾ Indramayu (Jawa Barat),

¾ Makassar (Sulawesi Selatan),

¾ Banjar Baru (Kalimantan Selatan),

¾ Sumbawa Besar (Nusa Tenggara Barat), Kelima wilayah yang dipilih dianggap mewakili daerah di Benua Maritim Indonesia (BMI) yang bertipe curah hujan monsunal.

b. Data pendukung, berupa data aSML empat wilayah Niño.

¾ Data anomaly SML wilayah Niño periode 1970–2010, merupakan data anomali suhu permukan laut bulanan di sepanjang Samudera Pasifik tropis bagian timur dan tengah yang terdiri atas Niño1+2, Niño3, Niño4, Niño3.4 dan dapat diperoleh di website:

http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/ind ices/SSToi.indices

3.3 Metode Penelitian

Pelaksanaan tugas akhir dibagi menjadi beberapa metode analisis, yaitu:

3.3.1 Metode Analisis Temporal

Data deret waktu adalah data yang merupakan fungsi atas waktu dan antar pengamatannya terdapat suatu hubungan yang disebut dengan istilah berautokorelasi, sehingga untuk menyajikan bentuk hubungan fungsional antara data dengan waktunya tidak bisa menggunakan metode analisis regresi biasa. Mulyana (2004) menyatakan bahwa salah satu metode dalam analisis temporal data deret waktu yang jarang dibahas padahal peranannya sangat besar dalam melengkapi informasi mengenai ciri (characters) suatu data deret waktu adalah analisis spektral.

Mulyana (2004) menyatakan bahwa analisis spektral membahas mengenai cara menelaah periodisitas data tersembunyi (hidden periodecities) yang sulit diperoleh pada saat kajian dilakukan pada kawasan (domain) waktu. Kajian periodisitas data perlu dilakukan untuk menambah informasi mengenai karakteristik dari data deret waktu tersebut, dan harus dilakukan pada kawasan frekuensi melalui analisis spektral.

Analisis temporal data deret waktu dengan metode FFT/PSD (Fast Fourier Transform / Power Spectral Density) dan Wavelet digunakan untuk mengetahui pola osilasi dominan dan karakterisitik temporal dari masing-masing indeks fenomena iklim global yang dikaji. Indeks fenomena iklim global yang dimaksud adalah aSML EMI dan aSML Niño. Periode yang dipilih adalah deret 1979– 2010 dalam satuan ⁰C. Pola osilasi dominan diketahui dengan puncak tertinggi pada alur PSD yang menunjukkan energi spektral terbesar, sedangkan variasinya terhadap waktu dapat diketahui dengan metode Wavelet. a. Metode Spektral FFT/PSD

(21)

terhadap fungsi spektrum kuasa dan nilai-nilai pendugaannya itu dipetakan terhadap frekuensinya, maka akan diperoleh sebuah garis spektrum. Periodisitas (osilasi dominan) data ditentukan dengan cara melihat frekuensi yang berpasangan dengan titik-titik puncak garis spektrumnya (Mulyana 2004).

Gambar 10 Skema Transformasi Fourier. Transformasi Fourier membawa sinyal dari domain waktu ke dalam domain frekuensi/periode.

(Tang 2009)

Definisi deret fourier adalah sebagai berikut (Hermawan 2003):

cos sin

Tranformasi Fourier (tranformasi Fourier kompleks atau Spektrum Fourier) dari suatu fungsi f(t) adalah F(ω):

…..………... (5)

Persamaan ini merupakan analisis fourier dari f(t). Langkah berikutnya adalah melakukan invers transformasi Fourier sebagai berikut:

…...……….. (6)

Persamaan di atas merupakan sintesis fourier dari f(t), yaitu sintesis dari berbagai komponen spektral F(ω) ke fungsi asalnya

f(t). Fungsi f(t) dan F(ω) disebut pasangan fourier, dualisme pasangan fungsi tersebut dinyatakan dengan: f(t) F(ω). Dengan menggunakan sifat ortogonalitas dari fungsi trigonometri, faktor e–iωt berfungsi sebagai sebuah operator, yang hanya mempunyai komponen berfrekuensi ω dari f(t). F(ω)

adalah rata–rata dari komponen f(t) tersebut yang mempunyai frekuensi ω. Apabila F(ω)

berada dalam satuan interval frekuensi, kuantitas F(ω) disebut sebagai kerapatan spektral atau spectral density (Hermawan 2003).

Analisis temporal yang pada kajian ini menggunakan teknik FFT/PSD bertujuan membandingkan karakteristik temporal. Karakteristik temporal ditunjukkan oleh pola periodisitas kejadian berulang fenomena iklim global yang dianalisis, yaitu El Niño Konvensional dan El Niño Modoki. El Niño Konvensional didefenisikan oleh aSML 4 wilayah Niño dan El Niño Modoki didefenisikan oleh EMI.

b. Metode Wavelet

Seperti halnya transformasi fourier, transformasi Wavelet digunakan juga untuk menganalisis sinyal ataupun data. Transformasi Wavelet (TW) adalah suatu metode yang dapat digunakan untuk menganalisis mode keragaman dominan dan bagaimana variasinya terhadap waktu, dengan mendekomposisi deret waktu ke dalam domain waktu-frekuensi. Berbagai kajian di bidang oseanografi, meteorologi, dan geofisika menggunakan transformasi Wavelet, seperti ENSO dan monsun (Tang 2009).

Gambar 11 Skema Transformasi Wavelet.

(Tang 2009)

Metode Wavelet (Gambar 11) digunakan terutama untuk melihat spektrum kuasa global suatu deret waktu dalam satuan periode dan untuk melihat skala variansi rata-rata selama deret waktu tersebut sehingga dapat diketahui pola sinyal sinusoidal yang mengindikasikan karakteristik temporalnya. Pada kajian ini membandingkan antara El Niño Konvensional (Niño3.4) dan El Niño Modoki(EMI).

Perangkat lunak yang dipakai pada analisis temporal ini adalah Matlab R2008a. Selain itu, juga dilakukan analisis deret waktu untuk melihat nilai ambang batas normal (threshold)

(22)

Niño Konvensional (Niño3.4) dan El Niño Modoki (EMI). Berdasarkan nilai threshold

yang diperoleh dan plot data aSML rata-rata bulanan periode 1979–2010 dari fenomena tersebut, maka dapat diklasifikasikan tahun kejadian El Niño Modoki dan El Niño Konvensional.

Selain itu, kajian ini juga menyertakan analisis komposit. Analisis komposit merupakan suatu teknik penarikan contoh kemungkinan berdasarkan kondisi rata-rata beberapa kejadian tertentu yang sama, pada kajian ini yaitu terhadap tahun-tahun kejadian El Niño Modoki kuat. Sehingga hasilnya dapat mewakili secara umum perkiraan waktu yang menunjukkan fase mulai terbentuk dan berakhirnya El Niño Modoki.

3.3.2 Metode Analisis Spasial (Hovmoller) Analisis spasial adalah suatu metode yang menjadikan peta sebagai model yang mempersentasikan dunia nyata yang diwakilinya sebagai suatu media analisis. Analisis spasial berguna untuk mendapatkan hasil–hasil analisis yang memiliki atribut keruangan (lintang – bujur) dan waktu. Cara yang lebih baik untuk melihat data deret waktu sepanjang garis transek lintang atau bujur dikenal sebagai diagram Hovmoller (Gambar 12), yang dibangun oleh Ernest Hovmoller (1949).

Gambar 12 Diagram Hovmoller.

(NASA 2011)

Diagram Hovmoller mempermudah dalam menafsirkan dari plot transek lintang atau bujur suatu wilayah seperti yang dijelaskan oleh Persson (2005). Semua data diambil sepanjang garis dalam ruang (x–axis) di–plot

terhadap waktu sepanjang (y–axis) untuk memberikan diagram atau Gambar berdasar ruang–waktu. Diagram hovmoller pada Gambar 12 merupakan cara terbaik untuk memahami bagaimana variasi suhu muka laut pada lintang-bujur tertentu berubah terhadap waktu. Nilai piksel numeriknya mewakili data

deret waktunya. Plot ini biasanya digunakan untuk mempelajari fenomena yang berubah terhadap waktu pada lintang tertentu atau bujur, tetapi belum ada alasan mengapa baris tidak bisa menjadi bentuk diagonal.

Plot Hovmoller (Gambar 12) digunakan secara luas dalam oseanografi dan meteorologi, misalnya untuk mempelajari bagaimana fitur seperti curah hujan spasial, pusaran siklon atau gelombang planet bergerak terhadap waktu. Cara terbaik untuk mengamati plot ini adalah dalam bentuk irisan vertikal melalui bidang kubus dari atas ke bawah suatu data aSML atau data curah hujan bulanan rata-rata. Pada kajian ini, data yang dipakai untuk analisis spasial Hovmoller adalah data curah hujan bulanan rata–rata satelit TRMM 3B43 sehingga diperoleh pola interaksi El Niño Modoki terhadap perilaku curah hujan monsunal secara umum di Indonesia. Pola interaksi yang dimaksud adalah pola perubahan penurunan curah hujan spasial wilayah kajian terhadap waktu pada saat tahun normal dibandingkan dengan tahun El Niño Modoki.

3.3.3 Metode Analisis Regresi

Istilah “regresi” diperkenalkan oleh Sir Francis Galton pertama kali pada tahun 1886. Menurut Ghozali (2005), analisis regresi mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel atau lebih dan menunjukkan arah hubungan antara variabel dependen (terikat) terhadap variabel independen (bebas). Hasil analisis regresi berupa koefisien untuk masing-masing variabel independen. Koefisien determinasi (R2) merupakan suatu ukuran seberapa jauh kemampuan variabel bebas dalam menerangkan variasi variabel terikat. Koefisien korelasi (R) merupakan indeks atau bilangan yang digunakan untuk mengukur keeratan (kuat, lemah, atau tidak ada) hubungan antar variabel (Hasan 2003).

Analisis regresi pada kajian ini dilakukan untuk menganalisis kuat atau lemahnya hubungan antara aSML EMI berpengaruh terhadap anomali curah hujan monsunal di wilayah kajian. Selain itu, analisis regresi juga dilakukan pada data aSML Niño untuk melihat wilayah Niño bagian mana yang berhubungan kuat dengan aSML EMI. Hubungan tersebut ditentukan oleh nilai koefisien determinasi (R2) dan koefisien korelasi (R) dengan uji signifikansi pada selang kepercayaan 95%.

(23)

Metode ini memuat nilai-nilai estimator yang masih dianggap benar dalam tingkat kepercayaan tertentu (confidence interval). Misalnya estimasi dari θ berupa selang kepercayaan (1-α)100% dengan (1-α) adalah koefisien/taraf kepercayaan. α adalah taraf nyata atau tingkat signifikansi atau taraf kesalahan. Nilai α yang umum digunakan adalah 0.10; 0.05; 0.01. Dengan demikian, jika α = 0.10 maka akan menghasilkan 90% selang kepercayaan; jika α = 0.05 maka akan memiliki 95% selang kepercayaan; sedangkan

α = 0.01 akan menghasilkan 99% selang kepercayaan (Gall 2001).

Tabel 2 Nilai Kritis Koefisien Korelasi Pearson (Pearson dalam Nazir 1988)

(= N-2) (N= number of pairs)

Level of significance for one-tailed test

0.05 0.025 0.01 0.005 Level of significance for

two-tailed test

Nilai kritis pada Tabel 2 merupakan suatu perkiraan nilai minimum koefisien korelasi agar dapat dikategorikan signifikan secara statistik. Nilai kritis tersebut ditentukan berdasarkan jumlah pasangan data yang diuji dan batas selang kepercayaan yang digunakan.

One-tailed digunakan pada koefisien korelasi

yang bernilai positif atau negatif. Sedangkan

two-tailed digunakan pada koefisien korelasi yang bernilai absolut.

3.3.4 Analisis Korelasi Silang

Menurut Juanda (2009), waktu yang diperlukan agar timbulnya respon (Y) terhadap suatu pengaruh (X) disebut lag (beda waktu). Spesifikasi dari struktur beda waktu (lag) merupakan suatu fungsi dari satuan yang periode–periode waktu mengenai data tersebut. Umumnya semakin jauh lag dari data peubah Xt–k, maka semakin berkurang

pengaruhnya terhadap peubah respon Yt.

Untuk menganalisis dan menentukan jeda waktu (time lag) suatu data deret waktu dapat menggunakan metode korelasi silang (cross– correlation) yang diuji pada selang kepercayaan 95% (a=0.05%).

Formula perhitungan korelasi silang (Makridarkis & Wheelwright 1989):

C

C C

C

S S ...….…… (7)

(merupakan korelasi silang antara deret x dan deret y pada lag ke–k),

C …..… (8)

(merupakan kovarian antara deret x dan y pada lag ke–k),

C 0 …….…..…… (9) (merupakan variansi silang peubah x),

C 0 ……….…… (10) (merupakan variansi silang peubah y).

Analisis korelasi silang (cross correlation)

pada kajian ini menggunakan data aSML EMI dan anomali curah hujan monsunal wilayah kajian. Analisis ini dilakukan untuk melihat pengaruh dari fenomena El Niño Modoki terkait pola perubahan curah hujan monsunal di wilayah kajian terhadap waktu yang diistilahkan sebagai lag time atau jeda waktu.

Lag time dilihat dari koefisien korelasi silang tertinggi terutama yang berada setelah lag 0

(24)

Gambar 13 Diagram metodologi penelitian.

IV. PEMBAHASAN

Adanya perubahan karakteristik dan perilaku ENSO (El Niño–Southern Oscillation) di Samudera Pasifik ekuator bagian tengah yang disebut sebagai El Niño Modoki (Ashok et al. 2007) semakin menambah kompleksitas dan dinamika kajian interaksi atmosfer dan lautan. Fenomena El Niño Modoki yang baru dipublikasikan oleh Badan Riset Kelautan Jepang, JAMSTEC, menarik perhatian para peneliti iklim dunia dan masih terus dikaji hingga sekarang. Karena El Niño (baik bertipe Konvensional maupun Modoki) masih menjadi faktor dominan yang mempengaruhi keragaman iklim global. Bahkan kondisi iklim di beberapa belahan dunia sangat dipengaruhi secara kuat oleh kedua fenomena iklim global tersebut.

Indonesia yang diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia menjadi suatu kawasan yang tidak terlewati oleh pengaruh fenomena iklim global. Selain membahas tentang pengaruh El Niño Modoki terhadap perilaku curah hujan monsunal di Indonesia, kajian penelitian ini diawali dengan membandingkan antara El Niño Konvensional dan El Niño Modoki berdasarkan sudut pandang temporal.

Data yang digunakan adalah data anomali suhu muka laut (aSML). Data aSML 4 wilayah Niño di sepanjang Pasifik tropis, yaitu: Niño1+2, Niño3, Niño4, dan Niño3.4 digunakan untuk mendefinisikan kejadian El Niño Konvensional. Sedangkan data EMI (El Niño Modoki Index) mendefinisikan kejadian El Niño Modoki. Data anomali SML Niño3.4 dan EMI dipilih dalam membandingkan kejadian El Niño Konvensional dan El Niño Modoki.

4.1 El Niño Konvensional dan El Niño Modoki

Data aSML Samudera Pasifik ekuator untuk setiap wilayah Niño yang dipilih sebagai periode kajian adalah data rata-rata bulanan deret waktu ±30 tahun periode 1979– 2010. Pemilihan deret waktu ini terkait dengan syarat klimatologis bahwa diperlukan data ±30 tahun untuk menyatakan kondisi normal. Periode 1979–2010 dipilih bukan disebabkan oleh data aSML yang dikaji mulai tersedia pada tahun tersebut, akan tetapi terkait dengan ketersediaan kualitas data yang lebih baik dan dapat diandalkan.

(25)

yang terjadi sepanjang pertengahan tahun 1970–an (Nitta dan Yamada 1989, Stephens et al. 2001; Deser et al. 2002, Hartman dan Wendler 2005; untuk referensi lebih lanjut dan terperinci). Sehingga periode ini dapat mewakili kondisi terkini dari perkembangan kajian interaksi atmosfer dan lautan terutama di Samudera Pasifik ekuator.

4.1.1 Analisis Regresi Empat Indeks Niño terhadap El Niño Modoki Index

Analisis regresi antara indeks Niño terhadap EMI pada kajian ini dilakukan untuk menghasilkan koefisien determinasi (R2) antara 4 indeks Niño terhadap EMI. Untuk membandingkan fluktuasi sinyal anomali SML EMI terhadap anomali SML 4 wilayah Niño, dilakukan plot data deret waktu periode 1979–2010.

Analisis regresi tersebut menghasilkan koefisien determinasi (R2) indeks Niño4 terhadap EMI 0.57, sedangkan dengan indeks Niño yang lain hanya 0.07, 0.03, dan 0.23 untuk Niño1+2, Niño3, dan Niño3.4 (Gambar 14). Nilai R2 diuji pada selang kepercayaan 95%. Nilai p-value 0.00 membuktikan bahwa hasil ini sangat signifikan pada selang

kepercayaan 95%. Artinya, ada hubungan yang erat antara EMI terutama terhadap Niño4. Pola deret waktu wilayah Niño yang mendekati pola anomali SML EMI adalah Niño4.

Kemiripan pola antara anomali SML EMI dan Niño4 yang ditunjukkan oleh Gambar 15c berhubungan dengan letak Niño4 yang berada tepat di Samudera Pasifik ekuator bagian tengah dan termasuk dalam wilayah yang menjadi dasar perhitungan indeks EMI. Sehingga kejadian bertipe El Niño Modoki juga sering disebut oleh para peneliti iklim global sebagai El Niño Pasifik Tengah

(Central Pacific El Niño).

Berdasarkan hasil tersebut, maka ketika menggunakan anomali SML wilayah Niño4 untuk mendefinisikan El Niño Konvensional tidak hanya melihat indeks anomalinya saja tetapi juga perlu melihat pola penghangatan suhu muka lautnya karena berpeluang mengarah pada pola penghangatan bertipe El Niño Modoki terutama setelah tahun 1978. Hasil tersebut semakin mempertegas kajian Ashok dan Yamagata (2009) terkait penggunaan Niño4 tersebut, terutama setelah tahun 1978.

(26)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 15 Plot deret waktu aSML 4 wilayah Niño dan EMI periode 1979 – 2010.

4.1.2 Perbandingan Pola Osilasi Dominan El Niño Modoki dan El Niño Konvensional

Menelaah periodisitas deret waktu tidak dapat dilakukan dalam kawasan (domain)

waktu, tetapi harus dalam kawasan (domain)

frekuensi melalui analisis spektral. Untuk itu dilakukan analisis spektral dengan metode

Power Spectrum Density (PSD) pada perangkat lunak Matlab terhadap aSML EMI dan Niño periode 1979–2010. PSD sebagai suatu cara untuk menganalisis sinyal fluktuasi didasarkan pada asumsi bahwa suatu sinyal fluktuasi dibangun dari gelombang sinus dan

cosinus dalam berbagai frekuensi. Analisis PSD menghasilkan pola osilasi dominan suatu data deret waktu.

Gambar 16 menunjukkan hasil analisis PSD terhadap data aSML EMI dan Niño3.4 yang masing–masingnya mewakili kejadian El Niño Modoki dan El Niño Konvensional. Penentuan pola osilasi dominannya berdasarkan pada puncak energi spektral tertinggi masing–masing kejadian. Sehingga diperoleh hasil bahwa pola osilasi dominan paling kuat untuk Niño3.4 berada pada skala periodisitas 48–62 bulanan (Gambar 16,

perhatikan puncak energi spektral untuk warna coklat muda). Sedangkan energi spektral paling kuat aSML EMI berada pada skala periodisitas 62–94 bulanan (Gambar 16, perhatikan puncak energi spektral untuk warna biru tua).

(27)

Gambar 17 menunjukkan bahwa periode 1979–1989 menunjukkan dua frekuensi sinyal yang kuat dan dominan dari kejadian El Niño Konvensional (warna coklat muda), ditandai dengan 2 kejadian El Niño Konvensional yang kuat pada tahun 1982 dan 1987. Pada periode berikutnya tahun 1990–2000, pola osilasi dominan El Niño Konvensional tidak dapat terlihat dengan jelas. Walaupun pada periode tersebut juga terdapat 2 kejadian El Niño Konvensional yang kuat yaitu pada tahun 1991/92 dan 1997, namun data deret waktunya menunjukkan pola yang tidak menentu. Sebagaimana terlihat pada tahun 1991–1994 yang disebut sebagai suatu

kejadian El Niño Konvensional yang berlarut-larut. Hal ini disebabkan selama tahun tersebut terjadi anomali penghangatan dari kondisi normal suhu muka laut di wilayah Samudera Pasifik Tropis bagian timur dan tengah. Status aSML pada 1991–1994 dapat dikatakan konsisten berada pada fase positif, terutama pada tahun 1994. Kejadian menghangatnya aSML Samudera Pasifik Tropis dari kondisi normal (terutama pada bagian tengah) pada tahun 1994 dapat dijelaskan oleh El Niño Modoki. Karena sinyal fase positif EMI pada tahun ini sangat kuat (Gambar 17 warna biru tua).

Gambar 16 Periodisitas aSML Niño dan EMI 1979 – 2010.

(28)

Berbeda dengan dua dekade sebelumnya didominasi oleh frekuensi kejadian El Niño Konvensional kuat dua kali per dekade, maka sinyal frekuensinya untuk periode 2001–2010 mulai berubah. Hal ini dibuktikan oleh plot deret waktu yang menunjukkan fluktuasi sinyal aSML El Niño Konvensional (Gambar 18a) yang semakin sering mengarah ke fase positif dalam waktu yang tidak menentu. Sehingga periodisitas kejadian El Niño Konvensional yang seharusnya terjadi setiap 4–5 tahunan cenderung berubah periode ulang kejadiannya. Bersamaan dengan itu, pola aSML El Niño Modoki yang tidak biasa semakin sering muncul dan bertahan pada fase positif (Gambar 19a).

Gambar 18b dan 19b, sumbu x merupakan waktu kejadian sedangkan sumbu y merupakan periode kejadian El Niño (Konvensional dan Modoki). Spektrum warna Wavelet yang semakin mengarah ke warna merah pekat menunjukkan anomali suhu muka laut yang semakin menghangat dan spektrum warna Wavelet yang semakin mengarah ke warna biru pekat menunjukkan anomali suhu muka laut yang semakin mendingin. Spektrum warna yang semakin merah tersebut mengartikan bahwa aSML berada pada fase positif di atas 0⁰C. Spektrum warna yang semakin mengarah ke warna biru mengartikan bahwa aSML berada pada fase negatif antara di bawah 0⁰C.

Gambar 18 Analisis Wavelet El Niño Konvensional (Niño3.4) periode 1979–2010 (a) plot deret waktu (b) spektrum kuasa Wavelet (c) spektrum Wavelet global (d) rata–rata varians.

(29)

Analisis Wavelet pada Gambar 18b menunjukkan bahwa kejadian El Niño Konvensional tahun 1987 dan 1997 merupakan kejadian yang sangat kuat. Hal ini diketahui dengan melihat warna merah pekat pada spektrum kuasa Wavelet (Gambar 18b) yang menandakan anomali suhu muka laut berada pada skala positif kuat. Spektrum Wavelet global (Gambar 18c) semakin mempertegas bahwa osilasi dominan El Niño Konvensional berada pada periodisitas ~48 bulanan. Hal ini terlihat dari puncaknya yang berada di pertengahan skala 32–64 bulanan dengan 48 bulanan sebagai nilai tengahnya.

Rata-rata varians merupakan suatu kisaran nilai rata-rata data menyimpang dari kondisi normalnya. Analisis variansi pada Gambar 18d dan 19d menunjukkan bahwa pada periode 2000–an penghangatan Pasifik tropis bertipe El Niño Modoki lebih berperan aktif dibandingkan tipe El Niño Konvensional. Hal ini dipertegas secara visualisasi dengan analisis Wavelet spektrum kuasa (Gambar 18b dan 19b) dimana pada periode tersebut spektrum warna El Niño Modoki lebih berwarna merah gelap. Ashok, Behera, dan Yamagata (2007); Yeh et al (2009) telah mengatakan bahwa kejadian El Niño Modoki akan semakin lebih sering ditemukan pada periode 2000–an seiring intensitas pemanasan global yang terus meningkat.

Spektrum wavelet tersebut juga menegaskan bahwa kejadian El Niño Konvensional dan El Niño Modoki memiliki ukuran sebaran data anomali SML yang berbeda. Dengan melihat kondisi hangat yang ditunjukkan oleh spektrum warrna merah, anomali positif kuat SML Niño3.4 dapat mencapai +4⁰C. Sedangkan anomali positif kuat SML EMI hanya mencapai +1⁰C. Ukuran sebaran data aSML El Niño Modoki yang lebih rendah dibandingkan El Niño Konvensional disebabkan oleh EMI sebagai hasil formulasi tiga wilayah perhitungan yang mencakup pola penghangatannya di sepanjang Pasifik tropis.

Nilai ambang batas (threshold) untuk menunjukkan fase kuat kedua kejadian tersebut diperoleh dengan menghitung nilai standar deviasi data deret waktu 1979–2010 dari masing–masing indeks. Untuk kejadian El Niño Konvensional diperoleh threshold

aSML 0.93⁰C dan El Niño Modoki 0.53⁰C. Menurut Ashok et al (2007), aSML dikategorikan termasuk ke dalam fase El Niño Modoki kuat ketika amplitudo indeksnya ≥ 0.7σ, dengan σ adalah standar deviasi musiman, sehingga berdasarkan ketentuan

tersebut diperoleh 0.50⁰C dan 0.54⁰C sebagai

threshold EMI untuk musim panas (boreal summer) dan musim dingin (boreal winter).

Berdasarkan nilai ambang batas normal anomali EMI, dapat diklasifikasikan bahwa tahun–tahun 1982, 1987, 1991–1994, 1997, 2002, 2004, 2006, dan 2009 merupakan tahun El Niño Konvensional. Diantara tahun-tahun tersebut, fase terkuat terjadi pada 1982, 1987, dan 1997. Tahun kejadian El Niño Modoki adalah 1986, 1990,1991, 1992, 1994, 2002, 2004, dan 2009/2010 dengan fase kuat terjadi pada tahun 1994, 2002, 2004, dan 2009/2010.

Periode tahun 2001–2010 menunjukkan ketidakteraturan masing–masing pola sinyal periodisitas, terutama El Niño Konvensional. Fluktuasi sinyal aSML EMI positif semakin meningkat hingga melampaui threshold

kondisi normal (0.53⁰C) pada tahun 2002, 2004, dan 2009/2010 (Gambar 17 warna biru). Menurut Yeh et al. (2009), hal ini dipicu oleh suhu bumi yang semakin menghangat terkait pemanasan global.

4.1.3 Pola Penghangatan El Niño Modoki Ashok et al. (2007) telah mendefinisikan El Niño Modoki Index (EMI) sebagai suatu indeks anomali gabungan dari 3 wilayah perhitungan, yaitu wilayah Pasifik tropis bagian tengah, timur, dan barat. Sesuai dengan sifat aSML tripolarnya yang unik, maka secara matematis EMI diformulasikan dengan menggunakan istilah Box A, Box B, dan Box C. Box A mewakili wilayah Pasifik tropis bagian tengah (165⁰E–140⁰W, 10⁰S–10⁰N), Box B mewakili wilayah Pasifik tropis bagian timur (110⁰W–70⁰W, 15⁰S–5⁰N), dan Box C mewakili wilayah Pasifik tropis bagian barat (125⁰E–145⁰E, 10⁰S–20⁰N). Pada Gambar 20 terlihat bahwa pola sinyal penghangatan ketiga wilayah perhitungan tidak selalu sama pada setiap kejadian El Niño Modoki kuat.

Walaupun secara umum dikatakan bahwa El Niño Modoki terjadi jika aSML wilayah Pasifik tropis bagian tengah lebih hangat dari kondisi normal dan diapit oleh kondisi yang lebih dingin di sisi barat dan timurnya (Ashok

et al. 2007), bukan berarti bahwa aSML di Pasifik tropis bagian barat dan timur akan selalu berada pada fase negatif di setiap kejadian bertipe El Niño Modoki.

(30)

dengan anomali yang lebih rendah daripada di bagian tengah. Seperti tahun 1991 dan 1994, Pasifik tropis bagian tengah diapit oleh pasifik timur yang juga menghangat tapi jika keduanya dibandingkan maka kondisi bagian tengah (Box A) jauh lebih hangat daripada di bagian timur (Box B). Pada saat yang bersamaan, kondisi di sisi barat Pasifik tropis memang jauh lebih dingin bahkan mengarah kepada anomali negatif (Box C).

Kekeringan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1994 dapat dijelaskan oleh kejadian El Niño Modoki yang berada pada status positif kuat, bahkan anomalinya mencapai > 0.7⁰C pada Juli–September 1994. Setelah kejadian tahun 1994, sinyal El Niño Modoki semakin sering muncul pada dekade 2000–an, yaitu 2002, 2004, 2006, dan 2009/2010. Pada tahun–tahun tersebut, aSML bulanan fase El Niño Modoki melebihi threshold 0.53⁰C.

Berbeda dengan tahun 1991 dan 1994, El Niño Modoki tahun 2002 dan 2004 juga mempunyai pola tertentu. Suhu muka laut Pasifik tropis bagian tengah menunjukkan anomali positif (Gambar 19 box A) sedangkan bagian timur dan barat (Gambar 20 box B dan C) mengarah kepada anomali negatif. Secara fisis berarti bahwa pada tahun 2004 ini, kolam hangat benar–benar terpusat hanya di bagian tengah Pasifik tropis saja sedangkan bagian timur dan barat, keduanya cenderung lebih dingin.

El Niño Modoki pada tahun 2002 berada pada fase positif dengan skala yang tidak terlalu tinggi namun durasi yang cukup panjang. Tahun 2004, El Niño Modoki

memiliki peranan tersendiri dalam kaitannya dengan keragaman iklim global. Kejadiannya berlangsung dalam durasi yang cukup lama yaitu mulai dari Juni 2004 hingga Maret 2005. Berbeda dengan tahun 2004, El Niño Modoki pada tahun 2009 terjadi relatif cukup singkat namun anomali lebih tinggi dari yang sebelumnya. Fase positif kuat pada tahun 2009 berlangsung dari bulan November hingga Januari dengan anomali hampir mencapai 1⁰C. Anomali mulai turun dan melemah pada bulan Februari.

Mekanisme fisik yang terjadi ketika pola El Niño Modoki terjadi adalah ketika suhu muka laut Pasifik tengah menghangat, massa udara diatasnya memuai dan dapat dengan mudah cepat terangkat ke atas seiring dengan tekanan udara yang rendah. Udara yang membawa massa uap air mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan yang lebih rendah. Wilayah Pasifik tropis bagian tengah yang lebih hangat dan bertekanan rendah menarik massa uap air dari Indonesia dan bagian timur Pasifik tropis yang bertekanan lebih tinggi. Dengan demikian, ada satu pusat konveksi dan dua sumber konveksi yang terbentuk, yaitu berasal dari massa uap air Indonesia dan dari bagian timur Pasifik tropis. Proses ini mengakibatkan awan-awan konvektif di Indonesia yang berpotensi untuk berkembang sebagai butir-butir hujan berpindah ke Pasifik bagian tengah. Akibat perpindahan tersebut, Indonesia kekurangan awan-awan hujan sehingga menyebabkan peristiwa kekeringan yang tidak bisa dihindari oleh Indonesia.

Gambar

Gambar 2 Wilayah Niño.
Gambar 3 Skematik
Gambar 5 Komposit
Gambar 6 mendeskripsikan cakupan wilayah
+7

Referensi

Dokumen terkait

[vierrädriger Pferdewagen] fremd, sonderbar, seltsam, merkwürdig, exzentrisch halten für ..., ansehen als ...; einladen, nötigen schätzen, berechnen, veranschlagen

Peserta yang tidak menyerahkan karcis, tiket, boarding pass, airport tax serta tanda bukti pengeluaran lainnya dengan sangat menyesal panitia tidak dapat mengganti

kuantitatif, validator juga memberikan saran untuk perbaikan modul. Secara umum saran yang diberikan adalah penambahan gambar yang sesuai dengan tema untuk menarik

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka simpulan yang dapat disampaikan untuk menjawab rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini adalah metode

Setelah pengukuran awal, aset keuangan tersedia untuk dijual selanjutnya diukur dengan nilai wajar dengan keuntungan atau kerugian yang belum terealisasi diakui sebagai

Pembelajaran matematika dengan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dapat meningkatkan task commitment ditunjukkan melalui pelaksanaan

Selain itu penambahan bahan pengisi carbon black berfungsi untuk menambah sifat mekanik barang jadi karet dan peningkatan penambahan bahan pengisi akan mempengaruhi