• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Konsumsi Pangan Masyarakat Papua (Studi Kasus di Kampung Tablanusu, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola Konsumsi Pangan Masyarakat Papua (Studi Kasus di Kampung Tablanusu, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua)"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

POLA KONSUMSI PANGAN MASYARAKAT PAPUA

(Studi Kasus di Kampung Tablanusu, Distrik Depapre,

Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua)

YULIA NURADHA KARTOSIANA WASARAKA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

ABSTRACT

YULIA NURADHA KARTOSIANA WASARAKA. Food Consumption Pattern on Papua Society (Case Study at Tablanusu Village, Depapre District, Jayapura Residence, Papua Province). Supervised by Siti Madanijah.

The general objective of this research was to study the food consumption pattern on Papua society. This research used cross-sectional study design, was held at Tablanusu Village, Depapre District, Jayapura Residence, Papua Province from May to June 2011. Total of sample was 48 households which done by sensus survey from number of population (81 households). The result showed that Tablanusu society were common to consume cerealia such as rice (83,1 times/month), tuber such as cassava (9,9 times/month), animal food sources such as aquatic fish (66,8 times/month), plant food sources such as tofu (13,1 times/month), vegetables such as papaya leaves and papaya flower (25,7 times/month), fruits such as banana (10,6 times/month) and dairy product such as skim milk (17,5 times/month). Most of Tablanusu society processed their food by frying, steaming, pan-frying as well as without any cooking process. Most of Tablanusu society acquired their food by purchasing, cultivating and from their environment. There was perception of food taboos among the Tablanusu society. The average consumption of energy and protein on Tablanusu society was 1641±433 kkal and 38,9±12,0 g, respectively. While the average of energy and protein adequacy on Tablanusu society was 75,1±18,1 % and 81±21,5 %, respectively. Most of the subject in Tablanusu society (45,8%) were categorized as clear energy deficient (<70% AKG), whereas most of the subject in Tablanusu society (35,4%) were categorized as clear protein deficient (<70% AKG) and 35,4% as normal. There were no correlation between sosio-economic characteristic and energy and protein adequacy.

(3)

RINGKASAN

YULIA NURADHA KARTOSIANA WASARAKA. Pola Konsumsi Pangan

Masyarakat Papua (Studi Kasus di Kampung Tablanusu, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua). Dibimbing oleh Siti Madanijah.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pola konsumsi pangan masyarakat Papua. Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain : 1) Mempelajari karakteristik keluarga, 2) Mempelajari frekuensi konsumsi menurut kelompok pangan keluarga, 3) Mempelajari cara mengolah dan memperoleh pangan keluarga, 4) Mempelajari pantangan pangan (taboo) keluarga, 5) Mempelajari preferensi pangan keluarga, 6) Mempelajari jenis dan jumlah konsumsi serta tingkat kecukupan gizi keluarga dan individu, dan 7) Menganalisis hubungan antara karakteristik ekonomi dengan tingkat kecukupan gizi keluarga.

Penelitian ini didesain dengan menggunakan metode cross sectional study, yang berlokasi di Kampung Tablanusu, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2011. Total contoh pada penelitian ini adalah 48 keluarga yang diambil secara sensus dari jumlah populasi keluarga yang ada (81 keluarga) berdasarkan kriteria inklusi yaitu : 1) Penduduk asli Papua, 2) Keluarga lengkap atau utuh yang tinggal dalam rumah tangga yang sama yang terdiri dari kepala keluarga (KK), isteri KK, dan anak, serta 3) Bersedia untuk dijadikan contoh.

Rata-rata jumlah anggota keluarga masyarakat Kampung Tablanusu adalah sedang (5,4). Sebagian besar (58,3%) umur KK berkisar antara 30-49 tahun. Begitu pula dengan isteri KK, sebagian besar (62,5%) umur isteri KK berkisar antara 30-49 tahun. Sebagian besar (35,4%) tingkat pendidikan terakhir KK adalah SMA dan sebagian besar (33,3%) tingkat pendidikan terakhir isteri KK adalah tamat SD. Sebagian besar (40,4%) KK bekerja sebagai nelayan dan sebagian besar (77,1%) isteri KK bekerja sebagai ibu rumah tangga. Berdasarkan garis kemiskinan Provinsi Papua tahun 2011, sebagian besar (65,6%) masyarakat Kampung Tablanusu termasuk ke dalam kategori tidak miskin.

Frekuensi konsumsi menurut kelompok pangan serealia, umbi-umbian, pangan hewani, pangan nabati, sayuran, buah-buahan dan susu yang paling sering dikonsumsi oleh masyarakat Kampung Tablanusu masing-masing adalah beras (83,1 kali/bulan), singkong (9,9 kali/bulan), ikan laut (66,8 kali/bulan), tahu (13,1 kali/bulan), daun pepaya dan bunga pepaya (25,7 kali/bulan), pisang (10,6 kali/bulan), dan susu bubuk (17,5 kali/bulan).

Sebagian besar masyarakat Kampung Tablanusu mengolah bahan pangan dengan cara digoreng, direbus, dikukus, ditumis, dan tanpa diolah (tanpa dimasak). Sebagian besar masyarakat Kampung Tablanusu memperoleh kelompok bahan pangan dengan cara pembelian, menanam atau memelihara, dan memperoleh dari alam. Tabu makanan masih berlaku pada masyarakat Kampung Tablanusu, namun jumlahnya sangat sedikit. Beberapa masyarakat Kampung Tablanusu memiliki preferensi terhadap pangan.

(4)

defisit tingkat berat dan normal. Rata-rata asupan energi dan protein individu masyarakat Kampung Tablanusu masing-masing adalah 1616±560 kkal dan 38,2±15,3 g. Sementara itu, rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein individu masyarakat Kampung Tablanusu masing-masing adalah 73,9±20,8 % dan 79,8±27,6 %. Sebagian besar (45,9%) tingkat kecukupan energi individu masyarakat Kampung Tablanusu adalah defisit tingkat berat dan sebagian besar (41,2%) tingkat kecukupan protein individu masyarakat Kampung Tablanusu adalah defisit tingkat berat.

Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson dan Spearman, menunjukkan tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan tingkat pendidikan KK (p>0,05) dan isteri KK (p>0,05), tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan pendapatan per kapita keluarga (p>0,05) dan tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan besar keluarga (p>0,05).

(5)

POLA KONSUMSI PANGAN MASYARAKAT PAPUA

(Studi Kasus di Kampung Tablanusu, Distrik Depapre,

Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua)

YULIA NURADHA KARTOSIANA WASARAKA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(6)

i

Judul : Pola Konsumsi Pangan Masyarakat Papua (Studi Kasus di Kampung Tablanusu, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua)

Nama Mahasiswa : Yulia Nuradha Kartosiana Wasaraka

NRP : I14070064

Menyetujui,

Dosen Pembimbing Skipsi

Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS NIP. 19491130 197603 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP 19621218 198703 1 001

(7)

ii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pola Konsumsi Pangan Masyarakat Papua (Studi Kasus di Kampung Tablanusu, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua)”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan yang diberikan selama penyelesaian skripsi ini.

2. Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc selaku dosen pemandu seminar dan penguji ujian skripsi.

3. Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si selaku dosen pembimbing akademik.

4. Papa, Mama dan adik (Iwan) yang telah memberikan kasih sayang, dukungan dan doa yang tulus.

5. Sahabat yang selalu ada dalam suka dan duka (Merita, Linda Dwi Jayanti, Nurlaely Fitriana, Stephany, Faiz Nur Hanum, Novi Lusiana). 6. Teman seperjuangan (Luminaire), teman satu kelompok Internship

Dietetik, teman KKP, teman pembahas seminar (Erna, Alda, Yunica, dan Sri), Reginer’s (Mair, Deka, Ka Rahme, Ka Meyji, Ka Icha, Ka Rida, Ka Mey, dll), terima kasih atas dukungan dan semangatnya.

7. Mam Eka, kakak Magda, Mba Luki, dan Agusta, terima kasih untuk bantuannya selama penelitian.

8. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih banyak telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat membutuhkan kritik dan saran untuk kesempurnaan penelitian ini.

Bogor, Oktober 2011

(8)

iii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jayapura, Provinsi Papua pada tanggal 14 Juli 1989. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari pasangan Zainal Arifin Wasaraka dan Rukmini.

Riwayat pendidikan penulis dimulai dari Taman Kanak-Kanak Aisiyah tahun 1994. Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Yapis Muhammadiyah tahun 2001. Kemudian penulis melanjutkan ke SMP Negeri 02 Jayapura dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis meneruskan ke SMA Negeri 01 Jayapura dan lulus pada tahun 2007.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selanjutnya diterima di Jurusan Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.

Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti organisasi kemahasiwaan sebagai anggota klub kulinari di Himpunan Mahasiswa Gizi (HIMAGIZI) dan mengikuti organisasi kerohanian islam di Departemen Gizi Masyarakat. Penulis juga mengikuti kegiatan kepanitiaan seperti 2nd ESPENT Fakultas Ekologi Manusia dan seminar nasional “SENZASIONAL” Departemen Gizi Masyarakat.

(9)

iv

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Sosial Ekonomi Keluarga ... 4

Konsumsi Pangan ... 5

Angka Kecukupan Gizi (AKG) ... 8

Kebiasaan Makan ... 8

Pantangan Pangan (Taboo) ... 10

Preferensi Pangan ... 12

KERANGKA PEMIKIRAN ... 14

METODE PENELITIAN ... 17

Desain, Tempat, dan waktu ... 17

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ... 17

Jenis dan Cara Pengambilan Data ... 17

Pengolahan dan Analisis Data ... 19

Definisi Operasional ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

Gambaran Umum Wilayah Penelitian ... 22

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga ... 24

Pola Konsumsi Pangan ... 28

Frekuensi Konsumsi menurut Kelompok Pangan Keluarga ... 32

Cara Mengolah dan Memperoleh Pangan Keluarga ... 36

Pantangan Pangan (Taboo) ... 44

Preferensi Pangan Keluarga ... 46

Konsumsi Pangan Keluarga ... 47

Hubungan Antar Variabel... 56

KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

Kesimpulan ... 58

Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

(10)

v

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengumpulan data ... 18

2 Sebaran orang tua berdasarkan kelompok umur ... 25

3 Sebaran orang tua berdasarkan tingkat pendidikan ... 26

4 Sebaran jenis pekerjaan orang tua ... 27

5 Pendapatan per kapita keluarga ... 28

6 Sebaran keluarga berdasarkan frekuensi konsumsi pangan dalam sehari ... 29

7 Sebaran Keluarga berdasarkan frekuensi makan bersama dalam sehari ... 30

8 Sebaran keluarga berdasarkan anggota keluarga yang menerima prioritas dalam pembagian pangan ... 31

9 Sebaran keluarga berdasarkan kebiasaan sarapan dalam keluarga ... 32

10 Rata-rata frekuensi konsumsi kelompok pangan serealia ... 32

11 Rata-rata frekuensi konsumsi kelompok pangan umbi-umbian ... 33

12 Rata-rata frekuensi konsumsi kelompok pangan hewani ... 34

13 Rata-rata frekuensi konsumsi kelompok pangan nabati ... 34

14 Rata-rata frekuensi konsumsi kelompok pangan sayuran ... 35

15 Rata-rata frekuensi konsumsi kelompok pangan buah-buahan ... 35

16 Rata-rata frekuensi konsumsi kelompok pangan susu ... 36

17 Daftar pangan serealia dan cara mengolah yang diterapkan ... 37

18 Daftar pangan umbi-umbian dan cara mengolah yang diterapkan ... 37

19 Daftar pangan hewani dan cara mengolah yang diterapkan... 38

20 Daftar pangan nabati dan cara mengolah yang diterapkan ... 39

21 Daftar pangan sayuran dan cara mengolah yang diterapkan ... 40

22 Daftar pangan buah-buahan dan cara mengolah yang diterapkan ... 41

23 Sebaran keluarga berdasarkan asal pangan serealia yang dikonsumsi ... 41

24 Sebaran keluarga berdasarkan asal pangan umbi-umbian yang dikonsumsi ... 41

25 Sebaran keluarga berdasarkan asal pangan hewani yang dikonsumsi ... 42

26 Sebaran keluarga berdasarkan asal pangan nabati yang dikonsumsi ... 43

27 Sebaran keluarga berdasarkan asal pangan sayuran yang dikonsumsi ... 43

28 Sebaran keluarga berdasarkan asal pangan buah-buahan yang dikonsumsi ... 44

29 Daftar tabu makanan dan alasannya ... 45

30 Daftar pangan yang disukai oleh masyarakat Kampung Tablanusu ... 46

(11)

vi

32 Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi dan protein ... 49

33 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat kecukupan energi ... 49

34 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat kecukupan protein ... 50

35 Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi dan protein individu ... 50

36 Sebaran individu berdasarkan tingkat kecukupan energi ... 51

37 Sebaran individu berdasarkan tingkat kecukupan protein ... 51

38 Tingkat kecukupan energi berdasarkan jenis kelamin ... 52

39 Tingkat kecukupan protein berdasarkan jenis kelamin ... 53

40 Rata-rata tingkat kecukupan gizi berdasarkan kelompok umur ... 53

41 Tingkat kecukupan energi berdasarkan kelompok umur anak ... 54

42 Tingkat kecukupan energi berdasarkan kelompok umur remaja ... 54

43 Tingkat kecukupan energi berdasarkan kelompok umur dewasa ... 54

44 Tingkat kecukupan protein berdasarkan kelompok umur anak ... 55

45 Tingkat kecukupan protein berdasarkan kelompok umur remaja ... 55

(12)

vii

DAFTAR GAMBAR

1 Model studi preferensi pangan ... 13

2 Bagan kerangka konsep faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan ... 16

3 Cara penarikan contoh ... 17

4 Peta Provinsi Papua ... 22

5 Jenis pangan sagu yang telah diolah menjadi papeda ... 37

6 Jenis pangan talas/keladi yang telah diolah menjadi kue pandey ... 38

7 Jenis ikan laut (bubara) yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Kampung Tablanusu ... 39

(13)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner penelitian ... 64 2 Rata-rata frekuensi konsumsi berdasarkan kelompok pangan ... 72 3 Rata-rata konsumsi pangan per kapita per hari berdasarkan kelompok

(14)

32 Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi dan protein ... 49

33 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat kecukupan energi ... 49

34 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat kecukupan protein ... 50

35 Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi dan protein individu ... 50

36 Sebaran individu berdasarkan tingkat kecukupan energi ... 51

37 Sebaran individu berdasarkan tingkat kecukupan protein ... 51

38 Tingkat kecukupan energi berdasarkan jenis kelamin ... 52

39 Tingkat kecukupan protein berdasarkan jenis kelamin ... 53

40 Rata-rata tingkat kecukupan gizi berdasarkan kelompok umur ... 53

41 Tingkat kecukupan energi berdasarkan kelompok umur anak ... 54

42 Tingkat kecukupan energi berdasarkan kelompok umur remaja ... 54

43 Tingkat kecukupan energi berdasarkan kelompok umur dewasa ... 54

44 Tingkat kecukupan protein berdasarkan kelompok umur anak ... 55

45 Tingkat kecukupan protein berdasarkan kelompok umur remaja ... 55

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan dan gizi memiliki peran yang sangat penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan ditujukan untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat, baik dalam jumlah maupun mutu gizinya. Masalah pangan dan gizi merupakan masalah yang kompleks dan berkaitan antara satu dengan yang lain, serta penyebabnya sangat beragam antar daerah dan waktu. Oleh karena itu, pengkajian mengenai keadaan gizi masyarakat serta faktor-faktor yang mempengaruhinya sangat penting untuk pengembangan program perbaikan pangan dan gizi di masyarakat. Penilaian pola konsumsi pangan merupakan metode yang dapat dilakukan pada kelompok masyarakat di suatu daerah untuk mengetahui keadaan gizi masyarakatnya.

Pola konsumsi pangan merupakan suatu kebiasaan tentang makan dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat sebagai refleksi dari keadaan lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi. Pola makanan masyarakat di Indonesia pada umumnya diwarnai oleh jenis-jenis bahan makanan yang umum dan dapat diproduksi setempat. Misalnya pada masyarakat nelayan di daerah pantai, ikan merupakan makanan sehari-hari yang dipilih karena dapat dihasilkan sendiri. Daerah-daerah pertanian padi, masyarakatnya berpola pangan beras, begitu pula dengan daerah-daerah produksi pangan utama jagung seperti Madura dan Jawa Timur bagian selatan, masyarakatnya berpola pangan pokok jagung. Di wilayah Provinsi Papua, secara umum masyarakatnya berpola pangan sagu sebagai bahan pangan pokok, karena sagu merupakan pangan yang banyak berkembang di daerah tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Suhardjo et al. (1988), jenis dan jumlah pangan dalam pola konsumsi pangan di suatu wilayah biasanya berkembang dari pangan setempat atau pangan yang ditanam di tempat tersebut dalam jangka waktu yang lama atau panjang. Selain faktor lingkungan alam, faktor lingkungan budaya juga dapat mempengaruhi seseorang dalam memilih jenis pangan, pengolahan pangan, dan cara mengonsumsi pangan (termasuk dengan siapa, kapan, dan dimana) (Baliwati et al. 2004).

(16)

wilayah. Hal ini memungkinkan terdapat pula perbedaan dalam pola konsumsi pangan masyarakatnya.

Papua merupakan salah satu provinsi yang terletak di wilayah paling timur Indonesia. Provinsi Papua memiliki keragaman yang tinggi dalam kondisi biofisik seperti iklim, topografi, dan vegetasi (Petocz dan Tucker 1987 diacu dalam Kepas 1990). Keragaman ini juga dijumpai dalam kondisi budaya, adat, kepercayaan, dan bahasa (± 250 bahasa daerah). Mengingat adanya keragaman biofisik dan sosial budaya, sehingga menimbulkan variasi agroekosistem, maka hal ini akan mempengaruhi penyebaran jenis dan produktifitas tanaman pangan di berbagai daerah yang pada akhirnya menimbulkan keragaman pola konsumsi pangan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya di Provinsi Papua (Kepas 1990).

Pola pangan masyarakat Papua pada umumnya berpola pangan pokok sagu. Hal ini karena jenis tanaman pangan sagu banyak berkembang di wilayah tersebut. Jenis tanaman pangan yang diusahakan adalah ubi jalar, ubi kayu, dan keladi. Menurut penelitian Apomfires (2002) yang dilakukan di salah satu kabupaten di Provinsi Papua yaitu Kabupaten Merauke, sagu (bie) merupakan makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat, biasanya diselingi dengan makanan lain seperti pisang, talas, dan nasi yang merupakan makanan yang telah dikenal dan biasa dikonsumsi. Walaupun ada makanan selingan, tetapi sagu tetap diutamakan, karena beberapa orang menyatakan bahwa mengkonsumsi sagu membuat kenyang lebih lama dibandingkan mengonsumsi pisang, nasi, dan talas.

Oleh karena pola konsumsi pangan masyarakat merupakan hasil perpaduan berbagai faktor, di antaranya yaitu faktor lingkungan alam dan budaya masyarakat, maka berdasarkan uraian-uraian di atas, peneliti tertarik untuk mempelajari pola konsumsi dan konsumsi pangan yang berkaitan dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi masyarakat Provinsi Papua.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

(17)

Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain : 1. Mempelajari karakteristik keluarga

2. Mempelajari frekuensi konsumsi menurut kelompok pangan keluarga 3. Mempelajari cara mengolah dan memperoleh pangan keluarga 4. Mempelajari pantangan pangan (taboo) keluarga

5. Mempelajari preferensi pangan keluarga

6. Mempelajari jenis dan jumlah konsumsi pangan serta tingkat kecukupan gizi keluarga dan individu

7. Menganalisis hubungan antara karakteristik ekonomi dengan tingkat kecukupan gizi keluarga

Kegunaan Penelitian

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Sosial Ekonomi Keluarga Besar Keluarga

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sanjur 1982). Sementara itu, menurut Suhardjo (1989) jumlah anggota keluarga mempunyai andil dalam permasalahan gizi. Keluarga yang memiliki anggota keluarga dalam jumlah banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keluarga. Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga yang miskin adalah yang paling rawan terhadap kurang gizi di antara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya terpengaruh oleh kekurangan pangan, sebab semakin besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan relatif lebih banyak daripada anak-anak yang lebih tua.

Pendidikan

Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 2006). Orang yang berpendidikan tinggi juga cenderung memilih makanan yang murah tetapi memiliki kandungan gizi yang tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan gizi dapat terpenuhi dengan baik (Suhardjo 1996).

(19)

Orang yang memiliki pendidikan tinggi cenderung memilih bahan pangan yang lebih baik dalam kuantitas maupun kualitas dibanding dengan orang yang berpendidikan rendah (Hardinsyah 1985 diacu dalam Jaenudin 2010).

Pekerjaan dan Pendapatan

Pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Terdapat hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi yang didorong oleh pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi. Apabila penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk pauk pada umumnya juga meningkat mutunya (Suhardjo 1989). Penduduk dengan tingkat pendapatan yang rendah cenderung memenuhi kebutuhan protein dari bahan makanan nabati, begitu pula sebaliknya, penduduk dengan tingkat pendapatan tinggi, akan memenuhi kebutuhan protein dari bahan makanan hewani. Hal ini karena protein hewani harganya relatif lebih mahal dibanding dengan protein nabati. Dengan kata lain, tingkat pendapatan akan menentukan akses dalam memperoleh ragam bahan makanan yang membentuk suatu pola konsumsi pangan tertentu.

Tingginya tingkat pendapatan cenderung diikuti dengan tingginya jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Tingkat pendapatan akan mencerminkan kemampuan untuk membeli bahan pangan. Secara teoritis terdapat hubungan positif antara pendapatan dengan jumlah permintaan pangan. Makin tinggi pendapatan akan semakin tinggi daya beli keluarga terhadap pangan, sehingga akan membawa pengaruh terhadap semakin beragam dan banyaknya pangan yang dikonsumsi (Soekirman 1994).

Konsumsi Pangan

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan za-zat gizi, kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, gender, berat badan, iklim, dan aktifitas fisik (Almatsier 2002).

(20)

jumlah pangan yang dikonsumsi. Susunan jenis pangan yang dapat dikonsumsi berdasarkan kriteria tertentu disebut pola konsumsi pangan (Martianto 1992).

Pola konsumsi pangan adalah jenis dan frekuensi beragam pangan yang biasa dikonsumsi, biasanya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1996). Sanjur (1982) menyatakan jumlah pangan yang tersedia di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan.

Pengukuran Konsumsi Pangan

Secara umum, tujuan dari survei konsumsi pangan dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan pangan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga, perorangan serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan tersebut, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Survei konsumsi pangan secara kuantitatif akan diketahui jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Survei konsumsi pangan secara kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis pangan yang dikonsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habit) serta cara memperoleh pangan (Suhardjo 1989).

Informasi mengenai konsumsi pangan dapat diperoleh dengan cara survei dan akan menghasilkan data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode-metode pengukuran konsumsi pangan yang bersifat kualitatif antara lain food frequency questionnaire dan dietary history (Baliwati et al. 2004). Selain itu, terdapat pula metode telepon dan metode pendaftaran makanan (food list) (Supariasa et al. 2001). Secara kuantitatif, metode pengumpulan data yang dapat dilakukan antara lain metode recall 24 jam, food records, dan weighing method (Baliwati et al. 2004). Metode ini dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan daftar konversi bahan makanan (DKBM), atau daftar lain yang diperlukan seperti daftar ukuran rumah tangga (URT), daftar konversi mentah masak (DKMM) dan daftar penyerapan minyak (DPM) (Supariasa et al. 2001).

Berikut merupakan penjelasan mengenai metode pengumpulan data secara kuantitatif (metode recall) dan secara kualitatif (metode frekuensi makanan) :

1. Metode recall

(21)

jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Pengukuran konsumsi pangan diawali dengan menanyakan jumlah pangan dalam ukuran rumah tangga, setelah itu dikonversikan dalam ukuran berat (gram). Pada metode ini subjek diminta untuk mengingat semua makanan yang telah dikonsumsi selama 24 jam atau sehari yang lalu. Metode ini menaksir asupan gizi pada individu (Gibson 2005).

Menurut Sediaoetama (2006), Metoda recall biasanya dipergunakan recall tiga hari berturut-turut, yaitu menanyakan semua makanan yang telah dikonsumsi responden selama tiga hari berturut-turut yang baru lalu. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Pewawancara menanyakan dengan lengkap apa yang telah dikonsumsi ketika makan pagi kemarin, makan siang dan makan malam serta makanan kecil di luar waktu makan tersebut, dan makanan lain yang didapat di luar rumah.

Metode ini memiliki kelemahan dalam tingkat ketelitiannya karena keterangan-keterangan yang diperoleh adalah hasil ingatan responden. Kelebihan dari metode ini adalah murah dan sederhana. Metode ini bisa digunakan untuk survei konsumsi keluarga bila semua anggota keluarga diwawancarai atau salah satu anggota keluarga yang mengetahui tentang konsumsi anggota keluarga lainnya, biasanya ibu rumah tangga (Suhardjo 1989). 2. Metode frekuensi makanan (food frequency)

(22)

Angka Kecukupan Gizi (AKG)

Tingkat kecukupan adalah perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein menurut Departemen Kesehatan (1996) adalah (1) Defisit tingkat berat (<70% AKG), (2) Defisit tingkat sedang (70-79% AKG), (3) Defisit tingkat ringan (80-89% AKG), (4) Normal (90-119% AKG), dan (5) Kelebihan (>120% AKG).

Menurut Hardinsyah & D Briawan (1994), untuk menghitung kecukupan gizi seseorang dapat mengacu pada faktor kecukupan gizi, yaitu daftar yang memuat angka-angka kecukupan zat gizi rata-rata per orang per hari bagi orang sehat Indonesia. Angka kecukupan gizi (AKG) tersebut sudah memperhitungkan variasi kebutuhan individu sehingga kecukupan ini setara dengan kebutuhan rata-rata ditambah jumlah tertentu untuk mencapai tingkat aman. AKG dapat digunakan untuk menilai tingkat kecukupan seseorang.

Kebiasaan Makan

Kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makan dan makanan, seperti tata krama makan, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang dimakan, kepercayaan tentang makanan, distribusi makanan di antara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan, cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, sosial, dan budaya (Suhardjo 1989).

Menurut Khumaidi (1989), pada dasarnya ada dua faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan manusia yaitu faktor intrinsik (yang berasal dari dalam diri manusia) antara lain asosiasi emosional, keadaan jasmani dan kejiwaan yang sedang sakit dan penilaian yang lebih terhadap mutu makanan dan faktor ekstrinsik (yang berasal dari luar diri manusia) yang meliputi lingkungan alam, lingkungan budaya dan agama, lingkungan sosial dan lingkungan ekonomi.

Lingkungan Alam

(23)

Daerah-daerah pertanian padi, masyarakatnya berpola pangan beras. Daerah dengan produksi pangan utama jagung seperti Madura dan Jawa Timur bagian selatan, masyarakatnya berpola pangan jagung. Pola pangan pokok menggambarkan salah satu ciri dari kebiasaan makan. Di daerah dengan pola pangan pokok beras biasanya belum puas atau mengatakan belum makan apabila belum makan nasi, meskipun sudah kenyang oleh makanan lain non beras.

Lingkungan Budaya

Setiap masyarakat mengembangkan cara yang turun-temurun untuk mencari, memilih, menangani, menyiapkan, menyajikan, dan cara-cara makan. Adat dan tradisi merupakan dasar dari perilaku tersebut, yang biasanya sekurang-kurangnya dalam beberapa hal berbeda di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Nilai-nilai, sikap dan kepercayaan yang ditentukan budaya, merupakan kerangka kerja dimana cara makan, daya terima terhadap makanan terbentuk, yang dijaga dengan seksama dan diajarkan dengan tekun kepada setiap generasi berikutnya (Suhardjo 1989).

Lingkungan budaya yang berkaitan dengan kebiasaan makan biasanya meliputi nilai-nilai kehidupan rohani dan kewajiban-kewajiban sosial. Budaya menentukan apa yang akan digunakan sebagai makanan, dalam keadaan bagaimana, kapan seseorang boleh atau tidak memakannya, apa saja yang dianggap tabu (pantangan). Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk yang kadang bertentangan dengan prinsip gizi. Berbagai budaya memberikan peran dan nilai yang berbeda-beda terhadap pangan atau makanan, misalnya bahan-bahan makanan tertentu karena alasan-alasan tertentu, sementara itu ada pangan yang dinilai sangat tinggi baik dari segi ekonomi maupun sosial (Suhardjo 1989).

Frekuensi Konsumsi Pangan

(24)

Pembagian Makan dalam keluarga

Secara tradisional, ayah mempunyai prioritas utama atas jumlah dan jenis makanan tertentu dalam keluarga, jika kebiasaan budaya tersebut diterapkan, maka setelah kepala keluarga anak pria dilayani, biasanya dimulai dari yang tertua. Wanita, anak wanita, dan anak yang masih kecil boleh makan bersama anggota keluarga pria, akan tetapi di beberapa lingkungan budaya, mereka makan terpisah pada meja lain atau bahkan setelah anggota pria selesai makan. Pada beberapa kasus, wanita dan anak kecil hanya memperoleh pangan yang disisakan setelah anggota keluarga pria makan. Jika terjadi kekurangan pangan yang parah dalam rumah tangga karena sebab-sebab seperti panceklik, kelaparan, kemiskinan yang khronis atau suatu musibah yang lain, kecukupan gizi anggota keluarga mungkin terganggu. Bayi, anak-anak yang masih muda, dan wanita selama tahun-tahun penyapihan, pengaruh tambahan dari pembagian makanan yang tidak merata dalam unit keluarga, dapat merupakan bencana, baik bagi kesehatan maupun kehidupan (Suhardjo 1989).

Pembagian pangan yang tepat kepada setiap anggota keluarga adalah sangat penting untuk mencapai gizi baik. Pangan harus dibagikan untuk memenuhi kebutuhan gizi setiap orang di dalam keluarga. Anak, wanita yang mengandung dan ibu yang menyusui harus memperoleh sebagian besar pangan yang kaya akan protein. Orang tua memerlukan pangan yang akan membantu memperbaiki jaringan tubuh yang usang dan robek. Semua anggota keluarga sesuai dengan kebutuhan perorangan, harus mendapat bagian energi dan zat makanan yang cukup (Suhardjo 1988).

Pantangan Pangan (Taboo)

(25)

Tabu berasal dari polynesia yang berarti suatu larangan yang ditujukan terhadap mahkluk tertentu atau benda tertentu yang tidak boleh disentuh atau dimakan. Larangan ini biasanya karena tradisi. Banyak faktor yang mendasari tabu makanan, misalnya karena magis, kepercayaan, takut berkomunikasi, kesehatan, dan lain-lain. Masyarakat mengenal bermacam-macam tabu makanan yang diklasifikasikan sebagai berikut (Suhardjo 1989) :

1. Menurut waktu meliputi tabu yang bersifat permanen dan tabu yang bersifat sementara.

2. Menurut besarnya kelompok, tabu dapat dibagi dalam : - Tabu bagi seluruh anggota masyarakat

- Tabu bagi kelompok-kelompok tertentu di dalam sistem kekerabatan - Tabu bagi kelompok profesi sosial

- Tabu berdasarkan kelas sosial - Tabu menurut jenis kelamin

- Tabu bagi individu-individu tertentu

3. Menurut periode-periode di dalam lingkaran hidup, meliputi : - Tabu pada saat hamil

- Tabu pada saat menyapih bayi

- Tabu pada saat sesudah menyapih bayi - Tabu pada saat puber

- Tabu pada saat menderita penyakit

Beberapa jenis bahan makanan dilarang untuk dikonsumsi oleh anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui, ataupun kaum remaja. Jika ditinjau dari konteks gizi, bahan makanan tersebut justru mengandung nilai gizi yang tinggi, tetapi tabu itu tetap dijalankan dengan alasan takut menanggung risiko yang akan timbul. Sehingga masyarakat yang demikian akan mengkonsumsi bahan makanan yang bergizi dalam jumlah yang kurang, dengan demikian maka penyakit kekurangan gizi akan mudah timbul di masyarakat, terutama anak-anak.

Tabu berkenaan dengan makanan banyaknya bersangkutan dengan emosi sehingga tidak mengherankan jika sebagian besar tabu makanan terutama dianut oleh para wanita atau dikenakan pada anak-anak yang masih di bawah perlindungan dan asuhan wanita tersebut. Praktis semua tabu makanan berhubungan dengan status kesehatan (Suhardjo 1989).

(26)

terhadap pangan hewani karena alasan spiritual, yang dalam ajarannya sesama makhluk bernyawa (manusia dan hewan) dilarang saling membunuh bahkan menyakiti.

Preferensi Pangan

Setiap masyarakat mengembangkan cara turun temurun untuk mencari, memilih dan menangani, menyiapkan, menyajikan dan mengkonsumsi makanan yang dihidangkan. Hal ini dimulai dari permulaan hidupnya dan menjadi bagian perilaku yang berakar di antara kelompok penduduk. Bersamaan dengan pangan yang disajikan dan diterima langsung atau tidak langsung anak-anak menerima pula informasi yang berkembang menjadi perasaan, sikap, tingkah laku dan kebiasaan mereka yang berkaitan dengan pangan (Suhardjo 1989). Menurut Pilgrin (1957) diacu dalam Suhardjo (1989), preferensi pangan (food preferences) adalah tindakan atau ukuran suka atau tidak suka seseorang terhadap pangan. Fisiologi, perasaan dan sikap integrasi membentuk preferensi terhadap pangan dan akhirnya membentuk perilaku konsumsi pangan.

Preferensi yang bersifat positif berarti penerimaan terhadap pangan tersebut. Preferensi ini dapat berubah dan dapat dipelajari sejak kecil. Preferensi terhadap pangan bersifat plastis terutama pada orang-orang muda dan akan permanen bila telah memiliki gaya hidup yang kuat (Sanjur 1982).

(27)

Konsumsi Pangan

Preferensi Pangan

Karakteristik pangan Karakteristik Lingkungan

Karakteristik Individu

• Umur • Rasa • Musim

• Jenis kelamin • Rupa • Pekerjaan

• Pendidikan • Tekstur • Mobilitas

• Pendapatan • Harga • Perpindahan

penduduk

• Pengetahuan

gizi

• Tipe makanan

• Bentuk • Tingkat sosial

pada masyarakat

• Keterampilan

memasak

• Bumbu

• Kombinasi

makanan

• Kesehatan

(28)

KERANGKA PEMIKIRAN

Pola konsumsi pangan adalah susunan beragam bahan makanan yang umum dikonsumsi suatu masyarakat. Pola konsumsi pangan masyarakat merupakan refleksi dari ketersediaan pangan daerah tersebut, akses, dan preferensi masyarakat terhadap bahan makanan yang dikonsumsi. Pola konsumsi masyarakat dapat berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lainnya, karena pola yang terbentuk merupakan hasil perpaduan dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Pada dasarnya ada dua faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan yaitu faktor ekstrinsik (yang berasal dari luar diri manusia) dan faktor intrinsik (yang berasal dari dalam diri manusia). Yang termasuk faktor ekstrinsik antara lain lingkungan alam, sosial, budaya, agama, dan ekonomi.

Lingkungan alam dapat mempengaruhi produksi jumlah dan jenis pangan yang tersedia di suatu daerah. Hal ini karena keragaman kondisi biofisik wilayah seperti topografi, iklim, dan curah hujan antar daerah akan menimbulkan variasi agroekosistem, yang akan mempengaruhi penyebaran jumlah dan jenis produktifitas tanaman pangan. Perbedaan produksi jenis dan jumlah pangan di suatu daerah, akan menyebabkan perbedaan pola konsumsi pangan masyarakatnya. Selain faktor lingkungan alam, faktor lingkungan budaya juga dapat mempengaruhi pola konsumsi pangan masyarakat, dimana budaya dapat menentukan apa yang akan digunakan sebagai makanan, dalam keadaan bagaimana, kapan seseorang boleh atau tidak memakannya dan apa saja makanan yang dianggap sebagai pantangan (taboo), serta bagaimana cara mengolah, menyiapkan, dan mengonsumsi makanan tersebut. Adapun yang termasuk faktor intrinsik antara lain faktor asosiasi emosional, keadaan jasmani dan kejiwaan yang sedang sakit dan penilaian yang lebih terhadap mutu makanan.

Preferensi pangan adalah tindakan atau ukuran suka atau tidak suka seseorang terhadap makanan. Fisiologi, perasaan, dan sikap integrasi membentuk preferensi terhadap pangan dan akhirnya membentuk perilaku konsumsi pangan. Diasumsikan bahwa sikap seseorang terhadap makanan, suka ataupun tidak suka akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan.

(29)

cenderung memilih bahan pangan yang lebih baik dalam kuantitas maupun kualitasnya. Pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Seseorang dengan pendapatan keluarga meningkat, penyediaan bahan pangan juga meningkat mutunya. Besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Keluarga yang memiliki anggota keluarga dalam jumlah banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keluarga.

Konsumsi pangan merupakan salah satu faktor yang secara langsung berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi merupakan hasil masukan zat gizi dan pemanfaatannya dalam tubuh. Untuk mencapai status gizi yang baik diperlukan pangan yang mengandung cukup zat gizi, aman untuk dikonsumsi dan dapat memenuhi kebutuhan. Jika konsumsi pangan tercukupi, maka semua kebutuhan energi, protein, dan zat gizinya diharapkan dapat menghasilkan status gizi yang baik dan terhindar dari masalah kesehatan kurang gizi. Sebaliknya, jika zat gizi tidak tercukupi, maka semua kebutuhan energi, protein dan zat gizinya akan menghasilkan status gizi kurang dan rawan terhadap masalah kesehatan kurang gizi. Selain konsumsi pangan, infeksi penyakit dan kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan juga dapat mempengaruhi status gizi seseorang.

(30)

Lingkungan Budaya

Lingkungan Alam

Cara memperoleh pangan

• Topografi

• Cara mengolah pangan

• Curah hujan

• Cara mengonsumsi pangan

• Iklim

(dengan siapa, dimana, dan kapan)

Keterangan :

[image:30.595.36.548.82.759.2]

: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang dianalisis : Hubungan yang tidak dianalisis

Gambar 2 Bagan kerangka konsep faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan

Status gizi

Infeksi Penyakit

• Pantangan pangan (Taboo)

Pelayanan Kesehatan Jumlah dan jenis produksi

pangan

Karakteristik sosial ekonomi

- Pendidikan - Pekerjaan - Pendapatan

- Besar keluarga

- Asosiasi emosional

- Keadaan jasmani dan

kejiwaan yang sedang sakit

- Penilaian yang lebih

terhadap mutu makanan. Tingkat Kecukupan

Energi dan Zat gizi

Preferensi Pangan

(31)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu

Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional study. Penelitian ini merupakan penelitian lapang yang dilakukan di Kampung Tablanusu, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Lokasi penelitian dipilih secara purposive dengan alasan sebagai berikut: 1) Lokasi jauh dari perkotaan, 2) Memiliki kondisi fisik wilayah yang unik yaitu dikelilingi pegunungan, danau dan laut, dan 3) Kemudahan akses. Penelitian ini dilakukan selama satu bulan yaitu pada bulan Mei sampai dengan Juni 2011.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Contoh dalam penelitian ini adalah keluarga yang bertempat tinggal di lokasi penelitian. Pemilihan contoh dilakukan secara sensus yaitu mengambil semua sampel yang sesuai dengan kriteria. Kriteria inklusi contoh yaitu : 1) Penduduk asli Papua, 2) Keluarga lengkap atau utuh yang tinggal dalam rumah tangga yang sama yang terdiri dari kepala keluarga (KK), isteri KK, dan anak, dan 3) Bersedia untuk dijadikan contoh. Responden dalam penelitian ini adalah isteri dari KK atau ibu rumah tangga, karena ibu memiliki peranan dalam mempersiapkan makanan, mulai dari mengatur menu, berbelanja, memasak, meyiapkan atau menghidangkan makanan, dan mendistribusikan makanan (Suhardjo 1989).

Total contoh pada penelitian ini adalah sebanyak 48 keluarga (257 Jiwa) yang diperoleh dari 81 populasi keluarga yang berada di Kampung Tablanusu. Pemilihan contoh diharapkan dapat mewakili populasi dari wilayah tersebut. Cara penarikan contoh disajikan pada Gambar 3.

Populasi Keluarga (81 Keluarga)

Kriteria inklusi

48 Keluarga

Gambar 3 Cara penarikan contoh

Jenis dan Cara Pengambilan Data

(32)

lainnya yang dianggap perlu. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan terlebih dahulu. Data primer meliputi :

1. Data karakteristik sosial ekonomi keluarga (pendidikan terakhir orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga).

2. Data mengenai konsumsi pangan keluarga meliputi jenis pangan dan jumlah konsumsi pangan.

3. Data mengenai pola konsumsi pangan keluarga meliputi frekuensi konsumsi pangan, frekuensi konsumsi menurut kelompok pangan, cara memperoleh pangan, cara mengolah pangan, preferensi pangan (pangan yang disukai), dan pantangan pangan serta alasannya.

Jenis data karakteristik sosial ekonomi contoh diperoleh dengan teknik wawancara dengan menjawab pertanyaan pada kuesioner yang telah disiapkan. Jenis data mengenai konsumsi pangan diperoleh melalui wawancara menggunakan metode recall 1x24 jam. Data yang dikumpulkan yaitu jumlah pangan yang dikonsumsi dan dinyatakan dalam satuan ukuran rumah tangga (URT), seperti nasi (piring), lauk (potong, buah, butir), sayur (mangkuk), buah (buah, iris, biji), dan sebagainya.

[image:32.595.100.516.31.834.2]

Jenis data mengenai frekuensi konsumsi pangan, frekuensi konsumsi menurut kelompok pangan, cara memperoleh, dan mengolah pangan diperoleh melalui wawancara menggunakan food frequency questionnaire (FFQ) konsumsi pangan selama satu bulan terakhir. Data mengenai preferensi pangan dan pantangan pangan (taboo) diperoleh dengan teknik wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan. Data sekunder adalah data tentang keadaan umum geografis dan karakteristik demografi yang diperoleh dari kantor kecamatan lokasi penelitian. Tabel 1 menunjukkan jenis data yang dikumpulkan dan cara pengumpulannya.

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

Variabel Data Jenis Data Cara Pengumpulan Data

Karakteristik sosial ekonomi

• Pendidikan

• Pekerjaan

• Pendapatan

Primer Wawancara

Konsumsi pangan • Jenis pangan

• Jumlah konsumsi

pangan

Primer Recall 1 x 24 jam,

(33)

Variabel Data Jenis Data Cara Pengumpulan Data

Pola konsumsi pangan

• Frekuensi

konsumsi pangan

• Frekuensi

konsumsi menurut kelompok pangan

• Cara memperoleh

pangan

• Cara mengolah

pangan

• Preferensi pangan

• Pantangan pangan

(taboo) dan alasannya

Primer Wawancara dan food

frequency questionnaire (FFQ)

Keadaan umum lokasi penelitian

Sekunder Kantor kecamatan

dan desa

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dari kuesioner diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia dengan menggunakan Microsoft excel 2007 dan Statistical Program for Social Sciences (SPSS) 16.0 for Windows. Pengolahan data yang dilakukan berupa editing, coding, cleaning, dan analisis. Data kualitatif dianalisis secara deskriptif, sedangkan analisis statistik korelasi digunakan untuk menguji hubungan antar variabel.

Pekerjaan orang tua. Data jenis pekerjaan orang tua yang dikategorikan menjadi petani, nelayan, PNS, wirausaha, karyawan swasta, perangkat desa, dan tidak bekerja.

Pendidikan orang tua. Data tingkat pendidikan terakhir orang tua yang dikategorikan menjadi tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, dan perguruan tinggi.

Pendapatan per kapita keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga dan dibagi dengan jumlah anggota keluarga.

(34)

(AKG) yang dianjurkan kemudian dinyatakan dalam persen. Secara umum, tingkat kecukupan energi dan zat gizi dirumuskan sebagai berikut (Hardinsyah & D Briawan 1994) :

Konsumsi energi dan zat gizi aktual

x 100 % Tingkat kecukupan energi dan zat gizi =

AKG yang dianjurkan

Pengukuran tingkat kecukupan energi dan protein keluarga digambarkan kecukupan energi dan protein per kapita per hari. Proses ini dilakukan terpisah untuk setiap keluarga. Untuk mengetahui tingkat kecukupan energi dan protein keluarga dapat digunakan cara seperti di atas, akan tetapi didata dahulu jumlah anggota keluarga beserta umur, jenis kelamin, dan berat badan masing-masing anggota keluarga. Dari data tersebut kemudian dihitung tingkat kecukupan energi dan protein masing-masing individu di dalam keluarga. Kemudian hasil perhitungan dijumlahkan dari masing-masing anggota keluarga. Angka penjumlahan yang didapatkan merupakan angka kecukupan energi dan protein keluarga tersebut(Nasution Amini dan Riyadi 1995).

Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein menurut Departemen Kesehatan (1996) adalah :

(1) Defisit tingkat berat (<70% AKG) (2) Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) (3) Defisit tingkat ringan (80-89% AKG) (4) Normal (90-119% AKG)

(5) Kelebihan (>120% AKG).

Definisi Operasional

Keluarga adalah sekelompok manusia dalam suatu rumah tangga yang terdiri dari KK, isteri KK serta anak dan anggota keluarga lainnya yang hidup dari pengelolaan sumberdaya keluarga yang bersangkutan.

Karakteristik sosial ekonomi adalah karakteristik keluarga yang terdiri dari pendidikan terakhir orang tua, jenis pekerjaan orang tua, pendapatan per kapita keluarga, dan besar keluarga.

(35)

Pendapatan per kapita keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga dan dibagi dengan jumlah anggota keluarga.

Pendidikan orang tua adalah data tingkat pendidikan orang tua yang diolah dengan mengelompokkannya menjadi lima kategori yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, dan perguruan tinggi. Frekuensi konsumsi pangan adalah berapa kali individu mengonsumsi

makanan lengkap dalam waktu sehari.

Frekuensi konsumsi menurut kelompok pangan adalah derajat keseringan mengonsumsi pangan dalam satu bulan terakhir.

Tabu makanan adalah suatu larangan untuk mengkonsumsi suatu jenis pangan tertentu, karena terdapat ancaman bahaya atas hukuman terhadap orang yang melanggarnya.

Preferensi pangan adalah tingkat kesukaan keluarga contoh terhadap jenis pangan tertentu, termasuk pangan yang disukai.

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Wilayah Penelitian Gambaran Umum Provinsi Papua

  Gambar 4 Peta Provinsi Papua

Papua merupakan provinsi yang terletak di wilayah paling timur Indonesia. Provinsi Papua memiliki luas wilayah 317.062 km2 yang membawahi 19 kabupaten dan 1 kota dengan 250 kecamatan. Secara geografis Provinsi Papua terletak pada 130 - 1400 Bujur Timur dan 2025’ Lintang Utara - 90 Lintang Selatan (BPS 2007). Jumlah penduduk di provinsi ini mencapai 1.875.388 Jiwa dengan komposisi 970.299 orang pria dan 905.089 orang wanita. Mayoritas penduduk lokal memiliki pendidikan rendah, hal ini dapat dibaca dari tingginya (52%) jumlah penduduk yang tidak tamat sekolah dasar (Anonim 2009).

Provinsi Papua memiliki keragaman yang tinggi dalam kondisi biofisik seperti iklim, topografi, dan vegetasi (Petocz dan Tucker 1987 diacu dalam Kepas 1990). Keragaman ini juga dijumpai dalam kondisi budaya, adat, kepercayaan, dan bahasa (± 250 bahasa daerah). Wilayah ini memiliki delapan zone ekosistem yaitu rawa pasang surut, rawa air tawar, jalur pantai laut, sabana dan padang rumput, hutan tropik basah, hutan montane bawah, hutan montane atas, dan pegunungan alpin. Wilayah ini memiliki iklim tropik basah, kondisi iklim daerah sangat dipengaruhi oleh topografi yang tidak rata.

(37)

sehingga menghasilkan sistem pertanian yang berbeda. Kebutuhan hidup masyarakat Papua umumnya dipenuhi dari kegiatan bercocok tanam, meramu, peternakan, dan perikanan. Jenis tanaman pangan yang diusahakan adalah ubi jalar, ubi kayu, dan keladi. Di dataran rendah, tanaman tersebut ditumpangsarikan dengan tebu, pisang, jagung, dan sebagainya. Masyarakat pegunungan mengusahakan kentang, bawang merah atau bawang putih, serta sayuran lainnya, seperti yang dilakukan di sekitar Pegunungan Arfak atau di Pegunungan Jayawijaya (Kepas 1990).

Gambaran Umum Kampung Tablanusu, Distrik Depapre

Distrik Depapre adalah salah satu distrik yang berada di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Distrik ini terletak di sebelah utara dari Kabupaten Jayapura dan berbatasan dengan Samudera Pasifik yaitu di sepanjang pesisir pantai dan di bawah gunung Dafonsoro Utara (Cycloop). Daerah ini beriklim tropis, memiliki dua musim yaitu musim kemarau dari bulan April-September dan musim hujan dari bulan Oktober-Maret. Curah hujan rata-rata 2.435 mm/tahun dan jumlah hari hujan tertinggi berkisar 167 hari. Suhu udara rata-rata berkisar antara 20,50-34,40 C. Kondisi topografinya, memiliki wilayah sebagian besar berbukit-bukit dengan kemiringan lereng berkisar 450-750 ke arah utara dan mempunyai dataran atau lembah yang cukup luas. Letak Distrik Depapre di atas permukaan bukit antara 3.200 m di atas permukaan laut.

Luas wilayah Distrik Depapre adalah 187,34 km2 dan secara geografis terletak antara 20,43’-20,43’ lintang selatan dan 1400,24’-1400,41’ bujur timur. Distrik Depapre memiki tujuh kampung yaitu Kampung Kendate, Kampung Entiyebo (Tablanusu), Kampung Waiya, Kampung Tablasupa, Kampung Yepase, Kampung Wambena, dan Kampung Yewena.

(38)

Entiyebo atau Tablanusu merupakan salah satu kampung yang berada di Distrik Depapre, kampung ini memiliki luas wilayah sebesar 230,5 ha dengan ketinggian 5 m dari permukaan laut. Pada sebelah utara, kampung ini berbatasan dengan Lautan Pasifik, sebelah selatan dengan Kampung Maribu, sebelah barat dengan Kampung Kendate dan sebelah timur berbatasan dengan Kampung Waiya. Topografi daerah ini adalah pantai.

Kampung ini memiliki tingkat populasi sebesar 394 Jiwa dengan 81 kepala keluarga. Sebagian besar masyarakat Kampung Tablanusu bekerja sebagai nelayan, dimana pada umumnya masih menggunakan pola penangkapan ikan secara tradisional. Masyarakat masih mencari ikan di laut menggunakan alat-alat yang masih sederhana sehingga hasil tangkapannya belum maksimal. Masyarakat Kampung Tablanusu ada yang bekerja sebagai petani. Jenis tanaman pangan yang dihasilkan adalah cokelat, mangga, durian, langsat, duku, rambutan, nangka, salak, pisang, dimana bibit-bibit tanaman yang dihasilkan tersebut diberikan oleh pemerintah daerah setempat sebagai program pemberdayaan masyarakat.

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga

Jumlah Anggota Keluarga

Rumah tangga adalah sekumpulan orang yang terdiri dari seorang ayah, ibu, anak, dan orang lain atau keluarga yang tinggal di bagian atau keseluruhan bangunan fisik dari suatu rumah dan mengkonsumsi makanan dari satu dapur atau sekelumpulan orang yang tinggal di bawah satu atap dan melakukan aktifitas bersama-sama dengan seluruh anggota rumah tangga (Sukandar 2007).

Menurut Sanjur (1982), jumlah anggota keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan pengeluaran untuk pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga.

(39)

Umur Orang Tua

[image:39.595.78.512.34.829.2]

Responden pada penelitian ini adalah keluarga yang bertempat tinggal di Kampung Tablanusu. Berikut merupakan sebaran orang tua yaitu KK dan isteri KK berdasarkan kelompok umur.

Tabel 2 Sebaran orang tua berdasarkan kelompok umur

Kelompok Umur (tahun) KK Isteri KK

n % n %

19-29 3 6,3 5 10,4

30-49 28 58,3 30 62,5

50-64 12 25,0 10 20,8

≥65 5 10,4 3 6,3

Total 48 100,0 48 100,0

Rata-rata ± SD 47,7 ± 11,4 43,9 ± 10,2

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa persentase terbesar umur KK di Kampung Tablanusu adalah pada kelompok umur 30-49 tahun yaitu sebesar 58,3%, sedangkan persentase umur terendah berada pada kelompok umur 19-29 tahun, yaitu hanya sebesar 6,3%. Rata-rata umur KK adalah 47 tahun. Begitu pula dengan persentase umur terbesar isteri KK yaitu berada pada kelompok umur 30-49 tahun, dengan persentase sebesar 62,5%. Rata-rata umur isteri KK adalah 43 tahun. Kelompok umur tersebut termasuk ke dalam kelompok umur dewasa madya (WKNPG 2004).

Sebagian besar umur responden dalam usia reproduktif, dimana memiliki kecenderungan untuk lebih giat bekerja sehingga bisa menghasilkan pendapatan yang lebih untuk keperluan konsumsi rumah tangga.

Tingkat Pendidikan Orang Tua

Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan, dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 2006).

(40)
[image:40.595.67.512.74.842.2]

Tabel 3 Sebaran orang tua berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat Pendidikan

KK Umur (tahun)

Isteri KK Umur (tahun) n % n %

Tidak sekolah 2 4,2 58,5±6,4 1 2,1 62,0±0

Tidak tamat SD 3 6,3 54,3±10,1 6 12,5 52,3±9,2

Tamat SD 14 29,2 53,8±8,8 16 33,3 46,7±8,4

SMP 7 14,6 48,3±9,5 10 20,8 40,9±8,1

SMA 17 35,4 39,5±9,4 12 25,0 38,1±11,5

Perguruan Tinggi 5 10,4 49,8±14,5 3 6,3 39,7±2,1

Total 48 100,0 47,7 ± 11,4 48 100,0 43,9 ± 10,2

Berdasarkan pada tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa sebagian besar tingkat pendidikan terakhir KK di Kampung Tablanusu adalah SMA dengan persentase sebesar 35,4%, sedangkan hanya sebesar 4,2% KK yang tidak bersekolah. Persentase terbesar untuk tingkat pendidikan isteri KK adalah tamat SD dengan persentase sebesar 33,3%, sedangkan isteri KK yang tidak bersekolah hanya sebesar 2,1%. Rata-rata KK dan isteri KK yang tidak sekolah usianya sudah tua, dengan rata-rata usia masing-masing yaitu 58 dan 62 tahun.

Faktor yang dapat menyebabkan orang tua tidak sekolah atau hanya tamat SD dan tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi adalah faktor kemampuan ekonomi yang rendah dan faktor jauhnya jangkauan transportasi dari kampung ke pusat kota atau tempat pendidikan selanjutnya (SMP dan SMA), minimnya sarana transportasi baik melaui darat maupun laut dan faktor dorongan mental dari orang tua kurang mendukung.

Jenis Pekerjaan Orang Tua

Pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Terdapat hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi yang didorong oleh pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi. Apabila penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk pauk pada umumnya juga meningkat mutunya (Suhardjo 1989).

(41)

Tabel 4 Sebaran jenis pekerjaan orang tua

Jenis pekerjaan KK Isteri KK n % n %

Petani 0 0,0 2 4,2

Nelayan 19 40,4 0 0,0

Petani dan nelayan 11 23,4 0 0,0

PNS 8 17,0 4 8,3

Wirausaha 0 0,0 4 8,3

Perangkat desa 4 8,5 0 0,0

Pensiunan PNS 3 6,4 1 2,1

Ibu Rumah tangga 0 0,0 37 77,1

Karyawan swasta 2 4,3 0 0,0

Total 47 100,0 48 100,0

Berdasarkan tabel di atas, secara umum mayoritas KK bekerja sebagai nelayan dengan persentase sebesar 40,4%. Adapun KK yang bekerja sebagai nelayan merangkap sebagai petani adalah sebesar 23,4%, sedangkan kepala KK yang bekerja sebagai PNS sebesar 17,0%, sisanya bekerja sebagai perangkat desa, pensiunan PNS dan karyawan swasta. Sementara itu, sebagian besar jenis pekerjaan isteri KK adalah sebagai ibu rumah tangga dengan persentase sebesar 77,1%, sisanya bekerja sebagai PNS, wirausaha, petani, dan pensiunan PNS.

Faktor alam yang mendukung sebagai daerah dengan topografi pantai, disertai pendidikan yang rendah yaitu hanya tamat SD (tidak memiliki keahlian khusus) merupakan alasan yang melatarbelakangi sebagian besar KK memilih bekerja sebagai nelayan.

Pendapatan Per Kapita Keluarga

Pendapatan merupakan indikator kesejahteraan ekonomi rumah tangga. Pendapatan juga merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Meningkatnya pendapatan perorangan maka terjadi perubahan-perubahan dalam susunan makanan (Suhardjo 1989).

(42)
[image:42.595.78.508.46.819.2]

Tabel 5 Sebaran pendapatan per kapita per bulan keluarga berdasarkan garis kemiskinan Provinsi Papua

Kategori n %

Miskin (< Rp 262.626/kap/bln) 17 35,4

Tidak miskin (> Rp 262.626/kap/bln) 31 65,6

Total 48 100,0

Rata-rata ± SD Rp 474.499 ± 348.099

Pendapatan per kapita per bulan keluarga berdasarkan garis kemiskinan Provinsi Papua pada masyarakat Kampung Tablanusu sebesar 65,6% dalam kategori tidak miskin dan sebesar 35,4% dalam kategori miskin. Rata-rata pendapatan keluarga masyarakat Kampung Tablanusu adalah sebesar Rp 474.499/kapita/bulan.

Jika dilihat dari jenis pekerjaannya, mayoritas pekerjaan masyarakat Kampung Tablanusu adalah sebagai nelayan yang pendapatannya tidak menentu. Pendapatan tergantung dari jumlah tangkapan ikan yang diperoleh, jika jumlahnya lebih banyak maka pendapatan akan lebih tinggi. Jumlah tangkapan ikan yang diperoleh tergantung pada musimnya, dimana pada musim kemarau jumlah tangkapan ikan lebih banyak dibanding musim hujan. Hal ini disebabkan oleh pada musim kemarau, waktu penangkapan tidak dibatasi oleh faktor cuaca (Junaidi 1997). Profesi selain sebagai nelayan adalah PNS dan karyawan swasta yang pendapatannya lebih konstan.

Pola Konsumsi Pangan

(43)

Frekuensi Konsumsi Pangan Keluarga

[image:43.595.81.513.0.842.2]

Pola konsumsi pangan disini meliputi frekuensi konsumsi pangan di dalam keluarga. Frekuensi makan diukur dalam satuan kali per hari, kali per minggu, dan kali per bulan. Akan tetapi, pada penelitian ini frekuensi konsumsi pangan keluarga diukur dalam satuan kali per hari dengan metode recall dan bertanya langsung kepada responden. Frekuensi konsumsi pangan keluarga masyarakat Kampung Tablanusu dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran responden berdasarkan frekuensi konsumsi pangan dalam sehari

Frekuensi n %

2 25 52,1

3 23 47,9

Total 48 100,0

Frekuensi konsumsi pangan mempengaruhi jumlah asupan makanan bagi individu, dimana hal tersebut dapat berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizi (Sukandar 2007). Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Kampung Tablanusu memiliki frekuensi konsumsi pangan yaitu dua kali dalam sehari dengan persentase sebesar 52,1%.

Keluarga yang memiliki frekuensi konsumsi pangan dua kali dalam sehari, biasanya dilakukan pada siang dan malam hari. Masyarakat Kampung Tablanusu hanya mengkonsumsi makanan selingan seperti roti dan beraneka kue (donat, bakpao, kue sendok), serta didampingi dengan minuman hangat seperti teh, kopi atau susu pada saat sarapan. Hal ini dapat dikarenakan oleh faktor ekonomi dan tidak biasanya sarapan dengan pangan pokok (nasi).

Kebiasaan Makan Bersama Keluarga

Kebiasaan makan bersama dalam keluarga, menurut Tan, et al. (1979) diacu dalam Sukandar (2007) adalah sebuah kebiasaan sangat penting untuk dilakukan karena banyak keuntungan yaitu mereka dapat mengkonsumsi makanan yang sama secara bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga dan setiap anggota keluarga memiliki kesempatan yang sama untuk berkomunikasi satu sama lain.

(44)

dalam sehari, hal ini ditunjukkan dengan persentase frekuensi makan bersama dalam keluarga yaitu sebesar 83,3%. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran keluarga berdasarkan frekuensi makan bersama dalam sehari

Frekuensi n %

0 3 6,3 1 2 4,2

2 40 83,3

3 3 6,3 Total 48 100,0 Sebagian besar masyarakat Kampung Tablanusu menerapkan kebiasaan makan bersama pada pagi dan malam hari, yaitu pada makan pagi (sarapan) dan makan malam, hal ini disebabkan oleh pada siang hari KK tidak berada di rumah karena sedang bekerja, sedangkan anak-anak sedang bersekolah. Kebersamaan merupakan salah satu alasan mengapa masyarakat Kampung Tablanusu memilih untuk menerapkan kebiasaan makan bersama di dalam keluarga.

Prioritas Pangan dalam Keluarga

Secara tradisional, ayah mempunyai prioritas utama atas jumlah dan jenis makanan tertentu dalam keluarga, jika kebiasaan budaya tersebut diterapkan, maka setelah kepala keluarga anak pria dilayani, biasanya dimulai dari yang tertua. Wanita, anak wanita, dan anak yang masih kecil boleh makan bersama anggota keluarga pria, tetapi di beberapa lingkungan budaya, mereka makan terpisah pada meja lain atau bahkan setelah anggota pria selesai makan.

Pembagian pangan yang tepat kepada setiap anggota keluarga adalah sangat penting untuk mencapai gizi baik. Pangan harus dibagikan untuk memenuhi kebutuhan gizi setiap orang di dalam keluarga. Anak, wanita yang mengandung, dan ibu yang menyusui harus memperoleh sebagian besar pangan yang kaya akan protein. Orang tua memerlukan pangan yang akan membantu memperbaiki jaringan tubuh yang usang dan robek. Semua anggota keluarga sesuai dengan kebutuhan perorangan, harus mendapat bagian energi dan zat makanan yang cukup (Suhardjo 1988).

(45)

Tabel 8 menggambarkan pembagian pangan dalam keluarga menurut individu yang diutamakan. Sebesar 75,0% keluarga yang tidak mengutamakan seorang pun untuk mendapatkan prioritas dalam pembagian pangan, sedangkan sebesar 18,8% keluarga yang mengutamakan KK dalam pembagian pangan, sisanya sebesar 4,2% mengutamakan anak, dan sebesar 2,1% mengutamakan KK dan anak.

Tabel 8 Sebaran keluarga berdasarkan anggota keluarga yang menerima prioritas dalam pembagian pangan

Anggota rumah tangga yang mendapat prioritas n %

Tidak seorang pun 36 75,0

Kepala keluarga 9 18,8

Anak 2 4,2

Kepala keluarga dan anak 1 2,1

Total 48 100,0

Kebiasaan Sarapan Keluarga

Sarapan (makan pagi) adalah suatu kegiatan yang penting sebelum melakukan aktifitas fisik pada pagi hari (Khomsan 2005). Menurut beberapa kajian, frekuensi konsumsi pangan yang baik adalah tiga kali dalam sehari. Hal ini karena tidak mungkin seseorang memenuhi kebutuhan gizinya hanya dari satu atau dua kali makan setiap harinya. Waktu makan yang sering ditinggalkan adalah makan pagi (Madanijah 1994).

(46)
[image:46.595.87.514.39.832.2]

Tabel 9 Sebaran keluarga berdasarkan kebiasaan sarapan dalam keluarga

Kebiasaan sarapan

KK Isteri KK Anak n % n % n %

Sering 45 93,8 45 93,8 45 93,8

Jarang 3 6,3 3 6,3 3 6,3

Total 48 100,0 48 100,0 48 100,0

Berdasarkan hasil pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa baik KK, isteri KK, dan anak sering menerapkan kebiasaan sarapan di pagi hari dengan persentase sebesar 93,8%. Sebagian besar masyarakat Kampung Tablanusu menerapkan kebiasaan sarapan dikarenakan agar memiliki tenaga untuk persiapan bekerja. Ada beberapa masyarakat yang mengkonsumsi pangan pokok seperti nasi pada saat sarapan, akan tetapi ada pula masyarakat yang hanya mengkonsumsi roti dan beraneka kue (donat, bakpao, dan kue sendok), serta didampingi dengan minuman hangat seperti teh, kopi, atau susu. Menurut khomsan (2005), jenis makanan untuk sarapan akan lebih baik bila terdiri dari makanan sumber tenaga, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur dalam jumlah yang seimbang dan bila sarapan dengan aneka ragam pangan yang terdiri nasi, sayur atau buah, lauk pauk, dan susu dapat memenuhi kebutuhan akan vitamin dan mineral.

Frekuensi Konsumsi menurut Kelompok Pangan Keluarga

Konsumsi pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor agroekosistem, dimana orang mengkonsumsi pangan tergantung pada apa yang diproduksi di daerah lokalnya (Sukandar 2007). Selain itu, faktor budaya juga dapat mempengaruhi nilai sosial dari setiap jenis pangan yang ada. Berikut merupakan rata-rata frekuensi konsumsi kelompok pangan serealia masyarakat Kampung Tablanusu.

Tabel 10 Rata-rata frekuensi konsumsi kelompok pangan serealia

Jenis serealia Frekuensi konsumsi (kali/bulan)

Rumah tangga yang mengonsumsi pangan

n %

Beras/Nasi 83,1 48 100,0

Mie Instan 13,3 45 93,8

Tepung terigu 10,5 44 91,7

Jagung 4,0 39 81,3

Sagu 17,7 44 91,7 Roti 15,5 44 91,7

(47)

dikonsumsi 17,7 kali per bulan. Hal ini dapat dikarenakan oleh beras lebih mudah diperoleh dibandingkan dengan sagu. Diperlukan tenaga kerja yang cukup banyak dan waktu yang lama dalam memproduksi sagu hingga layak untuk dikonsumsi, sehingga masyarakat lebih memilih untuk mengonsumsi beras yang lebih mudah diperoleh (banyak dijual). Selain itu, beberapa masyarakat Kampung Tablanusu berpendapat bahwa mengkonsumsi beras dapat memberikan rasa kenyang lebih lama dibandingkan dengan mengkonsumsi sagu. Pangan serealia yang jarang dikonsumsi adalah jagung dengan rata-rata frekuensi konsumsi hanya 4,0 kali per bulan.

[image:47.595.83.519.27.833.2]

Berikut merupakan rata-rata frekuensi konsumsi pangan umbi-umbian masyarakat Kampung Tablanusu.

Tabel 11 Rata-rata frekuensi konsumsi kelompok pangan umbi-umbian

Jenis umbi-umbian Frekuensi konsumsi (kali/bulan)

Rumah tangga yang mengonsumsi pangan

n %

Singkong 9,9 47 97,9

Betatas/Ubi jalar 6,5 42 87,5

Kentang 0,5 28 58,3

Talas/keladi 6,7 42 87,5 Jenis pangan umbi-umbian yang sering dikonsumsi adalah singkong

dengan rata-rata frekuensi konsumsi 9,9 kali per bulan. Sementara itu, jenis pangan umbi-umbian yang paling jarang dikonsumsi oleh masyarakat Kampung Tablanusu adalah kentang, dimana rata-rata frekuensi konsumsi kentang hanya 0,5 kali per bulan. Jenis pangan umbi-umbian seperti singkong, ubi jalar, dan talas biasanya dikonsumsi sebagai cemilan atau makanan ringan di sore hari. Jenis pangan tersebut banyak ditanam di pekarangan rumah masyarakat Kampung Tablanusu, sehingga mudah untuk diperoleh tanpa harus mengeluarkan uang untuk membeli. Kentang tidak ditanam di daerah Kampung Tablanusu, biasanya di olah menjadi sayur sop.

(48)
[image:48.595.101.513.130.818.2]

tersedia di pasar. Pangan hewani yang diperjualbelikan di pasar hanya daging ayam, telur, dan ikan, sedangkan daging babi, daging sapi, dan daging kambing tidak tersedia. Masyarakat Kampung Tablanusu mengaku bahwa hanya mengkonsumsi daging babi, daging kambing, dan daging sapi jika diselenggarakan acara kampung di daerahnya.

Tabel 12 Rata-rata frekuensi konsumsi kelompok pangan hewani

Jenis pangan hewani

Frekuensi konsumsi (kali/bulan)

Rumah tangga yang mengonsumsi pangan

n %

Daging sapi 0,1 3 6,3

Daging kambing 0,0 1 2,1

Daging babi 1,1 17 35,4

Daging Ayam 2,2 34 70,8

Telur Ayam 18,4 42 87,5

Ikan air laut 66,8 47 97,9

Ikan air tawar 10,0 35 72,9

Udang 0,6 8 16,7

Kerang/bia 2,6 22 45,8

Cumi 1,7 28 58,3

Ikan Asin 0,0 2 4,2

Kepiting 0,5 8 16,7

Kelompok kacang-kacangan merupakan kelompok pangan yang cukup sering dikonsumsi masyarakat umum, akan tetapi masyarakat Kampung Tablanusu kurang mengkonsumsi kelompok pangan ini. Berdasarkan data pada tabel 16 dapat diketahui bahwa rata-rata frekuensi konsumsi untuk pangan tempe dan tahu masing-masing hanya 10,4 dan 13,1 kali per bulan. Hal ini dikarenakan tahu dan tempe hanya dapat diperoleh di pasar, sedangkan hari pasar di Kampung Tablanusu hanya tiga hari yaitu pada hari selasa, kamis, dan sabtu. Kelompok pangan kacang-kacangan yang paling jarang dikonsumsi adalah kacang kedelai dengan rata-rata frekuensi konsumsi hanya 0,1 kali per bulan.

Tabel 13 Rata-rata frekuensi konsumsi kelompok pangan nabati

Jenis pangan nabati

Frekuensi konsumsi (kali/bulan)

Rumah tangga yang mengonsumsi pangan

n %

Tempe 10,4 42 87,5

Tahu 13,1 42 87,5

Kacang kedelai 0,1 2 4,2

Kacang hijau 1,9 33 68,8

(49)

Tabel 14 menjelaskan frekuensi konsumsi kelompok pangan sayuran. Sayuran merupakan pangan sumber vitamin dan mineral, dimana cukup sering dikonsumsi masyar

Gambar

Gambar 2 Bagan kerangka konsep faktor-faktor yang mempengaruhi pola
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 2 Sebaran orang tua berdasarkan kelompok umur
Tabel 3 Sebaran orang tua berdasarkan tingkat pendidikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PENUMPANG TERHADAP KINERJA ANGKUTAN UMUM ( Studi Kasus Jalur Entrop-Abepura-Padang Bulan, Jayapura-Papua ), Eis Mariana Awek Rumkorem,

Tradisi Peminangan Dengan 1500- 2000 Jenis Barang Di Kalangan Masyarakat Muslim Kokoda (Kasus Di Kalangan Masyarakat Muslim Kokoda Distrik Manoi Sorong, Papua

Banyaknya jenis tanaman pangan yang ditemui, menunjukkan bahwa masyarakat lokal di Distrik Heram telah memanfaatkan pekarangan rumah secara optimal, yaitu dengan menanam

Yohanis Tri Christianto Kora, 2018 ”Studi Perkembangan Kota Serui, Kabupaten kepulauan Yapen, Provinsi Papua”. Dibimbing oleh Batara Surya dan Jufriadi. Tujuan

Banyaknya jenis tanaman pangan yang ditemui, menunjukkan bahwa masyarakat lokal di Distrik Heram telah memanfaatkan pekarangan rumah secara optimal, yaitu dengan menanam

Alasannya karena partispasi masyarakat dapat memberikan masukan kepada pemerintah dalam hal ini Kepala Distrik sebagai pelaksana tugas yang dipercayakan oleh pemeritah

Alasannya karena partispasi masyarakat dapat memberikan masukan kepada pemerintah dalam hal ini Kepala Distrik sebagai pelaksana tugas yang dipercayakan oleh pemeritah

Dampak Sosial Ekonomi Kerusakan Hutan Cycloops Pada Masyarakat di Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura [Hutajulu Halomoan] Tabel 5 Nilai Kerugian Ekonomi Penduduk Tidak Bekerja