• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Kualitas Silase Ransum Komplit Berbahan Dasar Hijauan Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dan Daun Rami (Boehmeria nivea, L. Gaud) pada Silo yang Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Kualitas Silase Ransum Komplit Berbahan Dasar Hijauan Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dan Daun Rami (Boehmeria nivea, L. Gaud) pada Silo yang Berbeda"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

v ABSTRACT

Evaluation Quality of Total Mixed Ration Silage -Elephant Grass (

) and Ramie Leaves ( Gaud) Based- in Two Different Silo

Qitri, N. A., Despal, K. B. Satoto

The aim of this study was to compare the quality of total mixed ration (TMR) silage in two different silo ( study) based on physical characteristics, fermentative, and utilities that were tested in vitro. There were trench silo (T) and plastic container (drum) (D). The quality judged from physical (odor, texture, moisture, color and spoilage), fermentative (pH, DM, VFA, DM degradation, CP, NH3, CP degradation, WSC and fleigh point) and utilities (fermentation and digestion) characteristics of the silage produced. The result showed degree of damaged silage in treatment (T) were higher (9,00%) than treatment (D) (2.59%). Fermentative was known by means of pH value in the treatment (pH < 4.4). Based on the fleigh number (FN), silage produced in T could be classified as a good silage (FN= 74,00 ± 3,92 ) and silage in D could be classified as an excellent silage (FP= 118,78 ± 21,51). Digestibilities test showed that silage T were has 71.06 ± 1.82% DMD, whereas silage D were has 73.401 ± 1.17% DMD. The same pattern also occurred in the observation of OMD. Organic matter digestibility values in treatment T were 71.63 ± 1.67% OMD, while in D were 73,25 ± 1.45% OMD. There were differences of physical and fermentative characteristics silage among the silo types. Silage in drum silo is better than trench silo, but the utilities characteristics of the observations did not show any significant differences. Silage produced on both silo were fermentabel and highly digestable, that support the provision of nutrients for livestock.

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Populasi sapi perah di Indonesia dalam dasawarsa terakhir mengalami peningkatan rata-rata 1,2% per tahun dan untuk produksi susu nasional rata-rata meningkat 3,08% per tahun (BBPTU, 2009). Ada tiga faktor penting yang dapat mendukung peningkatan tersebut, antara lain: penggunaan pakan berkualitas, bibit unggul, dan managemen pemeliharaan yang baik. Pakan berkualitas baik, merupakan salah satu faktor penting yang memiliki peran yang lebih besar dalam mendukung peningkatan tersebut.

Di Indonesia, pakan yang digunakan tidak hanya berasal dari pakan konvensional , tetapi juga berasal dari pakan non konvensional. Salah satu pakan non konvensional yang sedang terus dikaji potensinya sebagai pakan ternak adalah daun rami ( L. Gaud). Hijauan ini berasal dari sisa hasil pemanenan tanaman rami. Setiap tahunnya ada 345ton/ha bobot segar daun rami yang diproduksi, selain itu daun rami mengandung protein kasar yang tinggi (PK rata-rata ≥ 16%) (Despal & Permana, 2008). Upaya integrasi usaha tanaman rami melalui pemanfaatan hasil ikutan daun rami menjadi pakan ternak telah dilaporkan oleh Despal (2007).

(3)

komplit adalah untuk meminimalkan kehilangan bahan organik produk silase yang mungkin akan terjadi selama ensilase, sehingga dalam mekanisme yang terjadi, partikel konsentrat dapat menjadi bahan absorban dan penyedia tambahan substrat untuk bakteri asam laktat ( ) selama ensilase (Despal

., 2011).

Pada pembuatan silase ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, salah satunya adalah pemilihan silo. Silo merupakan tempat penyimpanan pakan (silase). Ada beberapa jenis silo yang dapat digunakan, antara lain: # $

$ $ # $

$ % $ & # &$ dan &

' & (Poathong & Phaikaew, 2001). Di Indonesia, dikarenakan sekitar 80% usaha peternakan sapi perah merupakan usaha sapi perah rakyat (peternak kecil), maka penggunaan silo disesuaikan dengan kebutuhan skala usaha. Namun kajian tentang silo yang sesuai untuk skala usaha sapi perah rakyat masih terbatas, sehingga perlu ada kajian tentang silo yang paling tepat untuk skala usaha sapi perah tersebut.

Tujuan

(4)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Rami L. Gaud)

Tanaman rami adalah tanaman berumpun tahunan yang menghasilkan serat dari kulit kayunya. Tanaman yang diduga berasal dari Cina ini, secara botanis dikenal dengan nama (L) Gaudish. Berikut ini adalah taksonomi tanaman rami:

Kingdom : Plantae – Plants

Subkingdom : Tracheobionta – Vascular plants Superdivision : Spermatophyta – Seed plants Division : Magnoliophyta – Flowering plants Class : Magnoliopsida – Dicotyledons Subclass : Hamamelidideae

Order : Urticales

Family : Urticaceae – Nettle family Genus : Jacq. – false nettle

Species : (L.) Gaudich. – Chinese grass (Kartesz, 2011) Berikut ini adalah gambar tanaman rami (Gambar 1.)

(5)

Daun rami sangat khas dengan letak daunnya yang berselang-seling. Selain itu, daunnya ada yang berbentuk jantung hingga bulat atau oval dengan panjang daun (lamina) sebesar 7,5-20 cm, lebar 5-15 cm, serta cenderung berkerut. Kasar dan halusnya kerutan daun tergantung dari klonnya. Permukaan daun bagian atas berbulu halus hingga kasar, berwarna hijau muda sampai hijau tua, sedangkan daun bagian bawah berwarna putih keperakan. Pinggir daun bergerigi lancip hingga tumpul berwarna seperti warna laminanya (Budi ., 2005).

Tulang daun berwarna hijau muda sampai hijau tua atau merah muda hingga merah tua. Tangkai daun (petiole) berwarna hijau muda hingga hijau tua serta merah muda hingga merah tua. Panjang petiole sekitar 3-12 cm, ada yang lebih pendek dari panjang daun, tetapi ada yang hampir sama dengan panjang daun, tergantung dari macam klonnya. Sudut daun (daun-daun bagian atas) berkisar antara 50°-120° (agak tegak s.d. terkulai). Tanaman rami memiliki sistem perakaran $ karena di samping untuk menyerap nutrisi, di bagian akar juga terdapat rhizoma (rimpang) sebagai alat untuk memperbanyak diri, dan umbi sebagai simpanan cadangan makanan. Rami bisa diperbanyak dengan tiga cara yakni dengan rhizoma, biji, dan stek batang. Namun, umumnya tanaman rami lebih mudah diperbanyak dengan rhizoma, sedangkan perbanyakan dengan biji jarang dilakukan kecuali untuk penelitian (Budi, ., 2005).

Potensi Produksi dan Kandungan Nutrien Daun Rami

Populasi tanaman rami cukup bervariasi (dapat mencapai 40.000 rumpun/ha). Pada setiap kali pemotongan atau panen, hampir 44% dari total biomassa yang dihasilkan adalah daun. Hasil analisis di Balai Penelitian Ternak (2003), kandungan protein kasar daun rami cukup tinggi, berkisar 22-24%.

Kandungan nutrien dan anti nutrien daun rami diperlihatkan pada Tabel 1.

(6)

Tabel 1. Kandungan Nutrien dan Anti Nutrien Daun Rami (dalam % BK)

Komponen Kandungan Nutrien (%)

Despal & Permana (2008) Duarte (1997)

Protein kasar 16,35 21

Sumber : Despal & Permana (2008), Duarte (1997).

Daun bagian atas memiliki serat yang rendah, kaya protein, mineral, lisin dan karoten. Tanaman rami dapat hidup sampai 14 tahun dan menghasilkan sebanyak 300 ton bahan segar (42 ton bahan kering) per hektar setiap tahunnya. Tanaman rami ini cocok untuk semua jenis ternak. Pada unggas, daun rami dapat digunakan sebagai sumber karotenoid dan riboflavin (Franck, 2005).

(7)

pengolahan bahan pakan hijauan (misalnya: dijadikan silase) dapat mengurangi kandungan nitrat pada hijauan tersebut sekitar 30%-70% (Weiss & Shockey, 2000). Pemanfaatan Daun Rami sebagai Pakan Ternak

Penggunaan daun rami sebagai pakan ternak sudah banyak diteliti. Despal (2007) melaporkan bahwa daun rami hingga 50% dalam ransum ternak domba yang disertai dengan suplemen Cu, P, dan metionin dapat mencukupi kebutuhan ternak domba dengan rataan bobot badan 16, 5 Kg. Namun demikian pada ternak tikus (monogastrik), penggunaan daun rami lebih dari 20% dalam ransum dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian. Hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan serat kasar (SK) dan zat anti nutrien dalam tanaman rami (Duarte $1997).

Berbeda dengan ternak monogastrik, ternak ruminansia dapat memanfaatkan serat dan senyawa fenolik dalam jumlah yang lebih besar. Permasalahan penggunaan daun rami dalam jumlah besar pada ransum ternak ruminansia diduga adalah ketidakseimbangan kandungan Ca/P, defisiensi mineral Cu dan asam amino metionin dalam ransum. Suplementasi nutrien defisien seperti Cu, P dan metionin diharapkan dapat meningkatkan penggunaannya (Despal, 2007).

Rumput Gajah ( )

Rumput gajah ( ) adalah tanaman yang dapat

tumbuh di daerah marginal (Gambar 2). Tanaman ini juga dapat hidup pada tanah kritis dimana tanaman lain relatif tidak dapat tumbuh dengan baik (Sanderson and Paul, 2008). Produktivitas rumput gajah adalah 40 ton per hektar berat kering pada daerah beriklim subtropis dan 80 ton per hektar pada daerah beriklim tropis (Woodard and Prine, 1993). Rumput gajah dipilih sebagai pakan ternak karena memiliki produktifitas yang tinggi dan memiliki sifat memperbaiki kondisi tanah. Hal ini karena akar rumput gajah dapat meningkatkan porositas, yang menyebabkan terjadi aerasi yang lebih baik terhadap lahan yang ditanami oleh rumput-rumputan (Handayani, 2002). Berikut adalah klasifikasi dari

:

(8)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) Sub Kelas : Commelinidae

Ordo : Cyperales

Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan) Genus : Pennisetum Rich.

Spesies : (USDA, 2011).

Gambar 2.

Rumput ini biasanya diberikan langsung ( ) sebagai pakan hijauan atau dapat juga dijadikan persediaan pakan melalui proses pengawetan pakan hijauan. Kandungan nutrisi rumput gajah disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Nutrien Rumput Gajah (dalam % BK)

Komponen

Kandungan Nutrien (%)

Hartadi . (1993) Sutardi (1981)*

Abu 10, 1 12,0

Protein Kasar 10, 1 8,69

Lemak Kasar 2, 5 2,71

BETN 46, 1 43,7

Serat Kasar 31, 2 32,3

TDN 59, 0 52,4

(9)

Silase

Teknologi fermentasi merupakan salah satu cara mengawetkan bahan organik dengan kadar air yang tinggi (Sofyan & Febrisiantosa, 2007). Kadar bahan kering yang paling baik untuk hijauan yang akan dibuat silase adalah sekitar 30-45% (Weiss, 1992). Teknologi ini melalui proses ensilase yang akan menghasilkan produk silase. Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk mengawetkan dan mengurangi kehilangan zat makanan suatu hijauan untuk dimanfaatkan pada masa mendatang. Pembuatan silase tidak tergantung musim (Jennings, 2006).

Prinsip dasar pembuatan silase adalah memacu terjadinya kondisi anaerob dan asam dalam waktu singkat. Ada 3 hal paling penting agar diperoleh kondisi tersebut yaitu menghilangkan udara dengan cepat, menghasilkan asam laktat yang membantu menurunkan pH, mencegah masuknya oksigen kedalam silo dan menghambat pertumbuhan jamur selama penyimpanan (Jennings, 2006).

Fermentasi silase dimulai saat oksigen telah habis digunakan oleh sel tanaman. Bakteri menggunakan karbohidrat mudah larut untuk menghasilkan asam laktat dalam menurunkan pH silase. Penurunan pH yang cepat membatasi pemecahan protein dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme anaerob merugikan seperti enterobacteria dan clostridia. Produksi asam laktat yang berlanjut akan menurunkan pH yang dapat menghambat pertumbuhan semua bakteri (Jennings, 2006).

(10)

permeabilitas silo terhadap oksien. Tingkat kehilangan bahan kering dapat diminimalkan, jika silo ditutup dan disegel dengan baik sehingga hanya sedikit sekali aktivitas mikroba yang dapat terjadi pada fase ini, (4) Fase Pengeluaran Silase, fase ini dimulai pada saat silo dibuka, kemudian silase diberikan kepada ternak. Pada fase ini, kontak oksigen dengan silase menjadi sangat tinggi.

Silase Ransum Komplit (Silase Komplit)

Silase ransum komplit adalah silase yang tersusun dari beberapa macam bahan pakan yang telah diformulasikan sesuai kebutuhan ternak, sehingga dalam pemberiannya kepada ternak tidak perlu dicampur dengan bahan lainnya lagi. Menurut Xu ., (2007); Sofyan & Febrisiantosa (2007) apabila bahan pakan berkadar air tinggi diensilase dengan bahan pakan berkadar air rendah menjadi ransum komplit, risiko terbentuknya (cairan yang dihasilkan selama proses ensilase) akan dapat diminimalkan dan waktu untuk mencampur pakan sebelum diberikan kepada ternak akan dapat dihilangkan. Selain itu, aroma dan palatabilitas pakan akan menjadi lebih baik apabila dijadikan sebagai silase ransum komplit

Pembuatan silase komplit dapat dijadikan salah satu cara untuk mengatasi kekurangan pakan di musim kemarau sekaligus memperbaiki kualitas gizi

pakan ternak. Pada kondisi hijauan melimpah di musim penghujan, teknologi yang paling tepat untuk menjaga ketersediaannya di musim kemarau adalah dengan menggunakan teknologi pengawetan melalui proses fermentasi (tidak tergantung oleh sinar matahri). Selain itu juga hijauan yang akan diawetkan dapat dicampur dengan bahan konsentrat,kemudian disimpan selama 4-8 bulan. Persediaan pakan ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan ternak musim kemarau (Sofyan & Febrisiantosa, 2007).

Teknik Pembuatan Silase Ransum Komplit

(11)

konsentrat lainnya. Bahan pakan konsentrat ini, selain untuk memperbaiki kandungan nutrisi dari pakan yang dihasilkan juga berfungsi sebagai substrat penopang proses fermentasi ( ) (Sofyan & Febrisiantosa, 2007). Campuran ransum komplit selanjutnya dimasukkan ke dalam silo, dipadatkan, dan ditutup rapat (anaerob) selama tiga minggu, dan produknya kemudian dinamakan “Silase Ransum Komplit” (Ramli & Ridla, 2008).

Kualitas Silase

Kriteria silase yang baik menurut Deptan (1980) dapat dilihat pada Tabel 3. Saun & Heinrichs (2008) menyatakan bahwa silase yang berkualitas baik, akan berwarna seperti bahan asalnya. Warna silase juga menunjukkan permasalahan yang terjadi selama ensilase.

Tabel 3. Kriteria Penilaian Silase

Kriteria Penilaian

Baik Sekali Baik Sedang Buruk

Jamur Tidak ada Sedikit Lebih banyak Banyak

Bau Asam Asam Kurang asam Busuk

pH 3,2 – 4,5 4,2 – 4,5 4,5 – 4,8 > 4,8

Kadar N-NH3 (%) < 10% 10 – 15% < 20% > 20%

Sumber : Deptan (1980).

Zat Aditif Silase

Kualitas fermentasi silase ditentukan oleh bahan aditif yang digunakan (Lattemae & Tamm, 2005). Zat aditif silase meliputi bahan pakan, urea, amonia, dan inokulan. Fungsi utama zat tersebut adalah untuk meningkatkan nilai gizi silase atau meningkatkan fermentasi sehingga tingkat kerugian selama penyimpanan berkurang.

(12)

untuk menghasilkan silase yang berkualitas baik, namun aditif silase tidak akan menggantikan manajemen pembuatan silase yang baik (Weiss, 1992).

Keputusan untuk menggunakan aditif harus didasarkan pada jenis dan bahan kering dari hijauan, dan jenis hewan yang menjadi target pemberian pakan. Urea dan amonia biasanya bermanfaat untuk silase jagung dengan ekonomi meningkatkan kandungan protein kasar. Penambahan tanaman biji-bijian untuk silase jerami basah akan mengurangi rembesan ( ) dan membantu proses pengeluaran silase. Tetes dapat meningkatkan fermentasi silase jerami tanaman. Inokulan silase memiliki pengaruh yang sangat sedikit pada silase jagung, tetapi dapat meningkatkan laju fermentasi silase jerami untuk tanaman (Weiss, 1992).

Beberapa contoh zat aditif yang biasa digunakan antara lain: jagung halus, pollard, onggok, dan dedak padi. Bahan-bahan ini selain berfungsi sebagai zat aditif, juga dapat menyerap kelebihan air dari hijauan. Kemampuan daya serap karbohidrat ditentukan oleh luas permukaan serap atau ukuran partikelnya, dan keberadaan &$ seperti serat dan lemak (yang dapat menurunkan daya serap air bahan) (Despal ., 2008).

Jagung

(13)

Tabel 4. Kandungan Nutrien Jagung

Dedak padi merupakan sisa penumbukan atau penggilingan padi. Kualitas dedak padi dipengaruhi oleh banyaknya kulit gabah yang tercampur di dalamnya (Parakkasi, 1986). Penggunaan dedak padi sebagai zat aditif silase dengan kandungan WSC (karbohidrat terlalut dalam air sebesar 5,42%) dapat menghasilkan silase berkualitas cukup baik (berdasarkan nilai fleigh) (Despal

., 2011). Kandungan nutrien dedak padi diperlihatkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan Nutrien Dedak Padi

(14)

Pollard merupakan hasil sampingan penggilingan gandum dan mengandung kulit ari gandum yang halus. Pollard yang dihasilkan dari penggilingan gandum berkisar 25 - 26% dari bahan baku (Sofyan, 2000). Pollard merupakan pakan yang populer karena mempunyai kualitas dan palatabilitas yang tinggi sehingga baik diberikan pada ternak yang baru atau setelah lahir dan ternak dara.

Menurut Phang (2001), pollard dapat digunakan untuk meningkatkan kandungan serat dalam pakan. Dari segi kandungan nutrien, pollard adalah bahan pakan sumber energi dengan kandungan serat dan protein yang cukup tinggi, pollard kaya akan phospor (P), ferrum (Fe) tetapi miskin akan kalsium (Ca). Pollard mengandung 1,29% P, tetapi hanya mengandung 0,13% Ca. Bagian terbesar dari P ada dalam bentuk phitin phospor. Pollard tidak mengandung vitamin A atau vitamin lainnya, tetapi kaya akan niacin dan thiamin (Sofyan, 2000). Kandungan nutrien pollard dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan Nutrien Pollard

Sumber : Tatra, 2009; Lukito A. & Prayugo S. 2007; Sutardi, 1981 Keterangan: *) revisi 2010

(15)

penggunaannya sebagai zat aditif silase dapat menghasilkan silase yang berkualitas baik (berdasarkan nilai & ).

Bungkil Kelapa

Bungkil kelapa digolongkan ke dalam bahan pakan sumber protein. Kandungan nutrien bungkil kelapa dapat dilihat pada Tabel 7. Bungkil kelapa ini adalah hasil dari sisa pembuatan dan ekstraksi minyak kelapa yang didapat dari daging kelapa yang telah dikeringkan terlebih dahulu. Bungkil kelapa yang baik mengandung protein kasar yang cukup tinggi, sekitar 18% dan serat kasar sekitar 14% (SNI, 1996). Selain mengandung beberapa nutrisi yang memadai, bungkil kelapa mudah diperoleh dipasaran dan harganya relatif murah (Rasyaf, 2007).

Tabel 7. Kandungan Nutrien Bungkil Kelapa

Komponen Kandungan Nutrien (%)

Tatra DBTNR Sutardi*

Kadar Air (%) 13,35 5,87 11,4

Abu (%) 5,92 5,77 8,2

Protein (%) 17,09 19,44 21,30

Lemak kasar (%) 9,44 15,97 10,90

Serat kasar (%) 30,40 11,38 14,2

WSC (%) - - -

Sumber : Tatra, 2009; Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia, 2010; Sutardi, 1981 Keterangan: *) revisi 2010

Bungkil Kedelai

(16)

adalah metionin dan lisin. Kandungan protein bungkil kedelai yang baik adalah ≥ 46% dan mempunyai kandungan serat kasar sekitar 6,5% (SNI, 1996). Kandungan nutrien bungkil kedelai dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Kandungan Nutrien Bungkil Kedelai

Komponen Kandungan Nutrien (%)

Tatra ditjennak Sutardi

Kadar Air (%) 8,4 8,79 11,9

Abu (%) 5,4 7,06 8,2

Protein (%) 39,6 44,37 46,90

Lemak kasar (%) 14,3 1,90 2,66

Serat kasar (%) 2,8 3,39 5,9

Sumber : Tatra, 2009; Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia, 2010; Sutardi, 1981 Keterangan: *) revisi 2010

Silo

Silo merupakan tempat penyimpanan bahan pakan (misalnya: silase). Ada beberapa jenis silo yang dapat digunakan untuk menyimpan silase, antara lain

# $ $ $

# $ $ % $ & #

&$ dan & ' & (Poathong& Phaikaew, 2001). Setiap jenis silo memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri, sehingga perlu langkah antisipatif agar silase yang dihasilkan berkualitas baik.

Pemilihan silo perlu disesuaikan dengan skala usaha dan kebutuhan peternak, misalnya pada usaha peternakan sapi perah rakyat, diperlukan silo yang biaya penyediaannya yang relatif murah dan membutuhkan sedikit peralatan selama penggunaannya, serta mudah untuk digunakan ketika memasukkan silase dan mengeluarkannya dari silo (Poathong& Phaikaew, 2001).

(17)

(bagian atas) yang tidak rata. Dinding silo terdiri atas batu bata dan semen (FAO, 2011).

FAO (2011) menambahkan bahwa, silo ini termasuk silo permanen yang dipakai untuk produksi silase skala kecil dan menengah. Kelebihan dalam menggunakan silo ini adalah kemudahan dalam memasukkan dan mengeluarkan silase dari silo. Namun, penggunaan silo memerlukan alat tambahan, seperti plastik yang akan digunakan untuk melapisi bagian dasar silo dan untuk menutup silase pada silo. Selain itu, dikarenakan silo ini tidak memiliki penutup khusus, sehingga perlu diperhatikan langkah pencegahan masuknya air ke dalam silo.

(Silo Drum)

Silo drum (drum plastik berpelat) ini berfungsi sebagai silo bergerak. Silo bergerak ini berguna sebagai alat kemas kedap udara yang dapat digunakan untuk memindahkan silase dari suatu tempat ke tempat lainnya. Selain itu, dengan menggunakan kemasan drum plastik ini penyediaan hijauan untuk musim kemarau tidak lagi menjadi masalah (Erowati, 2007).

(18)

Gambar 3. Silo

Gambar 4. Silo Drum

Konsentrasi VFA

(19)

dominasi bakteri dalam silase (Elferink dan Driehuis, 2000).

Menurut McDonald (2002) pakan yang masuk kedalam rumen difermentasi untuk menghasilkan produk utama berupa VFA, sel-sel mikroba, serta gas metan dan CO2. Konsentrasi VFA tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi. Menurut Sutardi (1979) konsentrasi VFA yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal mikroba rumen adalah 80-160 mM.

Amonia

Protein yang masuk ke dalam rumen akan mengalami proteolisis oleh enzim-enzim protease menjadi peptide, kemudian dihidrolisis menjadi asam amino dan secara cepat akan dideaminasi menjadi amonia. Asam amino dan amonia akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba. Proporsi protein yang didegradasi dalam rumen pada umumnya sekitar 70-80% dan untuk protein yang sulit dicerna sekitar 30-40%. Kandungan protein ransum yang tinggi dan mudah didegradasi akan menghasilkan konsentrasi NH3 didalam rumen. Jika degradasi protein lebih cepat daripada sintesis protein mikroba maka amonia akan terakumulasi dan melebihi konsentrasi optimumnya. Amonia optimum dalam rumen berkisar antara 85-300 mg/l atau 6-21 mM (McDonald ., 2002).

(20)

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak Kambing Perah, Laboratorium Industri Pakan, dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah (Fakultas Peternakan, IPB) dari bulan September 2010 sampai April 2011.

Materi Bahan

Bahan pakan penyusun ransum antara lain daun rami yang didatangkan dari Koperasi Pondok Pesantren Darussalam Garut, rumput gajah yang diperoleh dari daerah sekitar Kampus IPB Darmaga, jagung halus, dedak padi, pollard, bungkil kelapa, dan bungkil kedelai. Selain itu ada cairan rumen yang berasal dari sapi PO (Peranakan Ongole) fistula, serta bahan-bahan yang digunakan untuk penentuan kandungan nutrien, analisis fermentabilitas, dan kecernaan dijelaskan lebih lengkap pada prosedur.

Alat

Peralatan yang digunakan pada pembuatan silase antara lain drum plastik bervolume 200 liter, berukuran 1 x 1 x 1 m3, dengan kapasitas sekitar 3500kg dan peralatan yang digunakan untuk pengukuran kandungan nutrien, analisis fermentabilitas dan kecernaan dijelaskan lebih lengkap pada masing-masing prosedur

Prosedur

Pembuatan Silase Ransum Komplit

(21)

digunakan dapat dilihat pada Tabel 9. Kemudian dimasukkan ke dalam

atau drum, serta dilakukan pemadatan lalu ditutup rapat. Proses ensilasi terjadi selama 3 minggu pada suhu ruang secara anaerob. Setelah 3 minggu, silo dibuka, diamati, dan diuji secara . Kandungan nutrisi dari ransum yang disusun, dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Penggunaan Bahan Pakan dan Kandungan Nutrien Silase Ransum Komplit

Bahan Pakan Penggunaan ( ) Zat Nutrien Proporsi (%BK)*

Rumput gajah 58,8% Protein Kasar 19,16%

Daun Rami 24,48% Lemak Kasar 6,36%

Dedak Halus 1,3% Serat Kasar 13,61%

Pollard 3,69% TDN 66,02%

Jagung Halus 5,64% BK 32, 63%

Bungkil Kedelai 2,41% Ca 1,71%

Bungkil Kelapa 3,68% P 0,36%

Keterangan: (*) berdasarkan perhitungan

Pengamatan Karakteristik Fisik

Pengamatan karakteristik fisik dilakukan dengan mendeskripsikan sifat fisik silase, antara lain meliputi warna, aroma, tekstur, menghitung persentase silase yang menggumpal (dengan menghitung bobot silase terkontaminasi jamur) dan tingkat kerusakan silase setelah terjadi proses ensilase (persentase hasil perbandingan silase yang menggumpal dengan bobot silase setelah ensilase).

Pengamatan Karakteristik Fermentatif

(22)

Pembacaan pH dilakukan setelah stabil atau setelah 30 detik. Supernatan dari pengukuran pH akan digunakan untuk pengukuran VFA dan kadar NH3 silase. Pengukuran VFA Silase. Konsentrasi VFA total ditentukan dengan menggunakan teknik destilasi uap (General Laboratory Prosedure, 1966). Pada pengukuran VFA silase, sample yang digunakan berasal dari supernatan hasil pengukuran pH. Larutan sampel tersebut diambil sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam phenolphthalein sebanyak dua tetes, kemudian dititrasi dari berwarna merah muda s am pai menjadi bening. Produksi VFA silase (mM) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Pengukuran NH3 Silase. Pada pengukuran NH3 silase digunakan supernatan pada pengukuran pH sebanyak 1 ml, lalu ditempatkan pada salah satu ujung jalur cawan Conway yang telah diolesi vaselin, kemudian dipipet 1 ml larutan Na2CO3 lalu ditempatkan pada sisi yang bersebelahan dengan sampel, selanjutnya dipipet asam borat berindikator sebanyak 1 ml, lalu ditempatkan di bagian tengah cawan. Setelah itu cawan Conway ditutup rapat dan supernatant + larutan Na2CO3 dicampur hingga rata dengan cara memiringkan posisi cawan conway. Kemudian, disimpan selama 24 jam pada suhu kamar dan setelah 24 jam.

(23)

ml H2SO4 x N H2SO4 x 1000 NH3 (mM)=

g sampel x BKsampel

Pengukuran Bahan Kering Silase. Silase yang telah melalui proses ensilasi selama 3 minggu dikeluarkan dari silo trench dan dari silo drum, lalu ditimbang sebagai berat awal (sebagai a), kemudian dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 60oC selama 3-7 hari kemudian ditimbang sebagai berat kering oven 60oC (sebagai b).

Setelah dikeringkan pada suhu 60oC, sampel digiling sampai halus. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam cawan porselen sebanyak 2-3 gram (sebagai c), lalu dimasukkan ke dalam oven 105o C sampai berat konstan. Setelah kering, silase ditimbang sebagai berat akhir (sebagai d) dan dihitung menggunakan rumus:

Keterangan

a : Berat silase ransum komplit segar b : Berat silase setelah oven 60o C c : Berat sampel sebelum oven 105o C d : Berat sampel setelah oven 105oC

Pengukuran Kehilangan Bahan Kering (BK). Kehilangan bahan kering dihitung dari selisih berat kering bahan awal dengan berat kering bahan yang telah menjadi silase.

Pengukuran Protein Kasar (PK). Pengukuran kadar protein silase menggunakan metode Kjeldahl (1883) dan untuk perhitungan protein kasar menggunakan rumus:

(24)

Pengukuran Kehilangan PK. Pengukuran kehilangan PK dihitung dengan membandingkan antara N amonia setelah ensilase dengan kadar N pada PK bahan awal

Pengukuran WSC . Pengukuran WSC pada

penelitian ini menggunakan Metode Fenol menurut Singleton & Rossi (1965). Silase diambil sebanyak dua gram, lalu ditambahkan aquades yang telah dipanaskan (100WC) sebanyak 20 ml, kemudian campuran tersebut digerus menggunakan mortar selama ± 10 menit, lalu disaring. Sampel yang berbentuk cairan dipipet sebanyak 2 ml dan dimasukan ke dalam tabung reaksi 10 ml, kemudian tambahkan 0,5 ml larutan fenol dihomogenkan dengan menggunakan vortex. Larutan asam sulfat ditambahkan dengan cepat sebanyak 2,5 ml dan divortex. Selanjutnya, larutan dibiarkan sampai dingin dan diukur nilai absorbannya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm.

Perhitungan Nilai Fleigh. Nilai & merupakan indeks karakteristik fermentasi silase berdasarkan nilai BK dan pH dari silase (Idikut ., 2009). Berikut ini adalah kisaran nilai fleigh (NF) dan gambaran kualitas fermentasi silase yang dicapai :

NF = > 85, menyatakan silase berkualitas baik sekali, NF = 60 – 80, menyatakan silase berkualitas baik, NF = 40 – 60, menyatakan silase berkualitas cukup baik, NF = 20 - 40, menyatakan silase berkualitas sedang , NF = <20, menyatakan silase berkualitas kurang baik (Idikut $ 2009). Nilai Fleigh dihitung berdasarkan rumus (Idikut $ 2009), sebagai berikut :

NF = 220 + (2 x BK(%) – 15) - (40 x pH)

Pengamatan Karakteristik Utilitas

(25)

dimasukkan ke dalam tabung fermentor bervolume 50 ml, kemudian ditambahkan 40 ml larutan buffer + , & dan 10 ml cairan rumen lalu diaduk dengan gas CO2 selama 30 detik dan ditutup rapat dengan prop karet yang berventilasi, kemudian diinkubasi selama 6 jam di dalam # bersuhu 39ºC. Setelah inkubasi, ditambahkan 2-3 tetes HgCl2 jenuh ke dalam tabung fermentor untuk menghentikan aktivitas mikroba, kemudian tabung fermentor disentrifuge dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 menit. Kemudian supernatannya ditampung untuk dianalisis kadar NH3 dan VFA. Selanjutnya, NH3 dan VFA rumen dianalisis dengan prosedur yang sama dengan pengukuran NH3 dan VFA silase.

Kecernaan. Pengukuran kecernaan menggunakan metode menurut Tilley & Terry (1963). Tabung fermentor yang telah diisi dengan 0,5 g sampel, ditambahkan 40 ml larutan McDougall, kemudian tabung dimasukan ke dalam #

dengan suhu 39oC . Kemudian tabung tersebut diisi cairan rumen 10 ml. Setelah itu, tabung dikocok dengan cara dialiri CO2 selama 30 detik, pH dicek (6,5 – 6,9) dan ditutup dengan tutup karet berventilasi, lalu di fermentasi selama 48 jam. Setelah 48 jam, tutup karet tabung fermentor dibuka dan diteteskan 2-3 tetes HgCl2 untuk menghentikan aktivitas mikroba. Tabung fermentor dimasukkan ke dalam sentrifuge, lakukan sentrifuge dengan kecepatan 3.000rpm selama 15 menit. Substrat akan terpisah menjadi endapan di bagian bawah dan supernatan yang bening berada di bagian atas. Supernatan dibuang dan endapan hasil sentrifuge pada kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit ditambahkan 50 ml larutan pepsin-HCl 0.2%. Campuran ini lalu diinkubasi kembali selama 48 jam tanpa tutup karet.

(26)

BK sampel(g)-(BK residu(g)-BK blanko(g))

%KCBK = BKsampel x 100%

Sedangkan KCBO dihitung dengan rumus:

BO sampel(g)-(BO residu(g)-BO blanko(g))

%KCBO = BOsampel x 100%

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Perlakuan

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap, dengan 2 taraf perlakuan, masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut :

T : Mengggunakan (350 Kg Silase ransum komplit) D : Menggunakan (100 Kg Silase ransum komplit) Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yij = µ + τi + εij Keterangan:

Yij = Hasil pengamatan pengaruh jenis silo ke-i, ulangan ke-j µ = Rataan umum

τi =Pengaruh jenis silo ke-i

ε

ij = Pengaruh acak pada jenis silo ke-i ulangan ke-j

Analisis Data

Data kualitatif dianalisis secara deskriptif dan data kuantitatif dianalisis menurut metode ANOVA dan uji Duncan menggunakan program perangkat lunak SAS 9. 2.

Parameter Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah :

(27)

2. Karakteristik fermentasi silase, yang meliputi pH (Nauman & Bassler, 1997), kadar bahan kering, kadar protein kasar, kehilangan bahan kering,

perombakan protein, (WSC) (Metode Fenol),

nilai VFA silase & nilai NH3 silase (General Laboratory prosedure, 1966) dan nilai fleigh.

(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Fisik Silase Ransum Komplit

Karakteristik fisik silase diamati setelah silase dibuka. Parameter yang dilihat pada pengamatan ini, antara lain: warna, aroma silase, tekstur (Saun & Heinrichs (2008), perhitungan silase yang menggumpal (terkontaminasi jamur), dan tingkat kerusakan silase ransum komplit setelah tiga minggu dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Silase Ransum komplit

Parameter Perlakuan

T D

Warna Hijau agak kecoklatan Hijau kekuningan

Aroma Asam dan ammonia Asam

Tekstur Lepas dan menggumpal Lepas danada sedikit

menggumpal

Silase menggumpal(Kg) 3,5 0,003

Kerusakan(%) 9,00 2,59

Keterangan: T: silase ransum komplit pada silo , D: silase ransum komplit pada silo Drum

Warna Silase

Pengamatan silase ransum komplit berbasis hijauan rumput gajah dan daun rami pada kedua silo menunjukkan warna yang berbeda, yaitu hijau kekuningan dan hijau agak kecoklatan. Perlakuan D memiliki warna yang lebih mendekati warna asal bahan yaitu: hijau kekuningan,sehingga digolongkan pada silase berkualitas baik sekali, sedangkan perlakuan T memiliki warna hijau agak kecoklatan, sehingga silase yang dihasilkan termasuk silase berkualitas baik.

(29)

pertumbuhan jamur. Besarnya kontaminasi silase oleh jamur dapat dilihat pada Tabel 10. Berikut ini adalah gambar silase ransum komplit pada silo dan silo drum (Gambar 5 & 6).

Gambar 5. Silase pada T1, T2, dan T3

Gambar 6. Silase pada D1, D2, dan D3

Aroma Silase

(30)

. Bakteri ini menyebabkan terjadinya proteolisis dan sebagai salah satu indikator terjadinya proteólisis adalah terbentuknya amonia. Bakteri ini dapat berkembang jika keadaan anaerob terganggu (Saun & Heinrichs, 2008).

Tekstur dan Silase yang Menggumpal

Salah satu karakteristik fisik silase berkualitas baik yakni bertekstur utuh (lepas) (Haustein, 2003). Penilaian parameter tekstur dikaitan dengan parameter jumlah silase yang menggumpal, agar penilaian karakteristik fisik (parameter tekstur) dapat dijelaskan secara kuantitatif.

Pada pengamatan karakteristik parameter tekstur silase, perlakuan D memiliki tekstur dominan lepas dan ada sedikit bagian yang menggumpal sebesar 0,003Kg dari total silase yang disimpan (100Kg). Pada perlakuan T, juga terdapat tekstur yang agak menggumpal dengan proporsi rata-rata sebesar 3,5Kg dari total silase yang disimpan (350Kg) dan bagian silase lainnya memiliki tekstur lepas.

Saun & Heinrichs (2008), menyatakan bahwa terjadinya penggumpalan dan keberadaan lendir disebabkan oleh adanya aktivitas organisme pembusuk. Keadaan ini dapat terjadi, apabila ada udara yang masuk ke dalam silo sehingga aktivitas metabolisme organisme berjalan lagi.

Perlakuan T memiliki jumlah silase yang menggumpal lebih besar daripada perlakuan D. Hal ini menunjukkan bahwa kontaminasi mikroorganisme aerob pembusuk lebih besar pada perlakuan T. Besarnya kontaminasi tersebut dipengaruhi oleh tingginya keadaan anaerob yang terganggu. Perlakuan T memiliki bentuk permukaan silo yang tidak merata yang menyebabkan keadaan anaerob yang ideal agak sulit terjadi.

(31)

Tingkat Kerusakan Silase

Hasil pengamatan terhadap parameter tingkat kerusakan menunjukkan bahwa tingkat kerusakan silase pada perlakuan T lebih tinggi sebesar 9,00% daripada perlakuan D yang hanya 2,59%. Tingginya tingkat kerusakan silase disebabkan oleh adanya organisme pembusuk ( && ) atau jamur yang merusak bagian permukaan silase pada perlakuan. Organisme pembusuk dapat hidup apabila ada udara (Oksigen) yang masuk ke dalam silo, baik karena bentuk permukaan silo, kerenggangan penutup terpal atau karena proses pemapatan yang kurang baik. Secara umum, jenis silo yang berbeda berpengaruh terhadap penilaian parameter karakteristik fisik dari silase ransum komplit. Besar nilai kerusakan kedua perlakuan masih dalam kisaran kerusakan yang dapat ditoleransi, seperti yang dilaporkan Church & Pond (1988) bahwa pada proses ensilasi, besar kerusakan yang dapat ditoleransi akibat pembusukan adalah sekitar 4-12%. Namun, secara ekonomis kerusakan silase akan berdampak kurang baik pada biaya produksi, sehingga perlu dilakukan langkah antisipasi terjadinya kerusakan silase, salah satunya, dengan melakukan pemapatan yang baik dan memastikan silase dalam keadaan tanpa udara.

Karakteristik Fermentatif Silase Ransum Komplit

Hasil pengamatan karakteristik fermentatif silase ransum komplit diperlihatkan pada Table 11. Ada beberapa parameter yang diamati antara lain: kadar bahan kering (%), kehilangan bahan kering (%), VFA (! " ), kadar protein kasar (%), NH3, perombakan protein kasar (%), WSC (

), dan perhitungan Nilai &

Nilai pH Silase

(32)

Besarnya nilai pH ini dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat terlarut (WSC) dalam bahan pakan yang akan digunakan oleh bakteri asam laktat untuk memproduksi asam organik dan dipengaruhi oleh kandungan protein yang mempengaruhi kapasitas buffer silase (Chen & Weinberg, 2008). Apabila kadar WSC bahan awal silase tinggi, maka subrat yang dibutuhkan bakteri asam laktat untuk memproduksi asam organik semakin banyak dan pH asam akan cepat dicapai. Berbeda pengaruhnya jika menggunakan bahan silase dengan kandungan protein kasar yang cukup tinggi, maka pencapaian pH akan menjadi lebih lambat, karena kapasitas buffer silase menjadi lebih besar, sehingga pH menjadi sulit untuk turun (Despal $ 2011). Hal tersebut menjadi salah satu alasan penggunaan bahan hijauan silase yang dikombinasikan dengan bahan aditif lainnya untuk menghasilkan silase ransum komplit yang berkualitas baik. Berikut ini adalah table hasil pengamatan karakteristik fermentatif silase ransum komplit, diperlihatkan pada Tabel 11.

Tabel 11. Hasil Pengamatan Karakteristik Fermentatif Silase Ransum Komplit

Parameter Perlakuan

T D

pH 4,38 ± 0,10 3,60 ± 0,54

Kadar Bahan Kering (%) 22,07b ± 0,46 28,89a ± 1,19

VFA (mM) 8,05 ± 2,72 5,12 ± 2,62

Kehilangan BK (%) 10,56 a ± 0,46 3,74 b ± 1,19

Kadar Protein Kasar (%) 17,24 ± 6,97 19,03 ± 4,82

NH3 (mM) 0,81 ± 0,40 0,84 ± 0,11

Perombakan PK (%) 4,69 ± 0,91 4,56 ± 1,04

WSC (%) 2,20a ± 0,12 1,37b ± 0,08

NF 74,00 ± 3,92 118,78 ± 21,51

(33)

Kadar Bahan Kering (BK), Kehilangan BK , dan Kadar VFA (

! )

Berdasarkan tabel 11. jenis silo yang berbeda berpengaruh nyata pada besarnya nilai bahan kering (BK) yang dihasilkan (P<0,05). Nilai BK yang diperoleh pada perlakuan T sebesar 22,07b ± 0,46% dan pada perlakuan D sebesar 28,89a ± 1,19%. Perbedaan nyata pada kadar bahan kering silase yang dihasilkan akan mempengaruhi perhitungan besarnya kehilangan bahan kering. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan hasil uji sidik ragam pada parameter kehilangan bahan kering, diketahui bahwa jenis silo yang berbeda berpengaruh nyata pada kehilangan BK (P<0,05). Kehilangan BK pada perlakuan T sebesar 10,56 a ± 0,46%, sedangkan pada perlakuan D sebesar 3,74 b ± 1,19 %.

Kadar BK yang dihasilkan pada perlakuan T lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar BK pada perlakuan D. Begitu pula dengan perhitungan kehilangan BK yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk silo dapat mempengaruhi kadar bahan kering silase yang dihasilkan. Perlakuan T memiliki permukaan silo yang lebih luas dan tidak teratur, sehingga memungkinkan terjadinya kontak dengan udara yang lebih besar sehingga proses ensilase terganggu dan terjadi penguraian bahan kering yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan D yang memiliki permukaan silo yang lebih teratur, sehingga proses ensilase di dalam silo berlangsung lebih optimal dan menghasilkan bahan kering silase yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan Saun & Heinrichs (2008) bunker silo dengan bentuk permukaan yang tidak teratur dan tidak merata memiliki peluang lebih luas, kontak dengan oksigen pada bagian permukaan silase, sehingga peningkatan aktivitas metabolisme mikroba lebih besar.

Kadar bahan kering (BK) yang dihasilkan dari silase ransum komplit pada kedua silo juga dipengaruhi oleh BK bahan awal silase. Penambahan sumber karbohidrat dengan bahan kering tinggi, seperti dedak halus, pollard, jagung halus, bungkil kedelai, dan bungkil kelapa, menghasilkan BK bahan awal silase sebesar 32, 63%. Target BK bahan silase ini sudah sesuai dengan rekomendasi Cavallarin

. (2005) yaitu minimal 32%.

(34)

dapat tumbuh dengan baik menghindari pertumbuhan jamur dan mikroba merugikan, menurunkan kehilangan bahan kering (BK), dan protein kasar (PK) selama ensilasi (Nishino ., 2003). Selain itu, semakin tinggi air yang dihasilkan selama ensilase, maka kehilangan BK semakin meningkat. Peningkatan level aditif diduga memacu aktivitas fermentasi sehingga menyebabkan produksi air juga meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan kehilangan BK silase sehingga kandungan BK silase menurun. Selain itu, kehilangan BK juga dapat disebabkan oleh proses respirasi yang terlalu lama. Proses respirasi dapat terus terjadi apabila masih terdapat oksigen (udara).

Banyaknya VFA pada silase menggambarkan indikator perombakan bahan organik (Ørskov & Ryle, 1990). Nilai VFA pada perlakuan T sebesar 8,05 ± 2,72 mM, sedangkan pada perlakuan D sebesar 5,12 ± 2,62 mM. Pada parameter ini, jenis silo yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata pada produksi VFA. Hal ini diperkiran bahwa perombakan bahan kering silase,tidak hanya dihasilkan dalam bentuk VFA silase, namun juga dalam bentuk energi panas yang pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran panas yang hilang selasa ensilase., seperti yang dilaporkan oleh Sidarta ., (2010), bahwa pada proses fermentasi dan respirasi, materi-materi organik dihidrolisis menjadi molekul yang lebih kecil, CO2, H2O, dan energi.

Kadar Protein Kasar (PK), Kadar NH3, dan Perombakan PK

Pada Tabel 11. diketahui bahwa jenis silo yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein kasar silase yang dihasilkan. Kadar protein kasar perlakuan T sebesar 17,24 ± 6,97% dan pada pada perlakuan D sebesar 19,03 ± 4,82%. Kadar protein kasar yang dihasilkan masih sesuai dengan target kadar protein kasar ransum awal (16%), yaitu sebesar 19,16% (%BK).

Kadar NH3 silase diperlihatkan pada tabel 11. Nilai degradasi protein dalam bentuk NH3 pada silase ini juga tidak dipengaruhi oleh jenis silo yang berbeda. Perlakuan T menghasilkan silase dengan kadar NH3 sebesar 0,81 ± 0,40 mM, sedangkan pada perlakuan D sebesar 0,84 ± 0,11 mM.

(35)

indikator perombakan bahan organik protein. Silase dikategorikan berkualitas baik jika degradasi protein kurang dari 4,1% (Zamudio 2009). Tingginya degradasi protein pada kedua silo dapat disebabkan oleh tingginya kadar protein kasar bahan yang diensilasi sehingga menyebabkan kapasitas buffer menjadi tinggi, pH menjadi sulit turun dan membuka peluang lebih besar bagi mikroba perombak protein untuk berkembang.

Kadar WSC ( )

Berdasarkan hasil uji sidik ragam, diketahui bahwa jenis silo yang berbeda memberikan pengaruh nyata pada kadar WSC perlakuan, kadar WSC untuk perlakuan T yaitu 2,20a ± 0,12 dan perlakuan D sebesar 1,37b ±0,08. Nilai WSC pada perlakuan D lebih rendah dibandingkan perlakuan T, hal ini dikarenakan bakteri asam laktat pada perlakuan D lebih banyak menggunakan WSC untuk memproduksi asam organik, sehingga pada pengamatan nilai WSC pada perlakuan D lebih rendah, hal ini dibuktikan juga dengan nilai pH perlakuan D sebesar 3,60 ± 0,54 yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan T sebesar 4,38 ± 0,10. Namun secara umum, nilai WSC pada penelitian ini cukup rendah jika dibandingkan dengan penelitian Despal ., (2011) kadar WSC berkisar pada 3,4% untuk silase beraditif.

Selain itu, hampir seluruh hasil penilaian parameter karakteristik fermentatif silase dipengaruhi oleh alat yang digunakan untuk mengukur kadar bahan kering yaitu oven dengan suhu tinggi (105WC), kecuali pengukuran parameter pH. Penggunaan oven dengan suhu tinggi (105WC) pada saat pengeringan silase, dapat menyebabkan adanya perubahan secara kimiawi dari bahan kering dan protein (Dumont$ ., 2005). Sehingga menyebabkan angka yang diperoleh dari parameter-parameter tersebut lebih rendah dari standar yang ada.

Nilai Fleigh (NF) atau "

(36)

menurut Idikut ., (2009), jika nilai & berada pada nilai (>85) dinyatakan silase yang dihasilkan berkualitas baik sekali, 60 - 80 baik, 40 - 60 cukup baik, 20 - 40 sedang dan kurang baik jika mempunyai NF <20 (Idikut $ 2009). Pada perhitungan NF dengan komponen BK dan pH pada masing-masing perlakuan (dapat dilihat di Tabel 9.), diketahui bahwa silase pada perlakuan T berkualitas baik dan pada perlakuan D berkualitas baik sekali. Berdasarkan NF, silase pada perlakuan T (NF = 74,00 ± 3,92) tergolong berkualitas baik, dan silase pada perlakuan D (NF=118,78 ± 21,51) tergolong berkualitas sangat baik. Nilai & pada perlakuan D melebihi angka 100, .namun nilai & yang melebihi angka 100 juga ditemukan oleh Idikut , (2009). Tingginya nilai & disebabkan oleh tingginya BK silase dan rendahnya nilai pH silase yang dicapai, seperti yang diperlihatkan dari rumus perhitungan NF = 220 + (2 x BK(%) – 15) - (40 x pH).

Karakteristik Utilitas Silase

Berdasarkan pengamatan utilitas silase, diketahui bahwa tidak ada pengaruh nyata dari jenis silo yang berbeda terhadap parameter yang diukur. Karakteristik utilitas silase meliputi penilaian parameter fermentabilitas rumen (nilai VFA dan NH3 cairan rumen) dan koefisien cerna (bahan kering dan bahan organik) secara

yang diperlihatkan pada Tabel 12.

Tabel 12. Hasil Pengamatan Karakteristis Utilitas Silase Ransum Komplit

Parameter Perlakuan

T D

VFA (mM) 201,65 ± 6,99 213,41 ± 30,66

NH3 (mM) 19,25 ± 6,47 18,81 ± 0,72

KCBK (%) 71,06 ± 1,82 73,40 ± 1,17

KCBO (%) 71,62 ± 1,67 73,25 ± 1,45

Kadar VFA ( ! ) dan Kadar NH3

(37)

dan Ryle, 1990). Menurut Saun & Heinrichs (2008) konsentrasi VFA cairan rumen yang mendukung dengan pertumbuhan mikroba lebih besar dari 60 mM.

Penambahan zat aditif pada silase yang mengandung daun rami berpengaruh nyata terhadap produksi VFA rumen (Safarina, 2009). Tetapi, pada Tabel 12. diketahui bahwa jenis silo yang berbeda tidak berpengaruh nyata pada konsentrasi VFA cairan rumen dari kedua perlakuan, didapat konsentrasi VFA pada perlakuan T sebesar 201,65 ± 6,99 mM dan D sebesar 213,41 ± 30,66 mM. Konsentrasi VFA yang dihasilkan pada kedua perlakuan sudah memenuhi kadar minimal VFA dalam rumen (>60mM) (Saun & Heinrichs, 2008), maka dapat dikatakan bahwa silase ransum komplit dari kedua silo tersebut tergolong pakan yang baik untuk menyediakan VFA bagi mikroba rumen. Saun & Heinrichs (2008) menambahkan bahwa VFA yang dihasilkan akan sangat bervariasi, dipengaruhi oleh populasi bakteri, spesies tanaman, bahan kering saat panen, respirasi tanaman, cuaca, dan yang paling penting adalah WSC selama penyimpanan. Kadar NH3. Kadar NH3 (Amonia) terbentuk dari proses deaminasi asam-asam amino dari metabolisme protein dan merupakan prekursor pembentukan protein mikroba (McDonald ., 2002). Amonia optimum dalam rumen berkisar antara 85-300 mg/l atau 6-21 mM (McDonald ., 2002). Berdasarkan pengamatan utilitas, NH3 (Amonia) rumen yang dihasilkan pada perlakuan T yaitu 19,25 ± 6,47 mM, sedangkan D yaitu 18,81 ± 0,72 mM. Nilai NH3 pada kedua jenis silo masih pada kisaran optimum kadar NH3 dalam rumen. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas silase pada kedua perlakuan bernilai baik untuk menghasilkan NH3.

Koefisien Cerna Bahan Kering dan Bahan Organik ( KCBK dan KCBO )

(38)

ini disebabkan oleh bentuk silo perlakuan D lebih efisien dalam menghasilkan silase yang berkualitas baik.

Nilai kecernaan Silase ransum komplit yang dihasilkan pada penelitian ini lebih rendah dari pada nilai kecernaan bahan organik silase daun rami beraditif jagung (73,6%) (Despal ., 2011). Nilai yang lebih rendah ini dapat disebabkan oleh perbedaan komposisi nutrisi bahan awal yang dipakai untuk membuat silase dan jenis rumen yang dipakai. Hal tersebut dapat mempengaruhi kecernaan bahan organik dalam rumen. Hal ini sesuai dengan apa yang dilaporkan oleh Tillman

(39)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Perbedaan terdapat pada hasil penilaian karakteristik fisik silase dan fermentatif silase ransum komplit yang ditempatkan pada drum silo dan

Silo drum memiliki tingkat kerusakan silase yang lebih rendah (2,59%) jika dibandingkan perlakuan T (9,00%). Selain itu, silase yang dihasilkan pada

silo memiliki nilai & sebesar 74,00 ± 3,92, sehingga tergolong silase berkualitas baik, dan silase pada silo drum memiliki nilai & sebesar 118,78 ± 21,51, sehingga tergolong silase berkualitas sangat baik. Namun, pada pengamatan karakteristik utilitas tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan diantara kedua perlakuan. Nilai koefisien cerna bahan kering silase pada silo sebesar 71,06 ± 1,82% dan pada silo drum sebesar 73,40 ± 1,17%. Nilai koefisien cerna bahan organik silase pada silo sebesar 71,62 ± 1,67%, sedangkan pada silo drum sebesar 73, 25 ± 1,45%. Silase yang dihasilkan dari kedua silo tergolong pada silase yang fermentabel dan memiliki kecernaan yang baik, sehingga dapat mendukung penyediaan nutrisi bagi ternak.

Saran

(40)

EVALUASI KUALITAS SILASE RANSUM KOMPLIT

BER-BAHAN DASAR HIJAUAN RUMPUT GAJAH

(

) DAN DAUN RAMI

(

, L. GAUD) PADA

SILO YANG BERBEDA

SKRIPSI

NUNU AINUL QITRI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(41)

EVALUASI KUALITAS SILASE RANSUM KOMPLIT

BER-BAHAN DASAR HIJAUAN RUMPUT GAJAH

(

) DAN DAUN RAMI

(

, L. GAUD) PADA

SILO YANG BERBEDA

SKRIPSI

NUNU AINUL QITRI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(42)

i

EVALUASI KUALITAS SILASE RANSUM KOMPLIT

BER-BAHAN DASAR HIJAUAN RUMPUT GAJAH

(

) DAN DAUN RAMI

(

, L. GAUD) PADA

SILO YANG BERBEDA

NUNU AINUL QITRI D24070204

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(43)

ii Judul Skripsi : Evaluasi Kualitas Silase Ransum Komplit Berbahan Dasar

Hijauan Rumput Gajah ( ) dan Daun

Rami ( , L. Gaud) pada Silo yang Berbeda Nama : Nunu Ainul QItri

NIM : D24070204

Menyetujui:

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Dr. Despal, S.Pt, M.Sc.Agr.) (Ir. Kukuh Budi Satoto, MS.) NIP. 19701217 199601 2 001 NIP. 19490118 197603 1 001

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan,

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr.) NIP. 19670506 199103 1 001

(44)

iii RINGKASAN

NUNU AINUL QITRI. D24070204. 2011. Evaluasi Kualitas Silase Ransum Komplit Berbahan Dasar Hijauan Rumput Gajah ( ) dan Daun Rami ( , L. Gaud) pada Silo yang Berbeda.Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Despal, S.Pt, M.Sc. Agr Pembimbing Anggota : Ir.Kukuh Budi Satoto, MS.

Peningkatan produktivitas di bidang peternakan perlu didukung oleh berbagai faktor, salah satunya adalah penggunaan pakan berkualitas. Pakan berkualitas juga dapat diperoleh dari pakan non konvensional, seperti daun rami ( L. GAUD). Hijauan ini berasal dari sisa hasil pemanenan tanaman rami dan mengandung protein kasar yang tinggi (PK ≥ 16%). Pemanfaatan daun rami menjadi bahan baku pakan sapi perah harian dapat dilakukan melalui teknologi fermentasi menjadi silase ransum komplit. Bentuk penyediaan pakan komplit ini dinilai lebih efektif dan efisien. Pada pembuatan silase ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, salah satunya adalah tempat penyimpanan silase (silo). Penggunaan silo perlu disesuaikan dengan skala usaha, misalnya di Indonesia, dikarenakan sekitar 80% usaha peternakan sapi perah lokal merupakan usaha sapi perah rakyat (peternak kecil), sehingga diperlukan silo untuk skala usaha yang relatif kecil. Namun kajian tentang silo yang sesuai untuk skala ini, masih terbatas.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kualitas pakan silase ransum komplit dari jenis silo yang berbeda berdasarkan karakteristik fisik, fermentatif, dan utilitas yang diuji secara . Ada dua jenis silo yang digunakan sebagai perlakuan dalam penelitian ini, yaitu silo (T) dan drum (D). Parameter yang diamati, antara lain: karakteristik fisik (uji Organoleptik), karakteristik fermentatif (pengukuran pH, kadar bahan kering (BK),

(VFA), kehilangan BK, kadar protein kasar (PK), kadar Amonia (NH3), perombakan PK, WSC ( ), dan nilai fleigh (NF), dan karakteristik utilitas (fermentabilitas rumen yang meliputi VFA dan NH3 rumen dan kecernaan

(45)

iv ditempatkan pada silo dan silo drum, diperoleh penilaian yang berbeda Silase pada silo drum lebih baik daripada silase pada silo . Namun, dari pengamatan karakteristik utilitas tidak diperoleh perbedaan yang signifikan. Silase yang dihasilkan pada kedua silo tergolong pada pakan yang fermentabel dan memiliki kecernaan yang tinggi, sehingga dapat mendukung penyediaan nutrisi bagi ternak.

(46)

v ABSTRACT

Evaluation Quality of Total Mixed Ration Silage -Elephant Grass (

) and Ramie Leaves ( Gaud) Based- in Two Different Silo

Qitri, N. A., Despal, K. B. Satoto

The aim of this study was to compare the quality of total mixed ration (TMR) silage in two different silo ( study) based on physical characteristics, fermentative, and utilities that were tested in vitro. There were trench silo (T) and plastic container (drum) (D). The quality judged from physical (odor, texture, moisture, color and spoilage), fermentative (pH, DM, VFA, DM degradation, CP, NH3, CP degradation, WSC and fleigh point) and utilities (fermentation and digestion) characteristics of the silage produced. The result showed degree of damaged silage in treatment (T) were higher (9,00%) than treatment (D) (2.59%). Fermentative was known by means of pH value in the treatment (pH < 4.4). Based on the fleigh number (FN), silage produced in T could be classified as a good silage (FN= 74,00 ± 3,92 ) and silage in D could be classified as an excellent silage (FP= 118,78 ± 21,51). Digestibilities test showed that silage T were has 71.06 ± 1.82% DMD, whereas silage D were has 73.401 ± 1.17% DMD. The same pattern also occurred in the observation of OMD. Organic matter digestibility values in treatment T were 71.63 ± 1.67% OMD, while in D were 73,25 ± 1.45% OMD. There were differences of physical and fermentative characteristics silage among the silo types. Silage in drum silo is better than trench silo, but the utilities characteristics of the observations did not show any significant differences. Silage produced on both silo were fermentabel and highly digestable, that support the provision of nutrients for livestock.

(47)

vi RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Juni 1989 di Jakarta Barat, DKI Jakarta. Penulis adalah anak ketiga dari lima bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak Ahmad Ghozali (alm) dan Ibu Hariroh. Pada tahun 1994 penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-Kanak Muslimat Jakarta Barat. Pada tahun 1995 sampai tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar Negeri 01 Pagi Semanan, Jakarta Barat. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2001 dan diselesaikan pada tahun 2004. Di Madrasah Tsanawiyah Negeri 8 Jakarta Barat. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri 33 Jakarta Barat pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (INTP), Fakultas Peternakan pada tahun 2008. Sejak masuk fakultas, penulis mendapat beberapa penghargaan atas prestasi di bidang akademik, yaitu sebagai mahasiswa berprestasi Departemen INTP pada tahun 2008, 2009, dan 2010 bersama beberapa teman lainnya. Selain itu juga, Penulis aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan di IPB. Sejak tingkat pertama, penulis aktif berorganisasi sebagai Staf Pengembangan Sumber Daya Manusia, Ikatan Keluarga Mahasiswa Muslim Tingkat Persiapan Bersama IPB (IKMT IPB) periode 2007-2008. Selanjutnya memasuki tingkat fakultas pada tahun 2008-2009, penulis aktif berorganisasi di tingkat Perguruan tinggi, sebagai Sekretaris Badan Pekerja Majelis Wali Amanat, Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB. Selain itu, penulis aktif berorganisasi sebagai Ketua Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Peternakan IPB pada periode 2008-2009 dan pada periode berikutnya (2009-2010).

(48)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas kasih sayang dan cahaya ilmu-Nya. Shalawat dan salam penulis hanturkan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Evaluasi Kualitas Silase Ransum Komplit Berbahan Dasar Hijauan Rumput Gajah ( ) dan Daun Rami ( , L. Gaud) pada Silo yang Berbeda. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana peternakan.

Skripsi ini ditulis berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada bulan September 2010 sampai April 2011 bertempat di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Tujuan penelitian ini adalah membandingkan kualitas pakan silase ransum komplit dari jenis silo yang berbeda berdasarkan karakteristik fisik, fermentatif, dan utilitas yang diuji secara . Tulisan di dalamnya berisi informasi tentang kualitas silase yang simpan di silo untuk skala kecil dan informasi tambahan tentang modifikasi penyediaan pakan non konvensional.

Penulis menyadari bahwa tidak ada gading yang tidak retak, begitu juga pada skripsi ini yang mungkin masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, November 2011

(49)
(50)

Pengamatan Karakteristik Fisik ... 19 Pengamatan Karakteristik Fermentatif ... 19 Pengukuran pH ... 19 Pengamatan Karakteristik Utilitas ... 22 Fermentabilitas Pakan dalam Rumen ... 22 Karakteristik Fisik Silase Ransum Komplit ... 26 Warna Silase ... 26 Aroma Silase ... 27 Tekstur dan Silase yang Menggumpal ... 28 Tingkat Kerusakan Silase ... 29 Karakteristik Fermentatif Silase Ransum Komplit ... 29 Nilai pH Silase ... 29 Kadar Bahan Kering (BK), Kehilangan BK , dan Kadar VFA

(51)

DAFTAR TABEL Nomor

1. Kandungan Zat Nutrien dan Anti Nutrien Daun Rami …………... 5 2. Kandungan Nutrien Rumput Gajah …………...…………... 7 3. Kriteria Penilaian Silase ……….…………... 10

4. Kandungan Nutrien Jagung ………. 11

5. Kandungan Nutrien Dedak Padi ………... 12

6. Kandungan Nutrien Pollard ………. 13

7. Kandungan Nutrien Bungkil Kelapa ………..…... 14 8. Kandungan Nutrien Bungkil Kedelai ………... 14 9. Penggunaan Bahan Pakan dan Kandungan Nutrien Silase Ransum

Komplit ………... 19 10 Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Silase ………....………….. 26 11 Hasil Pengamatan Karakteristik Fermentatif Silase ……… 30 12 Hasil Pengamatan Karakteristik Utilitas Silase ………. 34

(52)

DAFTAR GAMBAR Nomor

1. Tanaman Rami ... 3 2. ... 7 3. Bentuk ... 16 4. Silo Drum ... 16 5. Silase pada ... 27 6. Silase pada Silo Drum ... 27

(53)

DAFTAR LAMPIRAN Nomor

1. Hasil Sidik Ragam (Anova) dan Uji Duncan pH …………... 46 2. Hasil Sidik Ragam (Anova) dan Uji Duncan BK ………... 46 3. Hasil Sidik Ragam (Anova) dan Uji Duncan VFA ………... 47 4. Hasil Sidik Ragam (Anova) dan Uji Duncan Kehilangan BK …….. 47 5. Hasil Sidik Ragam (Anova) dan Uji Duncan PK …………... 48 6. Hasil Sidik Ragam (Anova) dan Uji Duncan NH3 ………... 48 7. Hasil Sidik Ragam (Anova) dan Uji Duncan Perombakan PK ... 49 8. Hasil Sidik Ragam (Anova) dan Uji Duncan WSC ……….. 49 9. Hasil Sidik Ragam (Anova) dan Uji Duncan NF ………... 50 10. Hasil Sidik Ragam (Anova) dan Uji Duncan VFA Rumen ……….. 50 11. Hasil Sidik Ragam (Anova) dan Uji Duncan NH3 Rumen ………... 51 12. Hasil Sidik Ragam (Anova) dan Uji Duncan KCBK ……... 51 13. Hasil Sidik Ragam (Anova) dan Uji Duncan KCBO ……... 52

(54)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Populasi sapi perah di Indonesia dalam dasawarsa terakhir mengalami peningkatan rata-rata 1,2% per tahun dan untuk produksi susu nasional rata-rata meningkat 3,08% per tahun (BBPTU, 2009). Ada tiga faktor penting yang dapat mendukung peningkatan tersebut, antara lain: penggunaan pakan berkualitas, bibit unggul, dan managemen pemeliharaan yang baik. Pakan berkualitas baik, merupakan salah satu faktor penting yang memiliki peran yang lebih besar dalam mendukung peningkatan tersebut.

Di Indonesia, pakan yang digunakan tidak hanya berasal dari pakan konvensional , tetapi juga berasal dari pakan non konvensional. Salah satu pakan non konvensional yang sedang terus dikaji potensinya sebagai pakan ternak adalah daun rami ( L. Gaud). Hijauan ini berasal dari sisa hasil pemanenan tanaman rami. Setiap tahunnya ada 345ton/ha bobot segar daun rami yang diproduksi, selain itu daun rami mengandung protein kasar yang tinggi (PK rata-rata ≥ 16%) (Despal & Permana, 2008). Upaya integrasi usaha tanaman rami melalui pemanfaatan hasil ikutan daun rami menjadi pakan ternak telah dilaporkan oleh Despal (2007).

(55)

komplit adalah untuk meminimalkan kehilangan bahan organik produk silase yang mungkin akan terjadi selama ensilase, sehingga dalam mekanisme yang terjadi, partikel konsentrat dapat menjadi bahan absorban dan penyedia tambahan substrat untuk bakteri asam laktat ( ) selama ensilase (Despal

., 2011).

Pada pembuatan silase ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, salah satunya adalah pemilihan silo. Silo merupakan tempat penyimpanan pakan (silase). Ada beberapa jenis silo yang dapat digunakan, antara lain: # $

$ $ # $

$ % $ & # &$ dan &

' & (Poathong & Phaikaew, 2001). Di Indonesia, dikarenakan sekitar 80% usaha peternakan sapi perah merupakan usaha sapi perah rakyat (peternak kecil), maka penggunaan silo disesuaikan dengan kebutuhan skala usaha. Namun kajian tentang silo yang sesuai untuk skala usaha sapi perah rakyat masih terbatas, sehingga perlu ada kajian tentang silo yang paling tepat untuk skala usaha sapi perah tersebut.

Tujuan

(56)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Rami L. Gaud)

Tanaman rami adalah tanaman berumpun tahunan yang menghasilkan serat dari kulit kayunya. Tanaman yang diduga berasal dari Cina ini, secara botanis dikenal dengan nama (L) Gaudish. Berikut ini adalah taksonomi tanaman rami:

Kingdom : Plantae – Plants

Subkingdom : Tracheobionta – Vascular plants Superdivision : Spermatophyta – Seed plants Division : Magnoliophyta – Flowering plants Class : Magnoliopsida – Dicotyledons Subclass : Hamamelidideae

Order : Urticales

Family : Urticaceae – Nettle family Genus : Jacq. – false nettle

Species : (L.) Gaudich. – Chinese grass (Kartesz, 2011) Berikut ini adalah gambar tanaman rami (Gambar 1.)

(57)

Daun rami sangat khas dengan letak daunnya yang berselang-seling. Selain itu, daunnya ada yang berbentuk jantung hingga bulat atau oval dengan panjang daun (lamina) sebesar 7,5-20 cm, lebar 5-15 cm, serta cenderung berkerut. Kasar dan halusnya kerutan daun tergantung dari klonnya. Permukaan daun bagian atas berbulu halus hingga kasar, berwarna hijau muda sampai hijau tua, sedangkan daun bagian bawah berwarna putih keperakan. Pinggir daun bergerigi lancip hingga tumpul berwarna seperti warna laminanya (Budi ., 2005).

Tulang daun berwarna hijau muda sampai hijau tua atau merah muda hingga merah tua. Tangkai daun (petiole) berwarna hijau muda hingga hijau tua serta merah muda hingga merah tua. Panjang petiole sekitar 3-12 cm, ada yang lebih pendek dari panjang daun, tetapi ada yang hampir sama dengan panjang daun, tergantung dari macam klonnya. Sudut daun (daun-daun bagian atas) berkisar antara 50°-120° (agak tegak s.d. terkulai). Tanaman rami memiliki sistem perakaran $ karena di samping untuk menyerap nutrisi, di bagian akar juga terdapat rhizoma (rimpang) sebagai alat untuk memperbanyak diri, dan umbi sebagai simpanan cadangan makanan. Rami bisa diperbanyak dengan tiga cara yakni dengan rhizoma, biji, dan stek batang. Namun, umumnya tanaman rami lebih mudah diperbanyak dengan rhizoma, sedangkan perbanyakan dengan biji jarang dilakukan kecuali untuk penelitian (Budi, ., 2005).

Potensi Produksi dan Kandungan Nutrien Daun Rami

Populasi tanaman rami cukup bervariasi (dapat mencapai 40.000 rumpun/ha). Pada setiap kali pemotongan atau panen, hampir 44% dari total biomassa yang dihasilkan adalah daun. Hasil analisis di Balai Penelitian Ternak (2003), kandungan protein kasar daun rami cukup tinggi, berkisar 22-24%.

Kandungan nutrien dan anti nutrien daun rami diperlihatkan pada Tabel 1.

(58)

Tabel 1. Kandungan Nutrien dan Anti Nutrien Daun Rami (dalam % BK)

Komponen Kandungan Nutrien (%)

Despal & Permana (2008) Duarte (1997)

Protein kasar 16,35 21

Sumber : Despal & Permana (2008), Duarte (1997).

Daun bagian atas memiliki serat yang rendah, kaya protein, mineral, lisin dan karoten. Tanaman rami dapat hidup sampai 14 tahun dan menghasilkan sebanyak 300 ton bahan segar (42 ton bahan kering) per hektar setiap tahunnya. Tanaman rami ini cocok untuk semua jenis ternak. Pada unggas, daun rami dapat digunakan sebagai sumber karotenoid dan riboflavin (Franck, 2005).

Gambar

Gambar 1. Tanaman Rami (Balittas, 2009)
Tabel 1. Kandungan Nutrien dan Anti Nutrien Daun Rami (dalam % BK)
Gambar 3. Silo ������
Tabel 9. Penggunaan Bahan Pakan dan  Kandungan Nutrien Silase Ransum
+7

Referensi

Dokumen terkait

Misalkan terdapat sebuah sebarang segitiga ( ) yang disebut dengan segitiga asal, yang mana segitiga tersebut memuat lingkaran dalam, maka terdapat tiga

Menurut Undang Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 1 ayat (1), perdagangan orang adalah tindakan perekrutan,

Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan bimbingan konseling yang dilakukan oleh konselor kepada siswa, untuk mengetahui motivasi

UHI merupakan fenomena dimana perkotaan bersuhu yang tinggi relatif terhadap wilayah kurang berkembang atau daerah pedesaan sekitarnya. UHI dapat berdampak pada

Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai t hitung &gt; t tabel, yang berarti H 0 ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Berpikir Berbicara Menulis

Hasil uji F diperoleh F hitung sebesar 63,887 dan nilai probabilitas 0,000 sehingga secara bersama-sama variabel mutu, fasilitas, dan harga berpengaruh signifikan

Dalam pelaksanaan pembatasan kuota peserta didik berkebutuhan khusus di MI Badrussalam ini tidak sesuai dengan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 1, yang

Saat ini telah banyak beredar di pasaran produk minuman susu fermentasi dari berbagai merk dan jenis, yang memiliki klaim menjaga kesehatan pencernaan dengan