BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU (
Scylla
spp.)
DI EKOSISTEM MANGROVE
KABUPATEN SUBANG JAWA BARAT
DISERTASI
LAURA SIAHAINENIA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya nyatakan bahwa disertasi Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2008
LAURA SIAHAINENIA. The Bioecological of Mud Crabs (Scylla spp.) in Mangrove Ekosistem of Subang Regency, West Java. (Under the direction of; DIETRIECH G. BENGEN, RIDWAN AFFANDI, TUTIK WRESDIYATI AND IMAN SUPRIATNA)
The aim of the research was to collect data and information concerning population structure, reproduction performance, reproduction potency, evaluation of eyestalk ablation and distribution of mud crabs based on the characteristics of their environment habitat. The research was carried out since January 2005 to August 2006. Observation on the morphology and anatomy used descriptive method. The ecological aspect was done in situ using line plot transect method. In the meantime, the aspect of biological reproduction was carried out through a controlled seed experiment in pond and laboratory with treatment of eyestalk ablation. Exploration of eyestalk tissue of mud crabs was performed with the method of histochemistry to assure the success of ablation. The result showed that not only the morphology of different mud crab species but also the morphology and anatomy of crabs with different sexes. The mud crabs from different research stations indicated differences in terms of the population rate. The width of the carapace and minimum and maximum weight of mud crabs caught were different from one species to another. In general the infinity width of the carapace (L∞) was between
11.78-14.70 cm with the growth curve index (K) was between 1.10-1.50/year. The age when the carapace was equal to zero (t0) was between 0.128-0.176 cm, while the maximum age when caught (tmax) was between 15.0-30.6 months. The mortality rate of mud crabs was different from station to station, between species and sex. The rate of exploitation was between 0.03-0.45/year. The exploitation rate was still possible to be increased as high as 10-94%. The character of puberty development was observed through morphological changes and specific marks on its body. The minimum size of mud crabs when the reached puberty was 10.0 cm for males and 9.0 cm for females. The gonad maturity development was observed through the morphological changes of the body, morphology and gonad color and gonad tissue. The character of embryo development was observed through the changes in form and color of zygote mass and embryo morphology, while the character of larva development was observed through the changes of the larva morphology. Sex ratio was not in balance. The spawning of mud crabs occurred through out the year with the peak season in March and August. Mud crabs recruitment took place through out the year with two peaks, which is April-May and August-September. Neurosecretory cells spreads in medulla externa, medulla interna and medulla terminalis, while the sinus gland in dorsolateral between medulla externa and medulla interna. The best eyestalk ablation was in the 62.8% of eyestalk length for carapace wide of 9.0 cm; 62.6 of eyestalk length for carapace wide of 10.0 cm and 58.4% of eyestalk length for carapace wide of 11.0 cm. The eyestalk ablation was only effective to improve gonad maturity but not to other perform reproduction. S. serrata prefer front zone of mangrove and sub tidal zone, while S. paramamosain, S. tranquebarica and S.
olivacea as groups, at back zone and middle of mangroves. The male prefer back zone
LAURA SIAHAINENIA. Bioekologi Kepiting Bakau (
Scylla
spp.) di
Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang, Jawa Barat. Dibimbing oleh
Dietriech G. Bengen, Ridwan Affandi, Tutik Wresdiyati, dan Iman
Supriatna.
Penelitian Aspek bioekologi kepiting bakau (Scylla spp.) dilakukan di wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan, Kabupaten Subang Jawa Barat, sejak Januari 2005 sampai Agustus 2006. Penelitian bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang struktur populasi, performa reproduksi, potensi reproduksi, evaluasi efektivitas ablasi tangkai mata dan distribusi kepiting bakau berdasarkan karakteristik habitat lingkungannya.
Evaluasi hasil pengamatan struktur morfologis dan anatomis menggunakan alanalisa deskriptif. Pengamatan aspek ekologi dilakukan secara in situ dengan metode pengambilan sampel line plot transect. Sedangkan pengamatan aspek biologi reproduksi dilakukan melalui percobaan pembenihan secara terkontrol di tambak dan di laboratorium dengan perlakuan ablasi tangkai mata. Eksplorasi jaringan tangkai mata kepiting bakau dilakukan dengan metode histokimia, untuk menjamin keberhasilan ablasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur morfologis kepiting bakau antar jenis dan jenis kelamin kepiting bakau berbeda. Kelimpahan kepiting bakau berbeda antar stasiun penelitian, antar jenis, antar jenis kelamin serta antar tingkat kematangan gonad individu betina. Secara Umum, persentasi kelimpahan kepiting bakau tertinggi dijumpai pada stasiun penelitian Blanakan (42.2%), diikuti oleh Mayangan (35.6%) dan Tanjung Laut (22.2%). Jenis S. serrata memiliki persentasi kelimpahan tertinggi (34.25%), diikuti S. paramamosain (32.35%), S. olivacea (22.41%) dan S. tranquebarica (10.99%). Individu jantan memiliki persentasi kelimpahan tertinggi (54.62%) dibanding betina. Individu berukuran sedang memiliki persentasi kelimpahan tertinggi (56.5%), diikuti oleh ukuran kecil (22.2%) dan ukuran besar (21.30%). Individu betina matang gonad memiliki persentasi kelimpahan tertinggi pada stasiun penelitian Blanakan (22.28%), diikuti oleh Mayangan (11.62%) dan Tanjung Laut (7.43%).
Ukuran lebar karapaks serta bobot minimum dan maksimum kepiting bakau yang tertangkap berbeda antar jenis. Secara umum, pada stasiun Blanakan, berkisar antara 4.2-4.5 cm dan 12.9-14.2 cm serta 9.8-11.0 g dan 450-516 g untuk jantan, sedangkan 4.2-4.5 cm dan 13.5-15.0 cm serta 9.5-11.5 g dan 427-449 g untuk betina. Pada stasiun penelitian Tanjung Laut, berkisar antara 4.2-4.5 cm dan 11.5-13.4 cm serta 9.5-11.0 g dan 305-477 g untuk jantan, sedangkan 4.0-4.5 cm dan 12.2-14.3 cm serta 9.4-10.0 g dan 323-458 g untuk betina. Pada stasiun Mayangan, berkisar antara 4.3-4.5 cm dan 12.8-13.6 cm serta 9.9-11.0 g 432-483 g untuk jantan, sedangkan 4.1-4.5 cm dan 13.2-14.3 cm serta 9.5-10.0 g dan 405-456 g untuk betina.
Nilai parameter pertumbuhan kepiting bakau berbeda antar stasiun penelitian, jenis maupun jenis kelamin. Secara umum lebar karapaks infiniti (L∞)
berkisar antara 11.78-14.70 cm. Kecepatan pertumbuhan (K) berkisar antara 1.10-1.50/tahun. Umur ketika lebar karapaks sama dengan nol (t0) berkisar antar
stasiun penelitian, jenis maupun jenis kelamin. Secara umum, laju mortalitas total berkisar antara 2.67-4,80/tahun. Laju mortalitas alami berkisar antara 2.41-3.00/tahun, dan laju mortalitas penangkapan berkisar antara 0.07-2.14/tahun. Sementara laju eksploitasi berkisar antara 0.03-0.45/tahun. Laju eksploitasi masih dapat ditingkatkan sebesar 10-94%.
Karakter perkembangan dewasa kelamin kepiting bakau teramati melalui perubahan struktur morfologis dan adanya tanda-tanda khusus pada tubuh. Ukuran minimum kepiting bakau ketika mencapai dewasa kelamin adalah 10,0 cm untuk jantan dan 9.0 cm untuk betina. Perkembangan gonad teramati melalui perubahan pada struktur morfologis tubuh kepiting bakau, morfologis dan warna gonad serta jaringan gonad. Karakter perkembangan embrio teramati melalui perubahan bentuk dan warna massa zigote serta struktur morfologis embrio. Sedangkan karakter perkembangan larva teramati melalui perubahan morfologis larva.
Rasio kelamin kepiting bakau berbeda antar stasiun penelitian, jenis maupun jenis kelamin dan kelas ukuran. Secara umum rasio kelamin berada dalam kondisi tidak seimbang. Rasio kelamin pada stasiun penelitian Blanakan adalah 1.24; pada stasiun Tanjung Laut adalah 1.10; dan pada stasiun penelitian Mayangan adalah 1.26. Frekwensi pemijahan kepiting bakau berlangsung sepanjang tahun dengan puncak intensitas pemijahan pada bulan Maret sampai Agustus. Rekruitmen kepiting bakau terjadi sepanjang tahun dengan dua puncak yaitu pada bulan April-Mei dan Agustus-September. Hasil per rekruitmen relatif terjadi pada semua tingkat eksploitasi. Hasil per rekruitmen relatif maksimum terjadi pada tingkat eksploitasi yang maksimum.
Sel-sel neurosecretory (organ-X) menyebar pada ganglion medulla externa, medulla interna dan medulla terminalis. Sedangkan sinus gland terdapat pada bagian dorsolateral antara ganglion medulla externa dan medulla interna pada jaringan tangkai mata kepiting bakau. Posisi ablasi terbaik adalah mengablasi 62.8% tangkai mata, untuk kepiting bakau berukuran lebar karapaks 9.0 cm; 62.5% tangkai mata untuk yang berukuran 10.0 cm dan 58.4% tangkai mata untuk yang berukuran 11.0 cm. Ablasi tangkai mata hanya efektif mempengaruhi laju pematangan gonad tetapi tidak mempengaruhi diameter dan fekunditas telur, masa inkubasi embrio serta jumlah dan daya kelangsungan hidup larva .
Kepiting bakau jenis S. serrata berdistribusi pada zona depan dan zona laut, yang dicirikan oleh parameter sementara jenis S. paramamosain, S. tranquebarica dan S. olivacea secara bersama-sama memiliki preferensi pada zona belakang dan tengah hutan. Individu jantan memiliki preferensi pada zona tengah dan belakang hutan, sedangkan individu betina memiliki preferensi pada zona depan hutan dan zona laut. Kepiting bakau berukuran sedang dan besar memiliki preferensi pada zona depan, tengah dan belakang hutan serta zona laut, sedangkan ukuran kecil memiliki preferensi pada zona belakang dan tengah hutan. Individu betina matang gonad tingkat awal memiliki preferensi pada zona belakang dan tengah hutan, sedangkan tingkat akhir pada zona depan hutan dan zona laut.
Habitat lingkungan jenis S. serrata dicirikan oleh nilai parameter suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH air dan pH substrat yang tinggi, serta nilai parameter kedalaman perairan, kecerahan perairan, fraksi substrat pasir, liat dan debu yang sedang. Sedangkan habitat lingkungan jenis S. paramamosain, S. olivacea dan S. tranquebarica dicirikan oleh nilai parameter fraksi substrat debu dan liat yang tinggi, nilai parameter suhu dan oksigen terlarut yang sedang serta nilai parameter salinitas, pH air, pH substrat, kedalaman perairan, kecerahan perairan dan fraksi substrat pasir yang rendah.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mangutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau mencantumkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU (
Scylla
spp.)
DI EKOSISTEM MANGROVE
KABUPATEN SUBANG JAWA BARAT
LAURA SIAHAINENIA
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian tertutup : Prof. Dr. Ir. Alex Retraubun, M.Sc. Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Made L. Nurdjana
Ekosistem
Mangrove
Kabupaten
Subang
Jawa Barat
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA. Ketua Anggota
Dr. Drh. Tutik Wresdiyati Dr. Drh. Iman Supriatna Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Notodiputro, MS.
Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul Disertasi ini adalah: Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen DEA., Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA, Ibu Dr. Drh. Tutik Wresdiyati., dan Bapak Dr. Drh. Iman Supriatna, selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan arahan serta perhatian selama penelitian berlangsung hingga rampungnya karya ilmiah ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc., Bapak Prof. Dr. Alex Retraubun, M.Sc., Bapak Dr. Ir. Made L. Nurdjana dan Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA., atas kritik dan saran demi perbaikan karya ilmiah ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Bapak Rektor Universitas Pattimura dan Bapak Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura, yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk melanjutkan studi S-3, serta Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, yang telah memberikan beasiswa pendidikan melalui beasiswa BPPS.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Iwang dan Bapak Rusdi yang telah banyak membantu dan membagikan ”ilmu kepiting” selama penelitan lapangan, serta Bapak Mardi yang telah membantu pemeliharaan kepiting selama penelitian laboratorium berlangsung.
Ungkapan terima kasih dan rasa sayang, penulis sampaikan kepada Suami dan anak tercinta serta sanak saudara dalam keluarga besar Tulalessy-Siahainenia-Nendissa yang terus mendukung dan mendoakan.
Akhirnya semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2008
Penulis dilahirkan di Saparua, Maluku Tengah, pada tanggal 1 Nopember 1967 sebagai anak ketiga dari pasangan Bapak Marcus Frans Siahainenia (Alm) dan Ibu Bertha Elize Nendissa (Almh). Pendidikan Sarjana ditempuh pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Unpatti dan lulus pada tahun 1994. Pada tahun 1997, penulis diterima di Program Studi Ilmu Kelautan pada Program Pascasarjana, IPB dan menamatkannya pada tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Program Doktor, pada Program Studi dan Perguruan Tinggi yang sama, diperoleh pada bulan Februari tahun 2001 dengan bantuan Beasiswa BPPS dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
DI EKOSISTEM MANGROVE
KABUPATEN SUBANG JAWA BARAT
DISERTASI
LAURA SIAHAINENIA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Halaman
DAFTAR TABEL ...vii
DAFTAR GAMBAR ...ix
DAFTAR LAMPIRAN ...xiii
I PENDAHULUAN ...1
1.1 Latar Belakang ...1
1.2 Perumusan Masalah...3
1.3 Pendekatan Masalah...5
1.4 Tujuan Penelitian...6
1.5 Manfaat Penelitian...7
1.6 Hipotesis ...8
II TINJAUAN PUSTAKA...10
2.1 Mangrove...10
2.2 Kepiting Bakau ...14
2.3 Habitat Kepiting Bakau ...33
2.4 Pakan dan Tingkah Laku Makan ...38
III METODOLOGI PENELITIAN...42
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...42
3.2 Bagian Penelitian...42
3.3 Metode Penelitian...46
3.3.1 Parameter Biofisik dan Kimia Lingkungan ...46
3.3.2 Determinasi Struktur Morfologis dan Anatomis Kepiting Bakau ...49
3.3.3 Kelimpahan Kepiting Bakau...50
3.3.4 Struktur Populasi Kepiting Bakau ...51
3.3.5 Distribusi Spasial dan Temporal Kepiting Bakau dan Kaitannya dengan Karakteristik Habitat Kepiting Bakau...53
3.3.6 Performa Reproduksi Kepiting Bakau...56
3.3.7 Potensi Reproduksi Kepiting Bakau ...58
3.3.8 Evaluasi Efektifitas Ablasi Tangkai Mata Kepiting Bakau ...59
IV HASIL DAN PEMBAHASAN...66
4.1 Profil Biofisik Lingkungan ...66
4.1.1 Realitas Geografis dan Administratif...66
4.1.2 Karakteristik Hutan Mangrove...66
4.1.3 Taksonomi dan Identifikafi Kepiting Bakau...80
4.1.4 Karakteristik Habitat Kepiting Bakau...95
4.1.5 Kelimpahan Kepiting Bakau...102
4.1.6 Struktur Populasi Kepiting Bakau ...123
4.1.7 Distribusi Spasial dan Distribusi Temporal Kepiting Bakau ...148
4.2 Aspek Reproduksi Kepiting Bakau ...177
4.2.1 Performa Reproduksi ...177
4.2.2 Potensi Reproduksi ...203
4.2.3 Evaluasi Efektifitas Ablasi Tangkai Mata Kepiting Bakau...218
V SIMPULAN DAN SARAN ...233
5.1 Simpulan ...233
5.2 Saran...235
DAFTAR PUSTAKA ...236
Halaman
1. Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp.) menurut Estampador (1949) ... 17
2. Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp.) menurut Keenan et al. (1998) ... 18
3. Karakter perkembangan gonad kepiting bakau (S. serrata) betina menurut John dan Sivadas (1978; 1979)... 29
4. Karakter perkembangan gonad kepiting Uca rapax jantan menurut Castiglioni dan Fransozo (2006)... 29
5. Deskripsi ekologis dari stasiun dan substasiun penelitian ... 44
6. Urairan bagian-bagian penelitian... 46
7. Luas kawasan hutan dari tiap Resort Polisi Hutan pada BKPH Ciasem- Pamanukan ... 67
8. Kondisi hutan tetap pada kawasan BKPH Ciasem Pamanukan ... 94
9. Kriteria klasifikasi jenis kepiting bakau (Scylla spp.) ... 94
10. Ukuran lebar karapaks dan bobot tubuh kepiting bakau (Scylla spp.) yang tertangkap pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan ... 123
11. ukuran lebar karapaks kepiting bakau (Scylla spp.) pertama kali tertangkap pada beberapa tingkat probabilitas ... 125
12. Kisaran kelas ukuran dan ukuran populasi dari tiap kelas ukuran dan umur kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Blanakan ... 126
13. Kisaran kelas ukuran dan umur serta ukuran populasi dari tiap kelas ukuran dan umur kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Tanjung laut ... 126
14. Kisaran kelas ukuran dan umur serta ukuran populasi dari tiap kelas ukuran dan umur kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Mayangan ... 127
15. Nilai indeks distribusi kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan... 130
16. Hasil analisa hubungan ukuran dan bobot kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan... 134
17. Parameter pertumbuhan kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan... 138
18. Nilai laju mortalitas kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung laut dan Mayangan ... 144
19. Kriteria klasifikasi jenis kelamin kepiting bakau (Scylla serrata) 20. Karakter pradewasa kelamin dan dewasa kelamin kepiting bakau (S. serrata) jantan ... 180
21. Karakter pradewasa kelamin dan dewasa kelamin kepiting bakau (S. serrata) betina ... 181
22. Karakter perkembangan gonad kepiting bakau (Scylla serrata) jantan... 189
23. Karakter perkembangan gonad kepiting bakau (Scylla serrata) betina... 190
24. Tingkat perkembangan embrio kepiting bakau (Scylla serrata) ... 198
25. Karakter morfologi larva kepiting bakau (Scylla serrata)... 202
26. Rasio kelamin kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung laut dan Mayangan... 205
27. Puncak rekruitmen kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan... 215
28. Nilai hasil perbandingan Lebar pertama kali tertangkap dan lebar karapaks Infinitif serta perbandingan laju mortalitas alami dan kecepatan pertumbuhan kepiting bakau (Scylla spp.) ... 217
29. Hasil per rekruitmen relatif maksimum dan tingkat rasio eksploitasi kepiting bakau (Scylla spp.) ... 217
31. Posisi ablasi tangkai mata terbaik dari kepiting bakau (Scylla serrata) menurut ukuran lebar karapaks ... 225 32. Laju pematangan gonad dari induk kepiting bakau (Scylla serrata) ablasi
dan alami ... 227 33. Rata-rata diameter telur dan fekunditas, masa inkubasi embrio dan jumlah
Halaman
1. Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp.) menurut Estampador (1949) ... 17
2. Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp.) menurut Keenan et al. (1998) ... 18
3. Karakter perkembangan gonad kepiting bakau (S. serrata) betina menurut John dan Sivadas (1978; 1979)... 29
4. Karakter perkembangan gonad kepiting Uca rapax jantan menurut Castiglioni dan Fransozo (2006)... 29
5. Deskripsi ekologis dari stasiun dan substasiun penelitian ... 44
6. Urairan bagian-bagian penelitian... 46
7. Luas kawasan hutan dari tiap Resort Polisi Hutan pada BKPH Ciasem- Pamanukan ... 67
8. Kondisi hutan tetap pada kawasan BKPH Ciasem Pamanukan ... 94
9. Kriteria klasifikasi jenis kepiting bakau (Scylla spp.) ... 94
10. Ukuran lebar karapaks dan bobot tubuh kepiting bakau (Scylla spp.) yang tertangkap pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan ... 123
11. ukuran lebar karapaks kepiting bakau (Scylla spp.) pertama kali tertangkap pada beberapa tingkat probabilitas ... 125
12. Kisaran kelas ukuran dan ukuran populasi dari tiap kelas ukuran dan umur kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Blanakan ... 126
13. Kisaran kelas ukuran dan umur serta ukuran populasi dari tiap kelas ukuran dan umur kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Tanjung laut ... 126
14. Kisaran kelas ukuran dan umur serta ukuran populasi dari tiap kelas ukuran dan umur kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Mayangan ... 127
15. Nilai indeks distribusi kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan... 130
16. Hasil analisa hubungan ukuran dan bobot kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan... 134
17. Parameter pertumbuhan kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan... 138
18. Nilai laju mortalitas kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung laut dan Mayangan ... 144
19. Kriteria klasifikasi jenis kelamin kepiting bakau (Scylla serrata) 20. Karakter pradewasa kelamin dan dewasa kelamin kepiting bakau (S. serrata) jantan ... 180
21. Karakter pradewasa kelamin dan dewasa kelamin kepiting bakau (S. serrata) betina ... 181
22. Karakter perkembangan gonad kepiting bakau (Scylla serrata) jantan... 189
23. Karakter perkembangan gonad kepiting bakau (Scylla serrata) betina... 190
24. Tingkat perkembangan embrio kepiting bakau (Scylla serrata) ... 198
25. Karakter morfologi larva kepiting bakau (Scylla serrata)... 202
26. Rasio kelamin kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung laut dan Mayangan... 205
27. Puncak rekruitmen kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan... 215
28. Nilai hasil perbandingan Lebar pertama kali tertangkap dan lebar karapaks Infinitif serta perbandingan laju mortalitas alami dan kecepatan pertumbuhan kepiting bakau (Scylla spp.) ... 217
29. Hasil per rekruitmen relatif maksimum dan tingkat rasio eksploitasi kepiting bakau (Scylla spp.) ... 217
31. Posisi ablasi tangkai mata terbaik dari kepiting bakau (Scylla serrata) menurut ukuran lebar karapaks ... 225 32. Laju pematangan gonad dari induk kepiting bakau (Scylla serrata) ablasi
dan alami ... 227 33. Rata-rata diameter telur dan fekunditas, masa inkubasi embrio dan jumlah
Halaman
1. Prosedur dehidrasi sampai embeding pada proses histologi... 229 2. Prosedur pewarnaan jaringan dengan pewarna Hematoksilin-Eosin dan
Periodic Acid Shift (PAS)... 300 3. Kelimpahan jenis makrozoobentos ... 302 4. Hasil analisa probabilitas penangkapan kepiting bakau (Scylla spp.)
pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung laut dan Mayangan... 303 5. Hasil analisa kelas ukuran kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian
Blanakan, Tanjung laut dan Mayangan... 304 6. Hasil analisa pola pertumbuhan kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun
penelitian Blanakan, Tanjung laut dan Mayangan ... 305 7. Hasil Uji t dari nilai b yang diperoleh melalui analisa hubungan lebar karapaks
dan bobot tubuh kepiting bakau terhadap nilai 3 ... 306 8. Hasil analisa program Elefan untuk menganalisa parameter pertumbuhan
kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung laut
dan Mayangan... 308 9. Hasil analisa umur teoritis kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian
Blanakan, Tanjung laut dan Mayangan... 312 10. Hasil analisa laju mortalitas dan laju eksploitasi kepiting bakau (Scylla spp.)
pada stasiun penelitian Blanakan, Tanjung laut dan Mayangan ... 315 11 Hasil Analisis Komponen Utama (PCA) keterkaitan musim pemijahan kepiting bakau (S. serrata) dengan parameter fisik kimia lingkungan pada stasiun
penelitian Blanakan ... 317 12. Hasil Analisis Komponen Utama (PCA) keterkaitan musim pemijahan kepiting bakau (S. serrata) dengan parameter fisik kimia lingkungan pada stasiun
penelitian Tanjung laut ... 321 13. Hasil Analisis Komponen Utama (PCA) keterkaitan musim pemijahan kepiting bakau (S. serrata) dengan parameter fisik kimia lingkungan pada stasiun
penelitian Mayangan ... 322 14. Kurva pola rekruitmen kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian
Blanakan, Tanjung laut dan Mayangan... 325 15. Kurva hasil per rekruitmen relatif kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun
penelitian Blanakan Tanjung laut dan Mayangan ... 328 16. Hasil analisa Anova terhadap laju pematangan gonad dari induk kepiting
bakau (S. serrata) yang diberi perlakuan posisi ablasi ... 331 17. Hasil analisa Anova terhadap laju pematangan gonad dari induk kepiting
bakau (S. serrata) yang diablasi dan alami ... 332 18. Hasil uji T terhadap diameter telur dan fekunditas kepiting bakau (S. serrata)
yang dihasilkan oleh induk ablasi dan induk alami... 333 19. Hasil uji T terhadap masa inkubasi embrio kepiting bakau (S. serrata) yang
dihasilkan oleh induk ablasi dan induk alami ... 334 20. Hasil uji T terhadap jumlah larva kepiting bakau (S. serrata) yang dihasilkan
oleh induk ablasi dan induk alami... 336 21. Hasil analisa Anova terhadap kelangsungan larva kepiting bakau
(S. serrata) yang dihasilkan oleh induk ablasi dan induk alami serta
yang diberi makan dan yang puasa... 338 22. Hasil analisa Faktorial Koresponden (CA) distribusi spasial jenis kepiting
bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Blanakan... 340 23. Hasil analisa Faktorial Koresponden (CA) distribusi spasial jenis kepiting bakau
(Scylla spp.) pada stasiun penelitian Tanjung laut ... 343
24. Hasil analisa Faktorial Koresponden (CA) distribusi spasial jenis kepiting bakau
25. Hasil analisis Faktorial Koresponden (CA) distribusi spasial jenis kelamin
kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Blanakan ... 349 26. Hasil analisa Faktorial Koresponden (CA) distribusi spasial jenis kelamin
kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Tanjung laut... 351 27. Hasil analisa Faktorial Koresponden (CA) distribusi spasial jenis kelamin
kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Mayangan... 353 28. Hasil analisa Faktorial Koresponden (CA) distribusi spasial kelas ukuran
kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Blanakan ... 355 29. Hasil analisa Faktorial Koresponden (CA) distribusi spasial kelas ukuran
kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Tanjung laut... 357 30. Hasil analisa Faktorial Koresponden (CA) distribusi spasial kelas ukuran
kepiting bakau (Scylla spp.) pada stasiun penelitian Mayangan... 359 31. Hasil analisa Faktorial Koresponden (CA) distribusi spasial Kepiting bakau
(Scylla spp.) betina dalam berbagai tingkat kematangan gonad pada stasiun
penelitian Blanakan ... 361 32. Hasil analisa Faktorial Koresponden (CA) distribusi spasial Kepiting bakau
(Scylla spp.) betina dalam berbagai tingkat kematangan gonad pada stasiun
penelitian Tanjung laut ... 362 33. Hasil analisa Faktorial Koresponden (CA) distribusi spasial Kepiting bakau
(Scylla spp.) betina dalam berbagai tingkat kematangan gonad pada stasiun
penelitian Mayangan ... 363 34. Hasil Analisis Komponen Utama (PCA) karakteristik habitat fisik kimia
lingkungan kepiting bakau (Scylla spp.) ... 364 35. Hasil Analisis Komponen Utama (PCA) karakteristik habitat biofisik
lingkungan kepiting bakau (Scylla spp.)... 365 36. Hasil Analisis Komponen Utama (PCA) karakteristik habitat fisik kimia
1.1 Latar Belakang
Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku
Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada
pantai yang ditumbuhi mangrove, perairan dangkal dekat hutan mangrove,
estuari dan pantai berlumpur (Moosa et al. 1985). Kepiting bakau, yang disebut
juga mangrove crabs atau mud crab, memiliki peranan penting dalam ekosistem
mangrove. Kepiting bakau merupakan salah satu hasil perikanan yang memiliki
nilai ekonomis penting di wilayah Indopasifik (Millamena & Quinitio 1999),
karena dikonsumsi sebagai sumber makanan laut yang berkualitas dan dijadikan
komoditas ekspor (Fortes 1999).
Selain berperan dalam siklus rantai makanan, kepiting bakau juga
memainkan peranan ekologis lainnya. Lobang-lobang yang digalinya selain
berfungsi sebagai tempat berlindung dan mencari makan, juga berguna sebagai
media untuk melewatkan oksigen agar dapat masuk ke bagian substrat yang
lebih dalam, sehingga dapat memperbaiki kondisi anoksik dalam substrat hutan
mangrove (Nybakken 1992).
Alfrianto dan Liviawaty (1992), menyatakan bahwa setiap 100.0 g daging
kepiting bakau (segar), mengandung 13.6 g protein; 3.8 g lemak; 14.1 g hidrat
arang dan 68.1 g air. Sedangkan Motoh (1977), menyatakan bahwa daging dan
telur kepiting bakau (dalam berat kering) mengadung protein yang cukup tinggi
(67.5%) dan kandungan lemak yang relatif rendah (0.9%). Sebagai makanan
asal laut, kepiting bakau sangat digemari karena memiliki rasa daging yang lezat
dan memiliki nilai gizi yang tinggi, terutama kepiting bakau betina bertelur atau
matang gonad. Kelezatan dan nilai gizi yang tinggi, menempatkan kepiting bakau
sebagai jenis makanan laut ekslusif dengan harga yang cukup mahal. Sehingga
berkembang suatu pemahaman dalam masyarakat, bahwa menkonsumsi jenis
makanan ini merupakan suatu prestise bagi konsumennya.
Sebagai komoditas ekspor, kepiting bakau di beberapa negara seperti
Thailand, India, Philipina, Taiwan dan Singapura, telah berkembang menjadi
sumber pendapatan negara. Hal ini disebabkan karena permintaan negara lain
terhadap komoditi ini cenderung meningkat. Hal ini juga sudah mulai dialami oleh
ke tahun cenderung meningkat, demikian pula dengan permintaan ekspor. Biro
Pusat Statistik (BPS) (2004) dalam BAPPENAS (2005), melaporkan bahwa nilai
ekspor kepiting pada tahun 2000 adalah 12 381 ton dan meningkat menjadi
22 726 ton pada tahun 2007.
Peningkatan permintaan umumnya akan diikuti oleh peningkatan harga
jual. Menurut Gunarto dan Cholic (1989), harga kepiting bakau semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini, harga jual kepiting bakau pada beberapa
pasar tradisional maupun pasar swalayan di kota Jakarta mencapai Rp 30 000 -
40 000/kg untuk kepiting bakau jantan dan betina yang tidak bertelur, sedangkan
untuk kepiting bakau yang bertelur dapat mencapai Rp 50 000 - 60 000/kg. Arifin
(1993), menyatakan bahwa harga seekor kepiting bakau yang bertelur penuh,
dapat mencapai tiga sampai empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan harga
seekor kepiting bakau berukuran relatif sama, tetapi yang tidak bertelur atau
belum bertelur penuh.
Kasry (1996), menyatakan bahwa di beberapa tempat di pulau Jawa,
nelayan mulai sulit memperoleh hasil tangkapan kepiting bakau. Sedangkan
Cholik (1999), melaporkan bahwa rata-rata pertumbuhan produksi kepiting bakau
di beberapa propinsi penghasil utama komoditas ini (Sumatera Utara, Kalimantan
Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur dan Riau), agak
lambat atau cenderung mengalami penurunan. Beberapa daerah di provinsi
Maluku Tengah, seperti perairan Teluk Pelita Jaya Seram Barat, juga mengalami
hal yang sama. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah hasil tangkapan nelayan
semakin menurun dan ukuran kepiting bakau yang tertangkap juga semakin
kecil. Penurunan kuantitas dan kualitas populasi kepiting bakau di alam, diduga
akibat degradasi ekosistem mangrove dan atau kelebihan tangkap (over
exploitation).
Mengingat pentingnya nilai manfaat ekologi maupun ekonomi yang dimiliki
komoditas kepiting bakau, maka masalah penurunan produksi kepiting bakau di
alam harus segera diatasi dengan melakukan upaya-upaya pengelolaan, baik
melalui tindakan konservasi bagi populasi yang masih stabil, maupun melalui
tindakan rehabilitasi (restocking) bagi populasi yang sudah tidak stabil. Dalam
rangka merealisasikan upaya pengelolaan sumberdaya kepiting bakau (habitat
dan populasi), dibutuhkan seperangkat data dan informasi baik biologi maupun
dilakukanlah penelitian ini. Penelitian ini dilakukan di ekosistem mangrove Desa
Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan, Kabupaten Subang Jawa Barat, yang
dianggap dapat mewakili habitat kepiting bakau dengan kondisi lingkungan yang
bervariasi.
1.2 Perumusan Masalah
Masalah penurunan produksi kepiting bakau di alam akibat degradasi
habitat dan over exploitation, terjadi pada banyak wilayah perairan mangrove di
Indonesia. Hal ini mungkin juga terjadi pada wilayah perairan mangrove Desa
Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan, yang merupakan bagian dari Kawasan
Pemangkuan Hutan (BKPH) Ciasem, Jawa Barat.
Wilayah perairan mangove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan,
yang merupakan areal tambak tumpangsari (silvofishery) dengan sistem empang
parit dan komplangan, akhir-akhir ini menghadapi masalah pemanfaatan.
Semestinya, melalui sistem silvofishery, masyarakat dapat memanfaatkan
ekosistem mangrove untuk meningkatkan taraf hidupnya, dengan tetap menjaga
kelestarian ekosistem mangrove yang ada. Namun pada kenyataannya, telah
terjadi penebangan hutan mangrove untuk perluasan tambak, kawasan wisata
dan transportasi laut, sehingga merubah fungsi ekologis yang merupakan
perpaduan antara fungsi fisik dan fungsi biologi. Kondisi ini berdampak terhadap
perubahan tipe dan karakter habitat, yang secara langsung menentukan
perbedaan struktur populasi, distribusi maupun aspek reproduksi, dari biota-biota
penghuni ekosistem mangrove termasuk kepiting bakau, yang hidup beradaptasi
pada tiap zona dalam ekosistem mangrove tersebut. Dengan demikian informasi
tentang dampak pemanfaatan hutan mangrove dengan cara konversi lahan,
terhadap keberadaan dan kestabilan populasi kepiting bakau, seperti yang terjadi
pada wilayah BKPH Ciasem Jawa Barat sangat penting, sehingga dapat
ditentukan upaya pengelolaan populasi kepiting bakau maupun habitatnya,
secara lebih tepat.
Peningkatan permintaan pasar terhadap komoditas kepiting bakau dengan
harga yang cukup tinggi, menyebabkan terjadinya penangkapan berlebihan (over
exploitation), yang merupakan salah satu penyebab penurunan populasi kepiting bakau di alam. Intensifikasi penangkapan umumnya dilakukan dengan cara
ini, alat tangkap yang digunakan belum mempertimbangkan kelestarian populasi
kepiting bakau, karena kepiting bakau berukuran kecil yang bukan merupakan
target utama penangkapan ikut tertangkap. Intensifikasi penangkapan terhadap
kepiting bakau betina bertelur dapat mengganggu kestabilan populasi kepiting
bakau, karena kepiting bakau tidak diberi kesempatan untuk melakukan proses
reproduksi, sehingga tidak terjadi penambahan stok baru (rekruitmen). Demikian
pula halnya dengan intensifikasi penangkapan individu muda.
Selama ini, pemenuhan permintaan pasar terhadap komoditas kepiting
bakau di BKPH Ciasem Jawa Barat, masih bersumber dari intensifikasi
penangkapan di alam. Penurunan populasi kepiting bakau di alam mungkin dapat
dihindari, apabila pemenuhan permintaan pasar dapat dialihkan dari usaha
intensifikasi penangkapan di alam ke usaha budidaya. Selain merupakan salah
satu upaya untuk memenuhi pangsa pasar perikanan, budidaya juga merupakan
alternatif dalam upaya mempertahankan kestabilan populasi kepiting bakau di
alam, dan sekaligus merupakan salah satu upaya rekruitmen. Salah satu
persyaratan dalam kegiatan budidaya adalah tersedianya benih yang cukup.
Dengan demikian perlu diusahakan pembenihan secara cepat, masal dan
kontinyu. Upaya ini dapat dicapai, salah satunya melalui manipulasi hormon
terhadap proses pematangan gonad induk kepiting bakau, dengan teknik ablasi
tangkai mata (John & Sivadas 1978,1979; Sulaeman & Hanafi 1992; Fattah
1998).
Beberapa ahli melaporkan bahwa ablasi tangkai mata pada krustasea tidak
hanya berpengaruh terhadap proses reproduksi, tetapi juga terhadap proses
metabolisme dan pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena proses-proses
tersebut dikendalikan oleh hormon yang dihasilkan dan disalurkan oleh dan
melalui sistem neurosecretory pada tangkai mata. Dengan demikian perlu
dilakukan kajian yang lebih mendalam, mengingat data dan informasi tentang
posisi sistem neurosecretory pada tangkai mata kepiting bakau sangat penting,
untuk menjamin keberhasilan proses ablasi tangkai mata. Sehingga dengan
demikian, efek negatif ablasi seperti stres, penurunan daya kelangsungan hidup
dan kematian induk kepiting bakau, serta penurunan kualitas dan kuantitas telur
yang dihasilkan dapat dihindari.
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, perlu
kepiting bakau, melalui studi tentang bioekologi kepiting bakau (Scylla spp.). Data dan informasi ini dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam upaya
pengelolaan populasi kepiting bakau dan habitatnya, melalui tindakan konservasi
dan rehabilitasi.
1.3 Pendekatan Masalah
Untuk memperoleh data dan informasi tentang aspek bioekologi kepiting
bakau, perlu dilakukan beberapa pendekatan. Data dan informasi tentang tipe
dan karakteristik habitat kepiting bakau, diperoleh dengan melakukan klasifikasi
wilayah (zona) berdasarkan konversi dan pemanfaatan hutan mangrove, yakni
zona alami dan zona pemanfaatan seperti: pertambakan, pariwisata, dan
pemukiman penduduk, atau berdasarkan karakter-karakter khusus yang dimiliki
tiap zona. Selanjutnya pada tiap zona dilakukan pengamatan dan analisa
parameter biofisik dan kimia lingkungan, yang meliputi: parameter fisik-kimia air
dan substrat, kerapatan vegetasi mangrove, produksi serasah dan kelimpahan
makrozoobentos, sehingga dapat memberikan gambaran umum tentang kondisi
lingkungan pada lokasi penelitian (perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung
Laut dan Mayangan) dan karakteristik habitat kepiting bakau.
Untuk tujuan pengelolaan populasi kepiting bakau, dilakukan kajian
determinasi struktur morfologis dan anatomis tubuh kepiting bakau secara umum,
serta struktur morfologis dan anatomis tubuh, yang merupakan faktor pembeda
dalam identifikasi jenis kepiting bakau. Disamping itu, dilakukan juga kajian
tentang struktur populasi, distribusi spasial dan temporal, serta aspek reproduksi
kepiting bakau. Dalam kajian struktur populasi kepiting bakau, dilakukan analisa
ukuran minimum dan maksimum, pola distribusi, pola pertumbuhan, parameter
pertumbuhan dan umur teoritis, serta laju mortalitas kepiting bakau, yang
tertangkap pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan
Mayangan.
Melalui data hasil tangkapan kepiting bakau pada tiap zona, dalam wilayah
perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan secara teratur
selama 12 siklus bulan, dapat dikaji kelimpahan kepiting bakau pada tiap zona.
Bila hasil analisa kelimpahan kepiting bakau dikaitkan dengan data parameter
biofisik dan kimia lingkungan, maka dapat diperoleh data dan informasi tentang
individu betina matang gonad, dalam kaitannya dengan karakteristik habitatnya.
Dapat juga dikaji distribusi temporal kepiting bakau betina matang gonad, serta
parameter fisik dan kimia lingkungan yang mempengaruhi distribusi tersebut.
Kajian aspek reproduksi kepiting bakau yang dilakukan, meliputi: performa
reproduksi, potensi reproduksi, dan evaluasi efektivitas ablasi tangkai mata
kepiting bakau. Performa reproduksi kepiting bakau, dilakukan melalui kajian
determinasi struktur morfologis dan anatomis tubuh kepiting bakau, untuk
memperoleh data dan informasi tentang karakter dewasa kelamin dan frekwensi
ukuran dewasa kelamin, karakter pembeda jenis kelamin, serta karakter
perkembangan gonad, embrio dan larva kepiting bakau. Potensi reproduksi
kepiting bakau, dikaji melalui analisa rasio kelamin, frekwensi pemijahan dan
rekruitmen kepiting bakau di wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung
Laut dan Mayangan.
Evaluasi efektivitas ablasi tangkai mata kepiting bakau, dilakukan secara
terkontrol di tambak dan di laboratorium, meliputi: evaluasi perkembangan
gonad, embrio dan larva, yang dihasilkan oleh induk kepiting bakau yang diberi
perlakuan ablasi tangkai mata dan tanpa perlakuan ablasi tangkai mata (alami).
Untuk menjamin keberhasilan ablasi, sebelumnya dilakukan eksplorasi sistem
neurosecretory (sel-sel neurosecretory atau organ-X dan sinus gland) pada jaringan tangkai mata kepiting bakau melalui analisa histokimia. Diagram
perumusan dan pendekatan masalah penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan data dan
informasi tentang
1. Struktur populasi kepiting bakau, meliputi: ukuran minimum dan
maksimum, pola distribusi, pola pertumbuhan, parameter pertumbuhan
dan umur teoritis, serta laju mortalitas kepiting bakau yang tertangkap
pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan
Mayangan.
2. Distribusi spasial dan distribusi temporal kepiting bakau, berdasarkan
karakteristik habitat lingkungan pada wilayah perairan mangrove Desa
3. Performa reproduksi kepiting bakau, meliputi: karakter pembeda jenis
kelamin, karakter dewasa kelamin dan frekwensi ukuran dewasa
kelamin, serta karakter perkembangan gonad, embrio, dan larva.
4. Potensi reproduksi kepiting bakau, meliputi: rasio kelamin, frekwensi
pemijahan dan rekruitmen kepiting bakau, pada wilayah perairan
mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan.
5. Efektivitas ablasi tangkai, melalui evaluasi perkembangan gonad, embrio
dan larva dari induk kepiting bakau yang diberi perlakuan ablasi tangkai
mata dan induk tanpa perlakuan ablasi tangkai mata (induk alami)
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah
1. Data dan informasi tentang struktur populasi dan potensi reproduksi
kepiting bakau pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan,
Tanjung Laut dan Mayangan, dapat digunakan untuk menentukan
bentuk pengelolaan populasi kepiting bakau secara tepat pada ketig
wilayah tersebut.
2. Data dan informasi tentang distribusi spasial kepiting bakau menurut
jenis, jenis kelamin, kelas ukuran dan individu betina matang gonad
dalam kaitannya dengan karakteristik habitatnya, dapat digunakan
sebagai bahan kajian dalam upaya konservasi populasi dan habitat
kepiting bakau.
3. Data dan informasi tentang distribusi temporal kepiting bakau betina
matang gonad, dalam kaitannya dengan parameter fisik dan kimia
lingkungan, dapat digunakan untuk menentukan musim dan puncak
musim pemijahan kepiting bakau, serta parameter lingkungan yang
terkait dengan proses pemijahan, sebagai bahan pertimbangan dalam
upaya konservasi populasi dan habitat kepiting bakau.
4. Data dan informasi tentang performa reproduksi kepiting bakau, dapat
dijadikan sebagai informasi dalam penyediaan induk, bahan acuan
dalam usaha budidaya pembenihan untuk tujuan rehabilitasi populasi
kepiting bakau.
5. Data dan informasi tentang struktur jaringan tangkai mata kepiting
yang tepat, dalam upaya mempercepat laju pematangan gonad. Data
dan Informasi ini, dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi usaha
budidaya pembenihan, untuk tujuan rehabilitasi populasi kepiting bakau.
1.5 Hipotesis.
Dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut
1. Karakter habitat yang berbeda akan mempengaruhi struktur populasi,
distribusi, dan aspek reproduksi kepiting bakau antar zona dalam
wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan
Mayangan, maupun antar ketiga wilayah perairan mangrove tersebut.
2. Terdapat perbedaan kualitas dan kuantitas gonad, embrio dan larva,
yang dihasilkan oleh induk kepiting bakau yang diberi perlakuan ablasi
tangkai mata, dengan induk tanpa perlakuan ablasi tangkai mata
2.1 Mangrove
Kata mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis yaitu
mangue dan bahasa Inggris yaitu grove (McNae 1968). Dalam bahasa Inggris, kata mangrove digunakan baik untuk komunitas pohon-pohonan atau
rumput-rumputan, atau semak belukar yang tumbuh di daerah pesisir, maupun untuk
jenis tumbuhan lainnya yang berasosiasi dengannya. Sedangkan dalam Bahasa
Portugis, kata mangrove digunakan untuk jenis tumbuhan, dan kata mangal
untuk komunitas hutan, yang terdiri atas jenis mangrove tersebut. Sementara itu,
menurut UU Nomor 5 tahun 1967, kata mangrove berarti vegetasi hutan yang
tumbuh diantara garis pasang surut, tetapi juga dapat tumbuh pada pantai
karang atau dataran koral mati, yang diatasnya ditimbuni selapis tipis pasir atau
lumpur, atau pada pantai berlumpur (Darsidi 1986).
2.1.1 Komposisi Jenis Mangrove dan Parameter Lingkungannya
Komunitas mangrove di Indonesia memiliki keragaman hayati tertinggi di
dunia, dengan jumlah total kurang lebih 89 spesies, yang terdiri atas 35 spesies
tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit dan 2 spesies
parasitik (Nontji 1987). Beberapa jenis yang umum dijumpai di wilayah pesisir
Indonesia adalah: bakau (Rhizophora), api-api (Avicennia), pedada (Sonneratia),
tanjang (Bruguiera), nyirih (Xylocarpus), tengar (Ceriops) dan buta-buta
(Exoecaria). Menurut laporan Departemen Kehutanan tahun 1982, luas areal mangrove di Indonesia tercatat 4.25 juta ha, dan tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Sedangkan berdasarkan laporan PHPA-AWB tahun 1987, luas areal
mangrove di Indonesia tinggal 3.24 juta ha (Agustono 1996).
Komposisi jenis tumbuhan penyusun komunitas mangrove ditentukan oleh
beberapa faktor lingkungan, terutama jenis tanah, genangan pasang surut dan
salinitas (Bengen 1997). Pada wilayah pesisir yang terbuka, jenis pohon yang
dominan dan merupakan pohon perintis adalah api-api dan pedada. Api-api lebih
suka hidup pada tanah berpasir agak keras, sedangkan pedada pada tanah
berlumpur lembut. Pada daerah yang terlindung dari hempasan ombak,
komunitas mangrove biasanya didominasi oleh bakau. Lebih ke arah daratan
Paku laut (Acrostichum aureum) dan jeruju (Acanthus ilicifolius), seringkali dijumpai di daerah pinggiran pohon-pohon mangrove sebagai tumbuhan bawah
(Dahuri 1996). Jenis palma yang disebut nipa (Nypa fruticans), merupakan salah
satu komponen penyusun komunitas mangrove dan seringkali tumbuh di tepian
sungai ke arah hulu dengan pengaruh air tawar yang sangat dominan.
Parameter lingkungan utama yang menentukan kelangsungan hidup dan
pertumbuhan mangrove adalah pasokan air tawar, salinitas, stabilitas substrat,
dan pasokan nutrien. Ketersediaan air tawar dan parameter salinitas yang
mengendalikan efisiensi metabolisme dari ekosistem mangrove, dipengaruhi oleh
frekwensi dan volume air tawar, frekwensi dan volume pertukaran pasang surut,
dan tingkat evaporasi. Stabilitas substrat dipengaruhi oleh kecepatan aliran air
tawar dan muatan sedimen yang dikandungnya, laju limpasan arus pasang surut,
serta gaya gelombang (Berwick 1983). Sedangkan pasokan nutrien bagi
ekosistem mangrove, dipengaruhi oleh berbagai proses yang saling terkait,
meliputi masukan ion-ion mineral organik dan anorganik, serta pendaur ulangan
nutrien secara internal melalui jaring makanan berbasis (detritus).
2.1.2 Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove, merupakan sumberdaya alam wilayah tropis, yang
memiliki manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat luas terhadap aspek
sosial, ekonomi dan ekologi. Besarnya peranan ekosistem mangrove terhadap
kehidupan dapat dilihat dari keragaman jenis hewan, baik yang hidup di perairan,
di atas substrat, maupun di tajuk-tajuk tumbuhan mangrove, serta
ketergantungan manusia secara langsung terhadap ekosistem ini (Naamin 1991)
Ekosistem mangrove merupakan produsen primer melalui serasah yang
dihasilkannya. Serasah mangrove setelah melalui proses dekomposisi oleh
sejumlah mikroorganisme, menghasilkan detritus yang meningkatkan kesuburan
perairan, sehingga berbagai jenis fitoplankton dapat hidup dan berkembang.
Fitoplankton selanjutnya dimanfaatkan oleh konsumer primer yang terdiri dari
zooplankton, ikan dan krustasea, sampai akhirnya dimangsa oleh manusia
sebagai konsumer utama (Sumarna 1985). Vegetasi mangrove juga merupakan
pendaur ulang zat hara tanah yang diperlukan bagi tanaman. Hasil penelitian di
Florida menunjukan bahwa 90.0% kotoran hutan menghasilkan 35-60% unsur
(Rhizophora spp.) mengadung kadar protein 3.1% dan setelah satu tahun meningkat menjadi 21.0%. Kadar N daun kering adalah sekitar 0.55 kg dan
diperkirakan setelah satu tahun menghasilkan sekitar 47 kg N. Produksi serasah
dalam satu hektar lahan hutan magrove dapat mencapai 7.1-8.8 ton per tahun
(Sumarna 1985).
Menurut pendapat para ahli, mangrove merupakan suatu ekosistem yang
unik dengan berbagai macam fungsi yakni fungsi fisik, biologi dan ekonomi atau
produksi (Naamin 1991). Fungsi fisik dari ekosistem mangrove adalah menjaga
garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah
terjadinya erosi pantai, sebagai perangkap bahan pencemar dan limbah,
perlindungan bagi tata guna lahan di wilayah pantai dari badai dan tsunami,
pencegahan terhadap intrusi garam, pemurnian alami perairan pantai terhadap
polusi, serta suplai detritus dan zat hara untuk perairan pantai di dekatnya.
Sedangkan fungsi biologi ekosistem mangrove adalah sebagai daerah asuhan
bagi larva dan individu muda, tempat bertelur, tempat mencari makan serta
habitat alami berbagai jenis biota, yang beberapa diantaranya memiliki nilai
komersial. Daun-daun mangrove yang berjatuhan dan berakumulasi pada
sedimen mangrove sebagai lapisan sisa-sisa daun (leaf litter), mendukung
kehadiran sejumlah besar komunitas organisme detrital. Organisme ini bertindak
sebagai pengurai detritus, dan mengubahnya menjadi energi yang dapat
dimanfaatkan oleh sejumlah spesies termasuk kepiting bakau dan jenis
krustasea lainnya, ikan, moluska, reptilia, mamalia serta burung (Dahuri 1996).
Sependapat dengan hal tersebut, Nontji (1987) melaporkan bahwa terdapat
kurang lebih 80 spesies krustasea dan 65 spesies moluska di ekosistem
mangrove di Indonesia.
White dalam Naamin (1991), menyatakan bahwa ekosistem mangrove
memiliki produktifitas yang tinggi. Fungsi ekonomi ekosistem mangrove sangat
banyak, baik secara kualitas maupun kuantitas. Menurut Saenger (1983), ada
67 macam produk yang dapat dihasilkan oleh tumbuhan mangrove bagi
kepentingan manusia, baik produk langsung, seperti; bahan bakar, bahan
bangunan, alat penangkap ikan, pupuk pertanian, bahan baku pembuatan kertas,
makanan, obat-obatan, minuman dan tekstil, maupun produk tidak langsung
seperti tempat rekreasi dan bahan makanan. Dikatakan pula bahwa sebagian
2.1.3 Ketergantungan Kepiting Bakau pada Ekosistem Mangrove
Banyak penelitian menunjukkan bahwa komunitas mangrove memainkan
peranan penting bagi berbagai jenis biota yang hidup pada, atau di sekitar
ekosistem tersebut. Nontji (1987), mengatakan bahwa beberapa produk
perikanan yang bernilai ekonomi penting, mempunyai hubungan yang erat
dengan ekosistem mangrove seperti udang (Paneus), kepiting bakau (Scylla) dan
Tiram (Crassostrea)
Kepiting bakau menjalani sebagian besar hidupnya di ekosistem mangrove
dan memanfatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya, yakni
sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran. Kepiting bakau
melangsungkan perkawinan di perairan hutan mangrove, dan secara
berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting bakau betina akan
beruaya dari perairan hutan mangrove ke perairan laut untuk memijah,
sedangkan kepiting bakau jantan akan tetap berada di hutan mangrove untuk
melanjutkan aktifitas hidupnya. Setelah memijah, kepiting bakau betina akan
kembali ke hutan mangrove. Demikian pula dengan juvenil kepiting bakau yang
akan bermigrasi ke hulu estuari, untuk kemudian berangsur-angsur memasuki
hutan mangrove.
Ekosistem mangrove, merupakan tempat ideal bagi kepiting bakau untuk
berlindung. Kepiting bakau muda pascalarva yang berasal dari laut, banyak
dijumpai di sekitar estuari dan hutan mangrove, karena terbawa arus dan air
pasang dan akan menempel pada akar-akar mengrove untuk berlindung
(Hutching & Saenger 1987). Sedangkan kepiting bakau dewasa merupakan
penghuni tetap hutan mangrove, dan sering dijumpai membenamkan diri dalam
substrat lumpur, atau menggali lobang pada substrat lunak sebagai tempat
persembunyaian (Queensland Depertment of Industries 1989a). Lebih lanjut
Pagcatipunan (1972), menyatakan bahwa setelah berganti kulit (moulting),
kepiting bakau akan melindungi dirinya dengan cara membenamkan diri, atau
bersembunyi dalam lobang sampai karapaksnya mengeras. Hutcing dan
Saenger (1987), menyatakan bahwa kepiting bakau hidup di sekitar hutan
mangrove, dan memakan akar-akarnya (pneumatophore). Sementara Hill (1982),
menyatakan bahwa perairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untuk
kehidupan kepiting bakau, karena sumber makanannya seperti bentos dan
2.2 Kepiting Bakau 2.2.1 Klasifikasi
Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae, yang terdiri atas enam
subfamili yaitu: Carcininae, Polybiinae, Caphyrinae, Catoptrinae,
Podophthalminae dan Portuninae. Moosa (1979), memperkirakan bahwa ada sekitar 234 jenis yang tergolong dalam famili Potunidae, di wilayah Indopasifik
Barat dan 124 jenis di Indonesia. Portunidae tergolong dalam kelompok kepiting
perenang (swimming crabs), karena memiliki pasangan kaki terakhir yang
memipih, dan dapat digunakan untuk berenang. Famili Portunidae mencakup
rajungan (Portunus, Charybdis & Thalamita) dan kepiting bakau (Scylla spp.).
Dinamakan kepiting bakau (Scylla spp.) karena banyak ditemukan di wilayah
hutan bakau/mangrove. Meskipun demikian, kepiting bakau memiliki nama lokal
yang beragam. Di Jawa, masyarakat mengenalnya dengan nama kepiting, di
sebagian daerah di Maluku Tengah, dikenal sebagai katang nene, sedangkan di
sebagian Sumatera, dikenal sebagai ketam batu, kepiting cina, atau kepiting
hijau. Di manca negara, kepiting bakau juga dikenal dengan beragam nama
yaitu: kepiting batu di Malaysia (Ong 1966), kepiting lumpur (mud crab) di
Australia, kepiting samoa di Hawai, alimango di Philipina, tsai jim di Taiwan, dan
nokogiri gozami di Jepang (Cowan 1984).
Motoh (1977), mengklasifikasikan kepiting bakau sebagai berikut
Filum : Arthropoda
Subfilum : Mandibulata
Kelas : Crustasea
Subkelas : Malacostraca
Tribe : Eumalacostaca
Supertribe : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Pleocyemata
Suku : Brachyura
Famili : Portunidae
Subfamili : Portuninae
Genus : Scylla
Selanjutnya Estampador (1949a), membagi genus Scylla atas tiga jenis
Scylla tranquebarica (Fabricius) dan Scylla serrata var. paramamosin
(Estampador). Meskipun demikian, menurut Stephenson dan Campbell (1960)
dalam Watanabe et al. (2001), genus Scylla hanya memiliki satu jenis saja yaitu
Scylla serrata. Hal yang sama juga diyakini oleh Alcock (1989) dalam Sulaeman
dan Naevdal (2000), yang menyatakan bahwa Scylla dari perairan India terdiri
atas satu jenis yaitu Scylla serrata. Demikian pula halnya dengan Moosa et al.
(1985), yang mendukung kesimpulan tersebut melalui kajian terhadap kepiting
bakau di perairan Indonesia. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
maka berdasarkan hasil penelitiannya dengan menggunakan metode Allozyme
electrophoresis dan mitocondria DNA,Keenan et al. (1998) menyatakan bahwa
kepiting bakau terdiri atas empat jenis yaitu: Scylla serrata, S. tranquebarica,
S. pararamosain dan S. olivacea.
2.2.2 Taksonomi dan Identifikasi
Menurut Moosa (1981), untuk mengenal dan memberikan diagnosa dari
tiap jenis krustasea, terlebih dahulu diperlukan pengetahuan tentang istilah
bagian-bagian tubuh yang biasanya dipergunakan dalam taksonomi binatang
yang bersangkutan. Dijelaskan pula bahwa bagian-bagian tubuh penting yang
digunakan dalam pengenalan jenis dari famili Portunidae adalah
1. Karapaks (carapace), yaitu selubung kepala-dada serta bagian-bagian
yang ada di atasnya.
2. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada bagian dahi karapaks (rostrum)
3. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada tepi antero-lateral karapaks
4. Bentuk sudut postero-lateral tubuh
5. Bagian-bagian yang terdapat pada ruas-ruas kaki jalan (periopod),
terutama dari pasangan kaki pertama yang berbentuk capit (cheliped)
dan pasangan kaki terakhir yang berbentuk dayung
6. Bentuk tutup abdomen dan bentuk pleopod
7. Bentuk mulut terutama maxillipedIII
8. Bentuk bagian ruas dasar antenne (Basal antennal joint).
Kriteria-kriteria tersebut di atas tidak semuanya berlaku untuk satu genus. Ada
kriteria yang dapat digunakan untuk genus yang satu, tetapi tidak penting atau
kriteria yang sama-sama dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis-jenis dari
beberapa genus.
Secara umum, ciri dari jenis-jenis organisme yang tergolong dalam famili
Portunidae adalah: karapaks pipih atau agak cembung, berbentuk heksagonal
atau agak persegi, bentuk umum adalah bulat telur memanjang atau berbentuk
kebulat-bulatan, karapaks umumnya berukuran lebih lebar dari pada panjangnya
dengan permukaan yang tidak selalu jelas pembagiannya; tepi antero-lateral
karapaks berduri lima (jarang kurang dari lima kecuali pada subfamili
Podophthalminae) sampai sembilan buah; dahi lebar, serta terpisah dengan jelas dari sudut supraorbital dan memiliki jumlah duri dua sampai enam buah; antenne
(antennulae) kecil, terletak melintang atau menyerong; pasangan kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung, terutama pada dua ruas terakhir (ada
beberapa genus yang berkaki tidak berbentuk demikian) (Moosa 1981).
Sedangkan ciri kepiting bakau secara khusus menurut Sulistiono et al.
(1992), adalah: karapaks berbentuk cembung dan halus, lebar karapaks satu
setengah dari panjangnya; bentuk alur yang menyerupai huruf H antara area
pencernaan (gastric area) dan area jantung (cardiac area) jelas; empat duri
berbentuk segitiga pada bagian dahi berukuran sama, serta memiliki orbit yang
lebar dengan dua celah.
Kathirvel dan Srinivasagam (1992) yang membedakan kepiting bakau
berdasarkan habitatnya di wilayah Indo-Pasifik, menyatakan bahwa ada dua
jenis dari genus Scylla yaitu S. serrata dan S. tranquebarica, yang adalah sejenis
dengan S. oceanica. Kedua spesies ini dibedakan melalui warna tubuh dan
habitatnya. S. serrata hidup pada lobang-lobang di hutan mangrove sementara
S. tranquebarica yang memiliki ukuran tubuh lebih besar adalah perenang bebas. Sebaliknya Estampador (1949), menggolongkan kepiting bakau ke dalam dua
kelompok, yaitu banhawin dan mamosain. Kelompok Banhawin terdiri atas
individu dengan warna tubuh hijau, dan memiliki tanda/pola poligonal pada
semua kaki dan cheliped-nya. Sedangkan kelompok kedua adalah individu
berwarna coklat gelap dan tidak memiliki tanda/pola apapun pada kaki-kaki dan
cheliped-nya. Kepiting banhawin adalah perenang bebas, sedangkan kelompok
bebas, sedangkan S. serrata digolongkan ke dalam kelompok mamosain yaitu yang hidup di dalam lobang-lobang pada areal mangrove.
Untuk membedakan keempat jenis dari genus Scylla, Estampador (1949)
mempergunakan warna sebagai salah satu faktor pembeda utama, walaupun
menurut Warner (1977), identifikasi jenis berdasarkan warna tubuh saja mungkin
akan keliru, karena kondisi setempat seperti cahaya, panas dan warna latar
belakang habitat tempat kepiting bakau hidup, dapat berdampak terhadap
dispersi pigmen pada tubuh kepiting bakau. S. oceanica dan S. tranquebarica
mempunyai warna dasar kehijauan atau hijau keabu-abuan, atau disebut juga
warna hijau buah zaitun, sedangkan S. serrata dan S. serrata var. paramamosin
mempunyai warna dasar hijau merah kecoklatan atau coklat keabu-abuan
sampai abu-abu. Estampador (1949), mengkaji juga beberapa perbedaan
morfologis untuk membedakan keempat jenis dari genus Scylla seperti: sumber
pembuat warna, bentuk H pada karapaks, bentuk duri pada dahi karapaks,
[image:37.595.99.516.396.814.2]bentuk duri pada fingerjoint dan bentuk rambut/setae (Tabel 1).
Tabel 1 Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp.) menurut Estampador (1949)
Warna dan ciri morfologis
Scylla oceanica
Scylla tranquebarica
Scylla serrata Scylla serrata var. paramamosin
Warna karapaks Hijau
keabu-abuan
Hijau buah zaitun Coklat merah se-perti karat
Coklat kehijauan
Sumber pigmen polygonal
Pada capit dan semua kaki jalan
Hanya pada bagian terakhir kaki jalan
Tidak ada Pigmen putih pada bagian terakhir dari kaki-kaki
Bentuk alur “H” pada karapaks
Dalam Dalam tidak dalam Relatif tidak
begitu dalam
Bentuk duri depan Tajam Tajam Tumpul Sedang
Bentuk duri pada “fingerjoint”
Kedua duri jelas dan runcing
Kedua duri jelas dan satu agak tumpul
Duri tidak ada dan berubah menjadi vestigial
-
Bentuk Rambut/setae
Melimpah pada karapaks
- Hanya pada
hepatic area
-
Selain perbedaan warna dan perbedaan morfologis tubuh, telah
dikembangkan suatu teknik baru untuk memperoleh status taksonomi dari jenis
organisme tertentu, yaitu melalui analisa genetik. Analisa ini merupakan suatu
komponen penting dari penelitian taksonomi dan biologi perikanan, dan
umumnya dikembangkan melalui pendekatan karakter-karakter individu dari
suatu jenis organisme, yang tidak terpengaruh oleh kondisi lingkungan. Analisa
kemudian merubah klasifikasi genus Scylla dari klasifikasi sebelumnya, dengan karakter tiap jenis seperti pada Tabel 2.
Klasifikasi jenis kelamin kepiting bakau dapat dilakukan secara eksternal.
Menurut Moosa et al. (1985), ruas-ruas pada tutup abdomen kepiting bakau
jantan umumnya sempit dan berbentuk segitiga, sedangkan ruas-ruas pada tutup
abdomen kepiting bakau betina berukuran lebar dan sedikit membulat.
Tabel 2 Karakter jenis kepiting bakau (Scylla spp.) menurut Keenan et al. (1998).
Jenis Fakror pembeda / ciri morfologis
Pola poligon dan warna
Chela dan kaki-kakinya memiliki pola poligon yang sempurna
untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina. Warna bervariasi dari ungu, hijau sampai hitam kecoklatan
Duri pada dahi Tinggi, tipis dan agak tumpul dengan tepian yang cenderung
cekung dan membulat
Scylla serrata
Duri pada bagian luar cheliped
Dua duri tajam pada propondus dan sepasang duri tajam pada carpus
Pola poligon dan warna
Chela dan dua pasang kaki jalan pertama berpola poligon
serta dua pasang kaki terakhir dengan pola bervariasi. Pola poligon juga terdapat pada abdomen betina dan tidak pada abdomen jantan. Warna bervariasi mirip dengan S. serrata
Duri pada dahi Tumpul dan dikelilingi celah sempit
Scylla tranquebarica
Duri pada bagian luar cheliped
Dua duri tajam pada propondus dan sepasang duri tajam pada carpus.
Pola poligon dan warna
Chela dan kaki-kakinya berpola poligon untuk kedua jenis
kelamin. Warna bervariasi dari ungu sampai coklat kehitaman.
Duri pada dahi Tajam, berbentuk segitiga dengan tepian yang bergaris lurus
dan membentuk ruang yang kaku
Scylla
paramamosain
Duri pada bagian luar cheliped
Pada dewasa tidak ada duri pada bagian luar carpus dan sepasang duri agak tajam yang berukuran sedang pada
propondus sedangkan pada juvenil duri di bagian luar carpus
tajam.
Pola poligon dan warna
Chela dan kaki-kakinya tanpa pola poligon yang jelas untuk
kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina saja. Warna bervariasi dari oranye kemerahan sampai coklat kehitaman.
Duri pada dahi Tumpul dan dikelilingi raung-ruang yang sempit
Scylla olivacea
Duri pada bagian luar cheliped
Umumnya tidak ada duri pada carpus. Sedangkan pada bagian propondus duri mengalami reduksi dari tajam ke tumpul
2.2.3 Daur Hidup
Menurut Arriola (1940); Hill (1974); dan Le Reste et al. (1976), kepiting
bakau melangsungkan perkawinannya di perairan hutan mangrove, dan secara
berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting bakau betina
akan bermigrasi ke perairan laut atau menjauhi pantai, untuk mencari perairan
yang parameter lingkungannya (terutama suhu dan salinitas perairan) cocok,
melakukan perkawinan akan tetap berada di perairan hutan mangrove, tambak
atau sela-sela perakaran mangrove.
Menurut Estampador (1949), perkembangan kepiting bakau dalam daur
hidupnya dibagi atas tiga stadia, yaitu: stadia embrionik, stadia larva dan stadia
pascalarva). Secara lebih detil Motoh (1977), menyatakan bahwa perkembangan
kepiting bakau (Scylla serrata) mulai dari telur hingga mencapai dewasa
mengalami beberapa tingkat perkembangan, yaitu: stadia zoea, stadia megalopa,
stadia kepiting muda (juvenil) dan stadia kepiting bakau dewasa.
Setelah telur menetas di perairan laut, muncul larva tingkat I (zoea I) yang
akan terus menerus berganti kulit (moulting), kemudian terbawa arus ke perairan
pantai, hingga mencapai stadia zoea V. Proses ini memerlukan waktu minimal 18
hari. Setiap kali pergantian kulit zoea tumbuh dan berkembang, yang antara lain
ditandai oleh penambahan setae renang pada endopod maxilliped-nya (Warner
1977). Zoea V kemudian akan mengalami pergantian kulit menjadi megalopa,
yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, kecuali masih
memiliki bagian ekor yang panjang. Menurut Motoh (1977), megalopa yang lebih
mirip kepiting dewasa sering dirujuk sebagai kepiting pada stadia pascalarva.
Proses perkembangan dari stadia megalopa ke stadia kepiting bakau muda
(juvenil), memerlukan waktu antara 11-12 hari. Kepiting bakau muda akan
bermigrasi kembali ke hulu estuari, kemudian berangsur-angsur memasuki hutan
mangrove, hingga berkembang menjadi kepiting bakau dewasa. Gambaran daur
hidup kepiting bakau tersaji pada Gambar 2.
2.2.4 Sistem Neurosecretory Tangkai Mata
Kepiting bakau memiliki sepasang mata. Mata kepiting bakau dilengkapi
dengan tangkai dan menempel pada bagian tepi anterior karapaks, tepat di sisi
kiri dan kanan bagian dahi karapaks. Tangkai pada mata kepiting bakau,
memungkinkan kedua mata dapat digerakan dengan leluasa ke segala arah
(Warner 1977). Tangkai mata kepiting bakau akan dimasukan dan ditempelkan
rapat-rapat di dalam rongga mata, bila ada gangguan dari luar. Bila diamati
melalui bagian ventral tubuh, maka terlihat jelas bahwa diantara kedua mata
terdapat mulut. Sistem neurosecretory yang berasosiasi dengan optic ganglia
sekumpulan sel neurosecretory yang berasosiasi dengan tiap ganglion pada
optic ganglia, saluran sinus gland dan sinus gland (Carlisle & Passano 1953).
Proses kawin (kopulasi)