Lampiran 5. Karakteristik biji pepaya
a. Biji pepaya basah
Lampiran 6. Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia biji pepaya
1
2 3
4
5
6
Gambar mikroskopik serbuk simplisia biji papaya dengan perbesaran 10x10 Keterangan: 1 = berkas pembuluh (xylem)
2 = kutikula 3 = epidermis 4 = parenkim
5 = butir minyak
Lampiran 7. Bagan pembuatan, skrining fitokimia, dan karakterisasi serbuk simplisia
dicuci sampai bersih
dikeringkan di lemari pengering dengan suhu ±400c
dihaluskan
Biji Pepaya
Simplisia
Serbuk simplisia biji pepaya
Karakterisasi Simplisia: -Mikroskopik
-Makroskopik
Skrining Fitokimia: -Alkaloid
-Flavonoid -Saponin -Tanin -Glikosida
Ekstrak biji pepaya Lampiran 8. Bagan kerja pembuatan ekstrak biji pepaya
dicuci sampai bersih
dikeringkan di lemari pengering ditimbang 900 g
dilarutkan dalam15 L air
dipanaskan selama 30 menit dengan suhu 90oC
disaring
ditambahkan air panas hingga diperoleh eksktrak sebanyak 15 L
Lampiran 11. Perhitungan pembuatan ekstrak biji papaya
Sampel yang digunakan 900 g berat kering (simplisia) dalam 15 L air
900 � 15 �
� = 60 ��� = 60.000 ���� = 60.000 ����� = 60.000 ppm
Larutan Induk Baku II 5000 ppm 5000 µ�/��
60000µ�/�� � 100 �� = 8,3 ml a. Konsentrasi 25,625 ppm 25,625 µ�/��
Lampiran 15. Hasil uji statistika
Descriptives
N Mean
Std. Deviation
Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower
Bound
Upper Bound
Kontrol - 5 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00 Kontrol + 5 10.0000 .00000 .00000 10.0000 10.0000 10.00 10.00
Lampiran 15 (Lanjutan)
Homogeneous Subsets
Tukey HSDa
Kelompok Uji N Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4
Kontrol (-) 5 .0000
51.34 5 .0000
25.67 5 .0000
102.69 5 .8000
205.38 5 1.8000
410.75 5 4.2000
821.50 5 7.8000
Kontrol (+) 5 10.0000
1643.00 5 10.0000
3286.00 5 10.0000
Sig. .068 1.000 1.000 1.000
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F.(2008). Manajemen Penyakit Berbasis Lingkungan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Halaman 28.
Adjirni., dan Saruni. (2006). Penelitian Antiinflamasi dan Toksisitas Akut Ekstrak Akar Pepaya (Carica papaya L.) pada Tikus Putih. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran. 129(3): 42-44.
Anwar,J.T. (2011). Aplikasi Formulasi Insektisida Nabati Campuran Ekstrak Piper retrofractum Vahl. Dan Annona squamosa L. Pada Pertanaman Tomat Organik. Skripsi. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Halaman 20.
Armes, N.J., Jadhav D.R., dan DeSouza K.R. (1996). A survey of insecticide resistance in Helicoverpa armigera in the Indian subcontinent. Bull. Entomol. Res. 86(5): 499-514.
Borchert, D.M., Magarey, R.D., Glenn., dan Fowler, A. (2003). Pest Assesment: Old World Bollworm, Helicoverpa armigera (Hubner), (Lepidoptera: Noctuidae). Halaman 1-3.
BPOM, RI. (2010). Acuan Sediaan Herbal. Volume Kelima Edisi I. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Deputi Bidang Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen. Halaman 74.
BPOM, RI. (2011). Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo. Jakarta: Pusat Riset Obat dan Makanan BPOM RI. Halaman 25-29.
BPOM, RI. (2008). Taksonomi Koleksi Tanaman Obat Kebun Tanaman Obat Citeureup. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Deputi Bidang Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen. Halaman 20.
Cahyadi, R. (2009). Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Buah Pare (Momordica charantia L.) Terhadap Larva Artemia salina Leach Dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BST). Tesis. Semarang: Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro. Halaman 33.
Chen, K., Ming-che, C., Liu, V., dan Shiu-luan L. (2010). Teknik Produksi Tomat Ramah Lingkungan. Tainan: AVRDC publication. Halaman 2.
Dewi, S.R.A., dan Pawenang, E.T. (2003). Potensi Daun Pandan Wangi Untuk Membunuh Larva Nyamuk Aedes Aegypti. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2 (23): 228 – 231.
Ditjen, POM. (1979). Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman7, 744, 748.
Ditjen, POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan Pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 3-5, 10-11. Djarubito, P. (1990). Zoologi Dasar Dasar. Jakarta: Erlangga LP4. Halaman 23. Djuhanda, T. (1981). Embriologi Perbandingan. Bandung: Armia. Halaman 20. Francisca, N. (2012). Uji Antimutagenik Fraksi Etilasetat Bunga Pepaya Jantan
(Carica papaya L.) pada Mencit yang Diinduksi dengan Siklofosfamid. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Henny S., Arsunan, A.A., dan Hasanuddin, I. (2014) Potential Test of Leaf and Seed Extract (Carica Papaya L.) as Larvacides Against Anopheles Mosquito Larvae Mortality. Sp in Jayapura, Papua Indonesia. International Jurnal of Scientific and Research Publication. 4(6): 5-6.
Iman, M.N. (2009). Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol Bunga Pepaya Jantan (Carica papaya L.) Terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus Multiresisten Antibiotik. Skripsi. Surakarta: Fakultas Farmasi UMS. Kalie, M.B. (1996). Bertanam Pepaya. Edisi Revisi. Jakarta: Penebar Swadaya.
Halaman 2-24.
Kardinan, A. (2005). Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 88-97.
King, A.B.S. (1994). Heliothis/Helicoverpa (Lepidoptera: Noctuidae). In Insect Pests of Cotton, Mathews G.A. and Turnstall J.P. (eds.). Wallingford: CAB International. Halaman 39-106.
Lu, F.C. (1995). Toksikologi Dasar: Asas, Organ, Sasaran dan Penilaian Risiko. Diterjemahkan oleh Edi Nugroho. Edisi II. Jakarta: UI Press. Halaman 46, 92, 206-220.
Martiasih, M., Sidharta, B.B.R., dan Atmodjo, P.K. (2011). Aktivitas Antibakteri Ekstrak Biji Pepaya (Carica papaya L.) Terhadap Escherichia coli dan Strepcoccus pyogenes.Jurnal Pangan dan Agroindustri. 41(8): 421-431.
Matthews, G.A. (1979). Pesticide Application Method. Lincolnshire: Prentice Hall Press. Halaman 102.
Ngatidjan. (2006). Toksikologi. Yogyakarta: Bagian Farmakologi Dan Toksikologi Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Halaman 27. Novizan. (2004). Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan.
OECD. (2001). Acute Oral Toxicity. OECD Guidelines for the Testing of Chemicals. 432(1): 1-6.
OECD. (2008). Oral Toxicity Study in Rodents. OECD Guidelines for the Testing of Chemicals. 407(1): 4-13.
Pearson, E.O. (1958). The Insect Pests Of Cotton In Tropical Africa. London: Commonwealth Institute of Entomology. Halaman: 355.
Pracaya. (1999). Hama Penyakit Tanaman. Cetakan 6. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 5.
Pratiwi, Y., Sri, S., dan Winda, F.W. (2012). Uji Toksisitas Limbah Cair Laundry Sebelum dan Sesudah Diolah dengan Tawas dan Karbon Aktif terhadap Bioindikator (Cyprinus carpio L.). Jurnal Teknik Lingkungan. Yogyakarta: Fakultas Sains Terapan Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Sains Terapan, Institut Sains & Teknologi Akprind.
Primiari, A., Rohman, F., dan Nugrahaningsih. (2013). Uji Efektivitas Ekstrak Daun Mimba (Azadirachta indica Juss) Terhadap Mortalitas Kutu Daun Hijau (Myzus persicae Sulzer) Pada Tanaman Kubis (Brassica oleracea). Malang: Universitas Negeri Malang Jurusan Biologi, FMIPA.
Priyanto. (2009). Toksikologi Mekanisme, Terapi Antidotum dan Penilaian Resiko. Jakarta: Lembaga Studi dan Konsultasi Farmakologi Indonesia (LESKONFI). Halaman 1-28, 87-132.
Rajagopal, D., dan Channa, B.G.P. (1982). Biology Of The Maize Cob Caterpillar, Heliothis armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae). Nysore J. Agric. Sci.16: 153-159.
Ramadhani, N., Suwarso, E., Reveny, J. (2014). Uji Toksisitas LC50 Terhadap
Pengaruh Ekstrak Biji Pepaya (Carica papaya L.) Pada Ikan Nila (Oreochromisniloticus). Medan: Universitas Sumatera Utara, Fakultas Farmasi. Halaman 23.
Santoso, H. (1991). Tanaman Obat Keluarga. Cetakan 1. Jakarta: Teknologi Tepat Guna. Halaman 59, 61-62.
Satriyasa, B.K., dan Pangkahila, W.I. (2010). Fraksi Heksan dan fraksi Metanol Ekstrak Biji Pepaya Muda Menghambat Spermatogonia Mencit (Mus Musculus) Jantan. Jurnal Veteriner. 11(1): 36-40.
Semangun, H. (1994). Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Halaman: 236.
Setiawan, D., Basuri, T.P., Nora, S., Mahendra, B., dan Rahmat, D. (2008). Care Your Self Hypertensi. Jakarta: Penebar Plus. Halaman 32.
Sudarmo, S. (1991). Pestisida. Yogyakarta: Kanisius. Halaman 9.
Suirta, I.W., Puspawati, N.M., dan Gurniati, N.K. (2007). Isolasi dan Identifikasi Senyawa Aktif Larvasida dari Biji Nimba (Azadirachta indicaA. Juss) terhadap Larva Nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti). Jurnal Kimia. 1(2): 47-54.
Suprapti, M.L. (2005). Teknologi Pengolahan Pangan Aneka Olahan Pepaya Mentah. Yogyakarta: Kanisius. Halaman: 34.
Syahwono, U. (2009). Cara Membuat Dan Petunjuk Penggunaan Biopestisida. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 22.
Trisnawati, Y., dan Setiawan, A.I. (1997). Tomat: Pembudidayaan Secara Komersial. Cetakan 5. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 118.
Untung, K. (1993). Konsep Pengendalian Hama Terpadu. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset. Halaman 5.
Untung, K. (1996). Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: UGM Press. Halaman 10.
Utomo, M., Amaliah, S., dan Suryati, F.A. (2010). Daya Bunuh Bahan Nabati Serbuk Biji Pepaya Terhadap Kematian Larva Aedes aegypty Isolat Laboratorium B2P2VRP Salatiga. Semarang: Prosiding Seminar Nasional UNIMUS. Halaman 153.
Wahyuni, D. (2014). New Bioinsecticide Granules Toxin from Extract of Papaya (Carica papaya) Seed and Leaf Modified Against Aedes aegypti larvae. Procedia Environmental Sciences. 23(2015): 323-328.
Warisno. (2003). Budi Daya Pepaya.Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Halaman 9-10.
Wiryanta, B.T.W. (2002). Bertanam Tomat. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Halaman 6-7.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode rancangan eksperimental sederhana dimana subjek penelitian dibagi dalam dua kelompok yaitu, kelompok perlakuan
uji dan kelompok kontrol dengan tahapan penelitian meliputi pengumpulan dan pengolahan tumbuhan, pembuatan ekstrak biji pepaya, penyiapan hewan
percobaan, pengamatan kematian, penentuan dosis efektif dan pengukuran LC50. Data dianalisis dengan uji ANOVA untuk melihat perbedaan nyata antar kelompok, kemudian dilanjutkan dengan uji Post Hoc Tukey. Analisis statistik ini
menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 17 dengan taraf kepercayaan 95%. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium
Farmakologi Fakultas Farmasi USU. 3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini toples kaca, sprayer, botol kaca, jirigen plastik, spuit (1ml, 3ml dan 10ml), pisau, panci, kompor, lemari pengering,
neraca digital (Vibra), blender, kain kasa steril, kertas perkamen dan alat-alat gelas (Pyrex).
3.1.2 Bahan
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji dari buah pepaya (Carica papaya L.) yang diperoleh secara purposif di pajak sore Medan. Bahan-
3.2 Identifikasi
3.2.1 Identifikasi sampel
Identifikasi biji pepaya (Carica papaya L.) dilakukan di Herbarium Medanense Universitas Sumatera Utara.
3.2.2 Identifikasi hewan uji
Identifikasi hewan uji (Helicoverpa armigera) dilakukan di “Laboratorium Sistematika Hewan” FMIPA, Universitas Sumatera Utara.
3.3 Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan adalah ulat tomat (Helicoverpa armigera) sebanyak 560 ekor yang masih dalam fase ulat. Sebanyak 60 ekor ulat
digunakan untuk uji pendahuluan dan 500 ekor ulat digunakan untuk pengujian dosis pestisida nabati. Hewan uji diperoleh dari ladang tomat yang terletak di
daerah Berastagi, Sumatera Utara. 3.4 Prosedur Penelitian 3.4.1 Pengambilan sampel
Metode pengambilan sampel dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan sampel yang sama dari daerah lain. Sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah biji pepaya dari buah pepaya matang, diperoleh dari pajak sore, Medan
3.4.2 Penyiapan sampel
Sampel biji pepaya yang masih segar dipisahkan dari buahnya, dicuci bersih dari daging buah dan pengotoran lainnya kemudian ditiriskan lalu
ditimbang beratnya sebagai berat basah sebanyak 3,5 kg. Selanjutnya dikeringkan
sampel menjadi rapuh. Simplisia diblender dan ditimbang beratnya sebagai berat kering. Diperoleh serbuk kering simplisia sebanyak 910 g dan dimasukkan ke
dalam kantong plastik, diberi etiket dan disimpan. 3.4.3 Pembuatan ekstrak biji pepaya
Pembuatan ekstrak biji pepaya dilakukan dengan metode dekoktasi.
Sebanyak 900 g serbuk kering ditambahkan air sebanyak 15 L dalam bejana tertutup selama 30 menit sampai mencapai suhu 900C sambil sesekali diaduk.
Didiamkan selama 24 jam, kemudian disaring hingga diperoleh ekstrak biji pepaya.
3.5 Uji Pendahuluan
Percobaan pada tahap pendahuluan ini bertujuan untuk mencari kisaran konsentrasi kritis bahan uji yang akan digunakan untuk penentuan dosis pestisida
nabati yang tepat berdasarkan nilai LC50 dari penelitian Ramadhani (2014). Konsentrasi yang digunakan pada uji pendahuluan ini dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Konsentrasi Uji Pendahuluan
Kelompok Uji Jumlah Ulat Volume (ml) Konsentrasi (ppm)
Hewan uji dibagi dalam 6 kelompok. Sebanyak 10 ekor ulat tomat dimasukkan ke dalam setiap wadah uji (toples) pada masing-masing kelompok.
Masing-masing toples disemprotkan bahan uji dengan konsentrasi 102,5 ppm; 205 ppm; 410,75 ppm; 821,5 ppm, sipermetrin 50 ppm dan akuades sebanyak 2 ml, setiap perlakuan dan pengamatan dilakukan hingga hewan uji mati, waktu dan
jumlah kematian hewan dicatat. Sprayer dikalibrasi sedemikian rupa agar bahan uji yang disemprotkan sprayer tepat sebanyak 2 ml.
3.6 Pengujian Dosis Pestisida Nabati
Hewan uji sebanyak 10 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 10 ekor ulat tomat dan dimasukkan ke dalam toples, kemudian disemprotkan ekstrak biji
pepaya. Konsentrasi uji dosis yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.2. Tabel 3.2 Konsentrasi Uji Dosis Pestisida Nabati
Kelompok Uji Jumlah Ulat Volume (ml) Konsentrasi (ppm)
Masing-masing toples disemprotkan bahan uji dengan konsentrasi 25,625 ppm; 51,25 ppm; 102,5 ppm; 205 ppm; 410,75 ppm; 821,5 ppm; 1643 ppm; 3286
ppm, sipermetrin 50 ppm, dan akuades sebanyak 2 ml, setiap perlakuan dan pengamatan dilakukan hingga hewan uji mati, waktu dan jumlah kematian hewan dicatat.
3.7 Pengamatan
Waktu pengamatan setelah perlakuan yaitu 1 hari, 2 hari, 3 hari, 4 hari, 5
hari, 6 hari dan 7 hari (Primiari, 2013), dengan pengulangan sebanyak 5 kali. Hewan uji diamati tiap konsentrasi dan dihitung secara kumulatif jumlah hewan uji yang mati dalam waktu yang ditentukan.
3.8 Analisis Data
Data dianalisis dengan ANOVA (analisis variansi) dan dilanjutkan dengan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan
Tumbuhan yang digunakan telah diidentifikasi di Herbarium Medanense Universitas Sumatera Utara. Hasil identifikasi tumbuhan yang diteliti adalah
Carica papaya L. Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada lampiran 1.
4.2 Hasil Identifikasi Hewan Uji
Hewan yang telah diidentifikasi di Laboratorium Sistematika Hewan
FMIPA, Universitas Sumatera Utara adalah Helicoverpa armigera Hubner, 1809 suku noctuidae. Hasil identifikasi hewan uji dapat dilihat pada lampiran 2.
4.3 Hasil Skrining Fitokimia Serbuk Biji Pepaya
Skrining fitokimia terhadap serbuk simplisia biji pepaya dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa metabolit sekunder yang terkandung di dalam biji
pepaya (Ramadhani, 2014). Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia biji pepaya dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia biji pepaya
No Golongan Senyawa Hasil Pemeriksaan Simplisia
1 Alkaloid +
2 Flavonoid +
3 Tanin +
4 Steroid/Triterpenoid +
5 Saponin +
6 Glikosida +
Keterangan:
(+) positif : mengandung golongan senyawa metabolit sekunder (-) negatif : tidak mengandung golongan senyawa metabolit sekunder
mengandung senyawa golongan alkaloid, flavonoid, tanin, steroid/triterpenoid, saponin dan glikosida. Aktivititas insektisida dari metabolit sekunder pada daun
dan biji pepaya yang bersifat toksik seperti saponin, flavonoid dan triterpenoid (Wahyuni, 2014).
4.4 Hasil Uji Pendahuluan
Hasil uji pendahuluan pemberian ekstrak biji pepaya, ditemukan adanya
kematian pada ulat tomat uji pada konsentrasi bahan uji 205 ppm; 410,75 ppm; 821,5 ppm dan sipermetrin konsentrasi 50 ppm. Hasil uji pendahuluan dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Hasil uji pendahuluan pemberian ekstrak biji pepaya pada ulat tomat
Kelompok Kematian Hewan
kelompok kontrol (+) : Sipermetrin konsentrasi 50 ppm kelompok perlakuan (P1) : EBP konsentrasi 102,5 ppm kelompok perlakuan (P2) : EBP konsentrasi 205 ppm kelompok perlakuan (P3) : EBP konsentrasi 410,75 ppm kelompok perlakuan (P4) : EBP konsentrasi 821,5 ppm
Pada perlakuan untuk uji pendahuluan yang dilakukan selama 7 hari
terlihat bahwa adanya kematian ulat tomat pada kelompok kontrol positif sebanyak 10 ekor, P2 sebanyak 2 ekor, P3 sebanyak 5 ekor, P4 sebanyak 9 ekor, namun pada kelompok P1 dan kontrol negatif, tidak menimbulkan kematian pada
ulat tomat. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian EBP pada sediaan uji dapat memberikan efek toksik pada hewan uji. Mekanisme kematian ulat berhubungan
menghambat daya makan ulat (antifedant). Cara kerja senyawa-senyawa tersebut adalah dengan bertindak sebagai stomach poisoning atau racun perut. Oleh karena
itu, bila senyawa-senyawa ini masuk ke dalam tubuh ulat, alat pencernaannya akan terganggu. Selain itu, senyawa ini menghambat reseptor perasa pada daerah mulut ulat. Hal ini mengakibatkan ulat gagal mendapatkan stimulus rasa sehingga
tidak mampu mengenali makanannya dan ulat mati kelaparan (Cahyadi, 2009). 4.5 Hasil Pengujian Dosis Pestisida Nabati
Pada pengujian dosis pestisida nabati ini pemberian sediaan uji sesuai dengan konsentrasi yang berdasar dari uji pendahuluan, yaitu 102,5 ppm; 205 ppm; 410,75 ppm; 821,5 ppm; Sipermetrin 50 ppm; kontrol akuades ditambah
konsentrasi 25,625 ppm; 51,25 ppm; 1643 ppm dan 3286 ppm. Kematian yang terjadi pada ulat tomat sebagai hewan uji ini diakibatkan karena efek toksik dari
pemberian ekstrak biji pepaya. Kandungan dari metabolit sekunder pada daun dan biji pepaya, alkaloid karpaina, mekanisme kerjanya menghambat proses metabolisme tubuh pada ulat, merintangi hormon pertumbuhan, dan mencerna
protein dalam tubuh ulat lalu merubahnya menjadi derivat pepton yang menyebabkan ulat kekurangan makanan dan akhirnya mati (Utomo, dkk., 2010).
Dengan pengulangan sebanyak 5 kali maka didapatkan rata-rata kematian ulat tomat yaitu, pada konsentrasi 25,625 ppm; 51,25 ppm dan kontrol negatif tidak menimbulkan kematian, konsentrasi 102,5 ppm sebanyak 0,8 ekor,
konsentrasi 205 ppm sebanyak 1,8 ekor, konsentrasi 410,75 ppm sebanyak 4,2 ekor, konsentrasi 821,5 ppm sebanyak 7,8 ekor, konsentrasi 1643 ppm sebanyak
50 ppm sebanyak 10 ekor. Hasil pengujian penentuan dosis pestisida nabati dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Hasil pengujian dosis pestisida nabati Pengulangan
kelompok kontrol (+) : Sipermetrin konsentrasi 50 ppm kelompok I : EBP konsentrasi 25,625 ppm
Berdasarkan hasil analisis, dapat terlihat bahwa semakin kecil konsentrasi
Semakin kecil dosis, semakin sedikit jumlah ulat yang mati, semakin besar dosis, semakin banyak jumlah ulat yang mati.
4.6 Hasil Pengamatan dan Persentase Kematian Hewan
Pada tabel 4.4 dapat dilihat bahwa pada konsentrasi 102,5 ppm terjadi kematian ulat tomat sebesar 8%, pada konsentrasi 205 ppm sebesar 18%,
konsentrasi 410,75 ppm sebesar 42%, kosentrasi 821,5 ppm sebesar 78%, serta konsentrasi 1643 ppm dan 3286 ppm sebesar 100%.
Tabel 4.4 Hasil persentase kematian ulat tomat Konsentrasi
(ppm)
Kematian ulat tomat (ekor) –Pengulangan
Rata-rata
kelompok kontrol (+) : Sipermetrin konsentrasi 50 ppm kelompok perlakuan (P1) : EBP konsentrasi 25,625 ppm kelompok perlakuan (P2) : EBP konsentrasi 51,25 ppm kelompok perlakuan (P3) : EBP konsentrasi 102,5 ppm kelompok perlakuan (P4) : EBP konsentrasi 205 ppm kelompok perlakuan (P5) : EBP konsentrasi 410,75 ppm kelompok perlakuan (P6) : EBP konsentrasi 821,5 ppm kelompok perlakuan (P7) : EBP konsentrasi 1643 ppm kelompok perlakuan (P8) : EBP konsentrasi 3286 ppm
pepaya. Ekstrak biji pepaya mengandung asam lemak organik dan menghambat proses metamoforsis, menghambat pembentukan kulit ulat, sehingga
mengakibatkan kematian pada ulat (Suirta, dkk., 2007). 4.7 Hasil Analisa Data
4.7.1 Uji anova
Tabel 4.5 Hasil analisa data dengan uji anova ANOVA Jumlah mati
Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Between Groups 917.220 9 101.913 130.658 .000 Within Groups 31.200 40 .780
Total 948.420 49
Hasil data statistik pada Tabel 4.5 menyebutkan bahwa terlihat memiliki perbedaan yang bermakna antara nilai jumlah kematian ulat tomat pada
masing-masing kelompok perlakuan disebabkan karena nilai signifikan yang diperoleh (p<0,05) yaitu 0,000. Karena terdapat perbedaan yang bermakna tiap perlakuan, maka uji dilanjutkan dengan uji Post Hoc Tukey.
4.7.2 Uji post hoc tukey
Hasil data statistik uji Post Hoc Tukey pada Tabel 4.6 menyebutkan bahwa
pestisida nabati ekstrak biji pepaya kelompok uji konsentrasi 25,625 ppm; 51,25 ppm; 102,5 ppm; dan 205 ppm tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan kelompok uji kontrol negatif dalam mematikan ulat tomat. Ekstrak biji pepaya
yang mulai mematikan ulat dengan perbedaan yang signifikan terhadap kelompok uji kontrol negatif terlihat pada konsentrasi 410,75 ppm, dengan rata-rata jumlah
ppm merupakan dosis efektif untuk membunuh ulat tomat. Ekstrak biji pepaya pada konsentrasi 821,5 ppm mematikan ulat dengan perbedaan yang signifikan
terhadap kelompok uji kontrol negatif namun mematikan ulat tomat dalam rata-rata jumlah kematian ulat yang lebih tinggi dari konsentrasi 410,75 ppm yaitu 78%. Sementara ekstrak biji pepaya pada konsentrasi 1643 ppm dan 3286 ppm
tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap kelompok uji kontrol positif dengan rata-rata jumlah kematian ulat 100%.
Tabel 4.6 Hasil analisa data dengan uji post hoc tukey
Kelompok_Uji N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4
Kontrol (-) 5 .0000
51.25 5 .0000
25.625 5 .0000
102.5 5 .8000
205 5 1.8000
410.75 5 4.2000
821.50 5 7.8000
Kontrol (+) 5 10.0000
1643 5 10.0000
3286 5 10.0000
Sig. .068 1.000 1.000 1.000
4.8 Analisa Kurva Dosis Respon
Agar lebih mudah untuk menganalisis data dan memahami data hasil uji
statistik pengaruh konsentrasi ekstrak biji pepaya terhadap kematian ulat tomat, maka data statistik dibuat dalam bentuk kurva dosis respon, yang dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Kurva dosis respon
Dari Gambar 4.1 diatas terlihat bahwa konsentrasi 3286 ppm membunuh sebanyak 10 ulat, konsentrasi 1643 ppm sebanyak 10 ulat, konsentrasi 821,5 ppm
sebanyak 7,8 ulat, konsentrasi 410,75 ppm sebanyak 4,2 ulat, konsentrasi 205 ppm sebanyak 1,8 ulat, konsentrasi 102,5 ppm sebanyak 0,8 ulat. Pada konsentrasi 51,25 ppm; 25,625 dan kontrol negatif tidak menimbulkan kematian. Dari grafik
log dosis versus % kematian hewan, dengan menggunakan rumus ekstrapolasi didapatlah bahwa nilai LC50 dari pestisida nabati ekstrak biji pepaya terhadap ulat
tomat adalah 478,63 ppm.
Kurva Log Dosis vs Respon
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian penentuan dosis dari pestisida nabati biji pepaya
(Carica papaya L.) terhadap ulat tomat (Helicoverpa armigera) yang telah dilaksanakan, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah:
a. Ekstrak biji pepaya pada konsentrasi 1643 ppm tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap pestisida sipermetrin dalam mematikan ulat tomat Helicoverpa armigera dengan tingkat kepercayaan 95% yaitu sebesar
100%.
b. Ekstrak biji pepaya dapat mematikan ulat tomat dengan perbedaan yang
signifikan terhadap kontrol akuades, yaitu pada konsentrasi 410,75 ppm sebesar 42%; 821,5 ppm sebesar 78% dan 1643 ppm sebesar 100%.
c. Dosis efektif ekstrak biji pepaya yang mulai dapat mematikan ulat tomat
Helicoverpa armigera dengan perbedaan yang signifikan terhadap kontrol
akuades adalah 410,75 ppm, dengan persentase kematian sebesar 42%.
d. Nilai LC50 dari pestisida nabati ekstrak biji pepaya yang diuji terhadap ulat tomat adalah 478,63 ppm.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk menguji toksisitas ekstrak biji pepaya menggunakan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang cukup banyak dibudidayakan di Indonesia. Di Indonesia, tanaman pepaya dapat tumbuh dari
dataran rendah sampai daerah pegunungan 1000 m dpl. Negara penghasil pepaya antara lain Kosta Rika, Republik Dominika, Puerto Riko, dan lain-lain. Brazil, India, dan Indonesia merupakan penghasil pepaya yang cukup besar (Warisno,
2003).
2.1.1 Sistematika tumbuhan
Tumbuhan pepaya memiliki sistematika sebagai berikut (BPOM, RI., 2008):
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae Class : Dicotyledoneae Ordo : Cistales
Famili : Caricaceae Genus : Carica
Spesies : Carica papaya L. 2.1.2 Morfologi tumbuhan
Daunnya termasuk daun tunggal, berukuran besar dan bercangap menjari dengan tangkai daun panjang (BPOM, RI., 2008). Bunganya terdiri dari tiga jenis, yaitu
bunga jantan, bunga betina dan bunga sempurna. Bentuk buah bulat sampai lonjong. Batang, daun, dan buahnya mengandung getah yang memiliki daya enzimatis, yaitu dapat memecah protein. Pertumbuhan tanaman pepaya termasuk
cepat, karena antara 10-12 bulan setelah ditanam buahnya telah dapat dipanen (Kalie, 1996). Sistem perakarannya memiliki akar tunggang dan akar-akar cabang
yang tumbuh mendatar ke semua arah pada kedalaman 1 meter atau lebih menyebar sekitar 60-150 cm atau lebih dari pusat batang tanaman (Suprapti, 2005).
2.1.3 Nama daerah
Tanaman pepaya (Carica papaya L.) di Indonesia memiliki berbagai macam nama daerah, seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua (BPOM,RI., 2010).
Sumatera : kabaelo, peute, pastelo, embetik, botik, bala, sikailo, kates, kepaya, kustela, papaya, pepaya, singsile, batiek, kalikih,
pancene, pisang, katuka, pisang patuka, pisang pelo, gedang dan punti kayu.
Jawa : gedang, ketela gantung, kates dan gedhang.
Kalimantan : bua medung, pisang malaka, buah dong, majan, pisang mentela, gadang dan bandas.
Sulawesi : kapalay, papaya, pepaya, keliki, sumoyori, unti jawa, tangan tangan nikare, kaliki dan rianre.
Maluku : tele, palaki, papae, papaino, papau, papaen, papai, papaya, sempain, tapaya dan kapaya.
Papua : sampain, asawa, menam, siberiani dan tapaya.
2.1.4 Kandungan kimia
Kandungan biji dalam buah pepaya kira-kira 14,3 % dari keseluruhan buah pepaya. Apabila dikaitkan dengan senyawa aktif dari tanaman ini ternyata banyak diantaranya mengandung alkaloid, steroid, tanin dan minyak atsiri. Dalam biji
pepaya mengandung senyawa-senyawa steroid (Satriasa dan Pangkahila, 2010) dan asam lemak tak jenuh yang tinggi, yaitu asam oleat dan palmitat (Yuniwati
dan Purwanti, 2008). Selain mengandung asam-asam lemak, biji pepaya diketahui mengandung senyawa kimia lain seperti golongan fenol, alkaloid, terpenoid dan saponin (Warisno, 2003), glucoside cacirin dan karpain (Setiawan, dkk., 2008).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil skrining biji pepaya menunjukkan adanya golongan senyawa alkaloid, steroid-triterpenoid, flavonoid,
tanin, saponin dan glikosida (Ramadhani, 2014).
Aktivititas insektisida dari metabolit sekunder pada daun dan biji pepaya yang bersifat toksik seperti saponin, flavonoid dan triterpenoid (Wahyuni, 2014).
Alkaloid karpaina mekanisme kerjanya menghambat proses metabolisme tubuh pada ulat, merintangi hormon pertumbuhan, dan mencerna protein dalam tubuh
menyebabkan hemolisis di pembuluh darah, juga menghambat proses metamorfosis, pembentukan kulit ulat, yang akan menyebabkan ulat mati (Suirta,
dkk., 2007). Flavonoid bekerja sebagai racun perut yang menurunkan nafsu makan ulat yang menyebabkan ulat tidak dapat merasakan rangsangan makanan, sehingga ulat akan mati kelaparan (Cahyadi, 2009). Triterpen adalah senyawa
yang bersifat toksik akut ketika diaplikasikan secara topikal atau ketika bercampur dengan air. Triterpenoid menyebabkan penurunan makan dan peningkatan
kematian pada ulat (Wahyuni, 2014). 2.1.5 Khasiat tumbuhan
Tumbuhan pepaya hampir seluruh bagiannya memiliki khasiat. Daunnya berkhasiat sebagai antibakteri, antimalaria, antijerawat, analgesik, antikanker dan
penambah nafsu makan (Kalie, 1996). Bunganya berkhasiat sebagai antimutagenik (Fransisca, 2012), dan antibakteri (Iman, 2009). Bijinya berkhasiat sebagai antibakteri (Martiasih, dkk., 2011) dan mengobati cacing kremi (Kalie,
1996). Akarnya juga berkhasiat sebagai antiinflamasi (Adjirni dan Saruni, 2006), penyakit kencing batu dan gangguan saluran kencing (Kalie, 1996) dan
antidiuretik (BPOM, RI., 2010).
2.2 Esktraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu
pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan
2000). Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya
matahari langsung (Depkes, RI., 1979).
Metode ekstraksi yang umum digunakan dalam berbagai penelitian antara lain (Ditjen, POM., 2000) yaitu:
a. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan, sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.
b. Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu
baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Serbuk simplisia yang akan diperkolasi tidak langsung dimasukkan kedalam bejana perkolator, tetapi dibasahi atau dimaserasi terlebih dahulu dengan cairan
penyari sekurang-kurangnya selama 3 jam. c. Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu.
d. Sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang
e. Digesti
Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada
temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.
f. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit.
g. Dekoktasi
Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit.
2.3 Pestisida
Meskipun memiliki banyak keuntungan seperti cepat menurunkan populasi hama, mudah penggunaannya, dan menguntungkan namun dampaknya semakin lama semakin dirasakan oleh masyarakat (Untung, 1996). Berikut ini
diuraikan 3 dampak samping utama penggunaaan pestisida kimia menurut Untung (1993):
a. Munculnya ketahanan hama terhadap pestisida karena hama terus menerus mendapat tekanan oleh pestisida maka melalui proses seleksi alami spesies hama mampu membentuk strain yang lebih tahan terhadap pestisida tertentu
yang sering digunakan oleh petani.
b. Timbulnya resurjensi hama, dampak pestisida yang dirasakan oleh petani
c. Dampak pestisida yang ketiga adalah timbulnya letusan hama kedua. Setelah perlakuan pestisida tertentu secara intensif ternyata hama sasaran utama
memang dapat terkendali, tetapi kemudian yang muncul dan berperan menjadi hama utama adalah jenis hama lain yang sebelumnya masih dianggap tidak membahayakan.
Menurut Kardinan (2005), pestisida nabati adalah bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan dan dapat digunakan untuk mencegah
organisme pengganggu tanaman (OPT). Pestisida nabati berfungsi sebagai penolak (repellent), penarik (attractan), pemandul (antifertilitas) atau pembunuh. Pestisida nabati bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak
mencemari lingkungan. Di Indonesia terdapat sangat banyak jenis tumbuhan penghasil pestisida nabati. Namun, sampai saat ini pemanfaatannya belum
dilakukan dengan maksimal. Tumbuhan penghasil pestisida nabati tersebut dibagi menjadi lima kelompok, yaitu sebagai berikut:
a. Kelompok tumbuhan insektisida nabati adalah kelompok tumbuhan yang
menghasilkan pestisida pengendali hama insekta. Contoh tumbuhan kelompok ini adalah: piretrum, aglaia, babadotan, bengkuang, bitung, jeringau, saga,
serai, sirsak, srikaya.
b. Kelompok tumbuhan antraktan atau pemikat, adalah tumbuhan yang menghasilkan suatu bahan kimia yang menyerupai hormon seksual feromon
pada serangga betina. Bahan kimia tersebut akan menarik serangga jantan, khususnya hama lalat buah dari jenis Bactrocera dorsalis. Contoh tumbuhan
c. Kelompok tumbuhan rodentisida nabati adalah kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hama rodentia. Tumbuh-tumbuhan ini
terbagi menjadi dua jenis, yaitu sebagai penekan kelahiran (efek aborsi atau kontrasepsi) dan penekan populasi yaitu meracuninya. Tumbuhan yang termasuk kelompok penekan kelahiran umumnya mengandung steroid,
sedangkan yang tergolong penekan populasi biasanya mengandung alkaloid. Dua jenis tumbuhan yang sering digunakan sebagai rodentisida nabati adalah
jenis gadung KB dan gadung racun.
d. Kelompok tumbuhan moluskisida adalah kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hama moluska. Beberapa tanaman yang
menimbulkan pengaruh moluskisida, diantaranya: daun sembung, akar tuba, patah tulang, dan tefrosia.
e. Kelompok tumbuhan pestisida serba guna, adalah kelompok tumbuhan yang tidak berfungsi hanya satu jenis saja, selain berfungsi sebagai insektisida juga berfungsi sebagai fungisida, bakterisida, moluskisida, nematisida, dan lainnya.
Contoh tumbuhan dari kelompok ini adalah: jambu mete, lada, mimba, mindi, tembakau, dan cengkih.
Novizan (2004) menjelaskan bahwa pestisida nabati juga mempunyai beberapa keunggulan dan kelemahan. Keunggulan dari pestisida nabati adalah: a. Murah dan mudah dibuat oleh petani.
b. Relatif aman terhadap lingkungan.
c. Tidak menyebakan keracunan pada makanan.
d. Sulit menimbulkan kekebalan terhadap hama.
f. Menghasilkan produk pertanian yang sehat karena bebas residu pestisida kimia. Selain memiliki kelebihan pestisida nabati juga memiliki kelemahan
diantaranya adalah:
a. Daya kerjanya relatif lambat.
b. Tidak membunuh jasad sasaran secara langsung.
c. Tidak tahan terhadap sinar matahari. d. Kurang praktis.
e. Tidak tahan disimpan.
f. Kadang-kadang harus disemprotkan berulang-ulang.
Meskipun disebut ramah lingkungan, tidak berarti pestisida alami
memiliki daya racun (toksisitas) yang rendah. Beberapa jenis pestisida botani seperti nikotin, memiliki daya racun yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pestisida sintetis, terutama jika termakan. Dengan demikian penggunaan pestisida alami juga perlu diperhatikan, terutama toksisitasnya terhadap organisme non sasaran (Novizan, 2004).
2.4 Toksisitas
Toksisitas adalah kemampuan suatu zat kimia dalam menimbulkan kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam lingkungan (Priyanto, 2009). Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik
suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi
Obat sebelum dipasarkan atau digunakan harus menjalani serangkaian uji untuk memastikan efektivitas dan keamanannya (Priyanto, 2009). Umumnya uji
toksisitas terdiri atas dua jenis, yaitu toksisitas umum (akut, subkronik dan kronik) dan toksisitas khusus (teratogenik, mutagenik dan karsinogenik) (Lu, 1995).
2.4.1 Toksisitas umum 2.4.1.1 Toksisitas akut
Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji secara oral dalam
dosis tunggal yang diberikan dalam waktu 24 jam (Lu, 1995). Tujuan toksisitas akut adalah untuk mendeteksi toksisitas dari suatu zat, menentukan organ sasaran
dan kepekaan spesies, memperoleh informasi bahaya setelah pemaparan suatu zat secara akut dan untuk memperoleh informasi awal yang dapat digunakan untuk merancang uji toksisitas selanjutnya serta untuk memperoleh nilai LD50 atau LC50
suatu sediaan (BPOM, RI., 2011). Semakin kecil harga LD50 atau LC50 maka semakin besar potensi ketoksikannya (OECD, 2001). Prinsip uji toksisitas akut
oral yaitu, sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis yang diberikan pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok, kemudian dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik dan kematian (OECD, 2001).
2.4.1.2 Toksisitas sub kronik
Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji (OECD, 2008). Tujuan toksisitas subkronik
setelah pemaparan sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu, informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik dan mempelajari adanya efek
kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut (OECD, 2008). Serta bertujuan untuk menentukan organ sasaran (organ yang rentan) (Priyanto, 2009).
Prinsip uji toksisitas subkronik oral adalah sediaan uji dalam beberapa
tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari. Selama pemberian sediaan uji, hewan
harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Selama waktu dan pada akhir periode pemberian sediaan uji, hewan yang mati dan masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap
organ dan jaringan. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan hematologi, biokimia klinis dan histopatologi (OECD, 2008).
2.4.1.3 Toksisitas kronik
Uji toksisitas kronis dilakukan dengan memberikan senyawa uji
berulang-ulang selama masa hidup hewan uji atau sebagian besar masa hidupnya (Priyanto, 2009). Prinsip toksisitas kronik oral pada umumnya sama dengan uji toksisitas
subkronik, hanya sediaan uji yang diberikan lebih lama tidak kurang dari 12 bulan. Pengamatan juga dilakukan secara lengkap seperti gejala toksik, monitoring berat badan dan konsumsi makanan, pemeriksaan hematologi,
biokimia klinis, makropatologi, penimbangan organ dan histopatologi (OECD, 2008).
2.4.2 Lethal Concentration (LC50)
Untuk mengetahui efek zat pencemar terhadap biota dalam suatu perairan,
dalam bentuk Lethal Concentration (LC50). Jadi, uji toksisitas digunakan untuk mengevaluasi besarnya konsentrasi toksikan dan durasi pemaparan yang dapat
menimbulkan efek toksik pada jaringan biologis (Pratiwi, dkk., 2012). LC50 merupakan konsentrasi yang menyebabkan kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik dan perhitungan, pada suatu
waktu pengamatan tertentu, misalnya LC50 48 jam, LC50 96 jam sampai waktu hidup hewan uji (Ngatidjan, 2006).
2.4.3 Toksikologi pestisida
Pemenuhan kebutuhan akan bahan makanan dalam jumlah besar tidak
mungkin tanpa penggunaan pestisida, yaitu pembasmi tanaman pengganggu, fungisida, rodentisida dan insektisida. Juga pupuk buatan harus disebut dalam
kaitan ini, walaupun dalam hal ini tidak menyangkut pestisida dalam arti yang sempit. Penggunaan pestisida mengandung bahaya yang bukan tidak penting. Keracunan akut pada perusahaan pertanian juga harus diperhitungkan seperti
halnya masalah bahwa pemakai pada pengawasan yang tidak memadai, memasukkan setiap hari ke dalam tubuhnya bersama makanan, sejumlah kecil
pestisida, yang sebagiannya hampir tidak dapat dieliminasi. Meskipun lazimnya hal ini hanya menyangkut jumlah kecil, namun risiko jangka waktu panjang tidak dapat diabaikan (Lu, 1995).
2.5 Ulat Tanaman Tomat
Informasi spesies menurut (Borchert, dkk., 2003): Nama Ilmiah : Helicoverpa armigera (Hubner)
Order : Lepidoptera
Helicoverpa armigera merupakan kupu-kupu yang termasuk ke dalam
famili Noctuidae. Kupu-kupu ini merupakan ancaman utama, karena ulatnya
menyerang perkebunan yang ekonomis termasuk kapas, jagung, tomat dan tembakau (King, 1994). Ulat ini juga telah berevolusi sehingga resistan terhadap pestisida organofosfat (Armes, dkk., 1996).
Metamorfosis adalah suatu proses biologi di mana hewan secara fisik mengalami perkembangan biologis setelah dilahirkan atau menetas, proses ini
melibatkan perubahan bentuk atau struktur melalui pertumbuhan sel dan differensiasi sel (Djuhanda, 1981).
1.Fase I (fase telur atau ovum).
Telur kupu-kupu mempunyai bentuk yang berbeda-beda berdasarkan jenis. Ada beberapa telur diantaranya yang kulitnya seperti karet dan melengket, ada
yang berbintik-bintik atau ditutupi oleh sesuatu yang berbentuk jala, sedang yang lainnya pada umumnya licin. Waktu yang dibutuhkan dari telur untuk menjadi larva berbeda-beda pada setiap jenis (Djarubito, 1990). Telur Helicoverpa
armigera diletakkan pada struktur reproduksi tanaman dan menetas sekitar 3-14
hari, tergantung pada temperatur (Pearson, 1958).
2. Fase II (fase larva/ulat atau caterpillar).
Setiap jenis mempunyai bentuk, warna dan bulu ulat yang berbeda, dan memakan pakan yang berbeda pula. Ulat yang baru menetas akan memakan
selubung telur kemudian mengembara mencari tempat yang baik untuk mendapatkan makanan (King, 1994). Biasanya larva kupu-kupu mempunyai alat
yang disukai meliputi bunga, tunas, buah dan daun. Jumlah instar ulat dan periode ulat berubah-ubah tergantung pada temperatur dan tanaman inang (Shanower dan
Romeis, 1999), umumnya pada ulat terdapat 5-7 instar (Rajagopal dan Basavanna, 1982). Fase ini memiliki waktu yang berbeda-beda berkisar 14–20 hari.
3. Fase III (fase kepompong atau pupa)
Jika pertumbuhan larva telah sempurna, maka larva mencari
tempat-tempat khusus untuk melakukan transformasi. Pada fase pupa, ulat akan mengalami fase istirahat dimana fase ini digunakan untuk membentuk sel-sel imago dan merupakan masa persiapan untuk penggantian kulit sebelum terjadi
pergantian kulit yang tetap pada fase imago. Setiap jenis mempunyai bentuk dan warna pupa yang berbeda. Sedangkan waktu yang dibutuhkan dari pupa menjadi
imago juga berbeda pada setiap jenis, rentang waktunya berkisar 14-16 hari. Jika dalam fase diapause, periode pupa bisa mencapai beberapa bulan (Shanower dan Romeis, 1999).
4. Fase IV (fase kupu-kupu atau imago)
Pada fase ini ulat yang berkepompong telah berubah menjadi kupu-kupu
yang sebenarnya. Kupu-kupu tersebut telah diperlengkapi dengan alat yang penting untuk digunakan atau cocok untuk digunakan pada ranting, atau objek lainnya dimana kupu-kupu ini akan menggantung atau bertengger yang biasanya
dalam posisi yang terbalik dan merupakan posisi penting dalam mengambil tempat. Peralatan ini adalah berupa sayap, antena untuk mencium, probosis
Kupu-kupu muncul setelah gelap hingga tengah malam, bergerak ke atas tanaman atau substrat vertikal ke tempat dimana sayap mereka akan kering (King,
1994). Kupu-kupu umumnya memakan madu, kupu-kupu betina akan melepas hormon seksual feromon dan perkawinan terjadi kira-kira 4 hari setelah kemunculannya. Setelah periode perkawinan 1-4 hari, kupu-kupu betina akan
bertelur pada bagian reproduktif dari ladang. Kupu-kupu betina bisa bertelur hingga 3000 telur (Shanower dan Romeis, 1999). Setiap jenis mempunyai umur
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah kerusakan tanaman akibat serangan hama menjadi bagian budidaya pertanian sejak manusia mengusahakan pertanian ribuan tahun yang lalu. Mula-mula manusia membunuh hama secara sederhana yaitu dengan cara
fisik dan mekanik sebagai bentuk reaksi pertahanan alami manusia (Untung, 1993). Yang dimaksud dengan hama ialah semua binatang yang mengganggu dan
merugikan tanaman yang diusahakan manusia. Apabila asalnya bukan dari binatang, gangguan itu disebut penyakit, misalnya gangguan dari virus, bakteri, cendawan, tumbuh-tumbuhan yang bertingkat rendah atau yang sedikit lebih
tinggi, kekurangan unsur-unsur makanan dan lain-lainnya. Pada umumnya masih banyak petani yang belum tahu perbedaan hama dan penyakit (Pracaya, 1999).
Penemuan pestisida organik memberikan manusia senjata yang baru dan kuat untuk menghadapi masalah terkait dengan hama serangga, penyakit dan gulma. Sejak pengenalan DDT, MCPA dan 2,4-D pada tahun 1940, pestisida
menjadi peran utama untuk perlindungan tanaman (Matthews, 1979). Dalam bidang pengendalian hama tanaman, kita masih mengandalkan penggunaan
pestisida. Karenanya, kebutuhan akan pestisida setiap tahunnya selalu meningkat selama kita belum menemukan alternatif cara pengendalian hama (Sudarmo, 1991). Masalah kesehatan yang dihadapi di bidang pertanian tidak terlepas dari
terjadi perubahan ataupun pemilihan sebuah teknologi, secara implisit akan terjadi perubahan faktor resiko kesehatan. Teknologi mencangkul digantikan dengan
traktor, pemberantasan hama dengan predator digantikan dengan penggunaan pestisida, akan mengubah faktor resiko kesehatan yang dihadapi. Penerapan teknologi baru memerlukan adaptasi sekaligus keterampilan. Demikian pula
dengan penggunaan pestisida, ada banyak faktor yang harus diperhatikan, seperti indikasi hama, kapan saat menyemprot hama, takaran, teknik penyemprotan, dan
lain-lain. Ironisnya, teknologi baru ini memiliki potensi bahaya khususnya pada saat kritis pencampuran. Banyak kasus dan penelitian yang sudah membuktikan banyak korban yang sudah berjatuhan akibat penggunaan pestisida (Achmadi,
2008). Menurut data WHO yang dipublikasikan pada tahun 1990, dampak dan resiko penggunaan pestisida kimia selama ini ditemui 25 juta kasus keracunan
pestisida akut di seluruh dunia pada tiap tahunnya dan akan bertambah sejalan dengan meningkatnya pula penggunaan pestisida kimia. Dampak pestisida kimia di negara berkembang diperkirakan penderita sakit akan meningkat 50% dan
tercatat keracunan fatal keracunan pestisida mencapai 72,5%. Fenomena di atas terjadi pula di daerah sentra pertanian di Indonesia (Syahwono, 2009).
Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) sudah lama dibudidayakan oleh para petani di Indonesia. Tomat ditanam di perkarangan atau ditanam di dalam petak-petak kecil, dari dataran rendah sampai dataran tinggi (Semangun,1994).
Tanaman tomat terdiri dari akar, batang, daun, bunga, dan biji. Tinggi tanaman tomat mencapai 2-3 meter. Sewaktu masih muda batangnya berbentuk bulat dan
halus di seluruh permukaannya. Akar tanaman tomat berbentuk serabut yang menyebar ke segala arah. Kemampuannya menembus lapisan tanah terbatas, yakni
kedalaman 30-70 cm. Daunnya yang berwarna hijau dan berbulu mempunyai panjang sekitar 20-30 cm dan lebar 15-20 cm. Daun tomat ini tumbuh dekat ujung dahan atau cabang. Sementara itu, tangkai daunnya berbentuk bulat memanjang
sekitar 7-10 cm dan ketebalan 0,3-0,5 cm. Buah tomat berbentuk bulat, lonjong, bulat pipih, atau oval. Buah yang masih muda berwarna hijau muda sampai hijau
tua. Sementara itu, buah yang sudah tua berwarna merah cerah atau gelap, merah kekuning-kuningan, atau merah kehitaman. Selain warna-warna di atas ada juga buah tomat yang berwarna kuning (Wiryanta, 2002). Tomat merupakan salah satu
sayuran penting di Asia dan Afrika. Kedua benua ini menurut laporan dapat memproduksi lebih dari 65% tomat di dunia. Buah tomat kaya akan nutrisi seperti
vitamin, mineral dan anti oksidan, serta penting juga untuk menjaga keseimbangan gizi manusia. Buah tomat penting sebagai komponen makanan karena mengandung lycopene yang berfungsi untuk menjaga tubuh dari serangan
penyakit kanker dan penyakit degenerasi syaraf (Chen, dkk., 2010).
Budidaya tanaman tomat tidak akan terbebas dari permasalahan yang
disebabkan oleh serangan organisme pengganggu tanaman yang dapat menurunkan kuantitas dan kualitas produksi. Penggunaan pestisida kimia saat ini telah digunakan secara berlebihan untuk mengendalikan hama dan penyakit pada
tanaman tomat di Asia Tenggara dan Afrika. Penggunaan bahan kimia di lahan pertanian tomat akan menyebabkan gangguan terhadap kesehatan dan pencemaran
buah tomat (Anwar, 2011). Keberadaan ulat buah dapat dilihat dari adanya buah yang berlubang dan kotoran yang menumpuk dalam buah yang terserang. Ulat
buah menyerang buah tomat hingga berlubang-lubang (Trisnawati dan Setiawan, 1997).
Tanaman pepaya merupakan herba menahun dan tingginya mencapai 8 m.
Batang tak berkayu, bulat, berongga, bergetah dan terdapat bekas pangkal daun. Dapat hidup pada ketinggian tempat 1-1.000 m dari permukaan laut dan pada suhu
udara 22°C-26°C (Santoso, 1991). Pada umumnya semua bagian dari tanaman baik akar, batang, daun, biji dan buah dapat dimanfaatkan (Warisno, 2003). Penggunaan ekstrak daun dan ekstrak biji pepaya sebagai larvasida relatif lebih
aman untuk lingkungan (Wahyuni, 2014). Menurut Ramadhani (2014), interaksi konsentrasi ekstrak biji pepaya secara statistik menunjukkan pengaruh nyata
terhadap mortalitas ikan, dimana didapat nilai LC50 sebesar 821,496 ppm. Namun dosis penggunaan ekstrak biji pepaya sebagai larutan pestisida nabati belum diketahui, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai penentuan
dosis ekstrak biji pepaya sebagai larutan pestisida nabati terhadap ulat tomat. Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1, halaman 6.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah:
a. Apakah terdapat perbedaan antara ekstrak biji pepaya dengan pestisida sipermetrin dalam mematikan ulat tomat?
b. Apakah ekstrak biji pepaya dapat mematikan ulat tomat?
1.3 Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah, maka hipotesis pada penelitian ini diduga:
a. Tidak ada perbedaan dalam penggunaan ekstrak biji pepaya dengan pestisida sipermetrin dalam mematikan ulat tomat.
b. Ekstrak biji pepaya dapat mematikan ulat tomat.
c. Dosis efektif ekstrak biji pepaya dalam mematikan ulat tomat dapat ditentukan.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui:
a. Menentukan dosis ekstrak biji pepaya dengan pestisida sipermetrin dalam mematikan ulat tomat.
b. Menentukan dosis ekstrak biji pepaya dalam mematikan ulat tomat.
c. Menentukan dosis efektif ekstrak biji pepaya dalam mematikan ulat tomat. 1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Memberikan informasi ilmiah berapa dosis dari ekstrak biji pepaya yang dapat digunakan untuk mematikan ulat tomat.
b. Memberikan informasi bahwa ekstrak biji pepaya dapat digunakan sebagai
pestisida nabati yang lebih aman dari pestisida sipermetrin.
1.6 Kerangka Pikir Penelitian
Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter
Gambar 1.1 Diagram kerangka pikir penelitian Ekstrak Biji
Pepaya (EBP)
Aquades (Kontrol Negatif)
Sipermetrin (Kontrol Positif)
Ulat tomat
Jumlah Kematian Potensi
Ketoksikan Biji Pepaya
PENENTUAN DOSIS EKSTRAK BIJI PEPAYA (Carica papaya L.) SEBAGAI LARUTAN PESTISIDA NABATI
PADA ULAT TANAMAN TOMAT (Helicoverpa armigera)
Abstrak
Latar Belakang: dampak negatif pestisida terhadap kesehatan dan lingkungan hidup terus meningkat. Menurut WHO, pada tahun 1990, korban keracunan pestisida akut di seluruh dunia mencapai 25 juta kasus tiap tahunnya dan akan terus bertambah. Oleh karena itu, diperlukan teknologi alternatif pestisida yang lebih aman. Pepaya merupakan salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati, biji pepaya mengandung metabolit sekunder yang bersifat toksik.
Tujuan: untuk mengetahui dosis efektif ekstrak biji pepaya (Carica papaya L.) sebagai pestisida nabati terhadap ulat Helicoverpa armigera.
Metode: sampel biji pepaya segar dipisahkan dari buah, dicuci bersih, ditiriskan kemudian ditimbang. Sampel dikeringkan di lemari pengering pada suhu ±40oC, lalu diblender dan ditimbang. Sebanyak 900 g serbuk biji pepaya dimasukkan ke dalam bejana, direbus dengan 15 L air, disaring, ditambahkan air hingga diperoleh ekstrak biji pepaya sebanyak 15 L. Ekstrak yang diperoleh diuji terhadap ulat tomat. Sebanyak 60 ulat digunakan untuk uji pendahuluan dan sebanyak 500 ulat digunakan untuk uji dosis pestisida nabati. Pengamatan dilakukan selama 7 hari dengan pengulangan sebanyak 5 kali. Data dianalisis dengan ANOVA dilanjutkan dengan uji Post Hoc Tukey menggunakan program SPSS versi 17.
Hasil: hasil pengamatan pada ulat tomat selama 7 hari setelah pemberian ekstrak biji pepaya, tidak terdapat kematian ulat tomat pada kelompok kontrol negatif, 25,625 ppm, dan 51,25 ppm, terdapat kematian ulat tomat sebanyak 8% pada kelompok 102,5 ppm, kelompok 205 ppm sebanyak 18%, kelompok 410,75 ppm sebanyak 42%, kelompok 821,5 ppm sebanyak 78%, dan kelompok 1643 ppm, 3286 ppm, serta kontrol positif sebanyak 100%. Berdasarkan hasil analisa statistik, didapat dosis efektif ekstrak biji pepaya, yaitu 410,75 ppm.
Kesimpulan: penelitian ini membuktikan bahwa biji pepaya (Carica papaya L.) efektif sebagai pestisida nabati terhadap ulat tomat (Helicoverpa armigera) pada dosis 410,75 ppm.
DOSE DETERMINATION OF PAPAYA SEEDS EXTRACT(Carica papaya L.) AS A NATURAL PESTICIDE SOLUTION AGAINST
TOMATO FRUITWORM (Helicoverpa armigera)
Abstract
Background: the negative impact of pesticide on health and environment are increasing progressively. According to WHO, in 1990, victims of acute pesticide virulence around the world reaching 25 million cases annually and will continue growing. Therefore, we needed a safer alternatives pesticide. Papaya is one of plants that can be used as a natural pesticide, papaya seeds contains secondary metabolite which may cause toxic.
Purpose: to determine the effective dose of papaya seeds extract as a natural pesticide againts tomato fruitworm (Helicoverpa armigera).
Method: the samples of fresh papaya seeds were separated from the fruit, washed, drained and weighed. The samples was dried in a drying cabinet at a temperature of ±40oC, then the samples were blended and weighed. A total of 900 g of papaya seeds powder inserted into the vessel, then boiled with 15 L of water, screened and added water to obtain 15 L of papaya seeds extract. The obtained extract were tested on tomato fruitworm, 60 larvae were used for preliminary test and 500 larva were used for natural pesticide dose test. The observations were made for 7 days with 5 times repetition. The data were analyzed with ANOVA and continued with Tukey Post Hoc test using SPSS (Statistical Product and Service Solution) version 17.
Result: the observation of larvae mortality was not seen in the control negative group; 25.625 ppm; 51.25 ppm, at a concentration of 102.5 ppm amount 8%; 205 ppm amount 18%; 410.75 ppm amount 42%; 821.5 amount 78%; 1643 ppm; 3286 ppm and control positif group amount 100%. Based on statistical analysis, it was obtained an effective dose of papaya seeds extract at 410.75 ppm.
Conclusion: this study proved that papaya seeds (Carica papaya L.) were effective as a natural pesticide against tomato fruitworm (Helicoverpa armigera) at a dose of 410.75 ppm.
PENENTUAN DOSIS EKSTRAK BIJI PEPAYA
(Carica papaya L.) SEBAGAI LARUTAN PESTISIDA NABATI
PADA ULAT TANAMAN TOMAT (Helicoverpa armigera)
SKRIPSI
OLEH:
SOFIAN MARUDUT S
NIM 111501127
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENENTUAN DOSIS EKSTRAK BIJI PEPAYA
(Carica papaya L.) SEBAGAI LARUTAN PESTISIDA NABATI
PADA ULAT TANAMAN TOMAT (Helicoverpa armigera)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
SOFIAN MARUDUT S
NIM 111501127
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENGESAHAN SKRIPSI
PENENTUAN DOSIS EKSTRAK BIJI PEPAYA
(Carica papaya L.) SEBAGAI LARUTAN PESTISIDA NABATI
PADA ULAT TANAMAN TOMAT (Helicoverpa armigera)
OLEH:
SOFIAN MARUDUT S NIM 111501127
Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Pada Tanggal: 23 November 2015
Medan, Desember 2015
Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP 195807101986012001
Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. NIP 195504241983031003
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena limpahan rahmat, kasih, dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian
dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas
Sumatera Utara, dengan judul Penentuan Dosis Ekstrak Biji Pepaya (Carica papaya L.) sebagai Larutan Pestisida Nabati pada Ulat Tomat (Helicoverpa
armigera).
Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt.,
dan Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., yang telah membimbing dan memberikan petunjuk serta saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Pejabat Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah memberikan bantuan dan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Bapak Prof. Dr. Karsono, Apt.,
Bapak Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt., dan Ibu Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Ph.D., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran, dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Bapak Dr. Panal Sitorus,
M.Si., Apt., selaku penasehat akademik serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan yang telah mendidik selama
Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tiada terhingga kepada Ayahanda Robiston Situmorang dan Ibunda Rosliana
Tampubolon, yang telah memberikan cinta dan kasih sayang yang tidak ternilai dengan apapun, pengorbanan baik materi maupun motivasi beserta doa yang tulus yang tidak pernah berhenti. Kakakku tercinta Sulastri Elfrida Situmorang, S.H.,
Asima Riny Sriany Situmorang S.E., dan abangku tercinta drh. Richard Alfonsus Saroha Situmorang, saudaraku Lambok Sahat Ompusunggu serta seluruh keluarga
yang selalu mendoakan dan memberikan semangat.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis
menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Medan, Desember 2015 Penulis
PENENTUAN DOSIS EKSTRAK BIJI PEPAYA (Carica papaya L.) SEBAGAI LARUTAN PESTISIDA NABATI
PADA ULAT TANAMAN TOMAT (Helicoverpa armigera)
Abstrak
Latar Belakang: dampak negatif pestisida terhadap kesehatan dan lingkungan hidup terus meningkat. Menurut WHO, pada tahun 1990, korban keracunan pestisida akut di seluruh dunia mencapai 25 juta kasus tiap tahunnya dan akan terus bertambah. Oleh karena itu, diperlukan teknologi alternatif pestisida yang lebih aman. Pepaya merupakan salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati, biji pepaya mengandung metabolit sekunder yang bersifat toksik.
Tujuan: untuk mengetahui dosis efektif ekstrak biji pepaya (Carica papaya L.) sebagai pestisida nabati terhadap ulat Helicoverpa armigera.
Metode: sampel biji pepaya segar dipisahkan dari buah, dicuci bersih, ditiriskan kemudian ditimbang. Sampel dikeringkan di lemari pengering pada suhu ±40oC, lalu diblender dan ditimbang. Sebanyak 900 g serbuk biji pepaya dimasukkan ke dalam bejana, direbus dengan 15 L air, disaring, ditambahkan air hingga diperoleh ekstrak biji pepaya sebanyak 15 L. Ekstrak yang diperoleh diuji terhadap ulat tomat. Sebanyak 60 ulat digunakan untuk uji pendahuluan dan sebanyak 500 ulat digunakan untuk uji dosis pestisida nabati. Pengamatan dilakukan selama 7 hari dengan pengulangan sebanyak 5 kali. Data dianalisis dengan ANOVA dilanjutkan dengan uji Post Hoc Tukey menggunakan program SPSS versi 17.
Hasil: hasil pengamatan pada ulat tomat selama 7 hari setelah pemberian ekstrak biji pepaya, tidak terdapat kematian ulat tomat pada kelompok kontrol negatif, 25,625 ppm, dan 51,25 ppm, terdapat kematian ulat tomat sebanyak 8% pada kelompok 102,5 ppm, kelompok 205 ppm sebanyak 18%, kelompok 410,75 ppm sebanyak 42%, kelompok 821,5 ppm sebanyak 78%, dan kelompok 1643 ppm, 3286 ppm, serta kontrol positif sebanyak 100%. Berdasarkan hasil analisa statistik, didapat dosis efektif ekstrak biji pepaya, yaitu 410,75 ppm.
Kesimpulan: penelitian ini membuktikan bahwa biji pepaya (Carica papaya L.) efektif sebagai pestisida nabati terhadap ulat tomat (Helicoverpa armigera) pada dosis 410,75 ppm.
DOSE DETERMINATION OF PAPAYA SEEDS EXTRACT(Carica papaya L.) AS A NATURAL PESTICIDE SOLUTION AGAINST
TOMATO FRUITWORM (Helicoverpa armigera)
Abstract
Background: the negative impact of pesticide on health and environment are increasing progressively. According to WHO, in 1990, victims of acute pesticide virulence around the world reaching 25 million cases annually and will continue growing. Therefore, we needed a safer alternatives pesticide. Papaya is one of plants that can be used as a natural pesticide, papaya seeds contains secondary metabolite which may cause toxic.
Purpose: to determine the effective dose of papaya seeds extract as a natural pesticide againts tomato fruitworm (Helicoverpa armigera).
Method: the samples of fresh papaya seeds were separated from the fruit, washed, drained and weighed. The samples was dried in a drying cabinet at a temperature of ±40oC, then the samples were blended and weighed. A total of 900 g of papaya seeds powder inserted into the vessel, then boiled with 15 L of water, screened and added water to obtain 15 L of papaya seeds extract. The obtained extract were tested on tomato fruitworm, 60 larvae were used for preliminary test and 500 larva were used for natural pesticide dose test. The observations were made for 7 days with 5 times repetition. The data were analyzed with ANOVA and continued with Tukey Post Hoc test using SPSS (Statistical Product and Service Solution) version 17.
Result: the observation of larvae mortality was not seen in the control negative group; 25.625 ppm; 51.25 ppm, at a concentration of 102.5 ppm amount 8%; 205 ppm amount 18%; 410.75 ppm amount 42%; 821.5 amount 78%; 1643 ppm; 3286 ppm and control positif group amount 100%. Based on statistical analysis, it was obtained an effective dose of papaya seeds extract at 410.75 ppm.
Conclusion: this study proved that papaya seeds (Carica papaya L.) were effective as a natural pesticide against tomato fruitworm (Helicoverpa armigera) at a dose of 410.75 ppm.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1Latar Belakang ... 1
1.2Rumusan Masalah ... 4
1.3Hipotesis ... 5
1.4Tujuan Penelitian ... 5
1.5Manfaat Penelitian ... 5
1.6Kerangka Pikir Penelitian ... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Uraian Tumbuhan ... 7
2.1.1 Sistematika tumbuhan ... 7
2.1.2 Morfologi tumbuhan ... 7