commit to user
i
PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN NASIONAL
Skripsi
Oleh :
INDRI RETNO SUTOPO
X 4406008
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN NASIONAL
Oleh :
INDRI RETNO SUTOPO
X 4406008
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
iii
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Surakarta, 30 Juli 2010
Pembimbing I Pembimbing II
commit to user
iv
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Hari : Jumat Tanggal : 30 Juli 2010
Tim Penguji Skripsi
Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Dra. Sri Wahyuni, M.Pd ………
Sekretaris : Drs. Tri Yuniyanto, M.Hum ...
Anggota I : Dr. Hermanu. J, M.Pd ………
Anggota II : Drs. Djono, M.Pd ………....
Disahkan oleh
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,
Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd.
commit to user
v ABSTRAK
Indri Retno Sutopo. PERAN PAKU BUWONO X DALAN PERGERAKAN NASIONAL. Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2010.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Usaha-usaha yang dilakukan Paku Buwono X untuk membangun kehidupan politik di Surakarta; (2) Peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di Surakarta tahun 1909-1939; (3) Reaksi Belanda terhadap peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di Surakarta.
Penelitian ini menggunakan metode sejarah (historis). yaitu prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut. Langkah-langkah dalam metode sejarah adalah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis. Sesuai dengan jenis penelitiannya, maka teknik analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah teknik analisis historis. Teknik analisis historis yaitu teknik analisis yang mengutamakan ketajaman dalam interpretasi sejarah. Langkah-langkah analisis data dilakukan dengan cara: (1) menyediakan sumber sejarah yang mendukung penelitian proses perbandingan sumber; (2) mengklasifikasikan data yang sudah terkumpul dengan pendekatan kerangka berpikir atau kerangka referensi yang mencakup berbagai konsep atau teori politik, ekonomi dan sosial sehingga didapatkan suatu fakta sejarah yang dapat dipercaya kebenarannya; (3) mempertinggi kredibilitas penulis.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Kondisi politik yang dibangun oleh Paku Buwono X Surakarta dipengaruhi oleh kondisi politik sebelum abad ke-20 yang sarat dengan peristiwa yang berhubungan dengan pemerintah kolonial Belanda. Usahanya membangun landasan politik di Surakarta dilakukan Sunan dengan cara mendirikan madrasah Mamba’ul Ulum pada tahun 1905 dan Sekolah-sekolah bagi rakyat dan bagi para sentana yaitu sekolah
Kasatrian, Sekolah Pamardi Siwi, Pamardi Putri, sekolah pertanian dan
commit to user
vi
Buwono X diangkat menjadi pelindung Sarekat Islam diminta untuk meletakkan jabatannya. Banyak kritik dari pejabat Belanda tentang perjalanan Ngideri
Buwono yang dilakukan oleh Paku Buwono X. Belanda memikirkan masalah
commit to user
vii ABSTRACT
Indri Retno Sutopo. THE ROLE OF PAKU BUWONO X IN THE NATIONALISM MOVEMENT. Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of Surakarta Sebelas Maret University, July 2010.
The objective of research is to find out: (1) the attempts the Paku Buwono X had taken to build the political life in Surakarta; (2) the role of Paku Buwono X in the Nationalism Movement in Surakarta in 1909-1939; (3) the Dutch‟s reaction to the role of Paku Buwono X in the Nationalism Movement in Surakarta.
This study employed a historical method, that is, the one deriving from the historian‟s procedure of work to produce the past story based on the traces abandoned by the past. The procedures of historical method include heuristic, criticsm, interpretation, and historiography. Technique of collecting data employed was library study. The data source used was the written one. In line with the type of research, the technique of analyzing data used was historical analysis technique. It is the one emphasizing on the incisiveness of history interpretation. The procedure of analysis was done by: (1) providing the data source supporting the research of source comparison process; (2) classifying the data collected using framework and reference-frame approach involving various concepts or political, economical and social theories so that a reliable fact of history is obtained; (3) enhancing the writer‟s credibility.
Considering the result of research, it can be concluded that: (1) the political condition built by Paku Buwono X Surakarta is affected by the political condition before twentieth century in relation to Dutch Colonial government. The attempt of bulking political foundation in Surakarta taken by Paku Buwono X included by establishing Mamba‟ul Ulum madrasah in 1905 and the school for people and for the sentana: Kasatrian, Pamardi Siwi, Pamardi Putri schools, farming and planting schools, as well as by conducting incognito journey named politically Ngideri Buwono: (2) the local political dynamics emerging in Surakarta is inseparable from the role of Paku Buwono X. Paku Buwono embraces the nationalist in its movement to resist the Dutch‟s power, doing through the nationalism movement, as done by Boedy Oetomo or through the economic and social improvement movement as done by Sarekat Islam; (3) the Dutch Government‟s reaction to Paku Buwono‟s role was to limit the political movement of Paku Buwono X in establishing the relation to other country or nation except to Dutch Government. RM. Woerjaningrat is the nephew and even son-in-law of Paku Buwono sitting in the Sarekat Islam leadership and Hangebehi prince, the son of Paku Buwono X who protects the Sarekat Islam was asked to resign. Many criticism proposed by the Dutch officials about Ngideri Buwono
commit to user
viii MOTTO
”Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa pahlawannya”.
(Ir. Soekarno)
”Sejarah adalah pembebasan dari kepercayaan tidak benar, perjuangan melawan kebodohan dan ketidaktahuan”.
commit to user
ix
PERSEMBAHAN
Dengan ucapan syukur kepada Allah dan shalawat atas Rasul-Nya, karya ini
kupersembahkan kepada:
Ibu, ayah dan adik Indra tercinta yang senantiasa memberi doa dan kasih sayang. Semua saudaraku dan teman-temanku Sejarah ’06.
commit to user
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat-Nya, sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan lancar guna
memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Hambatan dan rintangan yang dihadapi dalam penyelesaian penulisan
skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya
kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu disampaikan terima
kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah menyetujui
atas permohonan skripsi ini.
3. Ketua Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta, yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan
skripsi ini.
4. Dr. Hermanu. J, M.Pd, selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Drs. Djono, M.Pd selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu, ayah,adik Indra, dan semua keluarga tercinta yang senantiasa memberi
doa, semangat, dukungan dan kasih sayang.
7. Semua saudaraku dan teman-temanku Sejarah ‟06 terima kasih atas segala
doa, masukan dan teguran serta pengorbanan yang diberikan untukku.
8. Doni Setyawan terimakasih buat semangat dan dukungannya.
9. Sahabat Bandenx-Ku tercinta: Citra, Ste, Irma, Riana kebersamaan kita akan
selalu aku rindukan.
commit to user
xi
11.Buat sahabat-sahabatku yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,
terimakasih untuk semuanya.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan
Ilmu Pengetahuan pada umumnya.
Surakarta, 30 Juli 2010
commit to user
xii DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGAJUAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK .... ….. ... v
HALAMAN MOTTO ... viii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ………. xv
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 10
1. Nasionalisme ... 10
2. Pergerakan Nasional ... 14
3. Agen dalam Pergerakan Nasional ... 18
B. Kerangka Berfikir ... 21
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 23
B. Metode Penelitian ... 24
C. Sumber Data ... 25
D. Teknik Pengumpulan Data ... 27
commit to user
xiii
F. Prosedur Penelitian ... 29
BAB IV. HASIL PENELITIAN A. Usaha-usaha Paku Buwono X Membangun Kehidupan Politik 1. Keadaan Geografis Surakarta……….. 33
2. Keadaan Politik Sebelum Abad ke-20………. 36
3. Sejarah Kehidupan Paku Buwono X……..……….. 43
a. Latar Belakang Keluarga……….…..…. 43
b. Kepribadian…………....……… 45
4. Membangun Landasan Kehidupan Politik…..………….. 50
a. Pendirian Madrasah dan Sekolah……….……… 50
b. Usaha-usaha dalam Bidang Politik……….……….. 56
c. Politik Ngideri Buwono……..………. 57
B. Peran Keraton Dalam Pergerakan Kebangsaan 1. Kondisi Politik Surakarta Pada Masa Pemerintahan Paku Buwono X…...……….. 59
2. Peran Paku Buwono X dalam Organisasi Sosial dan Politik……… 61
a. Sarekat Islam 1) Latar Belakang Terbentuknya Sarekat Islam……. 61
2) Faktor Ekonomi………. 66
3) Faktor Agama……… 68
4) Pasang Surut Sarekat Islam……… 69
5) Dukungan Terhadap Sarekat Islam……… 71
b. Boedi Oetomo 1) Latar Belakang Terbentuknya Boedi Oetomo …… 73
2) Pasang Surut Boedi Oetomo…………...………... 76
3) Dukungan Terhadap Boedi Oetomo………. .. 81
commit to user
xiv BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan……….. 89
B. Implikasi………... 92
C. Saran……… 93
DAFTAR PUSTAKA……….. 94
commit to user
xv
DAFTAR LAMPIRAN
halaman
Lampiran 1 : Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ... 99
Lampiran 2 : Lambang Keraton Kasunanan Surakarta ... 100
Lampiran 3 : Paku Buwono X ... 101
Lampiran 4 : Paku Buwono X dan Kanjeng Ratu Mas ... 102
Lampiran 5 : Paku Buwono X dan Residen de Vogel (1897) ... 103
commit to user
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keraton Surakarta didirikan oleh Sunan Paku Buwono II (1725-1749)
pada tahun 1746, setelah keraton sebelumnya di Kartasura mengalami kehancuran
akibat perang perebutan tahta (Ari Dwipayana, 2004: 26). Walaupun keraton
sudah dipindahkan ke Surakarta, tetapi perang-perang antara Mataran dengan
VOC belum selesai sampai Paku Buwono II wafat dan digantikan oleh Paku
Buwono III yang memerintah selama enam tahun sebagai raja Mataram
(1749-1755) dan 33 tahun sebagai raja Surakarta (1755-1788).
Peperangan antara Mataram dan VOC berlanjut pada masa pemerintahan
Paku Buwono III dari tahun 1746 sampai 1755. Perang yang berlangsung selama
sembilan tahun (1746-1755) itu dapat diatasi dengan tercapainya Perjanjian
Gianti. Sesuai dengan ketentuan Perjanjian Gianti (1755), Kerajaan Mataram
dibagi dua menjadi Kerajaan Surakarta Hadiningrat dan Kerajaan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Perjanjian ini melibatkan tiga pihak, yaitu Paku Buwana III, Sultan
Hamengku Buwono III dan Kompeni Belanda. Sebelum perjanjian itu
dilangsungkan, Paku Buwono III telah diminta oleh Gubjen Jacob Mossel untuk
menyerahkan separo daerah kerajaannya kepada Pangeran Mangkubumi, dan
Sunan tidak dapat menolak permintaan itu. Bagi Sunan isi perjanjian itu
merupakan tamparan yang sangat berat, karena tanah yang harus dilepaskan
meliputi negara, negaragung, dan mancanegara. Dari peristiwa Palihan Nagari
(pembagian kerajaan Mataram menjadi dua), selain Pangeran Mangkubumi,
Kompeni Belanda juga memperoleh keuntungan besar, karena berakhirnya perang
yang telah berlangsung selama sembilan tahun (1746-1755) itu dapat mengurangi
beban kompeni, yang pada waktu itu berada dalam keadaan mundur. Selain itu,
terbaginya kerajaan Mataram menjadi dua memudahkan kompeni untuk dapat
menguasai kedua kerajaan itu. Daerah-daerah yang diterima oleh Sultan
commit to user
dengan hak mewariskan kepada putera-puteranya yang sah (Darsiti Soeratman,
2000: 27-29).
Periode 1755-1800 atau tepatnya setelah perjanjian Gianti ditandai dengan
kemakmuran ekonomi dan politik. Istana-istana Surakarta mendapatkan lebih
banyak kebebasan dan kemerdekaan ketika kekuasaan VOC meredup. Kedua
istana mengesampingkan perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka.
Penduduk Jawa tumbuh dengan cepat seiring dengan tidak adanya kegagalan
panen dan wabah-wabah penyakit, dan meningkatnya produksi pangan. Akan
tetapi setelah tahun 1800, pasang pun surut. Sederetan kondisi-kondisi yang tidak
menguntungkan menyebabkan meletusnya Perang Jawa. Faktor-faktor yang
memicu pecahnya Perang Jawa dapat diringkas dalam dua hal pokok. Pertama,
sejak tahun1800 dan seterusnya, ada masalah dimana sebuah kekuatan kolonial
yang agresif berusaha menancapkan hegemoninya di Jawa. Pada tahun 1808
Letnan Gubernur Jenderal H.W. Deandels memberlakukan peraturan-peraturan
mengenai tata etiket perilaku, sesuatu yang sangat menghina bagi orang-orang
Jawa. Etiket itu menyatakan bahwa pada saat sedang berada didalam istana-istana
itu para residen Eropa tidak lagi harus menunjukkan bahwa mereka lebih rendah
dari para penguasa Jawa dalam protokol.
Pada tahun 1811 kompensasi moneter atas pesisir utara yang telah
dianeksasi (yaitu apa yang disebut dengan strandgelden atau uang pesisir) tidak
lagi diberlakukan. Setahun kemudian, atas perintah dari T.S. Raffles, G.A.G.Ph.
van der Capellen melarang para bangsawan Jawa menyewakan tanah-tanah
mereka kepada orang-orang Eropa pengusaha pertanian. Para bangsawan ini mau
tidak mau harus mencari sumber-sumber penghasilan pengganti yang jumlahnya
luar biasa besar, yang pada akhirnya menyebabkan kehancuran finansial mereka.
Pada tahun 1825 sekali lagi sebagian wilayah direbut dari tangan kedua kerajaan
tersebut, kali ini dengan cara menyerobot sejumlah daerah kantong yang terletak
di dalam karesidenan-karesidenan pesisir utara, sebagai imbalan atas kompensasi
finansial. Maka tak heran bila istana itu tersinggung oleh perilaku agresif
orang-orang Eropa. Surakarta, dalam usahanya mengambil sikap yang lebih kooperatif
commit to user
orang-orang Eropa demi mendapatkan pengaruh yang lebih besar. Yogya
menanggapinya dengan mengambil sikap yang tegas (Vincent J.H. Houben, 2002:
18-20).
Faktor kedua yang menyebabkan Perang Jawa meliputi pertentangan
politik di dalam Istana Yogyakarta itu sendiri. Pertentangan-pertentangan pribadi
di antara para pengampu Sultan Hamengku Buwana V yang masih kecil itu mulai
terlihat setelah tahun 1822. Kelompok pertama dibentuk oleh Ratu Ibu (ibunda
Hamengku Buwana IV) dan Ratu Kencana (ibunda Hamengku Buwana V) yang
berada di bawah pengaruh Patih Danureja IV. Pihak oposisi terdiri dari
Diponegoro (putra tertua Hamengku Buwana III) dan pamannya, Pangeran
Mangkubumi (Vincent J.H. Houben, 2002: 22).
Puncaknya pada bulan Mei 1825 di sebuah jalan baru yang akan dibangun
di dekat Tegalreja, terjadi suatu bentrokan antara para pengikut Diponegoro
dengan para pengikut musuhnya, Patih Danureja IV (1813-1847), terjadi ketika
patok-patok untuk jalan raya tersebut dipancangkan. Sesudah itu berlangsung
suatu masa ketegangan. Pada tanggal 20 Juli pihak Belanda mengirim
serdadu-serdadu dari Yogyakarta untuk menangkap Diponegoro. Segera meletus
pertempuran terbuka, Tegalreja direbut dan dibakar, tetapi Diponegoro berhasil
meloloskan diri dan mencanangkan panji pemberontakan dengan meletusnya
perang Jawa hingga tahun 1830 yang pada membawa Diponegoro pada titik
kekalahan dan harus menandatangani perundingan-perundingan serta diasingkan
oleh pihak Belanda.
Perang Jawa tersebut merupakan perlawanan kelompok elite bangsawan
Jawa. Perlawanan ini merupakan suatu gerakan konservatif, suatu usaha yang
sia-sia untuk kembali lagi kepada keadaan-keadaan sebelum meningkatnya kekuatan
kolonial yang telah muncul sejak tahun 1808. Luasnya gerakan protes sosial yang
mendukung langkah perang tersebut nyata-nyata dan, dengan menoleh
kebelakang, menunjukkan betapa mendalamnya revolusi penjajahan itu sudah
merobek-robek masyarakat Jawa,dan dalam hal ini Perang Jawa seakan-akan
membayangi gerakan anti penjajahan dari abad ke-20 (M. C Ricklefs, 1991:
commit to user
Setelah berakhirnya Perang Jawa, Belanda semakin memikirkan berbagai
rencana untuk Jawa untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya yaitu dengan
cultuurstelsel (sistem pananaman) yang membuat rakyat semakin sengsara dan
semakin menyudutkan kerajaan-kerajaan di Jawa. Raja-raja baik di Surakarta
maupun Yogyakarta terbelenggu dengan kebijakan-kebijakan Belanda yang
menyudutkan pemerintahannya. Periode pasca-1830, ditemukan dalam
ekspresi-ekspresi protes sosial di Surakarta pada masa itu. Baik pusat (di istana-istana itu
sendiri) maupun pinggiran (daerah-daerah di sekitar istana) atau disebut dengan
gerakan peripheral dan gerakan semiperiferal. Gerakan periferal mengacu pada
ekspresi-ekspresi perlawanan terhadap tatanan yang ada yang muncul tepat di luar
lingkungan pusat-pusat kota keraton dan yang tidak memiliki hubungan yang
terang-terangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam dan sekitar istana.
Berbagai usaha dilakukan untuk menghentikan perlawanan-perlwanan
sosial tersebut. Salah satunya adalah pada masa Paku Buwono IX. Surakarta pada
saat itu diperintah oleh Sunan Paku Buwono IX (1861-1893). Paku Buwana IX
(1861-1893), memiliki kepribadian yang sangat berbeda daripada kedua raja
sebelumnya. Pada awal pemerintahanya, Sunan ini terdapat dua macam gagasan
mengenai usaha agar keamanan di daerah Surakarta tercapai. Pertama, berupa usul
agar kepolisian diletakkan langsung di bawah residen dengan cara mengangkat
kontrolir kelas 1 disertai hak mengadili perkara kecil. Kedua, pendapat yang
menyatakan kurang setuju dengan soal pengambilan hak-hak Sunan, karena hal
ini akan menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan. Sebab itu perlu diadakan
asisten residen dengan tugas mengusahakan agar para pengusaha asing
mendapatkan sesuatu sesuai haknya dan disamping itu juga merintangi para
pengusaha asing itu dalam hal mengadili kawula Sunan yang tinggal dan bekerja
di daerah yang disewa. Pada 1866 Sasradiningrat Seda Jabung diberhentikan dan
diberi pensiun karena dinilai tidak dapat menyelenggarakan keamanan. Pada
sekitar 1860-an banyak terjadi perampokan, disamping itu juga muncul gerakan
lain. Pengganti Sasradiningrat, R.Ad. Sasranagara (1866-1887), memangku
jabatan selama 21 tahun. Pada awal pemerintahannya (1867) di Kasunanan terjadi
commit to user
pemerintahan patih ini diadakan jabatan asisten residen. Rencana pemerintah
untuk mengangkat asisten residen diluar ibukota mulai dilancarkan pada 1872,
tetapi ditolak oleh Sunan. Raja ini bermaksud akan memperluas korps polisi
pribumi sebagai upaya untuk merintangi campur tangan pemerintah terhadap
urusan intern kerajaan. Namun, karena dana yang dimilikinya sangat terbatas,
maka gagasan itu tidak dapat direaliasikan. Akibatnya, Sunan terpaksa membuka
perundingan dengan residen. Perundingan yang berlangsung selama dua tahun itu
sering mengalami kemacetan, karena adanya perbedaan paham anatara kedua
pihak (Darsiti Soeratman, 2000: 45-46).
Usaha-usaha itu tidak menyusutkan berbagai kerusuhan-kerusuhan sosial
yang terjadi di Surakarta. Isu-isu tentang kecu atau perampok yang memiliki
tujuan-tujuan yang sifatnya lebih duniawi lebih menggambarkan sebuah kategori
kejahatan ketimbang sebuah pemberontakan. Menjelang akhir tahun 1860-an
masalah kecu telah menarik perhatian pemerintah, bahkan perhatian parlemen
Belanda, yang berarti bahwa sejak saat itu jumlah laporan yang masuk pun
meningkat. Antara bulan Februari dan Agustus 1867 terjadi kejahatan-kejahatan
regular di daerah Solo. Pada bulan Maret 1868 seorang janda Eropa yang
mengelola sebuah rumah gadai dirampok. Dua bulan kemudian ada dua kejahatan
lagi, satu di antaranya terjadi di sebuah perkebunan sewa di desa Kartasura.
Totalnya, pada tahun 1867 terjadi sepuluh kejahatan, pada tahun 1868 dua belas
kejahatan, sebelas kejahatan pada tahun 1869 dan pada tahun 1870 ada tujuh
insiden kecu yang terdaftar. Selain itu juga ada gerakan semiferiferal yaitu
ekspresi perlawanan terhadap tatanan yang ada, yang bermula di daerah-daerah
perbatasan atau yang untuk pertama kalinya diketahui terjadi disana, tetapi
dibenarkan ataupun tidak diduga memiliki kaitan-kaitan dengan keraton (Vincent
J.H. Houben, 2002: 440-444).
Gerakan ini mendapat tekanan yang tidak ada habisnya dari pihak
Belanda, Gerakan-gerakan ini juga yang pada akhirnya membawa kemrosotan
Ekonomi di Surakarta. Selain itu sejak masa Paku Buwono VII, di Surakarta
terjadi sistem penyewaan tanah dari para penguasa Jawa dan aristrokrat Jawa yang
commit to user
Permasalahan-permasalahan ini masih tetap belanjut sampai pada masa akhir
kekuasaan Paku Buwono IX, dan penggantinya yaitu Paku Buwono X yang hanya
berkuasa di lingkup keraton, dan nantinya (pada awa abad ke-20) dia berperan
besar terhadap usahanya melawan Belanda dalam masa Pergerakan Nasional.
Pada awal abad ke-20 Surakarta dan Yogyakarta dijadikan sebagai daerah
otonom berdasarkan Undang-Undang Desentralisasi 1903. Vorstenlanden
merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda dan pemerintahannya dibagi
dalam dua keresidenan. Tetapi wilayah ini mempunyai status yang khusus,
walaupun agak mendua, sebab dua keresidenan ini terdiri dari dua kerajaan
swapraja yang nominal. Kerajaan semi-otonom ini adalah suatu proses
penguasaan dari imperium Mataram yang pernah berkuasa pada abad ke-17 dan
awal abad ke-18 (George D. Larson, 1990: 1).
Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari
peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X.
Namun perjuangan kemerdekaan bukanlah peristiwa sesaat yang tidak terkait
dengan peristiwa sebelumnya. Sebagai sebuah negara yang berdaulat, pemerintah
Hindia-Belanda tentu sangat memperhitungkan kekuatan politik keraton di mata
rakyat.
Menurut Soemarsaid Moertono yang dikutip oleh Purwadi, dkk (2009: 1-2) mengatakan “Keraton Surakarta yang diperintah oleh Sunan Paku Buwono X pada zamannya merupakan pusat kebudayaan Jawa yang telah memberi kontribusi
besar tehadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Oleh karena raja memiliki
kekuasaan yang sangat besar sebagai sumber hukum, pengatur kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, dan bahkan di anggap sebagai „wakil Tuhan‟ di muka bumi”. Berbagai pergumulan politik, ideologi, sosial, budaya dan keagamaan sangat dipengaruhi oleh kebijakan sang raja yang berkuasa.
Sunan Paku Buwono X adalah raja Keraton Surakarta yang memerintah
tahun 1893-1939. Paku Buwono X adalah pribadi yang penuh nilai keteladanan,
kebijaksanaan dan keagungan. Beliau mempunyai tempat yang sangat istimewa
karena masa pengabdiannya yang cukup panjang yakni 46 tahun. Salah satu sifat
commit to user
membantu dan atau menyenangkan hati orang. Ia juga sopan dan suka melayani,
salah satu kekurangannya adalah bahwa ia tak mengenal nilai uang, Susuhunan
tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang keadaan keuangannya. Sunan
tidak memiliki pengertian sekecil apapun tentang urusan-urusan resmi.
Kebanyakan laporan Belanda tentang Susuhunan menggambarkan sebagi seorang
pesolek, lemah, dan agak bodoh, tetapi setia kepada keluarga raja Belanda dan
pemerintah Hindia-Belanda (George D. Larson, 1990: 44).
Menjelang pergantian abad ke-20 di negeri Belanda terjadi perubahan
politik terhadap Indonesia yaitu menjadi politik etis berdasarkan pikiran bahwa
negara Belanda mempunyai hutang budi kepada Indonesia. Sebagai perlunasan
hutang itu Belanda mendirikan banyak sekolah di Indonesia. Paku Buwono X
dapat melihat perubahan dan perkembangan-perkembangan baru itu dan juga
sadar bahwa generasi muda harus menjadi orang-orang pintar agar dapat
mengimbangi kepintaran orang Belanda hingga suatu saat dapat melepaskan
bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Oleh sebab itu di kampung dan desa
didalam wilayah Kasunanan Surakarta didirikan sekolah-sekolah rakyat dan bagi
para sentana didirikan sekolah Kasatrian semacam Hollands Inlandesche School
(Sekolah bagi orang Indonesia asli yang diberi bahasa Belanda). Selain
mendirikan sekolah-sekolah umum, Sunan juga mendirikan sekolah khusus untuk
mempelajari agama Islam yang dikalangan rakyat dikenal dengan nama “Mamba‟ul Ulum”. (R.M Karno, 1990: 45-46).
Pada awal abad ke-20 terjadi perubahan sosial politik yang sangat besar di
seluruh dunia, tidak terkecuali bangsa Indonesia yang ditandai dengan munculnya
lembaga-lembaga pendidikan swasta dan organisasi-organiasasi, seperti Budi
Oetomo dan Syarikat Islam yang menjadi titik awal Kebangkitan Nasional.
Perjuangan Budi Oetomo dan Sarekat Islam ini mendapat apresiasi yang cukup
besar dari Sunan Paku Buwono X. Para pangeran dan bangsawan keraton
didorong untuk membantu gerakan politik, pendidikan dan kebudayaan modern.
Paku buwono X secara terbuka dan diam-diam memberi sokongan kepada
perkumpulan-perkumpulan politik itu. Contoh pemberian dukungan secara
commit to user
Taman Sriwedhari atas restu Sunan. Dengan perlindungan ini, SI aman dari
pencekalan oleh pihak Belanda. Di sebelah utara pasar Singosaren didirikan
sebuah gedung pertemauan Habi Praya yang dapat digunakan untuk mengadakan
rapat-rapat atau pertemuan oleh masyarakat Solo (Purwadi, dkk , 2009: 20).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji
dan meneliti secara lebih mendalam serta mengangkatnya dalam sebuah skripsi
yang berjudul “PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN
NASIONAL’’.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah ini berguna untuk mempermudah dalam melaksanakan
penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka
dapat dirumuskan beberapa masalah antara lain :
1. Bagaimana usaha-usaha yang dilakukan Paku Buwono X untuk
membangun kehidupan politik di Surakarta?
2. Bagaimana peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di
Surakarta tahun 1909-1939 ?
3. Bagaimana reaksi Belanda terhadap peran Paku Buwono X dalam
Pergerakan Kebangsaan di Surakarta ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan jawaban atas masalah yang telah
dirumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan :
1. Usaha-usaha yang dilakukan Paku Buwono X untuk membangun
kehidupan politik di Surakarta.
2. Peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di Surakarta tahun
1909-1939.
3. Reaksi Belanda terhadap peran Paku Buwono X dalam Pergerakan
commit to user
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian merupakan kegunaan yang ingin diperoleh dari suatu
penelitian. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
Manfaat teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ni diharapkan dapat bermanfaat untuk :
a. Menambah wawasan pemikiran dan pengetahuan bagi peneliti, khususnya
tentang peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Nasional.
b. Bahan masukan kepada pembaca untuk digunakan sebagai wacana dan
sumber data dalam bidang sejarah.
Manfaat Praktis
Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
a. Menambah khazanah penelitian pada Program Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
b. Dapat memberikan informasi tentang peran Paku Buwono X dalam
commit to user
10 BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Tinjauan Pustaka
1. Nasionalisme
Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Bangsa
mempunyai dua pengertian, yaitu: dalam pengertian antropologis sosiologis, dan
dalam pengertian politis. Dalam pengertian antropologis sosiologis, bangsa adalah
suatu masyarakat yang merupakan suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri
dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras,
bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Adapun yang dimaksud bangsa dalam
pengertian politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka
tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar
dan ke dalam (Badri Yatim, 1999: 57-58).
Dalam pembentukan nation (bangsa) tersebut ada beberapa teori yang
menyebutkan antara lain: pertama, yaitu teori kebudayaan (cultur) yang
menyebutkan suatu bangsa itu adalah sekelompok manusia dengan persamaan
kebudayaan; kedua, teori Negara (staat) yang mengatakan bahwa terbentuknya
suatu negara ditentukan oleh penduduk didalamya yang disebut bangsa; ketiga,
teori kemauan (will), yang menyatakan bahwa terbentuknya suatu bangsa karena
adanya kemauan bersama dari sekelompok manusia untuk hidup bersama dalam
ikatan suatu bangsa, tanpa memandang perbedaan kebudayaan, suku, dan agama
(Suhartono, 2001: 7).
Istilah nasionalisme lazim digunakan sehubungan dengan revolusi atau
perang. Dalam surat-surat kabar Amerika Utara, istilah nasionalisme digunakan
untuk mengacu pada Negara-negara Afrika, Asia, Amerika Latin atau Timur
Tengah (Lynan Tower Sargent, 1987: 16). Terdapat berbagai pendapat tentang
pengertian nasionalisme, diantaranya adalah menurut Hans Kohn dalam
Encyclopedhia Of Sosial Science (1972: 63) adalah keyakinan politis yang
mendasari kepaduan kemasyarakatan modern dan pengesahan secara otoritas.
commit to user
kebangsaan baik bangsa yang sudah ada maupun yang baru di inginkan. Di sisi
lain, Lynan Tower Sargent (1978: 19) mengemukakan :
Nasionalisme merupakan salah satu cara dimana individu mengidentifikasikan diri dengan kelompok dimana ia berada, baik karena kelahiran maupun karena lama tinggal di suatu tempat tertentu. Nasionalisme meliputi pola permintaan akan tindakan untuk memperkuat negeri dan permintaan akan patriotik.
Nasionalisme merupakan tindakan yang didasarkan terhadap perasaan
akan kesetiaan pada Negara yang dipergunakan untuk menggalang kekuatan
dalam rangka mewujudkan Negara nasional dengan tindakan patriotik.
Selanjutnya dijelaskan oleh Stoddart dalam Miriam Budihardjo (1984: 31)
bahwa nasionalisme adalah suatu keyakinan yang dimilki sejumlah besar
perorangan sebagai suatu kebangsaan. Nasionalisme merupakan manifestasi
kesadaran nasional yang mengandung cita-cita dan merupakan ilham yang
mendorong dan merangsang suatu bangsa (F. Isjwara, 1982: 127). Keyakinan
yang dimiliki sejumlah besar orang dalam suatu bangsa akan mewujudkan
kesadaran untuk mencapai cita-cita dan mendorong semangat bersatu dalam satu
bangsa. Hal ini dikatakan oleh Otto Bauer dalam Sumarsono Moestoko (1988: 77)
bahwa nasionalisme adalah perasaan untuk bersatu dalam daerah suatu bangsa.
Konsep nasionalisme dalam pengertian modern berasal dari dunia barat.
Timbulnya nasionalisme erat kaitannya dengan kolonialisme. Nasionalisme yang
tumbuh pada pihak yang diajah berusaha melepaskan diri dan melalui semangat
nasionalisme itu dapat membawa keruntuhan pemerintahan kolonial di Indonesia.
Hertz dalam F. Isjwara (1977: 111) menyebutkan adanya empat macam cita-cita
yang terkandung dalam nasionalisme, yaitu : (1) perjuangan mewujudkan
persatuan nasional yang meliputi persatuan dalam bidang politik, ekonomi,
sosial, keagamaan, kebudayaan dan persekutuan serta adanya solidaritas; (2)
perjuangan untuk mewujudkan kebebasan nasional yang meliputi kebebasan dari
kekuasaan asing atau campur tangan dunia luar dan kebebasan dari
kekuasaan-kekuasaan intern yang tidak bersifat nasional atau yang hendak mengesampingkan
commit to user
individualitas, keaslian dan keistimewaan; (4) Perjuangan untuk mewujudkan
perbedaan di antara bangsa- bangsa yang meliputi perjuangan untuk memperoleh
kehormatan, kewibawaan, gengsi dan pengaruh.
Nasionalisme sebagai manifestasi dari kesadaran nasional mengandung
sebuah cita-cita atau ilham yang mendorong dan merangsang suatu bangsa untuk
bersatu. Hertz yang dikutip oleh F. Isjwara (1982: 127) menyebutkan ada empat
macam cita-cita yang terkandung dalam nasionalisme yaitu: (1) Perjuangan untuk
mewujudkan persatuan nasional yang meliputi persatuan bidang politik, ekonomi,
sosial, agama, kebudayaan dan persekutuan serta adanya solidaritas; (2)
Perjuangan untuk mewujudkan kebebasan nasional yang meliputi kebebasan dari
penguasaan asing; (3) Perjuangan untuk mewujudkan kesendirian (separentenses),
pembedaan (distinctivenses); individualitas keaslian (originality) atau
keistimewaan, dan (4) Perjuangan untuk mewujudkan perbedaan diantara
bangsa-bangsa, yang meliputi perjuangan untuk memperoleh kehormatan, kewibawaan,
gengsi dan pengaruh.
Di dalam nasionalisme terdapat unsur-unsur yang terkandung didalamnya
yang sangat penting untuk memperkuat nasionalisme dalam diri suatu bangsa.
Menurut M. Hutauruk (1984: 111) unsur-unsur penting nasionalisme adalah : (1)
Kesetiaan mutlak, kesetiaan individu, kesetiaan tertinggi individu itu adalah pada
nusa dan bangsa; (2) Kesadaran akan suatu panggilan; (3) Keyakinan akan suatu
panggilan; (4) Harapan akan tercapainya sesuatu yang membahagiakan; (5) Hak
hidup, hak merdeka dan hak atas harta benda yang berhasil dikumpulkan dengan
jalan halal; (6) Kepribadian kolektif yang mengandung perasaan mesra
sekeluarga, nasib serta tanggung jawab yang sama, persaudaraan dan kesetiaan di
antara manusia itu; (7) Jiwa rakyat (Volkgeist) yang ada dalam tradisi, bahasa,
ceritera dan nyayian rakyat, dan (8) Toleransi yang sebesar-besarnya terhadap
satu sama lain.
Konsep nasionalisme dalam pengertian modern berasal dari dunia Barat.
Nasionalisme mula-mula dibenihkan oleh golongan menengah Inggris yang
tergabung dalam kelompok puritan, kemudian lewat pemikiran-pemikiran John
commit to user
abad ke-18 itu merupakan suatu gerakan politik untuk membatasi kekuasaan
pemerintah dan menjamin hak-hak warga negara. Gerakan ini juga dimaksudkan
untuk membina masyarakat sipil yang liberal dan rasional. Nasionalisme abad
ke-18 itu telah melahirkan negara bangsa (nation state) di Eropa dengan menentukan
batas-batasnya di satu pihak dan melahirkan imperialisme di pihak lain.
Nasionalisme yang semula berkembang di Eropa itu juga berkembang di
negara-negara luar Eropa, tetapi dengan nuansa yang berbeda (Cahyo Budi Utomo, 1995:
17-18).
Berbeda dengan latar belakang timbulnya paham nasionalisme dalam abad
ke-18 di Amerika Utara dan Eropa Barat yang bertujuan membatasi kekuasaan
pemerintah dan menjamin hak-hak warga negaranya, maka nasionalisme di Asia
dan Afrika mulanya timbul sebagai gerakan kaum terpelajar. Kaum terpelajar
mensosialisasikan nasionalisme tersebut di tengah masyarakat, dan membentuk
organisasi politik yang berjiwa nasionalis (Ichlasul Amal & Armaidy Armawi,
1998: 21-162).
Khusus untuk nasionalisme Asia pada hakekatnya merupakan hasil
perkenalan bangsa Asia dengan kolonialisme dan imperialisme, dan nasionalisme
itu muncul bukan sebagai imitasi (peniruan) dari nasionalisme Eropa.
Nasionalisme Asia pada dasarnya tumbuh sebagai reaksi atas kolonialisme bangsa
Eropa. Nasionalisme dalam perlawanannya terhadap kolonialisme tidak selalu
bersifat pasif, dengan cara isolasi (menutup pintu), tetapi juga bersifat aktif
dengan cara mengoper cara-cara yang baik dan membuang cara-cara yang buruk.
Nasionalisme yang muncul di Indonesia pada dasarnya sama dengan
nasionalisme di Asia. Tumbuhnya nasionalisme di Indonesia merupakan bentuk
dari reaksi atau antithesis terhadap kolonialisme, yang bermula dari cara
eksploitasi yang menimbulkan pertentangan kepentingan yang permanen antara
penjajah dan yang di jajah. Nasionlisme merupakan gejala historis yang tidak
dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan kolonialisme bangsa Barat. Dalam
konteks situasi kolonial, nasionalisme Indonesia adalah suatu jawaban terhadap
kondisi politik, ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh situasi kolonial (C.S.T
commit to user
Nasionalisme di Indonesia muncul karena adanya reaksi terhadap
pemerintah Belanda, sehingga menimbulkan kesadaran dikalangan orang-orang
Indonesia. Rasa nasioanalisme yang dimiliki bangsa Indonesia menjadi menyatu.
Hal ini disebabkan : (1) Persamaan agama, karena 90% penduduk Indonesia
beragama Islam; (2) Perkembangan lingua Franca, yaitu bahasa Melayu menjadi
satu bahasa kebangsaan; (3) Adanya dewan rakyat atau Volksraad yaitu majelis
perwakilan tertinggi untuk seluruh Indonesia. Bangsa Indonesia dari berbagi pulau
menjadi sadar bahwa masalah bersama harus dihadapi bersama pula, sehingga
mendorong kepada persatuan bangsa. (Ismail bin Muhammad & Zuharom bin
Abdul Rashid, 1980: 49-51).
Tujuan dari nasionalisme Indonesia ini antara lain adalah melenyapakan
tiap-tiap bentuk kekuaaan penjajah dan mencapai Indonesia merdeka. Tujuan dari
nasionalisme ini juga merupakan tujuan dari pergerakan nasional. Nasionalisme
tersebut tumbuh seirama dengan perkembangan pergerakan nasional.
2. Pergerakan Nasional
a. Pengertian
Menurut Suhartono, kata “pergerakan” mencakup semua macam aksi yang dilakukan dengan organisasi modern kearah kemerdekaan. Sedangkan menurut
A.K Pringgodigdo (1964: 1), pergerakan mengandung arti semua macam aksi
yang dilakukan dengan organisasi secara modern kea rah perbaikan hidup suatu
bangsa. Sedikit berbeda dengan kedua pendapat tersebut, Suhartoyo Hardjosatoto
(1985: 32-33) menyatakan bahwa “ pergerakan setidak-tidaknya mengandung dua
pengertian. Pengertian pertama yakni pergerakan merupakan suatu proses yang
dinamis menuju suatu keadaan tertentu yang diinginkan, sedangkan pengertian
lainnya yaitu mengacu pada fakta atau fakta-fakta proses perubahan tersebut”.
Kata nasional berasal dari kata dasar “nation” yang biasanya
diterjemahkan sebagai bangsa. Jadi nasional dapat diartikan sebagai kebangsaan.
Nasional dapat diartikan juga sebagai sekelompok manusia yang mempunyai
commit to user
dimaksudkan sebagai sekelompok manusia yang bernegara (Suhartoyo
Hardjosatoto, 1985: 33-34).
Pergerakan nasional pada umumnya merupakan pergerakan dari bangsa
yang dijajah melawan bangsa yang menjajah untuk mendirikan suatu negara
merdeka. Perjuangan dalam pergerakan nasional ditentukan oleh faktor-faktor
yang dimiliki oleh penjajah maupun bangsa yamg dijajah yang bersifat obyektif
maupun yang bersifat subyektif. Ciri obyektif mencakup hal-hal yang bersifat
materiil yakni kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air daripada
bangsa penjajah maupun yang dijajah. Sedangkan ciri yang bersifat subyektif
mencakup semangat dan kepribadian daripada bangsa yang melancarkan
perjuangan pergerakan nasional ataupun yang dimiliki oleh penjajahnya. Faktor
obyektif dari bangsa yang dijajah sangat bergantung pada kekayaan alam dari
tanah airnya dan kemauan peradaban dari bangsa yang bersangkutan. Ciri dari
penjajah sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor obyektif yang terdapat dalam
negerinya. Faktor subyektif terutama ditentukan oleh pandangan hidup dari suatu
bangsa itu sendiri (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985: 82-85).
b. Latar Belakang Munculnya Pergerakan Nasional
Munculnya pergerakan nasional di Indonesia, disebabkan oleh dua faktor.
Ada faktor dari dalam negeri (internal) dan faktor luar negeri (eksternal). Tetapi
faktor dari dalam negeri lebih menentukan dibanding dengan faktor yang timbul
dari luar negeri. Fungsi dan peranan faktor luar negeri hanya bersifat
mempercepat proses timbulnya pergerakan nasional. Hal ini berarti bahwa
sebenarnya tanpa adanya faktor dari luar, pergerakan nasional juga akan muncul,
hanya waktunya agak terlambat. Disamping itu, bisa juga dalam bentuk lain
(Sudiyo, 1997: 14).
Adapun faktor atau sebab-sebab dalam negeri (intern) (G Moejanto, 1988: 26) ialah:
1. Penderitaan akibat penjajahan, bangsa Indonesia merasa senasib sepenanggungan, sama-sama dijajah Belanda. Jadi ini reaksi terhadap penjajah.
commit to user
3. Pembangunan komunikasi antara pulau menyebabkan makin mudah dan makin sering bertemunya rakyat dari berbagai kepulauan.
4. Pembatasan penggunaan atau penyebaran bahasa Belanda dikalangan pribumi di satu pihak, dan penggunaan bahasa Melayu yang dipopulerkan di lain pihak menyebabkan bahasa yang berasal dari sekitar selat Malaka ini menjadi bahasa Indonesia, bahasa ini kemudian menjadi tali pengikat kesatuan bangsa yang ampuh.
5. Undang-undang desentralisasi 1903, yang diantaranya mengatur pembentukan kotapraja (gemeente atau haminte) dan dewan-dewan kotapraja memperkenalkan rakyat Indonesia akan tata cara demokrasi yang modern.
6. Pergerakan kebangsaan Indonesia dapat juga disebut sebagai reaksi terhadap semangat kedaerahan, yang tidak menguntungkan bagi perjuangan kemerdekaan (semangat kemerdekaan membuat kita terpecah bekah dan lemah).
7. Inspirasi kejayaan Sriwijaya dan Majapahit.
Faktor-faktor luar negeri yang dapat mempercepat timbulnya pergerakan nasional itu (Sudiyo, 1997: 15), adalah sebagai berikut:
1. Adanya faham baru, yaitu liberalisme dan human rights, akibat perang Kemerdekaan Amerika (1774-1783) dan Revolusi Perancis (1789).
2. Diterapkannya pendidikan sistem barat dalam pelaksanaan Politik Etis (1902), yang menimbulkan wawasan secara luas bagi pelajar Indonesia walaupun jumlahnya masih sangat sedikit.
3. Kemenangan Jepang terhadap Rusia tahun 1905, yang membangkitkan rasa percaya diri bagi rakyat Asia-Afrika dan bangkit melawan bangsa penjajah (bangsa kulit putih).
4. Gerakan Turki muda (1896-1918), yang bertujuan menanamkan dan mengembangkan nasionalisme Turki, sehingga terbentuk negara kebangsaan yang bulat dengan ikatan suatu negara, satu bangsa, satu bahasa, ialah Turki.
5. Gerakan Pan-Islamisme, yang ditumbuhkan oleh Djamaludin al-Afgani bertujuan mematahkan dan melenyapkan Imperialisme Barat untuk membentuk persatuan semua umat islam dibawah satu pemerintah Islam pusat. Gerakan ini menimbulkan nasionalisme di negara terjajah dan anti-imperialisme.
6. Dan lain-lain, seperti gerakan Nasionalisme di India, Tiongkok, dan Philipina
Nasionalisme Indonesia tumbuh seirama dengan berkembangnya
pergerakan nasional, maka sifat dan corak nasionalisme Indonesia sesuai dengan
corak dan organisasi pergerakan yang mewakilinya. Walaupun terdapat perbedaan
corak dan sifat dari organisasi-organisasi pergerakan, tetapi tujuannya sama yaitu
commit to user
Dalam dua abad terakhir sebelum mencapai kemerdekaannya, sejarah
bangsa Indonesia diwarnai oleh rangkaian usaha yang terus menerus baik secara
fisik maupun nonfisik, baik secara moril maupun materiil, dari masyarakat
terjajah untuk membebaskan dirinya dari belenggu penjajah yang sangat
menyengsarakan. Dalam kurun waktu yang lama itu, segala upaya yang dilakukan
bangsa Indonesia dalam menentang penjajah seolah-olah menghadapi batu karang
yang demikian keras tak tergoyahkan. Perlawanan-perlawanan fisik yang muncul
di berbagai daerah segera diredam oleh pemerintah kolonial Belanda. Keadaan
seperti itu terus berlangsung sampai munculnya suatu gagasan baru, suatu gerakan
baru untuk membebaskan diri dari belenggu penjajah. Gagasan, cara dan gerakan
baru tersebut adalah perjuangan dengan menggunakan organiasai modern.
Tanda-tanda perubahan itu muncul di awal abad ke-20 yang diTanda-tandai dengan lahirnya
sebuah organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia pertama pada tanggal 20 Mei
1908 yang bernama Boedi Oetomo (Cahyo Budi Utomo, 1995: 37).
Perjuangan bangsa Indonesia yang disebut sebagai Pergerakan
Kebangsaan pada permulaan abad ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari
faktor intern dan ekstern yang mempengaruhi perjalanan pergerakan kebangsaan
Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Dari berbagai faktor yang mempengaruhi
tersebut, salah satu faktor yang mempunyai peranan penting adalah diterapkannya
Politik Etis di Indonesia yang secara perlahan mengubah pemikiran tradisional
rakyat pribumi melalui pendidikan barat yang diterapkan Belanda.
Politik etis atau politik balas budi merupakan sebuah haluan politik yang
dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1900-1942. Politik ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa negeri Belanda telah banyak berhutang budi
kepada rakyat Indonesia (pribumi) selama berabad-abad. Hal itu disebabkan sejak
zaman VOC hingga masa Kolonial Liberal sebagian besar kekayaan bangsa
Indonesia dikeruk dan dibawa ke negeri Belanda. Walaupun tujuan utama politik
Etis sangat mulia, dalam pelaksanaannya tidak demikian. Tetapi dengan segala
kelemahan tersebut, politik etis telah mendorong perubahan sosial di kalangan
penduduk pribumi. Hal itu disebabkan banyak penduduk bumi putera yang
commit to user
pemikiran yang tradisional. Walaupun dari sudut pandang Kolonial kebijakan
pendidikan Belanda diarahkan untuk kepentingan Pemerintah Kolonial, dari sudut
kepentingan perjuangan bangsa Indonesia pendidikan Barat telah melahirkan Elit
Baru yang muncul sebagai produk pendidikan Barat. Elit inilah yang kemudian
menjadi embrio munculnya nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan
Nasional Indonesia ke arah kemerdekaan Indonesia (Cahyo Budi Utomo, 1995:
40-43).
Embrio munculnya nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan
Nasional Indonesia ke arah kemerdekaan Indonesia menyebar keseluruh wilayah
Indonesia, tidak ketinggalan dengan Surakarta yang merupakan salah titik penting
sebagai salah satu pelopor gerakan nasional yang diwadahi dan mendapat
perhatian penting dar Sri Susuhunan Paku Buwono X sebagai raja di keraton
Kasunanan Surakarta.
3. Agen dalam Pergerakan Nasional
Timbulnya peristiwa akibat dari tindakan manusia yang terjalin melalui
aktivitas antar mereka yaitu aktivitas budaya, ekonomi, politik, dan sosial.
Berpijak dari pengertian ini, Anthony Gidden dalam George Ritzer berpendapat
bahwa manusia adalah aktor dari seluruh peristiwa sosial budaya, sosial ekonomi,
dan sosial politik (George Ritzer, 2004: 507-508).
Manusia tidak sepenuhnya bebas untuk memilih tindakan mereka sendiri,
dan pengetahuan mereka terbatas, mereka tetap merupakan agen yang
mereproduksi struktur sosial dan mengarah pada perubahan sosial. Giddens
menulis bahwa hubungan antara struktur dan tindakan adalah sebuah elemen
fundamental bagi teori sosial, struktur dan keagenan adalah dualitas yang tidak
dapat dipahami terpisah satu sama lain. Argumen utamanya terkandung dalam
ungkapan dualitas struktur. Pada tingkat dasar, ini berarti bahwa orang-orang
membuat struktur masyarakat, tetapi pada saat yang sama, mereka dibatasi
olehnya (http://www.yudhieharyono.com/?p=343, diunduh pada selasa 16
commit to user
Tindakan dan struktur tidak dapat dianalisis secara terpisah, seperti
struktur diciptakan, dipertahankan dan diubah melalui tindakan. Sedangkan
tindakan bermakna diberi bentuk hanya melalui latar belakang struktur, garis
kausalitas berjalan di dua arah sehingga mustahil untuk menentukan siapa yang
mengubah apa. Dalam hal ini, Giddens mendefinisikan struktur yang terdiri dari
aturan dan sumber daya yang melibatkan tindakan manusia, aturan membatasi
tindakan.
Struktur dapat bertindak sebagai kendala tindakan, tetapi juga
memungkinkan tindakan dengan menyediakan kerangka makna umum. Giddens
menunjukkan bahwa struktur (tradisi, institusi, kode moral, dan harapan) pada
umumnya cukup stabil, tetapi dapat diubah, terutama melalui konsekuensi
tindakan yang diharapkan, ketika orang mulai mengabaikan mereka,
menggantikan mereka, atau mereproduksi mereka secara berbeda
(http://www.yudhieharyono.com/?p=343, diunduh pada selasa 16 Februari 2010).
Tindakan aktor adalah akibat dari kesadaran diskursif dan kesadaran
praktis (George Ritzer, 2004: 509). Kesadaran Diskursif memerlukan kemampuan
untuk melukiskan tindakan kita dalam kata-kata, sedangkan kesadaran praktis
melibatkan tindakan yang dianggap aktor benar, tanpa mampu mengungkapkan
dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan.
Aktor (agen) menerapkan aturan-aturan sosial yang sesuai dengan budaya
mereka yang telah dipelajari melalui sosialisasi dan pengalaman. Aturan-aturan
ini bersama-sama dengan sumber daya yang mereka miliki digunakan dalam
interaksi sosial. Aturan dan sumber daya yang digunakan dalam cara ini tidak
dapat diprediksi, tetapi diterapkan secara tiba-tiba oleh aktor berpengetahuan.
Maka hasil dari tindakan ini juga tidak sepenuhnya dapat diprediksi.
Konsep agen (agency) pada umumnya merujuk pada tingkat mikro atau
makro manusia individual, konsep ini pun dapat merujuk kepada kolektivitas
(makro) yang bertindak. Agen manusia dapat meliputi individu maupun kelompok
terorganisir, organisasi, dan bangsa. Agen (aktor) dalam tindakannya dipengaruhi
oleh kesadaran diskursif dan kesadaran praktis. Kesadaran diskursif memerlukan
commit to user
melibatkan tindakan yang dianggap aktor benar, tanpa mampu mengungkapkan
dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan (George Ritzer, 2004:
506-508).
Dalam hubungan dengan pergerakan nasional, pada awal abad ke-20,
muncul kaum intelektual yang mempunyai kesadaran diskursif dan kesadaran
praktis tentang bangsanya sendiri. Kesadaran kaum intelektual timbul karena: (1)
penindasan ekonomi, politik dan sosial akibat kolonialsme bangsa barat, (2)
diskriminasi dalam pendidikan untuk penduduk pribumi.
Salah satu tokoh yang memiliki kesadaran diskursif dan kesadaran praktis
adalah Paku Buwono X. Berbagai tindakan dilakukan Sunan dalam upayanya
untuk memberdayakan masyarakat Surakarta di bidang ekonomi maupun
pendidikan yang ditandai dengan munculnya elit intelektual yang nantinya
commit to user
B. Kerangka Berfikir
Keterangan:
Penjajahan bangsa Barat khususnya Belanda di Indonesia telah membawa
dampak yang sangat besar terhadap kelangsungan hidup rakyat Indonesia,
demikian juga terhadap kehidupan Keraton Surakarta yang merupakan salah satu
kerajaan yang mempunyai peranan penting di tanah Jawa. Segala upaya dilakukan
untuk mengusir penjajah dari Indonesia, baik perlawanan yang dilakukan secara Penjajahan Belanda
di Indonesia
Paku Buwono X Interaksi Kaum
Intelektual dan
Pengusaha Batik
Lawean Keraton Kasunanan
Surakarta
Nasionalisme Pembangunan
Bidang
Pendidikan
Pembangunan
Bidang
Ekonomi
SI (Sarekat
Islam) 1912
Boedi Oetomo
(BO) 1914 Kesadaran
Diskursif
Kesadaran
Praktis
commit to user
tradisional/ fisik dari berbagai daerah. Perlawanan yang dilakukan secara terus
menerus dalam upayanya mengusir penjajah dari Indonesia semakin lama
semakin mengalami perubahan dari yang bersifat tradisional manjadi terorganisir.
Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari
peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X.
Menjelang pergantian abad ke-20 di negeri Belanda terjadi perubahan politik
terhadap Indonesia yaitu menjadi politik etis berdasarkan pikiran bahwa negara
Belanda mempunyai hutang budi kepada Indonesia. Sebagai perlunasan hutang itu
Belanda mendirikan banyak sekolah di Indonesia. Sunan yang mempunyai
kesadaran diskursif dan kesadaran praktis yang tinggi dapat melihat perubahan
dan perkembangan-perkembangan baru itu dan juga sadar bahwa generasi muda
harus menjadi orang-orang pintar agar dapat mengimbangi kepintaran orang
Belanda hingga suatu saat dapat melepaskan bangsa Indonesia dari penjajahan
Belanda.
Berbagai upaya dilakukan Sunan untuk tujuannya tersebut yaitu dengan
cara perubahan dan pembangunan ekonomi Surakarta agar dapat mendorong
kemajuan masyarakat Surakarta. Selain pembangunan ekonomi, bidang lain yang
sangat diperhatikan oleh Sunan adalah dalam bidang pendidikan. Dengan adanya
politik Etis yang dicanangkan oleh Belanda, memberikan kesempatan besar bagi
Sunan untuk memajukan pendidikan dengan cara mendirikan sekolah-sekolah
rakyat, maupun sekolah-sekolah berbasis agama Islam. Hal tersebut dilakukan
untuk membentuk kaum elite intelektual Indonesia yang mampu mengusir
kekeuasaan Barat di Indonesia. Elit inilah yang kemudian menjadi embrio
munculnya nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan Nasional Indonesia ke
arah kemerdekaan Indonesia di Surakarta yang bekerjasama dengan pengusaha
batik Lawean berinteraksi dengan Keraton Surakarta yang nantinya mendorong
berdirinya organisasi politik di Surakarta yaitu Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912
commit to user
23 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dalam rangka penelitian skripsi yang berjudul “Peran Paku Buwono X Dalam Pergerakan Nasional” ini dilakukan dengan menggunakan
metode historis, maka untuk memperoleh data penelitian, penulis sebagian besar
memperoleh data dari perpustakaan. Adapun perpustakaan yang digunakan
sebagai obyek penelitian adalah sebagai berikut:
a. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret
b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret
c. Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret
d. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret
e. Perpustakaan Sasono Poestoko Keraton Kasunanan Surakarta
f. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta
g. Perpustakaan Ignatius Yogyakarta
h. Buku-buku koleksi pribadi
2. Waktu Penelitian
Rencana waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejak proposal
disetujui pembimbing yaitu bulan Januari 2010 sampai dengan Juli 2010. Adapun
kegiatan yang dilakukan dalam jangka waktu tersebut diantaranya adalah
mengumpulkan sumber, baik sumber primer maupun sekunder, melakukan kritik
untuk menyelidiki keabsahan sumber, menetapkan makna yang saling
berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh dan terakhir menyusun laporan hasil
commit to user
B. Metode Penelitian.
Metode berasal dari bahasa yunani yaitu “methodos” yang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut cara kerja,
yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan (Koentjaraningrat, 1997: 7). Dalam penelitian peranan metode
sangat penting karena keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari
penggunaan metode yang tepat. Dalam hal ini dipilih dengan mempertimbangkan
kesesuainnya dengan objek yang diteliti bukan sebaliknya. Berdasarkan
permasalahan yang dikaji serta tujuan yang dicapai, maka metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode historis. Pemilihan metode historis didasarkan
pada pokok permasalahan yang dikaji yaitu peristiwa masa lampau, untuk
direkonsruksi menjadi cerita sejarah melalui langkah aau metode hisoris.
Menurut Gilbert J. Gharagan dalam Dudung Abdurrahman (1999: 43)
metode historis adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk
mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis,
dan mengajukan sintesis dan hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.
Sejalan dengan pendapat ini, Louis Gottschalk (1986: 32) mendefinisikan metode
historis sebagai proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan
peninggalan masa lampau. Sartono Kartodirdjo (1992: 37), berpendapat bahwa
metode penelitian sejarah adalah prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk
menghasilkan kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh
masa lampau tersebut. Penelitian sejarah harus membuat rekonstruksi suatu
kegiatan yang disaksikan sendiri, karena secara mutlak tidak mungkin mengalami
lagi fakta yang diselidikinya.
Berdasarkan penjelasan tentang metode historis di atas, maka metode
historis dipergunakan dengan alasan penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi
peristiwa Pergerakan Nasional di Surakarta yaitu, “Peran Paku Buwono X Dalam
commit to user
C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber sejarah.
Sumber sejarah sering kali disebut sebagai data sejarah. Menurut Kuntowijoyo
dalam Dudung Abdurrahman(1999: 30), perkataan data berasal dari bahasa latin
datum yang berarti pemberitaan. Data sejarah itu sendiri berarti bahan sejarah
yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian.
Menurut Helius Syamsuddin (1996: 73) dalam penelitian sejarah, yang
menjadi sumber data adalah sumber sejarah. Sumber sejarah merupakan bahan
mentah (raw material) sejarah yang mencakup segala evidensi atau bukti yang
telah ditinggalkan oleh menusia yang menunjukkan segala aktivitas manusia di
masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan/
lesan.
Menurut Sidi Gazalba (1981: 105) sumber sejarah dapat diklasifikasikan
menjadi tiga macam, yaitu: (1) sumber tertulis yang mempunyai fungsi mutlak
dalam sejarah, (2) sumber lisan, yaitu sumber tradisional dalam pengertian luas,
(3) sumber visual atau benda, yaitu semua warisan masa lalu yang berbentuk dan
berupa seperti candi dan prasasti.
Sumber sejarah dapat diklasifikasikan menjadi beberapa cara yatu : (1)
kontemporer (contemporary) dan lama (remote), (2) formal (resmi) dan informal
(tidak resmi), (3) pembagian menurut asalnya (dari mana asalnya), (4) isi
(mengenai apa), (5) tujuan (untuk apa) yang masing-masing dibagi lagi lebih
lanjut menurut waktu, tempat dan cara/produknya. Sumber sejarah secara garis
besar dibedakan menjadi peninggalan-peninggalan (relics atau remains) dan
catatan-catatan (Helius Sjamsudin, 1996 : 74 ).
Berbagai cara ditempuh untuk mengklasifikasikan sumber data, salah satu
cara mengklasifikasikannya yaitu dengan meninjau atau melihat sumber data itu
dari sudut kegunaannya yang langsung untuk penelitian historis. Klasifikasi
sumber sejarah dapat dibedakan menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua yaitu
sumber tertulis dan sumber tidak tertulis. Sumber tersebut menurut urutan
penyampaiannya dapat dibedakan menjadi sumber primer dan dan sumber
commit to user
Menurut Nugroho Notosusanto (1986: 35), sumber primer adalah
kesaksian dengan mata kepala sendiri atau panca indera lainnya atau dengan alat
mekanis yang ada pada saat peristiwa itu terjadi. Sedangkan menurut John W.
Best dalam Louis gottschalk (1986: 35) sumber primer sebagai cerita atau catatan
para saksi mata atau pengamat atau partisipan dan juga berisi catatan-catatan para
saksi mata yang menyaksikan peristiwa tersebut.
Sumber sekunder adalah informasi yang diberikan oleh orang yang tidak
langsung mengamati atau orang yang tidak terlibat langsung dalam suatu
kejadian, keadaan tertentu atau tidak langsung mengamati objek tertentu. Sumber
sekunder dapat dijadikan sebagai sumber utama apabila sumber utama sulit
didapat (Nugroho Notosusanto, 1986: 35)
Pengumpulan data berdasarkan sumber data yang ditetapkan yaitu teknik
studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis dari buku-buku dan
bentuk pustaka lainnya. Sumber-sumber ini diperoleh melalui kunjungan pustaka,
analisis dan lain-lain.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber sekunder,
karena sulitnya memperoleh sumber primer. Sumber sekunder yang yang
digunakan antara lain: Hans Van Miert judul buku Dengan semangat Berkobar
Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1981-1930; George D. Larson
judul buku Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan Politik di
Surakarta, 1912-1942; RM. Karno judul buku Riwayat dan Falsafah Hidup
Ingkang Sinuwun Sri Susuhunan Paku Buwono X 1893-1939; Darsiti Soeratman
judul Buku Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939; Denys Lombard
judul buku Nusa Jawa Silang Budaya jilid I, II, III; G.P Rouffaer judul buku
Vorstenlanden; Vincent J.H. Houben judul buku Keraton Dan Kompeni Surakarta
Dan Yogyakarta 1830-1870; M.C Ricklefs judul buku Sejarah Indonesia Modern;
A.P.E.Korver judul buku Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?; Suhartono judul
buku Apanage dan Bekel; Kuntowijoyo judul buku Raja, Priyayi dan Kawula; AA
GN Ari Dwipayana judul buku Bangsawan dan Kuasa Kembalinya Para Ningrat
di dua Kota; John Pemberton judul buku On The Subject of “Java”; A.K
commit to user
Utomo judul buku Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia Dari
Kebangkitan Hingga Kemerdekaan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan sumber data yang digunakan, maka teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah tehnik studi pustaka. Menurut Kartini Kartono (1990: 33)
Studi pustaka merupakan sebuah penelitian yang bertujuan mengumpulkan data
dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruang perpustakaan
misalnya: buku, surat kabar, majalah dan dokumen. Data-data yang telah
terkumpul berfungsi sebagai wahana informasi terhadap materi yang akan dibahas
dalam penelitian.
Menurut Koentjaraningrat (1997: 64), teknik studi pustaka adalah suatu
metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data atau
fakta sejarah dengan membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip,
surat kabar atau brosur yang tersimpan dalam perpustakaan. Studi pustaka
merupakan teknik pengumpulan data dengan mengadakan kunjungan ke
perpustakaan guna mendapatkan buku-buku sumber yang relevan dengan
penelitian yang sedang dilakukan, karena salah satu hal yang perlu dilakukan
dalam persiapan penelitian adalah memanfaatkan dengan maksimal sumber
informasi yang terdapat di perpustakaan dan jasa informasi yang tersedia. Dalam
penelitian ini data sebagian besar diperoleh dari perpustakaan yang tedapat di
Surakarta dan Yogyakarta.
Keuntungan dari studi pustaka ini ada empat hal, yaitu : (1) memperdalam
kerangka teoritis yang digunakan sebagai landasan pemikiran, (2) memperdalam
pengetahuan akan masalah yang diteliti, (3) mempertajam konsep yang digunakan
sehingga mempermudah dalam perumusan, (4) menghindari terjadinya
penggulangan suatu penelitian ( Koentjaraningrat, 1986: 36).
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah teknik dalam memeriksa dan menganalisis data