• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN NASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN NASIONAL"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN NASIONAL

Skripsi

Oleh :

INDRI RETNO SUTOPO

X 4406008

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN NASIONAL

Oleh :

INDRI RETNO SUTOPO

X 4406008

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(3)

commit to user

iii

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji

Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Surakarta, 30 Juli 2010

Pembimbing I Pembimbing II

(4)

commit to user

iv

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima

untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Hari : Jumat Tanggal : 30 Juli 2010

Tim Penguji Skripsi

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Dra. Sri Wahyuni, M.Pd ………

Sekretaris : Drs. Tri Yuniyanto, M.Hum ...

Anggota I : Dr. Hermanu. J, M.Pd ………

Anggota II : Drs. Djono, M.Pd ………....

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret

Dekan,

Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd.

(5)

commit to user

v ABSTRAK

Indri Retno Sutopo. PERAN PAKU BUWONO X DALAN PERGERAKAN NASIONAL. Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2010.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Usaha-usaha yang dilakukan Paku Buwono X untuk membangun kehidupan politik di Surakarta; (2) Peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di Surakarta tahun 1909-1939; (3) Reaksi Belanda terhadap peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di Surakarta.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah (historis). yaitu prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut. Langkah-langkah dalam metode sejarah adalah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis. Sesuai dengan jenis penelitiannya, maka teknik analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah teknik analisis historis. Teknik analisis historis yaitu teknik analisis yang mengutamakan ketajaman dalam interpretasi sejarah. Langkah-langkah analisis data dilakukan dengan cara: (1) menyediakan sumber sejarah yang mendukung penelitian proses perbandingan sumber; (2) mengklasifikasikan data yang sudah terkumpul dengan pendekatan kerangka berpikir atau kerangka referensi yang mencakup berbagai konsep atau teori politik, ekonomi dan sosial sehingga didapatkan suatu fakta sejarah yang dapat dipercaya kebenarannya; (3) mempertinggi kredibilitas penulis.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Kondisi politik yang dibangun oleh Paku Buwono X Surakarta dipengaruhi oleh kondisi politik sebelum abad ke-20 yang sarat dengan peristiwa yang berhubungan dengan pemerintah kolonial Belanda. Usahanya membangun landasan politik di Surakarta dilakukan Sunan dengan cara mendirikan madrasah Mamba’ul Ulum pada tahun 1905 dan Sekolah-sekolah bagi rakyat dan bagi para sentana yaitu sekolah

Kasatrian, Sekolah Pamardi Siwi, Pamardi Putri, sekolah pertanian dan

(6)

commit to user

vi

Buwono X diangkat menjadi pelindung Sarekat Islam diminta untuk meletakkan jabatannya. Banyak kritik dari pejabat Belanda tentang perjalanan Ngideri

Buwono yang dilakukan oleh Paku Buwono X. Belanda memikirkan masalah

(7)

commit to user

vii ABSTRACT

Indri Retno Sutopo. THE ROLE OF PAKU BUWONO X IN THE NATIONALISM MOVEMENT. Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of Surakarta Sebelas Maret University, July 2010.

The objective of research is to find out: (1) the attempts the Paku Buwono X had taken to build the political life in Surakarta; (2) the role of Paku Buwono X in the Nationalism Movement in Surakarta in 1909-1939; (3) the Dutch‟s reaction to the role of Paku Buwono X in the Nationalism Movement in Surakarta.

This study employed a historical method, that is, the one deriving from the historian‟s procedure of work to produce the past story based on the traces abandoned by the past. The procedures of historical method include heuristic, criticsm, interpretation, and historiography. Technique of collecting data employed was library study. The data source used was the written one. In line with the type of research, the technique of analyzing data used was historical analysis technique. It is the one emphasizing on the incisiveness of history interpretation. The procedure of analysis was done by: (1) providing the data source supporting the research of source comparison process; (2) classifying the data collected using framework and reference-frame approach involving various concepts or political, economical and social theories so that a reliable fact of history is obtained; (3) enhancing the writer‟s credibility.

Considering the result of research, it can be concluded that: (1) the political condition built by Paku Buwono X Surakarta is affected by the political condition before twentieth century in relation to Dutch Colonial government. The attempt of bulking political foundation in Surakarta taken by Paku Buwono X included by establishing Mamba‟ul Ulum madrasah in 1905 and the school for people and for the sentana: Kasatrian, Pamardi Siwi, Pamardi Putri schools, farming and planting schools, as well as by conducting incognito journey named politically Ngideri Buwono: (2) the local political dynamics emerging in Surakarta is inseparable from the role of Paku Buwono X. Paku Buwono embraces the nationalist in its movement to resist the Dutch‟s power, doing through the nationalism movement, as done by Boedy Oetomo or through the economic and social improvement movement as done by Sarekat Islam; (3) the Dutch Government‟s reaction to Paku Buwono‟s role was to limit the political movement of Paku Buwono X in establishing the relation to other country or nation except to Dutch Government. RM. Woerjaningrat is the nephew and even son-in-law of Paku Buwono sitting in the Sarekat Islam leadership and Hangebehi prince, the son of Paku Buwono X who protects the Sarekat Islam was asked to resign. Many criticism proposed by the Dutch officials about Ngideri Buwono

(8)

commit to user

viii MOTTO

”Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa pahlawannya”.

(Ir. Soekarno)

”Sejarah adalah pembebasan dari kepercayaan tidak benar, perjuangan melawan kebodohan dan ketidaktahuan”.

(9)

commit to user

ix

PERSEMBAHAN

Dengan ucapan syukur kepada Allah dan shalawat atas Rasul-Nya, karya ini

kupersembahkan kepada:

Ibu, ayah dan adik Indra tercinta yang senantiasa memberi doa dan kasih sayang. Semua saudaraku dan teman-temanku Sejarah ’06.

(10)

commit to user

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan

rahmat-Nya, sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan lancar guna

memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Hambatan dan rintangan yang dihadapi dalam penyelesaian penulisan

skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya

kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu disampaikan terima

kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah menyetujui

atas permohonan skripsi ini.

3. Ketua Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan

Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta, yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan

skripsi ini.

4. Dr. Hermanu. J, M.Pd, selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan

pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Drs. Djono, M.Pd selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan

pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu, ayah,adik Indra, dan semua keluarga tercinta yang senantiasa memberi

doa, semangat, dukungan dan kasih sayang.

7. Semua saudaraku dan teman-temanku Sejarah ‟06 terima kasih atas segala

doa, masukan dan teguran serta pengorbanan yang diberikan untukku.

8. Doni Setyawan terimakasih buat semangat dan dukungannya.

9. Sahabat Bandenx-Ku tercinta: Citra, Ste, Irma, Riana kebersamaan kita akan

selalu aku rindukan.

(11)

commit to user

xi

11.Buat sahabat-sahabatku yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,

terimakasih untuk semuanya.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan

Ilmu Pengetahuan pada umumnya.

Surakarta, 30 Juli 2010

(12)

commit to user

xii DAFTAR ISI

halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGAJUAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK .... ….. ... v

HALAMAN MOTTO ... viii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ………. xv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 10

1. Nasionalisme ... 10

2. Pergerakan Nasional ... 14

3. Agen dalam Pergerakan Nasional ... 18

B. Kerangka Berfikir ... 21

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 23

B. Metode Penelitian ... 24

C. Sumber Data ... 25

D. Teknik Pengumpulan Data ... 27

(13)

commit to user

xiii

F. Prosedur Penelitian ... 29

BAB IV. HASIL PENELITIAN A. Usaha-usaha Paku Buwono X Membangun Kehidupan Politik 1. Keadaan Geografis Surakarta……….. 33

2. Keadaan Politik Sebelum Abad ke-20………. 36

3. Sejarah Kehidupan Paku Buwono X……..……….. 43

a. Latar Belakang Keluarga……….…..…. 43

b. Kepribadian…………....……… 45

4. Membangun Landasan Kehidupan Politik…..………….. 50

a. Pendirian Madrasah dan Sekolah……….……… 50

b. Usaha-usaha dalam Bidang Politik……….……….. 56

c. Politik Ngideri Buwono……..………. 57

B. Peran Keraton Dalam Pergerakan Kebangsaan 1. Kondisi Politik Surakarta Pada Masa Pemerintahan Paku Buwono X…...……….. 59

2. Peran Paku Buwono X dalam Organisasi Sosial dan Politik……… 61

a. Sarekat Islam 1) Latar Belakang Terbentuknya Sarekat Islam……. 61

2) Faktor Ekonomi………. 66

3) Faktor Agama……… 68

4) Pasang Surut Sarekat Islam……… 69

5) Dukungan Terhadap Sarekat Islam……… 71

b. Boedi Oetomo 1) Latar Belakang Terbentuknya Boedi Oetomo …… 73

2) Pasang Surut Boedi Oetomo…………...………... 76

3) Dukungan Terhadap Boedi Oetomo………. .. 81

(14)

commit to user

xiv BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan……….. 89

B. Implikasi………... 92

C. Saran……… 93

DAFTAR PUSTAKA……….. 94

(15)

commit to user

xv

DAFTAR LAMPIRAN

halaman

Lampiran 1 : Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ... 99

Lampiran 2 : Lambang Keraton Kasunanan Surakarta ... 100

Lampiran 3 : Paku Buwono X ... 101

Lampiran 4 : Paku Buwono X dan Kanjeng Ratu Mas ... 102

Lampiran 5 : Paku Buwono X dan Residen de Vogel (1897) ... 103

(16)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keraton Surakarta didirikan oleh Sunan Paku Buwono II (1725-1749)

pada tahun 1746, setelah keraton sebelumnya di Kartasura mengalami kehancuran

akibat perang perebutan tahta (Ari Dwipayana, 2004: 26). Walaupun keraton

sudah dipindahkan ke Surakarta, tetapi perang-perang antara Mataran dengan

VOC belum selesai sampai Paku Buwono II wafat dan digantikan oleh Paku

Buwono III yang memerintah selama enam tahun sebagai raja Mataram

(1749-1755) dan 33 tahun sebagai raja Surakarta (1755-1788).

Peperangan antara Mataram dan VOC berlanjut pada masa pemerintahan

Paku Buwono III dari tahun 1746 sampai 1755. Perang yang berlangsung selama

sembilan tahun (1746-1755) itu dapat diatasi dengan tercapainya Perjanjian

Gianti. Sesuai dengan ketentuan Perjanjian Gianti (1755), Kerajaan Mataram

dibagi dua menjadi Kerajaan Surakarta Hadiningrat dan Kerajaan Ngayogyakarta

Hadiningrat. Perjanjian ini melibatkan tiga pihak, yaitu Paku Buwana III, Sultan

Hamengku Buwono III dan Kompeni Belanda. Sebelum perjanjian itu

dilangsungkan, Paku Buwono III telah diminta oleh Gubjen Jacob Mossel untuk

menyerahkan separo daerah kerajaannya kepada Pangeran Mangkubumi, dan

Sunan tidak dapat menolak permintaan itu. Bagi Sunan isi perjanjian itu

merupakan tamparan yang sangat berat, karena tanah yang harus dilepaskan

meliputi negara, negaragung, dan mancanegara. Dari peristiwa Palihan Nagari

(pembagian kerajaan Mataram menjadi dua), selain Pangeran Mangkubumi,

Kompeni Belanda juga memperoleh keuntungan besar, karena berakhirnya perang

yang telah berlangsung selama sembilan tahun (1746-1755) itu dapat mengurangi

beban kompeni, yang pada waktu itu berada dalam keadaan mundur. Selain itu,

terbaginya kerajaan Mataram menjadi dua memudahkan kompeni untuk dapat

menguasai kedua kerajaan itu. Daerah-daerah yang diterima oleh Sultan

(17)

commit to user

dengan hak mewariskan kepada putera-puteranya yang sah (Darsiti Soeratman,

2000: 27-29).

Periode 1755-1800 atau tepatnya setelah perjanjian Gianti ditandai dengan

kemakmuran ekonomi dan politik. Istana-istana Surakarta mendapatkan lebih

banyak kebebasan dan kemerdekaan ketika kekuasaan VOC meredup. Kedua

istana mengesampingkan perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka.

Penduduk Jawa tumbuh dengan cepat seiring dengan tidak adanya kegagalan

panen dan wabah-wabah penyakit, dan meningkatnya produksi pangan. Akan

tetapi setelah tahun 1800, pasang pun surut. Sederetan kondisi-kondisi yang tidak

menguntungkan menyebabkan meletusnya Perang Jawa. Faktor-faktor yang

memicu pecahnya Perang Jawa dapat diringkas dalam dua hal pokok. Pertama,

sejak tahun1800 dan seterusnya, ada masalah dimana sebuah kekuatan kolonial

yang agresif berusaha menancapkan hegemoninya di Jawa. Pada tahun 1808

Letnan Gubernur Jenderal H.W. Deandels memberlakukan peraturan-peraturan

mengenai tata etiket perilaku, sesuatu yang sangat menghina bagi orang-orang

Jawa. Etiket itu menyatakan bahwa pada saat sedang berada didalam istana-istana

itu para residen Eropa tidak lagi harus menunjukkan bahwa mereka lebih rendah

dari para penguasa Jawa dalam protokol.

Pada tahun 1811 kompensasi moneter atas pesisir utara yang telah

dianeksasi (yaitu apa yang disebut dengan strandgelden atau uang pesisir) tidak

lagi diberlakukan. Setahun kemudian, atas perintah dari T.S. Raffles, G.A.G.Ph.

van der Capellen melarang para bangsawan Jawa menyewakan tanah-tanah

mereka kepada orang-orang Eropa pengusaha pertanian. Para bangsawan ini mau

tidak mau harus mencari sumber-sumber penghasilan pengganti yang jumlahnya

luar biasa besar, yang pada akhirnya menyebabkan kehancuran finansial mereka.

Pada tahun 1825 sekali lagi sebagian wilayah direbut dari tangan kedua kerajaan

tersebut, kali ini dengan cara menyerobot sejumlah daerah kantong yang terletak

di dalam karesidenan-karesidenan pesisir utara, sebagai imbalan atas kompensasi

finansial. Maka tak heran bila istana itu tersinggung oleh perilaku agresif

orang-orang Eropa. Surakarta, dalam usahanya mengambil sikap yang lebih kooperatif

(18)

commit to user

orang-orang Eropa demi mendapatkan pengaruh yang lebih besar. Yogya

menanggapinya dengan mengambil sikap yang tegas (Vincent J.H. Houben, 2002:

18-20).

Faktor kedua yang menyebabkan Perang Jawa meliputi pertentangan

politik di dalam Istana Yogyakarta itu sendiri. Pertentangan-pertentangan pribadi

di antara para pengampu Sultan Hamengku Buwana V yang masih kecil itu mulai

terlihat setelah tahun 1822. Kelompok pertama dibentuk oleh Ratu Ibu (ibunda

Hamengku Buwana IV) dan Ratu Kencana (ibunda Hamengku Buwana V) yang

berada di bawah pengaruh Patih Danureja IV. Pihak oposisi terdiri dari

Diponegoro (putra tertua Hamengku Buwana III) dan pamannya, Pangeran

Mangkubumi (Vincent J.H. Houben, 2002: 22).

Puncaknya pada bulan Mei 1825 di sebuah jalan baru yang akan dibangun

di dekat Tegalreja, terjadi suatu bentrokan antara para pengikut Diponegoro

dengan para pengikut musuhnya, Patih Danureja IV (1813-1847), terjadi ketika

patok-patok untuk jalan raya tersebut dipancangkan. Sesudah itu berlangsung

suatu masa ketegangan. Pada tanggal 20 Juli pihak Belanda mengirim

serdadu-serdadu dari Yogyakarta untuk menangkap Diponegoro. Segera meletus

pertempuran terbuka, Tegalreja direbut dan dibakar, tetapi Diponegoro berhasil

meloloskan diri dan mencanangkan panji pemberontakan dengan meletusnya

perang Jawa hingga tahun 1830 yang pada membawa Diponegoro pada titik

kekalahan dan harus menandatangani perundingan-perundingan serta diasingkan

oleh pihak Belanda.

Perang Jawa tersebut merupakan perlawanan kelompok elite bangsawan

Jawa. Perlawanan ini merupakan suatu gerakan konservatif, suatu usaha yang

sia-sia untuk kembali lagi kepada keadaan-keadaan sebelum meningkatnya kekuatan

kolonial yang telah muncul sejak tahun 1808. Luasnya gerakan protes sosial yang

mendukung langkah perang tersebut nyata-nyata dan, dengan menoleh

kebelakang, menunjukkan betapa mendalamnya revolusi penjajahan itu sudah

merobek-robek masyarakat Jawa,dan dalam hal ini Perang Jawa seakan-akan

membayangi gerakan anti penjajahan dari abad ke-20 (M. C Ricklefs, 1991:

(19)

commit to user

Setelah berakhirnya Perang Jawa, Belanda semakin memikirkan berbagai

rencana untuk Jawa untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya yaitu dengan

cultuurstelsel (sistem pananaman) yang membuat rakyat semakin sengsara dan

semakin menyudutkan kerajaan-kerajaan di Jawa. Raja-raja baik di Surakarta

maupun Yogyakarta terbelenggu dengan kebijakan-kebijakan Belanda yang

menyudutkan pemerintahannya. Periode pasca-1830, ditemukan dalam

ekspresi-ekspresi protes sosial di Surakarta pada masa itu. Baik pusat (di istana-istana itu

sendiri) maupun pinggiran (daerah-daerah di sekitar istana) atau disebut dengan

gerakan peripheral dan gerakan semiperiferal. Gerakan periferal mengacu pada

ekspresi-ekspresi perlawanan terhadap tatanan yang ada yang muncul tepat di luar

lingkungan pusat-pusat kota keraton dan yang tidak memiliki hubungan yang

terang-terangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam dan sekitar istana.

Berbagai usaha dilakukan untuk menghentikan perlawanan-perlwanan

sosial tersebut. Salah satunya adalah pada masa Paku Buwono IX. Surakarta pada

saat itu diperintah oleh Sunan Paku Buwono IX (1861-1893). Paku Buwana IX

(1861-1893), memiliki kepribadian yang sangat berbeda daripada kedua raja

sebelumnya. Pada awal pemerintahanya, Sunan ini terdapat dua macam gagasan

mengenai usaha agar keamanan di daerah Surakarta tercapai. Pertama, berupa usul

agar kepolisian diletakkan langsung di bawah residen dengan cara mengangkat

kontrolir kelas 1 disertai hak mengadili perkara kecil. Kedua, pendapat yang

menyatakan kurang setuju dengan soal pengambilan hak-hak Sunan, karena hal

ini akan menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan. Sebab itu perlu diadakan

asisten residen dengan tugas mengusahakan agar para pengusaha asing

mendapatkan sesuatu sesuai haknya dan disamping itu juga merintangi para

pengusaha asing itu dalam hal mengadili kawula Sunan yang tinggal dan bekerja

di daerah yang disewa. Pada 1866 Sasradiningrat Seda Jabung diberhentikan dan

diberi pensiun karena dinilai tidak dapat menyelenggarakan keamanan. Pada

sekitar 1860-an banyak terjadi perampokan, disamping itu juga muncul gerakan

lain. Pengganti Sasradiningrat, R.Ad. Sasranagara (1866-1887), memangku

jabatan selama 21 tahun. Pada awal pemerintahannya (1867) di Kasunanan terjadi

(20)

commit to user

pemerintahan patih ini diadakan jabatan asisten residen. Rencana pemerintah

untuk mengangkat asisten residen diluar ibukota mulai dilancarkan pada 1872,

tetapi ditolak oleh Sunan. Raja ini bermaksud akan memperluas korps polisi

pribumi sebagai upaya untuk merintangi campur tangan pemerintah terhadap

urusan intern kerajaan. Namun, karena dana yang dimilikinya sangat terbatas,

maka gagasan itu tidak dapat direaliasikan. Akibatnya, Sunan terpaksa membuka

perundingan dengan residen. Perundingan yang berlangsung selama dua tahun itu

sering mengalami kemacetan, karena adanya perbedaan paham anatara kedua

pihak (Darsiti Soeratman, 2000: 45-46).

Usaha-usaha itu tidak menyusutkan berbagai kerusuhan-kerusuhan sosial

yang terjadi di Surakarta. Isu-isu tentang kecu atau perampok yang memiliki

tujuan-tujuan yang sifatnya lebih duniawi lebih menggambarkan sebuah kategori

kejahatan ketimbang sebuah pemberontakan. Menjelang akhir tahun 1860-an

masalah kecu telah menarik perhatian pemerintah, bahkan perhatian parlemen

Belanda, yang berarti bahwa sejak saat itu jumlah laporan yang masuk pun

meningkat. Antara bulan Februari dan Agustus 1867 terjadi kejahatan-kejahatan

regular di daerah Solo. Pada bulan Maret 1868 seorang janda Eropa yang

mengelola sebuah rumah gadai dirampok. Dua bulan kemudian ada dua kejahatan

lagi, satu di antaranya terjadi di sebuah perkebunan sewa di desa Kartasura.

Totalnya, pada tahun 1867 terjadi sepuluh kejahatan, pada tahun 1868 dua belas

kejahatan, sebelas kejahatan pada tahun 1869 dan pada tahun 1870 ada tujuh

insiden kecu yang terdaftar. Selain itu juga ada gerakan semiferiferal yaitu

ekspresi perlawanan terhadap tatanan yang ada, yang bermula di daerah-daerah

perbatasan atau yang untuk pertama kalinya diketahui terjadi disana, tetapi

dibenarkan ataupun tidak diduga memiliki kaitan-kaitan dengan keraton (Vincent

J.H. Houben, 2002: 440-444).

Gerakan ini mendapat tekanan yang tidak ada habisnya dari pihak

Belanda, Gerakan-gerakan ini juga yang pada akhirnya membawa kemrosotan

Ekonomi di Surakarta. Selain itu sejak masa Paku Buwono VII, di Surakarta

terjadi sistem penyewaan tanah dari para penguasa Jawa dan aristrokrat Jawa yang

(21)

commit to user

Permasalahan-permasalahan ini masih tetap belanjut sampai pada masa akhir

kekuasaan Paku Buwono IX, dan penggantinya yaitu Paku Buwono X yang hanya

berkuasa di lingkup keraton, dan nantinya (pada awa abad ke-20) dia berperan

besar terhadap usahanya melawan Belanda dalam masa Pergerakan Nasional.

Pada awal abad ke-20 Surakarta dan Yogyakarta dijadikan sebagai daerah

otonom berdasarkan Undang-Undang Desentralisasi 1903. Vorstenlanden

merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda dan pemerintahannya dibagi

dalam dua keresidenan. Tetapi wilayah ini mempunyai status yang khusus,

walaupun agak mendua, sebab dua keresidenan ini terdiri dari dua kerajaan

swapraja yang nominal. Kerajaan semi-otonom ini adalah suatu proses

penguasaan dari imperium Mataram yang pernah berkuasa pada abad ke-17 dan

awal abad ke-18 (George D. Larson, 1990: 1).

Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari

peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X.

Namun perjuangan kemerdekaan bukanlah peristiwa sesaat yang tidak terkait

dengan peristiwa sebelumnya. Sebagai sebuah negara yang berdaulat, pemerintah

Hindia-Belanda tentu sangat memperhitungkan kekuatan politik keraton di mata

rakyat.

Menurut Soemarsaid Moertono yang dikutip oleh Purwadi, dkk (2009: 1-2) mengatakan “Keraton Surakarta yang diperintah oleh Sunan Paku Buwono X pada zamannya merupakan pusat kebudayaan Jawa yang telah memberi kontribusi

besar tehadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Oleh karena raja memiliki

kekuasaan yang sangat besar sebagai sumber hukum, pengatur kehidupan

bermasyarakat dan bernegara, dan bahkan di anggap sebagai „wakil Tuhan‟ di muka bumi”. Berbagai pergumulan politik, ideologi, sosial, budaya dan keagamaan sangat dipengaruhi oleh kebijakan sang raja yang berkuasa.

Sunan Paku Buwono X adalah raja Keraton Surakarta yang memerintah

tahun 1893-1939. Paku Buwono X adalah pribadi yang penuh nilai keteladanan,

kebijaksanaan dan keagungan. Beliau mempunyai tempat yang sangat istimewa

karena masa pengabdiannya yang cukup panjang yakni 46 tahun. Salah satu sifat

(22)

commit to user

membantu dan atau menyenangkan hati orang. Ia juga sopan dan suka melayani,

salah satu kekurangannya adalah bahwa ia tak mengenal nilai uang, Susuhunan

tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang keadaan keuangannya. Sunan

tidak memiliki pengertian sekecil apapun tentang urusan-urusan resmi.

Kebanyakan laporan Belanda tentang Susuhunan menggambarkan sebagi seorang

pesolek, lemah, dan agak bodoh, tetapi setia kepada keluarga raja Belanda dan

pemerintah Hindia-Belanda (George D. Larson, 1990: 44).

Menjelang pergantian abad ke-20 di negeri Belanda terjadi perubahan

politik terhadap Indonesia yaitu menjadi politik etis berdasarkan pikiran bahwa

negara Belanda mempunyai hutang budi kepada Indonesia. Sebagai perlunasan

hutang itu Belanda mendirikan banyak sekolah di Indonesia. Paku Buwono X

dapat melihat perubahan dan perkembangan-perkembangan baru itu dan juga

sadar bahwa generasi muda harus menjadi orang-orang pintar agar dapat

mengimbangi kepintaran orang Belanda hingga suatu saat dapat melepaskan

bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Oleh sebab itu di kampung dan desa

didalam wilayah Kasunanan Surakarta didirikan sekolah-sekolah rakyat dan bagi

para sentana didirikan sekolah Kasatrian semacam Hollands Inlandesche School

(Sekolah bagi orang Indonesia asli yang diberi bahasa Belanda). Selain

mendirikan sekolah-sekolah umum, Sunan juga mendirikan sekolah khusus untuk

mempelajari agama Islam yang dikalangan rakyat dikenal dengan nama “Mamba‟ul Ulum”. (R.M Karno, 1990: 45-46).

Pada awal abad ke-20 terjadi perubahan sosial politik yang sangat besar di

seluruh dunia, tidak terkecuali bangsa Indonesia yang ditandai dengan munculnya

lembaga-lembaga pendidikan swasta dan organisasi-organiasasi, seperti Budi

Oetomo dan Syarikat Islam yang menjadi titik awal Kebangkitan Nasional.

Perjuangan Budi Oetomo dan Sarekat Islam ini mendapat apresiasi yang cukup

besar dari Sunan Paku Buwono X. Para pangeran dan bangsawan keraton

didorong untuk membantu gerakan politik, pendidikan dan kebudayaan modern.

Paku buwono X secara terbuka dan diam-diam memberi sokongan kepada

perkumpulan-perkumpulan politik itu. Contoh pemberian dukungan secara

(23)

commit to user

Taman Sriwedhari atas restu Sunan. Dengan perlindungan ini, SI aman dari

pencekalan oleh pihak Belanda. Di sebelah utara pasar Singosaren didirikan

sebuah gedung pertemauan Habi Praya yang dapat digunakan untuk mengadakan

rapat-rapat atau pertemuan oleh masyarakat Solo (Purwadi, dkk , 2009: 20).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji

dan meneliti secara lebih mendalam serta mengangkatnya dalam sebuah skripsi

yang berjudul “PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN

NASIONAL’’.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah ini berguna untuk mempermudah dalam melaksanakan

penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka

dapat dirumuskan beberapa masalah antara lain :

1. Bagaimana usaha-usaha yang dilakukan Paku Buwono X untuk

membangun kehidupan politik di Surakarta?

2. Bagaimana peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di

Surakarta tahun 1909-1939 ?

3. Bagaimana reaksi Belanda terhadap peran Paku Buwono X dalam

Pergerakan Kebangsaan di Surakarta ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan jawaban atas masalah yang telah

dirumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan :

1. Usaha-usaha yang dilakukan Paku Buwono X untuk membangun

kehidupan politik di Surakarta.

2. Peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di Surakarta tahun

1909-1939.

3. Reaksi Belanda terhadap peran Paku Buwono X dalam Pergerakan

(24)

commit to user

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan kegunaan yang ingin diperoleh dari suatu

penelitian. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

Manfaat teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ni diharapkan dapat bermanfaat untuk :

a. Menambah wawasan pemikiran dan pengetahuan bagi peneliti, khususnya

tentang peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Nasional.

b. Bahan masukan kepada pembaca untuk digunakan sebagai wacana dan

sumber data dalam bidang sejarah.

Manfaat Praktis

Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

a. Menambah khazanah penelitian pada Program Pendidikan Sejarah

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

b. Dapat memberikan informasi tentang peran Paku Buwono X dalam

(25)

commit to user

10 BAB II

KAJIAN TEORITIK

A. Tinjauan Pustaka

1. Nasionalisme

Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Bangsa

mempunyai dua pengertian, yaitu: dalam pengertian antropologis sosiologis, dan

dalam pengertian politis. Dalam pengertian antropologis sosiologis, bangsa adalah

suatu masyarakat yang merupakan suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri

dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras,

bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Adapun yang dimaksud bangsa dalam

pengertian politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka

tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar

dan ke dalam (Badri Yatim, 1999: 57-58).

Dalam pembentukan nation (bangsa) tersebut ada beberapa teori yang

menyebutkan antara lain: pertama, yaitu teori kebudayaan (cultur) yang

menyebutkan suatu bangsa itu adalah sekelompok manusia dengan persamaan

kebudayaan; kedua, teori Negara (staat) yang mengatakan bahwa terbentuknya

suatu negara ditentukan oleh penduduk didalamya yang disebut bangsa; ketiga,

teori kemauan (will), yang menyatakan bahwa terbentuknya suatu bangsa karena

adanya kemauan bersama dari sekelompok manusia untuk hidup bersama dalam

ikatan suatu bangsa, tanpa memandang perbedaan kebudayaan, suku, dan agama

(Suhartono, 2001: 7).

Istilah nasionalisme lazim digunakan sehubungan dengan revolusi atau

perang. Dalam surat-surat kabar Amerika Utara, istilah nasionalisme digunakan

untuk mengacu pada Negara-negara Afrika, Asia, Amerika Latin atau Timur

Tengah (Lynan Tower Sargent, 1987: 16). Terdapat berbagai pendapat tentang

pengertian nasionalisme, diantaranya adalah menurut Hans Kohn dalam

Encyclopedhia Of Sosial Science (1972: 63) adalah keyakinan politis yang

mendasari kepaduan kemasyarakatan modern dan pengesahan secara otoritas.

(26)

commit to user

kebangsaan baik bangsa yang sudah ada maupun yang baru di inginkan. Di sisi

lain, Lynan Tower Sargent (1978: 19) mengemukakan :

Nasionalisme merupakan salah satu cara dimana individu mengidentifikasikan diri dengan kelompok dimana ia berada, baik karena kelahiran maupun karena lama tinggal di suatu tempat tertentu. Nasionalisme meliputi pola permintaan akan tindakan untuk memperkuat negeri dan permintaan akan patriotik.

Nasionalisme merupakan tindakan yang didasarkan terhadap perasaan

akan kesetiaan pada Negara yang dipergunakan untuk menggalang kekuatan

dalam rangka mewujudkan Negara nasional dengan tindakan patriotik.

Selanjutnya dijelaskan oleh Stoddart dalam Miriam Budihardjo (1984: 31)

bahwa nasionalisme adalah suatu keyakinan yang dimilki sejumlah besar

perorangan sebagai suatu kebangsaan. Nasionalisme merupakan manifestasi

kesadaran nasional yang mengandung cita-cita dan merupakan ilham yang

mendorong dan merangsang suatu bangsa (F. Isjwara, 1982: 127). Keyakinan

yang dimiliki sejumlah besar orang dalam suatu bangsa akan mewujudkan

kesadaran untuk mencapai cita-cita dan mendorong semangat bersatu dalam satu

bangsa. Hal ini dikatakan oleh Otto Bauer dalam Sumarsono Moestoko (1988: 77)

bahwa nasionalisme adalah perasaan untuk bersatu dalam daerah suatu bangsa.

Konsep nasionalisme dalam pengertian modern berasal dari dunia barat.

Timbulnya nasionalisme erat kaitannya dengan kolonialisme. Nasionalisme yang

tumbuh pada pihak yang diajah berusaha melepaskan diri dan melalui semangat

nasionalisme itu dapat membawa keruntuhan pemerintahan kolonial di Indonesia.

Hertz dalam F. Isjwara (1977: 111) menyebutkan adanya empat macam cita-cita

yang terkandung dalam nasionalisme, yaitu : (1) perjuangan mewujudkan

persatuan nasional yang meliputi persatuan dalam bidang politik, ekonomi,

sosial, keagamaan, kebudayaan dan persekutuan serta adanya solidaritas; (2)

perjuangan untuk mewujudkan kebebasan nasional yang meliputi kebebasan dari

kekuasaan asing atau campur tangan dunia luar dan kebebasan dari

kekuasaan-kekuasaan intern yang tidak bersifat nasional atau yang hendak mengesampingkan

(27)

commit to user

individualitas, keaslian dan keistimewaan; (4) Perjuangan untuk mewujudkan

perbedaan di antara bangsa- bangsa yang meliputi perjuangan untuk memperoleh

kehormatan, kewibawaan, gengsi dan pengaruh.

Nasionalisme sebagai manifestasi dari kesadaran nasional mengandung

sebuah cita-cita atau ilham yang mendorong dan merangsang suatu bangsa untuk

bersatu. Hertz yang dikutip oleh F. Isjwara (1982: 127) menyebutkan ada empat

macam cita-cita yang terkandung dalam nasionalisme yaitu: (1) Perjuangan untuk

mewujudkan persatuan nasional yang meliputi persatuan bidang politik, ekonomi,

sosial, agama, kebudayaan dan persekutuan serta adanya solidaritas; (2)

Perjuangan untuk mewujudkan kebebasan nasional yang meliputi kebebasan dari

penguasaan asing; (3) Perjuangan untuk mewujudkan kesendirian (separentenses),

pembedaan (distinctivenses); individualitas keaslian (originality) atau

keistimewaan, dan (4) Perjuangan untuk mewujudkan perbedaan diantara

bangsa-bangsa, yang meliputi perjuangan untuk memperoleh kehormatan, kewibawaan,

gengsi dan pengaruh.

Di dalam nasionalisme terdapat unsur-unsur yang terkandung didalamnya

yang sangat penting untuk memperkuat nasionalisme dalam diri suatu bangsa.

Menurut M. Hutauruk (1984: 111) unsur-unsur penting nasionalisme adalah : (1)

Kesetiaan mutlak, kesetiaan individu, kesetiaan tertinggi individu itu adalah pada

nusa dan bangsa; (2) Kesadaran akan suatu panggilan; (3) Keyakinan akan suatu

panggilan; (4) Harapan akan tercapainya sesuatu yang membahagiakan; (5) Hak

hidup, hak merdeka dan hak atas harta benda yang berhasil dikumpulkan dengan

jalan halal; (6) Kepribadian kolektif yang mengandung perasaan mesra

sekeluarga, nasib serta tanggung jawab yang sama, persaudaraan dan kesetiaan di

antara manusia itu; (7) Jiwa rakyat (Volkgeist) yang ada dalam tradisi, bahasa,

ceritera dan nyayian rakyat, dan (8) Toleransi yang sebesar-besarnya terhadap

satu sama lain.

Konsep nasionalisme dalam pengertian modern berasal dari dunia Barat.

Nasionalisme mula-mula dibenihkan oleh golongan menengah Inggris yang

tergabung dalam kelompok puritan, kemudian lewat pemikiran-pemikiran John

(28)

commit to user

abad ke-18 itu merupakan suatu gerakan politik untuk membatasi kekuasaan

pemerintah dan menjamin hak-hak warga negara. Gerakan ini juga dimaksudkan

untuk membina masyarakat sipil yang liberal dan rasional. Nasionalisme abad

ke-18 itu telah melahirkan negara bangsa (nation state) di Eropa dengan menentukan

batas-batasnya di satu pihak dan melahirkan imperialisme di pihak lain.

Nasionalisme yang semula berkembang di Eropa itu juga berkembang di

negara-negara luar Eropa, tetapi dengan nuansa yang berbeda (Cahyo Budi Utomo, 1995:

17-18).

Berbeda dengan latar belakang timbulnya paham nasionalisme dalam abad

ke-18 di Amerika Utara dan Eropa Barat yang bertujuan membatasi kekuasaan

pemerintah dan menjamin hak-hak warga negaranya, maka nasionalisme di Asia

dan Afrika mulanya timbul sebagai gerakan kaum terpelajar. Kaum terpelajar

mensosialisasikan nasionalisme tersebut di tengah masyarakat, dan membentuk

organisasi politik yang berjiwa nasionalis (Ichlasul Amal & Armaidy Armawi,

1998: 21-162).

Khusus untuk nasionalisme Asia pada hakekatnya merupakan hasil

perkenalan bangsa Asia dengan kolonialisme dan imperialisme, dan nasionalisme

itu muncul bukan sebagai imitasi (peniruan) dari nasionalisme Eropa.

Nasionalisme Asia pada dasarnya tumbuh sebagai reaksi atas kolonialisme bangsa

Eropa. Nasionalisme dalam perlawanannya terhadap kolonialisme tidak selalu

bersifat pasif, dengan cara isolasi (menutup pintu), tetapi juga bersifat aktif

dengan cara mengoper cara-cara yang baik dan membuang cara-cara yang buruk.

Nasionalisme yang muncul di Indonesia pada dasarnya sama dengan

nasionalisme di Asia. Tumbuhnya nasionalisme di Indonesia merupakan bentuk

dari reaksi atau antithesis terhadap kolonialisme, yang bermula dari cara

eksploitasi yang menimbulkan pertentangan kepentingan yang permanen antara

penjajah dan yang di jajah. Nasionlisme merupakan gejala historis yang tidak

dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan kolonialisme bangsa Barat. Dalam

konteks situasi kolonial, nasionalisme Indonesia adalah suatu jawaban terhadap

kondisi politik, ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh situasi kolonial (C.S.T

(29)

commit to user

Nasionalisme di Indonesia muncul karena adanya reaksi terhadap

pemerintah Belanda, sehingga menimbulkan kesadaran dikalangan orang-orang

Indonesia. Rasa nasioanalisme yang dimiliki bangsa Indonesia menjadi menyatu.

Hal ini disebabkan : (1) Persamaan agama, karena 90% penduduk Indonesia

beragama Islam; (2) Perkembangan lingua Franca, yaitu bahasa Melayu menjadi

satu bahasa kebangsaan; (3) Adanya dewan rakyat atau Volksraad yaitu majelis

perwakilan tertinggi untuk seluruh Indonesia. Bangsa Indonesia dari berbagi pulau

menjadi sadar bahwa masalah bersama harus dihadapi bersama pula, sehingga

mendorong kepada persatuan bangsa. (Ismail bin Muhammad & Zuharom bin

Abdul Rashid, 1980: 49-51).

Tujuan dari nasionalisme Indonesia ini antara lain adalah melenyapakan

tiap-tiap bentuk kekuaaan penjajah dan mencapai Indonesia merdeka. Tujuan dari

nasionalisme ini juga merupakan tujuan dari pergerakan nasional. Nasionalisme

tersebut tumbuh seirama dengan perkembangan pergerakan nasional.

2. Pergerakan Nasional

a. Pengertian

Menurut Suhartono, kata “pergerakan” mencakup semua macam aksi yang dilakukan dengan organisasi modern kearah kemerdekaan. Sedangkan menurut

A.K Pringgodigdo (1964: 1), pergerakan mengandung arti semua macam aksi

yang dilakukan dengan organisasi secara modern kea rah perbaikan hidup suatu

bangsa. Sedikit berbeda dengan kedua pendapat tersebut, Suhartoyo Hardjosatoto

(1985: 32-33) menyatakan bahwa “ pergerakan setidak-tidaknya mengandung dua

pengertian. Pengertian pertama yakni pergerakan merupakan suatu proses yang

dinamis menuju suatu keadaan tertentu yang diinginkan, sedangkan pengertian

lainnya yaitu mengacu pada fakta atau fakta-fakta proses perubahan tersebut”.

Kata nasional berasal dari kata dasar “nation” yang biasanya

diterjemahkan sebagai bangsa. Jadi nasional dapat diartikan sebagai kebangsaan.

Nasional dapat diartikan juga sebagai sekelompok manusia yang mempunyai

(30)

commit to user

dimaksudkan sebagai sekelompok manusia yang bernegara (Suhartoyo

Hardjosatoto, 1985: 33-34).

Pergerakan nasional pada umumnya merupakan pergerakan dari bangsa

yang dijajah melawan bangsa yang menjajah untuk mendirikan suatu negara

merdeka. Perjuangan dalam pergerakan nasional ditentukan oleh faktor-faktor

yang dimiliki oleh penjajah maupun bangsa yamg dijajah yang bersifat obyektif

maupun yang bersifat subyektif. Ciri obyektif mencakup hal-hal yang bersifat

materiil yakni kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air daripada

bangsa penjajah maupun yang dijajah. Sedangkan ciri yang bersifat subyektif

mencakup semangat dan kepribadian daripada bangsa yang melancarkan

perjuangan pergerakan nasional ataupun yang dimiliki oleh penjajahnya. Faktor

obyektif dari bangsa yang dijajah sangat bergantung pada kekayaan alam dari

tanah airnya dan kemauan peradaban dari bangsa yang bersangkutan. Ciri dari

penjajah sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor obyektif yang terdapat dalam

negerinya. Faktor subyektif terutama ditentukan oleh pandangan hidup dari suatu

bangsa itu sendiri (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985: 82-85).

b. Latar Belakang Munculnya Pergerakan Nasional

Munculnya pergerakan nasional di Indonesia, disebabkan oleh dua faktor.

Ada faktor dari dalam negeri (internal) dan faktor luar negeri (eksternal). Tetapi

faktor dari dalam negeri lebih menentukan dibanding dengan faktor yang timbul

dari luar negeri. Fungsi dan peranan faktor luar negeri hanya bersifat

mempercepat proses timbulnya pergerakan nasional. Hal ini berarti bahwa

sebenarnya tanpa adanya faktor dari luar, pergerakan nasional juga akan muncul,

hanya waktunya agak terlambat. Disamping itu, bisa juga dalam bentuk lain

(Sudiyo, 1997: 14).

Adapun faktor atau sebab-sebab dalam negeri (intern) (G Moejanto, 1988: 26) ialah:

1. Penderitaan akibat penjajahan, bangsa Indonesia merasa senasib sepenanggungan, sama-sama dijajah Belanda. Jadi ini reaksi terhadap penjajah.

(31)

commit to user

3. Pembangunan komunikasi antara pulau menyebabkan makin mudah dan makin sering bertemunya rakyat dari berbagai kepulauan.

4. Pembatasan penggunaan atau penyebaran bahasa Belanda dikalangan pribumi di satu pihak, dan penggunaan bahasa Melayu yang dipopulerkan di lain pihak menyebabkan bahasa yang berasal dari sekitar selat Malaka ini menjadi bahasa Indonesia, bahasa ini kemudian menjadi tali pengikat kesatuan bangsa yang ampuh.

5. Undang-undang desentralisasi 1903, yang diantaranya mengatur pembentukan kotapraja (gemeente atau haminte) dan dewan-dewan kotapraja memperkenalkan rakyat Indonesia akan tata cara demokrasi yang modern.

6. Pergerakan kebangsaan Indonesia dapat juga disebut sebagai reaksi terhadap semangat kedaerahan, yang tidak menguntungkan bagi perjuangan kemerdekaan (semangat kemerdekaan membuat kita terpecah bekah dan lemah).

7. Inspirasi kejayaan Sriwijaya dan Majapahit.

Faktor-faktor luar negeri yang dapat mempercepat timbulnya pergerakan nasional itu (Sudiyo, 1997: 15), adalah sebagai berikut:

1. Adanya faham baru, yaitu liberalisme dan human rights, akibat perang Kemerdekaan Amerika (1774-1783) dan Revolusi Perancis (1789).

2. Diterapkannya pendidikan sistem barat dalam pelaksanaan Politik Etis (1902), yang menimbulkan wawasan secara luas bagi pelajar Indonesia walaupun jumlahnya masih sangat sedikit.

3. Kemenangan Jepang terhadap Rusia tahun 1905, yang membangkitkan rasa percaya diri bagi rakyat Asia-Afrika dan bangkit melawan bangsa penjajah (bangsa kulit putih).

4. Gerakan Turki muda (1896-1918), yang bertujuan menanamkan dan mengembangkan nasionalisme Turki, sehingga terbentuk negara kebangsaan yang bulat dengan ikatan suatu negara, satu bangsa, satu bahasa, ialah Turki.

5. Gerakan Pan-Islamisme, yang ditumbuhkan oleh Djamaludin al-Afgani bertujuan mematahkan dan melenyapkan Imperialisme Barat untuk membentuk persatuan semua umat islam dibawah satu pemerintah Islam pusat. Gerakan ini menimbulkan nasionalisme di negara terjajah dan anti-imperialisme.

6. Dan lain-lain, seperti gerakan Nasionalisme di India, Tiongkok, dan Philipina

Nasionalisme Indonesia tumbuh seirama dengan berkembangnya

pergerakan nasional, maka sifat dan corak nasionalisme Indonesia sesuai dengan

corak dan organisasi pergerakan yang mewakilinya. Walaupun terdapat perbedaan

corak dan sifat dari organisasi-organisasi pergerakan, tetapi tujuannya sama yaitu

(32)

commit to user

Dalam dua abad terakhir sebelum mencapai kemerdekaannya, sejarah

bangsa Indonesia diwarnai oleh rangkaian usaha yang terus menerus baik secara

fisik maupun nonfisik, baik secara moril maupun materiil, dari masyarakat

terjajah untuk membebaskan dirinya dari belenggu penjajah yang sangat

menyengsarakan. Dalam kurun waktu yang lama itu, segala upaya yang dilakukan

bangsa Indonesia dalam menentang penjajah seolah-olah menghadapi batu karang

yang demikian keras tak tergoyahkan. Perlawanan-perlawanan fisik yang muncul

di berbagai daerah segera diredam oleh pemerintah kolonial Belanda. Keadaan

seperti itu terus berlangsung sampai munculnya suatu gagasan baru, suatu gerakan

baru untuk membebaskan diri dari belenggu penjajah. Gagasan, cara dan gerakan

baru tersebut adalah perjuangan dengan menggunakan organiasai modern.

Tanda-tanda perubahan itu muncul di awal abad ke-20 yang diTanda-tandai dengan lahirnya

sebuah organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia pertama pada tanggal 20 Mei

1908 yang bernama Boedi Oetomo (Cahyo Budi Utomo, 1995: 37).

Perjuangan bangsa Indonesia yang disebut sebagai Pergerakan

Kebangsaan pada permulaan abad ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari

faktor intern dan ekstern yang mempengaruhi perjalanan pergerakan kebangsaan

Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Dari berbagai faktor yang mempengaruhi

tersebut, salah satu faktor yang mempunyai peranan penting adalah diterapkannya

Politik Etis di Indonesia yang secara perlahan mengubah pemikiran tradisional

rakyat pribumi melalui pendidikan barat yang diterapkan Belanda.

Politik etis atau politik balas budi merupakan sebuah haluan politik yang

dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1900-1942. Politik ini

didasarkan pada pertimbangan bahwa negeri Belanda telah banyak berhutang budi

kepada rakyat Indonesia (pribumi) selama berabad-abad. Hal itu disebabkan sejak

zaman VOC hingga masa Kolonial Liberal sebagian besar kekayaan bangsa

Indonesia dikeruk dan dibawa ke negeri Belanda. Walaupun tujuan utama politik

Etis sangat mulia, dalam pelaksanaannya tidak demikian. Tetapi dengan segala

kelemahan tersebut, politik etis telah mendorong perubahan sosial di kalangan

penduduk pribumi. Hal itu disebabkan banyak penduduk bumi putera yang

(33)

commit to user

pemikiran yang tradisional. Walaupun dari sudut pandang Kolonial kebijakan

pendidikan Belanda diarahkan untuk kepentingan Pemerintah Kolonial, dari sudut

kepentingan perjuangan bangsa Indonesia pendidikan Barat telah melahirkan Elit

Baru yang muncul sebagai produk pendidikan Barat. Elit inilah yang kemudian

menjadi embrio munculnya nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan

Nasional Indonesia ke arah kemerdekaan Indonesia (Cahyo Budi Utomo, 1995:

40-43).

Embrio munculnya nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan

Nasional Indonesia ke arah kemerdekaan Indonesia menyebar keseluruh wilayah

Indonesia, tidak ketinggalan dengan Surakarta yang merupakan salah titik penting

sebagai salah satu pelopor gerakan nasional yang diwadahi dan mendapat

perhatian penting dar Sri Susuhunan Paku Buwono X sebagai raja di keraton

Kasunanan Surakarta.

3. Agen dalam Pergerakan Nasional

Timbulnya peristiwa akibat dari tindakan manusia yang terjalin melalui

aktivitas antar mereka yaitu aktivitas budaya, ekonomi, politik, dan sosial.

Berpijak dari pengertian ini, Anthony Gidden dalam George Ritzer berpendapat

bahwa manusia adalah aktor dari seluruh peristiwa sosial budaya, sosial ekonomi,

dan sosial politik (George Ritzer, 2004: 507-508).

Manusia tidak sepenuhnya bebas untuk memilih tindakan mereka sendiri,

dan pengetahuan mereka terbatas, mereka tetap merupakan agen yang

mereproduksi struktur sosial dan mengarah pada perubahan sosial. Giddens

menulis bahwa hubungan antara struktur dan tindakan adalah sebuah elemen

fundamental bagi teori sosial, struktur dan keagenan adalah dualitas yang tidak

dapat dipahami terpisah satu sama lain. Argumen utamanya terkandung dalam

ungkapan dualitas struktur. Pada tingkat dasar, ini berarti bahwa orang-orang

membuat struktur masyarakat, tetapi pada saat yang sama, mereka dibatasi

olehnya (http://www.yudhieharyono.com/?p=343, diunduh pada selasa 16

(34)

commit to user

Tindakan dan struktur tidak dapat dianalisis secara terpisah, seperti

struktur diciptakan, dipertahankan dan diubah melalui tindakan. Sedangkan

tindakan bermakna diberi bentuk hanya melalui latar belakang struktur, garis

kausalitas berjalan di dua arah sehingga mustahil untuk menentukan siapa yang

mengubah apa. Dalam hal ini, Giddens mendefinisikan struktur yang terdiri dari

aturan dan sumber daya yang melibatkan tindakan manusia, aturan membatasi

tindakan.

Struktur dapat bertindak sebagai kendala tindakan, tetapi juga

memungkinkan tindakan dengan menyediakan kerangka makna umum. Giddens

menunjukkan bahwa struktur (tradisi, institusi, kode moral, dan harapan) pada

umumnya cukup stabil, tetapi dapat diubah, terutama melalui konsekuensi

tindakan yang diharapkan, ketika orang mulai mengabaikan mereka,

menggantikan mereka, atau mereproduksi mereka secara berbeda

(http://www.yudhieharyono.com/?p=343, diunduh pada selasa 16 Februari 2010).

Tindakan aktor adalah akibat dari kesadaran diskursif dan kesadaran

praktis (George Ritzer, 2004: 509). Kesadaran Diskursif memerlukan kemampuan

untuk melukiskan tindakan kita dalam kata-kata, sedangkan kesadaran praktis

melibatkan tindakan yang dianggap aktor benar, tanpa mampu mengungkapkan

dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan.

Aktor (agen) menerapkan aturan-aturan sosial yang sesuai dengan budaya

mereka yang telah dipelajari melalui sosialisasi dan pengalaman. Aturan-aturan

ini bersama-sama dengan sumber daya yang mereka miliki digunakan dalam

interaksi sosial. Aturan dan sumber daya yang digunakan dalam cara ini tidak

dapat diprediksi, tetapi diterapkan secara tiba-tiba oleh aktor berpengetahuan.

Maka hasil dari tindakan ini juga tidak sepenuhnya dapat diprediksi.

Konsep agen (agency) pada umumnya merujuk pada tingkat mikro atau

makro manusia individual, konsep ini pun dapat merujuk kepada kolektivitas

(makro) yang bertindak. Agen manusia dapat meliputi individu maupun kelompok

terorganisir, organisasi, dan bangsa. Agen (aktor) dalam tindakannya dipengaruhi

oleh kesadaran diskursif dan kesadaran praktis. Kesadaran diskursif memerlukan

(35)

commit to user

melibatkan tindakan yang dianggap aktor benar, tanpa mampu mengungkapkan

dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan (George Ritzer, 2004:

506-508).

Dalam hubungan dengan pergerakan nasional, pada awal abad ke-20,

muncul kaum intelektual yang mempunyai kesadaran diskursif dan kesadaran

praktis tentang bangsanya sendiri. Kesadaran kaum intelektual timbul karena: (1)

penindasan ekonomi, politik dan sosial akibat kolonialsme bangsa barat, (2)

diskriminasi dalam pendidikan untuk penduduk pribumi.

Salah satu tokoh yang memiliki kesadaran diskursif dan kesadaran praktis

adalah Paku Buwono X. Berbagai tindakan dilakukan Sunan dalam upayanya

untuk memberdayakan masyarakat Surakarta di bidang ekonomi maupun

pendidikan yang ditandai dengan munculnya elit intelektual yang nantinya

(36)

commit to user

B. Kerangka Berfikir

Keterangan:

Penjajahan bangsa Barat khususnya Belanda di Indonesia telah membawa

dampak yang sangat besar terhadap kelangsungan hidup rakyat Indonesia,

demikian juga terhadap kehidupan Keraton Surakarta yang merupakan salah satu

kerajaan yang mempunyai peranan penting di tanah Jawa. Segala upaya dilakukan

untuk mengusir penjajah dari Indonesia, baik perlawanan yang dilakukan secara Penjajahan Belanda

di Indonesia

Paku Buwono X Interaksi Kaum

Intelektual dan

Pengusaha Batik

Lawean Keraton Kasunanan

Surakarta

Nasionalisme Pembangunan

Bidang

Pendidikan

Pembangunan

Bidang

Ekonomi

SI (Sarekat

Islam) 1912

Boedi Oetomo

(BO) 1914 Kesadaran

Diskursif

Kesadaran

Praktis

(37)

commit to user

tradisional/ fisik dari berbagai daerah. Perlawanan yang dilakukan secara terus

menerus dalam upayanya mengusir penjajah dari Indonesia semakin lama

semakin mengalami perubahan dari yang bersifat tradisional manjadi terorganisir.

Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari

peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X.

Menjelang pergantian abad ke-20 di negeri Belanda terjadi perubahan politik

terhadap Indonesia yaitu menjadi politik etis berdasarkan pikiran bahwa negara

Belanda mempunyai hutang budi kepada Indonesia. Sebagai perlunasan hutang itu

Belanda mendirikan banyak sekolah di Indonesia. Sunan yang mempunyai

kesadaran diskursif dan kesadaran praktis yang tinggi dapat melihat perubahan

dan perkembangan-perkembangan baru itu dan juga sadar bahwa generasi muda

harus menjadi orang-orang pintar agar dapat mengimbangi kepintaran orang

Belanda hingga suatu saat dapat melepaskan bangsa Indonesia dari penjajahan

Belanda.

Berbagai upaya dilakukan Sunan untuk tujuannya tersebut yaitu dengan

cara perubahan dan pembangunan ekonomi Surakarta agar dapat mendorong

kemajuan masyarakat Surakarta. Selain pembangunan ekonomi, bidang lain yang

sangat diperhatikan oleh Sunan adalah dalam bidang pendidikan. Dengan adanya

politik Etis yang dicanangkan oleh Belanda, memberikan kesempatan besar bagi

Sunan untuk memajukan pendidikan dengan cara mendirikan sekolah-sekolah

rakyat, maupun sekolah-sekolah berbasis agama Islam. Hal tersebut dilakukan

untuk membentuk kaum elite intelektual Indonesia yang mampu mengusir

kekeuasaan Barat di Indonesia. Elit inilah yang kemudian menjadi embrio

munculnya nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan Nasional Indonesia ke

arah kemerdekaan Indonesia di Surakarta yang bekerjasama dengan pengusaha

batik Lawean berinteraksi dengan Keraton Surakarta yang nantinya mendorong

berdirinya organisasi politik di Surakarta yaitu Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912

(38)

commit to user

23 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dalam rangka penelitian skripsi yang berjudul “Peran Paku Buwono X Dalam Pergerakan Nasional” ini dilakukan dengan menggunakan

metode historis, maka untuk memperoleh data penelitian, penulis sebagian besar

memperoleh data dari perpustakaan. Adapun perpustakaan yang digunakan

sebagai obyek penelitian adalah sebagai berikut:

a. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu

Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Sebelas Maret

b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas

Maret

c. Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret

d. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret

e. Perpustakaan Sasono Poestoko Keraton Kasunanan Surakarta

f. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta

g. Perpustakaan Ignatius Yogyakarta

h. Buku-buku koleksi pribadi

2. Waktu Penelitian

Rencana waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejak proposal

disetujui pembimbing yaitu bulan Januari 2010 sampai dengan Juli 2010. Adapun

kegiatan yang dilakukan dalam jangka waktu tersebut diantaranya adalah

mengumpulkan sumber, baik sumber primer maupun sekunder, melakukan kritik

untuk menyelidiki keabsahan sumber, menetapkan makna yang saling

berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh dan terakhir menyusun laporan hasil

(39)

commit to user

B. Metode Penelitian.

Metode berasal dari bahasa yunani yaitu “methodos” yang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut cara kerja,

yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang

bersangkutan (Koentjaraningrat, 1997: 7). Dalam penelitian peranan metode

sangat penting karena keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari

penggunaan metode yang tepat. Dalam hal ini dipilih dengan mempertimbangkan

kesesuainnya dengan objek yang diteliti bukan sebaliknya. Berdasarkan

permasalahan yang dikaji serta tujuan yang dicapai, maka metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode historis. Pemilihan metode historis didasarkan

pada pokok permasalahan yang dikaji yaitu peristiwa masa lampau, untuk

direkonsruksi menjadi cerita sejarah melalui langkah aau metode hisoris.

Menurut Gilbert J. Gharagan dalam Dudung Abdurrahman (1999: 43)

metode historis adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk

mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis,

dan mengajukan sintesis dan hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.

Sejalan dengan pendapat ini, Louis Gottschalk (1986: 32) mendefinisikan metode

historis sebagai proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan

peninggalan masa lampau. Sartono Kartodirdjo (1992: 37), berpendapat bahwa

metode penelitian sejarah adalah prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk

menghasilkan kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh

masa lampau tersebut. Penelitian sejarah harus membuat rekonstruksi suatu

kegiatan yang disaksikan sendiri, karena secara mutlak tidak mungkin mengalami

lagi fakta yang diselidikinya.

Berdasarkan penjelasan tentang metode historis di atas, maka metode

historis dipergunakan dengan alasan penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi

peristiwa Pergerakan Nasional di Surakarta yaitu, “Peran Paku Buwono X Dalam

(40)

commit to user

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber sejarah.

Sumber sejarah sering kali disebut sebagai data sejarah. Menurut Kuntowijoyo

dalam Dudung Abdurrahman(1999: 30), perkataan data berasal dari bahasa latin

datum yang berarti pemberitaan. Data sejarah itu sendiri berarti bahan sejarah

yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian.

Menurut Helius Syamsuddin (1996: 73) dalam penelitian sejarah, yang

menjadi sumber data adalah sumber sejarah. Sumber sejarah merupakan bahan

mentah (raw material) sejarah yang mencakup segala evidensi atau bukti yang

telah ditinggalkan oleh menusia yang menunjukkan segala aktivitas manusia di

masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan/

lesan.

Menurut Sidi Gazalba (1981: 105) sumber sejarah dapat diklasifikasikan

menjadi tiga macam, yaitu: (1) sumber tertulis yang mempunyai fungsi mutlak

dalam sejarah, (2) sumber lisan, yaitu sumber tradisional dalam pengertian luas,

(3) sumber visual atau benda, yaitu semua warisan masa lalu yang berbentuk dan

berupa seperti candi dan prasasti.

Sumber sejarah dapat diklasifikasikan menjadi beberapa cara yatu : (1)

kontemporer (contemporary) dan lama (remote), (2) formal (resmi) dan informal

(tidak resmi), (3) pembagian menurut asalnya (dari mana asalnya), (4) isi

(mengenai apa), (5) tujuan (untuk apa) yang masing-masing dibagi lagi lebih

lanjut menurut waktu, tempat dan cara/produknya. Sumber sejarah secara garis

besar dibedakan menjadi peninggalan-peninggalan (relics atau remains) dan

catatan-catatan (Helius Sjamsudin, 1996 : 74 ).

Berbagai cara ditempuh untuk mengklasifikasikan sumber data, salah satu

cara mengklasifikasikannya yaitu dengan meninjau atau melihat sumber data itu

dari sudut kegunaannya yang langsung untuk penelitian historis. Klasifikasi

sumber sejarah dapat dibedakan menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua yaitu

sumber tertulis dan sumber tidak tertulis. Sumber tersebut menurut urutan

penyampaiannya dapat dibedakan menjadi sumber primer dan dan sumber

(41)

commit to user

Menurut Nugroho Notosusanto (1986: 35), sumber primer adalah

kesaksian dengan mata kepala sendiri atau panca indera lainnya atau dengan alat

mekanis yang ada pada saat peristiwa itu terjadi. Sedangkan menurut John W.

Best dalam Louis gottschalk (1986: 35) sumber primer sebagai cerita atau catatan

para saksi mata atau pengamat atau partisipan dan juga berisi catatan-catatan para

saksi mata yang menyaksikan peristiwa tersebut.

Sumber sekunder adalah informasi yang diberikan oleh orang yang tidak

langsung mengamati atau orang yang tidak terlibat langsung dalam suatu

kejadian, keadaan tertentu atau tidak langsung mengamati objek tertentu. Sumber

sekunder dapat dijadikan sebagai sumber utama apabila sumber utama sulit

didapat (Nugroho Notosusanto, 1986: 35)

Pengumpulan data berdasarkan sumber data yang ditetapkan yaitu teknik

studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis dari buku-buku dan

bentuk pustaka lainnya. Sumber-sumber ini diperoleh melalui kunjungan pustaka,

analisis dan lain-lain.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber sekunder,

karena sulitnya memperoleh sumber primer. Sumber sekunder yang yang

digunakan antara lain: Hans Van Miert judul buku Dengan semangat Berkobar

Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1981-1930; George D. Larson

judul buku Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan Politik di

Surakarta, 1912-1942; RM. Karno judul buku Riwayat dan Falsafah Hidup

Ingkang Sinuwun Sri Susuhunan Paku Buwono X 1893-1939; Darsiti Soeratman

judul Buku Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939; Denys Lombard

judul buku Nusa Jawa Silang Budaya jilid I, II, III; G.P Rouffaer judul buku

Vorstenlanden; Vincent J.H. Houben judul buku Keraton Dan Kompeni Surakarta

Dan Yogyakarta 1830-1870; M.C Ricklefs judul buku Sejarah Indonesia Modern;

A.P.E.Korver judul buku Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?; Suhartono judul

buku Apanage dan Bekel; Kuntowijoyo judul buku Raja, Priyayi dan Kawula; AA

GN Ari Dwipayana judul buku Bangsawan dan Kuasa Kembalinya Para Ningrat

di dua Kota; John Pemberton judul buku On The Subject of “Java”; A.K

(42)

commit to user

Utomo judul buku Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia Dari

Kebangkitan Hingga Kemerdekaan.

D. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan sumber data yang digunakan, maka teknik pengumpulan data

yang digunakan adalah tehnik studi pustaka. Menurut Kartini Kartono (1990: 33)

Studi pustaka merupakan sebuah penelitian yang bertujuan mengumpulkan data

dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruang perpustakaan

misalnya: buku, surat kabar, majalah dan dokumen. Data-data yang telah

terkumpul berfungsi sebagai wahana informasi terhadap materi yang akan dibahas

dalam penelitian.

Menurut Koentjaraningrat (1997: 64), teknik studi pustaka adalah suatu

metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data atau

fakta sejarah dengan membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip,

surat kabar atau brosur yang tersimpan dalam perpustakaan. Studi pustaka

merupakan teknik pengumpulan data dengan mengadakan kunjungan ke

perpustakaan guna mendapatkan buku-buku sumber yang relevan dengan

penelitian yang sedang dilakukan, karena salah satu hal yang perlu dilakukan

dalam persiapan penelitian adalah memanfaatkan dengan maksimal sumber

informasi yang terdapat di perpustakaan dan jasa informasi yang tersedia. Dalam

penelitian ini data sebagian besar diperoleh dari perpustakaan yang tedapat di

Surakarta dan Yogyakarta.

Keuntungan dari studi pustaka ini ada empat hal, yaitu : (1) memperdalam

kerangka teoritis yang digunakan sebagai landasan pemikiran, (2) memperdalam

pengetahuan akan masalah yang diteliti, (3) mempertajam konsep yang digunakan

sehingga mempermudah dalam perumusan, (4) menghindari terjadinya

penggulangan suatu penelitian ( Koentjaraningrat, 1986: 36).

E. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah teknik dalam memeriksa dan menganalisis data

(43)

Referensi

Dokumen terkait

Metode inverse kinematics merupakan metode pergerakan robot lengan dengan variabel yang diketahui adalah titik koordinat tujuan, sehingga dibutuhkan perubahan besar

Penelitian yang dilakukan I Wayan Suteja Putra dan I Gede Ary Wirajaya (2012), hasil penelitian ini adalah tingkat perputaran kas dan tingkat jumlah nasabah kredit tidak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat patogenisitas dan identifikasi Isolat bakteri K14 pada lele dumbo secara biomolekuler berbasis PCR 16S rDNA serta

kecuali kontra indikasi mengence rkan sekret membantu untuk mudah dikeluarka n 27/5/10 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang

penelitian: untuk mengetahui pengaruh latihan plyometric push-up dan clapping push-up terhadap peningkatan power otot lengan pada remaja usia 12-15 tahun.. Metode

Metode harga penjualan kembali ( resale price method ) atau disingkat RPM adalah metode penentuan harga transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu

Dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap tweets atau posting yang terdapat pada twitter untuk mengetahui karakter kepribadian seseorang. Hasil penelitian

Penelitian penggunaan minyak ikan lemuru pada ternak ruminansia, terutama pada ternak kambing belum pernah dilaporkan, oleh karena itu penelitian tentang Pengaruh